Perlahan Cu Bi-ih tampil ke depan, setelah melihat semua orang berlutut, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah gulungan kain, merentangkannya dan mulai membaca isi firman.
Untuk beberapa saat lamanya Ong Sam-kongcu tertegun dan tak sanggup berkata-kata, dia tak menyangka kalau Baginda telah menganugerahkan gelar An-lok-ong kepadanya, bahkan memerintahkan dirinya untuk memimpin para jago menumpas perkumpulan Jit-seng-kau.
Sebagaimana diketahui, sejak dulu pihak kerajaan boleh dibilang jarang sekali berhubungan dengan orang persilatan, dia sama sekali tak menyangka kalau hari ini Baginda telah mengutus tuan putri untuk menyampaikan firman kepadanya.
Selain itu, kecuali keturunan keluarga Cu, pada hakikatnya belum pernah ada orang luar yang diberi gelar raja muda, apalagi untuk Ong Sam-kongcu yang belum pernah berhubungan dengan pihak kerajaan. Tak heran bila ia terperangah dibuatnya.
Leng Bang yang berlutut lebih kurang tiga kaki di samping kanannya, secara diam-diam mengamati terus perubahan wajahnya, begitu melihat rekannya terperangah, maka dengan ilmu menyampaikan suara ia berbisik, "Terima dulu firman Baginda!"
Mendengar itu, Ong Sam-kongcu segera maju dan menerima firman.
"Kionghi Ongya!" seru Cu Bi-ih kemudian dengan suara nyaring.
"Terima kasih atas pujian tuan putri!" sahut Ong Sam-kongcu tersipu-sipu.
Maka semua orang pun maju untuk memberi selamat.
Dua belas tusuk konde emas sendiri meski tak mengerti apa sebabnya Sri Baginda mengutus orang menganugerahkan gelar kehormatan, tak urung mereka ikut bergembira juga atas kejadian yang tak terduga ini.
Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya masuk ke dalam ruang utama, baru saja Go Hoa-ti dan dua belas tusuk konde emas siap mengundurkan diri, sambil tertawa tergelak Leng Bang telah mencegah.
Terdengar orang tua itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Ongya, tolong tanya apakah kau mempunyai seorang Kongcu yang bernama Ong Bu-cau?"
"Ada! Jangan-jangan dia telah menyalahi kalian?"
"Hahaha, Ongya tak periu kuatir, bukan saja putramu tidak membuat keonaran, malahan dia telah menyelamatkan ketiga tuan putri serta menolong biara Siau-lim dari bencana"
Maka secara ringkas dia pun menceritakan semua kehebatan serta keberanian yang telah dilakukan Cau-ji.
Betapa gembira dan bersyukurnya Ong Sam-kongcu sekalian setelah mendengar kabar itu.
Sedangkan para jago pihak kerajaan diam-diam merasa terkejut juga akan kehebatan ilmu silat pemuda itu.
Melihat ketidak percayaan kawanan jago itu, sambil tersenyum Ong Sam-kongcu pun segera menceritakan kisah pengalaman yang pernah dialami Cau-ji di masa lalu.
Cerita ini segera mengundang decak kagum banyak orang, khususnya tiga bersaudara keluarga
Cu.
Dari perubahan mimik muka ketiga tuan putri itu, dua belas tusuk konde emas segera tahu kalau gadis-gadis cantik itu sudah jatuh hati kepada Cau-ji, serta-merta mereka pun jadi mengerti apa sebabnya pihak kerajaan menganugerahkan gelar kehormatan kepada keluarga mereka.
Sementara itu meja perjamuan telah dipersiapkan, Ong Sam-kongcu pun mengundang semua orang untuk bersantap di ruang Ti-wan.
Hari ini Ong Sam-kongcu kelihatan amat gembira, sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi seorang raja muda dengan gelar An-lok-ong.
Perjamuan kali ini berlangsung hampir satu setengah jam lamanya.
Dalam keadaan setengah mabuk, Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya untuk beristirahat di kamar tamu, kemudian ia sendiri bersama Go Hoa-ti ibu beranak dan dua belas tusuk konde emas kembali ke ruang utama untuk minum teh seraya berbincang-bincang.
Terdengar Go Hoa-ti berkata, "Engkoh Huan, kionghi kau memperoleh anugerah ini, terlepas apakah punya kekuasaan atau tidak, yang pasti kau telah menjadi orang pertama dari dunia persilatan yang mendapat kehormatan semacam ini!"
Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, mana, mana, semua ini berkat kehebatan Cau-ji!"
"Sungguh tak kusangka ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mencapai tingkatan yang begitu hebat, kelihatannya sulit untuk menemukan orang yang sanggup mengalahkan dirinya lagi!"
"Hahaha, jago Jit-seng-kau sangat banyak dan tangguh, bukan saja cara kerja mereka kejam, siasatnya pun licik dan busuk, sekalipun Cau-ji hebat namun setiap saat dia berada dalam ancaman mara bahaya."
Go Hoa-ti manggut-manggut, sahutnya, "Memang apa yang kau ucapkan merupakan kenyataan, hanya saja kalau memang pihak kerajaan dan berbagai partai besar bersedia tampil, aku rasa saat musnahnya Jit-seng-kau sudah tinggal waktu saja."
"Betul!" Ong Sam-kongcu tertawa, "jangankan ilmu silat yang dimiliki Thian-te-sian-lu luar biasa hebatnya, bahkan kungfu si Pena emas Sin Goan pun tidak berada di bawah kemampuanku."
"Jangan dilihat mereka hanya terdiri dari tiga puluhan orang, padahal kekuatannya paling tidak sanggup menghadapi serbuan tiga ratusan jago kelas satu! Sungguh tak disangka pihak kerajaan telah membina begitu banyak jago lihai!"
"Di mulut pihak kerajaan menyatakan kalau tak berhubungan dengan umat persilatan, tapi secara diam-diam telah membina begitu banyak jago tangguh, rasanya kejadian ini agak sedikit
tak masuk akal."
"Inilah yang dinamakan 'Menggunakan cara Kangouw untuk mengatasi orang Kangouw", bahkan aku pun merasa bahwa penganugerahan gelar untukku kali inipun mengandung maksud semacam ini."
Go Hoa-ti manggut-manggut dan tidak bicara lagi.
Si Ciu-ing yang selama ini hanya berdiam diri tiba-tiba menyela sambil tertawa, "Engkoh Huan, kau jangan marah, menurut dugaanku, pemberian anugerah gelar kali ini bisa jadi dikarenakan ketiga tuan putri berniat mengikat tali hubungan dengan keluarga kita."
"Hahaha, kenapa aku mesti marah?" Ong Sam-kongcu tertawa tergelak, "masa aku harus minum cuka gara-gara Cau-ji? Sejak tadi aku telah merasa kalau ketiga tuan putri itu menaruh hati kepada Cau-ji!"
Semua orang manggut-manggut setelah mendengar perkataan ini.
Sambil tertawa, kembali Si Ciu-ing berkata, "Engkoh Huan, enci Ti, adik-adik semua, menurut apa yang kuketahui, pihak kerajaan telah memutuskan untuk tidak berhubungan dengan umat persilatan, jadi tak mungkin si tuan putri akan menikah dengan anggota persilatan."
"Padahal ketiga tuan putri menaruh hati kepada Cau-ji, jadi satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah ini adalah mengangkat engkoh Huan jadi pejabat negara ... aku yakin pangkatmu makin hari akan semakin tinggi"
Mendengar perkataan itu, kontan Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
Membayangkan bagaimana keluarga Ong akan punya menantu tuan putri, semua orang ikut bergembira atas peristiwa ini.
Belum berhenti Ong Sam-kongcu tertawa, mendadak terdengar seseorang tertawa tergelak.
Menyusul kemudian terlihat sepasang dewa langit dan bumi memasuki ruangan.
Sambil tertawa, ujar Leng Bang, "Ongya, barusan aku sempat mendengar apa yang dibicarakan Hujin, untuk itu perlu kusampaikan sepatah-dua patah kata."
"Benar, seperti apa yang diduga Hujin tadi, kali ini ketiga tuan putri memang telah mengeluarkan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk mendapatkan gelar kehormatan itu bagi Ongya, semua ini tak lain karena menyangkut masa depan mereka bertiga."
"Dalam hal ini, Cau-ji masih belum tahu karena menurut pengamatan Lohu, Cau-ji sengaja menjaga jarak dengan ketiga tuan putri karena dia tak ingin terjadi kemelut yang bakal menyusahkan kedua belah pihak."
"Benar," kata Ong Sam-kongcu sambil tertawa, "aku memang sudah menjodohkan Cau-ji dengan seseorang, sebelum mendapat ijin dariku, tak nanti Cau-ji berani menerima nona lain sebagai bininya."
Sebetulnya Leng Bang ingin menyinggung juga masalah dua bersaudara Suto dan Siang Ci-ing yang bergaul mesra dengan Cau-ji, tapi dia segera mengurungkan niatnya setelah mendengar perkataan itu.
Terdengar ia berkata sambil tertawa tergelak, "Ongya, mengenai perkawinan antara putramu dengan ketiga tuan putri, Lohu suami-istri ingin menawarkan diri menjadi mak comblang."
"Terima kasih banyak atas maksud baik Cianpwe, hal semacam ini merupakan kebanggaan keluarga Ong kami, hanya saja Wanpwe perlu menanyakan maksud hati Cau-ji terlebih dulu sebelum mengambil keputusan.
Begitu mendengar persetujuan pihak lawan, Leng Bang jadi kegirangan setengah mati, sahutnya cepat, "Sudah seharusnya begitu!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ongya, Kongcu telah meminta pihak biara Siaulim untuk tampil mengundang para partai besar dan minta mereka untuk berkumpul di bukit Gakli-san di luar kota Tiang-sah pada awal bulan depan, bahkan telah menulis surat tantangan kepada pihak Jit-seng-kau!"
"Bagus, mau hidup atau mati, kita tentukan dalam pertempuran ini!" Ong Sam-kongcu manggut-manggut tanda setuju.
"Engkoh Huan, bagaimana dengan kami kakak beradik.."tanya Si Ciu-ing lembut.
"Adik Ing, adik-adik semua, lebih baik kalian melindungi markas besar kita! Soal permainan besar ini, biar peran penting kita letakkan pada pundak Cau-ji!"
Para perempuan itupun menurut dan manggut-manggut.
Karena urusan penting telah usai dibicarakan, maka para wanita itupun menanyakan keadaan Cau-ji. Leng Bang tidak langsung menjawab, dia hanya termenung. Jelas orang tua ini sedang mempertimbangkan perlu tidak membicarakan hubungan Cau-ji dengan tiga gadis lain.
Melihat keraguan orang, sambil tertawa Ong Sam-kongcu berkata, "Cianpwe, tahun ini Cau-ji baru berusia empat belas tahun, kecerdasan otaknya tak bisa dibandingkan dengan kemampuan ilmu silatnya, jadi tak mungkiri dia bisa lolos dari segala kesalahan, silakan saja dikatakan secara terus terang."
Sambil tertawa getir, ujar Leng Bang, "Sungguh tak nyana aku Leng Bang setelah malang melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun, akhirnya harus bersikap penuh keraguan hanya dikarenakan masalah tuan putri dengan Cau-ji. Kalau memang Ongya sudah berkata begitu, baiklah, Lohu akan bicara terus terang!"
Maka dia pun membeberkan semua yang diketahui tentang hubungan Cau-ji dengan dua bersaudara Suto serta Siang Ci-ing, bahkan dia menambahkan, "Ongya, Lohu berani jamin, Cau-ji tidak berniat jahat!"
Ong Sam-kongcu segera menarik wajah dan terbungkam tanpa bicara.
Si Ciu-ing juga terbungkam dalam seribu bahasa setelah melirik Go Hoa-ti sekejap.
Diam-diam mereka kuatir bila Go Hoa-ti merasa tak puas karena ulah Cau-ji, khususnya terhadap putri Bwe Bu-jin, karena itu semua orang menutup rapat mulutnya.
Siapa tahu Go Hoa-ti sama sekali tidak marah, setelah melirik mereka sekejap, katanya, "Cianpwe, dengan nama besar keluarga Suto di dunia persilatan, keluarga Ong merasa sangat berterima kasih sekali bila bisa peroleh menantu hebat semacam ini."
"Sedang nona Siang dari Liong-ing-hong juga tersohor sebagai wanita suci, dengan kekayaan, kedudukan, serta nama besar keluarga Siang, aku rasa nona inipun pantas menjadi menantu keluarga Ong."
"Apalagi bukankah engkoh Huan pun mempunyai dua belas orang Cici sebagai istri, berada dalam keadaan seperti ini, apa salahnya bila Cau-ji pun memiliki banyak istri!"
Selesai berkata, kembali dia tertawa. Semua orang pun merasa lega setelah mendengar penjelasan ini.
Dengan perasaan haru, kata Si Ciu-ing, "Enci Ti, terima kasih banyak. Siaumoay hanya merasa bersalah terhadap Jin-ji!"
"Enci Ing, kalau orang bertambah banyak, hokki pun akan bertambah banyak pula, apalagi Cau-ji begitu kuat, rasanya Jin-ji seorang tak akan sanggup melayaninya, selama mereka semua bisa hidup rukun, tambah banyak pun tak ada masalah!"
Begitu ganjalan terurai, pembicaraan pun berlangsung lebih lancar dan santai.
Leng Bang pun bercerita lagi akan sepak-terjang Cau-ji sewaktu melawan serbuan para jago Jitseng-kau di biara Siau-lim, secara terperinci dia pun menceritakan kehebatan jurus pedang serta kesempurnaan tenaga dalamnya.
Terkejut bercampur girang semua orang ketika mengetahui Cau-ji telah memperoleh Pedang pembunuh naga serta jurus pedangnya, bahkan sekali gebrakan mampu melukai lima orang sekaligus.
Malam itu tiga bersaudara keluarga Cu bersama Bwe Bu-jin bercerita penuh kehangatan dalam kamar, dalam waktu singkat mereka dapat bergaul dengan begitu akrabnya hingga menjelang fajar mereka baru naik pembaringan untuk beristirahat.
Menjelang senja, Ong Sam-kongcu mengantar para tamunya hingga keluar pintu gerbang, dia baru kembali ke dalam gedung tatkala para jago sudah lenyap dari pandangan mata.
o0o
Matahari tepat di tengah angkasa, rumah makan Jit-seng-kau sudah dipenuhi orang yang bersantap, namun di antara sekian banyak tamu, sebagian besar merupakan orang-orang daerah yang khusus datang untuk mengikuti lotere Tay-ke-lok, sambil menunggu dibukanya undian, mereka menikmati santapan siang.
Begitu tahu dari mulut Che Toa-jong kalau Su Kiau-kiau sedang dalam perjalanan menuju rumah makan Jit-seng-kau, Cau-ji segera minta seekor kuda jempolan dan segera melakukan perjalanan cepat.
Begitu masuk pintu gerbang, pelayan yang mengenali Tongcunya segera mengantarnya masuk ke dalam kamar belakang.
Baru saja Cau-ji mengambil tempat duduk, Im Jit-koh secepat kilat telah menyusup masuk, bahkan dengan ilmu menyampaikan suara berbisik, "Tongcu, sungguh kebetulan kepulanganmu, bagus sekali!"
Begitu melihat ia berbicara dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara, Cau-ji segera sadar kalau ada sesuatu yang tak beres, maka sahutnya pula dengan ilmu menyampaikan suara, "Jit-koh, setelah bertemu Siau-hong, aku segera pulang kemari, bagaimana keadaan saudaraku?"
"Ilmu silat Tongcu telah ditotok oleh Hu-kaucu bahkan dia diawasi siang malam, hanya hamba seorang yang boleh masuk ke dalam kamarnya, namun dilarang mengajak bicara!"
"Besar amat nyali Ni Ceng-hiang, hm! Berani betul menganiaya saudaraku. Jit-koh, apakah saat ini Kaucu berada di rumah makan?"
"Kaucu hanya berdiam selama tiga jam di sini, begitu mendapat tahu kalau berbagai partai besar telah menantang partai kita untuk berduel habis-habisan awal bulan depan, dia segera berangkat meninggalkan tempat ini!"
"Hehehe, tak disangka bangsat itu berani datang untuk mengantar kematian! Ah, benar, Jitkoh, tahukah kau Kaucu telah pergi kemana?"
"Entahlah, menurut dugaan hamba, setelah kematian dua ratusan jago di tangan Manusia pelumat mayat, besar kemungkinan Kaucu sedang mencari bala bantuan."
Diam-diam Cau-ji tertawa dingin, tapi di luar tanyanya lagi, "Jit-koh, apakah saat ini kakakku berada di dalam kamar?"
"Benar."
"Bagus, Lohu akan langsung mencari Hu-kaucu untuk menanyakan masalah ini, kau berlagaklah seakan tidak mengetahui kejadian ini."
"Baik Tongcu, kau harus berhati-hati, hamba segera akan pergi mengontrol lapangan pacuan kuda!"
"Baiklah!"
Sepeninggal Im Jit-koh, Cau-ji mengatur napas, sesaat kemudian baru berjalan menuju ke kamar Bwe Si-jin dan mengetuk pintu tiga kali.
Begitu kamar dibuka, terlihat Bwe Si-jin berdiri di depan pintu.
Betapa terkejut dan girangnya lelaki ini setelah melihat kemunculan Cau-ji, untuk beberapa saat dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Lotoa, apakah Hu-kaucu ada di sini?" sengaja berat nada suara tanya Cau-ji.
Belum sempat Bwe Si-jin menjawab, terdengar Ni Ceng-hiang berseru, "Hek tua, ada urusan apa kau mencari aku?"
Seusai mengunci pintu kamar, Cau-ji segera mengawasi sekejap Ni Ceng-hiang yang masih berbaring di atas ranjang, tegurnya berat, "Hu-kaucu, dosa kesalahan apa yang telah dilanggar saudaraku?"
"Hahaha, Hek tua, siapa yang memberitahu kejadian ini kepadamu?" tanya Ni Ceng-hiang sambil tertawa terkekeh.
"Hu-kaucu, kau tak usah tahu. Aku ingin kau jawab, kenapa ilmu silat saudaraku kau kendalikan?"
Ni Ceng-hiang tidak menjawab, dia hanya tertawa terkekeh.
Bwe Si-jin sendiri telah menyingkir ke samping, menuang secawan teh dan duduk sambil termenung.
Cau-ji segera menghimpun tenaga dalamnya sambil bersiap sedia.
Sesaat kemudian Ni Ceng-hiang baru berhenti tertawa, sambil menarik wajah, bentaknya, "Orang she Hek, besar amat nyalimu, berani amat kau bersikap kurang-ajar kepadaku."
"Memangnya ada yang perlu kuhormati terhadap dirimu?" Cau-ji balas bertanya.
"Kau ... kau benar-benar sudah tak ingin hidup?"
"Hehehe, siapa yang bakal mampus pun belum tahu, buat apa kau bersikap begitu galak?"
"Hehehe, orang she Hek, jangan lupa di saat racunmu mulai kambuh, kau masih butuh obat penawar dariku."
Begitu mendengar perkataan itu, Cau-ji segera tahu kalau Hek Hau-wan pun telah diracuni pihak Jit-seng-kau, maka segera serunya dengan suara menyeramkan,
"Perempuan sundal, hari ini juga Lohu akan membinasakan dirimu!"
Dengan geram Ni Ceng-hiang bangkit, bentaknya, "Orang she Hek, besar amat nyalimu!"
Cau-ji sama sekali tak acuh, kembali ejeknya,
"Keadaan yang memojokkan Lohu, jadi jangan salahkan bila aku bersikap kasar, kecuali kau bersedia membebaskan saudaraku!"
"Hehehe, orang she Hek, kenapa tidak kau pertimbangkan dulu kemampuan yang kau miliki, berani betul main ancam. Baik! Asal kau bisa menundukkan aku, pasti akan kukabulkan keinginanmu itu!"
"Apa yang harus kuperbuat untuk bisa membuat kau takluk?"
"Hehehe, lebih baik kita coba dulu kehebatan silat masing-masing!"
Habis berkata, dia pun berdiri sambil menggendong tangan.
"Ayo, turun tangan!" seru Cau-ji.
"Hehehe, kau tak lebih hanya panglima perang yang pernah keok di tanganku, kalau memang pemberani, lancarkan saja seranganmu!"
Cau-ji tertawa seram, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya segera ditegakkan bagaikan pedang, dengan jurus Pedang pembunuh naga ia ciptakan selapis jaring hawa yang makin lama berkembang makin melebar.
Ni Ceng-hiang mendengus dingin, sepasang tangannya melancarkan pukulan berulang kali, segulung tenaga dingin seketika meluncur ke depan.
Tapi begitu tenaga bacokannya menyentuh di atas jaring hawa mumi tadi, tenaga serangannya hilang lenyap seketika, sementara jaring tenaga justru makin berkembang dan akhirnya menghimpit jalan darah penting di depan dadanya.
Bagaimana pun dia mencoba menghindarkan diri atau melawan, ternyata gagal juga meloloskan diri.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghampiri Bwe Si-jin, lalu menggunakan tubuhnya sebagai tameng.
Cau-ji sama sekati tak menyangka kalau perempuan itu bakal berbuat serendah ini, sodokan jarinya langsung dihantamkan ke atas meja yang terbuat dari batu kali hingga hancur jadi abu.
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mengalami sedemikian majunya, untuk sesaat ia jadi tertegun dibuatnya.
"Manusia pelumat mayat!" jerit Ni Ceng-hiang kaget.
Cau-ji tertawa terkekeh, sembari melepaskan penyaruannya dia mengejek, "Mau takluk tidak?" Begitu melihat kegantengan wajah Cau-ji, napsu birahi Ni Ceng-hiang langsung saja berkobar, timbul niat jahatnya untuk menghisap tenaga dalam lawan dengan ilmu Im-kang miliknya.
Karena itu dia tertawa terkekeh tiada hentinya.
Dengan perasaan cemas, buru-buru Bwe Si-jin berseru, "Cau-ji, jangan pedulikan aku, cepat bunuh dia!"
Sambil tertawa Cau-ji menggeleng, katanya, "Toasiok, Cau-ji tak tega menghancurkan seorang wanita cantik bak bunga yang sedang mekar, bak arak yang memabukkan dan bak parfum wanginya
"Hahaha, saudara cilik, tak nyana kau begitu menyayangi kaum wanita, bagaimana kalau kita berunding?" ujar Ni Ceng-hiang sambil tertawa jalang.
"Hahaha, katakan saja."
"Saudara cilik, temani Cici bermain satu babak, asal kau bisa membuat Cici merasakan kenikmatan, biar harus mati pun Cici akan menuruti semua perintahmu, bagaimana?"
"Hahaha, bagus, kita pegang janji ini!"
Bwe Si-jin tahu kalau Cau-ji dilindungi Kui-goan-sinkang yang secara kebetulan merupakan ilmu tandingan im-kang milik perempuan itu, diam-diam ia kegirangan. Tapi dalam penampilan dia berlagak cemas, jeritnya, "Anak cau, jangan kau kabulkan permintaannya!"
Ni Ceng-hiang tertawa jalang, dia segera menotok jalan darah kakunya, kemudian berkata,
"Engkoh Jin, kau tak usah makan cuka! Siaumoay hanya akan melayaninya satu babak!"
Habis berkata dia pun meletakkan tubuh Bwe Si-jin ke atas bangku.
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, dia mulai melepas seluruh pakaian yang dikenakan.
Tatkala Ni Ceng-hiang melihat Pedang pembunuh naga itu, sinar matanya segera berkilat, tapi hanya sejenak kemudian sudah lenyap kembali, diiringi tertawa jalang, dengan cepat dia melepaskan juga seluruh pakaian yang dikenakan.
Setelah melirik sekejap ke arah tombak milik Cau-ji yang sudah berdiri kaku, kembali perempuan itu berseru sambil tertawa terkekeh, "Wah, barang langka! Semoga saja ilmu ranjangmu tidak lebih lemah daripada ilmu silatmu!"
Habis berkata dia langsung berbaring di atas ranjang sambil membuka sepasang pahanya lebar-lebar.
"Hahaha, tanggung kau pasti akan puas!" jawab Cau-ji sambil tertawa tergelak.
Habis berkata dia pun naik ke atas ranjang dan menindih di atas badannya.
"Serangan yang hebat!" teriak Ni Ceng-hiang sambil menggoyang pinggulnya keras-keras.
Bwe Si-jin kuatir Cau-ji kelewat memandang enteng musuhnya, cepat dia berseru lagi, "Cau-ji, dia bernama Ni Ceng-hiang, bisa mencapai puncak sepuluh kali lebih, kau mesti melayaninya dengan baik!"
"Hahaha, Toasiok, jangan kuatir, Cau-ji pasti akan membuatnya keenakan!"
Sambil berkata dia pun mulai mengembangkan serangan dengan gencar.
Ni Ceng-hiang merasakan tusukan pemuda itu penuh dengan tenaga hidup, setiap tusukan dan cabutannya cepat, kuat dan mantap, sadar kalau lawannya merupakan jagoan berpengalaman, diapun segera menghimpun tenaga untuk melayani pertarungan dengan penuh tenaga.
"Plookkkk ... plook" di antara suara aneh yang bergema, waktu berjalan sangat cepat.
"Criiippp ... crreeet" makin kencang gesekan yang terjadi, makin keras desahan perempuan itu.
Entah berapa kali sudah dia mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin mencoba memeriksa waktu, dia tahu kedua orang itu sudah bertempur hampir dua jam lebih, selain menguatirkan kehebatan ilmu im-kang Ni Ceng-hiang, dia pun merasa kagum pada ketangguhan anak muda itu.
Mendadak terdengar Cau-ji tertawa nyaring, sepasang tangannya bergerak cepat mengangkat tinggi kedua pahanya, kemudian melancarkan tusukan berantai.
Di tengah tusukan yang semakin gencar, dia sertakan juga gesekan keras di dasar liang perempuan itu, gesekan demi gesekan yang kencang membuat Ni Ceng-hiang menjerit makin keras, akhirnya teriihat tubuhnya gemetar keras, cairan pun mulai meleleh keluar membasahi permukaan ranjang.
Tergopoh-gopoh perempuan itu menarik napas membiarkan dasar liangnya melengkung lebih ke dalam, dia mencoba menghindarkan diri dari serangan frontal.
Cau-ji sama sekali tak ambil peduli jurus kembangan macam apa yang akan dia gunakan, bagi pemuda ini, dia hanya tahu menggempur! Gempur! Dan gempur terus! Prinsipnya dia menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi untuk melakukan tusukan itu.
Sekilas pandang orang akan mengira sepasang laki-perempuan itu sedang melakukan adegan syuur yang membetot sukma, padahal kenyataan permainan itu dipenuhi hawa napsu membunuh yang luar biasa, sedikit saja kurang berhati-hati, bisa jadi ada ancaman jiwa raga.
Dengan tegang Bwe Si-jin mengawasi pertempuran yang sedang berlangsung antara kedua orang itu.
Kaum sesat musnah, dunia aman