Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Ternyata memang tak salah, malam itu ketika Bwe Si-jin sedang menemani Ni Ceng-hiang minum arak, Im Jit-koh masuk ke dalam ruangan dan berkata dengan hormat, "Lapor Hu-kaucu, orang-orang itu sudah berangkat!"

Dengan bangga Ni Ceng-hiang mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Menggunakan kesempatan itu Bwe Si-jin segera mengedipkan mata berulang kali ke arah Im Jit-koh.

Tertegun juga Im Jit-koh melihat hal itu, bukankah mereka berdua berbicara dengan riang gembira, mengapa Bwe Si-jin memberi tanda kepadanya?

"Jit-koh, mari duduklah kemari dan minum beberapa cawan dulu," buru-buru Bwe Si-jin berkata lagi sambil tertawa.
"Tidak usah, hamba masih ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan," jawab Im Jit-koh cepat.

Seusai berkata dia segera memberi hormat dan cepat berlalu dari situ.
"Engkoh Jin," ujar Ni Ceng-hiang kemudian sambil berhenti tertawa, "tunggulah kabar baik bagaimana biara Siau-lim musnah dari muka bumi."

Walaupun dalam hati merasa terperanjat, namun dalam penampilan dia tetap tertawa, sahutnya sambil mengangkat cawan, "Semoga saja begitu!"
Habis berkata, ia pun meneguk habis isi cawannya.
Ni Ceng-hiang ikut meneguk habis isi cawannya, kemudian tertawa lagi.

0oo0

Siapa tahu, tengah hari ketiga, masuk kabar yang memberitahukan bahwa Manusia pelumat mayat telah beraksi kembali di depan rumah makan Ui-hok-lau.
Mendapat laporan itu, cepat Ni Ceng-hiang meninggalkan ruangan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh.

Selang beberapa saat kemudian tampak Im Jit-koh menyelinap masuk ke dalam kamar dan bertanya dengan lirih, "Tongcu, apa yang telah terjadi?"

"Jit-koh," sahut Bwe Si-jin cepat, "cepat utus Siau-hong untuk mencari adikku, Kaucu telah menaruh curiga kepada kita, kini ilmu silat Lohu sudah ditotok olehnya, jadi kau sendiri pun harus lebih berhati-hati!"
"Benarkah itu?" tanya Im Jit-koh dengan wajah berubah.
Bwe Si-jin manggut-manggut.
"Tak bakal salah! Lebih baik cepatlah suruh Siau-hong mencari seorang Kongcu yang menggunakan nama Yu Si-bun atau Ong Bu-cau!"
"Baik! Aku segera laksanakan!"

Bercerita sampai di sini, kembali Siau-hong menambahkan, "Ni-hukaucu segera mengutus jago-jago lihai partainya datang kemari setelah mendapat kabar kalau Cicinya tewas di tangan Kongcu, dengan menyelinap di antara merekalah budak berhasil tiba di tempat ini!"
Cau-ji termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ujarnya, "Siau-hong, terima kasih banyak atas laporanmu, selama ini pasti sudah menyusahkan dirimu!"

"Kongcu, ah salah, Tongcu," ujar Siau-hong dengan hormat, "semua ini merupakan tugas budak, lagi pula kau telah membantu Siaumoay melepaskan iblis keji (Ciangkwe Jit-seng-ciu-lau) itu!"
"Siau-hong, siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu?" tanya Cau-ji keheranan.

”Tongcu, budaklah yang mengetahui sendiri rahasia ini, karena waktu itu kebetulan budak sedang mencari iblis itu."

Habis berkata dia segera menjatuhkan diri berlutut.
Cepat Cau-ji membangunkannya dan berkata, "Siau-hong, aku tahu nasib dan pengalamanmu sangat tragis, itulah sebabnya kubantai bajingan itu, masalah ini tak perlu kau pikirkan."

Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya pula kepada dua bersaudara Suto, "Cici, Bwetoasiok menjumpai masalah besar, bagaimana cara kita menolongnya?"

Dengan penuh keyakinan sahut Suto Si, "Adik Cau, menurut apa yang dituturkan Siau-hong tadi, tampaknya Ni Ceng-hiang tidak berniat mencelakai jiwa Bwe-toasiok, jadi kita pun tak usah kelewat tegang dan panik!”

"Saat ini kekuatan Jit-seng-kau sedang berada dalam puncaknya, bila kita harus bertarung sendiri, rasanya sulit untuk menghadapi mereka, jadi ada baiknya kita himpun dulu kekuatan dari berbagai partai besar, baru serentak kita serbu markas Jit-seng-kau dan membantainya hingga punah!"

"Adik Cau," ujar Suto Bun pula, "bila perlu, kita bisa bergabung dengan Cu bersaudara ...."
"Jangan, kita tak boleh berbuat begitu," tukas Cau-ji sambil menggeleng, "Siaute putuskan akan membekuk raja penyamun sebelum menghabisi kaum bandit, asalkan Su Kiau-kiau berhasil kita bantai, maka antek-anteknya akan lebih mudah dihabisi.”

"Mengenai menjalin kontak dengan partai-partai besar, aku rasa biarlah pihak Siau-lim yang menyelesaikan urusan ini, dengan menyelinap ke dalam tubuh perkumpulan Jit-seng-kau, bukan saja setiap saat Siaute dapat mengawasi gerak-gerik mereka, bila ada kesempatan akan kubekuk Su Kiau-kiau."

"Apa? Adik cau, kau ingin menyusup ke dalam perkumpulan Jit-seng-kau?" jerit Suto bersaudara kaget.
"Benar! Kalau tidak memasuki sarang harimau, dari mana bisa mendapatkan anak macan? Lagi pula Siaute menyusup ke dalam perkumpulan mereka dengan meminjam identitas keluarga Hek, ditambah lagi kepandaian yang kumiliki, rasanya tidak menjadi masalah untuk menjaga keselamatan sendiri!"

Suto bersaudara tahu apa yang telah diputuskan sulit untuk diubah lagi, karena itu mereka pun membungkam dan tidak bicara lagi.

Sambil tersenyum kata Cau-ji lagi, "Cici, untuk sementara waktu lebih baik kalian berdiam di sini saja sambil membantu enci Ing, waktu para jago dari berbagai partai besar telah berkumpul, saat itulah kita akan berkumpul kembali. Nah, sekarang biar Siaute menjumpai saudara Siang sekalian lebih dahulu."

Habis berkata, cepat dia tinggalkan ruangan itu.
Sepeninggal anak muda itu, dua bersaudara Suto saling pandang sekejap, tiba-tiba air mata jatuh berlinang.
Melihat itu, dengan keheranan Siau-hong bertanya, "Cici, mengapa kalian bersedih?"

Setelah menyeka air mata, perlahan-lahan Suto Si menceritakan asal-usul Cau-ji serta kejadian mengenaskan yang pernah mereka berdua alami.

Dalam pada itu Cau-ji telah memasuki ruang tengah, di sana ia jumpai para jago sedang berbincang sambil tertawa, maka sembari tersenyum, sapanya, "Engkoh Liong, apakah semua urusan telah beres?"

"Benar! Adik Cau, silakan duduk," jawab Siang Ci-liong sambil tersenyum.
"Terima kasih!"
Menunggu setelah Cau-ji mengambil tempat duduk, Siang Ci-liong baru berkata lagi sambil tertawa, "Ti-hu Tayjin merasa amat gusar dengan tingkah-laku dan sepak terjang Jit-seng-kau yang begitu berani, saat ini beliau telah mengutus orang untuk melaporkan kejadian ini ke kota
raja.

"Asalkan pihak kerajaan bersedia tampil ke depan, ditambah lagi kerja sama dari berbagai partai besar, aku yakin Jit-seng-kau tak akan bisa menancapkan kaki lagi di dunia persilatan!"

Cau-ji segera menggeleng kepala, ujarnya, "Engkoh Liong, sejak zaman kuno hingga kini, umat persilatan tak pernah berhubungan dengan pihak kerajaan, aku rasa lebih baik persoalan semacam ini kita selesaikan sendiri saja!"

"Kongcu," ujar Cu Bi-ih serius, "demi melenyapkan lotere Tay-ke-lok yang sudah mewabah ke seantero negeri, pihak kerajaan pernah bekerja-sama dengan umat persilatan untuk menumpasnya, kenapa kita mesti bersikukuh dengan segala peraturan?"

"Nona," sahut Cau-ji sambil tertawa, "Cayhe tak lebih hanya seorang bocah kemarin sore yang tak punya nama, biarlah persoalan besar semacam ini diputuskan pihak partai besar saja, sementara Cayhe tak lebih hanya mengemukakan pendapat pribadi!"

Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya kepada Siang Ci-liong, "Engkoh Liong, apa rencanamu pribadi untuk masa depan?"
"Jit-seng-kau sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, cara mereka bertindak pun kelewat buas dan keji, aku sudah bertekad untuk sementara waktu menghentikan semua usaha perdaganganku, selama Jit-seng-kau belum dimusnahkan, Liong-ing-hong pun tak akan membuka usaha kembali!"

Jawaban Siang Ci-liong ini disampaikan secara tegas dan bersungguh-sungguh.
"Luar biasa!" puji Cau-ji dengan rasa hormat, "nah, begitulah baru pantas jadi engkoh Liong!"
"Adik Cau, kau sendiri ada rencana apa?" tiba-tiba Siang Ci-liong balik bertanya.
"Engkoh Liong, Siaute bertekad akan menyusup ke dalam perkumpulan Jit-seng-kau, aku ingin mencari kesempatan untuk membunuh Su Kiau-kiau!"

Begitu mendengar jawaban itu, seketika itu juga Cu bersaudara serta Siang Ci-ing berubah hebat paras mukanya.
Dengan perasaan cemas seru Siang Ci-liong, "Adik Cau, Jit-seng-kau mempunyai begitu banyak jago tangguh, apa tidak terialu berbahaya dengan memasuki sarang macan seorang diri? Apalagi kami masih membutuhkan bantuanmu dalam masalah menyatukan seluruh partai besar!"

Cau-ji segera berdiri, sahutnya sambil tertawa nyaring, "Hahaha, kalau tidak memasuki sarang harimau, bagaimana mungkin bisa memperoleh anak macan? Siaute akan menggunakan identitas Hek Hau-wan, seorang yang mempunyai kedudukan sebagai seorang Tongcu untuk menyusup ke dalam Jit-seng-kau, lagi pula aku yakin kungfu yang kumiliki masih lebih dari cukup untuk melindungi diri."

"Mengenai urusan menyatukan partai besar, aku rasa lebih baik kau saja yang minta bantuan pihak Siau-lim untuk menyelesaikan urusan ini, lagi pula kedua orang Suto Cici juga tetap tinggal di sini sambil mengadakan kontak dengan Siaute."

Tanpa terasa semua orang dibuat kagum oleh keberanian anak muda ini.
"Betul-betul bernyali!" puji Leng Bang cepat, "coba kalau semua orang mempunyai nyali sebesar dirimu, kita tak usah takut lagi menghadapi Jit-seng-kau!"
"Tidak berani!" ujar Cau-ji sambil berdiri, "Wanpwe masih ada urusan yang harus dirundingkan dulu dengan dua bersaudara Suto, maaf kalau harus mohon diri terlebih dahulu, enci Ing, harap ikut Siaute!"

Selesai berkata dia segera menjura kepada semua orang.
Siang Ci-ing sendiri meski rada malu karena ditunjuk langsung oleh Cau-ji di depan umum, namun rasa malu itu nyaris lenyap oleh perasaan girang yang luar biasa, dengan kepala tertunduk dia segera me-ngintil di belakang anak muda itu.

Sebaliknya tiga bersaudara Cu dengan wajah murung segera menundukkan kepala tanpa bicara.
Leng Bang maupun Chin Tong adalah orang-orang kawakan, tentu saja mereka tahu kalau Cu bersaudara merasa sedih karena tidak diperhatikan Cau-ji, untuk sesaat mereka pun tak tahu apa yang harus dilakukan.

Beberapa saat kemudian terdengar Cu Bi-ih berkata dengan nada tenang, "Siang-kongcu, Siaumoay mohon diri lebih dulu!"
Agaknya Siang Ci-liong merasa sedikit di luar dugaan, tanyanya cepat, "Nona, bukankah tadi kau sudan bersedia makan di sini? Kenapa secara tiba-tiba berubah pikiran?"

"Siang-kongcu," sahut Cu Bi-ih tersenyum, "Siaumoay kuatir gedung kami pun mendapat serangan, jadi ingin pulang untuk menengok keadaan."
"Ah ... betul, kenapa aku tak berpikir ke situ? Bagaimana kalau kutemani kalian?"
Cu Bi-ih menggeleng.

"Masih banyak urusan yang harus diselesaikan di tempat ini! Tak berani aku mengusik Kongcu, maaf Siaumoay mohon diri lebih dulu!"
Seusai berkata dia langsung beranjak pergi dari sana.

Terbentur paku, terpaksa Siang Ci-liong mengantar tamunya sampai di depan pintu gerbang.
Sepeninggal tiga bersaudara Cu dan rombongan, ia hanya bisa mengawasi noda darah dan hancuran daging yang berserakan di halaman rumahnya sambil menggeleng kepala berulang kali.

Dia tidak menyangka Liong-ing-hong bakal tertimpa bencana tragis semacam ini.

Ong Sam-kongcu bergelar bangsawan.
 
Ong Sam-kongcu bergelar bangsawan.

Dalam pada itu Cau-ji bersama Siang Ci-ing sembari berbincang berjalan menuju ke dalam kamar, baru saja membuka pintu kamar, ia sudah mendengar suara dua orang yang sedang mandi sambil tertawa cekikikan.

Belum sempat mereka buka suara, segera terdengarlah suara Suto Si berseru merdu, "Adik Cau, ayo cepat ikut mandi!"

Mendengar itu merah padam wajah Siang Ci-ing, cepat dia mengunci pintu kamar.
Ketika masuk ke dalam kamar mandi, ia saksikan di tengah uap panas yang memenuhi ruangan, tampak tiga sosok tubuh bugil sedang berjalan menghampirinya, kontan napsu birahinya menggelora.

Ketika ketiga nona itu menyaksikan Siang Ci-ing ikut berada dalam ruangan, kontan mereka jadi jengah.
Sambil tertawa tergelak Cau-ji pun berseru, "Bagus, bagus sekali, Siaute memang merasa badan serasa lengket semua, paling enak memang mandi!"

Sembari berkata dia pun mulai melucuti pakaian sendiri.
Agak tersipu-sipu Siau-hong segera maju menghampiri dan membantunya melepaskan pakaian. Sementara itu Suto Bun telah menghampiri Siang Ci-ing dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

Tak lama kemudian Siang Ci-ing telah membalikkan badan, lalu dengan kepala tertunduk mulai melepaskan semua pakaian yang dikenakan.
Cau-ji malas ikut mengurus bisikan apa yang mereka katakan, sambil meletakkan tangannya di punggung Siau-hong, katanya sambil tertawa, "Siau-hong, kau amat cantik!"

Sembari berkata, diawasinya wajah gadis itu lekat-lekat.
Kontan Siau-hong merasakan jantungnya berdebar keras, dengan tangan gemetar, sahutnya, "Kongcu, terima kasih atas pujianmu, budak tak lebih hanya seorang perempuan kotor yang sudah sering dinodai orang, bagaimana bisa dibandingkan dengan beberapa nona itu?"

Tiba-tiba Cau-ji maju memelukkan, kemudian dengan mesra dan hangat diciumnya nona itu, sementara sepasang tangannya mulai jahil dan menggerayangi seluruh bagian tubuhnya yang paling terlarang.

Ciuman dan gerayangan ini kontan membuat tubuh Siau-hong terasa lemas tak bertenaga, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.

Beberapa saat kemudian Cau-ji baru mengendorkan pelukannya sambil berkata dengan wajah sungguh-sungguh, "Enci Hong, dalam pandangan Siaute, kau tak jauh berbeda seperti enci Ing, enci Si serta enci Bun!"
"Kongcu.." saking terharunya Siau-hong mendesis.
"Eeei, enci Hong, kenapa kau tidak mengganti panggilan terhadapku?" tukas Cau-ji cepat.
"Kongcu ... ah bukan ... adik ... adik Cau, aku ...."

Belum selesai berkata, dia sudah menangis tersedu-sedu.
Dengan penuh rasa sayang, sekali lagi Cau-ji memeluk tubuhnya dan berkata lembut, "Enci Hong, kegelapan sudah lewat, mulai sekarang kau hanya ada kegembiraan, tak ada air mata, mengerti?"

"Terima kasih adik Cau!" buru-buru Siau-hong membesut air matanya.
Siapa tahu makin diseka, air mata makin deras meleleh, tentu saja air mata itu air mata terharu.

Dengan penuh kasih sayang Cau-ji menjilat air mata nona itu, menjilat sambil meraba bagian sensitif nona itu.

Girang bercampur malu buru-buru Siau Hong menyeka air matanya sambil melepaskan diri dari pelukan.
Dalam pada itu Suto Si telah selesai melucuti semua pakaian yang dikenakan Cau-ji, katanya lembut, "Adik Cau, kau memang luar biasa, membuat perasaan orang jadi tenteram dan bahagia, kau memang Pousat penebar kenikmatan!"

"Omitohud, ucapan Li-sicu kelewat serius, mana berani Siauceng jadi Pousat, mungkin lebih tepat kalau hidup dalam neraka yang penuh kenikmatan duniawi".
Kontan para nona tertawa cekikikan.

Sambil tertawa para nona pun mulai berebut menyabuni seluruh badan Cau-ji, kemudian menggosoknya dengan handuk basah.

Berhadapan dengan empat nona telanjang bulat, kontan napsu birahi Cau-ji bangkit, tanpa sadar tombaknya mulai berdiri tegak, serunya, "Hei nona-nona cantik, apakah kalian sudah membersihkan sayur hijau milik kalian?"

"Tidak bisa begitu," seru Suto Bun cepat, "tubuhmu masih kotor oleh darah dan hancuran daging, harus dicuci dulu sampai bersih, kalau tidak, bagaimana mungkin bau anyir darah bias hilang?"

Mendadak Cau-ji menyambar tubuh gadis itu, memeluknya kemudian tubuh bagian bawahnya menohok ke depan kuat-kuat.
"Cluppp ...!", tak ampun tombaknya langsung menembus gua nirwana, sambil memeluk badannya kuat-kuat dia pun mulai menusuknya berulang kali.

Suto Bun malu bercampur kegirangan, teriaknya, "Adik Cau, mana boleh kau main serobot?" "Kenapa tak boleh?" sahut Cau-ji sambil memperkuat tusukannya, "peraturan negara nomor berapa yang melarang aku berbuat begini? Enci Si, kalian mandi dulu sampai bersih!"

Sambil berkata dia menusukkan tombaknya semakin gencar dan kuat.
Menghadapi gempuran daging lawan daging semacam ini, Suto Bun seketika merasakan dasar lubangnya jadi linu, geli dan nikmatnya luar biasa, apalagi setiap kali ujung tombak menghentak dasar lubangnya, seluruh tubuhnya gemetar keras.

Mimpi pun ketiga nona lainnya tak menyangka kalau Cau-ji dapat merancang permainan semacam ini, sembari menggosok tubuhnya, mereka menonton jalannya pertempuran itu.

Suto Bun yang ditonton jadi malu setengah mati, protesnya, "Cici, kalian mandilah dulu, tolong jangan menonton saja
"Tidak bisa!" sela Cau-ji cepat, "seluruh badan Siaute kotor oleh darah dan daging, harus dibersihkan lebih dulu, kalau tidak, mana mungkin bau amisnya darah bisa hilang?"

Suto Bun yang sudah ditusuk berulang kali oleh bocah muda itu segera berusaha meronta untuk berdiri.
Tapi dengan cepat Cau-ji menariknya, lalu mulai menghisap puting susu sebelah kirinya. "Aduh ... aduh ... adik Cau ... jangan begitu.."
"Kalau kau bersikap lebih alim, Siaute pun akan lebih alim lagi!" kata Cau-ji sambil melepaskan hisapannya dan tertawa.

Merah padam wajah Suto Bun saking malunya, dia pejamkan mata dan tak berani banyak bicara lagi.
Terdengar Suto Si berkata sambil tertawa, "Adik Cau, istirahatlah sejenak! Kalau ingin main lagi, tunggu sajalah setelah mencuci bersih badanmu!"

Setelah usil beberapa saat, Cau-ji sendiri pun merasakan tubuhnya jauh lebih nyaman dan segar, maka sambil melepaskan pelukannya pada tubuh Suto Bun, ujarnya sambil tertawa, "Enci Bun, maaf!"

Merah padam wajah Suto Bun lantaran jengah, cepat dia beranjak pergi untuk membersihkan badan.
Ketiga gadis itu segera turun tangan membersihkan tubuh Cau-ji dan menyisir rambutnya.
Selesai mandi, kembali Cau-ji melirik sekejap Suto Bun yang masih berdiri di samping dengan malu-malu, mendadak dia sambar lagi tubuh gadis itu lalu membopongnya naik ke atas pembaringan.

Terdengar Suto Bun berseru tertahan, dengan wajah jengah cepat dia memejamkan matanya.
Setelah berada di atas ranjang, Cau-ji langsung menindih tubuh gadis itu dan siap menusukkan tombaknya, cepat Suto Bun berbisik, "Adik Cau, biar Cici duluan, hari ini kau bakal amat sibuk!"

Selesai bicara dia pun membalikkan badannya dan naik ke atas badan pemuda itu, setelah mengincar tepat sasarannya, dia tekan lubangnya persis di ujung tombak lawan.
Kontan tombak panjang itu tertelan bulat-bulat, maka setelah mengambil posisi duduk, dia pun mulai bergoyang ke atas dan ke bawah secara beraturan.

Cau-ji mencoba setengah bangkit, tangannya mulai meremas payudara sang nona, sedang mulutnya menghisap puting susu yang lain, hal ini membuat Suto Bun gemetaran saking nikmatnya.
"Adik Cau," teriaknya lirih, "jangan ... jangan begitu ... Cici takut geli... ah ... aduh.."
Terendus bau harum semerbak, ternyata Suto Si telah duduk di samping pembaringan dengan senyum di kulum, katanya lembut, "Adik Cau, jangan permainkan adik Bun!"


Seraya berkata dia tekan kembali tubuh Cau-ji hingga berbaring di atas pembaringan.
Sambil tertawa Cau-ji segera berseru, "Enci Ing, kemarilah, kau bertugas menghisap putting susunya, sedang enci Hong, kau menjilati punggung!"
"Jangan ... jangan begitu" teriak Suto Bun cemas, "kalau begitu caranya, aku bisa mati kegelian!"
"Kalau ingin mati, marilah kita mati bersama!" tukas Cau-ji sambil tergelak.

Begitu selesai berkata dia langsung memeluk tubuh Suto Si dan mulai menciuminya dengan penuh gairah, sementara tangan kanannya mulai jahil dan menggerayangi seluruh tubuhnya.
Sambil tertawa Siang Ci-ing menurut seperti apa yang diperintahkan, dia mulai menghisap dan menggigit puting susu Suto Bun.

Sementara Siau Hong pun mulai menjilati punggungnya.
Menghadapi serangan gencar dari tiga penjuru, Suto Bun merasakan sekujur badannya linu, kaku dan geli, pelbagai perasaan bercampur aduk, lama-kelamaan dia tak tahan hingga mulai mendesis dan merintih, goyangan tubuhnya pun semakin kencang dan cepat.

Dengusan napas makin kencang ... rintihan makin keras ....
Tak sampai setengah jam kemudian Suto Bun hanya bisa mengertak gigi sambil gemetaran tiada hentinya.
Tapi dia pantang menyerah, tubuhnya masih bergoyang terus mati-matian....
Apa daya, pertahanan sekokoh apa pun, serangan musuh jauh lebih hebat, terdengar dia mendesah lirih dan tak kuasa menahan diri lagi.

Seketika itu juga Cau-ji merasakan liang surganya gemetar sangat kuat, dia segera tahu kalau gadis itu sudah mencapai puncaknya, maka sambil tertawa serunya, "Enci Ing, sekarang giliranmu!"
"Biar adik Si duluan!" sahut Siang Ci-ing malu-malu.
Suto Si mencoba melirik sekejap tempat yang diduduki gadis itu, melihat seprei sudah basah kuyup, maka katanya sambil tersenyum, "Enci Ing, kita semua adalah saudara sendiri, tidak masalah siapa duluan."

Habis berkata, dia pun membopong tubuh Suto Bun dan dibaringkan di samping.
Dengan wajah tersipu malu Siang Ci-ing pun merangkak naik ke atas tubuh Cau-ji.
Siau Hong yang berada di sampingnya segera membantu pemuda itu dengan mengarahkan tombaknya persis ke arah lubang kecil milik Siang Ci-ing, kemudian seninya sambil tertawa, "Sudah pas sekarang, nah bisa dimulai!"

Dengan wajah tersipu-sipu malu Siang Ci-ing pun perlahan-lahan menekan tubuhnya ke bawah. Seketika itu juga Cau-ji merasakan mulut guanya begitu kencang menghimpit tombaknya, satu perasaan nikmat yang tak terkirakan pun seketika menyusup ke dalam hatinya.
"Enci Hong," ujarnya kemudian sambil tertawa, "kau hisap teteknya dan enci Si, kau jilati punggungnya!"
"Aku ... mungkin aku bisa tak tahan" buru-buru Siang Ci-ing berseru dengan wajah memerah. "Tak usah kuatir, bukankah enci Bun pun tidak masalah?" sahut Cau-ji sambil tertawa, "coba lihat, dia malah keenakan setengah mati!"


Waktu itu Suto Bun dengan mata terpejam dan senyum di kulum sedang membayangkan kembali masa puncak yang baru dialaminya, ketika mendengar perkataan Cau-ji itu, segera ujarnya sambil tertawa, "Enci Ing, nikmati saja permainan gila itu satu kali, wah ... selain tegang, terasa nikmatnya luar biasa."

Cau-ji tertawa terbahak-bahak, sambil menekan badannya lebih keras, serunya, "Ayo, kita mulai!"
Siang Ci-ing segera merasakan liang surganya jadi linu dan gatal, tak tahan ia berseru tertahan dan betul saja badannya mulai bergoyang.
Dari caranya bergoyang, Suto Si tahu gadis itu masih awam terhadap permainan semacam ini, maka dia pun mulai memegangi pinggangnya dan mengajarnya bagaimana menggoyangkan pinggulnya ke depan, belakang, kiri dan kanan, lalu membantunya pula melakukan gerakan melingkar dan memutar.

Dasarnya Siang Ci-ing memang seorang gadis pintar, begitu diberi petunjuk, sesaat kemudian ia sudah dapat melakukan gerakan itu sendiri.
Menyaksikan hal ini, Suto Si pun menjadi lega, dia mulai menjilati punggungnya.

Siang Ci-ing merasakan seluruh jalan darah di punggungnya terjilat secara merata, hal itu mendatangkan perasaan lega luar biasa.
Tanpa disadari gerakan pinggulnya jadi semakin cepat.
Waktu itu Siau-hong sedang duduk di tepi pembaringan sambil menghisap puting susu Siang Ci-ing, Cau-ji yang menyaksikan hal itu kontan merangkul pinggangnya dan menariknya ke atas dada sendiri.

Dengan tangan kanan dia mulai menggerayangi sekeliling mulut gua, sedangkan tangan kirinya meremas sepasang payudaranya, hal ini membuat gadis itu menggeliat tiada hentinya.
Cau-ji merasakan tombak miliknya dijepit begitu kencang oleh liang milik Siang Ci-ing, bukan saja terjepit kencang, bahkan terasa seperti dihisap kuat-kuat, semua ini membuat tusukannya semakin menggila.

Tapi liang kecil itu memang kelewat sempit, semakin dia bergerak cepat, jepitan liang itu semakin mengencang, betul-betul suatu kenikmatan yang tak terbayangkan.

Tak kuasa lagi dia masukkan jari kelingkingnya ke dalam liang surga milik Siau-hong. Begitu liang kecilnya tersentuh jari tangan Cau-ji, sebagaimana kebiasaan Siau-hong, segera merasakan ketegangan yang luar biasa, secara otomatis liang miliknya ikut menyusut kencang.

Melihat itu buru-buru Cau-ji memindahkan jari tangannya ke tempat lain.
Suto Bun yang menyaksikan hal ini segera bangun duduk, dengan lembut dibelainya tubuh Siau-hong, sementara dengan bibirnya yang kecil dia hisap sekujur badannya.

Kini Cau-ji tak berani menyentuh Siau-hong lagi, maka konsentrasinya pun dipusatkan untuk mengimbangi goyangan pinggul Siang Ci-ing.

Beberapa saat kemudian, Siang Ci-ing merasakan bulu kuduknya berdiri, tanpa sadar dia pun mulai merintih dan mendesis.

Sebagaimana diketahui, perempuan ini memiliki potongan tubuh yang sangat indah, jangan dilihat dia selalu tampil suci dan anggun, tapi begitu naik ranjang, perempuan yang anggun inipun berubah seperti wanita jalang.

Coba kalau di sampingnya tidak hadir tiga gadis lain, mungkin sejak tadi dia sudah menjerit keras melampiaskan seluruh birahinya.
Kini dia mengubah seluruh birahinya menjadi kekuatan, sekuat tenaga menggoyang pinggulnya mengimbangi tusukan lawan.

Dalam keadaan seperti ini, Siau-hong maupun Suto Si sudah tak dapat menjilat dan menghisap pusing susunya lagi, maka mereka bertiga pun sambil tersenyum berdiri di depan pembaringan, menyaksikan pertarungan seru yang sedang terjadi di antara kedua orang ini.

Sambil menarik tangan Siau-hong, hibur Suto Bun dengan lembut, "Enci Hong, kau tak usah tegang! Sekalipun senjata milik adik Cau besar, panjang dan kasar, coba kau lihat, bukankah enci Ing pun bisa melayani dengan leluasa?"
"Aku tahu!" jawab Siau-hong sambil tertawa getir, "tapi aku tak mampu mengendalikan diri!"

Sementara itu Suto Si juga ikut menarik tangannya sambil menghibur, "Enci Hong, tak usah kuatir! Siaumoay pasti akan membantumu!"

Mendadak terjadi perubahan besar di atas pembaringan, ternyata sepasang sejoli itu sudah bertukar posisi, kini Cau-ji gantian berada di atas, dia segera menggerakkan tombaknya dan mulai melancarkan tusukan bertubi-tubi.
"Plak ... plak" bunyi aneh pun berkumandang tiada putusnya dalam ruangan.
Siang Ci-ing merasakan tubuhnya mulai melayang di udara, tak tahan lagi dia pun merintih, "Aduuuuh ... aduuuh.."
Cau-ji merasakan liang gadis itu mulai gemetar keras dan menyusut kencang, tahu kalau lawannya sudah hampir mencapai puncak, dia pun menarik napas dan mulai melancarkan gempuran lagi secara bertubi-tubi.

Lima puluh tusukan kemudian, akhirnya Siang Ci-ing menyerah kalah, dia pun tergeletak lemas di atas ranjang.
Cau-ji tidak berhenti begitu saja, kembali dia melancarkan lima jurus serangan berantai yang menempel lekat-lekat di dasar liangnya.

Segera dirasakan liang gadis itu sebentar mengendor sebentar mengencang, rasanya bagaikan dihisap kuat-kuat, tak terkirakan rasa nikmatnya.
"Ooh ... nikmat benar!" keluh Siang Ci-ing sambil menghela napas panjang.

Selesai berkata, dia secara otomatis menghadiahkan sebuah kecupan mesra di bibir pemuda itu. Tertegun Siau-hong menyaksikan semua adegan syur ini.

Sesaat kemudian Siang Ci-ing baru mendorong tubuh Cau-ji agar turun dari atas tubuhnya, lalu katanya, "Adik Cau, adik Hong sedang menunggumu!"
Cau-ji tertawa ringan, dia pun merangkak turun dari atas tubuhnya.
"Plook!", tombaknya langsung dicabut, air lendir pun tampak meleleh keluar dari lubang Siang Ci-ing yang membuat seprei di atas pembaringan langsung basah kuyup.
Ketiga gadis itu segera saling bertukar pandang dengan tertegun.
Mereka tak menyangka gadis itu bakal mengeluarkan cairan begitu banyak, helaan napas bergema.

Cau-ji melompat turun dari atas pembaringan, dipeluknya tubuh Siau-hong, lalu dibaringkan ke atas ranjang.
Begitu pemuda itu mulai melebarkan pahanya, Suto bersaudara langsung mengangkat kaki Siau-hong tinggi-tinggi.

Merasa amat malu Siau-hong segera memejamkan mata dan tak berani memandang siapa pun.
Cau-ji segera menyiapkan tombaknya dan langsung ditusukkan ke dalam lubang kecilnya, seakan dia membersihkan selokan air itu.
Dia merasakan liang surga gadis itu mulai mengejang keras, tahu kalau begini terus tak bakal berkesudahan, dia pun jadi nekat, dengan maksud racun lawan racun, dia malah menusukkan tombaknya semakin kencang dan ganas.
Menusuknya hingga mencapai dasar, menusuk dengan berat dan ganas.

Sesaat kemudian dia mulai memutar tombaknya dan tiada hentinya menggesek dinding dasar lubang gadis itu.
Permainan semacam ini sangat melelahkan dan menguras banyak tenaga, coba kalau dia bukan jagoan lihai yang berpengalaman di bidang ini, mungkin sejak tadi dia sudah mencapai puncaknya.

Biarpun begitu, ketika dia sudah menggesek hampir tujuh-delapan puluh kali, terasalah otot yang semula mengejang makin lama semakin mengendor.
Untung Siau-hong sendiri pun sudah mulai merasakan kenikmatan, kini bukan saja dia tidak tegang lagi, bahkan mulai mendesah lirih, "Aduuuh ... nikmat... ah ... nikmat... aduh ... koko,... aduh sayang.."

Melihat si nona sudah mulai mendesah, diam-diam Cau-ji dan dua bersaudara Suto menghembuskan napas lega.
Bagaimana pun ilmu silat yang dimiliki Siau-hong masih ketinggalan jauh, dia tak kuasa menahan gempuran Cau-ji yang menusuknya ratusan kali, akhirnya sambil menjerit keras nona itupun mencapai pada puncaknya.

Dia seperti terserang penyakit ayan, tubuhnya gemetar tiada hentinya sementara liang surganya mengejang berulang kali, seakan dia hendak menggigit tombak itu kencang-kencang.

Cau-ji membiarkan tombaknya dihisap berulang kali oleh kekejangan otot lawan, setelah menikmati beberapa saat, akhirnya dia pun mencabut keluar tombaknya.

Tapi berbareng dicabutnya sang tombak, tiba-tiba saja pemuda itu menjerit tertahan sambil mundur.
Suto bersaudara menyangka telah terjadi sesuatu, cepat mereka berpaling, tapi begitu melihat ada cairan yang sedang menyembur keluar dari liang surga milik Siau-hong, mereka pun tertawa geli.


Dengan wajah tersipu malu Siau-hong segera berlari menuju ke kamar mandi.
Cau-ji masih berbaring di atas ranjang, Suto Si segera memahami keinginannya, maka dia pun berbaring di atas tubuhnya dan menelan tombak milik pemuda itu, kemudian sambil menggoyang dengan lembut, tanyanya lirih, "Adik Cau, kau tidak lelah?"
"Lelah? Tidaklah, cuma aku merasa tegang sekali!"

Suto Si segera tertawa.
"Enci Hong sudah pulih kesegarannya, sebentar lagi kau tak bakal merasa tegang!"
Dengan lembut Cau-ji membelai sepasang payudara Siang Ci-ing yang berbaring di samping tubuhnya, bisiknya lembut, "Pusaka milik enci Ing jauh berbeda dengan milik orang lain, milikmu membuat Siaute selain tegang, juga merasakan sukma serasa terenggut dari rongga badan."

Siang Ci-ing jadi semakin malu, untuk sesaat dia tak sanggup berkata-kata.
"Enci Ing, kau jangan marah kepada Siaute karena ucapanku kelewat cabul" kata Cau-ji kemudian sambil tertawa, "dalam pikiran Siaute, suami-istri membicarakan masalah hubungan badan merupakan hal yang wajar dan bukan sesuatu yang tabu."
"Coba kau bayangkan saja enci Ing, sejak zaman kuno hingga sekarang, dan kaisar sampai pekerja kasar, bukankah setiap orang melakukan perbuatan semacam ini? Siapakah yang tidak bermain begituan di dalam kamar?"

"Enci Ing, apa yang diucapkan adik Cau memang benar!" sambung Suto Si pula sambil tersenyum, "begitu suami-istri naik ke atas ranjang, maka permainan jorok seperti apa pun boleh mereka lakukan, tapi begitu meninggalkan kamar, tentu saja penampilan harus pulih menjadi normal kembali."
"Terima kasih, aku sudah tahu sekarang," jawab Siang Ci-ing malu-malu.
"Enci Si, ayo mulai menggila!" seru Cau-ji kemudian sambil tertawa.

Sambil tersenyum Suto Si mulai menggoyang pinggulnya mengimbangi tusukan lawannya yang tertubi-tubi.
Ucapan tadi nampaknya memompa semangat Siang Ci-ing, agak malu-malu dia mulai menciumi sekujur badan Cau-ji.
Dengan lembut dan penuh kasih-sayang Cau-ji meraba pula seluruh badannya.
Kurang lebih setengah jam kemudian tiba-tiba Cau-ji mendorong tubuh Siang Ci-ing, kemudian memeluk badan Suto Si, tiba-tiba ia membalikkan badannya dan kini kedua orang itu berganti
posisi.
"Plook ... plookkk ... creeep ... creeep" suara aneh mulai bergema dalam ruangan.
Setengah jam kemudian di tengah rintihan dan desahan Suto Si, Cau-ji mengejang berulang kali dan melepaskan tembakan secara gencar....

Waktu itu Siang Ci-ing, Suto Bun serta Siau-hong telah selesai membersihkan tubuh dan berpakaian, melihat kedua orang itu masih saling berpelukan dengan kencangnya, diam-diam mereka ikut girang.
"Beristirahatlah dahulu kalian," kata Siang Ci-ing kemudian, "aku akan keluar mencari makanan."
 
update hari ini mana bro fran..
 
Keesokan harinya Cau-ji menyamar menjadi seorang lelaki berbaju hijau, diantar oleh kawanan gadis cantik itu, berangkatlah dia menuju ke rumah makan Jit-seng-ciu-kau.

Sepanjang perjalanan, secara diam-diam ia mencoba mengawasi situasi sekelilingnya, benar saja, ia jumpai kawanan jago dari kalangan hitam sedang berbincang masalah dukungan mereka terhadap Jit-seng-kau, hal ini membuat pemuda itu semakin bertekad ingin menawan pentolannya lebih dulu sebelum membasmi kawanan bandit, dia bertekad akan melenyapkan Su Kiau-kiau dari muka bumi.

Oleh karena itu pada hari kelima dia pun menyaru kembali menjadi Hek Hau-wan dan mulai melanjutkan perjalanan.
Hari ini menjelang siang, tibalah dia seorang diri di rumah makan Ui-hok-lau.
Dia jadi teringat pengalamannya beberapa hari berselang, gara-gara gelak tertawanya yang nyaring akibatnya memancing kedatangan orang-orang Jit-seng-kau serta jagoan lainnya hingga terjadi pertempuran sengit melawan Lokyang Cap-ji Eng.

Kini noda darah yang membekas di permukaan tanah belum lenyap, beberapa bagian tempat yang rusak akibat pertempuran pun belum diperbaiki, Cau-ji jadi teringat kembali akan betapa sengitnya pertempuran yang terjadi saat itu.

Tanpa terasa dia pun berdiri terkesima di tempat. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang membentak nyaring, "Hey, setan tua, mengganggu perjalanan orang saja, cepat menggelinding ke samping!"

Begitu tersadar dari lamunan dan mendengar perkataan lawan yang begitu tak sopan, berkobar hawa amarah Cau-ji.
Perlahan-lahan dia membalikkan badan, lalu menegur dengan suara berat, "Anjing busuk dari mana yang sedang menggonggong di sini?"

Terlihat ada tiga lelaki berbaju hitam yang berwajah bengis dan berusia empat puluh tahunan berdiri lebih kurang beberapa tombak di hadapannya. Salah seorang lelaki di tengah yang mendengar jawaban yang begitu tak sopan itu langsung meraung gusar dan menerjang maju.

Belum lagi tubuhnya tiba, angin pukulan berhawa dingin telah menyambar tiba lebih dulu, sadar musuhnya berilmu tinggi, Cau-ji malah tertawa dingin, dia balas mengayunkan tangan kanannya membabat tubuh orang itu.

Ketika lelaki itu melihat pihak lawan ternyata berani melancarkan serangan balasan, maka tenaga pukulannya segera ditambah lagi sepuluh persen.

"Blam ...!", lelaki itu datang begitu cepat tapi pergi pun sangat cepat, tahu-tahu badannya sudah mencelat sejauh tiga tombak lebih, begitu jatuh ke tanah tampak dia menggeliat beberapa saat, setelah itu merenggang nyawa.

Inipun dia lakukan karena tak ingin membocorkan identitasnya sehingga tenaga pukulan yang digunakan hanya lima bagian, kalau tidak, niscaya tubuhnya bakal remuk berantakan.

Dua lelaki yang lain jadi amat terkesiap sesudah menyaksikan kehebatan tenaga dalam musuhnya, tanpa sadar mereka mundur satu langkah.

Cau-ji tak ingin mencari masalah, karena itu setelah tertawa seram dia pun bersiap meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba terdengar lelaki yang di sebelah kiri membentak nyaring, "Setan tua, besar amat nyalimu, setelah melukai anggota Jit-seng-kau, kau ingin kabur begitu saja?"

Cau-ji memang sedang risau karena tak berhasil menemukan anggota Jit-seng-kau, dia jadi kegirangan setelah mendengar ucapan itu, sahutnya sambil tertawa seram, "Hehehe, bagus, bagus sekali! Jadi kalian tidak mengenali Lohu?"
"Siapa yang kenal setan tua macam kau?" hardik lelaki yang ada di sebelah kanan.
"Kurang-ajar, kalian berasal dari ruang apa?" bentak Cau-ji dengan suara menyeramkan.

Begitu mendengar teguran itu, kedua lelaki tadi segera sadar kalau gelagat tidak beres, buru-buru sahutnya dengan nada yang lebih lunak, "Pek-hou-tong!"

Begitu tahu kedua orang ini ternyata merupakan anak buah Hek Hau-wan yang digunakan identitasnya sekarang, Cau-ji merasa teramat bangga, tegurnya lagi sambil tertawa seram, "Tahukah kau siapa Lohu?"
"Harap Cianpwe maafkan Wanpwe yang punya mata tak berbiji" buru-buru kata orang di sebelah kanan agak gemetar.
"Hehehe, kau panggil Lohu sebagai Cianpwe? Cepat panggil kepala regumu, suruh dia menghadap Lohu!"

Tergopoh-gopoh orang itu mengiakan dan segera berlalu dari sana.

Sepeminuman teh kemudian terlihat seorang kakek berbaju hitam berusia enam puluh tahunan yang bertubuh tegap, dengan membawa dua puluhan lelaki kekar berbaju hitam menyusul datang dengan langkah cepat.

Pada jarak belasan tombak, orang itu segera mengenali Cau-ji, tampak dia menghentikan langkah, menjatuhkan diri berlutut dan teriaknya lantang, "Hamba Che Toa-jong menjumpai Tongcu, harap maafkan hamba yang telah terlambat datang menyambut!"

Lelaki berbaju hitam yang berdiri di hadapan Cau-ji nyaris jatuh semaput begitu tahu orang itu adalah atasannya, cepat dia menyembah ke tanah sambil berseru minta ampun.

Cau-ji tertawa seram, tanpa bicara sepatah kata pun dia membalikkan badan memandang ke arah rumah makan Ui-hok-lau.

Para pelancong di atas rumah makan yang menyaksikan kejadian ini jadi ketakutan, buru-buru mereka menyembunyikan diri.

Sementara Cau-ji masih mengeluh karena kegarangan pengaruh Jit-seng-kau, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati, menyusul kemudian terdengar Che Toa-jong berkata dengan penuh rasa takut, "Tongcu, maafkan hamba yang tak becus mendidik anak buahku!"

Menunggu Cau-ji membalikkan badan lagi, tampak kedua orang itu sudah terkapar bersimbah darah di atas tanah, maka kepada kedua puluh orang yang masih berlutut di tanah, serunya, "Kalian bangun semua, kita bicarakan lagi setelah pulang nanti!"
"Terima kasih Tongcu!"

0oo0

Untuk sementara waktu baiklah kita tinggalkan dulu Cau-ji yang mendapat tahu dari mulut Che Toa-jong kalau Su Kiau-kiau sedang dalam perjalanan menuju ke rumah makan Jit-seng-ciu-lau, sehingga dia pun langsung menuju ke arah Tiang-sah.

Dalam pada itu menjelang pagi hari di bawah bukit Lian-hong-san tiba-tiba muncul empat puluh satu orang, mereka mengenakan jubah panjang berwarna kuning emas dan menunggang kuda jempolan.

Setiap kuda yang ditumpangi tampak mengeluarkan asap putih dari mulutnya dengan bulu basah kuyup, hal ini membuktikan rombongan itu baru saja menempuh perjalanan jauh.

Setelah terdengar ringkikan kuda yang memanjang, tiba-tiba keempat puluh satu orang itu menghentikan perjalanannya.
Terdengar seorang berkata dengan suara nyaring, "Leng tua, jalan perbukitan di depan sana amat sulit untuk ditempuh dengan menunggang kuda, lebih baik kita lanjutkan pendakian dengan berjalan kaki!"
"Baik!"

Setelah semua orang melompat turun dari kuda, terlihat ada tiga lelaki kekar berusia empat puluh tahunan yang tetap tinggal di tempat untuk mengurus kawanan kuda itu, sementara ketiga puluh delapan orang lainnya segera melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi.

Tiga orang yang berada paling depan tak lain adalah Cu bersaudara yang mengenakan jubbah kuning dan berdandan anggun, sejak meninggalkan Liong-ing-hong, mereka langsung kembali ke kota raja.

Setelah pulang ke istana, Cu Bi-ih bertiga langsung mohon menghadap ibu suri dan menceritakan kisah yang mereka alami serta membeberkan semua kejahatan yang telah dilakukan orang-orang Jit-seng-kau.

Tong-kiong Nio-nio yang mendapat laporan itu jadi gusar, ia menerima usulan dari ketiga gadis itu dan mengirim laporan kepada Baginda raja.
Dari laporan para menterinya, Baginda raja sudah mengetahui tentang lotere Tay-ke-lok yang menyengsarakan rakyat banyak, maka setelah menerima tambahan laporan dari putri kesayangannya, raja pun tahu kalau Jit-seng-kau tidak dilenyapkan maka undian lotere Tay-ke-lok tak bakal bisa ditumpas.

Namun Sri Baginda merasa kesulitan untuk mengambil keputusan ketika putri kesayangannya mengusulkan untuk menganugerahkan gelar An-lok-ong kepada Ong Sam-kongcu, karena masalah ini sudah menyangkut tata-cara protokol kerajaan.

Tong-kiong Nio-nio cukup memahami kesulitan Sri Baginda, maka dia pun mengusulkan untuk menanyakan pendapat kedua perdana menteri serta panglima perang.

Begitu Sri Baginda memberikan persetujuannya, maka tak sampai setengah jam kemudian sudah ada enam menteri kerajaan yang datang menghadap.
Secara ringkas Cu Bi-ih pun menceritakan kembali semua kejadian yang dialaminya, sekalian menerangkan pula posisi Ong Sam-kongcu serta kakeknya yang pernah memimpin umat persilatan membasmi kekejian perkumpulan Jit-seng-kau.

Terdengar Yu Siang-kong berkata, "Lapor Baginda, hamba pernah bertemu muka satu kali dengan Ong Sam-kongcu dari kota Kim-leng, orang ini memang setia pada negara dan melindungi kepentingan rakyat banyak."
"Waktu itu hamba berniat mengajaknya berbakti kepada kerajaan, sayang dia hambar terhadap nama dan kedudukan, bahkan menyatakan rela hidup mengasingkan diri di tempat terpencil."
"Kalau memang sembilan partai besar berniat mengangkat Ong Sam-kongcu sebagai pemimpin mereka, apabila Baginda menganugerahkan gelar An-lok-ong kepadanya, mungkin hal ini akan semakin membantu orang persilatan untuk mendukungnya!"
Kelima pembesar lain pun menyatakan persetujuannya.
Mendengar pendapat para pembantunya, kaisar pun segera menurunkan titah untuk memenuhi permintaan itu.

Maka keesokan harinya tiga bersaudara keluarga Cu dengan membawa Thian-te-sian-lu dan tiga puluh enam jagoan berilmu tinggi berangkat menuju ke Liong-ing-hong.
Kemudian setelah melalui perundingan yang matang, mereka putuskan minta pihak biara Siau Lim yang tampil mengumpulkan seluruh kekuatan partai besar untuk berkumpul di Tiang-sah, bersamaan waktu mereka pun menantang pihak Jit-seng-kau untuk berduel di Gak-lek-san di luar kota Tiang-sah sebulan kemudian.

Tanpa membuang waktu, keempat puluh satu orang itupun melakukan perjalanan siang malam tanpa berhenti, langsung menuju gunung Lian-hong-san.

0oo0

Sementara itu, Cu Bi-ih sekalian melakukan perjalanan tiada hentinya, setelah berlarian hampir setengah jam lamanya, tibalah mereka di depan perkampungan Hay-thian-it-si.
Dari kejauhan tiba-tiba mereka mendengar suara auman binatang buas yang menyeramkan, tanpa sadar rombongan pun memperlambat larinya.

Ketika tiba di tembok luar perkampungan Hay-thian-it-si, terlihat ada dua puluhan muda-mudi sedang bermain dengan aneka binatang buas seperti singa, harimau, beruang, macan tutul, gorila, monyet, kijang ....

Pemandangan semacam ini kontan membuat semua orang tertegun.
Yang membuat mereka tertegun adalah di antara jenis binatang buas yang berada di sana, ada sementara hewan yang bermusuhan turun-temurun, tapi kini justru bermain dengan muda-mudi itu tanpa ada sikap bermusuhan, selain jinak juga sangat menarik, betul-betul satu kejadian yang aneh.

Ketika memperhatikan kawanan muda-mudi itu, terlihat bukan saja mereka berwajah bersih, bahkan lincah, cekatan, dan jelas memiliki ilmu silat tangguh.
Ketika menengok lagi ke arah lain, maka terlihatlah seorang sastrawan berwajah tampan yang mengenakan baju putih sedang berbincang dengan tiga belas wanita cantik.

Saat itulah seorang lelaki kekar berusia empat puluh tahunan berjalan mendekat sambil berbisik, "Lapor Kongcu, sastrawan berbaju putih itu tak lain adalah Ong Sam-kongcu Ong It-huan dari kota Kim-leng!"

"Ehm, seorang lelaki tampan yang luar biasa," Cu Bi-ih segera tersenyum sambil manggut-manggut.
Tiba-tiba dari dalam ruangan gedung terdengar seseorang berkata sambil tertawa nyaring, "Sobat-sobat kecil, sudah puas kalian bermain?"

Kemudian terlihatlah si Raja hewan Oh It-siau muncul dengan wajah berseri.
Bwe Bu-jin (kini Ong Bu-jin telah berganti memakai nama marga ayahnya) ikut muncul pula dengan wajah tersenyum.

Sepeninggal kawanan hewan itu digiring pergi oleh raja hewan, terlihat Ong Sam-kongcu bangkit berdiri secara tiba-tiba dan berkata dengan suara nyaring, "Ah, gara-gara menyaksikan putra-putriku bermain dengan hewan mengakibatkan tamu jauh harus menunggu lama, sungguh hal ini membuat Ong It-huan merasa sungkan. Lo-ong, cepat sambut kedatangan tamu-tamu kita!"

Habis berkata dia pun memimpin semua orang untuk menyambut di depan pintu gerbang.
Leng Bang segera tampil ke depan dan menyahut sambil tertawa tergelak, "Sudah lama kami dengar Ong Sam-kongcu adalah seorang yang Bun-bu-siang-cuan (menguasai ilmu silat maupun ilmu sastra), setelah berjumpa hari ini, terbukti nama besarmu memang bukan nama kosong, hahaha"

Selesai berkata, bersama Chin Tong dan semua jago bergerak mendekati pintu gerbang.
Waktu itu si Raja hewan telah menghimpun tenaga dalamnya siap melakukan pertempuran, tapi sewaktu pandangan matanya melintas di wajah Thian-te-sian-lu, mendadak jeritnya tertahan, "Lo-sinsian (dewa tua)!"

Selesai bicara, dia pun menjatuhkan diri berlutut.
Sambil tertawa terbahak-bahak Leng Bang maju sambil membangunkannya, serunya, "Oh kecil, jangan banyak adat!"
Raja hewan Oh It-siau sama sekali tak menyangka setelah berpisah puluhan tahun, akhirnya pada hari ini dia dapat bersua kembali dengan tuan penolong yang pernah menyelamatkan jiwanya di masa lalu, tak heran saking terharunya dia segera berlutut.

Seusai berdiri, dengan hormat Raja hewan bertanya, "Lo-sinsian, ada kepentingan apa kalian berkunjung kemari?"

Leng Bang tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, sudah cukup lama Lohu mendengar tempat tinggal Ong Sam-kongcu indah dan megah bagaikan nirwana, ternyata apa yang dikatakan orang memang tidak salah, hahaha"

Dalam pada itu Ong Sam-kongcu pun telah mengenali Thian-te-sian-lu, cepat katanya dengan hormat, "Sungguh suatu kebanggaan bagiku dapat bersua dengan Sin-heng serta teman-teman
sekalian, silakan masuk ke dalam dan minum teh!"
"Kongcu, terima firman kaisar!" mendadak Leng Bang berkata dengan nada serius.
"Firman? Firman apa?" tanya Ong Sam-kongcu tercengang.
"Tentu saja firman dari Sri Baginda!"

Ong Sam-kongcu segera berpaling dan memberi tanda kepada semua penghuni perkampungan Hay-thian-it-si, serentak semua orang menjatuhkan diri berlutut.
 
Wih cau ji jadi turunan bangsawan nih setelah bapaknya dapat titah dari kaisar ((y)ˆ ³ˆ)(y) SiP!!!
 
ahhh... Nanggung bgt...hehe
 
Perlahan Cu Bi-ih tampil ke depan, setelah melihat semua orang berlutut, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah gulungan kain, merentangkannya dan mulai membaca isi firman.

Untuk beberapa saat lamanya Ong Sam-kongcu tertegun dan tak sanggup berkata-kata, dia tak menyangka kalau Baginda telah menganugerahkan gelar An-lok-ong kepadanya, bahkan memerintahkan dirinya untuk memimpin para jago menumpas perkumpulan Jit-seng-kau.

Sebagaimana diketahui, sejak dulu pihak kerajaan boleh dibilang jarang sekali berhubungan dengan orang persilatan, dia sama sekali tak menyangka kalau hari ini Baginda telah mengutus tuan putri untuk menyampaikan firman kepadanya.

Selain itu, kecuali keturunan keluarga Cu, pada hakikatnya belum pernah ada orang luar yang diberi gelar raja muda, apalagi untuk Ong Sam-kongcu yang belum pernah berhubungan dengan pihak kerajaan. Tak heran bila ia terperangah dibuatnya.

Leng Bang yang berlutut lebih kurang tiga kaki di samping kanannya, secara diam-diam mengamati terus perubahan wajahnya, begitu melihat rekannya terperangah, maka dengan ilmu menyampaikan suara ia berbisik, "Terima dulu firman Baginda!"

Mendengar itu, Ong Sam-kongcu segera maju dan menerima firman.
"Kionghi Ongya!" seru Cu Bi-ih kemudian dengan suara nyaring.
"Terima kasih atas pujian tuan putri!" sahut Ong Sam-kongcu tersipu-sipu.

Maka semua orang pun maju untuk memberi selamat.
Dua belas tusuk konde emas sendiri meski tak mengerti apa sebabnya Sri Baginda mengutus orang menganugerahkan gelar kehormatan, tak urung mereka ikut bergembira juga atas kejadian yang tak terduga ini.

Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya masuk ke dalam ruang utama, baru saja Go Hoa-ti dan dua belas tusuk konde emas siap mengundurkan diri, sambil tertawa tergelak Leng Bang telah mencegah.

Terdengar orang tua itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Ongya, tolong tanya apakah kau mempunyai seorang Kongcu yang bernama Ong Bu-cau?"
"Ada! Jangan-jangan dia telah menyalahi kalian?"
"Hahaha, Ongya tak periu kuatir, bukan saja putramu tidak membuat keonaran, malahan dia telah menyelamatkan ketiga tuan putri serta menolong biara Siau-lim dari bencana"

Maka secara ringkas dia pun menceritakan semua kehebatan serta keberanian yang telah dilakukan Cau-ji.
Betapa gembira dan bersyukurnya Ong Sam-kongcu sekalian setelah mendengar kabar itu.
Sedangkan para jago pihak kerajaan diam-diam merasa terkejut juga akan kehebatan ilmu silat pemuda itu.

Melihat ketidak percayaan kawanan jago itu, sambil tersenyum Ong Sam-kongcu pun segera menceritakan kisah pengalaman yang pernah dialami Cau-ji di masa lalu.

Cerita ini segera mengundang decak kagum banyak orang, khususnya tiga bersaudara keluarga
Cu.
Dari perubahan mimik muka ketiga tuan putri itu, dua belas tusuk konde emas segera tahu kalau gadis-gadis cantik itu sudah jatuh hati kepada Cau-ji, serta-merta mereka pun jadi mengerti apa sebabnya pihak kerajaan menganugerahkan gelar kehormatan kepada keluarga mereka.

Sementara itu meja perjamuan telah dipersiapkan, Ong Sam-kongcu pun mengundang semua orang untuk bersantap di ruang Ti-wan.
Hari ini Ong Sam-kongcu kelihatan amat gembira, sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi seorang raja muda dengan gelar An-lok-ong.

Perjamuan kali ini berlangsung hampir satu setengah jam lamanya.
Dalam keadaan setengah mabuk, Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya untuk beristirahat di kamar tamu, kemudian ia sendiri bersama Go Hoa-ti ibu beranak dan dua belas tusuk konde emas kembali ke ruang utama untuk minum teh seraya berbincang-bincang.

Terdengar Go Hoa-ti berkata, "Engkoh Huan, kionghi kau memperoleh anugerah ini, terlepas apakah punya kekuasaan atau tidak, yang pasti kau telah menjadi orang pertama dari dunia persilatan yang mendapat kehormatan semacam ini!"

Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, mana, mana, semua ini berkat kehebatan Cau-ji!"
"Sungguh tak kusangka ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mencapai tingkatan yang begitu hebat, kelihatannya sulit untuk menemukan orang yang sanggup mengalahkan dirinya lagi!"
"Hahaha, jago Jit-seng-kau sangat banyak dan tangguh, bukan saja cara kerja mereka kejam, siasatnya pun licik dan busuk, sekalipun Cau-ji hebat namun setiap saat dia berada dalam ancaman mara bahaya."

Go Hoa-ti manggut-manggut, sahutnya, "Memang apa yang kau ucapkan merupakan kenyataan, hanya saja kalau memang pihak kerajaan dan berbagai partai besar bersedia tampil, aku rasa saat musnahnya Jit-seng-kau sudah tinggal waktu saja."

"Betul!" Ong Sam-kongcu tertawa, "jangankan ilmu silat yang dimiliki Thian-te-sian-lu luar biasa hebatnya, bahkan kungfu si Pena emas Sin Goan pun tidak berada di bawah kemampuanku."
"Jangan dilihat mereka hanya terdiri dari tiga puluhan orang, padahal kekuatannya paling tidak sanggup menghadapi serbuan tiga ratusan jago kelas satu! Sungguh tak disangka pihak kerajaan telah membina begitu banyak jago lihai!"

"Di mulut pihak kerajaan menyatakan kalau tak berhubungan dengan umat persilatan, tapi secara diam-diam telah membina begitu banyak jago tangguh, rasanya kejadian ini agak sedikit
tak masuk akal."

"Inilah yang dinamakan 'Menggunakan cara Kangouw untuk mengatasi orang Kangouw", bahkan aku pun merasa bahwa penganugerahan gelar untukku kali inipun mengandung maksud semacam ini."

Go Hoa-ti manggut-manggut dan tidak bicara lagi.

Si Ciu-ing yang selama ini hanya berdiam diri tiba-tiba menyela sambil tertawa, "Engkoh Huan, kau jangan marah, menurut dugaanku, pemberian anugerah gelar kali ini bisa jadi dikarenakan ketiga tuan putri berniat mengikat tali hubungan dengan keluarga kita."

"Hahaha, kenapa aku mesti marah?" Ong Sam-kongcu tertawa tergelak, "masa aku harus minum cuka gara-gara Cau-ji? Sejak tadi aku telah merasa kalau ketiga tuan putri itu menaruh hati kepada Cau-ji!"

Semua orang manggut-manggut setelah mendengar perkataan ini.
Sambil tertawa, kembali Si Ciu-ing berkata, "Engkoh Huan, enci Ti, adik-adik semua, menurut apa yang kuketahui, pihak kerajaan telah memutuskan untuk tidak berhubungan dengan umat persilatan, jadi tak mungkin si tuan putri akan menikah dengan anggota persilatan."

"Padahal ketiga tuan putri menaruh hati kepada Cau-ji, jadi satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah ini adalah mengangkat engkoh Huan jadi pejabat negara ... aku yakin pangkatmu makin hari akan semakin tinggi"

Mendengar perkataan itu, kontan Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
Membayangkan bagaimana keluarga Ong akan punya menantu tuan putri, semua orang ikut bergembira atas peristiwa ini.

Belum berhenti Ong Sam-kongcu tertawa, mendadak terdengar seseorang tertawa tergelak.
Menyusul kemudian terlihat sepasang dewa langit dan bumi memasuki ruangan.
Sambil tertawa, ujar Leng Bang, "Ongya, barusan aku sempat mendengar apa yang dibicarakan Hujin, untuk itu perlu kusampaikan sepatah-dua patah kata."
"Benar, seperti apa yang diduga Hujin tadi, kali ini ketiga tuan putri memang telah mengeluarkan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk mendapatkan gelar kehormatan itu bagi Ongya, semua ini tak lain karena menyangkut masa depan mereka bertiga."

"Dalam hal ini, Cau-ji masih belum tahu karena menurut pengamatan Lohu, Cau-ji sengaja menjaga jarak dengan ketiga tuan putri karena dia tak ingin terjadi kemelut yang bakal menyusahkan kedua belah pihak."

"Benar," kata Ong Sam-kongcu sambil tertawa, "aku memang sudah menjodohkan Cau-ji dengan seseorang, sebelum mendapat ijin dariku, tak nanti Cau-ji berani menerima nona lain sebagai bininya."

Sebetulnya Leng Bang ingin menyinggung juga masalah dua bersaudara Suto dan Siang Ci-ing yang bergaul mesra dengan Cau-ji, tapi dia segera mengurungkan niatnya setelah mendengar perkataan itu.

Terdengar ia berkata sambil tertawa tergelak, "Ongya, mengenai perkawinan antara putramu dengan ketiga tuan putri, Lohu suami-istri ingin menawarkan diri menjadi mak comblang."
"Terima kasih banyak atas maksud baik Cianpwe, hal semacam ini merupakan kebanggaan keluarga Ong kami, hanya saja Wanpwe perlu menanyakan maksud hati Cau-ji terlebih dulu sebelum mengambil keputusan.

Begitu mendengar persetujuan pihak lawan, Leng Bang jadi kegirangan setengah mati, sahutnya cepat, "Sudah seharusnya begitu!"

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ongya, Kongcu telah meminta pihak biara Siaulim untuk tampil mengundang para partai besar dan minta mereka untuk berkumpul di bukit Gakli-san di luar kota Tiang-sah pada awal bulan depan, bahkan telah menulis surat tantangan kepada pihak Jit-seng-kau!"

"Bagus, mau hidup atau mati, kita tentukan dalam pertempuran ini!" Ong Sam-kongcu manggut-manggut tanda setuju.
"Engkoh Huan, bagaimana dengan kami kakak beradik.."tanya Si Ciu-ing lembut.
"Adik Ing, adik-adik semua, lebih baik kalian melindungi markas besar kita! Soal permainan besar ini, biar peran penting kita letakkan pada pundak Cau-ji!"

Para perempuan itupun menurut dan manggut-manggut.
Karena urusan penting telah usai dibicarakan, maka para wanita itupun menanyakan keadaan Cau-ji. Leng Bang tidak langsung menjawab, dia hanya termenung. Jelas orang tua ini sedang mempertimbangkan perlu tidak membicarakan hubungan Cau-ji dengan tiga gadis lain.

Melihat keraguan orang, sambil tertawa Ong Sam-kongcu berkata, "Cianpwe, tahun ini Cau-ji baru berusia empat belas tahun, kecerdasan otaknya tak bisa dibandingkan dengan kemampuan ilmu silatnya, jadi tak mungkiri dia bisa lolos dari segala kesalahan, silakan saja dikatakan secara terus terang."

Sambil tertawa getir, ujar Leng Bang, "Sungguh tak nyana aku Leng Bang setelah malang melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun, akhirnya harus bersikap penuh keraguan hanya dikarenakan masalah tuan putri dengan Cau-ji. Kalau memang Ongya sudah berkata begitu, baiklah, Lohu akan bicara terus terang!"

Maka dia pun membeberkan semua yang diketahui tentang hubungan Cau-ji dengan dua bersaudara Suto serta Siang Ci-ing, bahkan dia menambahkan, "Ongya, Lohu berani jamin, Cau-ji tidak berniat jahat!"

Ong Sam-kongcu segera menarik wajah dan terbungkam tanpa bicara.
Si Ciu-ing juga terbungkam dalam seribu bahasa setelah melirik Go Hoa-ti sekejap.
Diam-diam mereka kuatir bila Go Hoa-ti merasa tak puas karena ulah Cau-ji, khususnya terhadap putri Bwe Bu-jin, karena itu semua orang menutup rapat mulutnya.

Siapa tahu Go Hoa-ti sama sekali tidak marah, setelah melirik mereka sekejap, katanya, "Cianpwe, dengan nama besar keluarga Suto di dunia persilatan, keluarga Ong merasa sangat berterima kasih sekali bila bisa peroleh menantu hebat semacam ini."

"Sedang nona Siang dari Liong-ing-hong juga tersohor sebagai wanita suci, dengan kekayaan, kedudukan, serta nama besar keluarga Siang, aku rasa nona inipun pantas menjadi menantu keluarga Ong."

"Apalagi bukankah engkoh Huan pun mempunyai dua belas orang Cici sebagai istri, berada dalam keadaan seperti ini, apa salahnya bila Cau-ji pun memiliki banyak istri!"
Selesai berkata, kembali dia tertawa. Semua orang pun merasa lega setelah mendengar penjelasan ini.

Dengan perasaan haru, kata Si Ciu-ing, "Enci Ti, terima kasih banyak. Siaumoay hanya merasa bersalah terhadap Jin-ji!"
"Enci Ing, kalau orang bertambah banyak, hokki pun akan bertambah banyak pula, apalagi Cau-ji begitu kuat, rasanya Jin-ji seorang tak akan sanggup melayaninya, selama mereka semua bisa hidup rukun, tambah banyak pun tak ada masalah!"

Begitu ganjalan terurai, pembicaraan pun berlangsung lebih lancar dan santai.
Leng Bang pun bercerita lagi akan sepak-terjang Cau-ji sewaktu melawan serbuan para jago Jitseng-kau di biara Siau-lim, secara terperinci dia pun menceritakan kehebatan jurus pedang serta kesempurnaan tenaga dalamnya.

Terkejut bercampur girang semua orang ketika mengetahui Cau-ji telah memperoleh Pedang pembunuh naga serta jurus pedangnya, bahkan sekali gebrakan mampu melukai lima orang sekaligus.

Malam itu tiga bersaudara keluarga Cu bersama Bwe Bu-jin bercerita penuh kehangatan dalam kamar, dalam waktu singkat mereka dapat bergaul dengan begitu akrabnya hingga menjelang fajar mereka baru naik pembaringan untuk beristirahat.

Menjelang senja, Ong Sam-kongcu mengantar para tamunya hingga keluar pintu gerbang, dia baru kembali ke dalam gedung tatkala para jago sudah lenyap dari pandangan mata.

o0o


Matahari tepat di tengah angkasa, rumah makan Jit-seng-kau sudah dipenuhi orang yang bersantap, namun di antara sekian banyak tamu, sebagian besar merupakan orang-orang daerah yang khusus datang untuk mengikuti lotere Tay-ke-lok, sambil menunggu dibukanya undian, mereka menikmati santapan siang.

Begitu tahu dari mulut Che Toa-jong kalau Su Kiau-kiau sedang dalam perjalanan menuju rumah makan Jit-seng-kau, Cau-ji segera minta seekor kuda jempolan dan segera melakukan perjalanan cepat.

Begitu masuk pintu gerbang, pelayan yang mengenali Tongcunya segera mengantarnya masuk ke dalam kamar belakang.

Baru saja Cau-ji mengambil tempat duduk, Im Jit-koh secepat kilat telah menyusup masuk, bahkan dengan ilmu menyampaikan suara berbisik, "Tongcu, sungguh kebetulan kepulanganmu, bagus sekali!"

Begitu melihat ia berbicara dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara, Cau-ji segera sadar kalau ada sesuatu yang tak beres, maka sahutnya pula dengan ilmu menyampaikan suara, "Jit-koh, setelah bertemu Siau-hong, aku segera pulang kemari, bagaimana keadaan saudaraku?"
"Ilmu silat Tongcu telah ditotok oleh Hu-kaucu bahkan dia diawasi siang malam, hanya hamba seorang yang boleh masuk ke dalam kamarnya, namun dilarang mengajak bicara!"

"Besar amat nyali Ni Ceng-hiang, hm! Berani betul menganiaya saudaraku. Jit-koh, apakah saat ini Kaucu berada di rumah makan?"
"Kaucu hanya berdiam selama tiga jam di sini, begitu mendapat tahu kalau berbagai partai besar telah menantang partai kita untuk berduel habis-habisan awal bulan depan, dia segera berangkat meninggalkan tempat ini!"

"Hehehe, tak disangka bangsat itu berani datang untuk mengantar kematian! Ah, benar, Jitkoh, tahukah kau Kaucu telah pergi kemana?"
"Entahlah, menurut dugaan hamba, setelah kematian dua ratusan jago di tangan Manusia pelumat mayat, besar kemungkinan Kaucu sedang mencari bala bantuan."

Diam-diam Cau-ji tertawa dingin, tapi di luar tanyanya lagi, "Jit-koh, apakah saat ini kakakku berada di dalam kamar?"
"Benar."
"Bagus, Lohu akan langsung mencari Hu-kaucu untuk menanyakan masalah ini, kau berlagaklah seakan tidak mengetahui kejadian ini."
"Baik Tongcu, kau harus berhati-hati, hamba segera akan pergi mengontrol lapangan pacuan kuda!"
"Baiklah!"

Sepeninggal Im Jit-koh, Cau-ji mengatur napas, sesaat kemudian baru berjalan menuju ke kamar Bwe Si-jin dan mengetuk pintu tiga kali.
Begitu kamar dibuka, terlihat Bwe Si-jin berdiri di depan pintu.

Betapa terkejut dan girangnya lelaki ini setelah melihat kemunculan Cau-ji, untuk beberapa saat dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Lotoa, apakah Hu-kaucu ada di sini?" sengaja berat nada suara tanya Cau-ji.

Belum sempat Bwe Si-jin menjawab, terdengar Ni Ceng-hiang berseru, "Hek tua, ada urusan apa kau mencari aku?"
Seusai mengunci pintu kamar, Cau-ji segera mengawasi sekejap Ni Ceng-hiang yang masih berbaring di atas ranjang, tegurnya berat, "Hu-kaucu, dosa kesalahan apa yang telah dilanggar saudaraku?"

"Hahaha, Hek tua, siapa yang memberitahu kejadian ini kepadamu?" tanya Ni Ceng-hiang sambil tertawa terkekeh.
"Hu-kaucu, kau tak usah tahu. Aku ingin kau jawab, kenapa ilmu silat saudaraku kau kendalikan?"
Ni Ceng-hiang tidak menjawab, dia hanya tertawa terkekeh.

Bwe Si-jin sendiri telah menyingkir ke samping, menuang secawan teh dan duduk sambil termenung.
Cau-ji segera menghimpun tenaga dalamnya sambil bersiap sedia.


Sesaat kemudian Ni Ceng-hiang baru berhenti tertawa, sambil menarik wajah, bentaknya, "Orang she Hek, besar amat nyalimu, berani amat kau bersikap kurang-ajar kepadaku."
"Memangnya ada yang perlu kuhormati terhadap dirimu?" Cau-ji balas bertanya.
"Kau ... kau benar-benar sudah tak ingin hidup?"
"Hehehe, siapa yang bakal mampus pun belum tahu, buat apa kau bersikap begitu galak?"
"Hehehe, orang she Hek, jangan lupa di saat racunmu mulai kambuh, kau masih butuh obat penawar dariku."

Begitu mendengar perkataan itu, Cau-ji segera tahu kalau Hek Hau-wan pun telah diracuni pihak Jit-seng-kau, maka segera serunya dengan suara menyeramkan,
"Perempuan sundal, hari ini juga Lohu akan membinasakan dirimu!"

Dengan geram Ni Ceng-hiang bangkit, bentaknya, "Orang she Hek, besar amat nyalimu!"
Cau-ji sama sekali tak acuh, kembali ejeknya,

"Keadaan yang memojokkan Lohu, jadi jangan salahkan bila aku bersikap kasar, kecuali kau bersedia membebaskan saudaraku!"
"Hehehe, orang she Hek, kenapa tidak kau pertimbangkan dulu kemampuan yang kau miliki, berani betul main ancam. Baik! Asal kau bisa menundukkan aku, pasti akan kukabulkan keinginanmu itu!"
"Apa yang harus kuperbuat untuk bisa membuat kau takluk?"
"Hehehe, lebih baik kita coba dulu kehebatan silat masing-masing!"

Habis berkata, dia pun berdiri sambil menggendong tangan.
"Ayo, turun tangan!" seru Cau-ji.
"Hehehe, kau tak lebih hanya panglima perang yang pernah keok di tanganku, kalau memang pemberani, lancarkan saja seranganmu!"

Cau-ji tertawa seram, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya segera ditegakkan bagaikan pedang, dengan jurus Pedang pembunuh naga ia ciptakan selapis jaring hawa yang makin lama berkembang makin melebar.

Ni Ceng-hiang mendengus dingin, sepasang tangannya melancarkan pukulan berulang kali, segulung tenaga dingin seketika meluncur ke depan.
Tapi begitu tenaga bacokannya menyentuh di atas jaring hawa mumi tadi, tenaga serangannya hilang lenyap seketika, sementara jaring tenaga justru makin berkembang dan akhirnya menghimpit jalan darah penting di depan dadanya.

Bagaimana pun dia mencoba menghindarkan diri atau melawan, ternyata gagal juga meloloskan diri.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghampiri Bwe Si-jin, lalu menggunakan tubuhnya sebagai tameng.
Cau-ji sama sekati tak menyangka kalau perempuan itu bakal berbuat serendah ini, sodokan jarinya langsung dihantamkan ke atas meja yang terbuat dari batu kali hingga hancur jadi abu.

Bwe Si-jin tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mengalami sedemikian majunya, untuk sesaat ia jadi tertegun dibuatnya.
"Manusia pelumat mayat!" jerit Ni Ceng-hiang kaget.
Cau-ji tertawa terkekeh, sembari melepaskan penyaruannya dia mengejek, "Mau takluk tidak?" Begitu melihat kegantengan wajah Cau-ji, napsu birahi Ni Ceng-hiang langsung saja berkobar, timbul niat jahatnya untuk menghisap tenaga dalam lawan dengan ilmu Im-kang miliknya.

Karena itu dia tertawa terkekeh tiada hentinya.
Dengan perasaan cemas, buru-buru Bwe Si-jin berseru, "Cau-ji, jangan pedulikan aku, cepat bunuh dia!"

Sambil tertawa Cau-ji menggeleng, katanya, "Toasiok, Cau-ji tak tega menghancurkan seorang wanita cantik bak bunga yang sedang mekar, bak arak yang memabukkan dan bak parfum wanginya
"Hahaha, saudara cilik, tak nyana kau begitu menyayangi kaum wanita, bagaimana kalau kita berunding?" ujar Ni Ceng-hiang sambil tertawa jalang.
"Hahaha, katakan saja."
"Saudara cilik, temani Cici bermain satu babak, asal kau bisa membuat Cici merasakan kenikmatan, biar harus mati pun Cici akan menuruti semua perintahmu, bagaimana?"
"Hahaha, bagus, kita pegang janji ini!"

Bwe Si-jin tahu kalau Cau-ji dilindungi Kui-goan-sinkang yang secara kebetulan merupakan ilmu tandingan im-kang milik perempuan itu, diam-diam ia kegirangan. Tapi dalam penampilan dia berlagak cemas, jeritnya, "Anak cau, jangan kau kabulkan permintaannya!"

Ni Ceng-hiang tertawa jalang, dia segera menotok jalan darah kakunya, kemudian berkata,
"Engkoh Jin, kau tak usah makan cuka! Siaumoay hanya akan melayaninya satu babak!"
Habis berkata dia pun meletakkan tubuh Bwe Si-jin ke atas bangku.
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, dia mulai melepas seluruh pakaian yang dikenakan.

Tatkala Ni Ceng-hiang melihat Pedang pembunuh naga itu, sinar matanya segera berkilat, tapi hanya sejenak kemudian sudah lenyap kembali, diiringi tertawa jalang, dengan cepat dia melepaskan juga seluruh pakaian yang dikenakan.

Setelah melirik sekejap ke arah tombak milik Cau-ji yang sudah berdiri kaku, kembali perempuan itu berseru sambil tertawa terkekeh, "Wah, barang langka! Semoga saja ilmu ranjangmu tidak lebih lemah daripada ilmu silatmu!"

Habis berkata dia langsung berbaring di atas ranjang sambil membuka sepasang pahanya lebar-lebar.
"Hahaha, tanggung kau pasti akan puas!" jawab Cau-ji sambil tertawa tergelak.
Habis berkata dia pun naik ke atas ranjang dan menindih di atas badannya.
"Serangan yang hebat!" teriak Ni Ceng-hiang sambil menggoyang pinggulnya keras-keras.
Bwe Si-jin kuatir Cau-ji kelewat memandang enteng musuhnya, cepat dia berseru lagi, "Cau-ji, dia bernama Ni Ceng-hiang, bisa mencapai puncak sepuluh kali lebih, kau mesti melayaninya dengan baik!"
"Hahaha, Toasiok, jangan kuatir, Cau-ji pasti akan membuatnya keenakan!"

Sambil berkata dia pun mulai mengembangkan serangan dengan gencar.
Ni Ceng-hiang merasakan tusukan pemuda itu penuh dengan tenaga hidup, setiap tusukan dan cabutannya cepat, kuat dan mantap, sadar kalau lawannya merupakan jagoan berpengalaman, diapun segera menghimpun tenaga untuk melayani pertarungan dengan penuh tenaga.

"Plookkkk ... plook" di antara suara aneh yang bergema, waktu berjalan sangat cepat.
"Criiippp ... crreeet" makin kencang gesekan yang terjadi, makin keras desahan perempuan itu.
Entah berapa kali sudah dia mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin mencoba memeriksa waktu, dia tahu kedua orang itu sudah bertempur hampir dua jam lebih, selain menguatirkan kehebatan ilmu im-kang Ni Ceng-hiang, dia pun merasa kagum pada ketangguhan anak muda itu.

Mendadak terdengar Cau-ji tertawa nyaring, sepasang tangannya bergerak cepat mengangkat tinggi kedua pahanya, kemudian melancarkan tusukan berantai.
Di tengah tusukan yang semakin gencar, dia sertakan juga gesekan keras di dasar liang perempuan itu, gesekan demi gesekan yang kencang membuat Ni Ceng-hiang menjerit makin keras, akhirnya teriihat tubuhnya gemetar keras, cairan pun mulai meleleh keluar membasahi permukaan ranjang.

Tergopoh-gopoh perempuan itu menarik napas membiarkan dasar liangnya melengkung lebih ke dalam, dia mencoba menghindarkan diri dari serangan frontal.
Cau-ji sama sekali tak ambil peduli jurus kembangan macam apa yang akan dia gunakan, bagi pemuda ini, dia hanya tahu menggempur! Gempur! Dan gempur terus! Prinsipnya dia menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi untuk melakukan tusukan itu.

Sekilas pandang orang akan mengira sepasang laki-perempuan itu sedang melakukan adegan syuur yang membetot sukma, padahal kenyataan permainan itu dipenuhi hawa napsu membunuh yang luar biasa, sedikit saja kurang berhati-hati, bisa jadi ada ancaman jiwa raga.
Dengan tegang Bwe Si-jin mengawasi pertempuran yang sedang berlangsung antara kedua orang itu.

Kaum sesat musnah, dunia aman
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd