--------------------------------------------
Aku menyetir dengan kepala kosong. Pagi hari, sebelum jalanan mulai macet oleh manusia-manusia yang memutar roda kehidupan dan memastikan dunia berjalan dengan lancar dan semestinya. Aku meminjam mobil adikku untuk menjemput Kyoko di Bandara.
Seharusnya ini jadi hari yang membahagiakan, karena akhirnya Kyoko datang ke Indonesia. Tapi perasaanku teraduk-aduk oleh perkataan Kanaya tadi malam.
“Stop it! I Love You” perkataan yang membuat jantungku berhenti mendadak, yang dilanjutkan dengan keheningan yang cukup lama dan membingungkan. Hening itu pun mendadak berhenti dengan kedatangan Stefan, yang langsung mengajakku pulang. Kanaya tanpa suara langsung berlalu detik itu juga.
Entah apakah aku yang tidak peka, tapi aku sama sekali tidak bisa menangkap tanda apapun soal perkataan Kanaya semalam selama ini. Selain fling yang terjadi sebelum aku berangkat ke Jepang untuk pertama kalinya, aku tidak pernah merasakan hal apapun lagi dengan Kanaya. Kupikir semuanya datar saja, sama seperti apa yang kurasakan selama ini.
Dan kejadian semalam sukses membuat kepalaku berpikir tidak berhenti. Betapa aku menyadari semua cerita dan perkataanku tentang Kyoko, ditambah ledekan dan bercandaan dari anak-anak soal aku dan dirinya mungkin menekan Kanaya, ditambah dengan kepusingannya soal pekerjaannya. Dan tekanan itu berubah jadi ledakan semalam. Ledakan kecil yang melukai.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha membersihkan kepalaku dan beralih ke perasaan senang yang tersembunyi di dalam kepusingan. Belum beres pusing tentang Zee yang selau berubah jadi predator seksual setiap kali dia mabuk, dan kegalauan Anin atas dirinya, sekarang Kanaya datang membawa permasalahan yang sama sekali tidak tercium olehku.
Stop it! Itu yang dia bilang semalam. Berarti dia muak atas semua obrolan tentang diriku dan Kyoko.
I Love You. Love? Bukan sekedar like? Masuk akal. Karena kami berdua begitu intens bergaul, bahkan kami sering berbagi daun bersama, hanya berdua, mungkinkah perasaan itu tumbuh dalam dirinya seiring dengan berjalannya waktu? Dan sekarang ledakan perasaan itu telah membuat perasaan excitedku menunggu kedatangan Kyoko ke Jakarta telah hancur. Ya, aku masih senang dengan kenyataan Kyoko sebentar lagi akan menyentuh Indonesia, tapi bagaimana dengan perasaan excited itu? Perasaan itu hancur setelah Kanaya meletuskan emosinya di depanku. Letusan kecil yang menyakitkan.
Oh God. Aku tidak ingin mengizinkan perasaan Kanaya merusak kebahagiaanku atas kedatangan Kyoko. Mobil yang kusetir sudah masuk ke gerbang Bandara Soekarno Hatta, seiring dengan matahari pagi yang semakin naik, menyapa kerasnya Jakarta, kota yang banyak dibenci sekaligus dicintai.
--------------------------------------------
Aku dengan tidak sabar menunggu di gerbang kedatangan, harusnya dia sudah sampai. Aku tak sabar melihat sosok perempuan yang kuharapkan setiap harinya itu. Di sisi lain aku juga geli membayangkan selama dua minggu, Kyou-Kun akan selalu sibuk sendirian di café, karena adiknya ada di Indonesia, pacaran.
Kuregangkan badanku sambil melihat papan pengumuman. Pixel-pixel yang bergerak dalam papan LED itu telah menunjukkan bahwa penerbangan ANA asal Jepang sudah mendarat sekitar 15 menit yang lalu. Mungkin Kyoko masih menunggu bagasi. Aku dengan sabar berdiri, sambil terus melirik ke arah manusia-manusia yang mungkin baru turun dari pesawat.
Tak berapa lama, sosok itu keluar. Rambut pendek acak-acakan, dengan dandanan sederhana, T-shirt, sweater, jeans dan sneakers keluar sambil mendorong troli berisi koper dan ransel.
“Aya!” teriaknya otomatis sambil melambai ke arahku.
Aku tersenyum melihat dirinya. Kyoko berjalan perlahan ke arahku, lalu memarkir trolinya tepat di depanku. Aku mendekat dan menepuk kepalanya.
“Finally.. Indonesia e yokoso…” selamat datang di Indonesia.
“Haha… ahirunya… Kyoko can’t wait to finally see you” senyumnya manis, dan langsung memeluk tanganku dengan eratnya. Dia menempelkan kepalanya di bahuku, pertanda bahwa rasa kangennya akhirnya terbayar.
Aku lantas mendorong troli ke arah drop off area, dan Kyoko menggandeng lenganku dengan muka sumringah yang tidak bisa disembunyikan. Baguslah, perasaan khawatir soal Kanaya bisa tidak kupikirkan, karena teralih oleh Kyoko.
Setelah aku mengambil mobil dan memasukkan barang-barang Kyoko ke dalam bagasi, kami berdua segera meluncur ke Radio Dalam, tentunya ke rumahku, biar Kyoko unpacking terlebih dahulu dan berkenalan dengan ibuku. Sayang Ai pasti sudah berangkat ke kantor. Dia tidak mendapatkan banyak libur pada akhir tahun ini, selain karena jatah cutinya pun sudah habis.
“So… Ano… Apaka.. seraru seperuti ini jarannya?” tanya Kyoko melihat antrian mobil-mobil dengan jumlah massive di tol Bandara yang menuju ke tengah kota.
“Yep… Macet… Welcome to Jakarta” senyumku.
“Orang.. Orang… Itu.. Ano… Tida bosan di daram mobil?” tanyanya polos.
“Udah kebiasaan”
“Kowai…” ya, menyeramkan. Dia duduk sambil memperhatikan ekspresi orang-orang yang pasrah di tengah kemacetan.
“Eee” Kyoko kaget melihat supir truk meludah sembarangan ke jalanan.
“Haha… You will get used to it” komentarku.
“Aya… Kenapa jarannya berugerak rambat sekari…” Kyoko celingukan, tampak gelisah dalam kemacetan. Mungkin seumur hidup, baru sekarang dia merasakan macet yang amat sangat.
“Sabar, biasa kok ini” senyumku.
“Sabar? Eee.. Indonesia jin wa… kenapa bisa sabar seperuti ini….” keluhnya.
“Haha, tapi kan kita jadi bisa ngobrol di mobil” aku berusaha memberi pandangan dari sisi lain.
Kyoko tersenyum dan menerima sambutan tanganku yang ingin menggenggamnya. “Ah, but with Aya… Kyoko akan enjoy Jakarta…” senyumnya.
--------------------------------------------
“Halo sayang…. Gimana, macet tadi di Jalan?” Kyoko dengan awkward meneriman pelukan dan ciuman pipi kanan dan kiri dari ibuku.
“Ano… Iya… Hai..” Kyoko tampak bingung bagaimana harus memanggil ibuku, dan ia juga kaget karena mendadak langsung diajak cepika cepiki oleh ibuku. Oh gagap budaya, tawaku dalam hati. Di jepang sudah pasti caranya berkenalan adalah dengan saling menunduk, sekarang Kyoko harus menghadapi orang tua pacar yang sukanya cium pipi, seperti kebanyakan orang tua di Indonesia.
Dan dia tampak sangat bingung bagaimana memanggil ibuku. Kalau di Indonesia, simple, tante dan om biasa digunakan untuk memanggil orang tua pacar, atau Pak dan Bu juga bisa. Sedangkan orang bule, bisa pakai Sir dan Mam, atau memanggil menggunakan nama belakang, Mr. Jones atau Mrs. Jones. Kalau Jepang bagaimana? Apakah dengan memanggil nama belakang juga? Suzuki San? Seperti itu? Atau bagaimana?
“Ah Ano… Aya no Okasan… Terima kasi suda… Ano… Izinkan Kyoko tinggaru disini…” Kyoko menunduk dengan sangat dalam ke arah ibuku. Buset, formal amat. Aku nyengir sendiri melihatnya.
“Aduh, gapapa, justru Tante senang, bisa ketemu Kyoko” senyum ibuku.
“Ano… Tante?”
“Eh, itu kalo kita manggil orang tua pacar begitu… Biasanya….” aku berusaha menjawab kebingungan Kyoko.
“Demo… Tante bukannya adik Okasan? Bibi?” bisik Kyoko dengan anehnya ke diriku.
“Aduh… Hmm… Udahlah, panggil Okasan aja, biar gampang” jawabku.
“Ya pasti saya bakal jadi Okasan kan nanti buat Kyoko?” senyum ibuku penuh arti.
“Ah… Hehe… Ano…” Kyoko tampak bingung.
“Doushita?” tanyaku.
“Ano…” Kyoko menunjuk ke kopernya. Oh.
“Sini, aku bawa ke kamar” senyumku. “Kyoko disini aja sama Mama ya”
Kyoko mengangguk walau masih terlihat canggung. Mereka terdengar berbincang di ruang tengah, mengobrol entah apa. Aku berjalan naik ke lantai atas, tempat kamarku berada, dan kamar tamu yang kosong itu sekarang sudah bersih. Aku memasukkan koper dan tas ransel Kyoko ke dalam kamar tamu dan segera kembali ke bawah.
“Ano, terimakasi sekari sudah izinkan Kyoko disini… Ah, Omiyage… Aya…” Kyoko melihat kearahku dan mengindikasikan bahwa di dalam kopernya ada oleh-oleh untuk kami.
“Nanti aja pas malem, pas udah ada Ai, sekarang, saya mau kerja dulu…. Makanan untuk makan siang udah ada, tinggal manasin ya Ya…” ibuku terlihat sangat sumringah.
“Okei…” senyum Kyoko ke arah ibuku.
--------------------------------------------
“So… This studio, all Aya’s song dibuat disini?” tanya Kyoko sambil melihat-lihat studioku. Aku duduk di kursi sambil mengerjakan beberapa pekerjaan yang harus dilakukan.
“Hai…” jawabku sambil meliriknya. Lucu rasanya ia ada disini.
“Aya nanti beraja nihongo?” tanyanya.
“Enggak, udah libur lesnya, dua minggu….” jawabku.
“Kyoko akan memberes kan koper dahuru…” mendadak ucapannya terpotong karena aku memeluk pinggangnya dan menariknya ke pangkuanku.
“Finally you’re here” bisikku.
“Of course….” Kyoko memeluk leherku dan membiarkan aku mencium bahunya. Aku memeluknya dengan seluruh perasaan rindu yang kupunya.
“Agenda minggu ini apa Aya?” bisiknya.
“Besok… Hantaman latihan, Jumat malam kita ke pernikahan Bagas – Bgas no Kekkon, lalu sabtu ke Bandung…” jawabku.
“Ano, selesai menikah… Dia, besoknya main music? Di Bandung?” tanya Kyoko bingung soal Bagas.
Aku menjawab dengan menaikkan bahuku. Bagas memang ajaib dan kami sudah tidak ingin lagi membahas soal dia. Aku memeluk Kyoko lagi dan meraih bibirnya, menciumnya pelan. Aku lalu tersenyum padanya.
“Besok mau nengok bayinya sepupuku?” bisikku.
“Bisa, tersera Aya” jawabnya.
“Yaudah, sekarang kita beresin barang-barang kamu dulu yuk…. Terus makan siang, oke?” bisikku lagi.
“Okei” Kyoko mengangguk dengan lucunya.
Kami lalu bangkit dan Kyoko mengikutiku. Aku menggandeng tangannya dan mulai berjalan dari arah studio ke lantai dua. Lucu. Di dalam rumah saja gandengan. Aku membuka kamar tamu dan kami berdua masuk ke dalam.
Kyoko tersenyum ke arahku dan langsung membongkar kopernya. Aku duduk di kasur, memperhatikan Kyoko membongkar pakaiannya yang ditata sangat rapih dalam koper itu. Aku tak tahu kalau ternyata bisa muat sebegitu banyak, dengan metode packing ala Kyoko yang benar-benar efektif. Mungkin dia sudah baca bukunya Marie Kondo, tapi entahlah. Aku memperhatikannya bergerak dengan cekatan dan telaten. Lucu. Rasanya seperti Man and Wife of the house.
Dalam waktu singkat seluruh isi koper Kyoko sudah berpindah ke lemari dan meja rias. Dia lalu menghampiriku, duduk di sebelahku dan tersenyum kepadaku.
“Ima nani? Taberu?” tanya Kyoko, sepertinya dia sudah lapar dengan mengajakku makan.
“Ima kore…” bisikku, lalu aku mendorong tubuhnya ke atas kasur, dan memeluknya, lalu mencium bibirnya dengan panas.
Kami berdua bergumul, saling mencium, melepas rindu yang tertahan selama 6 bulan kurang, sejak Hantaman show di Jepang.
Tanganku mulai meraba badannya, mencoba melepaskan hal-hal nakal yang sudah tertahan lama. Jari-jariku dengan tidak tahan mulai mencoba membuka kancing celananya.
“Chotto” bisik Kyoko sambil membelai pipiku.
“Nani?”
“Chotto Ima Anne…” bisiknya
“Hah?”
“Tida bisa sekarang…” Kyoko membentuk tanda X dengan jarinya.
“Oh…” Aku tersenyum malu. Sedang mens rupanya. Aku akhirnya menciumnya di keningnya. Kyoko tersenyum lucu dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Adem rasanya. Akhirnya kami bisa bermesraan di Indonesia. Hal yang mungkin kuanggap mustahil saat perama kali bertemu dan mulai tertarik kepadanya. Ketertarikan yang otomatis dan natural.
Tak terasa kami memang sudah setahun bersama, walau lebih banyak dihabiskan dalam hubungan jarak jauh. Tapi rasanya memang selalu aman dan nyaman bersama Kyoko.
--------------------------------------------
“Oishi… Totemo Oishi…” senyum Kyoko sehabis memakan hasil karya ibuku. Makan siang sederhana ala Indonesia, tetapi di tangan ibuku, tentu semuanya jadi magical. Dan seperti biasa, Kyoko menahanku yang tampak ingin bergerak ke sink untuk membereskan makanan. Dia langsung bergerak cekatan, membereskan meja dan mencuci piring, seperti sudah hapal letak semuanya, padahal ini bukan dapur rumahnya. Well.. Mungkin ini akan jadi dapur rumahnya nanti.
“So… Ai chan beri tahu Kyoko… Dia birang mau Kyoko masak di sini, kapan kira-kira?” tanya Kyoko sambil mencuci piring. Aku berpikir sambil memperhatikannya.
“Besok? Habis nengok bayi?” aku memberinya ide.
“Jya… Okei” Kyoko mengangguk dan tersenyum tipis ke arahku.
“Deket sini ada grand lucky sih kalo mau belanja bahan makanan, dan besok ada anak-anak juga tapi…”
“Hantaman?”
“Iya”
“Nanti Kyoko masak banyak… Buat mereka…” senyumnya.
“Dan mendadak kita jadi gak ngobrol pake bahasa Jepang atau inggris lagi” balasku.
“It’s okei… Supaya Indonesia-go Kyoko semakin rancar…”
“Nanti malem makan di luar?” ajakku.
Kyoko mengangguk dengan sumringah. Aku tahu kalau dia pasti ingin cepat-cepat merasakan dibonceng olehku. Aku berdiri kembali dan mengacak-ngacak rambutnya, lalu kembali berjalan menuju studio untuk melanjutkan pekerjaanku.
--------------------------------------------
“Naaaah!! Aduh kangen!!!” teriak adikku saat aku dan Kyoko pulang dari makan malam.
“Ai Chan” Kyoko menyambut pelukan Ai dengan sama antusiasnya. Senang melihat mereka bisa akrab begitu.
“Abis makan dari mana?”
“Ano… tadi… Namae wa nani…” Kyoko melirik bingung ke arahku.
“Blok M”
“Ah hai… Burokku M”
“Curang, disitu kan banyak masakan jepang… Ajakin ke masakan indonesia dong… Kayak deket rumah kita kan ada Bebek Slamet…” komentar Ai.
“Ntar dia mencret makan bebek slamet tau”
“Nani? Mencret?” bingung Kyoko.
“Ah… Emm…. Sangat pedas… Nanti Kyoko sakit perut” jelasku.
“Ah… Hai…” Kyoko mungkin membayangkan seperti apa rasa pedasnya. Dan aku tak tega memberinya makanan yang terlalu mengagetkan untuk perutnya seperti masakan padang dan sebagainya, nanti bisa amburadul perutnya dia.
“Eh, itu ada martabak manis tuh, aku bawa tadi beli…. Kyoko pasti suka” senyum Ai sambil menarik Kyoko ke arah meja makan. Kyoko pasrah saja mengikuti Ai.
“Banyak amat kamu belinya” komentarku melihat dua bungkus Martabak Manis yang saling bertumpuk di atas meja.
“Kan satu buat Kyoko semua”
“Kayak yang abis aja”
Sementara Kyoko masih bingung harus melakukan apa dengan kotak-kotak tersebut. Dia celingukan berharap aku datang membantunya. Akhirnya aku bongkar salah satu kotak dan memperlihatkan isinya ke Kyoko.
“Aaa… Apa ini?” tanyanya dengan kaget, sambil menghirup aroma manis yang semerbak.
“Martabak, yang waktu itu kita bilang kamu pasti suka pas di Harajuku…. Try it” jawabku.
“Ano…” Kyoko tampak bingung harus mengambil potongan yang mana.
“Semua sama aja kok” celetuk Ai, masih berusaha memperhatikan apakah Kyoko benar akan menyukai makanan tersebut atau tidak. Kyoko tampak ragu-ragu, namun pandangan Ai yang tampak begitu menantikan reaksi Kyoko membuat Kyoko akhirnya mengambil sepotong Martabak Manis dengan tangannya.
“Still hot… Atsui” Kyoko meringis geli. Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu datang. Kyoko dengan ragu-ragu menggigit Martabak manis itu. Reaksi selanjutnya sudah bisa kita duga.
“Mmm… Umai…” kagetnya dengan mata terbelalak. Sensasi campuran coklat, kacang, keju yang adonan yang mendadak meleleh dimulutnya membuatnya kaget. Sudah kuduga. Dia tampaknya menyukainya. “Aya, kore… Totemo Oishi….” Matanya masih melotot keenakan. Aku tertawa kecil dan mengambil sepotong juga, lalu duduk di kursi makan sambil memperhatikannya tertegun oleh kelezatan martabak manis yang baru pertama kali ia rasakan itu.
“Enak?” tanyaku sambil menahan tawa. Kyoko hanya mengangguk pelan dan melahap potongan yang ada di tangannya itu tanpa suara.
“Bener, dia bakal sesuka itu” tawa Ai sambil memperhatikannya. Bertambah lagi satu pengetahuan Kyoko soal makanan manis. Kedepannya mungkin akan aku perkenalkan dia ke makanan-makanan manis khas Indonesia.
--------------------------------------------
Aku sudah mandi dan bersiap untuk tidur. Hari yang menyenangkan. Tidak kusangka hari pertama Kyoko disini, dia sepertinya menikmatinya. Tadinya kupikir ia bakal stress dengan kesemrawutan jalan khas Jakarta. Tapi selain kekagetannya soal macet di tol bandara, dia tampak tidak terganggu. Mudah-mudahan dia tidak menyembunyikan apapun dariku hari ini, dan aku berharap dia sungguh-sungguh menikmatinya.
Dan ya, nasib sebagian Martabak Manis itu berakhir di perut Kyoko. Tanpa sadar ia terus memakannya, seperti terbius oleh rasa manis yang luar biasa menggigit itu. Kyoko dan makanan manis, seperti dua hal yang sama sekali tidak bisa kita pisahkan.
Aku dan Ai sampai keheranan melihat dia mampu melahap makanan sebanyak itu, sekaligus mengkonfismasi pemikiran Ai bahwa Kyoko pasti sangat menyukai makanan manis. Dan sejenak pikiranku soal Kanaya benar-benar teralihkan. Aku jadi galau soal ideku membawa Kyoko ke pub. Bagaimanapun pub itu adalah salah satu bagian tak terpisahkan dari sejarah hidupku. Tapi aku takut pertemuan Kyoko dan Kanaya akan menimbulkan riak-riak, setidaknya di hati kanaya.
Tapi apakah aku harus menjaga perasaan Kanaya? Aku tidak pernah benar-benar tertarik padanya walau sebelum bertemu Kyoko sekalipun. Tapi dia adalah salah satu teman terdekatku saat ini, dan sebagai teman aku merasa harus menjaga perasaannya. Ah sudahlah, kepalaku jadi lari kemana-mana.
Satu hal yang benar-benar kuperhatikan adalah, betapa mukanya sungguh berada dalam titik terendahnya ketika dia mengatakan hal itu semalam. Stop it – I Love You. Dia katakan bukan dalam maksud untuk mengaku, sepertinya. Tapi dia katakan karena dia merasa tidak tahan akan tekanan-tekanan yang menguasai dirinya akhir-akhir ini.
Dan lamunanku pun buyar oleh ketukan di kamarku.
Aku bergegas membukanya.
“Konbanwa Aya” senyum Kyoko di depan pintuku. Dia mengenakan pakaian tidur yang terlihat seperti T-shirt besar itu. Yang sebelumnya sepertinya pernah kulihat di webcam.
“Hei Kyoko” sapaku balik, berusaha menutup pikiranku soal Kanaya terlebih dahulu.
“So, this is kama’ Aya” dia celingukan melihat kamarku yang tidak ramai ini. Isinya hanya tempat tidur, lemari baju, meja komputer serta komputernya, juga sofa kecil dan coffee table.
“Masuk?” tanyaku mengundangnya masuk.
“Okei..” senyumnya sambil menyelina masuk ke dalam kamarku.
Aku mempersilahkannya duduk di sofa dan aku duduk di sebelahnya. Kyoko langsung bersender ke bahuku.
“Tired… Rerah today…” bisiknya.
“Of course, kamu baru nyampe, besok paling capeknya udah ilang, senyumku.
“Terimakasi aya… suda buat Kyoko comfortable disini…. Also to Okasan to Ai”
“Pasti… Aku kan sayang kamu” aku mencium keningnya dan menggenggam tangannya. “Dan mama juga Ai sayang kamu juga” lanjutku.
Kyoko hanya menjawabnya dengan tersenyum. Aku tahu dia pasti sangat menantikan untuk berdua denganku seperti saat sekarang.
“Mau tidur bareng? Isshoni?” bisikku
“Ano… Jangan, nanti okasan tidak suka….” Jawabnya malu-malu.
“Haha, iya, lagian kan nanti di bandung kita bisa tidur bareng ya?”
“Demo… Kyoko mau finish yang tadi siang buat Aya” senyumnya berusaha menyembunyikan pemikiran nakalnya.
“Tapi Kyoko kan lagi gak bisa?”
Kyoko hanya tersenyum dan maju perlahan, berharap aku menciumnya. Dan terang saja aku maju juga untuk mencium bibirnya yang lembut. Aku memeluknya lembut di atas sofa itu, menyentuh bibirnya dengan perasaan yang tertahan. Bibir kami berdua beradu dengan intensnya, tentunya dengan berusaha untuk tida mengeluarkan suara apapun yang mencurigakan. Bahkan nafas kamipun kami atur sedemikian rupa agar tidak bersuara.
Rasanya dunia ini hanya ada aku dan dirinya. Bersama, dan aku semakin tidak sabar untuk membawa Kyoko dalam kegiatanku sehari-hari dalam dua minggu ini. Dia seperti sesuatu yang telah lama hilang dan kembali, memberikan perasaan penuh padaku, dan mengalihkan kepusingan pikiranku atas apapun dengan kehadirannya.
“Aya….” Bisik Kyoko.
“Yes?”
“Kyoko kasihan sama Aya” ucapnya dengan logat Jepang yang kental.
“Kasihan kenapa?”
“Kyoko sedang tida bisa” senyumnya penuh arti. Pasti dia bicara soal seks dan datang bulan.
“It’s okay, matteimasuyo…” bisikku, memberitahunya bahwa hal itu bisa menunggu.
“But I can do something…. Untu’ Aya” bisik Kyoko dengan maksud tersembunyi.
“No.. No… Jangan ah, nanti aja kalo kamu udah beres ya” aku tidak ingin dia melayaniku secara sepihak, karena aku tahu arah pembicaraan ini kemana.
“Hehehe…” Kyoko lalu lepas dari pelukanku dan bangkit. Dengan gerakan yang terlihat lambat di mataku, dia sudah duduk di lantai, di depanku, sambil bertumpu ke pahaku. “Come on…” bisiknya dengan nada menggoda. Aku menelan ludahku sendiri. Tanpa sadar penisku sudah menunjukkan gejala-gejala tertarik. Jantungku terasa berdegup kencang, membayangkan adegan yang mungkin terjadi dalam beberapa menit kedepan.
“Jangan birang no…” bisiknya. Kyoko lalu menarik celanaku perlahan, dan akhirnya dia turun juga. Penisku terlihat berdiri tegak dan langsung menjadi pusat perhatian Kyoko.
Aku pasrah. Siapa yang tidak mau? Pacarmu yang datang jauh-jauh dan menginap di rumahmu, menyelinap ke kamarmu untuk memberikanmu oral seks? Cuma orang bodoh yang menolaknya kalau posisinya sudah begini.
“Mmm…” Kyoko tanpa ba-bi-bu lagi langsung memasukkan batang penisku ke mulutnya. Dengan perlahan dinding mulutnya menyentuh penisku, mengulumnya dengan gerakan pelan, dan matanya terus-terusan menatap lekat ke mataku. Gila. Ditambah sensasi diam-diam agar tidak ketahuan orang rumah, jantungku rasanya berdegup dengan kencangnya.
Tanpa menstimulasi penisku dengan tangan, Kyoko terus dengan seksama menggerakkan lehernya, menghisap penisku. Aku berusaha menutup mulutku, berusaha agar suara desahanku tidak keluar dari pita suaraku. Aku hanya bisa terdiam dengan nafas yang berat, melihat Kyoko mengulum batang kemaluanku dengan asyiknya. Bisa kurasakan hangatnya bagian dalam mulutnya, gerakan lidahnya dan betapa merangsangnya irama pergerakan mulutnya.
Tak jarang dia mengeluarkan penisku dari mulutnya, untuk menciumi permukaannya dan menggigit lembut buah kemaluanku, atau sekedar menjilat permukaan penisku dengan gerakan-gerakan yang menggoda.
Tapi dia lalu bergerak menjauh dari penisku.
“Aya harus rihat Kyoko” bisiknya. Lihat? Kyoko lalu membuka baju tidurnya, dan menunjukkan tubuhnya yang indah. Hanya celana dalam yang menutupi tubuhnya. Buah dadanya yang luar biasa menggoda terlihat begitu jelas di hadapanku. Aku tak kuasa, saat ia kembali merayap mendekatiku, dan kembali mengulum penisku dengan nyamannya.
Tangankupun tidak dapat kukontrol lagi. Tanganku berusaha menyentuh dan menjamah buah dadanya. Buah dadanya yang bulat sempurna itu, kuraih keduanya dan aku meremasnya perlahan. Kyoko tampak berusaha menahan geli dan menahan suaranya agar tidak keluar. Tentunya ia pasti terangsang juga, dan katanya perempuan yang sedang datang bulan itu, sedang horny-hornynya.
Kyoko masih berusaha menstimulasiku, berharap aku merasakan kenikmatan yang kupikir bakal tertunda,menunggu agenda kewanitaannya selesai. Tangannya masih menyentuh pahaku dengan lembutnya, dan penisku masih menikmati pergerakan mulutnya.
Aku sangat menikmati hisapannya, gigitan-gigitan kecilnya, dan gerakan mulutnya yang membuatku lupa diri. Setiap jengkal dari batang penisku sepertinya tidak ada yang tidak ia stimulasi oleh mulutnya. Bagaimanapun ini sensasi yang luar biasa. Dan karena sehabis ini aku tidak perlu melakukan hubungan seks yang lebih lanjut dengan Kyoko, maka aku benar-benar menikmatinya dan tidak menahan-nahan gejolak yang terus bertumpuk di ujung penisku.
“…..” aku speechless, melihat Kyoko begitu antusias mem-blowjob diriku. Dia tampak benar-benar memperlakukan penisku bagai eskrim favoritnya. Dia berusaha menikmatinya dengan cara apapun, untuk memberikanku kenikmatan.
Lama kelamaanpun kakiku terasa kaku, ledakan tak bisa dihindari, karena akan terjadi dalam waktu dekat. Aku melepaskan tanganku dari buah dadanya dan lantas berbisik ke dirinya.
“Kyoko…. I’m about to finish….” Bisikku, menghindarkannya dari kekacauan yang mungkin terjadi di dalam mulutnya kalau aku tiba-tiba orgasme tanpa pemberitahuan. Tapi Kyoko malah bertindak berbeda dari yang kubayangkan. Aku mengira dia akan melepas penisku dari mulutnya dan mengocoknya seperti yang ia lakukan di kamar penginapan waktu itu. Tetapi sekarang tidak. Kyoko tetap mengulum penisku, malah tangannya memegang pangkal penisku dan mengocoknya dengan tampang innocent, menatap mataku.
“Kyoko… It will come out in your mouth… “Bisikku.
“Hmm mm…” jawabnya. Dan bisa kuliah segaris senyum tipis di bibirnya yang masih mengulm penisku.
Oh shit. Tatapannya benar-benar menantang. Tangannya bergerak dengan agak cepat, dan mulutnya masih mengulum penisku.
Sialan.
Sudah tidak tahan lagi.
Pantatku menegang, lalu kurasakan perasaan geli yang menjalar dari lututku ke arah penisku.
“Nggh…” aku terpaksa mengeluarkan suara karena memang sudah tidak tertahan lagi. Kyoko lalu membuka mulutnya, mengarahkan ujung penisku ke dalam mulutnya, dengan penuh kepasrahan. Dia mengocoknya dan akhirnya ledakan itu terjadi juga.
Sperma dengan deras mengalir, menuju mulut Kyoko. Cairan putih hangat itu membasahi mulutnya, dan beberapa tetesnya tampak membasahi bibirnya. Aku terpana, adegan ini seperti terjadi dalam film-film porno. Kyoko terus memeras penisku agar sisa-sisa sperma terus membasahi mukanya, terutama mulut dan bibirnya.
Mulutnya penuh oleh spermaku, sperma yang lama tertahan karena hanya bisa disalurkan lewat masturbasi ataupun kenakalan kami berdua lewat webcam.
“Kyoko…” bisikku dan aku berusaha menyelidik kamarku sendiri, mencari tisu agar Kyoko bisa meludahkan spermaku dan membersihkan mukanya. Mendadak adegan itu berlanjut. Kyoko dengan pasrah menelan spermaku, meninggalkanku dalam posisi kaget. Speechless. Cairan putih itu hilang masuk ke dalam tenggorokannya. Mukanya terlihat puas dan ia menatapku dengan cairan spermaku masih tersisa di bibir dan dagunya.
“Aya suka?” bisiknya.
“Suka tapi…” aku terpaku, tak menyangka dia akan menelan spermaku dengan sukarela.
“If Aya like it… Kyoko also like it…” bisiknya sambil tersenyum, dengan penampilan yang benar-benar membuatku masih terpaku.
Telanjang dada, hanya memakai celana dalam, dengan bibir berhias tetesan sperma, dan Kyoko baru saja menelan spermaku.
Aku meraih badannya dan mencium keningnya. Kami berdua terdiam di kamar itu, dan aku merasakan betapa ia sungguh-sungguh ingin membahagiakan diriku. Tenanglah, selama kita berda bersama, aku akan membahagiakanmu juga, Kyoko.
Kucium pipinya dan kami tenggelam dalam pelukan kami di atas sofa.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG