Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Para Naga di Pusaran Badai - Copas - TAMAT

Bimabet
:kopi::baca:
Loading......
sebenarnx ini tulisan salah satu anak negri loh bang troy
nih tulisannx ajha dari 2007 sampai sekarang belum selesai bang troy dah terdiri dari 3 judul berbeda nih konfiknx komlex antara cina jawa sumatra sedikit bocoran buat bang troy......
sama sama bang troy ... ayo :kopi:
:jempol:
iyoo..muantepp

kalau begitu cerita ini lebih luas jangkauannya dari Trilogi Chin Yung yang sebatas sampai wilayah Yunan, Persia dan India.. jika tengok kembali sejarah, erat sekali kaitannya antara daratan Tionghoa dengan kawasan nusantara. karena salah satu data penting sejarah nusantara berasal dari berita china. negeri mereka dalam mencatat sejarah nya lebih lengkap dan lebih rapi.
 
Mantap benar gan :jempol:
ane OL cuma mau baca ini. habis lepi ane lagi diopname buat update cerbung ane... :sendirian:
 
:kopi::baca:
Loading......

:jempol:
iyoo..muantepp

kalau begitu cerita ini lebih luas jangkauannya dari Trilogi Chin Yung yang sebatas sampai wilayah Yunan, Persia dan India.. jika tengok kembali sejarah, erat sekali kaitannya antara daratan Tionghoa dengan kawasan nusantara. karena salah satu data penting sejarah nusantara berasal dari berita china. negeri mereka dalam mencatat sejarah nya lebih lengkap dan lebih rapi.

iya om nih penulisnx keren membuat sebuah cerita bukan hanya asal jadi tapi mengambil setting dari sejarah juga

sambil nunggu welder selesai ngelas UPDET dulu ah .....
 
BAB 11 Dimanakah Kim Ciam Sin Kay?
1 Ceng I Koai Hiap




“Thian jie, sudah saatnya engkau turun gunung. Bahkan sudah saatnya engkau mencari Kim Ciam Sin Kay. Karena saat ini, dialah satu-satunya orang yang menguasai pengobatan dengan jarum emas untuk memulihkan ingatanmu.

Tetapi, ingatlah, setahun kemudian kita bertemu di tebing pertemuan 10 tahunan itu. Besok pagi adalah saat yang tepat buatmu turun gunung. Tidak usah berpamitan kepadaku, karena malam ini aku akan menutup diri guna bersemadi” Demikian seorang tua yang sudah sangat renta, usianya ditaksir sudah lebih 100 tahun, dan dihadapannya bersimpuh seorang pemuda gagah yang setidaknya berusia 18 tahunan.

Anak itu dipanggil Thian jie, karena hanya nama itu yang diketahuinya dan selain itu dia sering memegangi gelangnya dan juga berdesis-desis “jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam”. Selebihnya, nama, orang tua, tempat tinggal, dan lainnya sama sekali tidak diingat anak itu.

“Baik guru, selain mencari Kiam Cim Sin Kay dan pergi ke Tebing Peringatan 10 tahunan, ada lagikah yang harus tecu lakukan”?

“Setelah bertemu Kiam Cim Sin Kay, berikan dia suratku ini, tapi jangan sekali-kali kamu membukanya. Biarlah Kiam Cim Sin Kay yang membacakannya buatmu setelah engkau sembuh. Dan setelah dia menyembuhkanmu, kamu akan tahu dengan sendirinya apa yang akan dan harus kamu lakukan” berkata si orang tua.

“Baik suhu”

“Nah, sekarang sebaiknya engkau bersiap. Malam nanti, sebelum aku menutup diri selama beberapa bulan, kamu boleh datang menjumpaiku”

Siapakah kedua orang ini? Mudah ditebak, inilah Kiang Sin Liong, salah seorang Pendekar Legendaris dan ternama dari Lembah Pualam Hijau. Pendekar besar yang pernah menggetarkan dunia persilatan dengan mengalahkan tokoh-tokoh sakti mandraguna yang menantang para pendekar Tionggoan puluhan tahun silam.

Tetapi kini, dia hanyalah seorang tua yang sudah renta benar-benar. Sudah mendekati atau malah melewati usia 100 tahunan. Karena memang, siapakah yang dapat mengalahkan batas usia? Sementara anak yang dihadapannya adalah Kiang Ceng Liong

Anak yang masih cucu buyutnya langsung, anak dari Kiang Hong, yang ironisnya sedang kehilangan ingatannya ketika terjatuh dari air terjun di belakang Lembah Pualam Hijau. Yang diketahui anak itu hanyalah, namanya Thian Jie, yang juga sebenarnya pemberian dari Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan.

Tetapi dengan nama itulah anak itu kemudian menyebut dirinya, dan karena memang tiada lain lagi yang diketahui anak itu. Karena itu, maka Kakek Kiang Sin Liongpun kemudian memanggilnya dengan nama itu, Thian Jie.

Tetapi, sudah sejak menolong Thian Jie, Kiang Sin Liong menyadari banyak keanehan atas anak ini. Pertama, tenaga sakti yang berpusat di tan tian, pusar anak ini sebagai sumber tenaga sakti, jelas-jelas adalah “Giok Ceng Sin Kang”.

Tenaga Dalam Giok Ceng Sin Kang ini nampaknya sudah dilatih lebih kurang 40 tahunan. Kemudian, di pundak anak itu, terdapa ukiran tato pengenal Keluarga Lembah Pualam Hijau. Karena itu, Kiang Sin Liong yakin bahwa anak ini pastilah salah seorang cucunya.

Cucu buyutnya. Yang ketiga, anak ini tidak mengenal diri dan keluarganya, hanya menyebutkan nama Thian Jie dan selalu berdesis “jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam”. Dan yang keempat, anak ini membekal sebuah gelang yang agak gemuk, nampak tidak berharga, tetapi selalu diusap dan dijaga seperti menjaga keselamatan diri sendiri.

Terakhir, Kiang Sin Liong terpana dengan tatapan mata yang sungguh bersinar aneh, memancarkan wibawa yang sulit ditebak. Dia sendiri tidak mengerti apa artinya dan apa penyebabnya. Tetapi suatu hal, nampaknya anak ini bakal akan sangat berbahaya bila mempelajari Ilmu Kebatinan tanpa bimbingan yang tepat. Kekuatan matanya akan sangat berbahaya bila dikembangkan.

Kiang Sin Liong tidak terlampau memaksa dan mendesak thian Jie untuk mencari tahu keadaannya. Yang pasti anak ini adalah keturunannya, tidak salah lagi. Tato Giok Ceng, Tenaga Sinkang Giok Ceng tidak akan mungkin meleset lagi.

Selain itu, yang mampu menghadiahi anak ini tenaga latihan Giok Ceng sebanyak itu, menurut penilaiannya hanya ada 2 orang, jika bukan Cun Le tentunya In Hong. Pernah sekali dia berkeinginan mengobati Thian Jie dengan kekuatan sinkangnya, tetapi akibatnya malah mengejutkan, tatap wajah Thian Jie menjadi beringas dan baru normal 3 hari kemudian.

Setelah itu dia tidak pernah mencoba lagi, dan sadar hanya Kiam Cim Sin Kay atau guru Kim Ciam Sin Kai jika masih hidup yang mampu mengobati Thian Jie, cucu buyutnya ini. Biarlah semua berjalan dan berlangsung sesuai dengan takdir masing-masing, demikian keputusan kakek Kiang Sin Liong.

Karena itu, sejak upayanya yang gagal itu, Kiang Sin Liong memutuskan untuk berkonsentrasi mendidik anak muda ini saja, biar mampu mengendalikan sinking Giok Ceng dan mewarisi Ilmu kepandaian keluarganya dari Lembah Pualam Hijau.

Dibandingkan Wie Tiong Lan, Kiong Siang Han dan Kian Ti Hwesio, pekerjaan Kiang Sin Liong terbilang jauh lebih ringan. Thian Jie sudah memiliki sumber tenaga sakti dan bahkan hawa sakti yang luar biasa dalam pusarnya. Hawa sakti itu bergerak-gerak liar karena belum sanggup dikendalikannya.

Dan menjadi tugasnyalah untuk memampukan Thian Jie perlahan mengendalikan tenaga itu melalui pengaturan pernafasan. Hampir 2 tahun dibutuhkan Sin Liong untuk membuat Thian Jie sanggup sendirian mengendalikan hawa sakti tersebut, dan selama itu juga, Thian Jie lebih banyak berlatih teori Ilmu Silat dibandingkan bergerak dengan Ilmu Silat.

Hal ini disebabkan, tanpa kemampuan mengendalikan tenaga, maka hawa sakti yang dimilikinya berlimpah, bisa menyerang jantungnya atau memecahkan beberapa jalan darahnya. Karena itulah, Thian Jie dilatih bergerak-gerak mengikuti irama pernafasannya.

Untungnya, dasar Ilmu Silat Thian Jie memang adalah dasar Lembah Pualam Hijau, karenanya tidak membuat Kiang Sin Liong khawatir dengan dasar Ilmu Silatnya. Meskipun kehilangan ingatan, tetapi Ilmu Silat dan gerakan-gerakannya masih dapat dilakukan oleh Thian Jie.

Baru pada tahun ketiga Thian Jie mulai mampu mengendalikan hawa saktinya yang luar biasa itu. Meski, dia belum sanggup meleburkannya dengan kekuatan yang sempat dihimpunnya selama beberapa tahun berbaring di pembaringan Giok Ceng di Lembah Pualam Hijau.

Tetapi pada tahun ketiga, dia mulai mempraktekkan teori-teori Ilmu Silat yang diturunkan gurunya. Sampai memasuki tahun kelima, dimana dia akhirnya sanggup dengan baik mengendalikan hawa sakti dan meleburkannya dengan tenaga sakti yang sudah dilatihnya.

Sejak tahun kelima itulah Thian Jie mulai melatih Giok Ceng Cap Cha Sin Kun, Giok Ceng Kiam Hoat, Soan Hong Sin Ciang ciptaan Sin Liong, serta Toa Hong Kiam Sut. Ilmu-ilmu yang bisa diserap dengan cepat oleh Thian Jie. Bahkan pada akhir tahun keenam, dia sudah bisa memainkannya dengan sangat baik karena dorongan tenaga yang luar biasa dimilikinya.

Ilmu-ilmu silat keluarganya memang baru bisa dimanikan secara sempurna apabila kekuatan tenaga dalam sebagai penopangnya sudah memadai. Sementara saat itu, Thian Jie memiliki tenaga dalam yang sudah lebih dari memadai.

Pada tahun kelima, Kiang Sin Liong menyaksikan keanehan lain dalam diri Thian Jie. Yakni ketika dengan pandangan matanya, dia bisa menjinakkan seekor harimau yang kelaparan. Ban bahkan kemudian bisa memerintahkan harimau tersebut untuk tidur.

Ketika ditanyakan, Thian Jie hanya menjawab kasihan melihat harimau yang kelaparan dan karena itu entah bagaimana dia ingin harimau itu tidur. Dan Kakek sakti itu sendiri kaget setengah mati, karena harimau tersebut memang benar-benar tertidur pulas, dan bahkan selanjutnya menjadi peliharaan Thian Jie dan diberi nama panggilan Houw Jie.

Sejak itulah Kiang Sin Liong memutuskan untuk membuka rahasia ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism), yang juga sangat dekat kaitannya dengan Ilmu Sihir. Hal ini dikarenakan dia melihat Thian Jie sangat tenang, berwibawa dan tidak seperti anak-anak lain seusianya.

Meskipun hanya dasar-dasarnya, tetapi karena kekuatan mata Thian Jie sendiri sudah hebat, sementara tenaga saktinya juga sungguh luar biasa, membuatnya mampu menguasai ilmu I-hun-to-hoat (hipnotis) itu dengan hasil diluar dugaan Kiang Sin Liong.

Baru pada tahun ketujuh sampai seterusnya Kiang Sin Liong melatih Thian Jie dengan ilmu gerak ginkang ciptaannya Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari).

Ilmu-ilmu ini adalah ilmu yang terakhir diciptakannya, dan yang juga sama dengan peyakinan Kiong Siang Han, yang memadukan unsur lemas dan unsur keras. Unsur keras digambarkan dengan memanggil matahari, sebuah unsur keras dari Pek Lek Sin Jiu, sementara awan putih adalah unsur kelemasan dalam ilmu mereka di Lembah Pualam Hijau.

Ilmu inipun mirip-mirip dengan ciptaan Kiong Siang Han, hanya berbeda landasan utamanya. Ilmu yang sebenarnya sangat berat ini, bahkan dalam upaya untuk menyempurnakannya mustahil dilakukan dalam waktu yang pendek. Sama sulitnya dengan mencapai kesempurnaan dalam ilmu mujijat aliran keras Pek Lek Sin Jiu, dimana hanya Kiong Siang Han sendiri yang mampu memainkannya dengan sempurna sampai saat ini.

Tetapi masalah kesempurnaan dalam berlatih ilmu, memang tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Karena itu, Kiang Sin Liong menyerahkan pada peruntungan serta kerja keras, keuletan dan bakat Thian Jie untuk melakukannya.

Terutama untuk ilmu yang terakhir, Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), Kiang Sin Liong mendidik Thain Jie dengan sangat berhati-hati. Karena unsur kekuatan sihir sudah dimiliki Thian Jie, sementara Ilmu tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk melawan kekuatan sihir, tetapi juga sekaligus mendatangkan perbawa sihir.

Karena itu, Kakek Kiang Sin Liong tidak menghendaki anak ini tersesat. Terlebih karena kekuatan hawa sakti Thian Jie yang sudah sedemikian tingginya warisan dari kakeknya. Itu juga sebabnya maka berkali-kali dia menanamkan pengetahuan budi pekerti dan pendalaman kemampuan batin untuk melawan godaan sesat dalam diri anak ini. Pelajaran lain yang sangat penting bagi anak ini.

Karena bahkan Kakek Kiang Sin Liongpun terkadang bergidik ngeri melihat tatapan mata anak ini. Tatapan yang nampak memang berhawa aneh dan dia sendiri tidak mengerti apa sebabnya. Mungkin hanya seorang Kim Ciam Sin Kay yang bisa membantu menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dan dialami anak ini.

Anak yang hanya tahu sejarah hidupnya sejak diselamatkan Tek Hoat dan Mei Lan. Dan sama sekali telah melupakan bagian kehidupan lainnya yang tersisa dan yang malah terpenting. Yang terpenting, bahwa anak ini sudah tersiapkan secara lahir dan batin untuk memasuki pergolakan dunia persilatan.

==============

Berdasarkan informasi yang disampaikan gurunya, maka Thian Jie kemudian mengambil arah ke sungai Yang Ce. Karena di daerah kerajaan Cin, khususnya sekitar Pakkhia, untuk yang terakhir kalinya Kiam Cim Sin Kay terlihat. Bahkan kabar dan isue di dunia persilatan menyebutkan bahwa Pangcu Kay Pang itu telah tertawan oleh musuh.

Isue ini kemudian dikuatkan oleh munculnya organisasi atau perkumpulan Pengemis baru, yang menamakan dirinya Hek-i-Kay Pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tidak lama setelah menghilangnya Pangcu Kay Pang Kam Ciam Sin Kay.

Bahkan diduga kuat, kemunculan Perkumpulan Kay Pang yang baru, erat hubungannya dengan menghilangnya Pangcu Kay Pang. Hek-i-Kay Pang sendiri dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Hek Tung Sin Kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) yang selain memiliki kesaktian tinggi dalam ilmu silat, juga memiliki kemampuan menjinakkan ular yang cukup lihay.

Hek Tung Sin Kay inilah yang memelopori penggembosan dan pemberontakan kelompok pengemis di daerah kerajaan Cin. Dan kemudian, tokoh ini pulalah yang memelopori pendirian Pang baru bagi kaum pengemis, terpisah dari Kay Pang pusat.

Karena informasi ini, maka Thian Jie kemudian memilih arah ke sungai Yang ce. Di perjalanan, dalam kondisi dunia persilatan yang awut-awutan, berkali-kali Thian Jie dikerjai oleh perompak dan kaum liok lim (kaum penjahat dan perampok).

Tetapi, anak muda sakti ini selalu dapat menghindari atau melawan gangguan itu, bahkan dengan tidak pernah mau membunuh lawan-lawannya. Selama hampir 2 bulan perjalanannya, namanya bahkan jauh lebih cepat tersebar kemana-mana dibanding langkah kakinya.

Di dunia persilatan mulai tersiar kabar adanya atau munculnya pendekar muda yang mereka namai sendiri Ceng-i-Koai Hiap (Pendekar Aneh Berbaju Hijau). Entah kenapa, memang sejak menanjak remaja, Thian Jie lebih menyenangi warna hijau.

Dan karena itu rata-rata jubah yang dia minta dibuatkan atau dibelikan gurunya, pastilah berwarna hijau. Dan hingga dia turun gunungpun, jubah dan pakaian yang dikenakannya hampir selalu berwarna hijau. Karena pakaian yang dibekalnyapun nyaris semua berwarna hijau.

Suatu hari, lebih sebulan atau hampir 2 bulan sejak turun gunung, Thian Jie memasuki sebuah rumah makan di Kota Kong Goan, sebuah Kota besar di Propinsi Se-cuan. Maklum, selain melakukan perjalanan jauh, sudah sejak pagi perutnya belum lagi terisi.

Karena itu, menjelang senja Thian Jie memutuskan untuk memasuki sebuah restoran yang ternyata suasananya sudah cukup ramai. Pemandnagan yang biasa bila mulai memasuki musim dingin. Sebetulnya, tiada satupun hal yang aneh dalam diri Thian Jie.

Potongannyapun bahkan tidak menunjukkan bahwa dia membekal barang berharga dalam tubuhnya. Meskipun, memang ada bekal yang cukup berharga yang diberikan gurunya untuk digunakan dalam perjalanan, yakni sebutir mutiara yang menurut gurunya bisa berharga 200 tail perak.

Lebih dari cukup untuk melakukan perjalanan selama 1 tahun di dunia persilatan. Selebihnya, bahkan membekal pedangpun Thian Jie malah tidak. Selain kedua kaki dan tangannya, gelang perak yang agak gembung dan cenderung tidak berharga. Dilirik orangpun malah tidak.

Jikapun dilirik, orang malah heran, anak muda segagah ini tetapi berperhiasan yang biasa saja, tidak seberwibawa tampangnya. Orangpun mungkin sukar menduga, anak muda inilah yang dinamai Ceng-i-Koai Hiap yang agak-agak masyhur akhir akhir ini.
 
2 Chit cay sin tho





Tetapi, sebutir mutiara yang cukup berharga itu, ternyata bisa tercium oleh seorang yang memang berprofesi mencium dan mencuri barang seperti itu. Apalagi bagi penciuman seorang seterkenal Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) Ouw Seng.

Saking mahirnya dalam mencuri, Ouw Seng, yang kadang sekali bisa dikenali orang karena kemampuan ginkangnya yang sangat tinggi, diberi julukan berjari 7. Padahal jari tangannya normal-normal saja, kedua tangan masing-masing memiliki 5 jari, komplet, tidak lebih dan tidak kurang.

Kelebihan 2 jari sebetulnya adalah julukan yang diberikan karena bila mencuri, maling sakti ini nyaris tidak ketahuan kapan dan bagaimana beroperasinya. Seperti juga ketika dia mendongkel dan memindahkan mutiara dari saku Thian Jie, yang nampaknya tidak atau tanpa sepengetahuan yang empunya.

Dan dalam waktu yang singkat sudah bersarang di sakunya dan dianggap sebagai miliknya sendiri. Dan seperti tidak terjadi apa-apa, si Maling sakti kembali berlaku wajar seperti biasanya.

Ouw Seng, paling berusia sekitar 35 tahun, lebih kurang demikian. Berbadan langsing. Cukup langsing dan karenanya dia akan sangat pesat bila berlari dan bergerak secepat kilat apabila dibutuhkan. Maling Sakti ini, sebenarnya bukanlah maling iseng, sebaliknya, justru hanya orang-orang tertentu saja yang dijadikannya sasaran.

Akan menjadi kebanggaan tersendiri bila bisa mencuri atau menjadikan orang terkenal sebagai korbannya. Seperti juga kali ini, dia sudah bisa mengenali, bahwa sasarannya adalah seorang muda yang baru mulai menjejakkan jejaknya di dunia Kang Ouw.

Namanya sudah mendahului orangnya masuk ke kota ini, yakni Ceng-i-Koai Hiap. Sekali pandang, Maling Sakti sudah bisa mengenali Thian Jie, bahkan bisa mengenali sebuah barang yang lumayan berharga di saku pendekar aneh baju hijau tersebut. Naluri dan keinginan serta hasrat mencurinya dengan segera terbangkitkan. Meski bukan untuk barang yang sangat berharga sekalipun.

Maka pencurian yang dilakukannya, sebenarnya bukan karena kekurangan uang. Tetapi lebih karena ingin mengetahui apakah dia bisa mencuri dari orang hebat yang digembar-gemborkan orang sebagai pendekar muda aneh itu.

Ouw Seng, si Maling Sakti, berada di restoran itu sambil makan dan minum sepuasnya sampai hari menjadi gelap. Seperti sudah diatur saja, Maling Sakti kemudian keluar dari restoran setelah membayar semua rekeningnya. Dan keluar dari restoran hampir bersamaan dengan Thian Jie yang untungnya memang masih memiliki cukup bekal uang.

Dengan tanpa curiga, maling sakti terus berjalan menyusuri jalan, terus dan terus hingga memasuki daerah yang sudah agak sepi dan sunyi. Disaat itulah tiba-tiba sebuah desingan terdengar jelas ditelinganya, dan dihadapannya kini ada sebuah benda yang merupakan tanda pengenal.

Benda itu adalah “thian liong”, tanda pengenal dari Thian Liong Pang. Mereka yang menerima tanda itu, sebagaimana sudah diketahui Maling Sakti diberikan 2 pilihan, “takluk” atau “mati”. Seketika itu juga, Maling Sakti berkeringat dingin, wajahnya berubah pucat pasi.

Pada saat dia berpikir untuk menggunakan kepandaian khasnya, yakni “berlari dengan ginkangnya yang istimewa yang dinamakannya Sin-to hoan eng (Maling sakti Menukar bayangan), tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya sudah terkepung. Dihadapannya berdiri seorang dengan bersedekab badan, sementara di 4 penjuru lainnya dia menyaksikan masing-masing dijaga seseorang dengan tubuh berselubung jubah hitam. Seketika dia sadar apa artinya.

“Thian Liong Pay menawarkan “kerjasama” atau “dibinasakan”. Dengan mengutus duta barisan hitam, maka Maling Sakti terhitung tokoh yang disegani” Manusia yang bersedekab dihadapannya terdengar berkata dengan suara dingin menusuk.

“Tapi sayang, Maling Sakti selalu bekerja sendiri, dan tidak pernah bekerja untuk orang lain” Meskipun kepepet, tetapi Maling sakti tetap menunjukkan kegagahannya.

“Hm, jadi pilihanmu adalah dibinasakan. Apa benar”? terdengar nada suara menegaskan dari si orang dihadapan Maling Sakti.

“Soal binasa atau tidak, bukanlah urusanmu” Maling Sakti berkata dengan sikap menjadi sangat waspada.

“Sudah kau pikirkan sebaik2nya”? membujuk si orang berkerudung hitam.

“Bahkan sudah kupikirkan sejak 10 tahun lampau, pada saat kalian mulai mengganas” Maling Sakti menegaskan. Sungguh berani. Karena memang sudah banyak persilatan yang mati terbunuh karena menolak ajakan Thian Liong Pang ini.

“Baik … anak-anak, habisi” Si pemimpin yang berdiri gagah bersedekab badan memberi perintah. Dan tidak dalam hitungan detik, keempat pembunuh sudah melesat dengan pesatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan mematikan kesemua area mematikan di tubuh Maling Sakti.

Tetapi, tidak percuma Ouw Seng menerima gelar Maling Sakti dengan kepandaian Ginkang yang istimewa. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kepadanya dielakkan dengan manis, semakin cepat serangan kearahnya, semakin cepat juga dia bergerak. Sayangnya, semua jalan keluarnya sudah ditutup oleh ke-4 orang penyerangnya, dan bahkan masih juga diawasi secara ketat oleh si pemimpin.

Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari), memang terkenal karena ilmu ginkangnya, dan apabila dia terlepas dan mulai melarikan diri, maka sangat sedikit tokoh silat yang mampu menyandaknya. Nampaknya, keistimewaan maling ini dikenal dengan baik oleh para penyerangnya.

Karena itu, semua jalan yang mungkin meloloskan Maling Sakti dijaga dengan demikian ketatnya. Haruslah diketahui, bahwa meskipun Ilmu Ginkangnya istimewa, tetapi Ilmu Pukulan dan Tenaga Sakti Maling Sakti tidaklah cukup istimewa.

Dia memang sangat tekun dengan Ginkang, tetapi tidak dengan Ilmu Pukulan dan Sinkang. Karena itu, meskipun mampu bergerak lincah dan melompat kesana kemari tetapi serangan balasannya tidak berarti.

Bahkan kemudian lama kelamaan gaya dan cara bergeraknya mulai tercium lawannya yang memang terlatih sebagai pembunuh, baik bekerja perorangan maupun berkelompok. Dengan segera Maling Sakti jatuh dalam kesulitan, diterjang dari 4 arah oleh kelompok pembunuh Thian Liong Pang.

Perlahan tapi pasti, hanya gerak menghindar yang bisa dilakukannya, dan semakin pasti bahwa tidak lama lagi dia akan jatuh dibinasakan. Benar saja, ketika suatu saat dia sanggup menghindari dua serangan, pukulan maupun tendangan dua lawannya, dia nampaknya akan terkena serangan mematikan yang mengarah ke punggungnya.

Sudah tidak ada jalan lain, dan Maling Saktipun sudah pasrah. Dan dia ingin mati sebagai orang gagah yang berjuang sampai saat terakhir. Tetapi, memang belum takdir kematian mendatangi si Maling Sakti ini. Pada saat dia tidak berdaya lagi untuk menghindari serangan di belakangnya, dan malah sudah pasrah, tiba-tiba terdengar dengus tertahan penyerangnya:

“Dess, …..ngekk” Bukannya punggungnya yang kena hantam, justru tangan yang memukulnya yang tertangkis dan disusul dengan sodokan di ulu hatinya yang membuatnya mendengus berat dan terkapar di tanah.

Di samping si Maling Sakti, kini berdiri dengan gagah seorang Pemuda yang masih remaja berpakaian warna hijau. Tidak perlu dikatakan lagi rasa terima kasih dan rasa malu di hati si Maling Sakti.

“Orang muda, terima kasih atas bantuanmu” desisnya tertahan.

“Masih belum selesai. Inikah rupanya gerombolan yang mengganas di rimba persilatan?, sungguh-sungguh cayhe ingin belajar kenal keganasan mereka” ujarnya dengan tatap mata menusuk yang tidak sanggup dilawan si pemimpin para pembunuh.

“Anak muda, siapakah engkau yang begitu bernyali melawan Thian Liong Pang”? si pemimpin nampak berang melihat usaha mereka yang sudah nyaris berhasil digagalkan.

“Siapa aku bukan soal. Tetapi melawan Thian Liong Pang, siapa mesti takut? Dan menolong orang, adalah kewajibanku. Kewajiban jugalah yang membuatku menurunkan tangan keras atas mereka yang mengacau banyak orang” Sambil berkata demikian, dengan cepat Thian Jie menggerakkan tangannya menyerang tiga orang pembunuh yang tersisa.

Terdengar beberapa kali benturan, dan dalam 2-3 jurus belaka, ketiga orang yang tersisa juga tergeletak dengan luka-luka yang cukup parah. Gerakan Thian Jie dari Ilmu Pukulan Ceng Giok Cap Sha Kun Hoat memang sangat cepat, telak dan terlampau lihay bagi ketiga orang tersebut.

Tinggal sang pemimpin yang kini memandang takjub dan tidak sanggup bicara apa-apa menyaksikan hanya dengan 2-3 jurus gerakan saja, para pembunuh andalannya tergeletak tak tentu nasib. Meskipun dia melihat anak buahnya tidak mati, tetapi yang jelas mereka sudah terluka dan sulit melakukan pengeroyokan lagi.

“Anak muda siapakah engkau”? tanya si pemimpin keder, jelas dari nada suara yang bergetar.

“Aku’?, namaku Thian Jie, hanya itu yang kutahu. Nah, engkaupun harus segera bersiap” Tetapi belum habis Thian Jie bicara, sebuah bom asap tiba-tiba disambitkan sang pemimpin. Dan ketika kemudian jarak pandang mulai kembali membaik, sang pemimpin sudah tidak kelihatan lagi, hanya sempat terdengar kalimat ancamannya:

“Anak muda, ingat, engkau telah mengikat tali permusuhan dengan Thian Liong Pang”

Dan ketika Thian Jie memalingkan pandangan ke arah para pembunuh yang terluka, tidak lagi ditemukannya sisa yang masih hidup.

“Sungguh keji, si pemimpin masih sempat menghadiahkan jarum kematian bagi pembunuh-pembunuhnya yang gagal” Si Maling Sakti bergumam.

“Sayang, aku tidak sempat mencegah kekejaman mereka” Thian Jie menyesali kealpaannya, meskipun bertambah juga pengalamannya menghadapi cara kerja para penjahat. Kealpaannya menyebabkan ke-4 pembunuh yang sudah terluka bisa mati terbunuh.

“Anak muda, biarlah aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu” Maling Sakti menyampaikan ucapan terima kasihnya.

“Mana … mana, bantuan yang sebenarnya tidak perlu” Thian Jie merendah. “Hanya, bila saudara tidak keberatan, sudilah mengembalikan barangku yang sempat terambil tadi” tambahnya.

Wajah Maling Sakti bagaikan kepiting rebus, tetapi untunglah hari sudah malam, sehingga tiada yang menyaksikan bagaimana lucu, keki dan malunya si Maling Sakti. Tetapi sekaligus juga terharu, sudah kecurian malah masih ringan tangan dalam membantunya menghadapi pembunuhan yang nyaris menelan nyawanya.

“Orang muda, sungguh aku kagum terhadapmu. Maafkan, naluri malingku memang telah salah penujui saudara muda. Sudah begitu, saudara masih berkenan membantuku. Maafkan aku” Maling Sakti dengan malu, keki sekaligus terharu mengucapkan terima kasih dan membuat pengakuan.

“Seandainya sifat gagahmu tidak ditunjukkan melawan mereka, maka akulah yang akan menghajar kalian semua. Untungnya saudara seorang yang gagah dan aku percaya, bukan maksudmu memperkaya diri dengan mencuri barangku” Thian Jie berkata.

“Sungguh gagah, sungguh gagah. Anak muda, nampaknya julukanmu yang mengharum akhir-akhir ini tidak salah. Biarlah aku minta maaf untuk kesengajaanku mengujimu. Baru sekali ini Maling Sakti jatuh merek karena salah pilih sasaran”

“Tapi, anak muda, bolehkah aku mengenali dan mengetahui namamu”?

“Thian Jie, hanya itu yang kutahu” Thian Jie menjawab singkat tapi hangat bersahabat.

“Baiklah anak muda, sejak saat ini Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) berhutang nyawa dan budi sedalam lautan. Apapun yang saudara perintahkan akan kulakukan dengan sepenuh hati” Maling Sakti berkata.

“Tidak usah seberat itu, sudah jauh lebih baik kita bersahabat” Thian Jie menjadi tidak enak.

“Tidak, sudah ikrarku sebagai Maling Sakti. Orang pertama yang tahu aku mencuri darinya dan malah menolongku dari kematian. Biarlah kuabdikan hidupku buat Thian Jie, itu keputusanku” Maling Sakti berkeras.

“Saudara, mengapa menjadi seberat dan seserius itu” Thian Jie juga menjadi tidak enak.

“Thian Jie, apa yang harus kulakukan saat ini bagimu”? Maling Sakti bertanya. Dan Thian Jie yang sedang mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, justru melihat bahwa menugaskan Maling Sakti mencari jejak, justru bisa menolongnya dari 2 kesulitan. Kesulitan mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, dan kesulitan menghadapi Maling Sakti yang berkeras mau mengabdi kepadanya. Akhirnya diapun memutuskan dan berkata:

“Baiklah Sin tho, aku meminta bantuanmu untuk melacak keberadaan Kim Ciam Sin Kay Pangcu Kaypang, yang kabar terakhir menghilang di sekitar Pakkhia 5 tahun berselang. Aku dalam perjalanan kesana, paling lama 2-3 minggu lagi sudah berada di Pakkhia”

“Baik, Maling Sakti bertugas” Selesai berkata demikian, Maling Sakti berkelabat meningalkan Thian Jie mendahului ke Pakkhia. Ginkangnya memang istimewa, dalam sekejab sudah berlari jauh meninggalkan Thian Jie yang berdecak kagum melihat kecepatan lari si Maling

=================

Tidak ada halangan berarti yang ditemui Thian Jie dalam perjalanannya menuju Pakkhia (Peking). Memang ada beberapa kali para pembunuh Thian Liong Pang berusaha memegat dan menyerangnya, tetapi sampai keluar dari Propinsi Se cuan, semua hadangan itu tidak mampu mencederainya.

Tetapi memasuki daerah utara Sungai Yang Ce, serangan tersebut tidak terjadi lagi. Bahkan menjelang akhir bulan ketiga setelah turun gunung, dia sudah berada di kota Raja Kerajaan Chin di Pakkhia. Dia sengaja memilih menginap di sebuah Penginapan yang ramai dan terkenal, yakni di Sing Long Kek-can (penginapan Sing Long). Di tengah keramaian, kehadirannya tentulah tidaklah mencolok.

Karena itu, hari-hari pertama berada di Kota Raja tersebut, Thian Jie banyak menghabiskannya dengan berpesiar menikmati suasana Kota Raja. Sembari juga menyelidiki keadaan Kay Pang yang dilihatnya dimana-mana banyak anggota pengemis. Hanya dia tidak yakin, apakah mereka mengenal Kim Ciam Sin Kay. Atau malah dia tidak tahu, apakah pengemis tersebut anggota Hek-i-Kay Pang atau bukan.

Hari kedua menjelang senja ketika Thian Jie kembali ke kamarnya, dia menemukan di atas mejanya sudah ada sebuah kertas surat yang dikirimkan orang dengan tulisan:

Hati-hati, semua sepak terjangmu di bawah pengawasan orang.
Malam nanti, di sebuah kuil kosong, sebelah barat kota

Surat itu tanpa tanda pengenal, tetapi Thian Jie segera yakin bahwa pengirimnya pasti Maling Sakti. Dan apabila Maling Sakti mengirimkan surat dengan cara demikian, berarti ada hal-hal yang sangat rahasia dan mendesak yang perlu diketahuinya.

Sejauh ini, hanya Maling Sakti yang tahu keberadaannya di Pakkhia, jadi hampir pasti bahwa surat itu dari si Maling Sakti. Karena pikiran tersebut, Thian Jie kemudian makan malam secepatnya dan segera bersiap menuju ke sebelah barat kota. Tetapi, karena peringatan surat bahwa ada yang selalu mengawasinya, maka sedapat mungkin Thian Jie berhati-hati dan berupaya agar tiada orang yang melihatnya.

Tetapi, sungguh tidak terbayangkan Thian Jie kalau jaringan mata-mata yang membayanginya ternyata demikian ketat. Meskipun dia lolos dari pengawasan orang-orang di penginapan Sing Long, tetapi dia tidak lepas dari pengawasan lapis berikutnya.

Lebih tidak disangkanya lagi, kalau malam itu memang sudah direncanakan untuk membekuknya sebagaimana pesan yang diterima dari Se Cuan. Karena itu, ketika kemudian jejak Thian Jie ditemukan lagi, maka pengerahan kekuatan untuk membekuknya segera dilanjutkan lagi.

Tidak kurang dari 50 puluhan orang baik dari Thian Liong Pay dan terutama barisan pembunuhnya sampai para anggota Hek-i-Kay Pang dikerahkan. Bahkan juga dikerahkan bersama beberapa tokoh yang dianggap sanggup dan mampu mengalahkan dan membekuk hidup atau mati Ceng-i-Koai-Hiap.

Pendeknya, pendekar muda ini harus dibekuk karena berani melawan dan menggagalkan serangan dan aktifitas Thian Liong Pang.
 
3 Menuju Pakkhia





Tidak mengherankan, begitu Thian Jie menapakkan kaki di luar tembok kota sebelah barat, dia justru mendarat di dataran yang ternyata sudah dikepung begitu banyak orang. Dan manakala Thian Jie belum begitu menyadari keadaan sekelilingnya, sebuah suara yang berat telah menyongsongnya:

“Hm, selamat datang Ceng-i-Koai Hiap. Masih sangat muda, tetapi telah menimbulkan kegemparan di Se Cuan. Tapi sayangnya, Pakkhia bukanlah Se cuan” Seorang yang nampak bertindak sebagai pemimpin menyambut Thian Jie.

“Hm, siapakah gerangan kalian” Tanya Thian Jie setelah mampu menguasai dirinya dari kekagetan sejenak.
“Apakah siapa kami penting bagimu?” si pemimpin menjengek dingin

“Tidak penting, karena nampaknya bisa diduga kalian pasti gerombolan pengacau Thian Liong Pang. Tidak salah lagi” Thian Jie juga makin pandai melayani basa-basi dan saling memojokkan gaya orang persilatan.

“Hahahaha, hanya benar setengahnya anak muda. Tetapi kebenaran yang setengah lagi sebaiknya ditanyakan kepada Giam Lo Ong” Bersamaan dengan kalimat itu, si pemimpin mengibaskan tangan dan memerintahkan anak buahnya untuk menyerang Thian Jie.

Tapi mana sanggup penyerang-penyerang ini membereskan naga sakti seperti Thian Jie? Meskipun masih kurang matang latihan dan masih kurang pengalaman, tetapi kelincahan dan ginkang serta bahkan ilmu silat yang dimiliki, masih teramat jauh dibandingkan barisan pembunuh ini.

Meskipun demikian, diantara para pembunuh ini, ada sekitar 8 orang yang menjadi kekuatan utamanya. Dan kedelapan orang inilah yang menghindarkan banyak kawan mereka dari desakan maut Thian Jie yang bersilat dengan jurus Giok Ceng Cap Sha Kun Hoat.

Tetapi musuh yang mengerubutinya terhitung banyak. Karena itu, dengan terpaksa Thian Jie mulai mengisi pukulannya dengan tenaga saktinya. Dan beberapa saat kemudian mulai jatuh korban di pihak penyerang, meski tidak berakhir dengan kematian.

Tubuh anak muda ini bergerak-gerak bagai naga sakti, cepat dan kokoh. Tetapi kerubutan itu tidak dengan sendirinya menjadi lebih longgar, dan nampaknya akan makan waktu cukup panjang bagi Thian Jie untuk memecah pengerubutan itu.

Karena berpikir demikian, selain juga melihat bahwa kedua pemimpin penyerbu ini nampaknya jauh lebih lihay, maka Thian Jie kemudian menambah tenaga dan kecepatannya. Dalam beberapa gerakan dan jurus kemudian, kembali 5 orang lawan terjungkal dan tidak bisa melanjutkan pertarungan lagi.

Melihat pengepungan agak melonggar dengan jatuhnya lima orang lagi, Thian Jie tidak menunggu sampai pengerubutan mengetat lagi. Sebaliknya, dengan menggunakan jurus ke-sembilan dari ilmu keluarganya itu, “Pualam Hijau menyapu lembah” segera merangsek maju.

Kedua tangannya bekerja dengan cepat melontarkan pukulan-pukulan lemas yang menyebabkan lawan terpental bila terkena, terluka meski tidak mematikan. Akibatnya, 3 orang lawan kembali terpukul jatuh, dan Thian Jie tidak mau berayal, kembali kedua tangannya bekerja dan mendorong dengan jurus “Membersihkan Gunung menggunting awan” dan diikuti dengan terjangan dari atas, kemudian menyusul 3 orang lagi lawan terpukul jatuh.

Sementara itu, kedua pemimpin penyerang yakni Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Tek Ciang, yang juga menjadi Tancu Thian Liong Pang di Pakkhia dan Hu-Tancu (wakil kepala cabang) Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar), Ca Bun Kim terbelalak melihat kelihayan si anak muda.

Hanya dalam waktu singkat, kurang dari 20 jurus, sudah lebih dari 10 orang anak buahnya yang terpukul luka-luka. Meskipun belum ada satupun dari 8 pasukan pembunuh utama yang terluka, tetapi nampak jelas bahwa pengerubutan itu tidaklah akan membawa hasil yang memuaskan.

“Sungguh telah salah menilai kekuatan lawan” berpikir Hek Bin Thian Sin Pakkhia Thian Liong Pang tancu. Kalau tidak segera dihentikan dan ditahan, anak muda ini akan membuat dan melukai lebih banyak orang.

“Sayang karena memandang enteng lawan, tokoh-tokoh besar Thian Liong Pang yang berada di Pakkhia tidak diturunkan” desis Tancu Pakkhia ini menyesali kealpaan pihaknya.

Tapi, sementara sang Tancu berayal menilai situasi, pukulan dan tendangan Thian Jie sudah kembali memakan korban. Beberapa orang kembali menjadi korban dan tergeletak luka tidak bisa ikut melakukan penyerangan lagi. Dan otomatis jumlah penyerang lambat namun pasti selalu berkurang.

Melihat hal itu, seperti sudah saling mengerti, baik Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Tek Ciang maupun Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar), Ca Bun Kim diam-diam melangkah mendekati pertempuran. Thian Jie nampaknya tidak menyadari bahaya, karena memang masih belum cukup berpengalaman menghadapi tipu licik dari dunia hitam.

Dia terus bersilat menggunakan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun dan terus menepuk, memukul dan menendang yang dalam waktu sekian lama sudah hampir 20 orang lawannya yang tersungkur terluka. Sementara itu Hek Bin Thian Sin dan Twa-to Kwi Ong sudah semakin mendekat, tetapi karena ruang untuk menyerang nyaris tidak ada dan terhalang oleh banyak anak buah yang menyerang, sulit bagi mereka menemukan ketika untuk melancarkan serangan bokongan.

Sebaliknya, setiap pukulan dan serangan Thian Jie selalu berhasil mementalkan sekurangnya salah seorang lawannya untuk tidak sanggup bertarung lagi.

Setelah lawannya berkurang banyak, ruang disekitar Thian Jie juga semakin lebar karena yang mengerubuti sudah banyak berkurang, nampaknya sudah lebih 30 orang, maka semakin jarang Thian Jie mampu menjatuhkan pengeroyoknya.

Terlebih karena 8 orang pasukan penyerang, berkepandaian cukup tinggi dan menyerangnya dari seluruh penjuru dan terkadang membantu salah seorang pengeroyoknya dari kesulitan. Tetapi, sementara itu, Louw Tek Cian dan Ca Bun Kim, tetap menemukan kesulitan untuk melakukan serangan bokongan.

Tetapi yang pasti, mereka sudah sangat siap dipinggir arena pertempuran, dan semakin lama mereka semakin takjub dengan kepandaian target yang harus mereka selesaikan. Sungguh di luar perkiraan, dan laporan dari Se cuan nampaknya kurang lengkap menggambarkan orang yang harus mereka habisi ini.

Di arena pertempuran, Thian Jie nampaknya memanfaatkan pertempuran ini untuk mematangkan dan menguras habis penguasaannya atas jurus-jurus sakti keluarganya. Sejak awal dia terus dan terus menggunakan jurus-jurus sakti dari Giok Ceng Cap Sha Sin Kun (13 jurus sakti Pualam Hijau) dan terus menggedor penyeroyokan para pembunuh yang mengerubutinya.

Dan perlahan namun pasti korban ditangannya terus bertambah, bahkan sudah tinggal beberapa orang pengeroyoknya yang belum dijhatuhkannya. Selain 8 orang pembunuh yang berkerudung hitam sebagaimana yang mengejar-ngejarnya sejak di Se cuan, tinggal beberapa lagi.

Dan akhirnya, untuk mempercepat pertarungan guna menemui Maling Sakti, tiba-tiba Thian Jie merubah jurus dan ilmu serangannya. Kali ini dia menggunakan Soan Hong Sin Ciang Hoat (Silat Sakti Angin Badai), sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan dan membawa perbawa yang sangat mengejutkan.

Bersamaan dengan itu, nampak kedua tangan Thian Jie bagaikan baling-baling yang bergerak silang menyilang dengan cepat dan kemudian secepat kilat pula dia mencelat kekiri dan kekanan mengejar, khususnya 8 pembunuh berkerudung hitam. Semua pengeroyoknya tergetar ngeri karena dari seputar tubuh Thian Jie seperti mengeluarkan bunyi dan arus angin badai yang menerpa mereka. Dan arus badai itu menyerang mereka tiada hentinya.

Sebetulnya tidak ada angin dan badai yang sebenarnya, bahwa arus serangan kilat dan membadai dari Thian Jie memang nyata. Tetapi angin puyuh dan badai yang mengancam menerbangkan pengeroyoknya adalah efek dari kekuatan “batin” atau kekuatan “sihir” yang terkandung dalam serangan tersebut.

Jurus ini memang bertujuan mempengaruhi pikiran dan mental bertanding lawan melalui efek angin puyuh dan angin badai yang menerpa penyerangnya. Perubahan jurus serangan tersebut menyentak para pengeroyoknya. Bahkan ke-8 penyerangnya tidak bisa berbuat apa-apa, 2 diantaranya dengan cepat tertotok jatuh bersama dengan 5 orang lagi pengeroyok lainnya.

Dalam waktu singkat dengan menggunakan Soan Hong Sin Ciang Hoat, Thian Jie mampu mengurangi secara drastis jumlah pengeroyoknya. Bahkan ketika menggunakan jurus ke-2, “Angin Puyuh Membelah Bumi”, kembali 2 diantara 8 pembunuh rebah tertutuk sementara sisa pengeroyok lainnya juga sudah tak sanggup berdiri lagi.

Pada saat arena berkurang drastis itulah tiba-tiba secara bersamaan dua serangan berat dari Louw Tek Ciang dan Ca Bun Kim datang secepat kilat dari arah punggung Thian Jie. Bersamaan dengan itu, juga dari 4 arah, datang serangan dari 4 pembunuh berkerudung hitam yang masih tersisa.

Thian Jie yang tidak menyadari bahaya dari belakang, dengan segera kembali bersilat dan memapak ke-4 penyerang berkerudung hitam sambil melepas jurus “angin badai menghempaskan gunung” dimana kedua tangannya bagaikan menjadi 8 buah dan bergerak memapas dan mendorong kea rah 4 orang penyerangnya. Tetapi pada saat yang sama, serangan golok Ca Bun Kim dan serangan tangan beracun Louw Tek Ciang sudah menyambar punggungnya.

Dan nampaknya Thian Jie akan tersambar kedua pukulan berbahaya tersebut, tetapi untungnya pada saat yang sangat gawat tersebut meluncur sesosok tubuh dari luar kalangan dalam kecepatan yang sangat tinggi:

“Tring, blar …… duk…. duk….duk….. duk” nyaris tidak dapat diikuti pandangan mata, serangan Tek Ciang dan Ca Bun Kim telah ditangkis dan dipentalkan oleh seorang pendatang misterius. Bahkan tangkisan yang mementalkan mereka membuat mereka sadar bahwa pendatang tersebut orang yang sangat lihay dan kini berdiri keren dihadapan mereka berdua.

Dan melihat kenyataan ini, dengan saling lirik dan pandang keduanya segera yakin bahwa tidak ada harapan menyelesaikan tugas malam ini, dan segera keduanya merat.

Sementara itu, Thian Jie dalam waktu bersamaan sudah menyelesaikan pertarungannya. Benturan terakhir dimanfaatkannya untuk menutuk keempat lawannya yang terakhir, dan dia segera menyadari bahwa seseorang telah membantunya menangkis serangan bokongan yang baru diketahuinya pada saat yang sudah sangat gawat tadi.

Terdengar si pendatang yang juga sangat misterius, menutupi wajah dengan caping yang sangat lebar dan bahkan juga menutupi wajahnya dengan sepotong kain berwarna hijau:

“Liong Jie, Pakkhia menjadi salah satu sarang utama Thian Liong Pay di daerah utara ini. Hati-hati dan selalu waspada” Selesai dengan kalimat itu, si pendatang misterius kemudian berkelabat menghilang. Tidak sempat Thian Jie bertanya sesuatu dan berterima kasih, dan tidak mungkin juga mengejar karena si pendatang misterius sudah berkelabat menghilang. Tetapi masih sempat terdengar suara lirih:

“Jangan buang waktu menanyai orang-orang itu, tidak akan ada yang bisa kau dapatkan dari mereka. Organisasi ini sangat rahasia, anggotanyapun tidak tahu dimana dan siapa pemimpin utamanya” Suara tersebut meski lirih dan terasa empuk dan lembut di telinga Thian Jie. Bahkan terkandung kasih saying yang dalam terhadapnya dalam suara itu.

Tetapi yang terpenting, suara itu juga membuatnya tersentak. Jika dia sampai diserang, bukan tidak mungkin Maling Sakti juga mengalami hal yang sama. Karena itu, dengan kecepatan bagaikan kilat dia bergerak kearah hutan mencari sebuah kuil kosong sebagaimana ditinggalkan pesan dalam surat dikamarnya.

Setelah lebih kurang setengah jam mengubek-ubek hutan, akhirnya dia menemukan kuil yang dimaksudkan oleh maling sakti. Tapi sayang, seperti dugaannya, dia datang terlambat. Di halaman kuil banyak terdapat pengeroyok yang sama dengan yang baru saja dilawannya.

Bahkan juga terdapat 4 pembunuh berkerudung hitam, yang tidak seorangpun dikenalnya. Tapi, ada juga satu dua mayat pengemis dan nampaknya anggota Kay Pang diantara mereka yang menjadi korban pertempuran di kuil kosong tersebut.

Dengan cepat Thian Jie berkelabat kedalam kuil, pemandangan yang sama juga ditemukannya disana. Hanya, kali ini beberapa mayat saja yang ditemukannya. Tetapi selebihnya, kuil kosong itu benar-benar telah kosong, yang ada dan tersisa hanyalah mayat-mayat belaka.

Setelah memeriksa demikian banyak mayat, mengelilingi kuil kosong yang memang sudah kosong itu, Thian Jie berdiri mematung, nampak berpikir keras. Nampaknya Maling Sakti tidak menjadi korban dari pertempuran yang terjadi di kuil kosong ini.

Tetapi, Maling Sakti sendirian, tidaklah mungkin mengakibatkan korban kematian sebanyak ini, karena Ilmu Silat Maling Sakti tidaklah sanggup menyebabkan kematian para penyerbu sebanyak ini. Ada dua kemungkinan yang dipikirkan Thian Jie: Pertama, pemberi kabarnya adalah orang lain dan bukan Maling Sakti. Dan Kedua, pemberi kabar benar Maling Sakti dan ada seseorang atau mungkin lebih yang membantu Maling Sakti melawan para pembunuh ini.

Dilihat dari korban-korban yang bergelimpangan, Thian Jie yakin dengan kesimpulan dan analisisnya yang kedua. Hanya, pertanyaan sekarang dimana Maling Sakti dan siapa yang membantunya? Hanya satu dugaan yang berdasarkan fakta …. Kay Pang. Tapi, inilah yang membingungkan, bukankah Kay Pang di wilayah kerajaan Cin malah menentang Kay Pang dibawah Kim Ciam Sin Kay?

Tengah Thian Jie termenung kebingungan memikirkan hal-hal aneh yang ditemuinya tiba-tiba berdesing sebuah benda, tetapi nampaknya tidak diarahkan kepadanya. Dan benar saja, sebuah panah kecil yang dibatangnya diikatkan sebuah kertas tepat terpancang di batang pohon samping Thian Jie.

Setelah mengalami banyak kesulitan akhir-akhir ini, Thian Jie sudah semakin menyadari bahaya dunia Kang Ouw, dan sudah semakin berhati-hati dalam bertindak. Dicungkilnya anak panah tersebut lepas dari batang pohon dan dipastikannya tidak ada jebakan dan racun yang melumuri panah dan kertas. Sebuah tulisan singkat terdapat dalam kertas itu, dan nampaknya ditujukan padanya:

Ikuti tanda di bawah ini, Maling Sakti bersama kami
SAHABAT

Di bawah tulisan tersebut nampak tanda panah bersilang. Dan bagi Thian Jie, tanpa kata “SAHABAT” dalam surat itu, bahkan tanda “MUSUH” sekalipun, tetap akan didatanginya. Karena betapapun, dia yang meminta Maling Sakti mengerjakan sesuatu untuknya. Karena itu, tak ayal lagi Thian Jie kemudian beranjak dan berjalan dengan dipandu oleh tanda panah bersilang yang nampaknya dimaksudkan untuk menuntunnya kesebuah tempat.

Tanda panah bersilang itu nampaknya menjauhi kota, tetapi kemudian memotong hutan dan seperti mengitari kota kearah sebelah utara pintu masuk kota. Berbelok-belok, dan akhirnya tiba disebuah bukit yang agak lebat hutannya.

Thian Jie memasuki hutan tersebut sesuai petunjuk anak panah bersilang, dan akhirnya tiba disebuah lembah yang agak lapang. Petunjuk tersebut berakhir disana, tetapi tiada seorangpun yang nampak oleh Thian Jie dan tiada tanda-tanda bahwa tempat itu ada yang tinggal atau ditinggali orang.

Tetapi di tengah-tengah ketermanguan Thian Jie, telinganya yang tajam menangkap adanya sebuah gerak yang sangat halus, terlalu halus malah disamping kirinya. Dan gerak itu pastilah seseorang dengan ginkang yang telah terlatih baik, karena itu Thian Jie segera berseru:
 
4 Duel Dua Naga Sakti





“Sahabat yang bersembunyi, silahkan unjuk diri” Serunya sambil kemudian berpaling dan menghadap kesamping kirinya. Dan benar saja, disamping sebelah kirinya telah berdiri dengan gagah sosok tubuh berpakaian biru, tetapi wajahnya dengan tubuh yang kokoh meski sedikit lebih ramping dibandingkan Thian Jie.

Wajahnya nampak terang dan simpatik, tetapi yang membuat terkesima Thian Jie adalah, wajah itu seperti dikenalnya. Agaknya cukup akrab dengannya. Tetapi orang berwajah simpatik tersebut kemudian berkata:

“Harus dipastikan apakah orang bermaksud jahat atau baik. Saudara bersiaplah” Seru si pemuda berwajah terang simpatik yang kemudian segera membuka serangan kearah Thian Jie.

“Eh, apa maksud saudara”? Thian Jie bertanya sambil mengelakkan serangan si pemuda berbaju biru itu.

“Maksudnya, harus diuji dulu apakah saudara bisa mendatangkan bencana bagi kami atau tidak” Sahut si pemuda yang kemudian melanjutkan serangannya kearah kepala dan dada Thian Jie. Malah serangan tersebut menjadi bertambah pesat dan cepat.

Menghadapi serangan semacam itu, mau tidak mau Thian Jie juga harus berkonsentrasi, apalagi karena nampaknya penyerangnya berkepandaian tidak rendah. Setelah berkelit dari serangan pertama, Thian Jie bermaksud menjajal kekuatan lawan, dan kedua serangan si pemuda berbaju biru kena ditangkis:

“plak …. plak”, keduanya terkejut dan sangat terperanjat serta nampak saling mengagumi lawan. Sekilas kekuatan keduanya nampak berimbang, bahkan gerakan tubuh juga masing-masing menunjukkan kegesitan yang sangat mengagumkan.

Keadaan dan kemampuan lawan benar-benar menggetarkan masing-masing, dan juga mendatangkan rasa kagum. Tetapi sebagaimana penyakit ahli silat, juga mendatangkan rasa penasaran untuk terus mencoba dan menjajagi.

Setelah berkali-kali keduanya berbenturan tangan dan mempertunjukkan kegesitan tubuh dengan jurus-jurus umum, tiba-tiba si pemuda berbaju biru mengganti serangannya. Nampaknya mulai menggunakan ilmu-ilmu dan gerakan yang lebih keras dan sambil berteriak bagaikan Naga yang sedang marah untuk menyerang, si pemuda kemudian menerjang kearah Thian Jie.

Sebuah serangan yang keras dan tajam, bahkan angin pukulannyapun sudah terasa meski masih jauh dari tubuh Thian Jie. “Ilmu yang hebat” pikir Thian Jie, dan diapun menjadi girang karena seperti mendapat lawan latih tanding yang sepadan. Dengan cepat dia mengerahkan tenaga iweekang Giok Cengnya dan memapak serangan tangan dan kaki si Pemuda baju biru.

Tetapi dia segera mendapatkan kenyataan bahwa isi serangan dan tenaga si pemuda seperti berlipat kali lebih dari yang sebelumnya. Jauh berbeda dengan benturan-benturan awal, dan tentu akan sangat malu bila namanya runtuh ditangan anak muda itu.

Nampaknya karena perbawa Ilmu yang dikembangkan si pemuda. Untuk memunahkan tenaga serangan lawan, Thian Jie membiarkan dirinya terpental, sambil kemudian dalam posisi melayang dia menyiapkan meningkatkan kekuatan Sinkang keluarganya Giok Ceng Sin Kang dan mulai mengembangkan jurus Giok Ceng Cap Sha Sin Kun.

Kali ini, serangan si pemuda yang nampaknya mengerahkan Hang liong Sip Pat Ciang yang sudah terlatih baik, disambut oleh Ilmu yang memang sepadan dengannya. Maka kembali kedua Ilmu Pusaka itu diadu, dan kali ini oleh generasi termuda dari dua pintu perguruan yang dianggap keramat saat ini di dunia persilatan.

“Plak …… plak, haiiit” kembali terjadi benturan antara kedua anak muda itu. Kali ini nampak bahwa Thian Jie sedikit lebih unggul dibanding lawannya, tetapi keunggulan itu segera lenyap, karena variasi dan kemampuan beradaptasi dengan jurus-jurus serangan nampak lebih kaya dikembangkan oleh si pemuda baju biru.

Dan nampaknya keduanya mengetahui kelebihan masing-masing, apalagi dari unsur gerakan dan ginkang, keduanya nampak sekali berimbang. Sama-sama gesit, sama-sama ulet dan sama-sama lincah dalam menyerang, menghindar maupun menangkis.

Pertarungan tersebut berlangsung terus, bahkan sampai keduanya selesai menggunakan ilmu pukulan masing-masing. Bahkan mereka sampai tidak menyadari bahwa disekeliling mereka kini berkumpul banyak orang yang berdiri mengagumi pertarungan yang sungguh seru dan menarik ini.

Terlebih, jurus-jurus yang dikeluarkan adalah jurus pilihan yang jarang nongol di dunia persilatan. Jurus-jurus dari orang-orang sakti yang dianggap dewa dan dituakan di dunia persilatan akhir-akhir ini.

Sementara penonton termangu-mangu, dan menjadi tersentak ketika tiba-tiba terdengar ledakan bak petir. Kerasnya bukan buatan dan menyakitkan telinga. Ternyata, si pemuda baju biru sudah mengeluarkan Ilmu Pusaka lain dari pintu perguruannya, Pek Lek Sin Jiu dan bergerak dengan jurus “Petir Memenuhi Angkasa”.

Luar biasa, sampai-sampai Thian Jie harus mengerahkan dan meningkatkan kekuatan singkangnya baru bisa mengatasi efek mengerikan Pek Lek Sin Jiu. Tetapi sesaat kemudian, diapun bergerak dan merubah jurus serangannya dengan Soan Hong Sin Ciang Hoat.

Dia bergerak secepat angin, dan kemudian mengalirlah arus badai dari tubuhnya dan mulai terasa menyentuh si pemuda baju biru yang membuatnya semakin kagum dan penasaran. Keadaan sekitar arena pertandingan menjadi sangat mengerikan, perbawanya jauh lebih mengerikan dibandingkan kedua ilmu pertama.

Meski kehebatan Ilmu Pertama juga tidak kurang indah dan dahsyatnya, tetapi Ilmu terakhir ini memang memiliki daya serang langsung ke mental orang. Jadinya terkesan lebih mengerikan dan lebih dahsyat. Para penonton bahkan harus mundur beberapa langkah, dan bahkan terus mundur lagi ketika ledakan kedua dari si pemuda baju biru malah tambah memekakkan telinga.

Tambahan lagi, angin menderu deru dan suara seperti angin puyuh dan badai membuat suasana tambah mengerikan dari waktu kewaktu. Gerakan secepat kilat dengan deru badai yang dihasilkannya ditimpali oleh ledakan-ledakan petir yang menyambar-nyambar saling silang dan silih berganti.

Sementara badai dan angin puyuh bertiup-tiup dan menerbangkan apa saja yang berada disekitar keduanya, juga ledakan petir yang menyebabkan benda sekitar menjadi gosong. Otomatis para penonton tambah menjauh dan menjauh menghindari arena yang bisa membuat mereka yang masih berilmu cetek terluka.

Tetapi sementara itu, Thian Jie maupun si pemuda baju baru sadar bahwa meski ilmu yang dikerahkan sangat mengerikan, tetapi keduanya menahan tenaga untuk tidak saling melukai. Keduanya sadar, bahwa pertandingan tersebut meski dengan ilmu-ilmu pusaka dan memiliki perbawa mengerikan, tetapi lebih mirip latih tanding.

Apalagi, nampaknya si pemuda berbaju biru seperti sudah mengenal lawannya, dan Thian Jie sendiri seperti lupa-lupa ingat. Itulah sebabnya keduanya percaya akan lawan masing-masing, entah bagaimana, dan dengan bebas mengembangkan kemampuan demi kemampuan dalam batas yang masih bisa dikuasai masing-masing.

Setelah puas mengembangkan kedua ilmu pusaka masing-masing, keduanya bahkan kemudian juga mencoba jurus yang lain. Si pemuda baju biru, yang bisa ditebak pembaca bernama Liang Tek Hoat atau si “Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah)“ murid penutup Kiong Siang Han mulai mengembangkan Ilmunya lebih jauh ditunjang oleh Ilmu ginkangnya Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya).

Sementara untuk menandingi keangkeran Ilmu tersebut Thian Jie memainkan gabungan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, dengan menjadikan tangan kiri sebagai pedang. Bahkan untuk meningkatkan kelincahannya, Thian Jie juga mainkan ilmu ginkangnya Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Bila Tek Hoat nampak bergerak ringan dan lincah bagaikan Naga yang menerobos kekiri dan kekanan disertai sepakan dan terjangan yang membahayakan, maka Thian Jie bergerak-gerak pesat bagaikan bayangan dan jarang menginjak tanah.

Tetapi akibatnya, semua petir dan guntur dari Tek Hoat dan erangan serta kibasan ekor sang Naga bisa ditepis dan dihindari. Sebaliknya, tenaga serangan angin dan badai, bahkan hawa pedang dari tangan kiri Thian Jie, tidak henti-hentinya mengancam Tek Hoat.

Menyaksikan pertarungan dengan kedua jurus ampuh yang diciptakan 2 cianpwe gaib masa kini, sungguh mencengangkan. Bahkan rumput-rumput sekitar arena beterbangan terbawa angin puyuh yang diciptakan Thian Jie, sementara tanah dan bebatuan berlobangan ditimpah Pek Lek Sin Jiu yang beberapa kali dimasukkan untuk menyerang Thian Jie oleh Tek Hoat.

Ledakan kilat, halilitar dan angin puyuh nampak sudah menyatu, hingga mirip dengan kejadian alam sebenarnya dan memekakkan telinga dan mengecutkan hati mereka yang tidak memiliki kesaktian cukup dan kekuatan batin yang memadai. Bila dengan Pek Lek Sin Jiu saja telinga sudah mtergetar sakit, apalagi kini dengan menggunakan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti).

Unsur Pek Lek Sin Jiu yang dimasukkan dalam jurus ini memang masih dominan, tetapi sudah ditunjang dengan unsur penggunaan Hang liong Sip Pat Ciang. Karena itu, erangan Naga juga berkali-kali terdengar didorong keluar melalui mulut Tek Hoat.

Sementara untuk menandinginya, tangan Thian Jie menjadi bagaikan pedang yang berkesiutan tajam dan melenyapkan perbawa halilintar dalam hujan dan badai yang diakibatkan oleh gerak tubuh dan tangannya. Benar-benar pertarungan antara 2 Naga Muda yang sangat sakti, dan membuat mata para penonton terbelalak kagum disuguhi pertarungan yang sangat jarang bisa disaksikan.

Dalam keadaan bertanding yang seru semacam ini, tiba-tiba terdengar Tek Hoat berbisik: “Thian Jie, mari kita mencoba kemampuan ilmu kita yang terakhir”, sambil berkata demikian tiba-tiba Tek Hoat bergerak secara aneh. Dia bersilat biasa saja, tetapi bagi penonton Tek Hoat seperti berubah menjadi Naga Sakti dan berjumlah demikian banyak, berlari, mengibas dan mengeluarkan letikan kilat yang berbahaya.

Itulah Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Menyadari bahaya karena perbawa yang luar biasa itu, tiba tiba Thian Jie menyedekapkan tangan kiri ke dada, dan tangan kanan ke atas kepala dengan jari-jari terbuka. Inilah Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), tubuhnya tiba-tiba mencelat-celat bagaikan awan putih dan menari-nari mengitari puluhan naga sakti yang diciptakan gerakan Tek Hoat. Bahkan, kilat dan halilintar, juga menyengat keluar dari awan tersebut.

Tetapi, Thian Jie segera sadar, bahwa keduanya ternyata belum cukup matang dalam Ilmu tersebut, dan kesalahan sedikit saja akan membahayakn nyawa keduanya. Benar, bahwa keduanya mampu membuat semua orang disekeliling mereka terperangah, tetapi kekuatan pukulan dan penguasaan atau pengendalian sepenuhnya atas ilmu tersebut, belum sanggup mereka lakukan.

Dan nampaknya, hal tersebut juga disadari Tek Hoat, tetapi seperti juga Thian Jie, nampaknya sukar baginya untuk melepas kendali atas penggunaan ilmu gaib tersebut. Keadaan ini jelas sangat berbahaya, karena bila benturan keras terjadi, mau tidak mau keduanya harus dalam keadaan pengerahan tenaga yang seimbang.

Dan hasilnya, bisa dipastikan keduanya bakal terluka berat, dan pasti butuh waktu panjang untuk memulihkannya. Tetapi, bila pengerahan tenaga tidak seimbang, salah satunya sangat mungkin terluka parah dan bahkan jatuh binasa.

Nampaknya baik Thian Jie maupun Tek Hoat lama kelamaan menyadari bahaya tersebut. Tanpa mereka sadari, tenaga iweekang yang mereka pergunakan meningkat secara otomatis seiring dengan penggunaan jurus-jurus gaib dari Ilmu tersebut.

Dan nampak jelas, keduanya sudah sulit mengendalikan diri karena ancaman bahaya sangatlah besar. Baru kemudian Tek Hoat menyesal mengapa memulai menggunakan Ilmu perguruan yang gaib ini sementara penguasaannya belum matang benar.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Thian Jie, meski bahaya baginya tidak sebesar Tek Hoat. Segera nyata, bila kekuatan Iweekang Thian Jie, masih seusap diatas Tek Hoat, meski kekuatan Tek Hoat dan keuletan tenaganya, juga luar biasa.

Dalam kondisi berbahaya tersebut, Thian Jie teringat dengan Ilmu I Hun to hoat, sejenis ilmu hipnotist yang dibuka rahasianya oleh gurunya. Dia berusaha sekuat tenaganya, dengan mengerahkan segenap kekuatan iweekangnya untuk menahan diri dalam penyaluran sinkang melalui pukulannya dan kemudian disalurkannya kekuatannya juga kematanya sambil menunggu saat yang tepat guna memandang mata Tek Hoat.

Tetapi kesempatan semacam itu sungguh sulit didapat, karena tubuh Tek Hoat dikelilingi oleh kabut awan dan ledakan petir akibat lontaran ilmu keduanya. Apa boleh buat, tak ada jalan lain selain membentur dinding perbawa sihir kedua ilmu.

Thian Jie akhirnya memutuskan untuk bergerak cepat guna menyelamatkan kondisi dan keadaan keduanya, tiba-tiba Thian Jie berteriak lirih tetapi menggetarkan, kedua tangannya digerakkan secepat kilat dalam ilmu gerak Soan Hong Sin Ciang sambil kemudian melontarkan pukulan kilat keras kearah dinding tersebut. Untungnya, meski sulit menguasai Ilmu tersebut sepenuhnya, tetapi Tek Hoat sudah mengenal Thian Jie, meski Thian Jie belum lagi menyadari lawannya adalah Tek Hoat.

Karena itu, benturan yang disengaja oleh Thian Jie segera menembus dan membentur tenaga halilintar Tek Hoat, dan akhirnya keduanya terpental mundur. Sebelum Tek Hoat kembali bergerak, karena masih dalam perbawa Ilmu tersebut, Thian Jie sudah membentak dengan segenap kekuatannya: “Tahan“, serunya dengan suara penuh wibawa.

sungguh Thian Jie tidak bermimpi bahwa mengerahkan Ilmu hipnotis dengan kekuatannya yang besar memiliki pengaruh yang begini besar. Dengan segera Tek Hoat yang menatap matanya tajam nampak tertahan sejenak, sekilas seperti bingung, tetapi karena tubuhnya penuh hawa sakti, keadaan itu hanya sekitar 2-3 detik semata.

Dia melepas seluruh kekuatannya dan perlahan tertunduk meskipun hanya untuk sejenak. Tetapi, keadaan yang hanya sesaat itu, sekaligus menyadarkannya akan sesuatu. Bahkan sudah cukup untuk masing-masing melonggarkan penguasaan atas Ilmu yang memiliki perbawa menakutkan tersebut.

Sebenarnya, baik Tek Hoat maupun Thian Jie sudah memperoleh penjelasan guru mereka masing-masing, bahwa perbawa menakutkan yang dibawa ilmu masing-masing, akan disebut sempurna bila hanya menguasai ”mental“ orang yang diserang.

Dan bila diinginkan, bisa memperluas arena penguasaan sesuai kehendak hati dan itu baru mungkin dilakukan apabila penguasaan ilmu tersebut sudah mencapai titik tertinggi, sehingga bukannya ilmu buat menakut-nakuti orang.

Tetapi, keduanya sadar, bahwa justru ilmu itulah yang menguasai mereka, sehingga sulit menahan diri melontarkannya sampai pada tingkat tertinggi. Meskipun menysali keadaan mereka, tetapi keduanya sudah mempelajari kondisi berbahaya bila mengeluarkan Ilmu yang belum mereka kuasai dengan sempurna itu.

Tek Hoat kemudian dengan segera menguasai dirinya. Diapun nampak sangat letih dengan benturan kekuatan dan terutama pengerahan tenaga sinkang dan tenaga batin yang luar biasa. Tetapi anak ini memang tidak menyesal dipanggil SI Matahari Bersinar Cerah.

Dengan cepat senyum kembali menghiasi bibirnya meski letih, dia kemudian menyapa:

”Thian Jie, selamat berjumpa. Sudah lupa lagikah engkau denganku“?

Thian Jie mungkin bisa melupakan Tek Hoat, tetapi sulit melupakan kejenakaan dan wajah simpatik yang selalu nampak di wajah Tek Hoat yang membuatnya memperoleh julukan Sie Yang Sie Cao. Karena itu, dengan gembira Thian Jie kemudian berseru:

”ach, kamu tentu Tek Hoat .... hahahaha, tidak salah lagi, Liang Tek Hoat. Ach, tapi mengapa engkau juga menjadi sehebat ini’? Thian Jie mengerutkan keningnya meski tetap dengan wajah gembira kemudian merangkul Liang Tek Hoat.

”Hahahaha, Thian Jie – Thian Jie. Sungai itu memang sudah kuduga tidak punya kuasa menamatkan hidupmu“ Tek Hoat bercanda sambil balas merangkul Thian Jie yang diselematkannya dari sungai.

”Tapi, bagaimana caranya engkau terlepas dari keganasan sungai itu Tek Hoat“? Thian Jie bertanya. Tapi Tek Hoat kemudian berbisik mengingatkannya:

“Biarlah nanti kita bicarakan urusan tersebut. Banyak hal yang harus segera kita kerjakan“.

”Hm, kau benar Tek Hoat. Mari kau perkenalkan aku dengan sahabat-sahabat kita yang gagah-gagah ini“

Yang pertama maju kedepan adalah Maling Sakti. Tapi si Maling nampak masih sedang terluka, meski tidak sangat parah. Maling Sakti ini menjadi semakin ngeri dan takjub memandang Thian Jie setelah melihat pertarungan yang sangat luar biasa dengan Tek Hoat.

Selain Maling Sakti, nampak juga Pengemis Tawa Gila Hu Pangcu Kay Pang yang dibelakang mereka nampak banyak sekali tokoh-tokoh pengemis yang menyertai. Setelah berkenalan dengan semua tokoh Kay Pang yang berada di tempat tersebut, akhirnya semua sepakat untuk membicarakan banyak hal di markas darurat Kay Pang yang ternyata terpendam di balik Lembah yang nampak tidak berpenghuni itu.

Terutama Pengemis Tawa Gila, yang juga menjadi sangat kagum dengan Thian Jie. Sejak tadi dia sudah sadar, bahwa pemuda aneh ini pastilah dari Lembah Pualam Hijau, karena bergerak dan ilmu silatnya jelas dari Lembah itu.
 
BAB 12 Hek-i-Kay Pang
1 Hek-i-Kay Pang




Siang itu, seorang gadis cantik nampak sedang berjalan memasuki Kota Raja Pakkhia sambil menikmati dan memandang kesana kemari.

Tentulah baru pertama kali gadis cantik ini memasuki kota raja Pakkhia ini, terbukti dengan seringnya dia memandang kagum kesana-kemari. Gadis cantik ini sebetulnya bukanlah gadis sembarangan, karena gadis ini bernama Liang Mei Lan, putri seorang Pangeran di Kerajaan Sung Selatan. Gadis yang bahkan sudah diberi kepercayaan Kaisar Sung untuk menjadi salah satu pengawal Raja yang terpercaya.

Gadis ini kembali melanjutkan perjalanan setelah tinggal lebih dari 2 minggu di rumah orang tuanya. Kali ini, tugasnya adalah mencari jejak kakaknya dan sekaligus mencari informasi mengenai Pedang suhunya, Kiok Hwa Kiam yang masih belum ada kabar beritanya. Setelah bercakap banyak dengan Beng San Siang Eng dan juga dalam perjalanannya banyak mendapatkan informasi, maka Mei Lan kemudian memutuskan menuju Pakkhia. Dia bahkan yakin kakaknya berada di daerah tersebut.

Gadis cantik di tengah kota yang ramai, sudah tentu akan mengundang banyak perhatian. Dan sudah barang tentu, Mei Lan sadar bahwa sudah ada beberapa gerakan mencurigakan yang mengikuti dan mengawasinya kemana saja dia pergi. Selaku gadis terlatih, hal-hal yang dluar kewajaran dapat ditangkap baik dengan intuisi dan naluri maupun dengan kemampuan menafsirkan keadaan sekitar.

Tetapi dasar gadis pemberani, Mei Lan justru tidaklah begitu memperhatikannya. Yang justru rada gelisah adalah salah seorang pengawasnya, yang dari jauh mencermati gerak-gerik gadis yang dirasa sangat mirip dengan seseorang yang dihormatinya. Pengintip dan pengintai Mei Lan saat ini, memang terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda kepentingannya. Para pengintip itupun berbeda-beda motivasinya. Ada yang memperhatikan karena kagum atas kecantikannya, tetapi ada pula yang bukan karena daya tarik fisik Mei Lan.

Ada pengintai dari kelompok Hek -i-Kay Pang dan ada yang dari kelompok Kay Pang sendiri, selain juga disatu sudut nampak Maling Sakti terus dengan ringan mengikuti jejak nona ini. Sudah tentu, kelompok-kelompok pengintai ini memiliki kepentinan berbeda. Maling Sakti dan kelompok Kay Pang menjadi penasaran dan mengikuti terus Mei Lan karena melihat kesamaan fisik antara Mei Lan dan Tek Hoat.

Para anggota Kay Pang dan Maling Sakti yang belum begitu mengenal Tek Hoat menjadi bertanya-tanya, siapakah gerangan gadis yang begitu mungil, manis dan cantik ini? Apalagi Maling Sakti segera mengenal dan mengetahui bahwa gadis cantik ini nampaknya bukan orang sembarangan.

Dari ketenangan si gadis dalam melangkah serta ringanya langkah kaki si gadis sudah memberi isyarat bahwa gadis ini bukan orang sembarangan. Dan menilai seperti ini, sungguh merupakan keahlian Maling Sakti yang jarang ditandingi tokoh lain di dunia persilatan.

Akhirnya, si Gadis cantik nampak memasuki sebuah rumah makan yang siang itu cukup ramai. Waktu memang sudah cukup siang dan tentunya sudah merupakan saat yang tepat untuk mengisi perut. Masuknya Mei Lan ke Rumah Makan, ternyata diikuti Maling Romantis dan nampaknya juga beberapa orang dari kelompok Kay Pang berbaju hitam.

Mei Lan mengambil meja di sebuah sudut yang memiliki latar pemandangan kearah keramaian kota, sementara Maling Sakti berada di sebuah meja di sedikit agak ke tengah dan memudahkannya untuk terus mengawasi Mei Lan. Sementara para Pengemis Baju Hitam nampak rada penasaran karena tidak lagi memperoleh meja kosong untuk ikut makan siang sambil mengawasi Mei Lan.

Tetapi anak buah para Pengemis Baju Hitam nampak tetap terus memelototi dan mengawasi rumah makan tersebut. Mereka seperti memiliki target khusus dan harus dipenuhi dengan terus menerus memelototi rumah makan itu. Bahkan pertukaran info melalui kurir diantara mereka membuat posisi dan kondisi seakan berada di tangan mereka.

Sementara itu, didepan si Maling Sakti duduk nampak samping dimata Maling Sakti adalah seorang pria yang nampak terlampau ramping sebagai pemuda dan wajah yang juga terlalu tampan sebagai seorang laki-laki. Sekali pandang, mata lihay Maling Sakti segera sadar bahwa didepannya adalah seorang pemudi atau gadis yang sedang menyamar.

Tetapi yang mengagetkan Maling Sakti adalah, sinar matanya yang menyambar sangat tajam, dan bahkan gerak-geriknya ketika mematahkan batang sumpit tanpa bersuara dan menjadikannya potongan-potongan kecil nampak sangat ringan tetapi khas seorang berilmu. Maling Sakti segera sadar, bahwa didepannya atau dalam warung makan itu ada 2 Naga Betina yang nampaknya sangat sakti.

Satunya adalah Naga Betina yang menyamar, sedang yang lainnya nampak santai-santai saja menikmati makanan, meski pandang mata kagum tumplek ke dirinya. Seakan wanita-wanita lain dalam Rumah Makan tersebut seperti bintang yang hilang cahaya ketemu matahari.

Diam-diam Maling Sakti tertegun, mengapa begitu banyak orang muda yang berkepandaian begitu tinggi? Dia sudah mengenal Tek Hoat dan Thian Jie dengan kepandaian mereka yang begitu menggiriskan. Terlebih Thian Jie yang memiliki perbawa yang mengesankannya, bahkan cenderung menghormat dengan berlebihan. Dan kini, kembali dia bertemu 2 tokoh muda sakti, anak gadis pula, yang nampaknya bukan orang sembarangan.

Dimanapun dan kapanpun, pasti akan ada laki-laki iseng yang suka tak tahu diri cari perkara. Apalagi memang sering, yang diusili lelaki ceriwis dan tak tahu diri pastilah cantik jelita, dan mereka yang usil akan semakin berani apabila si gadis cantik lemah lembut dan tak sanggup memberi perlawanan.

Dan memang, perempuan-perempuan di tempat demikian, mau tidak mau harus melayani tamu dengan hormat, bahkan dengan mengorbankan gengsi dan harga diri bila perlu. Menjadi lebih berani dan nekad lagi, apabila beberapa cangkir arak telah mengaliri darah pria ceriwis. Dan itulah yang dilakukan beberapa pria disudut lain yang dengan larak-lirik genit memandang kearah Mei Lan yang sedang makan.

Kemudian mereka berbisik-bisik seperti sedang berunding harga atau entah apa. Yang pasti, focus percakapan mereka agaknya memang tertuju kepada Mei Lan yang dalam hatinya tersenyum-senyum. Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berkumis tikus dan berpakaian cukup indah, nampak berdiri dan melangkah penuh keyakinan kearah meja Mei Lan.

“Nona yang cantik, kita seperti pernah bertemu, tapi dimana yach?” dengan gaya menyebalkan. Sangat menyebakan malah. Tetapi, Mei Lan sama sekali tidak berpaling dan menggubrisnya. Sudah biasa dia diperjalanan diusili orang, dan pengalamannya, dengan didiamkan saja pasti akan jera dengan sendirinya. Karena itu, dengan lahap dilanjutkannya makan siangnya tanpa sedikitpun menggubris si pengganggu.

Bahkan melirik si pengganggu usil itupun Mei Lan tidak. Sebaliknya, malah seperti terkesan acuh-tak acuh dan seperti merasa tidak terganggu saja.

“Ach, jika tidak salah kita pernah bertemu di rumah perjamuan Bhok Kongcu. Ingatkah Nona”? Si kumis tikus terus merayu. Meskipun bagi telinga Mei Lan, suara itu bukan suara rayuan, tetapi suara tembereng yang sangat memuakkan dan tidak enak di telinga.

“Dan memang, Nona menjadi pusat perhatian karena begitu anggun dan memikat. Apakah Nona sudah lupa”? si kumis tikus terus melancarkan rayuan tanpa menghiraukan orang.
Mei Lan tidak bergeming, menolehpun tidak. Tetapi terus melanjutkan makannya yang nampaknya sebentar lagi selesai.

“Apakah Nona tidak bersedia memberi muka bagi kenalan lama”? Si kumis tikus terus berburu dan memburu.

“Lagi pula di siang terik ini, duduk dan makan sendirian kan sayang, seperti tidak menghormati cerahnya suasana hari”

“Phuiiih, uh, terlalu pedas” Mei Lan seperti menggerutu, tetapi kuah-kuah makanannya seperti tidak sengaja mengenai muka dan badan si kumis tikus. Dan sebelum si kumis tikus bicara, Mei Lan sudah berseru:

“Pelayan, tolong dibawakan air minum. Kuah ini agaknya terlalu pedas” Panggil Mei Lan sambil pura-pura mengipasi mulutnya yang nampak seperti kemerahan menahan pedas.

Tetapi sementara itu, si Kumis Tikus sedang diketawai oleh kawan-kawannya karena muka dan sebagian bajunya jadi berlepotan kuah yang tak sengaja tersembur dari piring di depan Mei Lan. Sementara itu, nampak si Pemuda yang menyamar dan Maling Sakti menahan ketawa, karena nampaknya dia mengerti cara yang digunakan Mei Lan untuk menggebah si pengganggu.

Tetapi sayang, si muka tikus ternyata tidak tahu diri. Dia masih tetap ngotot untuk merayu dan melanjutkan usahanya yang menyebalkan itu. Tetapi, memang kemudian terdengar nada suaranya berubah menjadi kaku tanda dia mengalami sebuah sentakan yang tentu memang tidak menyenangkan.

Apalagi karena dia kemudian menjadi bahan tertawaan dan bahan ejekan teman-temannya:

“Nona, pakaianku telah dikotori kuah dari piring nona, begitu juga wajahku. Tolonglah dibersihkan biar perhubungan kita tetap terpelihara dangan baik” Nekad, mungkin karena malu diketawai kawan-kawannya, disamping sudah termakan oleh “air kata-kata” (Arak).

Tetapi, kembali Mei Lan tidak bergeming, dan bahkan kembali melanjutkan makan yang tidak lama kemudian memang selesai. Tetapi dalam hati, Mei Lan sendiri merasa puas telah memberi hajaran dengan mempermalukan laki-laki yang memang nampak tidak tahu malu dan sengaja mengganggunya.

“Ach, sudah lama tidak makan sekenyang dan sepuas ini di siang yang indah” Mei Lan bergumam sambil kemudian berbenah membersihkan yang perlu dibersihkan termasuk mulutnya. Dia minum air minum yang telah disediakan, dan dengan gaya seperti tidak terjadi apa-apa.

“Nona, apakah engkau tidak mendengar kata-kataku”? Si kumis tikus makin penasaran dan nadanya mulai berubah setelah melihat dia sama sekali tidak digubris. Tapi Mei Lan justru sengaja melanjutkan aktivitasnya tanpa sekalipun menggubris orang yang semakin kayak kebakaran jenggot. Jangankan menggubris, melirik dan melihat ke arah si kumis tikus yang semakin tidak genahpun tidak.

“Hm, tak sangka ada gadis manis sekasar dan sesombong engkau” Kali ini si Kumis Tikus menjadi naik darah. “Enak saja perempuan ini, di kota ini siapa yang tidak menghormat melihatku” pikir si kumis tikus. Ditambah dengan pengaruh arak dan kesombongannya yang tersinggung dengan cara dan gaya orang yang tidak memperdulikanya, maka kehormatannya menjadi tersinggung.

Karena itu, tiba-tiba si kumis tikus mengulurkan tangannya hendak menyentuh pundak Mei Lan dengan cara yang sangat tidak sopan, atau malah dengan cara yang kurang ajar. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara “Braaaaak”, tubuh besar si Kumis Tikus tiba-tiba terjengkang ke belakang tanpa bisa ditahan lagi.

Bahkan si kumis tikuspun tidak mengerti bagaimana caranya tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan dan terjengkang ke belakang. Entah bagaimana, tak seorangpun tahu, kecuali nampaknya Maling Sakti dan si Pemuda yang menyamar. Keduanya melihat dengan jelas bagaimana dengan cepat dan tepat, kaki kiri Mei Lan bergerak sedikit, sedikit saja.

Dan tenaga dorong dari gerakan kaki itu, sudah cukup menghilangkan keseimbanga si kumis tikus yang setengah mabuk untuk seterusnya terjengkang ke belakang, tanpa tahu apa sebabnya. Kecuali, dari kakinya yang kesemutan dan seperti mendorongnya ke belakang dan terjengkang.

Sungguh mengenaskan. Sungguh belum pernah si kumis tikus mengalami kejadian memalukan dan kehilangan muka separah ini. Yang lebih menyakitkan, tiba-tiba terdengar suara ngakak, bekakakan, di belakangnya, dan tentu suara kawan-kawannya yang menertawakannya. Mereka berpikir, si kumis tikus sudah kehilangan keseimbangan dan kesadarannya sampai kemudian terjengkang kebelakang.

Agaknya merekapun tidak sadar apabila Mei Lan yang membuat si kumis tikus terjengkang. Gadis secantik dan semungil Mei Lan, mana mungkin sanggup mendorong dan menjengkangkan si kumis tikus ke belakang. Karena itu, mereka malah menertawakan si kumis tikus dan memandangnya sebagai orang tak becus.

Segitu saja bisa membuatnya sampai terjengkang kebelakang dan tidak bisa menguasai dirinya. Situasi itu tambah membuat wajah si kumis tikus menjadi merah membara. Marah, kesal, malu dan kehilangan muka membuatnya menjadi bukan saja kikuk dan malu, tetapi juga menjadi marah besar.

“Hahahaha, Kui Kongcu, bukan ikan yang didapat, tetapi malah kecebur ke sungai” seorang kawan si kumis tikus yang ternyata dipanggil atau bernama Kui Kongcu menyindir. Tetapi, si muka tikus Kui Kongcu, menjadi semakin heran, bagaimana bisa dia terjengkang.

Dan dia mulai curiga terhadap Mei Lan, tapi apa mungkin nona semungil dan semanis ini mampu melakkannya? Lagipula, bagaimana caranya melakukannya?. Karena itu, dengan muka masam, marah dan kebingungan dia memandang galak kearah Mei Lan yang tetap tidak menggubrisnya dan kemudian melangkah ke tempat duduknya sambil berkata, “Aku menyerah, silahkan kalian saja yang menyunting bunga indah itu”, Sambil berkata demikian dia duduk di kursinya dan selamat dari kejadian yang lebih memalukan.

Tetapi kejadian yang lebih memalukan, kemudian dialami oleh temannya yang lain, yang dipanggil Bhok Kongcu. Pemuda yang berperawakan sedikit lebih pendek dari si kumis tikus dan nampak bahkan malah lebih ceriwis dan lebih tidak tahu malu. Atau mungkin, siapa memang yang tidak menjadi tidak tahu malu setelah menenggak arak dalam takaran yang berlebihan? Dengan langkah penuh percaya diri, tegap dan dada membusung, dia mendatangi Mei Lan yang mulai gusar karena ternyata dipergunjingkan kawanan yang menyebalkan ini:

“Nona yang cantik, bolehkah kita berkenalan? Aku bersedia mengantar nona berkeliling kota Pakkhia sambil menikmati keindahan kota ini. Itupun bila nona bersedia” Tetapi Mei Lan, seperti juga sebelumnya tetap diam, tidak bergeming dan tidak menggubris si pengganggu.

“Mari nona, perkenalkan, namaku Bhok Kongcu. Kita bisa menikmati keindahan Pakkhia di sore hari” terus membujuk dengan gayanya yang memuakkan. Keadaan yang kemudian rupanya membuat Mei Lan sudah mulai gusar, dan mempertimbangkan memberi hajaran kumpulan anak muda bangor ini. Karenanya, terdengar dia berkicau:

“Sayang, kota yang indah, rumah makan yang enak, tapi banyak sekali lalat lalat tak berguna merusak suasana”

“Tapi memang lalat-lalat kan banyak terdapat dimana-mana nona, di Pakkhia, tentu juga banyak” Bhok Kongcu belum sadar dipermainkan. Belum sadar bahwa dia dan kawan-kawannya sudah dianggap dan disamakan sebagai lalat yang mengganggu.

“Ya, lalat-lalat seperti kalian, pemuda bangor tak punya kerjaan benar-benar merusak keindahan Pakkhia” berkata Mei Lan tanpa berpaling memandang Bhok Kongcu. Karuan dan segera wajah Bhok Kongcu menjadi merah padam, bahkan kawan-kawannyapun menjadi tersinggung disebut lalat-lalat tak berguna yang mengotori kota Pakkhia.

Bukan itu saja, si kumis tikus yang tadinya sangat kepincut, juga menjadi merah padam saking malu dan marahnya, sama dengan Bhok Kongcu yang menjadi murka dan keki.

“Nona, mulutmu terlalu tajam dan lancang. Aku memintamu untuk mohon maaf kepada kami semua dan meralat kata-katamu yang sangat menghina itu, jika tidak ..”

“Jika tidak apa?, kau mau mengganggu seorang gadis di rumah makan”? potong Mei Lan sebelum Bhok Kongcu menyelesaikan kalimatnya.

“Dan apakah kalian punya kemampuan selain hanya lalat-lalat tak berguna yang bisa diusir dengan mengepakkan tangan”? Hebat makian Mei Lan, bahkan kawan-kawan Bhok Kongcupun mengerang marah. Tapi Bhok Kongcu yang terdekat dan yang paling mungkin lebih cepat, serta nampaknya punya sedikit bekal, telah mendahului dengan mendorong punggung Mei Lan dan menyerang.

Tetapi, seperti yang diucapkan Mei Lan, dengan hanya mengibaskan tangannya dalam jurus “Mengibas Gelombang Angin” dari Bu Tong Pay, tiba-tiba Bhok Kongcu terlempar kearah kawan-kawannya. Sungguh mudah, atau terlalu mudah malah. Bahkan 2 orang yang mencoba menyanggah Bhok Kongcu, juga ikut-ikutan terjengkang oleh tenaga kibasan Mei Lan yang memang sengaja telah memutuskan memberi hajaran kepada kelompok anak muda yang suka mengganggu gadis itu.

Tapi sayang, lalat-lalat tak berguna, demikian Mei Lan mengibaratkan kelompok pemuda bangor ini, tidak cukup cepat tanggap. Lagipula, karena memang mereka sudah terpengaruh oleh banyaknya arak yang mereka minum. Sebaliknya, dua dari mereka yang tidak terjengkang sudah maju mengirim pukulan kearah Mei Lan. Karena tidak cepat sadar dengan kebobrokan mereka, Mei Lan memutuskan memberi hajaran lebih, karena itu kedua penyerang kali ini mengalami nasib yang lebih buruk.

Mereka kembali terjengkang oleh kibasan lengan baju Mei Lan dan bahkan terlempar lebih jauh dibanding Bhok Kongcu. Untunglah bukan maksud Mei Lan untuk melukai mereka dengan parah dan sekedar memberi mereka hajaran setmpal. Segera setelah mereka terjengkang dan menimpa meja kursi di belakang Mei Lan, gadis itu kemudian berdiri diiringi pandangan kagum dan senang dari si pemuda yang menyamar karena gadis itu memberi hajaran kepada para pemuda bangor yang sombong itu.

“Sungguh lalat-lalat yang memuakkan dan menjemukan. Pakkhia sungguh malang memiliki kalian yang tidak berguna” Mei Lan berkata untuk kemudian membayar, termasuk biaya kerugian yang diakibatkan para pemuda bangor itu dan seterusnya berjalan ke luar rumah makan dengan tidak lagi melirik kelompok anak muda bangor yang memuakkan itu.

Tapi, begitu melangkah ke luar, Mei Lan sudah dihadang oleh belasan Pengemis Berpakaian Hitam penuh tambal-tambalan. Bahkan salah seorang pemimpin dari belasan pengemis itu kemudian menegur:

“Nona, sungguh berani engkau mengganggu Bhok Kongcu dan Kui Kongcu berenam. Hayo, masuk dan minta maaf kepada mereka” Si Pengemis berkata dengan muka dan sikap mengancam. Tetapi bukannya takut, Mei Lan malah tersenyum manis sambil bertanya,

“Apakah kalian juga ingin menerima gebukan serupa dengan mereka”? ingin dilemparkan dan terjengkang untuk kemudian malu ditontoni orang banyak yang berlalu lalang”?

“Nona, apakah engkau berpikir kemampuanmu sudah demikian hebat hingga tidak memandang kami sebelah matapun” si pemimpin para pengemis mendesis gusar. Betapapun dia merasa memiliki bekal cukup untuk hanya meringkuk seorang gadis kecil yang nampaknya membekal kepandaian yang memadai itu. Terang dia tersinggung. Apalagi, dia harus mengelus dan membela anak-anak muda yang ayah mereka adalah donator bagi perkumpulan mereka, dan dibalas dengan perlindungan dan keamanan.

“Ach, bukankah aku sedang memandang kalian sekarang”? memandang pengemis baju hitam yang sedang membela para pemuda berandalan tak tahu malu. Atau, jangan-jangan, kalian adalah anjing tukang pukul peliharaan pemuda pemuda bangoran itu”? Hebat makian Mei Lan meskipun diucapkan sambil tersenyum-senyum manis dan mengesankan bahwa Mei Lan sama sekali tidak takut dan jelas takkan mengikuti permintaan si pengemis.

Pemimpin para pengemis baju hitam itu naik pitam, tapi lebih murka lagi anak buahnya. Tanpa dapat ditahan lagi, mereka kemudian bergerak mengepung dan bahkan menerjang Mei Lan yang mereka duga berilmu cukup. Sayang dugaan mereka hanya benar sedikit. Yang benar, bekal ilmu Mei Lan lebih dari cukup untuk menghajar para pemuda dalam Rumah Makan dan juga jauh mencukupi menghajar pengemis baju hitam itu.

Karenanya, seperti melenggang-lenggok semata, Mei Lan berkelit kesana kemari, dan dalam lima enam gerakan berikutnya, tangannya ikut bergerak dan tahu-tahu, 3 orang pengemis mengaduh kesakitan. Tiba-tiba, dengan langkah kaki aneh, Mei Lan kembali mengirimkan 3 pukulan yang menghajar 3 pengemis lainnya. Untungnya, Mei Lan tidak berhasrat melukai berat para pengemis itu, karena itu pukulannya hanya berisi tenaga hempasan yang membuat pengemis2 itu bertumbangan.

Dan sekejap kemudian, tinggal si pemimpin yang masih berdiri, sementara sisanya mengaduh-aduh dan merintih kesakitan karena tulang yang keseleo atau otot terkilir. Baru sekarang mereka memandang takjub dan kaget, karena ternyata anak gadis yang cantik mungil dan mereka duga gampang dibekuk ini, ternyata membekal kepandaian yang lihay.

Para pemuda dalam rumah makan makin takut dan terkejut melihat kehebatan Mei Lan, dan otomatis hasrat mereka untuk mengganggu lenyap seketika. Bahkan mereka kemudian bersyukur karena hanya mendapatkan hajaran ringan dan tidak sampai membuat mereka bercacat.

“Hm, Nona, anda sungguh hebat. Tapi, tunggulah pembalasan Hek-i-Kay Pang” Si pemimpin para pengemis mendengus dan memerintahkan anak buahnya untuk berlalu. Berlalunya para pengganggu, membuat selera Mei Lan untuk melanjutkan perjalanan menikmati kota menjadi sirna dan buyar.

Kejadian itu membuatnya merubah tujuan dan dengan cepat dia memalingkan wajah mencari sebuah penginapan. Untungnya masih tersedia cukup tempat dan kamar di Penginapan terbaik di Pakkhia, Penginapan Sing Long Kek Can. Karena memang penginapan ini sehari-harinya selalu ramai dan padat, dan memang disenangi banyak pengunjung yang datang berkunjung atau berpesiar melihat lihat Kota Raja Pakkhia.

Karena itu, di penginapan ini selalu terdapat banyak jenis manusia, baik para pelancong biasa dari luar kota, bahkan juga para kaum pedagang yang melintas, juga pejabat dari daerah yang punya urusan di Kota Raja, sampai ke kaum persilatan. Tidak heran bila penginapan ini selalu ramai dan jarang sekali punya kamar kosong.

Mei Lan memperoleh sebuah kamar di lantai 3. Dan begitu memasuki kamar dia langsung membersihkan diri dan berniat untuk segera mengaso atau istirahat sejenak melepas lelah. Tetapi, baru saja dia membersihkan tubuh dan berniat istirahat, dia melihat sehelai lembar kertas yang nampak seperti baru ditimpukkan masuk kekamarnya dengan tulisan:

Hek-i-Kay Pang menunggu nona
Di Hutan sebelah timur pintu gerbang kota menjelang malam.
Jika berani menghina, harus berani bertanggungjawab.

Mei Lan tidak menyangka urusan akan ditarik memanjang dari sekedar memberi hajaran para pemuda bangoran, pemuda hidung belang yang suka mengganggu anak gadis yang kebetulan cantik. Tapi persetan, pikirnya, toch menjelang malam masih cukup panjang, masih cukup waktu untuk beristirahat memulihkan tenaga, memulihkan kondisi badan yang baru melakukan perjalanan cukup jauh. Memangnya siapa takut dengan Hek-i-Kay Pang? pikir Mei Lan, dan dengan begitu saja diapun beristirahat. Jika dia mengenal Hek-i-Kay Pang lebih jauh, bukannya takut, Mei Lan malah akan merasa senang, karena bgisa berurusan dengan sempalan Kay Pang ini.

==================

Adakah sesuatu yang mengkhawatirkan atau menakutkan hati bagi seorang gadis sakti yang baru turun gunung seperti Mei Lan ini? Tantangan dari Hek-i-Kay Pang justru dipandangnya hanya seperti mainan anak-anak, meskipun dia pernah memperoleh gambaran Hek-i-Kay Pang dari Beng San Siang Eng dahulu. Tidak, Mei Lan tidaklah takut.

Terkesan gegabah memang, karena memang begitulah rata-rata keadaan mereka yang baru terjun ke dunia persilatan. Sangat atau terlalu percaya diri, sehingga dengan pengetahuan yang sangat dangkal dan minim, Mei Lan sudah memutuskan untuk memenuhi undnagan Hek-i-Kay Pang.

Dengan penuh kepercayaan diri, menjelang tengah malam sehabis bersiulan memulihkan semangat dna kekuatan, dia mendatangi hutan sebelah timur kota Pakkhia. Keadaan pada waktu itu, yakni pada waktu menjelang malam, sudah mulai sepi atau malah sudah sangat sepi, tiada lagi manusia yang berlalu lalang. Karena di musim dingin, menjelang malam aktivitas biasanya sudah banyak berkurang, tetapi bagi orang-orang berilmu, rasa dingin masih bisa ditahan.

Tepat pada waktu yang disebutkan oleh sehelai surat, Mei Lan melangkah keluar dari gerbang timur kota. Dandanannya ringkas, dengan baju berwarna biru dan hiasan kepala juga pita berwarna biru. Nona yang mungil dan cantik jelita ini, sepantasnya memang tinggal di istana, tetapi heran menjelang malam yang dingin, justru dia berjalan maju mendekati barisan Hek-i-Kay Pang yang sudah menunggunya dengan sikap dan penampilan angker.

Tapi keangkeran barisan itu tidak membuat keder si nona. Sebaliknya nona ini terus berjalan, berjalan mendekat sampai akhirnya berdiri berhadapan dengan barisan Hek-i-Kay Pang yang namapknya dipimpin oleh 2 orang tokoh utamanya. Di Barisan depan, nampak seorang kakek berusia belum 50 tahun lebih dengan menenteng tombak tiat-kauw (gaetan besi).

Kakek ini berkedudukan sangat tinggi dalam Hek-i-Kay Pang, dia adalah Ciam Goan, berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar) yang merupakan murid ketiga dari See Thian Coa Ong atau Adik seperguruan Pangcu Hek-i-Kay Pang yang bernama Hek Tung Sin Kai yang adalah murid kedua See Thian Coa Ong. Ciam Goan berkedudukan sebagai Hu Pangcu bagian dalam dari He-i-Kay Pang.

Disampingnya adalah sutenya sendiri, atau murid keempat See Thian Coa Ong yang bernama Ma Hoan dengan julukan Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima) dan membekal senjata siang-kek (sepasang tombak cagak). Kedudukannya dalam He-i-Kay Pang adalah Hu Pangcu bagian Luar. Di belakang keduanya, anehnya nampak juga Louw Tek Ciang, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Thian Liong Pang Tancu pakkhia beserta Hu Tancu Pakkhia Ca Bun Kim Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar).

Baru di belakang ke-empat orang ini, berjejer para anggota Hek-i-Kay Pang yang nampak berwajah seram-seram. Jumlah mereka tidak kurang dari 50an orang dan nampak menyeramkan karena mereka mengenakan pakaian berwarna hitam pekat meskipun dengan banyak tambalan kain hitam disana-sini.
 
2 Hek-i-Kay Pang bagian 2





Tetapi Mei Lan tidak memandang gentar semua tokoh dan manusia yang kini berdiri di hadapannya. Bahkan masih dengan suara yang tenang dia menyapa;

“Ach, inikah Hek-i-Kay Pang yang mengundangku. Hebat, hebat. Tapi ada apa gerangan menyambutku dengan barisan sebanyak ini”?

Kakek Ciam Goan, nampak terkejut juga dengan lagak si Nona yang menurut taksirannya masih remaja ini. Hebat. Bukannya keder, malah masih mampu mengeluarkan kata-kata dan kalimat menyindir Hek-i-Kay Pang. Tetapi keterkejutannya segera ditindas dan dengan segera kemudian kakek Ciam Goan ini bersuara:

“Hm, Nona, engkau melanggar perbawa Pang kami di kota. Menghajar beberapa sumber dana kami, bahkan berani pula menghajar anak buah lohu di kota. Tapi melihat tampang nona, biarlah lohu minta nona untuk minta maaf dan kita habiskan urusan sampai disini. Bahkan lohu akan mengundang nona dalam perayaan persahabatan kita dalam markas kami”

“Hihihihi, menjadi tamu Hek-i-Kay Pang tentu sebuah kehormatan. Tetapi, minta maaf untuk kesalahan yang tidak kulakukan, lain lagi ceritanya” Tangkis Mei Lan cerdik. Dia tidak mau mengaku salah, tetapi tidak menjatuhkan Hek-i-Kay Pang.

Kini, bahkan Ciam Goan sendiri yang dalam kesulitan. Melabrak anak remaja gadis ini, sungguh sebuah tindakan yang memalukan Hek-i-Kay Pang di dunia persilatan. Bahkan bisa menjatuhkan martabatnya. Sungguh keki harus menghadapi gadis semuda ini. Tapi, membiarkannya tanpa menghukum atau minimal minta maaf, akan sangat merugikan mereka.

Terutama karena para kongcu yang mengadu ke mereka, bakal mengurangi dukungan dana ke mereka. Tentu saja membuatnya jadi serba salah. Tetapi, tentu harus ada yang dilakukannya dengan tepat.

“Kouwnio, kejadian itu ketika kita belum saling mengenal. Tidak ada salahnya setelah saling kenal, saling meminta maaf” Bujuk Ciam Goan yang masih berharap Mei Lan minta maaf dan memenuhi undangannya dalam perjamuan persahabatan.

“Tapi maaf, saya menghajar mereka yang tidak tahu malu di kota, dan mereka yang membela para pemuda hidung belang. Siapapun mereka, bila kurang ajar, maka tanganku gatal-gatal untuk menghajarnya. Terlebih, pemuda-pemuda bangor itu sungguh memuakkan” Mei Lan dengan berani.

“Kouwnio, jadi engkau menolak uluran arak persahabatan dan memilih arak permusuhan?” Ciam Goan panas hati juga, meskipun kebat-kebait, bagaimana menangani anak gadis yang masih remaja ini.

“Arak apapun, aku tidak suka meminumnya” balas Mei Lan cerdik, sekaligus makin menyudutkan Ciam Goan. Membuat Ciam Goan tidak memiliki pilihan lain. Tapi untuk turun tangan, dia sendiri jelas malu. Masakan berkelahi melaan anak kecil? pikirnya.

Dan karena itu dengan terpaksa dia harus bertindak. Dia menoleh kearah 4 orang muridnya dan memilih mengadu mereka dengan gaids remaja mungil itu. Dia kemudian berkata,

“Song Hai, bekuk gadis sombong itu hidup-hidup”

“Baik suhu” Song Hai yang merupakan salah seorang murid Ciam Goan segera majukan diri, setelah menghormat Ciam Goan segera dengan tangkas meloncat kedepan Mei Lan.

“Maaf, nona, aku mendapat tugas menangkapmu” Song Hai memulai dengan menyapa terlebih dahulu, betapapun dia malu menghadapi seorang anak gadis remaja sekecil Mei Lan ini. Padahal, tidak seharusnya dia sungkan, karena jika demikian dia memandang Mei Lan terlampau rendah.

Dan benar saja, tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk menyadari bahwa sikapnya keliru. Song Hai terkejut ketika semua gempuran dan usahanya untuk menangkap Mei Lan dengan mudah diegoskan dan dielakkan oleh Mei Lan. Malah semua gerakannya dilakukan dengan santai dan seenaknya, seperti bermain-main saja. Untuk diketahui, gadis cantik ini dibekali dengan ilmu-ilmu yang sangat mumpuni baik oleh Suheng-suhengnyanya maupun tentu saja oleh suhunya sendiri yang sakti mandraguna itu.

Dengan lincah dan menggunakan gerakan-gerakan umum, dia sudah mampu membuat Song Hai berlari-lari menabrak angin semata. Dan Ciam Goan segera memahami sulitnya usaha Song Hai, karena itu, dia memerintahkan 3 anak murid lainnya sute Song Hai untuk ikut maju mengerubuti Mei Lan dan menangkapnya.

Tetapi, sama saja. Karena dengan bertambahnya 3 orang yang mengejar-ngejar bayangan Mei Lan, mereka tetap tidak mampu, jangankan memegang tangannya, menyentuh pakaiannyapun tidak sanggup. Karena si gadis tetap bergerak-gerak santai dan terkesan main-main, semua gerakan lawan, baik tangkapan, tonjokan maupun totokan tak sanggup menemui sasaran.

Apalagi ketika Mei Lan kemudian mengerahkan seadanya ilmu ginkangnya Sian Eng Coan-in (Bayangan Dewa Menembus Awan). Tubuhnya seperti berkelabat mengelilingi pengeroyoknya yang tak mampu mengapa-apakannya, selain mengejar-ngejar bayangannya. Gerakan-gerakan ginkangnya ini telah mengejutkan Ciam Goan, bahkan juga beberapa pasang mata yang mengintai pertempuran itu.

Dan tidak lama kemudian, nampak kedua tangan Mei Lan bekerja cepat, mengebut-ngebut dan kemudian melancarkan pukulan ringan yang kemudian melontarkan keempat pengeroyoknya ke tempatnya dengan tidak terluka sedikitpun. Betapapun Mei Lan sadar berada di tengah kepungan musuh dan karenanya tidak ingin memperkeruh suasana. Song Hai yang terlontar, dengan penuh penasaran ingin maju kembali, maklum, tentu saja dia merasa sangat malu dipermalukan anak gadis remaja.

Tetapi Ciam Goan segera sadar, bahwa anak muridnya tidak ada yang sanggup menandingi gadis yang nampak aneh tetapi menyenangkan ini. Dia berpandangan dengan sutenya, dan keduanya sepakat, tokoh yang lebih kuat harus maju menandingi Mei Lan.

Kemudian nampak Ma Hoan melirik kepada 5 orang pengemis pertengahan umur dan meminta mereka maju melalui isyarat mata. Nampaknya kelima pengemis ini sudah memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Hek-i-Kay Pang. Gerakan mereka juga lugas dan tenang.

Dari pancaran sinar matanya, mereka nampak memang lebih berisi, setidaknya melampaui kepandaian Song Hai berempat. Mereka dengan segera memberi hormat kepada Ma Hoan dan Ciam Goan, dan kemudian berkata kepada Mei Lan:

“Biarlah kami berlima mencoba menangkap nona” seru yang tertua dan dengan segera kemudian bergerak menyerang Mei Lan. Jika ke-4 orang terdahulu berusaha untuk menangkap semata, maka kelima pengemis yang lebih tua ini sadar, menangkap akan sangat menyulitkan, maka mereka bukannya mengejar tetapi menyerang dengan pukulan-pukulan.

Sekali ini, pukulan-pukulan tersebut nampak lebih berat, lebih berisi dan jauh lebih cekatan dibanding rombongan Song Hai sebelumnya. Kelima pengemis ini, kemudian bergerak saling mendukung meski tidak dalam satu barisan. Mereka menyerang silih berganti dan saling melindungi bila salah seorang kawannya mendapatkan kesulitan. Karena itu, Mei Lan menjadi kesulitan untuk menyerang salah seorang diantaranya, padahal pukulan mereka menyambar cukup dahsyat.

Tidak heran, karena kelima orang ini dikenal dengan nama Ngo To Kwi (Lima Setan golok), yang karena diperintah menangkap, jadinya tidak menggunakan golok. Mereka berlima sebenarnya adalah kaum sesat yang suka mengganas, tetapi kemudian ditaklukkan menjadi anak buah Hek-i-Kay Pang oleh Hek Tung Sin Kay. Kelima orang ini bergantian memukul, untungnya kepandaian khas mereka bukan ilmu pukulan, tetapi ilmu golok, itulah sebabnya Mei Lan merasa tidak terlampau sibuk.

Sebaliknya, malah dia memanfaatkan kesempatan tersebut seperti berlatih saja layaknya. Dia berkelabat, menangkis, menyerang dengan hebatnya kea rah 5 orang ini, tetapi sama sekali tidak berniat menjatuhkan mereka. Yang pasti, Ciam Goan dan Ma Hoan jadi berkerut keningnya karena ternyata 5 tokoh andalan merekapun masih belum sanggup menahan anak gadis ini.

Bahkan nampaknya seperti dipermainkan oleh Mei Lan yang bersilat dengan bebas, tanpa beban dan bergerak sangat pesat dan sangat cepat. Akhirnya Ma Hoan memerintahkan:

“Gunakan golok kalian, paksa gadis ini menyerah”

Perintah ini sungguh menggirangkan. Sangat menggirangkan. Mereka sedang berada diambang kekalahan yang memalukan, jatuh ditangan gadis remaja. Keadaan yang tentu akan sangat menajtuhkan wibawa mereka, menghancurkan nama yang dipupuk puluhan tahun.

Tengah mereka merasa penasaran karena kesulitan memegat lawan, perintah menggunakan golok sungguh melegakan mereka. Tentu saja serentak mereka mencabut golok masing-masing dan cahaya menyilaukan serentak memancar dari mata golok yang nampak sungguh tajam tersebut.

Mereka berlima, betapapun masih ingat sedang berhadapan dengan seorang anak remaja, gadis pula. Karena itu, salah seorang diantaranya berkata:

“Nona, mari cabut senjatamu. Kami tidak terbiasa dengan tangan kosong, tetapi bersenjata”

Tetapi, Mei Lan masih tetap belum nampak takut dan jeri, malah sambil tertawa dia berkata:

“Wah, aku mau disembelih juga, hampir 5 orang yang mau mengejar-ngejar menyembelihku. Tapi, rasanya masih cukup menghadapi kalian dengan tangan kosong” masih sempat dia berkelakar. Tetapi selanjutnya, sulit baginya untuk memecah konsentrasi karena serangan kelima golok itu sungguh cepat, pesat dan bekerjasama dengan baik.

Karena itu, segera Mei Lan meningkatkan kemampuan ginkangnya Sian Eng Coan In, dan tubuhnya dengan indah seperti meliuk-liuk , melompat keatas, menyelinap kebawah dan semua serangan cepat kelima golok bisa dielakkannya dengan baik. Benar bahwa kelima golok setan ini cepat dan sangat tangguh.

Tapi yang mereka hadapi adalah gerakan ginkang yang sangat mahir dari seorang yang berjuluk “Bayangan Dewa”, karenanya masih tetap mudah bagi Mei Lan meladeni mereka. Tapi betapapun dia sadar, ini ujian yang sangat pantas bagi ilmu ginkangnya.

Meskipuni, semakin lama, semakin cepat dan pesat kerjasama kelima golok tersebut dan semakin sedikit kesempatan Mei Lan untuk mementil, menyerang apalagi. Setelah sekian lama membiarkan dirinya diserang dan dia menggunakan gerakan-gerakan ginkangnya untuk mengimbangi, akhirnya Mei Lan berkeputusan lain. Ingin mecoba ilmu lain.

Akhirnya sambil berseru dia melenting keatas, bagaikan seekor burung dan begitu turun ditangannya tergenggam sebatang pedang yang cukup tipis, tetapi nampaknya sebuah pedang pilihan. Sewaktu menukik turun, dengan tangkas pedangnya menyentil sebuah golok dan dengan indah tubuhnya kembali mumbul keatas dan kembali menukik turun menghujankan serangkaian serangan pedang kearah lima lawannya.

“Hm, Bu Tong Kiam Hoat” Ma Hoan bergumam dibenarkan Ciam Goan

“Anak ini pasti didikan tokoh utama Bu Tong Pay” Ciam Goan menambahkan

Percakapan sambil bergumam antara kedua pimpinan Hek-i-Kay Pang tersebut membuat mereka tegang, dan semakin tegang ketika melihat kepungan kelima Golok Setan ternyata semakin longgar. Pedang tipis Mei Lan nampak dengan gemulai bermain-main menyambar, mementil dan mementalkan golok yang menyerangnya dan bahkan sekarang sudah lebih banyak menyerang lawan ketimbang bertahan.

Dengan tangkas Mei Lan membagi-bagi serangan pedangnya yang memaksa barisan 5 golok itu keteteran dan merusak kerjasama mereka. Sedangkan Mei Lan menjadi lebih bersemangat, meski tidak bermaksud menerjang dan melukai lawannya, dia terus meningkatkan penggunaan Bu Tong Kiam Hoat dan meruntuhkan ambisi dan kerjasama 5 lawannya. Semakin lama semakin jelas, bahwa jika dilanjutkan kerugian akan dialami oleh 5 golok setan itu. Untungnya Mei Lan tidak berniat membunuh atau melukai mereka dengan berat, tetapi menyerang mereka sampai kalang kabut.

Ciam Goan dan Ma Hoan yang mengikuti perkembangan itu menjadi maklum akan keadaan andalan mereka. Tiba-tiba terdengar Ciam Goan berseru:

“Tang Sun, maju dan tangkap bocah ini”

“Baik Suhu” Seorang berusia hampir 40 tahun dan merupakan murid tertua dan terpandai dari Ciam Goan berkelabat maju. Tapi, belum lagi dia mencapai area pertandingan, tiba-tiba terdengar sebuah suara:

“Tahan dulu kawan, jangan bergantian melawan seorang anak gadis. Memalukan nama Hek-i-Kay Pang” Di depan Tang Sun, kini berdiri seorang pemuda yang nampak sangat tampan, terlalu tampan malah dan menghadangnya untuk menyerang Mei Lan.

“Lagipula, aku ikut merubuhkan beberapa pengemis di luar rumah makan dalam kota karena mual melihat mereka membela orang tidak genah” Sadarlah Mei Lan mengapa beberapa pengemis yang lain sudah jatuh sebelum diserangnya. Tadinya tidak begitu diperhatikannya, kini barulah dia sadar, ternyata benar ada yang ikut membantunya. Dan pemuda inilah yang nampaknya ikut merubuhkan beberapa pengemis dalam kota Pakkhia tadi siang.

“Tangkap sekalian pemuda itu Tang Sun” perintah Ciam Goan. Dan dengan segera arena pertempuran berubah menjadi 2, di arena pertama Mei Lan sudah mendesak Ngo To Kwi habis-habisan, sementara arena satu lagi Tang Sun baru membuka serangan menghadapi si pemuda tampan yang baru datang.

Tapi, si pemuda juga ternyata sangatlah lihay, semua serangan Tang Sun dengan mudah dapat dielakkan dan dipatahkan. Bahkan ketika Tang Sun menggunakan salah satu ilmu andalannya dari gurunya, Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun) dengan deru angin yang menyeramkan, masih dengan mudah dihindarkan oleh si pemuda. Langkah-langkah ajaib dikembangkan oleh si pemuda mengikuti jurus Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar).

Dengan sendirinya, pukulan-pukulan beracun Tang Sun menjadi tidak bermanfaat karena lawannya bisa dengan gesit bergerak kesana kemari dan dengan ajaib menghindari semua pukulannya.

“Sute, itu jelas jurus Langkah Sakti dari Bengkauw. Urusan makin runyam” Ciam Goan berdesis

“Benar Suheng, urusan disini bisa jadi melebar. Sebaiknya kita cepat turun tangan sebelum semakin banyak kesempatan kepergok orang lain” Ma Hoan mengusulkan.

Tapi baru saja mereka menyepakati untuk turun tangan, tiba-tiba terdengar bunyi sret-sret-sret-sret-sret dan lima Golok Setan mengeluh mundur. Tangan mereka masing-masing telah tergores ringan dan mengalirkan darah, tanda bahwa mereka telah dilukai meski hanya luka ringan oleh Mei Lan.

Dan tidak lama kemudian, di arena kedua terdengar sebuah benturan pukulan “Plak, plak”, nampaknya si pemuda telah membenturkan tangannya dengan jurus Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dan membuat racun di hawa pukulan Tang Sun seperti lari entah kemana, tiada pengaruh sama sekali.

Bahkan akibat benturan itu, Tang Sun terpental dan terhuyung-huyung baru kemudian bisa berdiri dengan tegak, meski dengan nafas sesak. Dalam kondisi demikian, kedua pemimpin itu dengan saling melirik terlebih dahulu sudah menetapkan maju menandingi dan menangkap kedua pengacau.

Ciam Goan dengan cepat berkelabat kearah si Pemuda. Betapapun dia masih risih berhadapan dengan seorang gadis dan lebih memilih si pemuda yang baru datang. Sementara Ma Hoan telah maju mendatangi si remaja cantik jelita Mei Lan. Meskipun telah berkelahi sekian lama, tetapi nafas Mei Lan masih nampak teratur, terutama karena lawannya memang masih belum mampu menandingi tingkatannya saat ini. Karena itu, dengan senyum dia menanti kedatangan Ma Hoan sambil berkata:

“Ach, akhirnya rajanya turun tangan juga”

“Nona, bersiaplah. Terpaksa lohu menangkapmu biar lebih cepat beres urusan disini”

“Tangkaplah jika bisa” Mei Lan dengan jenaka.

“Baik, berkelitlah nona” Ma Hoan dengan cepat membuka kedua tangannya dan mulai melakukan serangan. Pada pembukaan serangannya, dia telah menggunakan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun) yang merupakan Pukulan Beracun dari perguruan See Thian Coa Ong. Tentu, kadar racun dan tenaga dalamnya berbeda jauh dengan kemampuan Tang Sun, dan Mei Lan sadar betul dengan bahaya ini.

Dengan cepat dia mainkan Bu Tong Kun Hoat, sebuah Ilmu Sakti yang bisa dimainkan dengan Ilmu Pukulan maupun Ilmu Pedang (Bu Tong Kiam Hoat) dengan sama hebatnya. Bahkan Ma Hoan menjadi terperanjat ketika terjadi benturan tenaga, dia merasa tenaga sakti si gadis ternyata luar biasa kuatnya dan membuatnya tergetar. Dan lebih kaget lagi ketika dia melihat si Gadis malah tidak terpengaruh oleh kekuatan hawa racun yang terkandung dalam pukulannya. “Luar biasa, pantas Tang Sun dan murid lainnya tidak sanggup menangkap gadis ini” pikirnya, sekaligus melahirkan kekhawatiran akan gagalnya tugas mereka.

Mati-matian kemudian Ma Hoan meningkatkan kekuatan hawa racun dan kekuatan sinkangnya melalui serangan Tok Hiat Ciang. Tetapi semakin dia menigkatkan tenaganya, semakin meningkat juga kemampuan dan pengerahan tenaga Mei Lan. Karena itu semua serangannya masih bisa dengan mudah dipunahkan oleh Mei Lan, bahkan membalas semua serangan tersebut dengan lebih berat dan lebih keras.

Gebrakan awal ini telah membuka mata Ma Hoan, bahwa gadis yang sedang dihadapinya ternyata tidak berkepandaian lemah, bahkan dia mulai ragu apakah sanggup menangkap si gadis remaja. Bahkan ketika dia meningkatkan kemampuannya dengan bersilat mengikuti pengerahan hawa beracun lainnya, yakni Hek Hwe Ji (Hawa Hitam Beracun) justru dihadapi Mei Lan dengan mengganti ilmunya dengan Thai Kek Sin Kun.

Ilmu ini juga bisa dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang, bahkan bila digabungkan bisa menjadi lebih dahsyat lagi. Dengan Ilmu ini, baik Tok Hiat Ciang maupun Hek Hwe Ji menjadi mandul, karena selalu terhalang dan terdorong hawa sakti yang muncul dari pengerahan Ilmu Thai Kek Sin Kun. Apalagi dengan kecepatan gerakannya, Mei Lan membuat Ma Hoan menjadi kalang kabut, sungguh tak sanggup diimbanginya kecepatan gerak Mei Lan yang sudah meningkatkan kecepatannya.

Sementara itu, Ciam Goan juga bertarung dengan rasa kaget karena ternyata si pemuda pendatang sungguh lihay dan diluar dugaannya. Diapun mengalami kekagetan ketika penggunaan Ilmunya Tok Hiat Ciang bisa dihadapi dengan mudah oleh si pemuda, bahkan hawa beracunnya amblas ketika dibalas oleh si pemuda dengan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja).

Getaran Ilmu Sinkang juga terasa tidak dibawahnya, apalagi dalam hal kegesitan. Diam-diam dia menjadi berkhawatir dengan keadaan dirinya bahkan dengan kehormatannya sebagai tokoh hitam ternama yang memegang jabatan Hu Pangcu di Hek-i-Kay Pang. Seperti juga Ma Hoan, bahkan ketika dia menggunakan Hek Hwe Ji, masih bisa dihadapi dengan tenang oleh si pemuda baik dengan Ilmu Langkah Sakti maupun dengan membenturnya menggunakan kekuatan Jit Goat Sin kun Hoat (Tangan Sakti Bulan Matahari). Hawa sakti yang terpancar dari Ilmu tersebut mampu dengan telak membalikkan dan memunahkan hawa racun Hek Hwe Ji maupun hawa racun Tok Hiat Ciang.

Sayang, menurut guru mereka See Thian Coa Ong, jangan berani-berani mempergunakan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemu*tus Otot dan Pelepas Tulang) bila belum sanggup meyakinkannya. Salah-salah bisa merusak tubuh bagian dalam dan racunnya malah meresap ketubuh sendiri. Karena itu, Ma Hoan dan Ciam Goan tidak berani mempergunakan ilmu pukulan yang hanya bisa dilakukan oleh Toa Suheng dan ji Suheng mereka selain tentu See Thian Coa Ong sendiri. Tetapi, mereka masih berharap melakukan sesuatu dengan ilmu andalan mereka yang lain. Ciam Goan kemudian membentak;

“Anak muda, cabut senjatamu. Lohu akan mempergunakan senjata andalanku” Sambil berkata demikian, Ciam Goan kemudian menjangkau senjatanya tiat-kauw (gaetan besi) dan segera menyerang si Pemuda dengan cepat. Si Pemuda hanya membekal sebuah pedang sederhana, pedang biasa dan dengan segera bersilat menurut ilmu In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) yang juga sebuah ilmu pusaka dari Beng Kauw.

Ilmu ini bisa menahan kehebatan dan keganasan dari Ciam Goan, apalagi karena langkah-langkahnya menggunakan Langkah Sakti berputar-putar. Ciam Goan seperti dikelilingi bayangan awan pedang, tetapi tetap bersilat tangguh dengan tiat kauw yang sering memusingkan si Pemuda.

Di arena lain, Ma Hoan juga sudah menyerang Mei Lan dengan siang-kek (sepasang tombak cagak) yang menyambar-nyambar ganas menusuk kesemua jalan darah dan bagian penting di tubuh Mei Lan. Tetapi, dengan Bu Tong Kiam Hoat, tiada satupun yang sanggup menerobosnya, bahkan dia kembali secara perlahan mulai mendesak Ma Hoan hingga banyak bertahan.

Ketika melirik Ciam Goan, ternyata kondisinya juga sama belaka, agak terdesak oleh si Pemuda dari Bengkauw. Menyadari keadaan yang berbahaya ini, tiba-tiba Ma Hoan berseru:

“Saudara Tek Ciang dan Bun Kim, cepat bantu kami masing-masing”

Sementara itu, Low Tek Ciang dan Ca Bun Kim memang sedang berpikir melakukannya. Hanya mereka tentu merasa tidak enak hati tanpa diundang, karena khawatir dianggap tidak menghargai kegagahan kedua Hu-Pangcu Kay Pang baju hitam ini.

Dengan segera mereka bersiap untuk memberi bantuan ke Ma Hoan dan Ciam Goan. Tetapi, belum lagi maksud mereka kesampaian, di hadapan mereka di dekat arena telah berdiri dua orang pemuda. Seorang pemuda berjubah hijau, nampak memapak Bun Kim yang mau membantu Ciam Goan, sedangkan yang berbaju biru nampak memapak Tek Ciang yang mau membantu Ma Hoan.

Begitu melihat pemuda berbaju hijau, Bun Kim jadi melongo terkejut, karena pemuda ini bahkan dikenalnya lebih lihay lagi. Keadaan menjadi berbahaya, tiba-tiba dia berseru:

“Angin rebut …. Serbu”

Serentak dengan seruannya, nampak murid-murid dan anggota Kay Pang baju hitam bergerak mengurung tempat tersebut. Tetapi bersamaan dengan itu, pertempuran-pertempuran yang terjadi nampak mulai menuai hasil akhir, Ma Hoan dan Ciam Goan nampak terpental terpukul oleh masing-masing lawannya meski teruka tidak berat.

Sementara itu, si pemuda berbaju biru yang baru datang, nampak memburu Tang Sun, dengan beberapa kali pukulan dia meringkusnya. Selanjutnya pertempuran menjadi kacau, karena banyaknya pengerubut yang mengerubuti ke-4 orang muda tersebut. Tetapi Thian Jie, si pemuda yang berbaju hijau dengan cepat berseru, “Tek Hoat, aku membuka jalan dan engkau memimpin yang lain pergi, cepat” Sambil berseru demikian, nampak Thian Jie kemudian mengerahkan kekuatannya dan bersilat secara luar biasa.

Lawan-lawan didekatnya bagaikan didorong tenaga dan angin rebut yang tidak kelihatan, bahkan memandang Thian Jie ketakutan akibat perbawa ilmunya. Demikian pula, Mei Lan, Tek Hoat dan si pemuda dengan cepat meningkatkan ilmu dan membuka jalan seperti upaya Thian Jie. Tetapi Tek Hoat yang telah mengenal betul Thian Jie paham maksud kawannya, dengan berbisik dia memberi tahu Mei Lan:

“Lan Moi, ikut aku. Aku Tek Hoat kokomu, kita menghindar dulu menyusun kekuatan” Sontak Mei Lan terkejut, tetapi maklum keadaan tidak memungkinkan mereka membagi rasa rindu dan bercengkarama. Kepada si pemuda, kemudian Mei Lan juga berkata:

“Saudara, yang datang kakak lelakiku, kita pergi menyingkir sebentar” dan disambut dengan anggukkan kepala si pemuda.

“Mari, kita buka jalan dan pergi”

Maka mengamuklah ketiga anak muda sakti ini, tidak ada yang sanggup menahan mereka ketika mereka mengerahkan kekuatan sinkang dan mengembangkan ilmu sakti mereka. Ketika jalan terbuka, Thian Jie berseru, “pergi cepat” sambil mendorongkan lengannya menahan mereka yang mau menghalangi ketiga anak muda tersebut.

Tetapi, sambil berkelabat pergi, ketiganya juga mendorongkan tangan kearah para pengeroyok yang banyak berjatuhan akibat dorongan tangan penuh tenaga sakti itu. Pada saat Thian Jie juga hendak berkelabat pergi, tiba-tiba terasa sebuah serangan yang sangat tajam dari arah belakang sedang mengancamnya. Dia sadar, ini pastilah bukan tokoh sembarangan dan tidak mungkin lagi dielakkan, harus dilawan karena sudah terlambat. Dengan segera dipusatkannya kekuatannya dan membalik menangkis serangan tajam tersebut.

“Blaaar” sebuah ledakan dahsyat akibat benturan tenaga yang besar terjadi, dan akibatnya orang-orang terdekat malah terpental. Thian Jie yang dalam kondisi yang lebih lemah, menderita kerugian akibatnya, dia terdorong keras dan dari mulutnya mengalir darah segar akibat bokongan tersebut. Dan ketika dia menarik nafas untuk memulihkan diri, serangan tersebut tiba-tiba datang lagi.

Thian Jie sadar keadaannya sangat berbahaya, sementara ketiga temannya sudah berkelabat menjauh. Karena itu, dengan memaksakan diri dia mempersiapkan tenaga saktinya, tetapi belum lagi dia melakukannya tiba-tiba terdengar sebuah suara lembut,

“Liong Jie, pergilah” Terasa sesuatu memasuki mulutnya dan dia sadar sebuah pil mujarab baru saja memasuki mulutnya. Dan tubuhnya tiba-tiba terlontar ke belakang dan terdengar suara dari jarak jauh:
“Cepat susul kawan-kawanmu, tokoh yang menyerangmu biarlah urusanku, sampai bertemu lagi”
Liong Jie, siapa Liong Jie? Mengapa pula 2 kali ini orang yang sama menolongnya dan memanggilnya Liong jie dengan mesra? Thian Jie kebingungan.

Dan Thian Jie hanya sempat melihat kembali terjadi benturan hebat, dan kedua bayangan berpisah, dan sekejap kedua bayangan itupun menghilang ke jurusan yang berbeda. Thian Jie kemudian mengempos semangat, meski masih terluka, tetapi sudah terasa baikan, kemudian mengembangkan ginkang menyusul Tek Hoat dan kawan-kawannya.

Tetapi, dalam perjalanan Thian Jie benar-benar dipusingkan oleh tokoh misterius yang sudah dua kali membantunya dan selalu menyebut dan memanggilnya “Liong Jie”. Siapa pula Liong Jie, dan mengapa pula dia dipanggil begitu. Dan, tanpa disadarinya, rasa mesra dari dirinya, juga terbangkitkan oleh sapaan lembut dari suara tersebut.

Dengan membawa kebingungan dan rasa penasaran ini, Thian Jie berkelabat dan mengejar ketiga kawannya yang sudah lebih dahulu pergi. Pergi bukan karena takut, tetapi karena “jengah” harus membunuh dan melukai orang terlalu banyak.
 
BAB 13 Menyelamatkan Kim Ciam Sin Kay
1 Menyelamatkan Kim Ciam Sin Kay




“Nona, penyamaranmu sungguh hebat, tetapi masih belum bisa mengelabui Maling Sakti” Si Maling Sakti memandang kearah Pemuda yang membantu Mei Lan ketika mereka semua sudah berada cukup jauh dari arena dan menunggu Thian Jie.

“Hm, mata Maling Sakti memang sulit dikibuli. Maaf, mari perkenalkan, namaku Siangkoan Giok Hong, cucu perempuan Bengkauw Kauwcu” Si pemuda yang ternyata samaran seorang gadis dengan nama Siangkoan Giok Hong ini memperkenalkan diri. Sambil memperkenalkan diri, diapun membuka dan melepaskan alat penyamarannya.

Dan dihadapan mereka, kini berdiri seorang gadis cantik lainnya. Sedikit saja lebih tinggi dari Mei Lan, tetapi rambutnya masih lebih panjang dengan sepasang lesung pipit menghiasi wajahnya dan menambah kecantikan wajahnya. Sepasang matanya bersinar indah dan memancarkan keadaan jiwanya yang riang dan bebas. Umurnya paling banyak 1-2 tahun diatas Mei Lan, tetapi kecantikan mereka nyaris sebanding. Sungguh seorang gadis yang cantik. Begitu setidaknya perasaan dan kekaguman didada Tek Hoat dan Maling Sakti.

Hal yang membuat mata Mei Lan menjadi bersinar aneh, karena sempat hadir rasa mesra dalam hatinya memandang pemuda yang sangat tampan atau bahkan terlalu tampan ini. Tetapi dengan segera keriangan memenuhi hatinya, memperoleh teman baru yang telah menolongnya, dan sangat lihay pula.

“Hahahahaha, enci Giok Hong, engkau mengelabui aku rupanya” perkenalkan aku Liang Mei Lan dan yang ini, pemuda yang gagah perkasa ini, bernama Liang Tek Hoat. Kakak lelakiku.

“Wuah, baru ketemu adik nakalku ini sudah langsung mengambil alih tugasku memperkenalkan diriku sendiri keorang lain” Tek Hoat sambil nyengir memandang adiknya dengan sayang. Keduanya memang sangat dekat sejak masih bocah, melebihi kedekatan mereka dengan kakak dan adik mereka yang lain di rumah orang tuanya di kota raja Hang Chouw.

Bahkan sambil berkata demikian, Tek Hoat kemudian meraih adiknya dan mengelus elus sayang kepala adik mustikanya itu. Terlebih sudah lama mereka berpisah sejak jatuh ke aliran sungai yang menggila itu.

“Kouwnio, maafkan kami, sudah hampir 10 tahun tidak berjumpa adik nakalku ini. Begitu ketemu, langsung melihatnya bertempur seperti macan betina, dan langsung juga mengambil alih tugasku memperkenaklan diriku kepada Kouwnio” Tek Hoat memang tidak pernah kehabisan bahan untuk menjernihkan suasana. Apalagi hatinya sekarang senang luar biasa melihat adiknya tidak kurang lihay dari dirinya sendiri.

“Tapi, terima kasih atas bantuan Kouwnio terhadap adik nakalku ini. Hehehe” Sambil memandang wajah adiknya yang jadi nampak lucu.

“Ach, koko, kau keterlaluan membiarkan aku terus menerus berkelahi dengan menonton saja”

“Thian Jie, kokomu itu yang memintaku untuk menahan diri, karena menginginkan seseorang yang sekarang dipundak Maling Sakti untuk mengantar kita menemui Kay Pang Pangcu” jawab Tek Hoat.

“Thian Jie koko”? Maksudmu, pemuda yang berpakaian hijau dan membantu kita itu adalah Thian Jie si anak dari langit itu”? Mei Lan bertanya penasaran.

“Habis, dari mana lagi anak itu kalau bukan dari langit (Thian)” Tek Hoat dengan wajah dan senyum lucu.

“Ach, tapi dia juga hebat sekali” Mei Lan berdesis

“Tapi, sampai sekarang dia belum tiba” Giok Hong tiba-tiba menyiratkan kekhawatirannya karena sekian lama Thian Jie masih belum datang juga.

Tetapi, belum lagi mereka membicarakan keterlambatan Thian Jie, tiba-tiba dari jauh terdengar sebuah suara lirih dan bening:

“Maafkan, Thian Jie agak terlambat datang” dan beberapa lama kemudian, si Pemuda berbaju hijau, Thian Jie mendekati tempat mereka berkumpul menunggunya. Dengan segera dia menjura dan menyapa semua orang dan terhenti ketika tidak mengenali Giok Hong lagi. Giok Hong mengerti dan berinisiatif memperkenal kani diri:

"Namaku Siangkoan Giok Hong, dari Bengkauw"

"Ach, kiranya sedang berhadapan dengan dara sakti dari Bengkauw. Maafka, Thian Jie tidak mengenal sebelumnya" Thian Jie menyapa sambil memperkenalkan diri. Sinar matanya menyorotkan kekaguman atas Gadis cantik dari Bengkauw itu.

"Ach, biasa saja, terima kasih atas bantuan kalian" balas Giok Hong.

"Lan Moi, bagaimana keadaanmu? engkau telah berubah menjadi gadis yang luar biasa lihaynya sekarang" Thian Jie menyapa Mei Lan yang merasa bangga mendapat pujian Thian Jie.

“Tetap, marilah, lebih baik kita bicara di markas Kay Pang, lebih aman. Ada tokoh-tokoh hebat mereka yang sempat memergokiku” Thian Jie mengajak mereka berlalu.

“Hm, tapi agaknya kau terluka Thian Jie” Tek Hoat memotong

“Benar, aku terbokong seorang yang luar biasa lihaynya. Tapi untung ada tokoh lain lagi yang menolongku” Thian Jie menjawab.

“Sudahlah, lebih baik kita mengatur rencana secepatnya di markas Kay Pang, lebih cepat lebih baik pada saat mereka masih kebingungan mencari tahu kemana kita pergi” tambah Thian Jie.

“Benar, mari”, Tek Hoat mengajak semua, bahkan juga Siangkoan Giok Hong yang baru berkenalan dengan mereka di medan pertempuran tadi”.

Malam itu juga, setelah beristirahat sejenak, semua kembali berkumpul. Berbicara banyak hal, bahkan Giok Hong memberitahu kepenasaran Bengkauw yang dicurigai dibalik keurusuhan dunia persilatan, dan karenanya mengutus dua cucu perempuannya menyelidiki ke Utara dan Selatan. Dan kebetulan Giok Hong mendapat tugas ke Utara Sungai Yang Ce dan kemudian bertemu dengan Mei Lan, Tek Hoat dan kawan-kawan.

Tugasnya memang mencari informasi seputar perusuh di dunia persilatan, yang menurutnya sudah mulai berani bekerja terang-terangan setahun terakhir ini. Keadaan dan pembicaraan mereka dengannya menemui jalan dan kesamaan.

Meskipun Tek Hoat sendiri sedang mengurusi Kay Pang dengan dibantu Thian Jie, tetapi sudah lama mereka tahu bahwa urusan ini terkait dengan kisruh rimba persilatan. Kehadiran Giok Hong menyadarkan banyak orang, bahwa tipu daya yang luar biasa busuknya dilancarkan orang dengan meminjam kewibawaan dan symbol perguruan besar lain, yakni Lam Hay Bun dan Bengkauw. Sungguh keadaan dunia persilatan yang mencekam.

Selanjutnya Tek Hoat, yang telah bicara banyak dengan adiknya Mei Lan semasa istirahat tadi, juga menceritakan keadaan Kay Pang. Nampaknya ada hubungan antara mengganggu Kay Pang, mengganggu Lam Hay dan Beng Kauw dan usaha membenturkan mereka dengan Perguruan terkenal di Tionggoan.

Tetapi, Lam Hay juga menurutnya sudah mengutus orang untuk mencari tahu berita mengenai kerusuhan dan badai di daerah Tionggoan. Karena itu, gerakan diam-diam mulai berganti strategi, yakni benjadi berakan berterang dengan menggunakan bendera Thian Liong Pay. Dan sejauh ini, sudah banyak perguruan silat yang ditaklukkan dan dihancurkan oleh Thian Liong Pay. Tek Hoat juga menceritakan keadaan Kay Pang, sejak ditinggal Kim Ciam Sin Kay sudah lebih 5 tahun tidak kedengaran kabarnya.

Dan bahkan sudah berdiri sempalan Kay Pang dengan nama Hek-i-Kay Pang di utara sungai Yang ce. Maka tugasnya sekarang adalah, mencari Pangcu Kay Pang dan membasmi para pemberontak Kay Pang dan mereka yang merusak nama Kaypang diutara.

Semua akhirnya menuturkan pengalaman masing-masing, termasuk Thian Jie dan Maling Sakti yang diburu-buru para pembunuh bayaran dan pembunuh Thian Liong Pang. Juga seputar urusan lain yang mereka temukan sepanjang perjalanan menuju ke utara sungai Yang ce.

Hanya, Thian Jie tidak bercerita soal keperluannya mencari Kim Ciam Sin Kay, karena itu adalah urusannya pribadi yang tidak perlu diketahui orang lain. Begitu juga dengan perkembangan yang didengar Mei Lan dari Beng San Siang Eng dan temuannya di perjalanannya.

Bahkan juga informasi yang dikumpulkan Giok Hong sepanjang penelusurannya atas krisis dunia persilatan yang melibatkan mereka secara tidak langsung. Kisah yang terpilah-pilah antara mereka semua nampaknya seperti diduga menyatu dalam kondisi kacau balau dunia persilatan. Karena itu, mereka semua menjadi antusias dalam membedah dan mengurai kejadian tersebut.

Tengah semua orang tegang membicarakan kondisi terakhir dunia persilatan, tiba-tiba muncul seorang tua, pengemis tua salah seorang pemimpin Kay Pang bernama Pengemis Tawa Gila. Wajahnya kusut dan nampak sangat kurang senang. Begitu masuk dia langsung mengeluh:

“Sungguh celaka, budak itu tidak mau sekalipun bicara, meski sudah kusiksa. Bahkan dia memilih mati daripada berkhianat” lapornya. Yang dimaksudkannya adalah Tang Sun, tawanan yang darinya ingin diperoleh data terakhir soal Kaypang Baju Hitam dan tempat tahanan Kim Ciam Sin Kay.

“Apakah tidak mungkin diusahakan lagi paman”? Tek Hoat bertanya penasaran, karena hanya Tang Sun yang mereka miliki untuk emngantar ke tempat penahanan Kim Ciam Sin Kay.

“Orangnya sudah hampir mau mati tersiksa. Lohu tidak tahu jalan lain lagi” berkata Pengemis Tawa Gila dengan penuh rasa penasaran dan geram karena jalan menemukan Pangcunya kembali tertutup.

“Apakah penting sekali menggali info dari Tang Sun? dan apakah gunanya? Thian Jie bertanya. Agaknya dia mengerti dan kasihan melihat keadaan Pengemis Tawa Gila yang kusut masai dan penasaran dengan kegagalan memaksa Tang Sun untuk bicara. Keadaan itu membuat Thian Jie ikut penasaran dan mencoba memikirkan jalan guna menyiasati keadaan yang membuat runyam itu.

“Sangat penting, sebab dia tahu kondisi markas Kaypang Baju Hitam di utara kota dan didalam kota. Kita perlu mengompres dia untuk bicara semua hal, termasuk dimana Pangcu ditahan. Sebagai murid tertua dari Hu Pangcu, dia pasti tahu” Berkata si pengemis.

Nampak Thian Jie termenung sebentar seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Dan nampaknya dia kemudian memutuskan melakukan sesuatu setelah berpikir panjang:

“Baiklah paman pengemis, biarlah aku mencobanya jika memang sangat perlu. Tapi aku minta ditemani 1 atau dua orang untuk mengingat apa yang akan dikatakannya” Thian Jie berkata.

“Kamu yakin bisa anak muda?” bertanya si Pengemis Tawa Gila, heran dan kebingugan kiarena melihat Thian Jie sangat yakin.

“Mudah-mudahan berhasil Paman pengemis, doakan saja” Thian Jie berkata mantap dan tegas.

“Baik jika demikian biarlah lohu dan Tek Hoat yang menemanimu”

“Baik, sebaiknya sekarang juga”

Pengemis Tawa Gila dan Tek Hoat tercekat kagum melihat Thian Jie ketika kemudian dengan mengerahkan Ilmu Hipnotistnya atau I-hun-to-hoat, Tang Sun dengan lancar tanpa ragu menceritakan suasana di markas besar Hek-i-Kay Pang. Bahkan tanpa ragu Tang Sun menceritakan setiap detail markas Pengemis Baju Hitam dan juga menceritakan bahwa Kim Ciam Sin Kay masih ditahan di markas utama Hek-i-Kay Pang di In-kok-san (Lembah Mega).

Diceritakan pula bahwa dari rombongan Pangcu Kaypang yang hendak membasmi pemberontak di daerah utara Yang ce, semua tertawan, bahkan para murid Can Bu Ti, Tan Can Peng dan Sie Han Cu sudah terbunuh sementara Hu Hoat Pek San Fu Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) dan Ceng Fang-guan, si Pengemis Sakti dari Pintu Selatan (Lan Bun Sin Kay) terluka parah dan ditahan bersama dengan Pangcu Kay Pang.

Mereka disekap di lembah In Kok San. Bahkan dari mulut Tang Sun juga diketahui bahwa markas Hek-i-Kay Pang di kota Pakkhia justru lebih kuat karena dijaga oleh Thian Liong Pay, anggota Hek-i-Kay Pang dan bahkan tentara yang memang dibantukan oleh Perdana Menteri Kerajaan Cin.

Meski tidak sekuat markas di Pakkhia yang dijaga bersama dengan Thian Liong Pay, tetapi markas di Lembah Mega juga sebenarnya kuat bukan main. Disana tinggal Hei-i-Kay Pang Pangcu, Hek Tung Sin Kay bersama Suhengnya yang juga sama saktinya dengan si Pangcu, namanya adalah Bu-tek Coa Ong (Raja Ular Tanpa Tanding) Ong Toan Liong meniru nama julukan gurunya See Thian Coang Ong.

Tapi memang, kepandaian Bu Tek Coa Ong dibandingkan gurunya sudah tidak terlalu jauh, sama seperti ji sutenya Hek Tung Sin Kay, Lim Kiang yang juga memiliki kesaktian yang bahkan masih jauh melebihi 2 saudara perguruan mereka yang lain. Dalam hal kesaktian, Hek Tung Sin Kay dan Bu Tek Coa Ong sama-sama lihay, hanya dalam hal racun ular Bu Tek Coa Ong malah sudah menyamai gurunya, jauh dibandingkan dengan Hek Tung Sin Kay yang tidak tertarik dengan soal racun dan ular. Kelebihan Hek Tung Sin Kay adalah dalam cara memimpin, dimana dia jauh lebih lihay daripada Bu Tek Coa Ong.

Di Markas Hek-i-Kay Pang ini, bercokol 3 jagoan yang luar biasa hebat ini, yang kadang kadang terlibat dalam urusan Hek-i-Kay Pang tapi kadang dengan urusan Thian Liong Pang, meski See Thian Coa Ong jarang turun tangan dan lebih banyak berdiam diri dan bersamadhi dan konon sedang menciptakan ilmu baru di sebuah kamar Rahasia di In Kok San.

Selanjutnya dengan lancar dan dengan sangat hafal, Tang Sun menceritakan bagaimana jalinan koordinasi dan kerjasama Hek-i-Kay Pang dan Thian Liong Pay yang bisa saling berkomunikasi melalui burung. Sementara mencapai In Kok San dari Pakkhia, dengan berkuda cukup membutuhkan waktu 1-2 jam belaka, sebuah jarak yang tidak jauh.

Diceritakannya juga dengan lancar seakan sedang melaporkan pengetahuannya kepada Thian Jie, bagaimana kerjasama Thian Liong Pang, Hek-i-Kay Pang dan Perdana Menteri Kerajaan Cin yang saling dukung dan saling memanfaatkan. Bahkan dukungan dana buat Thian Liong Pang banyak datang dari Perdana Menteri, selain dukungan keamanan dengan sejumlah tentara tertentu.

Paling akhir, Tang Sun menceritakan cara masuk dan keadaan dalam in Kok San, sebab dia sendiri berkali-kali memasuki In Kok San sebagai salah seorang pemimpin di lingkungan Hek-i-Kay Pang. Lembah itu memang agak tertutup, meski bisa dimasuki dari banyak sisi, tetapi hampir semua sisi telah dibentengi dengan pasukan pendam dan alat jebakan. Karena itu, pintu masuk yang paling baik adalah melalui pintu utama, meski dijaga ketat tetapi lebih mudah diterobos daripada berjudi melalui sisi kanan dan kiri lembah. Anggota Hek-i-Kay Pang di In Kok San paling banyak berjumlah 100-an orang, selebihnya dikonsentrasikan di kota Pakkhia dan sekitarnya.

Hampir selama 1 jam Thian Jie mengerahkan kemampuan hipnotisnya dan membuat Tang Sun langsung tertidur lelap setelah itu. Tetapi, Thian Jie sendiri melorot lemas dan sangat kelelahan setelah melepas kemampuan hipnotisnya. Tenaganya banyak terserap untuk menjaga keseimbangan penggunaan tenaga agar informasi dari Tang Sun bisa terserap lancer.

Karena itu, Thian Jie membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan tenaganya dan memulihkan semangatnya. Tapi hasilnya ternyata luar biasa tanpa harus menyakiti atau menyiksa Tang Sun. Karena hasilnya luar biasa dan tidak perlu samai membunuh dan menyakiti Tang Sun, akhirnya Thian Jie merasa cukup senang.

Demikianlah, akhirnya diputuskan malam itu juga bahwa gerakan menumpas markas Pengemis Baju Hitam akan dilakukan besok malam. Seharian waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan banyak hal, termasuk menyiapkan anak buah Kay Pang dan mengatur alternative lain penyerangan, termasuk strategi menyerang untuk bergerak menyerbu markas Hek-I-Kay Pang, meski anggota Kay Pang di markas yang tersedia kurang dari 70 orang.

Tetapi, penggunaan tenaga 70 orang ini hanya akan dilakukan bila keadaan sangat mendesak. Diputuskan, hanya 6 orang yang akan bertugas untuk sementara, yakni Pengemis Tawa Gila, Tek Hoat, Thian Jie, Mei Lan dan Giok Hong yang bersedia membantu, serta Maling Sakti yang telah menyerahkan hidupnya kepada Thian Jie. Sepanjang malam waktu digunakan untuk mematangkan strategi dan mengatur keperluan-keperluan lain seputar pelaksanaan penyerangan tersebut.

Menjelang pagi, baru para tokoh berinisiatif untuk beristirahat, memulihkan kesehatan dan tenaga, terutama Thian Jie yang banyak menggunakan kekuatan dan tenaganya sepanjang hari, bahkan sampai malam dalam menguras informasi dari Tang Sun.

=========================

Sudah lewat tengah malam. Bahkan fajar pasti akan menyingsing kurang lebih 2-3 jam lagi. Lembah Mega, di sebelah utara kota Pakkhia, sudah lama lelap. Tetapi di tengah malam itu, nampak 6 bayangan bergerak sangat gesit menerobos kekiri dan kekanan dan nampak mengendap dengan ginkangnya mendekati pintu masuk lembah. Sementara pintu masuk sendiri hanya dijaga sekitar 6-10 orang, itupun sudah terkantuk-kantuk menahan rasa ingin tidur yang menyerang.

Tetapi, tanpa tahu apa yang terjadi, gedebak-gedebuk sebentar, 10 orang itu tiba-tiba sudah tertotok-lumpuh. Dan seperti penjelasan Tang Sun, keadaan In Kok San memang mirip sekali dengan gambarannya. Ada jarak hampir 500 meter jauhnya dari pintu lembah ke pekarangan rumah yang juga sekelilingnya dibangun tembok penjagaan. Tetapi, seperti juga di pintu masuk, penjagaannya sudah sangat kelelahan akibat godaan angin malam yang meminta siapapun untuk beristirahat.

Sebagaimana yang disepakati, maka Tek Hoat akan menantang berterang di halaman depan, sementara Maling Sakti akan menimbulkan kebakaran dan keributan di sisi timur untuk kemudian bergabung dengan Tek Hoat dan Mei Lan. Kemudian di sisi Barat, Thian Jie akan melakukan hal yang serupa dengan Maling Sakti, tetapi sebentar saja untuk kemudian harus bergabung dengan Pengemis Gila dan Giok Hong masuk ke ruang bawah tanah tempat penyekapan Kim Ciam Sin Kay.

Dibutuhkan kekuatan, karena Kamar Tahanan berdekatan dengan kamar samadhi See Thian Coa Ong, tetapi gabungan kekuatan Thian Jie, Pengemis Gila dan Giok Hong dianggap cukup melawan sang Datuk. Dengan tugas semacam itu, maka nampaklah orang-orang itu kemudian berkelabat secara terpisah dan terbagi dalam 3 kelompok untuk melakukan tugasnya sesuai dengan perencanaan.

Tek Hoat dan Mei Lan yang akan menantang secara berterang, menunggu beberapa saat setelah 4 orang lainnya sudah menyusup masuk untuk kemudian secara terang-terangan menuju pintu masuk. Dengan sekali dorongan tenaga, pintu masuk tersebut terhempas terbuka, dan tentu saja mengagetkan semua penjaga yang ternyata tidak menyadari sudah ada orang masuk ke area yang sebenarnya terlarang.

Tetapi keterlarangan area itu sudah tidak terjaga lagi karena bisa diterobos orang dengan sangat mudahnya. Tek Hoat dengan tenang melangkah masuk dan kemudian berkata:

“Bangunkan Hek Tung Sin Kay, katakan Kay Pang pusat datang menagih hutangnya” Tek Hoat membentak sengaja dengan suara keras. Sengaja memperdengarkannya agar semua tokoh Kaypang Baju Hitam keluar sarang dan membiarkan bagian dalam kosong tak terjaga.

“Bangsat, siapa berani mati menerjang masuk In Kok San”? Seseorang tiba-tiba melayang menyerang Tek Hoat, tetapi hanya dengan sekali tangkisan dan dorongan, orang tersebut sudah terdorong jatuh untuk tidak mampu bangkit berkelahi lagi. Tek Hoat sengaja bersikap keras untuk menggertak kawanan pengemis baju hitam, sekaligus mengurangi jumlah lawan.

Kawan-kawan para pengemis segera sadar, bahwa pendatang adalah seorang berilmu, bahkan ketika tiga orang lain melakukan hal yang sama, juga berakibat ketiganya roboh dan tidak sanggup bangkit lagi buat berkelahi. Semakin banyak kemudian orang yang terjaga, dan datang mengerubuti kedua orang muda tersebut. Tetapi, semakin banyak pula yang kemudian roboh, karena memang para tokoh Hek-i-Kay Pang pada jam seperti itu sudah terlelap, bahkan sebagian terlelap benar-benar akibat mabuk arak dan susah bangun dengan kondisi normal.

Tek Hoat dan Mei Lan terus mengamuk dan tidak berapa lama kemudian, sudah hampir 15 orang anggota Hek-i-Kay Pang yang terkapar tidak sanggup berkelahi lagi. Yang lain menjadi jerih untuk mendekat, sementara itu kentongan tanda bahaya sudah dibunyikan sehingga membangunkan nyaris seisi Lembah Mega tersebut.

Tapi sudah cukup waktu bagi Mei Lan dan Tek Hoat untuk mengurangi jumlah musuh hampir sebanyak 25 orang yang merintih-rintih terkena tamparan, pukulan dan totokan kakak beradik sakti tersebut. Setelah jatuh korban yang cukup banyak tersebut, baru kemudian terdengar sebuah suara yang agak berat dan sedikit menggetarkan Tek Hoat dan Mei Lan yang segera sadar ada orang berilmu yang datang:

“Siapakah yang berani mati mengganggu ketentraman Hek-i-Kay Pang”? Nampak seorang yang sudah berusia lebih 50 tahun berjalan turun dari rumah utama dengan membekal sebatang Tongkat Hitam. Tak pelak, dia pastilah si Hek Tung Sin Kay, pemimpin pemberontakan terhadap Kay Pang, bahkan yang kemudian menahan dan menyekap Kay Pang Pangcu Kim Ciam Sin Kay di markas pemberontakannya.

Kakek ini berjalan dengan langkah tergesa dan nampak agak gusar. Terlebih karena jam istirahatnya terganggu oleh gangguan yang sangat tidak diharapkannya. Meski demikian, keangkeran pengemis ini memang terasa, terlebih sambil menenteng tongkat hitamnya yang dijadikan salah symbol kelompok pengemis ciptaannya yang membelot dari Kay Pang pusat.

“Hahahaha, akhirnya si Hek Tung pembertontak berani juga keluar rumah” Tek Hoat tertawa memanaskan suasana. Karena memang maksud dan tugasnya untuk menarik perhatian banyak kaum pengemis untuk mengosongkan rumah dan gedung agar kawan yang lain boleh masuk membebaskan Pangcu Kay Pang.

“Ha, anak bau kencur rupanya. Orang boleh memujimu sebagai Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah), pendekar muda berbakat, tetapi belum cukup untuk mengguruiku“ Hek Tung kemudian berkelabat mendekati Tek Hoat dan Mei Lan yang tetap berdiri dengan tenang.

”Koko, inikah pengemis hitam bau yang memberontak itu“? Mei Lan bertanya dengan gaya polosnya yang membuat hek Tung Sin Kay meringis mau marah susah, mau berdiam diri juga susah. Sungguh kalimat polos yang telak dan menyudutkan hek-tung.

”Betul, lihatlah betapa hitamnya dia kan, begitulah corak pemberontak. Gaya-gaya dan tipe pemberontak memang ada di tubuhnya“ Tambah Tek Hoat memanasi, padahal karena memang cuaca gelap, otomatis Hek Tung Sin Kay nampak sangatlah hitam dan gelap. Tapi Hek Tung Sin Kay bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya termakan hasutan kedua anak muda ini yang meskipun sakti, tapi tetap mengherankannya karena berani menerobos markasnya. Otaknya yang cukup cerdas berjalan, tidak mungkin hanya dua anak muda ini yang menyatroni markasnya, pasti masih ada kekuatan lainnya, tapi dimana?

”Cuma dengan kalian berdua, Kay Pang pusat berani main gila disini“?

”Bahkan Kay Pang Pangcupun masih kutahan, masakan kalian berdua anak kemaren sore berani menempurku“? Hek Tung bertanya heran.

”Sudah banyak anak buahmu yang kujatuhkan Sin Kay, dan aku membawa cukup banyak anak buah di luar sana“ Tek Hoat menunjuk ke arah luar, dimana anak buah Kay Pang juga bersiap. Dan muka Hek Tung berubah gelap mendengar ucapan Tek Hoat, karena perang terbuka nampak menjadi sangat terbuka. Padahal, dia tidak tahu kalau jumlah anak buah Kay Pang yang dibawa Tek Hoat tidaklah nempil dengan jumlah mereka.

”Jadi apa maksudmu ribut-ribut disini“? Bertanya Hek Tung Sin Kay

”Masakan Sin Kay tidak tahu? Ataukah sengaja pura-pura tidak tahu?“ Tek Hoat menjawab diplomatis dengan maksud untuk mengulur waktu memberi ketika bagi kawan-kawannya menyusup lebih jauh kedalam.
“anggap saja tidak tahu“

”Begitu saja susah, kami ribut-ribut biar banyak anak buahmu maju duluan dan kami jatuhkan. Biar kekuatan jadi berimbang“ terang Mei Lan dan membuat Hek Tung Sin Kay tambah murka.

”Jika begitu, biar kalian berdua dulu yang kutangkap“ jerit Hek Tung Sin Kay murka bukan buatan.

”Ach, masakan Ketua Hek Tung Sin Kay mau mengeroyok kami“? Tek Hoat sengaja memanaskan hati Hek Tung

”Koko, biarlah aku coba-coba menantang Pangcu hitam pemberontak ini“ Mei Lan sudah langsung menyerang Hek Tung Sin Kay, sementara Tek Hoat membiarkan karena menunggu Bu Tek Coa Ong yang konon malah sedikit lebih lihay lagi dibanding Hek Tung Sin Kay yang memilih menjadi Pangcu Hek-i-Kay Pang ini.

Tapi Mei Lan sadar 2 hal, pertama dia harus mengulur waktu pertempuran sampai munculnya Bu Tek Coa Ong agar gedung benar-benar aman diterobos ketiga kawannya. Kedua, dia mengerti bahwa lawan kali ini sungguh sangat tangguh dan lihay, melebihi lawannya di luar kota Pakkhia menjelang malam tadi. Karena itu, Mei Lan bersilat aman dengan menggunakan Bu Tong Kun Hoat, karena lawan juga bertangan kosong.

Serang menyerang antara mereka sungguh seru, Hek Tung Sin Kay menemukan betapa lawannya yang masih muda ternyata sanggup mengimbanginya dalam tenaga sakti, bahkan mengunggulinya dalam kecepatan. Dengan bersilat Bu Tong Kun Hoat, Mei Lan sanggup menghalau serangan-serangan gencar yang dilakukan Hek Tung Sin Kay. Bahkan ketika Hek Tung Sin Kay menggunakan tenaga Tok Hiat Ciang, juga tidak sanggup mendesak Mei Lan yang terpaksa mengganti jurusnya dengan Thai kek Sin Kun. Serang menyerang terjadi dengan serunya antara mereka berdua, dan pertempuran keduanya pasti tidak akan selesai dalam waktu singkat.

Sekilas pandang saja, Tek Hoat segera sadar dan bersyukur, karena ternyata adiknya tidaklah jauh berbeda kelihayannya dibandingkan dirinya. Kekuatan sinkangnya nampak tidaklah ringan, dan pasti tidak berbeda jauh dengan kekuatannya sendiri. Dapat dirasakannya ketika Mei Lan mengerahkan kekuatan sinkangnya melawan Hek Tung dengan tidak keteteran.

Bahkan dari segi ginkang, dia terkagum-kagum dengan gerakan adiknya yang sangat luwe dan sangat pesat. Mungkin bahkan adiknya melebihinya dalam hal ginkang, dan hal tersebut membanggakannya. Keliru mengkhawatirkannya, pikir Tek Hoat. Dari gerakan tangan, kaki dan serangan, dia menemukan kekuatan luar biasa yang tersimpan dalam diri adik perempuannya, dan dia tidak lagi memiliki alasan mengkhawatirkan adiknya. Akhirnya, dialihkannya pandangan ke luar arena.

Masih belum ditemukan Bu Tek Coa Ong dan See Thian Coa Ong, sementara para anggota Kay Pang Baju Hitam masih tetap mengepung arena perkelahian tersebut.

Sementara itu, Mei Lan sudah mengimbangi permainan Hek Tung Sin Kay dengan gabungan pukulan dan hawa pedang Thai Kek Sin Kiam dan dengan demikian kembali menekan Hek Tung yang mendandalkan Tok Hiat Ciang dan Hek Hwe Ji yang jahat dan kejam. Dengan gabungan permainan pukulan dan hawa pedang Thai Kek Sin Kiam, Mei Lan berhasil mematahkan dan bahkan membalas dengan sama tajamnya serangan-serangan Hek tung Sin Kay.

Ilmu-ilmu beracun Hek Tung Sin Kay bagaikan lenyap kemujarabannya ketika menempur Mei Lan yang membentengi dirinya dengan aliran hawa Liang Gie yang mengontro penyaluran kekuatannya. Pertarungan kembali berjalan imbang, dengan gerakan lebih gesit dan lincah dilakukan Mei Lan yang menjalankan jurus Sian Eng Coan In.

Pukulan lebih banyak dilayangkannya dan membuat Hek Tung Sin Kay keripuhan, bahkan puluhan jurus mereka mainkan keadaan masih tetap seimbang. Hal mana membuat Hek Tung Sin Kay terkesiap, sekaligus kemarahannya semakin memuncak. Dia mulai mempertimbangkan mengerahkan kekuatannya dan meningkatkannya sedikit demi sedikit. Tapi, sayangnya, gadis muda lawannya tetap mampu mengimbanginya.

Di tempat lain, Maling Sakti belum turun tangan membakar gedung di bagian timur, karena anak buah Hei-i-Kay Pang masih belum turut mengerubut. Sementara di sisi Barat, Thian Jie sudah bergabung kedalam gedung dan mencoba menemukan rahasia jalan ke ruang bawah tanah. Mereka bertiga mencari-cari jalan rahasia itu, karena memang rahasia ke bawah tanah tidak diketahui Tang Sun, dan harus mereka temukan sendiri.

Tengah mereka celingukan mencari, tiba-tiba dinding rumah sebelah kanan berderak-derak seperti ada yang mendorong dari dalam. Benar saja, tak lama kemudian sebuah wajah nongol dari balik pintu yang disamarkan dibalik sebuah rak buku tua. Ketiga tokoh sakti ini menahan nafas agar tidak ketahuan orang yang baru dari bawah tanah. Untungnya, suasana perkelahian di luar, menarik perhatian orang yang baru keluar itu, karenanya dengan cepat dia berkelabat keluar dan meninggalkan jalan masuk ke bawah yang cepat diketahui Thian Jie bertiga.

Dengan cepat mereka menyusup ke bawah, berjalan berhati-hati, berliku-liku di terowongan bawah tanah, sampai kemudian melihat simpang jalan kekanan dan kekiri. Tapi, simpang kiri terkesan agak ribut, seperti banyak orang berada disana, sementara simpang ke kanan agak sepi. Thian Jie mengusulkan ke kiri, dengan asumsi bahwa sebelah kanan pastilah ruangan menyepi See Thian Coa Ong, sedangkan ruangan kanan nampaknya tempat penyekapan.
Dengan asumsi tersebut, mereka bertiga kemudian melanjutkan jalan kearah kiri, dan memang benar saja, ruangan bawah tersebut adalah tempat penyekapan. Khususnya anggota-anggota Kay Pang yang tidak takluk, disekap di ruang bawah tanah dan sebagian dari mereka nampaknya mengalami siksaan yang cukup berat. Tapi, karena tugas utama mereka membebaskan Pangcu Kay Pang, maka mereka berjalan terus mencari ruangan mana yang kiranya digunakan menyekap Pangcu Kay Pang.
 
2 Menyelamatkan Kim Ciam SIn Kay bagian 2





Ketiga orang ini kembali melanjutkan perjalanan dan menemukan beberapa puluh langkah kedepan sebuah ruangan yang dijaga 5 orang. Hampir bisa dipastikan, ruangan itulah yang digunakan untuk menyekap Pangcu, pikir Pengemis Gila.

Karena itu, setelah saling mengedipi mata, ketiganya kemudian bergerak dan berkelabat cepat dan melumpuhkan kelima penjaga tersebut. Dan memang ternyata, didalamnya terdapat 3 orang tokoh Kay Pang yang selama lebih 5 tahun disekap di kamar tahanan tersebut. Tokoh pertama adalah Pek San Fu, Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) yang nampaknya kondisinya tidak terlalu memprihatinkan. Tokoh ini adalah salah seorang Hu-Hoat Kay Pang yang mendampingi Kim Ciam Sin Kay ke utara untuk memadamkan pemberontakan Kay Pang baju hitam.

Tokoh kedua Ceng Fang-guan, si Pengemis Sakti dari Pintu Selatan (Lan Bun Sin Kay), juga Hu-Hoat Kay Pang dan tidak terlalu parah keadaannya, berbeda dengan Pangcu Kay Pang Kim Ciam Sin Kay yang nampaknya lama mengalami siksaan. Sekujur tubuhnya terluka, tetapi untungnya hanya fisiknya yang mengalami luka parah, tetapi bagian dalam dan sinkangnya masih cukup kuat. Ketiganya kemudian dibebaskan dari belenggu dan juga totokan atas mereka dibebaskan oleh Thian Jie dibawah pandangan kagum Kim Ciam Sin Kay.

Melihat keadaan Pangcunya, Pengemis Tawa Gila datang berlutut:

“Menghadap Pangcu dan maaf, baru sekarang datang menyelamatkan Pangcu, sungguh banyak persoalan yang kita hadapi”

“Sudahlah Hu Pangcu, syukur kalian datang. Apakah cukup kekuatan kita di luar”? Pangcu Kay Pang tetap menunjukkan kematangan kepemimpinannya, bukan dirinya yang diperhatikan, tetapi kekuatan di luar. Benar benar mengagumkan Giok Hong dan Thian Jie.

“Tidak mencukupi Pangcu, tetapi harap kedua Hu-Hoat membantu Tek Hoat di luar. Murid Hiongcu Kiong Siang Han sedang menghadapi Pangcu dan Pembantu pangcu Hek-i-Kay Pang di luar dan memungkinkan kami menerobos masuk”

“Tapi siapakah kedua jiwi enghiong ini”? Kim Ciam Sin Kay bertanya menunjuk Thian Jie dan Siangkoan Giok Hong yang keduanya memang masih asing dan tidak dikenalnya.

“Cucu Bengkauw Kauwcu, Siangkoan Giok Hong menghadap Kay Pang Pangcu” Giok Hong menyapa dan menghormat Kim Ciam Sin Kay, Pangcu Kay Pang yang terhormat.

“Tecu Thian Jie, murid suhu Kiang Sin Liong menghadap pangcu” Thian Jie juga ikut memberi hormat. Dan dua kali atau yang ketiga kalinya wajah Pangcu Kay Pang ini berkerut terkejut, sejak mendengar murid tetuahnya Kiong Siang Han datang dan kemunculan murid Kiang Sin Liong dan malah cucu Kauwcu Bengkauw. Sungguh hebat kejadian ini, sangat luar biasa, dia bergumam. Sulit dipercaya bahwa murid orang-orang hebat kini bahkan membantu Kay Pang keluar dari kesulitannya. Lebih kaget lagi mengingat kehadiran murid Kiang Sin Liong dan Kawcu Bengkauw.

“Sudahlah Pangcu dan para locianpwe, kita harus cepat meninggalkan tempat ini. Kawan-kawan anggota Kay Pang diluar, harap dibebaskan oleh Paman Pengemis Gila, kedua Hu-Hoat harap membantu Tek Hoat di luar, Paman Pengemis nanti bergabung kami berdua menyelematkan Pangcu ke markas Kay Pang” Tiba-tiba Thian Jie menyela cepat, dan mengundang kekaguman semua orang atas ketangkasannya menentukan sikap dengan cepat.

“Betul, kita harus bergerak cepat” Pangcu Kay Pang menyetujui saran Thian Jie dan segera dikerjakan. Kedua Hu-Hoat yang lihay dengan segera menemukan jalan keluar dari rumah yang menyekap mereka dan segera bergabung di luar, terutama begitu melihat gerakan-gerakan Tek Hoat yang sudah sedang bertanding dengan Bu Tek Coa Ong.

Gerakan dan ilmu-ilmu yang dikerahkannya tidak disangsikan lagi jelas-jelas adalah ilmu pusaka Kay Pang. Ilmu yang hanya diwariskan kepada orang yang sudah sangat dipercayai. Dan tingkat kemahiran yang ditunjukkan sungguh luar biasa, tidak mungkin dididik oleh orang sembarangan. Tetapi, karena Kiong Siang Han memang bukan orang sembarangan, mereka maklum saja dengan kehebatan dan kelihayan Tek Hoat yang sedang membantu perkumpulan gurunya.

Sementara itu, di sisi timur, tiba-tiba terjadi kebakaran hebat atas salah satu Gedung utama mereka disana. Kebakaran itu nampak cukup hebat dan malam yang menjelang fajar menjadi semakin terang dan membingungkan pengemis anggota Hek-i-Kay Pang karena kebingungan tugas mana yang didulukan.

Tapi Hek Tung Sin Kay cepat menguasai dirinya:

“Sebagian ke timur memadamkan api, yang lain tinggal menangkap para penyusup” perintahnya. Tapi akibatnya, dia nyaris termakan pukulan Mei Lan yang dengan deras datang, untung masih bisa diegosnya, tapi dengan segera dia jatuh di bawah angin. Ketika memandang suhengnya, dia berdebar, karena suhengnya juga bisa diimbangi si anak muda yang lainnya.

Sementara kehadiran kedua hu-hoat Kay Pang membuat barisan pengepung juga menghadapi lawan yang lihay. Pertempuran di luar menjadi semakin sengit, korban lebih banyak di pihak Hek-i-Kay Pang karena para penyusup ternyata semua berkepandaian tinggi dan sulit ditaklukkan, terlebih para tokoh mereka terlibat pertarungan dahsyat.

Sementara itu, Thian Jie dan Giok Hong telah menyelesaikan tugas mereka membawa keluar Pangcu Kay Pang di daerah sebelah Barat. Mereka menunggu Pengemis Gila sejenak untuk bersama-sama menerobos pintu masuk guna bergabung dengan anak buah Kay Pang di mulut lembah. Tak lama kemudian, nampak Pengemis Gila menerobos keluar dan mengarahkan kurang lebih 20an tokoh Kay Pang yang disekap untuk membantu para pemimpin mereka di luar.

Anggota Kay Pang yang disekap, rata-rata berkedudukan tinggi dan setia, tidak mau takluk kepada Hek-i-Kay Pang, karena itu, bantuan mereka di sisi depan dengan segera merubah peta kekuatan pertandingan. Dengan cepat kekuatan hek-i-kay pang merosot tajam, sebab meski kaki tangan masih kaku, tapi kedua hu-hoat Kay Pang memberi semangat berkelahi yang luar biasa bagi para tokoh Kay Pang yang baru dibebaskan. Dan terlebih buruk bagi Hek Tung yang kemudian menjadi semakin bingung, karena tiba-tiba di sebelah baratpun muncul api yang tidak kurang dahsyatnya.

Tapi Thian Jie, Pengemis Gila dan Tek Hoat semua paham, waktu mereka cuma paling lama 2 jam, sebab bila bantuan datang dari Pakkhia, maka keadaan bisa berubah tambah menyulitkan mereka. Karena itu, tidak ada niatan mereka untuk membasmi markas Hek-i-Kay Pang, kecuali membebaskan Pangcu Kay Pang.

Dan setelah tugas itu tercapai, maka Pengemis Gila melirik Thian Jie, keduanya tersenyum tanda bahwa keadaan sudah cukup memadai untuk tugas mereka malam ini. Maka ketiganya segera mengawal Pangcu Kay Pang menerobos ke depan tanpa ada halangan yang berarti lagi, dan kemudian mencoba meraih dan memperpendek jarak dengan barisan Kay Pang yang menunggu di luar lembah.

Tetapi dalam perjalanan mereka itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah serangan yang tidak tampak, tetapi sungguh sangat ampuh. Ketika menangkis, ketiganya justru terdorong, meskipun si penyerang sempat juga terdengar mengaduh. Thian Jie cepat menyadari apa yang terjadi, dengan cepat dia mempersiapkan diri dan kekuatan batinnya dan berseru kepada Pengemis Gila:

“Bawa Pangcu menyelamatkan diri, biar tecu dan Siangkoan Kouwnio yang menahan iblis ini”. Setelah itu, Thian Jie mengeluarkan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), ilmu puncak yang berbahaya dan kemudian bersilat seperti tidak mengetahui lawan berada dimana. Tapi akibat perbawa ilmu tersebut terdengar seruhan ”Ih“, dan nampaklah seorang tua yang sudah berusia sekitar 70 tahunan, mungkin lebih, sedang bersedekab badan di bawah sebatang pohon.

Dia masih mencoba merintangi Pengemis Gila, tetapi Thian Jie kembali mengeluarkan pukulan sakti dengan perbawa menggila meskipun belum sempurna diyakinkannya. Bahkan nampak Giok Hong kemudian juga melontarkan pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang), sebuah pukulan berhawa sesat dari nenek buyutnya. Kedua pukulan mengerikan itu, menghentikan upaya Kakek Sakti ini untuk melontarkan pukulan hitam kearah pengemis Gila dan mau tidak mau dia harus melayani kerubutan kedua remaja yang membuatnya terheran-heran dan juga marah ini.

Kerubutan dua orang muda yang masih remaja ini mengagetkannya. Luar biasa, karena angin pukulan ereka membuatnya tergetar hebat, meski masih belum sanggup menjatuhkannya, tapi cukup menghentakkan.

Ketika melihat pengemis Gila sudah menghilang, kakek ampuh yang sudah renta dan dikenal sebagai See Thian Coa Ong ini kemudian memusatkan perhatiannya untuk melumpuhkan kedua anak muda ini. Tetapi Thian Jie yang menyelingi pukulannya dengan Soan Hong Sin Ciang digabung dengan Toa Hong Kiam Sut, sedangkan Giok Hong menyelingi dengan Koai Liong Sin Ciang (Ilmu Pukulan Naga Siluman) yang ampuh hanya sanggup menahan sementara Kakek sakti ini.

Berkali-kali mereka mengadu lincah dengan kakek ini dan memang, cuma ini kesempatan mereka dan untungnya mereka berdua membekal ginkang yang sangat lihay sehingga terbebas dari amukan ilmu dahsyat kakek aneh yang maha sakti ini. Tetapi, toch penggunaan kedua ilmu ampuh Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), dan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang) membuat kakek ini geleng-geleng kepala.

Akhirnya dia butuh waktu cukup lama untuk melayani kedua anak muda yang sangat alot dan sangat lihay ini. Bahkan pertarungan mereka, dimana kedua anak muda itu terus main mundur, telah memasuki hutan di sisi kanan pintu masuk dan nampak jarang terjamah orang. Baik Thian Jie maupun Giok Hong sadar betul, bahwa mereka butuh kelincahan dan daya tahan menghadapi kakek sakti ini.

Meskipun Thian Jie terkadang mnembentur kekuatan kakek ini, tapi dia sadar, akibat getaran benturan itu, belum sanggup dia terima karena belum sempurna mencairkan sumber kekuatan dalam pusarnya. Karena itu, dia tidak berani lagi adu tenaga, tetapi tetap menyerang dengan jurus-jurus dan ilmu ampuh dari perguruan keluarganya.

Pertempuran dahsyat itu masih terus berlangsung, bahkan semakin dalam memasuki hutan sisi jalan masuk lembah mega, dan kakek tua yang sudah renta itupun semakin penasaran dengan ketidaksanggupannya menguasai kedua anak muda ini. Semua ilmunya sudah dicoba, bahkan ilmu-ilmu hitam juga dicoba, tetapi bisa dimentahkan oleh gabungan kedua ilmu anak muda tersebut yang menghadirkan perbawa sihir dan kekuatan batin yang cukup tinggi.

Akhirnya kakek ini sadar, bahwa tenaganya sedang dikuras oleh kedua anak muda yang cerdik ini, dan diapun merasa cadangan tenaganya sudah mulai menyusut. Karena itu ketika mendekati sebuah liang berbentuk Goa, dia menemukan akal untuk menggunakan sebuah ilmunya yang beracun yang bisa sangat mempengaruhi iman orang, apalagi anak muda. Dia beringsut mendekati gua tersebut, dan dengan sebuah gerakan kilat, dia kemudian menyerang kedua pemuda tersebut dan mengerahkan tenaga menyudutkan Thian Jie dan Giok Hong ke arah lobang atau Gua tersebut.

Thian Jie dan Giok Hong tidak menyadari apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan See Thian Coa Ong, tetapi ketika mereka menyadari di belakang mereka ada sebuah Gua, mereka terkejut. Bertempur di ruang sempit dan terbatas bakal sangat membahayakan mereka. Tetapi ketika untuk merubah posisi sudah sangat sulit, See Thian Coa Ong nampak kembali mengibaskan tangannya, dan bau amis yang harum tiba-tiba merangsang hidung kedua anak muda ini.

Thian Jie terkejut melihat senyum licik di wajah See Thian Coa Ong, dengan memusatkan pikirannya dikembangkannya Pukulan paling maut yang dikenalnya dari Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), sebuah serangan dengan gaya yang dinamakan gurunya „Membongkar Awan Meruntuhkan Langit“ dan meluncurlah kekuatan menggetarkan yang deras dari tangannya, bersamaan juga dengan luncuran kekuatan sakti Giok Hong dari jurus mengerikan yang bernama Taot beng Ci, mencicit-cicit mengerikan.

See Thian Coa Ong tidak menyangka kedua anak muda itu masih punya daya melontarkan pukulan mematikan, tapi masih sempat dia mengangkat kedua tangannya melakukan tangkisan:

“Blaaaar, dess, bresss“ See Thian Coa Ong terlempar dengan mulut berlumur darah, terluka sangat parah, tapi masih sempat melarikan diri. Tidak sempat lagi dia menyaksikan kedua anak muda yang menyerangnya terlontar kedalam gua yang tertutup rimbunan semak yang memang disiapkannya sesuai siasatnya. Dan keadaanpun kemudian sepi...

Sementara itu, pertarungan antara Mei Lan dan Hek Tung Sin Kay masih tetap berjalan imbang. Semua jurus yang dikeluarkan seakan saling mengunci, dengan hanya keunggulan kegesitan yang dimiliki Mei Lan. Ditempat terpisah Bu Tek Coa Ong yang memang lebih lihay dari sutenya Hek Tung, nampak bisa mengimbangi Tek Hoat. Sebetulnya, tingkat ilmu Bu Tek Coa Ong sudah lebih lihay dari Hek Tung Sin Kay karena memang dia lebih berkonsentrasi dalam ilmu silat dan racunnya, sementara Hek Tung masih disibukkan dengan mengurus urusan Kay Pang Baju Hitam. Karena itu, wajar bila Hek Tung hanya bertarung setanding dengan Mei Lan, sementara nampaknya Bu Tek Coa Ong mampu mendesak Tek Hoat yang bertarung dengan seluruh kemampuannya.

Untuk diketahui, untuk saat ini, Bu Tek Coa Ong adalah tokoh tersakti di Hek i-Kay Pang, setelah gurunya, See Thian Coa Ong. Tapi, karena See Thian Coa Ong sudah lebih memilih melatih dan memperdalam ilmu, maka yang aktif tentu saja adalah bu Tek Coa Ong. Dan tokoh yang sudah menguasai seluruh ilmu See Thian Coa inilah yang menandingi Tek Hoat.

Tokoh ini sudah sanggup memainkan Tok Hiat Ciang, Hek Hwe Jie dan bahkan juga Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemu*tus Otot dan Pelepas Tulang) yang mirip ilmu kedua anak gadis bengkauw yang sangat dahsyat tersebut. Dalam ilmu yang terakhir, Bu Tek Coa Ong masih mengungguli Hek Tung Sin Kay. Dan bahkan Hek Tung belum sanggup menggunakannya maksimal tidak seperti Bu Tek Coa Ong yang hanya kalah dari gurunya dalam penggunaan ilmu sesat yang sangat sadis ini.

Dan dengan ilmu itulah dia mendesak dan menyerang tek Hoat habis-habisan, ditambah lagi dengan bau memuakkan dan busuk dari tubuhnya, maka tambah tersiksalah Tek Hoat menghadapi murid datuk sesat yang sangat busuk ini.

Sebetulnya, bukan mutu ilmu silat yang kalah dari tek Hoat, tetapi pengalaman bertempur. Seandainya dia membentengi dirinya dengan Ilmu yang bisa mempengaruhi mental dan indranya, maka tidak akan sulit untuk menahan dan mengimbangi tokoh ini. Untungnya, selain tabah dan ulet, anak ini memang banyak akalnya. Setelah berkali-kali perasaannya terpengaruh oleh bau busuk menyengat, tiba-tiba dia teringat ketika sedang berlatih tanding dengan Thian Jie. Ya, mengapa tidak menggunakan ilmu itu, ilmu ampuh dari gurunya Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).

Mulailah dia mempersiapkan diri untuk menempur Bu Tek Coa Ong dengan ilmu pamungkasnya dan tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dengan gerakan jurus Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya), membebaskan dirinya dari Bu tek Coa Ong, dan melontarkan Pukulan petirnya yang membahana. Bu Tek Coa Ong tertahan sejenak, dan sejenak itu sudah cukup buat Tek Hoat untuk membuka jurus dengan Sin kun Hoat Lek.

Tubuhnya berputar-putar bagai Naga Sakti, sesekali terlontar halilintar dari lingkungan tubuhnya dan benar saja, bau amis itu kemudian hilang sedikit demi sedikit. Sebagai gantinya, dia kini bisa memperoleh keleluasaan menyerang dan nafas yang lega, sementara lawannya bingung dengan lontaran halilitar dari tubuhnya. Keadaan kembali menjadi imbang, masing-masing saling melontarkan serangan dan berjaga atas serangan musuh.

Dilain pihak, Mei Lan, juga mulai memainkan ilmu-ilmu khas Bu Tong Pay. Karena bertangan kososng dia akhirnya mencoba menggunakan gabungan Sian Eng Coan In dengan Sian Eng Sin Kun, yang dengan segera membuat Hek Tung Sin Kay kelabakan setengah mati. Untung, dia pernah menyaksikan ilmu ini dimainkan Sian Eng Cu Taihiap dan karena itu, meski berayal dia masih sanggup tergopoh-gopoh menyelamatkan diri.

Tetapi, kini dia semakin jatuh di bawah angin di bawah hujaman serangan Mei Lan yang semakin membahana dan datang seperti dari seluruh penjuru tubuhnya. Bahkan ketika menggunakan tongkat hitamnya, tongkat itupun seperti hanya berfungsi untuk membela dirinya. Semakin lama dia semakin jatuh dalam kesulitan, dan melihat kenyataan ini, Mei Lan menjadi gembira dan menjadi ingin mencoba jurus yang satu lagi, jurus yang belum pernah dicoba digunakannya, karena dilarang gurunya kecuali untuk keadaan memaksa.

Meski keadaan sekarang tidak memaksa, tetapi Mei Lan merasa ingin mencobanya, ingin melihat keampuhannya sehingga dilarang gurunya. Ilmu Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Ketika Hek Tung Sin Kay sedikit mundur, Mei Lan memang membiarkannya untuk mempersiapkan jurus ini, dan sayangnya Hek Tung Sin Kay tidak memperhitungkan langkah Mei Lan yang seperti membiarkan dia mundur tanpa menyerang. Justru Hek Tung Sin Kay yang memulai serangan, tepat ketika Mei Lan mempersiapkan jurus awal dalam gaya “Selaksa Dewa Merenggut Bayangan”, jurus yang tepat untuk menghadapi serangan lawan.

Secepat kilat, Mei Lan melangkah kedepan menyongsong, bukan berkelit dari tongkat hitam Hek Tung, tetapi malah seperti menyiasati tongkat itu, dan Hek Tung hanya sempat merasa sesuatu yang lunak dan dingin menyentuh tangannya, ketika dia insyaf, bahaya sudah datang. Kedua lengan yang lunak dan dingin itu sudah mendorong tongkat berikut tangannya dan hanya terdengar seruan dan jeritan Hek Tung Sin Kay dan akhirnya “bresss”.

Tubuhnya terbanting ke tanah, bibir berlumur darah hidup dan sepasang tangannya menggantung lemas, sepertinya patah atau remuk. Mei Lan tidak lagi memperhatikan, karena kemudian terdengar sebuah isyarat lengkingan yang berarti tugas dan misi selesai.

Kebetulan pada saat itu, adalah ketika kemudian kedua Hu-Hoat Kay Pang ikut membantu ditambah kemudian dengan 20 tokoh Kay Pang yang disekap datang ke arena. Sementara anak buah hek-i-kay pang sibuk dengan kebakaran dan penyerbuan, membuat keseimbangan dengan mudah bisa ditentukan. Keadaan sebenarnya sudah semakin parah bagi Hek-i-Kay Pang, banyak korban tewas dan terluka, bahkan Hek Tung Sin Kay sudah jatuh dan tiba-tiba terdengar suitan di angkasa, suitan tanda selesai dari Pengemis Tawa Gila.

Maling Sakti, Tek Hoat dan Mei Lan sudah segera tahu maknanya, dan Tek Hoat kemudian memberi perintah untuk mundur setelah melontarkan sebuah serangan kilat ke arah Bu Tek Coa Ong yang juga melangkah mundur. Tetapi saat itu, kedua Hu-Hoat berkeras melanjutkan karena termakan sakit hati disekap selama lebih lima tahun ditempat itu. Bahkan ke-20 tokoh lainnya yang nampak tinggal 18 orang, juga ikut berkeras untuk melanjutkan pertempuran. Hal ini membuat Tek Hoat menjadi gemas dan tiba-tiba dia teringat pesan gurunya dan Kiam Pay Emas yang dihadiahkan padanya.

Jimat atau tanda kekuasaan paling Keramat bagi Kay Pang yang hanya dimiliki oleh Kiong Siang Han, yang berarti ketika tidak ada Pangcu, maka pemegangnya akan bertindak sebagai pangcu. Tek Hoat mengangkat tanda pengenal tersebut, dan memerintahkan dengan suara keren:

”Pemegang Kiu Ci Kim Pay memerintahkan semua mundur“

Semua, tiada kecuali, Kedua Hu-Hoat, ke-18 tokoh lainnya memandanga kaget dan sangat terperanjat memandang Kiam Pay yang sudah puluhan tahun tidak dikeluarkan. Maka dengan penuh rasa hormat dan segan segera berseru:

”Tunduk kepada Kiu Ci Kim Pay“ dan kemudian semua membuka jalan untuk mundur. Sementara Pangcu He Tung Sin Kay sudah tidak berdaya dan tentu tidak lagi berkeinginan dan berkemampuan mengejar, seperti juga Bu Tek Coa Ong yang merasa ngeri juga dengan kerubutan Kay Pang dan tokoh muda pemegang Kiu Ci Kim Pay tadi.

Para tokoh Hek-i-Kay Pang sungguh kaget menemukan kerugian yang mereka alami. Pertama, semua tokoh Kay Pang tahanan mereka lepas dan hanya 2 orang yang ditemukan tewas dalam pertempuran. Kedua, Pangcu Kay Pang dan kedua hu-hoat tahanan mereka, juga ikut terbebaskan dan sungguh sebuah pukulan telak bagi hek-i-kay pang. Ketiga, anggota hek-i-kay pang yang terluka berjumlah puluhan, dan setelah tokoh yang ditahan dibebaskan, setidaknya mereka membunuh sampai 30 lebih anggota hek-i-kay pang.

Dan yang lebih mengagetkan lagi, mereka mendapati Pangcu mereka sudah dalam keadaan yang mengenaskan. Kedua lengan patah-patah dan untung tidak remuk, dan masih juga terluka dalam yang sangat parah. Keadaan yang sama mengejutkan ketika mereka menemukan Guru Besar, See Thian Coa Ong dalam keadaan luka parah dan tiada seorangpun yang tahu siapa yang bertempur dan melukai datuk lihay ini separah itu. Tapi yang pasti, dari mulut datuk itu mustahil memperoleh jawaban karena dia sudah menutup diri untuk mengobati luka dalam yang cukup parah.

===================

Setelah dunia persilatan digegerkan oleh serangan-serangan mengejutkan ke Siauw Lim Sie, Lembah Pualam hijau, Pencurian di Bu Tong Pay, hancurnya Go Bie Pay, penyerangan ke Kun Lun Pay, menghilangnya Kim Ciam Sin Kay Pangcu Kay Pang dan menghilangnya Kiang Hong Bengcu dan rombongannya yang terdiri dari orang-orang sakti, rasanya masa depan dunia persilatan Tionggoan menjadi suram.

Tetapi, tiba-tiba, Thian Liong Pang yang seperti susah terlawan, mendapatkan pukulan yang cukup telak di beberapa tempat. Gangguan mereka atas Kay Pang di propinsi Cin an dan sekitarnya bisa digagalkan oleh Hu Pangcu Kay Pang dan seorang tokoh muda yang terkenal dengan nama Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah). Bahkan kemudian diikuti dengan pembersihan-pembersihan yang dilakukan oleh Kay Pang didaerah itu, juga atas pimpinan Pengemis Tawa Gila dan Tek Hoat yang menjadi semakin terkenal sebagai salah satu tokoh muda yang sakti dari Kay Pang.

Kemudian, kejadian yang sama, kegagalan dan hancurnya jaringan Thian Liong Pang juga terjadi menyusul di Bing Lam. Bukan hanya gagal membungkam Siauw Lim Sie cabang Poh Thian di Bing Lam, malahan Thian Liong Pang yang bermarkas di Rumak keluarga Lim yang mereka taklukkan, kemudian juga diserbu dan dienyahkan oleh 3 orang muda yang lihay, dibantu beberapa pendeta Siauw Lim Sie di Poh Thian.

Dari sana mulai terkenal Siauw Lim Siang Eng Taihiap atau Sepasang pendekar Sakti Dari Siauw Lim Sie. Tentulah mereka adalah si pendekar kembar Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Dari Poh Thian juga kemudian menjadi terkenal seorang Pendekar Wanita yang berasal usul dari Bengkauw, yang dikenal dengan nama Siangkoan Giok Lian, Thiat-sim sian-li (Dewi Berhati Besi). Ketiga pendekar muda ini kemudian mengobrak-abrik markas Thian Liong Pang di rumah keluarga Lim, membebaskan penyanderaan atas Keluarga Lim dan membongkar jaringan Thian Liong Pang di daerah Bing Lam.

Terakhir kemudian mencuat nama-nama baru di daerah utara sungai Yang ce, yakni Ceng-i-Koai Hiap, Thian Jie dan Sian Eng Li (Nona Bayangan Dewa), Liang Mei Lan. Sian Eng Li menjadi sangat terkenal karena sanggup melumpuhkan dan membuat cacat tangan Pangcu Hek-i-Kay Pang yang dengan terpaksa kemudian digantikan kedudukan pangcunya oleh Bu Tek Coa ong.

Bahkan tersiar kabar dari pertarungan di In Kok San, selain Kim Ciam Sin Kay bisa dibebaskan, juga menghancurkan kubu dan kekuatan Hek-i-Kay Pang, bahkan Cheng-i-Koai Hiap mampu dengan parah melukai See Thian Coa Ong. Sungguh sebuah kabar yang sangat mengejutkan. Nama Ceng-i-Koai Hiap terkenal karena selain tidak suka membunuh, juga juga sekaligus berhasil membebaskan Pangcu Kaypang dengan menempur See Thian Coa Ong, bahkan melukaii datuk itu. Sementara Sian Eng Li juga namanya membahana setelah menghancurkan Hek-i-Kay Pang bersama Tek Hoat dan Siangkoan Giok Hong.

Bengkauw juga menghadirkan suasana baru dunia persilatan, setelah 2 gadis asal bengkauw terlibat dalam upaya menantang Thian Liong Pang. Yakni Siangkoan Giok Lian (Tiat SIm Sian Li) dan Siangkoan Giok Hong. Dunia persilatan jadi ramai dengan banyak tokoh muda sakti.

Dunia persilatan seperti mengalami dan memiliki harapan baru setelah generasi Kiang Hong seperti tak berdaya. Tapi kini muncul Naga-naga sakti yang baru di daerah Tionggoan. Dan Naga-naga muda itu telah dengan telak memberi pukulan yang hebat dan memalukan bagi Thian Liong Pang yang sangat berambisi untuk menyebar kekuatannya ke semua daerah.

Bukan saja Siauw Lim Sie tidak dapat dikangkangi kecuali mencuri sesuatu darinya, Bu Tong Pay juga sulit ditaklukkan, bahkan Kay Pang yang terpecah, nampaknya juga mengalami penyatuan kembali dengan tampilnya Pemegang JIMAT NAGA EMAS atau juga Kiu Ci Kim Pay sebagai tanda kehadiran sesepuh cemerlang mereka Kiong Siang Han. Gelagatnya, perlawanan terhadap Thian Liong Pang akan segera terjadi, dan untungnya karena kekalutan dengan Lam Hay Bun masih bisa ditunda dan bahkan Bengkauw justru menunjukkan bakat-bakat muda yang berdarah pendekar.

Sementara itu, bagi Thian Liong Pang, kekalahan-kekalahan beruntun membuka mata mereka bahwa kekuatan yang menyebar begitu luas tidaklah mungkin bermanfaat. Karena musuh bisa memilih titik terlemah untuk menggoncangkan kekuatan mereka seperti yang terjadi di Bing Lam, Cin an dan kemudian terakhir di daerah Pakkhia. Beberapa lokasi penting kemudian dikuasai oleh lawan-lawannya, termasuk kemudian secara perlahan namun pasti, dengan dibantu oleh Pangcu, Hu-Hoat dan Pendekar Muda Liang tek Hoat dan Adiknya Mei Lan, perlahan-lahan bahkan Hek-i-Kay Pang kemudian bisa dibubarkan.

Bahkan pembersihan itu berlangsung hampir tanpa perlawanan di semua tempat, karena nampaknya Thian Liong Pang menarik ulang semua kekuatannya untuk waktu tertentu. Untuk sementara badai yang mengamuk sedikit mereda, tapi justru akan datang dengan sapuan gelombang yang lebih mengerikan. Karena kekuatan mereka kelak akan terpusat di Selatan, disana mereka menyusun rencana-rencana untuk menghapuskan pusat kekuatan Dunia Persilatan Tionggoan.

Itu juga sebabnya Kay Pang bisa dengan relatif muda mengkonsolidasikan kekuatan mereka, membersihkan semua Cabang dan menghukum yang berkhianat. Selama hampir 8 bulan kedua kakak beradik she Liang, putra Pangeran Liang membantu Kay Pang, menegakkannya kembali, dan kemudian berkunjung ke rumah orang tua mereka di Hang Chouw untuk kemudian menunggu waktu pertemuan 10 tahunan.

Banyak orang menduga, bahwa badai dunia persilatan sudah berlalu. Tetapi tokoh-tokoh dunia persilatan sadar belaka, bahwa dalang dan pelaku kekerasan dan kerusuhan masih belum menampilkan diri. Bahkan ancaman yang lebih mengerikan nampak sedang bertumbuh kembali dan dampaknya bisa lebih mengerikan lagi. Karena itu, waktu yang nampak aman dan tentram justru terasa mencekam dan dimanfaatkan oleh banyak perguruan dan tokoh silat untuk memperdalam kemampuannya.

Tokoh-tokoh Kay Pang selain sibuk mengatur dan menata kembali Pang mereka, juga sibuk melatih diri. Demikian juga Bu Tong Pay, tokoh-tokoh utamanya sejak melatih Mei Lan, juga melatih Ilmu terakhir yang diciptakan Guru Besar mereka, Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan. Bahkan semua murid Wie Tiong Lan diharuskan berada di Bu Tong San, mendidik murid-murid Bu Tong dan memperkuat Bu Tong Pay. Hal yang sama juga dengan Siauw Lim Sie, peningkatan kemampuan mutlak dibutuhkan melihat ancaman kedepan.
 
BAB 14 Aib dan Kesembuhan
1 Aib dan Kesembuhan




Bagaimana sebenarnya nasib Thian Jie dan Siangkoan Giok Hong yang gabungan kekuatan mereka sanggup melontarkan dan melukai See Thian Coa Ong? Seperti diketahui, kedua anak muda ini secara bersama membentur lontaran kekuatan iweekang beracun yang dilakukan See Thian Coa Ong. Dengan gabungan kekuatan itu, See Thian Coa Ong terlontar dalam keadaan luka parah.

Tetapi kedua anak muda itupun, tidak luput dari benturan tersebut dan menyebabkan mereka berdua keracunan. Keduanya memang terjerembab kedalam liang goa akibat pukulan sakti beracun yang dilontarkan datuk sesat tersebut. Ketika keduanya terlempar kedalam goa, mereka sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri, dan bahkan tanpa mereka sadari tubuh mereka sudah keracunan hebat.

Tetapi karena terlempar pingsan, keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa mereka jatuh tumpang tindih kedalam gua yang hanya memiliki cahaya yang remang-remang. Pukulan See Thian Coa Ong yang mereka tangkis dan bentur bersama tidak lagi memiliki kemampuan merusak kekuatan dan tubuh mereka, karena itu keduanya hanya mengalami keracunan, tetapi kekuatan mereka pada dasarnya tidak terganggu.

Lebih untung lagi, karena goa mereka terlontar masuk, tertutup semak-semak yang membuat keberadaan mereka tidak tercium perondaan Hek-i-Kay Pang ketika membersihkan daerah sekitar. Setidaknya sampai kemudian daerah itu dibersihkan Kaypang pusat.

Celakanya, kedua anak muda itu tidak menyadari kalau keduanya sudah keracunan oleh racun yang dinamakan “racun dewa asmara” yang terkandung dalam pukulan beracun See Thian Coa Ong. Sebetulnya, See Thian Coa Ong berkeinginan merusak konsentrasi kedua anak muda ini dengan racun perangsang yang bisa dikerahkannya melalui kekuatan pukulan.

Bagi orang biasa, terkena pukulan tersebut akan membuat pikiran berkunang-kunang dengan rangsangan nafsu birahi yang tinggi. Tetapi, See Thian Coa Ong kaget, mengapa kedua anak muda ini justru masih sanggup melontarkan tenaga pukulan dahsyat dan bahkan kemudian dengan parah melukainya. Itulah yang kemudian menolong kedua muda-mudi ini.

Tetapi keadaan ini, sekaligus membawa mereka kedalam ancaman lain yang tidak kurang berbahayanya. Karena kekuatan tenaga mereka memang relatif tidak berbeda jauh, sadarnya merekapun nyaris bersamaan. Dengan Thian Jie yang lebih dulu mulai membuka mata, menggerak-gerakkan matanya dan menyadari bahwa suasana dalam goa sangat remang-remang, sementara di luar hari mulai gelap. Otomatis jangkauan pandangan matanyapun menjadi terbatas, apalagi karena memang diapun terluka dalam meskipun tidak parah.

Mereka memang tidak menyadari jika sudah pingsan nyaris seharian, sejak menjelang fajar mereka terpukul masuk kedalam goa hingga matahari kembali akan tenggelam di ufuk Barat. Karena itu, ketika mereka sadar suasana sungguh remang-remang dan bahkan sinar matahari yang tersisa nampak sendu cahayanya. Bersamaan dengan mulai sadarnya Thian Jie, Giok Hong juga mulai membuka matanya, tetapi masih sulit menyadari dimana dia berada.

Lama-kelamaan keduanya mulai sadar dan tahu bahwa mereka bergelimpangan saling menindih dengan badan dan tubuh Thian Jie di bawah dan Giok Hong menindih di atas tubuhnya. Tetapi, pada saat kesadaran mereka hampir penuh, dorongan lain yang tidak kurang kuatnya adalah, mempertahankan keadaan saling tindih, jika perlu lebih dari itu. Lebih lama dari itu, bahkan mungkin selama mungkin dalam posisi itu. Keduanya sama sadar bahwa keadaan tersebut sangatlah tidak pantas, tetapi entah kenapa mereka menginginkannya dan tidak beringsut untuk menjaga jarak.

Thian Jie yang secara perlahan menyadari keadaan diri mereka, juga tidak kuasa menolak keinginan untuk lebih lama ditindih badan empuk dan harum si gadis. Sementara Giok Hong yang juga mengerti bahwa hal itu tidak sepantasnya, tidak menunjukkan gejala penolakan. Dia, meski menyadari hal itu tidak pantas, tetapi merasakan adanya dorongan dan keinginan kuat untuk tidak beringsut dari atas tubuh itu.

Terlebih terselip kekaguman atas Thian Jie dan rangsangan dari dalam, dan akhirnya membuatnya membiarkan tubuhnya rebah menindih Thian Jie. Sementara, perlahan namun pasti Thian Jie kemudian mulai takluk oleh keinginan hatinya yang memerlukan penyaluran. Dan karenanya dia mulai membelai rambut Giok Hong yang lembut. Sebaliknya si Gadis yang merasa hal itu belum saatnya, justru bertindak sebaliknya, mendiamkannya dengan aleman sambil menikmati dan meresapinya.

Keduanya memang masih remaja, masih belum pernah mengalami sensasi seksual. Karena itu semua gerakan mereka terasa kaku, tetapi justru murni dorongan naluri seks manusiawi. Tidak ada kerakusan untuk meraba, tidak ada kehausan berlebihan untuk mencium, ataupun ketergesaan yang didorong nafsu birahi yang meletup-letup. Padahal kedua anak manusia ini, sudah jelas-jelas terperangkap dalam nafsu, dan hampir tidak mungkin tidak terjadi.

Apalagi ketika kemudian belaian-belaian di rambut mulai turun ke punggung dan mulai berani menekan punggung Giok Hong yang bahkan pakaiannyapun sudah awut-awutan dan tidak teratur. Beberapa kali belaian tangan Thian Jie justru dengan sengaja mendekatkan punggung itu kedadanya, sebab disana dia merasakan kelembutan dan kekenyalan daging yang belum pernah dirasakan dan diresapinya sebelumnya.

Perlahan-lahan sensasi-sensasi baru itu, mulai berbaur dengan penguasaan nafsu berahi atas pengaruh racun di tubuh mereka. Karena itu, Giok Hongpun mulai kehilangan keawasan dirinya, sama seperti yang dialami oleh Thian Jie. Usapan di punggung Giok Hong ketika menemukan sobekan pakaian yang tidak lengkap menutupi punggung dan bertemu kulit telanjang, bagaikan minyak yang disiramkan ke api bagi keduanya. Semakin ingin tangan-tangan Thian Jie untuk mencari lembah dan kulit halus yang sama untuk diusap dan dibelai, dan itu ditemukannya disepanjang celah yang ditinggalkan terbuka oleh kain tercabik-cabik ditubuh gadis itu.

Sementara gadis itu sendiri, justru merasakan kenikmatan tertahan ketika usapan dan belaian itu dilakukan bukan dari balik pakaian, tetapi langsung bertemu kulit punggungnya. Perlahan namun pasti area yang terbuka menjadi semakin luas karena belaian itu diikuti oleh gerakan membuka kain pakaian si gadis. Dan semakin lama menjadi semakin meluas dan melebar, bahkan kemudian sudah memasuki daerah pundak.

Dan dengan gemulai Giok Hong bahkan mengangkat sedikit tubuhnya hingga usapan dan belaian Thian Jie guna melepas pakaiannya menjadi semakin mudah, dan semakin mudah seterusnya dan seterusnya. Tidak cukup lama waktu yang dibutuhkan keduanya untuk meresapi keindahan permainan seks anak manusia, manakala keduanya mempertemukan lekuk tubuh keduanya dalam kepolosan.

Meski terangsang obat akibat pukulan beracun, tetapi keduanya melakukan tugas yang diskenariokan obat perangsang itu dengan manis. Saling membelai, saling memberi, saling menyentuh, saling mencium, saling menikmati lekuk tubuh masing-masing.

Pengalaman pertama mereka memang sayangnya terjadi pada saat mereka dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Tidak sadar karena mereka terbawa oleh rangsangan racun asmara, sadar karena jelas-jelas mereka meresapi, menikmati dan terbuai oleh alunan memabukkan itu. Yang dalam tahapan mereka, bila sadarpun mungkin sudah tak ada jalan mundur karena keduanya sudah saling menelanjangi, saling menikmati pori-pori kulit masing-masing pasangannya.

Terutama ketika keduanya sudah tidak terpisahkan oleh sehelai benangpun ditubuh mereka. Ketika Thian Jie dengan leluasa, bebas dan penuh semangat membelai, meremas seluruh lekuk tubuh mungil Giok Hong, dan ketika Giok Hong hanya sanggup mendesis-desis dan merengek-rengek manja minta dipuaskan. Semuanya berlangsung alamiah dan naluriah, kecuali bahwa diawali oleh rangsangan racun dewa asmara.

Semua berlangsung penuh perasaan, sedemikian hingga kemudian keduanya memasuki tahapan akhir permainan itu dengan saling memberi dan menerima. Dan pada akhirnya mereka memasuki tahapan yang membuat mereka banyak menghabiskan tenaga, namun dengan penuh semangat dan penuh gairah.

Dan hebatnya, pengaruh obat itu membuat mereka mampu melakukannya terus dan terus, bahkan mungkin bisa sepanjang malam sampai kemudian keletihan dan racun yang menguasai mereka nanti mereda dengan sendirinya. Tetapi, ada suatu hal yang tidak disadari keduanya yang justru nyaris merenggut nyawa keduanya. Seperti diketahui, dalam tantian Thian Jie, terdapat sumber kekuatan yang luar biasa besarnya yang berasal dari kakeknya.

Kekuatan itu, tanpa disengaja telah melahirkan daya menyedot hawa oleh kekuatan racun perangsang. Dan selama berhubungan seks semalam suntuk, kekuatan penghisap hawa itu, telah secara otomatis perlahan-lahan menguras banyak perbendaharaan tenaga Sinkang Giok Hong hingga dia bagaikan manusia yang tak bertulang dan tak bertenaga lagi. Sementara sebaliknya bagi Thian Jie, ketambahan hawa yang cukup banyak dari Giok Hong, hawa campuran Im dan Yang, kekuatan Matahari dan Bulan dari Jit Goat Sin Kang khas Beng Kauw, telah membuatnya sangat merana sejak selesai melakukan dan mencapai hajat seksnya.

Untungnya, setelah berhubungan badan berjam-jam dalam pengaruh racun, keduanya dipergoki oleh sesosok bayangan yang merasa kaget melihat kejadian tersebut. Bayangan tersebut awalnya marah dan risih menyaksikannya, tetapi pandang matanya yang tajam membuatnya mengerti apa yang terjadi, tepat ketika Thian Jie nyaris menyedot habis hawa Giok Hong.

Bayangan yang menyaksikan hal ganjil yang membahayakan kedua anak muda tersebut, dengan risih dan rasa kasihan berhasil memisahkan kedua tubuh yang bertelanjang bulat itu. Meskipun usaha itu juga sangatlah sulit akibat daya sedot Thian Jie yang semakin lama semakin kuat. Sehingga akhirnya, bayangan itu menotok beberapa titik di tubuh Thian Jie baru bisa memisahkan mereka berdua.

Bayangan tersebut kemudian berusaha membantu Thian Jie dan Giok Hong yang semakin lemah, tapi bayangan itu bergidik ngeri sendiri. Karena setiap kali dia menyentuh lengan atau badan Thian Jie, daya hisap itu muncul dengan sendirinya. Segera bayangan itu sadar, sesuatu yang luar biasa dan tidak wajar telah terjadi, beberapa kali totokan dilancarkannya, dan kemudian baru bisa menormalkan Thian Jie meski dia tahu tidak akan lama.

Karena tidak tahu dan tidak punya akal menyelamatkan Thian Jie yang selalu menyedot hawa saktinya, akhirnya bayangan itupun meninggalkannya telanjang bulat dalam Goa. Kemudian dengan hanya menyelimuti tubuh telanjang Giok Hong kemudian dibawanya masuk lebih kedalam, lebih jauh kedalam goa sampai akhirnya hilang dan sampai lama tidak ketahuan dimana beradanya Siangkoan Giok Hong.

Sementara itu, tidak lama setelah ditinggal bayangan yang menolong mereka, Thian Jie sendiri mengalami siksaan yang lebih hebat dari yang pernah dialaminya ketika mencoba menaklukkan dan mengendalikan hawa dari kakeknya. Secara perlahan dia memperoleh kesadarannya dan perlahan juga dia mulai mengalami penderitaan yang terus meningkat, seluruh tubuhnya berkelojotan menahan hawa yang bergolak dan saling bertentangan didalam.

Hawa sakti kakeknya bergerak semakin liar, karena seperti mendapatkan tantangan meski sedikit lemah dari hawa Jit Goat Sin Kang Bengkauw. Sampai akhirnya tangannya bergerak-gerak tak tertahankan, kakinya juga seperti bergerak-gerak sendiri, beberapa kali tubuhnya mumbul keatas tanpa dapat diakuasai. Kepalanya pening setengah mati, sementara peluhnya mengucur deras bagaikan bijian kacang-kacangan. Hal tersebut berlangsung terus dan makin bertambah-tambah penderitaannya dari waktu kewaktu dengan kondisinya yang tak bisa diatasinya lagi.

Cukup lama Thian Jie mengalami penderitaan antara mati hidup akibat siksaan hawa yang luar biasa banyaknya. Ada beberapa ketika memang, keadaan itu sedikit menyurut, keadaan dimana rasa sakit berkurang, tetapi tidak lama kemudian kembali berulang dengan rasa sakit yang makin tak tertahan. Racun dan tambahan tenaga baru itu membuatnya tidak sanggup lagi bahkan menguasai hawa tinggalan kakeknya yang kini meluap dan meluber karena belum sanggup dicernakan dan disatukannya dengan tenaganya.

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, akhirnya Thian Jie perlahan menutup matanya dan perlahan dia mendesiskan sesuatu yang sejak ditemukan gurunya selalu disuarakannya tanpa sadar:
jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam
Berkali-kali dia menggumam seperti itu, tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Bahkan kesakitan dan penderitaan yang diakibatkan hawa sakti berlebihan itu mulai menusuk-nusuk jantungnya, dan seperti uraian gurunya, bila mulai mengarah ke jantung dan hati, maka itulah saat-saat menentukan apakah seseorang akan bertahan atau tidak. Semakin sakit, berarti semakin dekat dengan akhir kehidupan. Dan itulah yang dialami Thian Jie, semakin lama semakin sakit menusuk, dan diapun mengerti akhir kehidupannya sudah menjelang datang. Tapi ketika rasa sakit yang meningkat itu semakin tak tertahankan, berada diantara sadar dan tidak sadar, tiba-tiba tangannya menggenggam gelang gemuk berwarna perak ditangannya, dan tiba-tiba terngiang wajah kakeknya tercinta, dan teringatlah wejangan-wejangannya pada saat-saat terakhir berpisah:

“Baik dan yang terakhir, terimalah gelang perak ini (sambil menyerahkan dan mengenakan sebuah gelang perak yang sedikit gemuk karena berongga didalamnya). Ingat dan camkan, jangan pernah mencoba membuka gelang ini dan membaca isinya sebelum waktunya. Kamu sanggup?

“Pada saat kamu merasa sepertinya akan mati karena penuh hawa, daya dan tenaga yang berontak. Pada saat kamu merasa tiada daya lagi, kamu ingat ayahmu dan kakekmu, maka saat itulah kamu boleh membukanya. Ingat dan camkan waktunya”

Seberkas harapan seperti membersit disanubarinya. Bukan percuma kakeknya memesankan hal yang sama, yang diingatnya hanya dalam sanubarinya, tanpa tahu lagi siapa kakek itu dan siapa ayahnya dan apa pula kehormatan lembahnya. Tidak, yang dia ingat adalah, saat kapan harus membuka gelang itu dan saat ini pasti waktu yang diperhitungkan kakeknya, ya saat ini. Bila tidak, kapan lag? Bukankah penderitaan ini sudah mendekatkannya pada liang kubur? Kapan lagi jika bukan sekarang?

Tiba-tiba diperolehnya kembali sedikit kekuatannya. Dengan sisa-sisa tenaga itulah, kemudian direnggutkannya gelang itu. Dan sambil menahan kesakitan yang dalam, dia kemudian memencet gelang ditangannya itu dan sebuah helai kertas penuh tulisan terpampang dihadapannya.

Apa pula maksudnya? Pikir Thian Jie. Apakah sesuatu yang akan memberi petunjuk bagaimana mengatasi kesulitanku ini? Pikirnya lagi. Apapun, lebih baik dibaca. Sebab bukan tanpa sebab kertas itu dimasukkan dalam gelan oleh kakeknya. Maka perlahan-lahan dibukanya kertas itu dan dengan susah payah, dibacanyalah tulisan kakeknya yang hanya beberapa kalimat:

Bumi … dalam diam & kekokohannya …. menampung segenap kekuatan. Kekuatan apapun.
Lautan …. dalam ketenangannya … menampung seluruh air di jagad raya.
Angkasa Raya … dalam gemulai geraknya ….. mewadahi seluruh hembusan angin alam raya.
Maka …..
…… Kokohlah, sekokoh bumi
…… Tenang setenang samudra raya
…… Bergerak bagaikan angkasa raya
Manusia laksana bumi, seperti lautan, bagaikan angkasa
Pasrah akan sekokoh bumi
Pasrah akan setenang samudra
Pasrah akan seelastis angkasa raya
Karena ….. Manusia adalah alam dalam bentuk mini

Pikiran Thian Jie sejenak tumplek atas isi kertas itu, dan melupakan sakit yang menusuk ulu hati dan jantungnya. Kekuatan apa yang tidak bisa ditampung bumi, aliran air mana yang tidak ditampung lautan, dan gerak angin apa yang tidak menyatu di ruang angkasa raya. Manusia adalah alam dalam bentuk mini, tentunya manusiapun bisa menampung semua hawa, semua kekuatan, semua gerakan.

Secara kebetulan, sangat kebetulan sejak meninggalkan lembah, Thian Jie sudah terbukti pernah dan sanggup memasrahkan hidupnya atas kekuatan dan kekuasaan alam. Thian Jie pernah memasrahkan nasibnya atas aliran sungai dan membiarkan gerakan aliran sungai untuk membimbingnya entah kenapa. Dia, hanya memasrahkan semua, dengan perlindungan otomatis hawa tenaga kakeknya yang mengeram dalam pusarnya.

Dan karena itulah, Thian Jie terkenang dengan kalimat yang selalu didesiskannya jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam. Pasrah terhadap alam, biarkan pikiran kosong, ikuti arus air, jangan melawan. Itulah pikir Thian Jie, itu yang harus dilakukannya …. Pasrah terhadap alam, kosongkan pikiran dan jangan terganggu apapun, ikuti arusnya air dan jangan dilawan. Seperti mendapat kekuatan baru, tiba-tiba Thian Jie mengulang kembali apa yang pernah disebutkan kakeknya sebelum berpisah:

Pasrah …. Membiarkan semua hawa itu mengganyang entah kemanapun disemua sudut tubuhnya, membiarkan hawa itu mengalir kemanapun dia mau, biarkanlah kemanapun dia mau, jangan dihambat, jangan ditentang, dan biarlah dia menentukan bagaimana dan apa akhirnya.

Kosongkan Pikiran …. Hanya dengan mengosongkan pikiran maka kesakitan yang diciptakan oleh gerakan hawa itu menjadi tidak terasakan, maka kosongkanlah, lupakanlah segala apapun, biarkan semua kekuatan dan hawa itu bermain-main sesuka hatinya.

Ikuti Arus air …. Ikuti saja kemana hawa itu mau bergerak, toch pada akhirnya arus itu akan bermuara disebuah tempat dimana gerakan arus itu kemudian tertampung dan kemudian diam tidak beriak.

Jangan melawan …. Inilah kuncinya, jangan melawan arus kekuatan itu, karena semakin dilawan dan ditentang akan semakin kuat dia menerjang kemana-mana. Kekuatan sekuat apapun, akan menemukan tempat yang tepat apabila tidak ditentang, dan suatu saat akan reda dengan sendirinya.

Bila manusia adalah alam dalam bentuk mini, maka semua kekuatan yang bisa diserap alam, apakah kekuatan, ketenangan, gerakan atau apapun pasti bisa diserap manusia. Masalahnya, apakah cukup punya keyakinan dan kekokohan hati dan batin untuk membiarkan diri sendiri dalam percobaan yang berbahaya itu.

Untungnya, Thian Jie, memang tidak punya pilihan lain selain melakukannya, membiarkan dirinya bengkok kekiri dan kekanan, membiarkan tangannya bagaikan lemas tak bertulang diterjang aliran hawa, membiarkan kepalanya bagaikan bengkok dan bonyok-bonyok dengan tidak merasa sakit karena pikiran kosong dan pasrah. Sepanjang waktu 2 hari 2 malam dia membiarkan hawa tersebut bermain-main, menerjang kesana kemari, membentur kekiri dan kekanan.

Bahkan, bentuk tubuhnya kadang mengembang kekiri dan kekanan, besar kecil tangan dan kakinya, bahkan badannya kadang mengembang tidak keruan. Tetapi, Thian Jie membiarkan semuanya terjadi dan pasrah mengikuti arah dan elastisitas yang dibutuhkan oleh kekuatan yang membahana dalam dirinya. Bahkan terkadang dia mumbul kesana kemari dan membuat tubuhnya lecet-lecet disana-sini. Tetapi yang pasti, dia menyerahkan semua atas nasib dan takdirnya.

Dan setelah 2 hari 2 malam, perlahan-lahan aliran hawa tersebut mulai mereda, tidak lagi melontarkannya kekiri dan kekanan atau mumbul keatas. Tidak lagi memperbesar dan mengerutkan besar kecil tubuhnya. Pada akhirnya, benar bila pikiran bisa dikosongkan, bila manusia adalah alam mini, maka manusia mampu menampung semuanya, bahkan hingga suatu saat menggerakkan semuanya.

Setelah merasa mampu mengamankan, menyimpan, menjinakkan dan mengendapkan semua hawa yang bergerak-gerak selama 2 hari, perlahan kemudian Thian Jie mencoba cara mengedalikan hawa yang diajarkan gurunya. Tetapi, itupun dilakukannya dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Kondisi fisiknya sebetulnya sudah sangat mengenaskan. Baju terkoyak-koyak, nyaris telanjang bulat, bahkan sudah lecet-lecet disana sini, dan usaha keras yang dilakukannya jelas banyak menguras kekuatan fisiknya.

Tetapi, semangat dan kemauan anak ini memang luar biasa. Masih sanggup perlahan-lahan dia menggerakkan hawa di pusarnya, sedikit saja, karena dia khawatir hawa itu kembali berontak dan menghantamnya didalam. Tetapi, perlahan dan sedikit demi sedikit dia membangkitkan kekuatan itu, membawanya berputar mengelilingi pusar, bahkan badan dan menyalurkan ke kaki dan tangannya. Begitu terus menerus dan ditingkatkannya kekuatan itu perlahan-lahan, hingga makan waktu beberapa jam.

Hampir dia berteriak kegirangan, setelah usahanya setengah harian, ketika menurut petunjuk gurunya, pada saat membangkitkan hawa sakti dalam pusar tidak lagi mengalami hambatan mau digerakkan kekiri atau kekanan, keatas atau kebawah dengan sama lancarnya, sama cepatnya, atau bahkan mampu menggerakkan sesuka hati, maka artinya penguasaan hawa sakti tersebut sudah sempurna dan tuntas.

Bahkan tiada lagi perbedaan antara im dan yang, antara keras dan lunak, karena sudah sanggup meresap dan sanggup menyatu dengan kerangka wadag. Dan upaya setengah hariannya itu, mulai mampu menggerakkan tenaga di tantiannya sesuai kebutuhannya. Sungguh Thian Jie bergirang, bagaimana tidak, dari nyaris mati, dia justru sanggup meleburkan semua kekuatan yang dimilikinya, baik kekuatan dari kakeknya, bantuan gurunya, hasil latihannya maupun tenaga Matahari dan Bulan. Semua bisa didasarkannya, dikokohkannya dalam tubuhnya, bahkan diserapnya habis dan mulai bisa dikendalikannya sesuka hatinya.

Mimpipun Thian Jie tidak menyadari bahwa kata-kata bijak dari kertas itu, adalah sumber perseteruan kakeknya dengan pendekar-pendekar dari Thian Tok. Lembaran itupun, sebetulnya hanya 1 bagian dari 3 lembar kertas yang dimiliki oleh Pendekar dari Thian Tok yang memperoleh dan diterjemahkannya dari sebuah negri yang bernama Jawadwipa.

Negri yang memiliki pulau yang sangat banyak dan sangat berlimpah kekayaan alamnya, sangat subur dan memiliki tingkat kebudayaan yang cukup tinggi. Negri yang juga meyakini bahwa manusia adalah bagian dari alam, bahwa manusia adalah sebuah miniatur alam dan untuk mencapai kesempurnaan harus memasrahkan diri dalam sebuah kesatuan dengan alam. Karena itu, keselarasan antara manusia dan alam adalah sebuah keniscayaan dalam keyakinan kepercayaan masyarakat di Jawadwipa.

Harmonisasi manusia dengan alam adalah sebuah capaian luar biasa dalam tardisi kehidupan disana. Dan lembaran pertama dari 3 lembar itu yang justru telah menyelamatkan Thian Jie dari kematian akibat hawa sakti yang sangat menakutkan itu.

Setelah setengah harian melatih penyaluran hawa sakti tersebut dan menemukan kenyataan betapa dia tidak mengalami kesulitan lagi dengan hawa saktinya, Thian Jie kemudian memutuskan untuk mengakhiri Samadhi dan latihannya. Tetapi, dalam kagetnya, dia meloncat untuk turun dari tempat samadhinya, justru mengangkat tubuhnya demikian ringan, bahkan seakan dia bergerak seringan angin.

Sungguh terkejut dan takjub pemuda ini menemukan kenyataan betapa kekuatan Sinkangnya sudah melejit jauh tanpa diduganya. Luar biasa kagetnya dia menemukan kenyataan tersebut, karena nampaknya kekuatan sinkangnya sudah melaju jauh diluar dugaannya sekalipun. Dia bergerak beberapa kali dengan sangat leluasa dan ringan dan mencoba beradaptasi dengan keadaan dirinya yang baru.

Bagaimana mengerahkan tenaga secukupnya untuk sebuah atau beberapa gerakan normal, dan bagaimana takaran yang pas untuk gerakan tersebut. Kondisi semacam itu harus diadaptasikannya agar tidak mengganggu.

Tetapi, disamping kegembiraan atas kemajuannya itu, diapun membayangkan dengan ngeri impian semalam suntuk yang sukar enyah dari pikirannya bersama seorang gadis yang dikaguminya, Giok Hong. Tetapi karena gadis itu tidak lagi ada bersamanya, entah kemana, maka dia menganggap bahwa semua itu hanyalah khayalan semata.

Banyak pikiran yang berseliweran karenanya, tetapi karena ketika menyelesaikan samadhinya hari masih sangat pagi, dan tiba-tiba disadarnya bahwa dia atau perutnya sungguh sangat menuntut untuk diisi, maka diputuskannya untuk memulihkan kondisi fisiknya. Dengan kondisi awut-awutan, Thian Jie kemudian mengusahakan makanannya sendiri.

Dan kemudian akhirnya setelah kebutuhan makanan untuk fisiknya terpenuhi, Thian Jie memutuskan untuk melatih kembali seluruh Ilmu Silatnya. Hal ini diperlukannya untuk membiasakan penggunaan ilmunya dengan landasan kekuatan baru yang belum diketahuinya sampai dimana takarannya. Dimulai dari memeriksa kembali kandungan hawa saktinya, yang dengan segera ditemukannya betapa dengan leluasa dia sudah sanggup menyalurkan kemana saja dia mau.

Sinkangnya yang didasarkan terutama atas hawa “im” yang “lemas” sesuai dengan ciri khas Lembah Pualam Hijau, bahkan sudah bisa dirubahnya seperti beraliran “Yang” atau “keras”. Bahkan sudah bisa dilakukannya dengan leluasa, meskipun baru sebatas merubah-rubah semacam itu yang mungkin dan sanggup dilakukan Thian Jie.

Seterusnya, ketika kemudian dia memainkan Ilmu-ilmu pusaka keluarganya, Giok Ceng Cap Sha Sin Kun, Soan Hong Sin Ciang, Toa Hong Kiam Sut dan semua Ilmu yang dikuasainya, terasa perbawanya meningkat dengan sangat tajam. Gerakannya juga terasa sangat mantap sekaligus ringan. Dan yang paling menggembirakannya adalah ketika dia mampu memainkan jurus mujijat ciptaan terakhir dari Kiang Sin Liong, yakni Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari) dengan sangat baik. Bahkan membuatnya menjadi terkesima ketika nyaris tidak ada lagi kesulitannya dalam bersilat dengan perbawa yang bisa diatur sekehendak hatinya.

Entah mau menampilkan yang berhawa “im“ ataupun yang berhawa ”yang“ dan merubah-rubahnya sekehendak hatinya. Ketika dia mulai mampu memainkan jurus pamungkas gurunya dengan baik, diapun menemukan kenyataan bahwa Ilmu tersebut memang sungguh ampuh. Meskipun Thian Jie masih belum sadar, bahwa keampuhannya akan berlipat ganda bagi lawan yang menghadapinya.

Karena dari tubuhnya menguap dan mengepul awan putih yang merusak pandang mata dan mempengaruhi mata dan cara pandang lawan. Dalam puncak penggunaan ilmu itu dengan landasan kekuatan sinkangnya yang baru, dia membuat kondisi alam disekitarnya seperti menderu-deru, meskipun tidak ada kerusakan berarti secara fisik. Begitupun, Thian Jie paham, bahwa sepenuhnya dia masih harus merenungkan dan mendalami Ilmu tersebut.

Sebagaimana pesan gurunya, Ilmu yang diciptakannya tersebut, akan mencapai kesempurnaan, manakala terus didalami, dicerna dan digali potensi pengembangannya. Bukan untuk menakut-nakuti orang, tetapi untuk menangkal hawa sesat, memunahkannya dan bila perlu menghancurkan kekuatan sesat tersebut.
 
2 Aib dan Kesembuhan bagian 2





Dengan segera dia sadar, bahwa dia mengalami kemajuan yang luar biasa dalam penggunaan Ilmu Silatnya, dan membuatnya menjadi semakin gembira. Karena bukan saja kekuatan sinkangnya yang maju pesat, tetapi pendalamannya atas kekuatan Ilmu Pamungkas yang diciptakan gurunya meningkat tajam. Juga, ketika dia memadukan beberapa gerakan yang selama ini sudah dikuasainya, baik dalam Ilmu Giok Ceng Cap Sha Sin Kun, Soan hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, hasilnya luar biasa.

Tangannya bahkan bisa menghasilkan hawa pedang mendesis tajam bila bermain dengan Toa Hong Kiam Sut. Bahkan yang tidak dan belum disadari Thian Jie adalah kemampuannya menghasilkan hawa khikang, hawa pelindung tubuh, ketika sedang memainkan ilmunya dalam tataran tinggi. Setelah merasa puas, akhirnya Thian Jie kemudian menyelesaikan latihannya. Melepaskan kendali atas kekuatannya dan menyimpannya kembali kedalam tantian.

Sungguh banyak yang kemudian kembali dipikirkan oleh Thian Jie, baik kepandaiannya yang meningkat tajam tanpa disadarinya, maupun persoalan-persoalan yang dialaminya paling akhir. Terutama dengan Giok Hong yang dia sendiri tidak mengerti apakah nyata ataukah tidak. Tapi karena Giok Hong tidak berada bersamanya, dia menjadi sedikit senang dan beranggapan kenangan itu hanyalah hayalannya semata. Dan dia sungguh berharap demikian, meskipun dalam hati dia merasa berdebar-debar, karena khayalan itu baginya terasa sangat nyata dan sungguh melenakan.

Tetapi sesaat kemudian Thian Jie teringat bahwa dia membawa sebuah pesan dan permohonan gurunya kepada Kim Ciam Sin Kay. Bahkan, diapun membekal sesuatu yang menurut gurunya sangat penting. Termasuk melibatkan kepentingan dirinya dan harus cepat disampaikan kepada Kay Pang Pancu, Kim Ciam Sin Kay. Dengan pikiran demikian, Thian Jie akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju Markas darurat Kay Pang di timur kota Pakkhia untuk membicarakan permintaan gurunya kepada Kim Ciam Sin Kay.

Ketika memasuki markas Kay Pang di Pakkhia, Thian Jie menjadi terkejut karena melihat kesibukannya yang sudah berubah 180 derajat. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika dia berada di Markas ini, nampaknya aktifitas tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebaliknya sudah dilaksanakan berterang, dan kelihatan begitu banyak orang yang berlalu lalang seperti sedang menyiapkan sesuatu untuk dikerjakan oleh Kay Pang.

Bahkan banyak diantara orang-orang itu baru pertama kali disaksikan oleh Thian Jie sehingga membuatnya pangling. Wajar bila Thian Jie tidak mengenal banyak tokoh baru yang sekarang sedang berada di Markas Kay Pang di luar Kota Raja Pakkhia (Peking) itu. Hal ini terutama diakibatkan oleh pembersian cepat dan konsolidasi cepat yang dilakukan Kay Pang, dan melemahnya kekuatan Hek-i-KayPang yang ditinggal tokoh-tokoh utamanya.

Tetapi, ketika semakin mendekati markas tersebut, beberapa orang yang sudah lama berada di Markas tersebut sudah langsung bisa mengenali Thian Jie. Bahkan cara menghormat orang itu nampak sekali sangat luar biasa, seakan Thian Jie telah melakukan sesuatu yang sangat luar biasa bagi orang-orang tersebut. Thian Jie tidak menyadari bahwa namanya semakin menjulang manakala Dunia Persilatan mendengar kabar See Thian Coa Ong terluka parah ditangannya bersama Giok Hong. Pengemis Tawa Gila dengan senang hati menyebarkan kejadian itu:

“Tayhiap, mari. Pangcu sudah lama menanti-nanti” Beberapa orang yang mengenalnya segera mempersilahkan Thian Jie masuk, dan kemudian menugaskan orang mengantarkan Thian Jie memasuki markas mereka.

Dan memang tidak lama kemudian, dari dalam markas Kay Pang nampak menyambutnya Pengemis Tawa Gila, kedua Hu-Hoat Kay Pang yang baru dibebaskan yang nampaknya sudah sehat dan pulih kembali, serta juga Mei Lan. Begitu melihatnya, tawa khas si Pengemis Tawa Gila segera berkumandang menyambut kedatangan Thian Jie:

“Hahahahaha, Ceng-i-Koai Hiap, sungguh luar biasa engkau sanggup melukai See Thian Coa Ong. Tapi, dimanakah Siangkoan Kouwnio”?

“Ach, biasa saja Paman Pengemis. Akupun heran, setelah kami berbenturan hebat dengan See Thian Coa Ong dan terlempar kedalam Gua, begitu siuman, nona Siangkoan sudah berada entah kemana”

“Anak muda, kesanggupan kalian melukai See Thian Coa Ong hingga demikian parah sungguh luar biasa. Bukan saja telah menyelamatkan Pangcu kami, tapi juga telah menyelamatkan banyak nyawa anggota Kay Pang. Kami sungguh berterima kasih” Pek San Fu, salah seorang Hu-Hoat Kay Pang sudah menjura memberi hormat kepada Thian Jie. Hal yang malah membuat Thian Jie menjadi sangat sungkan dan rikuh,

“Ach, Locianpwe, hal itu kejadian biasa saja. Kamipun terpukul roboh dan pingsan beberapa hari oleh pukulan orang tua lihay itu” Thian Jie merendah.

“Sebaiknya kita bercakap-cakap di dalam, Pangcu tentu senang bertemu dengan Thian Jie yang sudah banyak membantu Kay Pang” Akhirnya Pengemis Gila Tawa menyela percakapan dengan mempersilahkan semua masuk. Mei Lan ikut masuk sambil memandangi Thian Jie penuh tanda Tanya dan penuh makna.

Kim Ciam Sin Kay, adalah seorang pengemis yang kini sudah berusia cukup tua, sudah mendekati usia 70 tahunan. Karena itu, kondisi tubuhnya yang disekap lebih dari lima tahun terakhir ini, sungguh sangat membuat keadaan fisiknya merosot tajam.

Tetapi, meskipun demikian, setelah mengobati dirinya dan total beristirahat selama 3 hari penuh, secara perlahan dia mulai menemukan kesembuhannya lagi. Kakek Pengemis yang sakti ini, juga semakin menyadari bahwa usia tuanya tidak memungkinkannya untuk banyak bergerak dan banyak beraktifitas lagi. Justru karena itu, dia memerintahkan semua tenaga yang tersedia di Pakkhia untuk melindungi markas ini.

Tetapi di luar dugaannya, setelah mengetahui Pangcu mereka telah bebas, banyak anak murid Kay Pang yang memang hanya berpura-pura takluk, kembali menyatakan kesetiaannya kepada Kay Pang. Dan karena itu, proses pembersihan terus dilakukan, malah dilakukan dengan mudah. Bahkan Perdana Menteri Kerajaan Cin yang khawatir dengan imbas permusuhan dengan Kay Pang, telah menarik dukungannya atas Hek-i-Kay Pang dan menarik tentaranya dari penjagaan atas markas Hek-i-Kay Pang di Kota Pakkhia. Hal ini boleh terjadi karena secara tiba-tiba, semua kekuatan Thian Liong Pang di Pakkhia dan bahkan di banyak tempat, tiba-tiba meraibkan dirinya.

Itulah sebabnya Kay Pang dengan cepat kembali memulihkan kekuatannya di Pakkhia, dan ketika Thian Jie datang ke markas Kay Pang di luar kota Pakkhia, kebetulan Tek Hoat sedang melakukan pembersihan di Kota Pakkhia. Dengan menggunakan wibawanya dan juga dengan bekal Kiu Ci Kim Pay milik gurunya yang memiliki pengaruh sangat besar atas Kay Pang, usahanya berlangsun cepat dan gilang gemilang.

Dan siang itu, Kim Ciam Sin Kay nampak sudah bisa duduk dengan anggunnya di kursi khusus yang disediakan bagi seorang Pangcu Kaypang. Memang, sejak pagi hari, Pangcu ini mulai bertugas seadanya, terutama dengan menerima laporan-laporan perkembangan terakhir dari kondisi Kay Pang di utara sungai Yang ce ini.

Meskipun kondisinya belum pulih benar, tetapi Kim Ciam Sin Kay memaksakan dirinya untuk mendengarkan semua laporan yang dibawakan oleh banyak orang, terutama dari lingkungan Pakkhia dan sekitarnya. Nampaknya, selama 5 tahun lebih, pengaruh Hek-i-Kay Pang sudah cukup menyebar di 5 propinsi utama di utara sungai Yang ce.

Tetapi syukurlah, karena nampaknya pukulan berat yang dialami Hek-i-Kay Pang telah banyak menarik kembali tokoh tokoh utama Kay Pang, baik yang tunduk bersiasat, maupun yang disekap oleh pimpinan Hek-i-Kay Pang. Hal yang disyukuri oleh sang Pangcu, meski juga sedih dengan kejadian memalukan yang menimpa Pangnya beberapa tahun terakhir.

Siang hari itu juga, Kim Ciam Sin Kay menerima kedatangan 5 dari 11 Kay Pang Cap It Ho Han didikan langsung Kiong Siang Han. Tokoh-tokoh ini memang disiapkan khusus oleh Kiong Siang Han yang melihat betapa Kay Pang semakin melemah. Dan mengantisipasi jauh-jauh hari kemunduran yang lebih parah, Kiong Siang Han di masa-masa menyendiri, telah memilih 11 Pengemis yang cukup berbakat untuk dilatihnya sedemikian rupa guna melindungi Kay Pang yang semakin mundur.

Ke-5 Pengemis lihay dari pusat Kay Pang tersebut sedang mendampingi Tek Hoat, yang sudah mereka kenal dengan baik, dalam melakukan pembersihan di Pakkhia. Kedatangan kelima orang itu sungguh memperkuat upaya pembersihan di Pakkhia dan utara Yang ce, dan direncanakan 2 hari lagi akan dilakukan penyerbuan terakhir ke markas utama Hek-i-Kay Pang di sebelah utara Kota Pakkhia. Padahal, markas itupun sebenarnya sudah ditinggalkan tokoh-tokoh utamanya.

Kim Ciam Sin Kay, baru menerima Thian Jie setelah makan siang, karena memang Thian Jie memasuki markas Kay Pang selepas jam tersebut. Dan Thian Jie, tentu saja atas jasanya, tidak menunggu waktu lama untuk diterima oleh Kay Pang Pangcu. Dan bahkan Thian Jie diterima secara istimewa di kamar istirahat Pangcu yang agak luas dengan ditemani Pengemis Tawa Gila, Mei Lan dan kedua Hu-Hoat Kay Pang.

“Hahahaha, mari anak muda yang hebat. Sungguh kehebatanmu mengingatkan aku akan Naga-naga hijau dari Lembah Pualam Hijau” Kim Ciam Sin Kay sudah langsung menduga Thian Jie dari perguruan Pualam Hijau dari gerakan silat yang disaksikannya dahulu.

“Tecu Thian Jie memberi hormat kepada Pangcu” Thian Jie tentu mengerti tata krama dan paham betul bahwa Pangcu Kaypang adalah salah satu tokoh terkemuka dewasa ini.

“Ya, bangunlah anak muda. Kedua kakak beradik she Liang sudah menceritakan masa lalumu yang gelap. Bolehkah lohu menelisik sebentar keadaan kepalamu?” Kim Ciam Sin Kay menggapai kearah Thian Jie dengan maksud mengadakan pemeriksaan awal.

“Silahkan lopangcu” Thian Jie kemudian duduk mendekat kearah pembaringan dimana Kim Ciam Sin Kay duduk. Tak beberapa lama kemudian Kim Ciam Sin Kay yang memang adalah murid raja obat dan mungkin tokoh paling mahir menggunakan jarum emas dewasa ini bersama gurunya, melakukan pemeriksaan seperlunya. Dia mengusap-usap dan menekan sebentar kepala Thian Jie dan malah mengusap-usap kepala itu, dan beberapa ketika kemudian memeriksa denyut nadi dan jalan darah di dada Thian Jie.

Kemudian terlihat memijit-mijit sebentar, sementara matanya nampak sebentar mengernyit, sebentar nampak kagum seperti tak percaya dan kemudian nampak agak tergetar. Dan tidak lama kemudian telah melepaskan tangannya dari kepala Thian Jie dan memandang anak muda tersebut dengan kagum tapi sekaligus terharu.

“Anak muda, sungguh sebuah keajaiban alam yang kau alami. Tapi, juga bukan pekerjaan mudah untuk meluruskan yang sedang bengkok menyimpang. Tapi sayang, kondisiku sedang sangat lemah” Berkata Kim Ciam Sin Kay dengan tidak menyembunyikan kekaguman dan kemuraman akibat belum mampunya dia menangani penyakit Thian Jie.

“Lopangcu, bila tecu tidak salah, tenaga sakti lopangcu sedang tergetar cukup parah. Bahkan seperti menyebar, hanya karena kekuatan iweekang losuhu maka iweekang yang menyebar itu tidak buyar dan sirna” Berkata Thian Jie dan membuat banyak orang heran, bahkanpun termasuk Kim Ciam Sin Kay yang kemudian memandangnya tidak percaya.

“Hm, kau bisa merasakan betapa hawa murniku seperti sedang membuyar”? bertanya Kim Ciam heran.

“Bukan hanya sedang membuyar, tetapi seperti sedang menyebar kemana-mana dan butuh waktu lama menjinakkannya dalam tantian. Akan makan waktu sangat lama bila dibiarkan berhari-hari lagi kedepan” jelas Thian Jie.

“Hebat anak muda, sudah 3 hari ini lohu berusaha untuk menyatukannya, tapi nampaknya akan butuh waktu bertahun-tahun untuk memperoleh kembali kekuatanku seutuhnya” jawab Kim Ciam Sin Kay.

“Bila lopangcu bersedia, tecu bisa membantu lopangcu untuk menjinakkan tenaga yang menyebar kemana-mana itu” tawar Thian Jie. Semua menjadi sangat terkejut, baik kedua Hu-Hoat, Pengemis Tawa Gila, Mei Lan bahkanpun Kim Ciam Sin Kay. Karena dengan kekuatan sinkang Pangcu Kay Pang saat ini, maka hanya tokoh-tokoh sekelas Kiang Cun Le, Keempat Tokoh Gaib, Pendeta Wanita Sakti di Timur, dan beberapa tokoh gaib yang sudah menghilang yang sanggup membantunya.

Bahkan para ketua perguruan besar, masih belum sanggup menyatukannya. Tentu memang mereka tidak tahu, bahwa bahkan Thian Jie sendiripun baru memperoleh pengetahuan lebih dalam soal tenaga sakti. Terutama setelah dia menyelami makna tenaga dan hawa manusia dari petunjuk tersembunyi dari sebuah kitab yang berasal dari timur, dari jawadwipa. Yang dipahaminya pada detik terakhir dan berhasil merenggut kembali nyawanya dari jemputan malaekat elmaut.

Sampai lama Kim Ciam Sin Kay terpana dan kaget dengan tawaran Thian Jie. Pertama, dia sadar bahwa terdapat keanehan yang hanya dimungkinkan oleh alam dan takdir dalam diri Thian Jie. Ketika mengusap kepala Thian Jie, dia tahu apa yang sedang diderita Thian Jie, dan tahu pula ada keanehan dalam struktur kepalanya yang terguncang dan melahirkan kekuatan aneh baginya.

Kedua, dia tahu bahwa Thian Jie adalah murid seorang guru yang sangat ampuh, tetapi baginya pengetahuan itu belum cukup untuk menyembuhkannya.

Ketiga, dalam perkelahian dengan See Thian Coa Ong, dia memang melihat sebuah tenaga tersembunyi yang kadang terlontar dari anak ini. Mungkinkah memang benar aak ini mampu melakukannya”? Melakukan sesuatu yang hanya sanggup dilakukan tokoh tokoh terutama dunia persilatan dewasa ini. Tapi, dengan bijaksana dia kemudian berkata:

“Baiklah anak muda, cobalah kau pegang tanganku dan kemudian periksalah sekemampuanmu” Kim Ciam Sin Kay kemudian mengulurkan tangannya ke arah Thian Jie. Jelas dengan penuh keraguan.

“Pangcu, tapi ….. apakah. ….. apakah”? Ceng Hu-Hoat tak sanggup meneruskan kalimatnya, khawatir menyinggung perasaan Thian Jie.

“Ceng Hu-Hoat, bila tidakpun, lohu harus bersembunyi selama lebih dari 10 tahun untuk memulihkan kekuatan. Kecuali kalau Hiongcu kita, Kiong Siang Han, muncul dan memulihkanku. Toch, anak muda ini ingin melihat keadaanku semata” Jelas Kim Ciam Sin Kay. Pek San Fu, Pengemis Tawa Gila dan Ceng Hu Hu Hoat tak sanggup bicara lagi. Ketiganya mengerti, bahwa dalam hal pengobatan mereka tidak nempil melawan Pangcu mereka yang terhitung sangat mahir dalam bidang itu. Sementara Mei Lanpun memandangi Thian Jie setengah percaya, setengah kaget dans etengah kagum.

“Mari anak muda” undang Kim Ciam Sin Kay kemudian untuk mencairkan suasana yang sempat menyuram itu.
Thian Jie segera memusatkan perhatiannya, mengerahkan tenaga sakti yang sudah bisa dikendalikan semaunya dan kemudian memegang tangan kanan Kim Ciam Sin Kay persis di urat nadinya. Beberapa saat nampak keduanya kadang tergetar, kadang muram, kadang kemudian tenang lagi, dan tidak lama kemudian Thian Jie sudah menyelesaikan proses meneliti keadaan tenaga sakti Kim Ciam Sin Kay. Setelah termenung sejenak, terdengar kemudian Thia Jie berkata kepada Kay Pang Pangcu:

“Lopangcu, bila diijinkan, tecu bisa membantu lopangcu, tetapi dibutuhkan waktu mungkin sehari semalam untuk melakukannya. Menjinakkan tenaga yang menyebar, mengumpulkannya dan kemudian melandaskannya kembali bersama dengan sumber tenaga murni lopangcu di tantian”

Sementara itu, Kim Ciam Sin Kay, masih memandang Thian Jie terbelalak, masih belum percaya dengan hawa sakti bergulung-gulung yang keluar dan terpancar dari tubuh Thian Jie. Keringat yang menetes bukan karena kelelahan, tetapi karena sesatu yang membuat dia nyaris tak percaya.

Kekuatan tenaga sakti semacam yang dimiliki oleh Thian Jie, bagi Kim Ciam Sin Kay, hanya dimiliki tokoh sekelas Pendekar Gaib masa kini, Kiong Siang Han dan generasi angkatan Maha Guru Kaypang itu dari Siauw Lim Sie, Lembah Pualam hijau dan Bu Tong Pay. Mana mungkin seorang anak bau kencur macam Thian Jie malah kini memilikinya? Bahkanpun nampak sudah sanggup mengendalikan tenaga mujijat itu dengan baik.

Sungguh tidak masuk diakal, dan siapa pula yang bisa mempercayainya?. Karena itu, Kim Ciam Sin Kay, butuh waktu lama untuk sadar dari keterpanaannya atas sesuatu yang ganjil dan masih tetap tidak masuk diakalnya. Dia memang tahu, bahwa Lembah Pualam Hijau memiliki latihan Sinkang Giok Ceng yang berkhasiat menyembuhkan luka dalam akibat membuyarnya kekuatan Iweekang. Tapi yang bisa melakukan hal semacam itu, hanya tokoh puncak mereka. Bahkan Kiang Hong masih diargukannya mampu melakukan hal itu. Tetap sulit diyakininya, meski kenyataan terpampang didepan mata kepalanya:

“Luar biasa …. Anak muda, semuda ini engkau sudah menguasai sinkang setinggi dan seajaib itu”?

“Lopangcu, entah bagaimana ketika terpukul keracunan oleh See Thian Coa Ong, dalam keadaan hampir mati, tecu teringat dengan kalimat-kalimat rahasia dari kakek. Setelah itu, selama 2 hari 2 malam, tecu mencoba untuk menaklukkan hawa yang bergulung-gulung di tubuh tecu sampai kemudian merasa jauh lebih baik” Jelas Thian Jie.

Tapi, Sin Kay cukup maklum, bahwa penjelasan Thian Jie tidaklah lengkap, dan tentu saja dia tidak boleh mendesak anak muda ini terlalu jauh. Selalu ada alasan seseorang untuk menyimpan sedikit dari keseluruhan cerita sebenarnya. Wajar.

“Lopangcu, apakah maksudmu ada kemungkinan Thian Jie koko bisa membantumu memulihkan kekuatanmu orang tua”? Mei Lan yang penasaran bertanya. Kepenasarannya tidak bisa disembunyikan dari tatap matanya.

“Kemungkinan itu hampir pasti, karena kekuatannya bahkan sudah mendekati kekuatan Kiong Siang Han Hiongcu pada masa masih aktif di dunia persilatan” berdesis Kim Ciam Sin Kay yang mengejutkan semua yang hadir.
“Maksud Pangcu”? Pengemis Tawa Gila bertanya

“Maksudku, akupun bingung bisa menemukan kejadian seaneh dan sejanggal ini. Tapi yang pasti, alam dan takdir anak ini memang luar biasa, terlampau luar biasa. Jangankan kalian, akalkupun tidak sanggup menguraikan kejadian ini, dan hanya Thian Jie seorang yang sanggup menjelaskannya”

“Ach, nampaknya lopangcu terlalu berlebihan” Thian Jie menjadi malu ketika diperhatikan semua orang. Dia merasa menjadi seperti manusia aneh ketika ditatap secara berbeda oleh segenap orang yang hadir dalam ruangan itu. Benar-benar gerah dan jengah Thian Jie jadinya.

“Lan moi, apakah kamu melihatku menjadi mahluk aneh?” tegur Thian Jie yang juga melihat pandangan aneh dan terperanjat yang berasal dari Mei Lan kearahnya.

“Sejak kamu diselamatkan dari sungai itu, kamu memang aneh koko” tangkis Mei Lan berkelit, dan dengan tepat dia menemukan kalimat yang membuat Thian Jie tidak bisa mengejarnya lagi.

“Sudahlah-sudahlah, keanehan Thian Jie justru adalah kebaikan buat dunia persilatan. Tapi, lohu harus mengorbankan beberapa waktu dan banyak tenaga untuk itu. Hu Pangcu, tolong diatur semua urusan Kay Pang selama anak muda ini membantuku. Harap kedua Hu-Hoat membantu Tek Hoat untuk membersihkan markas Hek-i-Kay Pang di pintu utara, lohu berkeyakinan anak ini bisa menyembuhkanku” Demikian perintah Kim Ciam Sin Kay yang gembira melihat kemungkinan sembuh yang besar dengan bantuan dari Thian Jie.

Demikianlah, memasuki sore hari, Thian Jie memasuki kamar bersama dengan Kim Ciam Sin Kay untuk memulai pengobatan. Sementara itu, Thian Jie sendiri meminta pertolongan Mei Lan untuk menunggui mereka. Tanpa sadar anak muda ini sudah memberi kepercayaan yang begitu besar kepada Mei Lan. Terlebih karena pengobatan dengan cara penggunaan iweekang memang sangat berbahaya, dan konsentrasi tidak boleh buyar. Maka Mei Lanlah yang mendapat tugas menjaganya.

Pertama dan yang utama, Thian Jie memang sangat mempercayai anak dara cantik yag merupakan penolongnya; Kedua, dia paham betul kemampuan gadis Bu Tong Pay ini. Selain itu kekuatan yang menerjang ke markas Hek-i-Kay Pang sudah lebih dari cukup untuk menuntaskan tugas tersisa itu.

Demikianlah, Thian Jie dan Kim Ciam Sin Kay kemudian tenggelam dalam pengerahan kekuatan. Thian Jie berusaha untuk menaklukkan tenaga Kim Ciam yang menyebar kemana-mana, dan kemudian menghalaunya ke tantian. Bahkan beberapa kali Thian Jie membisikkan beberapa kalimat rahasia dari kitab terjemahan yang berasal dari Jawadwipa, sehingga Kim Ciam sendiri, bukan hanya berhasil menghimpun tenaganya.

Bahkan selebihnya mendapatkan tambahan kekuatan sakti yang juga luar biasa kuat dan besarnya. Bahkan Mei Lan yang berkali-kali mengintai untuk memastikan keselamatan keduanya, beberapa kali melihat Thian Jie yang seperti diselimuti awan, sebentar putih, sebentar hijau, dan bahkan terkadang dipuncak pengerahan tenaganya, seperti tidak lagi duduk bertumpu di pembaringan.

Semuanya menambah kekaguman yang bahkan semakin lama semakin aneh di hati Mei Lan. Awalnya, cerita Pengemis Tawa Gila dan Pangcu Kay Pang yang menggambarkan keperwiraan Thian Jie tidak dianggapnya serius. Tetapi, melihat apa yang dikerjakan Thian Jie, mau tak mau dia menjadi percaya dan menumbuhkan kekaguman yang aneh dalam hatinya.

Bahkan tanpa disadarinya, sosok Thian Jie yang sama takarannya dengan Tek Hoat, mulai menjadi berkadar lain. Dia sudah tidak hanya memandang Thian Jie sebagai kakaknya, tetapi sudah memandang Thian Jie sebagai seorang “Pria”.

Sementara itu, pengobatan yang dilakukannya Thian Jie nampak berjalan sempurna dan sesuai harapannya. Bahkan, tanpa disadari keduanya, mereka sudah menapakkan kemampuan penguasaan tenaga sakti masing-masing satu tingkat lebih tinggi dan lebih dalam. Terutama bagi Kim Ciam Sin Kay. Dia merasa tenaga saktinya menjadi berlipat karena mendapat rangsangan dan mendapatkan gemblengan langsung dalam tubuhnya oleh hawa lembut Giok Ceng Sin Kang yang menjadi intisari sinkang Thian Jie.

Di luar pintu kamar, Mei Lan masih terus berjaga sambil bersamadhi untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Di luar perkiraan Thian Jie dan Kim Ciam Sin Kay, proses pengobatan ternyata berlangsung jauh lebih cepat. Pada pagi harinya, Kim Ciam sudah merasa sangat bugar, bahkan merasa tubuhnya jauh lebih ringan, dan tenaganya sudah pulih 100%. Dipandangnya Thian Jie yang nampak kelelahan, dan diisyaratkannya untuk berhenti, karena dia telah memeriksa tenaga dan fisiknya yang kini sudah tanpa halangan lagi. Akhirnya keduanya perlahan-lahan menarik kekuatan tenaga dalamnya dan kemudian perlahan-lahan bernafas seperti biasa kembali.

“Pangcu, ijinkan tecu untuk beristirahat di kamar sejenak. Lebih baik pangcu mengatur kembali tenaga pangcu sejenak, rasanya tidak ada halangan lagi” Setelah bicara demikian, Thian Jie kemudian meminta diri diikuti anggukan persetujuan Kim Ciam yang memang masih perlu melanjutkan beberapa saat lagi penuntasan bantuan pengobatan atas dirinya. Sementara Thian Jie, menjadi begitu terharu ketika menemukan di luar kamar Mei Lan masih berjaga sambil siulian. Dia menyentuh Mei Lan dan berbisik:

“Lan moi, pengobatan sudah selesai. Istirahatlah di kamarmu”

Perlahan-lahan Mei Lan memperoleh kesadarannya, dan menjadi heran karena Thian Jie sudah berdiri dihadapannya tanpa disadarinya.

“Koko, apakah pengobatannya sudah selesai, apakah berhasil”? Tanyanya penuh minat.

“Sudah, semua sudah selesai. Sebaiknya engkau istirahat dulu Lan Moi, akupun letih sekali” bisik Thian Jie sambil menuntun Mei Lan bangun dengan penuh haru dan kasih.

“Baiklah, kamu istirahat jugalah koko” Mei Lan kemudian beranjak dan berlalu ke kamarnya. Diiringi tatap mata penuh arti dari si anak muda.

================

Setelah beristirahat cukup, akhirnya sore menjelang malam hari Thian Jie meminta untuk bertemu secara khusus dengan Kim Ciam Sin Kay. Pangcu Kay Pang ini sudah segar bugar, sebeb siang hari setelah dia menuntaskan pengobatan atas dirinya, dia bahkan dengan girang menemukan kenyataan betapa sinkangnya sudah maju cukup jauh. Permintaan Thian Jie karena itu tentu dengan senang hati diterima oleh Pengemis Sakti Jarum Emas ini.

Bukan hanya karena permohonan penolongnya, tetapi karena dia masih tetap merasa aneh dan heran dengan keadaan Thian Jie, disamping ingin bertanya lebih jauh mengenai keanehan di kepala anak muda itu. Karenanya, Thian Jie diterimanya di kamar khususnya, bahkan tanpa ditemani seorangpun. Tetapi Thian Jie memesan, bila Mei Lan dan Tek Hoat ingin bergabung boleh dipersilahkan masuk, karena dijelaskannya kepada Kim Ciam, bahwa ada banyak cerita lain yang terkait dengan kedua anak muda itu. Terlebih, bagi Thian Jie, kedua kakak beradik itu merupakan keluarga terdekat baginya, selain gurunya.

Setelah itu, dalam pertemuan empat mata dengan Pangcu Kaypang Thian Jie kemudian menyerahkan sebuah surat yang ditulis gurunya, sambil berkata:

“Lopangcu, sebelum tecu turun gunung, Suhu menulis sebuah surat yang tecu sendiripun tidak tahu isinya. Bahkan suhu meminta, isi surat tersebut haruslah tecu dengar langsung dari pangcu dan tidak boleh membaca surat itu. Untuk saat ini, tecupun masih penasaran dengan isi surat tersebut, tetapi semua terserah kebijaksanaan Pangcu”

“Baiklah anak muda. Tapi sebelumnya biarlah lohu mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, baik bagi lohu sendiri maupun bagi Kay Pang. Setiap Pangcu Kay Pang memiliki tanda pengenal yang memiliki fungsi seolah-olah Pangcu berada di depan mereka bila diperlihatkan. Nach, Lohu menghadiahkan sebuah Lencana Pengenal buatmu anak muda.

Dengan lencana ini, kau diakui sebagai sesepuh dan sebagai warga kehormatan Kay Pang, sebegaimana dulu suhumu juga memperolehnya dari Kiong Siang Han Hiongcu. Dan mengenai surat dari suhumu, baiklah, coba lohu membacanya” Ucap Kim Ciam Sin Kay sambil memberikan sebuah Lencana yang berfungsi seperti Kim Pay, tanda pengenal Pangcu Kaypang dan menerima surat dari Thian Jie.

Thian Jie kemudian mengantongi dan menyimpan lencana tersebut dengan hormat, sementara itu Kim Ciam Sin Kay membaca surat yang mengagetkannya. Karena tanda pengenal Giok Ceng, menandakan pengirimnya adalah tokoh utama Lembah Pualam Hijau. Memang sudah diduganya, tetapi masih tetap mengagetkannya. Tapi yang membuatnya terperanjat adalah, pengirimnya adalah Pendekar legendaris seangakatan hiongcunya, Kiong Siang Han, yang menjadi dewa gaib dunia persilatan dewasa ini.

Sampai terhenyak Kim Ciam ketika menyadari sedang memegang dan membaca surat yang ditulis orang tua yang ditaksirnya sudah berusia lebih 100 tahun itu. Orang tua yang tidak kurang lihaynya dan tidak kurang terkenalnya dengan sesepuhnya yang sangat dihormatinya Kiong Siang Han. Bahkan Kiang Sin Liong ini termasuk sesepuh yang berhubungan sangat dekat dengan Kay Pang, sangat dekat malah. Dan hal ini bukan tidak diketahui sang Pangcu. Diam diam dia merasa bangga dihubungi dan disurati oleh tokoh gaib yang sulit sekali ditemui bahkan oleh tokoh tingkat tinggi seperti dirinya sekalipun.

Tetapi, lama kelamaan, isi surat itu menjadi bertambah mengejutkannya. Terkadang dia mengernyitkan kening, terkadang dia termenung, terkadang air mukanya sulit ditafsirkan. Tetapi, yang pasti kagetnya sungguh bukan kepalang. Kaget atas pengirimnya, atas isi suratnya dan atas nasib Thian Jie. Benar-benar keanehan yang sulit diterima akal, tetapi pada bagian paling akhir, dia merasa mendapat kehormatan besar, karena ternyata bahkan kasus ini juga diketahui Kiong Siang Han sesepuhny.

Lebih bangga lagi, karena dia memperoleh kesempatan memberi bantuan bagi upaya memadamkan badai dunia persilatan. Setelah selesai membaca surat itu, dengan air muka yang memancarkan banyak perasaan, Kim Ciam Sin Kay memandang Thian Jie. Perasaan kasihan dan haru, juga perasaan tercengang tak dapat disembunyikannya. Thian Jie menjadi cemas karenanya. Dalam penasaran dia bertanya:

“Pangcu, apakah suhu menceritakan banyak hal melalui suratnya”?

“Suhu”? hm, suhumu adalah kong chouwmu (kakek buyutmu) sendiri anak muda. Tetapi, cukup hal itu dulu yang perlu kau ketahui, karena Kakekmu memintaku untuk menyembuhkanmu terlebih dahulu, baru kemudian membuka semua isi surat ini kepadamu”

“Maksud pangcu …. Suhuku, dia orang tua adalah kakek buyutku sendiri”?

“Benar, begitu menurut isi surat ini. Coba kamu buka pakaianmu dan lihat di pundak kananmu apakah ada ukiran Naga Pualam Hijau disana”?

Thian Jie membuka pakaiannya dan benar, disana ada tato naga pualam hijau yang membenarkan isi surat dan apa yang diinformasikan Kim Ciam Sin Kay.

“Anak muda, lohu kebetulan sangat paham seluk beluk keluargamu. Karena keluarga besarmu hampir semua dikenal oleh lohu, mulai dari kakekmu Kiang Cun Le, Kiang Hong, Kiang In Hong, dan banyak lagi. Setiap anggota keluarga yang bermarga KIANG akan mendapatkan tato sejenis di pundak kanannya. Seperti tato dipundakmu. Jadi terang, engkau adalah She KIANG, dan gurumu adalah KIANG SIN LIONG, masih Kakek buyutmu sendiri” jelas Kim Ciam Sin Kay.

“Achhhhh” Thian Jie terbungkam sampai tak tahu mau bicara apa lagi. Tapi yang pasti, perasaan haru dan sayang terhadap gurunya menjadi semakin kental, karena ternyata kakeknya sendiri. Pantas gurunya begitu menyayangnya, begitu mencintainya, lebih dari guru terhadap murid. Ternyata kakeknya sendiri. Pantas, pantas.

“Nah, anak muda, sisa cerita mengenai dirimu, akan kuceritakan setelah mengobatimu. Karena bukan hanya mengenai dirimu, tetapi keadaanmu sebelum bertemu dan mengobati aku, juga harus kuceritakan, demikian juga hal lain yang disampaikan kakekmu melalui surat ini. Hanya, pengobatan ini akan berlangsung panjang, mungkin lebih kurang 3 bulan. Sesuai permintaan gurumu, pada bulan 9, nantinya kalian harus berada di Tebing Pertemuan 10 Tahunan. Artinya, bila benar 3 bulan kamu pulih, kamu masih punya waktu 1 bulan menuju ke tebing itu. Petanya sudah dilampirkan di surat ini, dan lohu tidak boleh membukanya, hanya kamu yang boleh membuka peta tempat pertemuan rahasia itu”

Sejak saat itu, Thian Jie kemudian mengikuti Kim Ciam Sin Kay kemanapun Pangcu Kay Pang itu pergi. Sementara Tek Hoat melanjutkan upaya pembersihan Kay Pang di utara Yang ce, sedangkan Mei Lan menemani Thian Jie selama sebulan awal proses pengobatan untuk kemudian berjalan kembali ke Selatan untuk mencari jejak Pedang Pusaka gurunya. Sementara itu, Thian Jie kemudian mengikuti Kim Ciam Sin Kay dan menerima pengobatan di markas besar Kay Pang. Dia menghabiskan waktu selama kurang 3 bulan menerima pengobatan Pangcu Kay Pang itu dengan tusukan jarum emas untuk memulihkan ingatannya.
 
BAB 15 Liok Te Sam Kwi Vs Liong-i-Sinni
1 Liok Te Sam Kwi Vs Liong-i-Sinni




Liang Mei Lan sebenarnya tidak tahu lagi bagaimana berusaha menjejaki dan mencari Pedang Pusaka gurunya. Tetapi, selain karena Pedang Pusaka itu kesayangan gurunya, juga karena pedang itu telah diwariskan kepadanya, ditambah lagi dengan rasa kasih dari gurunya yang sudah renta itu, maka Mei Lan mengeraskan hati untuk berupaya sedapat mungkin dalam menemukan Pedang Bunga Seruni itu.

Menurut penuturan kakaknya, di daerah Cin-an dan propinsi sekitarnya, dia pernah bentrok dengan segerombolan orang-orang Thian Liong Pang. Dan, apabila benar bahwa kekacauan dan teror di dunia persilatan diakibatkan oleh Thian Liong Pang, maka bisa dipastikan baik Pedang Bunga Seruni maupun kitab Tay Lo Kim Kong Ciang, pasti dicuri oleh mereka. Karena Tek Hoat kakaknya masih sibuk dengan urusan Kay Pang di utara Yang ce, maka diputuskannya untuk menyelidik ke daerah Cin an. Lagipula, gerombolan Thian Liong Pang di Pakkhia sudah pada raib entah kemana.

Liang Mei Lang bersama Liang Tek Hoat sudah mengobrak abrik markas Hek-i-Kay Pang dan juga Thian Liong Pang di Pakkhia dan sekitarnya. Tetapi, selain Hek-i- Kay Pang, orang-orang Thian Liong Pang tiba-tiba seperti lenyap ditelan bumi. Akhirnya, hanya pembersihan dan penegakkan kembali Kay Pang yang bisa dicapai oleh keduanya, tanpa berita sama sekali mengenai Pedang Bunga Seruni.

Bahkan si pemburu berita sekelas Maling Saktipun tidak mengetahui dimana gerangan keberadaan Pedang itu, juga tanpa informasi soal siapa dan bagaimana Pedang itu berada dan disimpan. Akhirnya, setelah kurang lebih sebulan lebih di Markas Kay Pang menemani Tek Hoat dan juga terutama menemani pengobatan Thian Jie, Mei Lan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Selatan sungai Yang ce dan berusaha untuk menelusuri jejak Thian Liong Pang disana.

Tek Hoat yang berusaha mencegahnya dan mengajaknya berjalan bersama tidak digubrisnya, dan akhirnya keduanya berjanji bertemu di Hang Chouw kurang lebih 2 bulan sebelum pertemuan 10 tahunan yang tinggal 6 bulan lagi kedepan. Tek Hoat sendiri merasa masih berkewajiban menyelesaikan tugas yang diembankan orang yang sangat dihormati dan dikasihinya, yakni Kiong Siang Han yang menyelamatkan nyawanya dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Terlebih kakek tua itu sudah semakin renta.

Karena itu, akhirnya dia membiarkan adiknya berjalan duluan ke Cin an dan terus Hang Chouw, sementara bersama Thian Jie tetap ada Maling Sakti yang sudah menyatakan tunduk dan mengabdi kepada si anak muda. Mei Lan sendiri, entah bagaimana sangat berat berpisah dari Thian Jie. Tetapi, bertahan di markas Kay Pang tanpa melakukan apa-apa, juga membosankannya. Terlebih, Thian Jie juga sulit diajak bicara, karena harus banyak diawasi dan bahkan langsung diawasi secara ketat oleh sang Pangcu. Karenanya, Mei Lan memilih pergi.

Sambil menikmati pemandangan memasuki lembah Sungai Kuning, Mei Lan melarikan kudanya pelan-pelan. Karena pemandangan memasuki lembah sungai kuning termasuk cukup indah, dan semakin jauh berjalan dia akan segera memasuki sebuah dusun bernama Hong cun. Meskipun masih terpisah cukup jauh dari Kota Cin an yang termasuk di wilayah propinsi Shantung. Karena merasa waktu cukup panjang, maka perjalanan Mei Lan malah terasa sangat lambat, bahkan kudanya tidak lagi berlari, melainkan berjalan.

Tapi Mei Lan tidak merasa bodoh dengan pelannya langkah kuda, malah sebaliknya. Sambil berdesis dan bersiul-siul, malah dia menikmati jalan kudanya yang lambat sambil menikmati pemandangan indah yang terhampar di sudut pandangnya. Gadis ini memang sedang riang dan sangat menikmati perjalanannya menyusuri jejak pedang gurunya.

Tapi tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara berkelabatnya bayangan-bayangan orang seperti sedang bertempur. Bahkan sesekali dia mendengar suara bentakan dan teriakan seorang gadis yang nampaknya sangat penasaran menghadapi sebuah perkelahian. Karena penasaran dengan suara tersebut, akhirnya Mei Lan berusaha untuk mendekati arena perkelahian tersebut.

Dan alangkah terkejutnya dia ketika menyaksikan sebuah pertempuran yang cukup seru. Perkelahian antara seorang anak gadis yang masih seusia dirinya, atau malah masih lebih muda dibandingkan dirinya, melawan seorang anak muda lainnya yang bekakakan ceriwis dan sangat tidak tahu malu.

Pertempuran tersebut nampak berjalan seru, tetapi ginkang si gadis nampak terlalu tangguh bagi si pemuda yang nampaknya memiliki tenaga yang cukup besar. Masih jauh mengungguli si gadis cilik. Karena itu, perkelahian nyaris seperti si anak muda berusaha menangkap si anak gadis yang berkelabat-kelabat tak tersentuh. Meski kalah tenaga, tetapi gadis cilik itu memiliki gerakan ginkang yang jauh melampaui si anak muda.

Siapakah sebenarnya mereka yang sedang bertanding? Kedua anak muda tersebut sebetulnya bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak, keluarga atau guru mereka, bukanlah orang-orang biasa dalam dunia persilatan dewasa ini. Si gadis yang nampak agak binal karena memang usianya masih belasan tahun, paling banyak 15 tahun atau malah kurang, bernama Kiang Sun Nio, putri tunggal Bengcu Persilatan dewasa ini, Kiang Hong.

Bahkan gurunya lebih hebat lagi, tokoh wanita yang dianggap paling sakti di dunia persilatan dewasa ini, Liong-i-Sinni atau yang adalah bibi-neneknya Sun nio, Kiang In Hong. Seperti diketahui, anak ini sejak berusia 4-5 tahun sudah dibawa oleh orang tuanya untuk berguru kepada Nikouw Sakti di Timur, Liong-i-Sinni yang adalah kerabat dekat mereka sendiri. Dan Sun Nio berlatih disana sampai 10 tahun, untuk kemudian secara tiba-tiba lenyap dari pengawasan Liong-i-Sinni yang memang sangat mengasihinya.

Lenyapnya anak ini, membuat Liong-i-Sinni mau tidak mau keluar pertapaannya. Karena dia sendiri sadar untuk apa Sun Nio dititipkan kepadanya menurut perhitungan Kakaknya Kiang Cun Le yang sangat dekat dan sangat dihormatinya. Karena itu, dengan berat hati, Liong-i-Sinni kembali keluar pertapaan, dan kembali dikenal dan dilihat orang mengembara di dunia persilatan.

Sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ingin dilakukannya. Sayang, dia kembali terikat dengan kehadiran cucunya yang sangat nakal, binal namun juga sangat cerdas seperti ibunya ini. Sudah berhari-hari, bahkan berminggu minggu dia mengikuti jejak Sun Nio, tetapi kecerdikan anak gadis itu sering membuatnya terlolos dari kejaran gurunya.

Sementara si anak muda yang paling berusia 17-18 tahun juga bukanlah pemuda sembarangan. Anak muda ini adalah murid termuda sekaligus terkasih dari tokoh besar dunia hitam Liok Te Sam Kwi (Tiga Setan Bumi). Anak muda ini dikenal dengan nama Ciu Lam Hok. Seorang anak yang sudah sejak lahirnya berada dalam didikan Liok te Sam Kwi yang menemukannya di pesisir sungai Kuning, teronggokkan begitu saja. Anak itu seperti sengaja ditinggalkan orang tuanya dengan maksud yang sulit dipahami.

Ketiga setan yang rada gila ini, menjadi tertarik kepada bocah yang waktu itu baru berusia setahun lebih karena tulang tulangnya nampak mengagumkan, dan cocok dididik menjadi murid mereka. Demikianlah, Ciu Lam Hok mereka didik dan dianggap anak sendiri oleh ketiga Datuk Iblis ini, hingga sekarang sudah berusia lebih dari 17 tahun. Anak ini menjadi murid penutup mereka dan memiliki 2 orang suheng yang sudah lama meninggalkan perguruan dan melakukan pengembaraan dan perantauan.

Kedua anak muda ini sebenarnya bertemu secara sangat kebetulan. Sun Nio yang berjalan tergesa-gesa menghindarkan pengejaran Gurunya, sekaligus neneknya, kebetulan bertemu dengan Ciu Lam Hok yang sedang berburu bagi kebutuhan makanan guru-gurunya yang bertapa disebuah gua dalam hutan yang tersembunyi.

Secara tidak sengaja, kehadiran Sun Nio membuat Lam Hok kehilangan seekor rusa buruannya. Padahal sialnya, dia sudah cukup lama mengincar rusa buruan yang diperkirakannya bakal bisa disantap selama 1 minggu itu. Karena kesalnya, akhirnya kedua anak muda tersebut akhirnya malah bentrok dan saling serang dengan serunya. Meskipun masih berusia muda, tetapi Sun Nio telah dilengkapi dengan pendidikan selama 10 tahun oleh neneknya.

Dia telah menguasai ilmu-ilmu pusaka Ceng Giok Cap Sha Sin Kun, Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, bahkan juga sudah sangat mahir memainkan ilmu ginkang Te-hun-thian (mendaki tangga langit), dan juga Ilmu ciptaan Liong-i-Sinni yakni Hue-hong-bu-liu-kiam (tarian pedang searah angin). Tetapi anak gadis yang rada nekad dan binal ini, minggat ketika mulai melatih ilmu yang sangat berat, yakni Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan.

Terutama karena dia mendengar, orang tuanya hingga 10 tahun dia berlatih silat, justru menghilang, ketika seorang kenalan Liong-i-Sinni bercakap dengan Pendeta Wanita ini suatu saat. Mendengar berita bahwa orang tuanya sudah sangat lama lenyap dari dunia persilatan karena melaksanakan tugas, anak gadis ini menjadi sedih dan rindu dengan orang tuanya. Makanya dia kemudian memutuskan untuk minggat. Tanpa minta ijin dan memberitahukan gurunya. Anak cerdik ini sadar, bila minta ijin gurunya, justru hanya akan menghadapi penolakan dan malah akan sulit melarikan diri. Makanya, dia memilih minggat.

Mudah diduga bahwa remaja gadis ini, bukanlah santapan empuk bagi Ciu Lam Hok. Sebaliknya malah justru santapan yang sangat keras, atau teramat keras. Sehebat apapun dia bergerak, tetap tidak mampu menyandak atau menyentuh jubah Sun Nio, padahal gadis ini belum mainkan Soan Hong Sin Ciang ataupun Yan Cu Hui-Kun yang cepat dan sangat ringan.

Tapi itupun sudah cukup membuat semua serangan Lam Hok menjadi mubasir. Saat kedatangan Mei Lan adalah saat ketika si gadis melayang-layang ringan dikejar Lam Hok, dan nampak seakan-akan terdesak di mata Mei Lan. Betapapun, Mei Lan sendiri masih belum cukup lama pengalaman tempurnya, karena itu dia mendapatkan pandangan yang keliru mengenai pertandingan tersebut.

Segera setelah dia melihat Sun Nio jarang membalas, dan pasti pemuda ceriwis itu yang gatal tangan, maka Mei Lan kemudian bersiut dan maju menerjang arena perkelahian. Padahal, biarpun dilanjutkan ratusan jurus, gadis kecil itu tidak bakal tertangkap atau terpukul oleh Lam Hok. Karena gerakannya terlampau ringan dan gesit bagi Lam Hok:

“Pemuda bangor mengejar-ngejar anak gadis, sungguh memalukan” Sambil menerjang dia melakukan tangkisan atas tubrukan Lam Hok. Benturan segera terjadi “Dukkk”, dan betapa kagetnya Lam Hok menemukan kenyataan bahwa yang menangkis serangannya adalah juga seorang anak gadis, meski nampak sedikit lebih tua dari gadis yang sebelumnya, tapi nampaknya masih tetap di bawah usianya.

Hebatnya, gadis ini tidaklah berkelabat-kelabat menghindar, sebaliknya malah membentur lengannya dan akibatnya tangannya tergetar hebat dan dia terdorong mundur dengan hebatnya. Lebih kaget lagi, ketika dia melihat bahwa gadis yang baru datang ini malah nampak tidak goyah oleh benturan tersebut. Bahkan kemudian mencecarnya habis-habisan, sementara anak gadis yang satu lagi dengan riangnya telah berseru-seru. Tetapi tidaklah lama, karena kemudian terdengar anak gadis cilik itu kemudian berseru:

“Enci yang baik, biarlah kupinjam dulu kudamu kali ini. Lain kali Sun Nio akan mengembalikannya kepadamu” Dan dengan enaknya anak itu berkelabat ringan ke punggung kuda tunggangan Mei Lan dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Mei Lan sendiri menjadi kaget, tetapi tidak sempat lagi mengejar anak binal itu, meskipun tidak begitu marah kepada anak gadis itu, tetapi Mei Lan merasa rada kesal juga kehilangan tunggangan. Dan amarahnya itu akhirnya disalurkan kepada Lam Hok yang menjadi kebingungan dan gugup diserang habis oleh seorang anak gadis dan membuat dia jatuh dalam kubangan kesulitan. Betapa tidak, gadis yang satu ini memang jauh lebih lihay dan terpaut jauh dari kemampuannya.

Saking marahnya, Mei Lan menyerang Lam Hok dengan jurus-jurus dari Bu Tong Kiam Hoat dan semua tangkisan Lam Hok menyebabkannya meringis. Jika sebelumnya Lam Hok tidak mengembangkan jurus dari perguruannya, kali ini dia terpaksa bersilat dengan memainkan jurus Siang Tok Swa Pasir (Tangan harum beracun), salah satu pukulan andalan ketiga gurunya.

Tetapi mana sanggup dia bertahan ketika kemudian Mei Lan menggunakan Thai Kek Sin Kun, yang dengan cepat membuat Lam Hok tambah puyeng dan kebingungan. Lengannya terasa sakti-sakit ketika membentur dan menangkis pukulan pukulan Mei Lan. Meski usianya lebih banyak, tetapi latihan dan kematangan serta penguasaan ilmu nampaknya masih kalah setingkat dibandingkan Mei Lan. Apalagi, Ilmu dan dasar Mei Lan sangat murni, dan membuat Lam Hok jauh ketinggalan kualitetnya.

Sudah beberapa kali Mei Lan berhasil menjowel dan memberi pukulan ringan kepada Lam Hok, meski ia tidak bermaksud melukai Lam Hok dengan parahnya. Memang, Mei Lan hanya berkeinginan memberi hajaran kepada Lam Hok dan sama sekali tidak berniat melukainya. Dan ketika sekali lagi dia terkena pukulan Thai kek Sin Kun, tak terasa mulutnya berteriak: “Suhu tolong”, dan untuk kesekian kalinya dia terguling-guling roboh menerima pukulan Mei Lan.

Mei Lan kaget mendengar anak laki-laki ini masih merengek-rengek kepada gurunya, sungguh menggelikan. Nyaris dia tertawa ngakak, seorang anak muda yang berusia diatasnya masih meengek-rengek mohon pertolongan gurunya. Tetapi, karena dia merasa benar, maka dia tidak memperdulikan bahwa dia sudah menghajar anak murid orang lain yang kemudian dengantidak malu meminta bantuan gurunya. Karena keyakinan itulah malah kemudian terdengar Mei Lan membentak:

“Hayo, bangun kalau masih berani, atau berlutut dan minta ampun sambil berjanji lain kali tidak akan mengganggu anak kecil lagi”

Tetapi Lam Hok sendiri adalah anak yang licik dan cerdik. Dia tahu, suaranya tadi telah membangkitkan guru-gurunya, karena itu dia menjadi lebih berani. Karena itu dia menyahut:

“Anak kecil seperti kamu, soknya minta ampun” sambil menyelesaikan kalimatnya, kembali dia menyerang Mei Lan, kali ini lebih ganas karena kini dia menggunakan Kiam Ciang (tangan Pedang). Kiam Ciang ini, jika dimainkan bersama oleh suhunya, perbawanya sungguh luar biasa, mencicit-cicit dan mampu menebas apapun benda keras disekitarnya. Meski jauh dari kehebatan gurunya, tapi sudah bolehlah digunakan oleh Lam Hok. Hanya saja sayangnya, lawannya kali ini adalah Mei Lan.

Anak gadis yang dididik tokoh kenamaan dan memiliki keuletan yang luar biasa, selain telah melalui beberapa pertarungan menegangkan selama 6 bulan pengembaraannya. Gurunya, bahkan jauh melampaui guru Ciu Lam Hok, kualitas ilmu dan keseriusan pendidikan juga berbeda jauh. Karena itu, enak saja dia melangkah dan bergerak menggunakan Sian Eng Coan-in, (Bayangan Dewa Menembus Awan), dan semua hembusan hawa pedang itu luput dan tak sanggup mengenainya.

Sebaliknya, sebuah hentakan dari Ilmunya Pik Lek Ciang (Tangan Kilat) kembali menyentuh lengan Lam Hok dalam bentuk tangkisan, yang membuat lengan Lam Hok seperti melepuh terkena sambaran Kilat. Lam Hok kembali mengeluh dan mundur, kali ini dia benar-benar menjadi jerih akibat kehebatan Mei Lan yang tak segan-segan menyerang dan menangkis pukulannya dengan Ilmu yang diluar perkiraannya. Benar-benar dia merasa kapok, karena semua pukulan saktinya seperti tak berguna menghadapi gadis cilik ini.

Tapi disamping itu, dia merasa sangat penasaran dengan ilmunya. Bisa-bisanya kalah dengan seorang gadis kecil yang mash di bawah usianya?

“Hm, sungguh murid Bu Tong Pay yang sombong. Bahkan Sian Eng Cu sendiri masih belum berani sekurangajar ini terhadap perguruan kami” Sebuah suara yang menyeramkan tahu-tahu berkumandang tiba, dan sekejap kemudian dihadapan Lam Hok telah berdiri Sam Kwi (Setan Ketiga), salah seorang guru Lam Hok.

Meskipun dia merasa kagum akan usia muda Mei Lan, tetapi gengsi perguruannya telah mengalahkan pertimbangan lainnya, dan terlebih melihat Mei Lan melukai Lam Hok dengan Ilmu Pik Lek Ciang yang adalah ilmu khas Bu Tong Pay. Perguruan yang sangat dipenasarinya sekaligus sangat dibencinya karena selalu menghalangi dan menantang mereka melakukan aktifitas dan kejahatannya.

“Nona, silahkan engkau menyerang lohu dan boleh kau gunakan seluruh Ilmu Bu Tong Pay mu” menantang si kakek dengan suara menyeramkan. Apalagi karena Sam Kwi ini memang berbadan tegar, bagaikan raksasa. Tubuhnya nyaris dua kali besar dan tinggi Mei Lan, sehingga nampak menggidikkan. Berdiri dihadapannya dan menantang berkelahi anak remaja seperti Mei Lan sebenarnya bakal ditertawakan banyak tokoh persilatan. Tapi, gengsi perguruan mengalahkan pertimbangan Sam Kwi. Sementara Mei Lan yang sudah terlatih mental dan batinnya oleh tokoh sekelas Wie Tiong Lan, membuatnya tidak gampang dan mudah tergertak begitu saja. Sebaliknya dengan tenang dia berkata:

“Tidak ada maksud boanpwe untuk menentang locianpwe, hanya murid locianpwe ini yang tak tahu malu mengejar-ngejar seorang anak gadis kecil dan mau menangkapnya. Sungguh kurang ajar” sambil mengerling Lam Hok.

“Bila muridnya kurang ajar, ada gurunya yang mengajar. Apapula salahnya mau menangkap anak kecil yang binal”?

“Hm, nampaknya guru dan murid sama tidak genahnya” Mei Lan jadi panas hati. Masih terlalu muda memang bagi Mei Lan untuk mawas diri dan banyak mengalah, terlebih di usia mudanya dengan bekal ilmu yang tinggi.

“Silahkan, bila locianpwe mau mengajarku, itupun bila memang mampu mengajar” tantangnya malah.

“Hm, anak kurang ajar. Apa kau pikir perbawa Bu Tong Pay menakutkan kami disini”? Sembari itu, Sam Kwi segera mengibaskan lengan bajunya, dan seiring itu suara memekakkan telinga mengarah ke Mei Lan. Tapi bukan Mei Lan kalau takut dengan gertakan demikian. Perkelahian dan jurus yang lebih mengerikan dari itu sudah pernah disaksikan dan dilawannya. Gurunya pernah mengajarkannya “Kibasan Ekor Naga”, salah satu Ilmu Kibasan yang hebat dari Bu Tong Pay. Dan kibasan Sam Kwi baginya masih belum sehebat gurunya. Karena itu, dengan melangkah kekiri, memutar kekanan, kibasan itu menjadi tidak punya arti apa-apa baginya, luput. Tidak menggidikkan hatinya, tidak membuat takut.

Melihat sesederhana itu Mei Lan menghindari kibasannya, Sam Kwi segera sadar, kalau anak ini memang bukan anak biasa. Diapun kaget. Segera dipentangnya tangannya, dengan cepat dia menggerak-gerakkannya dan berusaha menjangkau tubuh Mei Lan agak ke atas. Nampaknya Sam Kwi sudah menggunakan Siang Tok Swa, karena itu, bau harum beracun segera menyebar kemana-mana.

Untungnya, bau itu sendiri tidak punya kesanggupan meracuni orang, tetapi hawa pukulan dan pukulan itu sendiri yang berbahaya. Dengan cepat Mei Lan mainkan Ilmu Ginkangnya Sian Eng Coan-in (Bayangan Dewa Menembus Awan), berkelabat lenyap dan membalas dengan menggunakan Ilmu Thai Kek Sin Kun. Dan Ilmu itu nampaknya memang sanggup menghalau hawa pukulan yang diarahkan ke tubuh Mei Lan dan tidak menghasilkan akibat apapun yang merugikannya. Hal yang tentu membuat Sam kwi tambah penasaran dan tambah murka:

“Hm, ini tentu Thai Kek Sin Kun, memang hebat” Sam Kwi mengenali ilmu ampuh Bu Tong Pay. Dan kembali tangannya bergerak-gerak lebih cepat dan lebih berat, tetapi semua serangannya ke tubuh Mei Lan dapat dihindari anak gadis itu. Bahkan dengan Ilmu Thai kek Sin Kun, dia masih sanggup mengirimkan beberapa serangan balasan kearah Sam Kwi.

Dan suatu ketika, dengan berani dia memapak lengan Sam Kwi dengan menggunakan Pik Lek Ciang, dan membuat keduanya terdorong ke belakang. Luar biasa, bahkan Mei Lan sanggup menahan serangan dan kekuatan Sinkang Sam Kwi, sampai membuat Sam Kwi tertegun. Tapi tidak lama, karena kemudian dia sudah kembali menyerang dengan suara serangan yang mencicit-cicit, itulah Kiam Ciang yang jauh lebih ampuh ketimbang Lam Hok. Jauh lebih ampuh karena dia yang mengajar Lam Hok.

Tetapi kembali Mei Lan bersilat dengan ginkangnya, sehingga serangan-serangan Sam Kwi tidak sanggup mengenai pakaiannya sekalipun. Bahkan dengan Pik Lek Ciang, dia berani beberapa kali memapak tebasan tangan Sam Kwi yang memang lebih kenyal dan kuat dibanding Lam Hok. Toch, lama kelamaan Sam Kwi juga meraung marah, karena tidak pernah sanggup menyudutkan Mei Lan dan membuatnya sangat gusar. Sungguh memalukan, tokoh setua dan setingkat dia, tidak sanggup mendesak anak gadis seusia Mei Lan, dan malah harus beberapa kali berusaha memunahkan tenaga serangan si gadis yang tidak kurang berbahaya bagi dirinya.

Tiba-tiba nampak disamping Sam Kwi 2 orang lainnya. Rupanya erangan Sam Kwi tadi merupakan isyarat memanggil 2 setan lainnya, dan kini ketiganya baik Sam Kwi (Setan Ketiga), Ji Kwi (Setan Kedua) dan Thai Kwi (Setan Ketiga) sudah berdiri berendengan. Ji Kwi juga agak tinggi dan jangkung, cuma nampak seperti jerangkong karena tubuhnya yang kurus bagaikan daging membungkus tulang belaka.

Tapi matanya nampak bersinar lebih aneh dan agak lebih sadis, karena memang dari ketiganya, kakek inilah yang paling kejam dan sadis dalam memperlakukan musuh dan korbannya. Bahkan sesekali dia mau memakan korbannya. Memang seram dan sadis Ji Kwi ini. Sementara tokoh ketiga, sebaliknya dibandingkan kedua saudaranya yang lebih muda. Kakek ini, nampak berwajah senyum dan simpatik, tubuhnyapun agak pendek bundar, sehingga nampak lucu.

Tapi, jangan tertipu dengannya, karena senyum simpatiknya berbau magis dan maut. Semakin simpatik senyumnya, semakin keras kemauannya untuk membunuh, dengan cara apapun. Inilah Liok te Sam Kwi, lengkap berhadapan dengan seorang gadis remaja. Sungguh hadap-berhadapan yang aneh dan lucu. Tokoh tingkat tinggi mengurung seorang gadis remaja yang baru memunculkan dirinya di dunia persilatan dengan usia yang masih remaja lagi, belum genap berusia 17 tahun.

“Hehehehe, Sam Kwi, anak-anak seginipun sampai membuatmu membangunkan kami”? bertanya Ji Kwi sambil mengerling sekilas kearah Mei Lan yang dipandangnya sangat ringan. Masih kanak-kanak, masih bocah, masih belum bisa dibilang lawan berbahaya. Benar-benar aneh jika Sam Kwi harus membangunkan mereka.

“Benar Sam Kwi, buat apa kau memanggil kami melawan bocah kemaren sore” tambah Thai Kwi yang juga merasa penasaran karena dibangunkan hanya untuk menghadapi anak masih bau pupuk ini. Benar-benar membuatnya sangat penasaran dan malu.

“Dia murid Bu Tong Pay dan telah menghina murid kita habis-habisan. Apa kalian pikir dosa itu tidak layak dibalas? Membiarkan Bu Tong Pay menghina kita sekali lagi”? Sudah cukup dulu kita kalah seusap melawan Sian Eng Cu, masakan anak kemaren sore dari Bu Tong Pay juga kita biarkan leluasa menghina kita”? Hebat cara Sam Kwi membakar kedua saudaranya, dan dengan cepat Ji Kwi sudah mengangguk-angguk, dan sebuah senyum dikulum juga nampak muncul di wajah Thai Kwi. Tapi, tetap masih belum membuat kedua setan lainnya merasa perlu turun tangan.

“Tapi, apakah belum cukup dirimu untuk menaklukkan anak yang masih bau pupuk seperti ini”? Tanya Ji Kwi yang membuat wajah Sam Kwi memerah saking kekinya.

“Anak ini didikan Sian Eng Cu, dan telah memiliki kesaktian yang cukup hebat dan memadai” Sam kwi membela dirinya.

“Masakan bisa sehebat itu dan bisa melampauimu” buru Ji Kwi yang menjadi makin tertarik.

“Akan cukup kuat melawan kita” tegas Sam Kwi.

Jawaban ini mengagetkan Ji Kw dan Thai Kwi, yang membuat mereka jadi memandang Mei Lan dengan pandangan berbeda. Kaget dan penasaran, apa mungkin anak gadis begini sudah sanggup menandingi mereka?

“Wah, jika begitu, kita perlu berpesta sekarang” ujar Thai Kwi ringan dan mulai merasa tertarik bermain-main dengan anak ini.

“Mari kita mulai” Ji Kwi sudah langsung membuka serangan kearah Mei Lan, seorang anak yang tadinya dipandangnya ringan. Tapi, ketika lengannya beradu dengan Pik Lek Ciang Mei Lan, dia juga tercekat. “Seperti adu tenaga dengan Sian Eng Cu saja” pikirnya. “Bocah ini tidak boleh dibuat main-main” teriaknya sambil melanjutkan serangan dengan Kiam Ciang, dan bersamaan dengan itu Sam Kwi dan Thai Kwi juga menyerang dengan Kiam Ciang. Sungguh luar biasa, tokoh utama dunia Hitam melawan seorang anak remaja, anak gadis yang kemudian hanya sanggup berkelabat kesana-kemari menghindari benturan dengan ketiga orang tokoh sesat itu.

Sebetulnya Liok te Sam Kwi, bila maju seorang demi seorang, bukanlah tokoh yang patut ditakuti di dunia persilatan. Terbukti, Sam Kwi tidak sanggup berbuat aa-apa menghadapi Mei Lan. Hanya karena kurang tenang dan segan sajalah yang membuat Mei Lan tidak menjatuhkan Sam Kwi. Tetapi, bila mereka maju bersama, maka kemampuan mereka bahkan mampu mengimbangi See Thian Coa Ong, Tian Te Tok Ong dan bahkan Pek Bin Houw Ong, 3 datuk sesat lainnya.

Maju berpisah, mereka memang sulit menandingi, tetapi ketiganya sanggup saling dukung dan saling mengisi dalam Ilmu Silat karena memang ketiganya adalah kakak beradik yang tumbuh dan berkembang bersama, termasuk dalam Ilmu Silat. Kiam Ciang yang dimainkan bertiga ini, sungguh berlipat kali jauh lebih tangguh dibandingkan Lam Hok, karena pohon-pohon disekitar bagaikan diiris-iris dan disentuh hawa pedang. Dedaunan yang jatuh, juga nampak seperti baru ditabas pedang yang sangat amat tajam.

Apalagi Mei Lan yang berada di tengah-tengah dan menjadi sasaran amarah mereka. Segenap kekuatan telah dikerahkannya, dan dia memainkan ilmu-Ilmu pilihan dari perguruannya untuk bertahan dari kepungan ketiga Iblis ini.

Selain itu Mei Lan bukanlah barang mati. Sebaliknya, dia manusia hidup yang memiliki ginkang yang juga sangat tinggi, yang membuatnya dijuluki Sian Eng Li (Nona Bayangan Dewa). Dengan ginkangnya yang khas, dia bergerak pesat mengimbangi ketiga datuk sesat ini, dan mampu menghindarkan dirinya dari hawa pedang yang berseliweran disekitarnya.

Mati-matian dikerahkannya Sian Eng Coan-in, ginkang andalan warisan gurunya dan beberapa ketika kemudian, diapun mulai mengembangkan Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa). Tubuhnya berkelabat kesana kemari dan dengan beraninya dia memapas dari samping tangan pedang ketiga lawannya dengan mengisi tangannya dengan jurus dan kekuatan Pik Lek Ciang. Sehingga meski tetap berat baginya, tetapi tidak memperburuk keadaannya. Dulu, Liok te Sam Kwi ini, justru dikalahkan dengan jurus ini, yakni Sian Eng Sin Kun dan kombinasi dengan Pik Lek Ciang, dan karena itu mereka kemudian menciptakan ilmu terakhir, Ha-mo-Kang (Tenaga Katak Buduk).

Bila Mei Lan lebih tenang sedikit, sebetulnya dia tidak akan sampai terdesak untuk menghadapi gabungan serangan Ketiga Setan ini. Tetapi, rasa gagap masih sesekali menghinggapi dirinya dan membuatnya merasa kurang percaya diri. Padahal, kualitas Ilmunya sudah tidak terpaut jauh dari suhengnya yang pernah mengalahkan ketiga setan ini. Tapi, pengalaman dan kekuatan mental mereka memang masih berbeda dan terpaut jauh sesuai dengan pengalaman.

Dan, ditambah kemudian dengan Ha-mo-kang yang sayangnya belum dikenal sifat-sifatnya oleh Mei Lan. Apalagi, Ha mO Kang ini diciptakan untuk menghadapi Ilmu Bu Tong Pay. Seandainya dia mengenali cara memapaknya, atau menghindarinya, maka masih punya harapan baginya. Celakanya, gadis mungil ini masih minim pengalaman. Ketika ketiga lawannya berjongkok dan mendekam ke bumi, dia merasa geli, dan sudah terlambat baginya untuk berkelabat kemanapun apabila ketiganya sudah menyerangnya berbareng.

Tetapi, untung kesiagaannya masih membuatnya menyiapkan ilmu terakhirnya, karena dia sadar lawan-lawannya ini siapa. Bersamaan dengan dia menyiapkan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), ketiga lawannya serentak bangkit dan mengurungnya dari tiga penjuru. Mei Lan mati langkah, kemanapun dia pergi angin pukulan Ha-mo-kang memburunya dan telah menutup pintu keluar baginya. Menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya dan karena itu hanya ada satu cara menghadapinya, yaitu melawan secara kekerasan dengan ilmunya yang terakhir.

Dengan sepenuh tenaga, dipusatkannya pikiran kearah tangannya, dan dengan nekad didorongnya kekiri dan kanan untuk membuka jalan keluyar. Sekejap kemudian terdengar benturan hebat:

“Blaaaar” dan kemudian terdengar jeritan tertahan Mei Lan “Aduuuuh”, tubuhnya melayang jauh dan akan segera terbanting apabila tidak disanggah oleh orang lain. Kedatangan yang sungguh tepat waktu dan berjarak kurang lebih 15 langkah dari arena. Tubuh Mei Lan ditangkap oleh seseorang, yang ketika kemudian membaringkan Mei Lan di tanah segera melakukan totokan dibeberapa tempat. Baru sesaat kemudian terdengar ucapan memuji kebesaran Budha:

“Siancai, siancai, anak baik mengapa bertempur dengan 3 setan? Dan mengapa pula 3 setan tiba-tiba berkeliaran lagi di dunia persilatan”? Padri wanita berpakaian hijau ternyata telah menolong Mei Lan. Tetapi, wajah Mei Lan yang membayang warna merah membara menyadarkan Padri wanita itu bahwa Mei Lan terkena pukulan beracun.

Tidak salah, Ha-mo-kang memang adalah sebuah ilmu pukulan Beracun. Dan hawa beracun itulah yang memukul dan terserap kedalam tubuh Mei Lan, secara langsung berasal dari 3 orang pemukul pula, luar biasa. Untungnya, Mei Lan masih sempat memapak dan menyiapkan diri dengan Ilmu Mujijat yang diciptakan gurunya, sehingga tidak mengakibatkan kematian baginya.

Sementara itu, Setan Bumi sudah mengelilingi dalam bentuk segi tiga si Pendeta Wanita. Mereka bergerak mengepung dengan ancaman untuk segera melakukan penyerangan. Kegeraman mereka atas Mei Lan kini ditumpahkan kepada Pendeta Wanita ini, dan karena itu tanpa ba bi bu mereka selanjutnya menyerang Pendeta Wanita ini dengan menggunakan Kiam Ciang.

Tetapi kali ini, mereka berhadapan dengan Pendekar Wanita yang sudah masak, jauh bedanya dengan Mei Lan. Terpaut jauh malah. Dengan tenang saja dia mainkan ilmu yag nampaknya Soan Hong Sin Ciang, dan semua pukulan 3 Setan Bumi ini sudah terpental pulang pergi dengan sendirinya. Bahkan ketika mereka mencampurkan dengan Siang Tok Swa sekalipun, tetap tidak ada yang sanggup menembus hawa membadai yang diciptakan Pendeta Sakti ini.

Bahkan semua pukulan mereka seperti membentur tembok, mengembalikan semua pukulan mereka sehingga mereka menjadi ngeri sendiri. Lawan ini, bahkan masih jauh lebih lihay dibandingkan Sian Eng Cu, dan nampaknya sulit bagi mereka menghadapi padri wanita yang sakti ini. Ketiga Setan yang memiliki perasaan dan pengertian yang dalam ini tentu menyadari hal tersebut.

Semakin keras usaha mereka mengurung pendeta ini, semakin cepat gerakan si pendeta, bahkan bagai melayang-layang ringan dan tidak bisa mereka sentuh. Mereka sudah mencoba semua Ilmu andalan, baik Siang Tok Swa, Kiam Ciang untuk mengurung pendeta ini, tetapi tidak tampak tanda-tanda jika pendeta ini terdesak. Malah nampak senyum damai tidak pernah lepas dari mulutnya, dan beberapa kali terdengar:

“Liok te Sam Kwi, kalian sudah cukup tua, sudah saatnya mencari pintu rumah Budha dan bukannya mengumbar nafsu dan angkara sampai bahkan melukai seorang anak gadis” demikian terdengar wejangan lembut dari Padri Wanita ini ditujukan kepada Ketiga Setan Bumi yang terus menerus menyerang dan menerjangnya dengan ilmu andalan mereka.

Tetapi sudah tentu Sam Kwi merasa seperti diejek dan dipermainkan. Sungguh, mereka penasaran karena tidak sanggup menembus ilmu Padri Wanita ini. Sayangmereka tidak sadar, bahwa lawan mereka ini memang teramat tangguh, tidak kurang tangguhnya bahkan lebih dibandingkan Sian Eng Cu Tayhiap yang pernah mengalahkan mereka. Sian Eng Cu yang selalu mereka tempatkan sebagai musuh utama yang harus dihancurkan bersama dengan perguruannya Bu Tong Pay.

Karena itu, ketiganya menjadi semakin murka dan malah mempergencar serangan dan serbuan untuk bisa melukai dan mengalahkan pendeta wanita ini. Tetapi, gerakan pendeta wanita ini terlampau tangkas, terlampau cepat dan terlampau ringan berkelabat kemanapun yang dikehendakinya. Dengan gerakan Te-hun-thian (mendaki tangga langit), ilmu ginkang istimewa yang diakui dunia persilatan sebagai Ginkang terhebat dewasa ini, Pendeta wanita ini berkelabat dan bahkan tidak terlalu sering menginjak tanah lagi.

“Hm pendeta, buat apa lari-lari seperti itu, apakah engkau tidak punya kebisaan melayani serangan kami”? tantang Sam Kwi
“ach, bila pinni melakukannya akan sangat tidak mengenakkan hasilnya. Pinni menyesalkan bila terjadi apa-apa atas diri kalian bertiga. Tapi memang apa boleh buat, nona ini perlu pertolongan segera” Jawab Liong-i-Sinni yang khawatir melihat keadaan Mei Lan. Semakin lama dia bertempur, semakin sedikit kesempatannya untuk menyelamatkan nyawa si gadis. Karena itu, Padri wanita ini segera memutuskan untuk menyelesaikan pertarungannya melawan Ketiga Setan Bumi ini.
 
2 Liok te Sam Kwi vs Liong-i-Sinni bagian 2





Dengan segera Liong-i-Sinni kemudian bersilat lebih cepat, tidak lagi menggunakan ginkangnya semata, tetapi juga memadukannya dengan pukulan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut yang dimainkan dengan hudtim. Dia tidak sekaligus menghadapi ketiga setan bumi tersebut, tetapi menyerang mereka satu persatu, berusaha memisahkan mereka, bila yang seorang datang membantu, kembali dia mencecar si penyerang, dan begitu seterusnya.

Serangan yang dilakukan dengan landasan ginkang yang sangat tinggi ini, justru membuat ketiga Setan Bumi menjadi kewalahan. Tiada waktu bagi mereka untuk mengatur barisan menyerang dengan Ha Mo Kang, karena bahkan untuk bernafaspun sulit saat ini akibat serangan membadai dari Pendeta Wanita sakti ini. Belum sempat mereka menyerang si Padri guna membantu kawannya yang kesulitan, justru serangan berikutnya sudah mengarah kedirinya, sehingga ketiganya pontang panting menyelamatkan diri dari amukan serangan si padri yang membadai itu.

Tetapi Liong-i-Sinni sendiri melihat bahwa meskipun dia bisa memenangkan pertarungan dengan penggunaan ilmu-ilmu sakti ini, tetapi masih akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena ketiga Setan ini seperti memiliki pikiran dan perasaan yang sama, yang membuat kerjasama mereka seperti sebuah barisan yang ajaib. Yang seorang kewalahan segera dibantu yang lain, begitu seterusnya.

Kerjasama inilah yang membuat mereka mampu bertahan melawan lawan yang lebih lihai dari mereka sekalipun. Dan sebagai akibatnya, pertarungan menjadi semakin berlarut-larut, dan Liong-i-Sinni maklum, bahwa semakin lama semakin tipis kesempatan hidup bagi Mei Lan. Karena pikiran tersebut, akhirnya dia berpikir “terpaksa”, karena memang waktu tidak mengijinkan dan dia harus cepat bertindak. Dia harus segera menuntaskan pertempuran ini untuk kebaikan banyak orang, meski tidak harus menumpas ketiga setan itu.

Tiba-tiba pendeta sakti ini mencelat ke atas, dan ketika turun ke tanah, dia menyiapkan diri dengan ilmu terbarunya Ilmu Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan, sebuah ilmu yang diciptakan selaras dengan ilmu baru Cun Le bernama Khong in Loh Thian yang mujijat.

Meski tidak pernah saling berkomunikasi, ketika saling memperkenalkan ilmu mereka masing-masing, kedua kakak beradik ini maklum jika perbawa kedua ilmu mereka mirip. Bahkan mereka kemudian saling mengkoreksi dan saling menyempurnakan ilmu yang diciptakan masing-masing.

Hanya, bila Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan cocok bagi wanita dengan takaran Sinkang yang diperhitungkan, maka Khong in Loh Thian lebih cocok dengan pengerahan Sinkang laki-laki dari jalur ilmu Giok Ceng. Itulah sebabnya Sun Nio diminta Cun Le untuk dititipkan ke adiknya ini. Dan Ilmu itulah yang terpaksa digunakan dalam takaran terbatas untuk mengakhiri pertempuran dengan 3 Setan Bumi ini.

Sementara itu, ketiga Setan Bumi begitu mendapat kesempatan, segera mendekam dan membentuk barisan pelontar Ha-Mo-Kang. Tidak berapa lama semua sudah siap dengan jurus pamungkas masing-masing, dan pada saat yang sama semuanya bergerak. Hanya, kelemahan Ha-Mo-Kang sebetulnya apabila ditindas dari atas, maka kekuatannya akan sangat berkurang. T

etapi apabila dihadapi berhadapan secara horizontal maka kekuatannya akan sangat luar biasa. Hal ini nampak kelihatan jelas oleh Liong-i-Sinni, yang dengan cepat dan menggunakan kekuatan ginkang istimewanya telah mencelat ke atas. Dia memapakkan kedua kakinya kemudian mumbul lagi ke atas, begitu berkali-kali untuk kemudian melakukan serangan membadai seorang demi seorang dari ketinggian.

Ketiga Setan Bumi mendadak kehilangan lawan di permukaan bumi menjadi kebingungan, dan hilanglah perbawa Ha-Mo-Kang ketika mereka masing-masing menegok ke atas. Kehilangan kekuatan Ha-Mo-Kang membuat barisan itu menjadi mubasir, dan ketika Liong-i-Sinni kembali mendarat di bumi, dengan ringan dihadiahkannya seorang demi seorang pukulan yang tidak cukup berat tetapi cukup mengundurkan ketiga setan bumi ini, atau bahkan mengalahkan mereka.

Begitu berhasil memukul roboh dan membubarkan barisan Liok te Sam Kwi, Liong-i-Sinni kemudian berkelabat menyambar tubuh Mei Lan dan tidak lama kemudian sudah lenyap dari pandangan mata ketiga Iblis yang merutuk dan menyumpah-nyumpah penuh amarah kepada Liong-i-Sinni. Pada akhirnya Thai Kwi kemudian bergumam:

“Inilah akibatnya apabila kita melalaikan latihan Ilmu kita yang terakhir. Kudengar See Thian Coa Ong juga terluka parah, maka kesempatan bagi kita untuk menggunakan waktu setahun ini untuk menyempurnakan Ilmu kita. Baru setelah itu, kita bersama bertemu mereka di tempat yang dijanjikan”

“Benar Thai Kwi, kita terlalu santai melatih Ilmu Baru itu. Nampaknya kita sulit bertahan disini, lebih baik kita mencari tempat yang lebih sunyi, sambil kita menyempurnakan ilmu yang terakhir, juga sekaligus menyempurnakan ilmu Lam Hok” Tambah Ji Kwi.

“Benar, masakan melawan anak-anak gadis itu saja dia sampai kewalahan, sungguh memalukan nama kita” Sam Kwi juga angkat bicara.

“Baiklah, kita mencari tempat untuk menyempurnakan semua latihan kita semua” Thai Kwi akhirnya memutuskan. Dan pada akhirnya ketiga Setan Bumi bersama murid termuda mereka itupun kemudian berjalan, mencari tempat yang lebih sunyi untuk melatih dan memperdalam ilmu mereka. Menyemournakan ilmu yang akan menambah keru suasana dunia persilatan.

===============

Sementara itu kearah kota Cin an, nampak berkelabat cepat bayangan hijau yang seakan sedang memburu sesuatu. Bayangan itu adalah Liong-i-Sinni yang sedang berusaha untuk secepatnya menyelamatkan nyawa Liang Mei Lan. Liong-i-Sinni tahu betul kalau di luar kota Cin-an sebelah Barat, terdapat sebuah kuil bernama KUIL HATI EMAS (Kim-sim-tang) yang dipimpin oleh seorang nikouw saleh Kim Sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas).

Liong-i-Sinni pernah mendapatkan gemblengan batin dari Nikouw ini, yang meski tidak memiliki kemampuan Ilmu Silat, tetapi memiliki jangkauan pandangan kedepan yang luar biasa. Dia juga memiliki pengetahuan yang dalam dalam soal keagamaan, dan kesanalah tempat yang paling tepat bagi Liong-i-Sinni untuk membawa dan mengobati Mei Lan.

Dia harus memburu waktu, karena memang waktunya banyak terampas untuk meladeni ketiga setan bumi. Untungnya, Pendeta Wanita ini memiliki Ilmu Ginkang istimewa yang membuatnya diakui sebagai perempuan paling sakti dengan ginkang nomor satu didunia persilatan. Dengan ginkang itulah dia memburu waktu menuju Kuil Hati Emas.

Karena sudah mengenal lokasi kuil itu, maka langkah dan kecepatan Liong-i-Sinni nampak tidak berkurang, seakan ingin secepatnya berada dalam kuil tersebut. Bila ada yang berpapasan dengannya, pasti akan terkejut dengan melihat betapan Nikouw yang memanggul tubuh seorang, masih mampu berlari cepat secepat bayangan nikouw ini.

Tapi memang tidak mengherankan, karena Nikouw ini memang dikenal menjagio dalam hal ginkang dalam dunia persilatan, karena itu tidak heran bila dia mampu melakukan hal yang nampak aneh bagi banyak orang. Setelah berlari-lari selama beberapa jam, akhirnya Liong-i-Sinni melihat dikejauhan puncak wuwungan dari Kuil yang dinamakan Kim Sim Tang tersebut. Dia tersenyum dan berharap masih belum terlambat untuk menolong nyawa Mei Lan yang disaksikannya sanggup memberi perlawanan terhadap 3 tokoh sakti dunia hitam yang sangat ditakuti itu. Dari gerakannya, jelas adalah anak murid Bu Tong Pay, tapi murid siapakah anak ini?

Liong-i-Sinni dengan cepat berkelabat memasuki kuil, dan begitu memasuki halaman utama, dengan cepat dia memberi salam dan berkata:

“Maafkan, pinni mengganggu, tetapi karena harus cepat menolong nyawa orang, maka agak melalaikan tata krama”

“Siancai-siancai, suhu Liong-i-Sinni berkunjung, tentunya Suhu Kim Sim Nikouw akan sangat senang” berbicara salah seorang nikouw yang kebetulan masih mengenalnya.

“Bisakah pinni mendapat kamar terlebih dahulu, nona ini dalam keadaan berbahaya, perlu ditolong lebih dahulu. Biarlah setelah itu pinni akan menghadap suhu Kim Sim” bisik Liong-i-Sinni. Tentu saja dengan cepat permohonannya dikabulkan, karena memang nama Liong-i-Sinni sangat dihormati di kuil Kim Sim Tang ini. Meskipun mengaku suhu kepada Kim Sim Nikouw yang memang mengajarnya dalam hal agama, tetapi semua penghuni kuil sadar siapa tokoh wanita ini.

Karena itu, mereka bahkan menghormati Liong-i-Sinni seperti menghormati suhu mereka sendiri. Karena sejak dahulupun Padri Wanita ini bukan sedikit memberi bantuan bagi kuil dan mengangkat nama yang sangat harum di dunia persilatan.

Begitu mendapatkan kamar, Liong-i-Sinni meminta untuk tidak diganggu dulu karena akan berkonsentrasi menyembuhkan orang. Karena itu, dikamar itu hanya disediakan air, pelita secukupnya dan kemudian dijaga seorang nikouw muda di luarnya. Liong-i-Sinni segera memegang nadi tangan Mei Lan, dan tidak beberapa lama kemudian wajahnya menjadi muram. Kekuatan Ha-Mo-Kang yang masuk bersifat sangat keras dan nampaknya kekuatan hawa “im” di tubuh gadis ini masih belum memadai untuk menaklukkan Ha-Mo-Kang.

Padahal, apabila hawa Ha-Mo-Kang bisa ditundukkan, maka kekuatan racunnya bisa didesak keluar. Tetapi bila kekuatan Ha-Mo-Kang tidak bisa dijinakkan, maka seluruh hawa dan tubuh Mei Lan akan keracunan dan tidak akan bertahan dalam hitungan hari. Untungnya semua saluran penting sudah ditotoknya tadi, sehingga meski Mei Lan terluka, tetapi masih tetap bisa sadarkan diri. Keadaan gadis ini sungguh mengenaskan. Nampaknya, hanya dengan cara yang disarankan Koko Cun Le maka kesempatan hidupnya bisa diraih kembali, malah dengan keuntungan.

Nampak Padri Wanita itu termenung-menung sebentar, menilai banyak segi untuk mengambil keputusan. Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Padri Wanita ini mantap dengan keputusannya untuk menyelamatkan nyawa anak gadis ini. Selagi ada kesempatan, mengapa tidak”? Lagipula menolong nyawa dan jiwa orang masih lebih penting”, pikirnya tanpa sadar bahwa keputusannya ini menimbulkan banyak hal tak terduga dalam dunia persilatan dan bahkan keluarganya sendiri, Lembah Pualam Hijau.

Beberapa saat kemudian Liong-i-Sinni membuka totokan Mei Lan yang dengan cepat kemudian memperoleh kesadarannya. Begitu dia membuka matanya, dihadapannya bersimpuh seorang Nikouw tua, sudah berusia sekitar 60 tahunan yang memandangnya dengan penuh kasih dan dalam kelembutan tatapan yang menyejukkan hatinya.

“Dimanakah aku”? rintih Mei Lan begitu menyadari segenap anggota tubuhnya sangat nyeri untuk digerakkan. Bergerak sedikit saja sudah menghadirkan rasa sakit yang susah ditahan dalam tubuhnya. Segera dia sadar bahwa dia terluka cukup dalam.

“Diamlah anakku, engkau selamat berada dalam Kim Sim Tang di luar kota Cin an” jawab Liong-i-Sinni.

“Apakah locianpwe yang menolongku? Dimana pula Liok te Sam Kwi”?

“Sabar anakku, mereka sudah pergi. Kita perlu berbicara untuk kesembuhan dan masa depanmu. Kesempatan untuk kesembuhanmu sangat kecil, tetapi sangat ditentukan oleh dirimu” bisik Sinni

“Maksud locianpwe” Tanya Mei Lan tergetar mendengar kondisi atau keadaannya yang ternyata sangat berbahaya.

“Tubuhmu tergetar oleh Ha Mo Kang yang dahsyat. Hawa sinkangmu juga keracunan oleh hawa tersebut. Pinni sendiri, tidak punya keyakinan untuk menyembuhkanmu” bisik Liong-i-Sinni

“Ach, apalah artinya kematian itu locianpwe”? hanya sayang, boanpwe belum menyelesaikan tugas yang diberikan suhu, orang tua yang mulia itu” bisik Mei Lan tanpa gentar. Sungguh mengagumkan, dan tidak kecewa menjadi didikan tokoh gaib Wie Tiong Lan.

“Siapakah gurumu anakku”? bertanya Padri Wanita itu meski sudah bisa menebak arah dari jawaban Mei Lan dengan melihat cara bertempur Mei Lan melawan Liok te Sam Kwi tadi.

“Suhu yang mulia Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan” Mei Lan mendesis mengingat kebaikan suhunya yang boleh dikata memanjangkan usianya. Sementara Liong-i-Sinni terperanjat mengetahui bahwa gadis muda ini ternyata adalah didikan tokoh gaib dunia persilatan. Dan tidak disangkanya pula bahwa Wie Tiong Lan masih hidup, dan dia jadi bisa memastikan bila kakeknya juga pasti masih hidup. Bila dihitung, usia mereka pasti sudah diangka 100an. Luar biasa, sungguh sulit dipercaya.

“Baiklah anakku, mari kita bicarakan keadaanmu. Satu-satunya cara yang pinni kenal adalah cara yang diberitahukan oleh Kakak pinni sendiri dari Lembah Pualam Hijau” Bisik Liong-i-Sinni.

“Maksud Locianpwe, locianpwe ini berasal dari Lembah Pualam Hijau”? Mei Lan terkejut mengetahui bahwa dia berhadapan dengan salah seorang tokoh dari Lembah yang sangat popular itu.

“Benar anakku, kokoku bernama Kiang Cun Le, ayah dari Kiang Bengcu dewasa ini” Jawab Liong-i-Sinni.

“Dan berarti, locianpwe adalah Kiang In Hong, pendekar wanita terhebat masa kini” berbinar Mei Lan memandang Liong-i-Sinni yang menjadi terharu.

“Kiang In Hong adalah masa laluku anakku, kini nama pinni adalah Liong-i-Sinni” bisik Sinni.

“Ach, jadi Pendeta Pertapa Sakti dari timur adalah jelmaan Pendekar Wanita Terhebat masa kini” Mei Lan menggumam dan menjadi mengerti mengapa Padri Wanita dari Timur dikabarkan berilmu sangat tinggi. Ternyata karena memang keturunan dari Lembah Pualam Hijau.

“Sudahlah anakku, sebaiknya sekarang dengarkanlah apa yang ingin pinni sampaikan kepadamu. Kesempatanmu untuk sembuh hanya sedikit, tergantung keuletan dan kesungguhanmu. Apa kamu sanggup”?

“Apabila ada jalan kesembuhan, sesulit apapun akan tecu upayakan” tegas Mei Lan, yang beberapa kali kemudian meringis kesakitan akibat luka dalam tubuhnya itu..

“Baik, untuk beberapa saat ini, pinni akan memperkuat kekuatan hawa “im” ditubuhmu, dan setelah memperkuat hawa “im” dan menarik sebagian hawa “yang” dari hawa Ha Mo Kang, selanjutnya Pinni akan membisikkan kata-kata yang harus kamu turuti tanpa syarat. Apakah kamu sanggup”? Liong-i-Sinni bertanya

“Baik, tecu sanggup” Mei Lan memantapkan suaranya, terlebih karena dia tahu hanya ini kesempatan hidupnya sebagaimana diberitahukan Lion-i-Sinni.

“Setelah engkau sembuh, engkaupun mewarisi banyak sinkang Giok Ceng, sehingga terhitung engkau menjadi salah seorang muridku. Kuharap suhumu Wie Tiong Lan tidak tersinggung, tetapi hanya cara ini yang mungkin pinni lakukan buatmu anakku” bisik Liong-i-Sinni.

“Tecu menyerahkan keselamatan dan nyawa tecu ke diri engkau orang tua” Mei Lan menegaskan dengan terharu.

“Baiklah anakku, sebetulnya pinni tidak punya cukup keyakinan, tetapi keadaanmu, serta keyakinan dan ketulusanmu mengetuk nurani pinni. Bila Cun Le koko sanggup, harusnya kitapun sanggup. Sekarang engkau duduk bersila dan kuperkuat sinkangmu yang berhawa “im” bisik Liong-i-Sinni.

Tak berapa lama kedua orang itu sudah tenggelam dalam proses penyaluran tenaga dalam. Hanya, kali ini Liong-i-Sinni memperkuat dan menggembleng hawa “im” dalam tubuh Mei Lan yang secara kebetulan juga memang Sinkangnya berjenis “Im” dari Bu Tong Pay. Hampir semalaman Liong-i-Sinni menggembleng, memperkuat dan mempertajam kekuatan hawa “Im” dari Mei Lan, dan kemudian perlahan menarik hawa “yang” dari Ha Mo Kang yang berjenis “Yang” dan “keras”.

Sebetulnya, Liong-i-Sinni hanya sedikit memperkuat Sinkang hawa “im” dari Mei Lan untuk bisa menguasai hawa “yang” dari Ha Mo Kang, sementara hawa Ha Mo Kang yang berlimpah dalam diri Mei Lan, kemudian perlahan diserapnya. Tentu saja bersama dengan racunnya. Pada titik ini, spekulasi Liong-i-Sinni memang luar biasa taruhannya, sedikit saja dia keliru menakar kekuatan hawa “im” Mei Lan, bisa mendatangkan maut bagi setidaknya Mei Lan dan juga dirinya.

Karena itu, sepanjang malam Liong-i-Sinni melakukan penguatan hawa “Im” Mei Lan, sampai pada batas yang dia pikir cukup. Tapi itu dilakukannya setelah dia banyak menarik hawa “yang” dari Ha Mo Kang ke tubuhnya sendiri dengan takaran kekuatan yang sanggup ditaklukkan hama “im” yang dilatihnya.

Akhirnya, menjelang pagi hari, dia merasa keseimbangan yang dibutuhkannya sudah tercapai. Dalam tubuh Mei Lan masih terdapat hawa Ha Mo Kang berjenis “yang” atau “keras” yang melimpah, karena hasil latihan 3 orang selama puluhan tahun. Meskipun sebagian hawa itu, sudah ditarik dan diserap oleh Liong-i-Sinni kedalam tubuhnya.

Saat ini, dalam tubuh kedua Naga perempuan ini, sudah terdapat keseimbangan hawa “Im” dan “Yang” dengan kekuatan “Im” yang dominant karena menjadi dasar pemupukan Sinkang dalam tubuh keduanya. Kelebihan hawa “Im” dimaksudkan untuk menjinakkan hawa Yang dan meleburkannya, tahap kedua ini adalah tahapan yang sangat penting dan menentukan mati hidup keduanya. Ketekunan, keuletan dan kecerdasan akan sangat menentukan hasil akhirnya. Karena itu, Liong-i-Sinni meminta Mei Lan untuk beristirahat sejenak, memulihkan kekuatan dan semangat selama beberapa jam hingga akhirnya matahari menghadirkan cahaya.

“Sampai pada titik ini, kita tidak boleh terganggu hawa apapun dari luar anakku. Tidak boleh ada makanan, minuman atau jenis apapun yang bisa merusak konsentrasi hawa kita. Sekarang, sudah siapkah kamu dengan perjuangan mati hidup kita”? Perlu pinni sampaikan, bahwa pinni sekarang dalam keadaan yang sama dengan engkau anakku, pinni telah menyerap banyak hawa ha-mo kang dari tubuhmu.

Tetapi dalam tubuhmu masih tetap melimpah kekuatan dan hawa Ha Mo Kang itu. Kondisi kita sama, yang akan menentukan keberhasilan kita adalah ketekunan, kecerdasan, keuletan dan kemauan untuk sembuh. Camkan itu. Dan, cepat mengerti, cepat meresapi apa yang pinni katakan, jangan membantah, biarkan semua mengalir. Kamu mengerti anakku”? Tanya Liong-i-Sinni dengan suara yang keren, tegas dan cermat. Dia sada betul, bahwa keberhasilan Cun Le disebabkan penguasaan yang cepat dan unsur yang disebutkan Cun Le sesuai dengan unsur “im” atau lemas. Yakni membiarkan hawa mengalir, pasrah dan kemudian menghimpun dan membiarkannya bergerak untuk kemudian jinak dengan sendirinya.

“Baik suhu” Mei Lan kini membahasakan Liong-i-Sinni sebagai gurunya, karena curahan tenaga dari Liong-i-Sinni kedalam tubuhnya.

“Baik mari kita mulai, resapi, ingat dan camkan semua yang kubisikkan, jalan hidup kita ada disana” Selanjutnya proses seperti yang dialami oleh Thian Jie secara aneh, dan dengan cara yang berbeda kembali dialami kedua orang ini. Hanya, kali ini beda dengan Thian Jie yang membaca dari kertas dalam gelang gemuknya, maka proses ini dengan mendengarkan hafalan Liong-i-Sinni yang mendapatkannya ketika menemukan Cun Le dalam keadaan kosong setelah melontarkan Kiang Ceng Liong dan menerima tenaga dari Siangkoan Tek.

Pada saat itulah Kiang Cun Le membuka rahasia yang dilakukannya dan membacakan hafalan rahasia dari kitab jawadwipa hasil pertaruhannya dengan Pendekar dari Thian Tok. Cara itulah yang menyelamatkan Cun Le dan kini akan digunakan adiknya In Hong dalam mengobati Mei Lan.

Terdengar kemudian suara lembut Liong-i-Sinni:

Bumi … dalam diam & kekokohannya …. menampung segenap kekuatan. Kekuatan apapun.
Lautan …. dalam ketenangannya … menampung seluruh air di jagad raya.
Angkasa Raya … dalam gemulai geraknya ….. mewadahi seluruh hembusan angin alam raya.
Maka …..
…… Kokohlah, sekokoh bumi
…… Tenang setenang samudra raya
…… Bergerak bagaikan angkasa raya
Manusia laksana bumi, seperti lautan, bagaikan angkasa
Pasrah akan sekokoh bumi
Pasrah akan setenang samudra
Pasrah akan seelastis angkasa raya
Karena ….. Manusia adalah alam dalam bentuk mini

Diulang lagi sarinya oleh Liong-i-Sinni untuk membuat Mei Lan mengerti, menghafal dan mencamkannya:

Manusia laksana bumi dalam bentuk mini
Pasrah akan sekokoh bumi, setenang samudra, segagak angkasa
Pasrahkan semua tenaga dalam dirimu, karena dirimu adalah alam mini

Dan selanjutnya tidak lagi terdengar suara Liong-i-Sinni. Keduanya kini tenggelam dalam perenungan mengenai kalimat-kalimat tersebut, tetapi pengendapan dan pengetahuan Liong-i-Sinni memang sudah lebih dibanding Mei Lan. Itulah sebabnya dia lebih cepat dan lebih pesat dalam memahami maknanya, dan lebih cepat juga memperoleh hasilnya.

Manakala Mei Lan masih terombang-ambing memeriksa makna semua kalimat itu, meski petunjuk bagian akhirnya sudah jelas, Liong-i-Sinni sudah tenggelam dalam pergulatan untuk mencairkan kedua hawa dalam tubuhnya, sudah dalam proses memasaknya. Dengan membiarkan hawa-hawa dalam tubuh bergerak atau menentukan geraknya sendiri, bertabrakan, saling tarik ataupun saling melibas. Sementara Mei Lan semakin terperosok dalam kesulitan, semakin tersiksa dan semakin berat dalam menanggung siksaan hawa karena belum sanggup mempersiapkan cara memasaknya.

Akhirnya terbayang wajah suhunya, terbayang kakaknya, ayahnya, adiknya, ibunya, dan dia tenggelam dalam alam khayalan yang bila tidak cepat disadari akan membawanya kealam maut. Terakhir dia terkenang Thian Jie, terutama ketika dia mengenang …. ini, kalimat ini jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam. Bukankah Thian Jie berkali-kali mendesiskannya, adakah hubungannya dengan keadaanku sekarang? Semangat Mei Lan tumbuh kembali, baik ketika mengenangkan Thian Jie, maupun semangat menemukan arti kalimat Thian Jie yang aneh.

Memikirkan Thian Jie membawa semangat untuk hidup baginya, sementara mengingat keanehan Thian Jie menghadirkan kata “Pasrah”, jangan melawan, biarkan pikiran kosong. Dan justru petunjuk dan kenangan akan Thian Jie yang membuat Mei Lan kembali merengut semangat hidupnya dan kemudian secara otomatis juga nyawanya.

Dikuatkanya hatinya, seluruh perhatiannya, kembali ditumbuhkan semangat hidup, dengan kenangan hangat akan Thian Jie sebagai modal utamanya. Dan kemudian perlahan-lahan dia mengosongkan pikirannya, dilupakannya semua yang terjadi, dan dipasrahkannya semua pergolakan dalam tubuhnya, dan anehnya, dia kemudian merasa nyaman, tenang dan selanjutnya malah tidak tahu lagi apa yang terjadi. Sesekali dia merasa memang ada tonjolan sesuatu kekanan, kekiri, kepala seperti melayang, tubuh terasa berat, tetapi tidak dilawannya. Bahkan ketika dia merasa terbang, dibiarkannya pikiran dan semangatnya untuk membenarkan dia terbang, dan begitu seterusnya.

Dia tidak tahu lagi berapa lama dan sampai kapan dia dalam keadaan demikian, yang pasti hawa itu terus bermain-main, bermain-main dalam waktu yang sangat lama. Untuk kemudian lama-kelamaan menjadi capek dan capek berlawanan, lama kelamaan mulai membaur, tidak lagi menerbangkannya, tetapi mulai mencari tempat dan posisi masing-masing dalam tantian, dalam pusar. Dan bahkan kemudian kekuatan yang menjadi raksasa itu, perlahan terangsang kembali bekerja, diterjangnya semua sisa racun, bahkan memerasnya dari sisa yang ada di hawa kekuatan Sinkang dan pada akhirnya membersihkan darah dan tubuh.

Mei Lan tidak tahu lagi berapa lama proses itu terjadi, yang pasti ketika dia mulai merasa nyaman, mulai merasa enak dan perlahan-lahan siuman, dihadapannya sudah berdiri Liong-i-Sinni yang sudah menungguinya kurang lebih selama 3 jam. Dan ketika akhirnya Mei Lan juga sadarkan dirinya, Liong-i-Sinni akhirnya menarik nafas panjang:

“Siancai, siancai, tidak salah tebakan pinni, bahwa kamu memang memiliki sesuatu yang istimewa dan bisa melewati proses tak menentu yang mempertaruhkan nyawa. Anakku, sesungguhnya, tidak banyak orang yang mampu melalui proses tadi. Apa yang kau rasakan kini”? bertanya Liong-i-Sinni dengan terharu dan lembut.

“Tecu merasa sangat ringan suhu, sangat nyaman dan rasanya tidak pernah sesegar ini” sahut Mei Lan.

“Baik, sekarang bagian paling akhir, coba kamu pusatkan pikiran, kendalikan hawa di pusar, dan alirkan kemana saja mengikuti pikiranmu”.

“Selanjutnya, periksa apakah masih tersisa hawa beracun di Sinkangmu dan juga dibagian tubuh yang lain” .
Segera Mei Lan melakukan apa yang diperintahkan guru keduanya ini. Dia kembali siulian, memusatkan semangat dan perlahan membangkitkan kekuatan sakti di pusarnya. Hebat, dia merasa betapa kekuatannya mengalir seperti tak terbatas, dan dengan mudah dialirkannya kemana dia inginkan. Padahal, kemaren-kemaren keadaan ini sungguh sulit untuk dilakukannya.

Tapi kini, dia sudah sanggup mencapai tingkatan yang mendekati kesempurnaan dalam penjelasan gurunya tentang tenaga sakti.

“Baik, bagaimana perasaanmu”? Tanya Liong-i-Sinni setelah Mei Lan menyelesaikan Samadhi memeriksa Sinkang dan memeriksa racun yang tertinngal.

“Luar biasa suhu, Sinkangku bisa kugerakkan semauku. Bagaimana bisa begini”? Mei Lan keheranan dan kegirangan sekaligus. Sungguh diluar dugaannya kekuatan sinkangnya meningkat begitu mengagumkan, sungguh luar biasa dan sulit dibayangkannya. Padahal menurut gurunya, untuk mencapai tahapannya ini, gurunya membutuhkan waktu puluhan tahun, sementara dia sudah mencapainya secara sangat kebetulan diusianya yang masih sangat muda.

Karena itu, sungguh tidak kecil rasa syukur dan terima kasihnya kepada Liong-i-Sinni yang selain mengambil kembali jiwanya dari rengutan kematian, juga meningkatkan ilmunya secara luar biasa.

“Itulah yang pinni katakan jodoh dan bakat. Kamu memiliki keduanya. Jodoh akibat menerima pukulan Ha Mo Kang yang berlimpah dan memiliki kemampuan untuk bertahan dan ulet meski diambang maut” Jelas Liong-i-Sinni.

“Tapi tanpa bimbingan suhu, mana mungkin tecu mencapainya”

“Sudahlah, karena engkaupun berjodoh dengan pinni, maka biarlah kusempurnahkan Ilmumu sekalian. Sampaikan kepada Pek Sim Siansu bahwa Pinni berkenan menurunkan ilmu ginkang ciptaan pinni sendiri Te-hun-thian (mendaki tangga langit). Mengenai Ilmu Silat, bekal dari Wie Tiong Lan Locianpwe sudah lebih dari memadai. Mari kita keluar sekarang, kita makan dan kemudian kita coba berlatih” ajak Liong-i-Sinni.

Diingatkan masalah “makan”, tiba-tiba Mei Lan baru merasa betapa sangat laparnya dia. Tanpa disadarinya, dia sudah lebih dari 2 hari tidak mengisi perutnya dalam perjuangan meraih kehidupannya kembali. Karena itu, dia kemudian merasa sangat antusias dan gembira, keluar dari kamar dan kemudian menikmati makanan. Berkenalan dengan Kim Sim Nikouw dan banyak penghuni Kim Sim Tang, dan kemudian pada sore menjelang malam kembali berkumpul bersama dengan Guru keduanya untuk kembali mendalami Ilmu Silatnya.

Awalnya, gurunya meminta Mei Lan untuk memperdalam kembali dan memainkan Ilmu Perguruannya dan kemudian Mei Lan menemukan betapa semua Ilmu perguruannya sudah bisa dimainkannya dengan tingkat kesempurnaan yang bahkan melebihi suheng-suhengnya.

Demikianlah, dari terancam kematian, Liang Mei Lan akhirnya malah menjadi murid Liong-i-Sinni dan memperoleh warisan Ginkang istimewa dari gurunya itu, yakni Te-hun-thian (mendaki tangga langit). Terlebih karena Ginkang Liong-i-Sinni diakui sebagai yang paling unggul dan paling cepat dalam dunia persilatan dewasa ini. Selama sebulan, Mei Lan berlatih Ilmu ini, bahkan melatih juga Ilmu dan Jurus perguruannya yang lain.

Dengan gembira ditemukannya kenyataan betapa sangat mudah kini dia memainkan Ilmu Ciptaan Terakhir gurunya, Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Bahkan bisa dilakukannya hingga ke puncak penggunaan ilmu itu yang membuatnya menjadi seperti bayangan dewa berjumlah laksaan, sebuah pengaruh sihir bagi yang lemah. Tetapi, dengan kemampuannya sekarang, bahkan Liong-i-Sinni menjadi terkesima, dan membandingkannya dengan ilmunya yang diciptakannya sendiri yakni Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan yang juga akan sangat menakutkan dimainkan pada puncak pengetrapannya.

Diam-diam dia kagum dan sadar, bahkan dibandingkan Tan Bi Hiongpun nampaknya Mei Lan sudah bisa melampauinya. Sungguh luar biasa. Sengaja dia tidak menurunkan Ilmu Hun Kong Ciok Eng kepada Mei Lan, karena melihat Mei Lan sudah membekal Ilmu sejenis dari perguruan Bu Tong Pay. Sinni hanya menggembleng Mei Lan secara khusus dalam Ilmu Ginkang istimewanya. Dan dalam waktu sebulan, bahkan tingkatan Mei Lan sudah meningkat pesat, sudah mulai mendekati kemampuan gurunya, meski masih kurang dalam latihan dan pengalaman belaka.

Setelah bertekun selama 1 bulan dan menurunkan ginkangnya kepada Mei Lan, akhirnya Liong-i-Sinni mengakhiri pertemuan mereka. Kepada suhu barunya ini, Mei Lan menceritakan perihal Sun Nio yang membuatnya terlibat perkelahian dengan Liok te Sam Kwi, dan bahwa Sun Nio menggunakan kuda hitam yang dibawanya dari Pakkhia. Akhirnya keduanya berpamitan dari Kim Sim Nikouw, yang juga selama sebulan terakhir ikut melengkapi kekuatan batin Mei Lan dan menggodoknya dalam Ilmu Keagamaan.

Sehingga ketika berpisah Kiang In Hong atau Liong-i-Sinni mewanti-wanti Mei Lan untuk terus berjalan dijalan kebenaran. Sekaligus juga menitipkan keadaan dunia persilatan bagi generasi Mei Lan untuk ditangani. Selanjutnya Pendeta Sakti ini kembali melanjutkan perjalanannya sendiri menelusuri jejak muridnya, sekaligus cucunya yang menghilang mencari orang tuanya yang raib dalam waktu yang cukup lama.
 
BAB 16 Pertemuan 10 Tahunan terakhir
1 Pertemuan 10 Tahunan terakhir




Ada berapa macam nama berbeda buat menamai sungai itu, sebuah sungai yang mengalir dari gunung dan kemudian membelah ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi. Namanya adalah Sungai Kemala, sebuah sungai yang memiliki pemandangan yang sangat elok, karena melalui banyak pegunungan dan bukit hingga memasuki sebuah lembah di propinsi Kangsui. Bahkan ketika melalui beberapa bukit, nampak bukit tersebut seperti berbaris untuk menghormati alur sungai yang cukup lebar tersebut, dan bagaikan mengawasi apa saja yang mengalir atau dialirkan sungai itu ke lembah.

Karena itu, lukisan alam di sepanjang Sungai Kemala, sungguh luar biasa indahnya. Tapi, sekaligus, bila terjadi gangguan atas alam atau terjadi ketidakseimbangan alam, maka sungai ini juga bisa sangat mematikan, karena curahan air dan endapan lumpur bahkan bisa menyeret pepohonan sampai ke daerah yang lebih rendah. Tetapi, karena Sungai itu, melalui beberapa bukit dan pegunungan, maka terdapatlah banyak sekali tebing-tebing gunung dan bukit yang sangat indah.

Bahkan, banyak diantara tebing tersebut yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan dan tidaklah mungkin didatangi karena kontur alam yang tidak memungkinkannya. Tetapi, hampir bisa dipastikan bahwa deretan dan jajaran tebing yang demikian banyak di sepanjang sungai kemala ini bukan bahana keindahannya.

Salah satu tebing yang “tidak mungkin” didatangi manusia itu, ternyata ada yang memberikan nama atasnya. Tebing yang “tidak terdatangi” itu diberi nama Tebing Peringatan 10 Tahunan. Dan memang, tebing itu hanya didatangi orang setiap 10 tahunan, dan itupun yang datang hanya 4 orang belaka.

Tetapi pada pertemuan 10 tahun sebelumnya, bertambah kehadiran 5 orang anak yang secara aneh dan kebetulan terbawa arus sungai dan diselamatkan oleh 4 orang yang biasa mempergunakan tebing tersebut sebagai tempat pertemuan. Dan Tebing peringatan pertemuan 10 tahunan, tahun ini akan kembali dihadiri oleh 4 pendatang tetapnya, dan kali ini seperti 10 tahun sebelumnya, nampaknya juga bersama dengan 5 orang lain yang seiring perjalanan waktu, telah berubah dari kanak-kanak menjadi mahluk dewasa.

Berbeda dengan 10 tahun sebelumnya, pertemuan yang diadakan pada bulan ke-7 dari tahun berjalan, nampaknya tidaklah akan diwarnai oleh amarah alam. Meskipun tidak sangat cerah, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa terjadi hujan lebat di daerah yang lebih tinggi. Dan arus sungai di bawah tebing, juga nampak tenang dan justru melahirkan banyak inspirasi bagi mereka yang senang mengekspresikan perasaan lewat puisi ataupun sajak.

Meskipun alam tidak sedang sangat cerah, tetapi lukisan pemandangan yang terhampar justru bukan main indahnya. Di kejauhan nampak hamparan permadani hijau yang dilatari oleh sebuah Gunung yang memagari hamparan hijau tersebut. Melongok kekiri, nampak berkelok-keloknya sungai yang bagaikan naga raksasa memanjang berkelok-kelok, dan dibeberapa tempat nampak seperti pecah jadi dua, tetapi kemudian bersambung lagi. Memandang ke samping kanan, nampak sumber atau hulu sungai yang tentu tak terlihat, sebuah rangkaian pepohonan lebat yang menempel pada bebatuan gunung yang masih sangat lebat. Paduan dengan cahaya yang tidak terlalu menusuk justru menghadirkan inspirasi yang bakal melimpah.

Dan hari ini, Tebing Peringatan ini akan kembali didatangi para pendatang tetapnya, meski hanya setiap 10 tahunan. Seperti biasanya, yang paling dahulu tiba adalah orang tertua, Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay, yang datang bersama dengan murid kesayangannya, Liang Tek Hoat. Seorang pendekar muda yang sudah menjulang di dunia persilatan dengan julukan Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah). Entah bagaimana, sejak pertemuan pertama kali, selalu saja Kiong Siang Han sebagai orang tertua yang datang lebih dahulu.

Alasannya tidaklah diketahui, yang pasti memang orang tua gagah ini yang selalu merintis kedatangan kawan-kawan seangkatannya. Kedatangan mereka sudah tentu tidak menimbulkan suara, suatu tanda bahwa kepandaian mereka sudah demikian tingginya. Memang, karena 1 bulan sebelum mendatangi tempat ini, Tek Hoat menemui gurunya untuk bersama datang. Kesibukannya membersihkan Kay Pang membuatnya mempercepat kedatangannya di rumah orang tuanya di Hang Chouw.

Dan selama dalam perjalanan, Tek Hoat terus menerus digembleng dan disempurnakan kepandaiannya oelh gurunya. Bahkan Kiong Siang Han sangat bangga atas apa yang dilakukan Tek Hoat terhadap Kay Pang, yang bisa kembali mengkonsolidasikan kekuatannya dan menumpas Hek-i-Kay Pang di daerah utara sungai Yang Ce. Meski belum mengatakannya, Kiong Siang Han sudah memiliki maksud untuk mengajukan murid penutupnya ini mejadi Pangcu Kay Pang pengganti Kim Ciam Sin Kay.

Belum cukup lama kedua guru dan murid itu duduk, tak berapa lama telinga mereka yang tajam mendengar desiran 3 pasang kaki yang bergerak mendatangi tebing peringatan. Dan benar juga, tidak lama dihadapan mereka sudah bertambah seorang Hwesio yang sudah sangat tua, nampak setua Kiong Siang Han dengan didampingi kedua muridnya. Siapa lagi jika bukan bekas Ciangbunjin Siauw Lim Sie Kian Ti Hosiang beserta kedua murid kembarnya Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song? Sepasang Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie yang mengangkat nama di daerah Bing Lam.

Seperti juga Kiong Siang Han dan muridnya, Kian Ti Hosiang datang ke Tebing Pertemuan bersama muridnya setelah melepas kedua anak kembar untuk mengunjungi Poh Thian dan membereskan banyak urusan disana. Tentu Kian Ti Hosiang sangat gembira dengan hasil di Poh Thian, bahkan dia sudah menerima bisikan batiniah dari Thian Ouw Hwesio mengenai masa depan Siauw Lim Sie Poh Thian. Seperti juga Kiong Siang Han, sepanjang perjalanan ke Tebing, kedua murid kembar itu kembali digodok dan disempurnakan kepandaiannya oleh Kian Ti Hosiang.

”Seperti biasa, Kiong Pangcu selalu berada mendahului yang lain. Bagaimana keadaanmu Kiong Pangcu?“ Meski bukan Kay Pang Pangcu lagi, tetapi Kian Ti Hosiang dan kawan-kawan, masih tetap memanggil Kiong Siang Han sebagai Pangcu. Panggilan sejak mereka saling mengenal di masa muda dan masa-masa keemasan mereka. Dulu, puluhan tahun lalu. Tapi, hingga sudah kakek-kakek, bahkan sudah bukan pangcu lagi, tapi panggilan itu tetap dilekatkan kepada tokoh besar Kaypang ini.

”Seperti biasa Hosiang, tentu baik-baik“ Jawab Kiong Siang Han kalem. Baru saja kalimat itu meluncur keluar, nampak mendatangi lagi seorang pendatang tetap yang lain, Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan. Kedatangannya tentu bersama dengan murid terakhirnya, Liang Mei Lan Sian Eng Li (Nona Bayangan Dewa).

Dan yang mengagetkan Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han adalah jejak kaki yang luar biasa ringannya yang ditunjukkan oleh Liang Mei Lan, bahkan sudah nyaris seringan gurunya. Benar-benar sangat mengejutkan mereka. Bisa juga Wie Tiong Lan mendidik anak ini menjadi selihay itu dalam gerakan kaki atau dalam Ilmu Ginkang.

”hahaha, gimana kabar Kiong Pangcu dan Kian Ti Hosiang“? Wie Tiong Lan datang dengan penuh kegembiraan dan langsung menyapa kedua sahabat karibnya tersebut. Suasana dengan segera menjadi akrab diantara mereka bertiga, sementara keempat anak muda lainya nampak juga saling bertukar cerita dan saling berkenalan. Terlebih Mei Lan yang juga tak sempat ke Hang Chouw lagi karena kejadian di Lok Yang, tetapi langsung ke Bu Tong San menemui gurunya.

Dia menanyakan kabar keluarganya, karena tahu pasti Tek Hoat sempat ke Hang Chouw, dan berceritalah keduanya, meski diseling-selingi dengan bercakap dengan kedua Pendekar Muda Siauw Lim Sie. Percakapan merekapun tidak kalah akrabnya, persis hubungan guru-guru mereka sejak masa mudanya. Percakapan yang menumbuhkan simpati yang dalam, terutama Kwi Song terhadap Mei Lan yang semakin lama semakin mengagumi gadis cantik yang sangat mungil menggemaskan ini.

Suasana yang semakin riang dan meriah tersebut semakin bertambah ketika pendatang terakhir, juga pada akhirnya tiba, inilah Kiang Sin Liong, salah satu tokoh utama Lembah Pualam Hijau yang sangat legendaris. Kedatangannya, anehnya, hanya sendirian saja alias tanpa disertai muridnya yang hingga keputusannya meninggalkan pertapaan masih belum datang juga. Tapi dia punya keyakinan bahwa muridnya akan tiba di tebing peringatan ini, karena dia merasa tiada halangan dan firasat yang jelek, sebaliknya justru getaran yang menggembirakan yang diterimanya bila mengenangkan cucunya ini sebulan terakhir ini.

Tapi, memang berada dimanakah Kiang Ceng Liong alias Thian Jie ini? Dan mengapa pula dia tidak datang bersama dengan gurunya dan malah terkesan terlambat dalam menghadiri pertemuan 10 tahunan ini? Bahkan gurunya juga bertanya-tanya. Sama herannya dengan Tek Hoat yang sangat ingin bertemu kawan akrabnya itu, juga Mei Lan yang sudah lama gelisah ingin bertemu Ceng Liong. Meskipun ketika bertemu, sedikit kalimat dan kata-kata antara mereka.

Sebenarnya, proses penyembuhan dan pengobatannya memang makan waktu lebih dari yang diduga oleh Kim Ciam Sin Kay. Dari waktu yang ditetapkannya 3 bulan, menjadi hampir 5 bulan, karena proses kehilangan ingatan yang sudah 10 tahunan. Karena itu, dia harus mengerahkan semua kekuatannya dan kemahirannya dalam Ilmu Jarum Emas. Tetapi, proses itu sendiri berjalan baik, terlebih karena Kim Ciam Sin Kay sudah menganggap Ceng Liong sebagai cucunya sendiri.

Dan baru dengan pengerahan segala cara dan pengetahuannya seperti itu, pada pertengahan bulan kelima mampu menunjukkan tanda membaik. Dan baru pada akhir bulan kelima, di markas utama Kay Pang dia menyatakan Thian Jie alias Kiang Ceng Liong sembuh. Bahkan Ceng Liong sendiri sudah bisa mengingat saat-saat terakhir sebelum berpisah dari kakeknya Kiang Cun Le dan saat-saat sebelum dia kehilangan ingatan. Meskipun serpihan ingatan itu masih harus disusunnya kembali agar bisa menentukan tingkat ketepatan ingatan dengan kejadian yang sebenarnya.

Dia juga kemudian bisa mengingat ayahnya, ibunya dan Lembah Pualam Hijau. Dia mengerti siapa dirinya dan juga mengerti kedudukan dirinya dan lembahnya dalam dunia persilatan. Yang justru sulit diingatnya adalah kejadian setelah dia kehilangan ingatan, dan inilah yang dijelaskan oleh Kim Ciam Sin Kay sebagaimana amanat surat gurunya atau yang juga adalah Kakek Buyutnya, Kiang Sin Liong.

Bahkan kepada Kiang Ceng Liong, Kim Ciam Sin Kay secara pribadi menceritakan proses bagaimana Thian Jie atau Ceng Liong yang kehilangan ingatannya menyelamatkan Pangcu Kay Pang. Semua ingatan dan memori setelah kehilangan ingatan, sudah dihafalkan Kim Ciam Sin Kay, terutama sejak dia diselematkan Tek Hoat dan Mei Lan sampai kemudian dia menyelamatkan Kay Pang.

Sungguh banyak cerita dan memory itu, karenanya Kim Ciam Sin Kay membutuhkan berhari-hari untuk menceritakan kembali semua yan terjadi selama ini. Bahkan kemudian, sebagaimana pesan Kiang Sin Liong, Kim Ciam Sin Kay menceritakan kondisi Ceng Liong, keluarganya yang ternama dan kaitan keluarganya dengan Dunia Persilatan. Sekaligus, juga diceritakan kemelut dunia persilatan akhir akhir ini yang mengalami gejolak yang sangat panas dan banyak meminta korban.

Kim Ciam Sin Kay memilih waktu khusus untuk membahas kejadian yang terjadi pada waktu Ceng Liong kehilangan ingatan, khususnya pada paroh akhir ingatannya hilang. Atau, lebih khusus cerita mengenai Giok Hong dan racun yang ditemukan Sin Kay dalam tubuh Ceng Liong. Juga menceritakan bahwa Ceng Liong sempat menderita racun dewa asmara bersama Giok Hong, tapi anehnya Giok Hong kemudian menghilang.

Tapi Kim Ciam Sin Kay menegaskan, bahwa racun dewa asmara, hanya bisa sembuh melalui hubungan seks, sehingga menggambarkan kepada Ceng Liong kemungkinan terburuk yang harus dihadapinya dalam kasus ini, entah dengan Giok Hong atau dengan siapapun. Meskipun malu dan terpukul, tetapi Ceng Liong mengucapkan terima kasih atas keterbukaan Kim Ciam Sin Kay atas peristiwa tersebut, sehingga penting baginya untuk menilai diri sendiri ke depan. (Cerita dengan Giok Hong, belakangan memang berkembang menarik, tetapi akan diceritakan dalam lanjutan cerita ini nantinya);

”Liong Jie, satu hal harus kau awasi dengan cermat. Sebagaimana engkau ceritakan kepada lohu bahwa engkau terpukul jatuh besama Giok Hong, dan kutemukan bekas racun dewa asmara yang tipis dan baru terjernihkan, maka biarlah kuberitahukan kepadamu“ Kim Ciam Sin Kay nampak kesulitan menceritakannya, tetapi tetap harus diberitahukan.

”Racun itu, tidak ada obat penawarnya. Hanya mungkin tertawarkan melalui pergaulan intim pria dan wanita“ lanjutnya.

”Maksud lopangcu“? Ceng Liong bertanya dengan wajah berubah merah padam

“Bukan salahmu Liong Jie. Racun itu memang hanya bisa ditawarkan melalui hubungan suami istri antara pria dan wanita“ Tegas Kim Ciam Sin Kay.

“Apakah jika demikian, tecu telah melakukannya dengan nona Giok Hong“?

“Sangat mungkin demikian. Menurut beberapa orang yang memeriksa disana, terdapat jejak kehidupan di kedalaman Goa yang kemudian menghilang begitu saja. Kemungkinan ada yang menolong nona Giok Hong setelah kejadian itu, atau nona Giok Hong melarikan diri setelah kejadian itu“
”Ach, sungguh tak pantas, sungguh memalukan“ Ceng Liong nampak sangat terpukul dan terkejut.

”Jangan menyalahkan dirimu Liong Jie. Itu baru kemungkinan semata. Kau temukan nona Giok Hong terlebih dahulu, baru bisa ditetapkan“ pesan Kim Ciam Sin Kay.

Demikianlah, waktu bagi Ceng Liong praktis tidak sampai sebulan untuk mencari Tebing Peringatan, yang untungnya sudah dibekalkan kepadanya sebuah Peta oleh gurunya atau kakeknya. Ketika kakeknya tiba di tebing Peringatan, sebetulnya Ceng Liong juga sudah tidak jauh dari tebing tersebut, cuma sedang mencocokkan arah dan tempat dengan petanya. Begitupun masih dibutuhkan waktu hampir sejam lamanya sampai akhirnya kemudian Ceng Liong dengan matanya yang tajam dan perasaannya yang semakin peka, menemukan getaran keberadaan manusia di sebuah tebing yang mustahil didatangi orang itu.

Dengan pesat kemudian dia bergerak mendekati Tebing Peringatan tersebut dan dengan beberapa kali lompatan khas Lembah Pualam Hijau dia mendatangi kelompok orang tersebut. Tapi, sesungguhnya tak ada seorangpun yang dikenalnya. Karena itu dia menjadi ragu, bertindak maju terus atau berhenti. Untungnya dalam keraguannya tiba-tiba dia mendengar bisikkan:

“Liong Jie datanglah kesini, biar yang lainnya kita tuntaskan lain waktu“

Bisikan ini berpengaruh besar baginya, sebab betapapun ada sepuluh tahun dia mendengarkan suara yang memperlakukannya dengan sangat baik tersebut. Karena itu, tanpa ragu kemudian dia melompat turun ke tebing tersebut dan kemudian memberi hormat sambil berlutut:

”Tecu Kiang Ceng Liong memberi hormat kepada para locianpwe“ Sambil matanya kemudian memandang satu persatu orang tua yang semua berpandangan tajam tetapi lembut tersebut.

”Marilah Liong Jie, engkau tentu sudah rindu dengan aku si orang tua renta ini“ Akhirnya Kakek Kiang Sin Liong yang terharu dan mengerti akan kebingungan cucu buyutnya yang baru mendapatkan kembali ingatannya. Sapaannya itu secara tidak langsung memperkenalkan dirinya. Karena kakek ini tahu betul, keadaan Ceng Liong yang seperti itu, karena baru memperoleh kembali ingatannya.

”Beri hormat kepada Kiong Siang Han, Kiong Pangcu ini“ ujarnya sambil menunjuk kepada Kiong Siang Han. Sementara Kiong Siang Han memandang takjub, baik ketika Ceng Liong meloncat turun dengan gaya yang nampak sangat wajar, maupun ketika memandang matanya yang bercahaya luar biasa.

”Dan Hwesio sakti ini adalah Kian Ti Hosiang“ Kakek Sin Liong kemudian memperkenalkan Kian Ti Hosiang setelah Ceng Liong menghormat Kiong Siang Han.

”Dan yang terakhir, inilah Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan, tokoh utama Bu Tong Pay“

”Dan selanjutnya, biarlah engkau berkenalan sendiri dengan kawan-kawanmu seangkatan, semua adalah murid kami. Kalian berkenalanlah dan bertukar cerita, sementara kami menyelesaikan urusan tersisa“, Kakek Sin Liong kemudian menyuruh Ceng Liong ke rombongan anak muda, tetapi sambil mengamati cucunya yang nampak sangat aneh. Nampaknya berjalan seperti biasa, tetapi nampak juga seperti tidak biasa. Seperti juga para guru besar lainnya, dia menatap Ceng Liong dengan perasaan tak menentu. Langkah kaki cucunya benar-benar mengejutkan, dan ketiga guru besar lainnya, sama terkejutnya seperti ketika Mei Lan datang tadi.

===================

Demikianlah, akhirnya Pertemuan 10 Tahunan dimulai. Arenanya kini seperti 10 tahun sebelumnya, meski ada juga beberapa yang berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kali ini arena terbagi 2, arena pertama adalah arena orang tua, para kakek renta yang semuanya sudah berusia di atas 100 tahun. Mereka nampak berbicara dengan menggunakan Ilmu Penyampai Suara jarak jauh atau Coan Im Jib bit atau juga sejenis Ilmu Coan-im-pek*li (Mengirim Suara Seratus Mil), yang sudah mampu ditembus keempat tokoh gaib ini.

Ketika membicarakan hal yang remeh, yakni keadaan masing-masing, mereka masih menggunakan suara biasa, tetapi ketika mulai membicarakan keadaan dunia Kang Ouw mereka menggunakan ilmu Coan Im Pek Li, yang tidak sembarang tokoh bisa melakukannya. Bahkan tokoh-tokoh tingkat atas masih belum tentu mampu menggunakan ilmu itu, Ilmu yang sangat hebat, meski sudah bisa dengan ilmu coan im nib bit.

”Nampaknya memang dalang semua kekisruhan adalah Thian Liong Pang, dan sekarang mereka menghilang. Meskipun cara mereka menghilang sungguh sangat mencurigakan karena pasti menyembunyikan niat lain yang perlu diteliti“ Kiong Siang Han memulai percakapan yang lebih serius antara keempat tokoh gaib itu.

”Tepatnya, menyusun kekuatan setelah dipukul murid-murid Kian Ti Hosiang di Bing lam, dikalahkan murid Kiong Siang Han, Kiang Sin Liong dan lohu di Cin an dan Pakkhia“ Demikian Wie Tiong Lan

”Benar, mereka memang mundur selangkah, tetapi nampaknya merancang 100 langkah kedepan“ Desis Kian Ti Hosiang.

“Dan bila digaanku tidak salah, mereka akan bergabung dengan tokoh-tokoh sesat, pendekar India dan Tang ni, bahkan juga Lhama pemberontak dari tibet“ Gumam Kakek Sin Liong.

“Sejauh ini, kita sudah mendidik penerus kita dengan baik. Tapi, apakah sisa waktu 3 tahun, masih memadai mempersiapkan mereka?“ bertanya Kiong Siang Han sambil mengelus jenggotnya dan memandang kawan-kawannya dengan sorot serius.

”Apabila kita mempersiapkan mereka, sebaiknya kita melihat tingkat mereka masing-masing saat ini. Bahkan bukan tidak mungkin kita saling melengkapkan murid-murid kita itu“ Kiang Sin Liong mengusulkan, karena betapapun dia tak sanggup menjajaki cucunya saat ini. Dari langkah kaki Ceng Liong, dia seperti melihat kemajuan luar biasa, tetapi tetap masih harus dijajaki dan ditelaah lebih jauh.

”Benar, biarlah kita melihat mereka saling menguji untuk melihat tingkat kemampuan mereka yang terakhir“ Wie Tiong Lan menyetujui.

”Baiklah, kita tentukan demikian“ Kiong Siang Han, seperti biasa yang memutuskan.

Sesaat kemudian, nampak Kiong Siang Han dan kawan-kawan, para kakek tua renta itu mendekati anak muda yang berkumpul tersebut. Kemudian Kiong Siang Han sebagai juru bicara berkata:

”Anak-anakku, kalian tentu masih ingat kejadian 10 tahun berselang, ketika guru kalian masing-masing menyelamatkan kalian dari sungai di bawah ini. Nah, setelah 10 tahun, kami ingin melihat, apakah kalian sudah cukup mampu untuk kembali terjun menyelamatkan keadaan dunia persilatan yang sedang goncang. Karena itu, maka kami ingin melihat sejauh mana kalian menyerap Ilmu kepandaian dari guru masing-masing, untuk melihat kemungkinan meningkatkannya kelak. Untuk babak pertama, biarlah Souw Kwi Beng berlatih dengan Liang Mei Lan, selanjutnya Souw Kwi Song dengan Liang Tek Hoat, dan terakhir biarlah kita melihat entah Kwi Beng atau Mei Lan melawan Kiang Ceng Liong“

”Anak-anakku, apakah kalian mengerti maksud kami“? Kiong Siang Han bertanya

”Mengerti locianpwe“ serentak mereka menjawab. Dan kemudian tampil kedepan adalah Souw Kwi Beng berhadapan dengan Liang mei Lan. Setelah keduanya memberi hormat kepada para suhu mereka, akhirnya merekapun saling berhadapan. Meskipun bertajuk latihan, tetapi kedua anak muda tersebut, termasuk juga gurunya, merasa sedikit tegang ingin melihat sejauh mana hasil latih melatih selama 10 tahun terakhir ini. Kwi Beng nampak tenang dan kokoh, sementara Mei Lan dipihak lain nampak sangat tenang dan sangat percaya diri akan kemampuan saat ini, terlebih setelah dilatih oleh Liong-i-Sinni.

”Mari kita mulai Lan-Moi“ bisik Kwi Beng dan mempesilahkan si gadis untuk memulai penyeangan membuka pertandingan antara mereka.

”Baik, maafkan aku Beng Koko“ sambil bicara kemudian nampak Mei Lan sudah membuka serangan. Untuk diketahui, saat ini Mei Lan sudah menguasai dua ilmu ginkang tingkat tinggi, bahkan dia dilatih khusus bergerak pesat oleh rajanya ginkang saat ini, Liong-i-Sinni.

Karena itu, meski tetap bergerak dengan ginkang Sian Eng Coan-in, (Bayangan Dewa Menembus Awan) tetapi kepesatan dan kecepatannya sudah berlipat ganda. Bahkan gurunya sendiri sampai geleng-geleng kepala saking terkejut dan kagumnya menyaksikan peningkatan kepandaian bergerak muridnya. Dan secara otomatis, kemampuan Mei Lan dalam mengembangkan Thai Kek Sin Kun dan dorongan tenaganya, nampaknya sudah sangat jauh meningkat.

Sekilas saja, bahkan Kian Ti Hosiang sendiri sadar, bahwa Liang Mei Lan sekarang sudah jauh meninggalkan muridnya, baik dari segi kekuatan Sinkang maupun Ginkangnya. Tetapi, kedua guru besar itu tetap bergembira karena betapapun gerakan dan ilmu yag dikerahkan Mei Lan adalah Ilmu Bu Tong Pay.

Bahkan yang membuat mereka bangga dan patut dipuji adalah, Liang Mei Lan tidak bermaksud untuk menarik keuntungan dengan mempermalukan Kwi Beng maupun gurunya Kian Ti Hosiang. Sebaliknya, meskipun unggul, dia membiarkan mereka berdua untuk mengembangkan dan memainkan semua Ilmu kepandaian yang mereka miliki. Mei Lan memainkan baik Liang Gie Kiam Hoat, Thai Kek Sin Kun, bahkan juga Pik lek Ciang, yang diimbangi dengan kokoh dan tenang oleh Kwi Beng dengan memainkan Ilmu totok Tam Ci Sin Thong, bahkan juga mainkan Selaksa Tapak Budha, Tay Lo Kim Kong Ciang hingga ilmu barunya Pek In Ciang.

Tetapi dengan mengadu semua Ilmu tersebut, hanya mata yang sangat ahli semisal Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang yang mengerti, bahwa Mei Lan sengaja tidak ingin menunjukkan keunggulannya dan tidak mau mempermalukan Kwi Beng dan bahkan gurunya. Kian Ti Hosiang sendiri heran, karena melihat Wie Tiong Lan juga menggeleng-geleng keheranan. Para guru besar itu paham belaka, bahwa nampaknya Liang Mei Lan sudah mengungguli Kwi Beng. Bukan hanya keunggulan tipis, tetapi keunggulan yang cukup telak, meskipun mereka sadar Mei Lan tidak ingin mempertunjukkannya. Meskipun demikian, capaian dan kemajuan Kwi Beng bukannya tidak mengagumkan. Kematangan dan kekokohannya sangatlah luar biasa. Tida disangsikan lagi, anak ini apabila menempa diri dan ditempa secara lebih serius pasti akan menjadi tonggak dunia persilatan dan Siauw Lim Sie yang luar biasa. Kekokohan dan keuletannya patut dipuji, dan nampaknya dia sudah mampu menjiwai Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie yang diyakinkannya.

Ketika Ilmu terakhir yang diciptakan masing-masing guru besar itu dikeluarkan, yakni Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) oleh Mei Lan, dan Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih) oleh Kwi Beng, jelas bahwa dari penguasaan dan latihan keduanya seimbang. Tetapi, dorongan dan penguasaan tenaga dalam serta landas gerak dalam memainkannya, nampaknya Mei Lan sudah sanggup mengatur sesuka hatinya.

Sebaliknya, Kwi Beng nampaknya masih belum cukup sempurna dalam menggunakan ilmu tersebut. Dan karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tak mengenakkan akibat benturan kedua ilmu dahsyat tersebut, Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang, kemudian memisahkan kedua anak muda yang sednag bertanding tersebut. Dan selanjutnya, pertandingan dianggap selesai dan seri, meskipun nampak Mei Lan masih segar dan tidak berkeringat, sementara Kwi Beng bahkan sudah nyaris mandi keringat. Sebagai seorang ksatria, Kwi Beng berkata:

“Lan Moi, engkau sungguh hebat, nampaknya aku perlu banyak meningkatkan latihanku” Dan ucapan kwi Beng ini justru membanggakan gurunya dan membuat Kian Ti Hosiang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun muridnya nampaknya tidak menang, tetapi sikap satrianya sangatlah menyenangkan gurunya. Disamping itu, Kian Ti Hosiang juga semakin heran karena melihat Liang Mei Lan demikian jauh jaraknya dalam penggunaan hawa sakti, yang membuat muridnya suit mengimbangi.

Meskipun demikian, dia sudah memperoleh gambaran jelas, bagaimana muridnya ini harus ditempah lebih jauh selama beberapa tahun terakhir nanti. Evaluasi dan petunjuk lebih jauh, akan dilakukan oleh guru kedua anak muda tersebut, karenanya tidak ada reaksi dan penjelasan dari smeua pihak terhadap hasil akhir pertandingan.

Dan pertarungan kedua kemudian mempertemukan Liang Tek Hoat melawan Souw Kwi Song. Dibandingkan pertarungan sebelumnya, maka pertarungan ini justru jauh lebih seru, menegangkan karena tingkat kepandaian kedua anak muda ini nyaris seimbang. Bilapun ada kelebihan, maka lebih karena Tek Hoat yang banyak melakukan pertempuran besar dan membuatnya mampu menguasai ilmu Saktinya lebih baik. Tapi selebihnya, kekuatan Sinkang, Kegesitan, kecerdasan dan penguasaan medan, keduanya nampak seimbang.

Sekali lagi, Ilmu-Ilmu Siauw Lim Sie dimainkan, kali ini dengan penuh variasi, penuh gaya dan penuh gerak tipu yang lebih kaya. Semua orang bisa menyaksikan betapa berbedanya Kwi Song dari Kwi Beng meskipun keduanya saudara kembar. Kwi Beng nampak sangat “kokoh” dan text book, nyaris tidak pernah melenceng dari ajaran pakem silat gurunya. Sementara Kwi Song bergerak penuh gaya, penuh variasi, bahkan variasi ciptaannya sendiri.

Dibandingkan dengan Kwi Beng yang lebih kokoh, Kwi Song ini mempunya gaya tersendiri yang lebih kreatif dalam menyerang dan berkelit dengan memadukan banyak unsur ilmu silat yang dilihat dan dikenalnya. Sementara Tek Hoat memiliki keunggulan dalam pengalaman bertempur dan antisipasi atas kesulitan yang mungkin timbul oleh penggunaan jurus tertentu.

Keadaan jadi memekakkan telinga ketika Tek Hoat mainkan Pek Lek Sin Jiu yang sudah dimatangkannya hingga tingkat ke-7, meski belum sempurna betul. Sementara untuk mengimbanginya, Kwi Song memainkan Ilmu Ban Hud Ciang, yang membuat tapak tangannya seakan berada di semua tempat untuk memegat ledakan petir Tek Hoat. Sungguh sebuah pertempuran yang menegangkan, dan bahkan sangat menggetarkan rimba persilatan seandainya ada tokoh silat lain yang menyaksikan.

Menyaksikan pameran Ilmu dahsyat dari dua guru besar maha sakti, dipertandingkan dan dimainkan murid-murid didikan khusus dan istimewa itu. Pek Lek Sin Jiu memperoleh tandingannya dengan gerakan-gerakan tapak tangan mujijat dari Kwi Song yang memamerkan Selaksa Tapak Budha dengan baik. Jutaan tapak Budha seperti memegat kiri kanan penggunaan Ilmu Petir Tek Hoat dan hanya menghasilkan keadaan seimbang bagi keduanya.

Demikian juga ketika Hang Liong Sip Pat Ciang diadu dengan Tay Lo Kim Kong Ciang dan diselingi dengan Tam ci sin thong. Gelegar dan serunya pertandingan membuat baik Kiong Siang Han maupun KIan Ti Hosiang jadi ikut manggut-manggut mengagumi kedua anak muda tersebut.

Memperhatikan bagaimana jurus-jurus Naga sakti yang penuh desis dan erangan Naga ditandingi secara ketat oleh desingan ajri sakti dan jurus berat Tay Lo Kim Kong Ciang. Benturan-benturan tangan tak terhindarkan, termasuk bahkan kemudian Sin Liong Cap Pik Ciang diadu dengan Pek Kong Ci dan Pek In Ciang, kejadian yang sama terus berulang.

Gerakan-gerakan indah Tek Hoat kembali diperagakan dengan ginkang dan sinking terukur dan ditandingi dengan seliweran awan putih disekitar tubuh Kwi Song. Bahkan menjadi lebih seru dan menegangkan ketika Sin kun Hoat Lek diadu dengan Pek-in Tai-hong-ciang pada babakan akhir dari pertempuran keduanya. Kedua guru besar yang memperhatikan muridnya bertanding sudha paham, sampai dimana nanti kedua murid mereka perlu ditingkatkan.
 
2 Pertemuan 10 Tahunan Terakhir bagian 2





Dan puncaknya adalah diadunya Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti) dengan Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Putih). Nampaknya, Tek Hoat sudah lebih mahir dalam penguasaan ilmu ini, karena betapapun dia berkali-kali menggunakan dan meresapi penggunaan Ilmu ini dalam pertempuran sungguhan. Berbeda dengan Kwi Song, yang nyaris belum pernah mempraktekkannya dalam pertempuran nyata.

Tetapi, perbedaan itu teramat tipis untuk menentukan kalah menang seorang diantara mereka. Karena betapapn keduanya belum sampai pada tahapan sempurna dalam mempergunakan Ilmu mujijat itu. Meskipun demikian, pertarungan ini, boleh dikatakan berakhir benar-benar imbang, berbeda dengan pertarungan sebelumnya yang jelas diungguli oleh Liang Mei Lan.

Dan pada akhirnya, pertarungan ketiga akan dilakukan oleh Kiang Ceng Liong melawanKwi beng. Tetapi sebelum Kiong Siang Han menyebutkan nama Souw Kwi Beng, Kian Ti Hosiang yang tertarik melihat keajaiban Mei Land an Thian Jie (Ceng Liong) sudah mendahului:

“Biarlah Liang Mei Lan mencoba untuk berlatih dan berusaha menandingi Kiang Ceng Liong”

Wie Tiong Lan sungguh mengerti maksud Kian Ti Hosiang, karena rahasia apalagikah yang tersembunyi antara mereka berempat? Tak ada lagi. Bahkan persaingan mereka sudah lama cair dan berubah menjadi usaha saling menyempurnakan Ilmu masing-masing, bukan lagi mencari keunggulan. Wie Tiong Lan yakin bahwa Kian Ti seperti dirinya, melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang istimewa dalam diri Liang Mei Lan.

Dan keduanya juga nampaknya mengerti bahwa Kiang Ceng Liong juga membawa kemisteriusan yang tidak jauh berbeda, sehingga mereka semua, bahkan termasuk Kiong Siang Han, memang ingin melihat dan memecahkan kemisteriusan tersebut. Dan ucapan Kian Ti Hosiang nampaknya disetujui oleh semua guru besar itu, termasuk bahkan Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong yang nampaknya manggut-manggut saja menyetujui usulan Kian Ti Hosiang. Melihat hal tersebut, Ceng Liong kemudian berinisiatif untuk memulai:

“Baiklah, mari kita berlatih Lan Moi” undang Ceng Liong dengan simpatik, tetapi sekaligus sesuatu yang lain menusuk hatinya atas perasaan mesra yang ditunjukkannya kepada Mei Lan. Hanya dia seorang yang mengerti apa itu, dan bagaimana ceritanya.

”Mari, maaf aku memulai koko” Mei Lan memang langsung membuka serangan. Dan dia sendiri merasa aneh, menghadapi Kwi Beng, tidak ada rasa dan keinginannya untuk pamer atau mengalahkan Kwi Beng. Tetapi, menghadapi Thian Jie, begitu dia selalu mengenang Ceng Liong, dia ingin menunjukkan bahwa dirinya punya kebisaan, punya kemampuan, bahwa dia tidak kalah dengan Ceng Liong yang pernah melukai See Thian Coa Ong di Pakkhia.

Tiada maskud untuk mengalahkan atau apalagi mempermalukan Thian Jie, tidak. Dia malah menghadirkan rasa kagum, kasih dan penasaran secara bersamaan. Dia hanya ingin Thian Jie tahu, bahwa dirinya juga kini tidak kalah saktinya dari si anak muda. Karena itu, kali ini Mei Lan justru tidak menyembunyikan dirinya.

Hal yang tentu kembali mengejutkan baik Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan, maupun Kiang Sin Liong dan Kiong Siang Han berempat. Mereka melihat sesuatu yang tadi tidak ditunjukkan oleh Mei Lan ketika melawan Kwi Beng. Dan sesuatu itu, memang sangat mengejutkan. Sampai Wie Tiong Lan sendiri geleng-geleng kepala dan tidak mengerti mengapa Mei Lan menjadi selihay itu.

Liang Gie Kiam Hoat yang dimainkan Mei Lan dengan tangan kosong (Mei Lan lupa, bahwa hanya ahli tingkat tinggi yang bisa melakukannya, bahkan Ketua Bu Tong Pay belum sanggup melakukannya) bagaikan berkesiutnya hawa pedang yang menyerang Ceng Liong bertubi-tubi. Tetapi, yang juga mengagetkan keempat orang tua itu, adalah ketika Ceng Liong juga menandingi Liang Gie Kiam Hoat dengan Toa Hong Kiam Sut dan Giok Ceng Kiam Hoat dimainkan dengan tangan dan mengeluarkan suara berkesiutan bagaikan pedang menyambar.

Belum habis rasa heran mereka, kembali keanehan lain tersuguhkan manakala semua serangan berat Mei Lan bisa diladeni dengan ringan oleh Ceng Liong. Serangan memang jauh lebih banyak dilakukan oleh Mei Lan dan bahkan seakan mengelilingi sekujur tubuh Ceng Liong, tetapi semua serangan dengan hawa pedang dari tangan semacam Kiam Ciang, selalu bisa dihalau dengan mudah oleh Ceng Liong. Bahkan dari getaran tangan segera nampak jika kali ini, Mei Lan yang tidak ungkulan tenaga Sinkangnya menghadapi Ceng Liong.

Hal tersebut membuat Mei Lan menjadi teramat penasaran dan kembali memperhebat serangannya kepada Ceng Liong. Sebelum berguru kepada Liong-i-Sin ni, kekuatan mereka sebetulnya tidak jauh terpaut bila tidak dibilang seimbang. Tetapi, setelah kini dia memperoleh didikan dan kemajuan menakjubkan bersama Liong-i-Sinni, mengapa Thian Jie malah sepertinya juga mengalami kemajuan yang sama?

Melihat kenyataan ini, maka Mei Lan kemudian mengganti serangan dengan menggunakan Thai Kek Sin Kun, yang juga segera dipapaki oleh Ceng Liong dengan mengembangkan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun yang dengan mudahnya memunahkan semua serangan Mei Lan. Dalam hal pukulan, sudah jelas jika Mei Lan masih belum sanggup mendesak Kiang Ceng Liong, tetapi Ceng Liong sendiri selalu menahan tangan dan tidak terlampau mendesak Mei Lan.

Karena itu, dia membiarkan Mei Lan melancarkan semua serangan Thai kek Sin Kun bahkan hingga mengkombinasikannya dengan ilmunya Pik Lek Ciang. Bahkan dengan didukung oleh gerakan ginkangnya yang sudah disempurnakan guru keduanya, Liong-i-Sinni. Liang Mei Lan berkelabat-kelabat mengitari Ceng Liong dan bahkan meningkatkan gerakannya sampai mendekati batas kemampuannya. Pergelaran ini benar-benar mengejutkan semua orang, baik ke-4 guru besar, maupun tiga Naga muda lainnya yang memandang ternganga-ngaga atas kehebatan ginkang Mei Lan.

Tek Hoat bahkan memandang tak berkedip, dan maklum bahwa adiknya sudah meninggalkannya cukup jauh atas penguasaan Ilmu Silat. Demikian juga Kwi Song dan Kwi Beng, maklum mereka akan sulit menandingi Mei Lan. Berkali-kali kedua tangan Mei Land an Ceng Liong berbenturan, dan untungnya Ceng Liong sudah mampu menguasai tenaganya dan menyesuaikannya dengan kekuatan Mei Lan meski pertautan dan kesenjangan sinking mereka tidaklah jauh. Meskipun, Mei Lan sendiri sebenarnya tidaklah terpaut jauh dalam hal tenaga dalam dengan Ceng Liong, tetapi yang membuat Ceng Liong terkejut adalah manakala gerakan Mei Lan menjadi luar biasa cepatnya.

Yang menjadi seru adalah ketika Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) yang dimainkan dengan Sian Eng Coan-in, (Bayangan Dewa Menembus Awan), bahkan dengan kelincahan ginkang Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) dipergunakan oleh Mei Lan sampai puncaknya. Tubuhnya berkelabat-kelabat menakjubkan, bahkan seperti tidak menginjak tanah lagi.

Dengan terpaksa, Ceng Liong yang kewalahan dengan kelincahan dan kecepatan gerak Mei Lan kemudian menggunakan langkah dan gerak Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) sambil meningkatkan penggunaan jurus Soan Hong Sin Ciang. Kecepatan dilawan kecepatan dan angin badai, tetapi karena sadar bahwa gerakannya tidak sanggup menandingi Mei Lan, Ceng Liong memutuskan meningkatkan tenaga singkangnya dalam penggunaan Soan Hong Sin Ciang yang kemudian menghadirkan hawa khikang mujijat itu.

Akibatnya sungguh luar biasa, bahkan baik ke-tiga anak muda lainnya dan keempat guru besar, menjadi kaget bukan kepalang ketika Mei Lan dan Ceng Liong memperagakan kedua ilmu ini dengan sangat tangkasnya. Mereka kaget dnegan ginkang Mei Lan, tetapi hanya keempat Guru besar yang mengerti bahwa Ceng Liong tidak akan kalah. Karena mereka tahu, semua serangan Mei Lan tidak akan menembus khikang yang menyebar keluar dari penguasaan matang akan sinking dalam tubuh Ceng Liong.

Hanya Kiang Sin Liong yang dengan segera menyadari, bahwa nampaknya cucunya Kiang In Hong berada dibalik kecepatan Mei Lan. Hanya, diapun tidak menyangka, apabila kemajuan Ceng Liong begitu menakjubkan. Dia mengerti benar bahwa sumber tenaga sakti Ceng Liong sangatlah besar, tapi siapa yang membuatnya mampu menggerakkan tenaga itu sesuka hatinya? Bahkan sudah hampir merendengi kemampuannya seperti 30 tahun lalu?

Dan ketika kemudian pertempuran meningkat ke penggunaan Ilmu-ilmu pamungkas masing-masing, yakni Mei Lan menggunakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), sementara Ceng Liong menggunakan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), Sin Liong melihat jelas, bagaimana Ceng Liong sudah jauh mahir bahkan mendekati kesempurnaan penggunaan ilmu tersebut.

Bahkan, dia masih melihat bagaimana Ceng Liong berusaha mengukur dan menyesuaikan Sinkangnya agar tidak melukai Mei Lan. Diam-diam Kakek sakti ini menjadi bangga dan terharu dengan apa yang diperlihatkan dan dicapai cucu buyutnya ini. Ketiga anak muda yang lain seperti melihat demonstrasi sihir dalam ilmu silat yang luar biasa, karena ketiganya tanpa sadar terbawa oleh perbawa sihir dan membawa mereka dalam alam dimanba laksaan pukulan bertalu-talu dengan awan putih yang sekali-kali menyinarkan dan menjilat dengan petir dan kilat yang bergetar keras.

Dipihak lain, nampak Wir Tiong Lan juga sangat terkejut oleh kemajuan kedua anak muda itu. Terhadap ginkang Mei Lan dia sudah mengetahui bahwa Liong-i-Sin ni sudah mendidik Mei Lan dengan ketat. Tetapi, tidak disangkanya Mei Lan bahkan sudah jauh melampaui ketiga muridnya yang lain, dan bahkan sudah tidak jauh berselisih dengannya saat ini. Sungguh, gerakan dan sinkang mei Lan bukan lagi olah-olah hebatnya. Dalam dunia persilatan dewasa ini, nampaknya sudah sulit menemukan tokoh sehebat Mei Lan dan juga Ceng Liong nampaknya. Dia mengagumi khikang Ceng Liong, dan tentu juga kemajuan muridnya yang luar biasa itu.

Keempat guru besar yang menonton pertempuran itupun terpana. Karena baru kali ini, baik Kiang Sin Liong maupun Wie Tiong Lan melihat perbawa yang mereka bayangkan ketika menciptakan kedua Ilmu tersebut. Dan memang sungguh luar biasa, tokoh kelas utama di dunia persilatanpun, akan sulit untuk membendung pukulan tersebut bila dilakukan dengan kematangan yang ditunjukkan kedua anak muda tersebut.

Padahal, mereka semua melihat bahwa Ceng Liong masih mampu menahan dan menyesuaikan penggunaan tenaganya, dan Mei Lan juga belum dipuncak pengerahan kecepatan geraknya. Bila semua dikerahkan pada puncak kekuatan Sinkang dan Ginkang, maka sulit dibayangkan tokoh yang mampu menahan serangan salah satu dari kedua Ilmu tersebut. Selain perbawanya yang menakutkan, kandungan tenaga sakti yang tersimpan dalam setiap gerakan ilmu tersebut dapat sangat menakutkan akibatnya.

Sementara itu, Liang mei Lan sendiri menjadi kaget setengah mati. Dia menyangka setelah mematangkan Sinkangnya, menyerap Ha-Mo-Kang dan menyatukannya dengan Sinkangnya, maka dia bisa mengungguli Ceng Liong. Ternyata dengan itu semua, diapun masih belum sanggup, hanya mampu bertarung seimbang, meskipun dia memiliki kelebihan dalam Ilmu Ginkang.

Tapi betapapun, keunggulannya tersebut sudah menggirangkan hatinya, setidaknya ada kelebihanku dibandingkan dia, begitu Mei Lan berpikir. Sementara ketiga anak muda yang lain menjadi kaget dan sadar, bahwa mereka sebenarnya tertinggal oleh kedua anak muda ini. Hanya Tek Hoat yang heran, karena dia pernah bertempur secara seimbang dengan Ceng Liong, tapi mengapa kini Ceng Liong bisa selihay ini?

Akhirnya pertempuran dihentikan tanpa keputusan siapa menang dan siapa kalah. Karena bukan soal siapa menang dan siapa kalah yang dibutuhkan oleh para guru besar tersebut, Tetapi sampai dimana tingkat dan kemampuan serta kemajuan murid-murid mereka sampai saat ini, sehingga mereka tahu apa yang harus segera dilakukan dalam mempersiapkan mereka memasuki pendalaman Ilmu pada 2-3 tahun terakhir.

Berakhirnya latihan diantara ke-5 anak muda itu, melahirkan beberapa tanda tanya di benak para guru, dan karena itu nampaknya mereka akan membahasnya, dan menentukan apa yang harus dilakukan. Terutama membicarakan bagaimana peningkatan kemampuan 3 anak muda lainnya, serta membahas kemampuan Ceng Liong dan Mei Lan yang nampak sudah amat jauh itu. Kemajuan yang sebenarnya menggirangkan mereka semua, tetapi yang tetap harus dijejaki dan diwaspadai agar tidak mengakibatkan hal-hal yang nantinya akan lebih menggemparkan. Maka, menjadi tugas Wie Tiong Lan dan Kiang Sin Liong untuk menjejaki peristiwa kemajuan kedua murid mereka yang sangat ajaib itu.

Pertama-tama, mereka memanggil Ceng Liong dan Mei Lan. Kepada keduanya, keempat guru besar ini bertanya secara detail, bagaimana dan apa yang mereka alami. Dan sungguh berdebar dada Ceng liong ketika Mei Lan menceritakan bagaimana proses dia terluka, proses ditolong oleh Kiang In Hong dan bagaimana dia selamat dan malah beroleh kemajuan yang luar biasa. Bahkan menurutnya, diapun sudah diterima sebagai murid oleh Liong-i-Sinni yang direspons dengan mengangguk-anggukkan kepala oleh Kiang Sin Liong.

Dia sungguh mengagumi cucu perempuannya yang selain sakti tapi juga bijak, meski hanya mengajarkan ginkang tapi menerima sebagai murid, dan mengirim pesan sederhana kepadanya dan kepada Wie Tiong Lan. Keduanyapun hanya saling pandang maklum atas pesan dari apa yang dilakukan dan disampaikan oleh In Hong. Meskipun berasal dari angkatan yang jauh lebih muda, tetapi In Hong telah menunjukkan partisipasinya yang tidak kecil. Apalagi, semua itu dilakukan untuk menyelematkan nyawa Mei Lan yang memang sudah diambang kematiannya. Karena itu, tindakan menerima murid meski hanya mewariskan ginkang istimewanya, sungguh sebuah anugerah besar bagi dunia persilatan. Dan, mana mungkin Wie Tiong Lan menganggap bahwa Kiang In Hong sudah lancang tangan? Tapi begitupun Kiang Sin Liong berucap:

”Biarlah, lohu mewakili cucuku itu memintakan maaf atas kelancangannya mengambil murid tanpa persetujuanmu Wie siansu“

“Itu bukan kelancangan, tetapi berkah bagi Mei Lan. Tidak ada alasan lohu untuk menganggap cucumu melancangi lohu“

”Bagaimana dengan pengalamanmu Liong Jie“ Kiong Siang Han bertanya untuk mengalihkan perhatian dan percakapan dua guru besar lainnya. Selain itu, Siang Han juga ingin mendengar apa yang sesungguhnya terjadi atas kemajuan Ceng Liong yang bahkan sudah sanggup mengerahkan hawa khikang pelindung badan. Sesuatu yang jarang bisa dilakukan tokoh silat, selain mereka berempat, dia belum tahu ada lagikah tokoh lain yang sanggup melakukannya?

”Hampir sama dengan Lan Moi, para suhu. Bedanya, ketika tecu terpukul jatuh oleh See Thian Coa Ong, diambang kematian tecu teringat pesan Kongkong Kiang Cun Le. Pada saat penuh hawa, dan diambang kematian, gelang boleh dipecah, dan isi gelang itu menurut Kongkong adalah selembaran kertas terjemahan dari kitab ajaran agama di Jawadwipa yang mirip-mirip ajaran di Tionggoan“ Ceng liong berhenti sejenak, dan dia melihat pancaran kekagetan dari ke-empat guru besar itu, termasuk juga Liang mei Lan atas cerita yang disampaikannya. Terutama Mei Lan, dia menjadi sedikit mengerti, karena diapun mengalami hal yang sama, dan ditolong oleh adik dari kakek Ceng Liong dan merenggutnya dari malaekat maut. Terdengar kemudian Ceng Liong melanjutkan:

“Terjemahan itu berisi petunjuk pengendalian hawa dalam tubuh untuk melebur sinkang yang belebihan, meskipun bahkan sinkang itu bertolak belakang. Tetapi, sinkang dasar dalam tubuh harus lebih dominan dibandingkan hawa yang masuk. Nampaknya, lembar kertas itu hanya bagian dari kitab seluruhnya, karena lembaran itu hanya sobekan dari bagian utuh yang siauwte sendiri tidak tahu ada dimana. Mungkin hanya kongkong yang bisa menjelaskannya. Dalam keadaan hampir mati itu, siauwte kemudian menjalankan dan membiarkan saja semua hawa dalam tubuh untuk bergerak semaunya. Semua hanya berdasarkan dan terinspirasi oleh kalimat-kalimat yang disebutkan dan dituliskan dalam lembar kertas itu “, kembali Ceng Liong berhenti sejenak, dan kemudian melanjutkan lagi

“Dan menurut kong-kong, akan ada saatnya para pendekar Thian Tok menagih selembar kertas yang merupakan bagian dari 3 kertas utuh, bagian dari kitab utuh di Jawadwipa. Sedang dua yang lain, masih berada di tangan para pendekar Thian Tok yang akan datang menagihnya nanti suatu saat kelak. Dalam keadaan penuh hawa dan hamper mata, tecu kemudian berpasrah dan membiarkan semua hawa itu mendesak kesana kemari, selama 2 hari dan dua malam. Baru pada hari ketiga, tecu bisa bergerak dan begitu sembuh tecu tiba-tiba mendapati kemajuan Sinkang tecu sungguh luar biasa” Demikian penjelasan Ceng Liong.

“Anakku, apakah engkau membawa sehelai kertas itu”? Kakek Kiang Sin Liong bertanya

“Ada kong chouw, ini” Ceng Liong menjawab sambil kemudian merogoh sakunya dan kemudian menyerahkan sehelai kertas yang sudah usang dan nyaris sobek itu kepada Kakeknya. Sementara Kiang Sin Liong memeriksa dan kemudian manggut-manggut. “Benar, memang pada 20-30 tahun sebelumnya cucuku itu bersama In Hong pernah bertarung dengan para pendekar thian tok dengan sehelai kertas taruhannya. Tak nyana sehelai kertas ini malah menyelamatkan cucu mereka juga”

“Apakah ada manfaatnya dengan persiapan kita dalam membantu murid-murid kita yang lain”? Bertanya Wie Tiong Lan

“Menurut yang kutahu, kita telah memulainya dengan jurus-jurus atau ilmu terakhir yang kita ciptakan. Tetapi sehelai kertas ini memberi petunjuk yang sama tapi dengan cara lain. Lohu pernah mendiskusikannya dengan cucuku Cun Le, dan dia seperti aku berkesimpulan bahwa meningkatkan hawa “im” penting bagi Kian Ti dan murid-muridnya serta juga Kiong pangcu dan muridnya, sementara meningkatkan hawa “yang” penting bagi Lohu dan murid lohu, serta Wie Tiong Lan dan muridnya. Pada saat keseimbangan atau nyaris seimbang itu dipenuhi, maka akan tergantung keuletan, keberanian, kecerdasan dan jodoh, apakah seseorang sanggup menerima hempasan tenaga “im” dan “yang” dan membaurkannya di tantian sebagai sumber tenaga sakti. Ceng Liong dan Mei Lan sudah lulus dalam test dan ujian ini” papar Kakek Sin Liong.

“Benar, memang masuk akal bila melihat apa yang dialami oleh Mei Lan dan Ceng Liong. Sehelai kertas ini, bisa bermakna begitu luas, memang luar biasa. Tetapi, mengosongkan pikiran, pasrah dan menyatu dengan alam, memang adalah bagian dari ajaran agama-agama kita juga. Cuma, ajaran Jawadwipa ini, seperti menunjukkan jalan kepasrahan dan menyatu dengan alam untuk bisa menampung semua hawa sebagai salah satu tehnik menghimpun hawa sakti. Siancai, siancai, sungguh luar biasa” Berkata Kian Ti Hosiang.

“Bila memang begitu tinggi manfaatnya, apakah sebaiknya selama 1 tahun ini kita bertukar murid, dan pada tahun kedua dan ketiga kita menuntaskan pewarisan Ilmu masing-masing kepada muridnya? Bertanya Kiong Siang Han.

“Bila menurut pandangan lohu, kita tidak perlu melakukan selama itu. Sebuah contoh telah ditunjukkan cucuku, In Hong. Dia menggunakan tehnik keseimbangan hawa “im” dan “yang”, dimana dalam kasus Mei Lan karena hawa dasar yang dilatihnya “IM”, maka harus dibiarkan hawa “im” yang sedikit dominan. Dalam kasus murid Kian Ti dan Kiong Pangcu, maka hawa “Yang” harus sedikit dominan, baru kemudian peleburan tenaga tersebut memungkinkan dengan tidak mencelakai dan merusak cirri khas hawa perguruan masing-masing” Jelas Kakek Sin Liong.

“Hm, jelasnya, sehelai kertas tadi sebenarnya adalah petunjuk bahwa manusia sanggup menguasai hawa sakti yang luar biasa, bahkan yang bertentangan sekalipun, asal tidak mempertentangkannya, tetapi membiarkan dia saling melebur dengan sendirinya atau saling menjinakkan. Luar biasa, siancai-siancai” Kian Ti Hosiang berkata sambil memuji kebesaran budha

“Sebetulnya, tehnik pengaturan hawa Liang Gie Sim Hwat juga sama. Hanya, Bu Tong Pay tidak pernah berani mengambil resiko meraup dua tenaga sakti secara bersamaan dan kemudian membaurkannya. Padahal, memang adanya kemungkinan itu, juga merupakan salah satu rahasia Liang Gie dalam pengaturan hawa. Memang luar biasa” Pek Sim Siansu juga berseru kagum.

“Baiklah, jika usulku diterima, maka waktu kita disini jika bisa kita perpanjang selama 2 hari. Selama 2 hari, maka Kiong Pangcu akan membantu Ceng Liong untuk meningkatkan hawa “Yang”, mungkin dengan menurunkan Pek lek Sin Jiu. Kemudian Kian Ti Hosiang akan meningkatkan hawa “yang” Mei Lan, mungkin dengan menurunkan salah satu Ilmu berhawa Yang dan hawanya sekaligus, entah Tay Lo Kim Kong Ciang ataupun Ban Hud Ciang. Kemudian, lohu bersama Wie Tiong Lan akan menurunkan Ilmu dan Hawa Im bagi Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Tetapi, harap diingat, semuanya, hawa dan ilmu tersebut, masih harus dipendam, dan baru dibaurkan ketika di rumah masing-masing” Kiang Sin Liong mengusulkan. Dan bahkan selanjutnya, bersama Mei Lan dan Ceng Liong menjelaskan bagaimana upaya untuk melewati masa krisis dari penyatuan dan peleburan Sinkang menurut aturan sehelai kertas dari Jawadwipa tersebut. Setelah dipahami benar-benar, barulah kemudian proses pertukaran hawa itu dilakukan.

Proses bagi Mei Lan dan Ceng Liong relatif sudah jauh lebih mudah. Karena mereka tinggal berusaha membaurkan hawa “yang” yang akan mereka terima dari Kiong Siang Han dan Kian Ti Hwesio. Kiong Siang Han menurunkan Pek Lek Sin Jiu dan Hawa Pek Lek atau Hawa Petir yang sangat keras bagi Ceng Liong yang memang sejak awal sudah dikaguminya. Bahkan dia membuka semua rahasia penggunaan Ilmu tersebut, sebagaimana dia melakukannya untuk Tek Hoat.

Dan beberapa saat kemudian dia menyalurkan hawa Yang dari Pek Lek itu ke tubuh Ceng Liong, tetapi tetap masih harus disimpan, karena sandingannya, hawa “IM” masih terbatas dalam tubuhnya. Demikian pula dengan Mei Lan, mendapatkan warisan hawa “Yang” dari Kian Ti Hwesio berupa hawa “Yang” dari Ban Hud Ciang yang luar biasa dan terdiri dari 11 jurus tingkatan. Saking kagumnya, rahasia Ban Hud Ciang dan tenaganya juga disalurkan bagi Liang Mei Lan.

Sementara itu, Tek Hoat menerima penyaluran hawa “Im” dari Giok Ceng Sinkang dan menerima rahasia jurus Soan Hong Sin Ciang yang mujijat, ilmu rahasia yang diciptakan Kiang Sin Liong mengikuti arus dan gaya dari rahasia kekuatan “im” dari “Giok ceng”. Dan yang paling capek adalah Wie Tiong Lan, yang harus menurunkan kekuatan “Im” kepada 2 orang sekaligus, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Kepada kedua saudara kembar itu, Wie Tiong Lan mengajarkan Thai Kek Sin Kun dan rahasia hawa Liang Gie Sim Hwat untuk memperkuat hawa Im mereka.

Demikianlah, akhirnya, masing-masing guru besar telah memendam tenaga yang dibutuhkan, dan itu berarti sepulang ke perguruan masing-masing, mereka harus memperkuat hawa dominan perguruannya agar tidak membahayakan murid masing-masing. Sementara kelima anak muda tersebut, nampak sedang bersamadhi dan harus mengendapkan hawa yang berbeda dengan hawa asli milik perguruannya untuk suatu saat bisa dileburkan. Hal ini sangat penting bagi latihan mereka nanti, karena itu tenaga itu tidak boleh membuyar, dan harus diendapkan dulu kedalam pusar dan tantian masing-masing. Dan sementara mereka bersamadhi, para guru besar tersebut akhirnya membicarakan hal-hal terakhir diantara mereka. Adalah Kian Ti Hosiang yang angkat bicara duluan:

“Saudara-saudaraku, kita sama tahu, setelah 5 tahun, tidak akan mungkin lagi kita bertemu. Bila beruntung, maka satu diantara kita mungkin masih tetap hidup. Bila tidak, nampaknya 5 tahun kedepan kita semua sudah meninggalkan dunia ini. Maka biarlah, pertemuan kita yang terakhir ini, sekaligus sebagai perpisahan diantara kita. Entah ada lagikah yang belum sempat kita lakukan”?

“Prihal kemelut dunia persilatan, kita sudah memiliki wakil. Meskipun sekali lagi, Lembah Pualam Hijau akan menjadi yang terdepan, dan nampaknya akan disusul Kay Pang dan baru Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie. Rasanya tugas kita sudah tuntas” Bergumam Wie Tiong Lan.

“Apakah kiranya KIan Ti Hosiang mengkhawatirkan para pendekar dari Thian Tok itu”? pandangan Kiang Sin Liong yang tajam memberinya sebuah pertanyaan yang nampak masih mengganjal.

“Sejujurnya ya, karena mereka selalu mengklaim bahwa Ilmu Siauw Lim Sie berasal dari sana. Dan itulah juga alasan mengapa mereka selalu mecari gara-gara dengan dunia persilatan Tionggoan” jawab Kian Ti Hosiang.

“Dan maksud khusus Hosiang”? Kiang Sin Liong mengejar.

“Kelima anak itu, akan sanggup menahan para Pendekar Thian Tok. Tapi, hanya Ceng Liong yang memiliki keanehan pada kekuatan matanya. Harap Kiang Hiante memperhatikannya lebih serius” Kian Ti Hosiang bergumam. Sejak dulu, dia sudah berminat dengan “mata” Ceng Liong yang baginya memancarkan kekuatan aneh yang sulit dijelaskannya.

“Mohon petunjuk Hosiang” Seperti biasa Kiang Sin Liong selalu merendah.

“Kekuatan matanya, nampaknya bukan hanya akan ampuh bagi Ilmu Sihir, tetapi bahkan bisa melontarkan kekuatan yang sangat mematikan” Desis Kian Ti Hosiang yang juga diiyakan dengan rgau oleh guru besar lainnya.

“Dan bisa kita bayangkan apabila tokoh semacam itu hadir tanpa kendali” tambahnya tanpa harus khawatir apakah Sin Liong bisa menerimanya ataukah sebaliknya.

“Tapi untungnya, kita percaya Kiang Hiante akan sanggup mengendalikannya” Kiong Siang Han menatap penuh percaya kepada Kiang Sin Liong.

“Dan bila mungkin, sebelum melepas nyawa, ingin lohu melihat dan memastikan, bahwa anak itu memang tidak memendam sesuatu yang berbahaya” tambah Siang Han.

“Untuk tidak membingungkan, biarlah pinto menjelaskan sesuatu. Sebetulnya pinto pernah mendengar rahasia percakapan para pendeta Thian Tok yang berkunjung ke Siauw Lim Sie. Tetapi, pendekar ini sama khawatirnya dengan para pendeta Budah lainnya karena bahaya yang mungkin diakibatkan oleh sesuatu yang berbahaya itu. Yakni perihal sebuah Ilmu yang berkembang di Jawadwipa, yang disebutkannya “sinar mata mampu membakar hutan”. Tetapi, menurut Pendeta Budha dari Thian Tok tersebut, kemampuan itu hanya sanggup dilakukan dengan melewati lembar kertas yang hilang di Tionggoan, dan bakat khusus sesorang yang memang berjodoh dengan Ilmu nmenyeramkan itu. Setelah mendengar Ceng Liong memperoleh Pek Lek Sin Jiu, maka dia tinggal selangkah lagi memasuki tahapan mengerikan itu” Jelas Kian Ti Hosiang.

“Hosiang, apakah Ilmu itu tak terlawan” bertanya Wie Tiong Lan dengan terkesiap oleh penjelasan Kian Ti Hosiang tersebut.

“Bukan tak terlawan, cuma terlalu sukar terduga. Apalagi jika diiringi dengan Ilmu Sihir, bisa kita bayangkan bersama. Apabila kita sedang bertarung dan secara tiba-tiba kekuatan itu dilontarkan melalui mata, maka sulit sekali kita menduga dan menawarkannya” jawab Kian Ti Hosiang.

“Dan sejak mendengarkan berita itu, pinto telah mencoba menggali perpustakaan Siauw Lim Sie, dan melihat benarkah kemungkinan itu memang ada. Dan pinto harus mengatakan disini, bahwa Ilmu semacam itu, memang juga ada dalam khasannah Ilmu Budha, tetapi dengan syarat yang luar biasa beratnya. Dan karena kemungkinan itu ada, maka jika Kiang Hiante mengijinkan, Pinto ingin memasuki kedalaman jiwa Ceng Liong. Pinto ingin memastikan bahwa syarat yang tertulis dalam kitab kuno Budha, dipenuhi dalam diri anak itu” Tambah Kian Ti Hosiang.

“Hm, jika memang begitu, rasanya Hosiang harus melakukannya. Mengapa tidak kuijinkan”? Berkata Kiang Sin Liong yang juga semakin terkesiap mendengarkan kemungkinan yang dihadapi cucu buyutnya itu.

“Selain itu, karena lawan mereka kali ini, juga jauh lebih menyeramkan dibandingkan yang kita hadapi dimasa lalu. Kekuatan sihirnya jauh melampaui lawan kita, dan ditambah dengan penguasaan beberapa Ilmu Hitam dari Jawadwipa dan dari Negri asing lainnya. Karena itu pula, kuharap, setelah pinto memeriksa Ceng Liong, waktu tersisa kita gunakan untuk memeriksa kembali Ilmu yang kita telah diskusikan bersama dengan pengembangan masing-masing. Jika perlu, kita wajib saling memperkuat Ilmu tersebut” berkata Kian Ti Hosiang diikuti tatapan persetujuan guru besar lainnya.

“Betul, meski gembira melihat peningkatan kemampuan anak-anak itu, tapi mata batin lohu melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang harus mereka hadapi” Berkata Kiong Han

“Apakah bahkan Kian Ti Hosiang melihat bila Pek Lek Sin Jiu bahkan sebenarnya masih menyimpan rahasia lebih dalam”? Kiong Siang Han bertanya lebih jauh.

“Tidak perlu Hosiang yang menjelaskan. Bahkan lohupun mengerti, bahwa sebenarnya ada tataran lebih tinggi yang belum pernah Kiong Pangcu tunjukkan selama ini” Berkata Wie Tiong Lan.

“Ya, karena itu perjanjian lohu dengan kerangka yang menghadiahkan kitab rahasia itu. Kerangka itu memberi peringatan, bahwa baru sesudah lohu, maka tingkatan terakhir itu boleh dimainkan. Dan rahasia itu sudah lohu buka kepada Tek Hoat dan Ceng Liong” Berkata Kiong Siang Han.

“Apakah Kiong Pangcu bisa memainkan tingkatan itu”? bertanya Kiang Sin Liong memastikan.

“Tidak pernah berani mencobanya, sebab sumpah sudah lohu ucapkan di depan kerangka yang kuanggap guru itu” jawab Siang Han.

“Baik, jika demikian, kita berikan waktu kepada Kian Ti Hosiang untuk memasuki “jiwa” Ceng Liong”. Dan selanjutnya, hal-hal lain yang terakhir bagi kita, dibicarakan besok saja” Berkata Kiong Siang Han kemudian.

Pertemuan 10 tahunan yang terakhir pada hari pertama, kemudian berakhir. Malam harinya, keempat guru besar itu nampak seperti masih merundingkan beberapa hal yang bahkan dilanjutkan pada esok harinya (Hanya perundingan dan hasilnya yang dilakukan sejak malam hari hingga esoknya, nanti akan ketahuan pada cerita lanjutan dari cerita ini). Memasuki hari kedua, atau hari terakhir, kembali masing-masing guru besar itu memberi petunjuk kepada ke-5 anak muda tersebut sebelum nanti akan berpisah pada sore harinya. T
etapi, secara khusus Kian Ti Hosiang kembali mendekati Ceng Liong dan Mei Lan untuk terutama memperkuat kedua anak muda ini. Pada percakapan malam hari sebelumnya, juga dibicarakan bahwa yang paling tepat menghadapi jagoan Tang ni adalah Mei Lan. Karena bakat dan kemampuannya saat ini dalam hal ginkang, bahkan sudah terhitung nomor wahid, tinggal terpaut sedikit saja di bawah kemampuan bergerak Liong-i-Sinni yang nomor wahid dalam ginkang dan yang mengajarinya ginkang yang mujijat itu.

Demikianlah, pada akhirnya pertemuan 10 tahunan berakhir pada sore harinya. Ke-empat guru besar nampak sangat terharu, terlebih karena menyadari bahwa usia masing-masing tidak akan sampai 5 tahun kedepan lagi. Bahkan Kian Ti Hosiang sudah menyampaikan pesan-pesan terakhirnya, karena sepulangnya ke Siong San, akan menutup diri dan tinggal menyisakan waktu 2-3 tahun untuk gemblengan yang terakhir bagi murid-muridnya. Demikian juga Wie Tiong Lan, juga telah menyatakan tidak akan lagi turun gunung dan akan bersiap menutup pintu dan menutup diri setelah 3 tahun melakukan gemblengan terakhir bagi murid-muridnya.

Sedangkan Kiong Siang Han, masih berjanji untuk menjumpai Kiang Sin Liong 3 tahun kedepan sesuai janjinya untuk membawa Tek Hoat dan menengok apakah benar Ceng Liong mampu berbuat sebagaimana hasil pemeriksaan Kian Ti Hosiang yang ternyata sangat sesuai dengan catatan Kitab kuno Budha mengenai ilmu mujijat dari mata tersebut.

Sementara anak muda-anak muda yang nampak semakin akrab tersebut, juga kelihatan sangat berat hati untuk berpisah. Karena mereka akan kembali menjalani penggodokan yang terakhir di pintu perguruan masing-masing untuk kemudian di lepas bertugas 3 tahun kedepan. Bahkan dengan meniru guru masing-masing, mereka menetapkan tradisi pertemuan diantara mereka berlima pada 5 tahun kedepan dengan tempat yang belum ditentukan. Tetapi, karena Tebing Peringatan Pertemuan 10 Tahunan sejak hari terakhir dinyatakan tertutup oleh Kiong Siang Han, tertutup bagi murid siapapun untuk datang lagi ke tebing tersebut, maka akhirnya kelima anak muda tersebut sepakat untuk menentukannya selambatnya 3 tahun kemudian.

Dengan demikian, Tebing Peringatan akan kembali tidak didatangi orang, karena Kiong Siang Han sesuai kesepakatan telah mengeluarkan larangan datang ke tempat ini bagi siapapun di lingkungan 4 keluarga perguruan tersebut. Apakah sebabnya? Entahlah. Karena bahkan kepada murid-muridnya, masing-masing orang tua itu tidak menyebutkan alasan, selain menyebutkan biarlah tempat itu kembali dalam kekuasaan alam. Selebihnya mereka tidak menyebut apa-apa, tetapi mewanti-wanti muridnya untuk tidak pernah lagi berpikir datang ke tempat itu.

Tempat yang mereka sepakati keramat bagi masa hidup 4 guru besar tersebut, dan memang demikianah kemudian tempat itu dikenal di dunia luar tanpa ada yang tahu jelas dimana, kecuali murid-murid ke-4 tokoh gaib rimba persilatan itu. Sesuai sumpah mereka, maka para murid itu dilarang memberitahu kepada siapapun tempat itu, dan juga dilarang datang ketempat itu kapanpun. Dan sudah tentu, demi rasa hormat dan cinta mereka kepada para guru mereka, maka tak ada seorangpun dari kelima murid itu yang pernah datang ke tempat keramat tersebut sampai ajal masing-masing.
 
BAB 17 Lagi - Banjir Darah
1Lagi - Banjir Darah




Setelah selama 2 tahun sepertinya dunia persilatan Tionggoan mengalami masa tenang, tiba-tiba pada bulan-bulan awal di tahun ketiga organisasi perusuh Thian Liong Pang kembali beroperasi. Sekali ini dengan lebih fokus, lebih kejam, lebih rahasia dan dengan kelompok dan barisan pemukul serta pembunuh yang luar biasa. Pada 2 tahun masa tenang, terjadi masa-masa peningkatan kemampuan Ilmu Silat, bahkan Perguruan-Perguruan Pedang seperti Kun Lun Pay, Hoa San Pay, Thian San Pay, Tiam Jong Pay, Cin Ling Pay kembali mengumpulkan anak murid masing-masing yang berkelana.

Sementara Go Bi Pay sudah sempat mulai menyusun kembali tata dan struktur Perguruan mereka, meskipun masih kurang dari 20 orang yang berusaha membangun kembali reruntuhan Go Bie Pay. Setelah menghadapi bencana dan ancaman pencaplokan selama hampir 10 tahun sebelumnya, semua perguruan tiba-tiba menyadari bahwa perguruan masing-masing perlu diperkuat. Jadi, wajar bila kemudian semua perguruan berlomba meningkatkan kemampua masing-masing, baik dengan menciptakan Ilmu dan jurus baru, maupun dengan menggali kembali ilmu ciptaan para sesepuh partai bersangkutan.

Tetapi, setelah 2 tahun masa tenang dilalui, tiba-tiba kembali terjadi badai pembunuhan yang mencengangkan. Sekali ini, tidak ada lagi penculikan atau penghilangan tokoh silat, tetapi surat tantangan dikirimkan ke tokoh tertentu, baik dikediaman sendiri ataupun dimana sang tokoh berada. Rata-rata yang terbunuh adalah mereka yang menjadi ahli Pedang di Tionggoan atau setidkanya yang menggunakan pedang sebagai senjata utamanya.

Dalam 3 bulan pertama saja, ada 5 jago Pedang atau Ahli Pedang ternama yang mati mengenaskan, mati tertabas pedang dengan kepala terpisah dari badan. Dan hebatnya, kelima jago pedang itu, nampaknya sama mati terpenggal dengan Ilmu yang sama. Dengan sayatan tunggal dan nampak dilakukan secara bertenaga dan dengan sekali saja tebasan. Sungguh sebuah kemampuan yang hebat dan luar biasa, dan karenanya kembali menghadirkan guncangan hebat bagi dunia persilatan. Berturut-turut yang menjadi korban adalah:

Pertama, Sin-jit-kiam-hoat (ilmu pedang matahari Sakti) Gak Jit Kong yang tinngal di luar kota Cui Hun Ceng. Tokoh ini terkenal eksentrik, meskipun lebih berjiwa ksatria, dan sangat terkenal dengan Ilmu Pedang Matahari Sakti. Ilmu Pedangnya sudah terhitung jagoan utama Tionggoan, dan sanggup menahan hingga ratusan jurus Ciangbunjin Perguruan Ilmu Pedang. Bahkan untuk daerah sekitar kota Cui Hun Ceng, Gak Jit Kong tidak memiliki lawan sepadan untuk Ilmu Pedangnya.

Keistimewaannya adalah pada kilatan dan sambaran cahaya menyilaukan, bagaikan letikan sinar matahari yang akan menggoyahkan konsentrasi dan semangat lawan, dan pada saat itulah tebasan atau tusukan pedangnya akan meluruk tiba tanpa dapat di tangkis atau dihindari dengan sebaik baiknya. Tetapi, tokoh yang hebat ini, toch tewas mengenaskan dengan kepala terpisah dari tubuh, dan nampak seperti tidak melakukan perlawanan meskipun pedang tergenggam di tangan. Atau, Ilmu pedang Mataharinya masih belum sanggup dikembangkan, karena kepalanya sudah lebih dahulu terkena tebasan pedang orang lain.

Korban kedua, masih di bulan yang sama adalah Pendekar Pedang pengelana bernama Tan Hok Sim, Thian ti – Kiam (Pedang Raja Langit). Pendekar ini adalah didikan dari pintu Perguruan Hoa San Pay, yang kemudian menciptakan sendiri Ilmu Pedang khasnya, yaitu Ilmu Pedang Raja Langit yang mengandalkan kelincahan. Tetapi suatu saat, pendekar pedang ini menerima surat tantangan seperti juga Gak Jit Kong untuk melakukan pertandingan pedang.

Dan tahu-tahu mayatnya diketemukan orang di kaki gunung Ta Liang San dalam keadaan yang sama persis dengan Gak Jit Kong, tangan memegang Pedang, nampak bersiaga untuk bertanding, tetapi tiada tanda dia melepaskan serangan, tahu-tahu kepala sudah tertebas berpisah dengan badannya. Padahal, siapapun tahu, di kalangan Hoa San Pay saja, pendekar ini sudah terkenal salah satu ahli pedang. Bahkan juga terkenal dengan kegesitannya. Betapa mungkin tokoh sehebat ini bisa terpenggal dengan pedang di tangan dan seperti belum melakukan gerakan ilmu pedangnya?

Korban ketiga, adalah Pendekar Pedang Bu Keng Cu yang terkenal dengan permainan Tee Tong Siang Kiam (Sepasang Pedang Berguling-Guling), yang sebenarnya terinspirasi dari Ilmu Golok. Tetapi, Bu Keng Cu menggubah sendiri permainan Pedangnya dengan menggunakan Siang Kiam, sehingga dia sendiri kemudian terkenal sebagai Tee Tong Kiam (Pedang Berguling-Guling). Ketika memainkannya, dia menjadi sangat berbahaya, terutama bagi yang berginkang lemah, maka daya pijak di bumi yang diserang terus menerus akan sangat merepotkan. Bahkan menurut banyak pengamat, Pendekar ini malah masih setingkat di atas kemampuan Gak Jit Kong dan Tan Hok Sim dalam permainan Pedangnya.

Tetapi, korban satu-satunya yang terbunuh disaksikan orang ini, konon bahkan tidak sempat memainkan jurusnya, karena tidak sanggup berkelit dari sebuah serangan Ilmu Pedang penantangnya. Dan dari korban ketiga inilah diketahui, kalau penantang pertarungan pedang adalah jagoan dari Tang ni (Jepang) yang membekal Ilmu Pedang berkecepatan tinggi. Semua lawannya, hingga lawan ketiga ini, selalu tewas dengan kepala terpisah dari badannya dan belum sempat memberi perlawanan akibat kecepatan menyerang lawannya. Bahkan kecepatannya menurut saksi mata yang nampaknya dibiarkan hidup itu, berlipat kali dibandingkan dengan Bu keng Cu bertiga yang menjadi korbannya. Karena itu, mereka dengan mudah terkena tebasan tunggal pendekar pedang Tang ni ini.

Korban ke-empat di akhir bulan kedua adalah Hoan-hoat Taysu dari Thian-liong-si di Ngo-tay-san, seorang pendeta yang menggeluti Ilmu Pedang sejak masa mudanya, sehingga menjadi tokoh pedang nomor satu bagi Thian Liong Si. Dikabarkan, Ilmu Pedangnya bahkan setingkat dengan Ciangbunjin Perguruan Pedang, tetapi karena Thian Liong Si di Ngo Tay San tertutup dan jarang ada anak muridnya yang mengembara, maka kehebatannya jarang dikenal orang.

Dan dari kelima korban, hanya Hoan Hoat Taysu inilah yang nampaknya sempat menggerakkan pedangnya. Karena selain kepalanya tertebas pisah dengan kepalanya, nampaknya didahului dengan tertebasnya lengan beserta pedangnya, dan baru sesudahnya kepalanya terpisah dari tubuhnya. Diperkirakan, perlawanan pendeta ini tidaklah lebih dari 3 jurus, dan setelah itu dia terkalahkan dan tewas. Dan seperti korban lainnya, tokoh inipun tidak mampu memberikan perlawanan yang memadai dan menjadi korban secara menyedihkan.

Korban terakhir terjadi di bulan ketiga, tahun ketiga setelah 2 tahun masa kedamaian. Korban kelima adalah seorang Pendekar Pedang wanita ternama yang sangat dicintai banyak orang, yakni Thian San-giok-li. Meskipun tidak muda lagi, tetapi pendekar pedang wanita ini sangat simpatik dan suka menolong orang. Selain lihay permainan pedangnya dengan Ilmu Silat Thian San Giok Li Kiam Hoat, lihay juga pergaulannya dengan sesama pendekar. Karena itu, kematiannya melahirkan banyak gelombang kebencian kepada kelompok pembunuh yang sedang mengganas.

Meskipun bukan ahli pedang terlihay di Thian San Pay, tetapi pendekar wanita ini sudah termasuk tokoh utama Thian San Pay dalam urusan pedang. Tetapi, toch, wanita ini juga ditemukan sudah menjadi mayat, mirip dengan keadaan 4 korban lainnya dimana kepala tertebas berpisah dengan kepala, mati dengan cara mengenaskan. Bahkan nampak jelas bila Thian San Giok Li tidak sempat memainkan ilmu pedang andalannya dan sudah langsung almarhum oleh keganasan ilmu pedang lawan. Dan akhirnya turut menambah jumlah korban keganasan penantang dari Tang ni itu. Dan sekaligus menambah bara amarah dunia persilatan terhadap kelompok perusuh.

Kelima korban ini, sebelumnya menerima surat tantangan yang tidak menyebutkan tempat, tetapi si penantang tetap bisa menemui atau menemukan calon korbannya dimanapun dia kehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi dibalik para penantang dan pengganas ini memang sudah terhitung luar biasa. Dan nampaknya, penantang tersebut, juga bukan cuma seorang, karena jarak korban pertama dengan korban kedua yang berdekatan, tidak mungkin dikerjakan seseorang dengan menempuh perjalanan ratusan km dalam jarak sesingkat itu, dalam waktu kurang dari seminggu. Bila ada lebih dari satu ahli pedang yang mampu merampas kepala orang dan membunuh dalam waktu yang cepat, sungguh bisa dibayangkan betapa seram masa depan bagi para ahli pedang Tionggoan.

Bahkan, pada bulan kelima, di tahun berjalan Dunia Persilatan menjadi tambah gempar ketika Tiam Jong Pay, salah satu Perguruan Pedang terkemuka, yang memiliki lebih dari 150 anak murid, bahkan banyak ahli pedang lihay, tiba-tiba diserbu orang. Nasibnya menjadi sama dengan yang dialami Go Bie Pay, anak muridnya tercerai-berai, hanya beberapa tokoh saja yang sempat menyelamatkan benda pusaka perguruan melalui jalan rahasia. Selebihnya, hampir 100 orang murid Tiam Jong Pay tewas terbunuh bergelimpangan di halaman Perguruan mereka, puluhan luka berat dan kemudian tidak diketahui lagi beritanya.

Ciangbunjinnya juga tewas dalam pertempuran melawan penyerbu dan hanya kurang dari 15an anak murid Tiam Jong Pay yang selamat dari musibah akibat penyerangan tersebut. Akibat peristiwa tersebut, Go Bi Pay yang sedang menata dan membangun kembali perguruannya, kemudian mengurungkan niat mereka, dan kembali menutup pintu perguruan. Sementara penjagaan super ketat kemudian dilakukan di Hoa San Pay, Kun Lun Pay, Thian San Pay dan Cin Ling Pay untuk mengantisipasi kejadian yang sama yang dialami oleh Tiam Jong Pay. Penjagaan super ketat dan koordinasi antar perguruan menjadi sangat penting, setidaknya untuk bisa saling menginformasikan dan saling membantu dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan itu.

Selain kejadian-kejadian yang disebutkan tadi, serangan dan pembunuhan-pembunuhan gelap serta keji juga banyak terjadi. Terutama dilakukan terhadap anak murid dan anak perkumpulan Kay Pang, Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan anak murid Perguruan Pedang. Karena memang perguruan-perguruan dan pang inilah yang tetap tidak tunduk dan memberi perlawanan kuat terhadap Thian Liong Pang.

Anehnya, kematian para korban terjadi dengan cara yang sama dalam waktu yang nyaris bersamaan di tiga tempat yang jaraknya terhitung berjauhan. Kematian anak murid pengembara dari perguruan pedang yang mengembara adalah anak murid dari Kun Lun Pay, Cin Ling Pay dan juga termasuk Bu Tong Pay. Mereka semua tewas terbunuh dengan pedang cepat, mirip dengan 5 korban ahli pedang ternama sebelumnya. Tetapi, yang menjadi lebih menggemparkan adalah tewasnya beberapa anak murid Kay Pang di daerah Kanglam dengan sebuah Ilmu yang sangat ganas dan aneh. Ketiga anak murid Kay Pang yang terbunuh di 2 tempat terpisah, tewas dengan ciri-ciri yang sama, tanpa luka pukul, tetapi bagian dalam, terutama jantung, sudah hangus dan gosong.

Ciri khas korban pukulan Cui Beng Pat Ciang (8 Jurus Sakti Pencabut Nyawa), yang dikenal hanya sempat dikuasai seorang ”Maha Iblis“ puluhan tahun silam, Kim-i-Mo Ong (Raja Iblis Jubah Emas). Tapi, bukankah Raja Iblis ini sudah puluhan tahun terkekang oleh Kiong Siaong Han dan bahkan dikabarkan sudah meninggal diusia tuanya? Karena jikapun maih hidup, usianya masih diatas 4 iblis lainnya, tetapi memang dia dikenal sebagai durjana dan rajanya para iblis. Bila durjana semacam ini muncul lagi, bukankah dunia persilatan seperti akan kiamat? Terlebih karena belum lagi terdengar kabar keberadaan Kiang Hong, sementara Kiang Cun Le dan angkatannya seperti juga tidak peduli lagi dengan dunia persilatan.

Di tengah kemelut dan mengganasnya kembali para durjana, beberapa tokoh aliran putih, sempat mendatangi Lembah Pualam Hijau. Tetapi, di Lembah itu mereka tidak menjumpai Kiang Hong yang masih dianggap bengcu. Karena bahkan Lembah itu tampak seperti menjadi tertutup bagi orang luar dan seperti tidak berdaya lagi untuk mengatasi keadaan yang semakin mencekam dan semakin mengerikan bagi banyak tokoh di dunia persilatan. Kejadian tersebut menimbulkan pesimisme di kalangan pendekar dunia persilatan, karena seperti kehilangan pegangan dalam menghadapi badai berdarah yang semakin menakutkan itu.

Kemudian, merekapun menemui Ciangbunjin Siauw Lim Sie, dan ikut menyaksikan betapa rapat dan ketat penjagaan di biara Siong San dibandingkan dengan hari-hari dan tahun sebelumnya. Dari Biara itu, diperoleh keterangan bahwa dibutuhkan kerjasama antara semua pihak untuk menanggulangi keadaan yang berbahaya itu. Tetapi, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menjanjikan bahwa Siauw Lim Sie sedang menyiapkan diri dan tenaga untuk menanggulangi bahaya, bahkan akan dikerjakan bersama Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau. Tetapi, seperti apa rencana itu, tidaklah dapat dijelaskan secara memuaskan oleh Ciangbunjin Siauw Lim Sie, dan kembali memperkuat pesimisme di kalangan para pendekar.

Kabar yang sama diperoleh di Bu Tong San, ketika para pendekar tersebut diterima oleh Ciangbunjin Bu Tong Pay ditemani oleh Sian Eng Cu Tayhiap. Keduanya memberi penjelasan bahwa tidak lama lagi Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau akan turun menanggulangi keadaan yang membahayakan tersebut. Dijanjikan, bahwa seluruhnya, ke-4 perguruan utama itu akan mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk menenangkan gejolak berdarah dunia persilatan.

Bahkan untuk maksud tersebut, menurut Sian Eng Cu Tayhiap, juga akan diundang dan dilibatkan perguruan pedang utama yang sebagiannya juga sudah menjadi korban keganasan para perusuh. Tetapi begitupun, janji Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie menjadi cukup melegakan para pendekar yang kehilangan pegangan tersebut. Tetapi, karena urusan waktu tidak ditetapkan, meski melegakan, tetapi tetap menyimpan kekhawatiran yang tidak terkatakan. Bagaimana bila gerakan itu baru dilakukan setelah ”aku“ atau ”perkumpulanku“ terbasmi? Bukankah artinya sama saja, tidak ada gunanya dan tetap dalam keadaan tercekam?

Sementara itu, kegemparan lain juga ditemukan dalam dunia persilatan. Kali ini, korbannya adalah para perusuh yang terbunuh atau dibunuh dalam keadaan yang sangat rahasia. Kelompok pembunuh dan pengganas yang berkerudung hitam ketat, ditemukan terbunuh di dua tempat, di daerah Sin Yang ditemukan 8 pembunuh berkerudung hitam dan didaerah perkotaan Ceng lun juga ditemukan sebanyak 7 orang pembunuh berkerudung. Semuanya dilakukan secara misterius dan nampaknya memang ditujukan kepada para pengganas yang banyak menimbulkan korban di Tionggoan.

Kejadian ini, terjadi di bulan ketujuh tahun berjalan, hanya beberapa saat setelah para pendekar mengunjungi Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay. Kejadian yang tentu menurut dugaan mereka adalah realisasi dari janji Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay untuk turun tangan menenangkan situasi yang tidak menentu. Tetapi, lawan yang terbunuh hanyalah tokoh-tokoh rendahan, upahan atau pembunuh bayaran yang dimanfaatkan oleh kaum perusuh.

Bersamaan dengan terebunuhnya lebih dari 15 orang pembunuh di pihak perusuh, di dunia persilatan muncul manusia berkedok hitam yang gerak geriknya sangat rahasia. Tetapi manusia berkedok itu, sungguh lihay luar biasa dan bergerak bagaikan bayangan saja. Beberapa kali dia menolong beberapa pendekar yang terancam para pembunuh, dan dia tidak berpantang membunuh bila menemukan kelompok pembunuh yang mengganas. Beberapa sakti mata sempat menyaksikan bahwa gerak-geriknya seperti membawa dasar dan unsur gerak dari Lembah Pualam Hijau, hanya manusia misterius tersebut tidak pernah mau memperkenalkan diri.

Bahkan diapun tidak pernah menyapa para pendekar yang ditolongnya, selalu ditinggalkan setelah keadaan sudah memungkinkan dan aman bagi orang yang ditolongnya tersebut. Yang pasti, dewasa ini, di dunia persilatan, selain 5 tokoh muda yang sempat muncul dan kemudian menghilang lagi, maka tokoh misterius inilah yang berterang melawan kelompok pengacau dunia persilatan. Meskipun sedikit efeknya, tetapi tetap snagat membantu dunia persilatan mengembalikan semangat dan kepercayaan dirinya untuk menyusun sebuah perlawanan terbuka.

Sementara itu, memasuki bulan ke-7 pada tahun itu, tanda pengenal Thian Liong Pang kembali muncul di dunia persilatan. Tanda yang menegaskan dugaan banyak orang, bahwa dibalik kekisruhan dan badai terakhir ini, Thian Liong Pang adanya. Tanda itu, dikirimkan kepada keluarga-keluarga persilatan kenamaan yang meminta sambil mengancam apabila permintaan Thian Liong Pang tidak dipenuhi, maka akan terjadi pembantaian atas keluarga kenamaan tersebut. Pada bulan ketujuh, masing-masing diminggu awal dan minggu pertengahan bulan berjalan, tercatat dua keluarga kenamaan yang diberi waktu selama 1 bulan untuk memutuskan, apakah menerima tawaran takluk atau diserang.

Keluarga kenamaan di rimba persilatan tersebut adalah; Yang pertama Benteng Keluarga Bhe di Lembah Siau Yau Kok (Lembah Bebas Merdeka). Yang aneh, keluarga Bhe yang sekarang dipimpin oleh Bhe Thoa Kun adalah keluarga yang sebetulnya jarang bergaul di dunia persilatan Tionggoan. Meskipun, Benteng Keluarga Bhe diakui sebagai salah satu Benteng dan Keluarga dengan kepandaian keluarga yang sangat luar biasa. Benteng keluarga Bhe ini, hanya kalah mentereng dibandingkan dengan Lembah Pualam Hijau.

Tetapi, Bhe Thoa Kun, dikenal memiliki hubungan yang cukup baik dengan Wie Tiong Lan, tanpa seorangpun tahu apa jenis hubungan tersebut. Bhe Thoa Kun sendiri saat ini sudah berusia lebih dari 60 tahun, mungkin sudah sekitar 62 tahun, tetapi pastilah tidak melampaui usia 65 tahunan dan masih nampak gagah. Setidaknya sebagai pemimpin benteng keluarga kenamaan, maka tokoh ini tidaklah memalukan, sebaliknya mendatangkan kesan keren dan angker dalam memimpin benteng tersebut.

Sementara keluarga kenamaan yang kedua adalah Keluarga Yu yang mendirikan Perguruan Keluarga di luar kota Lok Yang, di sebuah hutan yang masih cukup lebat dengan sebuah jalan masuk yang sempit. Siapapun yang memasuki hutan itu, sebaiknya melalui jalan masuk sempit tersebut, karena keluarga Yu ini memiliki kelebihan pada mengatur barisan gaib yang dipasang di rimba atau hutan yang diperkirakan menjadi jalan masuk para penyusup. Pemimpin keluarga Yu dewasa ini adalah Yu Siang Ki yang sudah berusia 60 tahunan, tetapi masih sangat gagah dan sangat bersemangat dalam memimpin perguruan keluarganya yang sudah memiliki hampir 100 anak murid tersebut.

Yu Siang Ki mewarisi kelihaian keluarga Yu dalam mengatur barisan-barisan gaib, terutama barisan yang mengandalkan delapan sudut pat kwa yang sangat kaya perubahan dan bersifat gaib. Dan dengan mengandalkan barisan itulah mereka mempercayakan keamanan dan keselamatan perguruan dari para penyusup. Keluarga Yu sendiri, termasuk keluarga yang kurang bergaul, meski tidak seketat Benteng keluarga Bhe yang sangat kaku dalam pergaulan di dunia persilatan.

Kurang bergaul, tidak sama dengan “tidak bergaul“, dalam hal ini Keluarga Yu memang memiliki jalinan persahabatan justru secara pribadi dengan Kiang Cun Le. Bahkan keluarga ini pernah membantu Kiang Cun Le ketika sedang terluka parah dalam pengembaraannya, dan lebih dari itu, kurang banyak orang yang mengerti bahwa istri Kiang Cun Le justru adalah salah seorang putri keturunan keluarga Yu, yang bernama Yu Hwee.

Yu Hwee adalah salah seorang kakak perempuan Yu Siang Ki, dan Yu Hwee inilah yang memagari Lembah Pualam Hijau dengan barisan gaib, sehingga tidak sembarang orang mampu menerobos Lembah Pualam Hijau, kecuali sampai pada pintu masuknya. Sayang, Yu Hwee tidak berusia panjang, Kiang Hujin ini meninggal di usianya yang 40an, terutama karena sangat terpukul melihat keadaan anak kesayangannya Kiang Liong yang kehilangan keseimbangan mental akibat pukulan batin.

Kedua keluarga yang menerima tanda pengenal Thian Liong Pang merasa sangat penasaran, sekaligus khawatir. Karena mereka, meski kurang begitu akrab bergaul di dunia persilatan, bukan berarti tidak mengikuti perkembangan dunia persilatan. Dan merekapun kenal benar dengan keadaan dunia persilatan yang sedang gonjang-ganjing, dan kini meski mereka jarang melibatkan diri, nampaknya mereka bakal terkena getahnya. Justru karena mereka jarang bergaul, maka mereka diberi keleluasaan waktu untuk memikirkan, apakah akan bergabung dengan Thian Liong Pang, ataukah tidak dengan menghadapi konsekwensi penyerangan.

Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit bagi keduanya, tetapi bagi Keluarga Yu, pilihannya tentu sudah pasti, sebagai besan sebuah keluarga Besar yang menjadi Bengcu Dunia Persilatan, sudah tentu mereka punya sikap yang jelas. Entahlah dengan Benteng keluarga Bhe. Apakah keluarga Bhe juga akan bersikap sama dengan keluarga Yu, masih harus ditunggu. Tetapi, dengan menyebarnya berita bahwa kedua keluarga itu menerima surat ancaman, maka dunia persilatan kembali bergejolak dalam amarah yang tak tertahankan.

Siang hari, di bulan ke-enam tahun yang sedang berjalan, nampak 2 bayangan berkelabat pesat di sekitar Lembah Pualam Hijau. Tetapi keduanya, bukan menerobos lembah, tetapi justru mengitari Lembah Pualam Hijau, dan nampak melangkah dengan tidak ragu, seperti kenal saja dengan keadaan sekitarnya, atau bahkan hafal. Kedua bayangan itu, juga bergerak dengan sangat gesit, tentu merupakan tokoh-tokoh utama rimba persilatan yang sedang melakukan perjalanan.

Memang benar, keduanya bukan tokoh sembarangan, tokoh yang tua bernama Kiu Ci Sin Kay, Kiong Siang Han, kakek tua berusia di atas 100 tahun, bersama muridnya Liang Tek Hoat. Keduanya terus menerobos mengitari Lembah Pualam Hijau, dan selanjutnya nampak mendaki sebuah bukit di belakang Lembah Pualam Hijau yang dipisahkan oleh Tebing Tinggi dan sebuah Air Terjun yang indah. Belum lagi tiba, nampak Kiong Siang Han seperti sedang berbisik-bisik tetapi sambil tidak mengurangi laju perjalanannya. Dan tidak lama kemudian tiba di sebuah tempat yang nampaknya tenang dan damai, dibalik air terjun dengan keadaan yang serba hijau dan menghasilkan pemandangan yang asri.

Tetapi, diatas air terjun, nampak sebuah dataran yang cukup luas dengan alas tanah berumput yang agak jarang. Jelas sebuah tempat berlatih silat, karena itu rumput-rumputnya seperti tidak atau enggan bertumbuh lebat. Dan tidak lama kemudian, dari jajaran rerumputan yang menghalang sebuah dinding di pinggang bukit, nampak keluar seorang yang sudah sama rentanya dengan Kiong Siang Han. Siapa lagi yang bertempat tinggal di Bukit Pualam Hijau jika bukan Kiang Sin Liong?

”Hahahaha, Kiong Pangcu, dipenghujung usiamu, masih gemar engkau berlari lari kesana kemari bersama muridmu. Ada apakah gerangan“? Bertanya Kakek Kiang Sin Liong sambil menyapa tamu kehormatannya. Sementara Tek Hoat dengan hormat berlutut menyembah dan memberi hormat:

”Tecu menjumpai suhu Kiang Sin Liong yang mulia“

”Rupanya kamu sudah pikun. Bukankah aku berjanji sebelum tahun ini berakhir akan datang menengok hasil latihan buyutmu“? Jawab Kiong Siang Han sambil menyapa dan menyalami tuan rumah.

”Ach, benar lohu ingat. Tapi Kiong Pangcu, waktumu tidak banyak lagi“, seru Sin Liong berkhawatir dan dengan alis yang nampak berkerut. Jelas dia khawatir dan heran dengan kedatangan Kiong Siang Han, meski dia menduga bahwa teramat penting kedatangan Kiong Siang Han ini. Yang dimaksud Kiang Sin Liong adalah waktu hidup Kiong Siang Han adalah sebentar lagi, tidak panjang lagi.

Dan kedua manusia super sakti itu sudah sama melihat, bahwa sejak pertemuan di Tebing Peringatan, waktu Kiong Siang Han tinggal 3 tahun paling lama. Tetapi anehnya, keduanya membicarakan batas usia seperti membicarakan hal-hal remeh lainnya, biasa saja, wajar saja, tanpa kekhawatiran dan tanpa kedukaan. Sepertinya mereka sudha mengenal dan mengetahui jalan seperti apa yang akan dilalui setelah kematian.

”Lohu datang untuk dua urusan, tapi lebih baik persilahkan lohu masuk di pertapaanmu yang tentu semakin tidak beraturan itu“

”Baik, baik, maaf sampai lupa menyilahkan sahabat sendiri masuk“ Sambut Kiang Sin Liong sambil mempersilahkan kedua tamunya masuk. Tepat pada saat itu, justru Ceng Liong melangkah keluar, terusik dari samadhi dan latihannya karena mendengar suara di luar. Akhir-akhir ini, Ceng Liong yang telah mengetahui bahwa Gurunya adalah kakek buyutnya sendiri, semakin mengkhawatirkan usia tua kakek atau gurunya itu.

Karena itu, getaran sekecil apapun, gangguan sekecil apapun selalu menjadi perhatian dan selalu menimbulkan usikan baginya terhadap kesehatan dan keselamatan kakeknya itu.

”Kong Chouw, ada apakah“? tanyanya melangkah keluar, tapi begitu melihat siapa yang datang, dia langsung memberi hormat

”Tecu memberi hormat, suhu Kiong Siang Han yang mulia“

”Hahahaha, Sin Liong, lohu batalkan untuk masuk sebentar. Lohu ingin melihat latihan Pek Lek Sin Jiu dari anak ini, apakah sudah benar ataukah masih ada yang kurang“ Selesai berkata demikian, dia mengibas kearah Ceng Liong, yang dengan masih tetap menghormat, bersama Kiong Siang Han melayang kearah dataran yang biasa digunakan sebagai tempat berlatih. Dari ketinggian ini, Lembah Pualam Hijau bisa nampak di bawah, dan justru tempat inilah yang dipilih Kiang Sin Liong bertapa, meski sudah cukup jauh dari lembah dan bukan lagi daerah dari Lembah Pualam Hijau.

”Marilah kita mulai anakku“ Kiong Siang Han meminta Ceng Liong untuk memulai menyerangnya.

”Baik, maafkan aku, Locianpwe“

Dengan tangkas, kemudian Ceng Liong mulai membuka serangan dari Pek Lek Sin Jiu pada tingkatan-tingkatan pertama. Tetapi, baru pada tingkatan awal saja sudah terdengar bunyi yang sangat memekakkan telinga ketika kedua tangannya beradu dan menyerang ke arah dada Kiong Siang Han. Terdengar benturan yang bahkan lebih memekakkan telinga lagi:

”Dhuaaaaaar“, sungguh luar biasa, karena Kiong Siang Han memang tidak menghindar, tetapi ingin mengukur kegunaan dan kesempurnaan Ceng Liong dalam memainkan ilmu itu. Hebatnya, dan Kiong Siang Han menjadi takjub, karena Ceng Liong hanya terdorong 2 langkah, dan kemudian sudah menyiapkan tingkatan kedua dari Ilmu Guntur atau Halilitar tersebut.

Jurus Pertama tadi adalah ”Halilintar Membelah Angkasa“, dan jurus kedua disebut ” Halilintar Menerjang Angin”. Gerakan Ceng Liong menjadi secepat angin dan bergerak-gerak mencari celah untuk melontarkan pukulan dengan gaya jurus kedua, tetapi tentu kemanapun dia bergerak, maha guru Kiong Siang Han tahu arahnya. Maklum, orang tua itulah yang menurunkan ilmu ini kepada Ceng Liong, dan ilmu ini bukanlah pusaka Kay Pang. Tapi, kandungan hawa keras harus dia kerahkan keluar, karena itu terdengar ledakan keras yang kedua, begitu memekakkan telinga.

Demikianlah, Ceng Liong mainkan semua jurus Pek Lek Sin Jiu yang didalaminya dan diyakininya selama 2 tahun ini, karena selain memperdalam Tenaga “Yang”, dia juga perlu meleburkannya dengan kekuatan saktinya. Dan kandungan tenaga “yang” banyak tersimpan dalam Ilmu ini, yang baru namanya sudah mencerminkan hawa “yang” dan akibat yang dtimbulkannya memang sangat merusak.
 
Bimabet
2 Lagi - Banjir Darah bagian 2





Berturut-turut Ceng Liong memainkan jurus ketiga, Halilintar Menghujam Bumi; Jurus keempat, Halilintar Bartalu-talu di Udara, jurus kelima Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari, jurus keenam Badai Petir Membelah Langit dan jurus ketujuh Sejuta Halilitar Merontokkan Mega. Nampak Kiong Siang Han tersenyum mendapati Ceng Liong sudah mampu memainkan semua jurus itu dengan sangat baiknya.

Bahkan sudah mendekati kemampuan Tek Hoat muridnya dalam memainkan Ilmu tersebut. Akhirnya dia menanti Ceng Liong menuntaskan penggunaan jurus terakhir, Halilintar Meledak Bumi Melepuh yang dia sendiri dilarang pemilik kitab untuk melakukannya. Tetapi, sampai saat terakhir, dia tidak merasa Ceng Liong mempersiapkan diri untuk melakukannya, karena itu dia menegur:

“Anakku, mana jurus terakhirnya”?

“Locianpwe, perbawanya terlalu menakutkan, Boanpwe takut memainkannya” berkata Ceng Liong. Bahkan dari sampingnya, Sin Liong juga kelihatannya seperti mengangguk-angguk membenarkan muridnya. Tapi, Kiong Siang Han yang ingin melihat jurus pamungkas itu berkernyit keningnya dan bertanya, “Adakah yang luar biasa dalamnya” tanyanya menghentikan gerakannya.

“Terlalu luar biasa” jawab Sin Liong datar menukas dan menjawab pertanyaan Kiong Siang Han. Padahal, Kiong Siang Han sendiri sebetulnya sudah memaklumi dan mengetahuinya, hanya dia ingin membandingkan efeknya dengan yang ditemukannya ketika Tek Hoat menggunakannya.

“Tapi, bila Kiong Pangcu ingin melihatnya, biarlah kita berdua menerimanya” tambah Sin Liong dan kemudian menoleh kepada Ceng Liong sambil berkata,

“Liong Jie, lakukan”

“Haiiiiit” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras, dan kedua tangannya nampak terbuka, satu tangan terbuka keatas, dan satu lagi melintang datar di depan dadanya. Nampak dia seperti menghirup udara dan hawa, dan tiba-tiba tangannya yang teracung keatas seperti benar-benar ada petirnya, menyala dan berkilat dengan sangat menakutkan, dan ketika digerakkannya, bahkan Tek Hoat yang berdiri agak disamping menjadi tergeser.

Tiba-tiba Ceng Liong bergerak, gerakannya diiringi oleh suara gemuruh, tetapi bukannya memekakkan telinga, gemuruh yang tidak menyerang telinga, tetapi telinga batin yang diserang. Bahkan kilat yang menyambar dari tangan Ceng Liong, sama sekali tidak memekakkan telinga, tetapi menyerang telinga dan mata batin. Efeknya sungguh luar biasa, kedua orang tua yang memapaknya melihat dengan mulut terngana dan terpana, ketika Ceng Liong tiba dan mereka harus mengkisnya.

Inilah jurus Halilintar Meledak Bumi Melepuh yang diyakinkan 6 bulan terakhir oleh Ceng Liong dan yang untuk pertama kalinya dikerahkan menghadapi orang, gurunya dan Kiong Siang Han. Dan untungnya, memang kedua guru besar ini yang menerimanya, sebab jika bukan, sukarlah membayangkan akibat dari benturan berbahaya itu.

“Duk, duk” tidak terdengar letupan keras seperti jurus pertama hingga jurus ketujuh, sebaliknya hanya benturan antar lengan seperti biasanya. Dan akibatnya, Ceng Liong terdorong sampai 5-6 langkah ke belakang, tetapi Sin Liong dan Kiong Siang Han, juga tergeser sampai 2 langkah ke belakang. Dan nampak seperti sedikit linglung 1-2 detik, karena denging dan ledakan petir yang menyerang kedalam jiwa mereka, bukan menyerang indra telinga mereka.

Tetapi akibat dari benturan itu, rumput-rumput yang mereka pijak, nampak mengering dengan cepat, bahkan bebatuan seperti kisut oleh tenaga mujijat yang tidak nampak tersebut. Hanya beberapa saat kemudian, kedua tokoh sakti tersebut sudah menguasai dirinya, dan nampak Kiong Siang Han berkata:

“Tidak pernah kusangka jika jurus pamungkas tersebut bisa begitu hebat dan mujijat” Ujarnya sambil menghela nafas takjub. Dia telah mengerahkan sampai 6 bagian tenaganya dan masih melakukannya berbarengan dengan Sin Liong, tetapi masih tetap terdorong dan terpengaruh oleh denging dan jepitan dalam telinga dan mata batinnya. Tapi, tiba-tiba dia teringat sesuatu dan bertanya:

“Anakku, bagaimana bisa kamu melakukannya”? apakah ada sesuatu yang kamu robah dengan rahasia meyakinkannya yang kuajarkan kepadamu”?

“Benar locianpwe, awalnya tecu melatih sesuai dengan petunjuk yang ada. Tetapi, pada 6 bulan terakhir, tecu mencoba untuk mengurangi daya pekak di telinga dengan membarengi mengisi tenaga “im”, sehingga daya pekak di telinga berkurang. Tapi, ketika tecu mencobanya, ternyata efeknya sama saja, dan ketika tecu mencobanya Kong Chouw kemudian memberi petunjuk bagaimana jika efek suara halilintar bukan menyerang telinga tetapi telinga batin dan mata batin. Itulah yang tecu perdalam selama 6 bulan terakhir ini” Jawab Ceng Liong.

“Hahahahaha, hebat-hebat, kamu justru berhasil menyempurnakan jurus pamungkas itu dan menjadi jauh lebih berbahaya” Seru Kiong Siang Han kagum. Kemudian dia berpaling kepada Tek Hoat dan berkata:

“Tek Hoat, nampaknya sudah tepat keputusanku untuk menitipkan engkau kepada Kiang Sin Liong selama 6 bulan terakhir ini. Biar dia juga melihat efek yang kau latih dengan Soan Hong Sin Ciang. Tetapi, setelah 6 bulan, engkau harus sudah berada di Markas Pusat, lohu menunggumu di Gua Pertapaanku” Kiong Siang Han berbicara, seakan bahkan Kiang Sin Liong telah menyetujuinya.

Tetapi, kedua orang ini, memang memiliki ikatan batin melebihi ikatan mereka dengan Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang. Kiang Sin Liong paham maksud Kiong Siang Han yang ingin menuntaskan semua hal sebelum melepas nyawanya. Maka, tiada alasan bagi Sin Liong untuk menolak kemauan terakhir sahabat kentalnya ini.

“Suhu, apak maksudmu tecu harus berlatih selama 6 bulan bersama Kiang Suhu”? bertanya Tek Hoat

“Bukan berlatih, tetapi memperdalam Soan Hong Sin Ciang dan Pek Lek Sin Jiu. Itu harus kamu lakukan, karena Kim-i-Mo Ong sudah lepas dari kurungan 40 tahun sesuai perjanjian kami, dan selain maha iblis itu, masih ada maha iblis lainnya yang akan menyertai kemunculannya. Dan bekal kalian harus cukup menghadapi kedua maha iblis itu. Untuk saat ini, Ceng Liong sudah lebih dari cukup memadai dalam latihan Pek Lek Sin Jiu dan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari). Engkau perlu melatih Pek Lek Sin Jiu dengan caranya, dan juga memperdalam Soan Hong Sin Ciang selama beberapa bulan“.

Kemudian Kiong Siang Han menatap Kiang Sin Liong;

”Lote, toch akhirnya kita berpisah juga. Tanpa lohu banyak bicara, engkau sudah tahu maksudku menitipkan Tek Hoat, karena lohu masih punya 2 murid yang lain dan 1 murid yang hilang bersama cucumu yang lain. Biarlah lohu menyelesaikan yang bisa diselesaikan, dan yang yang lainnya menjadi tanggungjawabmu. Lohu sudah tuntas menyiapkan Tek Hoat, hanya ingin menyempurnakan tenaga Im dan Soan Hong Sin Ciang darimu. Lohu melakukannya karena baik Pek Lek Sin Jiu maupun Soan Hong Sin Ciang, bukan menjadi pusaka asli Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau. Jadi kita tidak menyalahi leluhur kita. Dan setelah 6 bulan, lepaskan Tek Hoat untuk menemuiku buat yang terakhir kalinya, karena masih ada satu hal yang harus kusampaikan kepadanya sebagai amanat terakhir gurunya. Baik terhadap suhengnya Cui Sian Sin Kay, maupun terhadap Kay Pang yang sedang berusaha mengatasi badai persilatan besama Lembah Hijau, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay saat ini“

”Baiklah, Tek Hoat boleh berada bersamaku selama 6 bulan ini, bahkan selama sebulan boleh berlatih Pek Lek Sin Jiu bersama Ceng Liong. Karena sebulan kedepan, cucuku sudah harus turun gunung, dia harus menemukan ayahnya, menyelamatkan nama baik lembahnya. Masalah tenaga ”im“ dan ”Soan Hong Sin Ciang“ legakanlah hatimu, karena pasti akan kulakukan dan kusempurnakan dalam sisa waktu yang tersedia. Bahkan, selanjutnya anak ini akan kuakui sebagai salah satu muridku, murid kita berdua meski hanya mempelajari Soan Hong Sin Ciang dan bila memungkinkan juga tangan Toa Hong Kiam Sut dariku“

Demikianlah Kiong Siang Han kemudian tinggal selama 3 hari di pertapaan Kiang Sin Liong, mereka mempercakapkan banyak hal berdua selama 1 hari penuh. Sementara Ceng Liong kemudian membuka rahasia bagaimana dia menyempurnakan Pek Lek Sin Jiu yang dilatihnya dengan menyisipkan tenaga ”im“. Sisipan itu berguna untuk meredam suara dan menyisipkan kekuatan Batin dengan mengalihkan ledakkan halilintar menyerang bukannya telinga fisik tetapi telinga batin.

Tetapi, tentu tidak cukup sehari keduanya membahas Pek Lek Sin Jiu pada tahapannya yang pamungkas, hari-hari selanjutnya selama sebulan penuh keduanya melatih Ilmu tersebut sampai Tek Hoat juga kemudian mulai mampu melakukan sebagaimana Ceng Liong memainkan jurus terakhir itu. Bahkan selama sebulan itu, keduanya juga mencoba merangkai jurus gabungan Soan Hong Sin Ciang dengan Pek Lek Sin Jiu, meksipun masih sangat mentah.

Sesuatu yang hingga masa kedepan akan menjadi perbincangan kedua anak muda ini, yakni menyempurnakan gabungan dari Soan Hong Sin Ciang yang berdasarkan tenaga ”Im“ dan bergerak secepat badai dengan Pek Lek Sin Jiu yang cenderung lamban tetapi penuh kekuatan ”Yang“. Seterusnya, bahkan mereka berdua kemudian memperdalam Soan Hong Sin Ciang dengan gaya dan cara yang dikembangkan Tek Hoat.

Sementara ditempat terpisah kedua guru besar yang berada dipenghujung usia masing-masing juga sibuk dengan percakapan mereka sendiri. Baik mengenai muncul kembalinya Kim-i-Mo Ong, maupun kemungkinan tampil kembalinya tokoh hitam lainnya yang diikat oleh perjanjian dengan Kiang Sin Liong. Tokoh ini, adalah maha iblis yang muncul bersamaan dengan Kim-i-Mo Ong, dan keduanya dikalahkan dengan tipis oleh Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong di daerah Nan Chao, dekat Tibet lebih dari 40 tahun sebelumnya.

Kedua maha iblis ini, memang teguh dengan perjanjian, yakni menutup diri di tempat pengasingan masing-masing selama 40 tahun. Dan masa perjanjian itu sudah lewat tahun-tahun sebelumnya. Maha Iblis yang kedua adalah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Hun. Dia dikenal dahsyat dengan Ilmu hitamnya yang ampuh Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis), Koai Houw Sin Ciang serta tentu Ilmu tongkatnya yang dinamakannya sendiri Bo Hoat Bo Thian (Tidak kenal aturan, tidak kenal thian).

Keduanya kepergok sedang berusaha membantu pemberontakan Lhama di Tibet lebih 40 tahun silam, dan akhirnya ditantang mengadu ilmu oleh Sin Liong dan Siang Han. Dalam pertarungan mati hidup, keduanya secara tipis dikalahkan, dan mentaati perjanjian untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan selama 40 tahun lebih ditempat yang mereka tetapkan sendiri. Untungnya, kedua maha iblis ini, adalah tokoh yang memegang teguh perjanjian akibat dikalahkan melalui ilmu Silat.

Dan karena itu, selama 40 tahun terakhir, sama sekali tidak terdengar kabar keduanya mengganas. Tetapi, disitu justru bahayanya. Keduanya, pasti memendam kecewa dan dendam akibat dikalahkan, dan hampir pasti keduanya akan tampil kembali di Tionggoan untuk menuntut abals atas kekalahan yang mereka derita puluhan tahun sebelumnya.

“Tetapi, ternyata bukan cuma gejala munculnya Kim-i-Mo Ong dan mungkin Koai Tung Sin Kai yang menakutkan. Nampaknya, pendekar Tang-ni dengan ilmu khas Jinsut dan “Sekali Menyerang Mengambil Kepala” yang terkenal, juga berada dalam barisan penyerang itu. Dan bila benar demikian, maka lawan murid murid kita memang sungguh mengerikan, jauh lebih beragam dan jauh lebih mengerikan dibandingkan melawan tokoh Lam Hay, Thian Tok dan Bengkauw yang masih memegang tata karma dan kegagahan. Terlebih, apabila Mo Ong dan Sin Kay tampil, hampir bisa dipastikan kalau Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet yang pernah berontak akan mereka undang. Padahal, Lhama jubah merah yang tersesat ini, dipandang hampir setanding dengan Kian Ti Hosiang dalam hal kesaktian di masa lampau. Belum lagi sutenya yang tidak kalah mesum dan tidak kalah jahatnya, Bouw Lim Couwsu, meski hanya seurat di bawah Bouw Lek Couwsu, tetapi tetap sangat mengerikan” Kiong Siang Han menarik nafas berat mengenangkan kembali lawan-lawan mereka pada masa lalu yang dianggap lihay dan sangat berbahaya itu.

“Betul, tetapi untungnya, kali ini Bengkauw dan Lam Hay Bun justru berada dalam barisan dengan Pendekar Tionggoan dalam menghalau kerusuhan ini. Betapapun, memang ada untung dan ruginya bagi Tionggoan dalam menghadapi badai dunia persilatan ini”

“Akan menjadi tanggungjawabmu untuk mempersiapkan anak-anak itu, karena tampaknya waktumu masih cukup untuk mengikuti badai ini hingga reda. Apakah apa yang dititipkan Kian Ti Hosiang bisa dilakukan dan dilatih Ceng Liong dengan baik?” Bertanya Siang Han

“Ya, dia sudah bisa melakukannya, meskipun belum matang betul. Menurut Kian Ti Hosiang, bila sudah dikuasai dan disempurnakan, maka kapanpun Ceng Liong bisa memanfaatkannya dan bisa sesuka hatinya. Cuma, nampaknya penguasaan Ceng Liong masih belum sempurna. Kadang menghasilkan kilatan cahaya mata yang mematikan, persis seperti lontaran Pek Lek Sin Jiu, tetapi kadang nampak dia kesulitan melakukannya. Lohu juga kesulitan untuk mengerti pada titik mana hambatannya, karena yang lohu dengar Ilmu semacam ini di Jawadwipa juga pernah muncul, tetapi jarang yang menguasai. Sementara Kian Ti sendiri tidak pernah menyebutkan ada yang sempat menguasai Ilmu tersebut termasuk di Thian Tok. Biarlah Ceng Liong menelitinya dalam pengembaraan untuk menyempurnakannya kelak” Jawab Sin Liong.

Demikianlah kedua Maha Guru ini melanjutkan percakapan mereka, membahas keadaan dunia persilatan dan bahkan keesokan harinya, mereka membahas masalah Ilmu Silat berempat dengan murid masing-masing. Juga membicarakan tokoh-tokoh tua yang sangat mungkin sudah dan akan melibatkan diri dalam badai persilatan kali ini. Kepada kedua anak muda ini diberitahu ciri dan keistimewaan baik Kim-i-Mo Ong maupun Koai Tung Sin Kay, sebagai tokoh yang malah lebih lihay dari See Thian Coa Ong dan kawan-kawan datuk iblis yang masih aktif saat ini.

Juga diberitahukan soal Bouw Lek Couwsu dan Bouw Lim Couwsu, Lhama Jubah merah dari Tibet yang menyeleweng dan berontak terhadap kekuasaan Lhama di Tibet. Termasuk keistimewaan, kehebatan dan ilmu-ilmu mereka. Terutama Bow Lek Couwsu yang pernah bertanding hampir seimbang dengan maha guru Siauw Lim Sie Kian Ti Hosiang, sehingga bisa dibayangkan betapa hebat dan lihaynya tokoh lhama yang berontak itu.

Juga keempatnya membahas penguasaan Ilmu Silat masing-masing dan kemungkinan untuk mengembangkannya pada masa-masa mendatang. Baik Sin Liong maupun Siang Han tidak menyembunyikan lagi rahasia Ilmu Silat mereka, karena toch keduanya sadar bahwa inilah pertemuan mereka yang terakhir. Justru kedua anak muda itulah yang banyak memetik manfaat dari pertemuan berempat, ketika rahasia Ilmu kedua Maha Guru tersebut dipercakapkan dan kelak sangat bermanfaat bagi pengembangan tata gerak dan Ilmu Silat keduanya. Sepanjang hari waktu mereka gunakan untuk membahas pergerakan Ilmu Silat dan kemungkinan pengembangannya, termasuk juga lawan-lawan berat yang akan mereka temukan kelak di dunia persilatan. Baru pada saat-saat makan siang dan makan malam baru kemudian percakapan terhenti untuk dilanjutkan kembali.

Pada hari yang ketiga setengah harian masih digunakan Siang Han dan Sin Liong berdua untuk berbicara hal-hal diantara mereka yang bersifat pribadi. Karenanya tidak melibatkan kedua muridnya. Bahkan keduanya memanfaatkan pertemuan itu untuk saling mengutarakan banyak hal, sekaligus sebagai pertemuan terakhir untuk berpisahan diantara mereka. Meskipun sudah tergembleng puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, kedua sahabat kekal ini menjadi terharu ketika menyadari, bahwa inilah pertemuan dan perpisahan terakhir antara keduanya.

Dan setelah pertemuan ini, tiada lagi waktu mereka untuk bertemu, bercakap, berkelahi bahkan untuk bertukar pikiran. Mereka berbicara banyak mengenangkan masa lalu mereka, dan akhirnya dengan penuh rasa haru mereka saling mengucapkan selamat berpisah. Itulah terakhir kalinya Kiang Sin Liong melihat dan bercakap dengan Kiong Siang Han, sahabat kekalnya, yang membangun prestasi dan nama besar secara bersama di Dunia Persilatan. Kini mereka berpisah untuk tidak pernah bertemu kembali. Keduanya sama menyadari bahwa perpisahan ini adalah yang terakhir, atau perpisahan untuk selama-lamanya.

Karena perasaan akrab itulah, maka Sin Liong mengantarkan Kiong Siang Han sampai ke dekat pintu masuk lembah, di bawah bukit. Bersama dengan Liang Tek Hoat dan Kiang Ceng Liong, mereka menghantarkan Orang Tua Gagah Perkasa yang menggetarkan dunia persilatan selama puluhan tahun, seorang Kay Pang Pangcu terbesar yang pernah dimiliki oleh Kay Pang. Yang bahkan sampai usia yang sudah sangat tua renta masih terus memikirkan keselamatan dan kejayaan Kay Pang.

Bahkan masih sempat mendidik Kay Pang Cap It Hohan, menyempurnakan kepandaian Liang Tek Hoat dan bahkan juga masih mendidik murid lainnya di Kay Pang untuk melawan bencana yang juga mengancam Kay Pang. Kiong Siang Han tidak lagi mengucapkan sepatah katapun kecuali salam perpisahan kepada tiga orang yang mengiringinya, dan hanya berpesan kepada Tek Hoat, untuk tidak terlambat seharipun tiba di Kay Pang 6 bulan kedepan. Dan setelah itu, tubuh tua itu nampak bergulung bagai asap dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan ketiga orang yang mengantarkannya hingga ke pintu lembah tersebut.

Kiang Sin Liong tidak membuang banyak waktu, segera setelah keberangkatan Siang Han yang dipandanginya penuh haru, digunakannya waktunya untuk menggembleng Tek Hoat. Sebagai seorang yang juga akan diakuinya sebagai murid, maka tentu saja semua perhatian dicurahkannya bagi Tek Hoat, karena memang tiada lagi yang bisa diperbuatnya bagi Ceng Liong yang tinggal mematangkan Ilmu “Tatapan Naga Sakti” demikian nama yang derikannya kepada Ilmu Mujijat dimatanya, dan juga menyempurnakan Soan Hong Sin Ciang dan Pek Lek Sin Jiu.

Kedua Ilmu tersebut sebenarnya sudah dikuasainya dengan baik, hanya karena ada beberapa unsur baru yang ditemukan dan dikembangkan Tek Hoat, maka keduanya melatih penyempurnaan unsur-unsur baru tersebut sebagai upaya mematangkan penguasaan atas kedua ilmu itu. Unsur itu sebenarnya sama prinsipnya dengan Ceng Liong yang mengembangkan Pek Lek Sin Jiu, yakni dengan menambahkan unsur “yang” dalam penggunaan Soan Hong Sin Ciang. Dengan demikian, irisan dan desisan yang keluar dari Ilmu itu bertambah tajam dan memekakkan telinga. Bahkan sisipan itu membuat dna menghasilkan hawa panas yang semakin ditingkatkan akan semakin menyebar rasa panas itu menyerang lawan.

Bila pada malam harinya Sin Liong yang menempa Tek Hoat, maka siang harinya selama sebulan penuh, dia berlatih bersama Ceng Liong, terutama melatih Pek Lek Sin Jiu. Sementara Ceng Liong pada malam harinya lebih banyak mematangkan tenaga Giok Ceng Sinkang dan tenaga Yang yang diwariskan Kiong Siang Han baginya untuk melatih pek Lek Sin Jiu. Demikian seterusnya kedua anak muda ini ditempah dan menempah diri selama sebulan penuh, sampai tak terasa oleh Tek Hoat, bahwa dia sebenarnya sudah mampu dan sanggup memainkan Pek Lek Sin Jiu pada jurus pamungkasnya sebagaimana yang dilakukan oleh Ceng Liong.

Sengaja memang Sin Liong mendahulukan penyempurnaan Pek Lek Sin Jiu, karena dia akan segera menugaskan Ceng Liong untuk turun gunung. Padahal, rahasia penyempurnaan Pek Lek Sin Jiu justru adalah ide dan kreasi serta pengembangan Ceng Liong, dan dia menginginkan Ceng liong untuk membimbing Tek Hoat dalam penguasaan Ilmu mujijat tersebut. Ilmu yang diakuinya memang sangat luar biasa efeknya setelah ditemukan kesempatan mengembangkannya dengan mencampurkan unsur “im” dan “kekuatan batin” dalam Pek Lek Sin Jiu. Hal yang sama, juga nampaknya dikembangkan Tek Hoat terhadap ilmunya Soan Hong Sin Ciang.

Setelah sebulan penuh kedua anak muda itu berlatih bersama, akhirnya tiba saatnya Kiang Sin Liong memutuskan untuk Kiang Ceng Liong turun ke Lembah Pualam Hijau. Firasatnya mengatakan sesuatu yang hebat bakal berlangsung dan terjadi, karena dia merasa Ceng Liong sudah tuntas, maka sudah saatnya meminta cucu buyutnya ini untuk bertanggungjawab atas keluarganya dan atas nama besar lembahnya.

Dipandanginya tubuh cucu buyutnya yang berlutut dihadapannya bersama Tek Hoat, sungguh gagah pikirnya. Badan cucunya memang lebih besar dibandingkan Tek Hoat, sementara Tek Hoat sedikit lebih ramping, tetapi keduanya membayangkan watak dan kekokohan sikap pendekar yang sangat kental. Cucunya ini sekarang sudah berusia hampir genap 20 tahunan, berbeda setahun dengan Liang Tek Hoat, dan nampak sudah matang untuk kembali mengarungi dunia persilatan. Katanya:

“Liong Jie, waktumu untuk turun gunung sudah tiba. Tek Hoat dititipkan Kiong Pangcu kepada lohu selama 6 bulan, maka belum saatnya dia pergi. Tetapi engkau cucuku, firasatku mengatakan bahwa sedang terjadi sesuatu dengan keluargamu. Entah apa masalah itu, tetapi akan menjadi tugas pertamamu untuk menanggulanginya. Engkau harus ingat, bahwa engkau adalah keturunan langsung dari para penghuni Lembah Pualam Hijau, Lembah yang dipercaya sebagai pemimpin Dunia Persilatan. Setelah menyelesaikan tugas keluargamu, maka tugas selanjutnya kuembankan kepadamu untuk melawan kelompok perusuh itu. Tugasmu ini akan dikerjakan bersama Tek Hoat, Mei Lan dan Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie”

“Kong chouw, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan keluarga kita”? Mengapa ayahanda menghilang, dan apakah tugas keluarga ini terkait dengan menghilangnya ayahanda”?

“Entahlah, tapi yang pasti nampaknya berbeda. Adalah tugasmu mencari ayah dan ibumu yang menghilang bersama suheng Tek Hoat, Ciu Sian Sin Kay, tokoh Siauw Lim Sie Kian Hong Hwesio dan Wakil Ciangbunjin Bu Tong Pay Ci Siong Tojin. Tapi, yang sangat mendesak saat ini adalah, kembalilah dulu ke Lembah Pualam Hijau, nampaknya apa yang harus kamu kerjakan dan apa itu, akan terjawab disana” tegas Sin Liong.

“Kamu boleh bersiap segera dan sore hari ini boleh segera turun gunung, masuk ke Lembah Pualam Hijau melalui pintu utama lembah dan jangan memasuki lembah keluargamu dari tempat tersembunyi. Karena itu adalah lembahmu, jangan mengotorinya dengan masuk melalui cara yang kurang baik” Pesan Sin Liong.

“Baik Kong Chouw, tecu mohon diri” Ceng Liong kemudian mohon diri untuk mengadakan persiapan.

Sementara itu, sebagaimana yang ditetapkan dan ditegaskan Sin Liong, Tek Hoat melanjutkan latihannya selama 5 bulan kedepan, dengan melatih hawa “im” dan menyempurnakan Pek Lek Sin Jiu seorang diri dan menyempurnakan Soan Hong Sin Ciang. Setelah 5 bulan berlalu, Kiang Sin Liong kemudian menguji Tek Hoat, menguji semua hasil latihannya, termasuk menguji hawa “im” dalam tubuhnya, menguji kemampuannya dalam membaurkan tenaga itu dan penguasaannya, dan terakhir bersilat dengan Soan Hong Sin Ciang yang sudah semakin disempurnakan dan masih menambahkan gerakan tangan mengikuti Toa Hong Kiam Sut.

Kiang Sin Liong puas akan hasil yang dicapai terlebih ketika perlahan namun pasti asap panas dan hawa panas yang dihadirkan oleh penguasaan tertinggi Soan Hong Sin Ciang yang dipadukan dengan hawa yang semakin menusuk. Dan pada akhirnya, perlahan-lahan, Tek Hoat, sebagaimana Ceng Liong akhirnya mulai mampu meningkatkan hawa khikang, pelindung tubuh yang semakin kuat. Betapapun, Liang tek Hoat, meski anak seorang Pangeran, tetapi memiliki bakat Ilmu Silat yang sangat baik, malah sudah meningkat sangat tajam.

Untuk saat ini, mungkin dia hanya kalah seusap dibandingkan Kiang Ceng Liong yang banyak dibantu penemuan gaib dalam perjalanan hidupnya. Tetapi, setelah Tek Hoat juga mengalami peleburan hawa dibawah bimbingan gurunya, diapun meningkat secara tajam, sehingga memampukannya menguasai dan meningkatkan secara tajam semua Ilmu yang dikuasainya sebelumnya.

Bahkan ketika menguji penggunaan Pek Lek Sin Jiu, Kiang Sin Liong menjadi kagum. Karena nampaknya anak ini lebih matang dalam memainkan Pek Lek Sin Jiu, dan perbawa yang dihasilkan anak ini dalam jurus pamungkas, meski sama dengan yang dihasilkan Ceng Liong, tetapi tetap dapat dirasakannya perbedaannya. Daya tusuk terhadap telinga batin masih lebih tajam jika dilakukan oleh Ceng Liong, tetapi daya rusak secara fisik, memang masih lebih kuat dihasilkan oleh Tek Hoat.

Tetapi Sin Liong maklum, karena memang dasar latihan dan hawa dasar dari kedua anak itu sejak awalnya sudah sangat berbeda. Sehingga menjadi wajar apabila kemudian hasil akhir dalam melatih jurus dan ilmu yang sama juga menjadi berbeda. Dalam hal ini, dia sadar, daya rusak tenaga “Yang” yang merupakan dasar ilmu Tek Hoat memang jauh lebih kuat dan lebih lama dilatih dibandingkan Ceng Liong yang dasar tenaga dan latihannya adalah hawa “im”.

Tetapi, pada bagian telinga batin, dia sadar betul bahwa daya tekan dan daya rusak konsentrasi dan ketenangan orang, masih jauh lebih tajam perbawa yang dihasilkan Ceng Liong. Hal yang tentu saja wajar, selain karena Ceng Liong yang menemukan dan menciptakan perbawa ini, juga kekuatan mata dan kekuatan hipnotis yang tidak wajar, didapatkan Ceng Liong entah dengan cara apa. Yang bahkanpun Kim Ciam Sin Kay tidak sanggup menjelaskannya kepada Kiang Sin Liong, sebagaimana surat yang dibalaskan Pangcu Kay Pang itu kepada Kiang Sin Liong.

Jikapun masih ada yang dikhawatirkannya, terutama adalah bagaimana nantinya perjalanan Ceng Liong dalam menyempurnakan Tatapan Naga Sakti. Ilmu yang diwanti-wanti oleh Kian Ti Hosiang untuk diawasi penyempurnaannya, dan pengawasannya diserahkan kepadanya oleh ketiga guru besar lainnya. Karena Ceng Liong memang masih dalam garis keturunannya.

Selebihnya, melihat perkembangan Ceng Liong dan Tek Hoat, Kiang Sin Liong sudah merasa sangat puas. Waktu akan membuat kedua anak ini terus berkembang, terus meningkat, sehingga tidak ditakutkannya dalam melawan tokoh-tokoh sesat yang tidak kurang lihaynya. Terlebih dia menjadi girang ketika menemukan kenyataan bahwa Tek Hoat masih memiliki kelebihan lainnya, yakni kemampuannya untuk kebal racun karena dicekoki darah racun ular langka oleh gurunya.

Setelah melakukan pemeriksaan dan pengecekan terhadap kemampuan terakhir Tek Hoat, akhirnya pada pertengahan bulan terakhir yang dijanjikan oleh Siong Han, Tek Hoat dipanggil dan dilepas oleh Sin Liong untuk kembali menemui gurunya. Kepada Tek Hoat, Kiang Sin Liong menceritakan bahwa umur gurunya Siang Han tinggal beberapa waktu lagi, karena itu dia dilarang berlama-lama dan harus secepatnya menuju markas Kay Pang.

Sin Liong menjelaskan keadaan Siang Han secara wajar, karena memang demikianlah yang diketahuinya dan yang dibicarakannya dengan Siang Han menjelang perpisahan terakhir mereka. Masih akan ada amanat gurunya yang akan disampaikan kepada Tek Hoat dalam pertemuan terakhirnya dengan Kiong Siang Han. Selebihnya, Sin Liong juga banyak memberi pesan terakhir kepada Tek Hoat, bahwa dia diakui sebagai murid juga oleh Sin Liong setelah menerima pelajaran Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, dan bahkan memperoleh warisan penguatan tenaga IM dalam mematangkan penguasaan ilmunya.

Karena itu, Tek Hoat diharapkan untuk tetap menjaga kegagahannya, mempertahankan sikap kependekaran dalam petualangan dan dalam pergaulan di dunia persilatan. Dan bahwa tugas dan tanggungjawab Tek Hoat akan sangat besar dan berat pada waktu-waktu mendatang bersama dengan kawan-kawan seangkatannya.

Demikianlah, akhirnya Tek Hoatpun kemudian turun gunung dan dengan pesat menuju ke Markas Kay Pang sebagaimana diminta dan diamanatkan oleh gurunya. Kondisi gurunya yang diceritakan Kiang Sin Liong membuatnya bergegas menuju markas Kay Pang dan tidak memperdulikan keadaan sekitarnya. Betapapun, dia bukan hanya memandang Siang Han sebagai guru, tetapi selama belasan tahun sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Orang tua yang sangat mengasihinya, mendidiknya penuh kasih dan memasrahkan masa depan kay Pang ketangannya sebagai murid penutup yang dilatih dengan sangat serius
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd