BAB 10 Mecari Kiok Hwa Kiam (pedang seruni)
1 Di Kota Raja
Hari mulai menjelang senja, udara mulai terasa semakin dingin. Meskipun sudah memasuki penghujung musim dingin, tetapi menjelang senja, tentu udara akan semakin dingin. Matahari yang makin doyong ke barat, malah terlihat seperti sedang mengintip bumi, karena sebagian dari bulatan matahari sudah berseumbunyi di ufuk barat.
Sayangnya, pemandangan yang menghasilkan rona merah ini sulit dinikmati, karena udara sudah terasa semakin dingin. Apalagi, selain cuaca yang memang dingin, anginpun menghadirkan rasa dingin menusuk tulang, membuat hawa dingin seakan-akan merasuk beberapa kali lipat dibanding siangnya.
Suasana kota Hang Chouw, ibukota Kerajaan Sung Selatan, juga nampak aktifitasnya sudah berkurang drastis. Jikapun masih ada, pastilah ditempat-tempat yang menjanjikan kehangatan, seperti Rumah Bordil alais tempat pelacuran, atau Warung Arak dan Rumah Makan yang menjanjikan kehangatan tubuh, ataupun juga Rumah Penginapan.
Di luar itu, aktifitas penduduk kota pastilah di rumah masing-masing dengan menghangatkan tubuh disekitar tungku pemanas, atau meringkuk dibalik selimut tebal di peraduan yang hangat. Siapa pula yang mau iseng-iseng membela senja dan malam pada saat musim dingin begini?
Kendatipun sudah di penghujung musim dingin, tetapi dingin tetaplah dingin, dan siapapun akan mencari cara untuk memerangi kedinginan.
Tapi yang aneh bin ajaib adalah disaat menjelang senja, nampak seorang gadis manis, cantik juwita, dengan wajah harap-harap cemas dan terkadang tersenyum, sedang memasuki pintu kota dari arah utara.
Tetapi jangan salah, caranya memasuki pintu kota itu memang biasa, melewati penjaga gerbang yang sedang merana oleh rasa dingin, dan bahkan melalui proses pemeriksaan karena dia baru pertama kali muncul di kota, dan kemudian melenggang memasuki kota.
Tapi, beberapa saat kemudian, dari berjalan melenggang, tiba-tiba tubuhnya berkelabat cepat, luar biasa cepat dan pesat memasuki kota yang semakin kedalam semakin dikerubuti rumah-rumah. Bahkan, langkah kaki gadis cantik ini mulai mengarah ke kompleks istana tempat tinggal keluarga bangsawan.
Memasuki kompleks tempat tinggal bangsawan, gadis ini nampak ragu-ragu sejenak, seperti kebingungan dan nampak celingukan seperti mencari dan memastikan suatu tempat.
Bahkan, tubuh mungil itu tiba-tiba mencelat ke atas, luar biasa, dan menapaki wuwungan rumah kaum bangsawan, rumah keluarga atau kerabat Istana. Dan, dengan langkah-langkah yang tidak goyah meski diketinggian di atas wuwungan rumah orang, langkahnya tidaklah kaku.
Malah pesat dan gesit meloncat kesana dan kemari. Tidak lama kemudian, kembali celingukan untuk mengenali sesuatu dan mencari arah. Tidak beberapa lama setelah melihat kekiri dan kekanan, akhirnya nampak gadis itu tersenyum senang dan lega.
Tidak salah lagi, nampaknya dia sudah bisa mengenali dan sudah bisa memastikan arah dan tujuan yang ditetapkannya. Makanya, senyum manis di wajah yang imut, mungil dan menggemaskan itu kembali muncul. Cerah, sangat kontras dengan suasana yang sudah malam, karena matahari seutuhnya sudah bersembunyi di ufuk barat.
Tidak salah lagi, pastilah ini rumahnya. Sedang apakah gerangan orang-orang didalamnya bisiknya harap-harap cemas, haru, gembira, rindu dan banyak rasa yang sangat sulit untuk diuraikannya. Dan dengan langkah dan gerakan pasti, tubuh mungil menggemaskan itu mendekati rumah yang sudah dipastikannya sebagai tujuan kedatangannya.
Tetapi, tidak langsung anak gadis itu mengetuk pintu dan masuk ke rumah itu layaknya tamu. Sebaliknya dia mencoba untuk mengintip, ada apa dan siapa gerangan yang berada di rumah besar yang nampak megah tersebut. Beberapa kali dia meloncat-loncat untuk mendekati jendela dan mengintip, tetapi rata-rata ruangan yang ditemuinya kosong dan tak berpenghuni.
Dan ketika dia mendekati ruangan dimana biasanya tuan rumah menerima tamu dan dipastikannya masih ada orang karena ada penerangannya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lirih:
Tamu atau sahabat yang berada di luar, silahkan masuk. Lohu bersama tuan rumah menunggu untuk bersama menghangatkan badan dan berbincang-bincang Sebuah suara yang lunak namun lirih dan jelas di telinga terdengar dari ruangan dalam.
Si gadis sangat terkejut, karena betapapun dia sudah mengerahkan ilmu ginkangknya, tetapi toch masih bisa dikenali dan diketahui oleh orang di dalam. Ditinjau dari sisi ini saja, orang didalam pastilah seorang kosen, dan karena sudah konangan, maka tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.
Lagipula, memang bukan maksudnya untuk menghadirkan huru-hara bagi penghuni rumah ini, malah yang ingin dilakukannya berbeda sama sekali, ingin menghadirkan sebuah kejutan. Sebuah kejutan yang mungkin tidak disangka-sangka penghuni rumah. Atau sebuah kejutan menyenangkan yang tak pernah diimpakan lagi.
Akhirnya, sang gadis kemudian berkelabat kearah pintu masuk dan begitu berdiri di ruangan, dia menyaksikan seorang Pria berpakaian gagah dan bersikap agung menatapnya. Sementara lawan bicaranya, ada dua orang yang nampaknya dari kalangan persilatan, dan diduganya tentu bukan orang sembarangan karena mampu melacak jejak langkahnya yang menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Tetapi pria gagah yang menatapnya nampak seperti tercekat dan memandangnya penuh harap, seperti memandang mustika yang masih belum bisa dipastikannya. Tetapi si gadis cantik manis itu sudah dengan cepat menyadari siapakah gerangan Pria gagah dihadapannya.
Pria gagah yang memandangnya dengan tatapan tak menentu dan harap-harap cemas. Dengan tidak ragu sedikitpun didekatinya pria yang berwajah agung itu, dia tahu dan kenal dengannya. Bahkan sudah sangat lama dirindukannya wajah itu, dan kemudian berlutut dihadapannya:
Ayah, putrimu yang tidak berbakti datang menghadap Ucap si gadis dan tak tertahankan dia sudah sesunggukan.
Sementara Pria gagah itu seperti tidak percaya dengan pendengarannya atau lebih tepat seperti tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Seseorang memanggilnya ayah, dan membuatnya seperti di awan-awan.
Ayah? Memangnya, siapakah kamu? Meski bertanya, tetapi Pria itu sebenarnya hanya ingin menegaskan. Karena sejak melihat gadis itu memasuki pintu rumah, firasat dan mata batinnya seperti sudah memberitahu bahwa gadis itu bukan orang lain baginya. Firasat dan mata batin memang sulit untuk berbohong.
Ayah, putrimu
.. Liang Mei Lan
.. datang menghadap Kembali si nona mengucapkan kalimat yang sepertinya diucapkan sangat sulit karena sambil terguguk-guguk menangis.
Mei Lan, ya tentu saja kamu Mei Lan. Hahahahaha, putri tersayangku yang hilang akhirnya kembali juga Pria itu akhirnya mampu menemukan diri dan kegembiraannya seraya menuntun anak permata hatinya yang menghilang hampir 10 tahun lamanya.
Hahahahaha anakku, putriku sudah sebesar dan secantik ini. Lihalah Jiwi Locianpwe, adakah kegirangan yang lebih besar lagi dari menemukan salah seorang anakku yang hilang 10 tahun lamanya Si Pria yang ternyata adalah Pengeran Liang Tek Hong tidak sanggup menahan kegembiraannya, tertawa sambil menitikkan air mata bahagia melihat kedatangan putri tercintanya yang lama menghilang.
Bukan sedikit daya upaya yang dikerahkan, bahkan sampai melibatkan Kay Pang, toch gagal. Dan ketika dia sudah merelakan kepergian anak-anaknya, justru tiba-tiba salah satunya datang. Sungguh menggembirakan, ada lagikah yang melebihinya?
Salah seorang tamu yang nampaknya berasal dari kalangan dunia persilatan, nampak tahu diri dengan kegembiraan yang dialami tuan rumah. Karena itu dengan segera dia berkata:
Pangeran, biarlah kita sudahi percakapan malam ini. Besok masih ingin kami menikmati cawan kegembiraan tuan rumah dan melanjutkan percakapan kita yang terputus. Liang Kouwnio, kami ucapkan selamat bertemu dengan keluarga besarmu Kemudian kedua tokoh Kang Ouw itu mengundurkan diri untuk beristirahat di kamar yang memang disediakan buat mereka.
DI Rumah Pangeran ini, memang tersedia banyak kamar tamu, dan lebih sering digunakan orang dari dunia persilatan yang banyak menyenangi Pangeran yang simpatik ini.
Baik, baiklah jiwi locianpwe, biarlah besok kita sambung lagi Ucap Pangeran Liang mengiringi langkah kedua tamunya untuk beristirahat di kamar tamu yang disediakan bagi mereka.
Setelah kedua tokoh itu masuk ketempat istirahat mereka, Pangeran Liang kemudian mengangkat dan memegangi kepala Mei Lan, nampaknya ingin memastikan dan mengamati putri mestikanya itu.
Ditatapnya lama sekali sambil tersenyum bahagia, menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala:
Benar, benar, tak salah lagi, mata dan hidungmu adalah gambaran ibumu semasa gadisnya. Hahahaha, ayo anakku, kita perlu menghibur ibumu yang sudah sekian tahun menahan rindunya bertemu denganmu Pangeran Liang kemudian menuntun anaknya menemui ibunya yang sudah beristirahat.
Ibunya lebih sering di peraduan karena menjadi sering sakit-sakitan semenjak kedua anaknya menghilang 10 tahun sebelumnya. Dan mudah diduga, sang ibupun menangis sedih bercampur gembira ketika melihat kembali seorang putrinya yang menghilang tiba-tiba muncul lagi dihadapannya.
Bahkan adiknya Mei Lin yang kini berusia hampir 12 tahun, juga ikut-ikutan menitikkan air mata karena saking lamanya merindukan cicinya yang hanya sering didengarnya dari ibunya. Hanya sayang Toakonya, Liang Tek Hu, sekarang sudah bekerja di Istana membantu pembukuan Istana Putra Mahkota.
Dan kebetulan malam itu kemungkinan besar akan menginap di Istana, dan karenanya pertemuan keluarga itu masih kurang lengkap, apalagi Liang Tek Hoat juga masih belum ketahuan rimbanya.
Malam itu juga keluarga Pangeran Liang bercengkerama dan saling menuturkan pengalaman masing-masing. Terutama Liang Mei Lan menceritakan pengembaraannya dalam pelarian dengan Tek Hoat kakaknya. Bagaimana mereka menemukan dan menolong Ceng Liong yang mereka namakan Thian Jie, bagaimana mereka hidup luntang-lantung dan kadang mengemis dan sampai mereka hanyut di sungai dan kemudian diangkat murid oleh Wie Tiong Lan.
Sesuatu yang benar-benar mengharukan dan mengagetkan Pangeran Liang. Riwayat anak-anaknya ini sungguh luar biasa, sebagai putrid Pangeran mereka luntang-lantung di luaran, tidak terawatt dan susah makan. Sungguh berat dia memikirkannya, tetapi sekaligus gembira karena putra-putrinya tergembleng tidak sengaja dengan penderitaan rakyat biasa.
Tapi, peruntungan mereka juga luar biasa, bagaimana mungkin rejeki anaknya begitu hebat, menjadi murid penutup Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, salah seorang tokoh ajaib dunia persilatan dewasa ini. Apalagi ketika mendnegar, kemungkinan Kakaknya Tek Hoat juga diangkat murid oleh Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han, membuat Pangeran Liang sungguh-sungguh merasa bagaikan mimpi.
Karena meskipun dia seorang Pangeran, tetapi pengetahuan dan penguasaan dunia persilatan olehnya sungguh sangat dalam dan luas. Bahkan dia dikawani atau dianggap kawan oleh banyak tokoh persilatan kelas utama dunia persilatan Tionggoan.
Tidak aneh jika kemudian dia sangat mengenal Wie Tiong Lan dan Kiong Siang Han, mengenal juga kelihayan dan keanehan tokoh-tokoh yang nyaris menjadi tokoh dongeng dunia persilatan dewasa ini.
Liang Mei Lan, sebagaimana dituturkan di bagian depan, diselamatkan dan belakangan diangkat menjadi pewaris terakhir dari Wie Tiong Lan, seorang bekas ketua Bu Tong Pay yang teramat lihay. Bahkan diakui sebagai generasi terlihay Bu Tong Pay sejak pendirinya Thio Sam Hong, mendirikan Perguruan Silat tersebut.
Sebagaimana Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan yang mengkhawatirkan nasib Bu Tong Pay memutuskan mendidik murid penutupnya ini di Bu Tong San. Di sebuah tempat rahasia yang hanya diketahuinya bersama ketiga muridnya. Bahkan Ketua Bu Tong Pay saat ini tidak menyadari kalau Gunung Bu Tong berada dalam perlindungan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan.
Karena bersamaan dengan kedatangan Wie Tiong Lan untuk mendidik Liang Mei Lan, ketiga muridnya juga kemudian diminta untuk berada di Bu Tong San untuk menjaga kemungkinan penyerbuan pihak perusuh.
Sebagaimana diceritakan di depan, dalam pertarungan antara Ciu Sian Sin Kay dengan Sian Eng Cu Tayhiap, terutama saat mereka saling melibas sulit dipisahkan, Wie Tiong Lan kebetulan datang membawa Mei Lan di Bu Tong San.
Setelah memisahkan Sian Eng Cu dan Ciu Sian Sin Kay, dia menugaskan kedua muridnya, Jin Sim Tojin dan Sian Eng Cu untuk menyadarkan Kwee Siang Le dan meminta berjaga di Bu Tong San. Hal ini dilakukannya karena dia sendiri memang bertekad untuk mendidik Mei Lan dalam menandingi 4 anak lain yang juga dididik oleh 3 kawan karibnya.
Meskipun tidak lagi dilandasi mau menang sendiri, tetapi melihat anak didiknya kalah oleh anak muda didikan teman-temannya juga tentu tidak menyenangkan. Ke-empat tokoh gaib ini, dalam rangka membantu dunia persilatan, secara tidak sadar telah menciptakan keterikatan duniawi yang sebenarnya lama mereka coba tinggalkan.
Tetapi, merekapun sebenarnya menyadari hal tersebut. Untungnya alasan lain jauh lebih tepat dan memang sangat sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi rimba persilatan.
Dengan motivasi yang sama dengan ketiga kawannya itu, Wie Tiong Lan yang sudah berusia sungguh renta, mendekati 100 tahunan, kemudian meminta murid-muridnya untuk ikut mendidik adik perguruan termuda mereka. Untuk gerakan-gerakan dasar perguruan, Kwee Siang Le yang menangani, sementara untuk landasan ginkang, Sian Eng Cu yang bertugas.
Sementara setiap malamnya, Wie Tiong Lan sendiri yang menggembleng Mei Lan dengan Liang Gi Sim Hwat. Sebagaimana diketahui, landasan untuk menyempurnakan ilmu-ilmu Wie Tiong Lan dan tentu Ilmu Bu Tong Pay adalah Liang Gi Sim Hwat. Ilmu ini berisikan ilmu pernafasan dan cara menguasai hawa dalam tubuh manusia, dan kemudian saat yang tepat untuk memperdalam hawa sakti tersebut.
Karena unsur kelemasan dan im, maka saat yang tepat untuk menghimpunnya adalah di waktu malam hari, dan saat yang paling tepat adalah peralihan waktu tepat tengah malam. Saat itulah yang paling tepat untuk menghimpun dan memperkuat tenaga sakti.
Itu jugalah sebabnya Wie Tiong Lan memilih untuk mendidik Mei Lan diwaktu malam, sementara siang hari kedua muridnya yang bertugas mendidik Mei Lan. Demikian mereka bergantian menggembleng anak perempuan yang memang sangat berbakat ini.
Anak yang menjadi murid penutup dari Pek Sim Siansu dan disiapkan khusus untuk membantu Bu Tong Pay dan duniua persilatan dalam menghadapi kemelut yang kembali menimpa Tionggoan.
Selain mendidik dan mengajarkan serta membuka rahasia Liang Gie Sim Hwat, pada siang hari Wie Tiong Lan juga berkutat dengan benda-benda mujijat yang dimaksudkannya untuk memperkuat tenaga sinkang Mei Lan. Dia sadar betul, bahwa paling banyak usianya bertahan 10-15 tahun kedepan, dan berharap Mei Lan sudah tuntas belajar sebelum dia meninggal dunia.
Karena itu, untuk mempercepat peningkatan kekuatan tenaga saktinya dan menghimpunnya melalui pengaturan hawa Liang Gie Sim Hwat, maka Wie Tiong Lan meramu banyak obat-obatan mujijat yang dikenal dan dikumpulkannya dalam pengembaraannya dahulu.
Bahkan juga menggunakan sejumlah pil mujarab penambah tenaga yang dimiliki Bu Tong Pay. Untungnya, Mei Lan sendiri memang memiliki tulang dan bakat yang sangat baik untuk belajar Ilmu Silat.
Bahkan bakatnya itu menyamai Sian Eng Cu, bahkan kecerdasannya justru melampaui Sian Eng Cu. Karena itu, keseriusan Wie Tiong Lan menjadi berlipat lipat. Sama seriusnya adalah para suheng yang lama-kelamaan bukannya iri, malah menyayangi sumoy mereka seperti menyayangi anak mereka sendiri.
Anak itu sendiri memang lincah, manja dan sangat menggemaskan, membuat orang tua-orang tua itu menjadi lemah hati dan memanjakannya. Tapi sangat disiplin dalam latihan silatnya