Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(capos) kisah para naga di pusaran badai lanjutan jilid 2

Bimabet
Tinggal 3 bab lagi jilid 2 selesai maaf belum bisa lanjut ke jilid 3 sbb belum dapat persetujuan dari yang punya cerita semoga secepatnya dapat ijin dari yang punya nih cerita (suhu marsall)
 
BAB 23 Menyerbu Markas Utama
1 Menyerbu Markas Utama



Kakek tua itu ternyata adalah Paman Guru Nenggala. Dia adalah tokoh yang bernama Wisanggeni dengan julukannya Bintang Sakti Berpijar, salah seorang murid Kolomoto Ti Lou yang berkhianat. Dia membawa kabur buku pusaka gurunya hingga ke Thian Tok dan Tionggoan. Sekali lihat Nenggala segera paham dan kenal. Paman Gurunya itu memang luar biasa lihaynya dan dia ragu apakah dia sudah cukup siap untuk menghadapinya.

Mungkin kakeknya yang adalah juga gurunya yang memiliki kesanggupan menandinginya, tetapi dia tidak kecil hati karena percaya dengan kemampuannya sendiri. Hanya, yang mengagetkannya adalah, Ceng Liong ternyata sanggup menahan dan nampaknya tidak terdesak sama sekali oleh gelombang serangan paman gurunya yang dia tahu betul kelihayannya.

”Sampai dimana sebenarnya kehebatan Duta Agung yang masih demikian muda ini”? Batin Nenggala. Dengan jujur diakuinya bahwa anak muda itu, malah lebih muda daripadanya memang sangatlah lihay dan dia belum tahu sampai dimana kelihayannya, karena setiap bertempur, semakin hebat lawannya, justru semakin berkembang kemampuan anak itu. ”Luar biasa” puji Nenggala dalam hati.

Berlalunya Wisanggeni atau Bintang Sakti Berpijar, salah seorang tokoh terkemuka asal Jawadwipa tidaklah dengan sendirinya menyurutkan bara amarah di hati Majikan Kerudung Hitam. Apalagi, dia sendiri sudah terlanjur teryakinkan oleh guru-gurunya bahwa kemampuannya sudah tidak terpaut jauh dari gurunya dan juga Wisanggeni yang baru saja berlalu itu.

Sementara disudut lain, Janaswamy, meski juga penasaran tetapi sudah mulai ngeri mendapatkan kenyataan betapa Wisanggenipun tidak sanggup mendesak anak muda yang masih dilihatnya amat belia itu. Dia diwanti-wanti Mahendra dan gurunya yang terakhir, seorang tokoh sepuh asal Thian Tok, bahwa kakek tua itu, Wisanggeni, memiliki kemampuan tidak di bawahnya.

”Jika melawan Wisanggeni saja dia bisa, apakah kehebatannya sudah setataran dengan guru”? Demikian dia bertanya-tanya dalam hati. Otomatis, pandangannya kepada Ceng Liong telah berbeda jauh, jauh dari sebelum mereka bertempur dan dia menyaksikan sendiri bagaimana Ceng Liong menempur Wisanggeni.

Bahkan, dia sendiri telah merasakan kehebatan Ceng Liong, yang meski dikeroyoknya bersama Majikan Kerudung Hitam, tetapi mampu memberi perlawanan yang hebat. Bahkan, pada bagian akhir pengeroyokan mereka, dia merasa betapa Ceng Liong justru menjadi semakin digdaya, sementara dia sendiri mulai kewalahan.

Untuk sejenak keempat anak muda itu saling tatap. Majikan Kerudung Hitam, meski telah ditinggal Wisanggeni tetapi tidak kehilangan kesombongannya. Dia masih yakin atas kemampuannya dan juga kemampuan Janaswamy, dan dia tidak merasa sama sekali bahwa tempat itu telah menjadi area yang berbahaya dan harus ditinggal. Kekuatan Ceng Liong memang bertambah dengan kehadiran Nenggala yang secara sepintas dia melihat juga sangat hebat itu.

Tetapi, darah muda dan kepenasaranannya mengalahkan peringatan Wisanggeni tadi. Selain itu, dia memiliki kartu truf lainnya, yakni mereka berada di tempat berbahaya yang tempatnya lebih dikuasainya. Posisi ini, bisa dimainkan keuntungannya kapan saja, tergantung kebutuhan. Ini yang membuat Majikan Kerudung Hitam tetap berkeyakinan, dan keyakinan ini dipegangnya dengan teguh.

Dan, memang, sekali lagi anak muda ini memang penuh perhitungan, pintar dan amat cerdas, meski usianya masih sangat muda. Dan karena kecerdasannya itu, serta kesaktiannyalah yang membuatnya menjadi salah satu pemimpin teras Thian Liong Pang. Menjadi salah satu di tangan kanan Pangcu Thian Liong Pang yang memiliki kekuasaan besar dan terutama sangat berani.

Tetapi, bagaimana ceritanya sampai Nenggala tiba-tiba muncul di tempat tersebut? Bukankah dia memiliki kesepakatan dengan Ceng Liong untuk mengawal para tawanan hingga ke Kwi Cu? Untuk mengetahuinya, marilah kita mundur sejenak ke belakang:

Pada saat Ceng Liong menahan Majikan Kerudung Hitam, Janaswamy dan Kakek Tua yang belakangan ternyata adalah Wisanggeni (dan pada saat Nenggala berlalu dia tidak mengenalinya) bergegas rombongan di bawah lindungan Nenggala dan Su Kiat menuju mulut terowongan. Sudah tentu mulut terowongan itu mudah mereka capai karena memang penjagaan di dalam terowongan tidaklah ketat atau bahkan telah dilumpuhkan.

Tetapi, Su Kiat dan Nenggala paham, bahwa begitu keluar dari terowongan, mereka akan berhadapan dengan barisan penjagaan yang cukup ketat. Meskipun, mereka sedikit lega karena mereka bergerak cukup cepat dan nampaknya anak buah Thian Liong Pang yang di 5 gedung utama belum banyak yang terjaga.

Dugaan mereka memang tepat, bahkan ketika membuka pintu terowongan, mereka menemukan keadaan para penjaga terowongan yang masih dalam keadaan tertotok dan masih belum siuman. Su Kiat dan Nenggala yang berpikiran panjang, kembali menghadiahi ke 7 penjaga itu dengan totokan baru untuk memperpanjang masa “istirahat” mereka. Dan dengan mudah Nenggala, Su Kiat, Kiang Hong, Tan Bi Hiong, Ciu Sian Sin Kay, Ci Siong Tojin, Kiong Hian Hwesio berlalu dari terowongan tersebut.

Tetapi, masalah segera muncul karena Ciu Sian Sin Kay, Ci Siong Tojin dan Kiong Hian Hwesio masih belum pulih kekuatan mereka. Langkah mereka masih seperti orang yang tak berkekuatan, dan karena itu akan dengan mudah terlacak oleh lawan. Dan memang begitulah jadinya ketika mereka keluar dari kawasan 5 gedung utama tersebut, keberadaan mereka segera terendus pihak lawan. Untungnya mereka telah berada di luar kawasan 5 gedung tersebut, dan lebih untung pula karena di area tersebut mereka tidak akan terkepung oleh pihak lawan.

Terlebih, pihak lawan tidak mengetahui jika lawan yang menyusup adalah mereka yang berkekuatan luar biasa. Karena itu, rata-rata hanya para penjaga saja yang mengejar mereka. Dalam kondisi seperti itu, Nenggala segera mengambil keputusan, dia membisikkan agar Su Kiat cepat membawa para tawanan yang belum pulih ke liang rahasia sementara dia menahan para pengejar.

Dengan petunjuk Su Kiat dan di bawah bantuan dan pengawasan Bi Hiong dan Kiang Hong, semua pencegat dengan cepat terpental pergi. Sementara Nenggala meskipun di bawah kerubutan beberapa orang, dengan cepat mengerahkan kekuatan Brajamusti dan membuat para pengejar terpental jauh ke belakang.

Para penjaga memang bukanlah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tetapi isyarat mereka akan dengan segera mendatangkan para pesilat dan anggota Thian Liong Pang lainnya yang berkepandaian tinggi. Menyadari hal tersebut, Nenggala dan juga Su Kiat berupaya agar secepatnya meloloskan diri ke liang rahasia. Sambil terus menjaga jarak di belakang rombongan itu, Nenggala terus menerus mengibaskan lengannya dan membuat terpental para pengejarnya.

Tetapi, tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan bening dari markas besar Thian Liong Pang, tanda bahwa mereka sudah mengetahui adanya rombongan penyusup tersebut. Untungnya, jarak kearah liang rahasia juga sudah semakin dekat, sementara pencegat rombongan di depan Nenggala nampaknya semakin berkurang. Jikapun ada, dengan mudah Thio Su Kiat bergantian dengan Kiang Hong dan Tan Bi Hiong memukul mereka menjauh.

Tepat pada belokan terakhir yang akan membawa rombongan itu mendekati hutan yang menutupi liang rahasia, Nenggala berhenti. Betapapun dia mesti menghilangkan jejak liang rahasia yang dia yakin masih akan dipergunakan untuk menyerang nantinya. Dan Su Kiat paham betul, bahwa sedapat mungkin mereka harus menghilangkan jejak ke arah liang rahasia itu. Karenanya, melihat Nenggala telah berhenti dan mengambil alih menangani semua penyerang, dengan cepat dia memberi instruksi agar hati-hati dan tidak menimbulkan jejak ketika memasuki liang rahasia tersebut.

Beberapa saat setelah rombongan Su Kiat berbelok di belokan depan, Nenggala telah bersiap menyambut kedatangan para pengejar. Kali ini, nampaknya pengejar itu adalah tokoh-tokoh yang cukup berisi dari Thian Liong Pang, bahkan nampaknya disertai serombongan lain yang berseragam warna-warni. Tetapi, begitu datang, pengejar itu sudah segera mengerubuti Nenggala. Sayangnya, meski tokoh-tokh tersebut memang lebih berisi, tetapi mereka masih belum sanggup menahan serangan Nenggala yang dengan cepat mengerahkan ilmu-ilmu kesaktiannya.

Menyadari lawan cukup banyak sementara dia harus memberi ketika bagi Su Kiat membawa rombongan keluar dari daerah itu, Nenggala menyerang lawan-lawannya secara hebat. Tidak tanggung-tanggung dia menggunakan ilmu-ilmu leluhurnya, Ajian Brajamusti yang dikombinasikan dengan Ajian Kidang Kuning yang sudah dikuasainya dengan baik. Dengan Ajian Brajamusti dia membuat lawan-lawannya bagaikan menempur awan penuh prahara. Sementara dengan Ajian Kidang Kuning, dia bergerak secara sangat cepat dan nyaris sulit diikuti pandangan mata orang biasa.

Dengan cara tersebut, lawan-lawan yang berjumlah besar itu tidak sanggup mengapa-apakan dirinya. Sebaliknya, Nenggala membuat mereka kalang kabut dan kocar-kacir, bingung mana dan bagaimana menyerang Nenggala yang bergerak demikian cepat dan demikian pesat sulit diikuti pandangan mata.

Menyaksikan keroyokan banyak orang masih belum sanggup menjinakkan Nenggala, orang-orang yang berniat untuk mengejar rombongan yang sudah tidak kelihatan itu jadi enggan beranjak. Mereka kemudian menghentikan pengejaran dan kagum menyaksikan bagaimana seorang Nenggala bertempur dengan hebat menghadapi banyak orang tanpa terdesak. Bahkan, sebaliknya, dia yang malah membuat para pengeroyoknya kocar-kacir.

Meskipun tidak ada pengeroyoknya yang terluka berat oleh gempuran, tamparan maupun sentilannya, tetapi semua yang mengepung memandang penuh kekaguman kepada Nenggala yang bertempur secara hebat itu. Padahal, bagi Nenggala sendiri, dia merasa enggan bertempur dengan kawanan pengeroyoknya yang memang masih berselisih jauh dengan kemampuannya. Tetapi, apa boleh buat, dia harus membuat waktu yang cukup bagi kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat berbahaya tersebut.

Meski resikonya, perlahan dia semakin terkepung dan pada saat itu sebuah barisan nampak mulai dibentuk untuk melawannya. Dan barisan itu adalah barisan terkenal dari Lam Hay yang sekarang digunakan oleh Thian Liong Pang, BARISAN WARNA WARNI.

Barisan berwarna merah pekat, hijau pekat, biru pekat dan kuning pekat telah terbentuk di luar lapangan, dan pada masing-masing barisan tersebut telah lengkap terdapat pemimpin barisan masing-masing. Bahkan di depan pemimpin 4 Barisan warna, nampak seorang yang mengenakan pakaian hitam pekat, dan dipastikan dialah pemimpin barisan Pat Tou Su Sing (Empat Bintang Bertaburan di 8 Penjuru).

Seperti diketahui, Barisan Warna Warni ini telah disempurnakan dengan memiliki kepala tunggal dalam diri Duta Hitam, dan jika mereka menyatu kekuatannya menjadi berlipat ganda dibanding barisan asli milik Lam hay Bun. Dan saat ini, bisa dipastikan, barisan lihay ini telah disiapkan untuk melawan dan menawan Nenggala yang masih dikeroyok di tengah-tengah puluhan tokoh Thian Liong Pang yang mengerubutinya.

Nenggala bukannya tidak sadar dengan pembentukan barisan tersebut, tetapi karena memang dia hendak memberi banyak waktu bagi kawan2nya untuk melarikan diri, terpaksa Nenggala membiarkan barisan itu terbentuk. ”Masakan aku tidak memiliki daya melawan barisan itu” pikir Nenggala dalam hati.

Sambil berpikir demikian, kembali Nenggala mengeluarkan pukulan Brajamusti yang menggelegar dan mendorong mundur semua penyerangnya. Meski pukulan itu memang berat membahana, tetapi Nenggala mengatur sedemikian rupa hingga tidaklah melukai lawan-lawannya secara berat. Itulah untungnya bagi para pengeroyoknya. Tidak ada maksud Nenggala melukai berat kepada mereka, karena memang banyaknya musuh justru mempermudah Nenggala untuk menyusup kesana kemari dan membuat waktu bagi kawan-kawannya menjadi lebih banyak.

Keadaan ini berlangsung cukup lama sampai kemudian pemimpin Pat Tou Su Sing, si Duta Hitam akhirnya mengambil keputusan untuk turun tangan langsung. Terdengar perintahnya:
”Semua mundur” terdengar ringan saja, tetapi gaungnya cukup menggetarkan. Dan mendengar suara itu, semua pengeroyok meloncat mundur dan banyak dari mereka berterima kasih karena tidak mendapatkan luka, jikapun terluka hanya luka ringan semata.

Dalam waktu singkat, Nenggala berdiri berhadapan dengan Duta Hitam yang dibelakangnya berdiri Duta-Duta dengan warna khasnya, dan di belakang pemimpin warna (Duta Warna) telah berdiri masing-masing warna 12 orang anggota. Dengan demikian Nenggala berhadapan dengan Barisan Warna Warni yang lengkap dengan pimpinannya, 4 Duta Warna dan pimpinan utama barisan Duta Hitam.

”Hm, engkau cukup hebat anak muda, sayang terlalu usil” Duta Hitam membuka suara setelah arena pertarungan kini berhadap-hadapan Nenggala dengan para pemimpin dan anggota barisan istimewa Thian Liong Pang itu.

”Hm, aku punya alasan tersendiri untuk melakukan keusilan tersebut” sambut Nenggala kalem dan tenang.

”Tetapi, kami enggan melepaskan siapapun orangnya yang berani menyatroni ataupun berani menyusup ke markas besar kami.

”Sayangnya kebetulan cayhe telah melakukan keduanya itu, mohon dimaafkan”

”Kami tahu, bukan sekedar menyusup atau sekedar mampir hingga engkau memberanikan diri masuk. Kemampuanmu menghindari jaring ilmu kejiwaan sungguh luar biasa”

”Bukan suatu hal yang layak dibanggakan”

”Baiklah, untuk menghargai kemampuanmu, satu barisan istimewa Thian Liong Pang akan menyambut dan mengujimu. Engkau harus berusaha mempertahankan diri dan dengan demikian mempertahankan nyawamu anak muda” tegas Duta Hitam.

”Mudah-mudahan aku mampu melakukannya” sahut Nenggala tetap kalem, meskipun dia sendiri sebenarnya sudah bersiap, sangat siap malah.

Perlahan Duta Hitam kemudian mengangkat sebelah lengannya, lengan kanannya. Dan serentak dengan itu, Barisan Warna Warni mulai bergerak. Masing-masing warna bergerak dengan menyatukan diri bersama pimpinannya, yakni Duta Warna yang menyimbolkan masing-masing warna: Barisan Warna Kuning, Warna Merah, Warna Biru dan Warna Hijau. Keempat barisan warna itu mengambil posisi pada empat penjuru mata angin dengan ekornya sedikit membengkok ke arah yang sama.

Ketika Duta Hitam menurunkan tangannya, pada saat yang sama semua barisan itu mulai bergerak searah mengepung Nenggala sementara kepalanya, Duta Hitam langsung melancarkan serangan kearah Nenggala. Serangan itu nampaknya biasa dan ringan saja, tetapi Nenggala yang terkepung ditengah barisan segera merasakan tiupan angin yang deras menerpa wajahnya.

Dengan cepat dia mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya dan menyiapkan Ilmu Brajamusti dan Lembu Sekilan, sebuah ilmu kebal dari Jawadwipa. Dengan berani dan tanpa gentar sekalipun dia menyambut serangan tangan kanan Duta Hitam yang juga dengan cepat sebelum berbenturan telah merubah pukulannya menjadi semacam totokan kejalan darah dipinggang Nenggala. Tetapi Nenggala dengan cepat memapak totokan itu dengan totokan sejenis di pangkal lengan lawan dan dengan demikian serangannya digagalkan.

Tetapi jangan salah, bukannya menarik mundur serangannya, Duta Hitam justru kembali merubah totokan menjadi tangkisan dengan sekaligus menyerang lengan Nenggala. Sementara Nenggala tanpa menggerakkan kakinya juga memapak serangan itu dengan gerakan tangan yang lihay dan cepat, memunahkan serangan lawan dan melakukan serangan balasan. Ada lebih dari sepuluh gerakan dalam waktu sekejap, mungkin dalam waktu 1-2 detik yang dilakukan masing-masing pihak, tanpa terjadi benturan atas lengan mereka.

Dan keduanya cepat menyadari bahwa lawan mereka memang hebat. Hebatnya gerakan-gerakan tadi terjadi hanya dalam sekejap dan sudah tentu terjadi dalam tempo cepat dan nyaris tidak mampu diikuti oleh penonton atau pengepung Nenggala. Menyadari lawannya memang hebat, Duta Hitam dengan cepat mengangkat tangan kirinya dan bersamaan dengan itu, serbuan massal dilakukan barisan itu kearah Nenggala.

Serangan-serangan dari semua penjuru mengarah ke Nenggala, tetapi dengan Ajian Lembu Sekilan, sejenis ilmu kebal yang hebat, Ilmu Brajamusti dan Ajian Kidang Kuning, Nenggala nampaknya tidak khawatir dengan serbuan gencar itu. Terbukti dengan manis dia mampu menghindari serbuan dari semua penjuru, atau sanggup menyentil beberapa pukulan yang mengarah ketubuhnya.

Tetapi semakin lama jumlah serangan ketubuh Nenggala semakin membadai, sementara jalan keluar dan jalan mengelak juga semakin lama semakin menyempit. Padahal di sisi lain, menyerang juga agak sulit karena pada saat menyerang sejumlah besar serangan dari arah lain dengan cepat mengancamnya. Untunglah Nenggala menguasai dengan baik Ajian Lembu Sekilan dan juga Ajian Kidang Kuning.

Ajian pertama membuatnya tahan dan tidak terluka dengan pukulan lawan, sementara ajian kedua membuatnya mampu bergerak cepat bagaikan melayang-layang menerobos sejumlah besar pukulan lawan. Tetapi begitupun, Nenggala diam-diam mengagumi kemampuan Barisan lawan ini. Terutama yang paling berbahaya ialah pukulan Duta Hitam yang meski hanya sesekali menyerangnya, tetapi membawa akibat yang cukup luar biasa.

Setelah menyerang sekian lama, Barisan Warna Warni masih tetap tidak mampu menarik keuntungan apapun. Hal ini membuat Duta Hitam menjadi semakin penasaran, dan karena itu diam-diam dia mulai merencanakan sesuatu yang berbeda. Yakni meningkatkan penyerangan Barisan sakti itu untuk menaklukkan Nenggala yang dilihatnya masih belum terdesak meski jarang melontarkan pukulan. Beberapa saat setelah dia memutuskan, tiba-tiba Duta Hitam bersiul. Dan serentak barisan itu seperti berhenti bergerak, tetapi hanya sekejap. Karena serentak kemudian barisan itu kembali bergerak.

Hanya, kali ini Barisan sakti itu bergerak secara berbeda. Jika sebelumnya semua bergerak searah, maka kali ini barisan itu bergerak bagaikan gerigi-gerigi yang saling melengkapi dan saling memasuki. Barisan pertama bergerak kekanan, sementara barisan kerdua bergerak kekiri, barisan ketiga kembali bergarak kekanan dan barisan keempat bergerak kekiri.

Gerakan-gerakan mereka sungguh sangat cepat, dan saking cepatnya sudah sangat sulit membedakan mana barisan merah, biru, hijau ataupun kuning. Sementara Duta Hitam bergerak di angkasa dengan memanfaatkan barisan yang bergerak untuk menjadi tumpuannya. Nenggala tercekat melihat kemampuan barisan itu bekerja sama, dan lebih tercekat lagi ketika menyadari batinnya seperti goyah menyaksikan gaya bertempur barisan tersebut.

Sementara, dia melihat Duta Hitam seperti berubah menjadi burung rajawali yang mematuk dan menyerangnya dari angkasa. Barisan itu, menjadi lebih mengerikan perbawanya. Untung, sekali lagi untunglah Nenggala bukan pendekar muda yang masih bau kencur. Dia menghabiskan masa kanak-kanak dan masa remajanya berkelana bersama pamannya yang juga adalah gurunya, berkelana dari Swarnadwipa, Thian Tok dan sampai ke Tionggoan. Dan dalam pengembaraannya, dia telah menemukan sejumlah besar pengalaman yang menggodoknya menjadi semakin matang, berpengalaman dan sangat menguasai kemampuannya.

Karena itu, dengan cepat Nenggala menyadari adanya unsur ”sihir” dalam gerakan dan serangan Barisan aneh tersebut. Dan, melawan serangan semacam itu, hanya mungkin dengan menggunakan segenap kekuatan batinnya agar mampu melihat lebih jelas dan mampu melawan lebih baik. Ketika kemudian dia menggunakan kekuatan batinnya, dia kembali melihat kondisi yang wajar, melihat Duta Hitam dalam keadaan normalnya, kecuali kecepatan berputar barisan itu yang memang istimewa.

Tetapi, keadaan itu sudah cukup bagi Nenggala untuk menguasai keadaan. Meski tetap kerepotan dengan cepat dan membadainya serangan lawan, tetapi Nenggala sudah sanggup menguasai dirinya. Bahkan sesekali dia berani menyerang dengan kekuatan ajian Inti Lebur Sakheti yang lebih dahsyat dan lebih mengerikan. Tetapi, karena yang menangkis pukulan itu beberapa orang sekaligus, tidaklah membawa perbawa yang dahsyat bagi barisan tersebut. Kecuali sedikit gangguan yang dengan cepat ditambal oleh teman-teman barisan itu dan kembali melanjutkan serangan kearah Nenggala.

Disisi lain, Nenggala merasa bahwa waktu telah cukup bagi kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat berbahaya tersebut. Sudah waktunya juga baginya untuk menghilang, mumpung keadaan masih gelap dan sebentar lagi akan terang tanah. Bukan karena terdesak dia berniat meninggalkan arena, bukan.

Sebelum pergi, dia bahkan ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Tetapi, sebelum bergerak dia menimbang-nimbang arah yang akan ditujunya agar tempat dia menghilang nanti tidak diketahui lawan, terutama liang rahasia yang sejauh ini masih tersembunyi dan nampaknya tidak dilacak lawan karena terkonsentrasi untuk menahan dirinya. Setelah melihat-lihat sekelilingnya, Nenggala telah menentukan arah yang tepat bagi dirinya untuk berlalu.

Tentu tidak akan langsung kearah liang rahasia yang dilaluinya waktu datang bersama Ceng Liong, tetapi mengambil arah berputar untuk kemudian kembali ketempat itu setelah kondisi aman. Setelah menetapkan arah bergeraknya, Nenggala kemudian menetapkan hatinya dan berkonsentrasi untuk memberi kejutan kepada lawan-lawannya. Meski Barisan itu memang lihay, tetapi dia memiliki keyakinan sendiri atas kemampuannya.

Sambil terus bergerak, diam-diam Nenggala berkonsentrasi untuk mengerahkan kemampuan ampuhnya, Ajian Gelap Ngampar yang dilambari kekuatan batin yang akan disertai dengan dorongan ampuh dari Ajian Inti Lebur Sakheti. Dan waktunya memang akhirnya datang ....... tiba-tiba dia berteriak garang dan mengguncang dada banyak orang, terutama Barisan Warna Warni yang menjadi target serangannya.

Pada saat bersamaan, dorongan tenaga dalamnya diarahkan kepada Duta Hitam dan pusat kekuatan Barisan Warna Warni yang sedang terguncang oleh teriakan Gelap Ngamparnya. Akibatnya sungguh hebat, Duta Hitam terdorong sampai 5-6 langkah ke belakang, sementara pusat kekuatan Barisan Warna Warni tergempur kebelakang sehingga sejenak mengacaukan pergerakan barisan itu. Untuk beberapa saat, karena Duta Hitam tergempur mundur dan pusat Barisan goyah, Barisan itu lumpuh.

Tetapi, Barisan terlatih itu akan dengan cepat pulih karena memang sangat terlatih baik. Tetapi, waktu yang meski hanya sedetik itu sudah dimanfaatkan dengan cepat oleh Nenggala yang menggunakan Ajian Kidang Kuning untuk berkelabat cepat keangkasa dan kemudian dengan pesat bergerak kearah barat. Sekejap setelah dia berkelabat pergi tanpa gangguan dan hadangan karena semua pengepungnya terkejut oleh teriakan Gelap Ngamparnya, baru Duta Hitam sadar. Segera dia mengeluarkan perintah:

”Kejar” dan dia sendiri dengan cepat melakukan pengejaran kearah berlalunya Nenggala. Tetapi, kecepatan Ajian Kidang Kuning sungguh mengejutkan, karena dalam waktu singkat bayangan Nenggala sudah hilang ditelan kegelapan. Tetapi, begitupun semua pengepungnya bergerak melakukan pengejaran dan pencarian.

Dan dalam kisruh mencari itulah, Nenggala yang sebetulnya tidak pergi jauh memanfaatkan keadaan untuk cepat kembali ketempat semula tanpa seorangpun mengetahui. Sungguh sebuah ajian bergerak yang luar biasa yang diperagakannya.

Dan beberapa saat kemudian, adalah Nenggala yang terkejut ketika bertemu rombongan yang dipimpin Su Kiat tetapi telah bersama-sama dengan Mei Lan, Tek Hoat, Kwi Beng, Kwi Song dan Giok Lian. Bahkan tak jauh dari tempat itu, juga nampak Barisan 6 Pedang dalam posisi siaga, maklum mereka baru bertemu Duta Agung lama, Kiang Hong dan istrinya. Dalam waktu singkat mereka yang berkumpul memutuskan bahwa saat yang tepat untuk menyerang justru adalah saat ini, dan menjadi tugas Kwi Song dan Kwi Beng untuk segera menyampaikan warta itu bersama dengan Kiang Hong dan Tan Bi Hiong ke Kwi Cu.

Tak lama kemudian keempat orang itu telah melesat pergi menuju Kwi Cu, sementara yang tersisa dengan cepat menyusup kembali melalui liang rahasia untuk kembali ke Markas Besar Thian Liong Pang. Namun demikian, karena kondisi yang menegangkan, mereka mesti menunggu sampai tengah hari untuk melakukan penyusupan kembali, karena hari sudah mulai menjelang pagi.

Adalah Nenggala dan Mei Lan yang menjadi tidak sabar dan kemudian memutuskan menempuh bahaya dengan alasannya masing-masing. Nenggala memikirkan keselamatan Li Hwa, sementara Mei Lan mengkhawatirkan Ceng Liong yang berada sendirian di terowongan sebagaimana disampaikan oleh Nenggala. Sudah tentu Giok Lian dan Tek Hoat serta Su Kiat tidak akan membiarkan mereka berlalu begitu saja. Karena itu, akhirnya mereka meninggalkan Barisan 6 Pedang di liang rahasia untuk kemudian berusaha menerobos ke terowongan rahasia di markas Thian Liong Pang.

Karena Nenggala yang mengerti situasi dan memasuki markas secara menerobos, maka dialah yang paling pertama mencapai mulut terowongan. Sementara para pendekar muda lainnya terlibat dalam pertempuran hebat di markas Thian Liong Pang tersebut. Kondisi itulah yang terjadi ketika Nenggala menemukan Ceng Liong menempur Wisanggeni.
 
Terakhir diubah:
2



”Hm, kalian sungguh tidak takut mati memasuki area berbahaya Thian Liong Pang. Tidak akan aku membiarkan kalian berdua berlalu tanpa hukuman setimpal” terdengar suara murka tetapi yang coba ditahan-tahan dari Majikan Kerudung Hitam.

”Dosa Thian Liong Pang sudah terlampau berlebihan dan kaum persilatan telah bersepakat untuk membasmi perkumpulan sesat itu” Ceng Liong menjawab rawan dan tidak terpancing amarahnya.

”Mari kita lihat, siapa yang akan terbasmi hari ini ...... hahahahaha” sambil berkata demikian, Majikan Kerudung Hitam melangkah mendekati Ceng Liong. Tetapi, tepat ketika dia membuka serangan ke arah Ceng Liong, dengan cepat dan sopan Nenggala berkata:

”Saudara Ceng Liong, perkenankan aku menggantikanmu kali ini” Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban dan reaksi Ceng Liong, Nenggala telah maju kedepan dan menyongsong serangan Majikan Kerudung Hitam. Maka, pertempuran yang mendebarkan antara kedua anak muda sakti kembali tergelar di terowongan bawah sungai Yang Tze .....

Pertarungan kali ini berlangsung keras, baik Majikan Kerudung Hitam yang marah dan penasaran maupun Nenggala tidak mau saling mengalah. Karena itu, dengan segera terowongan sempit itu seperti bergetar-getar ketika pukulan-pukulan ampuh dari Lam Hay Bun bertemu dengan pukulan-pukulan dari Jawadwipa yang telah mahir dikuasai Nenggala.

Tenaga Bu Kek Hoat Keng dipadukan dengan Siang Ciang Hoan Thian (Sepasang Tangan Membalik Bumi) bertemu dengan Ajian Brajamusti yang dimainkan secara manis oleh Nenggala. Hanya, sebagai pesilat tingkat tinggi, keduanya segera sadar, terowongan itu bakal runtuh jika mereka mengumbar kemampuan hingga puncak. Apalagi, karena keduanya segera sadar jika tingkat kemampuan mereka tidak terpaut cukup jauh.

Dalam benturan keras yang pertama, keduanya masing-masing terdorong setengah tindak ke belakang, dan otomatis keduanya menjadi kagum atas lawan masing-masing dan berpadu dengan kepenasaran yang dengan cepat melonjak. Patut dimaklumi, setiap pesilat yang bertemu dengan lawan sepadan akan sangat memikat dan mampu merangsang keluarnya kemampuan bersilat hingga ke titik optimal.

Maka keduanya, dengan cepat kembali membenturkan lengan masing-masing, dan beberapa kali benturan membuat mereka paham bahwa tingkat mereka nyaris seimbang. Dan keduanya juga segera sadar, bahwa tempat itu menjadi berbahaya karena sampai 4-5 kali benturan mereka membuat beberapa batu kerikil dari dinding terowongan itu berguguran.

Bagaimana penasaranpun, Nenggala masih memperhitungkan keselamatan dirinya, dan karena itu dia tidak ingin melanjutkan bertarung dengan keras dilawan keras. Padahal, pada saat bersamaan, Majikan Kerudung Hitam yang telah menguasai dengan baik kekuatan iweekangnya, juga mulai menekankan pertempuran dengan menggunakan tenaga lunak ataupun tenaga lemas.

Pukulan-pukulan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah) segera dikeluarkan. Meskipun tidak terasa desir anginnya, tetapi Nenggala yang sangat matang dengan ilmunya sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh pukulan yang tidak mengeluarkan angin itu. Begitupun, pukulan itu sesuai namanya, lebih ampuh dilepaskan dari jarak jauh. Karena itu, ketika kemudian Nenggala mengeluarkan tenaga menyerap dari perguruannya, dia tidak mengalami kesulitan yang cukup dalam.

Apalagi, karena seperti Majikan Kerudung Hitam, kemampuannya menguasai tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi dan sempurna. Kemampuan yang mencapai tingkat mengeluarkan dan menggunakan tenaga sesuai dengan kehendak hati sendiri.

Kali ini, pertarungan mereka berada pada jarak yang cukup renggang. Tetapi, jangan dikira bahwa efek dan akibatnya tidaklah berat. Justru dengan menggunakan kekuatan lemas, maka efek merusaknya menjadi semakin tinggi, karena tidak melukai secara fisik, tetapi langsung menggedor pusat kekuatan lawan. Artinya, kekuatan lemas, nampaknya saja lemas, tetapi daya rusaknya tidak ke fisik lawan, melainkan ke organ-organ dalam lawan jika lawan tidak sanggup menandingi dan memunahkan daya rusak dari serangan itu.

Nenggala sampai menggunakan kemampuan pada titik puncak penggunaan tenaga dalamnya untuk menandingi Majikan Kerudung Hitam yang nampaknya masih muda dan juga sangat lihay ini. Ketika suatu saat, kembali Majikan Kerudung Hitam melangkah menjauh dan kemudian melontarkan pukulan ”Menindih Gunung Dari Jarak 100 langkah”, Nenggala sadar bahwa dia akan menjadi korban kekuatan pukulan itu jika terus bertahan.

Karena itu, dengan cepat dia mengerahkan Ajian Kidang Kuning untuk bergerak memapak serangan itu, tidak dari depan, tetapi dari samping. Nenggala mencoba menjinakkan kekuatan pukulan dahsyat itu dengan ”memegang” dan mengendalikannya dari samping. Tetapi, karena kekuatan keduanya tidak berselisih jauh, maka dia tidak sanggup menjinakkan kekuatan pukulan dahsyat itu secara sepenuhnya. Pada akhirnya kekuatan itu diarahkannya ke arah lain tepatnya dinding yang lain, dinding yang belum goyah oleh kekuatan pukulan mereka sebelumnya.

Selanjutnya yang terdengar hanyalah sejenis bunyi desisan dan kemudian kulit dinding tersebut luruh menjadi butiran-butiran debu yang terbang kesegenap penjuru. Sungguh dahsyat, sampai seorang Ceng Liong sekalipun merasa kagum atas kekuatan kedua orang yang masih terus adu kesaktian tersebut.

Beberapa kali keduanya, Nenggala dan Majikan Kerudung Hitam saling adu pukulan dan kesaktian. Nampaknya, keduanya sudah paham betul bahwa lawan yang dihadapi sama sekali bukan lawan enteng. Keduanya semakin lama semakin kagum atas kekuatan lawan, tetapi dengan apresiasi yang berbeda. Nenggala benar-benar kagum atas kemampuan lawan dan dengan tulus menerima sebagaimana adanya.

Sementara di pihak lain, Majikan Kerudung Hitam menerimanya dengan penuh rasa penasaran. Dia terus menguras kemampuannya untuk menundukkan lawannya. Dia terus meningkatkan kekuatan pukulan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah), tetapi Nenggala yang sadar akan kehebatan pukulan itu telah menggunakan ajian geraknya yang luar biasa. Ilmuanya itu membuatnya bagaikan mampu terbang mengikuti pukulan dan gerakan Majikan Kerudung Hitam dan karena itu, kekuatan ilmu pukulan yang memang cocok digunakan pada jarak renggang pertempuran menjadi tidak banyak berguna.

Betapapun Majikan Kerudung Hitam masih bangga, bahwa Nenggala tidak membiarkannya mengembangkan ilmu pukulannya karena memang akibatnya memang luar biasa. Hanya saja, Majikan Kerudung Hitam kurang mengerti, bahwa Nenggala tidak mau menempurnya dengan keras lawan keras karena khawatir dinding terowongan itu akan runtuh.

Ceng Liong paham bahwa Nenggala yang mengerti akan kondisi pertempuran dan lokasi pertempuran, dan karena itu Nenggalalah yang banyak berkorban untuk menetralisasi kekuatan pukulan lawan agar tidak meruntuhkan terowongan. Dia ingat, beberapa saat sebelumnya posisinya juga sama dengan Nenggala. Tetapi, dalam posisi terdesak itu, dia justru mampu menguasai setingkat lebih maju penggunaan gabungan kekuatan yang berlawanan dan kini mampu dilakukannya secara sangat baik.

Dia sadar Nenggala ada di titik menentukan untuk menemukan rahasia itu. Ceng Liong bahkan yakin, tanpa bantuannya Nenggala pasti akan menemukan rahasia itu. Memang, posisi saat itu Nenggala bagaikan berhadapan dengan dua lawan: Majikan kerudung Hitam yang mencecarnya dengan kekuatan lunak dan keras bergantian disatu sisi, dan disisi lain ancaman dinding terowongan yang akan runtuh jika benturan kekuatan keras lawan keras dilakukannya. Dia yakin dengan kekuatan Ajian Brajamusti dan Inti Lebur Sakheti dia akan mampu menandingi serangan keras Majikan Kerudung Hitam.

Hanya, jika itu dilakukannya dia yakin dinding terowongan akan tergedor keras dan sangat mungkin runtuh. Bukankah hal ini justru akan sangat berbahaya? Maka jadinya Nenggala seperti menghadapi dua kesulitan sekaligus. Kesulitan yang disadarinya lama kelamaan akan sangat membahayakan posisi dan keselamatan dirinya. Tetapi, kegagahan Nenggala patut dipuji. Menghadapi masalah berat dan dalam kesulitan tidaklah membuat dirinya panik.

Sebaliknya, otak dan kecerdasan serta kematangannya dalam pengalaman mengajarnya untuk tidak panik, melainkan terus menganalisis jalannya pertempuran. Benar dia terdesak karena bekerja dua kali, menahan serangan keras Majikan Kerudung Hitam dan menjinakkannya agar tidak merusak dinding terowongan. Hal itu terus dan terus terjadi, sementara serangan membadai Majikan Kerudung Hitam berselang seling kekuatan keras maupun lunak.

Dugaan Ceng Liong perlahan menjadi kenyataan. Semua terutama berkat Nenggala yang tetap tenang, hati-hati dan terus menganalisis jalannya pertempuran mereka berdua. Jika Majikan Kerudung Hitam dalam posisi seperti Nenggala, kesulitan yang dihadapi ditambah kecerdasan dan pengamatan yang dalam atas situasi, pasti akan menambah daya pengetahuan dan bahkan kemampuan silatnya.

Sayangnya, justru adalah Nenggala yang lebih matang dan dalam kesulitan. Kesulitan itu lama-kelamaan menumbuhkan kreatifitas dan upaya mempertahankan diri. Kesulitan yang berat dan dalam, namun dihadapi secara matang, justru menumbuhkan rasa ulet dan kretifitas untuk bertahan, dan seperti yang dialami Ceng Liong sebelumnya, Nenggala yang terdesak karena kebutuhan yang berat yang mesti dipikulnya, justru memperoleh kesadaran.

Tepat ketika Majikan Kerudung Hitam mulai bersilat dengan gaya ganas dari ilmu Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dengan dilambari tenaga Bu Kek Hoat Keng, Nenggala mulai memikirkan ”menangkis memang menangkis tetapi tidak seperti menangkis”. Prinsipnya adalah ”menangkis secara kosong” dan terlibat dalam benturan untuk memunahkannya perlahan-lahan, kemudian menggunakan kekuatan yang dijinakkan itu untuk balas menyerang. Prinsip prinsip melatih tenaga dalam seperti ini bukankah adalah latihan-latihan rahasia yang diungkapkan suhu? Berpikir Nenggala.

Dan, mulailah Nenggala mencoba sesuatu yang mirip ”kosong tapi berisi, berisi tetapi kosong”. Dengan tenang Nenggala membentur tenaga pukulan Meracuni Darah melepaskan Tulang yang sangat ganas dan penuh hawa merusak. Dengan membiarkan dirinya seakan terdorong hawa kekuatan pukulan Majikan Kerudung Hitam, tetapi tidak lama kemudian dia mampu menjinakkan kekuatan lawan dan seterusnya dirubah menjadi kekuatan pukulannya.

Sayang, saat itu Nenggala belum sampai pada pemahaman atas menggunakan tenaga yang dijinakkan untuk memulihkan semangat. Selain itu, tidak mungkin menyerap kekuatan lawan karena berhawa racun yang kental. Ceng Liong juga melihat hal tersebut, tapi dia sadar apa sebabnya Nenggala masih tetap tidak mampu menundukkan lawan, tetapi juga sama sekali tidak terdesak.

Justru, jika dibiarkan pertempuran itu berlangsung terus, bisa dipastikan Nenggala akan memetik banyak keuntungan dari proses tersebut. Apalagi jika Majikan Kerudung Hitam tidak menggunakan hawa pukulan beracun. Meskipun, untuk menang dari Majikan Kerudung Hitam juga bukan persoalan mudah. Tetapi, yang membuat baik Nenggala maupun Ceng Liong khawatir adalah daya tahan dinding terowongan, terutama langit-langitnya.

Meski tidak lagi sedahsyat awal pertarungan Neggala dan Majikan Kerudung Hitam, tetapi tenaga-tenaga yang dijinakkan dan dibelokkan Nenggala masih tetap cukup kuat dan berbahaya. Betapapun keduanya khawatir jalan terowongan itu akan runtuh dan menyebabkan jalan kearah markas utama akan terputus. Lebih dari itu, keduanya juga khawatir dengan keselamatan mereka jika benar terowongan itu tidak kuat menahan benturan-benturan yang besar ke dinding.

Majikan Kerudung Hitam bukan tidak mengerti bahaya itu, sebaliknya malah. Dia paham bahwa lawan jadi memiliki dua beban dahsyat, tetapi lama-kelamaan dia kaget sendiri ketika Nenggala mampu mengatasi kesulitan dan terus meladeninya dengan ketat. Dia telah mengganti jurus-jurus dahsyat, dan masih bisa terus meningkatkannya.

Tetapi, resikonya adalah, terowongan itu pasti tidak akan tahan oleh benturan kekuatan keduanya. Dia juga paham, Nenggala sendiri nampaknya masih akan mampu meningkatkan kekuatan tenaga dalam dan kekuatan ilmu pukulannya. Cuma, jika dia dan Nenggala melakukannya, bisa dipastikan terowongan itu akan runtuh, dan dia sendiri akan mengalami nasib yang nahas jika itu terjadi. Menggunakan ilmu-ilmu pamungkas seperti Kiang Hai Liong Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut) akan beresiko besar.

Bahkan baru pada jurus pembukaan saja sudah menimbulkan prahara bagai ombak menerjang karang, bagaimana jika dia memainkan ilmu rahasia itu? Bukankah akan sangat berbahaya? Karena pemahamannya itulah maka mereka berempat masih bisa bernafas lega dan pertarungan itu tidak memuncak dengan penggunaan tenaga-tenaga serangan sepenuhnya. Padahal, serangan keduanya sebetulnya sudah dengan kekuatan yang maha hebat bagi para pesilat kelas satu di Tionggoan saat itu.

Pertempuran masih terus berlangsung dengan Nenggala membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu andalannya, terutama menggunakan Ajian Lebur Sakheti dan Ajian Brajamusti yang bersifat pamungkas. Padahal, hanya dengan kedua ilmu itulah dia seharusnya sanggup membalas secara dahsyat serangan Majikan Kerudung Hitam. Untungnya dia memiliki Ajian Kidang Kuning yang pesat dan telah mampu menguasai dengan baik tenaga dalamnya serta bahkan mampu memainkan varian jurus-jurus meniru binatang, terutama jurus harimau, dari varian Ajian Senggoro Macan.

Tetapi, semua itu mengandalkan kekuatan yang hebat dan berat, sampai akhirnya diapun menjajal Ajian Megananda. Ajian yang lebih lemas dan bahkan mengandung hawa sihir yang mampu memabokkan orang atau membuat orang yang bertenaga biasa saja tertidur. Tetapi, tentu saja dia tidak mampu membuat Majikan Kerudung Hitam tertidur, tetapi mampu membuatnya bertahan dengan mementalkan, menolak dan bahkan menggiring kekuatan lawan untuk memunahkan daya rusaknya.

Dengan pertukaran ilmu-ilmunya Nenggala akhirnya sanggup membuatnya bertahan tanpa mengalami kesulitan berarti, itupun setelah dia menguras banyak sekali perbendaharaan ilmu-ilmu leluhurnya.

Pertarungan itu akhirnya menjadi berlarut-larut. Bukan apa-apa. Keduanya ingin secepatnya mengakhiri pertarungan, apa daya, ketakutan akan runtuhnya dinding terowongan menghantui dan membuat mereka membatasi penggunaan kekuatan tenaga dalam masing-masing. Itulah yang membuat keduanya menjadi lebih berhati-hati. Dan, dari pertarungan itu, keduanya, bukan hanya Nenggala, tetapi juga Majikan Kerudung Hitam memperoleh manfaat yang tidak sedikit dalam penggunaan kekuatan ilmu.

Nenggala jadi memahami bagaimana mengatur kekuatan tenaga dalam dan memunahkan daya rusak kekuatan lawan, sementara Majikan Kerudung Hitam sendiri, mulai paham mengatur dan membatasi daya serang. Dengan mencoba merusak tubuh lawan melalui tenaga lemas, maka tenaga kasar lebih banyak dimanfaatkan sebagai kedok, padahal daya serang sesungguhnya tersembunyi dibalik desir angin pukulan yang terdengar dahsyat ditelinga.

Pernah misalnya Majikan Kerudung Hitam mencoba dengan angin pukulan dahsyat dan sangat rahasia dari keluarganya Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), angin pukulan menderu-deru dan mengagetkan Nenggala. Tetapi, ketika menyadari angin pukulan itu hanya tipuan, Nenggala dengan cepat sadar telah termakan tipuan kecil lawan, tetapi diapun bukanlah anak kemaren sore. Dengan memanfaatkan kekuatan dan kecepatan bergerak, dia memunahkan daya rusak pukulan lawan meski sedikit menderita kerugian. Tetapi tidak melukainya secara parah dan juga masih belum mengganggu daya tempurnya.

Pada saat Nenggala sedikit terdorong kebelakang menerima desakan pukulan rahasia dengan sedikit tipuan lawan, tiba-tiba dari belakang tanpa terdengar suara sedikitpun melayang sesosok tubuh. Sangat ringan dan terdengar seruan seorang wanita:

”Lihat serangan” ..... sebuah serangan yang sangat cepat, teramat cepat malah, telah mengarah ke tubuh Majikan Kerudung Hitam. Majikan Kerudung Hitam yang sedang berniat menyusulkan serangan sejenis sangat kaget ketika tiba-tiba bayangan yang sangat cepat dan ringan itu telah mengancamnya.

Dan dia tidak memiliki banyak waktu berpikir kekuatan atau jurus apa yang akan digunakan untuk menangkis saking cepatnya serangan bayangan itu. Secara otomatis dia menggunakan hawa kekuatan Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam) yang masih dikerahkannya. Dan tak ayal lagi sebuah benturan dahsyat segera terdengar:

Blaaaaaaaaaaaaaar ....... bersamaan dengan benturan itu terdengar desisan di mulut Ceng Liong:

”Lan moi” ...... tetapi Ceng Liong tidak bertindak, sebaliknya dia menjadi sangat tegang ditempatnya. Bukannya dia tidak peduli dengan keadaan Mei Lan, tidak, dia malah sangat yakin akan kemampuan Mei Lan yang dia sadar benar akan mampu menghadapi Majikan Kerudung Hitam.

Yang dikhawatirkannya adalah efek dari benturan pukulan keduanya. Untungnya, Mei Lan tidak menggunakan hawa kekuatan keras sekelas Ban Hud Ciang yang diterimanya dari Guru Besar Siauw Lim Sie. Nampaknya Mei Lan menggunakan kekuatan lemas Bu Tong Pay dari varian ilmu-ilmu Thai Kek Kun dan karenanya benturan keduanya tidak lebih hebat dari benturan Nenggala dan Majikan Kerudung Hitam. Selain itu, yang membuat Ceng Liong khawatir adalah akibat benturan itu dan disadarinya ada sesuatu yang sangat hebat yang sedang mendekat dan akan terjadi.

Sementara itu Majikan Kerudung Hitam tercekat ketika mengetahui seorang lawan muda, lebih muda darinya ternyata mampu memapak serangan dengan kekuatan rahasia dari ilmu keluarganya. Bahkan, kecepatan bergerak bayangan yang ternyata seorang gadis muda itu sungguh sangat mencengangkan dan sulit dipercaya. Bayangan itu terbentur kekuatannya yang luar biasa, tetapi dengan cepat telah melayang mundur dan kemudian berdiri disamping Ceng Liong, dan dengan manja berkata:

”Liong ko, engkau tidak apa-apa”?

”Baik-baik saja Lan Moi, tapi kita harus bersiaga. Ada orang-orang lihay yang berdatangan ketempat ini”, bisik Ceng Liong halus.

”Nona, engkau baik-baik sajakah”? Terdengar suara Nenggala

”Baik, aku tidak apa-apa”

Nenggala dengan cepat melihat isyarat dan gerakan saling memperhatikan antara Ceng Liong dan Mei Lan. Nona yang kecepatan bergeraknya membuatnya bergidik, ”seperti terbang saja”, pikirnya. Tetapi, yang menarik perhatiannya sebagai pria dewasa adalah, bahwa keduanya, Ceng Liong dan Mei Lan memiliki perasaan yang sama dengan dirinya dan Li Hwa. Hal yang membuatnya mengerti mengapa Mei Lan dengan cepat bisa menyusulnya ketempat ini. Tetapi, dia tidak sempat berlama-lama memikirkan hal itu, karena melihat bahasa isyarat dari Ceng Liong agar bersiaga.

Benar saja, waktunya sungguh tidak banyak. Hanya bisa dihitung dengan berapa lintasan detik belaka. Dari sejak Mei Lan menyerang Majikan Kerudung Hitam, dia mendekati Ceng Liong dan Nenggala yang menegurnya, mungkin hanya dalam hitungan 3-4 detik saja. Setelah melihat isyarat dari Ceng Liong, Nenggala kemudian memusatkan perhatiannya, tetapi masih belum penuh tiba-tiba di tempat itu, di belakang Janaswamy dan Majikan Kerudung Hitam telah nampak 3 tubuh yang sangat misterius.

Bergeraknya sungguh sangat cepat, bagaikan melayang saja. Dan segera hawa pekat menyelimuti tempat itu, sementara wajah dan potongan ketiga pendatang sama sekali tidak bisa kelihatan, seperti tersamar oleh satu kekuatan tertentu. Entah siapa yang berbicara, karena dari ketiga pendatang itu tidak ada yang menggerakkan mulutnya, tahu-tahu terdengar suara:

”Anak-anak ini menjemukan, mengganggu rencana kita” dan tahu-tahu gelombang serangan telah mengarah ke ketiga anak muda itu. Masih terdengar suara yang lain seperti memerintah:

”Cepat, keluar melalui lorong rahasia dan pimpin anak buah kita menyambut sebruan musuh” dan tidak berapa lama Janaswamy dan Majikan Kerudung hitam menghilang dari tempat itu.

Sementara itu, Ceng Liong yang sejak awal sudah awas akan kedatangan orang-orang lihay, segera mengambil inisiatif untuk menggunakan kekuatan yang sempat dilatihnya sebelumnya. Sambil berbisik kepada Mei Lan dan Nenggala, ”jangan melawan dengan kekerasan”, karena sadar bahwa kondisi terowongan sudah sangat berbahaya. Ketika kemudian dia membentur tabir serangan itu, dengan cepat dia sadar dia kalah tenaga, kalah jauh karena berhadapan dengan serbuan tiga kekuatan yang menyerangnya.

Untungnya, dalam kondisi demikian, serangan Nenggala dan Mei Lan juga membentur serangan ketiga lawan tersebut. Ceng Liong yang sadar akan bahaya segera menguasai dirinya, dia sedikit tergetar dan luka dalam tubuhnya, tapi dia masih sanggup melayang mundur sambil mengajak kedua temannya:

”Kita mundur dahulu” yang segera diikuti oleh Nenggala dan Mei Lan. Bukan karena takut Ceng Liong mengajak mundur, tetapi karena serangan ketiga tokoh aneh tadi bukan hanya tidak terlawan oleh dirinya, tetapi karena khawatir akan keadaan dinding terowongan yang tergerus kekuatan yang diadu sejak beberapa jam sebelumnya.

Untungnya, Nenggala yang memiliki misi menyelamatkan Li Hwa juga sadar akan bahaya tersebut dan dengan cepat ikut mundur. Apalagi Mei Lan, begitu mendengar perintah mundur dari Ceng Liong sudah dengan cepat ikut berkelabat menemani Ceng Liong yang terpukul mundur. Untungnya, ketiga bayangan tadi tidak mengejar mereka, tetapi hanya sempat terdengar suara seorang wanita, wanita tua sempat menjerit lirih:

”ihhhh” dan seterusnya, mereka tidak nampak lagi ditempat mereka melakukan penyerangan kearah ketiga anak muda itu. Siapakah mereka? Entahlah. Yang pasti Ceng Liong mencatat, kemampuan mereka sungguh luar biasa, nampaknya tidak lumrah manusia lagi.

Begitu ketiganya berdiri, dan cepat Mei Lan bertanya:

”Liong Ko, engkau tidak apa-apa”?

Ceng Liong hanya mengangguk sambil berkata:

”Tidak apa-apa Lan Moi, mari kita bergerak. Aku khawatir dengan kondisi dinding terowongan ini”

Nampak memang dindingnya berdebu tebal dan bahkan sepertinya semakin rawan. Hanya, masih belum jelas apakah akan runtuh atau tidak. Tapi untuk tidak mengambil resiko, Ceng Liong segera berbisik:

”Kita lebih baik keluar terlebih dahulu, jalan masuk ke markas utama sudah kita kenali. Ayo”
Meskipun sedikit enggan, Nenggala juga ikut bergerak keluar. Dia sadar, bahwa didalam markas Thian Liong Pang pastinya dipenuhi tokoh-tokoh maha hebat, sehebat gurunya. Meskipun yakin akan kemampuannya, tapi dia sadar ketiga pendatang yang mampu melukai Ceng Liong tadi bukanlah tokoh sembarangan.

Nampaknya tokoh yang seangkatan dan sehebat kemampuan gurunya, terbukti dari gabungan tenaga ketiganya yang mampu membentur dan melukai Ceng Liong dan sisa angin serangan yang dipapaknya masih sanggup mendorongnya kebelakang. Akhirnya ketiganya bergerak ke mulut terowongan, tempat dari mana mereka masuk sebelumnya. Dari masuk hingga keluarnya Ceng Liong ke terowongan itu, sudah sangat banyak peristiwa yang terjadi.

Bahkan dia masih belum sadar kalau di markas yang dilewatinya semalam pertempuran sporadis masih terjadi, karena Tek Hoat, Giok Lian dan Su Kiat bertempur secara gerilya. Hanya saja, sejak meloloskan Mei Lan memasuki terowongan, ketiganya akhirnya bertempur di depan gedung utama, gedung terbesar dimana mulut atau pintu terowongan itu berada.

Posisi saat Su Kiat akhirnya memberi tahu Mei Lan yang terus mendesaknya dimana pintu terowongan untuk mengetahui keadaan Ceng Liong, sebetulnya masih sangat baik. Belum tersandak musuh. Tetapi, ketika mereka menerobos memasuki pintu terowongan dan kemudian meloloskan Mei Lan, terpaksa mereka harus bertempur dengan kekuatan-kekuatan utama Thian Liong Pang.

Masih untung karena masih pagi dan mulai menjelang siang, sehingga pentolan utama Thian Liong Pang masih berada di ”seberang” masih belum turun tangan. Tetapi, barisan-barisan yang dimiliki Thian Liong Pang tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Akhirnya, Su Kiat terkurung oleh 7 penjaga utama pintu terowongan, sementara masing-masing Giok Lian dan Tek Hoat dikurung atau terkurung oleh Barisan Warna Warni.

Awalnya pertarungan terjadi didalam gedung, tetapi karena kurang leluasa akhirnya pertarungan berpindah ke halaman yang lebih luas. Di halaman pertarungan terpecah dalam 2 arena, satu arena adalah pertarungan antara Barisan Warna Warni melawan Liang Tek Hoat yang menjabat Pangcu Kaypang, dan di arena lain satu barisan melawan Siangkoan Giok Lian. Kecuali pertarungan antara Su Kiat melawan ke 7 penjaga pintu utama yang terus terjadi didalam ruangan dan berlangsung cukup sengit.

Kondisi sudah sangat genting, karena menjelang keluarnya Ceng Liong, Nenggala dan Liang Mei Lan dari pintu terowongan adalah saat ketika para pentolan Thian Liong Pang memasuki halaman dimana pertarungan itu terjadi. Tek Hoat dan Giok Lian menyadari bahaya yang mereka hadapi dan menyandarkan harapan mereka kepada kedatangan rombongan pendekar yang diundang Duta Agung Lembah Pualam Hijau sebelum Kiang Ceng Liong.

Akankah mereka tiba tepat waktu? Ini yang membuat mereka berpengharapan. Hanya, sebagai pesilat yang meski masih muda tetapi telah banyak menempuh bahaya, Tek Hoat dan Giok Lian dengan cepat menindas kekhawatiran di hati mereka. Selanjutnya, seperti tidak terjadi apa-apa mereka melanjutkan pertempuran melawan Barisan Warna-Warni yang lihay itu. Setelah beberapa lama, mereka berkeputusan untuk memperlama pertempuran, karena mereka mulai menemukan titik yang tepat dan strategi yang baik untuk melawan barisan yang dari luar memang sangat menggiriskan itu.

Serangan mereka membadai dan saling bergantian, sementara pukulan mereka yang disatukan juga cukup merepotkan. Setelah lama terkurung dan mengamati barisan itu, Tek Hoat segera tahu dimana letak keunggulan lawan. Dan Giok Lian juga tak lama setelahnya menyadari hal yang ditemukan Tek Hoat, bagaikan sehati, mereka terus membiarkan diri dalam cocoran serangan lawan.

Sementara itu, ketika keluar dari terowongan, Ceng Liong, Mei Lan dan Nenggala langsung membantu Su Kiat. Meski dia tidak terdesak, tetapi nampak cukup repot juga menghadapi barisan 7 orang yang mengurungnya. Karena berada di daerah musuh, Ceng Liong dan kawan-kawan tidak berayal. Mereka menyerang dan membuyarkan gabungan kekuatan barisan itu dan dalam waktu singkat salah seorang dari 7 penjaga sudah tergeletak terluka berat dan tidak sanggup melanjutkan pertempuran.

Dan sedetik berikutnya, Mei Lan dan Nenggala juga sudah merobohkan lawannya masing-masing sehingga barisan itupun kemudian buyar. Su Kiat yang mendapatkan bantuan dengan cepat menyerang sisa 4 orang lainnya, dan karena bertempur secara individu mereka kurang kuat, dalam waktu singkat 2 orang sudah roboh bermandi darah akibat pukulan Su Kiat. Dan sejenak kemudian salah seorang menyusul ditangan Nenggala dan akhirnya Mei Lan menamatkan perlawanan orang ke-7 dari barisan pengeroyok Su Kiat.

”Menemui Duta Agung” Su Kiat telah menghadap Ceng Liong dengan cepat.

”Bagaimana keadaan di luar”?

”Kaypang Pangcu dan kawannya sedang menghadapi keroyokan” jawab Su Kiat

”Hm, baiklah. Kita keluar membantu mereka” tegas Ceng Liong

”Duta Agung, Suhu akan segera muncul, mohon keringanan untuk Duta Hukum tidak tampil berterang”

Nampak Ceng Liong berpikir sejenak. Betapapun, ketua Thian Liong Pang adalah guru Su Kiat, meski dia sudah tahu jatidiri Su Kiat, tetapi memang tidak pantas membenturkan mereka di arena.

”Hm, baiklah. Tetapi, usahakan engkau selalu berada disekitarku, agar sewaktu-waktu bisa saling membantu”

”Baik, terima kasih Duta Agung” dan selanjutnya Su Kiat ditengah kekacauan dalam gedung kemudian menyusup dan menghilang dari gedung itu.

Sementara itu, Ceng Liong bertiga dengan Mei Lan dan Nenggala tetap dalam kepungan orang-orang Thian Liong Pang. Ketiganya bisa mendengarkan suara pertempuran yang berasal dari arena di luar gedung, maka ketiganya kemudian melangkahkan kaki untuk beranjak menuju luar gedung utama tersebut. Kepungan atas mereka bertiga otomatis ikut bergerak juga, tetapi tidak ada seorangpun yang coba-coba untuk menyerang ketiga anak muda yang berada dalam kepungan mereka.

Setelah 7 penjaga utama yang berkepandaian sangat tinggi saja keok ditangan anak-muda didalam kepungan mereka, apalagi mereka yang berkepandaian lebih cetek? Karena itu, maka Ceng Liong bertiga akhirnya bisa mencapai pintu keluar. Dan meskipun tetap dalam kepungan banyak orang, tetapi mereka bertiga tidak nampak agak khawatir ataupun ketakutan, sebaliknya mereka berusaha untuk mengarahkan pandangan keluar.

Terutama ke arena pertempuran yang melibatkan 2 kawan mereka, Liang Tek Hoat dan Siangkoan Giok Lian. Adalah Mei Lan dan Nenggala yang dengan cepat tersentak melihat serunya pertempuran itu, terutama Nenggala yang memiliki pengalaman menghadapi barisan lihay tersebut. Tetapi, sekali pandang dia segera maklum kalau baik Giok Lian maupun Tek Hoat sama sekali tidak sedang dalam posisi terdesak. Keduanya dalam posisi yang ”membiarkan” diri mereka dilibat barisan itu, ”pasti karena ada maksudnya” pikir Nenggala.

Sementara itu, Ceng Liong yang juga maklum atas perlawanan Tek Hoat dan sadar mereka tidak akan celaka, telah memalingkan pandangannya kearah yang lain. Pandangannya terhenti atas sekelompok orang yang mengadakan gerakan tertentu atas perintah dari beberapa orang yang berdiri disatu sudut dari gedung kedua, tepat disebelah kiri gedung utama. Siapakah gerangan mereka yang memberi perintah tersebut?
 
3



Tidak butuh waktu cukup lama bagi Ceng Liong untuk mengenali siapa-siapa yang berdiri disana. Hanya satu orang yang masih belum dikenal oleh Ceng Liong, yakni seorang tinggi besar dan menggunakan jubah kebesaran yang menyolok dengan lambang dan simbol perkumpulan Thian Liong Pang.

Jubah itu berwarna mayoritas putih dan hitam, sementara wajahnya ditutupi dengan kerudung yang menambah kesan misterius dan keseramannya. Tetapi, entah bagaimana Ceng Liong tidak merasa seram atas tampilan orang tersebut. Entah mengapa. Orang itu bahkan tidak mengeluarkan perintah ataupun kalimat apapun, segala sesuatu diatur dan diperintahkan oleh orang lain yang tidak asing lagi bagi Ceng Liong, Hu Pangcu Pertama yang telah beberapa kali bertemu. Beberapa saat kemudian, disamping kanan orang berjubah asing itu, berdiri Majikan Kerudung Hitam, nampaknya baru tiba.

Dan, melihat Majikan Kerudung Hitam berdiri disamping kanan orang aneh tersebut, Ceng Liong segera maklum kalau orang tersebut tidak lain adalah Pangcu dari Thian Liong Pang. Hanya, dan ini dimaklumi Ceng Liong, disisi kiri Pangcu Thian Liong Pang, disisi jubah berwarna putihnya, tidak hadir Majikan Kerudung Putih. ”Ada apa gerangan? Apakah memang telah diketahui penyamaran dan penghianatan Li Hwa”? Pikir Ceng Liong cemas.

Tetapi rasa cemasnya itu sudah tentu tidak bisa diajukan pada kesempatan itu, selain hanya memendamnya dalam hati. Sementara itu, Nenggala yang juga menyadari ketiadaan Majikan Kerudung Putih menjadi semakin cemas. Tetapi, memandang Ceng Liong yang juga berusaha memendam kecemasannya membuat Nenggala tidak sanggup mengatakan apa-apa, meski secara psikologis dia sangat terguncang.

Sekali lagi Ceng Liong memandang kearah rombongan itu, dan nampaknya beberapa perintah telah dikeluarkan. Dan beberapa saat kemudian tokoh-tokoh dan pentolan Thian Liong Pang segera bepencar dan berjalan kearah arena pertempuran. Di sekitar Thian Liong Pangcu tinggal berdiri Majikan Kerudung Hitam dan 9 orang yag mengenakan pakaian dalam 4 warna, dimana salah satunya adalah seorang dengan pakaian hitam pekat.

Sekali lihat Ceng Liong paham kalau itu mereka merupakan pengawal utama Pangcu dan sangat mungkin adalah miniatur dari Barisan Warna Warni yang tetap lengkap. Karena 4 orang Duta Warna mengenakan Jubah Warna Kuning, Hijau, Merah dan Hijau pekat, khas pemimpin Barisan Warna. Sementara 4 orang lain mengenakan warna yang sama tetapi dengan warna lebih muda.

Barisan itu lengkap dnegan kepalanya, tetapi pemimpin dan anggotanya hanya berjumlah masing-masing warna satu orang, atau satu pemimpin dan satu anggota, sehingga jumlahnya adalah 9 orang. Dan Ceng Liong kali ini memang benar. Barisan ini adalah Barisan Warna Warni yang bahkan jauh lebih lihay daripada yang dimiliki Lam Hay Bun, dan merupakan Barisan paling lihay dari Thian Liong Pang. Rata-rata anggota dan pemimpinnya sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, apalagi saat mereka menyatu dalam satu Barisan lengkap dengan kepala barisan, Duta Hitam, yang biasanya paling lihay dari mereka.

Adalah Majikan Kerudung Hitam dan Barisan Warna Warni inilah yang mengawal dan menjaga keselamatan Pangcu Thian Liong Pang yang nampaknya berdiri tanpa emosi. Tetapi benarkah dia tanpa emosi? Tak ada seorangpun yang tahu, karena tokoh ini terlampau misterius dan baru kali inilah dia menampakkan diri di pihaknya berhadapan dengan lawan.

Selain itu, ada sepasang Kakek dan nenek yang berdiri di belakang tokoh misterius tersebut. Sehebat apakah dia? Ceng Liong berpikir. Tetapi, dia tidak bisa menaksir kemampuan Pangcu itu karena beberapa tokoh utama Thian Liong Pang kini berjalan kearah arena. Nampaknya mereka tergesa-gesa dan ingin menyelesaikan urusan dengan cepat. Ceng Liong tidak mengerti soal itu, meskipun sebetulnya dia tak perlu heran, karena kekisruhan yang mereka timbulkan bukannya tidak terbaca oleh pihak Thian Liong Pang.

Pihak Thian Liong Pang sebetulnya telah mengantisipasi banyak hal, hanya saja, mereka masih tetap kecolongan. Karena itu, mereka mesti mempercepat tindakan guna meminimalisasi kerugian dipihak mereka. Karena mereka telah membaca bahwa sebentar lagi serbuan besar akan melanda markas mereka, jika sebelum serbuan itu datang urusan di Markas menghadapi para penyusup telah selesai, niscaya resiko mereka akan bertambah ringan. Tetapi, akan akuratkah pertimbangan mereka? Apalagi, karena ada hal-hal yang biasanya tidak terduga pada saat-saat yang menentukan.

Sebetulnya, Ceng Liong sendiri sudah mulai bertanya-tanya, mengapa pemimpin Thian Liong Pang baru munculkan diri pada waktu pagi hari? Dan kini, bahkan mereka bertindak cepat untuk menghadapi mereka. Ada apakah gerangan? Tetapi bertanya-tanya seperti itu segera raib dari pikirannya. Karena saat itu, di arena telah menyibak para pengepung, sementara tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang memasuki arena tersebut.

Menyadari kondisi yang berbahaya, Ceng Liong melirik dan memberi isyarat kepada Nenggala dan Mei Lan, dan sebentar saja, mereka bertiga telah ikut memasuki arena. Tepatnya berada di tengah-tengah kepungan anak buah Thian Liong Pang yang telah menyibak dan membiarkan mereka di tengah. Lebih ke tengah adalah arena perkelahian Tek Hoat yang dikepung oleh Barisan Warna Warni dan juga arena yang sama dengan Giok Lian yang dalam kepungan. Khawatir akan kepungan dan keroyokan lawan, Ceng Liong, Mei Lan dan Nenggala kemudian bersiaga penuh dan mengikuti pertarungan tersebut secara seksama.

Sementara itu, Tek Hoat menyadari bahwa dia tidak boleh lagi berayal. Lawan lawan berat sudah memasuki arena, meski keselamatannya terjamin dari bokongan lawan karena kehadiran Ceng Liong bertiga, tetapi dia tetap harus menyelesaikan barisan lawan tersebut. Sudah cukup main-main. Karena itu, Tek Hoat mulai menyerang dengan jurus-jurus pilihan yang telah dilatihnya secara matang.

Sebagai tokoh Kaypang, bahkan pejabat Pangcu Kaypang, Tek Hoat sudah tentu harus menampilkan dirinya sebagai tokoh dengan ilmu-ilmu pamungkas dari Partai Pengemis itu. Karena itu, dengan cepat dia mulai memainkan ilmu-ilmu keras dari Hang Liong Sip Pat Ciang. Dia tidak lagi berlari-lari dan menghindari seperti semula. Bukan hanya Ceng Liong, tetapi para pentolan Thian Liong Pang juga sadar kalau Tek Hoat dan Giok Lian bukanlah terdesak, tetapi sedang mengulur waktu. Itulah sebabnya mereka menyadari bahwa bahaya semakin mendekati markas tersebut, dan membuat mereka memutuskan untuk turun arena.

Tepat pada saat itu, baik Giok Lian maupun Tek Hoat memutuskan untuk meladeni dan segera membuyarkan serangan-serangan maut yang dilancarkan Barisan istimewa itu. Tek Hoat mulai ”bermain” keras, meladeni serangan lawan dengan pukulan-pukulan istimewa yang telah terisi oleh sinkang istimewa milikinya. Peningkatan kemampuan Tek Hoat akhir-akhir ini telah membuatnya semakin mampu mengatur tenaganya dan membuatnya semakin dahsyat memainkan ilmu-ilmunya.

Sebelumnya Tek Hoat hanya lebih banyak menghindar dengan menggunakan ilmunya Thian Liong Kia Ka (Naga Langit Mengegrakkan Kaki) dan membuat semua serangan luput. Tetapi sesekali dia juga membalas dengan menggunakan serangan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pululan Naga Sakti). Setelah pentolan lawan mulai turun arena, diapun cepat mulai menyerang titik-titik lemah barisan lawan dengan Hang Liong Sip Pat Ciang, Ilmu Pusaka Kaypang.

Tidak akan ada seorangpun yang mampu memainkan ilmu itu sebaik Kiong Siang Han, karena memang ilmu itu sempurna dimainkan oleh kekuatan murni laki-laki yang tidak pernah bersetubuh. Tetapi, Tek Hoat yang telah menyimpan tenaga yangkang yang tidak sedikit, sanggup memainkannya mendekati kemampuan gurunya. Kekuatan mujijat telah mengitari tubuhnya, meskipun kekuatan yang dikerahkannya baru sebesar 6-7 bagian semata.

Tetapi, serangan-serangan perorangan dari Barisan Warna Warni justru mengalami pembalikan tenaga serangan yang membuat untuik seketika barisna itu mandeg. Tetapi Tek Hoat tidak membuat kemadegan sejenak itu sebagai titik masuk serangannya. Sebaliknya, dia ingin mengangkat kewibawaan Kaypang dan menunjukkan siapa dirinya kepada pihak lawan. Karena itu, dengan cepat dia justru berbalik menyerang Barisan lawan pada titik-titik kelemahan yang telah dipelajarinya.

Sementara Nenggala yang menyaksikannya bertarung memuji dalam dirinya, karena dia sadar, Tek Hoat tidak dibawah kemampuannya, dan serangan Tek Hoat benar-benar tepat sesuai yang dialaminya beberapa waktu sebelumnya.

Sebetulnya, dibandingkan Sin Liong Cap Pik Ciang, Hang Liong Sip Pat Ciang jauh lebih baik melawan sebuah barisan. Tetapi, ada beberapa pukulan ampuh Hang Liong Sip Pat Ciang yang memang tepat untuk membongkar sebuah kepungan. Tentu jika perhitungan sudah tepat. Setelah beberapa gerakan, tiba-tiba Tek Hoat menyerang susul menyusul dengan jurus Ti Liong Yu Hui (Naga Menunduk Merasa Menyesal) dan jurus Liong Can Kan Ya (Naga Menyerang Dengan Liar).

Jurus pertama sebetulnya adalah sebuah pancingan kearah barisan merah yang sedang bergerak dengan arah sebaliknya dengan barisan biru. Ketika Tek Hoat melambatkan serangannya, atau tepatnya seperti ragu melanjutkan serangan, Barisan Merah dengan cepat terpancing menyerangnya dengan sebat. Sayangnya, pada saat itu perlindungan mereka terhadap Barisan Biru menjadi berkurang, dan sambil melanjutkan serangannya Ti Liong Yu Hui dan membentur Barisan Merah, tetapi dengan cepat serangan utamanya dengan Liong Can Kan Ya kearah Barisan Biru yang tidak terlindung.

Apakah barisan biru yang benar diarahnya? Belum tentu. Karena masih ada kepala barisan, yakni Duta Hitam yang mampu memberi perlindungan, dan dia berada di sebelah kanan Tek Hoat. Dan sebagaimana diduga, Duta Hitam bergerak menyerangnya untuk memberi perlindungan kepada Barisan Biru. Setelah Barisan Biru, maka ada waktu yang sepersekian detik dari Barisan Hijau yang bergerak cepat untuk mampu menggapai Barisan Biru, memberi bantuan tambahan kepada Duta Hitam. Tetapi, semua gerakan itu telah diperhitungkan Tek Hoat, terlebih karena memang target utamanya adalah gelombang serangan Duta Hitam dan Barisan Hijau itu.

Serangan dengan jurus Liong Can Kan Ya membuat Barisan Biru kocar-kacir, untuk hanya sejenak karena telah dibantu Duta Hitam. Justru saat Duta Hitam menyerang, Tek Hoat telah menyiapkan jurus berbahaya Sin Liong Pa Bwee (Naga Sakti Menggoyangkan Ekor) menyambut Duta Hitam. Serangan utamanya ada di jurus ini, dan memang dilakukannya untuk melumpuhkan atau melukai Duta Hitam.

Benar saja, papakannya yang tak terduga ini mengakibatkan Duta Hitam tergetar mundur sampai 5 langkah, tetapi sapuan dan serangan utama Tek Hoat yang kedua segera mengarah ke Barisan Hijau yang menerjang datang. Dengan sebat dia memainkan jurus Sie-seng Liok-liong (mengendarai enam naga), seketika tubuhnya bagaikan berubah menjadi 6 orang dan memukul 4 orang dari Barisan Hijau.

Dari sana, kembali dia memukul dengan sebat menggunakan Liong Can Kan Ya ke arah Barian Biru yang baru mulai terkonsolidasi. Terjangannya membuat Barisan itu kocar kacir, dan selanjutnya, ketika Duta Hitam terpukul mundur dan terluka, maka Barisan itu sudah tidak dalam formasi utuhnya lagi.

Barisan Hijau telah terpukul 4 orang, dan terluka parah, Duta Hitam juga terpukul terluka sementara Barisan Biru setengahnya sulit bertarung lagi. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Tek Hoat telah menghancurkan Barisan Warna Warni, dan disebelahnya, ketika dia melirik, Giok Lian juga tersenyum kepadanya, karena hanya terlambat seputar 3-4 detik diapun memporak-porandakan Barisan lawannya.

Berbeda dengan Tek Hoat, Giok Lian membekal ilmu langkah ajaib Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar) yang mampu membuatnya berlenggak-lenggok mengisi tempat yang tak terduga diantara Barisan Warna penunjang Barisan Warna Warni. Setelah beberapa tahun mengembara, ketika kembali ke Bengkauw, Giok Lian menyempurnakan kepandaiannya dengan kitab peninggalan neneknya dan juga didikan langsung kakeknya yang ampuh itu.

Karena itu, tidak heran jika kemudian penampilan kembali Giok Lian justru dalam penampilan dan kemampuan yang jauh lebih lihay dibandingkan sebelumnya. Seperti diketahui, dia membekal ilmu-ilmu ampuh, bahkan termasuk ilmu yang amat sadis peninggalan nenek buyutnya yang diciptakan dalam kesendirian, bernama Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang) dan Toat Beng Ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini memang agak sadis bahkan terkesan ilmu hitam.

Tetapi, ketika dia dilatih terkahir kali guna menyedot hawa sakti bulan dan matahari, ciri khas sinkang Bengkauw, dia telah mampu mengendalikan hawa hitam dan berganti hawa sihir. Sebenarnya tidak jauh berbeda fungsinya, hanya jika sebelumnya Ilmu-ilmu tersebot berhawa sesat atau bahkan menyesatkan, tetapi dengan kemampuan sihir dan kemampuan batinnya, dia mampu menyerap hawa serang ilmu-ilmu tersebut.

Kemampuan Toat Beng Ci atau Jari pencabut nyawa membuatnya bahkan sanggup menusuk besi bagaikan menusuk tahu atau tempe belaka. Jika demikian, apakah artinya tulang manusia? Dan ilmu mengerikan seperti itulah yang kini dikuasai dan dimiliki secara sempurna oleh gadis cantik asal Bengkauw ini.

Sebagaimana Tek Hoat, menyaksikan turunnya para pentolan lawan, membuat Giok Lian juga kemudian merubah cara bertempurnya. Dari gaya berlari-lari dan menyusup-nyusup diantara barisan lawan, Giok Lian kemudian memanfaatkan langkah-langkah ajaibnya untuk melabrak barisan lawan. Ketika saatnya tiba, Giok Lian kembali bergerak-gerak dengan cepat dan bagaikan orang gelagapan meletik, bergerak kebelakang, kedepan atau bahkan terhuyung-huyung tak keruan, tetapi dengan tepat mengisi tempat luang dan kosong diantara barisan itu.

Hanya, jika sebelumnya dia mengandalkan lari-lari berputar-putar, kini dia menyiapkan susulan pukulan gabungan Koai Liong Sin Ciang dan In Liong Kiam Sut yang berisi tenaga Toat Beng Ci. Bisa dibayangkan, 4 buah Ilmu langka diajukan dan dilaksakana sekaligus oleh seorang gadis cantik menghadapi barisan lihay itu.

Langkah-langkah berputarnya membuatnya mampu menduduki posisi menguntungkan, ketika Barisan itu ikut berputar, dia kembali melangkah cepat dan memutus upaya posisional Barisna lawan, dan pada saat Barisan itu kembali akan mengiringinya berputar, Giok Lian sudah dalam posisi yang baik menyerang Barisan Merah. Dan sentilannya dengan menggunakan jurus ”Awan Menerjang Langit” dari In Liong Kiam Sut dengan hawa Toat beng Ci telah menotok dan membuat pimpinan Barisan Merah terluka berat.

Tangannya tak bisa berfungsi lagi. Tetapi, bukan itu cara mengalahkan Barisan Warna Warni. Harus melukai Duta Hitam baru bisa membuat Barisan itu berhenti bergerak. Dengan Barisan Merah yang pincang, maka Giok Lian mampu dengan sebat memanfaatkan situasi. Kepincangan itu membuka ruang lebar baginya menggapai Duta Hitam.

Sayangnya, Duta Hitam juga bukan orang bodoh. Di tahu, Giok Lian akan menyasarnya untuk memporak-porandakan Barisan itu. Begitu melihat Giok Lian menggunakan ilmu totok yang menggiriskan, dia telah menyiapkan diri untuk menyusup di Barisan Warna lainnya. Inilah yang membuat Giok Lian sedikit lebih lambat menyelesaikan perlawanan Barisan Warna Warni ketimbang Tek Hoat.

Jika dia tidak cepat memperlihatkan Toat Beng Ci dalam menyerang Barisan Merah, mungkin Duta Hitam tidak akan segesit itu cara menyusupnya. Sayang, dengan melihat kemampuan jari Hiok Lian membuatnya terkejut dan keder. Tetapi, dengan langkah aneh dan ajaibnya Giok Lian tetap mampu menyusup diantara Barisan Hijau dan Biru untuk dengan cepat memapak kembali Duta Hitam. Duta Hitam yang juga biasanya tidaklah lemah, cepat menyadari bahaya.

Tetapi, langkah-langkah Giok Lian yang cepat berputar teramat sangat membingungkannya. Apalagi ruang geraknya terbatas oleh gerakan berputar Barisan Warna Warni. Karena itu, mau tidak mau dia harus memapak serangan Giok Lian yang kini telah berhadap-hadapan dengannya secara langsung. Tetapi, baru saja dia menangkis serangan Giok Lian, tiba-tiba dia merasa kehilangan lawan yang kembali dengan cepat menyerang dari samping kanan.

Dengan cepat dia kembali menangkis, tetapi begitu tertangkis tiba-tiba dia merasa kembali kehilangan lawan. Cepat dia menyadari sisi mana lawannya berada, tetapi sayang Giok Lian telah memutuskan menyerangnya dengan sebuah pukulan dari Koai Liong Sin Ciang. Kontan dia terlempar jauh dari Barisan, dan bersamaan dengan itu dia menyusup dan menyerang Barisan Kuning hingga kocar-kacir. Hingga disitu saja perlawanan Barisan itu, dan tepat hampir bersamaan dengan usainya perlawanan Barisan Warna Warni melawan Tek Hoat. Keduanya saling melempar senyum hangat ........ masih sempat-sempatnya dalam situasi gawat seperti itu???????

Sementara itu, Hu Pangcu Pertama, Hu Pangcu Kedua, Kim-i-Mo Ong, Bouw Lek Couwsu, Koai Tung Sin Kay, Ciu Lam Hok, Gan Bi Kim, dan beberapa tokoh utama Thian Liong Pang sudah di arena. Adalah Bouw Lek Couwsu yang paling bernafsu, terutama karena mengingat kedua sutenya, Bouw Lim Couwsu pergi meninggalkan dirinya.

Tawar hati setelah dikalahkan Ceng Liong dan Tibet Sin Mo Ong tewas oleh barisan pendekar. Hal ini telah membuatnya mati-matian memperkuat diri untuk menebus kekecewaan dan kegagalan-kegagalan yang ditemuinya selama ini. Siapapun lawan dari kaum pendekar, nampaknya akan dilawannya. Semua untuk melampiaskan kegemasan dan dendam yang ditanggungnya selama petualangannya di Tionggoan ini.

Tetapi, begitupun dia masih ingat bahwa kendali atas semua masih tetap di tangan Hu Pangcu Pertama yang jelas-jelas menerima perintah Pangcu Thian Liong Pang untuk meringkus atau menahan para penyerang guna menjadi sandra. Padahal bagi Bouw Lek Couwsu, sekiranya bisa, lebih baik dibunuh saja, jauh lebih baik lagi jika dia yang mampu dan sanggup untuk melakukannya, siapa saja dari para tokoh muda itu yang membuatnya sangat gemas dan mendendam.

Detik-detik menegangkanpun tiba. Hu Pangcu dan rombongannya kini berdiri bertatap-tatapan dengan Ceng Liong dan kawan-kawannya. Meskipun hanya berlima, tetapi tidak nampak seri ketakutan di wajah Ceng Liong. Bahkan, matanya terlampau tenang diwajah kawan-kawannya dan juga dimata Hu Pangcu Pertama dan rombongan Thian Liong Pang lainnya yang sedang mengepung. Hu Pangcu Pertama maklum belaka dengan kehebatan 5 lawan muda yang kini berdiri dihadapannya:

”Hm, tidak disangka kalian begitu berani menyatroni Markas Thian Liong Pang” ujarnya dingin dan dengan nada suara murka ditahan-tahan.

”Dimanapun adanya Markas Thian Liong Pang, kami tetap akan mencari dan menyerbunya” tukas Ceng Liong

”Anak muda, sesombong itukah dirimu”?

”Kami akan meladeni semua keinginan dan kemauan Thian Liong Pang, karena pihak kalian yang memulainya” Mei Lan menyela tiba-tiba.

”Hm, baiklah jika itu kehendak kalian” HU Pangcu Pertama akhirnya memutuskan. Tetapi, belum lagi perintah diturunkannya, tiba-tiba di barisan pentolan Thian Liong Pang bertambah lagi dengan Majikan Kerudung Hitam, Janaswamy dan Kakek dan nenek yang tadinya berdiri di belakang Pangcu Thian Liong Pang.

Siapakah kedua orang tua itu? Mereka bukan lain kakak beradik Mahendra dan Gayatri, kedua tokoh tua asal Thian Tok yang ikut dalam perebutan Kitab Pusaka bahkan sejak di Swarnadwipa. Di usia mereka sekarang, kehebatan mereka sudah menanjak begitu jauh, apalagi ketika mereka bertemu tokoh sakti di markas Thian Liong Pang.

Ceng Liong agak kaget dengan kedatangan kedua orang itu. Terutama karena mengerti bahwa keduanya adalah tokoh tua yang telah memiliki kepandaian yang sangat hebat dan berpengalaman. Sekali pandang saja Ceng Liong sudha memakluminya, meskipun dia sadar Mei Lan dan Nenggala masih akan sanggup menghadapi mereka.

Sementara Majikan Kerudung Hitam dan Janaswamy masih bisa dilawan Tek Hoat dan Giok Lian, tetapi bagaimana dengan lawan-lawan hebat lainnya? Apalagi ketika dia menemukan kenyataan bahwa Hu Pangcu Pertama dan Kedua nampaknya juga mengalami kemajuan pesat. Belum lagi tokoh-tokoh lain seperti Bouw Lek Couwsu yang dilihatnya begitu bernafsu, Kim-i-Mo Ong. Koai Tung Sin Kay, Ciu Lam Hok dan tokoh-tokoh lainnya.

Padahal, disana masih ada Barisan Warna Warni, masih ada Pangcu Thian Liong Pang dan tentu masih banyak tokoh hebat Thian Liong Pang lainnya. Menyadari hal itu, Ceng Liong berharap mampu mengundurkan atau mempermainkan tempo, menunggu kedatangan para pendekar. Tetapi, Hu Pangcu Pertama memahami sikap Ceng Liong. Karena itu, dengan segera dia berkata dan mengeluarkan perintah:

”Serang mereka sebelum rombongan penyerang tiba” bersamaan dengan itu, dia segera membuka serangan. Kali ini, karena didesak waktu dan kekisruhan lainnya, aturan pertarungan tidak lagi diindahkan. Hu Pangcu memang paling tepat memainkan peran ini karena dia memang sangat licik dan cerdik.

Melihat pertarungan telah terbuka, Ceng Liong tiba-tiba mengirimkan suara kepada teman-temannya:

”Saudara Nenggala bersama Mei Lan, tandingi Kakek dan Nenek itu. Saudara Tek Hoat sebaiknya melawan Majikan Kerudung Hitam dan Giok Lian menyerang Pemuda India itu”. Dan setelah mengeluarkan suara yang hanya didengar kawan-kawannya, Ceng Liong tiba-tiba mengeluarkan pekikan yang terdengar hingga jauh kesana.

Apa mgerangan maksudnya? Ceng Liong ingin memagari pertarungan kawan-kawannya dengan kemampuan Barisan 6 Pedang yang ditinggalkannya di liang rahasia. ”Saat ini adalah tepat melibatkan Barisan istimewa itu” pikir Ceng Liong yang dengan segera dilakukannya.

Sementara itu pertempuran telah pecah. Tetapi, bukan satu lawan satu, melainkan keroyokan dalam medan pertempuran yang dikelilingi oleh kepungan anak buah Thian Liong Pang. Sekali pandang saja, Ceng Liong melihat keadaan yang menguntungkan adalah Nenggala melawan Mahendra dan Gayatri melawan Mei Lan. Karena kepandaian kedua orang tua itu, tidak ada yang berani dan lancang untuk membantu keduanya.

Berbeda dengan Giok Lian dan Tek Hoat yang akhirnya diserang dan dikeroyok oleh banyak tokoh: Hu Pangcu Pertama dan Kedua, Bouw Lek Couwsu, Janaswamy dan Majikan Kerudung Hitam yang paling bersemangat dan paling berkepentingan, hingga Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay yang tidak punya ambisi dan motivasi lain selain memenuhi janji karena takluk.

Tek Hoat menghadapi gabungan serangan Majikan Kerudung Hitam dengan Hu Pangcu Pertama, sementara Giok Lian menghadapi keroyokan Janaswamy bersama Bouw Lek Couwsu. Selain itu, arena itu juga masih dibayangi oleh Hu Pangcu Kedua yang bisa sewaktu-waktu menyerang dengan kekuatan mereka yang luar biasa. Melihat kondisi yang sangat berbahaya bagi kawan-kawannya, tertama bagi Tek Hoat dan Giok Lian, Ceng Liong tidak melihat ada cara lain selain turun tangan langsung.

Untungnya, sebelum dia turun tangan, Barisan 6 Pedang telah membentur ujung pengepungan dan bekerja sama dengan apik untuk menggoyahkan kepungan Thian Liong Pang. Ceng Liong sangat percaya dengan kemampuan Barisan 6 Pedang dari Lembah Pualam Hijau, karena itu dia tidak terlampau mencemaskan keadaan mereka.

Ceng Liong segera melayang dan memasuki arena pertempuran yang melibas Giok Lian dan Tek Hoat. Berhadap-hadapan satu lawan satu dengan Janaswamy, Giok Lian masih kuat, sebagaimana Tek Hoat melawan Majikan Kerudung Hitam. Tetapi, berhadapan dengan keroyokan beberapa orang di arena itu, membuat Giok Lian dan Tek Hoat merasa was-was juga. Untung saja mereka telah memiliki ketenangan dan keyakinan atas kemampuan mereka masing-masing.

Dan itu yang membuat mereka mampu bertahan dalam kondisi yang teramat sulit karena keroyokan tidak tahu malu dari tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang. Hanya, keadaan menjadi cukup baik ketika kemudian Ceng Liong terjun kearena mereka dan merusak konsentrasi keroyokan lawan. Meskipun kemudian Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay, Ciu Lam Hok dan tokoh lainnya ikut menyerang, tetapi turunnya Ceng Liong membuat pertarungan menjadi alot dan imbang.

Bertiga mereka saling menjaga dan saling membantu menghalau serangan-serangan lawan, apalagi ketika Barisan 6 Pedang juga merangsek semakin mendekati arena tempat Duta Agungnya dikepung dan bertarung. Kondisi ini membuat para pengeroyok menjadi penasaran, dan menjadi lebih penasaran lagi ketika Barisan Warna Warni tidak sanggup mengatasi Barisan 6 Pedang. Dan bahkan kini Barisan itu telah membentuk formasinya tepat disamping Ceng Liong dan membuat arena pertempuran menjadi lebih terbatas lagi.

Melihat keadaan yang nampaknya akan membuat pertarungan menjadi berlarut-larut, Hu Pangcu Pertama nampak berpaling kearah Pangcu Thian Liong Pang. Entah komunikasi apa yang mereka lakukan, tetapi suatu hal yang pasti Hu Pangcu Pertama nampaknya sedang mempertimbangkan kondisi akhir dan meminta sang Pangcu untuk turun langsung ke arena.

Pertimbangan yang sangat tepat, karena betapapun kehadiran Pangcu Thian Liong Pang yang berkepandaian dahsyat serta Barisan Warna Warni yang selalu mengelilinginya adalah kekuatan inti yang wajib turun dalam kondisi saat itu. Nampaknya keduanya, Hu Pangcu Pertama dan Pangcu Thian Liong Pang seperti berkomunikasi sejenak.

Sejenak saja dan tidak lama. Karena kemudian, nampak Pangcu Thian Liong Pang mulai bergerak, melirik sejenak ke arah Barisan Warna Warni dan kemudian perlahan-lahan mendekati arena pertempuran. Secara otomatis Barisan Warna-Warni yang hanya berjumlah 9 orang itu menyertainya dan bersikap seperti pengawal yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan Pangcu Thian Liong Pang tersebut. Adapun, kepungan menyibak dengan sendirinya ketika sang Pangcu perlahan-lahan mendekati arena.

Dan detak-detik dia tiba ke arena sungguh mendebarkan, terutama bagi para anggota Thian Liong Pang yang memang belum pernah menyaksikan langsung pimpinan mereka bentrok dengan orang lain. Hari ini, sekarang ini, apakah saat yang mereka nantikan akan kesampaian? Sungguh pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tetapi, yang pasti detak langkahnya yang semakin mendekati arena semakin menumbuhkan perasaan penasaran di kalangan anggota Thian Liong Pang
(Bersambung)
 
BAB 24 Lembah Pualam Hijau Vs Thian Liong Pang
1 Lembah Pualam Hijau Vs Thian Liong Pang


Langkah Pangcu Thian Liong Pang tiba-tiba berubah menjadi semakin berat, semakin berisi bahkan tiba-tiba detak langkahnya berbunyi demikian keras. Tokoh-tokoh yang berada didekat Pangcu tersebut bahkan tidak mampu menghilangkan keterkejutan dan efek dari bunyi dan dentaman langkah kakinya yang bagaikan menghentak bumi.

Tidak salah lagi, itulah pameran luar biasa yang diperagakan sang Pangcu, karena memang iringan langkahnya sarat berisi kekuatan gaib. Akibatnya, sebagian besar, kecuali beberapa gelintir tokoh utama, terpengaruh oleh pameran kekuatan sang Pangcu, dan semua menjadi terdiam menunggu apa gerangan yang akan dilakukan Pangcu yang sangat misterius dan baru sekali ini muncul di tengah keramaian.

Masih ada 5 kali lagi dentuman keras dan menghasilkan bunyi yang menggelegar hingga kemudian sang Pangcu menghentikan langkah, tepat beberapa meter dari arena yang melibas Ceng Liong, Tek Hoat dan Giok Lian. Pada langkah-langkahnya yang terakhir, Sang Pangcu telah mengakibatkan bumi bergoyang dan akibatnya keroyokan membuyar untuk membuka ruang bagi Sang Pangcu berhadapan dengan Ceng Liong dan kawan-kawannya.

Berbeda dengan kebanyakan orang, Ceng Liong sama sekali tidak terganggu oleh suara menggelegar yang dihasilkan dentaman langkah menghujam bumi itu. Bahkan Ceng Liong juga sadar, kalau langkah-langkah dengan dentaman bunyi menggelegar serta bumi bergoyang bagaikan terkena gempa adalah permainan ilmu gaib yang sengaja diperagakan oleh sang Pangcu.

Beberapa saat kemudian kedua pihak akhirnya berhadap-hadapan, saling pandang dan saling mengukur kekuatan. Adalah sang Pangcu yang langsung berhadapan dan memandang langsung ke mata Ceng Liong yang kini berdiri dihadapannya, di depan Tek Hoat dan Giok Lian.

Dan beberapa saat kemudian arena lain juga terhenti perkelahiannya dan dalam sekejap Mei Lan telah melesat kesamping Ceng Liong, juga Nenggala telah berdiri berjejer dengan Tek Hoat dan Giok Lian. Dan di belakang mereka berdiri dalam posisi melengkung Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau yang memang bertugas melindungi Duta Agungnya.

Sekejap Pangcu Thian Liong Pang berpaling kearah Nenggala, tidak kentara maksud dan perasaan yang tersorot dari matanya. Nenggala tidak merasa sedikitpun seram, anehnya seperti merasa akrab dengan sinar dan cara pandang dari sang Pangcu. Tetapi, dia tidak sedikitpun mengerti apa maknanya. Begitu juga Ceng Liong, tidak sedikitpun dia merasa seram dengan tajamnya pandang mata sang Pangcu, tetapi itu hanya pada permulaan.

Sebab, setelah mengalihkan pandangan kebeberapa tokoh, sang Pangcu tiba-tiba mengalihkan pandangannya kembali menatap Ceng Liong. Kali ini, pandang mata tersebut nampak sangat berwibawa dan seperti ingin menguasainya. Dan Ceng Liong yang awas sudah dengan cepat memahami, bahwa sang Pangcu sedang menyerangnya dengan kekuatan yang tidak kelihatan oleh mata biasa.

Dengan cepat Ceng Liong juga memusatkan pikirannya dan dengan segera kekuatan mujijat mengalir lewat matanya. Dan rupanya, hal ini membuat sang Pangcu terhentak, terutama karena tidak menyangka kekuatan mujijat Ceng Liong melalui mata bisa sekuat itu. Dan nampaknya hal tersebut membuatnya heran dan kaget, apalagi karena menyadari bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Ceng Liong dalam pertarungan seperti itu.

Bahkan sebaliknya, dia tergempur sendiri oleh kekuatan yang dibalikkan Ceng Liong melalui pandangan matanya. Untungnya, Ceng Liong sendiri tidak bertindak kelewatan, tetapi hanya menolak dan mengembalikan serangan mujijat sang Pangcu. Dan untungnya lagi, hanya sangat sedikit tokoh yang tahu apa yang baru saja terjadi, dan lebih untung lagi nyaris tidak ada yang tahu bahwa Ceng Liong telah mampu menggempur sang Pangcu lewat adu kekuatan mujijat tadi.

Betapapun, sang Pangcu adalah tokoh nomor satu di Thian Liong Pang. Dan karena itu, meski mengerti bahwa Ceng Liong adalah tokoh muda yang sangat ampuh, tetapi tetaplah harus dilawan. Apalagi, dia sadar betul, bahwa dibelakangnya berdiri begitu banyak orang yang mendukungnya dan mengharapkan dia untuk memukul mundur lawan.

Selain dia sendiri memang memiliki alasan yang lebih dari cukup untuk maju menantang dan melawan jago muda yang menjadi musuh besar Thian Liong Pang. Maka, tidak ada alasan baginya untuk mundur atau untuk tidak bertarung. Tidak, dia harus bertarung. Dan untuk bertarung dia harus maju, maju dengan segenap kekuatan yang ada padanya.

Meskipun barusan, dia sendiri kaget dan tidak menyangka kalau Ceng Liong memiliki, atau tepatnya semuda itu telah memiliki kekuatan gaib yang begitu mujijat dan mampu membalikkan serangan yang dilakukannya untuk mencobai kemampuan pemuda itu.

Maka kini, pertempuran itu nampaknya tidak mungkin lagi dielakkan. Setidaknya bagi sang Pangcu, tidak ada jalan lain kecuali bertarung. Hal yang sama bagi Ceng Liong, kondisi sekarang menghadapkan mereka pada pertarungan yang menentukan. Hal yang lebih disenangi Ceng Liong, karena betapapun di tengah kepungan itu, adalah hal terbaik baginya untuk bertempur langsung dengan orang tertinggi di Thian Liong Pang.

Tapi, benarkah pilihannya itu? Entahlah. Yang pasti di hadapannya telah berdiri lawannya, Pangcu Thian Liong Pang. Dan lawannya itu nampaknya telah siap. Meskipun mampu mengundurkan dan membalikkan serangan gaib lawannya, tetapi Ceng Liong sangat paham, bahwa lawannya ini bukanlah lawan enteng baginya. Meskipun demikian, dia memiliki keyakinan atas kemampuan dirinya sendiri.

Terutama setelah beberapa waktu belakangan dia merasakan peningkatan kemampuan silatnya, termasuk kemampuan tenaga dalam dan tenaga batinnya. Dia sangat yakin akan kemampuannya sekarang ini, dan dia percaya bahwa dia akan mampu menghadapi tokoh utama Thian Liong Pang sekarang ini. Dan kini mereka telah berhadap-hadapan, siap memulai pertempuran.

”Bersiaplah anak-muda, betapapun kalian pantas dikagumi karena mampu bertahan sejauh ini berhadapan dengan Thian Liong Pang. Tapi, aku tidak bisa membiarkan kalian hidup lebih jauh dari hari ini” terdengar suara Pangcu yang sangat dingin. Tetapi, Ceng Liong dkk sudah tentu tidak keder dan jatuh angin menghadapi ancaman sang Pangcu. Bahkan terdengar suara Mei Lan mendahului kawan-kawannya yang lain:

”Huh, Kami akan terus melawan dan bahkan terus berjuang sampai Thian Liong Pang kalian terhapuskan dari rimba persilatan Tionggoan”

”Hm, sombong dan lancang” terdengar Hu Pangcu Pertama, nampaknya satu-satunya orang yang berkeberanian untuk menyela ketika Pangcu Thian Liong Pang sedang beraksi.

”Sombong? Bukankah sudah kami buktikan sejauh ini” tandas Mei Lan yang membuat Hu Pangcu Pertama terdiam.

”Tetapi hari ini adalah perjuangan kalian yang terakhir” terdengar Majikan Kerudung Hitam ikut nimbrung. Sementara itu, Pangcu Thian Liong Pang terus berdiam diri, tetapi sudah pasti dalam posisi siap untuk bertempur. Meski dmeikian, masih belum nampak ada tanda-tanda dia untuk bertempur atau menyerang lawannya. Tetapi, sedetik kemudian, nampak Pangcu Thian Liong Pang seperti sedang mendapatkan bisikan, entah bisikan apa, dan meski nampak agak kurang sreg terlihat dari bahasa tubuhnya, tapi tidak berapa lama diapun berkata:

”Anak muda bersiaplah” tetapi, Ceng Liong bukan hanya mendengarkan suara tersebut, karena ada suara lain yang mengisiki telinganya mengingatkan dia untuk bersiap.

Ceng Liong segera sadar, jika dia terlibat pertarungan yang ketat bersama dengan Barisan 6 Pedang, maka kawan-kawannya akan sangat terbuka dikerubuti begitu banyak jago Thian Liong Pang yang kini berkumpul semua mengepung mereka. Tetapi, Ceng Liong tidak sanggup lagi memikirkan jalan lain. Dia hanya sempat mengirimkan bisikan ke Nenggala untuk bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Itupun tidak lama, karena bersamaan dengan majunya Pangcu Thian Liong Pang, maju juga Barisan Warna Warni mengiringinya. Otomatis, Barisan 6 Pedang juga segera sebat beringsut kedepan dan berdiri persis di belakang Duta Agung Lembah Pualam Hijau, Kiang Ceng Liong. Langkah Pangcu Thian Liong Pang terhenti beberapa ketika, nampak seperti tertegun, tetapi tidak lama, karena dengan seruan keras dia segera membuka serangan kearah Ceng Liong.

Bersamaan dengan serangannya itu, Barisan Warna-Warnipun segera bergerak mengiringinya, dan pada ketika yang sangat singkat dua barisan sakti bergerak secara otomatis seiring dengan bergeraknya kedua tokoh utamanya, Pangcu Thian Liong Pang dan Kiang Ceng Liong. Pertarungan antara kedua Barisan itu boleh dibilang kurang menarik meskipun cukup seru. Mengapa? Karena kedua Barisan itu bergerak secara otomatis, sementara titik serang di kedua Barisan relatif cukup besar.

Karena itu, pertempuran mereka nampak seru dan ramai dari luar, tetapi sebetulnya kekuatan utama kedua barisan tidak sanggup dikembangkan secara maksimal. Lain kata misalnya jika mereka melawan banyak orang yang tidak bertempur dalam barisan, atau melawan seorang sakti saja, maka kekuatan barisan-barisan tersebut akan sangat menonjol dengan daya tekan bersambung yang takkan ada putusnya.

Tidak berbeda dengan pertempuran yang paling membetot perhatian banyak orang, yakni antara Ceng Liong melawan Pangcu Thian Liong Pang. Begitu menyerang, Pangcu itu segera menggunakan Tan Ci Kong Im (Jari Sakti Hawa Dingin). Sebuah ilmu langka yang hebatnya ternyata mampu dikuasai dan dipergunakan secara sangat tepat oleh Pangcu Thian Liong Pang. Sejalur hawa dingin menusuk segera terarah ke sejumlah jalan darah ditubuh Ceng Liong yang segera terkesiap menyadari betapa ampuhnya lawan kali ini.

Seluruh jalan darah penting ditubuhnya dikejar oleh jalur tenaga sakti berhawa dingin untuk ditotok, entah dengan cara bagaimana Pangcu Thian Liong Pang melakukannya. Padahal, yang terlihat hanya hembusan lengannya yang dilakukan secara santai, tetapi efek serangannya sungguh sangat menggiriskan. Ceng Liong yang telah bertarung dengan hampir semua jago Thian Liong Pang segera menyadari bahwa Pangcu ini memang lain dari yang lain.

Dalam serangan awal saja, Ceng Liong telah menduga bahwa lawannya memang benar-benar sangat ampuh dan sakti mandraguna. Ilmu totok dengan hawa dingin seperti yang dihadapinya, baru sekarang dihadapinya dan dipergunakan oleh pihak Thian Liong Pang, dan Ceng Liong masih ingat pesan gurunya, bahwa Tan Ci Kong Im (Jari Sakti Hawa Dingin) adalah salah satu ilmu mujijat yang ampuh dan sudah lenyap dari peredaran dunia persilatan.

Padahal, Ceng Liong sendiri memang sedang merenung-renungkan dan merangkai ilmu sejenis yang bernama Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah). Pemahamannya atas jurus atau ilmu ini sendiri lebih banyak lahir dari pengembangan kekuatan tatapan matanya yang mampu melakukan totokan-totokan mematikan di jalan darah lawan. Karena inspirasi kekuatan matanya, serta melihat serta menyadari kekuatan ilmu jari sakti semisal Tan Ci Sim Thong maupun Kim Kong Ci dari Siauw Lim Sie, maka Ceng Liong pada waktu-waktu senggangnya mencoba merangkai ilmu totoknya sendiri.

Apalagi, ketika dengan kreatifitasnya dia ikut menyalurkan hawa yangkang yang diwariskan Kiong Siang Han kepadanya. Tidak disangka pada kesempatan melawan Pangcu Thian Liong Pang, dia diserang dengan ilmu sejenis dan dengan daya totok berhawa dingin yang sangat tajam. Muncul inspirasi dikepalanya untuk mencoba rangkaian ilmu telunjuk tersebut dengan terlebih dahulu melindungi dirinya dengan khikhang khas Lembah Pualam Hijau.

Beberapa kali jari telunjuknya bergerak-gerak dan meluncurlah selarik sinar yang meluncur bagaikan petir menyambar tetapi yang tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Bukan hanya penonton yang terbelalak, bahkan Pangcu Thian Liong Pang, Tek Hoat dan tokoh-tokoh muda lainnya yang berkepandaian tinggi terkejut melihat pameran kekuatan ilmu jari dari Pangcu Thian Liong Pang dan Kiang Ceng Liong.

Benturan hawa jari sakti berhawa dingin dengan telunjuk sakti berhawa keras dan panas mengeluarkan suara mendesis bagaikan es bertemu dengan panasnya air. Dan diantara Ceng Liong dan Pangcu Thian Liong Pang nampak kabut-kabut akibat benturan tenaga dingin dan panas dan masih beberapa kali terdnegar benturan dan suara desisan diantara keduanya.

”Inilah hebat, anak ini benar-benar ajaib. Bahkan Lembah Pualam Hijau tidak mengenal ilmu jariku dan juga tidak memiliki kekuatan jari panas matahari seperti miliknya. Darimana dia mempelajarinya”? Pangcu Thian Liong Pang sendiri terperanjat dengan pameran kekuatan yang ditunjukkan oleh Ceng Liong.

Padahal, Ceng Liong sendiri baru merangkai ilmu itu dan mencobanya saat itu pada kesempatan melihat Pangcu Thian Liong Pang menyerangnya dengan jalur dan deretan serangan jari sakti yang maha lihay dan langka itu.

”Hebat, sungguh hebat anak muda. Bahkan Tan Ci Kong Im yang sudah lenyap dan sangat menggetarkan itu masih mampu engkau imbangi .... mari, mari kita lanjutkan” desis Pangcu Thian Liong Pang dengan kekaguman dan kepenasaran yang tidak tersembunyikan.

Sementara itu, para tokoh Thian Liong Pang sendiri kaget, termasuk Hu Pangcu begitu mengetahui kalau Pangcunya sendiri telah melatih ilmu jari yang dikabarkan telah lenyap tersebut. Hu Pangcu tahu belaka, bahwa Pangcunya memang sangat berbakat dan terhitung sangat pintar dalam merangkai dan melatih ilmu-ilmu lihay. Termasuk beberapa ilmu andalannya, juga disempurnakan dan terus dikembangkan Pangcunya tersebut.

Tetapi, diapun kaget karena ternyata lawan muda Pangcunya, juga memiliki kecerdasan yang nampaknya sebanding. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa anak muda itu berkembang demikian pesat dan setiap berjumpa pasti menampilkan penampilan yang lebih hebat dan lebih laur biasa daripada sebelumnya. ”Sungguh sulit diterima akal” pikirnya kagum dan sekaligus dengki.

Sementara itu Pangcu Thian Liong Pang telah kembali menyerang Ceng Liong, kali ini dia kembali mengeluarkan kejutan bagi banyak orang ketika menyerang dengan Ilmu aneh. Ilmu tersebut dinamakan Kui In Sin Ciang (Pukulan sakti bayangan setan) dan orang akan sangat sulit menentukan mana pukulan yang sejati. Apalagi, karena ilmu itu sendiri sering digabungkan dengan kekuatan batin dan mata orang yang berkepandaian sudah tinggipun masih suka tertipu oleh pukulan ini. Ilmu Pukulan ini sendiri sudah dikabarkan lenyap.

Karena itu, Ceng Liong sendiri terkagum-kagum dan kaget meladeni atau diserang oleh ilmu langka yang entah bagaimana pada bermunculan di tangan Pangcu Thian Liong Pang. Untungnya, selain telah menyempurnakan ilmu ginkangnya Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), Ceng Liong juga telah mendalami ilmu-ilmu dalam lembaran khusus Kolomoto Ti Lou. Kemampuannya dalam bergerak boleh dikatakan telah mendekati atau nyaris menyatu dengan pikirannya. Apalagi ketika tahu bahwa terdapat unsur gaib dalam serangan Pangcu itu, maka Ceng Liong sendiri tidak berayal.

Itulah sebabnya, meski diserang oleh pukulan-pukulan ampuh dengan bayangan-bayangan pukulan yang cepat dan menyesatkan, tetapi Ceng Liong masih sanggup mengelak kesana kemari, meskipun tetap nampak kerepotan meladeni lawannya yang luar biasa itu. Para penontonpun sampai terbengong-bengong menyaksikan pameran kekuata dan keanehan Ilmu Pukulan Pagcu Thian Liong Pang. Mereka sukar memikirkan, bagaimana Pangcu itu melatih ilmu-ilmu rahasia dan langka yang bahkan telah dikabarkan punah itu?

Tetapi, entah disengaja atau tidak, Pangcu Thian Liong Pang yang menyerang dengan ilmu-ilmu aneh dan langka telah menyedot perhatian banyak orang. Bahkan Hu Pangcu yang awalnya akan memanfaatkan waktu dimana Ceng Liong dan Barisan 6 Pedang sedang sibuk untuk mengeroyok 4 pendekar muda lainnya menjadi lupa. Dia, sebagaimana tokoh-tokoh lihay lainnya, terlampau kesengsem dengan variasi ilmu pukulan ataupun ilmu-ilmu ampuh dan baru disaksikan. Penyakit ahli silat.

Dan Hu Pangcu yang menyebar siasat dan jala untuk menangkap lawan, jadi lupa dengan siasat sendiri. Sebaliknya, bersama dengan tokoh-tokoh Thian Liong Pang lainnya, bahkanpun Tek Hoat, Nenggala, Mei Lan dan Giok Lian, juga ikut tenggelam dengan asyiknya menganalisis jalannya pertarungan yang luar biasa hebatnya dihadapan mereka. Apalagi, karena baik Pangcu Thian Liong Pang maupun Ceng Liong memang banyak mengeluarkan ilmu-ilmu baru yang ampuh dan baru kali ini untuk pertama kalinya kembali dipergunakan di dunia persilatan Tionggoan.

Akibatnya, pertarungan Pangcu itu dengan Ceng Liong benar-benar menyedot perhatian semua orang, meski kewaspadaan di pihak Tek Hoat dan kawan-kawan tetap cukup tinggi. Yang pasti, Hu Pangcu dari Thian Liong Pang nampaknya juga terpikat, karena dia sendiri kaget Pangcu ternyata menyimpan banyak ilmu rahasia dan ampuh lainnya.

Maka pertempuran itupun berlangsung terus. Ketika Ceng Liong mencoba untuk melawan Pukulan Sakti Bayangan Setan itu dengan Giok Ceng Cap Sha Sin Ciang, dengan mudah perlawanannya dipatahkan. Lawannya seperti sangat mengenal gerak dan langkah ilmunya tersebut, dan hanya karena gerakan-gerakannya yang ajaib sajalah Ceng Liong mampu terus bertahan.

Bahkan ketika menggunakan Toa Hong Kiam Sut dan Soan Hong Sin Ciangpun, Ceng Liong hanya mampu menghalau serangan lawan sejenak. Tetapi, nampaknya intisari gerakannyapun tidak jauh dari pemahaman lawan yang nampaknya sangat mengenal ilmu-ilmu keluarganya. Begitupun, karena Ceng Liong sendiri telah melakukan sejumlah penggabungan dan juga menyempurnakan tata geraknya, maka dia mampu mengejutkan Pangcu Thian Liong Pang. Tetapi, tidak begitu lama Pangcu yang lihay itupun segera menemukan sari perubahan itu, dan kemudian dengan cepat kembali menindih gerakan-gerakan dan serangan Ceng Liong.

Serang menyerang dengan menggunakan ilmu-ilmu sakti antara keduanya tanpa terasa telah memasuki seratusan jurus, dan sejauh ini Ceng Liong tetap berada dalam posisi yang lebih banyak diserang, meskipun secara keseluruhan masih sulit untuk mengatakan bahwa dia dalam posisi yang terdesak. Tapi satu hal yang pasti, Ceng Liong memang kesulitan untuk melawan dengan ilmu-ilmu keluarganya, karena semua tipu dan gerakan ilmu keluarganya bisa dengan cepat diantisipasi lawan. Jikapun dia mengeluarkan tipu khas yang dibentuk dan diciptakannya, tidak butuh waktu lama bagi sang Pangcu untuk mengenali inti sarinya.

Untungnya Ceng Liong telah mematangkan ilmunya bersama Kolomoto Ti Lou dan bahkan tidak pernah lelah menggodok dirinya disaat-saat menjelang istirahat dan masa senggang lainnya. Jika tidak, maka Ceng Liong paham, dia masih bukan tandingan Pangcu Thian Liong Pang yang sangat lihay ini.

Setelah menghentak Ceng Liong dengan 2 ilmu langka dan bahkan telah dikabarkan hilang, dan membuat Ceng Liong sempat kerepotan menghadapinya, pertempuran selanjutnya jadi mengandalkan ilmu-ilmu pegangan keduanya. Tetapi, Ceng Liong sendiri jadi lebih banyak mengandalkan variasi-variasi ciptaannya terbaru karena ilmu-ilmu keluarganya nampak telah diantisipasi lawan. Ketika kemudian Pangcu Thian Liong Pang bersilat dengan Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut), Ceng Liongpun tidak ragu lagi untuk mulai mengimbangi.

Segera terasa, dari segi tenaga dalam serta kematangan, Pangcu ini memang masih jauh mengatasi Hu Pangcu. Apalagi, karena kekuatan gaib yang digunakan sang Pangcu membuatnya berkali-kali lebih hebat dibandingkan wakil ketuanya. Dan untuk itu, Ceng Liong segera menandingi dengan penuh rasa percaya diri atas kemampuan dan kesanggupan dirinya. Sementara itu, Hu Pangcu yang sebelumnya sempat terkaget-kaget melihat Pangcunya memainkan 2 ilmu rahasia yang dia sendiri belum tahu, kini mulai menemukan kembali konsentrasinya. Tiba-tiba dia sadar, sudah snagat banyak waktu terbuang dari rencananya semula untuk menyuruh Pangcunya menggempur Ceng Liong dan Barisan 6 Pedang.

Diedarkannya pandangan matanya, dan dia menemukan ke 4 pendekar muda masih tetap serius mengikuti pertarungan Ceng Liong dengan Pangcu Thian Liong Pang serta Barisan 6 Pedang melawan Barisan Warna-Warni. Dia segera memberi isyarat kepada beberapa kawannya yang segera sadar dan mengerti dengan isyarat yang merupakan tanda untuk memulai operasi yang mereka rencanakan.

Tetapi, Hu Pangcu keliru jika beranggapan para pendekar muda itu tidak waspada. Terutama Nenggala, sang tokoh muda yang telah matang dan kenyang dengan pengalaman mengembara. Gerakan sedikit saja dari Hu Pangcu tidak terlepas dari pengamatannya, dan ketika beberapa orang nampak seperti mengirim isyarat lewat suara dan ilmu menyampaikan suara, Nenggala telah meningkatkan kesiagaannya.

Meski benar, tatapannya tidak berkisar dari arena pertarungan Ceng Liong, tetapi kewaspadaan dan nalurinya terus menerus bekerja dan menangkap adanya missi lain yang sedang coba dilaksanakan Hu Pangcu. ”Benar-benar pertempuran besar akan segera pecah ditempat ini”. Beberapa saat kemudian, Nenggala segera membisiki kawan-kawannya untuk segera bersiaga. Dan, dengan cepat keempat pendekar muda itu telah bersiaga penuh meskipun masih tetap pura-pura berkonsentrasi memandangi arena pertempuran yang semakin menegangkan dan semakin seru antara Lembah Pualam Hijau melawan Thian Liong Pang.

Sejauh ini, masih tetap belum nampak tanda-tanda salah seorang dari para petarung akan tersisih atau terkalahkan. Pertempuran masih berlangsung menegangkan dengan dengan ilmu-ilmu yang semakin menggiriskan dan menandakan kalau keduanya sudah sangat mahir dengan ilmu masing-masing.

Tepat pada saat Hu Pangcu mau mulai bergerak tiba-tiba terdengar sebuah ledakan maha dahsyat ..............”blaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrr”

Di arena pertempuran Kiang Ceng Liong nampak mulai bersilat dengan Pek Lek Sin Jiu. Ketika Pangcu Thian Liong Pang mendesaknya dengan jurus ribuan tangan mengejar mangsa dari ilmu Siang Ciang Hoan Thian – Sepasang Tangan Membalik Langit, dan nampaknya dilambari dengan ilmu Kui In Sin Ciang (Pukulan sakti bayangan setan) yang membuat tangan-tangan penyerang Pangcu Thian Liong Pang susah diidentifikasi, Ceng Liong memutuskan memapaknya dengan jurus pertama ”Halilintar Membelah Angkasa”.

Dan memang jurus itu ampuh untuk memukul laksaan bayangan tangan menipu dari Pangcu Thian Liong Pang dan terpaksa harus mengadu pukulan antara keduanya. Dan akibatnya, baik Ceng Liong maupun Pangcu Thian Liong Pang nampak tergetar mundur masing-masing sejauh satu langkah. Tetapi, efek ledakan pada jurus pertama tadi telah mengguncangkan perasaan banyak orang, apalagi karena Ceng Liongpun telah menggunakan tenaga batinnya dalam mendorong kekuatan daya ledak pukulan tersebut. Tetapi hebatnya, kedahsyatan jurus serangan Ceng Liong masih sanggup ditahan secara berimbang oleh Pangcu Thian Liong Pang.

Ledakan dahsyat yang diakibatkan pukulan Ceng Liong, telah pula menarik kembali perhatian orang-orang Hu Pangcu, hingga untuk beberapa detik mereka tertahan ditempatnya. Bukan hanya karena kagum oleh dahsyatnya pukulan Ceng Liong, tetapi juga karena efek ledakan dengan kekuatan mujijat, membuat semangat mereka seakan-akan terbetot keluar. Otomatis mereka kembali menyaksikan jalannya pertempuran tersebut, bahkan juga termasuk Hu Pangcu Pertama yang juga kaget melihat dahsyatnya pukulan Ceng Liong.

Dan beberapa saat kemudian, adalah Ceng Liong yang mengambil alih inisiatif dan dengan kecepatan geraknya dia memerangkap lawan untuk kembali bertukar pukulan, kali ini Ceng Liong menggunakan jurus ke 4 Halilintar Bartalu-talu di Udara, karena dari ketinggian dia tiba-tiba mendorongkan kedua lengannya berganti-gantian. Otomatis sejumlah ledakan dahsyat kembali tercipta, sementara Pangcu Thian Liong Pang dengan cepat telah menyambut pukulan tersebut dengan menggunakan jurus paling ampuh dan rahasia dari Sian Ciang Hoan Thian yang disebut jurus ” Boan thian hoa yu (seluruh langit penuh dengan air hujan).

Jurus ini membuatnya mampu menguasai dan membekap serangan apapun yang berasal dari ketinggian dan bahkan setetes air hujanpun jangan harap sanggup menerobos kekuatan pukulannya tersebut. Tetapi, sebagai akibat dari bendungan yang dilakukan Pangcu Thian Liong Pang, kembali terdengar ledakan-ledakan yang malah lebih dahsyat lagi, karena selain ledakan petir dari Pek Lek Sin Jiu, kemudian juga terdengar ledakan lain akibat benturan kekuatan pukulan kedua tokoh sakti tersebut.

Akibatnya sungguh luar biasa, tubuh Ceng Liong tertahan dan kembali terpental keudara. Tetapi secepat itu juga dia memainkan jurus-jurus menyerang dari Toa Hong Kiam Sut dengan menggunakan hawa pedang yang tajam menusuk. Sementara Pangcu Thian Liong Pang menjadi sangat kagum oleh rangkaian serangan Ceng Liong yang menggunakan ilmu-ilmu hebat secara bergantian dalam menyerangnya.

Menghadapi ancaman dari Ceng Liong, kembali Pangcu Thian Liong Pang menunjukkan kesebatannya dan menyambut serangan-serangan Ceng Liong dengan jurus jari sakti berhawa dinginnya.

Sementara itu, Hu Pangcu yang niatnya kembali tertahan tanpa disadarinya segera mengatupkan giginya. Dia sadar, pertarungan kedua raksasa dunia persilatan yang tersaji dihadapannya mengandung kekuatan kekuatan mujijat yang mampu mempengaruhi pikiran dan bahkan keberanian orang. Karena itu, dengan mengeraskan hati, dia kemudian memberi isyarat untuk mengeroyok dan menyerang ke-4 pendekar muda lainnya.

Kali ini, dia memutuskan tidak lagi mengeroyok secara menggelap, tetapi langsung melakukan pengeroyokan agar masalah di Markas Besarnya bisa segera diatasi. Dan untuk itu, semua kekuatan yang masih tesisa, terutama-tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang dikerahkannya untuk dengan cepat menangkap jika bisa hidup-hidup, jika tidak matipun tidak apa-apa. Diiringi dengan teriakannya, tiba-tiba melesatlah semua tokoh-tokoh Thian Liong Pang yang masih tersisa untuk mengerubuti ke-4 anak muda lainnya.

Dengan terutama mengandalkan Mahendra dan Gayatri, Hu Pangcu Pertama dan Kedua serta Majikan Kerudung Hitam, dan masih ada lagi Janaswamy, Kim-i-Mo Ong, Koay Tung Sin Kay, Bouw Lek Couwsu, Ciu Lam Hok dan tokoh-tokoh lainnya, maka serbuan mereka ini sungguh sangat berbahaya. Betapapun hebatnya ke-4 anak muda itu, tetapi rasanya sulit menahan serbuah berbahaya itu.

Nenggala dan Mei Lan mungkin masih bisa menahan serangan Mahendra dan Gayatri, tetapi bagaimana dengan Majikan Kerudung Hitam dan Janawasmy melawan Tek Hoat dan Giok Lian? Bertarung satu lawan satu mereka masih bisa sedikit unggul, tetapi bagaimana jika mereka dibantu tokoh-tokoh lainnya? Padahal selain mereka berdua masih ada beberapa tokoh sakti lainnya yang juga tidak kurang lihaynya.

Menyadari hal tersebut, Ceng Liong menjadi berkhawatir. Tetapi repotnya, saat itulah dia dicecar habis oleh pukulan dan serangan-serangan Pangcu Thian Liong Pang. Sadar akan kekeliruannya, Ceng Liong memutuskan untuk bertarung dengan meningkatkan kemampuannya guna keluar dari tekanan dan kemudian mengembangkan jurus-jurus ampuh dari Pek Lek Sin Jiu. Hal itu dia lakukan karena sempat dia melirik pertempuran antara para tokoh Thian Liong Pang dan kawan-kawannya juga sudah dimulai. Khawatir dengan keselamatan teman-temannya Ceng Liong memutuskan untuk segera mengeluarkan ilmu-ilmu sakti andalannya.
 
2


Dalam rasa khawatir akan teman-temannya, Ceng Liong tanpa sadar telah menggunakan kekuatan mujijatnya yang tersalur dalam penggunaan Pek Lek Sin Jiu. Akibatnya, arena pertarungannya berubah menjadi arena ledakan dan letupan petir dan membuat para pengepung melonggarkan arena pertempuran dan lebih menjauh. Bahkan pertempuran antara Barisan 6 Pedang yang nampak sedikit unggul atas Barisan Warna Warni juga mengalami guncangan cukup berarti karena bertempur di dalam arena pengaruh pertempuran Ceng Liong melawan Pangcu Thian Liong Pang.

”Luar biasa, anak ini benar-benar mujijat” desis Pangcu Thian Liong Pang dalam hatinya. Tetapi, meskipun kagum, Pangcu inipun sudah tentu bukanlah orang sembarangan. Ilmu-ilmunya sekilas kelihatan tidak berbeda dengan Hu Pangcu Pertama, tetapi penguasaannya, variasinya dan dorongan tenaga dalam serta tenaga batinnya bukan main hebatnya.

Bahkan, dengan penguasaannya atas ilmu-ilmu aneh dan langka yang dikabarkan sudah lenyap, membuatnya menjadi sangat perkasa dan digdaya. Baru pada puncak kehebatan Ceng Liong sendiri, dengan menguras habis-habisan perbendaharaan ilmu-ilmu saktinya baru dia bisa melepaskan diri dari tekanan sang Pangcu dan kemudian mengimbangi dan terkadang sedikit mendesak. Tetapi hanya sampai sedemikian jauh.

Tiba-tiba di telinga Pagcu Thian Liong Pang terdengar seruan: ”Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari”, nama jurus ke-5 dari Pek Lek Sin Jiu yang luar biasa itu. Tetapi, hanya sang Pangcu yang mendengarkan seruan Ceng Liong tersebut, sementara orang2 sekitarnya sama sekali tidak mendengarkannya. Seiring dengan itu, arena pertarungan bagaikan neraka panasnya, sementara ledakan dan desisan petir menyambar kemana-mana.

Para tokoh Thian Liong Pang yang mengepung sampai menggeleng-gelengkan kepala melihat bagaimana Ceng Liong bersilat dan juga kagum dengannya meskipun Ceng Liong justru musuh mereka. Tetapi, kekaguman mereka kepada Pangcu mereka juga tak bisa disembunyikan. Dikarenakan sejauh itu, di tengah cecaran ilmu ajaib dan mujijat dari Ceng Liong, sang Pangcu masih tetap bertahan. Perlawanannya dan serangannya tetap kokoh dan membahayakan. Bahkan tubuhnya kadang seperti mengepulkan asap, kadang memercikkan percikan bunga es yang membuat arena tersebut menjadi lebih seram dan mengerikan.

Yang pasti, ketika Ceng Liong meningkatkan penggunaan jurus-jurus pamungkas dan maut dari Pek Lek Sin Jiu, Pangcu sendiri telah memutuskan mengimbanginya dengan ilmu sakti andalannya Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Sebetulnya Hu Pangcu Pertama juga mampu menggunakan ilmu ini, tetapi penguasaan dan penggunaan ilmu ini oleh sang Pangcu menjadi puluhan kali lebih tajam, lebih berbahaya dan jauh lebih menyeramkan.

Pukulan dan sentilan jarinya nampaknya menggabungkan ilmu-ilmu langka Kui In Sin Ciang (Pukulan sakti bayangan setan) dan Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah) kedalam ilmu Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Hu Pangcu tidak memiliki kedua ilmu tersebut. Karena itu, semua sentilan dan pukulan Pangcu Thian Liong Pang bagaikan setan dan nampak seperti ribuan telapak tangan yang memenuhi udara arena pertempuran.

Sementara amukan badai seperti prahara yang menyambut Pukulan Pek Lek Sin Jiu Kiang Ceng Liong diselingi oleh letupan-letupan dan kilatan jari sakti berhawa dingin yang juga balas mengancam ke sekujur jalan darah Ceng Liong. Akibatnya, benturan-benturan hebat tidak dapat dielakkan lagi. Beberapa kali terdengar benturan hebat pukulan antara keduanya, beberapa kali hanya terdengar sejenis suara desisan ketika sentilan-sentilan jari sakti berhawa dingin bertemu dengan tembok pukulan Pek Lek Sin Jiu yang berhawa panas membakar.

Entah darimana kadang pijaran cahaya diikuti oleh butiran-butiran bunga es yang menghambur dari arena pertempuran keduanya. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kedua tokoh ini dalam melangsungkan pertempuran yang sangat menegangkan tersebut.

Pertempuran keduanya telah mengkombinasikan penggunaan ilmu-ilmu dan jurus-jurus ampuh dengan penggunaan tenaga sinkang dan tenaga batin tingkat tinggi. Ketika Ceng Liong melihat hingga jurus ke-5, Sang Pangcu masih tetap mengimbanginya, dia memantapkan hati dan membuka jurus ke-6 ”Badai Petir Membelah Langit”. Dan kali ini, petir yang membadai mengejar kemanapun pergi dan menghindarnya Pangcu Thian Liong Pang.

Kedua tangan Ceng Liong berganti-ganti dalam kecepatan tinggi melontarkan pukulan-pukulan berat dengan kilatan petir menyambar setiap kali tangannya mengibas dan menghempas kearah lawan. Jarak keduanyapun menjadi semakin merenggang, dan dari jarak merenggang itu, orang paham bahwa keduanya kini memasuki fase menentukan dan mematikan karena semua pukulan, kibasan dan dorongan tangan bisa dipastikan dipenuhi oleh hawa sakti yang luar biasa kuatnya.

Dan, Pangcu Thian Liong Pang sendiri juga memapak ratusan kilatan petir yang menyerangnya dari angkasa tetap dengan kombinasi 2 ilmu sakti yang dipadukannya dengan ilmu sakti andalannya Pukulan Bumi Sakti Rahasia Alam. Secara otomatis, diapun banyak menggerakkan lengannya untuk mengibas dan melontarkan pukulan-pukulan dan sentilan untuk menahan arus serangan yang dilontarkan Ceng Liong kaearahnya.

Dan seperti sebelum-sebelumnya, kembali arena pertempuran dipenuhi oleh letupan dan dentuman akibat benturan dua kekuatan sakti. Dan seperti sebelumnya, Ceng Liong tidak sanggup menerobos kekuatan pertahanan lawan, meskipun sedikit keteteran, tetapi Pangcu Thian Liong Pang masih bertahan sangat tangguh dan nampak belum kewalahan menahan serangan Ceng Liong.

Sementara itu, pada saat Ceng Liong mulai mendesak dan menyerang sang Pangcu dengan Pek Lek Sin Jiu, disekitar 4 Pendekar Muda lainnya telah berdiri dalam sikap mengurung para tokoh Thian Liong Pang. Bahkan Hu Pangcu dengan terang-terangan mengutarakan niatnya:

”Setelah Duta Agung dan Barisan 6 Pedang dilibas Pangcu, nampaknya tiba saatnya kalian kami bereskan”

Tetapi, Tek Hoat masih tetap tidak kehilangan selera humornya:

”Hm, kenapa tidak sekalian semua maju dengan para anggota Thian Liong Pang agar pekerjaan kami tidak terlampau bertele-tele Hu Pangcu”?

”Hm, sombong, cukup dengan kami saja. Rasanya sudah lebih dari memadai untuk menjatuhkan dan menawan kalian” sela Majika Kerudung Hitam gusar.

”Wah, rupanya kehebatan Thian Liong Pang di pengeroyokan koko” Giok Lian menambahi dan memperkuat olok-olok Tek Hoat.

”Sudahlah, tidak usah meladeni silat lidah. Maju, kita tawan mereka terlebih dahulu” terdengar Hu Pangcu Pertama memberi perintah, sambil kemudian melirik kearah Mahendra dan Gayatri untuk maju terlebih dahulu.

Melihat lirikan itu, Mahendra dan Gayatri segera tersenyum dan kemudian maju memilih lawan mereka masing-masing. Gayatri memilih maju dan menyerang Nenggala sedangkan Mahendra memilih mendekati Mei Lan untuk maju menyerang guna menawannya. Dalam waktu singkat, pengepungan kembali menyibak untuk memberi arena yang cukup bagi 2 pertempuran baru di halaman markas utama Thian Liong Pang.

Tetapi, itupun tidak lama karena kemudian Janawasmy segera menyusul membuat arena baru dengan menyerang Siangkoan Giok Lian dan disusul dengan Majikan Kerudung Hitam menyerang Liang Tek Hoat. Maka menjadi ramai kembali halaman Markas Utama Thian Liong Pang dengan adanya 6 arena pertempuran, masing-masing Barisan 6 Pedang melawan Barisan Warna Warni, Kiang Ceng Liong melawan Pangcu Thian Liong Pang, Gayatri melawan Nenggala, Mahendra melawan Liang Mei Lan, Liang Tek Hoat melawan Majikan Kerudung Hitam dan Siangkoan Giok Lian melawan Janawasmy.

Semua arena menggambarkan pertempuran yang sangat jarang disaksikan di bumi persilatan Tionggoan karena memang para petarung adalah tokoh-tokoh mumpuni yang telah mencapai puncak pemahaman mereka atas ilmu silat. Karena itu, wajar jika semua penonton membelalakkan mata menyaksikan pertarungan langka tersebut.

Tetapi, Hu Pangcu sang arsitek dari Thian Liong Pang sudah tentu tidaklah ingin menyaksikan pertarungan itu berlangsung lama. Dia sadar betul, markas utamanya sudah terendus lawan dan bisa sewaktu-waktu banyak orang meluruk ke markas mereka. Karena itu, harus secepatnya menawan salah seorang tokoh di pihak lawan baru kemudian posisinya mereka menjadi jauh lebih nyaman dan terasa lebih lapang. Sekilas diperhatikannya arena pertarungan, dan dari sana dia bisa melakukan penilaian.

Pertarungan antar Barisan sudah jelas posisinya masih susah untuk disimpulkan meskipun Barisan 6 Pedang nampak lebh leluasa. Lagipula, mengalahkan Barisan 6 Pedang, selain sulit, tetapi juga tidak memiliki keuntungan strategis bagi Thian Liong Pang. Pertarungan kedua, dia menyaksikan Ceng Liong nampak semakin perkasa dari waktu ke waktu, meskipun Pangcu Thian Liong Pang tidak nampak kesulitan mengimbanginya.

Tetapi, mengusik pertarungan mereka nampak menggetarkan baginya, terutama karena keduanya telah bertarung pada puncak kemampuan dengan dorongan tenaga sinkang dan tenaga batin pada puncak masing-masing. Mencampurinya hanya akan mendatangkan celaka bagi tokoh sekelas dia, kecuali para sesepuh, ”pikir Hu Pangcu Pertama”. Sementara arena lainnya, arena Nenggala melawan Gayatri, ditemukannya betapa Gayatri nampak kesulitan untuk memenangkan pertempuran, meskipun masih belum terdesak.

Tetapi, jelas jika dilangsungkan dalam waktu lama, si nenek sakti bakal keteteran oleh daya tahan tubuh yang lebih ringkih dibandingkan lawannya. Apalagi, Nenggala karena menimbang situasi, tiba-tiba mulai melontarkan Ilmu Pedang tingkat tinggi yang diwarisinya dari Kakek Dewa Pedang, tokoh sepuh Thian San Pay pada ratusan tahun sebelumnya.

Padahal, Nenggala adalah satu2nya tokoh yang mampu memainkan ilmu mujijat dengan hawa pedang itu dewasa ini, dan baru mulai mengajarkannya kepada keturunan terakhir dari Thian San Pay. Dengan bersilat pedang tanpa pedang, dan dengan mengandalkan hawa pedang yang telah dilatihnya dengan sempurna, Nenggala mulai menempukan keseimbangan dan bahkan kemudian mulai bisa menguasai keadaan.

Sementara Mahendra melawan Mei Lan, nampak bagi Hu Pangcu sepertinya Mahendra tidak akan sanggup mengejar sang gadis yang seperti mampu terbang dengan gerakan-gerakan ginkang yang nampak tidak masuk diakal. Mei Lan seperti sedang mengerjai Mahendra yang mengejar-ngejar bayangannya tanpa sanggup mendekatinya. Bahkan, ketika Mahendra berusaha mempengaruhi Mei Lan dengan ilmu sihirnya, juga tidaklah menghasilkan apa-apa, karena Mei Lan juga telah memiliki kekuatan batin yang sangat kuat.

Bahkan dengan menggunakan Ban Hud Ciang dan menggunakan jurus Laksaan Bayangan Budha Menyerang, membuat Mahendra keteteran dan Ilmu Sihirnya seperti membal tidak bermanfaat sama sekali. Tidak, Mahendra nampaknya juga akan kesulitan untuk menang. Membantu salah satu dari 2 tokoh utama ini sangat riskan, satu belum tentu menang dan menangkap salah satu dari 2 tokoh itu. Kedua, bahaya dimarahi kedua tokoh tua itu juga membayang jika dia masuk campur dalam pertarungan itu. Karenanya Hu Pangcu memutuskan untuk tidak mencampuri pertempuran tersebut.

Beralih ke pertarungan antara Janawasmy melawan Giok Lian, diapun melihat Giok Lian masih menang di atas angin meskipun perbedaannya tipis sekali. Jika pertarungan keduanya dilanjutkan, untuk memenangkan pertempuran bakal dibutuhkan waktu yang sangat lama. Tetapi, Hu Pangcu justru kagum melihat bagaimana Toat Beng Ci dengan sangat tajam dan lihay dimainkan Giok Lian dan memaksa Janawasmy untuk meliuk-liuk seperti ular mementahkan dan memunahkan serangan berbahaya sang gadis lawannya.

Pertempuran mereka masih akan memakan waktu yang sangat lama, karena betapapun dia juga mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian Janawasmy yang dilatih banyak datuk hebat asal Negeri Thian Tok tersebut. Diapun melihat bagaimana serangan-serangan maut digelar oleh Giok Lian, terkadang bahkan berhawa sesat, tetapi lebih sering menggunakan kekuatan-kekuatan sinkang khas Bengkauw yang cukup dikenalnya. Pertarungan yang tidak kurang serunya. Sementara pertarungan antara Tek Hoat melawan Majikan Kerudung Hitam nyaris sama dengan Giok Lian melawan Janawasmy, nampak seimbang dan bakal butuh waktu yang sangat lama untuk menentukan pemenang pertempuran keduanya.

Tek Hoat yang bertarung gagah berani dan memainkan ilmu-ilmu simpanan tokoh Kaypang, Kiong Siang Han ditandingi secara hebat oleh Majikan Kerudung Hitam. Disini, nampak jelas bagaimana ilmu-ilmu nadalan Kaypang dan Lam Hay dimainkan kembali oleh tokoh-tokoh yang menguasasinya dengan sangat sempurna dan sangat baik. Hebatnya lagi, keduanya masih snagat muda, tetapi telah mencapai tingkat penguasaan yang begitu baik dan sempurna. Mengingatkan tokoh-tokoh lama dari kedua Partay yang malang melintang di dunia persilatan dengan bekal kepandaian yang luar biasa.

Inilah sebuah partai pertarungan klasik di dunia persilatan Tionggoan. Tenaga dan kelincahan mereka nampak berimbang dan hanya berselisih sangat sedikit saja, dan karena itu pertempuran keduanya pasti memakan waktu yang cukup lama. Jikapun Tek Hoat menang, lebih karena menang tangguh dan murni saja, karena Majikan Kerudung Hitam nampaknya sudah mencampur ilmunya dengan unsur-unsur lain yang terkesan asing.

Tentu saja, Hu Pangcu lebih memikirkan untuk membekuk Tek Hoat dan Giok Lian terlebih dahulu. Dia enggan dan segan untuk mencampuri pertempuran Gayatri dan Mahendra yang tinggi hati dan dari angkatan tua, angkatan mereka masih di atas angkatan dirinya sendiri. Sementara Janawasmy dan Majikan Kerudung Hitam masih angkatan muda yang tentunya masih bisa dicampurinya.

Selain itu jika Tek Hoat dan Giok Lian yang bertarung seimbang dengan lawannnya, bisa lebih mudah ditekan dan dikalahkan jika tokoh Thian Liong Pang membantu Majikan Kerudung Hitam dan Janawasmy. Dan, pertimbangan serta kematangan Hu Pangcu dalam memperhitungkan banyak hal memang sangatlah tepat.

Dia memilih mencampuri pertempuran Tek Hoat dan Giok Lian karena memang arena mereka lebih mudah dikuasai dengan menambah kekuatan sedikit saja. Sementara untuk mengalahkan Ceng Liong jelas bukan perkara mudah, nyaris sulit menemukan tokoh yang memiliki kemampuan memasuki arena pertempuran mereka saat ini. Sementara mencampuri Gayatri dan Mahendra juga beresiko tinggi. Dari semua sudut pilihannya memang tepat. Tetapi, sayang ada dua hal yang dilupakan oleh Hu Pangcu, dan dua hal itu yang pada akhirnya membuat dia kecele.

Prediksi dan perhitungannya sudah tepat. Yakni memanfaatkan keunggulan jumlah untuk menekan lawan. Sayang, dia lupa bahwa dia sudah termakan siasat lawan yang mengulur waktu, dan diapun alpa karena sempat terpikat untuk mengikuti pertempuran dahsyat antara Pangcunya melawan Ceng Liong. Pertempuran yang memang sayang untuk dilewatkan begitu saja saking seru dan saking hebatnya ilmu-ilmu kesaktian yang dipamerkan keduanya.

Tetapi, waktu yang cukup lama ini terhitung sangat menguntungkan Ceng Liong dan kawan-kawannya. Selain itu, Hu Pangcu juga tidak mampu memperhitungkan faktor lain, faktor kebetulan ataupun faktor X yang mungkin saja terjadi di luar perhitungan manusia, sehebat apapun manusia itu. Dan itulah yang membuat perhitungan masak Hu Pangcu akhirnya berantakan.

Tepat ketika Hu Pangcu menurunkan perintah untuk menyerang, beberapa kejadian hebat terjadi dalam waktu yang tidak berjauhan. Pertama ketika Kiang Ceng Liong kembali menggetarkan jurus ke-7 Pek Lek Sin Jiu bernama ”Sejuta Halilitar Merontokkan Mega”. Sebelumnya, jurus ini adalah jurus pamungkas bagi Kiong Siang Han. Pek Lek Sin Jiu adalah sejenis Ilmu Keras, sangat keras malah, karena merupakan salah satu puncak ilmu yangkang, yang seperti juga Hang Liong Sip Pat Ciang, harus dimainkan sebagai sebuah rangkaian ilmu.

Kedua ilmu khas Kiong Siang Han itu, dimainkan berangkai dengan kemungkinan perubahan setiap jurus yang sangat minimal. Karena memang variasinya minimal dan mudah ditebak. Tetapi, kehebatan ilmu itu ada dalam sifat yang sangat kuat dan keras, dan kehebatan ini hanya bisa diterbitkan secara luar biasa oleh seorang yang sejak masa mudanya masih tetap ”perjaka”. Itu sebabnya perbawa luar biasa ilmu ini, memang berpuncak pada Kiong Siang Han seorang.

Sementara Ceng Liong, sebagaimana diketahui telah kehilangan keperjakaannya secara tidak sengaja, dan bahkan tanpa disadarinya. Tetapi, untuk mengisi kekurangannya itu, Ceng Liong telah menggabungkan banyak sekali variasi baru dari kekuatan sinkang keluarganya, pendalamannya atas rangkaian ilmu mujijat Kolomoto Ti Lou, serta menggunakan kekuatan inti yang disalurkan kakeknya kepadanya dan bahkan kemudian ”dimasaknya” menurut catatan pendalaman sinkang dari lembaran pusaka yang diperebutkan.

Selain itu, Ceng Liong juga telah mampu meramu efek kehebatan lainnya sebagaimana Kiong Siang Han melakukannya pada 20 tahun terakhir masa hidupnya, yakni unsur kekuatan batin yang kuat.

Maka bisa dibayangkan, kehebatan Ceng Liong sendiri bukan lagi olah-olah, meskipun berbeda perbawanya dengan yang biasa dilakukan Kiong Siang Han. Bahkan, Ceng Liong sendiri masih giris dan ngeri untuk mempergunakan jurus pamungkas yang pada masa hidup Kiong Siang Han tidak diijinkan untuk dikuasainya. Baru pada generasi Ceng Liong dan Tek Hoat baru jurus ke-8 itu bisa diyakinkan sesuai sumpah Kiong Siang Han ketika menemukan catatan ilmu pusaka Pek Lek Sin Jiu.

Dan ledakan yang ditimbulkan oleh Ceng Liong itu benar benar mengguntur dan bergemuruh, bahkan bumi seperti bergoyang goyang atau bagaikan sedang gempa. Sampai-sampai seorang semacam Hu Pangcu yang lihaypun sampai berdiri oleng oleh ledakan yang ditimbulkan Ceng Liong, dan ngerinya hal tersebut terjadi berkali-kali karena Ceng Liong menggunakan ilmu tersebut untuk mengejar Pangcu Thian Liong Pang yang masih mengandalkan ilmu andalannya yakni Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam).

Dan dia memang berhasil, hanya dengan puncak penggunaan lmu itulah Pangcu Thian Liong Pang sanggup melayani Ceng Liong, itupun dengan beberapa bagian bajunya yang nampak seperti hangus terbakar, sementara Ceng Liong tubuhnya dihiasi oleh bunga-bunga ataupun butiran es. Keduanya tidak atau belum terluka, karena tubuh keduanya memang terlindungi oleh kuatnya khikhang pelindung tubuh mereka yang memang sangat ampuh.

Ketika benturan terakhir terjadi dan pada saat keduanya kembali mempersiapkan diri memasuki tahapan yang lebih mengerikan lagi, keduanya sedikit tertahan. Ceng Liong menahan diri karena dia harus mengerahkan dan mempersiapkan jurus pamungkas, jurus ke delapan ”Halilintar Meledak Bumi Melepuh”. Dan sempat ada sesuatu yang membuat Ceng Liong mengernyit yakni karena lambaran sinkang lawan seperti tidak asing lagi bagi dirinya. Tetapi, dia menekan dan tidak berusaha memikirkannya lebih jauh lagi.

Dia akhirnya coba konsentrasi pada jurus terakhir yang dia sendiri ngeri mempergunakannya, jurus yang baru pertama kali dipraktekkannya. Itupun dengan harus ditahan oleh dua manusia ajaib Tionggoan, Kiong Siang Han yang mengajarinya ilmu itu dengan gurunya atau kakek buyutnya Kiang Sin Liong. Lebih ngeri lagi, karena setelah memahamkan banyak pengertian baru dari Kolomoto Ti Lou, dia telah membuka beberapa rahasia inti penguasaan ilmu gaib atau tenaga batin dan menguatkan sinkangnya.

Bagaimana jika sekarang dia menggunakan jurus pamungkas itu? Bagaimana kira-kira efeknya? Ini yang mengkhawatirkan Kiang Ceng Liong. Tetapi, nampaknya dia tidak punya pilihan lain selain harus mengerahkannya, karena setelah itupun dia nampaknya akan terpaksa membuka ilmu pamungkas lainnya, warisan kakeknya atau gurunya Kiang Sin Liong.

Sementara di pihak lain, karena jarak keduanya telah semakin menjauh, Pangcu Thian Liong Pang sendiri telah mempersiapkan ilmu pamungkasnya Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah). Dan dalam saat-saat terakhir, dia memang terpaksa membuka dan mengerahkan sinkang khas yang dipelajarinya sejak masa kecilnya. Dia terpaksa atau dipaksa untuk mengeluarkannya karena memang kondisi dan keadaan telah memaksa dia berdiri pada sudut yang terlampau sempit tanpa ada pilihan lain lagi.

Dan itu telah dilakukannya. Tetapi, sekali lagi dan seterusnya nampaknya harus dia lakukan untuk mempertahankan dirinya ataupun untuk membuatnya tidak kalah dari lawan yang masih muda itu. Ilmunya yang terakhir disadarinya sangat mujijat, tetapi tetap harus dikeluarkannya. Ilmu yang telah diyakinkannya dengan memadukan sinkang khasnya dengan ilmu-ilmu rahasia dan membuat pukulannya dari jarak jauh atau semakin jauh akan semakin ampuh dan semakin mematikan. Apalagi, karena diapun telah tiba pada puncak pemahaman ilmu pamungkasnya berdasarkan penggunaan kekuatan sinkang dan kekuatan batin sekaligus.

Dia ragu, apakah anak muda itu akan sanggup menerimanya. Anehnya dia tidak tahu bahwa hal dan pikiran yang sama juga timbul di benak Ceng Liong. Betapapun, meski tidak saling tahu, dan berdiri berseberangan, tetapi keduanya saling mengagumi kehebatan lawan masing-masing. Ceng Liong merasa inilah lawan terhebat yang pernah dilawannya dan memaksanya untuk mengeluarkan semua perbendaharaan ilmunya selama ini.

Dan, jika tidak dimatangkan kakeknya dan terakhir Kolomoto Ti Lou, dia ragu apakah sanggup dan mampu mengahadapi Pangcu Thian Liong Pang ini. Sementara sang Pangcu, juga memiliki pikiran yang sama. Inilah lawan muda pertama yang membuatnya menguras semua ilmu ilmu mujijat dan rahasia yang dikuasainya. Selama ini, nyaris tidak ada orang di Thian Liong Pang yang tahu sampai dimana kehebatan Pangcu ini, bahkan juga beberapa tokoh rahasia lainnya yang mengendap di Thian Liong Pang hanya menduga-duga semata.

Hal inilah yang membuat Hu Pangcu pertama terbelalak begitu mengetahui betapa jauh beda tingkat kepandaiannya sendiri dengan pangcunya. Dia tidak menyangka jika Pangcunya masih menyimpan demikian banyak ilmu kesaktian yang sangat ampuh dan belum sekalipun diajarkan kepadanya.

Dan, ketika pada akhirnya keduanya siap untuk mengeluarkan ilmu ilmu pamungkas, juga pada saat Hu Pangcu bersiap terjun melakukan pengeroyokan, kejadian kedua yang diluar sangkaan dan perhitungannya terjadi. Tiba-tiba melayang 2 sosok tubuh yang begitu ringan dan bagaikan bayangan saja daya geraknya, terutama sosok yang lebih langsing. Keduanya berdiri atau tepatnya hinggap tepat diantara Ceng Liong dan Pangcu Thian Liong Pang.

Dan kemudian terdengar suara berwibawa dari seorang tua, karena kedua tokoh yang datang memang sudah tua, dan nampaknya yang seorang lagi adalah seorang nikoh atau pendeta perempuan. Adalah yang laki-laki yang kemudian berkata dengan suara berat dan berwibawa:

”Liong Jie, tahan”

Dan ketika melihat siapa yang berdiri di antara dirinya dengan Pangcu Thian Liong Pang, Ceng Liong tersentak kaget. Tidak salah lagi, yang berdiri disana adalah 2 orang yang sangat dihormatinya dan sangat mengasihinya. Orang-orang yang selama ini mengasihinya dan yang selama ini membebankan banyak sekali tugas kepundaknya dan selalu membantunya: Kakeknya sendiri, Kiang Cun Le dan Neneknya Kiang In Hong atau yang kini dikenal sebagai Lion-i-Sin Ni yang juga menjadi salah satu guru Liang Mei Lan.

”Kakek, Nenek” Ceng Liong maju dan memberi hormat kepada kedua orang tua sakti itu. Tetapi, dia heran karena melihat seri wajah mereka yang sangat berprihatin dan nampaknya mereka sedang dalam percakapan khusus dengan Pangcu Thian Liong Pang, tetapi sayangnya dia tidak sempat dan tidak bisa mengikuti percakapan itu. Adalah Kiang In Hong atau Liong-i-Sin Ni yang kemudian menyapanya dan berkata:

”Liong Jie bangunlah, Engkau harus tahu untuk apa engkau melakukan tugasmu disini. Engkau harus paham alasan selengkapnya, dan juga mesti mengetahui kepada siapa engkau melakukannya, dan apa manfaatnya bagi Lembah kita”

”Liong Jie menunggu perintah nenek dan kakek”

”Hm, sebentar kita membicarakannya cucuku. Kita harus melihat keadaan yang lain” Ujar Liong-i-Sin Ni sambil memandang ke arena lain. Arena yang menjadi lebih ramai ketika Hu Pangcu Pertama dan beberapa tokoh puncak Thian Liong Pang ikut menceburkan diri dalam pertempuran mengeroyok para pendekar muda lainnya.

Begitu melihat kemunculan Kiang Cun Le dan Kiang In Hong, Hu Pangcu menjadi tersentak dan sadar, siasatnya bakal mentah. Karena itu, dia dengan cepat memberi isyarat untuk segera menangkap sandera. Sayangnya, kembali ada kejadian yang menyusul yang membuat perkiraan dan siasatnya menjadi mentah. Karena pada saat mereka menceburkan diri kedalam arena itu, tiba-tiba terdengar bentakan lain:

”Curang, Thian Liong Pang memang pantas dibasmi”

Dan bersamaan dengan suara itu, dua sosok tubuh melayang melampaui para pengepung yang rata-rata anak buah Thian Liong Pang dan ikut bertempur di pihak Tek Hoat dan Giok Lian. Siapakah mereka? Melihat bentuk tubuh dan wajah yang sama, serta gerakan khas yang juga mirip, mudah ditebak mereka adalah Siauw Lim Siang Eng Taihiap atau Sepasang Pendekar kembar dari Siauw Lim Sie: Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.

Seperti biasa, adalah Souw Kwi Song yang mengeluarkan suara tadi sebelum kemudian terjun bertempur melawan Hu Pangcu Pertama dan Hu Pangcu Ketiga serta tokoh Thian Liong Pang lainnya. Dan Souw Kwi Beng, seperti biasanya tidak banyak bicara, tetapi kaki tangannya telah bicara banyak menghalau gempuran lawan-lawan yang melakukan pengeroyokan.

Pada akhirnya, Ceng Liong dan Liong-i-Sin Ni yang hendak membantu Tek Hoat dan Giok Lian kehilangan musuh. Sekilas mereka menyaksikan, bahwa ber-empat, Giok Lian, Tek Hoat, Kwi Song dan Kwi Beng akan sanggup menahan keroyokan tokoh-tokoh Thian Liong Pang. Apalagi ketika beberapa saat kemudian muncul pula tokoh-tokoh utama para pendekar lainnya: Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan.

Dan itu berarti, Markas Utama Thian Liong Pang lengkap sudah diterobos oleh kaum pendekar. Mudah ditebak, dengan masuk tanpa halangan, tampaknya para tokoh ini menerobos melalui petunjuk Thio Su Kiat, Duta Hukum Lembah Pualam Hijau. Dan bertutur-turut, muncul pula Topeng Setan dari Lembah Pualam Hijau dan datang bertiga dengan Kiang Hong dan Tan Bi Hiong suami istri, disusul kemudian oleh tokoh-tokoh lainnya dari Bu Tong Pay, Siauw Lim Siel, Thian San Pay, dan masih banyak lagi.

Sementara para jago lainnya nampaknya belum muncul dan kemungkinan besar melalui jalan normal yang dipagari oleh kekuatan batin. Tetapi, setelah diterobos hingga kedalam, apalagi dengan kemunculan Cun Le dan In Hong, kemungkinan besar pagar kawat tenaga batin itupun sudah bobol.

Dan bobolnya itu menandai rusaknya penjagaan khas markas utama dan sebentar lagi ratusan pendekar lainnya yang memiliki missi membinasakan Thian Liong Pang akan meluruk tiba. Nampaknya siasat Hu Pangcu Pertama sudah gagal total dan peretempuran terakhir sudah berada di depan mata.

Adapun Ceng Liong begitu melihat meluruk datangnya para tokoh pendekar itu akhirnya menarik nafas panjang. Betapapun, usahanya untuk menahan dan mengulur waktu termasuk bertarung dengan Pangcu Thian Liong Pang pada akhirnya membuahkan hasil juga. Kini markas utama Thian Liong Pang sudah bukan arena yang mengkhawatirkannya lagi. Tugasnya yang selanjutnya tinggal menuntaskan tugas yang sudah begitu lama diembannya.

Tetapi, setelah melihat semua tokoh itu pada berdatangan, termasuk melihat kedatangan ayah dan ibunya, semangatnya bangun kembali. Tetapi, belum lagi dia beranjak menemui ayak dan ibunya serta para tokoh lainnya, lengannya sudah digenggam Kiang In Hong neneknya:

”Liong Jie, engkau perlu memulihkan kekuatanmu. Karena bagian terakhir dari kekisruhan ini membutuhkan tindakan tegas seorang Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Lakukanlah, biarlah untuk sementara ini nenekmu yang melindungimu dan kakekmu itu yang akan menemani Pangcu Thian Liong Pang”

Ceng Liong menatap neneknya dan tiba-tiba dia sadar, sudah sejak berjam-jam sebelumnya dia menguras tenaga dan belum sekalipun beristirahat. Dan, baru terasa, bahwa benturan-benturan dengan Pangcu Thian Liong Pang mendatangkan keletihan yang sangat dalam dirinya. Karena itu, dalam penjagaan neneknya akhirnya dia mengangguk:

”Baiklah Nek”

”Tenangkan hatimu, pusatkan kekuatan Giok Ceng Sin Kang, dengan tingkatmu yang sekarang, sebentar saja engkau akan pulih. Nenekmu akan berjaga disini” bisik Kiang In Hong
 
Tidak lama waktu yang dibutuhkan Ceng Liong untuk memulihkan dirinya. Pertama, karena kekuatan iweekangnya saat ini sudah berada pada tataran pu :x ncak kesempurnaannya, hingga proses pemulihan tidak makan waktu lama. Kedua, karena tenaga dalam khas Lembah Pualam Hijau yang menjadi dasar dan landasan kokoh tenaga dalam Ceng Liong mengandung daya penyembuh sendiri. Ketiga, Ceng Liong mampu memusatkan perhatian dan konsentrasinya secara tenang karena paham benar siapa neneknya yang menjaganya waktu itu, Liong-i-sin nie.

Karena alasan-alasan tersebut, maka tidak lama waktu pemulihan yang dibutuhkan Ceng Liong untuk bugar kembali. Ketika dia menyelesaikan proses penyembuhan dan proses pemulihan kekuatannya, tak lama Ceng Liong kemudian membuka matanya dan menemukan neneknya, Liong-i-Sin nie hanya memandang matanya sekilas dan seperti mengajaknya untuk mengikuti ”drama” yang sedang berlangsung didepan matanya.

Ketegangan melingkupi Pangcu Thian Liong Pang yang berhadapan dengan Kiang Cun Le, sementara pada posisi segi tiga ada Kiang Ceng Liong yang jaraknya ke Pangcu Thian Liong Pang terhalang oleh Liong-i-Sin nie. Dan nampaknya, sebagaimana Ceng Liong, Pangcu Thian Liong Pang juga tidak lagi nampak keletihan.

Meskipun hiruk pikuk pertempuran terdengar dimana-mana didalam markas Thian Liong Pang tersebut, tetapi ke-4 orang sakti itu, masing-masing Kiang Ceng Liong, Kiang Cun Le, Liong-i-Sin nie dan Pangcu Thian Liong Pang nampak semua seperti membungkam. Diam yang sama sekali tidak menggambarkan ketenangan dan kedamaian, karena mereka masing-masing seperti tenggelam dalam sebuah persoalan yang serius.

Tegasnya, diam yang sebenarnya berisikan ketegangan yang mencekam. Ceng Liong sendiri kebingungan, apalagi ketika melihat wajah kakeknya yang sangat serius, sementara dibalik kerudungnya, Pangcu Thian Liong Pang juga nampak tidak kalah seriusnya. Adalah Liong-i-Sin nie yang seperti tidak terpengaruh kesenyapan yang aneh di tengah riuh rendah pertempuran hidup mati para pahlawan dengan gerombolan Thian Liong Pang.

Namun satu hal yang pasti, pertempuran seru itu nampaknya akan menentukan nasib Thian Liong Pang. Hal ini nampak dari kondisi Hu Pangcu Pertama yang sesekali menengok ke markas besarnya seperti sedang menantikan sesuatu yang lama dia tunggu tapi tidak muncul-muncul juga.

Sementara itu, tidak lama setelah Ceng Liong menyelesaikan semedhinya, dan masih belum menyadari tindakan apa yang akan diambilnya, tiba-tiba di samping kiri dan kanan Pangcu Thian Liong Pang telah berdiri Mahendra dan Gayatri. Keduanya meninggalkan lawan masing-masing dan segera mengawal Pangcu Thian Liong Pang setelah melihat di arena pertempuran telah bertambah dengan 2 orang tua yang mereka kenali sebagai musuh lama mereka.

Kedatangan Mahendra dan Gayatri menjadi bermakna banyak. Disatu sisi, arena yang mereka tinggalkan menjadi semakin tak menguntungkan bagi kawanan Thian Liong Pang. Hanya mereka berdua yang sebenarnya mampu dan sanggup untuk menahan serbuan para pendekar yang dipelopori para pendekar muda dan bahkan sudah ditambah kekuatannya dengan kedatangan Topeng Setan serta juga Kiang Hong dan istrinya serta beberapa tokoh perguruan besar lainnya.

Tetapi disisi lain, nampak jika kemudian ketenangan Thian Liong Pancu seperti sedikit terurai dan berkurang. Dia seperti menemukan kembali wibawa dan ketenangannya sebagai seorang ketua dengan kemunculan Mahendra dan Gayatri di sampingnya. Tetapi, begitupun, kegelisahan tidaklah mampu dihalaunya, entah kegelisahan apa. Untungnya, dia bersembunyi dibalik topengnya, meskipun gerak-gerik gelisah mampu dibaca orang-orang disekitarnya.

Hal yang pasti hanya dia seorang yang mengerti. Sementara baik Kiang Cun Le, Liong-i-Sin nie dan Kiang Ceng Liong, tidak merasa takut dengan kedatangan kedua tokoh tua itu. Tetapi, Kiang Cun Le meski tidak khawatir tetapi merasa terganggu dengan kedatangan mereka. Entah apa sebabnya, dia merasa jauh lebih baik menyelesaikan langsung urusan dengan Thian Liong Pangcu tanpa gangguan orang-orang lain.

”Hmmmm, apakah engkau masih hendak bersembunyi dibalik orang-orang seperti ini”? Pertanyaan seperti bukan pertanyaan, dan nampaknya hanya seorang Pangcu Thian Liong Pang yang mengerti maksud pertanyaan yang seperti gumaman yang keluar dari mulut Kiang Cun Le.

”Apa maksudmu setan tua .....?” Cela Mahendra sambil tertawa dengan nada meringkik yang tidak mengenakkan hati. Tetapi, kembali Kiang Cun Le berkata seperti gumaman dan hanya orang tertentu yang mengerti maksud dari gumaman tersebut. Liong-i-Sinnie nampak maklum, tetapi Kiang Ceng Liong menjadi semakin tenggelam dalam keraguan, meski kecurigaan besar juga melingkupi dirinya. ”Ada apa gerangan dengan kakek”? Dan apa makna dari semua kekisruhan ini”?

”Biarlah mereka yang tahu mengerti dan paham dengan sendirinya. Selagi masih ada waktu tentu masih tetap akan ada jalan” demikian gumam Kakek Kiang Cun Le. Nampak jelas jika pernyataan-pernyataannya seperti menyepelekan pertanyaan dan bahkan kehadiran Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri. Sementara itu, kepala Thian Liong Pangcu nampak bergetar-getar, seperti sedang menahan gejolak hatinya. Tetapi, karena terhalang oleh kain kerudung diwajahnya, maka tak seorangpun yang paham apa dan bagaimana reaksinya yang sesungguhnya.

Begitupun, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinnie nampak ada sedikit seri kegembiraan melihat kondisi Thian Liong Pangcu yang menunjukkan reaksi tadi. Tak pelak lagi, Ceng Liongpun menyadari, bahwa sepertinya ada hubungan rahasia antara kakek dan neneknya dengan Pangcu Thian Liong Pay yang sangat lihay ini. Entah apa.

Betapapun bodohnya, Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri pada akhirnya sedikit curiga melihat gaya komunikasi Kakek Kiang Cun Le. Meksi tidak menujukan langsung kalimatnya kepada Thian Liong Pangcu, tetapi reaksi sang Pangcu menunjukkan ada maksud apa-apa dibalik kalimat-kalimat yang tidak mereka pahami maknanya tersebut. Sayangnya, mereka sedikitpun tidak mengerti, apa sebenarnya yang sedang dikomunikasikan Kakek Kiang Cun Le kepada Pangcu tersebut.

Yang pasti, kalimat-kalimatnya membuat reaksi sang Pangcu terkesan mengejutkan keduanya. Nampaknya ada hubungan khusus atau hubungan tertentu antara sang pangcu dengan Kakek Kiang Cun Le, dan bahkan juga dengan Liong-i-Sinnie. Tetapi hubungan macam apakah itu? Ini yang membuat keduanya menjadi curiga. Hal yang membuat Nenek Gayatri menjadi tidak sabar dan kemudian berkata:

”Pangcu, apakah perlu bantuan kami”?

”Hmmmmmmm .......” Hanya deheman tidak jelas yang keluar dari mulut Pangcu Thian Liong Pang, selebihnya adalah keheningan. Tetapi, siapapun diantara keenam orang itu paham, bahwa Pangcu tersebut sedang dilanda kebingungan dan kegamangan yang kurang dimengerti.

”Siancai ......... siancai, selalu ada jalan, selalu ada jalan. Jika memang telah melihatnya, adalah keliru jika tidak mengarah jalan itu” Kalau ini adalah Nenek Liong-i-Sinnie yang bergumam. Gumaman yang nampaknya hanya beberapa orang, hanya Pangcu Thian Liong Pang, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinnie yang mengerti.

Tetapi Kiang Ceng Liong menjadi semakin curiga, siapa sebenarnya Pangcu yang hebat ini? Mengapa dia bisa memainkan dan menahan kekuatan iweekangnya dengan dasar yang kurang lebih sama dengannya? Adakah benar dia menggunakan atau mendasarkan iweekangnya seperti dasar iweekangnya sendiri yang khas dari Lembah Pualam Hijau?.
Dan adalah Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri yang semakin bingung, karena sekali lagi

kepala Pangcu mereka bergetar. Mereka memang tidak mengenal siapa Pangcu tersebut, hanya tahu betapa dahsyat kekuatan orang yang sejak mereka kenal dan lihat memang selalu mengenakan kerudung dan hanya satu dua orang saja yang mengenal si pangcu secara pribadi.

Tetapi, selain reaksi bergetarnya kepala sang pangcu, tiada lagi reaksi lain, juga tak ada sahutan darinya. Sementara Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri berkali-kali memandang sang Pangcu berganti-ganti dengan Nenek Liong-i-Sinnie dan Kakek Kiang Cun Le. Padahal, baik Kiang Cun Le maupun Liong-i-Sinnie tidak memandang langsung kepada Thian Liong Pangcu, tetapi gumaman mereka jelas terarah ke orang itu.

”Pedang dan Medali Naga Hijau telah menunjukkan diri ...... pewarisnyapun telah tampil. Jika masih mungkin kembali, jika masih melihat jalan itu, maka jauh lebih baik bertindak arif. Jika tidak, tiada jalan lain. Benang tipis yang masih tersambung akan putus oleh keputusan sang pewaris ....... Dan luka itu akan tertoreh dalam, sakit dan lama dirasakan semua” Kakek Kiang Cun Le kembali bergumam, dan kali ini sambil memandang ke angkasa.

Seperti juga Nenek Liong-i-Sinnie yang menyetujui kalimat itu, tetapi kemudian sambil dalam sikap memuji kebesaran Sang Budha ........ .... Tetapi tiada reaksi dari Sang Pangcu setelah beberapa saat. Ketika Kakek Mahendra ingin mengatakan sesuatu, Sang Pangcu mengangkat tangannya seperti meminta Mahendra untuk diam tidak bersuara. Wibawa yang terkandung dalamnya memang luar biasa, sampai kakek Mahendrapun akhirnya menahan diri untuk tidak
mengatakan suatu apapun.

Setelah itu, Thian Liong Pangcu nampak diam, tetapi bukan diam yang sebenarnya, karena dia seperti sedang berdialog dengan Kiang Cun Le tanpa diketahui oleh Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri. Meski keduanya sanggup mendengar orang yang bercakap menggunakan Ilmu penyampai suara, tetapi kali ini mereka kecele, karena mereka tak mampu mendeteksi gelombang suara Pangcu mereka.

Dan nampaknya hanya Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinnie yang mampu endengarkannya. Sementara Kiang Ceng Liong sendiri tenggelam dalam lamuman dan kecurigaannya sehingga tidak mengikuti percakapan rahasia Pangcu itu dengan kakek dan neneknya.

Percakapan yang tidak lama. Tetapi, nampaknya sudah diputuskan. Dengan wajah penuh kesedihan namun menunjukkan ketegasannya, Kiang Cun Le menoleh kepada Liong-i-Sinnie. Nenek Liong-i-Sinnie yang juga dipenuhi rasa yang sama dengan Kakek Kiang Cun Le, menganggukkan kepalanya kepada Kakek Kiang Cun Le. Bagai memperoleh kembali ketenangan dan ketegasannya Kiang Cun Le kemudian setelah menoleh sekali lagi kepada Pangcu Thian Liong Pang, akhirnya kemudian menarik nafas panjang. Setelah hening beberapa saat dia kemudian memanggil Kiang Ceng Liong:

”Liong Jie .....”

”Liong Jie disini kakek ......”

”Kakekmu terikat sumpah dan janji dengan seseorang, tetapi engkau bebas. Selain itu, hanya engkau yang bebas dan berkemampuan melawannya sekarang ini. Kini lakukanlah tugasmu sebagai Majikan Lembah Pualam Hijau dan sebagai seorang pendekar untuk bertindak atas Thian Liong Pang. Ingat, tindakan tegas dan berbudi sangat diperlukan. Lakukanlah .......” setelah berkata demikian, Kiang Cun Le bersama Liong-i-Sinnie menepi dan membuat Kiang Ceng Liong kembali berhadapan secara langsung dengan Pangcu Thian Liong Pang.

”Kakek ......” Kiang Ceng Liong menatap sejenak kepada kakek dan neneknya, tetapi keduanya hanya menganggukkan kepala. Menegaskan maksud Ceng Liong yang akan menempur Pangcu Thian Liong Pang. Dan pada akhirnya adalah Liong-i-Sinnie yang kemudian berbisik lirih seakan menguatkan apa tindakan yang harus segera diambilnya:

”Atas nama rimba persilatan, lupakan hubungan lainnya dan tuntutlah keadilan atas Thian Liong Pang dan Pangcunya. Bertindaklah atas nama keadilan sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau .....”

”Baik Nek .......” sahut Ceng Liong sambil kembali maju kedepan tepat berhadapan dengan Pangcu Thian Liong Pang. Ada beberapa saat dia seperti menyaksikan kegamangan dalam sikap sang Pangcu, tetapi beberapa saat kemudian, sikapnya yang tegih dan kokoh kembali menonjol. Harus diakui, tokoh yang menjadi Pangcu Thioan Liong Pang ini memang sungguh tokoh unggul. Dan beberapa saat kemudian Ceng Liongpun berkata:

“Pangcu, mari kita selesaikan persengketaan ini”

Sang Pangcu tetap tegak dan kokoh dalam diamnya. Jika bukan tokoh aliran hitam, maka sikap dan perbawa Pangcu ini sungguhlah amat agung dan penuh wibawa. Karena terus dalam diamnyaakhirnya adalah Gayatri yang kemudian menegurnya perlahan:
“Pangcu, apa tindakan kita selanjutnya”?

Pertanyaan yang menyentakkan kembali sang Pangcu yang kemudian nampak menemukan dirinya kembali. Tetapi, kini dia kembali berhadapan dengan Ceng Liong yang telah siap, sangat siap malah untuk segera menuntaskan sengketa antara mereka yang telah berlarut-larut.

Masih ada beberapa saat Pangcu Thian Liong Pang tidak menyahuti baik tantangan Ceng Liong maupun pertanyaan Gayatri. Bila Ceng Liong maklum apa yang sedang dilakukan sang pangcu, adalah Gayatri dan Mahendra yang nampak tegang. Baik karena menunggu sikap sang pangcu, maupun karena posisi Thian Liong Pang dalam pertempuran semakin lama semakin tidak menentu.

Karena meski mereka menang banyak, tetapi rata-rata para penyerang adalah kelompok pendekar yang berkepandaian tinggi. Apalagi, karena barisan-barisan warna-warni yang dibentuk terbentur dengan barisan sakti lainnya milik Lembah Pualam Hijau. Sementara tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang, juga telah dihadapi oleh tokoh-tokoh tangguh dari kalangan pendekar.

Disana ada Kiang Hong dan istrinya, Ciu Sian Sin Kay, ada Topeng Setan dan belum lagi para tokoh pergerakan kaum pendekar yang kini sudah bergabung. Padahal, masih ada tokoh-tokoh ampuh lainnya yang kini bahkan tidak banyak bergerak lagi, seperti Nenggala, Tek Hoat, Mei Lan, Giok Lian dan kedua pendekar kembar asal Siauw Lim Sie.

Lama-kelamaan, Gayatri maupun Mahendra menjadi curiga. Diamnya sang pangcu nampaknya karena sedang berkomunikasi dengan kedua lawan tuanya, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie. Ketika bercuriga itulah mereka kemudian mencoba menjajaki percakapan tingkat “tinggi” antara Kiang Cun Le dengan Pangcu mereka.

Tetapi sayangnya, tepat mereka menyadari kealpaan mereka mengikuti percakapan tersebut, baik Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie maupun sang pangcu telah menuntaskan komunikasi mereka. Cun Le nampak seperti manggut-manggut, demikian halnya Liong-i-Sin Nie. Selanjutnya Sin Nie memandang Ceng Liong yang nampaknya tidak mengikuti percakapan terakhir antara kakek dan neneknya dengan sang Pangcu.

Karena sebelumnya dia memang sudah menyiapkan diri untuk memasuki pertempuran terakhir dengan Pangcu Thian Liong Pang. Ketika dia melihat neneknya bereaksi, meski heran, tetapi dia melihat isyarat untuk melakukan “aksi” menyerang dan menyelesaikan urusan dengan Thian Liong Pang. Apalagi, dia kini melihat Sang Pangcu sudah kembali melakukan persiapan melakukan pertempuran.

Tetapi, masih belum sempat pertempuran Ceng Liong dengan Pangcu Thian Liong Pang berlangsung kembali, teriakan-teriakan dan perintah menyerbu kembali terdengar. Nampaknya, rombongan kaum pendekar yang terakhir, yang dikawal oleh pahlawan Lo Han Tin dari Siauw Lim Sie telah memasuki arena pertarungan dan langsung terjun menyerang kawanan Thian Liong Pang.

Maka lengkaplah sudah pertarungan hadap-berhadapan antara para pendekar dengan gerombolan Thian Liong Pang yang telah mengacau sejak beberapa waktu belakangan. Dengan meluruknya seluruh kekuatan penyerang para pendekar, ditandai dengan masuknya rombongan paling belakang yang dikawal Lo Han Tin, maka semua kekuatan penyerang telah bertemu dengan kekuatan Thian Liong Pang yang kini dalam posisi mempertahankan markasnya.

Tetapi, dengan telah hadirnya semua tokoh terkemuka kaum pendekar, bahkan termasuk rombongan Kiang Hong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang dahulunya ditahan kelompok Thian Liong Pang, apakah mungkin Thian Liong Pang sanggup bertahan?
Hu Pangcu Pertama yang sejak tadi was-was dan nampaknya seperti sedang “menunggu” kekuatan lain, akhir-akhirnya nampak kesal. Dia ditandingi oleh para pendekar muda dan diburu terus menerus oleh Mei Lan.

Untungnya, kerumunan demikian banyak orang membuat Hu Pangcu Pertama menyelinap kesana kemari dengan menjadikan anak buahnya sebagai tameng. Tetapi Mei Lan tidak kenal putus asa, dia terus mengejar Hu Pangcu Pertama kemanapun perginya, dan Hu Pangcu pertama akhirnya mengarahkan kakinya ke arah Pangcunya yang sedang dihadapi oleh Ceng Liong.

Di tempat lain, pertarungan satu lawan satu masih terjadi antara Tek Hoat melawan Majikan Kerudung Hitam. Jika sebelumnya Tek Hoat hanya unggul tipis karena kemurnian ilmu kepandaiannya, maka kini dengan diterobosnya markas utama thian Liong Pang membuat Majikan Kerudung Hitam menjadi sangat murka dan kehilangan konsentrasi akibat marah, cemas dan ingin cepat menang.

Tetapi Tek Hoat yang menyadari lawan adalah tokoh penting Thian Liong Pang, dengan segera mencecar Majikan Kerudung Hitam yang segera jatuh kedalam kesulitan besar. Tek Hoat kini mengejar-ngejar Majikan kerudung Hitam dengan menggunakan ilmu Pek Lek Sin Jiu yang mengeluarkan suara menggelegar itu.

Sementara Majikan Kerudung Hitam, karena kalah secara psikologis, apalagi mendengar secara langsung banyaknya anak buah mereka yang terluka dan binasa, menjadi kecil hati. Semangat tempurnya sudah merosot jauh, tetapi dia tetap berusaha untuk bertahan meladeni semua serangan Tek Hoat. Tetapi dia terjerumus kedalam kesulitan yang sulit diatasinya.

Di arena lain, Janawasmy, tokoh muda asal India, juga kini dicecar dan dikejar terus oleh Giok Lian. Kondisinya persis sama dengan Majikan Kerudung Hitam, dengan selisih kepandaian yang tipis dengan lawan, kondisi psikologis sangat menentukan jalannya pertarungan.
Dan kini, Janawasmy yang ngeri dengan semakin banyak korban jatuh di pihaknya, menjadi keteteran menghadapi amuk serangan Giok Lian yang bertubi-tubi. Diapun jatuh di bawah angin, dan kelicikannya yang ditiru dari Hu Pangcu Pertama, adalah sering menggunakan anak buah Thian Liong Pang menjadi tameng serangan Giok Lian.

Dengan cara itulah perlahan-lahan Janawasmy menggeser langkahnya ke arah Pangcu Thian Liong Pang, karena disana dia melihat Hu Pangcu Pertama mengarah dan juga berdiri dua tokoh hebat dari India, Mahendra dan Gayatri.

Tokoh-tokoh lain dari Thian Liong Pang bahkan beberapa sudah tak ketahuan nasibnya. Tokoh seperti Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay sudah lenyap entah kemana, sementara Bouw Lek Couwsu nampak sudah bergabung dengan Mahendra dan Gayatri berkumpul bersama dengan Pangcu Thian Liong Pang.

Bahkan Ciu Lam Hok dan tokoh-tokoh lain, juga sudah bergabung disana, berkumpul di belakang Pangcu Thian Liong Pang dan membiarkan anak buah mereka perlahan-lahan mengorbankan diri dan berkurang secara drastis jumlahnya. Jikapun ada yang bertahan meski dalam kondisi yang terdesak, tinggal Majikan Kerudung Hitam yang yang dicecar habis-habisan oleh Tek Hoat, bahkan nampak lengan jubahnya sudah hitam tanda hangus terkena efek pukulan Pek Lek Sin jiu yang mujijat itu.

Tetapi, betapapun patut dipuji kekerasan hati dari Majikan Kerudung Hitam yang meski terdesak hebat tetapi tetap terus bertarung mempertahankan dirinya. Dan untungnya, tak ada seorangpun tokoh dari para pendekar yang berusaha membantu tek Hoat membekuk Majikan Kerudung Hitam.

Sebaliknya, justru ketika Majikan Kerudung Hitam semakin terjepit, tiba-tiba ada seseorang yang melejit dan memapak pukulan berat berisi dari Tek Hoat. Dan meskipun pukulan tersebut berat berisi, tetapi orang yang memapak serangan Tek Hoat tidak terpukul mundur, meski Tek Hoat sendiri tidak mengalami kerugian. Dan ketika melihat siapa yang menahan pukulannya Tek Hoat berseru:

“Sin Nie, kenapa”?

Tek Hoat kaget karena yang memapak pukulan terakhirnya adalah Kiang In Hong atau Liong-i-Sin Nie. Dan hebatnya, nenek sakti atau nikouw sakti itu tidak terpental oleh pukulannya yang sebetulnya berisi kekuatan hebat itu.

“Tenanglah nak ..... biarlah kita menyelesaikan urusan ini langsung dengan Pangcu Thian Liong Pang”

“Tapi, tapi dia ......”

“Dia juga manusia seperti kita”

“Huh, aku tidak membutuhkan bantuanmu”, tiba-tiba terdengar suara dingin yang bukannya berterima kasih, tetapi justru sinis dengan bantuan Sin Nie, suara dari Majikan Kerudung Hitam yang setelah mengeluarkan suara tak tahu terima kasih itu telah melejit dan tak lama kemudian telah berkumpul bersama dengan rombongannya di belakang Pangcu Thian Liong Pang.

Tek Hoat masih bingung dengan bantuan Sin Nie terhadap Majikan Kerudung Hitam. Padahal Liong-i-Sin Nie sendiri memiliki lebih banyak lagi alasan untuk membantu majikan Kerudung Hitam, tanpa tek Hoat mengerti sama sekali. Tetapi, Tek Hoat mencoba menyadari bahwa Sin Nie melakukan itu karena kewelas asihannya, tidak lebih dan tidak kurang. Apa memang benar demikian? Sin Nie tahu benar dalam hatinya bahwa alasannya lebih dari sekedar soal itu. Tetapi karena memang harus dilakukannya. Harus.

Dan pada akhirnya, pertempuran menjadi sporadis. Karena kini, bahkan pertarungan antara Barisan Warna Warni dengan Barisan 6 Pedang, juga telah terhenti. Barisan Warna Warni yang telah terdesak hebat pada akhirnya membuyarkan diri. Selain itu, Kiang ceng Liong juga meminta Barisan 6 Pedang berhenti atas permintaan Kiang Cun Le, kakeknya.

Barisan 6 Pedang nampak bingung, karena di hadapan mereka berdiri 2 mantan Majikan Lembah Pualam hijau atau Duta Agung (Kiang Cun Le dan Kiang Hong) dan seorang Duta Agung, Kiang ceng Liong. Karena adalah tugas utama mereka adalah mengawal Duta Agung, otomatis mereka mengenal baik ketiga Dutan Agung lembah pualam hijau itu.

Sementara pertempuran lain antara anak buah Thian Liong Pang dengan para pendekar tinggal terjadi di tempat-tempat yang agak jauh dari rombongan Pangcu Thian Liong Pang yang berdiri berhadapan dengan Kiang Ceng Liong dan rombongannya. Teriakan-teriakan pertempuran sudah jauh berkurang dan korban yang jatuhpun tinggal sedikit, sementara korban tewas maupun terluka berserakan dimana-mana di halaman markas utama Thian Liong Pang.

Tidak usah dikalkulasi, dari segi jumlah nampaknya anak buah Thian Liong Pang banyak yang menjadi korban. Posisi yang boleh dikata sebagai posisi kekalahan bagi Thian Liong Pang karena terjadi persis di markas besar mereka.

Selain jalan rahasia sudah diterobos, perintang kekuatan magic untuk memasuki markas, juga telah dipatahkan lawan. Sementara korban yang jatuh di markas mereka, juga jauh lebih banyak dibandingkan para pendekar. Masih adakah indikasi lain untuk menyimpulkan mereka terpukul dan dalam posisi saat itu memang mengalami kekalahan?

Dan kini, setelah menyelamatkan majikan Kerudung Hitam, Lion-i-Si Nie telah kembali berdiri bersama Kiang Cun Le. Dia menganggukkan kepala kepada Kiang Cun Le dan kemudian Kiang Cun Le memandang sekilas kearah Pangcu Thian Liong Pang bersamaan dengan masuk dan bergabungnya Majikan Kerudung Hitam dengan rombongan di belakang Pangcu Thian Liong Pang.

Liang Mei Lan sempat menyongsong Liong-i-Sin Nie dan dengan hormat menyapa:
"Subo ....."
"Lan Jie ...... " sambil memandang gadis itu dengan sorot lembut.
"Subo, baik-baik sajakah"?
"Tentu Lan Jie, baiklah kita melihat bagaimana kelanjutan pertempuran ini" berkata Sin nie sambil mengalihkan pandangan ke dua rombongan terdepan.

Dan sebagaimana kesepakatan, rombongan para pendekar dipimpin oleh Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa gila. Dan demikianlah, setelah memeriksa kondisi lawan dan hasil pertempuran, kini Sian Eng Cu berjalan mendekati kedua kelompok yang hadir saling berhadapan.

Dia maju ke depan berdiri berjajar dengan Kiang Ceng Liong yang sebetulnya sudah lama berdiri berhadap-hadapan dengan sang pangcu dan bahkan sudah sempat bertempur. Dan tidak lama kemudian, bergabung pula Pengemis Tawa Gila yang diawali dengan “tawa gila” yang memang menjadi ciri khasnya.

Mereka berdualah yang kemudian berdiri menghadapi Pangcu Thian Liong Pang dengan didukung penuh dalam jajaran yang sama oleh Kiang Ceng Liong dan sejumlah pendekar muda lainnya. Kali ini semua pendekar muda sakti itu kembali berkumpul: Kiang Ceng Liong, Liang tek Hoat, Liang Mei Lan, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song serta Siangkoan giok Lian.
Mereka semua memang mempercayakan Kiang Ceng Liong untuk menjadi pemimpin mereka berenam, meskipun pemimpin seluruh pendekar telah dialihkan kepada Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila.

Dan kini, nampaknya situasi telah berada di puncak kulminasi, saat dimana semua perhitungan akan dan harus diselesaikan. Bagaimana kedua kelompok yang bagai api dan air itu menyelesaikannya? Dan apa pula drama dibalik pertikaian besar dunia persilatan itu? Siapa-siapa yang ditunggu Pangcu dan Hu Pangcu Thian Liong Pang? Akankah mereka muncul ataukah tidak? Bagaimana pula akhir dari cerita ini di Bagian II nya? Ikuti episode terakhirnya, episode 25 di Kisah Para Naga Bagian II.
 
BAB 25 Akhir Teror Thian Liong Pang
1 Akhir Teror Thian Liong Pang



Suasana menegangkan semakin terasa. Anehnya, meski saling buru sekian lama, ketika berdiri berhadapan, justru nyaris tiada kata-kata yang terlontarkan. Kedua barisan atau kelompok orang itu berdiri berhadapan dengan sejuta tatap mata yang menyiratkan ketegangan, kecemasan, ketakutan serta sejumlah perasaan lain yang pastinya tidaklah biasa.

Benar, Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila telah berdiri berhadapan dengan pentolan Thian Liong Pang. Lama, cukup lama mereka menebak-nebak siapa gerangan sang pangcu, dan kali ini mereka telah berdiri berhadap-hadapan.

Tak nyana, masih juga tak leluasa mereka untuk melihat dan mengenali sang pangcu. Pangcu yang misterius dan bersikap begitu agung dan berwibawa sekalipun kini dalam posisi terdesak, nampak masih tetap misterius dan tidak menunjukkan gelagat “orang kalah”. Tidak sama sekali.

Di seberang sana, dia mengimbangi kegagahan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila dalam diamnya yang misterius dan dengan pandangan serta sorot mata yang menyiratkan pertanggungjawaban dirinya atas semua rombongannya. Berdiri dihadapan semua anggotanya, termasuk didepan Hu Pangcu Pertama dan seluruh tokoh besar Thian Liong Pang, dia menampilkan dirinya secara gagah.

Dia menempatkan diri sebagai pemimpin dan nampak mencoba untuk menegakkan posisi mereka yang tengah kusut dalam adu ketenangan dalam kesenyapan di tengah ketegangan yang menyelimuti kedua kubu yang sewaktu-waktu pecah menjadi pertempuran menentukan.

Begitulah, beberapa waktu telah berlalu. Ketegangan tetap melingkupi, tetapi masih belum ada kata dan perintah satupun meluncur dari para pengambil keputusan. Seakan-akan masing-masing paham, siapa yang bergerak lebih dahulu bakal menanggung kerugian besar. Tetapi, sudah barang tentu kondisi diam dalam ketegangan seperti itu tidak akan berlangsung seterusnya. Sesungguhnya, hanya sedetik waktu yang dibutuhkan untuk meletupkan semua ketegangan yang memuncak selama tahun-tahun belakangan ini.

Perseteruan panjang, melelahkan dan mematikan itu, kini berada di penghujung yang menentukan. Siapa yang akan tersenyum dan siapa yang buntung akan segera ketahuan. Tetapi, siapa yang akan memicu dan memulai gendang terakhir, masih belum ada yang memutuskan.

Tetapi, Pangcu Thian Liong Pang boleh tabah, kokoh dan teguh dalam menghadapi situasi sulit. Hanya, belum tentu demikian dengan Hu Pangcu Pertama. Dan apalagi, Majikan Kerudung Hitam yang biasanya sangat mengagulkan kepandaian sendiri, tetapi barusan tunggang-langgang dikejar pukulan-pukulan maut Tek Hoat.

Melihat Pangcunya tetap dalam diam, tetap mengadu “kesabaran” dan “mental” menghadapi kalangan pendekar, adalah Hu Pangcu Pertama dan Majikan Kerudung Hitam yang seperti kebakaran jenggot. Mudah ditebak, dalam waktu yang tidak akan lama ketegangan itu akan segera berubah akibat ulah salah satu dari kedua orang ini.

Apalagi, tingkat “ketakutan” mereka terhadap Pangcu Thian Liong Pang nampaknya berbeda dengan tokoh serta anggota Thian Liong Pang lainnya. Mereka lebih berani, lebih memiliki nyali untuk mengatakan pendapat ataupun sikap kepada sang pangcu, berbeda dengan anggota lain yang relatif segan dan takut kepada tokoh itu.

Ada berapa lama kedua orang itu kasak-kusuk. Nampaknya mereka secara serius mendiskusikan apa yang akan segera mereka lakukan dan bagaimana melakukan hal tersebut. Dan tak berapa lama, keduanya manggut-manggut. Dan, sekaranglah saatnya ........ Hu Pangcu Pertama segera maju selangkah hingga jadi lebih dekat dengan Pangcunya, dan kemudian berkata:

“Pangcu ........”

Sekali berkata tetap tidak ada respons dari sang Pangcu yang masih tetap dalam posisi saling pandang dengan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila. Melihat kondisi tersebut, Hu Pangcu Pertama nampak sedikit gelisah dan ada rasa “marah” terbersit dari wajah dan tindakannya. Dia segera menyusul dengan panggilannya yang kedua ....

“Pangcu ....... kita harus ......”

Sayang, belum selesai kalimat Hu Pangcu Pertama, tiba-tiba terdengar alunan suara yang terasa tidak menyenangkan bagi telinga. Bahkan Hu Pangcu Pertama sendiri, kira-kira 30 puluhan detik setelah kalimatnya terputus, merasakan sesuatu seperti mengaduk jiwanya. Tetapi, bukannya takut dan gelisah, justru Hu Pangcu Pertama nampak tersenyum ........

Alunan suara tersebut naik turun dalam nada tinggi dan rendah secara cepat dan tidak menarik buat telinga manusia. Lebih hebat lagi, alunan suara itu sulit dipastikan dilepaskan oleh seorang laki-laki ataukah perempuan. Yang pasti, tempat yang dipenuhi ratusan, bahkan mungkin ribuan jika dihitung dengan mereka yang terkapar mati dan terluka, terperosok dalam lingkaran pengaruh suara yang tidak mengenakkan telinga tersebut.

Tetapi jangan salah, alunan suara tersebut memberi efek berbeda bagi kedua kelompok yang sedang berhadapan dalam ketegangan memuncak. Bagi kelompok pertama, yakni kelompok Thian Liong Pang, mereka hanya kebagian menikmati sumbang dan jeleknya suara tersebut diringi dengan ketukan jantung yang menjadi tak beraturan, berdebar-debar tak keruan.

Hanya demikian saja, efek negatifnya nyaris tidak terasa dan tidak merusak mereka, kecuali bagi mereka terutama yang berilmu paling rendah. Mereka akhirnya terperosok dalam ingatan-ingatan yang menyedihkan.

Tetapi, berbeda seruatus delapan puluh derajat dengan yang dialami kelompok para pendekar. Sekitar tempat mereka berdiri seperti berubah menjadi arena mengerikan yang dipenuhi sorakan-sorakan dan teriakan-teriakan setan dan sewaktu-waktu merebut nyawa mereka. Adalah kasihan mereka yang berilmu paling cetek, karena dalam waktu tidak lama sebagian dari mereka telah berguling-guling di tanah dengan berusaha menutup telinganya dan dengan ekspressi wajah ketakutan dan mata melotot.

Hampir sebagian rombongan pendekar, terutama mereka yang secara sukarela mengikuti rombongan pendekar menumpas Thian Liong Pang, sudah terkapar dengan mata melotot dan wajah ketakutan sambil menutupi telinga masing-masing dengan kedua belah tangan. Untungnya, ketika keadaan nampaknya bakal menjadi lebih parah, saat ketika Kiang Cun Le, Kiang Ceng Liong dan Liong-i-Sin Nie nampak sudah akan bertindak, tiba-tiba terdengar alunan suara lainnya.

Alunan suara yang dilepaskan untuk memuji kebesaran Budha .......

“Amitabha, siancay-siancay ............”

Meskipun kalimat pujian itu pendek di eja, tetapi panjang terdengar. Bahkan tak lama kemudian, terjadi pertarungan antara suara sumbang dengan suara pujian kepada Budha. Bersamaan dengan itu, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie nampak bersiul berbareng, tetapi bukannya menandingi pertarungan suara tadi, sebaliknya lebih ditujukan kepada kelompok para pendekar yang nampaknya seperti “dirasuki” sesuatu.

Untungnya, kedua tokoh tua sakti itu membekal iweekang murni berdaya penyembuh dari Lembah Pualam Hijau. Dan lontaran tenaga dalam melalui suara, yang hebatnya juga telah dicapai oleh kedua orang sakti itu, mampu menarik kembali sukma para pendekar yang terbuai oleh suara sumbang sebelumnya. Jika terlambat, maka sukma mereka yang terbetot akan sulit ditarik kembali.

Kali ini, pertarungan antara suara sumbang dengan pujian kepada Budha yang sedang terjadi, kini meski tidak lagi mampu menyerang kelompok pendekar, tetapi melahirkan keadaan yang tetap menggidikkan hati. Bagi sebagian besar manusia yang terkumpul disekitar arena pertarungan “istimewa” dan unik tersebut, alam semesta seperti sedang bergelora.

Halilintar dan petir serta angin ribut seperti sedang bertiup kencang, meski silih berganti dengan bersinarnya “terang Budha” yang meniup semua peristiwa alam mengerikan itu. Kedua suara yang ternyata berisikan kekuatan “sihir” yang luar biasa kuat tersebut berganti-ganti mempengaruhi banyak orang.

Meskipun demikian suara sumbang itu tidak lagi memiliki daya rusak dan daya serang terhadap kelompok sasaran tertentu. Begitupun, masih sanggup mempengaruhi kesadaran orang-orang yang berada dalam lingkaran pengaruh pertarungan antara suara tersebut.

Tetapi, sehebat apapun suara sumbang itu menerjang, tetap saja lilitan suara yang mengalun lembut dan berwibawa dalam bentuk pujian kepada Budha itu tetap mampu mengikatnya. Itulah sebabnya orang-orang terpengaruh dan terpesona dengan kejadian yang berganti-ganti dengan sangat cepat antara kekuatan hitam yang menghadirkan prahara dengan kekuatan putih yang menghadirkan rasa tenang dan tentram.

Tetapi, bukanlah berarti suara sumbang itu telah kalah. Karena kekuatan kedua suara itu masih tetap sama garang dan sama kokohnya dan sama sekali belum mampu untuk saling mengalahkan dan saling menundukkan. Hal positifnya bagi para pendekar adalah, suara sumbang itu tidak lagi mampu menyerang kesadaran dan kekuatan mental mereka.

Apalagi karena lontaran kekuatan suara Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie telah membantu dan menguatkan kekuatan batin mereka.

Anehnya, meskipun pertarungan suara tersebut tetap seru dan sama kuatnya, Pangcu Thian Liong Pang masih tetap berdiam diri. Nampaknya, dia sama sekali tidak terkejut dengan benturan dua kekuatan suara yang maha hebat itu, dan memang dia sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang sednag berbenturan tersebut.

Dia masih tetap berdiri di depan anak buahnya, anak murid Thian Liong Pang. Sementara Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, meski sedikit sempat goyah ketika diterjang suara tadi, tetapi tak lama kemudian menemukan keseimbangan diri mereka. Dan kembali berdiri berhadapan secara kokoh dengan Pangcu Thian Liong Pang.

Kiang Ceng Liong juga tidak goyah oleh pertarungan suara tersebut, apalagi karena dia sudah memiliki kemampuan untuk bertarung secara demikian. Bahkan, dia sempat akan mencoba membantu kakek dan neneknya tadi, tetapi dicegah kakeknya untuk menjaga kondisi dalam pertempuran kedepan yang bakal menguras tenaga.

Para pendekar mudah, Liang Mei Lan, Liang Tek Hoat, Siangkoan Giok Lian dan kedua pendekar kembar she Souw, juga tidak bergeming oleh pertarungan suara itu. Karena merekapun telah mampu mencapai penggunaan suara untuk menyerang dengan dorongan kekuatan batin mereka.

Sementara Hu Pangcu dan Majikan Kerudung Hitam, nampak kini tersenyum simpul, bahkan optimisme kemenangan telah terpancar dari sorot mata mereka. Mereka menemukan kembali kepercayaan diri yang sempat goyah ......... tapi benarkah akhir dari benturan dengan kelompok pendekar akan “untung” bagi Thian Liong Pang?

Setelah sekian lama pertarungan antara suara tersebut berlangsung dengan tetap sama kuatnya, tiba-tiba terdengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Thian tok (India) antara kedua suara tersebut:

“Amitabha, Durganini cukuplah ......... “

“Cundhamani, engkau kembali merusak acara disini ..... aku belum kalah...”

“Amitabha, sejak dulu kita tak bisa saling mengalahkan Durganini ....”

“Tapi, engkau kembali merusak urusanku ....”

“Amitabha, sadarlah Durganini .... waktu kita tidak panjang lagi .....”

“Persetan ..........”

Dan suara-suara itupun berlalu. Hanya ada segelintir orang yang mengikuti percakapan tersebut, dan dari segelintir orang, hanya satu dua orang belaka yang tahu arti dari nama-nama “Chundamani dan Durganini”. Nampaknya hanya Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie, Gayatri, Mahendra, Pangcu Thian Liong Pang dan Hu Pangcu Pertama yang mengenali kedua tokoh itu.
Durganini, siapakah tokoh ini? Dan siapa pula Chundamani? Durganini adalah tokoh seangkatan, hanya lebih muda 15-16 tahun dibandingkan Kiang Sin Liong, Kiong Siang Han, Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang. Dia adalah tokoh asal Thian Tok yang masih memiliki hubungan perguruan dengan Chundamani dan Naga Pattynam.

Karena guru Durganini adalah adik seperguruan dari guru Bhiksu Chundamani dan Naga Pattynam. Berbeda dengan Naga Pattynam yang agak “sesat” sejak masa mudanya, Durganini dan Bhiksu Chundamani justru adalah pendekar-pendekar Negeri India. Bahkan, keduanya pernah memiliki hubungan cinta pada masa mudanya.

Sayang sekali, permainan licik dan skenario busuk yang diatur Naga Pattynam membuat Durganini menaruh salah sangka kepada Bhiksu Chundamani di masa muda mereka. Pada akhirnya Durganini menjadi tokoh setengah sesat setengah pendekar, tetapi setiap kali bertemu Chundamani selalu teringat konflik masa lalu yang tidak mengenakkan dan selalu berakhir ricuh.

Konflik batin ini membawa Durganini kemudian ke petualangan di luar India dan terlibat dalam kekisruhan di daerah Tionggoan tanpa membedakan tokoh yang menjadi temannya apakah dari kalangan pendekar atau bukan. Kegagalan cinta telah membuatnya membuta dan akhirnya jatuh dalam keadaan setengah sesat setengah baik. Tetapi, itu tidak membuat merek ilmunya jatuh, karena semakin tua dia semakin sakti.

Nenek ini tidak kalah lihay dibandingkan Bhiksu Chundamani, bahkanpun Naga Pattynam. Meski kalah lihay dalam variasi ilmu, tetapi Durganini jauh lebih cerdik dan lihay dalam ilmu meringankan tubuh dibandingkan Naga Pattynam. Tetapi kalah seurat dalam ilmu kebatinan dan ilmu sihir dibandingkan Chundamani yang memang menekuni Budha setelah patah cinta dengannya.

Nenek Durganini yang sakti ini ternyata salah seorang yang berada dibalik kemapuhan Thian Liong Pang, bahkan dia jugalah yang mendidik Majikan Kerudung Putih, yang dikasihinya bagai murid sendiri. Karena betapapun, nenek ini memang berasal dari tokoh kalangan putih, kalangan pendekar di tanah India.

Namun, pertikaian dengan Chundamani dan juga beberapa kekesalan terhadap 4 Dewa Tionggoan membuatnya terlibat masalah Thian Liong Pang. Diapun tidak kalah tingkatan dan kalah ilmu dengan tokoh-tokoh hebat lainnya yang mendalangi dan menjadi backing utama Thian Liong Pang.

Sementara bhiksu Chundamani, sudah pernah ditampilkan di episode 11 atau 12 yang bersama Naga Pattynam berada di Shi li fo shih untuk urusan berbeda. Bahkan kedua kakak beradik seperguruan tersebut pernah terlibat pertarungan hebat disana bersama Pendeta Sakti Jawadwipa.

Dan kini, Bhiksu sakti asal India tersebut kembali berada di Tionggoan dan secara kebetulan menemukan keadaan menarik yang melibatkan kenalan lamanya Durganini. Tidak tahan melihat akibat yang akan ditimbulkan Durganini yang memang setengah sesat setengah baik saat itu, Bhiksu Chundamani telah turun tangan dan menyelamatkan banyak kalangan pendekar dari bahaya yang tidak kecil.

Sebetulnya Durganini, Naga Pattynam, Bhiksu Chundamani bersama dengan Gamal Singh yang mewakili Thian Tok dalam pertempuran dengan 4 Dewan Tionggoan adalah tokoh-tokoh nomor satu di Thian Tok. Tokoh-tokoh pilih tanding dan diakui sebagai manusia dewa disana sebagaimana 4 Manusia Dewa Tionggoan.

Kedua tokoh maut itulah yang baru saja bertempur dan mendemonstrasikan kehebatan ilmu suara mereka dalam ketegangan yang meliputi kalangan pendekar dan kalangan Thian Liong Pang. Jika Hu Pangcu Pertama tersenyum, itu disebabkan keyakinannya bahwa tokoh-tokoh sepuh andalannya akhirnya sudah turun tangan.

Dan memang, sejak awal tokoh-tokoh sepuh inilah yang diandalkan oleh Hu Pangcu Pertama melihat banyaknya tokoh sakti dari pihak kaum pendekar. Kemunculan Durganini, diyakininya sebagai tanda bahwa para tokoh sepuh itu kini sudah sedia dan sudah bersiap untuk memberikan bantuan mereka secara langsung.

Hal yang tentu menyenangkannya melihat kehadiran Pangcu Thian Liong Pang seorang, ternyata masih belum sanggup menentukan kemenangan mereka. Bahkan sebaliknya, posisi Thian Liong Pang semakin lama semakin terancam dan kemenangan kelihatannya semakin menjauh. Menimbang markas utama kini sudah tercium musuh, maka lebih menyedihkan lagi kerugian mereka. Keadaan yang tentu sangat memalukan dan mendekati kondisi kalah.

Bagi Gayatri dan Mahendra, sudah jelas mereka mengetahui dan mengenal siapa Durganini, tokoh yang masih mengatasi mereka dalam ilmu silat dan ilmu sihir, karena memang lebih sepuh dan lebih tua. Karena itu, keduanya senang-senang saja dengan kedatangan Durganini yang jelas akan memberi bantuan yang tidak kecil atas posisi mereka yang sedang sulit.

Adalah Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang kaget, karena paham benar apa dan bagaimana Durganini setelah menerima penjelasan dari Kolomoto Ti Lou. Selain itu, keduanya jelas tahu tokoh-tokoh besar asal India yang sering nampak di Tionggoan sejak masa kakek mereka Kiang Sin Liong. Karena itu, keduanya tahu keampuhan nenek Durganini, yang entah bagaimana kepandaian mereka kini jika diadu dengan nenek sakti tersebut.

Untungnya, juga muncul tokoh tua dan sepuh lainnya dari India, yang juga mereka telah kenal kehebatannya, dan yang terpenting, tokoh tua itu selalu berpihak kepada kebenaran. Hanya, mereka kurang tahu atau malah tidak tahu, bahwa sebenarnya ada hubungan pribadi antara Durganini dengan Bhiksu Chundamani pada masa muda mereka.

Kondisi kembali senyap dan tegang. Hanya, secara psikologis, keadaan Thian Liong Pang menjadi sedikit lebih baik. Secara moril, mereka sangat terangkat dengan pengetahuan bahwa tokoh sepuh mereka sudah mulai menampilkan diri. Hanya Pangcu Thian Liong Pang yang entah bagaimana tidak mengalami perubahan, masih tetap diam dalam ketenangan dan tidak atau belum mengeluarkan aba-aba.

Nampaknya, dia sendiri mempunyai perhitungan yang sulit ditebak orang lain. Bahkanpun ditebak oleh pembantu-pembantu utamanya yang juga berdiam diri di belakangnya, kecuali Hu Pangcu Pertama. Kondisi senyap-senyap tegang itu, akhirnya terpecahkan ketika Majikan Kerudung Hitam, nampak bergerak-gerak seperti sedang berbicara. Dan ketika dia kemudian akhirnya berdiam diri, tenryata tak lama dia telah meloncat ke tengah gelanggang sambil berkata:

“Pangcu, biarkan hamba sekali lagi menantang dia .......” sambil menunjuk Liang Tek Hoat, yang pada pertarungan sebelumnya mendesaknya habis-habisan dan nyaris kalah total. Mengapa dia kembali berani?

Tek Hoat yang di tantang Majikan Kerudung Hitam di tengah banyak orang, sudah tentu tidak akan membiarkan tantangan itu terlampau lama. Tidak. Lagipula, dia masih menang moril setelah menghajar Majikan Kerudung hitam tunggang-langgang beberapa waktu sebelumnya dalam pertempuran di halaman lain Markas Utama Thian Liong Pang. Dia segera meloncat ke gelanggang;

“Mari, mari. Biarlah kita yang memulai agar segera dapat ditentukan seperti apa pertarungan terakhir ini” ucapnya santai seperti biasa.

“Majikan Kerudung Hitam ......” terdengar suara berwibawa dari Pangcu Thian Liong Pang seperti sebuah teguran.

“Pangcu, hamba mendapat perintah untuk memulai, sekaligus untuk menantang orang yang bertempur dengan hamba itu”

Mendengar sahutan Majikan Kerudung Hitam, Pangcu Thian Liong Pang nampak sedikit tersentak. Tetapi, diapun segera sadar bahwa sudah ada “perintah” lain atau “pemimpin” lain di kalangan Thian Liong Pang saat itu. Dan jika berhadapan dengan “pemimpin lain” itu, tentu bukan urusan mudah, dan seperti biasanya akan diiyakannya saja.

Karena itu, akhirnya Pangcu Thian Liong Pang berkata sambil mengarahkan pandangan dan pembicaraan kepada Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila:

“Apakah kalian setuju jika pertarungan penentuan kita tentukan dalam beberapa pertempuran saja”?

“Maksud Pangcu”? dengan cepat Sian Eng Cu menyahut sambil memberi jedah bagi kawan-kawannya untuk menentukan sikap dan strategi dalam pertarungan terakhir ini. Dan seperti diduganya, beberapa tokoh segera bereaksi untuk saling bersikap dan saling memberi usulan.

“Maksudku jelas. Kita tentukan pertempuran terakhir ini dalam 3 sampai 5 babak semata. Pemenang terbanyak akan menentukan garis yang harus diikuti oleh mereka yang kalah” Pangcu Thian Liong Pang juga menyahut dengan cepat. Dan kembali “bola” berada ditangan Sian Eng Cu yang segera berhadapan dengan Pengemis Tawa Gila untuk meminta pandangan.

Setelah saling pandang sejenak, tiba-tiba sejalur suara bening masuk ke telinga Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila: “setujui saja, kita memiliki cukup kekuatan untuk memenangkan pertarungan. Hanya, sepakati benar-benar bahwa ketentuan pemenang wajib diikuti oleh yang kalah”.

“Baik, jika memang keinginan Pangcu seperti itu, kami akan dengan senang hati meladeni. Hanya ......” sengaja Sian Eng Cu memberi jedah

“Hanya apa sudara Sian Eng Cu .......”? kejar sang Pangcu, bukan masuk perangkap Sian Eng Cu, tetapi memang dia sendiri ingin mengikat semua pihak untuk menyetujui ketentuan “Pemenang menentukan semuanya”.

“Hanya saja, apakah kita bisa bersepakat bahwa pemenang dari 3 atau 5 babak yang akan menentukan semua yang akan dilaksanakan setelah pertempuran bisa dipegang?

“Sudah tentu, aku menjamin semuanya” tegas Pangcu Thian Liong Pang.

“Baiklah, berapa babak yang kita sepakati untuk menentukan pemenang pertarungan ini”?

“Bagaimana kalau 5 babak”? tanya Pangcu Thian Liong Pang

“Baiklah, kami sepakat”

“Apakah babak pertama ini akan ditentukan oleh kedua anak muda itu”? kembali Pangcu bertanya.

“Jika Pangcu setuju seperti itu, kamipun akan setuju”

“Baiklah, kita tetapkan demikian”

Kesepakatan akhirnya dicapai. Termasuk kesepakatan penilaian menang dan kalah. Kalah dan menang ditetapkan sesuai dengan kepandaian masing-masing, jika kedua pihak tidak sanggup lagi untuk bertarung, maka siapa yang lukanya lebih berat akan dinyatakan kalah. Dan mekanisme menetapkannya akan ditetapkan bersama oleh dua orang utusan dari masing-masing pihak dengan memeriksa berat ringannya luka dari dua orang yang bertempur.

Dan karena Majikan Kerudung Hitam telah melontarkan tantangan kepada Liang Tek Hoat, maka babak pertama yang akan dihitung akan melibatkan keduanya dalam pertempuran. Dan keduanya telah siap melanjutkan pertempuran sebelumnya yang mendatangkan rasa penasaran di hati Majikan Kerudung Hitam:

“Hm, mudah-mudahan engkau mampu mempertahankan nyawamu kali ini” ancam Majikan Kerudung Hitam

“Dan mudah-mudahan engkau dapat mempertahankan kerudung hitam jelekmu itu” balas Tek Hoat masih dengan gaya ringan dan santainya.

“Lihat serangan .......”

Dan dalam kondisi yang jauh lebih tabah, tenang dan kokoh, kini Majikan Kerudung Hitam menyerang Liang Tek Hoat. Yang diserang segera merasa bahwa lawannya kali ini berlipat lebih hebat dari yang dihajarnya tunggang-langgang beberapa waktu sebelumnya. Maklum, saat itu Majikan Kerudung Hitam memang sedang dalam kondisi mental rusak.

Anak buahnya banyak terbunuh, sementara musuh mengalir terus memasuki markas besarnya, hal yang otomatis merusak konsentrasi dan ketenangannya. Maka kini, setelah memperoleh kembali rasa percaya diri serta bisikan gurunya untuk kembai maju, Majikan Kerudung Hitam sudah dalam rasa percaya diri tertinggi dan optimisme menarik kemenangan yang luar biasa. Dan, Tek Hoat segera merasakan bahwa lawannya kali ini jauh lebih berbahaya.

Hanya, Tek Hoatpun bukannya orang lemah. Sebaliknya, selain telah memperoleh kemenangan dalam pertempuran sebelumnya, diapun telah memperoleh kemajuan yang tidak sedikit beberapa waktu belakangan ini. Bekal yang memadai ini telah merasuk dalam dirinya dan telah melahirkan rasa percaya diri dan percaya atas kemampuannya sendiri.

Karena itu, meski serangan Majikan Kerudung Hitam jauh lebih kuat dan jauh lebih hebatpun, masih belum mampu mendesak dan menempatkan Tek Hoat dalam posisi tertekan di bawah angin. Sebagaimana biasa, dia bersilat dan berkelahi dengan penuh percaya diri, dan tidak meninghalkan kewaspadaannya. Dia bersilat dengan silat pusaka Kay Pang, yang juga andalan gurunya Hang Liong Sip Pat Tjiang.

Dengan ilmu tersebut serangan Majikan Kerudung Hitam dibalas sama banyaknya, sama cepatnya dan sama kerasnya. Malahan, kualitas ilmu pusaka tersebut membuat Tek Hoat nampak lebih digdaya, dan terus menghujani Majikan Kerudung Hitam dengan pukulan-pukulan berat dari berbagai penjuru. Ilmu-ilmu Kiong Siang Han, terutama ilmu andalannya, baik Pek Lek Sin Djiu maupun Hang Liong Sip Pat tjiang, memang memiliki kemiripan.

Yakni, jurus-jurus ilmu tersebut akan jauh lebih hebat dan jauh lebih ampuh jika dimainkan dalam sebuah rangkaian, dan bukannya dimainkan sejurus demi sejurus dengan terputus-putus. Dan kali ini, menghadapi Majikan Kerudung Hitam, Tek Hoat memainkan Hang Liong Sip Pat tjiang sebagai sebuah rangkaian, dengan memulainya dari jurus pertama.

Akibatnya, memasuki jurus ke tujuh, kini Majikan Kerudung Hitam mulai kewalahan meskipun masih belum terdesak. Yang pasti, meski awalnya dia memulai sebagai pihak penyerang, kini di jurus ke tujuh, posisi terserang Tek Hoat sudah tersapu dan kini posisi keduanya saling serang dengan sama serunya.

Ketika Tek Hoat selesai menggunakan jurus ke-sembilan, memasuki rangkaian jurus ke sepuluh, kini dia sudah lebih banyak menyerang. Sementara Majikan Kerudung Hitam kesulitan mengganti ilmu yang lebih ampuh untuk menandingi Hang Liong Sip Pat Tjiang.

Majikan Kerudung hitam tak menyangka jika Tek hoat akan langsung menandinginya dengan ilmu andalannya. Tetapi, waktu memang sudah kasip, betapapun dia harus mempertahankan diri sekuatnya kendatipun kini piosisinya mulai jatuh di bawah angin, padahal jurus serangan lawan baru memasuki jurus ke sebelas
 
2



Sekuat tenaga dia bertahan. Untungnya ilmu Bu Kek Hoat Keng yang menjadi andalan keluarganya dan dipadukan dengan Hai Liong Kiang Sin ciang (Tangan Sakti Menaklukkan Naga Laut) tidaklah jauh tertinggal. Bukan. Bukan ilmu itu yang tertinggal, tetapi karena Tek Hoat yang sudah paham apa yang akan terjadi, langsung masuk dalam tahapan serius dan menggempur lawan dengan ilmu-ilmu berat.

Maka, ketika memasuki jurus ke-sebelas, Majikan Kerudung Hitam yang masih belum memperoleh ketika guna berganti ilmu, dengan terpaksa memapak dengan tenaga Bu Kek Hoat Keng sepenuhnya. Sekaligus, pada saat bersamaan dia mengerahkan jurus pamungkas dari Silat Tangan Sakti Menaklukkan Naga Laut.

Meskipun demikian, karena Tek Hoat bersilat dalam rangkaian ilmu yang semakin lama semakin menggebu karena dimainkan dalam satu kali rangkaian tanpa putus, tetap tak mampu ditepis dan dipukul mundur guna mengganti ilmu. Bahkan, memasuki jurus ke-tigabelas dari 18 jurus utama ilmu andalannya, Majikan Kerudung Hitam justru semakin terdesak.

Tek Hoat menyadari bahwa keuntungan ada di pihaknya, karena itu dia mainkan semua rangkaian ilmu tersebut dan semakin memojokkan Majikan Kerudung Hitam dalam posisi terdesak. Tetapi, meskipun makin sulit menerjang dan mengirimkan serangan balasan, tidaklah berarti bahwa Majikan Kerudung Hitam sudah jatuh dan kalah. Sama sekali masih belum dapat ditentukan. Sekiranya Majikan Kerudung Hitam diberi ketika untuk berganti nafas dan berganti ilmu, bukan tidak mungkin dia mampu menghadirkan posisi seimbang.

Sayangnya, Tek Hoat yang dihadapinya meski masih berusia muda, tetapi telah kenyang melawan tokoh-tokoh hebat. Berpengalaman bertanding dengan tokoh-tokoh tua dan dari pertarungan tersebut telah belajar banyak bagaimana mempergunakan ilmunya secara effektif. Itulah sebabnya Tek Hoat terus mendesak hingga memasuki jurus ke-15, posisi dimana Majikan Kerudung Hitam tinggal sesekali mengirimkan serangan balasan dan posisinya semakin kalut.

Bisa diduga, jika kondisi tersebut berlangsung terus hingga jurus-jurus pamungkas Hang Liong Sip Pat Tjiang, terutama di jurus ke 17 dan 18, maka nasib Majikan Kerudung hitam bakal segera ditentukan. Dan memang demikian kenyataannya. Memasuki jurus ke-16, Majikan Kerudung Hitam sudah keteteran hebat dan sama sekali tidak mampu lagi membalas serangan Tek Hoat, dan posisinya sudah sangat menyedihkan.

Dan sebuah cungkilan keras diikuti dengan kibasan lengan kanan Tek Hoat yang penuh berisi iweekang berjenis keras, telah melontarkan Majikan Kerudung Hitam hingga sedikit terhuyung.

Dalam posisi itulah Tek Hoat membuka jurus ke-17, memasuki jurus-jurus terakhir Hang Liong Sip Pat Tjiang. Sudah tentu keunggulan posisional yang sangat telak karena Majikan Kerudung Hitam berada dalam posisi terhuyung sementara Tek Hoat memulainya dari posisi sangat unggul.

Tetapi, dalam posisi terhuyung itu, Majikan Kerudung Hitam masih sempat membuang diri lebih ke belakang dan sedikit mampu berganti nafas. Waktu sedetik dua detik, dimanfaatkannya untuk menghimpun kekuatan saktinya guna memapak serangan pamungkas Tek Hoat yang sudah segera menerpanya kembali.

Betapapun dia tidak terluka tadi, karena itu dia merasa masih sanggup untuk menahan serangan Tek Hoat selanjutnya. Dan, akhirnya datang juga dua jurus terakhir kebanggaan Kiong Siang Han yang dimainkan oleh murid penutupnya secara sangat gagah, kokoh dan kuat.

Tek Hoat menerjang sambil mengerang dahsyat. Itulah serangan awal jurus ke-17, serangan melalui “erangan naga” dengan memukul pusat keberanian lawan sebelum hempasan tenaga keras dilontarkan. Seiring dengan gerangan hebat itu, tubuh Tek Hoat bagaikan dilontarkan kekuatan luar biasa langsung menerjang Majikan Kerudung Hitam. Hampir semua menahan nafas dalam ketegangan yang berbeda.

Karena posisi pada saat itu menunjukkan Tek Hoat yang berada di atas angin dan siap melepaskan pukulan pamungkasnya. Dan sekarang, pukulan itu sedang dilontarkan diiringi dengan hembusan angin yang luar biasa kerasnya. Tetapi, Majikan Kerudung Hitam nampak tetap kokoh dan menyambut jurus ke-17 dalam konsentrasi penuh.

Dan apa yang terjadi? Ketika benturan terjadi, ternyata Majikan Kerudung Hitam yang sadar bakal “kalah tenaga” karena posisi berdiri yang kurang menguntungkan, justru tidak membentur inti kekuatan Tek Hoat secara berdepan. Sebaliknya, dia membagi tenaganya untuk sebagian kecil membentur pusat kekuatan lawan, sebagian besarnya lagi digunakan untuk melontarkan tubuhnya agar terbawa angin pukulan lawan.

Hanya orang-orang berkeahlian tinggi yang sanggup melontarkan diri melalui angin pukulan lawan yang membahana. Dan, Majikan Kerudung Hitam secara cerdik melihat celah tersebut.

Tetapi sudah selamatkah dia? Sama sekali belum. Karena begitu tegak berdiri, kembali Tek Hoat telah mengejarnya dengan rangkaian pukulan berat di jurus terakhir. Dan lontaran tubuh dibantu tenaga Tek Hoat membuat Majikan Kerudung Hitam memiliki jarak yang cukup untuk kembali mengatur nafas dan posisinya.

Kali ini, dia berhasil menciptakan waktu sedetik lebih panjang hingga mampu menyiapkan pukulan baru, yakni kombinasi ilmu Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam) dan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah). Sayang efektifitasnya tidak sebaik jika ilmu kedua dilontarkan dari jarak lebih jauh, tetapi paling tidak mampu sedikit mengurangi kehebatan pukulan Tek Hoat di jurus pamungkasnya itu.

Bresssssss ...............................
Benturanpun tak terhindarkan. Dan kembali Majikan Kerudung Hitam terdorong jauh kebelakang, dan kali ini dengan rembesan darah mengalir di mulutnya. Tetapi, jika menyaksikan seri wajahnya, tidak terlihat jika dia terluka parah. Sungguh sebuah perhitungan tepat dan riskan dari Majikan Kerudung Hitam. Memberi lawan sedikit keuntungan untuk meraih kembali posisi seimbang dan memulai kembali dari awal.

Jika Majikan Kerudung Hitam sedikit terluka, adalah Tek Hoat yang juga terguncang tetapi tidak berhalangan alias tetap bugar. Hanya, dia menyadari bahwa ternyata Hang Liong Sip Pat Tjiang berhasil mendatangkan keuntungan baginya, meskipun keunggulan kecil dan tipis belaka. Tetapi masih belum sanggup untuk menyelesaikan pertarungan dengan keunggulan atau kemenangan dipihaknya.

Dan kini, pertarungan kembali dilanjutkan dengan posisi serang menyerang kembali berimbang. Jikapun ada keunggulan Tek Hoat, adalah karena Majikan Kerudung Hitam, dalam rangka menyelamatkan pertarungan babak pertama, telah membiarkan dirinya sedikit terluka.

Yang penting posisi imbang kembali diperoleh, biarlah kemenangan dicapai perlahan-lahan. Tetapi, yang dia lupa, meski dia membekal ilmu-ilmu sakti yang beragam, lawannya yang sama atau bahkan lebih muda, juga membekal ilmu-ilmu sakti mandraguna. Dan terlebih, belum tentu dia mampu menundukkan lawan untuk memperoleh skor keunggulan pertama bagi pihaknya.

Sementara itu, Tek Hoat berpikiran lain. Melihat lawan telah terluka, dia memutuskan untuk terus “main keras” dan segera memaksakan kemenangan. Betapapun dia telah merasakan ilmu-ilmu Majikan Kerudung Hitam sebelumnya, karena itu dia memutuskan untuk tidak bertele-tele.

Dia harus menekan Majikan Kerudung Hitam untuk “adu keras” agar cepat menyelesaikan tugasnya. Berpikir demikian, Tek Hoat sudah kembali bersilat dengan Pek Lek Sin Jiu, pukulan keras lainnya yang diterimanya dari Kiong Siang Han. Dan karena berketetapan untuk menyerang dan adu keras, maka dia telah mengerahkan kekuatan besar dalam pukulan-pukulan dan tangkisannya.

Sementara itu, Majikan Kerudung Hitam pada akhirnya mengeluarkan pukulan rahasia ciptaan gurunya yang paling akhir: “Liong Beng Kun" (Pukulan Naga Menembus) dan Mi Im Ci Sut (kepandaian bayangan pembingung). Kedua ilmu tersebut bisa dimainkan masing-masing, tetapi juga bisa dimainkan dalam kombinasi.

Jika Liong Beng Kun digubah dari “Ilmu Naga Laut” khas Lamhay dan memiliki keistimewaan untuk menembus benda apapun; maka Mi im Ci Sut digubah bersama dengan Durganini yang banyak disusupi atau malah memang berlandaskan ilmu sihir pembingung pikiran manusia. Dapatlah dimengerti jika ilmu rahasia ini memang dimaksudkan untuk menghadapi lawan hebat.

Dan Majikan Kerudung Hitam yang sudah marah besar, sadar bahwa tak ada ilmu lain yang akan mampu menghadapi lawannya yang hebat kecuali ilmu rahasia ciptaan terakhir gurunya.

Tetapi Tek Hoat dalam pengerahan kekuatan secara maksimal, telah membentengi diri dengan kekuatan batin yang dibekal dari gurunya dan disempurnakan oleh Kiang Sin Liong serta bahkan terakhir oleh Kolomoto Ti lou melalui Kiang Cun Le. Karena itu, meski melihat betapa hebat ilmu Liong Beng Kun, tetapi ilmu pembingung bayangan hanya nampak cepat dan pesat dan sama sekali tidak membingungkannya.

Dengan segera, baik Majikan Kerudung Hitam maupun Tek Hoat kembali sudah menapak pada puncak pertarungan mereka. Bahkan kali ini, Tek Hoat tidak tanggung-tanggung nampak mulai bergerak dengan ilmu mujijat gurunya: Pek Lek Sin Jiu. Ceng Liong sendiri terkesiap melihat Tek Hoat sudah bersilat dalam ilmu andalannya yang diketahuinya kehebatan ilmu itu.

Tidak tanggung-tanggung, Tek Hoat memapak serangan Majikan Kerudung Hitam dalam jurus ke-7 yang sangat luar biasa dan membuat bumi bagai bergoyang-goyang.

Keunggulan kebugaran membuat Tek Hoat berani menempuh resiko itu. Sementara Majikan Kerudung Hitam yang tadinya percaya bahwa dengan memainkan kombinasi Liong Beng Kun dan Mi cim Im Sut dapatmemenangkan pertandingan, kaget bahwa kombinasi gaib tersebut mental digunakan terhadap Tek Hoat. Apalagi, ketika membentur jurus ke-8 yang dimainkan segenap raga dan jiwa oleh Tek Hoat, desisan tenaga yang mengarah kepadanya sungguh mengerikan.

Bagaikan letupan-letupan api yang menjalar dan mendatangkan rasa ngeri dan rasa takut. Tetapi, Majikan Kerudung Hitam bukan tokoh biasa jika ngeri dan lari. Apalagi, dia percaya penuh terhadap kemampuan dan ilmunya, terlebih gurunya telah memberi bisikan untuk melakukan yang terbaik di awal pertarungannya tadi. Dan keyakinan gurunya berada disekitar arena membuatnya tambah yakin dan tambah percaya diri.

Blaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr .....
Kembali benturan hebat terjadi. Kali ini, jelas-jelas Majikan Kerudung Hitam memang kalah seurat. Dia kembali terhuyung sampai 5 langkah ke belakang, sementara Tek Hoat terdorong sampai 2 langkah ke belakang. Tetapi yang membuat semua orang menahan nafas, adalah ketika Tek Hoat memilih menuntaskan pertempuran dengan kekerasan.

Kali ini, bahkan Ceng Liongpun tertegun ketika melihat Tek Hoat menyiapkan Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Ilmu mujijat yang digubah gurunya dalam pendalaman bersama 4 manusia dewa Tionggoan lainnya. Percikan-percikan api dan petir nampak mengelilingi tubuhnya tetapi tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dan pemandangan ini jelas menghadirkan rasa seram dalam diri banyak orang.

Sementara itu, Majikan Kerudung Hitam mengambil keputusan singkat. Keras lawan keras dan menyiapkan jurus pamungkas dari Liong Beng Kun dan Tangan Sakti Menaklukan Naga. Persiapan keduanya hanya dalam waktu 1-2 detik belaka dan sudah langsung disiapkan dalam benturan dan bentrokan terakhir.

Pada saat keduanya bersiap untuk benturan dan bentrokan terakhir, telinga Ceng Liong berdenging: “pemuda itu bermarga Kiang juga ......”. Kaget Ceng Liong tak terkira, dan secara otomatis dia berseru:
“Tek Hoat, jangan .............”
Tetapi sayang sudah sangat terlambat, meskipun masih ada faedahnya. Bersamaan dengan seruan Ceng Liong, terdengar sebuah suara berseru penuh kegelisahan:
“Celaka ........”
Padahal, dari sejak keduanya bergerak berbenturan dalam puncak ilmu masing-masing hingga seruan Ceng Liong dan sebuah suara yang asing itu, hitungannya tidak sampai 1 detik belaka.

Seruan Ceng Liong memang bermanfaat. Tek Hoat, sebagaimana diketahui, sangat menghormati dan mempercayai Kiang Ceng Liong dan bahkan menempatkan Ceng Liong sebagai kakak dan pemimpin mereka pendekar muda yang sering bersama-sama itu.

Teriakan Ceng Liong membuatnya menahan diri dan akhirnya mengurangi kekuatan yang dilandaskannya dalam melepaskan pukulan pamungkas, andalannya yang baru kali ini dilepaskannya setelah secara sempurna menguasai ilmu tersebut. Tetapi, toch akhirnya tetap dahsyat ......

“Blaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr .......”

Dan akibat benturan itu, hanya kurang sepersekian detik dari seruan “celaka” yang dikeluarkan seseorang. Pasca benturan berat tersebut, tubuh Majikan Kerudung Hitam bagai layangan putus melayang tak berdaya kebelakang. Dan untungnya, Tek Hoat telah banyak mengurangi landasan tenaganya, jika tidak tubuh itu pasti akan hancur berantakan.

Tetapi, akibat benturan itu, Tek Hoat sendiripun tidak luput dari kerugian yang cukup berat. Tubuhnya mencelat kebelakang, meskipun masih mampu berdiri, tetapi setelah berkeras beberapa saat, diapun mengambil posisi duduk bersila untuk menyembuhkan dirinya. Dari mulutnya mengalir darah merah yang lumayan banyak.
“Koko .......”
“Hoat Ko ....”
Liang Mei Lan dan Siangkoan Giok Lian mencelat diikuti Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.

Sementara Ceng Liong, begitu tubuh Tek Hoat mencelat kebelakang sudah dengan cepat bergerak menjaga dan bahkan kemudian menempelkan tangannya dibelakang tubuh Tek Hoat. Saluran tenaga murni yang kuat inilah yang membuat Tek Hoat untuk selanjutnya mampu mengumpulkan tenaganya yang nyaris buyar akibat benturan tadi.

Diantara penndekar muda yang hadir disitu, hanya Nenggala seorang yang tidak bergerak. Sebaliknya, dia nampak sedang duduk bersila dengan sangat khikmat dan serius sementara dikanan kirinya telah berdiri Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie seperti sedang-berjaga-jaga.

Sementara itu, tubuh Majikan Kerudung Hitam yang melayang bagaikan layangan putus tadi, sudah disambar oleh sosok bayangan asing yang bergerak demikian cepat dan nyaris tak dapat diikuti pandangan mata. Sosok inilah yang berseru celaka dan kemudian bergerak menjemput tubuh Majikan Kerudung Hitam dan kemudian melarikannya. Satu sosok tubuh lainnya mencelat mengejar bayangan yang bergerak cepat bagai siluman itu dan kedua bayangan tubuh itupun kemudian menghilang. Sosok yang mengejar belakangan adalah Hu Pangcu Pertama.

Sementara itu, Pangcu Thian Liong Pang nampak sedikit goyah melihat kekalahan Majikan Kerudung Hitam yang kemudian terluka cukup parah. Tetapi, ketika melihat tubuh Majikan Kerudung Hitam dibawa lari sesosok bayangan yang bergerak pesat, dia mampu kembali menemukan ketenangannya. Hanya sesaat dia menarik nafas berat. Entah apa yang dipikirkannya.

Tetapi, yang pasti Majikan Kerudung Hitam terluka jauh lebih parah dibandingkan dengan Liang Tek Hoat. Masih untung Ceng Liong sempat menegur Tek Hoat, jika tidak Majikan Kerudung Hitam sangat mungkin bakal langsung tewas dengan tubuh tak berbentuk.

Sementara itu Tek Hoat terus berusaha memulihkan diri sendiri setelah dibantu Ceng Liong tadi dan sekarang telah dikelilingi oleh Mei Lan dan Giok Lian serta kedua pendekar kembar. Adapun Sian Eng Cu telah berkata:

“Apakah dapat disimpulkan bahwa pihakmu telah kalah sekali pangcu”?

“Hm, nampaknya memang demikian” jawab Pangcu Thian Liong Pang cepat.

“Apakah sudah dapat dilanjutkan dengan pertarungan kedua”?

“Sudah tentu” kembali tandas dan cepat respons sang Pangcu.

Sang pangcu kemudian mengedarkan pandangan ke belakangnya, dan sepertinya dia sudah tahu siapa yang akan maju mewakili Thian Liong Pang di babak selanjutnya. Dia memandang Mahendra dan Gayatri, dan sedang menimbang siapa gerangan yang layak maju di kesempatan berikut.

Tiba-tiba nampak gerak gerik Pangcu Thian Liong Pang berubah, seperti sedang bercakap, tetapi entah dengan siapa. Selagi sedang dalam posisi “seakan sedang bicara dengan orang” itulah tiba-tiba Hu Pangcu Pertama kembali memunculkan diri. Dan bahkan kemudian berkata dengan penuh amarah:

“Aku akan maju menantang anak muda Kaypang itu” teriaknya murka.
“Hu Pangcu, mundurlah” Pangcu Thian Liong Pang kaget melihat Hu Pangcu Pertama muncul kembali dan marah-marah menantang Tek Hoat.

“Tidak, aku menantang anak muda itu”

“Mundurlah, ini bukan saat yang tepat membawa adatmu sendiri” tegur sang Pangcu. Dan selagi mereka berkeras seperti itu, tiba-tiba Mahendra sudah melangkah maju memasuki gelanggang:

“Biarlah aku yang memasuki arena kali ini ...... entah siapa yang akan melayani aku bermain-main kali ini” sambil berkata demikian, wajahnya dengan sengaja dan atraktif memandang Kiang Cun Le berdua dengan Liong-i-Sin Nie yang memang berdiri bersisian di pinggir arena.

Tetapi, baik Kiang Cun Le maupun Liong-i-Sin Nie tidak menggubris tantangan tersebut. Sebaliknya mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan siapa yang akan maju kepada Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila.

Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sudah tentu merasa sangat segan melampaui Kiang Cun Le dan Lion-i-Sin Nie. Tetapi ketika menanyakan pendapat kedua orang itu, adalah Kiang Cun Le yang mengatakan:

“Pandangan dan pendapat kami sudah kami serahkan kepada Duta Agung Lembah Pualam Hijau”

Mendengar pandangan tersebut, Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila akhirnya memandang Ceng Liong. Sementyara Ceng Liong dengan cepat telah memetakan pertempuran kedepan, jika Mahendra yang mau berarti setelahnya bisa dipastikan Nenek Gayatri. Dalam komposisi demikian, Ceng Liong telah memandang teman-temannya satu persatu dan akhirnya berkata:

“Jika boleh kuusulkan, sebaiknya saudara Souw Kwi Beng atau Song Kwi Song yang maju menandingi lawan kali ini”

Pandangan dan usul Ceng Liong mengejutkan bagi banyak orang. Tetapi, selain terkejut tokoh-tokoh Siauw Lim Sie banyak berterima kasih atas penghargaan Ceng Liong. Karena itu, tokoh-tokoh utama Siauw Lim Sie tidak mengatakan penolakan, meskipun sebetulnya rada-rada khawatir apakah pendekar muda binaan couwsu mereka sudah sanggup menerima beban berat itu.

Dalam kondisi demikian, bahkan Souw Kwi Song yang biasanya berjiwa terbuka, segan untuk ugal-ugalan dan memilih memandang ke wajah kakak kembarnya meminta ijin. Tetapi kali ini, dengan tegas Kwi Beng bersikap sambil berkata:

“Demi keadilan dan demi nama baik Siauw Lim Sie, biarlah aku menerima tantangan lawan kali ini” sambil berkata demikian, Souw Kwi Beng dengan gagah berjalan maju memasuki arena untuk menghadapi tantangan Kakek Mahendra.

Tidak usah dikatakan, bukan hanya Mahendra tetapi banyak tokoh Thian Liong Pang pada terkejut dengan tandingan yang diajukan para pendekar. Sedikit yang paham jika Ceng Liong sudah merasa yakin dengan bantuan-bantuan terakhir atas diri mereka, baik dirinya, Tek Hoat, Mei Lan dan kedua pendekar kembar itu. Bantuan pematangan oleh Kolomoto Ti Lou lewat kakek dan neneknya membuatnya berkeyakinan atas kemampuan Kwi beng yang baginya sudah cukup memadai untuk sekedar menahan atau bahkan mengalahkan seorang Mahendra.

Jikapun ada kekurangan Kwi Beng hanyalah pengalaman, tetapi soal kepandaian dan kekokohan, Ceng Liong berani menjamin kawannya itu sudah cukup memadai untuk menjadi tandingan lawan.

“Yakinkah engkau akan mampu menghadapiku anak muda”? tanya Mahendra dengan sedikit mengejek. Betapapun dia juga merasa risih harus menghadapi seorang pemuda yang layak menjadi anak atau bahkan cucunya itu. Karena meski menang, juga tidak mendatangkan rasa bangga baginya, tapi jika kalah, mau ditaruh dimana mukanya nanti?

“Biarlah kita buktikan saja apakah aku mampu atau tidak” jawab Kwi Beng tenang dan penuh percaya diri.

“Baiklah anak muda, mari kita mulai jika demikian”

Untuk menghormati orang tua, dengan tenang namun kokoh dan kuat Kwi Beng mulai membuka serangan. Karena maklum lawannya adalah tokoh tua yang sakti, maka Kwi Beng tidak berani bermain-main. Sebaliknya, sejak awal dia telah mengerahkan kekuatannya dalam ilmu-ilmu andalan Siauw Lim Sie yang dimainkannya secara kokoh dan meyakinkan.

Ketika menyerang dia telah menggunakan Pek In Ciang yang mengepulkan awan putih diseputar telapak tangannya. Ketika Mahendra menangkis lengan tersebut, dia terkejut dan mulai tidak berani memandang ringan ketika menemukan kenyataan betapa tenaga dalam anak muda itu sama sekali tidak dapat diremehkan. Lengannya tergetar oleh hembusan awan putih yang mengelilingi lengan lawannya.

“Hebat, hebat” seruya kagum sambil kemudian bersilat sesuai gaya aslinya, yakni bersilat dengan menggunakan gaya ular. Karena gaya itulah dia bersama Gayatri dijuluki Sepasang Ular Dewa. Ilmu silat dan ilmu gerak mereka memang banyak bersumber dari gerak dan tipuan ular.

Selain licin, gerakan-gerakan mereka penuh tipu daya, dan bisa menyerang dalam posisi tubuh yang biasanya sulit melakukan serangan. Tetapi untungnya, Kwi Beng telah membekal ilmu yang cukup memadai untuk menandingi kakek yang sakti mandraguna itu. Apalagi ketika ilmu pukulan Pek In Ciang mulai dibarenginya dengan totokan dan selentikan jari sakti menggunakan Tam Ci Sin Thong, sebuah ilmu jari sakti yang ampuh dari Siauw Lim Sie.

Dan sekali lagi Mahendra terkejut dan sejak saat itu, tak berani lagi dia membagi perhatian dengan memuji atau merendahkan lawannya. Dia mulai sadar jika lawan mudanya ternyata telah memiliki bekal yang lebih dari memadai untuk melawannya. Bukan hanya bertahan dari serangannya, tetapi bahkan memiliki kemampuan menandingi dan menyerangnya. Terbukalah matanya dan paham mengapa anak muda ini diajukan untuk menghadapinya.

Jika awalnya Mahendra masih bermain-main, maka kini dia mulai menjadi lebih serius. Bahkan mulai menjadi lebih gembira sekaligus heran. Gembira, karena ternyata lawannya bukanlah lawan ringan, bukan ayam sayur yang mudah dipermainkan dan dikalahkannya. Sekaligus juga menimbulkan “kesenangan” dan semangat baginya untuk mengadu ilmu dan kemampuan.

Menjadi heran, karena sekali lagi dia menemukan lawan tanding seorang anak muda yang dapat dan mampu mengimbangi permainan silatnya. Karena itu, dia tidak lagi ragu untuk mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan dan kesaktian lainnya. Dia tidak ragu mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Ular Dewa dan bahkan Silat Sihir Ular Dewa Dari Langit Selatan.

Kedua ilmu tersebut sudah cukup lama dikuasai dan disempurnakan Sepasang Ular Dewa yang memang selalu berkelana bersama: Mahendra dan Gayatri. Mereka membentuk, memperbaiki dan meramu kembali ilmu-ilmu tersebut terutama sepulangnya dari petualangan mereka di Swarnadwipa. Disana mereka bertemu banyak jago-jago setempat yang juga menguasai ilmu berdasarkan gerak ular, sekaligus juga bertemu banyak tokoh lain.

Bahkan juga bertemu jenis-jenis ular baru yang menarik perhatian mereka. Karena itu, tidak heran jika kemudian mereka bertambah maju dan bertambah sakti mandraguna. Selain itu, kemajuan mereka juga dikarenakan melnyaksikan kemajuan yang tidak sedikit yang dialami oleh lawan-lawan sepadan mereka dari Tionggoan, yakni Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie dan angkatan mereka lainnya. Itulah sebabnya mereka tidka berhenti menempa diri.

Tetapi, meskipun mampu mendesak Kwi Beng dengan Ilmu Silat Ular Dewa maupun Tarian Sihir Ular Dewa, dengan sesekali Mahendra menerjang lawannya dalan geliatan-geliatan seekor ular, tetapi hanya sesekali Kwi Beng terdesak. Karena lentikan-lentikan jari saktinya, rupanya adalah ilmu ampuh yang mampu menahan dan sekaligus menghempaskan serangan-serangan maut yang dilancarkan Mahendra.

Seperti serangan mujijat dari ilmu Tarian Sihir Ular Dewa yang dilancarkan Mahendra dengan meloncat keudara dan kemudian menjulurkan kedua tangannya kedepan dan menjadi seperti “moncong ular” yang mengejar-ngejar kemanapun perginya Kwi Beng.

Sungguh pameran perkelahian tingkat tinggi. Karena tubuh Mahendra selama beberapa detik melesat dalam kecepatan tinggi, bukannya berdiri di atas bumi, tetapi melayang-layang dan meliuk-liuk bagaikan seekor ular terbang terus mengejar Kwi Beng kemanapun perginya. Gerakan ini sulitnya minta ampun, tetapi di tangan Mahendra menjadi nampak mengejutkan, sampai Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin nie lawan lama Mahendra juga berdecak kagum melihat pameran kesaktian Mahendra.

Kwi Beng terdesak karena memang kurang mampu mengantisipasi gerakan seperti ini, yang memang tak ada satupun tokoh di Tionggoan pernah memainkannya. Tubuh Mahendra bagaikan seekor ular ataupun sebatang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Terbang yang melesat sendiri dalam kecepatan tinggi dan mengejar kemanapun lawannya bergerak.

Kwi Beng yang sebelumnya masih mampu menandingi lawan, sedikit keteteran dikejar-kejar oleh tubuh yang melayang dan meliuk-liuk bak ular, sementara kedua tangan bergerak bagai moncong ular memukul dan menotok sekaligus secara bersamaan. Pek In Ciang tidak sanggup menolongnya, dan hanya dengan langkah-langkah ajaib dari Siauw Lim Sie yang mampu membuatnya terhindar dari kejaran jurus Dewa Ular meliuk menerkam mangsa.

Dan ketika memang harus berbenturan, dengan delapan bagian kekuatannya akhirnya Kwi Beng menggunakan lentikan jari saktinya untuk menutul kedua tangan Mahendra yang terus-terusan memburu dan mengejarnya:
“cussssss – cussssssssss”
Lentikan jari sakti Kwi Beng bertemu dengan totokan dan pukulan Mahendra. Benturan yang menyebabkan Kwi beng terdodorng dua langkah, sementara Mahendra juga terdorong ke belakang, dan kemudian sesaat menggunakan kedua kakinya menjejak bumi dan dengan kedua kaki itu, dia kembali mencelat ke udara dan kembali mengejar Kwi Beng bagai seekor ular terbang.

Sungguh mendebarkan, sekaligus membuat banyak orang kagum melihat pameran jurus ular dewa yang memang sangat luar biasa itu. Berbeda dengan pertempuran sebelumnya yang tidak makan waktu panjang, pertempuran kali ini nampaknya bakal panjang. Karena pada akhirnya Kwi Beng menemukan bahwa Tyam Ci Sin Thong bermanfaat besar untuk mengurangi tekanan Mahendra yang mengejar-ngejarnya dengan ilmu ular terbang itu.

Sadar berhadapan dengan kecepatan gerak lawan, Kwi Beng kemudian kembali membentuk lawan dengan menggunakan totokan dan lentikan jari saktinya. Tetapi, ketika kembali terdorong mundur, hal tersebut memang disengajanya untuk mengambil nafas sekaligus mengganti ilmu serangan. Maka meluncurlah Ban Hud Ciang, Selaksa Tapak Budha yang digunakan untuk menghadapi Ular Terbang lawan yang mengandalkan kecepatan itu.

Ketika Mahendra kembali menerjang Kwi Beng dengan jurus ular terbang, Kwi Beng telah memapaknya dengan tidak lagi menghindar. Melainkan menggunakan puluhan atau ratusan atau malah ribuang bayangan telapak tangan yang membentur, menangkis dan bahkan memukul Mahendra. Ban Hud Ciang tidak khawatir dengan kecepatan, karena kemanapun Mahendra menyerang, selalu ada telapak tangan terbuka dari Kwi Beng yang memapaknya. Bahkan menangkis sambil balik menghajar dan memukul.

Mahendrapun terkejut, karena ilmu ular terbangnya kini tak mempan dan bahkan bertemu tandingan dan membuat ilmu tersebut mati kutu. Jika terus-terusan menggunakan ilmu tersebut, lawan bukan hanya menemukan keseimbangan dalam pertempuran, melainkan menemukan waktu yang tepat untuk melakukan serangan. Dan memang benar demikian.

Kealpaan sejenak dari Mahendra, membuat Kwi Beng menemukan peluang emas untuk kembali menemukan keseimbangan dan bahkan perlahan mulai mendesak Mahendra. Keterlambatan mengantisipasi perubahan ilmu lawan membuat Mahendra sedikit keteteran, meski belum bisa dikatakan terdesak.

Yang jelas, jika sebelumnya liukan dan gaya ular terbang Mahendra yang menguasai arena, maka sekarang adalah puluhan atau malah ratusan telapak tangan Kwi Beng yang mengejar-ngejar Mahendra. Untungnya, gerakan liukan ular memang selain cepat, juga sangt licin. Karena itu, meski berkali-kali nampak seperti nyaris terpukul, tetapi liukan khas ular Mahendra pada detik menentukan membuat kondisi “nyaris” menjadi buyar kembali.

Pertarungan keduanya benar-benar menyedot perhatian banyak orang. Baik dari pihak Thian Liong Pang maupun para pendekar. Bukan sedikit yang berdecak kagum melihat keduanya, bukan hanya Mahendra tetapi juga Kwi Beng dalam cara mereka bertahan, menyerang dan bahkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu mereka secara sempurna.

Kepenasaran dan kecemasan tokoh-tokoh Siauw Lim Sie perlahan membuyar melihat bagaimana jurus-jurus ampuh dan mujijat Siauw Lim Sie dipergunakan secara sangat baik oleh Kwi Beng. Apalagi, karena mereka mengenal keampuhan dan kemampuan Mahendra yang sudah lama sangat terkenal di Tionggoan bersama pasangannya Gayatri.

Mereka melihat Ceng Liong memandang penuh perhatian ke arena dan tidak pernah merasa tegang dengan perkelahian itu. Nampaknya Ceng Liong sangat mempercayai kemampuan Kwi Beng, demikian juga Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie. Semua ini membuat para tokoh Siauw Lim Sie kini juga memberi beban dan harapan berlebih ke Kwi Beng, dan ini sangat bisa dimaklumi.

Nampaknya Pangcu Thian Liong Pang juga memiliki pandangan yang sama. Sama dalam artian, tidaklah mudah meraih kemenangan dan karenanya bakalan panjang pertarungan tersebut. Karena setiap pergantian jurus dan ilmu, kedua tokoh yang bertempur itu mampu melakukannya secara baik. Jikapun sempat terdesak, dengan cepat keduanya menemukan ilmu atau jurus yang tepat untuk kembali memaksakan posisi seimbang. Karena itu, Pangcu Thian Liong sebagaimana jiuga Ceng Liong, cun Le dan Liong-i-Sin Nie nampak tidaklah terlampau tegang. Mereka menyaksikan pertandingan tersebut secara saksama dan betapapun mereka harus mengagumi penguasaan ilmu kedua orang itu yang memang sudah sangat baik.

Pertempuran akan makan waktu lama, dan karena itu masih lama menunggu hasil akhirnya. Yang jelas, arena perkelahian kedua tokoh beda generasi itu sekarang sudah kembali seimbang ketika Ban Hud Ciang yang dilepaskan Kwi Beng ditandingi oleh Mahendra dengan kelebihan kegesitan dan kelicinan geraknya. Benar-benar persis gaya dan trik seekor ular.
Jikapun ada yang tegang, maka si pemuda adik kembar Kwi Beng, yakni Kwi Song orangnya. Maklum, betapapun dia memiliki hubungan batin yang luar biasa sebagai sepasang anak yang dilahirkan kembar. Karena itu, perjuangan kakaknya juga menjadi perjuangannya. Dan kini dengan tegang dia menyaksikan pertempuran, bagaikan dirinya sendiri yang terlibatt dalam pertempuran seru dan menentukan itu. Bahkan sesekali tangannya terkepal dan ekspresi tegang secara jelas tertera di wajahnya.

Pada puncak-puncak penggunaan Ban Hud Ciang, tiba-tiba arena pertempuran bukan hanya dipenuhi laksaan telapak tangan, tetapi juga mulai diselingi dengan suara-suara seruan memuji kebesaran Budha. Entah darimana datangnya, karena Kwi Beng tidak nampak membuka mulutnya.

Kwi Beng sama sekali tidak mengeluarkan suara-suara pujian itu, tetapi yang pasti arena itu dipenuhi suara-suara pujian kepada Sang Budha: “AMITABHA ....................”, dan terdengar berkali-kali secara lembut. Banyak orang tidak paham, kecuali beberapa orang yang memang berkemampuan melihat.

Ban Hud Ciang pada puncak penggunaannya memang akan mengeluarkan “gaungan” suara memuji kebesaran Budha. Kecepatan penggunaan telapak tangan dan kekuatan batin yang tergunakan untuk melandasi penggunaan ilmu itu, membuat banyak orang bagaikan mendengar ucapan memuji kebesaran Budha. Padahal, Kwi Beng yang melontarkan ilmu itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun.

Lebih mujijat lagi, pada saat bersamaan suara keemasan memancar dari tapak-tapak sakti yang kini memenuhi angkasa. Perbawa ilmu ini memang luar biasa, selain membekal kekuatan telapak yang hebat, juga menghasilkan perbawa yang mampu menghadirkan optimisme dan keyakinan diri. Dan inilah lontaran telapak Budha pada puncak penggunaannya.

Mahendra bukannya tidak menyadari keampuhan ilmu tersebut. Apalagi ketika angkasa bagaikan dipenuhi sinar keemasan yang bercahaya gemilang karena ribuan telapak tangan seakan-akan memenuhinya. Belum lagi kondisi mentalnya yang tiba-tiba seakan kecut menghadapi ilmu tersebut. Sadar berhadapan dengan ilmu mujijat dengan kekuatan batin dibaliknya, Mahendra tidak mau berayal lagi. Dia segera dengan cepat menyiapkan ilmunya Silat Sihir Ular Dewa Dari Langit Selatan. Ilmu inipun didorong oleh kekuatan batin dan kekuatan sihir, dan karena itu tubuhnya bagaikan dikelilingi oleh ribuan ular berwarna merah kehitam-hitaman.

Dan sesaat kemudian, lingkaran telapak tangan berwarna keemasan dan mengaungkan kebesaran nama Budha berbenturan dengan lingkaran warna merah kehitaman yang mengaungkan suara-suara desisan ular dalan nuansa yang sangat mistis. Dan benturan tersebut mengeluarkan suara bagai prahara dimana desisan-desisan magic dan mistis ular berganti-ganti dengan suara “Amitabha”. Kesannya sungguh mengerikan, tetapi tidak berapa lama kemudian adalah “sinar keemasan” dan gaung “Amitabha” yang mendominasi.

Dan sesaat kemudian, kedua tubuh terlontar dari saling libasnya lingkaran warna keemasan dan lingkaran merah hitam. Gaung suara desis ular maupun pujian amitabha, tiba-tiba sirna. Dua tubuh terpisah oleh jarak 6-7 meter dan jika dilihat, meski ada sedikit keuntungan yang diperoleh Kwi Beng, tetapi tidak akan cukup atau kurang memadai untuk disimpulkan sebagai pemenang.

Karena itu, kedua pihak tidak ada yang berani bersuara untuk mengklaim pemenang dari pertempuran seru itu. Dan nampaknya, Kwi Beng ataupun Mahendra memang paham bahwa posisi keduanya masih belum ada yang menentukan. Masih belum ada pemenang, dan keduanya nampak jelas telah mempersiapkan ilmu baru untuk pertarungan selanjutya
 
3


Mahendra yang sedikit menderita kerugian dalam benturan terakhir harus membalikkan keadaan jika tidak ingin dinyatakan kalah. Dan untuk itu, dia harus menaklukkan lawan mudanya dengan telak. Itu jugalah sebabnya dia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ilmu mujijat yang sudah puluhan tahun coba disempurnakan bersama pasnagannya Gayatri.

Ilmu kebanggaan mereka tersebut adalah kombinasi Hui Sian Coa Pat Poh (Delapan Langkah Ular Dewa Terbang) dan Ilmu Sihir Ular Dewa Mengguncang Mayapada. Inilah kombinasi ilmu langkah ajaib, berbeda dengan tarian sihir ular dewa yang membuat mereka bagaikan ular terbang yang mengejar mangsa, maka ilmu ini pada dasarnya sangat kental ilmu sihir dan dipadukan dengan langkah-langkah ajaib ular dewa terbang. Pada kombinasi kedua ilmu inilah mereka merangkum semua gerak, semua ilmu dan pemahaman mereka atas gerak dan gaya bersilat dari India, Tionggoan dan bahwa Swarnadwipa.

Harus dicatat, kedua tokoh Thian Tok ini memang ahli-ahli silat sekaligus ahli sihir yang sangat hebat. Justru daya dukung ilmu sihir mereka itulah yang membuat kemampuan ilmu silat mereka menjadi lebih mengerikan dan bertambah kehebatannya. Ketika menemukan kenyataan betapa dirinya dirugikan oleh benturan terakhir, dalam malunya Mahendra akhirnya berusaha untuk menebus kerugian itu dengan mengalahkan lawannya.

Dimata banyak orang berkepandaian cetek, Mahendra telah dikelilingi oleh bayangan ular maha besar dengan pijar-pijar merah kehitam-hitaman. Jangankan yang berilmu cetek, bahkan Kwi Bengpun terpengaruh pandangannya oleh keampuhan ilmu sihir lawan, hingga dia memandang lawannya bagaikan sedang memandang seekor ular raksasa meski berganti-ganti dengan wajah asli Mahendra.

Hal ini mengejutkannya, tetapi sama sekali tidak membuatnya takut atau berkecil hati, karena dia merasa masih sanggup membentengi diri dengan kekuatan khikang yang telah meningkat pesat atas bantuan tokoh-tokoh hebat sebelumnya. Itulah sebabnya, ketika mengerahkan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang pada puncak penguasaannya, disekeliling tubuhnya bagaikan telah terlindung oleh hawa khikang yang luar biasa.

Tetapi, begitupun Mahendra masih sanggup untuk mendekati dan menyerang Kwi Beng. Hal itu bukan karena ilmu Kwi Beng yang kalah mutu, tetapi lebih karena ada beberapa saat Kwi Beng “salah mata”, menganggap yang menyerangnya adalah “seekor ular”, meski hal itu hanya terjadi dalam sekejap. Karena dengan mengerahkan kekuatan batinnya dia mampu memandang mahendra kembali sebagai Mahendra dan bukan sebagai seekor ular maha besar. Tetapi, waktu sekejap itu tetap memberi peluang Mahendra untuk menyerang semakin gencar.

Untungnya, Kwi Beng bersilat dengan salah satu ilmu mujijat Tay Lo Kim Kong Sin Ciang dans esekali mengisi kekuatan jarinya dengan Kim Kong Cie. Ilmu kekuatan jari selain Tam Chi Sin Thong, tetapi berbeda daya gunanya. Jika Tam Ci Sin Thong bermanfaat untuk melontarkan totokan jarak jauh, maka Kim Kong Cie bermanfaat untuk digunakan dalam pertarungan jarak dekat.

Itulah sebabnya Mahendra tidak sanggup mendekati Kwi Beng lebih jauh. Meskipun menyerang ketat, tetapi dia tetap tak sanggup memojokkan Kwi Beng karena serangan-serangan balasan Kwi Beng sama dengan pertahanannya sangatlah kokoh dan berbahaya. Karena itu, hanya benturan-benturan keras yang terjadi antara keduanya dengan tak seorangpun sanggup memperoleh keuntungan dari benturan kekuatan keduanya.

Mahendra tambah penasaran: “celaka kalau aku keok di tangan anak muda ini”, pikirnya. Tetapi, pengalaman tandingnya yang banyak dan luas membuat Mahendra mulai memikirkan taktik lainnya. Tak ada cara lain, kemenangan harus diraih dengan cara lain, curang sekalipun. Dan, Sepasang Ular Dewa memang tokoh-tokoh yang tidak mengharamkan mengambil kemenangan dengan menggunakan segala macam cara, sekalipun cara curang ataupun licik.

Dan, Mahendra mulai mempertimbangkan untuk menggunakan salah satu senjata andalan, senjata rahasia yang terhitung “sangat jarang” mereka berdua mempergunakannya, yakni senjata rahasia “ular api emas”. Ular ini terhitung salah satu “ular terkecil” yang hanya hidup di tanah Thian Tok dengan ukuran yang hanya beberapa senti meter. Mungkin hanya sepanjang 5 senti meter, namun mampu mengeluarkan api dan sinar keemasan, tahan api dan sanggup menembus perisai sinkang seseorang. Hebatnya lagi, ular mini ini sanggup terbang cukup lama dalam kecepatan tinggi sebelum harus kembali ke tanah atau ke tangan pemegangnya.

Baik Mahendra maupun Gayatri masing-masing hanya memiliki sepasang. Karena ular jenis ini harus hidup berpasangan dan jika dipisahkan hanya akan sanggup bertahan sendirian selama lebih kurang 5 hari. Itulah sebabnya, Mahendra maupun Gayatri hanya memiliki masing-masing 1 pasang. Memiliki lebih banyakpun nyaris mustahil, karena ular jenis ini terlampau langka dan jarang menampakkan diri. Dan senjata rahasia inilah yang kini ada dalam angan Mahendra untuk dilepaskan guna memperoleh kemenangan.

Mahendra paham, lawannya bukan lawan ringan. Menyerang dengan senjata rahasia biasa tidak akan mendatangkan sedikitpun manfaat. Karena itu, Mahendra merancang sebuah serangan menentukan dengan memanfaatkan sekaligus puncak kemampuan ilmunya yang akan dilanjutkan dengan serangan senjata rahasia.

Mahendra mampu merancang strataeginya karena betapapun dia memang dalam posisi menyerang dan mendesak Kwi Beng. Kwi Beng memang sanggup bertahan dengan baik dan menghadirkan rasa kagum bagi banyak orang, terutama di kalangan jago-jago Siauw Lim Sie. Para tokoh utama, termasuk Ciangbunjin, wakilnya serta para tokoh-tokoh utama berdecak kagum menyaksikan Kwi Beng memperagakan ilmu pusakan mereka secara sempurna.

Tetapi poisis Kwi Beng memang kurang baik ketika harus berkali-kali diserang dengan ilmu sihir lawan. Jika tanpa sihir, Kwi Beng sudah pasti akan berada dalam posisi menyerang. Sayangnya, Mahendra sangat mahir mempergunakan sihir dan ini tentunya sangat menguntungkan. Karena jika terdesak, Mahendra akan kembali melontarkan ilmu tersebut, dan Kwi Beng butuh waktu beberapa detik untuk menetralisasi posisinya.

Kwi Beng menerapkan strategi secara benar sebetulnya. Dia paham, jika Mahendra terus menerus mempergunakan ilmu sihir untuk menekannya, maka lawan akan cepat berkurang ketahanan dan keuletannya. Ditambah dengan usia tua, maka Mahendra akan bertambah cepat menurun daya tempurnya. Maka Kwi Beng tidak dengan segera mencecar lawannya, melainkan menunggu saat yang tepat untuk mendesak mahendra dengan memanfaatkan usia muda dan daya tahannya yang jelas melebihi Mahendra.

“Hendak kulihat, sampai dimana daya tahanmu” pikir Kwi Beng untuk meraih kemenangan dengan memanfaatkan usia mudanya.

Dalam kondisi normal, pilihan Kwi Beng memang tepat. Tetapi, mahendra yang licik juga punya perhitungannya sendiri. Pada saatnya, kembali dia mendesak Kwi Beng dengan ilmu sihirnya, dan ketika Kwi Beng harus melangkah ke belakang untuk menghindar dan menormalisasi dirinya, Mahendra dengan cepat memanfaatkan situasi dengan meraih sesuatu ka kantongnya. Keadaan ini tidak luput dari mata banyak orang, tetapi tak satupun yang paham apa yang akan dilakukan Mahendra.

Yang pasti, ketika Kwi beng kembali bersiap, Mahendra tiba-tiba memutuskan menyerangnya dengan salah satu jurus maut dan pamungkas dari ilmu silat andalannya: Ilmu Sihir Ular Dewa Mengguncang Mayapada. Dengan jurus Ular Dewa menerjang prahara, Mahendra menyerang Kwi Beng yang terkesiap melihat Mahendra telah bersiap dalam jurus maut. Tetapi tak ada waktu cukup baginya untuk menyiapkan jurus pamungkasnya, selain mengerahkan seluruh iweekangnya untuk mempertahankan diri.

Bagaikan laksaan ular meluncur kearahnya, tetapi karena paham lawan menggunakan sihir, Kwi Beng mengeraskan hati dan memusatkan pikiran batinnya. Dalam puncak penggunaan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang dia memapak pukulan lawan:

“Bresssssssss .................” dalam kekuatan iweekang yang nyaris seimbang, sementara lawan dalam posisi lebih baik, Kwi Beng sedikit mengalami kerugian. Dia terdorong jauh ke belakang, hampir 7 langkah sebelum kembali tegak berdiri. Sementara Mahendra hanya terdorong 3-4 langkah ke belakang dan langsung bersiap menyerang Kwi Beng.

Kwi Beng sadar bahaya mengancamnya, karena itu sambil membiarkan dirinya terdorong ke belakang, dia menyiapkan ilmu pamungkasnya Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih). Dan ketika berdiri dan mengerahkan ilmu tersebut, tubuhnya segera diselubungi oleh awan putih yang cukup pekat.

Tetapi, Mahendra sudah tentu tidak akan menyia-nyiakan posisi baiknya. Tangannya yang digunakan untuk “meraih” sesuatu dari kantongnya telah dikebaskan kedepan, bersamaan dengan pengerahan kekuatan sihir sekuat-kuatnya. Maka sambil Kwi Beng membentengi diri dengan ilmu terakhirnya, tiba-tiba dia melihat sinar api keemasan berkeredep yang diawali dengan seruan Mahendra: “awas senjata” .....

Nampaknya saja Mahendra bersikap kstaria dengan memberi tahu Kwi Beng lebih dahulu. Lagipula, tidak ada larangan dalam pibu ini untuk mempergunakan senjata atau tidak. Karena itu, meski banyak tokoh terkesiap dengan kecurangan Mahendra, terutama tokoh-tokoh Siauw Lim Sie dan apalagi Kwi Song, tetapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. Hanya beberapa tokoh, Cun Le, Liong-i-Sin Nie, Sian Eng Cu, juga nampak Pangcu Thian Liong Pang terkesiap dengan serangan licik Mahendra. Bukan serangan liciknya, tetapi senjata rahasia ampuh yang dilepaskannya yang membuat mereka terkesiap.

“Astaga, itu Ular Api emas ...... hati-hati” seru kakek Kiang Cun Le tak tertahan. Dia paham bahayanya ular kecil yang memiliki keampuhan khusus dalam menerjang perlindungan iweekang seseorang. Hanya, apakah dia sanggup menerjang hawa khikang Kwi Beng?

Adalah wi Beng yang awalnya berkeyakinan. Tetapi, selain dia belum siap dengan Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih) secara 100% dan otomatis hawa khikangnya belum optimal melindunginya, mendengar desisan kaget Cun Le, diapun goyah. Disini, pengalaman dan kematangan bertempur memang berperan sangat penting. Dan disinilah letak kealpaan Kwi Beng dalam pertempuran seru ini. Pertempuran yang menjadi pelajaran berharga baginya, karena kelak pelajaran dari pertempuran ini telah mematangkannya dan membuatnya menjadi jauh lebih digdaja.

Goyahnya keyakinan Kwii Beng ditambah dengan senjata rahasia yang ternyata bukan “jenis jarum” atau jenis “senjata benda mati” melainkan seekor ular kecil, membuatnya harus membayar mahal. Terlebih, ketika ular api emas mampu menerjang hingga mendekati dirinya. Untungnya, ketika ular api itu semakin dekat, ternyata dia tak sanggup menerobos perlindungan hawa khikang terakhir yang semakin kokoh dikembangkan Kwi Beng.

Kwi Beng akhirnya menghempaskan tangannya guna mengusir ular api emas tersebut. Tetapi, hempasannya dengan menggunakan tangan kanannya tetap tidak mampu membunuh ular itu yang segera terbang kembali kearah Mahendra. Justru bahaya sesungguhnya baru tiba. Karena Mahendra sudah menyiapkan serangan pamungkas dari jurus terakhir ilmua mautnya: Ular Dewa mengamuk memproak-porandakan mayapada. Tepat ketika Kwi Beng mengibas, saat itulah Mahendra melepaskan serangannya dengan kekuatan penuh. Kekuatan tenaga dalam dan kekuatan sihir dalam kombinasi di jurus pamungkasnya.

Mahendra membiarkan ular emasnya yang sebetulnya sedang terbang kearahnya, melainkan terus menerjang Kwi Beng yang masih belum sempat mengkonsolidasikan kekuatannya pasca mengibaskan Ular Api Emas dengan tenaga dalamnya. Untungnya, dia telah menghimpun kekuatan utamanya dalam ilmua mujijat Pek In Tai Hong Ciang. Ilmu ciptaan gurunya yang terakhir, dan yang kini sudah dikuasainya secara penuh. Tetapi, sayangnya dia tak sanggup menggunakan puncak kekuatannya guna menghadapi Mahendra yang secara licik menyergapnya ketika tidak siap ......... dan akibatnya .....

“Bressssssssss .............. duaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrr”
Benturan hebat terjadi antara keduanya. Dan akibatnya, Kwi Beng terdorong sampai 5 langkah ke belakang untuk kemudian duduk bersila karena dari mulutnya mengalir darah akibat luka dalam. Sementara Mahendra sendiri terdorong sama jauhnya, sampai lima langkah dengan mulut berlumuran darah tetapi masih sanggup tetap berdiri.

“Koko ........” adalah Kwi Song yang langsung berkelabat mendatangi Kwi Beng begitu melihat saudara kembarnya terluka dan duduk bersila. Tetapi, begitu membantu Kwi beng dengan menyalurkan tenaga dalamnya didapatinya jika Kwi Beng tidaklah terluka parah. Maka secepatnya setelah membantu secukupnya, segera dia menarik kembali nafasnya sambil menarik nafas bersyukur.

“Song te, bagaimana keadaannya”? Ceng Liong yang telah berada dekat Kwi Song bertanya khawatir.
“Beng koko memang terluka, tetapi keadaannya tidak ada halangan serius. Sebentar lagi juga Beng koko sembuh”
“Syukurlah kalau begitu”

Sementara itu, terjadi ketegangan lain. Seorang tokoh Siauw Lim Sie, Kong Hian Hwesio, tokoh terkenal asal Siauw Lim Sie yang menyertai Kiang Hong ke Lam Hay namun tertawan Thian Liong Pang telah berkata:

“Sungguh memalukan, tokoh sebesar Mahendra berlaku curang untuk mencari kemenangan”
“Kemenangan tetap kemenangan, bagaimanapun itu diperoleh” adalah Gayatri yang menyemprot Kong Hian Hwesio
“Entah bagaimana pertimbangan Sian Eng Cu Tayhiap” berkata Pangcu Thian Liong Pang dengan tenang.
“Hmmmmmm, jika Mahendra tidak mempergunakan kecurangan dan kelicikan, bisa dipastikan dia akan dikalahkan anak muda itu” berkata Sian Eng Cu dengan sengaja tidak menetapkan siapa menang dan siapa yang kalah. Tetapi, Gayatri sudah dengan garang berkata:

“Apakah ditetapkan bagaimana cara kemenangan itu diperoleh”?
“Memang tidak” sahut Sian Eng Cu setelah beberapa saat
“Siapakah yang menang kali ini”? kejar Gayatri
“Hmmmm, sudah kukatakan, jika tanpa kecurangan siapapun tahu, Mahendra tidak akan memperoleh kemenangan”
“Tetapi, fakta sekarang siapakah yang menang”? Gayatri tetap berkeras.
“Baiklah, meskipun licik dan curang, Mahendra tetap menang. Meskipun memalukan baginya sebagai seorang tokoh gagah dan tua” tegas Sian Eng Cu

“Menang ya menang, kalah ya kalah” gerutu Gayatri, sementara itu Mahendra juga naik darah dengan penegasan Sian Eng Cu. Terutama karena dia sadar apa yang dikatakan Sian Eng Cu memang benar belaka.
“Jika engkau mau, aku masih berkekuatan untuk melanjutkan guna menentukan siapa kalah dan siapa menang” Mahendra maju kembali. Tetapi, sudah jelas dia berani karena Kwi Beng masih sedang memulihkan diri. Hanya saja, Kwi Song yang tidak mampu menahan diri:
“Baik, biar aku yang menggantikan kakakku untuk membuktikan bahwa kami tidak akan kalah melawan orang licik macam engkau”

Sambil berkata, Kwi Song telah maju kehadapan Mahendra. Kekesalan dan kemarahan Kwi Song bisa dimaklumi. Apalagi dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kakak kembarnya dicurangi lawan hingga terluka.

“Hmmm, kau mau menggantikan kakakkmu anak muda? Melawanku secara bergantian? Itukah yang engkau maksudkan dengan kegagahan”? Mahendra menjawab sambil menyindir Kwi Song.

“Sudahlah Song te ....... memang hanya sebegitu kebisaannya, menggunakan kelicikan guna memenangkan pibu” Ceng Liong telah mendekati Kwi Song sambil memegang tangannya untuk berlalu dari arena.

“Hmmm, anak muda engkau berani menghinaku”? Mahendra menjadi sangat gusar karena seorang anak muda secara terang-terangan berani menghina dan meremehkan kemenangannya di hadapan banyak orang gagah.

“Akan tiba saatnya Kwi Beng atau Kwi Song menunjukkan padamu bagaimana mengalahkanmu secara gagah tanpa mesti licik sepertimu” Ceng Liong menjawab sambil berbalik dari arena dengan menyabarkan Kwi Song.

“Dasar orang tua pengecut” Kwi Song masih sempat menyumpah sebelum berbalik bersama Ceng Liong dari arena.

Tetapi Mahendra terbakar dengan sikap Ceng Liong dan Kwi Song yang menghina dan meremehkannya. Menjadi lebih gusar mendengar kalimat terakhir dari Kwi Song, dan murka melihat kedua anak muda itu berlalu setelah menghinanya dari arena.

“Anak muda sombong, lihat bagaimana Mahendra mengalahkan kalian” Mahendra telah dengan murka menyerang Ceng Liong yang telah berbalik bersama Kwi Song. Adalah Ceng Liong yang diarah oleh Mahendra karena Kwi Song terlindung oleh tubuh dan badan Ceng Liong. Mahendra menyerang dengan segenap kekuatannya karena marah dan tersinggung oleh kalimat-kalimat tajam Ceng Liong dan Kwi Song. Tetapi keliru jika dia menyangka Ceng Liong akan menjadi makanan empuknya meski telah membelakanginya:

“Pergi engkau .....” dalam murkanya, Ceng Liong telah mempergunakan Sin Liong-Hoan Kin (Naga Sakti Memindahkan Tenaga), salah satu jurus yang dirangkainya untuk memanfaatkan kekuatan matanya. Tetapi, sebagaimana diketahui, baru Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah) dikuasainya. Sementara memanfaatkan kekuatan matanya untuk menotok dan menerjang dengan kekuatan penuh, masih sedang ditelusurinya.

Salah satu rangkain yang disusunnya untuk kekuatan istimewanya itu adalah Sin Liong Hoan Kin, sebuah kebasan dengan kekuatan penuh. Hanya, dia memikirkannya untuk digunakan dengan kekuatan istimewa pandang matanya, menggetarkan lawan dengan kekuatan sinkang yang disalurkan lewat mata. Tetapi sekarang, kekuatan tenaganya digunakan bukan dengan mata, tetapi dengan mengebaskan lengannya ..... dan

“Bressssssssssss .........”
Tanpa terdengar bunyi apa-apa, tubuh Mahendra telah terjengkang kebelakang dan hebatnya Mahendra hinggap di barisan depan kelompoknya, Thian Liong Pang bagaikan tertiup angin dan sama sekali tidak terluka. Tetapi, dia menjadi sakit hati, murka sekaligus ngeri ketika mendengar Ceng Liong berkata:
“Jika tidak mengingat engkau angkatan tua dan baru saja bertempur, maka setidaknya engkau sudah terkapar dan terluka parah. Lain kesempatan engkau harus berhati-hati”

Tetapi, akibat dari kebasan Ceng Liong membuat banyak orang terperangah. Bahkan termasuk kakeknya sendiri, Kiang Cun Le. Karena setahunya, Ceng Liong masih belum berbekal kebasan maut tadi beberapa waktu sebelumnya, tetapi sekarang mengapa Ceng Liong telah sanggup memainkan Sin Liong Hoan Kin dan juga Tan Cit Pa Siat? “Sungguh kemajuan anak itu sulit ditebak” pikir Kiang Cun Le.

Sementara tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang sama terkejut melihat dengan mudahnya Ceng Liong melontarkan Mahendra balik kekelompoknya. Dan bahkan kelihatannya, kejadian itu dilakukannya secara santai. Lebih hebat lagi, Ceng Liong mampu mengukur kekuatannya dengan tidak melukai Mahendra. Sulit ditebak, sudah sampai dimana tingkat kepandaian anak muda itu dewasa ini. Bahkan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sama berpikir: “Nampaknya anak ini masih setingkat di atas pendekar muda kebanggaan mereka masing-masing”.

Sementara itu, Mahendra cukup tahu diri dan menjadi ngeri dengan kejadian barusan. “Sesungguhnya sulit mengerti kemajuan anak itu, baru beberapa bulan sebelumnya anak itu masih sanggup diatasi, tetapi sekarang, kakeknya sendiri nampaknya sulit menandinginya” pikir Mahendra. Dan hal itu disampaikannya kepada Gayatri yang ikut menjadi penasaran dengan kejadian Mahendra yang dikebas seenaknya oleh Ceng Liong tanpa terluka. Tetapi, karena tidak mengalaminya sendiri, Gayatri penasaran. Dan kepenasarannya segera diekspresikannya. Dengan gagahnya Gayatri maju ke arena dan menantang Ceng Liong:

“Anak muda, karena kakekmu Mahendra sudah selesai memenangkan babak selanjutnya, tidak ada salahnya jika engkau kini maju untuk memberiku pengajaran”

Bukan hanya Mahendra yang terkejut, tetapi Pangcu Thian Liong Pang juga terkejut. Karena keduanya sadar, Gayatri masih belum tandingan Ceng Liong. Kalau Mahendra hanya mengalami dikebas dan terpental mundur, tetapi Pangcu Thian Liong Pang mengalami langsung bertempur tanpa kesudahan dengan Ceng Liong. Karena itu, wajar jika keduanya kaget.

Begitupun dengan Ceng Liong. Betapa kaget dia ketika menemukan seorang nenek kini menantangnya untuk memasuki arena. Ceng Liong menjadi serba salah. Keadaan tersebut membuatnya secara tidak sengaja memandang Mei Lan yang juga sedang memandangnya. Segera Mei Lan sadar jika Ceng Liong serba salah untuk menandingi nenek itu. Karena itu dengan cepat dia berkata:

“Suheng, jika diijinkan, perkenankan aku menandingi nenek itu” tetapi sambil berkata demikian, setelah menghormat Sian Eng Cu dan pengemis Tawa Gila, Mei Lan telah melangkah memasuki arena. Dan belum sempat Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila memberi persetujuan, langkah kakinya yang nampak seenaknya telah dengan cepat membawanya berhadapan dengan Gayatri. Melihat keadaan itu, Sian Eng Cu yang paham benar dengan keadaan Mei Lan menjadi khawatir.

Benar dia tahu sumoy yang juga dididiknya sekian lama itu sudah berkepandaian hebat, bahkan telah melampauinya, tetapi lawannya kali ini adalah salah satu tokoh hebat asal Thian Tok. Tetapi repot, sumoy yang dikasihi bagai anak sendiri itu telah berhadapan dengan nenek Gayatri. Berbeda dengan Pengemis Tawa Gila, yang dalam waktu sepersekian detik telah memperoleh bisikan dari Liong-i-Sin Nie: “biarkanlah muridku itu melawan Gayatri, dia telah memiliki bekal yang lebih dari cukup”

“Baiklah, babak selanjutnya Liang Mei Lan, murid Wie Tiong Lan Pek Sim Sian Su darei Bu Tong Pay dan juga murid Liong-i-Sin Nie akan maju mewakili kami” seru Pengemis Tawa Gila

“Baiklah, biarlah nenek Gayatri mewakili kami” Pangcu Thian Liong Pang yang tadinya cemas jika Ceng Liong yang maju menjadi sedikit gembira. Tetapi, sebelum babak selanjutnya berlangsung, dia kembali berkata untuk penegasan:

“Tetapi, salahkah jika babak sebelumnya dimenangkan pihak kami”?

“Sekali lagi, meski secara licik dimenangkan Mahendra tetapi kami bersedia menerimanya” Pengemis Tawa Gila menegaskan.

“Bagus, jika demikian kedudukan kita sama 1 – 1”.

Sementara itu Gayatri yang sebetulnya penasaran ingin menjajal Ceng Liong telah menumpahkan kemarahannya dengan menghadapi Mei Lan:
“Anak gadis, tidakkah engkau takut kecantikanmu itu luntur jika kupermak dengan ular saktiku”?
“Ular tidak membuatku takut Nenek. Hati-hati, jangan sampai ular itu mati terbunuh tanganku” Mei Lan justru berkelakar
“Baiklah, mari kuberi pelajaran kepadamu anak ....”

Belum lagi Mei Lan memulai pertempuran terdengar bisikan di telinganya:

“Muridku, sambut pedangg ini dan siapkan sambil berjaga-jaga dengan ular api emas milik Nenek Gayatri”

Mei Lan menoleh ke arah Liong-i-Sin Nie yang mengangguk kearahnya sambil mengibaskan lengannya. Entah bagaimana caranya, tubuh Mei Lan tahu-tahu telah bergerak mencelat ke arah bayangan pedang yang dilontarkan Liong-i-Sin Nie ke arahnya. Dan dalam sekejap dia telah menggenggam pedang itu dan menyimpannya.

Pedang yang dilontarkan Liong-i-Sin Nie adalah sebatang Pedang Pusaka yang lama menjadi kebanggaannya. Pedang itu bernama “Pedang Janggut Naga”, sebatang pedang pusaka lemas dan akan berubah menjadi teramat tajam dan mampu memapas besi sekalipun begitu dialiri tenaga dalam. Pedang itu dapat dilipat dan bahkan dapat digunakan menjadi sabuk ketika tidak digunakan, dan begitulah cara Mei Lan menyimpannya, yakni dengan menjadikannya sabuk.

Tetapi bukan pedang itu yang membuat orang berdecak kagum. Adalah cara Mei Lan bergerak dan kecepatannya yang membuat orang memandangnya takjub, karena nyaris tak terlihat bagaimana cara Mei Lan bergerak, dan tahu-tahu tubuhnya telah berkelabat dan melayang menyambut pedang. Dan kembali ketempat semula hanya dalam hitungan kurang dari sedetik.

“benar-benar gadis itu pewaris yang tepat atas ginkang Liong-i-Sin Nie” kagum Siauw Lim Sie Ciangbudjin dan bahkan beberapa tokoh kenamaan lainnya.

“Anak itu benar-benar telah mewarisi kesaktian ginkang sumoy” begitu Kiang Cun Le berpikir dengan kagum melihat kehebatan Mei Lan dalam bergerak. Sementara Sian Eng Cu sendiri menjadi lebih mantap dan terhibur melihat ternyata sumoy yang juga sudah dianggap anaknya sendiri ternyata telah berkembang lebih jauh kehebatan ginkangnya:

“Benar-benar tak percuma sumoy dididik kembali oleh nikouw sakti itu”.

Liang Mei Lan sendiri tidaklah bermaksud memamerkan kehebatan ginkangnya, karena kini dia telah sanggup mencapai tahapan bergerak sesuai dengan kehendak hatinya. Tahapan yang sudah lama dicapai oleh Liong-i-Sin Nie dan kini telah mampu direndenginya. Gerakan menyambut pedang tadi dilakukannya secara otomatis dan nyaris tanpa berpikiran macam-macam. Dan hanya Liong-i-Sin Nie sendiri yang paham akan hal tersebut. Karena beberapa waktu terakhir ini, dia sendiri telah menyaksikan dan meningkatkan kemampuan Mei Lan, baik dalam ilmu-ilmu silat warisan Iwe Tiong Lan Pek Sim Siansu maupun ginkang istimewa warisannya.

Dalam hal ginkang, adalah Liang Mei Lan dan Kiang Sun Nio yang mewarisi kehebatan Liong-i-Sin Nie, meskipun Sun Nio yang adalah adik Kiang Ceng Liong masih teramat muda. Tetapi, ilmu-ilmu istimewa Liong-i-Sin Nie lainnya hanya diturunkan kepada Kiang Sun Nio. Sengaja Mei Lan tidak diwarisinya ilmu-ilmunya, karena bekal yang diberikan Wie Tiong Lan, sesepuh Bu Tong Pay sudah lebih dari mencukupi. Liong-i-Sin Nie terhitung hanya “melengkapi” kehebatan Mei Lan semata. Meski demikian, Mei Lan memperlakukan Liong-i-Sin Nie sebagai subonya, karena nikouw sakti itu berjasa besar menyelamatkan nyawanya dan menyempurnakan penguasaan sinkangnya.

Dan kini, dua naga betina yang sama ampuh dan saktinya telah saling berhadapan. Gayatri menegur:

“Engkau berani menghadapiku nona kecil”?

“Mengapa tidak nenek? Bahkan menghadapi kelicikan dengan penggunaan ular api emas sekalipun” balas Mei Lan.

“Apakah engkau tidak takut terkenal racun ularku? Sayang wajahmu yang cantik jelita itu”

“Belum tentu engkau sanggup meracuniku” tegas Mei Lan

“Kalau begitu, maaf”

Belum habis kata “maaf” diucapkan, nenek itu telah bergerak menyerang Mei Lan. Tetapi, secepat apapun nenek Gayatri bergerak, masih lebih cepat dan lebih pesat lagi Mei Lan dalam gerakannya. Begitu melihat Gayatri menyerangnya, perasaan halus Mei Lan telah membisikinya dan secara otomatis tubuhnya bergerak. Disinilah keampuhan Mei Lan, tingkat yang bahkan masih belum mampu dicapai Sun Nio. Pada tingkat ini dia sudah mampu menyusul kehebatan Liong-i-Sin Nie.

Gayatri dan banyak orang kaget dan bertambah kagum menyaksikan pergerakan awal kedua naga betina itu. Kaget melihat Gayatri yang tidak malu-malu memulai menyerang dengan jurus mematikan dan kagum melihat bagaimana response Mei Lan dengan gerakan ginkangnya yang mengagumkan. Ketika sergapan tangan Gayatri telah tiba beberapa inchi saja dari tubuh Mei Lan, entah dengan gaya dan cara bagaimana tubuh Mei Lan telah bergerak.

Gerakannya begitu ringan bagai terhembus angin dan membuat pukulan serta sabetan Gayatri jatuh ditempat kosong. Dan serangan pertama ini telah meyakinkan Gayatri bahwa dia tidak akan menang dalam hal ginkang melawan Mei Lan. Dan karena itu, dia mulai berpikir untuk merancang strategi bertempur yang lain. Mengandalkan kecepatan akan membuatnya jatuh di bawah angin dan karena itu dia mencoba untuk mendesak Mei Lan bertempur dengan emngandalkan kekuatan sinkang, ilmu sihir sebagaimana Mahendra sebelumnya dan kelebihan senjatanya yang hidup, yakni ular-ular beracun, termasuk ular api emas yang juga sudah dipergunakan Mahendra sebelumnya.

Tetapi Gayatri salah menduga jika menyangka bahwa Mei Lan hanya mengandalkan kehebatan ginkangnya semata. Selain telah membekal pedang pusaka yang ampuh, Mei Lan juga mewarisi ilmu-ilmu ampuh dari Bu Tong Pay. Dan sebagaimana Tek Hoat, Ceng Liong dan Pendekar Kembar Siauw Lim Sie, diapun telah disempurnakan oleh Kolomoto Ti Lou, tokoh ampuh seangkatan gurunya Wie Tiong Lan.

Maka ketika Gayatri kembali menyerang dengan kekuatan yang berlipat dan mengandalkan Ilmu Silat Ular Dewanya, Mei Lan dengan berani memapaknya dengan menggunakan Pik Lek Ciang. Dengan tangan terbuka dalam ilmu ini, Mei Lan berani membentur jurus ular lawan, bahkan berani menerjang lawan yang menggunakan senjata tajam. Bahkan diadu dengan ilmu beracunpun, Mei Lan masih berani. Karena memang kedua tangannya telah penuh terisi oleh kekuatan sinkang.

“Cusssssssss, cussssssssss, cusssssssss”

Tiga kali terjadi benturan tangan kosong antara keduanya, Gayatri yang menyerang dalam jurus “Ular merayap pohon gersang” dua kali melontarkan pukulan dan ditangkis oleh Mei Lan yang juga sekali mengirimkan pukulan balasan. Benturan mereka hanya terdengar seperti desisan belaka, meskipun sinkang yang terkandung dalam benturan mereka sebetulnya sangatlah kuat. Dan benturan itupun mengagetkan Gayatri, karena kekuatan Mei Lan sama sekali tidak berada di bawah kemampuannya. Diam-diam dia mulai merasa khawatir dengan akhir pertempurannya.

Apalagi ketika Mei Lan balas menyerang dengan jurus Keng-to-pok an" (dengan murka menggebrak meja) dan mendesak Gayatri hingga mundur 3 langkah sambil menangkis desakan pukulan Mei Lan yang mengarah ke dada dan kepalanya. Jika gebrakan di kepala dihindarinya, maka gebrakan didada dipapaknya dengan tangkisan sambil mengirimkan serangan balasan ke arah pinggang dan perut lawan. Tetapi, gebrakan-gebrakan keduanya hanya menghasilkan kelitan dan benturan yang tidak banyak mempengaruhi posisi bertempur masing-masing.

Satu hal pasti, Gayatri merasa mulai kepayahan menghadapi kecepatan bergerak Mei Lan yang juga terasa dalam hal betapa cepatnya pukulan Mei Lan dan betapa cepatnya Mei Lan berganti jurus dan menyerangnya. Hanya dalam beberapa ketika saja, Mei Lan telah menyerangnya dalam 5 jurus berbeda dan membuat Gayatri pontang-panting menangkis maupun mengelakkan pukulan. Meskipun demikian, masih sulit untuk mengatakan bahwa Gayatri akan terkalahkan. Karena betapapun pertarungan baru saja dimulai, sementara Gayatri sendiri masih belum mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya dalam bertempur. Dan nampaknya, Gayatri telah merasa cukup dengan “perkenalan” awal, karena dia sudah mulai menyiapkan ilmu-ilmu lebih hebat yang dilandasi kekuatan sihirnya.

“Nona muda, engkau menghadapi seekor ular besar” bentak Gayatri sambil mengibas-ngibaskan lengannya. Hebat akibatnya. Mei Lan seperti sedang menghadapi Gayatri yang tiba-tiba berubah menjadi seekor ular besar dan sedang berusaha membelitnya. Tetapi, mengecewakan kalau murid seorang manusia dewa Tionggoan jatuh hanya karena ilmu sihir. Dengan berteriak: “Haiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttt”, Mei Lan menggetarkan kekuatannya dan menghapuskan pengaruh sihir Gayatri. Dan pada saat bersamaan, diapun memainkan Bu Tong Kun Hoat dan melawan Gayatri yang bersilat licin bagai seekor ular.

Sayang bagi Gayatri, karena Mei Lan telah mempelajari gaya bertarungnya ketika Mahendra melawan Kwi Beng. Karena itu, Mei Lan telah memiliki “pengetahuan atas kekuatan lawan” yang lebih dari Gayatri yang relatif kurang mengenal kemampuan Mei Lan. Apalagi kecepatan gerak Mei Lan benar-benar membuat Gayatri mati kutu.

Meski telah memainkan ilmu Silat Sihir Ular Dewa Dari Langit Selatan yang mengkombinasikan ilmu silat dan ilmu sihir, dia masih tetap tidak mampu mendesak Mei Lan. Sebaliknya, dengan jurus-jurus ampuh dari ilmu silat kebanggaan Bu Tong Pay, Mei Lan justru mampu mementahkan serangan Gayatri dan lebih banyak menyerang.

‘Nona kecil, aku seekor ular dewa yang sangat besar” kembali Gayatri berpekik dengan mengerahkan kekuatan sihirnya. Mei Lan memang sedikit tersentak, tetapi kembali dia menggetarkan dirinya lewat teriakan khasnya, dan kekuatan sihir yang menyerangnyapun buyar. Tetapi, waktu sedetik telah dimanfaatkan Gayatri untuk memperbaiki posisinya dan kembali menyerang Mei Lan. Dua tiga kali Gayatri memanfaatkan ilmu sihir untuk menyeimbangkan posisinya yang didesak lawan. Terutama karena gerak lawan yang nyaris mustahil dilakukan.

Meski demikian lama-kelamaan Mei Lanpun mulai maklum dan mulai memahami maksud Gayatri dengan pengerahan kekuatan sihirnya. Dia paham bahwa Gayatri terpaksa mengeluarkan ilmu sihirnya guna mengganggu konsentrasi Mei Lan dan mengurangi daya serangnya.

Sekali lagi Gayatri membentak Mei Lan:

“Engkau tidak akan bisa melawan ular dewa ini nona manis” .......... Dan ketika Mei Lan kembali kehilangan sepersekian detik, Gayatri telah mendahuluinya dengan ilmu Ular Dewa Terbangnya – Tarian Sihir Ular Dewa. Ilmu ini sebagaimana dimainkan Mahendra memang mengkombinasikan kecepatan gerak ditambah dengan pengaruh sihir yang membuat penyerang, dalam hal ini Gayatri nampak bagai ular terbang. Dan ilmu inilah yang dikembangkan Gayatri kini, bukan hanya menggertak dengan sihir, tetapi menyerang Mei Lan dengan kecepatan tinggi dan dengan landasan sihir.

Tetapi untungnya, Mei Lan memiliki kecepatan gerak dan kekuatan menolak sihir sekaligus. Meski sempat terpengaruh sepersekian detik, tetapi Mei Lan mampu menghindari serangan Gayatri dengan gerakan tubuh yang tidak lazim. Bahkan untuk mengimbangi lawan, dia mengembangkan ilmu Sian Eng Sin Kun (Silat Sakti Bayangan Dewa). Maka menjadi menariklah pertempuran itu karena pergerakan cepat kedua naga betina hingga bayangan tubuh keduanya saling belit dan sulit dibedakan mana Gayatri mana Mei Lan.

Hanya saja, mata ahli mampu membedakan dan mampu melihat lebih teliti betapa perbawa Tarian Sihir Ular Dewa masih belum mampu mengimbangi kecepatan bergerak Mei Lan dalam Ilmu Silat Bayangan Dewa. Masih Mei Lan yang memegang inisiatif penyerangan dengan prosentase kira-kira 60-40. Meski Gayatri tetap melayang-layang, meliuk-liuk, menggeletarkan kedua tangan dalam gerakan ekor maupun kepala ular, tetapi pesat dan lincahnya gerakan lemas Sian Eng Sin Kun mampu mementahkan serangannya dan bahkan membalas dengan lebih gencar.

Sebetulnya keunggulan Mei Lan terutama karena semua serangan dan ilmu yang dipergunakan Gayatri telah dipertontonkan oleh Mahendra. Sayangnya, Gayatri yang terlampau percaya diri, sama sekali tidak memandang sebelah mata lawan-lawannya. Dia hanya menduga, bahwa Liong-i-Sin Nie atau Kiang Cun Le yang akan maju melawannya. Dia memperhitungkan hasil seri atau imbang jika menghadapi kedua tokoh sakti Tionggoan itu, jikapun kalah pastilah tipis belaka. Dan kini, dia menemukan kenyataan betapa orang selain Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie ternyata ada juga. Yakni Mei Lan yang mampu dan sanggup mendesaknya meski dia telah memainkan ilmu sihir sekalipun.

Maka seperti Mahendra, akhirnya Gayatripun menyiapkan Ular Api Emasnya, dan kali ini tidak tanggung-tanggung, dia berniat melepaskan 2 ekor atau sepasang sekaligus. Tetapi, karena dia dalam posisi terserang, maka Mei Lan bisa melihat apa yang dipersiapkan Gayatri. Apalagi, Mei Lan sendiri memang sudah awas dan telah siap menghadapi ular tersebut sejak tadi.

“Awas nona, ular-ular raksasa menyerangmu” tiba-tiba Gayatri mengebaskan lengannya. Dan sesaat Mei Lan melihat adanya bayangan yang meluncur kearahnya dan siap menyerangnya. Tetapi, hanya sepersekian detik, dia menyadari kalau itu serangan palsu, serangan ilmu sihir. Sementara serangan sesungguhnya baru dilontarkan sesaat setelah Mei Lan kembali menemukan kesadarannya. Kembali gerak lihay Mei Lan yang memang sejak awal telah menggunakan Te Hun Thian (Tangga Awan Langit) warisan Liong-i-Sin nie menunjukkan kesaktiannya.

Bersamaan dengan meluncurnya sepasang Ular Api Emas, Mei Lan telah melolos Pedang Jenggot Naga pinjaman dari Liong-i-Sin Nie. Dan dengan segera dia memainkan ilmu pedang khas yang sangat lihay dari Bu Tong Pay, Liang Gie Kiam Hoat. Ilmu pedang ini dimainkan demikian indah, lemas dan membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil yang bisa sewaktu-waktu menjadi landasan menyerang lawan.

Maka terdengarlah desisan-desisan ular disleingi dengan gaung atau dengung pedang jenggot naga yang menari-nari sambil mencari peluang melukai lawan. Lawan mei Lan kini menjadi 3, yakni Gayatri bersama sepasang Ular Api Emas yang melayang-layang terbang dengan kecepatan tinggi untuk menemukan sasaran empuknya. Tetapi Mei Lan sama sekali tidak terkejut. Pertama, dia memang telah menyiapkan diri; kedua, ilmu pedang Liang Gie Kiam Hoat adalah ilmu pedang yang sama lihay pertahanan maupun penyerangannya ditambah dengan ketajaman Pedang Jenggot Naga yang takut dibentur sepasang ular itu; Dan ketiga, dia telah sedikit memahami jurus Gayatri dan gerakan kedua ekor ular. Inilah keunggulan Mei Lan.

Dan memang, Gayatri tidaklah menemukan peluang sebaik Mahendra ketika melawan Kwi Beng, karena Gayatri telah waspada sejak awal. Meski dikeroyok 3, Mei Lan masih dengan tidak terdesak bermain Liang Gie Kiam Hoat dan menghasilkan lingkaran-lingkaran pertahanan dan penyerangan yang sulit ditembus lawan. Apalagi, karena sepasang ular itu, meski tidak takut senjata tajam dan gesit, tetapi takut dan jeri terhadap ketajaman Pedang Jenggot Naga.

Melawan “3 ekor ular” yang melayang-layang cepat dan mengeroyoknya, Mei Lan lama-kelamaan gemas juga. Terutama terhadap sepasang ular aneh yang memang bergerak gesit dan sering mengancamnya. Menyadari bahwa ketajaman pedangnya membuat sepasang ular itu sedikit jeri, maka Mei Lan kini mulai memperbanyak lingkaran kecil sebagai basis penyerangan. Sekaligus, diapun menambah kecepatannya hingga kini dia mengejar dan mendesak ketiga lawannya sekaligus. Terutama, serangannya banyak ditujukan kepada kedua ekor ular aneh dan beracun itu.

Gayatri terkejut, tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun sekarang di kedua tangannya malah bertambah lagi sepasang ular beracun lainnya. Kedua ekor ular itu digunakan sepasang lengannya dan menjadi semacam senjata yang lain dalam penyerangannya. Hanya saja, kedua ekor ular itupun takut dengan ketajaman pedang jenggot naga. Karena itu, serangan Gayatri banyak kurang effektif, terutama jika serangannya dipapak oleh gerakan pedang Mei Lan.

Gayatri menjadi nekat dan murka, terutama karena dia tidak memperoleh peluang sebagaimana Mahendra melawan Kwi Beng. Tadinya dia berharap menemukan celah seperti sebagaimana Mahendra mengalahkan Kwi Beng. Apa lacur, selain telah waspada, Mei Lan juga memiliki ilmu ginkang yang malah masih jauh mengatasinya dan juga bahkan Mahendra. Lebih dari itu, Mei Lanpun membekal sebatang Pedang pusaka yang menjadi anti dari Sepasang Ular Api Emas yang diandalkannya. Bukannya mendesak, sebaliknya kini dia mulai didesak Mei Lan meski telah menggunakan 4 ekor ular untuk membantunya.

Maka dalam puncak kemarahan dia mengeluarkan kekuatan sihir sepenuhnya:

“Mundur nona muda ...............”

Dan Mei Lan memang terkejut. Kini dia memandang Gayatri yang nampak dalam wujud ular besar merah kehitam-hitaman dengan pijar cahaya mengelilingi tubuhnya. Nampaknya Gayatri telah menyiapkan kombinasi Hui Sian Coa Pat Poh (Delapan Langkah Ular Dewa Terbang) dengan Ilmu Sihir Ular Dewa Mengguncang Mayapada). Akibatnya malah lebih mengerikan, karena digunakan pada puncak kekuatan sihirnya, hingga Mei Lanpun terpaksa menyiapkan dirinya:

“Jangan kira aku takut ........”

Mei Lan dengan cepat bersiap. Kini Ilmu Mujijat yang berlandaskan kekuatan sihir/kekuatan batin Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) segera disiapkannya.

Jika Gayatri berubah penampakan seperti menjadi seekor ular besar dengan pijaran warna merah kehitaman, maka Mei Lan memancarkan cahaya putih dan berubah bagaikan puluhan Mei Lan yang kini bersiap melawan Gayatri. Dan hebatnya, ketika Gayatri menyerang, langkahnyapun menjadi aneh dan mujijat.

Tarikan kaki dan langkahnya bagai diiringi ribuan ular yang siap menerkam Mei Lan. Tetapi Mei Lan dan ilmu mujijatnya, tidak kurang sangar dan tidak kurang hebatnya. Malah, karena sudah dikuasai secara sempurna dan baru kali ini digunakan secara penuh, Mei Lan menjadi ngeri. Karena kekuatan lemas dan keras yang terkombinasi hingga menimbulkan daya magis dan kekuatan sihir yang kuat memancar nyaris tanpa batas dari tubuhnya.
 
4


Pukulan-pukulannya mampu membuyarkan tameng ular besar Gayatri, bahkan pancaran hawa khikangnya sanggup mementalkan ular-ular Gayatri. Dan pada akhirnya Gayatri harus menerima pukulan pamungkas Mei Lan dengan pengerahan segenap kekuatannya:

“Blaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr”

Tubuh Gayatri terdorong hingga 7-8 langkah kebelakang dengan mulut berlumuran darah. Jelas dia terluka dalam, dan lukanya tidaklah ringan. Terbukti dia langsung terduduk dan mencoba mengobati luka dalamnya. Tokoh-tokoh Thian Liong Pang memandang takjub ke arah Mei Lan. Apalagi karena Mei Lan meski juga terdorong hingga 4-5 langkah dan juga nampak terluka, tetapi lukanya jauh lebih ringan dibandingkan luka yang diderita oleh Nenek Gayatri. Lebih dari iut Mei Lan masih sanggup bertahan berdiri dan memandang ke arah Gayatri dengan senyuman. Itu saja sudah cukup untuk meyakinkan banyak orang siapa yang sesungguhnya pemenang pertarungan dahsyat antar dua wanita perkasa itu.

Kemenangan Mei Lan disambut sorak-sorai oleh kelompok pendekar. Senyuman bangga menghiasi bibir Sian Eng Cu, sementara Liong-i-Sin Nie nampak manggut-manggut sambil berbisik-bisik dengan Kiang Cun Le:

“Nampaknya muridmu telah menyusul kepandaianmu sumoy .......”

“Siancay, dia memang berbakat baik ......”

Tokoh-tokoh Bu Tong Pay gembira bukan main menyambut kemenangan Mei Lan yang memang murid sesepuh partaynya. Dan sebagaimana mereka saksikan, kecuali Ilmu terkahir yang mujijat, Mei Lan sepanjang pertarungan mempergunakan ilmu-ilmu Bu Tong Pay dan sengaja menyimpan Ban Hud Ciang karena telah dimainkan oleh Kwi Beng.

“Bagaimana Pangcu .......”? terdengar suara Sian Eng Cu, jelas dengan rasa bangga dan gembira yang tak tersembunyikan.

“Hasil pertandingan ketiga toch sudah jelas kalah dan menangnya” jawab Pangcu Thian Liong Pang tenang.

“Tetapi, masih belum berarti bahwa Thian Liong Pang telah kalah, karena masih ada 2 babak tersisa” lanjut sang Pangcu.

“Baiklah, jika demikian kita tentukan dalam pertandingan selanjutnya” tegas Sian Eng Cu dengan optimisme memenangkan pertaruhan yang masih menyisakan dua (2) babak lagi.

Sementara itu, ketika Sian Eng Cu bercakap-cakap dengan Pangcu Thian Liong Pang mengenai hasil pertandingan ketiga dan pertarungan di babak ke-empat, Nenggala yang sejak pertarungan Tek Hoat berdiam diri dan bahkan bersila di bawah perlindungan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie telah bergerak-gerak dan bahkan kemudian melompat berdiri:

“Terima kasih jiwi-locianpwe” Nenggala rupanya tahu kalau kedua tokoh itulah yang mengapitnya selama beberapa waktu.

“Lakukan tugasmu anak muda” Kiang Cun Le berkata, dan Nenggala heran karena Kiang Cun Le tahu apa yang sedang dan akan dilakukannya. Maka sambil kembali menjura kepda Kiang Cun Le, diapun menyahut:

“Baik locianpwee”

Dan selanjutnya, Nenggala yang beberapa saat kemudian mengikuti percakapan tentang babak ke-empat, telah dengan cepat meloncat ke depan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sambil berkata:

“jiwi-locianpwee, perkenankan di babak ke-4 ini tecu yang maju mewakili kelompok pendekar guna menantang seorang tokoh Thian Liong Pang yang selama ini bersembunyi”

Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila berkerut wajahnya memandang Nenggala yang memang masih belum begitu mereka kenal.

“Hmmmmm, anak muda apakah engkau mengerti dan tahu siapa yang engkau tantang nantinya”? setelah berpikir sejenak, Sian Eng Cu bertanya.

“Sejatinya ini urusan perguruan kami, tetapi karena tokoh itu berlindung dan bersembunyi di balik Thian Liong Pang, maka tecu memberanikan diri menantangnya atas nama kaum pendekar” tegas Nenggala.

“Siapakah tokoh yang engkau tantang anak muda”? tanya Pengemis Tawa Gila

“Nama aslinya Wisanggeni dan bergelar Bintang Sakti Berpijar. Beberapa waktu sebelumnya kami telah bertempur di lorong rahasia Thian Liong Pang, dan kuharap dia cukup jantan untuk tidak terus-menerus bersembunyi dibalik nama Thian Liong Pang”

“Apakah engkau yakin akan menantangnya”? tegas Pengemis Tawa Gila masih kurang yakin. Tetapi bersamaan dengan itu, baik Pengemis Tawa Gila maupun Sian Eng Cu telah memperoleh bisikan lewat lmu menyampaikan suara: “Biarkan anak muda itu menyelesaikan persoalan perguruan mereka. Anak itu sangat bisa diandalkan”, jelas suara itu berasal dari Kiang cun Le. Dan memperoleh jaminan itu, Sian Eng Cu maupun Pengemis Tawa Gila menjadi mantap.

“Aku yakin, kecuali Bintang Sakti Berpijar akan rela terus menerus bersembunyi dan takut menunjukkan wajahnya” jawab Nenggala tegas.

“Hmmmmm, anak muda, engkau terlalu sombong” sebuah suara terdengar mengambang tetapi jelas terdengar semua orang. Sebuah pameran kekuatan suara yang sangat luar biasa.

“Bahkan gurumupun tidak akan berani bersikap seperti itu dihadapanku” kembali terdengar suara yang seakan mengambang, tetapi jelas terdengar semua orang. Mendengar suara itu, Nenggala akhirnya menimpalinya dengan ilmu yang sama, inilah ilmu atau ajian Gelap Ngampar yang telah dikuasai secara sempurna:

“Aku, atas nama Kakek Guru menantangmu untuk menyelesaikan urusan lama yang telah menggegerkan banyak tempat”

“Sanggupkah engkau menghadapiku anak muda”?

“Mudah-mudahan aku sanggup”

“Bagaimana jika aku sanggup mengalahkanmu”?

“Untuk selanjutnya Guru dan kakek Guru tidak akan mengganggumu pula. Tetapi jika engkau kalah, engkau harus ikut kakek guru untuk pulang”

“Kalah ???? Pulang????? Hahahahaha ..... Engkau pikir mampu melakukannya anak muda? Hahahahahaha, dan siapa yang menjamin kalau perkataanmu akan berlaku dan dituruti kakek gurumu”?

Belum lagi Nenggala menjawab sebuah suara mengalun dengan sangat bening, jernih, enak didengar namun terdengar jelas oleh siapapun yang berada di sekitar arena tersebut:

“Aku .......... “ satu kata, hanya satu kata itu yang terdengar dari pemilik suara yang mengalun bening, jernih, enak didengar. Tetapi terdengar entah dari mana datangnya, terdengar sangat dekat, tetapi seperti juga datang dari jauh. Mengalun lembut dan menutupi semua gemar suara lain yang berada disekitarnya. Tetapi, akibatnya, suara paling awal yang terdengar menggunakan Ajian Gelap Ngampar terdengar mendesis:

“Guru ........”, tetapi setelah memperdengarkan suara “aku”, suara yang jernih bening itu tidak lagi memperdengarkan suara apapun. Sampai akhirnya kembali terdengar suara Wisanggeni:

“Baiklah, jika engkau mewakili kakek gurumu dengan pertaruhan itu, aku akan melawanmu untuk melihat apakah engkau sanggup menahanku”

“jangan takut, kakek guru telah menjamin apa yang kukatakan” kembali Nenggala menegaskan.

“Baik-baik, kita tetapkan saja demikian” suara atau kalimat itu masih mengaung diudara, tetapi tiba-tiba di arena berhadapan dengan Nenggala telah berdiri sesosok tubuh berpostur tinggi besar. Tokoh rahasia yang pernah mengendap di beberapa perguruan, terakhir di Tiam Jong Pay. Dan bahkan pernah bertemu dengan Nenggala dalam operasi menyelamatkan para tawanan Thian Liong Pang.

Dan, tokoh itu ternyata adalah murid ke-3 dari Kolomoto Ti Lou, Bintang Sakti Berpijar, Wisanggeni. Murid yang mencuri lembaran pusaka Kolomoto Ti Lou dan membawanya lari hingga ke Thian Tok dan terakhir bersembunyi di Tionggoan selama puluhan tahun.

Inilah biang keladi kekisruhan di banyak tempat dan menimbulkan heboh di kalangan banyak pesilat sepuh karena daya tarik ilmu dalam lembaran pusaka ciptaan Kolomoto Ti Lou, gurunya sendiri. Dan, baru kali inilah tokoh ini tampil secara berterang, tidak lagi menyembunyikan identitasnya. Terutama karena melihat peluang terlepas dari pengejaran guru dan kakak serta adik seperguruannya yang rata-rata sangat lihay. Tetapi yang ditakutinya memang hanya gurunya, lain-lain sama sekali tidak ditakutinya. Dia paham benar sampai dimana kesaktian gurunya.

Jikapun akhirnya Wisanggeni tampil, terutama karena dia yakin, dia masih sanggup untuk mengalahkan murid saudara perguruannya Nenggala. Jika tidak mendapat jaminan terlepas dari pengejaran perguruannya, terutama gurunya, jika memenangkan pertandingan ini, maka tidak akan Wisanggeni menampilkan diri. Akan tetapi betapa senangnya ketika dia mendengar sendiri bahwa gurunya memberi jaminan akan dilepaskan jika mampu menang menghadapi Nenggala. “Hmmm, apa susahnya mengalahkan murid keponakan”? pikirnya.

Maka, kini, tampillah untuk pertama kalinya secara berterang Wisanggeni, yang juga ternyata adalah salah satu penopang Thian Liong Pang. Hal ini terbukti dari seri wajah Pangcu Thian Liong Pang yang juga agak segan terhadap tokoh yang satu ini. Dialah salah satu tokoh misterius yang bersembunyi di beberapa perguruan sampai akhirnya bergabung dengan Thian Liong Pang dan menemukan tempat persembunyian terbaik untuk beberapa tahun belakangan ini. Tokoh ini berwajah agak sawo matang atau sedikit kehitaman, bertubuh tinggi besar. Nenggala yang berpostur sedang berbeda jauh tingginya dengan tokoh yang menjadi paman gurunya itu.

Ketika keduanya berhadapan, adalah Nenggala yang kemudian menyapa terlebih dahulu, bahkan memberi hormat:

“Sebagai angkatan muda, perkenankan aku menyampaikan hormatku kepada angkatan lebih tua”.

Kemudian Nenggala melanjutkan:

“Dan selanjutnya, perkenankan aku menantang Wisanggeni, Bintang Sakti Berpijar sebagai murid perguruan yang berkhianat”

“Sungguh lancang mulutmu anak muda” Kakek itu marah juga diperlakukan demikian oleh keponakan muridnya.

“Maafkan, aku telah mendapat tugas Kakek guru untuk menghentikanmu” tegas Nenggala penuh percaya diri.

“Baiklah, mudah-mudahan engkau sanggup anak muda. Silahkan memulai bila itu sudah engkau putuskan dan sudah menjadi tugasmu”

“Baik, maafkan aku”

Sehabis mengucapkan kalimat terakhir itu, Nenggala sudah segera membuka serangan. Tidak tanggung-tanggung, karena sadar sedang menghadapi tokoh tua dari perguruan asalnya, Nenggala langsung menyerang dengan Ajian Lebur Sakheti. Dan asyiknya, Wisanggeni juga ternyata memapak dengan ilmu yang sama, ilmu yang sanggup melebur batu menjadi bubuk-bubuk debu. Dan benturan pertamapun terjadi:

“Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrr”

Benturan dengan suara memekakkan. Dan benturan pertama ini membuat Wisanggeni heran, mengapa dalam waktu sehari dua hari saja Nenggala telah mampu mengejar ketertinggalannya? Bukankah beberapa waktu lalu dia masih sanggup menekan dan mendesak anak ini? Mengapa sekarang rasanya kekuatan anak itu telah meningkat sangat pesat hingga mampu merendengi dan menandinginya? Wisanggeni goyah. Tetapi tentu, tidak menyerah.

“Betapapun hebat dia tetapi pengalaman dan kematangannya jelas tidak akan melebihiku” pikir Wisanggeni. Dan memang, seperti pikirannya itu, pertarungan mereka memang hanya dipisahkan oleh perbedaan kematangan dan pengalaman. Hanya, Nenggala lebih menang ketahanan dan keuletan. Siapa gerangan yang akan mampu memenangkan pertarungan kali ini?

Benturan pertama berdampak psikologis. Bagi Nenggala, menebalkan keyakinannya bahwa dia memiliki peluang menang, dan bahwa ternyata ilmunya kini maju pesat. Bahkan paman gurunya sudah mampu ditandinginya. Karena itu, diapun menyerang dengan tetap menggunakan kekuata inti ajian lebur sakheti, sambil menggunakan gerak cepat atau ginkang khas Jawadwipa: Ajian Kidang Kuning. Gerak lincah meniru gerakan binatang ini membuat Nenggala mampu bergerak lincah, pesat dan cepat, meskipun Wisanggeni juga mampu melakukan hal yang sama karena berasal dari dasar perguruan yang sama.

Pertempuran kali ini memang berbeda. Dibanding pertempuran terdahulu, pertempuran kali ini rada membosankan karena kedua petarung memiliki dasar ilmu yang tidak berbeda. Tetapi tetap saja menarik karena ilmu2 keduanya masih belum dikenal oleh siapapun ditempat itu. Kecuali para tokoh tua. Mereka memang berasal dari jawadwipa, sebuah pulau yang sangat jauh di luar lautan, di bagian selatan. Dibutuhkan waktu pelayaran berbulan-bulan untuk mencapai Jawadwipa. Dan pertarungan kali ini menghadirkan warna beda, menghadirkan ilmu-ilmu yang didasarkan atas gerakan-gerakan binatang dan telah diramu demikian rupa hingga menjadi Ilmu silat yang tangguh.

“Sungguh tak disangka, anak muda ini telah maju demikian pesat” keluh Wisanggeni. Meski demikian, Nenggala juga punya pikiran yang sama – “Tak kusangka paman guruku ini memang dahsyat”. Demikianlah keduanya bertarung dengan dasar ilmu yang sama dengan hanya dibedakan oleh pengalaman tanding serta kematangan akibat lama berlatih yang berbeda.

Lama kelamaan keduanya menjadi sadar kelebihan dan kekurangan masin-masing. Nenggala sadar jika kematangan dan pengalamannya masih kurang dibandingkan paman gurunya. Tetapi kelincahan dan keuletannya masih lebih menang. Dan Wisanggeni juga tidak lama menyadari kenyataan tersebut. “Entah bagaimana kekuatan tenaga dalam anak ini bisa menyamai atau setidaknya mendekatiku. Apakah Guru ......”? desis Wisanggeni dalam hati.

Dan dugaan Wisanggeni sebetulnya tidaklah meleset jauh. Selama pertempuran babak kedua dan ketiga, Nenggala dengan dilindungi Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie telah “dididik” secara khusus oleh kakek gurunya Kolomoto Ti Lou. Selama beberapa jam saja, penguasaan ilmu-ilmu Nenggala meningkat pesat karena ditempa langsung oleh pencipta ilmu dan maha guru yang memang sangat sakti itu. Boleh dibilang, penempaan selama hanya sejam dua jam itu memang khusus dipersiapkan untuk babak ke-empat ini.

Sementara itu, Wisanggeni mulai menggunakan ilmu-ilmu baru, atau tepatnya ilmu-ilmu gubahannya. Ilmu-ilmu itu adalah gubahan dan penyempurnaan ilmu ilmunya setelah melalui pengembaraan panjang di India dan Tionggoan. “Hmmmm, ingin kulihat apakah engkau cukup mampu menahannya”, desis Wisanggeni dalam hati

Wisanggeni bergerak cepat, nampaknya landasannya adalah Ajian Senggoro Macan, tetapi kecepatan dan kekuatannya telah berubah sangat jauh. Karena itu Nenggala sempat terpojok menghadapi cakar macan dimana kedua tangan Wisanggeni membentuk cakar dengan warna kekuning-kuningan. Angin serangan yang mendesis membuat Nenggala sadar jika paman gurunya mulai bermain keras. Tetapi yang membingungkannya adalah, ajian Senggoro Macan paman gurunya telah berubah jauh, lebih ganas, beracun dan nampaknya sangat mematikan.

“Hebat ...... paman guru memang hebat”, desis Nenggala dalam hati. “Tetapi sayang, ilmu hebat itu telah berubah sesat. Kakek guru pasti kecewa”, lanjut Nenggala dalam hati. Meski berpikiran demikian, Nenggala masih tetap kokoh dalam melakukan perlawanan dengan membekali diri dengan ajian Lembu sekilan yang membuatnya kebal terhadap pukulan lawan. Tetapi, karena lawan juga membekal ajian serupa, membuat Nenggala tidak dapat menyandarkan perlawanannya dengan hanya menggunakan ilmu tersebut.

Kedua cakar Wisanggeni seperti mengejar kemanapun Nenggala bergerak. Dan akhirnya karena selalu dikejar-kejar kedua cakar itu, Nenggalapun membentak keras sambil menggetarkan lengannya ............................. “hyaaaaaaattttttttttttttt, bresssssssss --- syuuuuuuuuuuuuutttttt ” benturan keras terjadi. Cakar tangan macan Wisanggeni telah dipapak Nenggala dengan hawa pedang yang dikebaskan tangannya.

Sebagaimana diketahui Nenggala sekaligus adalah pewaris sesepuh Thian San Pay dan telah mampu menggunakan hawa pedang secara hebat. Bahkan selama beberapa jam lalu, kemampuannya ini adalah salah satu yang diulas dan disempurnakan oleh kakek gurunya. Karena itu, dengan tidak ragu dia menggunakannya menggempur cakar macan paman gurunya yang telah berubah jauh dari ajian macan senggoro perguruannya.

“Hmmmm, hawa pedang Thian San Pay .... hebat, hebat” desis Wisanggeni sambil terus menyerang Nenggala. Tetapi kali ini, dia mendorong dengan kilatan cahaya membunuh kearah Nenggala. “Brajamusti .....” pekik Nenggala sambil bergerak cepat menghindar sekaligus menghimpun kekuatan Brajamusti ditangannya. Kilatan cahaya bagaikan petir yang ditimbulkan oleh Ilmu Brajamusti mencengangkan banyak orang.

Meski daya ledaknya tidak sehebat Pek Lek Sin Jiu yang dimainkan Tek Hoat sebelumnya, tetapi kilatan cahaya petir yang menerjang langsung ke arah manusia yang diserang sungguh mengerikan. Dan ketika mengenai tanah dibelakang Nenggala, suara ledakan dahsyat segera terdengar dan sangat memekakkan telinga: “Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrr”, dan tidak ada kehidupan di area seputar mana pukulan tersebut jatuh. Kilatan panas berpijar dari Brajamusti mematikan seluruh kehidupan di area sekitar 1 meter dimana pukulan itu jatuh.

Dan kini kilatan cahaya berbahaya itu dilontarkan berkali-kali oleh Wisanggeni. Tetapi Nenggala yang juga menguasai jurus tersebut berhenti menghindar dan memapak dengan kilatan cahaya yang sama sampai berkali-kali, hingga terjadi benturan dan ledakan yang memekakan telinga: “duaaaaaaarrrrr ....... duaaaaaaarrrrrrr.... Sebagai akibatnya keduanya terdorong ke belakang berkali-kali. Hanya, jika Wisanggeni terdorong selangkah kebelakang, adalah Nenggala yang terdorong sedikit lebih jauh dan secara sengaja menambah daya mundurnya agar kekuatan dorongan Brajamusti tidak melukainya.

Wisanggeni paham, bahwa Nenggala tidaklah kalah angin dengan berlaku demikian. Karena sejak awal dia tahu bahwa kekuatan tenaga dalam Nenggala tidak lagi berselisih jauh atau malah sudah nyaris menyamainya. Karena itu, mundurnya Nenggala ke belakang tidak dianggapnya sebagai kemenangan dipihaknya. “Hmmmm aku tidak akan terpancing menghambur-hamburkan tenaga melalui Brajamusti anak muda” desis Wisanggeni semakin penasaran sekaligus gemas untuk memukul kalah ponakan muridnya itu. Maklum, Brajamusti membutuhkan pengerahan tenaga lebih dalam yang lebih besar dibandingkan ajian-ajian lain dari perguruannya.

“Anak muda, engkau tidak akan sanggup mengalahkanku. Bahkan melihatkupun engkau tidak mampu” tiba-tiba Wisanggeni membentak dengan kekuatan mujijat yang terkandung dalam suaranya. “Ajian Panglimunan ...... “ desis Nenggala dalam hati. “Ach tidak, nampaknya telah bercampur kekuatan sihir yang luar biasa kuatnya” keluh Nenggala. Meski diapun mampu memainkan Ajian Panglimunan, tetapi ajian itu hanya sanggup menghilang selama beberapa waktu tertentu. Berbeda dengan Ajian Panglimunan Wisanggeni saat ini yang kelihatannya telah dicampur adukkannya dengan ilmu sihir ala Thian Tok dan membuatnya tidak terlihat.

Bahkan beberapa tokoh hebat semisal Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila untuk beberapa saat tidak sanggup melihat dimana keberadaan Wisanggeni.

“Luar biasa, kakek itu bahkan telah mampu menyerap Ilmu Sihir yang lebih kuat
daripada Mahendra dan Gayatri” desis Kiang Cun Le yang diiyakan oleh Liong-i-Sin Nie. “Mampukah anak muda itu”? kali ini Liong-i-Sin Nie yang bergumam.

Tepat pada saat itu, Nenggala nampak memejamkan matanya dan membentengi diri dengan Ajian kebal Lembu Sekilan sepenuh tenaga sambil bergerak cepat dengan ajian Kidang Kuning. “Pilihan yang tepat untuk bertahan ....” desis Kiang Cun Le kembali. “Tetapi, kurang mampu untuk menyerang” tambah Liong-i-Sin Nie. Dan memang demikian keadaannya, dengan memejamkan mata Nenggala hanya menunggu diserang lawan dan tidak sanggup menyerang jika lawan tidak bergerak. Tetapi, posisi tersebut membuatnya terlepas dari serangan ilmu sihir lawan yang telah dibaurkan dalam Ajian Panglimunan.

Karena dalam posisi bertahan, secara otomatis Nenggala dalam posisi yang didesak. Apalagi karena dia baru dapat bergerak bertahan setelah diserang oleh Wisanggeni. Ini berarti, sewaktu-waktu Wisanggeni akan dapat menyerang terutama ketika melihat peluang yang besar akibat kelalaian Nenggala. Tapi, Nenggalapun menyadari posisi tersebut, dan karena itu dia berkonsentrasi penuh untuk melawan paman gurunya itu.

Ada beberapa lama posisi Nenggala didesak seperti itu. Tetapi, jelas dengan keadaannya itu lawan betapapun akan memperoleh peluang untuk mendaratkan pukulannya. Karena itu, Nenggala segera menyiapkan kombinasi pukulan yang dikreasikannya sendiri, yakni menggunakan Brajamusti berbareng dengan Ajian Gelap Ngampar yang sangat efektif menggempur pusat kekuatan pengerahan sihir.

Maka ketika sekali lagi Wisanggeni menyerangnya, dengan cepat Nenggala ikut bergerak, bukannya menghindar tetapi memapak serangan Wisanggeni yang ternyata juga menyerang dengan pengerahan Brajamusti. Maka sekali lagi terdengar benturan keras:

“Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrr .......”

Begitu benturan terjadi, Nenggala yang posisinya terdorong kebelakang, justru menambah tenaga dorong kebelakang dengan dua maksud. Pertama untuk mengurangi daya gempuran brajamusti lawan, dan kedua menyiapkan Ajian gelap Ngampar – sebuah ilmu pekik yang mengandalkan kekuatan mujijat suara manusia. Dan pada posisi tegak setelah mundur 7-8 langkah, melengkinglah ajian Gelap Ngampar dari mulutnya:

“Haaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk”.....

Wisanggeni yang tidak menyangka Nenggala akan menyerang pengerahan sihirnya dengan Gelap Ngampar kalah ketika. Tetapi, dia cepat sadar dengan apa yang terjadi. Maka dalam kondisi terburu-buru, dia kembali mengeluarkan pukulan Brajamusti dengan tenaga penuh. Dan kali ini dia benar dengan nalurinya. Karena pada saat Nenggaka melepaskan Gelap Ngampar, tubuh Wisanggeni segera nampak bagi semua orang. Kekuatan panglimunan dan sihir tertelanjangi oleh alunan suara mujijat Gelap Ngampar.

Dan saat itulah Nenggala menggempur dengan kombinasi Brajamusti di tangan kanan dan Lebur Sakheti di tangan kirinya. Masih untung Wisanggeni dengan keunggulan pengalaman tempurnya mampu menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan demikian dia sanggup mengantisipasi serangan berat yang dilontarkan oleh Nenggala.

Maka kembali terjadi benturan dahsyat, jauh lebih dahsyat dari benturan-benturan sebelumnya:

“Duaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrr, blaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrr”

Akibat benturan dan ledakan yang menyertai benturan tersebut, banyak tokoh-tokoh yang kepandaiannya masih rendah tersentak dan bahkan terluka. Karena benturan kali ini adalah dua benturan sekaligus antara ilmu-ilmu mujijat yang berasal dari Jawadwipa dan dimainkan oleh pewaris-pewaris utama dari ilmu-ilmu mujijat tersebut.

Satu lentikan disertai pijaran cahaya mematikan dan satu lontaran kekuatan yang didorong tenaga penuh disongsong oleh Wisanggeni dengan dorongan Brajamusti sekuatnya. Dan kembali keduanya dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh, meskipun kali ini mereka nampaknya masing-masing mengalami kerugian yang sama. Keduanya kelihatannya sudah terluka, tetapi masih berkemampuan melanjutkan pertempuran.

Wisanggeni menekan kemarahannya, karena kali ini dia sedikit menderita kerugian dibawah desakan Nenggala. Begitu berdiri tegak, tanpa peduli dengan luka ringannya, dia mengambil posisi pembukaan ajian Gelap Ngampar, dan Nenggala tidak punya cara lain kecuali mengimbanginya. Dan mengalunlah kedua suara mujijat yang bertarung secara aneh di udara:

““Haaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk” kedua suara mujijat itu berusaha saling dorong, saling lilit dan saling tekan. Jangan salah, penggunaan aji Gelap Ngampar ini menguras dan menggunakan lebih banyak tenaga dibandingkan Brajamusti dan Lebur Sakheti. Karena itu, pertarungan mereka nampaknya akan memasuki tahap-tahap menentukan kalah dan menang. Hal ini benar-benar menggetarkan banyak orang karena betapa seru, menggemparkan dan sekaligus mengerikan pertempuran itu.

Dan ketika dorongan tenaga dalam suara meningkat, efeknya segera terasa bagi banyak orang yang telinganya berdenging dan sulit ditangkal dengan menutup telinga karena langsung menyerang ke dalam. Hal ini dikarenakan ajian tersebut didorong oleh kekuatan batin dan kekuatan sihir yang luar biasa hebatnya. Dan ketika efek benturan suara itu semakin merusak dan menyerang orang lain, kembali terdengar suara lainnya.

“Suuuuuuuuuuuuuuuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt”

Dan, hebatnya suara siulan ini mengalun panjang, ringan namun ternyata sanggup “mengurung” benturan adu suara antara Wisanggeni melawan Nenggala dan membuat efek menyerangnya ke telinga orang lain dipunahkan. Hebat memang benturan suara Gelap Ngampar antara Wisanggeni melawan Nenggala, tetapi lebih hebat lagi alunan suara yang mengambang dan sanggup melindungi telinga batin banyak orang. Sungguh arena pertarungan yang luar biasa dan nampaknya telah mengundang pihak lain untuk ikut campur, meskipun hanya sebatas untuk mengungkung benturan atau adu suara antara Nenggala melawan Wisanggeni.

Dan ketika masing-masing Nenggala dan Wisanggeni melihat pertarungan menggunakan Gelap Ngampar kembali tidak mendatangkan keuntungan bagi masing-masing, maka keduanya telah kembali menyiapkan ilmu pamungkas lainnya. Secara otomatis keduanya menghentikan lontaran suara Gelap Ngampar dan kini bersiap secara bersamaan dalam lontaran ilmu yang lain. Adalah Wisanggeni yang lebih dahulu menyiapkan ilmu pamungkasnya, dan diapun kemudian berseru:

“Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi)” Tak ada seorangpun yang mengerti apa yang diteriakkan Wisanggeni kecuali Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie maupun Kiang Ceng Liong. Tetapi disana, Nenggala nampak berbisik:

“Kakek guru, mohon restumu”

Dan dengan desisan itu Nenggala segera menggetarkan kedua tangannya. Sebagaimana diketahui, Nenggala telah menguasai secara sempurna Ilmu pedang rahasia Thian San Pay warisan dari Kakek Dewa Pedang, tokoh ajaib ratusan tahun silam sebelum pendiri Lembah Pualam Hijau angkat nama. Nenggala adalah satu-satunya pewaris yang telah mencapai tataran rahasia, “tanpa pedang tapi berpedang” atau “kosong tapi berisi”, dimana tahapan itu justru adalah tahapan tertinggi dan masih mengatasi Ilmu Pedang Terbang yang termasyur dari Thian San Pay. Itu sebabnya Nenggala tidak membutuhkan pedang lagi untuk bermain ilmu pedang.

Selebihnya, selama lebih kurang 2 jam tadi, kakek gurunya, Kolomoto Ti Lou (Bintang Sakti Dari Selatan) telah menggemblengnya. Khususnya membuka rahasia ilmu keluarganya dengan berlandaskan ilmu pedang rahasia Thian San Pay. Tidak ada cara lain. Karena Wisanggeni yang akan dilawannya telah mulai belajar tahap kedua dari “Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi)” meski diketahuinya tak akan sanggup menguasai tahapan itu. Tetapi, begitupun dia mesti menyiapkan cucu muridnya ini agar sanggup mengimbangi paman gurunya.

Maka dibukanya rahasia serta detail ilmu pusaka perguruannya dan membuka wawasan Nenggala untuk memanfaatkan ilmu pamungkasnya guna menandingi Wisanggeni. Bahkan dia melatih Wisanggeni meski lewat suara belaka untuk menguasai tingkat pertama “Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi) dan membuka rahasia tingkat ke-2 dari ilmu pusaka mereka.

Tetapi karena belum berlatih, Nenggala diajak merenungkan detail ilmu pusaka Thian San Pay sebagai landasannya. Dan yang terpenting, pada saat terakhir Nenggala merasa tubuhnya demikian segar dan tambah ringan ketika Kakek gurunya menyuruhnya untuk berdiam diri dan bersikap pasrah dan menyerah terhadap kekuatan dan kekuasaan alam. Dengan cara itulah Nenggala sanggup mengimbangi paman gurunya.

Nenggala sadar, inilah puncak pertarungan itu sebagaimana kakek gurunya memberitahu beberapa saat lalu. Untuk melawan tingkat pertama “Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi) yang bernama Lila Peha'e Meremmu (Terbang Mengendarai Awan), Nenggala harus mengandalkan “tanpa pedang tapi berpedang”. Jika Kakek Dewa Pedang mampu menciptakan 7 buah hawa pedang terbang pada puncak kesempurnaan ilmu pedangnya, maka Nenggala baru sanggup menciptakan 5 hawa pedang terbang.

Dan untuk pertempuran kali ini, dia telah menciptakan 3 hawa pedang terbang yang mampu dan sanggup dikendalikannya dengan pengendalian hawa sinkang dan kekuatan batinnya. Inilah untuk pertama kalinya setelah seratus tahun lebih ilmu pedang mujijat Thian San Pay kembali tampil di dunia persilatan Tionggoan. Kedua orang itu kini telah bersiap dan dalam posisi sangat serius.

Sementara para penonton terbeliak, terutama para tokoh tua yang kaget melihat ilmu pusaka Kakek Dewa Pedang tampil kembali. Sama kagetnya melihat ilmu maha ampuh yang dikembangkan Wisanggeni. Dan kini, Wisanggeni bergerak bagaikan mengendarai awan dan bergerak-gerak dengan sangat ringan dan lincahnya. Gerakannya jauh lebih cepat dan gesit daripada menggunakan Ajian Kidang Kuning. Tetapi, kecepatan geraknya diimbangi oleh hawa pedang yang mengejar-ngejarnya kemanapun dia bergerak. Dan inilah puncak kemujijatan pertarungan keduanya, karena menggunakan ilmu-ilmu pamungkas yang “nyaris” belum pernah disaksikan di tanah Tionggoan.

Wisanggeni sungguh terkesiap menemukan kenyataan betapa keponakan muridnya ternyata membekal ilmu pamungkas yang sanggup mengimbangi tingkat pertama ilmu pusaka keluarganya. Padahal, dia sudah stagnan melatih tingkat kedua yang sudah sepuluh tahun terakhir tidak sanggup maju dan tidak sanggup dikembangkannya lagi. Dari bermaksud menyerang, dialah yang justru kini dikejar-kejar oleh berkelabatnya hawa pedang yang dilontarkan oleh Nenggala. Untungnya, tongkat pertama ilmu pamungkas perguruannya memang sangat hebat hingga membuatnya mampu selalu terhindar dari serangan hawa pedang Nenggala yang memang luar biasa.

Kecepatan geraknya secara luar biasa diimbangi oleh kecepatan berkelabatnya hawa pedang Nenggala. Dan akibatnya tidak ada keuntungan apapun yang diperoleh Wisanggeni meski telah mengerahkan ilmu pamungkasnya. Diapun berpikir menggunakan tingkat kedua, meskipun dia ragu: “Ampuhkan tingkat kedua yang baru kulatih tersebut”? gumamnya penuh keraguan dalam hati. Tetapi sudah jelas, jika bertahan dalam posisi seperti sekarang, dia tidak akan menang meskipun juga tidak akan kalah. Padahal, dia harus menang untuk tidak lagi diganggu guru dan kakak perguruannya. “Apakah Harus ...... “? Pikirnya ragu
 
5


Sementara itu, Nenggala sudah semakin mantap dengan ilmunya. Betapa hebat ilmu perguruannya, kini sudah dapat diselaminya secara baik. Dan tentu saja ini dikarenakan petunjuk kakek gurunya. Tanpa itu, akan sulit bagi dia untuk bertahan hingga sejauh ini. Selain itu, kakek gurunya juga telah membuka rahasia ilmu-ilmu dan kekuatan serta kelemahan yang dimiliki paman gurunya. Itulah alasan mengapa dia kini sanggup mengimbangi paman gurunya.

Hal itu jugalah yang membuat dia semakin lama semakin optimis untuk bisa mengalahkan paman gurunya yang sakti digdaya ini. Harus, dia harus menang untuk menyelesaikan tugas gurunya dan membersihkan perguruannya. Dia terkenang akan paman sekaligus gurunya yang luntang-lantung di tanah Tionggoan ini hanya untuk mengejar-ngejar adik seperguruannya yang berkhianat.

Pada saat optimismenya itu mencuat, tiba-tiba dia melihat paman gurunya telah bersilat secara aneh dan perlahan-lahan disekeliling arena mereka berdua segumpal awan pekat mulai membatasi arena. Dan, keduanya dalam waktu yang tidak terlalu lama telah diselubungi oleh awan putih pekat dan tidak memungkinkan keduanya terlihat oleh orang-orang di luar arena pertarungan mereka. Hanya beberapa tokoh belaka yang masih sanggup melihat dengan menggunakan kekuatan batin dan kekuatan sihir mereka.

Pada saat itulah, Nenggala akhirnya menggetarkan 5 hawa pedang sekaligus. Itulah puncak kekuatannya. Tetapi selain itu, diapun telah menyiapkan diri dalam kombinasi Gelap Ngampar, karena tingkat kedua ilmu pamungkas perguruannya telah dikenalinya dan kini disiapkan Wisanggeni untuk menyerangnya. Dan memang benar seperti yang telah diantisipasi dan diduga oleh Nenggala sebagaimana informasi kakek gurunya. Yakni bahwa Wisanggeni akan melontarkan tingkat kedua ilmu pusaka perguruan yang menggabungkan banyak ajian sakti perguruannya termasuk Ajian Gelap Ngampar.

Sayang memang, karena puncak pertarungan keduanya tidak sanggup diikuti oleh mata telanjang. Tak banyak yang sanggup melihat bagaimana 5 hawa pedang Nenggala berkesiuran dan bagaimana Ajian gelap Ngampar, Brajamusti dan Lebur Sakheti berseliweran di dalam arena yang telah dipenuhi dan dibatasi oleh awan putih pekat. Jika mampu diikuti mata telanjang, maka penonton akan merasa sangat kagum dan takjub karena pertempuran tersebut benar-benar hebat, mencekam dan mengerikan. Sungguh ilmu-ilmu mujijat yang jarang ditampilkan di dalam rimba persilatan dewasa ini. Ilmu-ilmu khas dari pulau-pulau yang jauh di selatan sana.

Dan apa yang bisa disaksikan kemudian adalah buyarnya awan putih pekat itu dan dari dalamnya menggelegar bunyi yang demikian dahsyat dan masih memiliki daya rusak yang demikian kuat. Saking kuatnya hingga berdampak lebih dari 10 meter dari tempat kedua tokoh itu berdiri. Untungnya, bagian depan kedua barisan terisi oleh tokoh-tokoh kuat dan hebat, karena itu daya rusak tenaga yang terlontar dari arena pertempuran tersebut dapatlah dinetralisasi. Tetapi, buyarnya awan putih pekat itu diikuti oleh terlontarnya ke dua tubuh yang sebelumnya bertarung di lingkaran awan putih pekat tadi .....................

Dan ketika keduanya kembali berdiri, di dada sebelah kanan Wisanggeni telah mengalir darah segar. Dada sebelah kanannya kelihatannya bolong termakan tusukan hawa pedang Nenggala, sementara lengan kanannya juga mengalami luka yang cukup parah, yakni 3 goresan pedang yang sangat dalam dan karenanya darah segar mengucur deras. Ikat kepalanya juga terpapas kutung bersama dengan selapis rambutnya yang entah terbang kemana. Selain itu, diapun kelihatannya termakan sebuah pukulan maut dari Nenggala. Jelas sulit baginya untuk melanjutkan pertarungan.

Tetapi, disudut sana, Nenggalapun bukannya tidak mengalami kerugian. Dia terkena dua pukulan Wisanggeni, satu di bagian dadanya dan satu lagi di bagian pahanya. Untungnya, ajian Lembu Sekilan masih melindungi tubuhnya hingga tidak merusak dan menghancurkan organ-organ dalam tubuhnya. Hanya saja, yang jelas Nenggalapun sudah sulit untuk terus melanjutkan pertempuran, keadaannya sama belaka dengan Wisanggeni.

Ketika Pangcu Thian Liong Pang memandang Wisanggeni, awalnya dia menduga pihaknya telah mengalami kekalahan dan karenanya wajahnya kecut berkerut. Tetapi, ketika dia memandang keadaan Nenggala, diapun segera tahu bahwa luka dalam Nenggala tidak kurang parahnya dengan luka yang dialami Wisanggeni dan sekali pandang dia tahu keduanya sudah sulit untuk melanjutkan pertempuran.

Sian Eng Cu memandang ke arah Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang telah menjaga Nenggala dan bahkan Kiang Cun Le telah dengan cepat membantu upaya Nenggala untuk mencegah tenaga dalamnya buyar. Bahkan Liong-i-Sin Nie kemudian telah berkata:

“Anak muda ini telah menderita luka yang cukup parah”, tetapi dengan segera Nikouw itu juga melanjutkan:

“Sama dengan Bintang Sakti Berpijar, juga tidak berkemampuan bertempur lagi”

Mendengar perkataan itu, Sian Eng Cu kembali menghadapi Pangcu Thian Liong Pang, dan nampaknya kalimat yang sama berada di ujung bibir keduanya. Dan keduanya kemudian mengangguk-angguk, tanda setuju.

“Pertandingan ke-empat bolehlah dinyatakan seri, apakah Pangcu setuju”? tawar Sian Eng Cu

“Sangat adil, sangat adil. Keduanya memang terluka sama beratnya dan tak sanggup bertarung kembali”.

“Jika demikian, pertarungan terakhir akan menentukan, bukankah demikian Pangcu”? tanya Sian Eng Cu

“Tepat sekali, apakah Sian Eng Cu Tayhiap berkenan menemani lohu untuk menyelesaikan pertandingan terakhir ini”? tanya Pangcu Thian Liong Pang cerdik. Tetapi Sian Eng Cu tidak ingin masuk perangkap. Dia tetap harus mengutamakan kepentingan orang banyak, bukannya mengikuti kata hati, meski dia sangat tersinggung dengan tantangan Pangcu Thian Liong Pang.

Untungnya Ceng Liong yang memang telah menunggu Pangcu Thian Liong Pang untuk maju sudah segera memasuki arena. Memberi hormat terlebih dahulu kepada Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sambil berkata:

“Perkenankan siauwte melanjutkan pertarunganku dengan Pangcu Thian Liong Pang yang tertunda tadi”

“Ach, silahkan – silahkan Duta Agung”

Sian Eng Cu mengatakan demikian karena di tangan Kiang Ceng Liong telah tergenggam Medali Naga Hijau, salah satu tanda kebesaran Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Simbol ini, bersama Pedang Naga Hijau yang dihadiahkan Kakek Dewa Pedang puluhan tahun silam adalah tanda penghormatan rimba persilatan Tionggoan kepada Lembah Pualam Hijau yang selalu mengatasnamakan kebaikan dan keadilan. Buykan hanya Sian Eng Cu, karena tokoh-tokoh Bu Tong Pay, Kay Pang, Tiam Jong Pay, Thian San Pay dan Siauw Lim Sie juga mengangguk hormat ke arah Medali Naga Hijau itu.

Mendengar persetujuan Sian Eng Cu yang memang sejak awal telah menetapkan Ceng Liong untuk maju menghadapi Pangcu Thian Liong Pang, Kiang Ceng Liongpun maju ke depan. Dan kini dia menghadapi Pangcu Thian Liong Pang yang gagah perkasa itu. Sementara itu, Pangcu Thian Liong Pang melihat Ceng Liong telah maju sambil menggenggam Medali Naga Hijau, medali keramat rimba persilatan Tionggoan menjadi sedikit tergetar. Beberapa saat kemudian dia maju 5 langkah sambil berkata dengan tenang:

“Biarlah nanti secara pribadi kuangsurkan hormat kepada Medali Naga Hijau, tetapi sekarang atas nama Thian Liong Pang aku menantang Duta Agung”

“mari Pangcu, tidak perlu basa-basi lagi, kita segera mulai .....”

Dan kembali kedua tokoh yang beberapa waktu sebelumnya telah bertarung ketat itu, kini kembali berhadapan untuk menuntaskan pertarungan sebelumnya. Dan berbeda dengan pertarungan beberapa jam lalu, keduanya kini tidak lagi bermain-main dengan kembangan-kembangan ilmu silat, tetapi langsung memasuki tahapan menentukan. Jika Pangcu Thian Liong Pang mencari-cari jurus dan pukulan ampuh untuk menjatuhkan Ceng Liong, maka Ceng Liong telah secara saksama memeriksa kembali ilmu-ilmu terbaru dalam percakapan dengan Kolomoto Ti Lou.

Dalam 4 babak pertempuran sebelumnya, Ceng Liong merenungkan dan berusaha memecahkan ujaran Kolomoto Ti Lou bahwa dia akan dengan mudah menguasai tingkat pertama dari ilmu pusaka keluarga Kolomoto Ti Lou. Dan bahkan beberapa waktu sebelumnya dia sudah mencoba memeriksa kedalaman ilmunya Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari) apakah memiliki kemampuan sebagaimana diutarakan Kolomoto Ti Lou dahulu.

Maksudnya adalah, apakah pengerahan sinkang yang mengisolasi sebuah lokasi tertentu dan menyerap semua energi di kisaran yang diisolasi dan kemudian dengan pengerahan energi Gelap Ngampar disatukan menjadi sebuah kekuatan dahsyat akan sanggup dikuasainya dalam landasan ilmu mujijat ciptaan gurunya itu. Kekuatan itu dapat dilontarkan ke sasaran khusus yang bisa dipilih satu dari sekian banyak orang berkerumun, tetapi juga bisa dikerahkan untuk menyerang lokasi atau sasaran yang banyak secara serentak.

Sejauh ini, Ceng Liong sudah menguasai secara sempurna lontaran energi dan tenaga berlimpah lewat ilmu mujijatnya itu. Tetapi, beberapa waktu belakangan dia merasa tertarik untuk memeriksa kemungkinan yang dibuka oleh Kolomoto Ti Lou itu. Dia yakin tokoh sebesar Kolomoto Ti Lou tidaklah membual dan dia yakin akan terbukanya kemungkinan itu meski baru tersamar disampaikan gurunya dahulu.

Konon, ilmu mujijat gurunya dan kakek Kiong Siang Han memiliki kemampuan dan kapasitas di tingkat kedua dan sebagian tingkat ketiga ilmu rahasia Kolomoto Ti Lou. Ini dikarenakan adanya unsur penyembuh dalam ilmu dan sinkang keluarga Lembah Pualam Hijau. Dan tingkatan Ceng Liong saat ini, sudah akan mudah mencapai tingkatan kedua. Itulah sebabnya sekali lagi Ceng Liong memeriksa ilmunya.

Apalagi ketika dia melihat Wisanggeni memamerkan secara tidak sengaja tingkat kedua yang penguasaannya masih mentah dan bagaimana Nenggala menghadapinya dengan pengetahuan yang sangat detail atas ilmu lawan. Episode Wisanggeni memainkan Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi) dalam tahap atau tingkat kedua yang disebut Dewa Mengatur Alam (Deo Rai Mengao) dan Nenggala yang menghadapinya dengan Hawa Sakti Pedang Terbang banyak memberi inspirasi baru bagi Ceng Liong. Dia banyak melihat kemungkinan baru dari rancangannya.

Kekuatan Tangan Awan Putihnya, seharusnya mampu dikonsentrasikan untuk mengontrol energy di lingkungan yang bisa dijangkau, dan lingkungan itu diisolasi guna menyerap energi yang jauh lebih besar lagi. Energi itu, kemudian akan disatukan lewat kekuatan Ajian Gelap Ngampar (sejenis Sai Cu Ho Kang dari Siauw Lim Sie), atau kekuatan suaranya. Dan kekuatan berlimpah itu yang kemudian harus dikontrolnya sedemikian rupa dengan kekuatan iweekangnya.

Nantinya kekuatan itu akan dapat diarahkan kepada lawan tertentu ataupun bahkan lawan yang jauh lebih banyak. Itulah sebabnya Kolomoto Ti Lou menyebut jurus itu “Dewa Mengatur Alam”. Dan tanpa sengaja, Ceng Liong telah melangkah setindak lebih maju dalam penguasaan ilmunya.

Jika sebelumnya dia hanya mencerna dan menguasai lontaran tenaga mujijat dari ilmu tersebut, kini dia sudah memiliki panduan dan teori bagaimana menyusun dan menata tenaga dan energi di luar dirinya untuk menambah daya dorong tenaga ke arah lawannya. Pengetahuan dan pemahaman inilah yang membuat Ceng Liong menjadi lebih percaya diri dalam memasuki babak terakhir pertarungan dengan Thian Liong Pang. Penguasaan ilmu ini oleh Ceng Liong kelak semakin lama menjadi bertambah sempurna dan meyakinkan.

Sementara itu, Pangcu Thian Liong Pang sendiri menyusun strategi baru untuk melawan Ceng Liong. Nampak sekali jika Pangcu Thian Liong Pang dalam posisi “sulit”, meskipun terlampau sedikit orang yang mengerti mengapa. Adalah Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang justru menatap tegang, tak salah lagi, keduanya adalah sedikit dari mereka yang mengenal kedua orang yang sebentar lagi akan saling bentrok itu. Bahkan Kakek Cun Le sempat berbisik kepada Liong-i-Sin Nie dengan suara tertahan:

“Sungguh sulit menerka siapa yang akan menang. Tapi, apakah dia orang ...??? dan suara Kiang Cun Le tertahan. Hanya, meski demikian, Liong-i-Sin Nie manggut-manggut, dan jelas sekali jika dia mengerti kalimat menggantung apa yang sebetulnya ingin dikemukakan Kiang Cun Le. Dan kedua orang tua sakti itu kemudian kembali tenggelam dalam ketegangan mereka sambil memandang ke arena pertarungan.

Sementara itu Pangcu Thian Liong Pang sudah terlihat mengeraskan dirinya dan kembali nampak memiliki keyakinan kokoh bagi kemenangannya. Meski keadaan “groginya” memandang Medali Naga Hijau tak tersembunyikan. Meski demikian jelas dia berkeyakinan dengan bekal ilmunya untuk melawan Kiang Ceng Liong. Kedua orang yang sama berkeyakinan atas bekal ilmu silatnya kini bersiap-siap memasuki babak pamungkas.

Maka ketika menyerang kembali Pangcu Thian Liong Pang sudah langsung menyerang dengan kombinasi pukulan dan ilmu berat Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam) yang dikombinasikannya dengan Tan Ci Kong Im (Jari Sakti Hawa Dingin). Sebetulnya kedua ilmu ini sudah terhitung langka, tetapi sanggup digubah kembali oleh Pangcu Thian Liong Pang dan menjadi andalan tokoh-tokoh Thian Liong Pang, yakni Majikan Kerudung Putih dan Hitam, Hu Pangcu Pertama dan dirinya sendiri.

Hanya saja, penguasaan atas ilmu ini oleh sang pangcu jauh melampaui tokoh-tokoh lainnya. Karena memang tokoh ini selain sangat berbakat, juga gemar menggubah dan menciptakan ilmu-ilmu aneh yang ampuh dari berbagai penelitiannya atas ilmu ilmu silat di Tionggoan. Bahkan juga dengan menimba pengajaran dari tokoh-tokoh Thian Tok lainnya.

Sementara Ceng Liong memanfaatkan pertempuran awal itu untuk melatih isolasi area tertentu dan upaya menyerap energi dari daerah yang diisolasi. Karena itu, dia menggunakan Giok Ceng Chap Ca Sin Kun dan beberapa kali melakukan percobaan “isolasi dan penyerapan energi”. Akibatnya, dia menjadi terdesak karena beberapa kali upayanya mengalami kegagalan, terutama upayanya untuk menyerap dan menyatukan energi yang diserap.

Apalagi, karena lawan telah menyerangnya dengan kekuatan pukulan dan kekuatan sentilan jari yang sangat ampuh dan mengerikan. Meski demikian, Ceng Liong tidaklah jera, karena memang dia telah memiliki keyakinan atas formula yang dipikirkan dan dirancangnya sejak beberapa waktu terakhir setelah percakapan dengan Kolomoto Ti Lou. Selain itu, dia memang membutuhkan energi pukulan yang besar untuk menjadi bahan latihannya. Selain itu, dia juga butuh energi benda tak bergerak lainnya guna diserap dan dikumpulkan menyatu dengan energi atau tenaga yang dimilikinya.

Karena itulah dalam tahap-tahap awal pertempuran pada babak terakhir, Ceng Liong nampak seperti sangat terdesak. Hal ini awalnya membuat Pangcu Thian Liong Pang menjadi sangat heran. “Mengapa daya terjang Duta Agung sekali ini justru berbeda jauh dengan pertempuran sebelumnya”? Pikir Pangcu Thian Liong Pang. Tetapi kecerdasan dan kejelian Pangcu Thian Liong Pang memang mengagumkan. Dalam waktu singkat dia mampu menelisik jika Ceng Liong sedang membiarkan dirinya terserang untuk mendalami sebuah strategi baru.

Benar, awalnya sang pangcu masih belum mampu secara cepat dan tepat melihat apa yang sedang dirancang oleh Ceng Liong. Tetapi, melihat secara perlahan Ceng Liong sanggup memperbaiki diri dan ketersendatannya lama kelamaan dapat teratasi secara baik, maka dia jadi mengerti apa yang sedang dilakukan Ceng Liong. Melakukan sesuatu yang juga sebetulnya sudah dikuasainya, dan hal ini membuatnya berdebar tegang.

Hal yang sama dialami dan dirasakan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie beserta para tokoh pendekar lainnya. Mereka heran dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan daya tempur Ceng Liong yang demikian tajam merosotnya? Ceng Liong seakan membiarkan dirinya terdesak sampai sekian lama. Kecuali Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang telah sangat mengenal Kiang Ceng Liong, tokoh-tokoh lain menjadi gelisah.

Ketikapun menggunakan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Hoat yang dikombinasikan, Ceng Liong tetap tidak sanggup menandingi pukulan-pukulan lawan yang semakin membahana. Untungnya Ceng Liong sendiri semakin lama semakin gembira dan sekaligus heran. Dia gembira karena dia semakin mampu mengisolasi area tertentu dan mulai berhasil menyerap tenaga lawan untuk kemudian dikombinasikan dengan tenaganya guna dikembalikan menyerang lawan. Dan kekuatan tenaga yang dikembalikannya telah menjadi berlipat ganda karena dikombinasikan dengan kekuatan dirinya sendiri serta energi benda disekitar lokasi yang diisolasinya.

Tetapi, pada saat bersamaan Ceng Liong juga heran, mengapa lawan seolah memberinya kesempatan “memasak” ilmunya dan seakan mengerti apa yang sedang dikerjakannya. Dan kesempatan itulah yang membuat Ceng Liong perlahan-lahan memahami dan bahkan meningkatkan kemampuannya yang semakin lama semakin mujijat.

Tetapi Pangcu Thian Liong Pang sendiri nampaknya semakin kagum melihat Ceng Liong telah mampu merubah posisinya dari keterdesakan kini mulai mengimbanginya. Sejak awal dia memang mulai curiga, apalagi karena tadinya berkali-kali dia melihat Ceng Liong seperti sedang berpikir keras, seperti sedang berusaha memecahkan sebuah rahasia dan karenanya selalu terdesak. Dan kini terasa benar jika kini lontaran kekuatannya telah sanggup dikembalikan Ceng Liong dengan berlipat ganda kekuatannya.

Pada titik itu, Pangcu Thian Liong Pang kembali melakukan sesuatu yang membuat semua orang menjadi terkejut. Bukan hanya penonton yang kaget dan tersentak, tetapi bahkan Ceng Liong sendiripun tersentak melihat ternyata Pangcu Thian Liong Pang ini masih menyimpan kehebatan yang tidak terduga siapapun. Karena dia juga mampu melakukan sebagaimana baru saja Ceng Liong melatih dan meningkatkan kekuatannya. Yakni menyerap dan mengumpulkan kekuatan untuk dikembalikan kepada lawan. Benar-benar pertarungan yang luar biasa.

Kali ini terjadi pertarungan dengan lambaran ilmu yang luar biasa mujijatnya, hanya saja dilakukan dengan dorongan dua jenis ilmu berbeda: Ceng Liong nampak mengerahkan tenaganya melalui Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari) dan tiba-tiba berteriak:
“Harrggggggggggggggggggggggghhhhh” dan lontaran pukulan Ceng Liong menyusul kemudian. Bila dalam percobaan pertama dan kedua Ceng Liong masih gagal dan bahkan serangannya bisa ditepis dan dikembalikan pangcu Thian Liong Pang dan mendesaknya, maka percobaan ketiga mengejutkan.

Mengejutkan bagi Ceng Liong dan membuatnya tersenyum, dan mengejutkan bagi Pangcu Thian Liong Pang karena kini, tiba-tiba energi serangan Ceng Liong sudah dua kali lipat, atau malah lebih dari tenaga yang di lontarkannya kepada Ceng Liong. Tetapi, yang lebih mengejutkan lagi bagi semua, karena dengan ilmu berbeda, Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), Pangcu Thian Liong Pang melakukan hal serupa: Yakni mengumpulkan dan menyerap energi untuk dikembalikan kepada lawan, dan terdengarlah lengkingan suaranya ““Harrggggggggggggggggggggggghhhhh”.

Yang luar biasa adalah, kini arena pertarungan keduanya dipagari oleh kuat dan ketatnya awan putih yang semakin lama semakin menebal. Jauh lebih pekat dan tebal dibandingkan pertarungan sebelumnya. Dan pada saat itu, perlahan-lahan semakin berkurang tokoh-tokoh yang sanggup mengikuti pertarungan kedua orang sakti itu. Bahkan tokoh-tokoh sekelas Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gilapun perlahan mulai memudar jangkauan penglihatannya. Sedangkan tokoh-tokoh muda kawan-kawan Ceng Liong harus berkonsentrasi penuh dengan kekuatan dalam dan kekuatan batin baru dapat secara jelas mengikuti pertarungan itu. Sejauh ini, tinggal Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang masih leluasa mengikuti pertarungan itu. Tetapi, keduanya sudah sangat tegang dan gelisah dengan kondisi pertempuran.

“Tak dinyana keduanya telah menapak ilmu itu sedemikian jauhnya” desis Kiang Cun Le dan berpandangan dengan Liong-i-Sin Nie yang juga sama tegang, gelisah berbareng takjub.

“Keduanya memang manusia-manusia berbakat ajaib” terdengar selentingan suara yang sangat dikenal dan akrab dengan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang dengan berbarengan segera mendesis:

“Kong-kong” ........ tetapi meski memandang kekiri maupun kekanan, keduanya tidak menemukan siapapun. Dan keduanya segera maklum, jika ditempat tersebut telah hadir tokoh gaib Tionggoan yang masih merupakan kakek mereka, Kiang Sin Liong. “Bukan tidak mungkin juga hadir tokoh gaib lainnya” pikir Kiang Cun Le menebak-nebak. Tebakan yang bukan mustahil benar, karena tidak pernah kakek mereka yang gaib itu memuncukan diri jika bukan untuk urusan besar. Karena itu, bisa ditebak, telah hadir di sekitar arena itu tokoh-tokoh gaib lainnya yang seangkatan dengan kakeknya.

“Sungguh Liong Koko telah melonjak jauh kemampuannya” Mei Lan nampak berkata penuh kekaguman tak tersembunyikan. Dia memang tidak pernah iri dan bahkan sebaliknya gembira dengan kemajuan-kemajuan Ceng Liong.
“benar, sungguh luar biasa kemampuannya kini” tambah Giok Lian, yang diikuti oleh anggukan Kwi Song dan Tek Hoat yang kini telah dalam kondisi segar bugar seperti sedia kala.

Sementara itu, kondisi pertarungan dalam pusaran badai awan putih pekat sudah semakin membahayakan. Ceng Liong tidak mungkin lagi melepas ilmu lain, selain memaksimalkan pemahaman dan penguasaan tertingginya atas Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari). Sama seperti Pangcu Thian Liong Pang yang juga tak punya pilihan lain selain menggunakan puncak kekuatan dan penguasaannya atas Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Hanya saja, jika pertarungan dilanjutkan, maka kematangan penguasaan tenaga dalam yang akan menentukan kemenangan, meski demikian kedua pihak pasti terluka sangat berat.

Meski arena pertarungan sangat seru dan membahayakan, tetapi arena di luar pagar awan putih pekat tidak lagi mengalami guncangan ataupun efek dari benturan antara kedua kekuatan raksasa yang kini terisolasi pagar awan putih tersebut. Itulah sebabnya, sebagian besar penonton kini menarik nafas lega, meski dengan penuh takjub melihat kondisi arena yang tak bisa lagi mereka ikuti pertempurannya. Sejauh ini, tinggal beberapa orang saja yang masih mengikuti dengan penuh rasa tegang.

Dalam posisi sangat berbahaya dan kemungkinan mengalami luka parah akibat akumulasi kekuatan yang saling libas dan saling dilontarkan setelah diserap dan dikombinasikan dengan kekuatan dalam arena, Ceng Liong dan nampaknya juga Pangcu Thian Liong Pang sadar bahaya. Tetapi, keduanya sudah tidak lagi mampu keluar dari libatan kekuatan yang kini terakumulasi dan mengurung mereka dalam lingkaran awan putih yang mereka ciptakan berdua. Tak disangsikan, jika berlangsung terus, maka keduanya akan mengalami luka dalam yang sangat parah, dan dengan terpaksa keduanya berusaha mengendalikan arus tenaga yang dibolak-balikkan antara mereka berdua.

Hanya saja, dalam posisi yang biasanya berbahaya, orang-orang dengan kemampuan “berbeda’ biasanya menemukan jalannya sendiri. Terutama, jika orang bersangkutan memang memiliki kecerdasan, ketenangan dan keuletan untuk menemukan jalan itu. Dan kebetulan, Ceng Liong memiliki potensi tersebut. Seperti halnya Pangcu Thian Liong Pang yang juga memiliki potensi serupa. Bedanya ialah, jika Ceng Liong masih memiliki kebisaan yang selama ini masih belum pernah dicobanya, maka Pangcu Thian Liong Pang sudah terpantek dalam posisi stagnan. Semua telah dicoba dan dikeluarkannya.

Dalam kondisi awut-awutan dan berbahaya bagi lawan dan dirinya, Ceng Liong akhirnya tiba dalam batas dimana dia harus melakukan sesuatu. Ya, dia tiba-tiba teringat dengan ucapan Kolomoto Ti Lou dan Gurunya, Kiang Sin Liong, yang membuka rahasia kemungkinan menggunakan tatap mata sebagai senjata mematikan. “Engkau memiliki kemampuan itu” pesan gurunya. Dan Kolomoto Ti Lou menegaskan “jika dalam Gelap Ngampar aku ditakdirkan menguasainya dengan sempurna tanpa tanding karena rahasia alam, maka dalam Tatapan Naga Sakti, engkau ditakdirkan menguasainya secara sempurna juga karena keajaiban alam”.

Dan, Ceng Liong tidak menunggu terlampau lama lagi. Pada saat-saat terakhir, ketika dia sudah sangat kesulitan menahan untuk kesekian kalinya lontaran akumulasi kekuatan keduanya, Ceng Liong telah menghimpun kekuatan Tatapan Naga Sakti guna melontarkan Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah). Jika Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah) menggunakan “jari” dan gampang ditebak, maka Tatapan Naga Sakti dengan jurus Tan Ci Pa Siat justru istimewa karena tak terduga dan langsung menyerang jalan darah yang disasar oleh tatapan mata Ceng Liong.

Dan itulah yang terjadi. Pada saat-saat Pangcu Thian Liong Pang menahan dan akan melepas serangan terakhir, Ceng Liong telah memilih moment tepat itu. Yakni ketika akumulasi kekuatan itu coba dikombinasikan Pangcu Thian Liong Pang untuk menyerang, dalam hitungan sepersekian detik, dia telah menyerang dua jalan darah penting di kedua lengan Pangcu Thian Liong Pang. Dan dalam waktu sekejab, sepasang sinar tajam bagaikan pijaran cajaya kilat menerjang lengan-lengan Pangcu Thian Liong Pang.

Sangat beruntung, sebagian tenaga akumulasi itu telah bisa dilepaskannya, tetapi sisanya tetap membentur dirinya sendiri ketika kekuatan tangannya hilang tiba-tiba. Dan bersamaan dengan hilangnya kekuatan tangannya, buyar jugalah awan putih penyanggah di belakangnya, dan dengan telak tubuhnya terhajar ke belakang, terguling-guling keluar dari lingkaran awan putih pekat yang masih membungkus tubuh Ceng Liong.

“Bressssssssssssssssss” tubuh tinggi besar Pangcu Thian Liong Pangpun terpukul jatuh dan bergulingan di tanah dengan sepasang lengan yang tak sanggup dipergunakannya untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Tubuh itupun terbaring di tanah, dan tidak nampak ada usahanya untuk bangkit berdiri.

Sementara itu, ketika tubuh Pangcu Thian Liong Pang terlontar keluar arena awan putih itu, secara perlahan tubuh Ceng Liongpun mulai nampak kembali oleh mata telanjang. Sayangnya Ceng Liong sendiri nampaknya terluka parah – nampak dari rembesan darah yang mengalir di mulutnya, dan dia telah duduk bersila untuk mengatur kembali kondisi dalam tubuhnya yang terluka akibat sisa akumulai serangan yang dilontarkan Pangcu Thian Liong Pang. Jika sampai Ceng Liong bersila untuk penyembuhan, artinya diapun terluka parah. Sebab kekuatan Giok Ceng Sinkang mampu melakukan penyembuhan meski sedang berdiri, tetapi jika kondisi sangat parah, maka bisa dilakukan sambil bersemadhi.

Hal terlukanya Ceng Liong terjadi, karena ketika melontarkan totokan Tatapan Naga Sakti, dia melepaskannya dengan sebagian besar tenaga. Maka, ketika dia berhasil, hanya sekejap waktu yang dimilikinya untuk menahan lontaran terakhir serangan pangcu Thian Liong Pang. Untung saja, sebagian besar tenaga serang itu tertahan dan menyerang pangcu Thian Liong Pang yang tertotok di pusat penyaluran tenaganya. Jika tidak, maka keselamatan Ceng Liongpun akan sangat sulit terjamin.

Sementara itu, kehebohan segera terjadi ketika tubuh Pangcu Thian Liong Pang terbaring dan kerudungnya hancur ketika terguling-guling dan terbaring di tanah akibat serangan terakhir Ceng Liong. Karena pada saat itu, beberapa tokoh tua dari Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kay Pang menjerit begitu melihat siapa orang dibalik kerudung itu.

“Astaga ........ dia”???????

“Mana bisa demikian .....?????

Banyak tokoh tua yang terkejut setengah mati melihat tokoh utama Thian Liong Pang ternyata adalah tokoh yang mereka kenal dengan baik di masa lalu.

Mereka memang terkejut dengan betapa luar biasa dan mujijatnya pertarungan yang telah dimenangkan Kiang Ceng Liong, tetapi jauh lebih mengejutkan lagi begitu mengetahui siapa sebenarnya Pangcu Thian Liong Pang yang selama ini menimbulkan keonaran luar biasa. Otomatis pandangan mereka alihkan kepada Liong-i-Sin Nie yang hanya bergumam dan dengan ucapan “siancay, siancay”, sementara Kiang Cun Le dengan wajah guram, senyum tidak senyum, pahit tidak pahit menggeleng-gelengkan kepala melihat akhir pertempuran itu.

Pertempuran yang melelahkan memang telah berakhir, tetapi ketegangan sama sekali belum berlalu. Kali ini ketegangan terjadi diantara kelompok para pendekar. Terutama karena ternyata Pangcu Thian Liong Pang adalah seorang tokoh yang dikenal berasal dari Lembah Pualam Hijau. Seorang tokoh berbakat besar dan sangat terkenal pada masa lalu, Kiang Tek Hong yang adalah calon Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Tetapi tokoh hebat berbakat besar itu tiba-tiba kemudian raib dan lenyap dari rimba persilatan.

Sungguh tak disangka, tiba-tiba puluhan tahun kemudian tokoh tersebut muncul kembali di rimba persilatan dengan menjadi Pangcu Thian Liong Pang, menjadi musuh bersama kaum pendekar. Sungguh kenyataan yang sulit diterima akal, tetapi sedang dihadapi bersama. Itulah sebabnya bahkan tokoh-tokoh utama dari Bu Tong Pay, Siauw Lim Sie dan Kay Pang tidak sanggup mengatakan apa-apa dan hanya menujukan pandangan mata ke arah Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie. Kondisi menjadi tidak enak.

Sementara itu keluarga Lembah Pualam Hijau, masing-masing Kiang Hong dan Tan Bi hiong suami-istri, Topeng Setan, Barisan 6 Pedang telah bergabung dengan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie. Bahkan Barisan 6 Pedang sudah secara otomatis mengelilingi dan melindungi Duta Agung Kiang Ceng Liong. Sementara itu, untuk meredakan keadaan yang semakin tidak mengenakkan, Kiang Cun Le akhirnya berkata mewakili keluarganya:

“Cuwi sekalian, berkenanlah kiranya kita menunggu sebentar. Hal ini hanya bisa diputuskan oleh Duta Agung Lembah Pualam Hijau” ujarnya sambil melirik kearah Kiang Ceng Liong yang kini sudah dalam perlindungan Barisan 6 Pedang dan keadaannya nampak sudah jauh membaik. Ceng Liong sendiri, setelah melakukan samadhi dan memusatkan kekuatannya, tidak berapa lama sudah mulai mampu menyembuhkan dirinya. Kekuatan Giok Ceng Sinkang yang ajaib memang pada kemampuannya menyembuhkan diri sendiri. Luka separah apapun, selagi masih mampu mengumpulkan sinkang di tantian, akan mampu menyembuhkan diri dalam waktu cepat. Dalam tingkat tertingginya, penyembuhan bahkan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih cepat lagi, tergantung parah tidaknya luka dalam.

Kali ini, Ceng Liong butuh sedikit lebih lama karena memang terluka cukup parah. Karena ketika menerima lontaran akumulasi energi berdua dengan Pangcu Thian Liong Pang, dia hanya punya sepersekian detik untuk melindungi dirinya. Untungnya dia menguasai Sinkang Giok Ceng dan telah mampu membentuk hawa khikang pelindung badan. Kedua faktor inilah yang membuat Ceng Liong tidak sampai binasa oleh gempuran kombinasi energi yang terkumpul bersama Pangcu Thian Liong Pang.

Dan kini, secara perlahan Kiang Ceng Liong mulai membuyarkan hawa sakti yang menghasilkan hawa kehijauan gemilang bercahaya mengelilingi tubuhnya. Ini adalah ciri khas penguasa sinkang tersebut yang telah mencapai tingkat kesempurnaannya. Dan beberapa saat kemudian, anak muda itu telah meloncat bangun. Setelah melihat dirinya dalam lindungan Barisan 6 Pedang, diapun menarik nafas lega, dan beberapa saat kemudian dia memandang ayah ibunya dan segera menemui mereka dan memberi hormat:

“Ayah .... Ibu .....”

Hanya beberapa saat Bi Hiong menggapai anak itu. Betapapun kasih sayang anak dengan orang tua memang erat terikat, meskipun untuk waktu yang panjang dengan sangat terpaksa mereka berpisahan oleh tuntutan dunia persilatan. Butuh waktu lebih 15 tahun baru kemudian mereka bisa bertemu kembali. Tetapi, setelah bertemupun ada banyak hal yang harus dikerjakan oleh keluarga mereka, Lembah Pualam Hijau. Apalagi Kiang Hong ayahnya telah dengan cepat telah mendesaknya dengan berkata:

“Liong-jie, ada urusan yang harus cepat engkau kerjakan. Terimalah Pedang Naga Hijau ini, engkau akan membutuhkannya” ujar Kiang Hong sambil mengangsurkan Pedang Naga Hijau ke tangan ceng Liong.

“Ayah, tapi ada kakek dan nenek Liong-i-Sin Nie disini” tolak Ceng Liong halus

“Tetapi yang menjadi Duta Agung adalah engkau .... selesaikan tugasmu” desak Kiang Hong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau sebelumnya.

Kiang Ceng Liong akhirnya memalingkan wajahnya. Dan dia menjadi sangat kaget menyaksikan betapa keluarganya berada di tengah arena dan sedang dalam sorotan kaum pendekar. Sementara sosok tubuh Pangcu Thian Liong Pang masih terbaring di tengah arena dan kini sudah dalam perlindungan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie. Yang terlebih mengagetkan adalah, seluruh mata kini tertuju kearahnya, penuh pertanyaan, penuh tuntutan. “Ada apa gerangan?” pikirnya penasaran.
 
6



Dan kepenasarannya tidak membutuhkan waktu lama guna mengetahui penyebabnya. Adalah Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila yang menjadi pemimpin rombongan pendekar yang datang mendekat dan kemudian berkata:

“Kionghi, kionghi Duta Agung. Engkau telah memenangkan pertarungan pada babak terakhir ini. Bagaimana pendapat Duta Agung menyelesaikan sisa semua urusan di tempat ini”? Pengemis Tawa Gila yang bertanya lebih dahulu.

“Sebagaimana perjanjian, semestinya Thian Liong Pang dibubarkan. Selebihnya, urusan yang lain adalah kewajiban jiwi-locianpwe untuk menyelesaikannya” jawab Ceng Liong.

“Hmmm, memang harus demikian” Sian Eng Cu berkomentar, tidak seakrab sebelum-sebelumnya memang. Dan ini membuat Ceng Liong menjadi heran, meski masih belum mengerti benar apa sebabnya.

“Suheng, para pentolan Thian Liong Pang tiba-tiba sudah menghilang” Mei Lan menyela tiba-tiba melaporkan perkembangan terakhir kepada Sian Eng Cu.

“Apa benar demikian”? tanya Sian Eng Cu

“Dalam kekisruhan dan ketegangan tadi, nampaknya para tokoh mereka telah menyelinap diam-diam. Selain Pangcu Thian Liong Pang ini, tokoh sisanya telah tidak kelihatan lagi. Bahkan termasuk juga Nenek Gayatri dan Kakek Mahendra” tegas Mei Lan.

Memang benar, ketika Sian Eng Cu memalingkan wajahnya, dia tidak lagi menemukan Hu Pangcu Pertama, para Hu Hohoat Thian Liong Pang, Kakek Mahendra dan Nenek Gayatri. Boleh dibilang, semua tokoh-tokoh Thian Liong Pang yang tersisa sudah pada melenyapkan diri. “Aneh, bukankah jalan belakang terhalang oleh bangunan dan sungai? Hmmm, nampaknya mereka melenyapkan diri melalui bangunan-bangunan tersebut” desis Sian Eng Cu dalam hatinya.

“Jika demikian, biarkanlah mereka untuk sementara. Toch Pangcu Thian Liong Pang masih berada dalam kekuasaan kita. Kita mesti menyelesaikan beberapa persoalan terlebih dahulu” akhirnya Sian Eng Cu berakata sambil kemudian kembali menghadapi Kiang Ceng Liong yang masih penasaran.

“Duta Agung ....” Sian Eng Cu kembali menyapa Kiang Ceng Liong yang memang sejak tadi menanti apa yang ingin disampaikan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila kepadanya.

“Kami semua, bukan hanya lohu dan Pengemis Tawa Gila, tetapi seluruh kaum pendekar, baik dari Siauw Lim Sie, Kaypang, Butong Pay, Kun Lun Pay, Thian San Pay bahkan semua perguruan dan kaum pendekar menunggu keputusan Duta Agung” tegas Sian Eng Cu.

“Apa yang mesti segera kuputuskan locianpwe”? tanya Ceng Liong, bingung.

“Semua orang telah mengenali dan mengetahui jika ternyata Pangcu Thian Liong Pang tak lain dan tak bukan adalah salah seorang tokoh tua dari Lembah Pualam Hijau, Kiang Tek Hong” kembali Sian Eng Cu menegaskan.

“Benarkah demikian” kali ini Ceng Liong yang kaget bagaikan disambar geledek. Tetapi, meski bingung dan kaget, nalar Ceng Liong terus berjalan, dan sangat mungkin hal tersebut memang benar. “Ach, sangat mungkin jika demikian, aku sudah sejak lama curiga akan hal tersebut”

“Duta Agung boleh bertanya kepada Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie” Pengemis Tawa Gila menambahkan. Dan seturut kalimat Pengemis Tawa Gila itu, Ceng Liong sudah dengan cepat mengarahkan pandangan ke arah kedua orang tua sakti yang baru saja Pengemis Tawa Gila sebutkan namanya. Dan melihat keadaan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie yang sedang memeriksa keadaan Pangcu Thian Liong Pang, jawabannya sudah jelas.

Dari gurunya, Ceng Liong memang pernah mendengar adanya salah seorang tokoh hebat dari Lembah Pualam Hijau yang menjadi calon Duta Agung Lembah Pualam Hijau menghilang di masa mudanya. Padahal tokoh itu bahkan masih lebih berbakat dibandingkan kakeknya, Kiang Cun Le. Naga-naganya, Pangcu Thian Liong Pang ini adalah tokoh Lembah Pualam Hijau, Kiang Tek Hong yang menghilang pada masa mudanya dahulu. Tokoh berbakat besar, sangat pintar dan yang menjadi cucu tertua dari Kiang Sin Liong. Sayang tokoh ini tiba-tiba saja menghilang dan kedudukannya sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau akhirnya diwarisi oleh Kiang Cun Le.

Ketika melihat fakta tersebut, yakni betapa peduli dan dekatnya hubungan Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie dengan Pangcu Thian Liong Pang yang masih terbaring karena terluka parah, Ceng Liong sudah memastikan hubungannya dengan pangcu Thian Liong Pang. Dan ketika menyaksikan ekspresi wajah dari seluruh keluarga Lembah Pualam Hijau, Ceng Liong maklum belaka, bahwa dia yang harus bertindak atas nama Lembah Pualam Hijau.

Apalagi, dirinya kini membekal Medali Naga Hijau dan Pedang Naga Hijau. Kedua benda itu adalah simbol tertinggi di rimba persilatan, dimana semua orang tunduk dan menghormati Lembah Pualam Hijau yang dilambangkan oleh kedua benda keramat itu. Dan itu juga adalah lambang tertinggi yang harus dimiliki oleh Duta Agung Lembah yang resmi.

“Menurut jiwi-locianpwee, tindakan apalagikah yang harus Lembah kami ambil sebagai pertanggungjawaban atas kekisruhan ini”? akhirnya Ceng Liong bertanya untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh para pendekar.

“Duta Agung, setidaknya Lembah Pualam hijau menjelaskan mengapa bisa tiba-tiba muncul seorang tokoh Lembah Pualam Hijau yang menjadi Pangcu Thian Liong Pang. Dan sesudahnya, kami meminta ketegasan Duta Agung untuk menghukum orang yang bertanggungjawab atas kekisruhan yang diakibatkan oleh Thian Liong Pang” adalah Pengemis Tawa Gila yang menjawab, sementara Sian Eng Cu anehnya tidak lagi nampak antusias mengejar pertanggungjawaban Lembah Pualam Hijau dan kini lebih banyak berdiam diri.

“Benarkah hanya dua hal ini yang dibutuhkan oleh semua kaum pendekar yang berkumpul disini”? tanya Ceng Liong

“Saudara Ceng Liong, Siauw Lim Sie memohon dikembalikannya kitab pusaka yang dicuri dahulu itu” ada suara yang disampaikan lewat ilmu penyampai suara jarak jauh, nampaknya dari Kwi Song. Dan jelas, Kwi Song tak ingin aib Siauw Lim Sie yang kehilangan kitab diumbar dihadapan umum. Dan sebagai jawabannya, Ceng Liong mengangguk kearah Kwi Song yang memberi senyum untuk mendukungnya.

“Bunuh pengganas Thian Liong Pang .....” tiba-tiba terdengar suara dari kalangan pendekar, terutama mereka yang banyak dirugikan dengan pertarungan panjang mengejar Thian Liong Pang ini. Dan Ceng Liong maklum saja mendengar tuntutan itu, karena diapun pernah mendapat perlakuan serupa pada saat awal mengejar gerombolan Thian Liong Pang.

“Bunuh pengganas Thian Liong Pang ...” kembali terdengar dukungan yang meminta Pangcu Thian Liong Pang di eksekusi. Bahkan dukungan atas teriakan itu nampak memperoleh dukungan banyak orang dari kalangan pendekar, dan kini mereka meneriakkan berkali-kali dukungan untuk mengeksekusi Pangcu Thian Liong Pang. Ceng Liong menghadapi semuanya dengan tenang, dan lagi diapun maklum atas tuntutan tersebut.

“Baiklah, ada dua permintaan kepada Lembah kami, Lembah Pualam Hijau. Yang pertama menjelaskan mengapa Pangcu Thian Liong Pang adalah tokoh Lembah Pualam Hijau, benar demikian locianpwee”? tanya Ceng Liong sambil memandang Pengemis Tawa Gila

“Memang demikian Duta Agung” jawab Pengemis Tawa Gila

“Baik, dan yang kedua permintaan agar Pangcu Thian Liong pang ini dihukum oleh Lembah Pualam Hijau. Benarkah demikian”?

“Tepat sekali .....” jawab Pengemis Tawa Gila

“Bukan, bunuh Pangcu Thian Liong Pang ....” kembali suara meminta Pangcu Thian Liong Pang dieksekusi terdengar. Tetapi, ketika Ceng Liong memandang tajam kearah kerumunan orang yang meminta eksekusi itu, suara-suara itu perlahan kemudian mereda dan diam.

“Untuk permintaan membunuh Pangcu Thian Liong Pang, maafkan jika Lembah Pualam Hijau masih akan mempertimbangkannya nanti” tegas Ceng Liong, dan keputusannya itu diikuti oleh anggukan dari Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie.

“Tetapi dia menyebabkan banyak sekali kaum pendekar terbunuh ..” terdengar sanggahan dari kelompok yang meminta eksekusi Pangcu Thian Liong Pang.

“Kami Lembah Pualam Hijau telah menegaskan, kami akan mempertimbangkan lagi permintaan itu” Ceng Liong tegas sekali dengan jawabannya. Dan membuat semua orang terdiam. Dan setelah tidak ada lagi suara-suara yang meminta pertanggungjawaban yang lain, akhirnya Ceng Liong kembali membuka suara:

“Untuk menjawab tuntutan pertama, .......” Ceng Liong memandang kearah Kiang Cun Le dan Liong-i-Sin Nie sebelum melanjutkan, dan setelah Kiang Cun Le menganggukkan kepala, dia melanjutkan “.... Kong-kong Kiang Cun Le akan menjelaskan kepada saudara-saudara”

Kiang Cun Le, bekas Duta Agung Lembah Pualam Hijau, kakek yang sudah tua tetapi masih nampak perkasa itu, kini melangkah maju mendampingi Kiang Ceng Liong dan kemudian berkata:

“Cuwi sekalian, benar sekali, Pangcu Thian Liong Pang adalah toako kami, kakak tertua kami Kiang Tek Hong. Pada lebih kurang 45 tahun silam, toako kami tersebut telah melakukan sebuah perkara yang tak dapat kami sebutkan ditempat ini karena menjadi urusan dalam Lembah Pualam Hijau. Yang jelas, akibatnya kedudukan Calon Duta Agung telah dibatalkan dan bahkan untuk selanjutnya Kiang Tek Hong tidak diakui sebagai bagian keluarga Lembah Pualam Hijau. Dan sejak saat itulah, Kiang Tek Hong untuk selanjutnya menghilang dari dunia persilatan. Kemunculannya sebagai Pangcu Thian Liong Pang sungguh di luar persangkaan kami, meski akhir-akhir ini Lembah kami curiga dengan keterlibatan orang yang ada kaitannya dengan Lembah Pualam Hijau. Mengapa dia menjadi Pangcu Thian Liong Pang, sungguh lohu sendiri tidak sanggup menjelaskannya, maafkan, maafkan”

“Hmmmm, apakah dengan demikian Lembah Pualam Hijau akan mungkir dari pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan oleh “bekas” tokohnya yang kini menjadi Pangcu Thian Liong Pang”? tanya seorang tokoh Kaypang yang memang agak berangasan.

“Saudara, yang pertama, Kiang Tek Hong sudah diusir dari pintu perguruan dan keluarganya sejak lebih 40 tahun lalu. Apa yang dilakukannya, semestinya sudah bukan tanggungjawab Lembah Pualam Hijau. Yang kedua, dalam upaya ikut menanggulangi persoalan Thian Liong Pang, harap diingat adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang menjatuhkan Pangcu Thian Liong Pang” tangkis Kiang Cun Le dengan penuh kesabaran.

“Tetapi, siapakah yang tahu dan bisa menjadi saksi bahwa benar Lembah Pualam Hijau telah mengusir Kiang Tek Hong dari pintu perguruannya sejak lebih 40 tahun lalu”? tanya seorang tokoh pendekar lainnya, Sim Kong Bu. Tokoh ini memang rada teliti, namun kejujurannya diakui banyak orang.

“Sayang sekali, selain urusan ini menjadi urusan dalam Lembah Pualam Hijau hingga tak mungkin kami beberkan keluar – seterusnya, jikapun ada yang bisa kami ajukan menjadi saksi, nyaris mustahil kami menghadirkan mereka menjadi saksi untuk urusan tersebut” Kiang Cun Le menjawab dengan tetap sabar.

“Locianpwee, sebutkan saja siapa yang gerangan mereka yang sekiranya dapat diajukan sebagai saksi untuk urusan tersebut” Sim Kong Bu mengejar, tetapi tetap dengan sikap yang menghormat. Dia maklum belaka dengan siapa dia sedang berhadapan pada saat itu.

“Hmmmm ....... “ nampak Kiang Cun Le agak bimbang menyebutkannya. Tetapi tiba-tiba terdengar jawaban dari mulut yang lain selagi Kiang Cin Le ragu:

“Siancay ... siancay, jika bukan karena Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan dan Kiong Siang Han locianpwee, kakek kami Kiang Sin Liong telah memunahkan ilmu silat Pangcu Thian Liong Pang ini atau bahkan membunuhnya pada saat itu” adalah Liong-i-Sin Nie yang kemudian menjawab.

“Aaaaacccccccccccchhhhhh” seruan kaget dari banyak pihak mendengar betapa mereka yang menyaksikan “drama internal” Lembah Pualam Hijau justru adalah Manusia Dewa Tionggoan. Bisa ditebak, drama keluarga itu pastilah sangat luar biasa, sampai seorang Kiang Sin Liong yang terkenal ramah dan baik hatipun memutuskan untuk menghukum mati seorang cucunya.

“Tapi, bagaimana mungkin kita menghadirkan Manusia Gaib Tionggoan itu sebagai saksi untuk urusan itu”? tokoh Kaypang yang biasanya berangasan, Lay Jiu Hong kembali bertanya.

“Jika cuwi sekalian menghormati kami dari Lembah Pualam Hijau, kami mohon kepercayaan saudara sekalian, karena kejadian tersebut adalah urusan dalam keluarga Lembah kami” Kiang Cun Le menjawab tenang.

“Locianpwee, adalah sulit untuk menyimpulkannya. Jika bukti tersebut tidak dikemukakan, sulit untuk menolak anggapan selintas orang bahwa Lembah Pualam Hijau terlibat dalam peristiwa kelam ini” Sim Kong Bu kembali menyela mendukung ide Lay Jiu Hong.

Dan Kiang Cun Le bukannya kurang paham akan masalah tersebut, persoalannya adalah: Pertama, menghadirkan Wie Tiong Lan, satu-satunya saksi yang masih hidup, nyaris mustahil. Kedua, membeberkan aib Lembah Pualam Hijau atau alasan peristiwa dikeluarkannya toakonya Kiang Tek Hong, juga tidaklah mungkin.

Sementara itu, kaum pendekar mulai ribut sendiri. Ada yang tidak meragukan Lembah Pualam Hijau, tetapi ada juga yang mencela mereka karena tidak sanggup menghadirkan saksi. Suara-suara yang berseliweran itu menambah tegang dan menambah suasana ketidakenakkan di kalangan para pendekar yang seakan lupa bahwa masalah Thian Liong Pang belum tuntas. Sementara itu, Kiang Ceng Liong menjadi kecewa dengan pandangan banyak kaum pendekar yang seakan meragukan kependekaran Lembah Pualam Hijau.

Tetapi, dalam kondisi yang mendekati kebuntuan dan bahkan bisa menjadi ketegangan antara kaum pendekar, tiba-tiba Sian Eng Cu dan Mei Lan tampil ke depan. Bahkan Sian Eng Cu kemudian berkata:

“Lohu bersama sumoy, Liang Mei Lan mendapat perintah dari suhu kami yang mulia, Wie Tiong Lan, bahwa beliau bersedia menjadi saksi dan membenarkan apa yang dikatakan oleh Kiang Cun Le. Melalui ilmu penyampai suara, suhu memberi tahu bahwa karena Kian Ti Hosiang yang membujuk Kiang Sin Liong, maka akhirnya Kiang Sin Liong membatalkan keputusan membunuh atau memunahkan ilmu silat Kiang Tek Hong. Dan atas bantuan Kian Ti Hosiang, akhirnya Kiang Siong Tek adik Kiang Tek Hong memohon menjadi murid Budha Kian Ti Hosiang, dan sampai sekarang Kiang Siong Tek masih bertapa dan menjadi murid Siauw Lim Sie. Siauw Lim Sie Ciangbunjin dapat menerangkan peristiwa ini jika mungkin”

Kali ini semua mata mengarah ke Ciangbujin Siauw Lim Sie untuk memastikan apa yang disampaikan Sian Eng Cu. Memang, sebagaimana penyampaian Sian Eng Cu tadi, beberapa saat sebelumnya dia memperoleh bisikan dengan suara yang sangat dikenalnya yang menjelaskan bagaimana proses kejadian diusirnya Kiang Tek Hong dari Lembah Pualam Hijau. Suara itu, adalah suara Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, yang seterusnya meminta muridnya itu maju bersaksi atas nama dirinya.

Sementara itu, Ciangbunjin Siauw Lim Sie akhirnya berkata:

“Berdasarkan informasi yang juga diturunkan kepada puncho, maka memang benar. Masuknya Kiang Sioang Tek menjadi murid Budha Siauw Lim Sie berkaitan dengan sebuah peristiwa hebat dalam keluarga Lembah Pualam Hijau. Hanya apa peristiwa itu, tidaklah pernah disebut-sebut. Hanya itu saja yang puncho pahami”

Melihat suasana yang akan meningkat menjadi ketegangan yang tak menguntungkan bagi kelompok Pendekar, maka Pengemis Tawa Gila sadar jika kesimpulan harus segera diambil. Maka diapun berkata:

“Cuwi sekalian, kita harus menghargai kesaksian yang diberikan oleh Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu yang mulia melalui murid-muridnya. Kitapun mesti menghargai keterangan Siauw Lim Sie Ciangbunjin yang membenarkan meski masih kurang terperinci. Tetapi, bisa disimpulkan bahwa memang Kiang Tek Hong telah diusir dari perguruannya pada puluhan tahun sebelumnya. Baiklah kita tidak usah bertengkar lagi untuk memperdebatkan urusan tersebut. Bagimana pandangan cuwi sekalian”?

Mendengar bahwa Kaypang melalui Pengemis Tawa Gila telah menyatakan kesimpulannya, sementara Bu Tong Pay melalui Sian Eng Cu Tayhiap dan Siauw Lim Sie juga telah bersikap, maka tidak ada lagi pihak yang berani mati menentang dan menuntut pihak Lembah Pualam Hijau. Hampir semua kemudian menyatakan persetujuannya. Dan setelah kesepakatan itu diambil, maka Pengemis Tawa Gila pada akhirnya mengajukan tuntutan yang terakhir:

“Duta Agung, persoalan pertama nampaknya sudah selesai. Tetapi, karena betapapun Pangcu Thian Liong Pang adalah bagian dari keluarga Lembah Pualam hijau meski sudah terusir, maka kami persilahkan Lembah Pualam Hijau yang memutuskan hukuman bagi orang itu” berkata Pengemis Tawa Gila sambil menunjuk kearah Pangcu Thian Liong Pang.

Kembali Ceng Liong yang menjadi pusat perhatian. Betapapun semua orang kini menantikan apa yang akan dilakukan oleh Kiang Ceng Liong sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Yang tidak dimengerti banyak orang adalah, di dalam benak Kiang Ceng Liong sendiri, keputusan sebetulnya sudah ada sejak beberapa waktu sebelumnya. Karena itu, Ceng Liong tidak nampak gamang.

Apalagi karena dia telah menerima “ranting rongga pualam hijau” (lihat kisah ini di Bagian II Episode 19) dan paham bahwa Thio Su Kiat dan Majikan Kerudung Putih (kini menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau, Kiang Li Hwa) telah lama disiapkan Kiang Tek Hong untuk membantu pergerakan Lembah Pualam Hijau menghadapi Thian Liong Pang. Bahkan, melalui pesan dalam “Ranting Rongga” tersebut, Ceng Liong telah menugaskan Thio Su Kiat atas nama gurunya untuk mengembalikan kitab yang dicuri dari Siauw Lim Sie lewat paman Kakeknya Kiang Siong Tek yang sedang bertapa dengan menjadi murid Siauw Lim Sie.

Beberapa saat kemudian, Ceng Liong nampak berpaling ke arah Pangcu Thian Liong Pang yang masih terbaring. Dan, sama dengan Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni, diapun mengernyitkan kening melihat kondisi dan keadaan Pangcu Thian Liong Pang. Bergegas dia berjalan mendekati Pangcu Thian Liong Pang, tetapi bersamaan dengan itu, tiba-tiba:

“Duta Agung, tahan serangan”

Suara itu sangat dikenal oleh Ceng Liong, siapa lagi jika bukan Majikan Kerudung Putih yang belakangan ternyata adalah Kiang Li Hwa dan telah bergabung kembali dengan Lembah Pualam Hijau. Gadis cantik itu sekarang sudah dalam dandanan sebagai Duta Luar Lembah Pualam Hijau. Dan bersama dengan gadis itu, datang juga Nenek Durganini dan juga seorang Nenek yang lain lagi yang masih asing bagi banyak orang.

Di arena, kembali terjadi kekagetan dan keterkejutan lain. Adalah 3 sosok wanita dari generasi berbeda yang menghadirkan kekagetan tersebut. Sosok pertama adalah Majikan Kerudung Putih, yang kini dalam dandanan seorang gadis dan bernama Kiang Li Hwa. Dia sudah dengan cepat, bersama dengan seorang wanita yang sudah agak tua namun masih kelihatan cantik, bergerak kearah Pangcu Thian Liong Pang, dan terdengar suara yang mengagetkan banyak orang itu, termasuk Ceng Liong:

“Ayah, engkau terluka”?

“Suamiku, bagaimana keadaanmu”?

Keduanya dengan cepat mendekati tubuh Pangcu Thian Liong Pang melewati Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni. Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni nampaknya mengenal perempuan tersebu dan karenanya membiarkan saja kedua wanita itu mendekati Pangcu Thian Liong Pang tanpa menghalangi. Bahkan keduanya memandang penuh iba kepada perempuan tersebut.

Siapakah perempuan yang mengaku “istri” Pangcu Thian Liong Pang? Bukankah Hu Pangcu Pertama yang selama ini dikenal sebagai istri Pangcu Thian Liong Pang? Ini menjadi salah satu misteri dan tanda tanya bagi banyak orang pada saat itu.

Sayangnya, yang mengerti kisah ini hanya orang-orang tertentu yang terkait erat dengan kisah tragis yang terjadi di dalam lingkungan keluarga Lembah Pualam Hijau. Yang pasti, melihat kondisinya, perem[puan tersebut benar-benar istri dari Pangcu Thian Liong Pang, Kiang Tek Hong – terutama melihat kesusahan dan kesedihan yang ditunjukkannya ketika melihat keadaan Pangcu Thian Liong Pang. Kesedihan seorang istri tidak akan pernah bisa ditiru dan dibuat-buat, sebagaimana perempuan itu mempertunjukkan kepeduliannya atas kondisi Pangcu Thian Liong Pang.

“Suamiku, mengapa jadi begini”? perempuan itu merabai tubuh Kiang tek Hong dan segera sadar jika kondisi Pangcu Thian Liong Pang memang sangat parah. Sementara Duta Luar, Kiang Li Hwa juga menangisi ayahnya, dan sekali pandang melihat bahwa ayahnya sama sekali tidak melakukan pengobatan untuk dirinya sendiri.

“Ayah, mengapa engkau berbuat demikian” rintihnya lirih.

Disekitar tubuh Kiang Tek Hong sekarang ada Perempuan yang mengaku istrinya, Kiang Li Hwa anaknya, Nenek Durganini, Kiang Cun Le, Liong-i-Sinni dan di bagian terluar berdiri Barisan 6 Pedang dan juga keluarga Lembah Pualam Hijau lainnya.

Melihat keadaan yang menyedihkan tersebut, akhirnya Ceng Liong menegaskan keputusan yang memang sudah diambilnya beberapa waktu sebelumnya:

“Selaku Duta Agung Lembah Pualam Hijau, sekaligus sebagai orang yang menjunjung dan menegakkan keadilan bagi rimba persilatan Tionggoan, maka kami menegaskan hukuman bagi Pangcu Thian Liong Pang, Kiang Tek Hong sudah dilaksanakan” suaranya perlahan, namun sangat tegas dan berwibawa. Keputusan yang bagi keluarga Lembah Pualam Hijau sangat tepat, dan Kiang Cun Le serta Liong-i-Sinni nampak mengangguk-angguk setuju. Tetapi, tidak bagi mereka yang hanya tahu sebagian:

“Hah, apakah pengganas itu akan dibiarkan hidup? Apakah Duta Agung tidak salah mengambil keputusan”? Bahkan seorang Pengemis Tawa Gila sendiripun yang bersuara tidak setuju dengan keputusan Duta Agung Kiang Ceng Liong.

“Sungguh keputusan bagus, keputusan bagus .... hahahahahaha” sebuah suara lantang bernada sinis dari Lay jiu Hong yang memang suka bicara blak-balkan. Dan kali inipun, banyak orang yang sepakat dengan Pengemis Tawa Gila dan Lay jiu Hong dan tidak puas dengan keputusan Duta Agung.

Bahkan orang-orang lain yang kurang mengerti keadaan juga ikut-ikutan menyatakan ketidakpuasannya atas keputusan Kiang Ceng Liong. Kecuali Kwi Beng dan Nenggala yang sedikit banyak mengetahui dan mengenali bagaimana Kiang Li Hwa dan Thio Su Kita berubah menjadi keluarga Lembah Pualam Hijau. Sedikit banyak mereka sudah menduga apa yang terjadi pada waktu itu, meskipun secara rinci mereka masih kurang begitu mengetahui.

“Duta Agung, apakah itu keputusan akhirnya”? Tek Hoat yang mewakili Kaypang pada akhirnya juga mengutarakan ketidakpuasannya, terutama karena melihat gejolak ketidakpuasan di kalangan Kaypang. Dan rona ketidakpuasan juga nampak di wajah Mei Lan, Giok Lian dan banyak tokoh pendekar lainnya, meski tidak semua mengutarakan ketidakpuasan mereka.

Ceng Liong sadar benar dengan keputusannya. Dan sadar benar dengan resiko dari keputusannya. Namun, bagaimanapun juga keputusannya akan tetap dipertahankannya, bukan hanya demi kepentingan Li Hwa dan Paman kakeknya Tek Hong, tetapi keadilan. Maka dia kemudian berkata:

“Keputusan itu sudah final bagi Lembah Pualam Hijau. Pertama, sebagai Pangcu Thian Liong Pang, dia sudah dengan rela menerima hukumannya. Untuk saat ini, Pangcu Thian Liong Pang sudah sedang menjadi manusia biasa guna menebus dosanya. Semua kepandaiannya sudah musnah, dan meski dia masih berkemampuan menyembuhkan dirinya dengan sinkang Giok Ceng Sinkang, tetapi dia menolak melakukannya. Itulah hukuman atas keterlibatannya dalam aksi teror Thian Liong Pang. Kedua, tanpa bantuannya – baik melalui putrinya yang tadinya adalah Majikan Kerudung Putih dan sekarang telah menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau dan juga melalui muridnya Thio Su Kiat, maka kita masih belum sanggup memasuki markas utama Thian Liong Pang. Karena itu, siapapun yang masih akan meminta pertanggungjawaban Kiang Tek Hong akan berhadapan dengan Lembah Pualam Hijau” tegas Kiang Ceng Liong.

Penjelasan Ceng Liong masih belum memuaskan bagi banyak orang, tetapi sudah cukup bagi beberapa orang dekat Ceng Liong. Adalah Lay Jiu Hong yang kembali bertanya:

“Duta Agung, tolong jelaskan maksud dari bantuan Pangcu Thian Liong Pang dalam memberantas aksi gerombolan Thian Liong Pang itu”?

“Sementara pertarungan memanas, sebagai Duta Agung kami telah menerima informasi dari RANTING RONGGA PUALAM HIJAU yang dikirimkan Kiang Tek Hong. Isinya tentang kisah Thian Liong Pang, keterlibatannya dan upaya memberantasnya. Dia menugaskan putrinya, Kiang Li Hwa bergabung dengan kita, juga muridnya, dan membawa kita memasuki markas rahasia ini. Su Kiat membawa kami memasuki markas dan membebaskan tokoh-tokoh yang di tahan dan akhirnya membawa cuwi sekalian langsung memasuki markas ini. Fakta ini sudah cukup untuk mengatakan bahwa dosa Kiang Tek Hong sudah ditebusnya secara memadai” Ceng Liong kembali menegaskan.

“Tetapi, betapapun dia biang keladi dari semua kekisruhan ini. Masakan hukumannya sedemikian ringan”? Pengemis Tawa Gila masih mengejar.

“Locianpwe, sekali lagi kami tegaskan, Kiang Tek Hong telah menghukum dirinya sendiri dengan membiarkan ilmu silatnya punah. Hukuman itu sudah cukup buatnya, meskipun sebetulnya diapun memiliki sejumlah jasa bagi proses mengakhiri teror Thian Liong Pang ini”

“Duta Agung, betapapun hukuman itu terlampau ringan baginya” Lay Jiu Hong tetap menuntut. Dan nampaknya banyak orang yang ikut mendukung pendapatnya, termasuk sebagian dari Kaypang dan Bu Tong. Hal ini membuat Ceng Liong agak sedih, tetapi karena beranggapan hukuman bagi Tek Hong sudah cukup dan mengetahui bahwa pamannya itu berjasa besar dengan membuka banyak rahasia Thian Liong Pang, membuatnya tegas dalam pendiriannya. Tetapi, dia sedih melihat banyak tokoh tidak sudi menghargai jasa dan pengorbanan Kiang Tek Hong.

Puncak kesedihan itu membuat Ceng Liong memutuskan sesuatu yang belakangan disesalkan banyak orang:

“Selaku Duta Agung kami telah memberi keputusan akhir bagi Kiang Tek Hong. Maka, kami mohon maaf sebesar-besarnya atas nama Lembah Pualam Hijau kepada cuwi sekalian. Jika cuwi sekalian tidak dapat melihat jasa Kiang Tek Hong dibalik usaha menumpas Thian Liong Pang, maka perkenankan sejak hari ini, selaku Duta Agung kami menyampaikan dan menegaskan: Bahwa seluruh warga Lembah Pualam Hijau untuk selanjutnya dilarang bergerak di dunia persilatan atas nama Lembah Pualam Hijau. Dan lembah Pualam Hijau kami nyatakan menarik diri dari kekisruhan dunia persilatan Tionggoan” Ceng Liong menutup kalimatnya dengan tegas dan dengan wajah agak kelam. Hal itu membuat banyak orang terdiam dan sedih karena telah menuntut dan meminta terlalu banyak. Apalagi, ketika Ceng Liong menyelesaikan dan menegaskan keputusannya, terdangar suara seorang perempuan:

“Tidak, sama sekali bukan Tek Hong yang menjadi biang keladi Thian Liong Pang. Dia terpaksa menjalani peran sebagai Pangcu Thian Liong Pang boneka setelah orang-orang itu menyandraku dan menahanku disebuah tempat”, kali ini perempuan yang mengaku istri Tek Hong yang bersuara membela. Dia sendiri tidak tahan melihat keluarga suaminya ikut-ikutan menerima celaan dari kaum pendekar. Dan Kiang Ceng Liong meliriknya dengan pandangan penuh ungkapan terima kasih. Tetapi, kalimatnya itu tidka membuat Ceng Liong tergerak untuk merubah keputusannya menarik smeua aktifitas Lembah Pualam Hijau dari hingar-bingar dan kekisruhan dunia persilatan Tionggoan.

“Hujin, jika demikian menurutmu masih ada orang-orang lain yang justru berperan mengendalikan Thian Liong Pang”? bertanya Pengemis Tawa Gila

“Siapa bilang tidak”?

Jawaban yang mengejutkan. Karena itu berarti tugas mereka mengakhiri teror Thian Liong Pang masih belum usai. Karena toch, ternyata masih ada tokoh utama dibalik Thian Liong Pang yang misterius itu.

“Bisakah Hujin menyebutkan siapa-siapakah mereka”? kembali Pengemis Tawa Gila kembali bertanya

“Tidak perlu kukatakan lagi, karena toch mereka semua sebenarnya sudah berada di sekitar tempat ini”

Dan begitu perempuan yang mengaku istri Kiang Tek Hong selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar di angkasa:

“Lamkiong Li Hong, Kiang Li Hwa, Nenek tua Durganini, sungguh berani mati kalian mengkhianati kami”

Suara itu menggelegar dan terdengar mengiang-ngiang di angkasa. Ternyata nama istri Kiang Tek Hong adalah Lamkiong Li Hong, salah seorang putri keturunan Tocu Lam hay Bun pada masa lalu. Masih suara itu mengambang di angkasa, Nenek Durganini telah mendengus dan melontarkan suara jawabannya:

“Mengapa tidak berani ......”?
 
Dan adu suara di angkasa terjadi. Suara pertama yang dilontarkan lawan dan suara Nenek Durganini berlomba untuk saling belit dan saling menguasai, tetapi nampaknya tidak dapat saling mengalahkan. Sementara adu suara itu berlangsung, tiba-tiba Ceng Liong mendapatkan bisikan:

“Liong-jie, waspadalah dan berjagalah disamping paman kakekmu” suara yang sangat lekat dan dikenal Kiang Ceng Liong, suara gurunya, sekaligus kakek buyutnya, Kiang Sin Liong. Dan selekas suara itu berlalu, Ceng Liongpun segera beringsut ke dekat tubuh Kiang Tek Hong yang masih terbaring. Begitu mendekat, Kiang Li Hwa segera bermohon kepadanya:

“Duta Agung, apakah ayah tidak bisa disembuhkan lagi”?

“Duta Luar, bukannya paman kakek tidak dapat disembuhkan, tetapi dia sendiri yang tidak menginginkan kesembuhan. Dia masih mampu untuk mengumpulkan sinkangnya dan mengobati diri sendiri, tetapi tidak dilakukannya sejak tadi. Dia masih berkemampuan, tetapi tidak ingin menyembuhkan diri sendiri. Dan nampaknya dia menerima semua itu sebagai hukuman baginya. Kong-kong dan Nenek tadi telah mengobati luka lainnya, untuk sekarang kondisinya tidak lagi membahayakan jiwanya”

“Baiklah, terima kasih Duta Agung”

“Kakek buyut baru saja memberi peringatan untuk berwaspada di sekitar sini, harap Duta Luar dan bibi juga bersiaga” bisik Ceng Liong yang didengar juga oleh hampir semua keluarga Lembah Pualam Hijau. Dengan segera, termasuk Barisan 6 Pedang meningkatkan kesiagaan dan kewaspadaan mereka.

Tetapi, begitu semua keluarga Lembah Pualam hijau bersiaga, tiba-tiba terdengar rangkaian suara bergelombang yang membuat orang-orang bagaikan merasakan bumi bagaikan bergolak. Pohon-pohon tunggang langgang, bukit-bukit bagaikan runtuh, tanah berguncang seperti jungkir balik dan langit menyambar dengan kilatan cahaya menyilaukan mata dari udaya. Sungguh keadaan mengerikan yang dialami para pendekar, nyaris mirip dengan gambaran tentang kiamat.

Bukan cuma pendekar-pendekar berilmu tanggung dan terhitung tinggi yang tergoncang. Karena bahkanpun tokoh-tokoh sekelas Durganini, Ceng Liong, Kiang Cun Le, Liong-i-Sinni dan tokoh-tokoh hebat lainnya ikut tergoncang. Sungguh serangan sihiur melalui gelombang suara yang sangat hebat. Adalah Durganini yang menjerit:

“Serangan sihir gabungan ........., mereka melakukannya?”

Akibatnya sungguh hebat, karena Nenek Durganini, Kiang Ceng Liong, Kiang Cun Le, Liong-i-Sinni sampai terhuyung-huyung dengan serangan gabungan yang bergelombang. Akibat dari terjangan dan serbuan gelombang suara yang berangkai itu, sungguh luar biasa. Para pendekar jungkir balik dan merasa bumi sedang bergolak hebat. Inilah pengaruh sihir yang luar biasa hebatnya dan nampaknya dilakukan oleh beberapa orang secara serentak dengan gabungan kekuatan yang sangat hebat.

Tokoh-tokoh utama sudah dengan cepat duduk bersamadhi, tetapi itupun tidak sanggup menghilangkan perasaan tergoncang saking kuat dan hebatnya sihir gabungan yang dilontarkan pihak lawan. Padahal, serangan itu baru dilakukan melalui lontaran gelombang suara belaka. Tetapi hebatnya memang luar biasa. Terutama pada pengaruhnya terhadap perasaan dan persepsi orang yang dibentuk didalam jiwa akibat pengaruh suara tersebut.

Jika serangan sihir gabungan itu dilakukan dalam waktu yang panjang, maka jangankan pendekar berilmu rendah, yang berilmu tinggipun bakal kehilangan keyakinan diri. Paling parah adalah kehilangan sukmanya dan hidup bagai boneka. Dan sebagian besar kelompok pendekar sudah dalam kondisi tersebut, terutama mereka yang berilmu paling cetek.

Mereka ini sudah tenggelam dalam pengaruh orang lain dan kehilangan pertimbangan-pertimbangan pribadinya alias menjadi mirip boneka orang lain. Dan puluhan pendekar lainnya terancam hal serupa jika serangan sihir suara bergelombang masih berlangsung terus untuk beberapa saat. Upaya Ceng Liong, Nenek Durganini dan tokoh lain untuk menyatukan serangan menangkis serangan sihir suara tersebut sia-sia sebab mereka sudah terlebih dulu terkena serangan. Selain itu, sulit bagi mereka untuk bekerjasama melakukan tangkisan sihir karena belum terbiasa bekerjasama melakukannya.

Dan untungnya gelombang suara tandingannya tidak lama kemudian bergema di udara dan langsung melibas suara serangan sihir yang pertama:

“Hahahahahahahaha ....... Lamkiong Sek, Bu Hok Lokoay, Hiong Say Tiang Pek San, Naga Pattinam, Wisanggeni – kalian harusnya malu menyerang kalangan muda dengan mengandalkan sihir gabungan. Sungguh memalukan ........... ”

Jika serangan sihir gelombang suara yang pertama bersifat merusak, maka suara terakhir bersifat sebaliknya. Dengan segera perasaan yang terbentuk bahwa bumi sedang berguncang bagaikan kiamat tersapu, bahkan mereka yang kehilangan sukma sudah kembali normal meski kemudian pingsan karena guncangan dalam jiwa yang luar biasa. Tetapi, tokoh-tokoh utama seperti nenek Durganini, Kiang cun Le, Liong-i-Sinni, Kiang Ceng Liong dan para pendekar muda sudah dengan cepat menemukan kesimbangannya.

“Jangan dikira kami takut – Bintang Sakti Dari Selatan, meski engkau bersama dengan Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan dan Bhiksu Chundamani. Mari, mari .... kita bermain-main”

Dan kembali serangan sihir suara bergelombang dengan kekuatan lebih besar datang melanda bagai prahara. Tetapi, gelombang suara tandingannya dengan cepat menangkal pengaruh merusak dari serangan sihir itu .......... dan kali ini terjadi adu tanding suara yang jauh lebih seru .......... akibatnya, sesekali orang-orang merasa dunia seperti sedang jungkir balik, tetapi tidak lama karena segera ditangkal oleh alunan suara lain yang meneduhkan. Bahkan setelah sekian lama, terdengar gabungan gelombang suara kedua berkata dengan sabar:

“Sudahlah, jangan memaksa kami ...........”

Tetapi gelombang serangan sihir gabungan itu masih tidak mengendor, meski semakin lama semakin terdesak. Hal ini bisa dirasakan dari semakin berkurangnya daya dan pengaruh merusaknya terhadap pendengar, tinggal sesekali dan dalam interval waktu yang jauh lebih pendek. Begitupun, gabungan gelombang sihir itu masih tetap berusaha mendesak. Sampai pada akhirnya terdengar suara lagi:

“Kalian memang keras-kepala, maafkan kami .......”

Dan, akhirnya perlahan-lahan setelah bertempur melalui alunan suara sekian lama, gelombang serangan sihir gabungan yang bernada merusak perlahan-lahan sirna. Dan selanjutnya kemudian bahkan senyap. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba dua sosok tubuh melesat masuk ke arena dan langsung menuju kearah Kiang Cun Le:

“Hm, maafkan jika kami datang terlambat. Nampaknya pertarungan sudah usai” kedua orang itu berdandan sangat menarik. Kakek yang pertama mengenakan kopiah berlambang bulan dan matahari dengan kopiah itu menutupi sampai kejenggot putihnya. Sementara kakek yang kedua mengenakan jubah berwarna kemilau penuh hiasan mutiara dengan topi menyerupai seekor ikan hiu. Inilah Kawcu Begkauw Siangkoan Tek yang datang dan tiba bersama Lamkiong Bu Sek, Tocu Lam Hay Bun.

Jika dalam keadaan normal, maka kehadiran mereka pasti akan menimbulkan geger. Tetapi, kondisi sekarang sedang awut-awutan. Setelah bertempur panjang dengan barisan Thian Liong Pang, para pendekar menyaksikan pertarungan-pertarungan mati-matian hingga kemudian di gedor keras oleh serangan sihir gabungan. Sungguh kondisi kelompok pendekar itu sangat menyedihkan, meskipun mereka telah memenangkan pertempuran melawan kelompok Thian Liong Pang.

Adalah Kiang Cun Le dan Siangkoan Giok Lian yang menyambut mereka:

“Kong-kong, engkau juga datang”? Giok Lian berseru sambil menyambut kedatangan kakeknya. Seperti biasanya, sang Kakek yang menjadi Kawcu Bengkauw memang sangat menyayangi cucunya itu.

“Sahabat-sahabat yang baik, Tocu Lam Hay dan Kawcu Bengkauw, selamat datang. Sayang keramaian sudah berakhir” sambut Kiang Cun Le.

“Saudara Cun Le, meskipun telah berakhir tetapi selaku Tocu Lam Hay Bun kami menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan di Tionggoan. Perbuatan tetua kami, Lamkiong Sek tidaklah mencerminkan sikap Lam Hay Bun. Kami mohon maaf sebesar-besarnya”

“Kami mengerti Tocu, dan karenanya kami tetap memelihara persahabatan dengan Lam Hay Bun maupun Bengkauw” jawab Kiang Cun Le.

Tetapi sebuah suara lain kembali mengalun:

“Hmmmmmm, Tocu yang lemah hati. Engkau memalukan leluhurmu. Tetapi biarlah, kelak ilmu kepandaian Lam Hay Bun akan tetap kembali hadir di Tionggoan” Suara itu didengungkan meski tidak selantang suara-suara sebelumnya tetapi masih tetap bisa didengarkan dengan telinga telanjang. Tetapi suara itu nampaknya dikirimkan seseorang yang sedang menjauh.

“Kelak kedepan, tolong jangan melibatkan dan membawa-bawa nama dan simbol Lam Hay Bun” Tocu Lam Hay Bun balas mengirimkan suara ke arah orang yang melontarkan suara tadi.

“Tocu, nampaknya kisah hari ini tidaklah berakhir sampai disini. Kita masih akan terlibat kesulitan di masa mendatang oleh perbuatan orang lain” desis Kiang Cun Le dengan penasaran.

“Benar, benar. Sungguh menyebalkan” desis Tocu Lam Hay Bun, yang meski marah tetapi tak sanggup melontarkannya kepada orang yang menegurnya “lemah hati” tadi. Karena memang sesungguhnya orang itu adalah salah satu sesepuh Lam Hay Bun, Lamkiong Sek yang kepandaiannya bahkan masih mengatasinya selaku Tocu Lam Hay Bun.

“Saudara Cun Le, meski dalam kondisi seperti sekarang, karena kita telah bertemu kembali, apakah dapat kita menentukan waktu pertemuan selanjutnya”? tanya Kawcu Bengkauw.

Kiang Cun Le yang paham dengan maksud Kawcu Bengkaw sudah menjawab sambil menoleh kearah Kiuang Ceng Liong:

“Menurut perjanjian sebelumnya, tahun mendatang kita akan melakukannya. Tetapi melihat kondisi sekarang, nampaknya kita perlu menundanya. Tetapi, kata akhirnya harus lohu serahkan kepada Duta Agung”

Kawcu Bengkauw yang terbiasa blak-blakan sudah langsung bertanya kepada Kiang Ceng Liong:

“Bagaimana Duta Agung, apakah jadwal pertemuan kita tahun mendatang akan ditepati ataukah mesti ditunda”?

Kiang Ceng Liong sudah paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Kawcu Bengkauw. Dan memang, sebagaimana pertempuan-pertemuan adu ilmu sebelumnya, adalah Duta Agung yang menetapkan atas nama perguruan di Tionggoan, mewakili Kaypang, Bu Tong dan Siauw Lim Sie. Maka diapun kemudian menjawab:

“Duta Agung Lembah Pualam Hijau tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan Tionggoan. Ada baiknya Kauwcu bertanya langsung kepada Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kaypang” tegas Kiang Ceng Liong konsisten dengan keputusannya sebelumnya.

Siangkoan Tek terkejut dengan penegasan Kiang Ceng Liong. Dia memandang Kiang Cun Le yang menganggukkan kepala membenarkan sikap dan keputusan Kiang Ceng Liong tadi. Dalam keterkejutannya diapun memandang tokoh-tokoh Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay serta Kaypang untuk memperoleh penegasan. Tetapi, tokoh-tokoh perguruan itu, semua masih kaget dengan pendirian Kiang Ceng Liong atas nama Lembah Pualam Hijau. Mereka masih belum sanggup menetapkan hati dan belum sepenuhnya menerima pengunduran diri Kiang Ceng Liong dan Lembah Pualam Hijau.

“Bagaimana ini saudara Cun Le”? Siangkoan Tek dan Tocu Lam Hay benar-benar kebingungan.

Kiang Ceng Liong yang ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan di tempat itu pada akhirnya berkata:

“Jika masih bisa mengatasnamakan kawan-kawan di Tionggoan, biarlah mewakili Tionggoan ini menjadi campur tangan kami yang terakhir. Maka, perkenankan kami mohon agar jadwal itu ditunda setahun. Artinya, 2 tahun kedepan baru kemudian janji pertemuan itu dilaksanakan. Pertama, para pendekar di Tionggoan baru menyelesaikan sebuah urusan besar yang memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Kedua, pada tahun mendatang, Kay Pang akan melaksanakan pertemuan besar mereka guna menentukan pemimpin mereka yang baru. Karena itu, adalah bijaksana untuk melakukan pertemuan itu dua tahun mendatang”

“Bagaimana Tocu .....”? Kawcu Bengkauw yang bernafsu untuk melakukan pertemuan secepatnya meminta dukungan Tocu Lam Hay. Tetapi, dengan peristiwa tadi dimana dia ditegur sesepuhnya dan juga unsur Lam Hay ikut terlibat dalam kisruh yang diakibatkan oleh Tian Liong Pang, maka Tocu Lam Hay juga merasa tidak enak hati untuk mendesakkan pertemuan selanjutnya dalam waktu secepatnya. Karena itu, diapun menjawab:

“Alasan Duta Agung dan saudara Cun Le sangat masuk di akal. Lohu menerima dan menyatakan persetujuan”

Melihat Tocu Lam Hay sudah setuju, Siangkoan Tek sudah tidak terlampau bernafsu untuk mengejar dan memaksakan pertemuan secepatnya. Akhirnya diapun berkata:

“Baiklah, jika memang demikian kita tetapkan dua tahun kedepan untuk pertemuan selanjutnya”

“Baiklah, dua tahun kedepan para pendekar Tionggoan dan perguruan utama di Tionggoan pasti sudah siap untuk bertamu ke Bengkauw” tandas Ceng Liong.

“Baik, baik. Selaku tuan rumah, Bengkauw pasti akan menyambut kedatangan kalian. Baik menyambut kehadiran mereka yang mewakili angkatan kami, maupun menyambut kedatangan generasi yang lebih muda dalam perjamuan istimewa itu. Jika demikian kami pamit ........ mari Tocu ....” dan dengan cepat kedua orang itu berkelabat lenyap.

“Kong-kong .....” Giok Lian berseru

“Lian jie, jika urusanmu selesai, selambatnya 3 bulan kedepan engkau sudah harus berada di markas Bengkauw”

“Baik kong-kong” seru Giok Lian.

“Kiang Cun Le, jangan lupa “janjimu” atas namaku untuk kepentiang Lian cucuku” kembali terdengar suara Siangkoan Tek

“Tenangkan hatimu Kawcu .....” sahut Cun Le.

Seberlalunya kedua tokoh besar asal Lam Hay dan Bengkauw itu, Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila kemudian memimpin proses pembubaran Thian Liong Pang. Membubarkan bekas-bekas anak buah Thian Liong Pang, menggeledah markas besar serta lorong-lorong rahasianya dan pada akhirnya membakar markas besar Thian Liong Pang. Sayangnya, mereka tidak berhasil menemukan para Hu Pangcu, Hu Hoat dan pentolan-pentolan Thian Liong Pang lainnya. Entah bagaimana, tokoh-tokoh tersebut telah menghilang dan tidak dapat mereka jumpai lagi di seputar markas Thian Liong Pang itu.

Terutama Hu Pangcu Pertama yang sebenarnya menjadi biang keladi, juru pikir dan penggerak Thian Liong Pang. Tokoh ini sudah lenyap sejak beberapa waktu sebelumnya, dan bersama tokoh ini lenyap pula para Hu Hoat Thian Liong Pang. Dan praktis, sejak saat itu Thian Liong Pang bubar alias dibubarkan secara paksa oleh gerakan kaum pendekar.

Tetapi, dunia persilatan Tionggoan juga bersedih karena kehilangan besar. Pertama, banyak sekali tokoh pendekar yang tewas dalam pertempuran. Dan yang kedua, Lembah Pualam Hijau yang telah bertekad mengundurkan diri sebagai pemimpin rimba persilatan Tionggoan. Meski beberapa tokoh, termasuk tokoh-tokoh Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay maupun Kay Pang telah berusaha agar Lembah Pualam Hijau membatalkan keputusannya, tetapi Ceng Liong kukuh dengan keputusannya.

Sebetulnya, bukan karena kesal terhadap peristiwa di Siauw Lim Sie (Ceng Liong menyerahkan tampuk kepemimpinan Rimba Persilatan) ataupun desakan menghukum mati Kiang Tek Hong yang menjadi alasan Ceng Liong. Tetapi karena perasaan bersalah dalam keterlibatan tokoh mereka dalam gerakan Thian Liong Pang. Selain itu Lembah Pualam Hijau mengantisipasi gejolak baru didepan yang nampaknya masih akan melibatkan garis keturunan Lembah Pualam Hijau.

Lebih dari itu, sesungguhnya sikap Ceng Liong itu juga sejalan dengan Kiang Sin Liong dan Kiang Cun Le, terutama melihat Majikan Kerudung Hitam yang memiliki watak yang tidak sejalan dengan Lembah Pualam Hijau. Padahal, Majikan Kerudung Hitam juga adalah seorang tokoh bermarga KIANG, masih dari garis keturunan Kiang Tek Hong.

EPILOG

Tidak ada perjamuan yang tidak usai. Bagaimanapun, ikatan erat di kalangan kaum pendekar dalam memburu gerombolan Thian Liong Pang telah mempererat ikatan dan perasaan senasib rimba persilatan Tionggoan. Tetapi, betapapun perjumpaan dan perjuangan mereka yang telah berhasil harus segera diakhiri. Kelompok demi kelompok telah mulai meninggalkan bekas Markas Besar Thian Liong Pang, dengan kelompok terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Siauw Lim Sie dan Kaypang.

Dan terakhir di bekas markas besar Thian Liong Pang yang telah dibubarkan itu, masih tersisa beberapa kelompok manusia. Kelompok terkecil adalah Nenggala, guru sekaligus pamannya yang nampak masih pucat sepertinya baru menyembuhkan luka dalamnya. Dan seorang tokoh lagi, yang adalah tokoh yang telah kita kenal sebelumnya, Bintang Sakti Dari Selatan – Kolomoto Ti Lou. Seorang tua sepuh yang memiliki kesaktian hebat dan berdiri sama hebatnya dengan 4 manusia dewa dari Tionggoan. Tokoh pencipta 3 lembar pusaka yang diperebutkan yang berasal dari negeri yang jauh di selatan sana, Jawadwipa, dengan kesaktian yang dipupuk berdasarkan pengalaman dan perjumpaannya dengan tokoh-tokoh dari banyak negeri, termasuk India dan Tionggoan.

Kelompok kedua yang sedikit lebih banyak adalah kelompok Bu Tong Pay. Masing-masing terdiri dari Ciangbunjin Bu Tong Pay, Jin Sim Todjin, Sian Eng Cy Tayhiap, Liang Mei Lan dan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu. Tidak berbeda dengan kelompok pertama, nampaknya kelompok kedua ini sedang membicarakan urusan dalam perguruan secara sangat serius. Tentunya urusan Pintu Perguruan Bu Tong Pay dan tanggungjawab masing—masing tokoh perguruan tersebut pada masa-masa mendatang.

Dan kelompok terakhir yang terbesar adalah kelompok keluarga Lembah Pualam Hijau. Disana ada Duta Agung Kiang Ceng Liong, Duta Luar Kiang Li Hwa, Duta Hukum Thio Su Kiat yang baru ikut bergabung setelah kerusuhan berakhir. Nampak juga Kiang Hong, Duta Agung sebelumnya bersama istrinya Tan Bi Hiong. Juga ada Topeng Setan yang tidak lain adalah Kiang Liong – saudara kembar Kiang Hong yang telah sembuh dari sakitnya. Kemudian juga Barisan 6 Pedang yang berdiri mengelilingi arena kecil kelompok keluarga Lembah Pualam Hijau. Seterusnya ada Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong yang sebelumnya adalah Pangcu Thian Liong Pang bersama istrinya yang bernama Lamkiong Li Hong, dan Liong-i-Sinni.

Nenek sakti ini, meskipun adalah tokoh tunggal, tetapi ikatan kekeluargaan dengan Lembah Pualam Hijau tidaklah pernah ditanggalkannya. Dan paling akhir adalah tokoh sepuh mereka, Kiang Sin Liong, salah seorang dari 4 Manusia Dewa Tionggoan yang masih hidup dewasa ini. Dari 4 Manusia Dewa Tionggoan, yang tertinggal adalah Kiang Sin Liong ini bersama dengan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu yang merupakan tokoh utama Bu Tong Pay.

Bersama kelompok Lembah Pualam Hijau itu, hadir juga Nenek Durganini yang menyelamatkan Lamkiong Li Hwa dari tahanan penyanderaan Thian Liong Pang dan sekaligus juga adalah guru dari Kiang Li Hwa. Hubungannya dengan Li Hwa yang membuatnya memiliki keyakinan dan keberanian untuk mengambil sikap tegas berlawanan dengan kawanan tokoh dibalik Thian Liong Pang yang rata-rata adalah tokoh-tokoh sepuh seangkatannya.

Ketiga kelompok tersebut berkumpul di tempat terpisah dengan jarak yang cukup berjauhan, meski masih bisa saling melihat dan memandang. Tidak diceritakan disini bagaimana “isi” percakapan masing-masing kelompok, tetapi satu hal yang pasti moment tersebut telah dimanfaatkan oleh ketiga manusia sakti dari 3 perguruan berbeda tersebut untuk berpamitan. Karena berdasarkan perhitungan ke-tiga manusia sakti tersebut, usia mereka tidak akan melebihi angka setahun lagi. Bahkan, seorang dari mereka, Wie Tiong Lan telah menyebutkan kurang dari 3 bulan lagi.

Adalah Kiang Sin Liong yang memiliki urusan lebih rumit, padahal usianya diperhitungkannya sendiri tidak lagi akan melewati angka 1 tahun. Padahal, dia masih harus melihat persoalan Kiang Tek Hong, Majikan Kerudung Hitam yang belakangan menurut Lamkiong Li Hong bernama Kiang Hauw Lam, putra Kiang Tek Hong dengan Kiang Li Cu saudaranya. Tetapi, Kiang Sin Liong sama sekali tidak lagi membahas persoalan tersebut.

Sebaliknya orang sakti itu meninggalkan pesan-pesan:

“Keputusan Liong-jie sudah tepat. Keputusan atas Tek Hong juga sudah sangat tepat. Bagaimanapun keterlibatannya berasal dari kekerasan hati lembah kita terhadap perjodohan. Karena itu, selanjutnya adalah tugas Lembah Pualam Hijau untuk menjaga Tek Hong dan keluarganya”, tegasnya.

“Liong-jie ......”

“Iya Suhu .......”

“Keputusan terhadap Kiang Hauw Lam kuserahkan atas kebijaksanaanmu. Keputusanmu atas Tek Hong sebaiknya juga menjadi landasan untuk menghadapi anak itu. Jika aku tidak salah anak itu akan menebar ancaman dalam waktu dekat ini. Keberadaan tokoh-tokoh seperti Lamkiong Sek, Naga Pattinam, Hiong Say Tiang Pek San agak mencemaskanku. Anak itu pasti akan tampil dengan kemampuan jauh melampaui kemampuannya saat ini, karena bakatnya hampir tidak di bawahmu. Yang mengkhawatirkan adalah kemampuan menyalurkan sihir gabungan, kepandaian khas Thian Tok. Menurut dugaan Kolomoto Ti Lou, mereka juga nampaknya sudah mulai menjajaki salah satu ilmu langka dari Thian Tok, apa dan bagaimana itu aku sendiri belum paham benar. Jika bisa, engkau dan teman-temanmu boleh minta Nini Durganini untuk menyelami ilmu-ilmu tersebut. Bhiksu Chundamani telah kembali ke Thian Tok, dan seperti kami, diapun sedang menghadapi batas usianya. Dan yang terpenting, sempurnakan ilmu Tatapan Naga Sakti dan kemungkinan puncak Tangan Awan Sakti itu”

“Baik Suhu ....”

“Dan untuk keamanan Lembah Pualam Hijau, terimalah “Ranting Rongga Pualam Hijau” ini. Ada beberapa upaya yang bisa engkau lakukan berdasarkan beberapa langkah yang kudiskusikan mendalam dengan Kolomoto Ti Lou, Wie Tiong Lan dan Chiksu Chundamani” ujar Sin Liong sambil menyerahkan Ranting Rongga Pualam Hijau kepada Kiang Ceng Liong.

“terima kasih Suhu .....” sambut Ceng Liong sambil menerima Ranting Rongga Pualam Hijau itu. Dengan demikian, di tangan Ceng Liong kini terdapat 3 buah Ranting Rongga Pualam Hijau.

“Selain itu, beberapa perubahan dan rahasia barisan dalam rongga itu, juga sangat bermanfaat bagi Barisan 6 Pedang. Engkau wajib mempelajarinya bersama Barisan 6 Pedang”, tambah Sin Liong yang disahuti dengan manggut manggut oleh Kiang Ceng Liong.

“Cun Le ......”

“Iya kong-kong ....”

“aku melarangmu meninggalkan Lembah Pualam Hijau dalam dua tahun berjalan ini. Lakukanlah samadhi dan peningkatan kemampuanmu sesuai ajaran Kolomoto Ti Lou di dalam lembah Pualam Hijau. Ilmu yang engkau dalami, sebagaimana juga In Hong, akan sangat berguna jika dikombinasikan. Liong-jie sudah melakukannya secara sangat baik. Badai itu, sama sekali belum berlalu, khususnya bagi Lembah Pualam Hijau. Target mereka ke depan adalah Lembah Pualam Hijau, dan karena itu sepeninggalku jangan sekali-sekali lalai dengan keadaan Lembah Pualam Hijau”

“Baik kong-kong ......” Jawab Kiang Cun Le dengan takzim.

“In Hong ..... “, Kiang Sin Liong tetap memanggil nama Kiang In Hong dengan sebutan nama aslinya. Karena memang kakek inilah yang mendidik Kiang In Hong sejak masih kecil hingga dewasa.

“Pinni disini .....”

“Sebagaimana Cun Le, akupun memintamu untuk kembali ke Lembah Pualam Hijau bersama Sun Nio, cucu sekaligus muridmu itu. Adalah lebih baik engkau mendidiknya disana selama 2 tahun ini ...... badai ini baru akan lalu dari Lembah Pualam Hijau setelah masa 2 tahun”

“Baiklah, Pinni bersedia .....”

“Li Hwa .....”

“iya kong chouw .....”

“Kuijinkan engkau melanjutkan pelajaran beragam yang engkau miliki kini. Baik pelajaran dari Jawadwipa, maupun dari gurumu Nini Durganini. Hanya, bersama Nini Durganini kuminta engkau berdiam di Lembah Pualam Hijau, dan selain itu engkau kuminta memperdalam Giok Ceng Sinkang dari pamanmu Kiang Cun Le atau juga Bibimu Kiang In Hong. Mengenai perjodohanmu dengan Nenggala, kuserahkan secara pribadi kepadamu dan ayahmu Tek Hong dan ibumu Li Hong. Hanya Kolomoto Ti Lou telah mengajukan pinangan atas nama cucu muridnya Nenggala”

“Baik, baik kong chouw ...... “ Li Hwa kaget setengah mati atas petuah terakhir kakek buyutnya itu, tetapi sekaligus bahagia karena diapun sebetulnya juga menaruh hati kepada Nenggala.

“Kiang Hong dan Kiang Liong”

“kami Kong Chouw ...” berbareng Kiang Hong dan Kiang Liong menyahut

“Kalian mengalami waktu tidak mengenakkan waktu-waktu sebelumnya. Beruntung syair Kolomoto Ti Lou mampu menyempuhkan engkau Anak Liong, tetapi waktumu untuk memperkuat diri, ilmu silat dan kejiwaan kini sangat terbuka. Karena itu, kalian berdua – bertiga dengan Bi Hiong, juga kularang untuk berkelana selama 2 tahun ini. Ingat baik-baik akan perintahku ini”

“Baik, baik, kami terima kong chouw” Kiang Hong dan Kiang Liong, juga diikuti Tan Bi Hiong menyahut cepat bersamaan.

“Nini .....” Sin Liong memandang Durganini, seorang seangkatannya yang super sakti terutama dalam ilmu sihir yang berasal dari Thian Tok.

“Sin Liong, ada yang engkau hendap pesankan untukku”?

“Meski aku menyebutkan angka setahun, sebetulnya perbedaanku dengan Tiong Lan hanyalah beberapa waktu belaka. Dan akupun tahu, waktumu tidaklah jauh lebih panjang daripadaku, tidak akan menyentuh angka 5 tahun”

“Hmmm, matamu sungguh awas Sin Liong” sahut Nini Durganini sambil tersenyum. Keduanya membicarakan batas usia masing-masing secara sangat wajar. Sungguh luar biasa.

“Apakah engkau akan menghabiskan usiamu di Tanah Tionggoan ataukah kembali ke Thian Tok”? tanya Sin Liong.

“Muridku yang terakhir sudah menjanjikan anaknya untuk menjadi pewaris tunggalku Sin Liong, karena itu kemanapun muridku berada, akupun akan berada bersamanya. Jika dia menetap di Lembah Pualam Hijau, maka aku akan mohon ijinmu atau ijin Duta Agung untuk menemani muridku”

“Hmmm, aku mengijinkanmu Nini ......”

“terima kasih Sin Liong ...... akupun akan memperhatikan permohonanmu untuk mendiskusikan ilmu mengerikan itu dengan murid mestikamu itu”

“Hahahaha, sungguh anugerah besar baginya, terima kasih Nini....”

“Anak-anak semua, terakhir mengenai diri Tek Hong. Jika pada 45 tahun sebelumnya Kian Ti Hosiang membujukku untuk membatalkan hukuman mati dan hukuman memunahkan ilmu silatnya, maka hari ini tanpa dibujuk siapapun aku menerimanya kembali sebagai cucuku dan bagian dari keluarga Lembah Pualam Hijau”, Sambil berkata demikian, kakek sakti ini tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Kiang Tek Hong yang masih tetap terbaring dan tidak mau mengobati lukanya sedikitpun.

Melihat itu, Nini Durganini terkejut. Diapun berseru:

“Kiang Sin Liong, engkau ......”?

Luar biasa, tidak beberapa lama setelah Kiang Sin Liong melontarkan tenaga yang tak tertangkap mata, tubuh Kiang Tek Hong tiba-tiba bereaksi. Bahkan tidak berapa lama, sinar hijau yang gemilang membungkus tubuhnya dan perlahan Tek Hong duduk bersamadhi. Ketika itulah Kiang Sin Liong menarik tangannya dan kemudian berkata:

“Sudahlah Nini, ini adalah penebusan dosa terhadap cucuku itu”, dan setelah berkata kepada Nini Durganini yang nampak manggut-manggut kepala serta berusaha memahami tindakan Kiang Sin Liong, kakek itu kembali berkata, kali ini kepada Kiang Tek Hong yang nampak mulai menemukan kesadarannya dan keluarganya, Li Hwa dan Li Hong:

“Janjiku kepada Kian Ti Hosiang dan Siong Tek sudah kupenuhi. Aku mengembalikan tenaga dalam Giok Ceng Sinkangmu yang punah dengan sedikit hadiah. Anggaplah sebagai permohonan maaf ayah dan ibumu serta kakekmu yang memang sangat teguh dan kokoh memegang aturan Lembah dan Dunia Persilatan pada waktu itu. Tetapi, setelah hari ini, aku melarangmu setapakpun meninggalkan Lembah Pualam Hijau, terkecuali atas ijin resmi dari Duta Agung Lembah Pualam Hijau”

Selesai mengutarakan kalimat-kalimat tersebut, tiba-tiba Li Hwa dan ibunya Li Hong berlutut di hadapan Kiang Sin Liong dan sambil menangis mengucapkan terima kasih. Dan tidak berapa lama kemudian, Kiang Tek Hong yang telah sadar akibat “penyaluran tenaga Giok Ceng” kakeknya juga ikut berlutut dan sambil menangis mengucapkan:

“terima kasih, terima kasih kong-kong. Tek Hong akan mematuhi pesan kong-kong untuk tidak akan lagi pernah melangkahkan kaki keluar dari Lembah kita”

“Mengenai Thio Su Kiat, anak itu telah menunjukkan watak kependekaran yang luar biasa. Dialah murid Giok Ceng yang pertama yang berasal dari luar garis keturunan keluarga Kiang kita. Tetapi, karena engkau mengangkatnya sebagai murid dan sebagai anak angkat, maka engkau bertanggungjawab atas peningkatan kemampuan muridmu itu”

“Baik kong-kong, akan kulakukan. Thio Su Kiat, berterima kasihlah kepada kong chouw mu” ujar Tek Hong, padahal tak perlu dipanggil Su Kiat sudah berlutut disampingnya dan mengucapkan terima kasihnya.

“Anak-anakku, setelah hari ini, kita tidak akan pernah bertemu kembali. Waktuku tinggal beberapa hari belaka. Aku tidak menginginkan adanya upacara yang megah dan agung sebagaimana Kian Ti Hosiang karena dia Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Biarkan aku di peristirahatan terakhir keluarga Kiang kita. Camkan baik-baik pesan-pesanku”

Dan semua warga dan keluarga Lembah Pualam Hijau mengangguk-angguk menyatakan persetujuan terhadap permintaan terakhir kakek tua yang sudah sangat sepuh itu. Dan sebelum semua sadar dengan pesan terakhir itu, tubuh Kakek Kiang Sin Liong tiba-tiba berkelabat dan menghilang secara sangat ajaib dari tempat dimana dia semula duduk.

Meski kaget, Kiang Ceng Liong dan Kiang Tek Hong serta Nini Durganini nampaknya sudah bisa menebak jika sesepuh Lembah Pualam Hijau itu telah mampu menyelesaikan tahapan terakhir dari 3 lembar pusaka yang diperebutkan itu. “Hmmmm, dia ternyata telah mampu menyelesaikannya” desis Nini Durganini yang sempat terdnegar oleh beberapa orang.

“Iya, nampaknya Suhu akhirnya telah mampu menyempurnakan ilmunya” desis Ceng Liong yang dibenarkan oleh Tek Hong. Adalah Tek Hong dan Ceng Liong kini yang memahami ilmu apa gerangan yang dimaksud, karena keduanya telah mampu menyelami hingga ke tingkat kedua. Dan, kakek mereka, Kiang Sin Liong nampaknya telah mampu menguasai hingga ke tingkat pamungkas sebagaimana Kolomoto Ti Lou.

Yang kurang mereka pahami, hanya sebagian belaka, dan yang hanya dimengerti Kiang Sin Liong dan Nini Durganini adalah: setelah menyalurkan sebagian tenaga “membayar hutang” kepada Tek Hong, usia Sin Liong jadi merosot jauh. Inilah yang membuat Nini Durganini terkejut tadi. Karena dengan demikian, keduanya, Sin Liong dan Durganini tahu, bahwa usia Sin Liong tidak akan melewati angka 10 hari belaka. Dan ........ kepergian atau kematian Kiang Sin Liong adalah penutup dari Kisah Bagian II ini

TAMAT
 
Sungguh sangat sulit diungkapkan dengan kata"

Cerita yg RUAAARRRRR BIAAASAAAA :haha:

Terimakasihh udah menghadirkan Cerita bergenre ini

:ampun:

Semoga ada kelanjutannya ____:ngacir:
 
Sungguh sangat sulit diungkapkan dengan kata"

Cerita yg RUAAARRRRR BIAAASAAAA :haha:

Terimakasihh udah menghadirkan Cerita bergenre ini

:ampun:

Semoga ada kelanjutannya ____:ngacir:

semoga bang ini juga lgi coba minta ijin sama suhu marshall jika di ijinkan segera saya lanjutkan bang
 
sungguh mªªªªñÑñ†††ªªªªªPP. SurªªªªñÑñ†††ªªªªªP mskipun bacanya mnyita wktu tp sya suka skali,trima kasih gan bnr2 mnghibur :beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd