Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Para Naga di Pusaran Badai - Copas - TAMAT

BAB 18 Surat Dari Lembah Siau Yau Kok
1 Surat Dari Lembah Siau Yau Kok




“Haiiiit …… plak, plak”, sebuah seruan penuh semangat terdengar dari mulut seorang anak dara. Dan setelah seruan tersebut, terdengar dua kali benturan yang cukup dahsyat yang membuat ketiga orang tersebut, baik anak dara yang berseru penuh semangat tadi, maupun kedua orang kakek-kakek yang bertempur dengannya terdorong mundur. Tapi, bedanya, si anak dara tadi dengan cepat sudah berjumplitan dengan sangat ringan di udara dan kembali sudah mengancam kedua kakek tua tadi dengan telapak tangan yang nampak jumlahnya luar biasa banyaknya.

Padahal, pada saat itu, kedua kakek tadi masih sedang terdorong ke belakang, terutama si kakek tinggi besar, masih nampak goyah, tetapi kembali sudah harus menerima gempuran dahsyat dari telapak tangan si gadis yang sudah menerpa tiba. Tetapi, yang luar biasa, telapak tangan yang laksana laksaan jumlahnya itu, dengan tiba-tiba bisa bergeser sasarannya ke kakek yang satu lagi yang sudah lebih siap.

Nampak jelas kalau sasaran serangannya di alihkan pada saat-saat terakhir, dan toch semua dilakukan demikian cepat, ringan seringan kapas dan sudah menyudutkan kakek yang satu lagi meski gerakannya juga teramat ringan seringan bayangan. Kembali terdengar benturan “plak”, dan bayangan si kakek yang ringan tadi kembali tergempur mundur, tapi untung segera ditolong oleh kakek yang satunya lagi. Begitu terus menerus dan berulang-ulang. Sementara si gadis membagi-bagikan pukulan telapak tangannya ke rah tiga kakek yang melawannya dengan ilmu dan gerakan yang sejenis, si gadis seenaknya berkelabat kesana kemari nyaris tanpa bobot.

Beberapa lama kemudian, tiba-tiba kembali terjadi benturan, lebih keras dan lebih hebat akibatnya, tetapi si gadis kembali dengan pesat dan teramat ringan sudah kembali pada posisi menyerang dengan telapak tangan yang laksaan banyaknya mengancam kedua kakek yang masih goyah posisinya. Semakin jelas lama kelamaan kedua kakek tersebut nampaknya tidak bisa lagi mengimbangi, terutama kecepatan bergerak si gadis yang memang teramat pesat bagi mereka.

Kecepatan dan keringanannya seperti tidak bertumpu bumi lagi, bahkan gerakan-gerakan yang seperti dibatasi oleh gravitasi dalam meliuk-liuk, berputar, poksai dan melenturkan tubuh, seperti bukan lagi manusia. Sudut-sudut gerakan seperti bisa diatasi anak dara itu, dan hal itu membuatnya sanggup menyerang dari banyak sudut dengan sangat cepat. Bahkan dari sudut yang nampaknya mustahil dan tidak terpikirkan sanggup untuk dilakukan secara manusiawi.

Apalagi, karena tenaga saktinya juga tidak olah-olah kuatnya, yang bahkan sanggup mengimbangi kedua kakek yang sedang bertempur dengannya dan bahkan mampu mendesak mereka. Bahkan sesekali dia berani membentur sekaligus dua orang kakek yang melawannya dan mampu mengimbangi mereka dalam benturan tersebut. Keadaan yang cukup membayangkan betapa anak dara itu sungguh-sungguh memiliki kemampuan dan kesaktian yang sudah sangat luar biasa.

Di samping tempat bertempur ketiga orang itu, nampak seorang kakek lain yang bahkan lebih tua dibandingkan ketiga kakek yang sedang bertempur melawan si gadis. Berkali-kali dia menarik nafas, kemudian mengangguk-angguk melihat pertempuran tersebut yang luar biasa itu. Terutama karena dia menyaksikan betapa ilmu-ilmu yang diturunkannya dimainkan dengan sangat indah dan mantap oleh keempat orang itu, terutama si anak dara sakti itu. Dia sering menahan nafas ketika terjadi benturan dan menjadi kagum melihat kepesatan gerak si anak gadis yang diakuinya sudah semakin mendekati kemampuannya bergerak.

Pada akhirnya kemudian nampak terkembang senyuman yang membayang di bibirnya. Orang tua ini, nampaknya sangat senang dengan apa yang tengah dan sedang disaksikannya, melihat pergerakan yang begitu cepat dan ringan, melihat kelabatan laksaan telapak tangan dan menyaksikan akibat-akibat yang membuatnya tambah tersenyum dan senang. Tetapi tiba-tiba dia berseru:

“Kalian bertiga gunakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), Lan Ji gunakan Ban Hud Ciang pada jurus terakhirnya” Terdengar orang tua itu berseru. Dan serentak dengan itu, nampak si anak dara yang dipanggil Lan Jie, kembali menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya, bahkan kemudian duduk bersila dengan kedua tangan mendorong kekiri dan kenan. Dari gerakan tangan yang diakhiri gaya mendorong ke kiri dan kekanan, dengan gaya yang disebut “Selaksa Telapak Budha Membuka Pintu Angkasa Langit Utara dan Selatan”, dan dari gerakannya nampak berkilat cahaya bagaikan api yang saking tajamnya berwarna biru sembilu yang sangat tajam.

Dan pada saat tersebut, kemudian tubuh yang bersila itu terlihat mencelat keangkasa. Sementara di pihak lain, ketiga kakek lawannya, nampak juga bergerak pesat dan cepat, dengan tubuh yang kemudian mengeluarkan gelombang angin dan badai, bahkan selaput awan tipis nampak melindungi kedua tubuh mereka. Pada saat itulah bayangan si gadis yang bersila datang menghantam dengan didahului kilatan cahaya biru menusuk yang datang diiringi laksaan telapak tangan yang berhamburan kekiri dan kekanan, dan kemudian memusat kearah kedua kakek yang tubuhnya diselubungi awan tipis dan angin badai disekitar mereka.

“Blaaaaar, duaaaaar, syuiiiiit,” Bunyi-bunyi benda-benda tajam, keras dan kecepatan tinggi terdengar begitu memekakkan telinga. Dan tidak lama kemudian nampak ketiganya sudah terpisah beberapa langkah dan dengan tubuh keempatnya nampak agak kelelahan dan kepayahan.

Nampak jelas ketiganya telah mengerahkan tenaga di luar kebiasaan mereka, tetapi juga nampaknya tenaga yang dikeluarkan masih terukur dan masih bisa dikendalikan. Ketiganya nampak kemudian menarik nafas dan tenggelam sejenak dalam pemulihan kekuatan dengan si anak gadis yang dengan cepat mampu melakukannya lebih dahulu, kemudian disusul ketiga kakek itu yang juga cepat memulihkan dirinya untuk selanjutnya duduk bersila dihadapan si orang tua yang tadinya menonton perkelahian itu. Kakek yang kemudian memberi perintah terakhir yang mengakibatkan benturan hebat di antara si anak gadis dengan ketiga kakek yang dihadapinya. Demikian, berikut ketiga kakek lainnya setelah pulih kembali mendatangi si kakek renta tersebut dan kemudian nampaknya terjadipercakapan serius antara kelima orang tersebut.

Para pembaca tentu sudah dengan cepat bisa menebak siapa gerangan ketiga orang yang tadi melakukan pertempuran dengan di saksikan seorang kakek tua lainnya. Benar, mereka adalah para tokoh puncak Bu Tong Pay, yakni Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan bersama keempat anak muridnya yang memang biasa berlatih bersama selama lebih 10 tahun terakhir ini. Kakek yang agak besar bernama Kwee Siang Le yang sudah berumur mendekati 70 tahunan, awalnya dia sudah menyepi di daerah Bu Tong San.

Tetapi diminta kembali bantuannya oleh gurunya untuk membayangi dan menjaga Bu Tong Pay sambil mendidik adik perguruan mereka atau sumoy termuda mereka Liang Mei Lan. Kakek yang kedua, adalah salah seorang murid terpandai Wie Tiong Lan bernama Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan, murid ketiga yang juga sangat terkenal di dunia persilatan. Sian Eng Cu Tayhiap, juga diminta Wie Tioang Lan untuk sementara berjaga di Bu Tong Pay dan mendidik Liang Mei Lan, selain mendidik anak murid Bu Tong Pay lainnya.

Dan orang ketiga, murid kedua dari Pek Sim Siansu adalah Jin Sim Tojin, seorang murid atau satu-satunya murid Wie Tiong Lan yang menjadi Pendeta Bu Tong Pay. Dan orang kelima, adalah murid terakhir, sumoy termuda dari ketiga murid Wie Tiong Lan dengan usia yang terpaut jauh bernama Liang Mei Lan.

Kehadiran Liang Mei Lan yang begitu manja dan menggemaskan bagi Kakek Siang Le dan Kakek Ton Li Koan dan bahkan Jin Sim Tojin, membuat mereka sangat menyayangi anak gadis yang bertumbuh dan besar ditangan mereka. Meskipun terhitung sumoy mereka, tetapi sebetulnya mereka mendidik dan membesarkan anak gadis tersebut layaknya anak perempuan mereka. Atau bahkan cucu perempuan mereka, dan justru karena itu, keduanya sangat memanjakan Liang Mei Lan.

Berbeda dengan Jin Sim Tojin Bouw Song Kun, murid kedua Wie Tiong Lan yang menjadi Pendeta Bu Tong Pay yang agak bersikap tegas dan disiplin dengan anak ini. Jin Sim Tojin inilah yang diberi kepercayaan suhunya untuk mendidik sastra dan ilmu keagamaan kepada Liang Mei Lan, dan hanya kepada Jin Sim tojin inilah Liang Mei Lan berlaku sangat sungkan. Selain karena memang Ji Suheng ini adalah orang beribadat, juga karena memang Jin Sim Tojin sudah memperhitungkan harus bagaimana dia mendidik sumoynya yang diharapkan mengharumkan nama Bu Tong Pay. Itulah sebabnya hanya kepada Jin Sim Tojin inilah Mei Lan agak merasa sungkan dan tidak sedekat Toa Suheng dan Sam Suhengnya yang mendidiknya seperti anak atau cucu sendiri.

Karena bahkan Wie Tiong Lan sendiri, memang memperlakukan anak gadis ini sejak kecilnya bagaikan mestika yang begitu disayanginya. Semua perhatiannya seperti tercurah untuk mendidik anak ini untuk menjadi pendekar wanita pilihan, dan karena itu dia sampai memanggil murid-muridnya untuk ikut mendidik anak ini. Sementara Mei Lan pada lahirnya menyebut Suhu dan Suheng kepada ketiga orang tua ini, tetapi rasa kasih, hormat dan sayangnya, bahkan melebihi kedua orang tuanya.

Karena dengan merekalah dia bertumbuh dan besar, serta bahkan dididik dan dilatih hingga saat ini. Bahkan oleh gurunya jugalah nyawanya diselamatkan dan seperti direnggutkan kembali dari maut di sungai yang sedang banjir banding. Karena sayang itulah, maka disaat-saat tidak berlatih, Mei Lan sering bermanja-manja terutama kepada Tong Li Koan yang nyaris sulit menolak permintaan anak perempuan yang memang sudah dikasihinya sejak masih kecil itu. Bahkan semua rahasia ilmunya, juga sudah menjadi pengetahuan bagi Mei Lan sejak masih dididik pada tahapan pertama sebelum sejenak turun gunung.

Karena didikan kakek itu jugalah, maka ilmu ginkang Mei Lan terasah dan terpupuk sangat baik. Kebanggaan kakek ini menjadi lengkap ketika dunia persilatan menghadiahi Mei Lan dengan julukan Sian Eng Niocu atau Sian Eng Li (Nona Bayangan Dewa), berbeda sedikit dengan julukannya Sian Eng Cu. Bahkan untuk urusan ginkang saat ini sumoynya yang dianggap anak angkatnya sudah melampauinya.

“Lan Ji, nampaknya Ban Hud Ciang sudah kaukuasai dengan baik. Bahkan varian yang kau tambahkan juga malah membuat Ban Hud Ciang jadi lebih sempurna. Tanggung Kian Ti Hosiang sendiri bisa menjadi sangat terkejut dengannya”

“Semua karena bimbingan suhu semata” Mei Lan merendah

“Betapapun, Liong-i-Sinni, suhumu itu, juga sangat berjasa dengan membuka tabir rahasia peningkatan kemampuan sinkangmu. Tanpa dia, mungkin lohu harus bekerja keras selama 5 tahun untuk membentukmu seperti sekarang. Nampaknya ginkangmu bahkan sudah melampaui suhengmu (Sian Eng Cu) dan nampaknya tidak terpaut jauh dari suhumu Liong-i-Sinni. Bila ada yang perlu kau sempurnakan, adalah memasukkan unsur-unsur Ban Hud Ciang untuk menyempurnakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Sebab betapapun ilmu itu menjadi pusaka andalan kita semua, ketiga suhengmupun sudah dalam tahap penyempurnaan penguasaannya. Sementara Ilmu ginkang suhumu yang kedua, rasanya sudah sangat baik kau kuasai”

“Siang Le dan Li Koan, penguasaan kalian atas Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) sudah sangat kuat. Mungkin tidak kalian rasakan, tetapi dalam pengamatan lohu, kepandaian kalian sudah meningkat sangat tajam dibandingkan 2-3 tahun sebelumnya. Sayang Song Kun lebih memilih bertekun dalam Ilmu Keagamaannya, tetapi itupun memang sangat penting.

Nampaknya kalian berduapun sudah siap untuk menghadapi rumitnya masalah rimba persilatan dewasa ini. Sementara biarlah Song Kun yang mengurusi kuil membantu Ciangbuncjin, juga lohu akan lebih banyak membayangi kuil ini sampai waktunya tiba. Li Koan, bagaimana keadaan dunia persilatan yang terakhir ini”? Wie Tiong Lan memuji penguasaan dan peningkatan ilmu kedua muridnya, suheng Mei Lan, dan kemudian bertanya kondisi dunia persilatan yang terakhir. Karena biarpun mendidik murid-muridnya untuk terakhir kali, kakek ini tidak jarang bercakap-cakap dengan murid2nya untuk mengetahui perkembangan terakhir dunia persilatan.

“Suhu, sejak awal tahun, para perusuh sudah kembali menampakkan taring kejamnya. Sebagaimana dugaan suhu sebelumnya, mereka memang mundur selangkah mempersiapkan langkah maju lainnya. Setidaknya, 5 pendekar pedang dari Perguruan Pedang Utama sudah ikut terbantai dan nampaknya dilakukan dengan sejenis Ilmu Pedang Cepat. Selebihnya bahkan Tiam Jong Pay juga sudah diserbu dan mengalami nasib yang sama dengan Go Bie Pay. Sungguh membuat banyak orang murka” Desis Li Koan.

“Hm, memang sudah kuduga, mereka hanya akan menarik diri sementara akibat amukan anak-anak muda 3 tahun berselang. Dan nampaknya, mereka kembali mengganas, tentu dengan perhitungan yang lebih matang” Gumam Wie Tiong Lan prihatin mengikuti keadaan terakhir.

“Benar suhu, bahkan jejak pembunuh anak murid Kay Pang di Kang lam, menunjukkan bahwa Cui Beng Pat Ciang, ciri khas Ilmu Maha Durjana Hek-i-Mo Ong sudah muncul kembali” Tambah Li Koan.

“Hm, dan bila Hek-i-Mo Ong muncul, bisa dipastikan Koai Tung Sin Kay juga akan muncul. Dan bila keduanya muncul, berarti Bouw Lek Couwsu dan Bouw Lim Couwsu juga akan muncul. Sungguh runyam, sungguh runyam” Wie Tiong Lan mendesah sambil mengenal masa lalu pertemuan dan perjumpaannya dengan tokoh-tokoh berat itu.

“Suhu, apa maksudmu sebenarnya”? Apakah memang orang-orang itu sebegitu menyeramkannya”? Mei Lan bertanya dengan rasa penasaran yang dalam melihat gurunya seperti memberatkan dan khawatir dengan kehadiran tokoh-tokoh yang disebutkannya terakhir.

“Jika Mo Ong dan Sin Kay, kedua maha iblis ini muncul, memang sungguh runyam. Sebagai perbandingan saja, sute Hek-i-Mo Ong, Thian te Tok Ong, mampu bertanding hampir setanding dengan suhengmu Li Koan. Sedangkan Mo Ong dan Sin Kay, baru bisa ditaklukkan dan diikat perjanjian tidak turun gunung selama lebih 40 tahun, setelah bertarung melawan Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong sampai melewati ribuan jurus. Hal yang sama, juga terjadi ketika Bouw Lek Couwsu bertarung dengan Kian Ti Hosiang dan Bouw Lim Hwesio bertarung dengan gurumu. Mereka, terpaut tidak terlalu jauh dari kami berempat, dan usia mereka sekarang paling ada sekitar 80an tahun” Jelas Wie Tiong Lan, sementara Li Koan nampak mengangguk-angguk karena dia pernah mendengar cerita ini dan memang pernah bertempur dengan Thian te Tok Ong.

“Suhu, meskipun begitu, tapi tecu tidak takut menghadapi mereka” Mei Lan berkata dengan semangat. Betapapun dara mudanya mendengar adanya lawan tangguh sungguh membangkitkan rasa ingin bertanding.

“Dengan bekal kalian saat ini, rasanya memang sudah memadai menandingi mereka. Tetapi, pengalaman dan kematangan mereka dalam bertempur, jauh melampauimu muridku” Berkata Wie Tiong Lan kepada Mei Lan.

“Bekal Ilmu Silat Suhengmu Li Koan sekarang ini, kira-kira setanding dengan Bouw Lek Couwsu ketika bertanding dengan Kian Ti Hosiang lebih 40 tahun silam. Dan bisa kau bayangkan bila 40 tahun terakhir ini merekapun tekun menempa dirinya dan itu sudah pasti. Karena bila mereka tampil kembali, bisa kupastikan yang pertama mereka cari adalah kami berempat untukmenuntaskan rasa penasaran mereka pada masa lalu. Karena itu, sebelum sebulan kedepan engkau turun gunung, maka harus kau latih dan sempurnakan Ban Hud Ciang dengan varian Sin Kang Liang Gie dan ilmu pusaka gurumu Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Sebelum lohu yakin benar, engkau tetap tidak boleh turun gunung, karena untuk saat ini, baru ginkangmu yang tidak meragukan lohu” tambah Wie Tiong Land an menekankan kalimat akhirnya dengan tegas.

“Baik suhu, tecu akan terus giat berlatih” Sahut Mei Lan tidak kalah bersemangatnya.

“Konsentrasikan untuk melebur Ban Hud Ciang dan “Yang Kang” dengan “Im Kang” dengan menggunakan hawa Liang Gie. Dan temukan bagaimana cara menyempurnakan lebih jauh kedua ilmu itu” Pesan tambahan Wie Tiong Lan kepada Mei Lan.

“Li Koan dan Siang Le, kalian berdua memang sudah meningkat tajam. Tetapi, selama beberapa bulan ini, kalianpun perlu bersusah payah untuk lebih meningkatkan Ilmu, terutama penyempurnaan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), karena dengan Ilmu itu kalian boleh tidak terlampau khawatir dengan Ilmu hitam dan bisa menahan lama Cui Beng Pat Ciang”

“Baik suhu” berbareng Li Koan dan Siang Le menyahut.

“Sementara engkau, Song Kun, sebaiknya mengikuti dengan cermat perkembangan di kuil Bu Tong Pay kita”

“Baik guru”, Jin Sin menjawab singkat.

“Bagaimana dengan kabar adanya kunjungan para pendekar ke Bu Tong San” Tanya Wie Tiong Lan

“Ciangbunjin Sutit sudah menjanjikan untuk ikut turun tangan membantu. Bahkan, kabarnya ada seorang tokoh misterius, berkedok dan selalu turun tangan melawan kelompok perusuh. Tokoh itu kabarnya lihay bukan main, dan nampaknya mahir menggunakan Giok Ceng Sinkang. Tecu menduga Kiang Cun Le, tapi entahlah, sebab Kiang Hong sudah lama menghilang dengan Ci Siong Sutit” Jelas Jin Sim Tojin.

“Hm, jika demikian nampaknya kau harus membantu manusia berkedok itu li Koan. Biarlah kau menyempurnakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) selama sebulan ini bersama lohu, dan sesudahnya engkau ikut turun gunung bersama Mei Lan. Biarlah Siang Le yang membantu Song Kun dan anak murid Bu Tong Pay untuk menjaga Gunung kita”

Demikianlah selama sebulan penuh, Mei Lan kembali menggembleng dirinya sesuai dengan ciri khas perguruannya dan berusaha keras memadukannya dengan Ban Hud Ciang. Dan kemudian diapun berusaha keras untuk memadukan kekuatan dan kehebatan ban Hud Ciang kedalam Ilmu Pusakanya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Wie Tiong Lan hanya sesekali mengawasi dan secara dekat dan saksama memperhatikan latihan Liang Mei Lan.

Sebab tidak mungkin dia berani mencuri tahu rahasia Ban Hud Ciang Siauw Lim Sie, karena hormatnya kepada Kian Ti Hosiang yang dia tahu juga tidak akan mengintip ilmu yang dititipkannya kepada Pendekar kembar dari Siauw Lim Sie itu. Tetapi, betapapun dia merasa sangat tertarik, karena kecerdikan Mei Lan dalam menyelipkan unsur kecepatan dan kelemasan kedalam Ilmu berbasis “Yang” Siauw Lim Sie bernama Ban Hud Ciang. Dan efeknya, sungguh sangat mengganggu konsentrasi mata dan konsentrasi indra perasa lainnya. Dan selama sebulan, dia menyaksikan betapa pesatnya kemajuan Mei Lan yang dengan ketekunannya yang luar biasa dalam penyempurnaan kedua ilmu tersebut.

Selain itu, Wie Tiong Lan juga membantu kedua muridnya yang lain dan malah lebih sering ketimbang menggodok Mei Lan selama sebulan terakhir, terutama membantu Li Koan yang akan diutusnya turun gunung sebulan kedepan. Dia bahkan ikut membantu penyaluran tenaga dan memperkuat Sinkang, pengerahan kekuatan batin kedalam ilmu pamungkas mereka serta mengamati semua pergerakan dan perubahan pergerakan ketika ilmu itu dimainkan. Keseriusan guru besar Bu Tong Pay ini menunjukkan hasil yang luar biasa, terutama karena begitu pesatnya kemajuan Li Koan dalam penguasaan ilmu terakhir yang diciptakannya.

Hal ini sangat menggirangkannya, karena dengan kemajuan ini berarti dia merasa sudah cukup siap dan cukup percaya untuk melepas muridnya ini membantu dunia persilatan Tionggoan yang sedang gonjang-ganjing. Setidaknya dia berharap kehadiran Mei Lan dan Li Koan yang akan membawa symbol perlawanan Bu Tong Pay terhadap kerusuhan yang sedang melanda. Sementara Siang Le dan Song Kun akan menjaga kuil Bu Tong Pay, sementara dirinya sendiri akan memulai perjalanan menutup dirinya setelah tugas-tugasnya selesai.

Tapi, Wie Tiong Lan belum sempat mengutus baik Mei Lan maupun Tong Li Koan turun gunung ketika Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Jin Sim Tojin meminta kesediaan Tong Li Koan untuk menemuinya suatu siang. Pesannya singkat, bahwa ada urusan penting di Kuil Bu Tong Pay dan minta kesediaan Sian Eng Cu Tayhiap untuk membantu penyelesaiannya. Karena bahkan Ciangbunjin Bu Tong Pay tidak tahu bahwa di gunungnya juga sudah ada Wie Tiong Lan, maka yang diundang hanyalah Tong Li Koan.

Sementara Kwee Siang Le, sejak dulu tidak terlalu suka dilibatkan dalam urusan menyangkut tata karma. Tetapi, untuk membela Bu Tong Pay, dia rela menyerahkan jiwa raganya, dan itu jugalah sebabnya Wie Tiong Lan selalu meminta muridnya ini berada di Bu Tong San belakangan ini. Karena itu, maka Li Koan kemudian meminta diri kepada suhunya untuk memenuhi undangan dan panggilan Ciangbunjin Bu Tong Pay guna merundingkan apa gerangan yang dimaksudkan sangat penting itu. Dengan bertanya-tanya dalam hati, Li Koan kemudian mendatangi Kuil bu Tong Pay.

Ketika memasuki ruangan utama di kuil Bu Tong Pay pusat, Tong Li Koan melihat ternyata ada beberapa orang yang menghadap Ciangbunjin Ci Hong Tojin dan nampaknya tamu-tamu dari jauh. Sesuai tata krama, Tong Li Koan memberi hormat kepada Ciangbunjin:

“Hormat kepada Ciangbunjin, adakah sesuatu yang sangat penting yang membuatku diundang datang oleh Ciangbunjin”? Tong Li Koan menghormat sambil bertanya.

“Sebelumnya, perkenalkan saudara-saudara ini berasal dari Siauw Yau Kok (Lembah bebas Merdeka), diutus langsung oleh Bhe Thoa Kun, Pemimpin Benteng Keluarga Bhe di lembah itu. Dan inilah murid ketiga dari Sucouw kami, Sian Eng Cu Tayhiap” Ciangbunjin Bu Tong Pay saling memperkenalkan semuanya. Nampak Tong Li Koan tercengang, karena untuk waktu yang lama dia tidak mendengar apapun mengenai lembah itu, dan dia tahu betul bahwa gurunya memiliki hubungan khusus dengan Lembah Bebas Merdeka yang jarang bergaul di dunia persilatan itu. Karena itu dia berkata:

“Saudara-saudara, apakah kabar saudara Bhe Thoa Kun baik-baik saja”? Terdengar seperti basa-basi, tetapi sebenarnya maksudnya memang dalam. Karena Tong Li Koan jelas kaget dengan kunjungan yang begitu mendadak dan bahkan sudah lama tidak saling berhubungan. Ada apakah tiba-tiba mereka mengunjungi Bu Tong Pay?

“Pemimpin Bhe baik-baik saja Tayhiap, tetapi beliau orang tua meminta kami menyampaikan sesuatu kepada Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan Loncianpwe” Berkata salah seorang dari ketiga utusan yang nampak bertindak sebagai pemimpin kawan-kawannya.
Terdengar kemudian Ciangbunjin Bu Tong Pay menyela, meski tetap dengan penuh kesabaran:

“Pinto sudah jelaskan kepada saudara-saudara ini Supek, bahwa Sucouw sudah lama tidak berdiam di gunung ini. Dan yang paling mungkin ditemui adalah murid-muridnya, yakni Jin Sim Tojin yang juga hadir mendampingi Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Sian Eng Cu supek ini. Karena kebetulan para supek memang berada di lingkunganBu Tong San ini”

“Hm, benar saudara-saudara. Seadainya ada sesuatu yang penting bagi suhu, mungkin bisa disampaikan kepada lohu. Mudah-mudahan lohu bisa menyampaikannya kepada suhu suatu saat nanti” Berkata Li Koan.

“Tapi keadaannya sangat mendesak Tayhiap” si pemimpin mendesak.

“Maksud saudara”? Li Koan bertanya penasaran.

“Pemimpin Bhe ingin mohon pertolongan Pek Sim Siansu, karena ada ancaman dalam sebulan untuk diserbu oleh Thian Liong Pang yang sedang mengganas. Dan Pemimpin Bhe hanya menitipkan sehelai surat ini saja, dan berkata bahwa mudah-mudahan Pek Sim Siansu berkenan membantu” Berkata si Pemimpin sambil memperlihatkan surat dalam amplop yang berasal dari Bhe Thoa Kun untuk disampaikan kepada guru mereka.

Tong Li Koan, Jin Sim Tojin dan bahkan Ci Hong Ciangbunjin terkejut ketika mendengar bahwa maksud kedatangan orang ternyata mohon bantuan kepada Pek Sim Siansu. Lebih kaget lagi, karena yang mengancam untuk menyerang adalah Thian Liong Pang yang sedang menjadi momok menakutkan bagi banyak perguruan akhir-akhir ini. Tapi, Tong Li Koan cepat menyadari dirinya, dan paham betul bahwa gurunya memang tidak akan mampu menolak permintaan bantuan ini.

Pengetahuannya akan keadaan dan cerita pribadi guru mereka, yang paling paham adalah Tong Li Koan. Karena bahkan Jin Sim Tojin dan Kwee Siang Le kurang begitu mengetahui cerita itu. Justru karena itu, maka Tong Li Koan berkata:

“Saudara, biarlah lohu akan menghantarkan surat itu kepada suhu. Tapi, bisa lohu pastikan bahwa jika bukan suhu, pastilah akan ada utusan suhu yang akan membantu Pemimpin Bhe”

“Benar, pinceng juga berani menjamin bahwa suhu pasti akan membantu, meski mungkin akan mengirim murid atau utusannya” tambah Jin Sim Tojin menjamin dan menguatkan.

“Baiklah Tayhiap dan losuhu, biarlah surat ini kami serahkan kepada murid Pek Sim Siansu dan kami menunggu di Lembah” Si pemimpin kemudian menyerahkan surat itu. Awalnya Tong Li Kuan meminta Jin Sim Tojin dengan berkata:

“Suheng, sebaiknya engkaulah yang menerima surat buat suhu tersebut”

“Ach sute, bukankah kesempatan dan bahkan tenagamu lebih dibutuhkan Pemimpin Bhe. Biarlah engkau yang menerima surat itu dan berusaha menemukan Suhu” tolak Jin Sim Tojin. Keduanya bercakap seolah-olah tidak mengetahui dimana guru mereka berada. Dan memang seperti itu yang disampaikan guru mereka kepada murid-muridnya.

“Baiklah suheng” Akhirnya Tong Li Koan yang menyambut surat itu dan kemudian berkata:

“Biarlah dalam waktu dekat utusan Pek Sim Siansu Suhu sudah akan dalam perjalanan menuju Lembah Bebas Merdeka. Sampaikan salam suhu dan lohu serta murid-murid suhu lainnya kepada Pemimpin Bhe”.

Demikianlah siang itu juga, utusan dari Pemimpin Bhe berpamitan kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay dan kedua murid Pek Sim Siansu untuk segera kembali ke lembah. Dan pada saat itu juga, Tong Li Koan menyampaikan kepada Ciangbunjin bahwa dia akan turun gunung untuk membantu Pemimpin Bhe dan sekaligus akan ikut melawan perusuh Thian Liong Pang.

Suatu hal yang sebenarnya berat bagi Ciangbunjin, tetapi sekaligus menyenangkan hatinya, sebab dia pikir setelah orang dari Lembah Pualam Hijau turun tangan, seharusnya ada tokoh kuat dari Bu Tong Pay yang juga ikut terlibat. Dan, harus dia akui bahwa Tong Li Koan adalah yang paling tepat, hanya dia agak segan meminta sesepuh partainya untuk melakukan tugas itu. Awalnya, dia ingin meminta tolong Jin Sim Tojin merembukkannya, tetapi justru permohonan Pemimpin Bhe malah mempermudah rencananya. Dengan cara demikian, maka janjinya bahwa Bu Tong Pay akan ikut memadamkan kerusuhan dunia persilatan kepada para tokoh rimba persilatan yang mendatanginya beberapa waktu sebelumnya sudah bisa dipenuhi.

Dan siang itu, Tong Li Koan kemudian bersama Jin Sim Tojin, Kwee Siang Le dan Liang Mei Lan menghadap Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan di kamar atau gua rahasia pertapaan Pek Sim Siansu. Karena sampai saat ini, memang hanya 4 murid Pek Sim Siansu ini sajalah yang tahu bahwa suhu mereka bertapa dan menyepi justru di belakang gunung Bu Tong San yang dikeramatkan dan tidak boleh didatangi anak murid Bu Tong Pay dengan sembarangan. Lagi pula, anak murid mana yang berani dan bisa menyusup tanpa ketahuan 5 tokoh sakti Bu Tong Pay ini?

Tong Li Koan dengan dibantu oleh Jin Sim Tojin kemudian menyampaikan berita permohonan bantuan pemimpin Bhe kepada guru mereka. Berita yang kemudian disikapi dengan wajah berkerut dan prihatin. Dari semua muridnya, nampak yang mengetahui latar belakang dan hubungan guru mereka dengan lembah itu, hanyalah Tong Li Koan. Hubungan yang jarang ada orang di dunia persilatan yang tahu bahwa Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan punya hubungan kekerabatan dengan Benteng Keluarga Bhe di Lembah Siau Yau Kok.

Hubungan yang memang tidak tersebar di dunia persilatan, dan hanya diketahui oleh Keluarga Bhe dan Wie Tiong Lan seorang. Hubungan yang juga untuk suatu saat terpaksa dibukanya kepada muridnya, Tong Li Koan ketika ada sesuatu yang mendesak untuk diselesaikan di lembah itu beberapa puluh tahun berselang. Sekilas, bentuk dan memori hubungan tersebut melintas lagi dalam kenangan Wie Tiong Lan, tetapi tidak lama dan sama sekali tidak begitu merisaukannya lagi. Toch ujung usia kehidupannya sudah membayang di depan mata, mengapa masih harus terguncang oleh kejadian masa lalu?
 
2 Surat Dari Lembah Siau Yau Kok Bagian 2






“Suhu, para utusan Pemimpin Bhe tiba-tiba datang dan mohon bantuan suhu untuk mereka. Bahkan mereka membawa sebuah surat untuk disampaikan kepada suhu” Li Koan melaporkan sambil kemudian menyerahkan sepucuk surat kepada Wie Tiong Lan. Meskipun sempat berkerut wajahnya, tetapi Wie Tiong Lan sendiri nampak tidak begitu kaget, sepertinya orang tua ini telah memiliki firasat bahwa memang hal itu akan terjadi.

“Hm, hal itu sudah lohu duga. Dan untuk urusan itu, rasanya Mei Lan sudah siap untuk turun gunung. Tugasmu yang pertama Lan Ji, adalah membantu Benteng Keluarga Bhe atas nama gurumu. Sebelum engkau turun gunung 3 hari kedepan, biarlah gurumu ini melihat perkembanganmu yang terakhir” Berkata Wie Tiong Lan.

“Suhu, Tecu siap menjalankan perintah dan membantu Keluarga Bhe atas nama Suhu sendiri” berkata Mei Lan.

“Aku tahu Lan Ji, tetapi betapapun sebagai gurumu aku perlu melihat perkembanganmu yang terakhir”
Sementara itu, ketiga kakek yang lain, memandang Mei Lan dengan terharu. Tak terasa, mereka akan kembali kehilangan rengekan manja si anak gadis yang kini bahkan kepandaiannya sudah melampaui mereka. Tetapi kemanjaannya masih tidak berkurang kepada suheng-suhengnya itu, kecuali terhadap Jin Sim Tojin yang memang berpegangan asas agama.

Sementara Sian Eng Cu, nampak seperti kembali akan kehilangan anak atau cucu kesayangannya, setelah lebih dari 10 tahun membimbing dan mendidik anak itu dengan penuh kasih sayang. Bahkan kembali mendidik dan berlatih bersama selama 2 tahun terakhir untuk menyempurnakan kepandaian masing-masing. Dan untuk tugas guru mereka, para murid ini akan kembali berpisah.

“Siang Le dan Jin Sim, lohu masih akan membuka pintu untuk kalian menyempurnakan kepandaian hingga 6 bulan kedepan. Setelah itu, lohu akan menutup diri, kecuali untuk urusan yang terlampau berat. Biarlah Siang Le yang menemaniku disini dan membereskan banyak hal atas namaku setelah lohu menutup diri” Berkata Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan kepada murid-muridnya memberitahukan batas waktu yang dimilikinya.

“Baik suhu” berbareng Siang Le dan Jin Sim Tojin.

“Baiklah, Lan Ji sebaiknya engkau mulai berkemas-kemas, karena malam hingga sebelum keberangkatanmu kita akan bersama-sama melihat apa yang kamu capai pada saat –saat terakhir pertemuan kita sebagai guru dan murid” Berkata Pek Sim Siansu

“Baik suhu” dan setelah itu Mei Lan memberi hormat kepada gurunya dan ketiga suhengnya untuk kemudian mengundurkan diri.

“Jin Sim, urusan kita sudah selesai. Kembalilah ke Kuil, tetapi saat tertentu sebaiknya engkaupun meningkatkan kemampuanmu, setidkanya sampai lohu memutuskan menutup diri untuk selamanya”

“Siancai, baik suhu, terima kasih atas perhatianmu orang tua” Jin Sim Tojin kemudian juga menyembah dan pamit kembali ke kuil.

“Siang Le, tinggalkan lohu bersama Li Koan, karena diapun harus segera turun gunung mengawasi sumoy kalian” Berkata Pek Sim Siansu setelah tinggal bertiga dengan Tong Li Koan dan Kwee Siang Le.

“Baik suhu” kemudian Siang Le juga keluar hingga dalam kamar Samadhi Pek Sim Sian Su tinggal berdua dirinya dengan muridnya Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan. Waktu itu nampak kemudian Wie Tiong Lan memanfaatkan waktu untuk membaca surat yang dikirimkan kepadanya dari Pemimpin Bhe di Siau Yauw Kok. Dan tidak berapa lama kemudian, nampak dia menarik nafas panjang dan kemudian seperti memutuskan sesuatu dan baru kemudian berpaling ke arah Li Koan dan berkata:

“Li Koan, dari semua muridku, engkau yang paling mengenalku. Bahkan engkau pula mengenal pengirim surat ini, dan mengenal serta mengetahui hubungan gurumu dengan Lembah itu”

“Maksud suhu”?

“Pengirim surat ini bukanlah Bhe Thoa Kun, tetapi Wie Hong Lan, cucu adikku Wie Tiong Kun”

“Masa bisa begitu suhu”?

“Nampaknya kekerasan hati Bhe Thoa Kun masih belum berubah. Meksipun dia merasa khawatir dengan serangan Thian Liong Pang, tetapi dia bertekad menghadapinya sendiri. Tetapi tenti tidak demikian dengan Wie Hong Lan cucuku itu”

“Tecu paham suhu. Pantaslah dari ketiga utusan itu, yang bicara hanya seorang dan nampaknya memang bukan membawa diri sebagai utusan Keluarga Bhe, tapi diutus Hong Lan Sumoy” berkata Li Koan.

“Hong Lan, cucuku itu, memang meminta pertolonganku. Dia memintaku untuk dengan cara halus mengunjunginya saat ini, sekaligus seakan-akan secara tak sengaja membantu keluarga Bhe. Tetapi, ada yang lebih penting dari soal itu bagi Hong Lan” berkata Wie Tiong Lan terputus

“Apa maksudnya suhu”? bertanya Li Koan

“Ketika Bhe Thoa Kun melamar Hong Lan lebih 20 tahun silam, lohu meminta sebuah syarat untuk dipenuhi Bhe Thoa Kun. Yakni, apabila anak mereka yang lelaki lebih dari seorang, maka yang bungsu akan memakai She Wie, melanjutkan keturunan Wie yang terputus ditanganku dan Hong Lan. Dan Bhe Thoa Kun yang terpaut usianya 20 tahunan dengan Hong Lan menyetujuinya. Sekarang, mereka punya 4 orang anak, 3 yang termuda adalah laki-laki, dan anak yang bungsu diberi she Wie dengan nama Wie Liong Kun.

Anak itu sudah berusia hampir 5 tahun, dan Hong Lan ingin menyerahkannya kepadaku untuk dididik. Bahkan Bhe Thoa Kun juga sudah menyetujuinya”

“Tecu mengerti suhu. Apakah suhu mengehendaki Tecu untuk menjemput sute termuda tecu ke Lembah Siau Yauw Kok”? bertanya Li Koan terharu. Karena, memang sejak muda dia yang paling dekat dengan suhunya, mengenal banyak kepahitan masa lalu suhunya dan petualangan suhunya di dunia persilatan. Tidak heran banyak hal pribadi dari Wie Tiong Lan diketahui oleh Li Koan.

Lebih dari itu, Li Koan memang dipungut murid oleh Wie Tiong Lan sejak berusia muda, masih kanak-kanak dan diselamatkan dari daerah yang menjadi medan pertempuran di utara sungai Yang ce. Karenanya, Li Koan sudah menganggap gurunya ini sebagai pengganti orang tuanya. Dan, gurunya ini, memang juga memperlakukannya sebagai anak, mendidiknya sejak masa kanak-kanak dan membuatnya menjadi orang terkenal dan mempunyai nama besar dalam dunia persilatan.

“Li Koan, kali ini lohu ingin menugaskanmu untuk melakukan beberapa hal sekaligus” Berkata Wie Tiong Lan sambil menatap tajam muridnya.

“Tecu mendengarkan suhu”

Sambil menarik nafas berat, Wie Tiong Lan melanjutkan:

“Pertama, engkau membayangi sumoymu Mei Lan dalam perjalanannya kali ini ke Benteng Keluarga Bhe. Kepandaiannya memang sudah sangat dahsyat, bahkan sudah melampauimu. Tetapi sebagaimana engkau tahu dan kita tahu besama, pengalamannya masih terlampau cetek. Akupun tahu, engkau mengasihinya bagaikan nakmu sendiri, karena itu tugas ini paling tepat dilakukan olehmu”

“Ach, suhu bisa melihatnya. Benar suhu, rasanya karena sejak kecil memomong dan mendidik anak itu, sulit sekali terpisah begitu lama dengannya” Jawab Li Koan terharu. Dan gurunya memandanginya dengan penuh pengertian. Karena gurunya juga mengerti dan tahu kepahitan seperti apa yang pernah dialami muridnya ini, murid yang memiliki kesamaan masa lalu yang menyedihkan.

“Kemudian tugasmu yang kedua adalah menyelamatkan dan membantu Keluarga Bhe secara tidak sengaja, tinggal bagaimana engkau mengaturnya dengan membayangi sumoymu yang akan kutugaskan menengok cucuku itu. Dan kemudian mengambil dan membawa Wie Liong Kun kemari. Lohu masih ingin mendidiknya meski tidak akan lebih dari 5 tahun belaka, batas usiaku yang sudah bisa kurasakan. Dan setelah 5 tahun, kupercayakan cucuku kepadamu untuk mendidik dan membesarkannya. Engkau sudah cukup tahu apa yang akan kau kerjakan dalam hal ini”

“Baik suhu, pesanmu orang tua tentu tidakkan kusia-siakan” jawab Li Koan.

“Dan yang terakhir, dalam pengembaraanmu, engkau melakukan serangan dan penyelidikan secara rahasia terhadap Thian Liong Pang, sambil membantu Mei Lan. Lohu ingin, ada anak murid Bu Tong Pay yang diketahui umum membantu kesulitan kawan-kawan pendekar Tionggoan. Soal caranya, dengan kemampuan ginkangmu, malah bisa lebih bertindak rahasia dibandingkan si kerudung hitam misterius dari Lembah Pualam Hijau”

“Baik suhu, tecu akan lakukan”

“Nah, selama 3 hari ini, engkau menempa dirimu sebaik2nya. Lohu akan mendampingi sumoymu untuk terakhir kalinya. Setelah 3 hari sumoymu berangkat, 3 hari kemudian engkau menyusulnya. Dan 3 hari itu, akan lohu gunakan untuk menyempurnakanmu untuk yang terakhir kalinya. Biarlah waktu yang terakhir kelak lohu gunakan untuk kedua suhengmu dan calon muridmu nanti” Berkata lagi Wie Tiong Lan.

Li Koan sadar gurunya ingin segera menyendiri. Karena itu dia segera menyembah dan berkata:
“Baik suhu, perkenankan tecu mengundurkan diri. Semua tugas suhu akan tecu lakukan sebaik-baiknya, biarlah 3 hari ini tecu juga menutup diri buat menggembleng diri sebelum kembali ke dunia persilatan, dan 3 hari kemudian menemui suhu kembali”

==================

Dan 3 hari kemudian, nampak bersimpuh dihadapan Wie Tiong Lan murid bungsunya Liang Mei Lan yang sudah bersiap melakukan perjalanan. Nampak orang tua renta itu mengulurkan tangannya mengusap dan membelai penuh kasih sayang kepala anak gadis itu yang tertunduk takjim. Setelah beberapa lama, kemudian Wie Tiong Lan berujar:

“Lan Jie, waktumu untuk berangkat segera tiba. Tidak ada lagi yang bisa lohu tambahkan sebagai bekal bagimu. Pelajaran keagamaan dari suhengmu, menurutnya juga sudah lebih dari memadai. Sementara masalah Ilmu Silat, engkau kini menjadi ahli yang paling lihay di kalangan Bu Tong Pay. Jikapun masih dibawahku, bukan berarti engkau tidak akan melampaui gurumu. Hanya masalah waktu dan pengalaman yang engkau butuhkan. Engkau bahkan sudah jauh meninggalkan ketiga suhengmu. Maka suhumu berpesan agar engkau tidak mempermalukan nama baik suhumu dan Bu Tong Pay. Tegakkan kebenaran, berlaku adil, jangan sembarang membunuh dan temukan kembali Pedang Bunga Seruni sebagai tanda baktimu buat suhumu”

“Suhu, semua pesanmu orang tua pasti akan tecu taati. Bahkan mencari bunga seruni, jikapun butuh waktu 100 tahun akan tecu lalui untuk menemukannya kembali. Tapi, kapankah tecu mendapatkan kesempatan menemui suhu kembali”?

Nampak Wie Tiong Lan tersenyum, penuh pengertian dengan pertanyaan terakhir Mei Lan. Dan dengan lembut dia kembali membelai sayang kepala Mei Lan sambil berujar:

“Lan Jie, pertemuan kita hari ini, adalah pertemuan yang terakhir. Setelah keberangkatan suhengmu kelak, lohu akan menutup pintu Samadhi, dengan hanya akan melayani kedua suhengmu yang lain selama 6 bulan. Dan selebihnya usia suhumu, akan digunakan untuk cucu buyutku yang akan kalian jemput di Siauw Yau Kok. Jangan lagi memikirkan diri lohu, konsentrasikan untuk mengatasi badai dunia persilatan ini. Batas usia lohu sudah jelas, tidak akan melampaui 5 tahun kedepan, sedikit lebih panjang dibandingkan Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han yang batasnya sudah dalam waktu dekat ini” Bergumam Wie Tiong Lan.

“Suhu, apakah dengan demikian Lan Ji tidak akan bisa mengunjungi dan menemui suhu lagi ntuk selanjutnya”? Mei Lan bertanya terperanjat begitu menyadari bahwa suhunya sudah akan menutup diri.

“Lan Jie, engkau sudah dewasa dan punya tanggungjawab besar. Kerjakan semua dengan baik, itulah baktimu buat gurumu. Sewaktu-waktu dalam batas waktu 5 tahun, engkau boleh menengok lohu, tetapi tidak lagi untuk membicarakan urusan dunia persilatan. Suhumu akan beristirahat mempersiapkan menunggu hari-hari terakhir itu datang. Nach, sekarang, engkau boleh berangkat” berkata Wie Tiong Lan.

“Baiklah suhu” Mei Lan sujud menyembah, agak lama bahkan kemudian terdengar isaknya tertahan saking terharunya untuk kembali terpisah dengan kakek tua yang sangat disayanginya itu. Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan tampak membiarkan muridnya melepas rasa harunya beberapa saat, karena diapun agak tergetar perasaannya melihat anak yang dididik keras lebih 10 tahun akan ditugaskannya memasuki dunia Kang ouw yang sedang rusuh. Tetapi perasaan terguncangnya tidak akan berlangsung lama, tetelah beberapa saat, kemudian Wie Tiong Lan bergumam lembut:

“Lan Jie kuasai dirimu dan lakukan yang menjadi kewajibanmu, lakukan atas nama kemanusiaan dan atas kewajibanmu bagi dunia Persilatan dan Bu Tong Pay kita”

“Baik suhu, Lan Jie tidak akan mengecewakanmu orang tua, Lan Jie mohon diri” Mei Lan nampak kemudian mengeraskan hatinya, kemudian mencium tangan gurunya dan dengan isak tertahan berkelabat keluar sambil dipandangi penuh haru oleh gurunya yang nampak sudah sangat tua itu. Bahkan menurut Mei Lan jauh lebih tua dari waktu waktu sebelumnya.

Mei Lan juga berpamitan dengan Kwee Siang Le yang juga melepasnya dengan penuh rasa haru. Kemudian juga tentu berpamitan dengan Tong Li Koan yang dengan terpaksa mengeraskan hatinya melepas anak gadis yang diperlakukannya sebagai anak dan cucunya itu. Dan pada akhirnya juga berpamitan kepada Jin Sim Tojin, Ji Suhengnya yang sekaligus gurunya dalam ilmu keagamaan, dan terakhir minta diri kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay yang memandangnya penuh kekaguman.

Bahkan dengan penuh keyakinan, Sang Ciangbunjin mengatakan bahwa telah tumbuh tunas baru Bu Tong Pay yang akan banyak memberi warna dan bantuan bagi dunia persilatan. Sang Ciangbunjin memang hanya mengenal Mei Lan sebagai murid ketiga supeknya, Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang Le, Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan dan Jin Sim Tojin. Tidak pernah disangkanya, kalau anak gadis ini adalah murid penutup guru besarnya Wie Tiong Lan, yang bahkan menjadi murid yang paling ampuh dari Bu Tong Pay dewasa ini. Maka dimulai lagilah pengembaraan Naga Wanita yang telah harum dengan julukan SIAN ENG NIOCU atau SIAN ENG LI di dunia persilatan.

Julukan yang menjadi lebih pas setelah dia mewarisi ginkang maha hebat Te-hun-thian (mendaki tangga langit) dari guru keduanya Liong-i-Sinni, si Padri Wanita Sakti berbaju hijau dari Timur. Petualangan yang lebih seru, lebih memikat dan lebih mempesona telah menantinya. Tetapi, gadis cantik ini tidak pernah menyadari bahwa 3 hari setelah keberangkatannya, Sam Suhengnya, Tong Li Kuan juga menyusulnya setelah selama 3 hari digembleng untuk terakhir kalinya oleh gurunya. Dalam waktu yang berdekatan Wie Tiong Lan dan Bu Tong Pay melepas 2 pendekar utamanya kedalam dunia persilatan. Hal ini dilakukan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu karena dia tidak melihat dan berfirasat jelek dengan keadaan terakhir dari Bu Tong Pay.

Bila ditempuh secara marathon dan berjalan siang malam, maka perjalanan ke Lembah Bebas Merdeka setidaknya membutuhkan waktu 3 hari-3 malam. Tetapi, Mei Lan tentu tidak diburu waktu, karena kedatangannya ke Benteng Keluarga Bhe dibuat seolah-olah tidak disengaja, sebuah kunjungan kekeluargaan. Karena itu, di menentukan sendiri waktunya, yang sedapat mungkin berada di seputar Lembah menjelang akhir bulan ketujuh, berarti masih ada waktu lebih 10 hari buatnya untuk melakukan perjalanan.

Sudah diperhitungkannya, dengan berkuda dan berjalan santai dia akan tiba di seputar lembah pada sekitar 6-7 hari kedepan. Karena itu, Sian Eng Li Liang Mei Lan berjalan dengan tidak memaksakan diri, tetapi dilakukan sambil menikmati keindahan alam disepanjang jalan yang dilaluinya. Karena berjalan secara perlahan dan santai itulah, pada hari kelima perjalanannya, Tong Li Koan yang bertugas mengawasinya sudah bisa menemukan jejaknya yang berada tidak jauh didepannya, tidak sampai 1 hari perjalanan kedepan.

Terlebih, karena perjalanan Mei Lan terhitung menyolok dan tidaklah dengan rahasia. Dia tidak menyembunyikan identitasnya sebagai anak murid Bu Tong Pay, kecuali tidak pernah menyebutkan gurunya adalah Wie Tiong Lan. Dan keadaan dunia persilatan yang kacau balau, sudah menjadi hukumnya pasti akan diikuti dengan mengganasnya kaum liok-lim.

Para rampok, begal di tempat-tempat sepi dan terasing mengganas dengan bebasnya. Beberapa kali Liang Mei Lan kebentrok dengan kaum ini, yang dengan keras dihajarnya, dan beberapa kelompok begal yang menemui dan mengganggunya diberinya hajaran setimpal. Bahkan beberapa yang raja beganya terlalu ganas, dihukumnya dengan telak, dengan menghancurkan tulang pundak dan mengembalikan si raja begal menjadi manusia biasa yang tidak mampu lagi bersilat.

Karena itu, seminggu dalam perjalanannya di dunia Kang Ouw, kabar gembira berhembus dengan munculnya Sian Eng Li yang pernah memberi hajaran kepada perusuh Thian Liong Pang beberapa tahun silam. Secercah asa kembali membubung, berharap semoga para pahlawan muda yang mengundurkan Thian Liong Pang beberapa waktu lalu, kembali tampil ke permukaan. Mereka menunggu Ceng-i-Koai Hiap, si Naga Jantan Hijau, yang kebetulan pada saat bersamaan dengan munculnya Sian Eng Li, juga memulai perjalanannya keluar dari Lembah Pualam Hijau untuk mengembara dalam dunia persilatan.

Bahkan, keadaan menjadi lebih menggemparkan, karena bersamaan dengan munculnya Sian Eng Li, beberapa pembunuh berpakaian hitam dari Thian Liong Pang diketemukan dalam jejak perjalanan Sian Eng Li dalam keadaan terbunuh. Ada yang menghembuskan issue Sian Eng Li yang melakukannya sehingga menambah harum namanya, tetapi ada beberapa saksi mata yang menyebutkan bahwa seseorang berjubah kelabu dengan tutup kepala misterius, melakukannya dengan Ilmu-ilmu khas Bu Tong Pay. Kejadian tersebut menimbulkan spekulasi dan juga dugaan bahwa saat ini, baik Lembah Pualam Hijau maupun Bu Tong Pay sudah turun tangan mengirimkan jago-jagonya untuk melawan Thian Liong Pang.

Sementara itu, Liang Mei Lan sendiri sudah tiba didaerah yang berdekatan dengan kawasan Lembah Siuaw Yau Kok. Sebelum melanjutkan perjalanannya, kebetulan dia bertemu dengan sebuah dusun yang mengarah ke lembah tersebut, meskipun masih terpisah kurang lebih 3 jam berkuda dengan Benteng Keluarga Bhe. Tetapi karena waktunya masih lebih kurang 2 hari lagi, maka dia memutuskan untuk berkunjung ke Lembah itu esok harinya, dan berniat menggunakan waktu yang tersisa untuk menyelidiki keadaan disekitar lembah dan juga di dusun yang disinggahinya.

Sebab bila para penyerang akan melakukan penyerbuan, agak sulit diperkirakan bila dilakukan tanpa beristirahat terlebih dahulu. Dengan pengertian itu, akhirnya Mei Lan memutuskan untuk tidak memasuki dusun pada siang hari, tetapi mencari tempat istirahat justru di hutan di luar dusun sambil terus mengawasi jalur keluar masuk dusun Ki Ceng. Dengan cara itu dia berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk mengenai para penyerang yang mengancam itu.

Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, bukan perkara sulit bagi Mei Lan untuk beristirahat dengan kesiagaan tinggi bahkan disebuah pohon sekalipun. Karena dia berencana untuk bekerja pada malam harinya, maka dia memutuskan untuk beristirahat sejenak, mengumpulkan segenap tenaga dan juga semangatnya. Hal itu bisa dilakukannya di atas pohon, dengan menyembunyikan kudanya di balik semak dan rimbunan hutan. Mei Lan melakukan Samadhi dan pemulihan tenaganya sampai hampir 2 jam, dan sudah lebih dari cukup waktu tersebut untuk membuatnya bersemangat dan bugar kembali.

Sementara itu, matahari mulai condong ke barat tetapi dia tidak menemui tanda-tanda mencurigakan, terutama tidak melihat adanya gerakan missal sejumlah orang yang mencurigakan. Sebaliknya, dusun itu, meski lumayan ramai, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya sejumlah orang penuh rahasia dengan misi tertentu. Mei Lan menjadi tidak sabaran dan merasa akan sia-sia melakukan tugas penjagaan dan pengintaian di tengah malam dan di hutan pula.

Memang tidak begitu mengherankan. Meskipun tersiar kabar Benteng Keluarga Bhe menjadi sasaran Thian Liong Pang pada akhir bulan ke-tujuh, tetapi sedikit sekali pendekar dunia persilatan yang tergerak menuju benteng keluarga Bhe. Karena memang keluarga Bhe terhitung agak arogan dan tidak suka bergaul dengan dunia luar, bahkan terkesan tertutup.

Benar ada cukup banyak pengawal dan murid, mungkin hampir mendekati 100 orang, tetapi para murid inipun, jarang yang berkelana dan membina hubungan baik dengan dunia luar. Justru karena itu, dalam kesulitan benteng keluarga Bhe ini, relatif hanya anak murid Pek Sim Siansu yang bersimpati untuk datang membantu. Selebihnya, nyaris tidak ada simpati dari dunia persilatan untuk sekedar memberi bantuan bagi Benteng Keluarga Bhe ini.

Dan karena itu, dusun Ki Ceng yang terdekat dengan Lembah Keluarga Bhe ini, justru tidak menunjukkan adanya para pendekar yang bersimpati untuk datang membela Keluarga ini. Nampaknya dusun Ki Ceng seperti tiada sesuatu yang luar biasa, tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan dan seperti tidak ada aktifitas rahasia. Bahkan semakin matahari doyong ke barat, semakin sepi desa tersebut, dan semakin temaram cahaya di desa yang dikepung hutan lebat tersebut.

Kecuali beberapa warung arah dan rumah makan, nampak pelita di rumah-rumah tidaklah terlampau besar cahayanya. Ketika hari semakin gelap dan matahari benar-benar sudah tenggelam di ufuk barat, perlahan-lahan Mei Lan mencelat turun dari pepohonan. Nampaknya dia berkehendak untuk menyelidiki langsung kedalam dusun Ki Ceng untuk memeriksa keadaan dusun yang tidak menunjukkan adanya aktifitas diwaktu malam tersebut.

Begitu turun dan mulai melangkah, entah sejak kapan Mei Lan sudah berpakaian ringkas, khas seorang yang berjalan malam untuk menyelidiki sesuatu. Mei Lan nampak berjalan dan bertindak hati-hati untuk kemudian agak pesat ke dusun Ki Ceng melalui sisi Barat yang jauh lebih rimbun pepohonannya. Tetapi, Mei Lan tidak langsung memasuki dusun tersebut dari sisi barat, tetapi justru terlebih dahulu mengambil tindakan berhati-hati dengan mengitari dusun Ki Ceng.

Dan baru ketika kemudian dia tidak menemukan apa-apa yang mencurigakannya selama 1 jam penyelidikannya mengelilingi dusun tersebut, akhirnya Mei Lan mulai menuju ke hutan sebelah barat dusun. Karena dari sisi inilah dia berencana memasuki dusun. Malam waktu itu sudah semakin larut, mungkin sudah sekitar pukul 9 malam, dan warung arakpun nampaknya tinggal 1 yang masih buka, dan tinggal disanalah nampak ada keramaian, itupun hanya 3-4 orang saja.

Tiba-tiba berkelabatlah tubuhnya, bagaikan bayangan dengan pesat menyusup masuk ke dusun tersebut. Mulanya dia mendekati warung arak untuk menguping pembicaraan 4 orang didalamnya, tetapi begitu mendengar pembicaraan mereka yang ngolor ngidul mnengenai kesusahan mengurus sawah dan kebun, dan pembicaraan remeh lainnya, Mei Lan kembali berkelabat. Kemudian dia mendekati sebuah penginapan kecil, paling hanya memiliki kamar tidak lebih dari 10 buah, tetapi kamarnyapun rata-rata kosong dan tidak ada penghuninya.

Jelaslah, bahwa dusun ini tidak menunjukkan adanya sebuah gerakan yang melandaskan operasinya dari Ki Ceng. Hampir setengah malaman, bahkan sampai menjelang pukul 12 malam, Mei Lan menelusuri dusun ki Ceng dan tidak menemukan satu hal apapun yang mencurigakan dalam dusun tersebut. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan penelitiannya, karena hampir semua sudut sudah didatanginya, tetapi tiada tanda setitik apapun yang membuatnya berkhawatir bahwa dari dusun Ki Cenglah para perusuh akan melandaskan aktifitasnya.

Tetapi ketika Mei Lan sudah lelah dan memutuskan kembali ke hutan dimana dia meninggalkan kudanya untuk beristirahat, tiba-tiba dia melihat sekitar 7 bayangan bergerak dengan sangat cepat. Tahu-tahu menghilang kedalam beberapa rumah yang cukup baik dan bagus dibandingkan kebanyakan rumah penduduk lainnya, dan nampaknya milik orang kaya, dan beberapa saat kemudian beberapa diantara mereka seperti menenteng sesuatu.

Mei Lan segera sadar dan mengurungkan niatnya untuk mengejar dan menghajar orang-orang tersebut. Sebaliknya, dibiarkannya mereka melakukan operasi pencurian, entahlah barang-barang apa yang dicuri, dan seperti dugaannya, setelah ke tujuh orang itu menyelesaikan operasi mereka, nampak mereka berkumpul di sudut selatan dusun Ki Ceng. Dan seperti membicarakan sesuatu yang tidak dimengerti Mei Lan, dan tak berapa lama kemudian bayangan hitam tersebut berkelabat ke luar dusun dari arah selatan.

Mei Lan tidak mau kehilangan buruan, dengan bekal ginkangnya sekarang ini, terlalu mudah baginya membayangi orang-orang itu tanpa sedikitpun ketahuan dan tanpa mengeluarkan suara sekalipun. Karena kemampuan ginkangnya, telah memampukan Mei Lan bergerak membelah angkasa, sementara kemampuan menyerap suara tubuhnya, sudah sanggup dilakukannya dengan pemusatan konsentrasi ketika bergerak. Ketujuh bayangan hitam tadi terus bergerak tanpa menyadari bahwa mereka dikuntit sebuah bayangan hitam lainnya yang dengan pesat bergerak-gerak melayang-layang seakan tidak menyentuh bumi.

Ada sekitar setengah jam ketujuh bayangan itu berlari-lari membelah hutan ke arah selatan, dan kemudian tiba disuatu tempat yang dari kejauhan memang tidak nampak sebagai tempat berkumpulnya org-orang itu. Sebuah tempat perkemahan, karena ada beberapa tenda dan kemah yang dibangun, nampaknya secara darurat. Nampak ada sekitar 7 tenda besar, 5 tenda sedang dan sekitar 5 tenda kecil lainnya. Sebuah tenda besar, nampaknya sanggup menampung sampai 20 orang, sementara tenda sedang paling banyak menampung 7-8 orang, sementara tenda kecil nampaknya menampung bahan bahan makanan dan bekal kelompok orang ini.

Mei Lan segera menyadari bahwa dia sedang menyatroni sarang macan. Dan besar kemungkinannya dari tempat inilah pihak Thian Liong Pang akan melakukan serangan ke benteng keluarga Bhe. Karena itu, semakin dia berhati-hati, dan dengan kemampuannya yang luar biasa, dia bisa menerobos mendekati tenda utama tempat dimana 7 bayangan tadi kemudian masuk. Terdengar seseorang melapor:

“Hu-pangcu, Houw Ong, tiada tanda-tanda kehadiran para pendekar yang mau membela Benteng Keluarga The hingga malam ini. Penginapan kosong, dan sekitar dusun juga tiada jejak pendatang baru”

“Bagus, sudah kuduga. Benteng Bhe memang terlampau sombong dan arogan, tetapi mereka lebih memilih kelompok putih daripada kita. Bila sampai besok tiada jawaban, maka 2 hari kedepan, kita menyerang pagi-pagi buta” Terdengar suara yang rada aneh. Jelas suara ini dari seorang nenek, tetapi terdengar menggeram bagaikan suara harimau marah.

“Hm, apa sajakah yang kalian temui di dusun itu”? sebuah suara lain yang agak berat, berisi namun sangat lirih terdengar.

“Dusun itu terlalu miskin hu pangcu, hanya seadanya saja bagi Pang kita yang bisa kami temukan” seorang dari ke-7 bayangan hitam segera meletakkan semua barang curian mereka dari dusun Ki Ceng. Dan memang tiada berarti banyak, setidaknya hanya sebutir mutiara saja yang agak berharga dari barang-barang curian tersebut. Lalu terdengar orang yang dipanggil Hu-Pangcu berkata:

“Sudahlah, masukkan kedalam perbendaharaan kita. Kita butuh banyak dukungan dana untuk kegiatan selanjutnya. Betapapun kalian sudah berjasa banyak, kalian boleh beristirahat”

Tak berapa lama kemudian ketujuh orang bayangan hitam tadi berlalu dari tenda utama yang nampak terang benderang itu. Dan beberapa saat kemudian tidak terdengar suara percakapan kecuali seperti ada seseorang yang membenahi barang curian untuk kemudian diamankan entah kemana oleh gerombolan orang orang yang berkemah itu. Baru ketika suara-suara yang membenahi ruangan itu sirap, terdengar lagilah suara seseorang, agaknya yang dipanggil Hu Pangcu itu:

“Houw Ong, apakah engkau yakin bahwa tiada akan bantuan bagi Benteng Keluarga Bhe”?

“Hu-Pangcu, Benteng keluarga Bhe, berbeda dengan Keluarga Yu. Di keluarga Yu, pasti akan muncul banyak bantuan, tetapi di Keluarga Bhe, jikapun ada, tidak akan banyak. Selain itu, kita sanggup mengalihkan perhatian dunia persilatan dari aksi yang lain” terdengar jawaban suara aneh tadi.

“Hm, bila perhitunganmu benar, dengan jumlah orang kita yang mendekati 150an, ditambah dengan tenagamu dan muridmu, serta juga Pesolek-Rombeng Sakti Dari Selatan, sudah jauh dari memadai untuk menghadapi Benteng Bhe di Siau Yau Kok” Hu Pangcu berkata.

“Malah sudah jauh melampaui apa yang bisa ditampilkan Benteng Bhe itu”

“Hm, mudah-mudahan demikian” mendengus Hu Pangcu. Dan tiba-tiba dia mengibaskan sebuah tangannya, selarik sinar pukulan menembus pekatnya tenda dan terus menyerang kesebuah arah tersembunyi. Dan tiba-tiba terdengar suara:

“Duaaaaaaar” Pukulan jarak jauh Hu Pangcu memekakkan telinga dan menghancurkan bebatuan yang berjarak cukup jauh dari tenda induk tersebut. Tetapi, ketika Hu Pangcu mendatangi tempat yang dipukulnya dari jauh, dia sama sekali tidak menemukan apa-apa. Dan terdengar Hu Pangcu mendesis:

“Hm, seperti ada gerakan dan suara dari tempat ini tadinya”

“Ah, mana mungkin ada tokoh yang berani menyusup ke tengah-tengah kita Hu Pangcu” berbisik Houw Ong, yang nampak memang ternyata adalah seorang nenek-nenek tua.

“Semogalah demikian Houw Ong”
 
3 Pertempuran di Siau Yau Kok





Pemimpin Benteng Keluarga Bhe dewasa ini adalah Bhe Thoa Kun, yang mewarisi Benteng Keluarganya dari ayahnya yang bernama Bhe Kun. Ayahnya sendiri setelah menyerahkan Benteng Keluarga Bhe ini kepada Bhe Thoa Kun, sudah jarang menampakkan diri. Usianyapun saat ini sudah lebih dari 85 tahun, dan sudah lebih banyak beristirahat dan menyepi, terutama setelah istrinya meninggal 10 tahun berselang karena sakit dan usia tua.

Kematian istrinya telah memadamkan semangat kakek ini, kecuali melihat dan menghibur diri dengan cucu-cucunya. Bhe Kun sebenarnya memiliki 2 orang putera, tetapi putranya yang kedua, Bhe Houw Kun telah lama menetap di daerah Nan Cao, dekat Tibet karena menikah dengan seorang gadis disana, dan saat ini sudah mempunya usaha yang mapan disana. Karenanya saat ini tinggal Bhe Thoa Kun seorang yang menjadi sandaran dari Benteng keluarga Bhe ini.

Sementara Bhe Thoa Kun menikah di usia yang sudah sungguh lanjut, yakni di usia 42 tahun. Dengan istrinya, Wie Hong Lan, perbedaan usianya hampir 20 tahunan, dan pernikahan itu sendiri baru berlangsung setelah Bhe Kun menyepakati sebuah perjanjian dengan Wie Tiong Lan yang menjadi wali Wie Hong Lan sebagai satu-satunya keluarga terdekat.

Dan syukurlah, dari pernikahan itu lahir 4 anak, seorang anak perempuan anak kedua yang dinamai Bhe Bi Hwa, dan 3 anak lelaki yang masing-masing anak pertama bernama Bhe Kong, anak ketiga Bhe Houw dan anak keempat sesuai perjanjian dengan Wie Tiong Lan dinamai Wie Liong Kun. Anak tertua Bhe Kong saat ini sudah berusia 21 tahun, berturut-turut anak kedua berusia 18 tahun, anak ketiga berusia 15 tahun dan anak bungsu Wie Liong Kun berusia sekitar 5 tahunan. Semua anak-anak keluarga Bhe ini dididik langsung oleh ayah mereka, bahkan terkadang oleh kakek mereka dalam ilmu silat.

Benteng Keluarga Bhe terkenal di dunia persilatan karena menguasai Ilmu-Ilmu yang sangat lihay, terutama yang menggoncangkan dunia persilatan adalah ilmu khas mereka yakni Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), dan Yan Cu Hui Kun (Imu SIlat Sakti Burung Walet). Sebagai Pemilik Benteng, sudah tentu Bhe Thoa Kun sudah menguasai dengan sempurna ketiga Ilmu Keluarganya ini, yakni Ilmu Permainan Sepasang Tongkat Naga serta 2 Ilmu tangan kosong yang tidak kurang lihaynya.

Sementara anak pertamanya, Bhe Kong, juga sudah tumbuh menjadi calon pewaris Benteng Bhe dan bahkan sudah nyaris menyamai ayahnya karena dibimbing langung oleh kong-kongnya, pemilik Benteng Bhe sebelumnya. Karena tinggal mendidik cucu cucunya yang menjadi kesenangannya, maka wajar bila Bhe Kong dan juga Bhe Bi Hwa dan Bhe Houw tumbuh menjadi orang lihay. Terutama Bhe Kong yang memiliki bakat baik, sama baiknya dengan adik bungsunya. Hanya karena adik bungsu mereka memang akan dididik oleh Wie Tiong Lan, karena itu kakeknya di Benteng keluarga Bhe hanya mengajar dasar-dasar pergerakan Ilmu Silat.

Sementara Bhe Hujin sendiri, Wie Hong Lan, bukanlah orang yang menyenangi Ilmu Silat, meskipun dia pernah menerima beberapa pelajaran silat Bu Tong Pay dari paman kakeknya Wie Tiong Lan. Bhe Hujin sendiri, jauh lebih menyukai pekerjaan rumahan dengan mendidik anak-anak dan menyayangi mereka serta mengurus suaminya yang sangat mencintainya meski terdapat perbedaan usia hampir 20 tahun diantara mereka.

Justru karena kecintaan akan suami dan anak-anaknya, maka ketika mendengar ancaman terhadap Benteng Keluarga Bhe dari Thian Liong Pang yang didengarnya sangat kuat dan sadis, telah membuat Bhe Hujin nekad menulis surat kepada paman kakeknya yang diketahuinya sangat mengasihinya. Paman kakeknya ini adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya, yang sangat mengasihinya dan bahkan meminta salah seorang anaknya memakai She Wie.

Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat 3 Benteng Keluarga terkenal, dan Benteng Keluarga Bhe merupakan salah satu dari ketiga Benteng Keluarga ternama itu. Benteng Keluarga Bhe terletak di sebuah lembah bernama Lembah Siau Yau Kok (Lembah bebas Merdeka), sebuah lembah yang agak misterius justru karena Pemilik Lembah yang jarang mau bergaul. Karena itu, juga teramat jarang tokoh persilatan yang menginjakkan kaki di daerah perbentengan keluarga ini. Kiri dan kanan lembah, adalah tebing-tebing yang tak terpanjat oleh manusia, sehingga pintu masuknya hanya mungkin dari depan dan belakang.

Di bagian belakang, juga tetap sulit didatangi, karena terbentang barisan karang terjal yang menukik ke angkasa, bahkan bagaikan tombak bila dilihat dari angkasa raya. Sehingga pintu masuk yang paling rasional dan paling mungkin adalah pintu masuk lembah yang langsung berhadapan dengan tembok yang sangat tebal, mungkin setebal 3 meter dan memiliki post pengamatan di atas tembok tebal setinggi 4-5 meter dari permukaan tanah tersebut. Tembok tebal itu terbentang sepanjang 20 meter dan menutup secara mutlak akses masuk ke lembah.

Bukan sedikit tokoh dunia persilatan yang ditolak memasuki lembah, karena memang sifat eksentrik pemilik lembah sejak dahulu kala. Tembok itu langsung memisahkan hutan lebat dihadapannya dengan daerah hunian Benteng Keluarga Bhe, dan hanya ada sebuah jalan setapak kecil yang menerobos membelah hutan lebat di depan tembok yang biasa digunakan anak murid keluarga Bhe untuk mengangkut makanan atau keperluan lain di luar benteng.

Dan pada siang itu, nampak sebuah pemandangan yang tidak biasa dan aneh bagi penghuni benteng. Meskipun di tengah ancaman serangan, pemandangan tersebut tetap terasa aneh, tidak biasa, dan bukan mendatangkan keseraman tetapi malah mendatangkan rasa lucu. Betapa tidak, seekor kuda yang ditunggangi mahluk cantik manis, dan bahkan masih berusia remaja, belum sampai 2 tahun, nampak menerobos jalan kecil atau jalan setapak yang membela hutan lebat di Lembah Siau Yau Kok.

Dan kuda itu, bukannya berlari, malah berjalan santai dan perlahan-lahan saja, sedangkan si gadis nampak duduk santai dan tidak merasa seram dan takut dengan keadaan hutam yang senyap mengerikan itu. Keadaan ini menjadi aneh bagi mereka, sebab belum pernah mereka menyaksikan ada gadis cantik mungil seperti gadis ini, menunggang kuda dan berjalan santai di lebatnya hutan lembah yang seram dan sepi itu. Tapi, anak gadis ini, selain cantik, juga nampaknya tidak pedulian dengan seramnya hutan, malah bagaikan lenggang-lenggok menggoda senyapnya hutan itu.

Otomatis, kejaidan ini bagaikan sebuah hiburan bagi para penjaga benteng keluarga Bhe, betapa lucu dan aneh melihat seorang gadis mungil yang cantik mendatangi benteng mereka. Bahkan suara anak gadis itu, yang tentunya adalah Mei Lan, ketika menyapa mereka minta dibukakan pintu gerbang juga masih terkesan suara dan permintaan seorang kanak-kanak yang nakal dan menggemaskan.

”Para sicu dan saudara yang baik, apakah aku boleh memasuki Lembah Siau Yau Kok“? bertanya Mei Lan dengan gayanya yang agak kenes. Otomatis, semua mata terbelalak memandangnya, sebuah pemandangan ganjil dan belum pernah terjadi.

”Nona, siapakah anda, dan dari manakah datangnya“? seorang penjaga bertanya.

”Aku mewakili guruku, Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan dan ingin menemui Bhe Hujin, Wie Hong Lan“ berkata Mei Lan tanpa menutupi identitas dirinya dan maksud kedatangannya. Karena toch keluarga Bhe sudah tahu bahwa pada akhirnya anak bungsu mereka akan menjadi keturunan keluarga Wie sesuai perjanjian pada masa lalu.

”Ach, yang benar nona manis. Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan sudah berusia ratusan tahun, masakan punya murid bocah seusia kamu“ si kepala penjaga malah menjadi ragu.

”Pokoknya, sampaikan saja kepada Bhe Hujin, dan lihat apakah dia percaya atau tidak. Karena nonamu akan membuktikan kepada Bhe Hujun bahwa nonamu adalah murid suhu Pek Sim Siansu“ Mei Lan masih dengan gayanya yang kenes dan menantang.

Sejenak terjadi kebimbangan di hati para penjaga benteng keluarga Bhe tersebut. Tetapi akhirnya, diambil keputusan untuk menyampaikan berita ini kepada Bhe Thoa Kun dan Bhe Hujin untuk diputuskan, langkah apa yang sebaiknya diambil. Karena itu, kemudian terdengar seseorang turun dari tembok penjagaan dan kemudian terdengar memasuki lembah untuk melaporkan kejadian tersebut. Sedangkan si kepala penjaga setelah memandang sejenak dengan penuh keraguan kepada Liang Mei Lan yang nampak mungil, cantik dan kenes itu sudah berkata:

”Nona, harap menunggu sebentar. Kami sedang dalam keadaan sangat waspada, karena itu maafkan, lohu tidak bisa mengambil keputusan“ Berkata si kepala penjaga. Ucapannya disambut dengan ketawa manis Liang Mei Lan, sambil kemudian nampak seperti bermain-main dengan kudanya di bawah tembok pembatas dengan hutan yang adalah juga tembok memasuki Lembah Siau Yau Kok. Tidak terlihat kegamangan, keraguan ataupun ketakutan diwajahnya yang cantik mungil itu. Bagi para penjaga, keadaan Mei Lan juga tidak menghadirkan rasa seram dan curiga sedikitpun.

Tidak beberapa lama di atas benteng telah berdiri dengan gagah seorang tua dan seorang pemuda. Bisa dipastikan itulah Bhe Thoa Kun, pemilik Benteng Keluarga Bhe bersama anak tertuanya Bhe Kong. Sambil berdiri gagah, si orang tua menatap takjub ke bawah, melihat seorang anak gadis yang mengakui berkunjung atas nama gurunya, Pek Sim Siansu. Padahal, Pek Sim Siansu, setahunya hanya memiliki 3 orang murid, Sin Ciang Tayhiap, Jin Sim Tojin dan Sian Eng Cu Tayhiap. Dari mana datangnya murid yang masih bau kencur ini? Bagaimana pula meyakini anak ini benar muridnya Pek Sim Siansu? Bhe Thoa Kun jadi bingung. Tapi dikeraskannya hatinya dan berkata:

”Nona cilik, benarkah engkau murid Wie Tiong Lan, Pek Sim Siansu“?

”Apakah yang berbicara adalah Bhe Thoa Kun, pemilik benteng“? Mei Lan balik bertanya tidak peduli akan pertanyaan si pemelik Benteng yang nampak berdiri keren di atas bentengnya.

”Benar, lohu adalah orangnya. Dan nona sendiri sebernay siapakah, benarkah murid Wie Tiong Lan“?

”Bagaimana membuat Pemimpin Bhe percaya bahwa saya adalah murid terakhir suhu Wie Tiong Lan dan bernama Liang Mei Lan“? Mei Lan malah berbalik bertanya.
Nampak Pemimpin Bhe berpikir sejenak, tetapi tidak lama kemudian terdengar dia berkata:

”Nona, Wie Tiong Lan terkenal sebagai salah seorang maha guru yang gaib dewasa ini. Tentunya nona mengerti bila lohu meragukanmu“

Liang Mei Lan percaya dengan kalimat yang diucapkan Bhe Thoa Kun, karena itu otaknya yang cerdik cepat bekerja. Dan dalam sekejap tiba-tiba otaknya yang nakal sudah menemukan akal cemerlang, tiba-tiba badannya terbang ke arah tembok bagian atas, dan tidak tanggung-tanggung, bersama tubuhnya juga melayang tubuh kudanya disertai ringkikikan ngeri kudanya, dan dalam sekejap Liang Mei Lan sudah menghadapi Bhe Thoa Kun di atas tembok. Dengan ringan dia bertanya dan berkata:

”Apakah Pemimpin Bhe melihat bahwa gerakanku tadi adalah Sian Eng Coan In, ilmu ginkang kebanggaan suhu?
Tapi Bhe Thoa Kun belum pulih dari keterkejutannya melihat demonstrasi ginkang yang terlalu luar biasa. Diapun sanggup meloncat dari bawah ke atas tembok itu, tetapi meloncat sambil duduk di atas pelana kuda dan kudapun melayang ke atas, dia yakin yang mampu melakukannya hanya bisa dihitung dengan jari tangan.
”Bagaimana pemimpin Bhe, apakah aku pantas menjadi murid suhuku“? Mei Lan bertanya lagi melihat Bhe Thoa Kun masih tersengat keterkejutan, demikian juga anaknya Bhe Kong yang menatap Mei Lan bagaikan tidak mau berkedip lagi. Masih terperanjat oleh pameran ginkang yang ditunjukkan oleh anak gadis yang mereka ragukan identitasnya itu. Lagipula, gadis kecil yang cantik jelita begini, bagaimana bisa mampu melakukan loncatan yang begitu luar biasa dan layaknya hanya sanggup dilakukan para cianpwe?

”Ach, ech, iya, iya, nona, lohu bisa melihat jika gerakan tadi merupakan andalan Pek Sim Siansu dan Sian Eng Cu Tayhiap. Tapi, siapakah nama nona dan mengapa menjadi murid Paman Kakekku“? bertanya Bhe Thoa Kun menjadi menghormat kali ini.

”Ach ceritanya panjang Pemimpin Bhe. Aku bernama Liang Mei Lan, diangkat dari aliran sungai yang banjir oleh suhu diusia 6 tahun dan dididik sebagai muridnya selama hampir 15 tahun terakhir ini, murid penutup suhu Pek Sim Siansu“ berkata Mei Lan.

”Ach, maafkan lohu bila menjadi kurang hormat terhadap siocia, eh bibi guru. Jika begitu, mari kita masuk ke benteng, tentu Lan Moi akan senang menerima kunjungan bibi guru“ Kali ini pemilik benteng Bhe menjadi begitu menghormati Mei Lan. Karena memang dalam urut-urutan keluarga istrinya, maka Mei Lan akan menjadi bibi guru dari Bhe Thoa Kun. Tapi untunglah Mei Lan bukanlah orang kolot, dengan segera dia menegur dan berkata:

”Ach, pemimpin Bhe, biarlah memanggilku secara wajar, dengan nama ataupu nona. Aku menjadi kurang leluasa menjadi bibi guru dan bisa-bisa segera menjadi nenek guru pula“ Ucapnya sambil melirik Bhe Kong yang mulai menemukan keseimbangan dirinya.

”Ach benar Liang kouwnio, tapi perkenalkan ini anakku Bhe Kong, putra sulungku“ Ujar Thoa Kun sambil memperkenalkan Bhe Kong yang tersipu-sipu memandang Mei Lan, dan kemudian Bhe Thoa Kun mengundang Mei Lan memasuki Benteng Keluarga Bhe. Dan didalam, kemudian diperkenalkan dengan Wie Hong Lan yang juga takjub melihat seorang ”bibi guru“ yang begitu muda, terlalu muda malah karena belum mencapai usia 20an. Tetapi, pesan dan ucapan-ucapan Mei Lan, jelas-jelas merupakan amanat dan kalimat yang hanya mungkin disampaikan Paman kakeknya, walinya yang dihormatinya.

Karena itu, tiada alasan untuk tidak mempercayai status Mei Lan sebagai murid terkecil dari Paman kakeknya Wie Tiong Lan. Bahkan selanjutnya Mei Lan diperkenalkan dengan Bhe Bi Hwa adik perempuan Bhe Kong, juga dengan Bhe Houw dan terakhir dengan Wie Liong Kun yang nampak segagah kakak sulungnya Bhe Kong.

Demikianlah, siang itu juga, Liang Mei Lan dijamu oleh Bhe Thoa Kun sekeluarga dan mereka berbincang-bincang banyak hal. Sementara itu, semakin kentara bahwa Bhe Kong begitu mengagumi Mei Lan, sementara Mei Lan bersikap biasa saja terhadap anak muda itu. Sepanjang perjamuan itu, Bhe Kong terlihat berkali-kali melirik kearah Mei Lan, dan beberapa kali pandang matanya tidak fokus.

Beberapa kali dia memang tersenyum dan tertawa ketika orang banyak tertawa, tetapi nampak jelas jika dia tidak tahu apa yang ditertawakan. Sebaliknya, Mei Lan yang luwes bergaul, justru dengan riang menanggapi percakapan keluarga Bhe, sampai kemudian suatu saat secara hati-hati dia mengatakan bahwa dia bertemu dengan segerombolan orang yang nampaknya bermaksud kurang baik terhadap benteng ini. Padahal, itu memang hanya taktiknya semata guna mendengar lebih jelas apa yang sebetulnya mengancam benteng tersebut. Hal ini juga dilakukan dengan sengaja untuk menutupi tindakan Wie Hong Lan dalam memohonkan bantuan paman kakeknya guna menolong keluarga suaminya.

”Apa maksudmu Liang Kouwnio“ wajah Bhe Thoa Kun berubah menjadi lebih serius, sangat serius malah.

”Semalam aku memergoki 7 bayangan hitam yang menjarah beberapa rumah di dusun Ki Ceng. Kemudian ternyata mereka bermarkas di hutan lebat sebelah selatan dusun itu dan jumlah mereka nampaknya lebih 150 orang. Sempat kuintai mereka dan mengatakan bila tidak segera ada kepastian, kita menyerang lusa pagi. Dan pemimpin mereka dipanggil dengan sebutan Hu Pangcu“ demikian jelas Mei Lan.

”Benarkah informasi nona“? bertanya Bhe Thoa Kun dengan wajah yang berubah semakin tegang.

”Tidak salah lagi, tapi bolehkah Pemimpin Bhe menjelaskan maksudnya dan apa yang sebenarnya terjadi“? bertanya Mei Lan meski dia sudah tahu selengkapnya. Tapi ini penting untuk menutupi sandiwara utusan Wie Hong Lan yang menemui gurunya di Bu Tong San.

”Hm, baiklah Liang Kouwnio. Karena sebagiannya sudah didengar, biarlah lohu tegaskan bahwa Benteng ini sedang dalam ancaman Thian Liong Pang. Mereka meminta lohu menyerah dan menakluk dalam waktu sebulan, dan besok adalah batas waktunya“ Berkata Bhe Thoa Kun.

”Hm, lancang“ bergumam Mei Lan.

”Benar nona, dan ijinkan lohu untuk mempersiapkan anak murid dalam menghadapi ancaman ini“ Berkata Bhe Thoa Kun seraya akan beranjak.

”Sebentar Pemimpin Bhe. Harap dicatat, bahwa di pihak mereka terdapat Hu Pangcu yang sangat lihay, untungnya aku sempat menghindari serangan jarak jauhnya. Kemudian masih ada seorang yang disebut Houw Ong, juga nampaknya sangat lihay. Selain mereka berdua, masih ada murid Houw Ong dan Pesolek Rombeng Sakti Dari Selatan. Dan mereka akan datang bersama sekitar 150 anak buah mereka. Sebaiknya Pemimpin Bhe memikirkan siasat yang tepat menghadapi mereka dan biarlah aku mencoba memberikan bantuan bagi Benteng Keluarga Bhe atas nama guruku“ Mei Lan berkata.

”Baik nona, betapapun nona adalah bagian keluarga istriku. Bantuan nona kuterima, dan terima kasih atas informasi yang nona sampaikan ini. Akan sangat membantu benteng kami ini“ Bhe Thoa Kun kemudian berlalu bersama Bhe Kong untuk mempersiapkan anak murid mereka.

Kesempatan Bhe Thoa Kun meninggalkan Mei Lan dengan Hong Lan dimanfaatkan Bhe Hujin untuk banyak bertanya mengenai Paman Kakeknya, Wie Tiong Lan. Dan Mei Lan menceritakan keadaan gurunya, termasuk keadaan kesehatan yang makin mundur karena usia tua. Bahkan juga mengatakan waktu 5 tahun terakhir gurunya tinggal diperuntukkan bagi Wie Liong Kun yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga Wie dari jalurnya dan Hong Lan.

Karena itu, Mei Lan juga diperintahkan selain melindungi Benteng Keluarga Bhe, sekaligus juga setelah reda, diharuskan membawa Wie Liong Kun ke Bu Tong San. Bhe Hujin yang sadar betul dengan bakat anaknya yang sudah disaksikannya, merasa sangat senang bila bisa menitipkan anaknya kepada Wie Tiong Lan, salah seorang Maha guru ilmu silat yang luar biasa pada jaman ini. Baru seorang Mei Lan saja, sudah menimbulkan rasa bangga yang luar biasa, dan dia membayangkan anaknya akan tumbuh menjadi pendekar besar melebihi ayahnya.

Demikianlah, Bhe hujin menyepakati, bahkan menyampaikan bahwa pengiriman Wie Liong Kun akan dilakukan sesegera mungkin. Apalagi setelah menyadari batas usia Wie Tiong Lan, Bhe Hujin menyadari perlunya mempercepat proses tersebut. Karena itu dia dengan segera mulai menyiapkan diri dan anaknya untuk memenuhi permintaan Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan menjelang ajalnya.

Pada malam harinya, Mei Lan kemudian ditemui oleh Bhe Thoa Kun dan keduanya membicarakan masalah gempuran pada esok harinya. Sama sekali tidak nampak arogansi dimata Bhe Thoa Kun, mungkin karena dia berhadapan dengan seorang yang kepandaiannya sudah disaksikan sangat luar biasa. Selain itu, dia sudah yakin bahwa Mei Lan adalah murid dari Kakek istrinya, sehingga bukan lagi dianggap orang luar.

Liang Mei Lan menegaskan bahwa dia akan melindungi Benteng itu dengan taruhan nyawanya dan akan langsung menantang Hu Pangcu yang menjadi pemimpin rombongan itu. Hanya, Mei Lan meminta agar diperhatikan benar kehadiran Houw Ong yang dipastikannya memiliki kesaktian yang tinggi. Nampaknya Thoa Kun memang sudah menyiapkan strateginya, tetapi menghadapi Hu Pangcu dia memiliki kesulitan dan untungnya Mei Lan tanpa diminta sudah menawarkan dirinya untuk menghadapi orang tersebut.

Selain membicarakan hal itu, Mei Lan juga mengingatkan agar diperhatikan keselamatan anak-anak keluarga Bhe, terutama Bhe Bi Hwa dan Wie Liong Kun. Dan rupanya sejak malam ini, Thoa Kun sudah mengungsikan mereka di sebuah kamar rahasia dalam keadaaan tertidur bersama Bhe Hujin. Demikianlah, dengan cara itu Bhe Thoa Kun merasa jauh lebih lapang dalam mempersiapkan bentengnya menghadapi serbuan para perusuh dari Thian Liong Pang.

Sementara Mei Lan, setelah bersamadhi selama kurang lebih 4 jam, lepas tengah malam nampak sudah melesat ke wuwungan benteng. Dan tidak lama kemudian sudah berada di benteng penjagaan dan memberi kekuatan dan dorongan moril bagi para penjaga disana. Dengan ketajaman matanya dia mencoba menembus kepekatan dan lebatnya hutan, tetapi masih belum ada tanda-tanda pergerakan lawan. Bahkan firasat kekuatan batinnya juga belum menunjukkan bahwa lawan sudah mulai bergerak.

Tapi entah dikejauhan sana. Mei Lan tidak dapat memastikan. Setelah berkeliling sekali lagi di kompleks perbentengan itu, Mei Lan kemudian kembali dan bersamadhi, beristirahat di kamarnya untuk bersiap dengan pertempuran besar esok harinya. Dia sangat yakin, firasatnya juga menyebutkan demikian, bahwa para perusuh pasti akan menyerang menjelang pagi. Sebagaimana dia mendengar percakapan di perkemahan para penyerang itu. Karena itu, perlu dia menyiapkan diri sebaik-baiknya dalam menyambut serangan tersebut.

Sementara itu, di luar fajar nampaknya sudah akan menyingsing. Tanda waktu setidaknya sudah menunjukkan jam 5 menjelang pagi, tetapi keadaan di luar benteng keluarga Bhe masih tetap lengang. Masih tetap belum ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Tetapi, kali ini, mata tajam dan firasat yang semakin peka yang mulai terlatih baik dari Mei Lan sudah membisikkannya bahwa hutan yang lebat itu sedang bergerak-gerak dan sedang bergolak oleh amarah tertentu.

Karena itu, dibisikkannya kata-kata persiapan kepada semua penjaga, dan diupayakan agar ketika musuh menyerang, banyak yang bisa di lukai atau sebisanya dikurangi jumlah musuh karena perimbangan yang ada tidak menguntungkan pihak Benteng Keluarga Bhe, kecuali penguasaan medan pertempuran. Jumlah penyerang jelas jauh lebih banyak, belum lagi tokoh sakti yang menyertai mereka. Sungguh harus dihadapi dengan kesungguhan dan strategi yang tepat.

Penampilan Benteng keluarga Bhe dibuat seperti tiada penjagaan apapun, dan mengesankan tidak siap diserang pagi itu. Karena hanya seorang atau 2 orang yang dilepaskan berjalan-jalan meronda seperti biasanya, sementara para murid lainnya, sejak menjelang pukul 4 malam sudah diperintahkan untuk rebah dan tiarap dengan tetap memegang senjata, terutama anak panah dan senjata bertempur jarak pendek.

Karenanya, ketika hari semakin terang, pihak Thian Liong Pang masih mengira Benteng Keluarga Bhe tidak menyangka mereka menyerbu di pagi hari. Karena, total hanya 5-6 orang yang nampak sepanjang 20 meter panjang benteng yang memagari pintu masuk ke lembah. Dua orang diujung kiri kanan, 1 orang di masing-masing sisi pintu dan menjaganya dan 2 orang yang berjalan di masing-masing sisi ke sudut-sudut benteng. Keadaan yang memang dikesankan seperti itu, bisa menjebak Thian Liong Pang karena mereka menyerang dengan memandang enteng pihak lawan.

Dan akhirnya, tanda serangan datang juga, diawali dengan sebuah suitan yang sangat nyaring dan memekakkan telinga, kemudian nampak bayangan mengirimkan senjata rahasia ke arah penjaga yang berjaga di kedua sisi. Tidak membuang waktu, Mei Lan mengibaskan lengannya dan serangkum tenaga lembut merontokkan piauw-piauw yang mengarah ke parah penjaga yang berjaga di masing-masing sudut.

Sementara di sudut lainnya, Bhe Thoa Kun bertindak sama, merontokkan dan menghalau piauw yang diarahkan kepada tiga anak muridnya yang berjaga. Mei Lan bahkan bertindak lebih sebat, pengirim piauw diserangnya dengan cara yang sama, tetapi sayang, karena orang itu juga cukup cerdik dan menghindari serangan Mei Lan. Tetapi, bersamaan dengan mundurnya penyerang dengan senjata rahasia tersebut, tiba-tiba ratusan orang yang bersembunyi di hutan meluruk datang. Di hadapan mereka nampak para pemimpin yang berusaha untuk melindungi para penyerang dengan berusaha mendahului menyerang benteng dan menguasai bagian atas benteng.

Sayangnya, mereka tidak memperhitungkan kehadiran Mei Lan yang berada di atas benteng dan mencegah masuknya para penyerang pada tahapan awal pertempuran. Sesuai strategi, maka musuh harus dikurangi sebanyak mungkin sebelum membiarkan mereka masuk benteng. Dan itulah yang dilakukan Mei Lan, dan lebih beruntung lagi, karena ternyata yang menyerang belum termasuk Hu Pangcu yang masih menahan diri untuk ikut menyerang, dan inilah kekeliruan para penyerang. Mereka gagal atau memang tidak peduli atas siapa siapa yang berada di benteng yang mereka tetapkan untuk diserang dan dihancurkan. Bahkan, merekapun tidak menyertakan Hu Pangcu pada awal penyerbuan yang membuat Mei Lan leluasa dalam membantu orang benteng untuk mengurangi jumlah penyerang.

Ketika para pemimpin menerjang tiba, Mei Lan memilih menyerang seorang nenek yang dilihatnya bergerak paling cepat bersama seorang nyonya berpakaian bagaikan harimau yang menyerang sisi kanan. Sementara di sisi kiri, Pesolek Rombeng Sakti dihadapi oleh Bhe Thoa Kun ayah beranak. Ledakan hebat terdengar di sisi kanan, ketika serangan Houw Ong, si nenek raja harimau terbentur keras oleh serangan Pik Lek Ciang Mei Lan. Serangan itu memacetkan terjangan si nenek, sementara nyonya pertengahan umur berpakaian loreng layaknya harimau, malah terpental jauh ke belakang dan nampaknya terluka berat.

Dan bersamaan dengan itu, Pesolek Rombeng Sakti juga tertahan terobosan mereka oleh Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong berdua. Ketika keempat orang itu terpental ke bawah, pada saat itu anak buah mereka, juga sudah berada dalam jarak tembak anak panah, dan meluncurlah komando Bhe Thoa Kun, ”SERAAAAAAAANG“.
 
2 Pertempuran di Siau Yau Kok bagian 2





Serentak anak murid Benteng Keluarga Bhe yang mendekam di balik tembok bangkit dan meluncurlah puluhan anak panah silih berganti kearah para penyerang yang sudah berada di bawah tembok. Dalam waktu sekejap, sekurangnya 10 orang penyerang sudah tertembus anak panah, untungnya Houw Ong bergerak-gerak menghalau serangan anak panah tersebut, jika tidak, tentunya akan jauh ebih banyak lagi korban yang jatuh.

Dan kebetulan hal itu disaksikan oleh Mei Lan, dia melirik sekali lagi ke arah Bhe Thoa Kun untuk mengulangi perintah memanah, dan ketika dilakukan dengan kecepatan tinggi dia melayang turun dan menyerang Houw Ong dengan hebat. Kembali serangan dengan menggunakan Pik Lek Ciang dilancarkannya kearah Houw Ong yang dengan segera berkelit, tetapi akibatnya lebih banyak lagi anak buah mereka yang tertembus anak panah.

Sementara di tempat lain Pesolek Rombeng Saktipun dihajar dengan piauw dari Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong, akibatnya mereka tidak mampu menghalau anak panah yang menerjang anak buah mereka. Dalam dua kali serangan anak panah, setidaknya 30 penyerang tertembus panah, sebagian besar meinggal dan sebagian terluka tetapi praktis tidak mampu berkelahi lagi. Sementara di pihak Benteng Keluarga Bhe, bahkan yang terlukapun belum ada karena dipihak yang menguntungkan.

Disinilah letak kekeliruan penyerang yang memberi keleluasaan kepada pihak lawan untuk mengurangi jumlah mereka akibat memandang sebelah mata keampuan yang tersimpan dalambenteng itu. Bahkan akibat kelalaian dengan tidak menyertakan Hu Pangcu, membuat mereka kehilangan banyak anak buah dan kekuatan. Karena Houw Ong sendirian ternyata tidak sanggup menahan serangan Mei Lan, kekuatan tak terduga dalam benteng itu.

Pada saat itu, kembali Mei Lan melambaikan tangan agar serangan dilakukan lagi, dan sesaat kemudian puluhan anak panah nampak kembali meluncur dari atas ke arah anak buah Thian Liong Pang. Tetapi kali ini, anehnya puluhan anak panah tersebut seperti membentur badai dan nampak berbelok arah dan tidak satupun para penyerang berhasil dilukai.

Dan Mei Lan tahu apa artinya. Sambil kembali tangannya melambai ke arah Bhe Thoa Kun, sebuah serangan kilat diarahkannya ke Houw Ong yang kembali menghindar, tetapi sebuah serangan dari Ban Hud Ciang yang disempurnakannya diarahkan ke sebuah gundukan semak-semak sambil berteriak dengan lengkingan yang luar biasa. Nampak serangkum hawa pukulan yang berkeredep kebiruan mengarah ke semak-semak tersebut, dan orang yang berada dibaliknya mau tidak mau harus menangkis atau berkelabat meinggalkan tempatnya. Tetapi nampaknya dia memilih untuk mengukur kekuatan penyerangnya, karena itu terdengar benturan yang luar biasa dahsyatnya:

”Blaaaaaar“, bahkan rumput dan semak sekitarpun nampak berguguran akibat benturan pukulan tersebut. Tetapi, tubuh Mei Lan yang sempat terdorong mundur, sudah dengan cepat kembali melayang dengan menimbulkan bayangan laksaaan telapak tangan yang mengarah kepada orang yang menangkis pukulannya tadi.

Orang itupun dengan sigap segera menyiapkan dirinya untuk memapaki pukulan yang perbawanya menggetarkan hatinya, dan tidak menyangka ada orang selihay itu dalam benteng keluarga Bhe. Hatinya mencelos, karena dalam tangkisannya tadi, terasa benar kalau tenaga lawan tidak berada di bawah kekuatannya. Apalagi, melihat kembali hampir 20 orang anak buahnya tertembus anak panah lawan, dan nampaknya akan terus terjadi apabila dibiarkan terus keadaan tersebut.

Tetapi, pada saat Mei Lan melakukan serangan-serangan ke arah Hu Pangcu yang memang lihay itu, Houw Ong dengan segera berkelabat keatas benteng, dan dari sanalah musibah mulai menimpa Benteng Bhe juga. Beberapa tangkisan dan pukulannya dengan segera membawa korban yang tidak kecil diantara anak murid keluarga Bhe. Terlebih kemudian dari balik para penyerang berjubah hitam, tiba-tiba bermunculan barisan warna-warni yang memang diandalkan untuk menggedor benteng keluarga Bhe ini.

Dan inilah juga kekeliruan kesekian kalinya dari para penyerang. Keadaan dan medan di perkampungan keluarga Bhe, berbeda dengan perkampungan lain. Medan disini berbatu-batu dan tanah bertingkat-tingkat, hal yang membuat barisan warna-warni tidak bisa bertarung mengandalkan keampuhan barisannya, tetapi hanya bisa mengandalkan kemampuan silat anggotanya. Sedangkan kemampuan silat mereka per anggota, terhitung tidak istimewa, mereka menjadi sangat berbahaya bila bertarung dalam satu barisan. Yang memiliki kemampuan lebih dan cukup tinggi, hanya pemimpin masing-masing barisan.

Tetapi, begitu melihat medan pertempuran, sadarlah mereka bahwa keadaan kurang menguntungkan, karena posisi berubah menjadi sama kuat. Tetapi apa boleh buat, serangan sudah terlanjur dilakukan dengan optimisme berlebihan, seakan takkan ada perlawanan yang cukup dari lembah ini. Ternyata kenyataan yang ditemukan, berbeda jauh dengan yang kemudian mereka hadapi. Selain medannya tidak bersahabat, juga ada tokoh lihay yang bahkan sanggup menghadapi Hu Pangcu yang selama ini dianggap dan menganggap dirinya tiada lawannya, kecuali Pangcu Thian Liong Pang.

Dalam posisi sama jumlah pasukan, di dataran yang lapang dan luas, maka penyerang pasti dengan mudah dan cepat akan menerkam Benteng Keluarga Bhe. Tetapi, dengan kondisi saat ini, maka keunggulan penyerang berkurang banyak. Paling mereka mengandalkan Houw Ong, dan ke-4 Pemimpin Barisan Warna-Warni, serta Pesolek Rombeng Sakti. Apalagi, karena lebih 50an manusia berjubah hitam sudah terbantai di luar, pertandingan relatif menjadi berimbang.

Memang masih ada keuntungan karena Houw Ong nampaknya bisa menekan Bhe Thoa Kun, sedangkan Pesolek Rombeng Sakti dengan Hwe Tok Ciangnya hanya mampu bertanding seimbang dengan Bhe Kong. Sedangkan pemimpin barisan warna-warni dikeroyok anak murid Bhe Thoa Kun sehingga menimbulkan keseimbangan, meski sedikit mengkhawatirkan keadaan Benteng keluarga Bhe. Meskipun memang anak murid benteng Bhe bertarung habis-habisan dan terbiasa dengan medan, tetapi apabila dilanjutkan keadaannya cukup mengkhawatirkan juga.

Pertandingan semakin lama semakin seru, korban dikedua pihak semakin lama semakin bertambah. Keadaan Bhe Thoa Kun semakin lama semakin mengkhawatirkan, jatuh dibawah tekanan Houw Ong. Karena betapapun Houw Ong memang adalah tokoh kaum sesat yang memang lihay, dia adalah Pek Bin Houw Ong. Kelihayannya sebenarnya bukan olah-olah, Bhe Thoa Kun sendiri sudah jatuh dalam kesukaran yang sulit ditanggulanginya. Bahkan beberapa bagian pakaian dan kulitnya sudah terkena cakaran harimau yang dimainkan dengan lincah dan akurat oleh si nenek.

Sedangkan anak buahnya, juga sebagian besar mulai mengalami kelelahan akibat mengeroyok ke-4 pemimpin duta warna dan barisan warna-warni penyerang. Yang bertempur seimbang hanyalah Liang Mei Lan melawan Hu Pangcu dan Bhe Kong yang menghadapi Pesolek Rombeng Sakti dengan posisi sedikit lebih unggul. Jelas, pertarungan bila dilakukan dalam waktu yang lebih lama, keunggulan Houw Ong akan menentukan hasil pertempuran. Dijatuhkannya Bhe Thoa Kun akan membuat keseimbangan hilang dan dikhawatirkan banyak korban akan dijatuhkan si Houw Ong ini.

Dalam keadaan yang gawat bagi Benteng Keluarga Bhe, tiba-tiba melayang dari bawah dan langsung terjun ke pertempuran sesosok tubuh dengan jubah kelabu. Dia langsung menyerang Pek Bin Houw Ong dan berbisik kepada Bhe Thoa Kun:

”Bhe Hengte, bantulah anakmu dan anak muridmu, biarkan iblis ini menjadi lawanku“
Bhe Thoa Kun melihat bagaimana tangkisan si pendatang berjubah kelabu ini mementalkan cakar harimau Houw Ong dan segera percaya, bahwa si pendatang ini sanggup menahan Houw Ong.

Dan benar saja, beberapa gerakan si pendatang segera membuat Bhe Thoa Kun tersenyum. Tidak salah, itu adalah ilmu Bu Tong Pay, dan tidak perlu dicemaskannya orang dengan gerakan selincah dan selihay itu dengan dasar Bu Tong Pay. Dia segera melirik medan, dan melihat anaknya bisa mengatasi Pesolek Rombeng Sakti, tetapi anak buahnya kepayahan mengahdapi 4 pemimpin duta warna.

Dengan segera dia berkelabat mendatangi mereka dan tanpa tedeng aling-aling menyerang para pemimpin duta tersebut. Anak murid Benteng keluarga Bhe yang mulai putus asa menjadi kembali bersemangat dan kembali dengan dahsyat menggempur lawan ketika keempat lawan lihay kini dihadapi Ketua mereka. Bahkan dengan cepat keempat lawan tersebut sudah jatuh di bawah angin dan keteteran menghadapi Bhe Thoa Kun yang sedang meluap kemarahannya.

Keadaan kembali bergeser, korban kembali berjatuhan dan semakin banyak di pihak Thian Liong Pang. Bahkan, meskipun harus terluka tangan kirinya, tetapi Bhe Kong nampak sanggup mendaratkan tongkat besinya ke pinggang Pesolek Sakti dan membuatnya muntah darah. Dan belum sempat pesolek sakti kembali memperbaiki posisinya yang terpukul, meskipun Rombeng Sakti mengincar tangan dan pundak kanannya, dengan menggunakan Sin Coa Cun, dia menotok mengundurkan serangan Rombeng Sakti dan sebuah sodokan kedada Pesolek sakti tak terhindarkan lagi.

Pesolek sakti mendengus tertahan dan kemudian nampak rebah tak berdaya, tak ketahuan mati hidupnya. Sementara itu, Rombeng Sakti yang melihat pasangannya roboh menjadi mata gelap, dengan kalap dia menyerang dengan segenap kekuatan Hwe Tok Ciangnya. Tetapi hawa api beracunnya bisa dikelit dengan tangkasnya oleh Bhe Kong yang menggunakan Yan Cu Hui Kun dan dengan gesitnya balik mengancam kedua tangan Rombeng Sakti. Keduanya terus saling serang, tetapi karena serangan Rombeng Sakti sudah tidak teratur dan cenderung nekad dan kalap, sementara Bhe Kong bersilat dengan tenang, mantap dan kokoh, mengganti-ganti serangannya dengan Sin Coa Kun dan Yan Cu Hui Kun, akhirnya suatu saat mampu mematahkan serangan Rombeng Sakti dengan melepaskan totokan maut yang dengan telak mengenai jalan darah kematian Rombeng Sakti dibagian kening sebelah kiri.

Tanpa mengeluh panjang Rombeng Sakti kemudian roboh perlahan, terlentang dan seperti tak percaya menjumpai ajal di tangan anak muda ini. Kemenangan Bhe Kong semakin memperbesar rasa percaya diri orang-orang Benteng Bhe yang terus mendesak dan menyerang para penyerang dari Thian Liong Pang.

Sementara itu, Pek Bin Houw Ong yang dihadapi si pendatang yang bukan lain Sian Eng Cu Tayhiap segera menyadari dengan siapa dia berkelahi. Tetapi, apabila dulu dia masih sanggup mengimbangi, jikapun kalah tidak terlalu jauh jaraknya, kini dia bahkan selalu terdesak. Adalah wajar, karena kemajuan Sian Eng Cu, terutama beberapa tahun terakhir adalah karena kemurnian dasar Sinkang dan Ilmu Silat.

Sebaliknya, Pek Bin Houw Ong, selain mempelajari ilmu sesat, juga sering membiarkan konsentrasinya buyar oleh banyak keinginan sesat lainnya. Tidaklah heran bila sekarang jurang perbedaan ilmu keduanya justru demikian lebar. Baik ginkang maupun sinkang, apalagi ilmu pukulan, dia sudah tertinggal dari Sian Eng Cu, dan hanya karena kasihan terhadap nenek ini sajalah maka Sian Eng Cu menahan tangan mautnya terhadap pek Bin Houw Ong.

Keseimbangan pertarungan mereka semakin lama semakin pincang, karena Houw Ong sudah kehilangan selera berkelahinya. Selalu dalam desakan Sian Eng Cu membuatnya kalut, ditambah dengan memperhatikan medan yang makin tidak mengtungkan. Bahkan, diapun melihat Hu Pangcu dilawan secara ketat oleh seorang nona, sungguh tiada harapan menaklukkan benteng keluarga Bhe ini. Kemenangan semakin lama dirasakannya semakin menjauh dan semkain sulit diupayakan.

Sementara itu, dua diantara 4 pemimpin duta warna juga sudah menggeletak tak berdaya terkena hantaman tangan Bhe Thoa Kun. Dan di sisinya, berkelahi anak buahnya dengan penuh semangat dan semakin lama semakin mengurangi jumlah penyerang mereka, meskipun jumlah korban di pihak keluarga Bhe juga sudah cukup banyak. Tetapi, pertempuran di dalam benteng nampaknya akan segera selesai, terutama setelah Houw Ong tertahan, Pesolek Rombeng Sakti keok dan sekarang Bhe Kong ikut membantu anak buah mereka melawan para penyerang.

Tidak beberapa lama kemudian, kedua pemimpin duta warna lainnya mengerang lirih dan terpukul jatuh, sementara jumlah penyerang juga terus menyusut, bahkan menyusul jatuhnya para pemimpin duta warna, para anggota barisan duta warna juga menyusut dengan drastis. Tetapi, hebatnya, tiada seorangpun yang menyerah, tiada seorangpun yang mengedorkan perlawanan meski semangat mereka sudah kabur. Karena, jikapun selamat dari pertempuran ini, hukuman yang lebih berat malah menanti mereka di Thian Liong Pang.

Karena itu, tiada kata menyerah, dan dengan terpaksa dan berat hati, Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong melanjutkan usaha untuk membasmi para penyerang sampai habis. Menjelang tengah hari dan bahkan matahari mulai miring ke barat, akhirnya pertempuran berhenti. Bahkan Houw Ong yang sudah kewalahan menghadapi Sian Eng Cu, dibiarkan meloloskan diri dengan membawa luka-luka dalam yang cukup parah.

Bagaimanakah keadaan Mei Lan? Keputusannya mengikat Hu Pangcu dalam pertempuran memang tepat, meskipun dia keliru menilai kemampuan Houw Ong. Untungnya, diluar sepengetahuannya, Suhengnya Sian Eng Cu juga datang ketempat ini membayanginya sehingga kehancuran Benteng Keluarga Bhe bisa dihindari. Setelah menggempur Hu Pangcu dengan Ban Hud Ciang, Mei Lan dengan cepat dan pesat sudah kembali menyusulkan pukulan-pukulan dari jurus yang sama.

Tetapi, kecepatannya yang menggiriskan itu yang membuat Hu Pangcu tertegun dan seakan susah mempercayai bahwa dara mungil yang cantik ini mampu bergerak secepat itu. Untungnya, diapun memiliki bekal yang luar biasa, dan dengan cepat bisa menemukan keseimbangan dan cara bagaimana menghadapi Mei Lan. Benturan dan adu ilmu selanjutnya tak terhindarkan antara mereka, hal yang semakin lama semakin mengejutkan Hu Pangcu. Semakin dilawan semakin terasa betapa besar kandungan ilmu sakti dalam diri dara muda yang nampak masih bau kencur itu.

Bagaimana tidak terkejut, lawannya adalah seorang anak gadis remaja, tetapi bahkan kekuatan sinkangnya bukan olah-olah hebatnya, apalagi kecepatan dan ginkangnya. Kecepatan yang sungguh tak tertandingi leh kemampuannya sendiri. Sungguh dia sadar takkan sanggup menandingi kecepatan lawannya itu. Bahkan ketika bersilat dengan Ilmu Siang Ciang Hoan Thian – Sepasang Tangan Membalik Langit Mei Lan tetap sanggup menandinginya. Pukulan-pukulan Thai Kek Sin Kun dan Pik lek Ciang digunakannya untuk menandingi dan mengimbangi Ilmu Pukulan Hu Pangcu yang membahana. Keduanya tidak sanggup saling mengungguli dalam penggunaan masing-masing ilmu tersebut, meskipun Hu Pangcu menang matang dan latihan, tetapi kecepatan Mei Lan membuatnya sulit bernafas dan menarik keuntungan dari kematangannya.

Hu Pangcu menjadi semakin heran dan terkejut, karena ketika meningkatkan penggunaan ilmunya dengan Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut), toch tetap bisa dilayani dengan baik oleh Mei Lan yang bersilat dengan Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa). Tidak nampak anak gadis itu terdesak dan jatuh di bawah angin, sebaliknya malah memberi serangan balasan yang mampu membuatnya kerepotan dalam menghindar dan menangkis.

Berkali-kali tangannya menggapai, menerjang dan menotok seakan sudah akan menyentuh badan Mei Lan, tetapi dengan gerakan yang tak masuk di akal, masih tetap bisa dielakkan dan nyasar. Bahkan terus dibarengi dengan pukulan dan sentilan balasan yang tidak kurang berbahayanya dan yang harus dielakkan atau ditangkis dengan sepenuh tenaga. Lama-kelamaan Hu Pangcu ini menjadi berkeringat dingin, baru menghadapi anak remaja semacam ini, selaku Hu Pangcu dia sudah kerepotan.

Apa kata kawan-kawannya? Apa kata Pangcu terhadap hasil kerjanya ini? Terlebih dia tidak mengetahui nasib anak buahnya yang sudah meluruk masuk kedalam benteng keluarga Bhe. Untuk melepaskan diri dari belitan anak ini bukan buatan sukarnya, karena dia tidak sama sekali unggul melawan anak ini. Sinkangnya dirasakannya tidak melebihi anak gadis ini, sementara ginkangnya jelas tertinggal. Satu-satunya kelebihan Hu Pangcu hanyalah pada pengalaman dan kematangan dalam latihan. Selebihnya, dia tidak berani mengklaim memenangkan pertandingan atau setidaknya berada diatas kemampuan Mei Lan.

Berpikir akan kegagalan yang membayang dimatanya, tiba-tiba dia mulai bersilat dengan gaya yang agak aneh. Inilah Ilmu ciptaannya bersama Pangcu thian Liong Pang yang misterius itu, yakni Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Dengan ilmu tersbeut beberapa kali dia semburkan keluar dengan menyertakan hawa keji yang terkandung dalam pukulan Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang). Hebat akibatnya, Mei Lan mengenal pukulan dan hawa beracun, dan untungnya gurunya adalah seorang maha guru dunia persilatan Tionggoan yang mengerti segala jenis Ilmu Pukulan sesat.

Dia membiarkan tubuhnya sedikit terbawa angin pukulan lawan, dan pada saat melayang mundur itulah, dia mengelilingi tubuhnya dengan hawa saktinya untuk mengusir hawa sesat Tok-hiat-coh-kut. Dan setelah merasa tiada halangan, tubuhnya kembali mumbul ke atas dan dari atas tiba-tiba kedua tangannya berubah laksana laksaan telapak tangan dewa yang turun bagaikan hujan di bumi. Itulah gaya jurus pertama Ban Hud Ciang ”Laksaan Tapak Budha Menerjang Bumi”, hanya bedanya di tangan Mei Lan bukan hanya kerasnya hawa “yang” yang menonjol, tetapi juga kelemasan dalam gerak dengan hawa “im” yang membuat jurus-jurus Ban Hud Ciang menjadi sangat ampuh. Nampak laksaaan telapak tangan seperti beradu cepat, beradu tepat dengan gerak tangan Hu Pangcu, dan sedetik kemudian mereka berpisah.

Tetapi, dan disinilah keunggulan Mei Lan, dengan cepat dia meletik dengan cara mematahkan hukum gravitasi dan kembali melesat dengan gaya “Laksaan Tapak Budha Membayangi Udara”, jurus Kedua dari Ban Hud Ciang. Hu Pangcu terkesiap, dia belum siap benar, tetapi laksaan tapak Budha sudah kembali mengurung tubuhnya, dengan gopoh dia mainkan gaya “Bumi merana, alam menggelepar“, tubuhnya seperti bergoyang-goyang mudah roboh, tetapi dengan cepat kokoh kembali dan menyerang lawan dengan kedua tangan kosongnya. Tetapi efeknya hanya menghalau sementara Pukulan Ban Hud Ciang, karena dengan cara yang sama, jurus ketiga sudah kembali mengarah dirinya dengan gaya ”Laksaan Tapak Budha laksana halilintar“.

Tetapi, Hu Pangcu juga bukan orang sembarangan, terlebih Ilmu yang dimainkannya juga bukan ilmu sembarangan. Hanya karena kecepatan mendesak dan memilih jurus yang tepat yang membuatnya jatuh di bawah angin dan selalu didesak Mei Lan dengan jurus-jurus berat. Tetapi, karena kecepatan dan ketepatan mengganti jurus, maka sampai jurus kedelapan dari Selaksa Tapak Budha, yakni ketika Mei Lan mainkan gaya “Tapak Budha Mendorong Awan“, tidak terasa kembali terjadi benturan dahsyat antara keduanya.

Tapi posisi dan kedudukan Hu Pangcu yang tercecar membuatnya dalam posisi kurang kuat dan kurang baik dalam adu tenaga. Dan dia sadar betul, bahwa Mei Lan pasti dengan cepat akan mematahkan tenaga luncurannya untuk kembali menyerang, karena itu, dibiarkannya tubuhnya meluncur dan bahkan dari jauh dikerahkannya ilmunya yang terakhir Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah), juga jurus ciptaan bersama Pangcu thian Liong Pang.

Dan Mei Lan segera mengenali pukulan maut, dan dengan merasa terpaksa dikerahkannya puncak penggunaan Ban Hud Ciang pada jurus ke-11 ”Budha Merangkul Langit dan bumi” dan dari kedua tangannya meluncur cahaya biru sembilu menyambut lontaran tenaga sakti Hu Pangcu. Dan sekali lagi terdengar benturan dahsyat:

”Blaaaaaaar, dhuaaaaaar“ batu-batu sekitar tubuh keduanya beterbangan, bahkan rerumputan dan daun di sekitar tubuh Mei Lan berguguran. Sementara itu, Hu Pangcu nampak memang sudah berniat untuk mengundurkan diri setelah menemukan kenyataan betapa kuat dan betapa lihay lawan mudanya ini. Karena itu, dibiarkannya dirinya terbawa dorongan pukulan Mei Lan, tetapi masih sempat disaksikan Mei Lan bahwa di bibir bawah Hu Pangcu meleleh darah segar.

Nampaknya Hu Pangcu terluka, tetapi dia sendiripun tidak luput dari getaran terhadap tenaga sinkangnya. Karena itu, ketimbang mengejar Hu Pangcu, dipusatkannya pikiran, apalagi setelah melihat suhengnya Sian Eng Cu mendatangi. Dengan cepat dia bersila, berkonsentrasi dan mengedarkan tenaga saktinya keseluruh tubuh, bahkan mengusir hawa racun yang sempat menyusup dan tidak berapa lama kemudian pernafasannya terasa lega dan semangatnyapun pulih kembali. Dan yang pertama dilihatnya ketika membuka mata adalah pandangan khawatir dan sayang dari suhengnya:

”Suheng, aku sudah tidak apa-apa. Bagaimana keadaan di dalam“? aku sempat melihat suheng berkelabat masuk, tetapi Hu Pangcu ini ternyata lihay luar biasa. Pantas suhu mati-matian mempersiapkan kita. Hebat, hebat benar Hu Pangcu itu“ bisik Mei Lan, karena baru pertama kali ini dia menghadapi lawan yang begitu sakti dan kuatnya. Bahkan sanggup menggetarkan kekuatan sinkangnya dan membuatnya harus melakukan samadhi mengusir hawa racun dari tubuhnya yang sempat masuk melalui hawa pukulan Hu Pangcu.

”Sudahlah sumoy, bahaya telah lewat. Tiada seorangpun kelompok perusuh yang bersedia menyerah, yang terakhir hiduppun menenggak racun yang telah disiapkan, tiada jejak sekalipun yang bisa membawa kita ke markas mereka. Tapi keluarga Bhe sudah bebas dari bahaya“ Sian Eng Cu menghibur sumoynya dengan informasi keberhasilan membantu benteng keluarga Bhe.

”Nona, sungguh mimpipun lohu tidak membayangkan kepandaian nona begitu luar biasa. Sungguh keselamatan keluarga Bhe adalah akibat bantuanmu yang tidak kecil, juga jasa Sian Eng Cu Tayhiap yang menarik nyawaku dari jurang kematian“ Bhe Thoa Kun mendatangi dan menyampaikan ucapan terima kasihnya. Sementara di dalam, puluhan murid yang tidak terluka sedang membenahi keadaan. Hampir 25 anak murid mati terbunuh, sementara sekitar 12 luka berat dan sisanya sekitar 15 lagi luka ringan. Artinya, lebih dari setengah jumlah anak murid keluarga Bhe menjadi korban dari penyerangan brutal ini.

Sementara itu, Bhe Kong juga mendatangi, kali ini perasaannya sudah lebih terkontrol, apalagi setelah menyaksikan pertarungan bagian terakhir Mei Lan melawan Hu Pangcu. Sungguh tergetar hatinya melihat kesaktian Mei Lan yang sulit diukurnya lagi, baik pergerakannya, sinkangnya yang melahirkan dan mendatangkan cahaya kilat biru yang menusuk tajam, sungguh membuat matanya silau.

Seandainya dia yang harus menangkis, mungkin baru kilatan cahaya biru dari kedua tangan Mei Lan sudah merontokkan nyali dan perasaannya, apalagi harus menerima hentakan sinar kilat membiru itu. Karena itu, dengan tulus disampaikannya ucapan terima kasih:

”Liang Kouwnio, atas nama seluruh keluarga Bhe, sayapun berterima kasih. Nona sungguh hebat. Paman kakek buyut memang tidak kecewa mendidik nona hingga sedemikian lihay“ terkandung rasa iri terhadap paman kakek buyutnya, Wie Tiong Lan yang menjadikan Mei Lan selihay itu. Mengapa bukan dirinya yang mewarisi kehebatan ilmu itu?

”Sudahlah Kong Toako, persoalan yang harus diselesaikan masih sangat banyak. Lebih baik kita selesaikan urusan di lembah ini secepatnya, karena korban yang jatuh nampaknya tidaklah kecil“ jawab Mei Lan yang segera diiyakan oleh Bhe Kong, karena memang diapun melihat korban di pihaknya juga bukannya sedikit. Meskipun jauh lebih banyak korban dipihak para perusuh yang boleh dikata selain Houw Ong dan Hu Pangcu semuanya tewas terbunuh dalam pertempuran, atau bunuh diri dengan menenggak racun yang agaknya memang dipersiapkan apabila mereka menghadapi kegagalan. Sayang bagi Mei Lan dan Sian Eng Cu, mereka tidak menemukan anak buah perusuh yang hidup untuk dimintai keterangan.

Sian Eng Cu dan Mei Lan masih tinggal selama 4-5 hari di Lembah Siau Yau kok, menemani Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong serta Wie Hong Lan dalam membenahi Lembah. Untuk kemudian pada hari kelima, sesuai amanat guru mereka Wie Tiong Lan untuk membawa Wie Liong Kun menghadap dan berguru kepadanya. Sian Eng Cu Tayhiap bahkan menjelaskan bahwa Wie Liong Kun hanya akan dididik selama 5 tahun oleh suhunya, dan setelah itu akan mengikuti Sian Eng Cu yang akan menjadi gurunya sampai tamat mempelajari Ilmu-Ilmu pusaka Bu Tong Pay dan ilmu Pusaka ciptaan Wie Tiong Lan.

Tentu saja, setelah menghadapi kejadian yang begitu mengerikan, Bhe Thoa Kun menjadi gembira anak bungsunya pergi mengikuti paman kakek buyutnya di Bu Tong Pay. Meskipun hanya 5 tahun, tetapi dia sadar apa artinya 5 tahun bagi seorang sesakti Wie Tiong Lan yang sanggup menciptakan gadis remaja nan sakti seperti Mei Lan. Bahkan Mei Lanpun menyatakan kesediaannya dan berjanji untuk ikut mendidik Liong Kun kelak sebagai sutenya. Hal yang menambah kegirangan keluarga Bhe, terlebih Wie Hong Lan.

Diiringi ucapan terima kasih penghuni lembah Siau Yau Kok, akhirnya Mei Lan dan Sian Eng Cu Tayhiap tong Li Koan pergi meninggalkan lembah dengan membawa Wie Liong Kun. Keduanya juga kemudian berpisah, karena Mei Lan ingin melanjutkan penyelidikannya atas Thian Liong Pang yang konon akan meluruk ke keluarga Yu. Sementara Sian Eng Cu, harus kembali sejenak ke Bu Tong San untuk mengantarkan Wie Liong Kun dan kemudian kembali turun gunung membantu tugas sumoynya.

Karena dia sadar benar, bahwa tenaga Mei Lan seorang diri masih belum memadai, sebagaimana disaksikannya di lembah Siau Yau Kok. Untungnya dia membayangi Mei Lan, sehingga bisa membantu Lembah Siau Yau Kok tepat pada waktunya. Karena itu, Sian Eng Cu kemudian mempercepat langkahnya ke Bu Tong Pay dan berusaha mempersingkat waktu perjalanan, karena masalah dunia persilatan juga bergerak sangat cepat.
 
BAB 19 menjadi duta agung
1 menjadi duta agung




Setelah ditempah kembali selama 2 tahun setengah oleh suhunya, Kiang Ceng Liong akhirnya kembali turun gunung. Kali ini, Kiang Ceng Liong yang telah menjadi anak muda berbadan kokoh dan tegap ini turun dari bukit tempat gurunya bertapa dengan langkah penuh keyakinan. Wajahnya yang gagah dan tampan nampak menjadi lebih berwibawa, apalagi dengan ketenangan yang memang dimilikinya secara lahiriah telah menyatu dengan kematangan penguasaan baik ilmunya maupun dirinya.

Kepercayaan atas dirinya sendiri telah meningkat jauh seiring dengan semakin matang usianya dan semakin sempurna Ilmunya. Terlebih, kini dia telah mengenal siapa dirinya, mengenal keluarganya, dan sadar bahwa dia berasal dari keluarga terhormat yang punya sejarah panjang dalam dunia persilatan. Kakeknya atau gurunya, telah menceritakan selengkapnya keadaan keluarganya, sejarah lembahnya, tokoh-tokohnya dan juga apa yang pernah terjadi pada masa lampaunya.

Bahkan apa yang terjadi dimasa dia kehilangan ingatan, sudah diceritakan dan diketahuinya dari Tek Hoat, Kim Ciam Sin Kay dan juga tentu gurunya. Dan kini, memasuki usia yang ke-20, dia kembali memasuki lembah keluarganya, Lembah Pualam Hijau dan sebagaimana amanat gurunya, dia harus memasuki dengan cara terhormat, memperkenalkan dirinya dan mengatasi masalah yang sedang dialami Lembah itu. Dan itulah tugas utamanya dewasa ini.

Pada saat-saat terakhir sebelum turun gunung, Ceng Liong masih didesak gurunya untuk mendalami ilmu mujijat lainnya “Tatapan Naga Sakti“. Anehnya dia kadang mampu melakukannya melontarkan hawa mematikan melalui matanya, tetapi kadang juga macet. Dia sendiri masih belum mengerti mengapa kadang dia mampu melakukannya, dan kadang tidak mampu. Padahal, beberapa kali dia menguji sesuai petunjuk Kian Ti Hosiang ketika di dibangunkan malam hari dan secara terpisah diajak bicara oleh Padri tua Siauw Lim Sie itu.

Dibukakanlah oleh Kian Ti Hosiang soal kemungkinan pengembangan ilmu itu. Berdasarkan hal itu, maka Ceng Liong melatihnya, dan setelah setahun lebih, dia mulai bisa melontarkan kekuatannya melalui matanya. Mulanya kekuatan yang biasa saja, hanya sanggup menggoyangkan dedaunan, tetapi lama kelamaan kekuatan tersebut berkembang seiring dengan latihan konsentrasi yang diajarkan Kian Ti Hosiang. Bahkan, kekuatannya berkembang jauh setelah dia melakukan samadhi 3 hari 3 malam yang membuatnya mulai mampu melontarkan cahaya berkilat yang menghancurkan.

Tetapi, toch, setelah semakin berkembang sangat kuat dan mematikan, Ceng Liong menemukan kenyataan pahit dan yang membingungkannya. Kadang dia sanggup melontarkannya dengan hasil yang mencengangkan, tetapi tidak jarang tidak sanggup melontarkan kekuatan itu sama sekali. Dia sendiri bingung menghadapi kenyataan tersebut dan tidak sanggup menguraikannya, karena dia merasa tidak ada yang salah dari apa yang dipelajarinya.

Apalagi, bisa jadi hari ini dia gagal, eh tapi besoknya dia berhasil, dan bisa jadi esoknya lagi gagal. Ketika dibahas bersama gurunyapun, ternyata tetap saja belum ada kemajuan yang menjadi pegangan kenapa kadang dia mampu melakukannya dan kadang tidak mampu. Padahal, sepengetahuannya, semua tahapan yang dinyatakan Kian Ti Hosiang sudah dilengkapinya dengan tekun. Biasanya, sesuai petunjuk Kian Ti Hosiang, Ceng Liong melatih ilmu itu pada waktu malam.

Setelah didesak gurunya untuk turun gunung, akhirnya Ceng Liong menyerah dan menyerahkan kepada kehendak alam, apakah dia akan mampu menguasainya suatu saat atau tidak. Biarlah kesempurnaannya dia temukan dalam pengembaraannya kelak. Apalagi, menurut gurunya, dengan kemampuan Ceng Liong sekarang ini, tanpa ilmu itupun sudah sangat luar biasa. Bahkan tanpa disadari oleh Ceng Liong, pada puncak pengerahan Soan Hong Sin Ciang dengan menggunakan paduan atau varian yang dikelolah Tek Hoat, dari tubuh mereka memancar hawa panas yang sangat tajam menusuk.

Begitupun ketika dia memainkan Pek Lek Sin jiu, badannya mampu memancarkan hawa panas menusuk yang akan sangat mempengaruhi lawannya ketika bertarung. Kemampuan ini diperolehnya setelah dia menggunakan waktu 3 hari 3 malam untuk merenung Ilmu Tatapan Naga Sakti, yang efek lainnya adalah menilai kembali kemampuan Ilmu lainnya. Justru dengan cara ini, dia mampu meningkatkan penguasaan dan penggunaan Ilmu-ilmu sakti lainnya.

Bahkan sudah bisa merendengi kemampuan 4 tokoh besar pada 40 tahun sebelumnya, ditambah dengan kemajuannya yang masih sangat muda, maka ilmunya pasti akan berkembang sangat pesat. Itulah sebabnya, gurunya berani untuk mengatakan bahwa tanpa ilmu tersebut, Ceng Liong sudah sangat memadai kepandaiannya. Bahkan untuk mencari padanannya di Tionggoan saja sudah sangat sulit.

Begitulah, akhirnya Ceng Liongpun turun gunung, dengan tujuan pertama sesuai perintah kakekny adalah Lembah Pualam Hijau. Dan anehnya, entah bagaimana, dengan mudah Ceng Liong bisa mencapai pintu masuk lembah, bahkan jalan-jalannya terasa sangat dihafalnya di luar kepala. Kakinya seperti secara otomatis melangkah, dan tidak lama setelah turun dari pertapaan kakeknya, dia sudah berdiri di pintu masuk lembah. Dia tidak merasa asing dengan pintu masuk itu, bahkan dia bisa dengan mudah menerobosnya, tetapi dia teringat pesan kakeknya merangkap gurunya.

Bahwa, jika dia sendiri tidak menghormati tata krama lembahnya, mana bisa orang lain diharapkan melakukannya? Karena itu dengan sabar dia menunggu. Dan memang, tidak lama kemudian nampak ada orang yang menyongsongnya untuk menanyakan keperluannya. Tetapi, belum sempat orang yang datang menyelesaikan kalimatnya untuk bertanya maksud kedatangan Ceng Liong, dia justru terbelalak melihat anak mudah gagah yang berdiri dihadapannya, nampak asing tetapi seperti sangat dekat dan sangat dikenalnya:
”Anak muda, ap...ap...apa maksud kedatanganmu“? tanya orang itu pangling dan nampak seperti setengah linglung memandangnya.

Bahkan bicaranyapun terdengar gagap saking tegangnya memandang Ceng Liong.
Samar-samar, Ceng Liongpun seperti masih mengenali orang yang berada dihadapannya, tetapi ingatan yang hilang dan dalam waktu yang lama tidak melihat orang ini, membuatnya sulit untuk menentukan alias lupa-lupa ingat. Meskipun demikian, dia tahu, bahwa didalam lembah ini, kerabat dekatnya yang tertinggal, hanyalah bibinya yang bernama Kiang Sian Cu, yang merupakan kakak dari ayahnya, Kiang Hong. Karena itu, perlahan Ceng Liong menjura bahkan kemudian menyembah dengan haru dan berkata:

”Bibi yang baik, ponakanmu Ceng Liong datang menghadap“

”Ceng Liong“? ya tentu saja, wajahmu adalah wajah ayahmu. Kening dan alismu adalah milik ibumu, Bi Hiong. Tidak salah lagi dan takkan mungkin salah“ Wajah yang sayu itu, nampak berbinar gembira dan terharu sejenak. Tapi tidak lama kemudian dengan suara yang lebih tenang setelah sanggup menguasai dirinya dan perasaannya, dia menarik dan membangunkan Ceng Liong. diraba-rabanya wajah anak muda itu, karena sudah lama dia tidak bertemu baik dengan anak ini yang hilang di usia hampir 8 tahun, maupun kedua adik kembarnya yang juga sudah 10 tahunan lebih lenyap tidak bertemu dengannya. Karena itu dengan penuh rasa haru dan gembira, dirabanya wajah Ceng Liong dan kemudian kembali dia berdesis:

”Ya, tidak mungkin salah. Kamulah satu-satunya penerus keluarga Kiang kita yang sedang merosot tajam saat ini. Untunglah kamu datang anakku, bibimu ini sudah terlalu lelah menanggung beban ini sendirian” Setelah mengucapkan hal tersebut, tiba-tiba wanita perkasa ini menangis sedih di dada Ceng Liong. Airmatanya menetes deras membasahi pakaian Ceng Liong yang juga menjadi terharu dengan keadaan dan beban yang dipikul bibinya.

Meskipun bibinya juga adalah wanita perkasa, tetapi dengan begitu banyak beban yang harus dipikul untuk kebesaran nama keluarga dan lembah ini, wajar bila dia menangis menemukan orang yang tepat dan berhak melanjutkan tugasnya. Selama ini, betapa ingin dia membagi dengan orang lain, tetapi selain suaminya yang juga menjadi Duta Hukum dan sekarang menjaga lembah mereka, siapa lagi? Padahal yang seharusnya memikul itu adalah adiknya, jika bukan Kiang Liong yang sakit jiwa, ya harusnya Kiang Hong. Tetapi keduanya hilang dan mengharuskan dia yang menanggung beban berat nama besar keluarga itu. Sementara pada saat yang sama, kedua tokoh utama Lembah Pualam Hijau yang masih diketahuinya, juga ikut menjadi misteri, yakni ayahnya Kiang Cun Le dan Kiang In Hong. Jadi, bisa dibayangkan betapa gembira dan terharunya ketika dia menerima kedatangan Ceng Liong.

”Bibi, siapa-siapakah kerabat kita yang masih tinggal di lembah ini? Mengapa lembah ini seperti menjadi demikian senyap“? bertanya Ceng Liong setelah sekian lama membiarkan bibinya melepaskan bebannya. Karena diapun mengerti sebagaimana disampaikan kekek buyutnya, betapa berat beban yang disandang bibinya ini dalam mempertaruhkan dan menjaga kehormatan Lemba mereka. Setelah lama dia membiarkan ikut hanyut dan kemudian bisa menguasai dirinya, dia bertanya.

”Ceng Liong, seharusnya di Lembah ini tinggal Duta Agung, yakni ayahmu Kiang Hong dan duta Luar, yakni ibumu. Sementara bibimu adalah Duta Dalam. Selanjutnya kita memiliki 3 duta Hukum, salah seorang duta Hukum hilang bersama ayah ibumu, sementara dua sisanya adalah pamanmu dan salah seorang murid Kakekmu Kiang Cun Le menggantikan Duta Hukum yang terbunuh dahulu kala.

Diantara kerabat kita, Kiang Cun Le kakekmu masih sering muncul di lembah ini, meski teramat jarang karena lebih banyak bersamadhi. Kemudian Pamanmu, kakak kembar ayahmu Kiang Liong, tetapi dia juga menghilang belasan tahun. Masih ada Kiang In Hong, tetapi Bibi itu sudah menjadi Liong-i-Sinni, Padri Wanita Sakti di daerah Lautan Timur. Kemudian 6 duta perdamaian, semua adalah didikan kakekmu tidak ada lagi yang berani meninggalkan Lembah karena yang bisa memerintah mereka adalah ayahmu, Duta Agung“ Jelas bibi Sian Cu.
”Mari Ceng Liong, kita masuk ke lembah dan nanti ceritakan pengalamanmu selama menghilang dan mengembara. Ayah cuma sering mengatakan bahwa suatu saat engkau akan kembali, tapi jelasnya ayah tidak pernah memberitahu“ sambung Kiang Sian Cu.

Melihat kehangatan dan rasa kasih bibinya, serta juga beban berat yang dipikul bibinya, akhirnya Ceng liong kemudian menceritakan semua apa yang diketahuinya. Yakni sejak dia ditemukan Tek Hoat dan Mei Lan, kemudian diambil murid kakek buyutnya, berguru selama 10 tahun, pergi membantu Kay Pang dan membebaskan Kim Ciam Sin Kay Kay Pang Pangcu, untuk kemudian kembali digembleng kakeknya di tempat pertapaannya. Semua diceritakan dengan gamblang, kecuali beberapa bagian yang dia sendiri tidak ingat lagi.

Seperti ceritanya dengan Giok Hong yang nampaknya hanya dia dengan Kim Ciam Sin Kay yang mengetahui dan menyimpan cerita itu rapat-rapat. Selebihnya, dia juga merahasiakan tempat pertapaan gurunya, sebagaimana yang dipesankan oleh guru sekaligus kakek buyutnya. Dan juga akhirnya dia bercerita akhirnya kakek buyut memintanya untuk kembali ke lembah dan mengatasi persoalan yang dihadapi Lembah Pualam Hijau.

”Ach, bahkan ternyata engkau secara ajaib diselamatkan dan diambil murid oleh Kakek Buyut. Lebih mengagetkan lagi, ternyata kakek Sin Liong masih hidup. Ach, jodoh, jodoh, siapa sangka engkau begitu beruntung dididik langsung oleh orang tua itu Ceng Liong. Bagaimana kabar kakek Buyut itu“?

”Usianya sudah lebih dari 100 tahun bibi, tetapi masih tetap sehat. Bahkan sesekali dia datang ke lembah ini untuk menengok keadaan dan keselamatan lembah kita ini“ berkata Ceng Liong.

”Ach, pantaslah tetap tidak ada yang berani menyatroni lembah ini. Ternyata selain ayah, kakek buyut juga sering datang melindungi lembah” Berkata Kiang Sian Cu sambil mengingat beberapa kali dia secara aneh terlepas dari kesulitan ketika sedang dibawah tekanan tokoh tertentu. Dan tiba-tiba tekanan tersebut menjadi lepas sama sekali, dan tanpa berkata apa-apa tokoh tersebut, termasuk Siangkoan Tek dan juga seorang sesepuh Lam Hay, berlalu dari hadapannya. Ternyata bukan Cuma ayah, tetapi ada juga campur tangan kakek buyut. Syukurlah, pikirnya. Perasaan senang, tenang dan nyaman mengetahui ternyata Lembah Pualam Hijau masih memiliki sandaran yang luar biasa hebatnya, segera terpancar dari sinar mata Kiang Sian Cu.

”Baiklah Ceng Liong, berhubung orang tertua di tempat ini adalah bibimu ini, dan peraturan Lembah Pualam Hijau menyebutkan harus ada pemegang kekuasaan Lembah Pualam Hijau dalam menanggulangi bencana rimba persilatan, maka rasanya sudah waktunya engkau yang mengemban tugas ayahmu. Ayahmu sudah menghilang hampir 10 tahun, dan akibatnya rimba persilatan menjadi morat-marit oleh teror banyak pihak. Sudah saatnya engkau tampil. Terlebih engkau dididik oleh kakek buyut, bibimu percaya engkau bahkan tidak kalah dari ayahmu. Tapi untuk meyakinkan diriku, pamanmu dan para tetuah lembah, biarlah besoh kita melakukan ujian dan proses pengangkatan Duta Agung Lembah Pualam Hijau“ berkata Sian Cu.

”Bibi, tetapi aku masih terlalu muda, bagaimana mungkin mampu dan bisa mengemban tugas seberat ini“?

”Tidak mungkin ditunda lagi. Begitu engkau lulus ujian besok, Medali Pualam Hijau harus kau kalungi. Untunglah hanya Pedang Pualam Hijau yang dibawah ayahmu dulu. Sehingga masih ada satu tanda pengenal Duta Agung yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan mengatur“ tegas bibinya.

”Tapi, bibi Sian Cu, bukankah”

”Tidak ada tapi lagi. Kakek dan ayahmu juga menerima pengangkatan di usia muda, hanya kamu sedikit lebih muda dibandingkan ayahmu“ Potong Kiang Sian Cu sebelum Ceng Long menyelesaikan kalimatnya.
”Kecuali, jika tidak ada lagi rasa hormatmu atas kebesaran dan kehormatan keluargamu dan Lembah ini“ tambah Kiang Sian Cu keren dan dengan suara bergetar menahan tangis. Suara Bibinya itu menggetarkan sukma Ceng Liong, dan otomatis juga menyentuh rasa hormat dan kebanggaannya atas kebesaran keluarganya. Karena itu, setelah beberapa lama termenung, akhirnya dengan suara bergetar dia berkata:

”Baiklah bibi, demi nama besar dan kehormatan keluarga Kiang dan Lembah Pualam Hijau, biarlah tecu memberanikan diri menerima hal itu” Akhirnya dengan berat hati Ceng Liong mengiyakan dan dengan demikian selanjutnya tinggal menunggu ujian besoknya.

Karena dalam aturan Lembah Pualam Hjau, ada syarat minimal yang harus dipenuhi oleh calon Duta Agung yang akan mewarisi Pedang Pualam Hijau dan Medali Pualam Hijau. Sungguh beruntung, Kiang Hong ketika pergi, hanya membawa Pedang Pualam Hijau dan meninggalkan medali pualam hijau. Dengan demikian, maka meskipun Kiang Hong, Duta Agung Lembah pergi membawa Pedang Pualam Hijau, tetapi masih ada tanda pengenal Duta Agung yang lain. Bilapun Kiang Hong kembali suatu saat, toch yang menggantikannya adalah anak sulungnya, tidak akan terjadi apa-apa.

Besoknya, di Lian Bu Thia Lembah Pualam Hijau, nampak sudah berbaris para tetuah Lembah Pualam Hijau. Di barisan paling depan, hanya diduduki 1 orang, yakni Kiang Sian Cu, 2 kursi lainnya kosong, yang harusnya ditempati Ayah dan Ibu Ceng Liong selaku Duta Luar dan Duta Agung. Pada baris kedua, ada 2 kursi yang terisi, merupakan baris dari Duta Hukum, satu kursi kosong dan belum terisi karena petugasnya hilang bersama Kiang Hong.

Sementara baris ketiga, 6 kursi penuh terisi, para Duta Perdamaian yang tidak bisa bertugas selama Bengcu atau Duta Agung tidak memberikan perintah. Setelah semua siap, tiba-tiba Kiang Sian Cu memerintahkan Ceng Liong untuk maju kedepan, bersamaan dengan dirinya juga mencelat ke panggung Lian Bu Thia. Nampaknya, upacara pengangkatan Duta Agung yang harus diawali dengan ritual pengujian calon Duta Agung akan segera dilakukan. Sebagai keturunan keluarga Kiang tertua di Lembah Pualam Hijau dewasa ini, maka menjadi tugas dan kewajibannyalah untuk melaksanakan ujian dan pengangkatan. Semua sesuai dengan aturan turun temurun di Lembah. Kemudian nampak Kiang Sian Cu dengan penuh hikmat berkata sambil memegang Medali Pualam Hijau:

”Menurut aturan Lembah, maka pewaris Duta Agung, wajib memiliki tato giok ceng dipundak kanan. Ceng Liong, tunjukkan pundak kananmu kepada semua orang di ruangan”

Ceng Liong yang seba sedikit mengerti upacara keluarganya, segera membuka jubah di pundak kanannya, dan memang disana ada tato Giok ceng, sebagai tanda dia benar keturunan keluarga Kiang. Kemudian, kembali terdengar suara Kiang Sian Cu sambil memegang Medali Pualam Hijau:

”Menurut aturan kedua, calon Duta Agung harus sanggup memainkan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun dan Giok Ceng Kiam Hoat. Kiang Ceng Liong, perlihatkan penguasaanmu atas kedua Ilmu Pusaka Keluarga”

”Baik, maafkan kebodohanku” sambil berkata demikian, Ceng Liong segera membuka jurus Giok Ceng Cap Sha Sin Kun, dan kemudian bersilat mengikuti ajaran gurunya. Gerakannya mantap, bahkan angin berkesiutan dari kedua tangannya yang bergerak-gerak kokoh. Sinkangnya, sudah pasti adalah gemblengan Giok Ceng, dan dengan demikian dia sanggup memainkan semua jurus maut keluarganya itu dengan sempurna.

Sangat sempurna malah. Bahkan ketika memainkan Giok Ceng Kiam Hoat, tanpa menggunakan pedang, hanya dengan memanfaatkan Hawa Pedang di tangannya, semua orang menahan nafas. Karena yang sanggup memainkan Ilmu ini sedemikian tajam, berkesiutan bagai benar ada pedang di tangan, bahkan Kiang Hongpun masih belum sanggup. Seingat mereka, hanya Cun Le dan In Hong yang terakhir sanggup melakukannya, itupun di usia mereka yang memasuki 30tahunan. Dan saat ini, Ceng Liong sanggup melakukannya bahkan dengan baik dan seperti sudah terbiasa. Setelah menyelesaikan semua Ilmu itu, kemudian Ceng Liong menjura kepada Kiang Sian Cu:

”Bibi, sudah selesai, bagaimana penilaian bibi dan para tetuah Lembah Pualam Hijau”? bertanya Ceng Liong polos tanpa maksud dan keinginan untuk mendapatkan pujian.

”Menurutku lulus, bagaimana menurut saudara sekalian”? Sian Cu bertanya

”Lulus” semua berteriak sepakat.

”Baiklah Ceng Liong, engkau telah melalui dua ujian awal. Ujian ketiga dan yang terakhir adalah, engkau harus sanggup bertahan dari sergapan 6 duta perdamaian selama sedikitnya 50 jurus. Keenam duta ini dilatih khusus dengan barisan pedang Giok Ceng, dan selama 50 tahun terakhir digunakan sebagai ujian terakhir calon duta agung. Ayahmu, sanggup bertahan sampai 65 jurus waktu menghadapi Barisan 6 Pedang, kakekmu sanggup bertahan sampai 70 jurus, dan sekarang terserah sampai berapa jurus engkau bisa bertahan” Berkata Kiang Sian Cu. Dan kemudian melanjutkan:

”Enam duta perdamaian”

”Siap“

”Maju dan uji calon Duta Agung Lembah”

”Baik” dan dengan tangkas ke-6 duta perdamaian sudah melesat ke panggung. Dan dengan tidak banyak bicara, sudah langsung menerjang Ceng Liong dengan Pedang terhunus di tangan masing-masing. Tidak lama terdengar desing pedang menderu-deru diseputar Ceng Liong, seakan-akan hawa pedang sudah mengurung tubuhnya. Tetapi, meskipun masih sangat muda, Ceng Liong sudah mengalami beberapa pertarungan yang mendebarkan. Karena itu, dia tidak menjadi gugup.

Sebaliknya, dengan tangkas dia bergerak, dan yang lebih luar biasa lagi, terkadang dia berani menyentil ujung pedang, baik ujung tajamnya maupun bilah ketajaman pedang. Dan dengan segera Ceng Liong bersilat dengan Ilmu keluarganya, Giok Ceng Kiam Hoat untuk mengimbangi desing dan cicit pedang yang membahana. Tetapi, Ilmu Pedang dengan menggunakan kekuatan sinkang tangannya, ternyata sanggup menahan semua serangan yang dilakukan oleh 6 duta perdamaian yang menyerang dan bertahan dengan sangat cepat, tepat dan lincah. Bahkan ketika Ceng liong mencoba mengadu tenaga, dia terkejut karena ke-6 orang ini, sanggup menggabungkan tenaga mereka dan menindih kekuatan Sinkangnya. Hebat, pikir anak muda ini.

Tetapi, bukan berarti Ceng liong kehilangan pegangan menghadapi barisan pedang keluarganya. Dia sadar, bahwa mengadu tenaga dengan membiarkan mereka berenam menyatukan kekuatan, lebih banyak merugikannya, dan karena itu dia harus mencoba dengan kecepatan. Karena itu, dia kemudian memainkan Ilmu Langkah Sakti berputar, dan dengan langkah ini dia bisa menyelematkan diri sampai 20 jurus lebih.

Dengan Giok Ceng Kiam Hoat, dia bertarung selama lebih 20 jurus, dengan demikian masih dibutuhkan 10 jurus lagi baginya untuk lulus. Apakah Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Sin Ciang ada gunanya? Pikirnya. Coba saja, mungkin bermanfaat. Maka kembali dia mengganti ilmu Silatnya dengan mengandalkan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut yang digabungkannya. Tangan kanannya menggunakan Ilmu pukulan, sementara tangan kiri menggunakan hawa pedang, dan kembali dengan jurus ini dia sanggup bertahan bahkan selama lebih dari 15 jurus, dan sampai disini dengan demikian sebenarnya dia sudah lulus.

Tetapi, tiada perintah berhenti dari Sian Cu, dan nampaknya ke-6 duta perdamaian tahu bahwa mereka tidak boleh berhenti sampai ada ketentuan yang mengatur selesai tidaknya ujian tersebut. Dengan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, Ceng Liong sudah melampaui batas jurus ayahnya bisa bertahan. Dan sekarang dia mencoba memainkan kembali Soan Hong Sin Ciang yang disempurnakan oleh ide Tek Hoat, dari mengandalkan kelemasan, tiba-tiba dia memasukkan unsur “yang“ dalam serangan tangannya. Dan efeknya cukup luar biasa, selama ini hanya angin dan badai membahana yang dikenal sebagai efek dari Soan Hong Sin Ciang,.

Tetapi tiba-tiba Ceng Liong memainkannya dengan sedikit perbedaan. Dan ternyata, dia sanggup menggetar mundur setindak beberapa pedang yang mengancamnya. Ketika kemudian mencoba lagi, beberapa pedang yang mengitarinya, kembali tertolak oleh sejenis hawa khikang yang lahir dari paduan tenaga ”im“ dan ”yang“ yang lahir secara otomatis disekitar tubuhnya. Ceng Liong menjadi gembira, dan baru menyadari bahwa ternyata temuan Tek Hoat sungguh sangat bermanfaat mengahadapi barisan pedang.

Kini bahkan dia tidak ragu, hanya dengan memanfaatkan gabungan sinkang ”im” dan ”yang“ ternyata membuatnya menjadi memiliki khikang pelindung badan. Khikang itu nampaknya cukup ampuh dan tangguh, dan dengan tenaga itu dia kemudian berani menangkis dan menghalau bayangan ribuan pedang yang mengancamnya. Kembali hampir 20 jurus berlalu, tetapi jelas selama ini, Ceng Liong memang lebih banyak diserang daripada menyerang.

Sekarang, bahkan batas bertahannya Cun Le sudah bisa dilampauinya, dan dia bahkan masih sanggup bertarung terus. Apalagi, kemudian dia memainkan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), dengan Sinkangnya yang telah matang terlebur. Bayangan pedang memang tetap mengejarnya, tetapi awan sakti yang mengepul mengitari tubuhnya membuat semua bayangan pedang tersebut terpental menjauh dan tak sanggup mendekatinya.

Kekuatan Khikang atau hawa pelindung badan Ceng Liong, tanpa disadarinya sudah meningkat sangat jauh, hingga mampu membelokkan arah serangan dan tebasan pedang. Nampaknya, Ceng Liong sendiri belum begitu menyadarinya. Bahkan awan yang diciptakan tangan dan tubuhnya, sesekali menyerang kelompok dan barisan pedang tersebut, dan sesekali terdengar teriakan kaget mereka. Karena itu, akhirnya barisan pedang tersebut, nampak merapatkan diri, dan seolah menjadi satu. Sementara Ceng Liong yang terus bersilat dengan indah dan bebas dengan ilmunya yang terakhir.

Anak muda ini tidak mau menggunakan Pek Lek Sin Jiu yang bukan ilmu keluarganya, tetapi dengan ilmunya dia nampak semakin aman dengan kabut dan awan khikang yang dihasilkannya. Tetapi, justru pada saat itu, barisan pedang 6 duta perdamaian, merasa baru kali ini bertarung sampai tingkat yang sangat menentukan. Dan di kalangan keluarga Lembah Pualam Hijau, juga baru kali ini Barisan Pedang Enam Duta Perdamaian disaksikan dimainkan sampai pada tingkat tertingginya untuk menguji seorang calon Bengcu.

Nampak Ceng Liong semakin meningkatkan perbawanya, sementara 6 duta perdamaian sudah tiba pada puncak penggunaan barisan dan menyiapkan jurus terakhir, ”6 pedang terbang pualam hijau”, yang bahkan melawan musuhpun belum pernah dilakukan. Karena biasanya, lawan terberat yang mereka hadapi dalam sebuah pertempuran, paling banyak bertahan sampai pada jurus ke 50, jikapun ada yang melampauinya paling-paling Kiang Hong dan Kiang Cun Le itulah. Karena itu, bukan hanya keenam duta perdamaian yang memegang pedang dan sedang menguji itu yang dihinggapi ketegangan, tetapi bahkan seluruh isi ruangan menahan nafas untuk menyaksikan akhir dari pertempuran yang sebetulnya merupakan sebuah ujian tersebut. Tetapi pada saat kedua pihak sudah siap melakukan puncak penggunaan ilmu masing-masing pada jurus ke 110, terdengar sebuah seruan dan bentakan halus:

”Tahan, Liong Jie tahan dirimu” dan kibasan tangan kakek tua yang baru datang kemudian membentur Ceng Liong, yang goyah sesaat tetapi kemudian tenang kembali. Selain itu, kakek itu juga berseru:

”Barisan 6 pedang pualam hijau, tarik tenaga kalian“ sebuah kibasan tangan kini juga diarahkan kearah 6 orang yang nampak menyatu itu. Dan terdengar kemudian suara desisan dan mencicit, ketika tenaga bersatu ke-enam orang ini membentur tenaga kibasan orang tua yang baru datang.

”Kakek buyut” Kiang Sian Cu yang sudah puluhan tahun tidak melihat Kiang Sin Liong memandang dengan tercengang orang tua yang datang mencegah benturan puncak pada ujian Silat tersebut. Dan dengan tergesa kemudian datang berlutut melihat orang tua yang mereka sangat kagumi sejak kecil, dan ternyata masih tetap hidup hingga saat ini meski kelihatannya sudah sangat tua renta. Da sudah mendengar dari Ceng Liong bahwa orang tua ini masih hidup. Betapa terharu hatinya ketika dia masih diberi kesmepatan bertemu dengan kakek buyutnya yang dikenal sebagai salah satu tokoh gaib rimba persilatan dewasa ini.

”Hm, Sian Cu, kupahami, betapa begitu berat kamu menanggung beban ini sendirian bersama suamimu dan saudaramu yang lain. Karenanya hari ini kukirim keponakanmu datang“ ujar kakek gaib itu sambil mengelus kepala Sian Cu yang merasa terharu karena ternyata Kakek Buyutnya selama ini melindunginya. Melindungi lembah mereka secara diam-diam dan memperhatikan bagaimana perjuangannya dalam menjaga nama baik Lembah mereka.

”Kalian, 6 pedang Giok Ceng, jika berbenturan dengan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari) dari Liong Jie, bisa dipastikan kalian semua akan bercacat. Dan mungkin Liong Jie juga akan terluka cukup parah. Tentunya hal ini tidak kita inginkan bersama” Dan semua orang tercekat mendengar kemungkinan yang terjadi bila benturan itu terjadi. Semua tentu tidak meragukan penjelasan Kakek buyut mereka yang sudah berusia sangat lanjut ini.

Dan, semua jadi kaget membayangkan betapa saktinya anak muda ini sekarang, bahkan jauh melampaui ayah dan kakeknya ketika menerima jabatan Duta Agung. Tetapi semua segera maklum mengingat anak muda yang akan segera menjadi Duta Agung ini, merupakan didikan dan binaan langsung manusia ajaib dari Lembah Pualam Hijau, Kiang Sin Liong dan Kiang Cun Le.

”Baik lohu maupun cucuku Cun Le, sudah mengorbankan banyak tenaga dan pikiran untuk melatih Liong Jie, tentu saja kita tidak ingin merusaknya dan bahkan merusak kekuatan lain lembah ini hanya karena sebuah ujian yang jelas sudah dilewatinya“.

Kemudian kakek tua ini menoleh kepada Kiang Ceng Liong dan melanjutkan ujaran-ujarannya:

”Liong Jie, sudah saatnya pembersihan atas keluarga kita dilakukan. Temukan Ayah dan Ibumu dan bersihkan nama baik lembah ini. Ingat, sekali lagi, bertindak tegas bagi yang bersalah, siapapun. Sekali lagi siapapun dia, dan jangan sekali bimbang. Karena taruhannya adalah nama dan kehormatan keluarga dan juga masa depan dunia persilatan. Karena untuk itulah kakekmu Cun Le berkorban dan untuk itulah Kakek buyutmu ini keluar dari pertapaan.

Kakekmu Cun Le dengan sengaja menghindari tugas ini dan menyerahkan ke angkatan yang lebih muda, karena ada persoalan keluarga kita yang sekarang mengguncang dunia persilatan. Dengarkanlah Bibimu Sian Cu, karena selama ini beban berat nama baik lembah sudah diembannya, bahkan dengan melebihi tanggungjawab dan kemampuannya. Sian Cu, kurestui sejak saat ini Ceng liong menggantikanmu menanggung beban yang memang harus dipikulnya“ ujar kakek sakti ini kepada semua yang hadir yang kini bersujud dan menyebahnya.

”Sekarang, kalian semua berdiri, lanjutkan upacara keluarga untuk menetapkan Liong Jie menjadi Duta Agung, dan kemudian lakukan yang harus dikerjakan. Sekaligus, sejak hari ini aku akan kembali melanjutkan tapaku untuk menyongsong ujung usiaku. Inilah untuk terakhir kalinya kukunjungi lembah ini, karena inilah tugas hidupku yang terakhir”.

”Kong chouw, mengapa tidak berada di lembah ini saja“? berkata Sian Cu

”Selama ini, memang aku berada di lembah ini, cuma sambil bertapa. Tetap lakukan tugas kalian masing-masing dan biarlah aku orang tua memberkati semua yang kalian kerjakan“ dan begitu kalimat itu berakhir, tiada orang yang sempat menyaksikan bagaimana Kiang Sin Liong menghilang dari depan mereka semua. Yang pasti dihadapan mereka sudah tidak terlihat Kiang Sin Liong dengan semua rambutnya yang telah memutih. Raib begitu saja, kendati dalam ruangan itu terdapat begitu banyak tokoh sakti Lembah Pualam Hijau.

Akhirnya, dengan penuh rasa takjub atas Kiang Sin Liong dan Kiang Ceng Liong, upacara terus dilanjutkan. Rasa penasaran 6 Duta Perdamaian yang sekaligus menjadi Barisan Pedang Pualam Hijau hilang terhapus sama sekali begitu Kiang Sin Liong mengingatkan mereka. Bahkan mereka memandang Duta Agung muda yang akan ditetapkan sebentar lagi itu dengan wajah kagum dan takjub, karena belum pernah mereka mengalami bertarung dengan tokoh seliat dan selihay Kiang Ceng Liong.

Dan upacara dipimpin oleh Kiang Sian Cu, sebagai keturunan Kiang yang tertua yang hadir pada saat itu. Dia memimpin Kiang Ceng Liong untuk memberi hormat kepada leluhurnya, memberi hormat kepada Lembah Pualam Hijau dan mengucapkan janji sebagai Duta Agung. Pada bagian akhir upacara itu, Kiang Sian Cu mengalungkan Medali Pualam Hijau kepada Kiang Ceng Liong. Upacara itu hanya kurang dengan penyerahan Pedang Pualam hijau, tetapi tetap sah, karena simbol Medali Pualam Hijau sama dengan Pedang Pualam Hijau, sebuah pertanda kekuasaan Duta Agung sekaligus Bengcu Dunia Persilatan. Dan sejak saat itu, Kiang Ceng Liong resmi memegang jabatan sebagai Duta Agung Dunia Persilatan. Bagi Lembah Pualam Hijau, Ceng Liong menjadi Duta Agung termuda dalam sejarah lembah itu meskipun secara terpaksa didorong oleh keadaan yang teramat mendesak.

Dan belum lagi sempat Kiang Ceng Liong menarik nafas panjang dalam membenahi Lembah Pualam Hijau dengan belajar dari bibinya yang tetap bertindak sebagai Duta Dalam, sudah datang permintaan bantuan. Kali ini, bukan hanya meminta tanggungjawabnya sebagai Bengcu menggantikan ayahnya, tetapi bahkan juga tanggungjawab terhadap keluarga. Karena permohonan bantuan, datang dari Perguruan Keluarga ternama di Luar Kota Lok Yang, Perguruan Keluarga Yu.

Alias perguruan keluarga neneknya, ibu Kiang Hong, Kiang Liong dan Kiang Sian Cu yang bernama Yu Hwee. Kiang Sian Cu tersentak mendengar ancaman terhadap keluarga ibunya dan secara otomatis dia terkenang akan Kakeknya, pamannya dan keluarga Yu lainnya yang darah mereka juga mengalir dalam darahnya dan darah adik-adiknya termasuk darah Kiang Ceng Liong. Karena itu, dengan segera permohonan bantuan keluarga Yu dijawab secara spontanitas oleh Kiang Sian Cu, bahwa Lembah Pualam Hijau akan datang membantu Keluarga Yu.

Hari-hari awal menjadi Bengcu dilalui Ceng Liong dengan penuh kesibukan dan sangat melelahkannya. Lebih melelahkan dari belajar ilmu Silat, pikirnya. Tetapi, dia memang harus mengerti aturan serta tata krama menjadi Duta Agung sekaligus Bengcu bagi dunia persilatan. Karena itu, dia harus mengenal tokoh-tokoh utama dunia persilatan dan hubungannya dengan Lembah Pualam Hijau, bagaimana bersikap dan seterusnya. Sebuah pelajaran baru yang sangat meletihkannya.

Tetapi selepas mempelajari aturan-aturan dan tata krama, Ceng Liong juga ikut berlatih bersama Barisan 6 Pedang Pualam Hijau, yang juga adalah duta-duta perdamaian Lembah Pualam Hijau. Dengan segera diketahuinya tingkat kepandaian masing-masing Duta Perdamaian yang rata-rata dilatih oleh Kiang Cun Le kakeknya. Semuanya mampu memainkan Soan Hong Sin Ciang, Toa Hong Kiam Sut dan Sinkang keluarga Giok Ceng Sinkang, serta juga mahir Giok Ceng Kiam Hoat. Menilik kebutuhan menghadapi arus persaingan dunia persilatan, Kiang Ceng Liong kemudian menurunkan gubahan Tek Hoat atas Soan Hong Sin Ciang yang dipergunakannya menggetar Barisan 6 Pedang Pualam Hijau.

Bahkan dia juga menurunkan beberapa bagian Ilmu Gerak berdasarkan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Karena dia meyakini, bahwa kecepatan gerak yang meningkat, akan sangat meningkatkan kemampuan Barisan 6 Pedang tersebut. Khusus untuk duta perdamaian yang tertua dan yang termuda, masing-masing bernama Suma Bun dan Tee Kui Cu, dia menurunkan secara lengkap ilmu Terbang Di atas Rumput. Pertama karena keduanya memang berbakat bagus dalam Ginkang, dan bentuk tubuh mereka juga lebih ramping dan yang cocok dengan kebutuhan melatih dan memperdalam ginkang, serta kedua, dia bertujuan untuk lebih memfokuskan kedua orang ini guna menyusur jejak maupun menguntit musuh.

Karena itu, Suma Bun dan Tee Kui Cu, menerima warisan lengkap Jouw Sang Hui Teng yang membuat mereka merasa sangat gembira. Selain itu, 4 Duta Perdamaian yang lain dilatihnya cara menggunakan gabungan Toa Hong Kiam Sut dengan Soan Hong Sin Ciang untuk meningkatkan kemampuan Duta Perdamaian Lembah Pualam Hijau.

Setelah mengerti dan melatih secara penuh ginkang Jouw Sang Hui Teng, maka Duta 1 dan duta 6 kemudian ditugaskan Ceng Liong untuk mendahuluinya menuju ke Lok Yang. Tetapi dilarang sekalipun untuk berbenturan dengan siapapun, karena tugas utama mereka adalah mencari berita dan informasi mengenai Keluarga Yu dan rencana serangan Thian Liong Pang. Pada awal bulan ke-8, kedua orang ini kemudian berangkat mendahului Kiang Ceng Liong yang rencananya akan datang sendiri ke rumah asal neneknya, Keluarga Yu di Lok Yang bersama dengan 4 orang Duta Perdamaian lainnya.

Sementara Duta Hukum bersama Duta Dalam, diminta untuk tetap berada di Lembah. Kiang Ceng Liong tidak merasa khawatir dengan keadaan lembahnya, karena dia tahu baik Kakeknya Kiang Cun Le maupun Kakek buyutnya Kiang Sin Liong selalu mengawasi keadaan lembah tersebut. Selain itu, Liang Tek Hoat juga masih berada disekitar Lembah berlatih bersama gurunya.

Selain mempelajari aturan, tata krama dan mengajar 6 Duta Perdamaian, Kiang Ceng Liong juga tidak lupa pesan kakeknya agar terus memperkuat Kekuatan ”Im” melalui pembaringan Giok Ceng. Kali ini, pembaringan Giok Ceng memang menjadi pembaringannya setiap malam, karena pembaringan Giok Ceng rahasia keberadaannya hanya diwariskan kepada setiap pewaris Duta Agung. Dan kebetulan, Ceng Liong sejak kecil memang sudah diarahkan sebagai pewaris Duta Agung dan sudah sering berbaring di pembaringan ini sejak masa kecilnya.

Begitupun, waktu sebulan setiap malam berbaring di atasnya, tanpa disadarinya terus memperkuat dan meningkatkan penguasaan dan pengendapan tenaga “im” dalam tubuhnya, yang kemudian pada subuhnya diimbanginya dengan meningkatkan kekuatan “yang” melalui latihan Pek Lek Sin Jiu. Latihannya dalam penggunaan Pek Lek Sin Jiu boleh dikata sudah sangat matang, karena selain melatih geraknya, dia juga membangkitkan dan memperkuat kekuatan “yang” melalui latihan Pek Lek Sin Jiu. Dan pada awa bulan kedelapan, seminggu setelah keberangkatan 2 orang duta perdamaian, Ceng Liong kembali meleburkan kekuatan “Ím” dan “yang” yang dilatihnya secara tekun dalam sebulan terakhir. Dengan bertekuns emacam itu, maka dia terus mengalami peningkatan, termasuk pematangan hawa khikangnya yang kemudian menyemburkan hawa sangat panas ketika sedang dalam pengerahan Ilmu saktinya.
 
2 menjadi duta agung bagian 2





Hari Ceng Liong memutuskan meninggalkan Lembah Pualam Hijau, adalah hari dimana Liang Mei Lan bertarung mati-matian dengan Hu Pangcu Thian Liong Pang. Seorang pemimpin tertinggi Thian Liong Pang yang pertama kali memunculkan diri selama ini, terhitung sejak mulai mengganas 10 tahun berselang. Kiang Ceng Liong menyuruh 4 Duta Perdamaian mendahului jalannya, dan inilah perjalanan turun gunung pertama anak muda ini dalam kedudukan sebagai Bengcu Dunia Persilatan, atau Duta Agung Lembah Pualam Hijau.

Kiang Ceng Liong yang menggunakan kuda dalam perjalanan ini, melakukan perjalanan dengan kecepatan seadanya, karena dia memang tidak tergesa-gesa untuk mencapai Lok Yang. Dia memperhitungkan akan tiba di Lok Yang sekitar 3-4 hari sebelum batas akhir keputusan keluarga Yu, dan tidak ingin hadir disana sepengetahuan pihak Thian Liong Pang. Itulah sebabnya dia mewanti-wanti Duta Perdamaian untuk tidak mempertunjukkan jati diri mereka. Begitu juga dengan 4 Duta perdamaian yang mengiringinya, dilarang untuk menunjukkan identitas untuk membuat lawan menjadi lengah dan jadinya sempat menyadari keberadaan mereka.

Sepanjang perjalanan menuju Lok Yang, beberapa kali Kiang Ceng Liong menghubungi pusat-pusat Kay Pang di kota yang dilaluinya. Tidak kesulitan baginya untuk menghubungi markas Kay Pang di beberapa kota, karena dia membekal sebuah Tanda Pengenal Kim Ciam Sin Kay. Selain itu, nama Ceng-i-Koai Hiap yang adalah sahabat Kay Pang sudah terlanjur terkenal sebagai penyelamat Kay Pang Pangcu. Namanya seharum Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah) Liang Tek Hoat bagi Kay Pang, dimana yang terakhir ini sudah ditetapkan banyak orang sebagai Pangcu Generasi mendatang.

Tidak akan ada yang menolak, karena anak ini adalah murid kesayangan Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay yang legendaris dan banyak berjasa bagi Kay Pang. Dari Kay Panglah kemudian Ceng Liong memperoleh banyak kabar baru mengenai mengganasnya kembali Thian Liong Pang. Baik serbuan ke Tiam Jong Pay, pembunuhan 5 ahli pedang serta ancaman terhadap Benteng keluarga Bhe. Bahkan dari Kay Pang jugalah, Ceng liong mendengar kabar dipukul habisnya kekuatan Thian Liong Pang di benteng keluarga Bhe yang dibela oleh Sian Eng Li Liang Mei Lan dan Sian Eng Cu Tayhiap.

Terbersit rasa mesra Ceng liong mendengar nama Mei Lan, sebab gadis mungil nan manis itu, selain bersama kakaknya menolong jiwanya dari sungai diwaktu kehilangan ingatannya, juga banyak mengalami kebersamaan, terutama sebelum ingatannya pulih. Sementara ketika ingatannya pulih, justru persaingan keduanya yang terjadi, yakni ketika mereka bertarung di tebing Peringatan 10 tahunan. Mengingat pertarungan tersebut dan mengingat Mei Lan sungguh membuat hatinya berdebar-debar aneh. Tetapi, sayangnya, ingatannya atas Giok Hong membuat Ceng Liong memutuskan untuk tidak berhubungan mesra dengan siapapun juga pada masa mendatang.

Dia merasa memang Mei Lan sangat hebat dalam ilmu Ginkang, bahkan sedikit mengatasinya, meskipun sebenarnya dia lebih banyak mengalah dalam pertarungan tersebut. Dan, hal ini seperti mengulang pengalaman gurunya untuk tidak mau terlalu menonjol dalam Ilmu Silat, meski kesaktian mereka sendiri memang luar biasa. Tapi, selain memang merasa berhutang budi terhadap Mei Lan, terdapat alasan lain dalam dirinya untuk tidak dapat menggerakkan tangan keras terhadap gadis manis yang cantik mungil itu.

Bahkan dia tidak rela untuk melihat gadis itu marah atau terluka oleh suatu sebab. Perasaan itu, bukan lain adalah perasaan suka, bahkan mungkin cinta. Tapi beranikah dia mencintai Mei Lan setelah mendengar masalahnya dengan Giok Hong yang bahkan diketahui juga oleh Pangcu Kay Pang? Entahlah, karena bahkan Ceng Liong sendiri belum mengerti masalah-masalah semacam itu secara dalam, meski dia sadar perasaan itu bukan sesuatu yang terlalu aneh dan perlu dirisaukan. Ceng Liong memang berada dalam posisi sulit, disatu sisi dia menyadari sangat menyukai gadis mungil yang sakti itu, tetapi disatu sisi, dia menyadari bahwa dia kurang layak untuk hal tersebut.

Pada saat itu, memang semakin berkibar nama Sian Eng Li atau Sian Eng Niocu sebagai seorang Pendekar Wanita Sakti dari Bu Tong Pay. Bahkan nama Bu Tong Pay semakin berkibar karena secara bersamaan juga muncul Sian Eng Cu dalam menentang Thian Liong Pang. Sementara Lembah Pualam Hijau terkesan masih ”setengah-setengah“ dalam pertarungan melawan Thian Liong Pang. Padahal kali ini Lembah Pualam Hijau sudah turun dengan kekuatan utamanya kedalam kancah pertarungan tersebut.

Dunia Persilatan nampaknya akan kembali geger, karena salah seorang tokoh utama Lembah Pualam hijau, kali ini turun dalam status Duta Agung, dan akan langsung berhadapan dengan Thian Liong Pang. Apalagi, karena Kiang Ceng Liong sendiri sudah memiliki nama besar dengan julukan Ceng-i-Koai Hiap, yang banyak menentang Thian Liong Pang sebelum kembali menutup diri untuk melakukan latihan terakhir bersama gurunya.

Sepanjang perjalanan, Kiang Ceng Liong selalu memperoleh dan mendapat kabar terbaru dari markas Kay Pang. Dan ketika mendekati Kota Lok Yang, dia meminta ke-4 duta perdamaian untuk menyamar menjadi anak murid Kay Pang. Bahkan Ceng Liong sendiri, kemudian juga didandani bagaikan Pengemis untuk menyusup dan memasuki kota Lok Yang beberapa hari kedepan. Sampai pada waktu masuknya Ceng Liong ke Lok Yang, kira-kira masih 4 hari lagi sebelum batas waktu penyerbuan.

Karena paham bahwa mengintai berita dan menyampaikan berita adalah keahlian Kay Pang, maka secara khusus kemudian Ceng Liong dengan menggunakan Medali kepercayaan yang diberikan Kim Ciam Sin Kay meminta bantuan kepada Kay Pang. Khususnya untuk terus menerus mengawasi pergerakan Thian Liong Pang di sekitar Lok Yang dan menyampaikannya ke Perguruan Keluarga Yu di luar kota Lok Yang. Belum lagi permohonan itu disetujui dan dijawab oleh Tancu Kay Pang di Lokyang, dan sudah pasti wajib disetujui, tiba-tiba terdengar suara:

”Yang akan menjadi penyampai berita memasuki Perguruan Yu adalah Chit Cay Sin Tho (Maling Sakti 7 Jari)“ dan bersamaan dengan itu, seorang dengan kecepatan tinggi telah berdiri di depan mereka semua. Siapa lagi kalau bukan Maling Sakti yang memang sudah memutuskan membaktikan diri kepada Ceng Liong yang sangat dikagumi dan dihormatinya.

”Chit cay sin tho memberi hormat kepada Kiang Bengcu, dan Sin tho sudah bersedia sejak dulu untuk bekerja bagi Kiang bengcu“ berkata si Maling Sakti begitu masuk. Tetapi ucapannya yang memperkenalkan Kiang Ceng Liong sebagai Bengcu, membuat seluruh anak murid Kay Pang terperangah. Bahkan bingung.

”Kiang Bengcu“? beberapa tokoh pengemis di Lok Yang bertanya bingung. Benar-benar bingung.

”Benar, belum ada sebulan Ceng-i-Koai Hiap Kiang Ceng Liong diangkat menggantikan ayahnya sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Dan sekaligus sebagai Bengcu Dunia Persilatan secara otomatis. Bukankah begitu Kiang Bengcu“? berkata Maling Sakti sambil menegaskan kepada Kiang Ceng Liong. Sejenak Ceng Liong terkejut, betapa cepat Maling Sakti mendengar kabar itu. Tapi, betapapun dia harus memberitahukan keadaan dirinya sekarang ini kepada kawan-kawan dunia persilatan;

“Saudara-saudara, Maling Sakti dan kawan-kawan Kay Pang, memang aku telah diangkat menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau, baru beberapa waktu lalu. Dan sekarang sedang bertugas untuk membasmi Thian Liong Pang yang mengganas disekitar sini. Mohon bantuan kawan-kawan Kay Pang“ Berkata Ceng Liong.

”Ach, Kiang Bengcu, jangankan sebagai Bengcu, sebagai Ceng-i-Koai Hiap yang adalah pahlawan bagi Kay Pang, bahkan dengan tanda pengenal Pangcu, sudah kewajiban kami melakukannya. Apalagi bahkan sebagai Bengcu, kami semua akan dihukum Pangcu apabila tidak memenuhi permintaan Bengcu“ berkata tokoh pengemis Lok Yang kepada Kiang Ceng Liong yang menjadi bangga sekaligus terharu.

”Jika demikian saudara-saudara Kay Pang, aku akan memasuki Perguruan Yu malam ini juga. Upaya mencari berita mengenai kekuatan lawan, diserahkan kepada Maling Sakti dan kawan-kawan Kay Pang. Dan berita itu akan disampaikan setiap hari oleh Maling Sakti. Tentunya Maling sakti tidak akan menolak“? Ceng Liong melirik Maling Sakti sambil bercanda.

”Tanpa menjadi Bengcupun, Maling Sakti sudah bersedia mengabdi bagi Ceng-i-Koai Hiap” balas Maling Sakti tegas.

”Baiklah, adakah cara dan jalan terbaik bagi kami semua, bertujuh untuk memasuki Daerah Perguruan Yu tanpa ketahuan pihak Thian Liong Pang”? bertanya Ceng Liong.

”Cara terbaik adalah menunggu hari esok. Karena jika tidak salah, besok adalah waktu berbelanja kebutuhan Perguruan bagi Perguruan Keluarga Yu. Bengcu bersama Duta Perdamaian bisa menyamar sebagai pegawai keluarga Yu, sementara pegawai pengangkut beneran akan rebah dalam gerobak sepanjang perjalanan“ Berkata tokoh pengemis Lok Yang yang bernama Lauw Cu Si, Si Pengemis Kepala Batu dari Lok Yang.

”Baiklah, jika demikian mohon bantuan saudara Lauw Cu Si untuk mengatur semuanya. Mungkin lebih baik kita menyamar sejak dari pasar, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di jalanan” berkata Ceng Liong yang kemudian disepakati untuk dikerjakan esoknya. Lauw Cu Si yang akan mengatur segala keperluan tersebut, termasuk mengatur penyamaran tersebut dengan para pegawai pengangkutan makanan Keluarga Yu.

Semua rencana kemudian dibahas kembali secara lebih terperinci, terutama mengenai bagaimana melawan serbuah Thian Liong Pang dan bagaimana membatasi gerak pasukan mereka, sebelum maupun sesudah serangan. Tetapi, Ceng Liong lebih mengusulkan untuk melokalisasi penyerang di daerah perguruan keluarga Yu dan kemudian mengatasi mereka disana. Yang dibutuhkan hanyalah informasi berapa besar jumlah kekuatan penyerang, dan siapa-siapa pula tokoh mereka yang akan dikerahkan untuk menyerang.

Mengetahui keadaan lawan adalah setengah porsi dari kemenangan itu sendiri, begitu kata para ahli strategi. Dan menjadi tugas penting bagi Kay Pang dan bagi Maling Sakti untuk mendapatkan informasi itu. Informasi yang akan sangat penting dalam menentukan strategi mencapai kemenangan.

Besoknya, seperti yang telah direncanakan, nampak petugas angkut makanan keluarga Yu sudah mulai berjalan meninggalkan kota Lok Yang. Sudah tentu para petugas tersebut sebagian telah bertukar wajah dan identitas, karena petugas beneran hanya tinggal 2 orang belaka. Sedangkan sisanya berbaring enak-enakan dalam gerobak menyusuri hutan yang cukup jauh ke arah perkampungan perguruan keluarga Yu.

Untungnya, masih ada dua orang pegawai atau petugas angkut, sebab jika tidak, belum tentu mereka bisa dengan mudah memasuki perkampungan perguruan keluarga Yu yang dikenal dikelilingi oleh barisan sakti yang gaib. Dan untung jugalah Maling Sakti saat ini ikut serta sehingga membuatnya mengenal jalan dan cara memasuki perkampungan dengan melalui barisan-barisan yang dipasang di tengah jalan.

Tetapi, rupanya pertempuran sudah ditakdirkan berlangsung lebih awal. Thian Liong Pang yang menyadari sulitnya menembus barisan ajaib keluarga Yu, ternyata juga mengincar para petugas angkut makanan kerluarga Yu untuk dikompres keterangan memasuki lembah. Sayangnya, mereka telah keduluan rombongan Kiang Ceng Liong. Karena itu, ketika serombongan orang berpakaian hitam yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-Hiap (Pendekar Tua Rajawali Hitam) bekas Tancu di Cin an yang pernah dikalahkan oleh Tek Hoat menyerbu para petugas, yang terjadi justru sebaliknya.

Dengan mudah penyerbu yang berjumlah sekitar 20an orang dibekuk oleh para duta perdamaian dan Maling Sakti, bahkan Hek Tiauw Lo Hiap juga dalam waktu singkat sudah tertotok oleh Kiang Ceng Liong. Sayang, ketika ingin mengompres keterangan mereka, ternyata semua anak buah Thian Liong Pang tersebut telah bunuh diri dengan racun yang bisa dipecahkan di mulut mereka. Semua mati dengan cara bunuh diri menenggak racun, karena mereka lebih ngeri mengalami siksaan akibat kegagalan dalam bertugas.

Sungguh cara kerja yang keji. Tetapi untuk menghilangkan jejak para penyerbu, terpaksa rombongan itu kemudian bekerja keras menguburkan mayat penyerbu, sebab bila dibiarkan bisa meracuni banyak mahluk hidup lainnya. Karena itu, dikuburkan adalah cara terbaik. Tetapi, menimbun kembali dan mengembalikan tiumbunan dalam keadaan normal kembali menimbulkan masalah. Itu sebabnya rombongan Ceng Liong baru memasuki perkampungan keluarga Yu selepas tengah hari, sekitar jam 2 atau jam 3 memasuki sore hari.

Sore itu juga Kiang Ceng Liong yang identitasnya tidak diberitahukan kepada para petugas pengangkut makanan keluarga Yu, segera menghadap Paman kakeknya Yu Siang Ki. Yu Siang Ki memandang sangsi kehadiran Ceng liong yang masih nampak terlampau muda, tetapi karena anak muda itu adalah cucu keponakannya, maka dia merasa terharu atas perhatian Ceng Liong.

Tetapi, yang membuatnya kaget ketika Duta Perdamaian yang berada lengkap mendampingi anak muda itu memanggil dan memberi hormat dengan memanggil ”Bengcu“ kepada anak muda itu. Apa-apaan, pikirnya. Anak semuda ini sudah menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau dan bahkan bengcu Dunia persilatan? Sungguh tidak masuk di akal Yu Siang Ki, meski anak itu adalah cucu keponakannya sendiri.

”Kiang Ceng Liong, apakah benar engkau telah menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau“? bertanya Yu Siang Ki, karena orang tua ini terkenal jujur dan suka berterus terang.

”Benar paman kakek” berkata Ceng Liong.

”Kalau begitu, maafkan aku akan mengujimu” Sambil berkata demikian, orang tua yang gagah ini segera mengulurkan tangan dengan telapak berbentuk paruh bangau telah menyerang ke arah Ceng Liong, nampaknya ingin menutuk pangkal lengan Ceng Liong. Tetapi Ceng Liong membiarkannya, dan ketika tutukan itu dengan tepat mengenai sasaran Yu Siang Ki terkejut, karena daerah yang ditujunya pangkal lengan telah keras membesi.

Dengan cepat dia berganti gaya dengan pukulan lemas Kim Si Biang Ciang (Pukulan Kapas Benang Emas). Bila Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) gagal, masakan dengan Pukulan Kapas juga gagal? Pikir orang tua itu. Tetapi, ketika Pukulan Kapas itu kembali terbentur lengan Ceng Liong, Ilmu Lemas lainnya dengan hawa “im” yang digunakan Ceng Liong telah membuat Ilmu Kapas bagaikan tenggelam dalam lautan yang luas dan tak berbekas. Bahkan sebaliknya, pentalan tenaga kapas membalik kearah dirinya dan mendorongnya mundur sampai dua langkah, sementara Ceng Liong nampak tersenyum belaka.

Tapi Yu Siang Ki masih belum terima kalah, apalagi dia sadar yang akan dilawan Perguruannya adalah tokoh-tokoh hebat, maka dia tidak mau mengorbankan anak muda ini. Kembali dia maju dengan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa, yang lebih cepat dan ganas.

Tetapi, meskipun sekali lagi menyerang dengan Ilmu Lemas, tetap tidak membuat Ceng Liong goyah sedikitpun. Malah dengan hanya menyentakkan tangannya, IImu Silat lemas pencabut nyawanya seperti melayang entah kemana, sementara Ceng Liong masih tetap senyum-senyum saja. Orang tua ini, semakin penasaran dan tambah penasaran ketika salah seorang dari Duta perdamaian mengatakan:

”Yu Locianpwe, bahkan barisan 6 Pedang Pualam Hijaupun nyaris kecundang ditangannya setelah melewati 100 jurus lebih”. Wah, ini bukan berita biasa lagi, Yu Siang Ki berpikir. Karena dia tahu aturan Lembah dan kekuatannya, bila anak ini mampu mengimbangi bahkan nyaris mempecundangi Barisan Pedang, maka kepandaian anak ini sudah sulit untuk dijajagi.

”Anak muda, benarkah kalimat Duta Perdamaian itu”?

”Ach, paman kakek, mereka melebih-lebihkan saja. Benar bisa kutandingi sampai 100 jurus lebih, tetapi mempecundangi mereka masih belum sanggup rasanya”.

Tapi Yu Siang Ki tahu betul, belum ada calon Bengcu yang sanggup menandingi barisan itu bahkan sampai 100 jurus. Sampai dimanakah gerangan kehebatan anak ini? Pikirnya masih penuh penasaran. Tapi betapapun, semua pukulan saktinya bisa ditepis dengan muda oleh si anak muda, padahal di dunia Kang Ouw, dia bukan tokoh sembarangan.

”Sudahlah, ombak di belakang memang selalu mendorong ombak yang didepan” akhirnya Yu Siang Ki menyerah atas kepenasarannya dan memandang Ceng Liong dengan wajah yang sulit dimengerti.

Malamnya Yu Siang Ki mengadakan percakapan yang bersifat agak rahasia dan tertutup dengan Kiang Ceng Liong yang ditemani 2 Duta Perdamaian. Karena 4 Duta Perdamaian lainnya sudah menyebar untuk mempelajari medan dan keadaan Perkampungan Perguruan Keluarga Yu. Sementara bersama Yu Siang Ki hadir adiknya Yu Siang Bun, seorang kakek berusia 60 tahun dan berwajah lebih lembut dibandingkan Yu Siang Ki yang keras dan berterus terang.

Kemudian juga hadir 2 putra Yu Siang Ki, masing-masing bernama Yu Ciang Bun, pria gagah berusia 40 tahunan, dan wataknya mirip ayahnya yakni terbuka dan berterus terang dan Yu Liang Kun yang berusia hampir 40 tahun, mungkin sekitar 38-39 tahun agak lebih lembut dan tidak banyak bicara seperti ibunya. Sebenarnya di Perguruan Keluarga Yu, masih terdapat seorang tokoh kosen lainnya, yang bahkan masih lebih lihay dibandingkan Yu Siang Ki, yakni kakak tertuanya, bahkan masih kakak Yu Hwee, yakni Yu Liang Tan yang usianya terpaut 7-8 tahun dengan Yu Siang Ki. Justru kakek inilah yang paling dekat hubungannya dengan Yu Hwee, dan dia jugalah yang menghantarkan adik perempuannya itu ke Lembah Pualam Hijau setelah dipersunting Kiang Cun Le.

Kakek Yu Liang Tan ini bahkan pernah menerima pelajaran 1-2 jurus Ilmu Lihay dari Kiang Sin Liong selama tinggal beberapa pecan di Lembah Pualam Hijau. Tetapi, kakek Yu Liang Tan akhir-akhir ini lebih sering menyepi setelah memasuki usia yang ke-70, lagipula dia memang tidak terlalu memusingkan urusan perguruan, tetapi lebih gemar mengembara dan memperdalam ilmunya. Yu Liang Tan hanya mempunyai 2 keturunan, yang pertama bernama Yu Liang San, putra sulungnya yang sekarang menjadi wakil Yu Siang Ki, dan berusia pertengahan, hamper mencapai usia 50an, dan adik perempuannya bernama Yu Lian Hong, seorang nyonya muda yang menikah dengan pendekar pengembara bernama Tio Hok Bun.

Keduanya sekarang menetap di luar perguruan keluarga Yu, bahkan agak jauh dari pintu perguruan keluarga, namun tetap memiliki hubungan dekat. Pada saat pertemuan, hanya Yu Liang San yang hadir, sementara ayahnya Yu Liang Tan sudah lebih banyak beristirahat dan tidak banyak mencampuri urusan perguruan. Sementara tokoh keluarga Yu terakhir yang hadir adalah putra bungsu Yu Siang Bun bernama Yu Ko Ji, yang baru berusia menjelang 20an sama dengan Ceng Liong. Bahkan anak ini masih belajar kepada pamannya Yu Liang Tan, tetapi dia memang sangat berbakat, juga berwatak terbuka seperti pamannya Yu Siang Ki.

Perguruan keluarga Yu ini memang agak unik. Seharusnya, pewaris Perguruan adalah Yu Liang Tan, sebagai anak tertua dari generasi keluarga Yu seangkatan Yu Liang Tan, Yu Hwee, Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun. Tetapi, Yu Liang Tan yang lebih senang bebas mengembara dan memperdalam Ilmu Silatnya merasa kurang cocok menjadi pewaris kedudukan Ketua Perguruan Keluarga Yu.

Dia malah mengusulkan Yu Siang Ki untuk jabatan itu langsung kepada ayah mereka semasa masih hidup dan tetap menetap di Lembah perkampungan keluarga untuk membantu adiknya. Dan memang kemudian Yu Siang Ki yang menjadi Ketua Perguruan Keluarga Yu, tetapi hampir semua generasi di bawah mereka, yakni anak-anak Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun, dilatih Ilmu Silatnya oleh Yu Liang Tan. Karena itu tidaklah mengherankan bila kemampuan bersilat Yu Ciang Bun, Yu Liang Kun dan generasi mereka, justru hebat-hebat dan bahkan sudah mampu mengimbangi kemampuan Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun sendiri.

Tetapi, untuk penguasaan Ilmu Tin atau Ilmu Barisan, jago utamanya sebetulnya adalah Yu Hwee, satu-satunya anak gadis di generasi Yu Siang Ki. Dialah ahlinya yang mewarisi kemampuan mengatur barisan langsung dari kakek mereka, karena ayah merekapun kurang mahir dalam mengatur barisan gaib itu. Dan selain Yu Hwee, maka Yu Siang Bun juga memahami secara baik, meskipun masih belum semahir Yu Hwee dalam tata barisan ini. Itulah sebabnya, ketiga saudara lelaki Yu Hwee sangat menghormatinya dan bahkan sangat mencintai satu-satunya saudara perempuan mereka itu.

Dan rasa mesra itu, sangat kentara mereka tunjukkan kepada satu-satunya cucu lelaki saudara perempuan mereka yang bernama Kiang Ceng Liong ini. Dan entah kebetulan entah bukan, Kiang Ceng Liong seperti memiliki mata yang mirip dengan neneknya, meskipun cahayanya dan perbawanya agak berbeda, malah cenderung mengerikan bila sedang marah.

Dalam pertemuan itu, kemudian Kiang Ceng Liong menceritakan keadaan Lembah Pualam Hijau, termasuk menceritakan sebagian riwayat hidupnya. Karena betapapun keluarga Yu ini adalah keluarganya juga, darah keluarga Yu juga mengalir dalam tubuhnya melalui garis keturunan neneknya, Yu Hwee yang merupakan putri kebanggaan keluarga Yu generasi Ketua Keluarga Yu sekarang ini. Dan begitu mendengar bahwa Ceng Liong malah dididik oleh orang tua yang sudah dikenal sebagai manusia gaib setengah dewa rimba persilatan dewasa ini, baru Yu Siang Ki mengangguk-anggukkan kepalanya.

Baru dia mengerti mengapa anak ini menjadi demikian aneh dan demikian sakti, bahkan sanggup melawan Barisan 6 Pedang hingga melewati 100 jurus. Dalam kesempatan itu juga, Ceng Liong kemudian setelah menceritakan keadaan Lembah Pualam Hijau dan riwayat hidupnya kemudian berkenalan dengan semua keluarga di pihak neneknya. Yaitu semua paman kakeknya, paman-pamannya, kecuali yang kebetulan tidak hadir. Sementara dengan Yu Liang Tan, Ceng Liong menyempatkan menghadap keesokan harinya.

Pertemuan malam itu juga dipergunakan untuk membahas keadaan dan situasi terakhir. Batas waktunya tinggal 3 hari lagi, sementara informasi lengkap mengenai kekuatan penyerang masih belum diperoleh. Tetapi Ceng Liong yakin dengan kemampuan Kay Pang dalam mengendus informasi, apalagi dia masih dibantu Maling Sakti yang selalu rela melakukan apa saja baginya. Karena itu, Ceng Liong mengatakan selambatnya besok atau lusa, setidaknya sudah diketahui siapa dan kekuatan berapa para penyerang tersebut.

Meskipun demikian, Ceng Liong menyarankan agar dibagian terdepan dalam menghalau musuh, ditempatkan Barisan 6 Pedang Pualam Hijau yang akan sanggup menghambat masuknya puluhan atau bahkan ratusan musuh. Dia sendiri mengenal keampuhan barisan Lembahnya yang sudah teruji dan memang sangat luar biasa digunakan. Bahkan dia sebagai Bengcu pernah mengalami kesulitan dalam menghadapinya. Wajar bila kemudian Ceng Liong menaruh harapan besar atas Barisan 6 Pedang Giok Ceng itu.

Tetapi Siang Ki juga ternyata memiliki strategi lain. Apabila penyerang terlampau banyak, maka strategi mengurangi jumlah musuh ketika kebingungan memasuki lembah dan berhadapan dengan barisan gaib bisa digunakan. Menurut Siang Ki, barisan yang paling hebat diciptakan oleh kakek mereka di samping kiri dan kanan, dan nyaris mustahil ditembus oleh tokoh-tokoh utama sekalipun. Sementara di bagian belakang Rimba, juga sudah diatur barisan gaib lainnya yang disusun secara saksama oleh Yu Hwee pada usia mudanya, bahkan Yu Hwee bersama Yu Siang Bun juga yang telah menyusun dan menyempurnakan barisan gaib yang terdapat dimana-mana seputar Lembah itu.

Menurut Yu Siang Bun sendiri, Tin yang paling sulit ditembus adalah di sisi kiri dan kanan, juga di sisi belakang yang disusun oleh Yu Hwee berdasarkan ajaran mendiang kakek mereka. Karena itu, paling mungkin musuh masuk melalui sisi belakang, kecuali ada ahli tin lainnya di pihak musuh. Tetapi, keberadaan ahli tin itu tetap butuh waktu yang sangat lama untuk meloloskan jumlah banyak penyerang atau apalagi merusak barisan gaib tersebut. Karena itu, masih menurut Yu Siang Bun, upaya mengurangi penyerang baik dilakukan ketika mereka berusaha menerobos barisan gaib itu, entah dari depan, belakang ataupun sisi kiri dan kanan. Untuk melakukannya, maka ke-4 anak muda harapan keluarga Yu, yakni Yu Ciang Bun, Yu Liang Kun, Yu Liang San dan Yu Ko Ji sudah lebih dari cukup. Karena mereka sudah diberi pengertian dan pemahaman mengenai barisan itu sejak lama, terutama si bungsu Ko Ji, yang nampaknya mewarisi bakat istimewa dalam Ilmu Silat dan Ilmu Barisan keluarga Yu.

Hari kedua dan ketiga, Ceng Liong banyak bertanya dan mendapat pengetahuan baru mengenai Ilmu Barisan dari ahlinya di Keluarga Yu, yakni Yu Siang Bun. Yu Siang Bun yang merasa sayang dengan cucu keponakannya ini menceritakan rahasia-rahasia Ilmu Barisan yang penting-penting agar Ceng liong tidak terperosok kedalamnya. Tetapi untuk Barisan gaib di samping kiri dan kanan, Yu Siang Bun menutup mulut, kecuali karya nenek Ceng Liong di belakang Lembah yang juga mengandung daya gaib yang hebat.

Sebagai bagian dari keturunan Kleuarga Yu yang darahnya juga mengaliri darah Ceng Liong, Siang Bun beranggapan peninggalan neneknya perlu dikenal oleh Ceng Liong. Selain memahami barisan gaib itu, Ceng Liong juga bertemu dengan Yu Liang Tan yang terkejut dan terharu melihatnya. Terlebih mengetahui kedatangan Ceng Liong sebagai Bengcu untuk membela keluarga neneknya. Kakek tua itu begitu terharu dan terkenang dengan adik perempuannya Yu Hwee, adik yang paling dekat dan paling disayanginya. Bahkan yang juga dinikahkannya karena kedua orang tua mereka sudah almarhum ketika Yu Hwee menikah.

Dan tepat seperti dugaan Ceng Liong, tengah hari, 2 hari sebelum batas akhir jawaban Maling Sakti datang membawa berita yang sangat mengejutkannya. Dengan tergesa-gesa Maling Sakti datang menjumpainya dengan dikawal beberapa orang murid keluarga Yu dan juga Yu Ko Ji yang memang masih rada nakal itu.

”Bengcu, sungguh celaka. Ternyata gertakan serangan ke Benteng Keluarga Bhe dan Keluarga Yu adalah untuk mengalihkan perhatian banyak orang. Perguruan Cin Ling Pay, baru beberapa hari lalu terkena serangan yang sama dengan Tiam Jong Pay. Hanya karena mereka lebih siap, jauh lebih banyak anak muridnya yang diselamatkan para tokohnya. Ciangbunjin dan beberapa ahli mereka bertarung gagah dan mati di medan pertempuran, tetapi banyak juga tokoh mereka yang meloloskan diri melalui jalan rahasia membawa semua pusaka dan banyak anak murid mereka” Maling Sakti memberi laporan.

”Apa dengan demikian maksud serangan mereka kemari hanya isapan jempol”? Tanya Ceng Liong gusar.

”Tidak juga, kota Lok Yang sekarang dipenuhi banyak sekali tokoh yang aneh-aneh, termasuk beberapa tokoh misterius yang sangat lihay. Dari beberapa informasi, jumlah penyerang ke Perguruan Yu tidak kurang dari 200 orang, lebih 2 kali lipat anak murid keluarga Yu” berkata Maling Sakti.

”Hm, sudah kuduga. Mereka pasti akan banyak mengerahkan kekuatan, tetapi bukan jumlah anak buahnya yang mengkhawatirkan” Potong Ceng Liong.

”Benar Bengcu. Kay Pang sudah menyediakan hampir 50 tenaga untuk memasuki lembah segera setelah Bengcu menurunkan perintah” tambah Maling Sakti.

”Baiklah, akan kuputuskan malam ini masalah itu. Tetapi, apakah engkau memperoleh gambaran tokoh mereka yang akan datang nanti”?

”Serangan kemari menjadi serius setelah kegagalan di Benteng Keluarga Bhe. Nampaknya Hu Pangcu yang terluka di Benteng Bhe juga akan ikut bergabung, selain dirinya masih ada lagi See Thian Coa Ong, Pek Bin Houw Ong, Liok te Sam Kwi dan kabarnya salah seorang dari 4 Hu Hoat Thian Liong Pang akan datang. Bahkan beberapa Lhama jubah merah, juga nampak berkeliaran di Lok Yang, dan kota Lok Yang tertimpa beberapa keributan akhir-akhir ini” tambah Maling Sakti.

Ceng Liong nampak mengerutkan keningnya. Dia mengenal keampuhan See Thian Coa Ong, dan sedikit mendengar kemampuan Pek Bin Houw Ong dan Liok te Sam Kwi, padahal ternyata kemampuan orang orang itu ternyata bukan dalam kedudukan penting dalam Thian Liong Pang. Masih ada Hu Pangcu dan Hu Hoat, yang biasanya dalam tata urut kepandaian sebuah perguruan justru jauh lebih hebat. Dengan demikian, ada 2 lawan yang sangat berat untuk dihadapi, yakni Hu Pangcu dan seorang Hu Hoat. Dia mendengar bahwa seorang Hu Pangcu sempat bertarung rapat dan sedikit imbang dengan Mei Lan, dan itu artinya kemampuan Hu Pangcu ini tidak jauh dengan dirinya. Bila ada 2 tokoh semacam ini, sungguh berat untuk dihadapi. Dengan suara berat Ceng Liong berkata:

“Maling sakti, apakah tokoh-tokoh yang kau sebut itu sudah pasti akan ikut meluruk datang”?

”Bengcu, kecuali See Thian Coa Ong dan seorang Hu-Hoat, selebihnya sudah munculkan diri. Hu Pangcu sudah terlibat di benteng keluarga Bhe dan jejaknya konangan disekitar Lok Yang oleh anak murid Kay Pang. Pek Bin Houw Ong muncul bersama Hu Pangcu yang meributkan kekalahan mereka di benteng Bhe dan harus menebus disini bila tidak ingin dipermalukan. Liok te Sam Kwi juga sudah membuat onar di sekitar kota Lok Yang, bahkan membunuh 2 orang pendekar pengelana yang belum punya nama di Kang Ouw dengan ganas. Tinggal See Thian Coa Ong dan seorang Hu-Hoat yang disebut-sebut yang belum kelihatan. Tetapi, Thian Liong Pang nampaknya tidak merahasiakan penyerbuan ini, mereka begitu yakin dan percaya diri dengan kekuatan yang mereka miliki” jawab Maling Sakti.

Ceng Liong jadi benar-benar khawatir, karena tidak mungkin dia membagi dirinya untuk menghadapi beberapa orang sekaligus. Apalagi, sangat boleh jadi, Thian te Tok Ong si raja diraja racun juga muncul, bila demikian apa yang bisa dilakukan? Atau bagaimana bisa menghadapi mereka? Benar-benar memusingkan dan sulit dicarikan jalan keluarnya.

”Baiklah Sin tho, malam ini terpaksa aku akan melakukan peninjauan langsung ke Lok Yang. Biar kita bertemu disana tengah malam nanti” Demikian Ceng Liong memutuskan percakapan.

Malam itu juga dilakukan pertemuan dengan status yang sangat darurat. Ceng Liong menceritakan hasil pengintaian dan pengamatan Kay Pang, terutama mengenai tokoh-tokoh sesat yang sudah terkumpul dan bersiap menyerang Perguruan Keluarga Yu. Menurut penilaian Ceng Liong, serbuan banyak orang, masih bisa ditangkal oleh Barisan 6 Pedang Giok Ceng, tetapi melawan pemimpin mereka, yakni Hu Pangcu, Hu Hoat, See Thian Coa Ong, Pek Bin Houw Ong dan Liok te Sam Kwi, terlebih bila Thian te Tok Ong juga muncul, adalah sungguh sulit.

Karena itu, harus diupayakan agar para penyerbu sudah banyak berkurang ketika memasuki Perguruan Keluarga Yu. Hal ini penting agar para pemimpin yang disebut di atas, boleh di lawan oleh masing-masing tokoh keluarga Yu dibantu beberapa anak murid. Demikianlah, malam itu banyak hal yang dibicarakan, terutama terkait strategi dan cara melakukan perlawanan. Dengan keterlibatan Kay Pang, maka perlawanan Keluarga Yu, telah berubah menjadi perlawanan Dunia Pendekar terhadap keganasan Thian Liong Pang.

Sebelum melakukan peninjauan terhadap keadaan di Lok Yang, Ceng Liong kembali sejenak ke kamarnya. Tetapi, alangkah terkejutnya ketika ditemukannya sehelai kertas dan terdapat tanda pengenal Giok Ceng atau Pualam Hijau di atasnya. Isi surat tidak panjang, tetapi membuat perasaan Ceng Liong menjadi lebih tenang. Isi surat berbunyi:

Liong Jie, tidak perlu ke Lok Yang. Liong-i-Sinni mengirim bantuan, seorang muridnya, juga tokoh Bu Tong Pay sudah di Lok Yang bahkan juga jago Bengkauw. Kekuatan cukup memadai.

Tidak ada nama pengirim surat, tetapi yang memanggilnya Liong Jie selama ini hanya Gurunya dan Kakeknya Cun Le. Bibinya Kiang Sian Cu sudah berganti panggilan menjadi “Duta AGung” setelah dia ditetapkan menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Selain itu, dia teringat sosok misterius yang selalu membantunya, bahkan sejak masih kehilangan ingatan. Sosok itupun selalu memanggilnya dengan “Liong Jie” dan bahkan dengan nada yang sangat penuh kasih sayang. Tapi, yang pasti bukan gurunya dan bukan kakeknya.

Tapi siapakah gerangan? Tapi peduli siapa orangnya, apa yang disampaikan melalui surat tersebut membuatnya menjadi sangat tenang. Dia menduga-duga, siapakah utusan Bu Tong Pay? Siapa pulakah murid Bibi Neneknya Liong-i-Sinni? Apakah Mei Lan? Atau murid yang lain? Siapa pula jago dari Bengkauw? Persetan dengan semuanya, yang pasti keadaan sudah jauh lebih memadai. Dan dengan pengertian itu, akhirnya Ceng Liong membatalkan kepergiannya ke Lok Yang, dan berbareng dengan pembatalannya itu, beruntun masuk ke Pekarangan perguruan kurang lebih 50 orang murid Kay Pang yang langsung minta melapor ke Bengcu dan Ketua Perguruan Keluarga Yu. Sudah tentu Ceng Liong menjadi gembira dan dengan cepat memapak kedatangan rombongan Kay Pang tersebut. Demikian juga Yu Siang Ki dengan cepat menemui rombongan Kay Pang tersebut.

Hari terakhir dari batas waktu yang ditetapkan, sementara semua keluarga Yu nampak tegang, kecuali Yu Siang Ki yang sudah dibisiki Ceng Liong serta Ceng Liong sendiri, semua orang nampak semakin tegang. Semua murid Keluarga Yu sudah bersiap, demikian pula Barisan 6 Pedang Giok Ceng dan 5 anak murid Kay Pang yang menempatkan posisi mereka di bawah komando Ceng Liong secara langsung. Bahkan menjelang malam, tanda tanya seputar siapakah tokoh Bu Tong Pay dan anak murid utusan Liong-i-Sinni terjawab.

Dan Ceng Liong menjadi sangat gembira menyambut kedua tokoh tersebut, yakni Sian Eng Cu Tayhiap mewakili Bu Tong Pay serta Sian Eng Li Liang Mei Lan mewakili Bu Tong Pay dan guru keduanya, Liong-i-Sinni.

“Kiang Bengcu, lohu Tong Li Koan mewakili Bu Tong Pay datang membantu Bengcu dan keluarga Yu disini” begitu bertemu Sian Eng Cu Tong Li Koan langsung menjalankan tata krama dunia persilatan dengan menyapa dan menemui terdahulu Kiang Ceng Liong dan Yu Siang Ki. Dia sudah mendengar kehebatan anak muda ini dari gurunya Wie Tiong Lan, karena itu diam-diam dia mengagumi kesederhanaan anak muda yang nampak bersahaja namun berisi itu. Bahkan, secara tersirat dia berniat untuk menjodohkan sumoynya dengan anak muda itu.

Setelah itu, Liang Mei Lan juga kemudian memperkenalkan diri, ”Kiang Bengcu dan Yu Pangcu, aku Liang Mei Lan mewakili Suhu Liong-i-Sinni dan juga Bu Tong Pay datang membantu disini”.

Kiang Ceng Liong dan Yu Siang Ki menyambut dengan sangat gembira, baik Sian Eng Cu maupun Sian Eng Li yang merupakan tenaga bantuan yang sangat berarti. Terutama Kiang Ceng Liong, sangat jelas kelihatan dia gembira bertemu dengan Mei Lan. Tetapi rasa gembiranya sedapat mungkin ditahannya, terlebih karena dimata Mei Lan juga tersimpan “rasa” yang sama. Hanya, penyambutannya yang sangat antusias terhadap keduanya tak dapat disembunyikannya. Bahkan dia menyapa dan bertanya kepada Mei Lan:

”Ach, Lan Moi, engkau tambah gagah dan terkenal saja. Terima kasih atas kedatangan dan bantuanmu. Bagaimanakah gerangan kabar suhumu yang kedua?

Liang Mei Lan juga bukannya tidak bergirang bertemu dengan Ceng Liong. Apalagi, setelah melihat Ceng Liong ternyata sudah menjadi Bengcu yang bahkan suhengnya nampak sangat menghormatinya. Tetapi, meskipun gembira dan terasa getar lain dihatinya, tetapi betapapun rasa penasarannya atas kehebatan Ceng Liong yang menjadi Bengcu tetap susah ditahannya. Sungguh keadaan mereka berdua terhitung rumit. Meski hati masing-masing terisi cinta, tetapi tembok yang teramat tebal membatasi langkah mereka untuk cepat menyatu. Dengan alas an masing-masing yang sangat berbeda.

”Ach, maafkan Bengcu, suhu Liong-i-Sinni menemuiku dan memintaku mewakilinya membantu keluarga Yu. Dia orang tua, keadaannya baik-baik saja, hanya dia menitipkan pesan kepada Bengcu untuk hati-hati dalam membawa diri”

”Ach, terima kasih atas perhatian dia orang tua. Lan Moi, engkau diutus gurumu untuk membantu keluarga keponakannya atau iparnya. Sayang aku belum pernah berkesempatan menemuinya, juga menemui adik perempuanku yang berada di tangan dia orang tua” Ceng Liong bergumam, sambil membayangkan bagaimana kiranya bentuk dan tabiat bibi neneknya, atau adik kakeknya Kiang In Hong yang sangat terkenal itu. Sementara selintas rasa kaget nampak di wajah Mei Lan mengetahui bahwa keluarga Yu ternyata memiliki hubungan erat dengan guru keduanya.

Pantas dia menerima pesan dan tugas dari gurunya untuk membantu keluarga Yu, meskipun pesan itu diterimanya hanya melalui sehelai surat yang disampaikan oleh gurunya itu kepadanya. Sudah tentu dengan penuh sukacita dan rasa terima kasih yang dalam Mei Lan memenuhi permintaan subonya tersebut. Orang tua yang juga sangat dihormatinya karena menyelamatkan nyawanya dan bahkan menghadiahkan kemajuan Silat yang luar biasa, termasuk Ilmu Ginkang nomor satu yang melontarkan kemampuan ginkangnya pada tataran teratas dewasa ini.

Sementara itu, Yu Siang Ki juga sudah sedang beramah tamah dengan Sian Eng Cu yang membiarkan sumoynya bicara dengan Ceng Liong. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam, dia mengerti bahwa sumoynya seperti menyimpan rasa penasaran dan rasa kagum sekaligus terhadap Bengcu yang masih muda ini. Dan diam-diam, dia memang mengharapkan hal itu terjadi, sungguh pasangan yang luar biasa, pikirnya.

Bila dibutuhkan, nampaknya diapun bersedia untuk membantu kedua anak muda ini untuk merangkap jodohnya. Tidak berapa lama, akhirnya Yu Siang Ki mempersilahkan Sian Eng Cu dan Sian Eng Li untuk beristirahat sejenak, karena malamnya merekapun diundang untuk membicarakan persiapan terakhir. Bahkan, tidak berapa lama kemudian, muncul juga Maling Sakti si pembawa berita terakhir mengenai keadaan Lok Yang dan rencana para penyerang
 
3 Melawan Hu Hoat Thian Liong Pang





Sebagaimana diduga, serangan Thian Liong Pang dilakukan secara terbuka, bukannya sembunyi-sembunyi. Bahkan, sepertinya, serangan terhadap Keluarga Yu ini seperti disengaja sehingga melibatkan banyak pihak dari kalangan pendekar. Terlebih, Thian Liong Pang, nampaknya sangat yakin dengan kekuatan mereka untuk menyerang, karena sebagaimana ditelisik Maling Sakti dan Kay Pang, penyerbu ini dipimpin oleh Hu Pangcu, tapi bukan hanya 1 Hu Pangcu, tetapi ada 2 Hu Pangcu. Ternyata, dalam Thian Liong Pang, dikenal 3 orang Hu Pangcu, yang sudah tentu memiliki kesaktian yang luar biasa.

Hu Pangcu yang pertama teramat misterius, dan belum seorangpun yang bisa mengenali, karena dia sama rahasianya dengan Pangcu Thian Liong Pang. Keduanya membekal kepandaian yang nyaris seimbang, hanya sedikit kematangan Pangcu yang membuatnya berada di atas Hu Pangcu yang sama misteriusnya dengan Pangcu ini. Hu Pangcu yang kedua dan yang ketiga, memiliki tugas masing-masing yang agak berbeda. Hu Pangcu Kedua, adalah Hu Pangcu urusan Dalam, yang menangani persoalan persoalan yang terkait dengan misi yang ditetapkan dan pengaturan Pang dan kekuatan Pang dalam mencapainya. Sementara Hu Pangcu ketiga adalah Hu Pangcu untuk urusan luar, yaitu yang menghubungkan Pang dengan Organisasi Lain, sekaligus melaksanakan semua rencana yang disusun oleh Thian Liong Pang.

Hu Pangcu yang datang ke Keluarga Yu kali ini adalah Hu Pangcu yang pertama dan Hu Pangcu yang Ketiga. Hu Pangcu kedua dan ketiga, sebetulnya adalah bentuk kesepakatan antara Thian Liong Pang dengan Pendekar Pedang dari Tang ni dan rombongan Lhama Jubah Merah yang mencari perlindungan ke Tionggoan. Rombongan Lhama Jubah merah, sudah lama dinyatakan buron di Tibet, dan mereka kemudian mencari perlindungan dengan bergabung bersama Thian Liong Pang.

Dan karena diantara mereka terdapat 3 jago utama yang sangat lihay dan beberapa lhama jubah mereh mereka yang juga sangat lihay, akhirnya salah satu jabatan Hu Pangcu dan Hu Hoat diserahkan kepada mereka. Hu Pangcu yang diberikan untuk rombongan Lhama dari Tibet adalah Hu Pangcu Ketiga, dan orang inilah yang datang bersama Hu Pangcu pertama. Hu Pangcu ketiga ini, adalah Sute termuda dari Bouw Lek Couwsu, yang telah menanggalkan jubah Lhama setelah gagal di Tibet.

Tetapi, dalam hal kepandaian, Hu Pangcu yang nama dulunya adalah Bouw Sek Couwsu dan sekarang berganti nama menjadi Tibet Sin-mo Ong (Raja Iblis Sakti dari Tibet), bahkan tidak kalah dari Bouw Lek Couwsu, bahkan usianyapun jauh lebih muda. Saat menjabat sebagai Hu Pangcu, usianya baru sekitar 55 tahun, dan menjadi yang termuda diantara sesama Hu Pangcu.

Selain kedua Hu Pangcu ini, ikut juga dalam penyerangan ini adalah seorang Hu Hoat, yakni Bouw Lim Couwsu, suheng dari Tibet Sin Mo. Kemudian nampak juga ada See Thian Coa Ong, yang dulu sempat dilukai oleh Kiang Ceng Liong dan sekarang sudah sembuh, bahkan sudah mampu menyempurnakan ilmu sakti yang dulu sedang didalaminya ketika bertapa di dekat Pakkhia.

Nampak pula Pek Bin Houw Ong, yang kali ini siap dengan senjata Cakar Harimau yang sudah dipasangi tali ikatan sehingga bisa dijadikan senjata penyerang. Selain Pek Bin Houw Ong, juga ada 3 orang lainnya yang sangat kejam, yang terkenal dengan nama Liok te Sam Kwi (Tiga Setan Bumi). Setelah para tokoh itu, nampak yang memimpin para penyerbu adalah Ciam Goan Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar) bersama dengan Ma Hoan Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima), keduanya adalah murid ketiga dan keempat See Thian Coa Ong, yang setelah kehancuran Hek-i-Kay Pang akhirnya masuk menjadi anggota Thian Liong Pang. Apalagi karena memang dibentuknya Hek-i-Kay pang adalah untuk kepentingan Thian Liong Pang dan menggunakan kekuatan-kekuatan Thian Liong Pang.

Para penyerbu di bagian depan, sepertinya memang ditakdirkan untuk menjadi korban alias dikorbankan. Karena mereka rata-rata, memang adalah anggota taklukan dari beberapa Perguruan yang kurang terkenal, dan orang-orang seperti inilah yang menjadi umpan. Seperti juga yang terjadi kali ini, mereka menjadi penyerang pelopor dari hampir 200 pasukan penyerbu yang terdiri dari 48 Barisan Warna Warni, 52 Pasukan Berjubah Hitam dan sisanya adalah pasukan pelopor yang biasanya dengan mudah mati dibunuh lawan. Dan, memang kelompok inilah yang kemudian menjadi korban dari kebinalan perang gerilya di balik barisan gaib yang dipimpin oleh generasi muda keluarga Yu, terutama yang paling tangkas karena sangat mengerti ilmu barisan adalah Yu Ko Ji.

Dan, target kedua belah pihak memang tercapai. Di pihak Keluarga Yu, target mengurangi sebanyak mungkin kelompok penyerbu terpenuhi, lebih 50 atau mendekati angka 60 penyerbu mati atau terluka parah, sementara di pihak keluarga Yu, hanya kehilangan sekitar 7 orang meninggal. Dengan demikian, kelebihan jumlah penyerbu menjadi tidak begitu berarti lagi. Penyerang menjadi tidak begitu berbahaya lagi dari segi jumlah. Tetapi para penyerang tetap optimist karena didampingi dan dipimpin oleh tokoh-tokoh besar dari Thian Liong Pang, bahkan didampingi 2 Hu Pangcu dan seorang Hu Hoat. Kekuatan yang sangat luar biasa tentunya.

Tetapi, dipihak penyerang yang memang memilih menyerang terbuka dengan mengandalkan kekuatan, kehilangan pasukan penyerbu yang memang sengaja dikorbankan sama sekali tidak dihitung kerugian. Jumlah itu dianggap wajar, karena imbalannya adalah ditembusnya barisan gaib keluarga Yu, dan sekarang sudah nampak di kejauhan wuwungan rumah keluarga perguruan Yu. Tetapi, rupanya, keluarga Yu tidak memilih untuk bertempur didalam pekarangan rumah, tetapi memilih bertempur di luar. Karena itu, di areal yang cukup luas, para penyerbu kemudian telah disambut oleh Barisan 6 Pedang Pualam hijau.

Sebuah Barisan Pedang yang sangat istimewa dan anehnya selama 10 tahun terakhir, baru kali ini muncul. Dan inilah kejutan pertama yang tidak disangka oleh penyerbu, karena barisan ini luar biasa ampuhnya. Dan dengan sangat terpaksa, Barisan Warna Warni harus menghadapi Barisan 6 Pedang meskipun tanpa kepastian menang. Dan, sudah pasti, tenaga 48 penyerbu akan tersedot untuk membentuk barisan menandingi barisan 6 pedang. Dan memang itulah yang terjadi dan sengaja diatur oleh Ceng Liong untuk menyedot jumlah lebih banyak penyerang dalam menghindari korban lebih banyak di pihak keluarga neneknya. Dengan tersedotnya jumlah 48 barisan warna-warni, maka praktis pertempuran diantara para murid akan berlangsung dalam jumlah yang seimbang, karena di bawah komando Ceng Liong terdapat jumlah 50 orang pasukan lain dari Kay Pang.

Ketika semua pasukan penyerbu sudah meluruk masuk dengan dipimpin oleh Ciam Goan dan Ma Hoan, sementara barisan warna warni dipimpin oleh pemimpin masing-masing sesuai warnanya. Di belakang mereka kemudian baru berjalan masuk Hu Pangcu Pertama dan Ketiga, kemudian Hu Hoat Bouw Lim Couwsu, Liok te Sam Kwi, See Thian Coa Ong dan Pek Bin Houw Ong. Nampaknya yang memegang komando kali ini adalah Hu Pangcu ketiga, Tibet Sin Mo Ong. Begitu tiba, dia segera melesat kedepan dan didampingi oleh Hu Pangcu pertama dan suhengnya Bouw Lim Couwsu yang menjadi salah satu dari 4 Hu Hoat Thian Liong Pang.

Kemunculan Bouw Lim Couwsu sangat mengagetkan Sian Eng Cu yang bersama Sian Eng Li menemani Ceng Liong dan Yu Siang Ki. Tentu saja dia mengenal Bouw Lim Couwsu sebagai salah seorang tokoh hebat yang pernah kecundang di tangan gurunya karena berontak terhadap pimpinan Lhama Tibet. Sementara Ceng Liong juga berkerut melihat ternyata ketiga orang yang menghadapi mereka sekarang ternyata memiliki Ilmu yang luar biasa. Tetapi, Ceng Liong mampu bersikap tetap tenang, seperti juga Sian Eng Cu yang berdiri berjajaran di baris paling depan. Baru di belakang barisan depan, secara bersama terdapatlah Yu Siang Bun, Yu Ko Ji, Yu Ciang Bun, Yu Liang Kun dan Yu Liang San serta Maling Sakti dan Lauw Cu Si, Pengemis Kepala Batu dari Lok Yang.

Ketika akhirnya semua tokoh sudah bediri saling berhadapan, perang mental dengan segera terjadi. Saling tatap dan saling ukur mulai dilakukan, dengan Sian Eng Cu dan Yu Siang Ki yang paling berpengalaman merasa tergetar karena melihat dipihak lawan ada Bouw Lim Couwsu yang luar biasa lihay. Meski belum sehebat Bouw Sek Couwsu, tetapi tokoh ini jelas tokoh kelas kakap yang akan sangat sulit untuk dihadapi olehnya dan mungkin juga oleh Mei Lan dan Ceng Liong.

“Hm, jadi inikah kekuatan yang diandalkan oleh Keluarga Yu untuk menghadapi Thian Liong Pang. Pasti ini Barisan 6 Pedang Pualam Hijau, sungguh hebat, dan ehm ….tentunya Bengcu Tionggoan juga berada ditempat ini. Mengapa tidak keluar menemui kami”? Terdengar Tibet Sin Mo Ong mengeluarkan suara menjengek yang sangat tidak sedap didengar dan pandangan matanya seakan menghina melihat Barisan 6 Pedang dan kemudian matanya jelajatan mencari yang menjandi Bengcu saat ini. Dan sementara itu, mendengar ucapan Tibet Sin Mo Ong, Yu Siang Ki segera sadar, dan dia kemudian mengernyit dan berbisik kepada Ceng Liong: ”Kiang Bengcu, silahkan memimpin kita sekalian untuk melawan para perusuh ini”.

Tapi Kiang Ceng Liong yang masih sangat hijau itu nampak berusaha menolak dan berkata sambil berbisik kepada paman kakeknya Yu Siang Ki:

”Paman Kakek Yu, biarlah engkau saja orang tua yang ….” Belum selesai suara penolakan Ceng Liong, telinganya tiba-tiba menangkap sebuah suara lirih, tetapi sangat jelas maknanya:

”Liong Jie, jangan mempermalukan kedudukanmu sebagai Bengcu. Tugas itu harus kauterima, Paman Yu Siang Ki sudah bertindak dengan sangat tepat. Lakukan segera”

Kiang Ceng Liong nampak tersentak. Lagi-lagi Liong Jie, Liong Jie, tapi kali ini suara itu menyebut Yu Siang Ki sebagai ”paman”, siapa lagikah yang memanggil Yu Siang Ki sebagai paman kecuali ayahnya? Apakah ayahnya benar membayanginya selama ini? Ingatan akan hal ini membangkitkan semangat dan kegagahannya. Segera sifat gagahnya kelihatan menonjol keluar dan dengan mengangguk kearah Yu Siang Ki, kemudian Ceng Liong berkata tegas:

”Biarlah tugas pertamaku sebagai Tionggoan Bengcu dilakukan dengan menghajar orang-orang yang tidak tahu aturan dan tata krama dunia persilatan. Aku, Kiang Ceng Liong dari Lembah Pualam Hijau, bukan hanya membantu Keluarga Yu, tetapi membantu dunia persilatan untuk sekali lagi memukul Thian Liong Pang sebagaimana dilakukan Sian Eng Li dan Sian Eng Cu menghajar mereka di Benteng Keluarga Bhe”.

“huh, sombongnya” terdengar suara dengusan murka dari mulut Hu Pangcu pertama. Karena dialah yang dimaksud dipukul dan terpukul kalah telak di dalam benteng keluarga Bhe, sesuatu yang sangat memalukannya diusik orang, jelas hatinya tidak senang.

“Dan sekarang, perusuh yang sama mencari gebuk pemukul pantatnya di Perguruan Keluarga Yu” tambah Ceng Liong. Kalimat terakhirnya, membuat bukan hanya Hu Pangcu pertama, tetapi bahkan Tibet Sin Mo Ong juga terpengaruh dan menggereng marah:

“Huh, anak muda, jadi engkau yang menjadi Bengcu. Hahahaha dengan umur atau sehijau engkau, apakah yang bisa kau lakukan ? Hahahahahaha, orang-orang di Tionggoan sungguh lucu” Kembali Tibet Sin Mo Ong tertawa ngakak dengan nada menyakitkan, tetapi selekasnya dia menyambung:

“Apa kau pikir kalian sanggup menahan kami dan memukul mundur kami? Kami tidak takut dengan barisan gaib keluarga Yu, dan sekarang kita sudah berhadap-hadapan”.

Yu Siang Ki yang temberang sudah menjadi sangat murka, demikian juga sebagian dari rombongan keluarga Yu. Dalam murkanya Yu Siang Ki malah sudah menukas:

“Kalian memang tidak takut, tetapi setidaknya jumlah kalian sudah berkurang banyak. Dan, belum tentu kami tidak sanggup memberi hajaran bagi kalian untuk pulang dengan hajaran setimpal”.

”Paman Yu Siang Ki benar, selain jumlah kalian sudah berkurang banyak, kamipun masih sanggup untuk memberikan pukulan bagi kalian para perusuh dunia persilatan. Dan terserah kalian, mau mengerahkan semua penyerang dengan menghadapi Barisan 6 Pedang Pualam Hijau atau bertarung dengan cara bagaimana” Ceng Liong menambahkan dengan mantap.

Tiba-tiba Hu Pangcu pertama yang sudah kesal dengan dibongkarnya kekalahan pasukannya di Benteng Keluarga Bhe mendengus kesal dan tertahankan dia berkata dengan suara tawar:

“Anak kemarin sore, apakah kau pikir Barisan 6 Pedangmu, menjagoi tanpa tanding”? Biarlah aku menantang barisan pedangmu dengan barisan warna warniku” Berkata Hu Pangcu pertama sambil melirik Hu Pangcu Ketiga meminta persetujuan, dan sekilas nampak Tibet Sin Mo Ong mengiyakan. Dan segera setelah itu, nampak Hu Pangcu Pertama memerintahkan sesuatu kearah Barisan Warna-Warni yang segera bergerak dengan 2 barisan berputar searah jarum jam dan 2 barisan lagi berputar dengan arah sebaliknya. Tetapi putaran itu aneh dan luar biasanya menjadi semacam gerigi berputar dan menyambar kearah Barisan 6 Pedang Pualam Hijau. Pertempuran pertama yang aneh dan ajaib dimulai, antara 2 barisan yang terkenal dalam dunia persilatan dewasa ini.

Duta Perdamaian Lembah Pualam Hijau yang membentuk Barisan 6 Pedang nampak kemudian terkurung dalam gerigi berputar dan seakan ingin menelan mereka. Tetapi, Barisan 6 Pedang sendiri sudah siap, sangat siap malah menyambut Barisan Duta Warna Warni. Dan ketika mereka mau di bekap dan dikungkung oleh barisan tersebut, tiba-tiba Duta pertama yang memegang pimpinan di kepala barisan berteriak, diikuti oleh 2 barisan pedang dibelakangnya. Sementara ekor barisan yang dipegang oleh Duta keenam, nampak bersiaga memberi support dan perlindungan bersama 2 duta lainnya.

Terjangan tadi, menandai benturan antara kedua barisan, dan tidak berapa lama, pertempuran antara kedua barisan sudah sulit diikuti mata telanjang tokoh silat kelas 1 sekalipun. Sementara, baik Ceng Liong, Hu Pangcu dan tokoh utama lainnya melihat dengan jelas, bahwa pertarungan antara kedua barisan akan berjalan lama. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam diri Ceng Liong, karena dia sudah mnenjajal kemampuan barisan ini yang sangat luar biasa, selain dia sudah sempat menyempurnakan latihan ginkang kepala dan ekor barisan, serta Soan Hoang Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut bagi 4 duta lainnya. Sudah lebih dari cukup, pikir Ceng Liong.

Sementara itu, nampak Hu Pangcu Ketiga, Tibet Sin Mo Ong mengeluarkan perintah kepada Ma Hoan dan Ciam Goan untuk segera maju menyerang dan membuka front pertempuran yang lain. Semua itu diikuti dengan jelas oleh Ceng Liong, karena itu dia melirik ke arah Maling Sakti dan Lauw Cu Si untuk mempersiapkan pasukan Kay Pang, dan juga berbisik kepada Yu Siang Ki untuk menyiapkan anak murid Keluarga Yu. Dan benar saja, nampak kemudian Ma Hoan dan Ciam Goan sudah menggerakkan barisan yang mereka pimpin, dan dengan cepat Lauw Cu Si sudah mengatur barisan Kay Pang membentur barisan Thian Liong Pang. Jumlah mereka menjadi seimbang ketika Yu Ciang Bun dan Yu Liang Kun serta Yu Liang San kemudian ikut terjun bersama lebih 30an anak murid keluarga Yu.

Sedikitnya, 20 lebih anak murid keluarga Yu, dengan dimpimpin oleh Yu Ko Ji menjadi pasukan cadangan untuk mengamati keadaan medan pertempuran. Kembali terjadi benturan antara jumlah yang lebih besar dan juga nampaknya berimbang, dan ini membuat Tibet Sin Mo Ong menggeram murka, dia tidak menyangka akan bertemu Barisan 6 Pedang didalam perguruan keluarga Yu. Dan nampaknya, jumlah penyerbu yang diperhitungkan mereka sudah lebih dari cukup, bisa tertandingi karena Barisan 6 Pedang menyerap banyak jumlah anak buahnya untuk mengurung mereka.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa Ji Kwi dan Sam Kwi dari rombongan tokoh penyerang Thian Liong Pang:
“Hahahahaha, Hu Pangcu, kami jadi tertarik untuk bermain-main, mari carikan kami lawan, atau biarlah kami berpesta dengan musuh-musuh kita” bersamaan dengan itu, ketiga Setan Bumi nampak berjalan memisahkan diri dari rombongan pemimpin Thian Liong Pang. Mereka mulai berjalan kearah arena pertempuran kedua, dan dengan cepat Ceng Liong memutuskan tokoh yang tepat menghadapi mereka nampaknya adalah Sian Eng Cu, dan sekejap melirik kearah orang tua itu, yang dengan cepat tanggap dengan keadaan dan sudah melayang menghadang ketiga tokoh mengerikan itu.

“Sabar dulu Thian te Sam Kwi, jika mau bermain-main, biarlah dengan lohu, tua-sama tua, tidak usah mencari lawan yang lain”

Thai Kwi yang tentu mengenal Sian Eng Cu segera tergelak tertawa sambil berucap: “Apakah Sian Eng Cu sudah merasa mampu melawan kami”? Tetapi sambil bertanya dia sudah menyerang kearah Sian Eng Cu dan kembali terjadi pertempuran, kali ini dengan tokoh yang lebih berat. Sebetulnya, diantara 4 datuk iblis ini, yang terhitung paling lihay adalah Thian te Tok Ong, sedikit dibawahnya adalah See Thian Coa Ong dan Thian te Sam Kwi karena mereka maju bertiga, baru di urutan buncit adalah Pek Bin Houw Ong, meski jarak mereka tidak berjauhan.

Dan Sian Eng Cu juga menyadari, kalau Liok te Sam Kwi ini terasa lebih berisi ketimbang Pek Bin Houw Ong, terlebih setelah mereka menyelesaikan Ilmu mereka yang terakhir, yakni Ha Mo Kang sampai pada tingkat yang sempurna. Mereka menyelesaikan penyempurnaan Ilmu ini bersamaan dengan See Thian Coa Ong yang juga menyelesaikan penyembuhan lukanya yang bahkan berbareng memperkuat tenaganya hingga sanggup menyelesaikan menyempurnakan Ilmu barunya.

Melihat pertarungan sudah berjalan sengit, Hu Pangcu pertama yang selama beberapa minggu terakhir merenungi kembali pertempurannya dengan Mei Lan, menjadi penasaran. Dan ketika dia melihat kembali Liang Mei Lan, sudah sejak tadi tangannya gatal untuk menyerang gadis itu, tetapi tentu saja dia tidak berani lancang tangan mendahului, sebab dia masih menghormati Hu Pangcu ketiga yang diserahi tanggungjawab memimpin serangan ini. Tetapi setelah pertempuran berkobar, dia kemudian melirik Hu Pangcu Ketiga yang dengan cepat diiyakan dan diijinkan baginya untuk maju. Dengan langkah lebar, kemudian dia maju kedepan dan berkata menantang Mei Lan yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri dengan membiarkan semua urusan ditangani oleh Ceng Liong dan Yu Siang Ki, toch dia hanya membantu:

”Nona, mari kitapun melanjutkan pertempuran kita yang masih belum sempat kita selesaikan” Hu Pangcu sudah dengan segera memilih lawan yang memang sudah sejak tadi diincarnya. Dan sudah tentu Mei Lan tidak akan ingkar untuk melawannya, tetapi yang kaget adalah jajaran keluarga Yu, mereka tidak mengira Mei Lan akan meladeni tantangan seorang tokoh sehebat Hu Pangcu, terlebih gadis itu masih remaja. Tetapi kekagetan dan kekhawatiran mereka sirna begitu Mei Lan berkelabat teramat pesat dan cepat menyongsong Hu Pangcu dan segera terlibat dalam pertarungan yang nampak bahkan lebih mendebarkan dibandingkan pertempuran-pertempuran lainnya yang terjadi disekitar arena yang semakin meluas itu.

Begitu melihat bahwa Hu Pangcu pertama juga ternyata memperoleh lawan yang setimpal, Hu Pangcu ketiga menjadi sangat kaget. Tidak disangkanya Liang Mei Lan memang sangat ampuh, bahkan gerakan-gerakannya seperti tidak masuk akal bisa dan mungkin dilakukan, dengan liukan-liukan yang mematahkan asumsi gaya gravitasi. Karena itu, dia melirik See Thian Coa Ong untuk maju ke arena. Tetapi, majunya tokoh ini dengan segera telah dihadang oleh seorang nona yang lain, yang entah sejak kapan sudah berada di lingkungan pertempuran dan memandang majunya See Thian Coa Ong dengan garang. Bahkan kemudian dengan garang si Nona memapak maju sambil berkata:

“Coa Ong, aku datang untuk menuntutmu memberi tahu dimana cici Giok Hong kau sembunyikan”
See Thian Coa Ong tentu saja tidak mengenal si gadis pendatang, adik dari Siangkoan Giok Hong bernama Siangkoan Giok Lian yang dulu mengeroyoknya bersama Ceng Liong. Tapi karena gadis ini menghalangi jalannya, tanpa banyak cingcong, dia justru langsung menyerangnya, dengan hanya berkata:

“Aku orang tua tidak mengenal cicimu, tapi kuusulkan untuk coba kau mencarinya di Neraka gadis kecil”
Giok Lian yang sedang sedih kehilangan cicinya yang sangat disayanginya, sudah tentu menjadi sangat marah. Dan dengan segera dia memapaki serangan-serangan See Thian Coa Ong. Dan anehnya, gadis ini yang pernah muncul di daerah Bing lam, nampak juga sudah sedemikian lihainya, dia bahkan tidak kalah melawan datuk iblis yang sakti ini. Bahkan nampaknya meladeni serangan Coa Ong dengan ringan dan santai saja.

Dengan menggerak-gerakkan tangannya menggunakan Kang See Ciang (Tangan Pasir Baja), dia tidak takut dengan racun ular si Raja Ular, bahkan dengan jurus Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar) dia seolah-olah sedang mempermainkan See Thian Coa Ong yang mengejar-ngejarnya seperti anak kecil. Tetapi, diapun tidak takut membentur lengan See Thian Coa Ong. Sementara Ceng Liong tersentak mendengar seorang gadis mencari Giok Hong. Itu berarti Giok Hong tidak kembali ke Bengkauw, bagaimana akhirnya nasib nona itu? Ceng Liong benar-benar bingung dengan kenyataan ini.

Arena terakhir ini, mulai menumbuhkan perasaan yang mengkhawatirkan bagi Hu Pangcu Ketiga. Tapi untungnya, dia masih mempunyai 2 jagoan utama yang belum turun, dia sendiri dan suhengnya yang menjadi Hu-Hoat yang kepandaiannya sudah sangat dia yakini kehebatannya. Maka dia melirik Pek Bin Houw Ong untuk maju ke arena, dan untuk melawan tokoh yang satu ini, Yu Siang Ki sudah sejak tadi menyiapkan dirinya.

Dan karena arena ini bukan arena perang tanding, tetapi pertempuran melawan para penyerang yang tidak mengindahkan sopan santun, maka Yu Siang Ki sejak awal suah menyiapkan diri bersama adiknya Yu Siang Bun. Karena itu, ketika menemukan kenyataan bahwa Pek Bin Houw Ong ini memang sangat tangguh, masih lebih tangguh sedikit dibandingkan dirinya, dia sudah memberi isyarat kepada adiknya untuk membantunya dan membuat arena baru pertempuran di keluarga Yu ini. Dengan mengeroyok, barulah Pek Bin Houw Ong bisa dibatasi kebuasannya. Hu Pangcu ketiga tidaklah mungkin protes, karena dia sadar ini bukan arena perang tanding, tetapi arena pertempuran penyerbuan sebuah keluarga Perguruan di Tionggoan.

Dan diapun melihat, tiada yang bisa menarik keuntungan secepatnya dari arena pertempuran yang baru ini. Karena dia agak segan untuk meminta suhengnya turun tangan, akhirnya dia berbisik kepada suhengnya, sekaligus Hu-Hoat Thian Liong Pang untuk sementara mengambil alih kepemimpinan, dia akan menempur Bengcu Tionggoan, Kiang Ceng Liong. Nampak Couw Lim Couwsu hanya mengangguk, tetapi terdengar dia berdesis lirih:

“Jangan terlalu percaya diri, kulihat anak itu sudah sanggup mengatur sinkangnya semau hatinya. Tidak pernah dia nampak gelisah di wajahnya, dan gerak-geriknya sungguh mendebarkan. Bahkan mungkin Toa Suhengmu dan lohu belum tentu bisa menandinginya”. Tibet Sin Mo Ong terperanjat mendengar uraian suhengnya itu, dan mau tidak mau dia percaya, karena dia tahu benar kelihayan dan ketajaman mata Ji Suhengnya ini.

“Baik ji suheng, aku akan berhati-hati” bisiknya. Setelah itu, dia maju dan mencelat ke depan sambil menantang Kiang Ceng Liong dengan pongahnya:

“Mari Bengcu, tinggal engkau yang tidak memiliki lawan, bairlah lohu yang melayanimu dan sekaligus mematahkan perlawanan kalian disini”

Tapi belum lagi Ceng Liong bergerak, sekali lagi terdengar desisan lirih di telinganya: “belum saatnya Liong Jie, biarkan orang ini menjadi lawanku, karena dia bahkan sama lihay dan berbahayanya dengan Bouw Lim Couwsu yang menjadi Hu-Hoat, awasi tindakannya suhengnya dan jangan berayal”. Dan benar saja, dihadapan Tibet Sin Mo Ong telah berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan wajahnyapun mengenakan secarik kain yang membuat wajahnya sulit dikenal, bahkan juga masih menggunakan sebuah caping lebar yang menambah kemisteriusan orang tersebut. Begitu tiba dihadapan Tibet Sin Mo Ong, dia langsung menyambut tantangan dan berkata:

“Hu Pangcu, belum saatnya Tionggoan Bengcu turun tangan. Mari, biarkan kami dari Lembah Pualam Hijau untuk membenturmu dan berusaha mengirimmu pulang ke Tibet”.

“Siapa pula engkau, dan apa maksudmu menyembunyikan diri dibalik secarik kain dan caping lebar itu”?

”Tidak perlu kau tahu, yang penting adalah, aku mewakili Bengcu untuk mengenyahkanmu”

”Hm, sombong, baiklah kau terimalah ini” sambil menjerit marah, Tibet Sin Mo Ong segera mengulurkan tangannya yang secara luar biasa bisa memanjang beberapa centi meter dibanding tangan orang biasa dan segera menonjok kearah ulu hati si kerudung hitam. Tapi, dengan cepat tangan si kerudung hitam menutuk kearah tangan memanjang Tibet Sin Mo Ong, sehingga tonjokkan dibatalkan dan berubah menjadi cengkeraman ke arah totokan si kerudung hitam, totokanpun dengan segera berubah arah dan dari samping mengarah ke cengkeraman Tibet Sin Mo Ong yang dengan cepat kembali mengubah arah cengkeraman menjadi pukulan menyambut totokan.

Tak ampun lagi, terjadi benturan yang menggoyahkan kedua orang itu, dan tak nampak seorangpun diantara keduanya yang goyah oleh benturan tersebut. Episode serangan Tibet Sin Mo Ong sampai benturan terjadi, hanya memakan waktu tidak lebih dari 2 detik, bisa dibayangkan kecepatan orang-orang itu dalam memukul, merubah gaya dan menyakurkan tenaganya. Tapi benturan itu membuat Tibet Sin Mo Ong terperanjat, ternyata masih ada tokoh lain yang sanggup menandinginya, dan dia merasa pasti, tokoh ini pastilah berasal dari Lembah Pualam Hijau.

Sebenarnya bukan hanya Tibet Sin Mo Ong yang kaget melihat kehadiran si kerudung hitam bercaping lebar, tokoh yang akhir-akhir ini sering membantai pembunuh dari Thian Liong Pang. Bahkan Ceng Liong sendiri sangat terkejut, terutama karena melihat permainan Giok Ceng Cap Sha Sin Ku Hoat yang sangat matang dan berisi. Diam-diam dia semakin yakin, bahwa orang ini pastilah ayahnya yang selalu mengawasinya, tetapi dimana pula ibunya bila orang ini benar adalah ayahnya? Dan mengapa pula menyembunyikan diri dan identitasnya? Tapi diapun mengagumi kematangan Ilmu orang berkerudung itu. Dia tidak berani mengklaim melebihi kemampuan orang berkerudung hitam itu dalam permainan Ilmu Pualam Hijau.

Tibet Sin Mo Ong, juga tidak sanggup berbuat banyak, jangankan mendesak, membuat orang itu tergertak mundurpun sulit sekali. Meskipun, dia sendiri belum merasa terdesak dan tidak merasa sangat tertekan oleh perlawanan si kerudung hitam. Berkali-kali dia menggunakan ilmu tutukan Tam Ci Sin Thong, salah satu ilmu khas Budha yang dimilikinya, tetapi juga tidak berarti banyak dan tak sanggup mengguncang kedudukan si kerudung hitam. Bahkan ketika dia menggunakan Ilmu Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga), diapun tidak sanggup menarik keuntungan yang banyak.

Ceng Liong yang melihat bagaimana orang berkerudung hitam itu menandinginya dengan menggunakan Soan Hong Sin Ciang, sebuah pukulan ampuh ciptaan kakek buyutnya yang juga gurunya. Dan berbali-kali pula dia melihat betapa tangan kosong mengerikan dari Tibet Sin Mo Ong bisa ditangkis dan dipentalkan oleh badai yang tercipta dari tubuh si kerudung hitam. Benar-benar matang latihan orang berkerudung itu dalam menggunakan Ilmu Pualam Hijau, bahkan dia harus mengakui masih kalah matang dalam ilmu itu.

Setelah melihat keadaan yang berjalan seimbang, bahkan pertarungan Barisan 6 Pedang dilihatnya semakin seru dan menegangkan, tetapi secara cermat dilihatnya bahwa Barisan 6 Pedang masih seurat di atas barisan lawan. Diapun melihat medan lain, dan melihat Ciam Goan ditandingi oleh Yu Ciang Bun dan Yu Liang Kun, keadaan masih sama kuat. Hanya kelicikan dan tak tahu malunya Ciam Goan yang membuatnya mampu menipu kedua anak muda yang mengeroyoknya. Terlebih karena pengalaman bertandingnya memang masih jauh melampaui kedua anak muda itu. Hal yang sama dialami oleh Ma Hoan yang dihadapi Yu Liang San dan Lauw Cu Si, hanya karena keberadaan Lauw Cu Si membuat tipuannya banyak sia-sia.

Ma Hoan nampak sedikit jatuh dibawah angin, namun masih terlalu jauh untuk menjatuhkannya karena dia sangat ulet dalam bergerak dan melakukan perlawanan. Sementara pertarungan antara para penyerbu dan anak murid keluarga Yu dibantu anak murid Kay Pang, menunjukkan kekuatan yang hampir seimbang, meskipun korban yang jatuh nampak sudah lumayan banyak dikedua belah pihak yang sedang bertempur itu. Maling Sakti nampak bertarung mengimbangi para tokoh pembunuh Thian Liong Pang bersama Ko Ji, dan membuat kedudukan menjadi sama kuat alias imbang.

Di arena para tokoh, dengan gembira Ceng Liong melihat Sian Eng Cu sanggup menyerang lebih banyak dibandingkan Thian te Sam Kwi. Bahkan pertarungan mereka sudah semakin seru, karena Sam Kwi mulai menggabung-gabungkan Ilmu mereka mengeroyok Sian Eng Cu yang sanggup mengelilingi mereka dan memusingkan ketiganya. Kehebatan ginkang Sian Eng Cu kembali diperlihatkan dalam pertandingan ini, meskipun dia juga sanggup mengimbangi Thian te Sam Kwi dengan ilmunya Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) digabungkan dengan ginkang Sian Eng Coan-in. Bolak-balik Thian te Sam Kwi menggabung-gabungkan Kiam Ciang, Siang Tok Swa dalam menghadapi Sian Eng Cu, tetapi tetap sulit mendesak tokoh sakti ini yang bergerak bagaikan bayangan dewa yang tidak tertangkap.

Nampaknya sebentar lagi, Thian te Sam Kwi akan mengeluarkan ilmu puncaknya, yakni Ha Mo Kang yang sudah mereka sempurnakan selama 2 tahun terakhir ini. Mereka bahkan sudah melengkapi penggunaan ilmu itu dengan senjata rahasia untuk mengatasi lawan yang menyerang dari atas. Hal itu mereka pelajari setelah digebuk oleh Liong-i-Sinni melalui ginkang tingkat tingginya. Dan pelajaran itu membekas di hati mereka sehingga mereka mencari cara untuk mengatasi kekurangan mereka ketika diserang tokoh hebat lain dari atas. Ditemukanlah cara itu dengan menyiapkan senjata rahasia yang akan memaksa orang bertempur horizontal, saling berhadap hadapan. Karena dengan berhadap hadapan, maka kekuatan Ha Mo Kang akan menentukan.

Sementara itu, Hu Pangcu pertama yang bertanding penuh semangat dan ingin mengalahkan Mei Lan, nampak bertempur penuh percaya diri. Kiang Ceng Liong sampai kaget melihat kemampuan orang ini, yang baginya malah masih setingkat di atas Hu Pangcu ketiga. Tetapi, kembali Ceng Liong menjadi kagum, karena ginkang istimewa Mei Lan dan penggunaan ilmu-ilmu Bu Tong Pay yang mirip Sian Eng Cu sungguh luar biasa.

Meskipun dia tidak mengkhawatirkan Mei Lan, tetapi entah kenapa melihat Mei Lan bertempur dia merasa tidak enak, dan sangat berkhawatir. Padahal dia paham, jarak dia dengan Mei Lan malah tidak banyak selisihnya, tidak terlampau jauh. Dia sendiri merasa heran dan aneh dengan dirinya bila berhadapan dengan Mei Lan, kadang merindukannya bila jauh, tetapi ketika dekat, justru dia kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Terlebih dia terbeban sangat dengan menghilangnya Giok Hong yang diyakininya bersama Kim Ciam Sin Kay sudah terlanjur berbuat lebih akibat racun perangsang. Diantara semua pertempuran, maka pertempuran inilah yang paling seru karena dimainkan oleh dua tokoh dengan kepandaian yang nyaris seimbang, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ceng Liong juga sadar, bahwa dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan pertempuran yang maha hebat ini.

Ketika memalingkan wajahnya kearah pertempuran yang lain, dia berkerut karena melihat gabungan kekuatan Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun, meski mampu menghalau banyak serangan Pek Bin Houw Ong, tetapi tak sanggup mendesak datuk itu lebih jauh. Bahkan beberapa kali serangan datuk itu membuat kedua pengeroyoknya kelabakan, meski tidak berlangsung terlalu lama. Ceng Liongpun tidak berani menyimpulkan siapa yang akan memenangkan pertarungan, karena ketiganya adalah orang yang sudah matang dan kenyang pengalaman bertanding.

Mungkin daya tahan yang akan mempengaruhi siapa yang akan memenangkan pertempuran tersebut. Yang pasti, pertempuran inipun akan sangat menyita waktu seperti arena pertempuran yang lain, juga nampak akan makan waktu yang sangat panjang untuk diselesaikan. Hanya Ceng Liong bersedih karena akan semakin banyak korban meninggal yang akan diakibatkan oleh pertempuran yang makan banyak waktu tersebut. Pertempuran saat ini saja sudah meminta korban yang tidak sedikit, apalagi bila berlangsung lebih lama lagi. Bisa dipastikan korban akan terus dan terus bertambah.

Arena pertempuran terakhir menggirangkan Ceng Liong. Anak muda yang menjadi Bengcu ini menjadi takjub melihat Giok Lian. Gadis ini mirip benar dengan Giok Hong yang dulu pernah bahu membahu dengan dirinya membantu Kay Pang di daerah Pakkhia. Tetapi, meskipun ilmu keduanya sama, tetapi gerakan, kemantapan, kematangan dan dorongan tenaga sakti gadis ini sudah jauh meninggalkan Giok Hong. Apalagi, lebih 2 tahun terakhir ini, dalam kedukaan karena menghilangnya Giok Hong yang bersama Giok Lioan dipersiapkannya, Siangkoan Bun Ouw telah mencurahkan segenap waktunya untuk mematangkan Giok Lian.

Bukan itu saja, diapun menurunkan Ilmu Rahasianya yang terakhir, yakni Sam Koai Sian Sin Ciang (Tangan Sakti 3 Dewa Aneh) yang hanya terdiri dari 3 jurus, yakni gerakan “Tangan Sakti Dewa Bulan”, “Tangan Sakti Dewa Matahari” dan “Tangan Sakti Dewa Bulan dan Matahari”. Ilmu-ilmu yang sebenarnya hanya diturunkan kepada Ketua Bengkauw, justru diturunkannya kepada cucu perempuannya yang memang sangat berbakat ini, sehingga di lingkungan Beng Kauw, selain Siangkoan Tek Kauwcu Beng Kau saat ini, maka Giok Lian menjadi orang kedua yang menguasainya. Bahkan menjelang ajalnya, himpunan tenaga Sinkang Bulan dan Matahari yang dilatihnya nyaris ratusan tahun itu juga diturunkan untuk “memasak” dan “menggodok” tenaga Jit Goat Sinkang Giok Lian. Itulah sebabnya kemampuan dan kepandaian Giok Lian yang hadir di Perguruan Keluarga Yu untuk mencari Ceng Liong sudah luar biasa lihainya.

Bahkan menjelang ajal, Kakek tua tersebut berpesan agar Giok Lian mengikuti pertemuan adu kepandaian melawan jagoan Tionggoan 3 tahun kedepan mendampingi ayahnya. Baru setelah pesan tersebut, Siangkoan Bun Ouw memberitahukan bahwa sebenarnya dia sudah menderita kelumpuhan sejak 20 tahun berselang, dan pada saat itulah dia kemudian berkonsentrasi menyempurnakan Sam Koai Sian Sin Ciang dengan menyarikan kehebatan In Liong Kiam Sut dan Koai Liong Sin Ciang.

Tetapi, selain membekal ilmu-ilmu dari kakeknya tersebut, Giok Lian juga membekal Ilmu-ilmu dari nenek buyutnya yang sangat sadis yang dipelajarinya secara diam-diam dengan kakaknya Giok Hong. Yakni ilmu Toat Beng ci dan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang). Kedua Ilmu itu, justru pada akhirnya dia sisipkan juga dalam Sam Koai Sian Sin Ciang dengan sepengetahuan kakek yang membimbingnya, tetapi kakek itu kemudian memutuskan “memasak” dan “menggodok” sinkang Giok Lian dan mengorbankan dirinya, karena melihat “hawa sesat” dalam tubuh dan sinkang Giok Lian bisa membawanya kearah kematian.

Akhirnya mati-matian dia meningkatkan kemampuan Jit Goat Sin Kang dan kemudian mengarahkan hawa sinkang Giok Lan untuk mengusir hawa sesatnya dan meminta Giok Lian tidak lagi mempelajari hawa sinkang mengikuti Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang). Giok Lian masih bisa mengerahkan jurus tersebut, tetapi sudah dengan tenaga Jit Goat Sinkang yang malah akibatnya menjadi lebih mengerikan dan lebih hebat. Demi menyelamatkan Ilmu Giok Lian dengan terpaksa sesepuh Bengkauw ini mengorbankan dirinya, menguras habis himpunan sinkangnya dengan memindahkannya ke pusar Giok Lian dan kemudian melatihnya membangkitkan dan menggunakannya. Giok Lian memang selamat, tetapi kakek buyutnya itu harus melepas nyawa untuk menyelamatkannya, sekaligus menjadikannya teramat lihay bahkan selihay ayahnya. Selama ini, memang hanya dikenal Siangkoan Tek sebagai jago terlihay Bengkauw, terutama karena ayahnya Siangkoan Bun Ouw sudah tidak aktif dan menyembunyikan diri. Dengan kehadiran dan kesaktiannya kini, bahkan Giok Lian sudah sanggup merendengi kemampuan ayahnya, bahkan meninggalkan kemampuan hu Kawcu Bengkau yang juga biasanya memiliki kemampuan luar biasa.
 
4 Melawan Hu Hoat Thian Liong Pang bagian 2





Dan anak gadis yang dilatih habis-habisan oleh tokoh puncak Bengkauw saat inilah yang dihadapi See Thian Coa Ong yang dengan sgera menjadi keripuhan. Padahal, dia sudah menciptakan dan menyempurnakan Ilmu Barunya, yakni Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang), mirip Ilmu sesatnya Giok Lian. Tetapi, Giok Lian mengalami kesulitan karena dia ingin menaklukkan kakek tua ini hidup hidup untuk ditanyai masalah Giok Hong, kakaknya yang sehati dengan dirinya dan yang sangat dicintainya.

Karena usahanya itu, maka dia nampak mengalami kesulitan untuk menaklukkan kakek sakti ini. Terlebih karena memang ilmu terakhir See Thian Coa Ong juga sungguh luar biasa ganasnya. Selain sangat beracun, juga memang sangat keras dan bertenaga. Untungnya, Giok Lian sudah memiliki bekal yang cukup untuk melawan datuk sesat yang satu ini.

Ceng Liong segera sadar, bahwa secara umum arena pertempuran bisa dimenangkan pihaknya. Dan ketika Ceng Liong melakukan penelitian dan pengamatan ke arena, rupanya Bouw Lim Couwsu juga melakukan hal yang sama. Dan lebih banyak dahinya berkernyit kesal dan marah ketimbang tersenyum, karena dia melihat keseimbangan dan kemenangan yang dijaminkan Hu Pangcu ternyata berbalik karena terlampau percaya diri. Mereka tidak melakukan penilaian kekuatan lawan lebih dahulu tetapi langsung menyerang.

Mungkin karena cara ini berhasil ketika mereka menyerang Tiam Jong Pay dan Go Bie Pay, tetapi nampaknya akan mengalami kegagalan disini seperti di Benteng Keluarga Bhe. Berpikir demikian, maka satu-satunya cara dan jalan adalah dengan secepatnya mengalahkan Bengcu yang nampak masih muda itu. Meskipun dia sendiri sebetulnya tidak punya keyakinan. Dengan mengalahkan bengcu muda ini dan kemudian membantu kawan-kawan yang lain, akan memampukan mereka untuk menuntaskan kerjaan di keluarga Yu ini. Kembali dia mengedarkan pandangan sekali lagi kesemua arena, tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengar jeritan tertahan yang keluar dari mulut See Thian Coa Ong:

”Aaaaaaach“ jeritan itu disertai terpentalnya tubuh See Thian Coa Ong ke arah hutan jalan masuk. Dan tidak menunggu serangan Giok Lian, tubuh tua itu nampak kemudian meloncat setelah muntah darah ke arah hutan masuk yang dipenuhi barisan gaib keluarga Yu tersebut. Giok Lian terkejut melihat kelicikan lawan dan berusaha mengejar, tetapi tidak cukup lama dia kembali ke arena karena dia kurang mengerti ilmu barisan, sementara Coa Ong nampaknya sedikit menguasai ilmu barisan tersebut sehingga bisa meloloskan diri dari tempat tersebut meskipun dalam keadaan terluka.

Jatuh dan kalahnya, bahkan larinya See Thian Coa Ong membuat Bouw Lim Couwsu mempercepat serangannya kearah Ceng Liong. Begitu menyerang dia langsung menggunakan Hong Ping Ciang yang membadai, arus dan jumlah pukulan yang luar biasa banyaknya mengarah ke Ceng Liong. Tetapi, anak muda inipun bukanlah ayam sayur yang mudah diserang dan digertak. Dengan tangkas dia menyambut rangkaian serangan tersebut dan bersilat dengan Soan Hong Sin Ciang. Ceng Liong merasa bahwa Ilmu itu yang cocok menimpali Hong Ping Ciang yang datang membadai. Benar juga, terdengar berkali-kali mereka beradu tenaga “plak, plak, plak“, dan Ceng Liong tidak tahu lagi berapa kali mereka beradu tenaga saling menangkis dan memukul.

Yang pasti, nampaknya keduanya tidak merasa berhalangan dalam melakukan tukar pukulan dan mengerahkan tenaga di tangan untuk saling membentur dan menjajaki. Dan seperti dugaan Bouw Lim Couwsu, anak ini bukanlah anak sembarangan, terbukti semua pukulan dari Ilmu andalan perguruan mereka dapat digagalkan Ceng Liong tanpa menderita kerugian sedikitpun. Bahkan Ceng Liongpun tidak ragu untuk menghadapi ilmu totokan Tam ci sin thong yang sudah dikenalnya melalui pendekar kembar Siauw Lim Sie, dan juga menambahkan unsur Toa Hong Kiam Sut melalui hawa pedang ditangannya untuk menangkal gabungan Hong Ping Ciang dengan Tam ci sin thong. Akhirnya pertempuran merekapun melengkapi pertempuran seru di Perguruan Keluarga Yu, mereka bergerak pesat dengan pukulan-pukulan berat yang melambari pergerakannya.

Sementara itu, pertempuran lain sudah mulai menunjukkan tanda berakhir. Kecuali pertandingan antara Pek Bin Houw Ong yang berlangsung imbang dengan Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun dan Liang Mei Lan melawan Hu Pangcu pertama dan Tibet Sin Mo Ong melawan si manusia berkerudung, arena lainnya boleh dikata mulai menunjukkan keunggulan pihak keluarga Yu. Setelah See Thian Coa Ong melarikan diri, maka Thian te Sam Kwi yang menghadapi Sian Eng Cu yang sudah menjadi lebih lihay itu menjadi lebih kerepotan.

Mereka sudah mulai mainkan Ha Mo Kang, tetapi Sian Eng Cu juga sudah membekal ilmu dahsyat lainnya, dan dia mengimbangi mereka dengan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Dengan ilmu itu, dia tetap menguasai mereka bertiga dengan kecepatannya, dan daya pengaruh ilmu itu mampu menutup kehebatan Ha Mo Kang yang seolah-olah macet menghadapi Sian Eng Cu. Karena itu, perlahan mereka terus terdesak, terus mengalami tekanan Sian Eng Cu seperti pertarungan mereka tempo dulu. Dan, sebelum mengalami kejadian yang lebih memalukan, mereka bertiga nampak sudah sepakat untuk pergi menyusul See Thian Coa Ong.

Mereka murka, karena katanya Perguruan Yu tidak ada apa-apanya, ternyata bahkan See Thian Coa Ong juga terpukul pergi, dan tokoh lainnya juga terlibat kesulitan. Maka sambil melirik, ketiganya kemudian bersatu hati, memusatkan kekuatan Ha Mo Kang dan secara serempak menyerang Sian Eng Cu dari tiga arah. Tapi Sian Eng Cu juga tidak melulu membiarkan dirinya menghindar, kali ini dia mendorongkan tangannya dengan kekuatan penuh menghadapi ketiga lawannya dalam jurus Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan).

Sian Eng Cu tergetar mundur dan nampaknya nafasnya menyesak beberapa saat karena goncangan dalam dirinya, tetapi ketiga Iblis Bumi terlempar hebat dan sepertinya mereka sengaja melakukan itu. Karena mereka sudah berencana kabur, dan dengan muntah darah, seperti juga See Thian Coa Ong, mereka kemudian kabur melalui jalan masuk tadi. Tapi kaburnya Thian te Sam Kwi, ternyata juga sudah dengan cepat diiringi oleh Pek Bin Houw Ong yang sekali lagi merat dari arena karena melihat keadaan semakin tidak menguntungkan. Dengan melakukan serangan mendesak kedua bersaudara Yu, iblis ini kemudian merat menyusul ketiga Setan Bumi yang lari duluan. Lebih untung Houw Ong, karena selain kelelahan, dia tidak menderita kerugian sedikitpun.

Pertempuran sudah boleh dikatakan usai, karena anak buah para penyerang juga sudah mulai dikuasai Ko Ji dan maling sakti. Jumlah mereka sudah berkurang drastis, sementara Barisan 6 Pedang juga sudah sekian lama mendesak Barisan Warna-Warni, bahkan sudah melukai beberapa anggota Barisan Warna-warni tersebut. Tetapi ketiga pertandingan utama, masih nampak alot, yakni antara manusia berkerudung melawan Tibet Sin Mo, Liang Mei Lan menghadapi Hu Pangcu Pertama dan Ceng Liong yang baru mulai bergebrak dengan Bouw Lim Couwsu.

Keadaan yang sudah jelas membayangkan kegagalan ini, bukan tidak disadari oleh Hu Pangcu Ketiga yang menjadi pemimpin operasi. Tetapi, dia sedang dililit kesulitan mnenghadapi manusia berkerudung yang ternyata tidak berada di bawah kepandaiannya, dan disisi lain dia melihat Hu Pangcu pertama dan suhengnya, juga menghadapi lawan yang sepadan. Karena itu, dikeraskannya hatinya untuk menghadapi lawannya kali ini, sebab kemenangan hanya mungkin didapat dengan mengalahkan lawan selihay ini. Sayangnya, lawannya bukan lawan sembarangan, tetapi seorang tokoh kawakan dari Lembah Pualam hijau. Seorang tokoh yang terang-terangan menentang Thian Liong Pang dan yang saat ini bisa mengimbangi semua ilmunya, bahkan lebih sering mendesaknya.

Tidak ada jurusnya yang sanggup memberikan keuntungan yang memadai baginya, bahkan menggunakan Hong Ping Ciang dan Tam ci Sin Thong, juga sanggup dihadapi manusia berkerudung itu dengan sangat baiknya. Bahkan belakangan, pada saat dia merasa tenaga sinkangnya sudah mulai merosot, lawannya justru bertambah kokoh. Ketika akhirnya dia memutuskan menggunakan Ilmu Pukulan Udara Kosong yang sudah dilatih dengan racun beberapa waktu terakhir ini, itupun karena dia tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi, dia bertambah kaget, karena lawan juga mempunyai ilmu yang sanggup menahan pukulannya itu.

Si manusia berkerudung nampak bergerak dengan Ilmu ampuh lainnya dari Lembah Pualam Hijau, Khong in Lo Thian dan bergerak-gerak aneh dengan langkah kaki Sian Jin Ci Lou. Inilah pertandingan puncak antara keduanya, gemuruh angin pukulan menyebar kemana-mana, tetapi langkah-langkah aneh dan deburan gemuruh pukulan manusia berkerudung sanggup membendung pukulan udara kosong beracun. Udara dan langit seperti terhalang kabut racun yang sangat berbahaya, dan bahkan ketika seseorang tersentuh, tubuhnya langsung menggeliat-geliat keracunan dan mati tidak lama kemudian.

Pada arena yang lain, Liang Mei Lan juga sedang bertempur pada puncak kemampuannya menghadapi Hu Pangcu pertama ini. Semua Ilmu juga sudah dikerahkan menghadapi badai kepandaian yang luar biasa hebatnya dari Hu Pangcu. Terutama, karena Hu Pangcu ini adalah seorang yang sangat cerdas, dia telah mempelajari kehebatan Mei Lan dalam pertandingan pertama yang membuatnya jatuh di bawah angin. Karena itu, dia sekarang jauh lebih siap menghadapi Mei Lan.

Tetapi, kesiapannya toch tidak mampu membuatnya lebih unggul, karena meskipun dia sudah menguras semua kemampuan perbendaharaan Ilmunya, dia masih tetap belum sanggup menekan dan menempatkan Mei Lan dibawah pengaruh dan tekanannya. Pada pertempuran mereka yang terakhir, dia sudah sempat mengerahkan Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), untuk mendesak Mei Lan yang memainkan Ban Hud Ciang, dan menyerang dengan pukulan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah) sebelum melarikan diri.

Sayangnya, masih ada sebuah ilmu yang sedang diyakinkannya dengan Ketua atau Pangcu Thian Liong Pang yang tidak boleh dikeluarkan agar tidak memancing kemarahan lebih besar dan membuka jejak mereka keluar. Ketika dia kembali menyerang dalam gaya “Membongkar Bumi meratakan alam”, dia bergetar karena harus bertemu dengan kecepatan dan kekuatan Telapak Budha dari Ban Hud Ciang. Mereka kembali bertempur seru dalam kedua Ilmu tersebut, tetapi nampaknya malah Mei Lan yang sanggup mendesak Hu Pangcu tersebut karena kemampuan bergeraknya yang luar biasa.

Dalam pada itu, Hu Pangcu Pertama dan Ketiga nampaknya sudah sadar bahwa mereka tidak akan mampu memenangkan pertarungan. Jagoan utama mereka, juga nampaknya hanya mampu bertnading seimbang dengan Bengcu yang masih muda itu. Karena itu, Hu Pangcu Pertama sudah mengirimkan bisikan agar mereka pergi dengan menggunakan Barisan Warna-warni sebagai perisai akhir yang akan dikorbankan. Hal tersebut segera diiyakan oleh Hu Pangcu Ketiga yang juga sudah merasa sangat kerepotan.

Tetapi nampaknya tanpa jawaban dari Bouw Lim Couwsu yang merasa sangat malu harus meninggalkan arena menghadapi seorang anak bau pupuk, pikirnya. Tetapi persetujuan Hu Pangcu Ketiga sebagai pemimpin operasi sudah lebih dari cukup. Karena itu, dengan segera dia bersiul, sebuah siulan rahasia yang diperuntukkan bagi Barisan Warna-Warni. Dan memang, dengan segera barisan itu bergerak sangat tertib, tetap membaur dalam barisan, tetapi tidak lagi meladeni Barisan 6 Pedang yang terus mengejar mereka. Tetapi karena tetap dalam barisan, dan nampaknya membentuk benteng yang hebat, selain itu tidak banyak orang yang menyadari, akhirnya ketika terdengar dua benturan berturut-turut, 2 tubuh tiba-tiba melayang ketengah Barisan warna-warni.

Dari barisan itu, pertama mereka menggempur Barisan 6 Pedang yang dengan cepat mengatur diri dan keseimbangan, sehingga tidak bisa didesak oleh Barisan Warna-warni dan kedua pendatang hebat lainnya. Tetapi, langkah 2 orang tadi, hanya langkah selipan, karena dengan cepat, mereka kemudian berkelabat mundur ke mulut lembah tanpa ada yang menyadari dan mencegah. Dan dibawah perlindungan barisan warna-warni yang nampaknya sengaja dikorbankan, kedua tokoh itu kemudian berkelabat lenyap. Barisan warna-warni yang selesai melakukan tugasnya kemudian membuyar, hanya menyisakan beberapa orang yang mencapai pintu keluar lembah, selebihnya tewas di tangan Barisan 6 Pedang yang memburu dan melawan mereka.

Pertempuran selesai, karena nampaknya bahkan Ma Hoan dan Ciam Goan yang terluka sudah membunuh diri bersama kawanan mereka lainnya yang terluka dan terakhir ditemukan bunuh diri dengan racun. Tetapi pertempuran yang lain, yang terakhir justru masih belum berakhir. Ceng Liong sudah menawarkan kepada Lhama tua yang sakti itu untuk menyerah, tetapi ditolak dengan marah oleh Bouw Lim Couwsu. Bahkan dalam kemarahannya, dia kemudian menghentikan serangannya dan berkata:

“Bengcu, pinto menantangmu untuk bertanding seorang lawan seorang. Bila pinto kalah, maka pinto akan menyerah. Tetapi bila pinto menang, maka harus diperkenankan meninggalkan lembah ini” Hebat tantangannya, tantangan kepada seorang bengcu Tionggoan, tentu sulit dielakkan. Dan baik Sian Eng Cu maupun si manusia berkerudung sadar, bahwa Bouw Lim Couwsu memanfaatkan celah ini. Karena akan sangat memalukan bila seorang Tionggoan Bengcu menolak tantangan bertanding. Ceng Liong juga menyadari kecerdikan Bouw Lim Couwsu, karena itu dengan keren akhirnya dia berkata:

“Bouw Lim Suhu, sepantasnya sebagai pihak penyerang engkau tidak diberikan pengampunan yang sangat menyenangkan bagimu. Tetapi, pantang Bengcu di Tionggoan menampik tantanganmu. Baiklah, mari kita tentukan dalam Ilmu Kepandaian” tantangan itu diterima Ceng Liong. Tetapi kalimat itu membuat Sian Eng Cu mengangguk-anggukkan kepala, puas terhadap kegagahan Bengcu, demikian juga si orang berkerudung nampak sangat puas, meski membayang sedikit kekhawatiran.

Setelah tantangannya diterima, kembali Bouw Lim Couwsu membuka serangan. Kali ini, getaran tenaga saktinya sungguh luar biasa, sesekali nampak Ceng Liong merasa betapa semakin berat serangan dan luncuran tenaga sakti Bouw Lim Hwesio. Bouw Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu, meski mengikuti jalan sesat, tetapi memiliki dasar aliran Ilmu Budha yang murni. Sementara Tibet Sin Mo Ong, sudah berani mencampurkan kepandaiannya dengan Ilmu Sesat dan kehilangan kemurniannya, meski Ilmu Silatnya maju pesat, tetapi kekuatan sinkangnya mandek.

Itu sebabnya, Bouw Lim Couwsu ini, malah lebih berbahaya dalam perang tanding dibandingkan sutenya yang sudah lari meninggalkannya. Sadar bahwa kepandaiannya menentukan nasibnya, Bouw Lim Couwsu yang kawakan mengeluarkan tantangan adu kepandaian. Dan kembali tersaji sebuah arena pertandingan dengan Ilmu dan Jurus yang jarang ditampilkan dalam dunia persilatan. Meski berdasar Ilmu Budha, tetapi Bouw Lim Couwsu bergaya silat Tibet, sehingga memiliki perbedaan dengan yang berkembang di Tionggoan yang berdasarkan aliran Siauw Lim Sie.

Hentakan-hentakan tenaga sakti Bouw Lim Couwsu semakin membahana, bahkan mulai dimainkan dengan jurus Kong Jiu Cam Liong dan Tam Ci Sin Thong, sehingga baikan tutukan tangannya maupun angin pukulannya membawa suara mencicit dan bahana tenaga yang luar biasa. Sementara itu, Ceng Liong memutuskan memainkan Soan Hong Sin Ciang yang telah disempurnakan dengan versi Tek Hoat, tetapi menjadi lebih efektif. Bahkan si manusia berkerudung dan barisan 6 pedang yang memahami Ilmu itu, berdecak kagum ketika dimainkan oleh Ceng Liong.

Terlebih ketika Ceng Liong memasukkan unsur pedang dari Toa Hong Kiam Sut yang menjadi padanan Soan Hong Sin Ciang. Adu pukulan dan hawa totokan lawan hawa pedang membuat udara sekitar menjadi sangat berbahaya bagi tokoh silat sembarangan. Bahkan hawa dan perbawa “sihir” yang semakin mengental dari Soan Hong Sin Ciang membuat tubuh Ceng Liong menjadi bagaikan asap yang melayang kesana kemari membawa bahana badai dan angin keras dari tubuhnya. Tetapi begitupun, Bouw Lim Couwsu adalah seorang tokoh lihay, tokoh kawakan yang hanya sempat dikalahkan seorang Wie Tiong Lan pada masa lalu.

Dan kepandaiannya tentunya tidaklah mandeg, dan karenanya perbawa yang dihasilkan Ceng Liong tidak berarti banyak baginya. Sebaliknya, desingan-desingan totokan dan deburan pukulannya, juga mendatangkan hawa yang mengerikan bagi Ceng Liong yang tidak boleh lengah dan membiarkan dirinya terlibas oleh pukulan yang bakal menyulitkannya itu. Untungnya, Ceng Liong sendiri sudah sanggup mengerahkan hawa khikang pelindung badan, sehingga totokan-totokan Bouw Lim Couwsu tidak mampu menembus kebadannya. Keadaan ini membuat Bouw Lim Couwsu menjadi sangat kaget dan kagum atas kehebatan Bengcu ini. Perlahan namun pasti, tumbuh rasa hormatnya kepada anak muda yang mampu membuatnya bertarung ketat dengan mengerahkan segenap kekuatannya.

Penonton yang menyaksikan pertandingan memiliki reaksi dan tanggapan berbeda-beda. Bahkan Giok Lian yang baru pertama kali bertemu Ceng Liong memandang kagum, tidak disangkanya selain Tek Hoat, masih ada seorang pemuda lain yang begitu lihay. Bahkan setelah kepandaiannya meningkat tajam, diapun kurang yakin apakah sanggup mengalahkan Bouw Lim Couwsu yang sangat digdaya itu. Tetapi Ceng Liong, nampaknya sanggup menandingi tokoh tua yang sangat lihay ini, baik sinkangnya maupun ketenangannya, dan nampaknya sangat percaya diri. Sementara Mei Lan, juga memandang dengan wajah penuh perhatian dan sulit menyembunyikan kegelisahannya melihat pertandingan maut antara Ceng Liong dengan Bouw Lin Couwsu.

Dia tidak menyadari jika kegelisahannya tertangkap oleh Sian Eng Cu yang tersenyum melihatnya dan memandang pertarungan dengan tenang. Ketenangan dan keyakinan Ceng Liong membuatnya yakin, bahwa anak muda itu menyimpan bekal kemampuan yang sulit dibayangkannya. Bahkan gurunya sendiri, Wie Tiong Lan pernah mengatakan kepadanya, bahwa tunas keluarga Kiang kali ini sungguh istimewa. Pujian gurunya ternyata memang tidaklah kosong. Harus diakuinya, anak ini bahkan masih sedikit lebih berisi dibandingkan sumoynya.

Yang juga agak terperangah adalah keluarga Yu, mereka tidak menyangka kalau cucu keponakan ataupun keponakan mereka ini sungguh demikian lihay dan saktinya. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum dan haru karena dibela oleh keluarga mereka sendiri, meski keluarga luar. Sedangkan si manusia berkerudung hitam, meski memandang kagum, tapi seperti juga Mei Lan menyimpan rasa khawatir atas pertandingan tersebut. Betapapun, mereka merasa terkait erat dan punya rasa memiliki terhadap si anak muda yang sedang menyabung nyawanya itu.

Sementara itu, Bouw Lim Couwsu kembali memainkan kombinasi ilmu yang berbeda. Kali ini dia memainkan kembali Hong Pin Ciang dengan padanan Sin Liong Coan In Sin Ciang, yang berat di ginkang dan kecepatan. Karena itu, tubuhnya berkelabat-kelabat mengejar Ceng Liong dengan pukulan-pukulan sakti, bahkan seperti bisa menyusup kebalik-balik awan yang menyembunyikan tubuh Ceng Liong. Tetapi kali ini, setelah puas menguji semua perbendaharaan Ilmu keluarganya, Ceng Liong tiba-tiba meledakkan tangannya dengan sebuah tangkisan dari ilmu petir. Itulah Ilmu Haliintar Jurus pertama, “Halilintar Membelah Angkasa” yang dengan segera mematahkan Jurus Hong Pin Ciang yang dipadukan dengan Sin Liong Coan In Sin Ciang yang mengejarnya diudara. Ledakkan pekak tersebut membuat Bouw Lim Couwsu tergetar oleh hawa panas yang luar biasa yang menyerang tubuhnya.

Tetapi hanya sejenak, karena kembali dia melakukan serangan dengan jurus yang sama, tetapi dengan gaya gerakan kaki Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), dia mumbul keatas dan sekali lagi menyerang dengan jurus pertama yang memang tepat menangkal pukulan Hong Ping Ciang yang dilakukan dalam kecepatan di udara. Kembali Bouw Lim Couwsu tergetar oleh udara panas, dan dengan segera dia mulai mengganti kembali jurus permainannya.

Kali ini dia mulai memasuki tahapan Ilmu perguruannya yang lebih berat Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit), yang bahkan Tibet Sin Mo Ong, belum cukup sempurna meyakinkannya karena keburu bersama mereka lari ke Tionggoan. Ilmu ini adalah Ilmu andalannya bersama Bow Lek Couwsu, selain ilmu baru yang mereka ciptakan belakangan bertiga, yakni Pek Pouw Sin Kun, sebuah Ilmu Pukulan Jarah Jauh. Nampak kakek sakti ini memusatkan perhatiannya dan dengan berteriak nyaris dia mulai kembali menyerang, didahului dengan angin pukulan yang luar biasa beratnya, bagaikan guguran gunung.

Tapi, Ceng Liong mengenal pukulan berat, dan diapun sudah sedang menggunakan Ilmu beratnya, Pek Lek Sin Jiu salah satu Ilmu andalan dan kebanggaan Kiong Siang Han. Kali ini dia memapak dengan menggunakan jurus Kedua, ”Halilintar Menerjang Angin”, dan dengan segera selarik angin panas diiringi ledakan halilintar menyambar kearah serangan Bouw Lim Couwsu dan sekali lagi terdnegar benturan keras:

“dhuuuuaaaaaar” kali ini lebih memekakkan telinga sekitarnya, bahkan tokoh sekelas Yu Siang Ki harus mundur 2-3 langkah kebelakang. Sementara itu, kedua petarung nampak masing-masing terdorong 2 langkah kebelakang, dan keduanya nampak sedang menyiapkan jurus selanjutnya. Kedua kaki Bouw Lim Couwsu nampak membentang lebar, kedua tangannya disilangkan didepan dada dan kemudian kembali didorongkan kedepan, sementara Ceng Liong yang merasa tidak terhalang apa-apa dengan benturan tadi, meningkatkan jurus Halilintarnya memasuki jurus Ketiga “Halilintar Menghujam Bumi”, dimana dengan 2-3 langkah persiapan dia tiba-tiba melesat keatas dan dari atas sepasang tangannya terayun kearah Bouw Lim Couwsu menyambut sampokan dan dorongan tangannya.

Kali ini, benturannya terdengar jadi lebih memekakkan telinga dan beberapa tokoh mulai menyalurkan tenaganya menjaga telinga dan hati masing-masing untuk tidak dikuasai hawa mujijat kedua pukulan mereka yang bertarung. Sementara itu, Ceng Liong yang sudah mengudara, tertahan daya turunnya oleh benturan dengan kekuatan Bouw Lim Couwsu dan memang itu adalah ketika yang tepat untuk menyiapkan jurus keempat Halilintar Bartalu-talu di Udara. Pada saat daya luncurnya tertahan, tubuhnya menggeliat dengan ginkang Jouw Sang Hui Teng dan kembali mencelat keudara dan memukul bergantian dengan kedua tangan kearah Bouw Lim Couwsu, dan terdengarlah dentuman-dentuman dan ledakan halilintar yang terjadi berkali-kali, membuat Bouw Lim Couwsu tergopoh-gopoh menghindar kesana kemari karena belum siap dengan jurus berikutnya. Melihat keuntungan dipihaknya, Ceng Liong segera mengejar Bouw Lim dan mencecarnya dengan jurus kelima Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari yang diringi dengan ginkangnya memburu Bouw Lim Couwsu, yang akhirnya dengan terpaksa memapak Ceng Liong.

“Dhuuuuuaaaar” dan kali ini Bouw Lim Couwsu terdorong sampai lima langkah ke belakang, sementara Ceng Liong hanya terdorong 3 langkah. Tetapi, dia kembali sudah bersiap dan kembali mencelat keudara dan siap melontarkan jurus keenam Badai Petir Membelah Langit. Sejak Jurus keenam ini, beberapa perubahan yang dahsyat sudah dilakukan oleh Ceng Liong, karena mulai jurus ini, dia mulai menekan kekuatan suara secara fisik, tetapi memasukkan unsur “im” yang mengoyak konsentrasi lawan.

Maka meskipun Bouw Lim sempat menemukan kembali keseimbangannya dan bersiap dengan gaya jurus ”Pukulan dewa-dewa mengguncang alam raya”, tetapi pada saat itu dia justru heran, tidak terdengar lagi ledakan memekakkan telinga. Tetapi beberapa pukulan yang dilontarkan diudara, justru menyerang langsung “telinga batinnya” dan merusak konsentrasi karena dia tidak bersiap menerima jenis pukulan yang demikian. Dan disinilah titik balik pertarungan ini, meskipun keduanya memiliki keseimbangan dalam Sinkang dan keuletan, tetapi pecahnya konsentrasi meskipun hanya sekejap sudah menjadi modal penting untuk menentukan kemenangan.

Bouw Lim Couwsu memang masih sempat menangkis jurus keenam, meskipun tidak lagi dengan sepenuh kekuatan biasanya karena terganggu oleh getaran yang menyusup ke batinnya. Dan akibatnya dia kembali terdorong lebih jauh sampai 7 langkah dengan dada sesak, meski belum terluka dalam. Sementara itu, Ceng Liong telah menyiapkan jurus ketujuh Sejuta Halilitar Merontokkan Mega, yang malah semakin berat dibandingkan jurus sebelumnya. Belum sempat Bouw Lim Couwsu bersiap, terjangan dengan jurus Halilintar Perontok Mega sudah kembali menyusup menyerang konsentrasinya, dan untung karena kelihayannya dia masih sempat menemukan dirinya, meskipun sedikit terlambat.

Dan karena itu, dia tidak dalam kesiagaan penuh menerima terjangan jurus ketujuh, dan sekali ini dia jatuh terduduk menangkis serangan jurus ketujuh Pukulan Halilitar yang menerjang telinga batin dan konsentrasinya. Dari sudut bibirnya mengalir darah merah, dan nampaknya sekali ini Bouw Lim Couwsu terluka. Sulit baginya untuk menyembunyikan fakta bahwa dia terluka ditangan anak muda ini, karena dari bibrnya merembes darah tanda dia terluka dalam.

Melihat Bouw Lim Couwsu terluka, Ceng Liong menjadi tidak sampai hati. Hatinya menjadi iba ditengah pandangan tegang banyak orang yang sebagiannya menginginkan dia mengirimkan serangan terakhir, tetapi sebagian lagi berkhawatir apakah Bengcu mereka tidak memiliki kegagahan? Dan ternyata, Ceng Liong memang memilih untuk tidak melanjutkan dengan serangan jurus terakhir. Dia sendiri ngeri membayangkan harus menyerang dengan jurus pamungkas, yang bahkan oleh Kiong Siang Han disebutkan terlampau merusak dan sangat berbahaya.

Sementara itu, nampak Bouw Lim Couwsu sendiri sejenak menarik nafas dan mengobati dirinya, dan karena lukanya tidak begitu parah, sejenak kemudian dia bangkit berdiri dan memandang Ceng Liong dengan muka tidak percaya. Tetapi tidak lama kemudian kesombongan seperti lenyap dari wajahnya berganti kesedihan yang dalam. Puncak kesombongan atas kemampuannya dirubuhkan oleh seorang anak muda, sulit dipercayainya, tetapi tetap sebuah kenyataan. Akhirnya dia bergumam:

“Pinto sudah kalah, terserah Bengcu mau melakukan apapun terhadapku”

Tetapi Kiang Ceng Liong bukan seorang buas. Diapun sadar, bahwa semangat orang tua ini sudah padam seketika setelah kalah dan terluka ditangannya, karena itu, dengan lembut dia berkata:

“Tidak ada hukuman buat Bouw Lim Suhu. Hanya, selaku Bengcu, aku meminta Bouw Lim Couwsu suka menarik diri dari kekisruhan di Tionggoan kali ini”.

“Anak muda, engkau akan menyesal bila tidak menghukum pinto” Bouw Lim Couwsu berkeras. Sebenarnya bukan berkeras, tetapi merasa malu dan terharu oleh pengampunan Ceng Liong. Dia bersuara setelah tertegun beberapa lama, sangat lama malah.

“Apakah ada gunanya bagiku bila membunuh Couwsu atau memenjarakan Couwsu? Tidak ada gunanya. Tetapi ada gunanya bagi rimba persilatan Tionggoan apabila Couwsu suka berjanji tidak akan ikut dalam kekisruhan kali ini” tegas Ceng Liong.

Beberapa saat kemudian nampak rona wajah Bouw Lim Couwsu berubah-ubah, kadang sedih, marah, kecewa, gemas, tetapi lama kelamaan akhirnya seperti kehilangan cahaya. Pada akhirnya dia berkata:

“Baiklah Kiang Bengcu, engkau masih sangat muda tetapi sangat pintar dan bijaksana. Biarlah Bouw Lim Couwsu mengundurkan diri dari rumitnya dunia persilatan, itulah janji pinto. Selanjutnya biarlah pinto mencari tempat menyucikan diri. Dan terima kasih atas kemurahanmu yang menerangi hati pinto” seraya mengucapkan hal itu, Bouw Lim Couwsu bahkan menghormat dengan takzim kepada Kiang Ceng Liong yang menjadi rikuh dan kemudian Bouw Lim berjalan ke mulut lembah. Tapi dari mulut lembah terdengar suara:

“Sejak hari ini, biarlah terkubur nama Bouw Lim Couwsu. Kiang Bengcu, semoga selalu bijaksana karena lawan-lawan yang mengintai kalian bahkan masih lebih hebat dari pinto”.

Tapi begitu suara itu menghilang, tiba-tiba Kiang Ceng Liong duduk bersila, wajahnya nampak memerah karena terlampau besar mengeluarkan dan menghamburkan tenaga “yang”, padahal dalam hal penggunaan tenaga “yang” dia masih belum sekuat Tek Hoat. Untungnya dia menerima gemblengan dan bantuan Kiong Siang Han, yang nyaris dikurasnya keluar ketika membentur Bouw Lim Couwsu. Adalah dua orang yang dengan cepat bereaksi melihat keadaan Ceng Liong:

“Liong koko, engkau kenapakah”? Liang Mei Lan dengan cepat sudah melompat mendekati Ceng Liong yang sudah dengan cepat bersila lupa diri untuk mengatur kembali tenaga saktinya. Bersamaan dengan Mei Lan, sebuah suara dengan cepat juga mendekati Ceng Liong:

“Liong Jie, apakah engkau terluka”? Bahkan tangannya dengan cepat menempel di punggung Ceng Liong, tetapi ditarik kembali ketika merasa punggung Ceng Liong begitu panas membara. Seketika dia menjerit:

“Ach, mengapa begini” dia memandang Kiang Ceng Liong dengan penuh tanda Tanya dan keheranan.

“Kiang hengte, ada apakah gerangan”? Sian Eng Cu sudah datang mendekati dan sepertinya sedikit mengenal si orang berkerudung.

“Sian Eng Cu cianpwe, Paman Yu Siang Ki, maafkan masih belum leluasa bagiku untuk melepas kerudung dan capingku. Keluarga kami menyebabkan banyak kesengsaraan, biarlah setelah semua jelas, kami sekeluarga akan meminta maaf untuk semua keadaan yang tidak mengenakkan ini. Dan Nona, siapakah engkau? Apakah engkau murid terakhir yang terhormat Pek Sim Siansu”? bertanya si manusia berkerudung.
“Benar locianpwe, tecu murid terakhir suhu Pek Sim Siansu dan suheng Sian Eng Cu dan juga murid Liong-i-Sinni” Mei Lan memperkenalkan diri.

“Ach, orang sendiri. Baiklah, biarlah Liong Jie kutitipkan kepada Sian Eng Cu dan Nona serta Paman semua. Dia sedang meleburkan tenaga sakti “im” dan “yang” yang terguncang tadi, sebentar lagi dia sadar. Paman, aku mohon diri” dan belum sempat ada yang menahan kepergian si kerudung hitam, tiba-tiba orangnya sudah jauh mencelat ke pintu masuk lembah dan kemudian lenyap. Si manusia berkerudung seperti belum ingin memperkenalkan dirinya, bahkan kepada Ceng Liong sekalipun. Karena itulah dia tidak menunggu sampai Ceng Liong sadar dari peleburan hawa saktinya.

Sebentar kemudian Ceng Liong benar-benar sadar, tetapi diapun tahu, bahwa untuk menenangkan gejolak sinkangnya, dia butuh waktu sehari atau dua hari agar kekuatan singkangnya bisa melebur dan bahkan bisa memetik keuntungan dari benturan-benturan kekuatan dengan Bouw Lim Couwsu. Bahkan hal yang sama juga dialami Mei Lan, setelah dua kali berbenturan dengan Hu Pangcu, dia merasa ada sesuatu yang harus dia tenangkan dengan tenaga saktinya.

Selain itu, dia merasa ingin berbicara banyak dengan Kiang Ceng Liong, karena itu dia memutuskan untuk tinggal sebentar. Sementara Sian Eng Cu yang mengemban tugas gurunya, sudah berpamitan esok harinya dan melanjutkan pekerjaannya mengganggu Thian Liong Pang. Yang pasti, dia sudah tahu siapa tokoh lain yang mengganggu Thian Liong Pang, meskipun dia masih belum mengerti dengan kalimat “keluarga kami telah menyebabkan banyak kesengsaraan, dan biarlah setelah semua jelas, kami akan meminta maaf”. Sebuah kalimat yang sulit ditafsirkannya untuk saat ini.

Selain Mei Lan, Giok Lian juga memutuskan untuk tinggal, karena dia ingin menemukan jejak kakaknya dengan berbicara banyak bersama Ceng Liong. Apalagi, dari lubuk hatinya dia menyimpan kekaguman terhadap Ceng Liong, seperti juga terhadap Tek Hoat. Tetapi, terhadap Ceng Liong, dia melihat bahwa nampaknya Mei Lan sudah beberapa langkah menang didepannya, karena itu dia menahan diri terhadap rasa kagumnya itu. Demikianlah, selama 2 hari, baik Mei Lan maupun Ceng Liong kemudian banyak bekerja keras untuk menarik keuntungan dari beberapa benturan hebat yang mereka alami akhir-akhir ini.

Dan tanpa mereka sadari, kekuatan sinkang mereka justru mengalami kemajuan yang cukup berarti. Seadainya diadu lagi dengan Bouw Lim Couwsu, Ceng Liong pasti sudah akan menang seusap dalam hal Sinkang akibat Samadhi dan pemusatan kekuatannya selama 2 hari. Dia berhasil meleburkan kembali semua kekuatan yang menerpa dan keluar dari tubuhnya, dan meningkatkan penguasaannya atas tenaga sakti tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh Mei Lan selama 2 hari terakhir.

Sementara itu, segera setelah pertempuran usai, sebelum beristirahat, Ceng Liong telah memerintahkan anak murid Kay Pang untuk ikut membantu pembersihan mayat di Keluarga Yu. Dan keesokan harinya dia mengucapkan terima kasih kepada Liauw Cu Si dan Kay Pang di Lok Yang, dan melepas mereka kembali ke Lok Yang. Hubungan Kay Pang di Lok Yang dengan keluarga Yu menjadi semakin baik setelah kejadian tersebut. Sementara Yu Siang Ki juga mengucapkan terima kasih kepada semua orang, kepada Sian Eng Cu, Maling Sakti, Giok Lian dan Mei Lan.

Dia menahan semua orang untuk menjamu sambil beristirahat, tetapi Sian Eng Cu telah berkeras untuk berangkat setelah beberapa lamanya berbicara dengan sumoynya. Bahkan menggoda sumoinya untuk atas nama sumoynya menjadi comblang bagi perjodohannya dengan Ceng Liong. Guyon yang dibalas dengan mata terbelalak dan pura-pura marah dari Mei Lan, tetapi dengan gaya khasnya sebagai Suheng dan Orang tua, Sian Eng Cu mengingatkan Mei Lan akan usianya (padahal 18-19 tahun masih sangat muda saat ini, tapi sudah cukup umur dimasa itu). Dan juga memberi tahu bahwa matanya tidak buta akan perasaan Mei Lan, juga bukan tidak mengenal watak dan prilaku gadis itu. Hal yang pada akhirnya dengan malu-malu diakui oleh Sian Eng Cu, meski Mei Lan menyatakan tetap penasaran dengan kepandaian Ceng liong. Tapi Sian Eng Cu mengingatkan, bahwa anak muda itu menyimpan sebuah kekuatan yang mengerikan, dan bahkan sudah pernah disinggung suhu mereka, Wie Tiong Lan.

Kejadian dan pertempuran di Benteng Keluarga Bhe dan Perkampungan Keluarga Yu, yang nyaris bersamaan dengan penyerangan ke Cin Ling Pay menimbulkan reaksi balik yang luar biasa. Pertempuran di Benteng Keluarga Bhe, sudah sebuah peringatan bagi Thian Liong Pang bahwa perlawanan besar sedang dilakukan. Terlebih setelah pertarungan lebih besar dan lebih seru di Perkampungan Keluarga Yu. Pukulan telak yang diberikan melalui perlawanan di dua tempat itu menghapuskan kebanggaan bisa mencaplok Cin Ling Pay dan membunuh beberapa tokoh pedang Tionggoan.

Selain itu, mulai muncul optimisme dunia persilatan Tionggoan bahwa perlawanan akan segera dilakukan oleh para pendekar Tionggoan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau telah melahirkan optimisme tersebut. Terlebih dengan tampilnya Bengcu atau Duta Agung baru dari Lembah Pualam Hijau yang konon luar biasa saktinya, meski masih sangat muda. Pertempuran di keluarga Yu kembali melambungkan nama-nama Naga muda, Ceng-i-Koai Hiap yang kini menjadi Bengcu, Sian Eng Niocu dan juga Siangkoan Giok Lian si Dewi berhati Besi. Nampaknya bentrokan besar sebentar lagi akan terjadi, dengan berterang atau dengan serangan menggelap. Setidaknya, pukulan berat bagi Thian Liong Pang mengirimkan sinyal bahwa, dunia persilatan Tionggoan tidaklah mudah ditaklukkan oleh Thian Liong Pang.
 
BAB 20 Upacara Duka di Siauw Lim Sie
1 Upacara Duka di Siauw Lim Sie




Siang itu, sosok anak muda gagah sedang mendaki Gunung Heng San. Nampaknya anak muda yang gagah dengan wajah selalu tersenyum itu sudah mengenal betul jalanan sekitar gunung Heng San. Terbukti dia tidak harus berhenti untuk memilih jalan, tetapi dengan pasti mengarah kesebuah tempat yang nampak dikenalinya. Dia nampak agak tergesa, karena memang seperti itulah yang dipesankan gurunya.

Tidak boleh terlambat seharianpun untuk tiba di Heng San, karena pertemuan mereka nantinya adalah pertemuan terakhir. Dan sudah tentu, dan pasti, anak muda itu mengenal jalanan di Heng San, karena disanalah selama lebih dari 10 tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih diri dalam ilmu Silat. Di Heng Sanlah gurunya menempa dia habis-habisan dan menjadikan dia anak muda yang sakti, pilih tanding.

Anak muda ini, Liang Tek Hoat, atau yang sudah menerima julukan Sie yang si cao, sebagaimana diketahui, dititipkan oleh gurunya, Kiong Siang Han untuk berlatih dengan Kiang Sin Liong. Bukan karena gurunya kurang sakti, tetapi memang untuk menyempurnakan ilmu silat muridnya, Kiong Siang Han terpaksa menitipkan muridnya ini kepada Kiang Sin Liong. Sementara dia sendiri mengerjakan beberapa hal terakhir dalam hidupnya.

Bersama Kiang Sin Liong, Kian Ti Hosiang dan Wie Tiong Lan, mereka sudah mengetahui dan menyadari, bahwa usia mereka sudah mendekati akhir. Bahkan, Kiong Siang Han sudah mengetahui batas akhir kehidupannya, setidaknya mendekati tahu, hari apa yang akan membuat mereka berpisah dari kehidupan manusia. Dan kematangan serta kesempurnaan tenaga dalamnya, membuat Kiong Siang Han tidaklah rewel dan nelangsa menghadapi akhir hidupnya. Sebaliknya, malah nampak sangat tenang dan sangat siap menyambutnya.

Dan, dengan menitipkan Tek Hoat, kakek sakti ini sebetulnya sedang mempersiapkan hari terakhirnya. Mempersiapkan tempat istirahatnya dan mempersiapkan anak murid lainnya di Kay Pang. Karena selain Tek Hoat, dia masih belum merasa rela untuk meninggalkan murid-muridnya yang lain, Sai Cu Lo Kay dan yang terutama menyempurnakan Kay Pang Cap It ho Han. Dan untuk urusan itulah kemudian Kiong Siang Han meluangkan waktu-waktu terakhirnya. Dan selama kurang lebih 6 bulan terakhir ini, Kiong Siang Han mempersiapkan hal-hal terakhir tersebut sampai benar-benar dianggapnya tuntas.

Mempersiapkan gua bertapanya sebagai peristirahatan terakhir, menatanya dan membuat tempat tersebut seakan akan ditempatinya sebagaimana kehidupan keseharian biasanya. Dan, menunjukkan bakti terakhir bagi Pang yang dibesarkan dan membesarkan namanya, yakni Kay Pang, sebuah perkumpulan terbesar di Tionggoan dewasa ini. Dan masih tetap terbesar dalam jumlah anggota dan anak murid yang mencapai ribuan jumlahnya dan tersebar di segenap pelosok negeri.

Hari ini, adalah tepat 6 bulan yang dijanjikan Siang Han dan diperintahkannya kepada Tek Hoat untuk tepat pada hari ini berada di Heng San, di gunung belakang tempat dimana markas besar Kay Pang berada. Dan karena sudah diwanti-wanti gurunya, dan juga dikuatkan Kiang Sin Liong yang dititipi gurunya untuk melatihnya, maka Tek Hoat tidak berayal.

Dengan kecepatan penuh dia melesat dan menuju ke Heng San, dan ketika memasuki Heng San, dia menempuh separuh jalan menuju Markas Kay Pang baru kemudian berbelok ke hutan rimbun, memasuki area belakang Gunung Heng San dan kemudian tiba di tempat yang biasanya digunakan gurunya untuk bertapa dan melatih dirinya. Pemandangan sekitar gua itu memang indah, yakni menampak bagian gunung Heng San yang memisahkannya dengan markas besar Kay Pang dan sebelahnya lagi merupakan hamparan menghijau sejauh mata memandang. Dan, yang penting, gua ini terpisah dan sulit ditemukan oleh siapapun jika tidak dikehendaki untuk melihat gua tersebut.

Belum lagi kakinya melangkah masuk, sebuah suara sudah menyambutnya:

“Masuklah muridku. Mari, waktu kita tidak lama lagi”

Tek Hoat tidak berayal dan segera memasuki gua tempat bertapa gurunya, dan juga tempat tinggalnya selama belasan tahun berlatih ilmu Silat. Dan Tek Hoat segera berlutut dihadapan orang tua itu, yang dimata Tek Hoat nampak demikian agung dan dengan sinar mata yang agak lain, tapi sulit dijelaskan.

“Tecu menghadap suhu. Bagaimanakah keadaan suhu, baik-baikkah”?

“Baik-baik saja muridku. Tapi, biarlah kita tidak mempercakapkan masalah kesehatanku. Biarkan aku menyelesaikan tugas-tugas terakhir sebelum maut menjemputku” ringan saja Kakek Sakti Kiong Siang Han membicarakan masalah mati hidupnya. Padahal Tek Hoat menjadi terperanjat dan tercekat dengan ucapannya itu. Tapi, orang tua itu terus melanjutkan:

“Aku memintamu datang, karena batas usiaku sudah tiba muridku. Selama 6 bulan terakhir, gurumu ini telah melakukan gemblengan terakhir untuk Kay Pang Cap It Ho Han, serta juga suhengmu Sai Cu Lo Kay. Selain suhengmu dan engkau muridku, tidak ada yang tahu kalau usiaku sudah tiba pada batasnya. Tetapi, masih kubutuhkan menilik keadaanmu untuk terakhir kalinya, sambil memberi tugas khusus buatmu menjelang perpisahan kita yang terakhir. Karena itu, biarlah kita memulai satu demi satu”

Nampak Kakek renta itu menghirup nafas, sangat tenang dia nampaknya. Setelah menarik nafas dan memandangi muridnya yang menjadi tegang mendengar batas usianya sudah tiba, tiba-tiba kakek itu berujar:

“Muridku, mari, mulailah engkau menunjukkan tingkat kemajuanmu untuk yang terakhir kalinya. Suhengmu, sudah melakukannya semalam, demikian juga Kaypang Cap It Ho Han. Biarlah gurumu menilaimu untuk yang terakhir kalinya, sejauh mana Sin Liong mendidik engkau selama 6 bulan terkahir ini di tempat pertapaannya”

“Baik guru” Jawab Tek Hoat mantap, meskipun hatinya teriris-iris mendengar gurunya akan berpisah untuk selamanya dengan mereka.

Dan, Tek Hoat kemudian memainkan kembali semua Ilmu Silat yang diwarisinya dari gurunya. Baik ilmu-ilmu pusaka Kay Pang, seperti Hang liong Sip Pat Ciang, Tah Kauw Pang, kemudian Pek Lek Sin jiu bahkan kemudian juga memainkan Sin kun hoat Lek yang nampak sudah bisa dimainkannya dengan sempurna, nyaris tanpa cacat. Bahkan, Tek Hoat kemudian memainkan Soan hong Sin Ciang dan lebih hebat lagi dipadukan dengan Toa Hong Kiam Sut dan menghadirkan hawa menusuk yang sangat tajam.

Semua permainanannya itu mengagumkan gurunya, bahkan pada puncak pengerahan kekuatan sinkangnya, nampaknya Tek Hoat sudah sanggup menghimpun hawa khikang pelindung badan. Hawa pelindung badan itu semakin lama semakin tebal dan tentu semakin sulit hawa itu disusupi oleh kekuatan senjata tajam, bahkan juga hawa pukulan tokoh kelas satu lainnya. Hanya tokoh-tokoh utama dan tersembunyi yang akan mampu menembusi kekuatan khikang Tek Hoat. Yang bila ditambah lagi dengan khasiat darah ular sakti yang nampaknya sudah melebur habis dengan kekuatan sinkangnya, maka kekuatan khikang pada puncaknya bukan hanya membuat Tek Hoat kebal racun, tetapi bahkan kebal senjata. Dan bila dikerahkan sepenuhnya, diapun mampu mengalirkan hawa sangat panas dan mempengaruhi medan pertempuran.

Dengan jurus-jurus Hang Liong Sip Pat Ciang saja, sudah sangat sulit menemukan lawan baginya. Kini, bahkan anak muda ceria ini, bahkan sudah dilengkapi dengan ilmu-ilmu mujijat lainnya, yang membuatnya menjadi semakin lengkap dan semakin berbahaya. Hawa sinkang yang dirangsang kemajuannya oleh ular mujijat dan kemudian bahkan disempurnakan oleh perpaduan dengan hawa im yang disalurkan dan dilatihkan oleh Kiang Sin Liong, membuat anak ini menjadi semakin berbahaya.

Ilmunya meningkat sangat tajam, bahkan meningkat sangat jauh dibandingkan dengan 2,5 tahun sebelumnya. Gurunya nampak menarik nafas puas melihat permainan Tek Hoat, terutama melihat bahwa Tek Hoat sudah berhasil membentuk hawa pelindung badan yang ampuh. Dan bila dilatih lebih jauh, maka selain senjata tajam, senjata ilmu pukulanpun akan sangat sulit menembusnya. Selebihnya bahkan ilmu-ilmu mujijat yang dikuasainya sudah semakin matang, termasuk Sin kun Hoat Lek.

Juga memainkan Soan hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut dengan sangat mahir, bahkan dengan varian yang menjadi lebih berbahaya ketimbang aslinya. Bahkan, untuk jurus Pek Lek Sin Jiu, Tek Hoatpun sudah sanggup memainkan Ilmu itu dengan perbawa yang sangat mengerikan. Masih lebih masak dibandingkan Ceng Liong, terutama pada perbawa fisiknya karena memang landasan tenaganya adalah “yang” dengan daya rusak yang snagat mengerikan itu.

Setelah bersilat dengan semua Ilmu tersebut, akhirnya Tek Hoat kemudian mengendorkan permainannya dan tidak lama kemudian berhenti. Meskipun demikian, tidak nampak Tek Hoat mengalami kelelahan, sebaliknya nampaknya dia biasa-biasa saja. Padahal, barusan dia mengerahkan banyak sekali kekuatan sinkang dan ginkangnya pada saat melakukan latihan didepan gurunya. Setelah berhenti, Tek Hoat kemudian kembali datang dan berlutut di hadapan kakek sakti gurunya tersebut;

“Hm, Tek Hoat muridku, Ilmumu sudah memadai dan sudah mendekati kemampuan Ceng Liong ketika terakhir kita berjumpa dengannya. Kemampuanmu masih akan terus meningkat mengingat perpaduan tenaga “im” dan “yang” akan terus merangsangmu berlatih dan terus berlatih untuk membaurkannya. Paduan itu, bahkan akan bisa lebih mempunyai variasi dan lebih luas dibandingkan dengan kekuatan “sinkang perjaka” yang dilatih gurumu. Karena itu, jangan berhenti berlatih dan jangan juga terlalu memaksakan diri. Karena usiamu memungkinkan perkembangan tersebut terjadi secara alamiah dan semakin memperkuatmu. Latihlah terus penguasaan kekuatan perpaduan tenaga sinkang tersebut, semakin berlatih akan semakin matang dan masak engkau menguasai tenaga perpaduan tersebut”

“Ach, semuanya karena budi baik suhu belaka”

“Tetapi, tanpa usahamu sendiri, maka tidak akan bermakna yang dikerjakan gurumu ini. Untungnya kamu ulet, cerdas dan berkemauan keras. Makanya, kamu bisa sesukses saat ini”.

“Tapi, apakah menurut suhu masih ada yang harus tecu tingkatkan pada hari-hari mendatang ini”?

“Tentu saja. Biarkan gurumu ini memperkuat engkau pada beberapa hari terakhir ini, meningkatkan pengetahuan dan pengendalianmu atas hawa khikang dan juga menyempurnakan penggunaan Sin kun Hoat Lek. Gerakan-gerakannya sudah kamu pahami, bahkan dengan rahasia penggunaannya. Bila tenaga “yang” ditambah, maka fondasi Ilmu perguruan kita akan semakin matang dalam tubuhmu. Kamu perlu tahu, sebagian tenaga suhumu sudah dikuras melatih susiokmu yang akan menjaga markas Kaypang bersama Ciangbunjin. Beberapa hari ini, engkau harus bertekun menyempurnakan dirimu, sebelum engkau mewakili gurumu berkunjung ke Siauw Lim Sie”

“Tapi, Suhu, bagaimana dengan kesehatanmu”? Bukankah suhu juga sudah berada dalam betas usia yang akan menyita tenaga bila terus melatih tecu”?

“Justru batas usia tersebut berusaha kuperpanjang beberapa hari, hanya untuk menyempurnakanmu. Engkau akan berhadapan dengan musuh besar gurumu suatu saat, entah Kim-i-Mo Ong, atau entah juga pendekar-pendekar Thian Tok, Bengkauw dan Lam Hay. Ilmumu saat ini memang sudah memadai menandingi mereka, tetapi engkau bersama Ceng Liong dan kawanmu yang lain harus mempertahankan wibawa dunia persilatan Tionggoan. Jadi, mau tak mau gurumu mesti melakukannya”

Demikianlah, selama 3 hari berturut-turut, Tek Hoat digembleng lagi oleh gurunya. Bahkan gurunya tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak bekerja, memperkuat sinkangnya, meluruskan dan menyempurnakan penggunaan tenaga dan menyalurkan hawa “yang” bagi tek Hoat. Sebetulnya Tek Hoat tidak sampai hati melihat keadaan gurunya yang sudah tua renta dan masih sangat sibuk mengurusi dan melatihnya tidak kenal lelah. Tetapi, menyadari bahwa dia memang harus mempertahankan kehormatan perguruannya, juga dunia persilatan Tionggoan, membuat Tek Hoat mengeraskan hati melewati 3 hari penuh dalam bimbingan terakhir gurunya.

Dan, sungguh tidak sedikit kemajuannya selama 3 hari berturut-turut digembleng habis oleh gurunya, bahkan sinkangnya juga seakan-akan “dimasak” dan “dimatangkan” oleh gurunya sebagai persiapan terakhir. Dan, masa 3 hari itupun akhirnya selesai, diiringi oleh rasa puas gurunya ketika melihatnya bersilat pada malam hari ketiga itu. Puas melihat hasil didikannya bersilat, dan terutama juga puas karena murid terakhirnya ini menunjukkan watak dan pribadi yang tidak mengecewakan. Bahkan sudah bebruat banyak bagi Kaypang meskipun usianya masih sangat muda belia.

“Sudah cukup, dan rasanya, meskipun Ceng Liong memiliki sedikit kelebihan, tetapi untuk mengalahkan engkau, sudah sulit dicari orangnya saat ini” gumam gurunya pada akhir mereka berlatih bersama. Anehnya meskipun gurunya membandingkannya dengan Ceng Liong, tetapi tiada tersimpan satupun rasa iri dihatinya. Karena, baginya Ceng Liong bahkan sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri, selain diapun merasa menyayangi Ceng Liong yang hidup anak itu pernah diselematkannya. Dan, dia sendiripun memang merasa kagum akan ketenangan, wibawa dan kehebatan Ceng Liong.

“Baiklah, engkau kembali melatih hawa sinkangmu menurut latihan peleburan hawa sepanjang malam ini. Besok
pagi-pagi, gurumu akan menyampaikan pesan pesan terakhir untukmu bersama suhengmu”

“Baik suhu” Tek Hoatpun berlalu, dan baru terasa betapa lelah dan letihnya setelah melakukan latihan habis-habisan selama 3 hari penuh.

==============

“Suhu, bagaimana bisa begitu” suara si Anak muda terdengar penasaran, sebentuk protes atas pernyataan orang tua yang duduk dihadapan mereka. Disamping anak muda itu, adalah seorang tua bernama Sai Cu Lo Kay, Liu yok Siong, murid pertama Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han, sementara dihadapan mereka berdua duduklah guru besar Kaypang yang sangat terkenal itu.

“Sudah kuputuskan murid-muridku. Hari ini adalah batas usiaku, tidak akan melewati tengah hari ini. Karena itu, kalian berdua kupanggil untuk menerima pesan agar jangan siapapun tahu, selain kalian berdua, bahwa aku orang tua sudah tidak hidup didunia ini lagi”

“Suhu, betapapun engkau orang tua adalah tokoh besar Kaypang, bahkan tokoh besar Tionggoan. Bagaimana mungkin Kaypang tidak diberi kesempatan untuk menghormati suhu di ujung usia suhu yang mulia” suara Sai Cu Lo Kay meskipun dihalus-haluskan tetap terdengar seperti raungan singa. Keras, pekak dan menusuk telinga.

“Suheng benar suhu, bagaimanapun berilah kesepatan bagi Pangcu Kaypang dan bagi kami murid-muird suhu untuk memberi penghormatan terakhir” kejar Tek Hoat membantu toa suhengnya.

“Murid-muridku, aku tidak menginginkannya. Biarlah tempat istirahatku yang terakhir adalah tempat bertapaku, tempatku melatih kalian berdua pada akhir hidupku. Lepaskanlah gurumu dengan lapang, jangan dibebani dengan penghormatan sia-sia. Gurumu ingin agar tempat ini tetap tenang dan senyap seperti sekarang. Lagipula, tokoh dan anggota Kaypang sudah lama mengerti dan mengira bila gurumu sudah tiada”
Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay masih tetap berdebat panjang, tetapi Kiong Siang Han sudah kukuh untuk tidak menyiarkan kabar kematiannya. Bahkan tidak menghendaki adanya acara besar-besaran sebagai penghormatan Kaypang bagi dirinya.

“Apalagi, dengan mendengar kabar kematianku, maka bukan tidak mungkin Thian Liong Pang malah mengusik kita. Bukannya takut, tetapi jika keadaan aman-aman saja, maka gurumu akan memikirkannya” demikian alasan terakhir Kiong Siang Han menutup pembicaraan soal penghormatan bagi kematiannya.

“Selanjutnya, dengarkanlah pesan-pesan terakhir lohu bagi kalian berdua masing-masing: Yok Siong, engkau sebagai murid tertuaku kutugaskan untuk membantu Pangcu menjaga markas besar kita. Bersama kalian sudah kutugaskan Kay Pang Cap it Ho Han, yang juga adalah murid-murid terakhir meski untuk latihan barisan khusus Kay Pang. Tek Hoat tidak kutugaskan di markas, karena dia memiliki tugasnya sendiri, justru di luar markas kita. Engkau tidak harus ikut dalam urusan sehari-hari Kay Pang, tetapi mengawasi markas kita sebagaimana yang dilakukan gurumu dan engkau sendiri selama beberapa tahun terakhir ini. Bekalmu sudah lebih dari cukup untuk melakukannya. Sebagai murid tertuaku, biarlah engkau yang memegang Kiu Ci Kim Pay ini” sambil Siang han menyerahkan tanda pengenal khususnya yang dihadiahkan musyawarah kaum pengemis ketika dia mengundurkan diri sebagai Pangcu Kaypang puluhan tahun sebelumnya. Bersama tanda itu, juga secarik kertas surat diserahkan maha guru Kaypang ini.

“Dengan tanda ini, engkau memiliki kekuasaan untuk mencampuri urusan Kaypang bila sangat mendesak. Gunakanlah tanda ini dan kembalikan kepada pangcu generasi berikutnya setelah badai dunia persilatan ini mereda. Engkau berhak menentukan dimana akan tinggal dan melakukan apa setelah kemelut ini berakhir. Dan kertas itu, adalah tugasmu yang terakhir setelah kemelut usai, lakukan menurut isi surat tersebut. Boleh engkau baca saat ini, tetapi simpan rapat sampai suatu saat surat itu akan sangat dibutuhkan”

“Baik guru, tecu mengerti”

“Dan engkau Tek Hoat, gurumu menugaskanmu untuk ikut serta dalam upaya memadamkan teror bagi dunia persilatan Tionggoan ini. Generasi kalian adalah harapan satu-satunya bagi dunia persilatan, jadi bertindaklah tegas dan menurut aturan. Adil dan menghormati kawan dan lawan, dan menghukum mereka yang bersalah. Selain itu, engkau harus mewakiliku dalam pertemuan pendekar Tionggoan dengan jago-jago Thian Tok, Lam Hay dan Bengkauw pada 3 tahun kedepan. Dan selain itu, engkau kutugaskan untuk menyampaikan pesan terakhirku kepada ji suhengmu Ciu Sian Sin Kay. Menurut mata batinku, Ji Suhengmu itu masih hidup di dunia ini dan sangat mungkin dia bertemu denganmu dalam pengembaraanmu. Sampaikanlah pesan dan titipan terakhir suhumu kepada dia” Sambil sang guru menyerahkan sebuah bungkusan kecil, dalamnya nampak sebuah kitab kecil.

“Baik guru” Tek Hoat menyambut bungkusan kecil itu dan menyimpannya dengan perasaan tak menentu. Gurunya, memang benar-benar manusia aneh. Membicarakan masalah kematian seperti masalah remeh lainnya saja, dan seenaknya menyuruh murid-muridnya melalukan sesuatu seakan tiada kesedihan untuk melepasnya pergi. Tetapi, baik Tek Hoat maupun yok Sing tidak sanggup mengatakan apapun juga kepada orang tua yang mereka kasihi dan hormati itu. Karena orang tua itu, berlaku seakan meninggalkan dunia seperti akan berpelesir saja.

“Nach, murid-muridku, semua yang mungkin dan bisa kulakukan sudah kulakukan bagi Kaypang, bagi murid-muridku dan bagi dunia persilatan Tionggoan. Kalian harus melepaskanku dengan lapang, dan kepergianku juga hanya disaksikan murid-muridku. Semua kebesaran dan penghormatan yang kalian maksud, tidak lagi menarik bagi gurumu ini. Lebih bermakna meninggalkan kalian dengan melihat tekad kalian untuk berlaku yang terbaik bagi Pang kita dan dunia persilatan Tionggoan. Jika ada yang ingin kalian sampaikan pada kali terakhir ini, silahkan disampaikan. Tetapi, setelah itu gurumu meminta kalian keluar dan mengerahkan tenaga untuk meruntuhkan tebing didepan goa ini dan biarlah gurumu kemudian beristirahat selamanya dalam ruangan gua ini”. “Nah, Tek Hoat, apa yang ingin engkau sampaikan bagi gurumu buat yang terakhir kalinya”?

“Suhu, apakah tecu tidak lagi diperkenankan menghadap engkau orang tua dihari hari mendatang” Tek Hoat mengucapkannya dengan nada mengharu biru

“Anakku, untuk selanjutnya engkau tidak lagi menghadap suhumu, tetapi menyambangi makam suhumu disekitar tempat ini” ucap sang guru.

“Dan engkau Yok Siong?”

“Suhu, perkenankan tecu menyepi disekitar goa ini setelah kemelut dunia persilatan berakhir”

“Baik muridku, permintaanmu kukabulkan. Sekarang, biarlah kalian berdua keluar. Waktuku rasanya juga sudah habis” Selesai berkata demikian, Kiong Siang Han kemudian nampak mengatur samadhinya, nampak sangat tenang dan dihadapan kedua muridnya. Begitu seterusnya, sampai sekian lama, dan baru kemudian kedua murid itu sadar, kalimat gurunya tadi adalah kalimat terakhir. Kalimat yang menandakan berpulangnya seorang tokoh besar, legenda terbesar Kaypang, seorang guru besar yang dihormat bukan hanya oleh anggota Kaypang, tapi bahkan oleh dunia persilatan Tionggoan. Kepergian seorang tokoh besar dalam kesederhanaan dengan hanya ditunggui kedua orang muridnya.

“Suhu, biarlah tecu berjanji akan mempertaruhkan kehormatan tecu untuk melaksanakan semua tugas yang engkau orang tua embankan. Tanpa engkau tecu bukanlah siapa-siapa, biarlah semua pesanmu orang tua, tecu lakukan tanpa membantah” Tek Hoat menyampaikan janjinya didepan jenasah suhunya dan kemudian perlahan-lahan beranjak keluar gua setelah sekian lama memandangi dengan rasa haru jenasah gurunya yang pergi dengan tenang. Langkahnya diikuti Sai Cu Lo Kay yang juga terharu mengiringi kepergian orang tua yang sangat dihormatinya. Seakan mengerti dengan kesedihan kedua orang murid yang ditinggal gurunya, di atas sana, sang mentari juga tidak memancarkan sinarnya dengan garang. Tetapi, sinarnya nampak kelabu, nampak muram, semuram perasaan kedua anak murid yang ditinggalkan gurunya itu.

Dan, pada akhirnya, memenuhi permintaan terakhir guru mereka, kedua murid itu nampak melepaskan masing-masing sebuah pukulan kearah tebing batu diatas gua peristirahatan guru mereka. Dan, kehebatan tenaga dalam mereka yang tidak olah-olah, menggetarkan tebing itu, dan sebentar saja runtuhlah bebatuan besar yang menimpa gua dibawahnya dan menutupi untuk selama-lamanya gua tempat bersemadi seorang guru besar dunia persilatan yang berpulang dalam kesederhanaan. Berpulang hanya dengan diiringi dan ditunggui kedua muridnya, bahkan yang menolak upacara kebesaran, sebesar nama yang pernah dipupuknya selama masa hidupnya. Dan kini, dalam tebing itu, tersembunyi tubuh tua itu, tubuh renta yang banyak melakukan hal hal besar semasa hidupnya.

Manusia, betapapun hebatnya, betapapun saktinya, betapapun baiknya, tetaplah manusia. Pada akhir kehidupannya, tetap yang tertinggal adalah tubuh yang tidak kekal, tubuh yang akan diurai oleh alam untuk kembali keharibaan alam semesta. Manusia, betapun hebatnya tetap akan tunduk oleh kekuasaan alam, karena belum ada manusia yang sanggup melawan takdir kehidupan, takdir usia dan takdir lainnya yang digariskan untuk dilewatinya. Kepergian tokoh besar, Kiong Siang Han, tidaklah menggegerkan dunia persilatan, karena memang tidak dikehendakinya. Padahal, bila dia mau, Kaypang memiliki kesanggupan berlebihan untuk mendatangkan tokoh besar manapun di seluruh pelosok persilatan Tionggoan. Bila diundang, atau tanpa diundangpun tokoh-tokoh gaib pasti akan muncul, demikian juga tokoh besar dunia persilatan lainnya. Tetapi, itu tidak dikehendaki sang guru besar yang luar biasa ini.

Kehormatan, prestasi, nama besar, pahala besar, kesalehan, atau apapun namanya, tidak akan pernah menghalangi jemputan maut bernama kematian. Sehebat apapun kehormatan yang dipupuk seseorang dalam hidupnya tidaklah berkemampuan menunda sehari saja kematian seseorang? Seharum apapun prestasi yang dicapai, sebesar dan seharum apapun nama seseorang, tidaklah menambahi sedetikpun lama bernafas ketika kematian menjelang. Bahkan kesalehan seseorang, pun tidaklah menambah sehastapun jalan kehidupan orang bersangkutan. Karena manusia, tetaplah manusia yang fana, yang memiliki batas akhir kehidupannya dan pada akhirnya harus kembali kealam yang memberikan kehidupan kepadanya. Tubuh itu, akan kembali menjadi tanah, diurai kembali oleh alam, dan dimanakah kehebatan manusia atas alam jika sudah demikian? Manusia boleh mengutak-atik alam semaunya semasa hidupnya, tetapi alam pada akhirnya yang akan menerimanya kembali keharibaannya sebesar apapun kerusakan yang disebabkannya selama hidup terhadap alam semesta.

Ketika dan manakala manusia manunggal dengan alam, maka pada saat itu sebetulnya banyak dimensi kehidupan yang lain yang ditemukan. Manusia berasal dan akan kembali kealam. Itu hukumnya, dan belum ada fakta yang menolak kenyataan ini. Nafas kehidupan, makanan, cara beradaptasi, semua adalah kreasi alam yang kemudian dimodifikasi manusia dalam hubungan antar manusia. Tetapi, di atas semuanya, tidak ada suatupun yang mesti dikatakan “terlepas” dari alam sama sekali. Karena semuanya merupakan imitasi atau modifikasi dari apa yang ada dan tersedia dalam alam semesta. Adalah sebuah hikmah dan karunia apabila harmonisasi manusia dan alam bisa terwujud. Saat dimana manusia menyadari dirinya sebagai bahagian alam semesta dan mengambil tindakan yang pantas dan bermakna bagi kehidupannya dan serentak bagi alam semesta. Dan bila itu bisa ditemukan, maka kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan …..!
 
2 Upacara Duka di Siauw Lim Sie bagian 2





Sementara Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay berkabung karena kematian gurunya, bahkan Tek Hoat besimpuh dan tidur di sekitar kuburan gurunya selama seminggu, di Siauw lim Sie seorang tokoh besar lainnya juga sedang menyongsong akhir kehidupannya. Kian Ti Hosiang. Sebagaimana Kiong Siang Han, guru besar Siauw Lim Sie inipun menghabiskan waktu-waktu terakhirnya bersama kedua murid kembarnya, murid penutupnya.

Terlebih, karena kedua murid kembar ini, juga akan ditugasi atas namanya untuk menertibkan dunia persilatan dan melandaskan masa depan Siauw Lim Sie dan kebesarannya di atas masa depan keduanya. Karena itu, tidak tanggung-tanggung guru besar ini mendidik, melatih dan mempersiapkan kedua anak ini. Terlebih mendekati ajalnya, yang sebagaimana Siang Han, juga Kian Ti Hosiang sudah mengerti dan tahu belaka, sampai dimana batas usianya. Karena itu, seperti juga Kiong Siang Han, Kian Ti Hosiang memanfaatkan waktu tersisa untuk menyempurnakan Ilmu kedua murid utamanya ini.

Pertemuan 10 tahunan yang terakhir telah menunjukkan banyak kemungkinan baginya untuk bagaimana mengembangkan dan melengkapi kedua muridnya ini. Dibandingkan dengan ke-3 guru besar lainnya, Kian Ti Hosiang tidak kekurangan ilmu hebat dalam menggembleng murid-muridnya. Tetapi, justru karena itu, dia harus menetapkan dan memilih mana yang paling tepat bagi murid-muridnya sesuai dengan kondisi masing-masing murid tersebut. Dia sudah bisa membandingkan muridnya dengan anak muda lainnya, dan mendapatkan gambaran kekurangan dan kelebihan muridnya.

Dan dengan cara itulah dia akan dan bahkan kemudian mengembangkan, melatih dan mendidik mereka untuk meningkatkan dan menyempurnakan kepandaian mereka. Baik bagi Souw Kwi Beng, maupun bagi Souw Kwi Song yang berbeda karakter dan bahkan sudah dibuka kemungkinan lebih luas dalam penyempurnaan Ilmu mereka melalui pertukaran dengan Wie Tiong Lan. Pertukaran yang memungkinkan kemungkinan yang lebih luas dan lebih luwes bagi semua untuk meningkatkan dan menyempurnakan kepandaian masing-masing. Terlebih, karena kemungkinan itu, sanggup melambungkan penguasaan anak-anak muda tersebut dalam penghimpunan dan pengendalian tenaga sinkang masing-masing yang dengan sengaja memang ditingkatkan dengan obat-obatan dan benda mujijat lainnya.

Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie memang lebih kokoh dibandingkan Ilmu Kiang Sin Liong, Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan. Namun kalah indah dan kalah variasi dibandingkan ilmu Lembah Pualam Hijau, kalah garang dari Kay Pang dan kalah luwes dari Bu Tong Pay. Namun kemurnian Ilmu Silat memang harus dirujuk dan dicari ke Siauw Lim Sie, dan dengan dasar itulah Kian Ti Hosiang kemudian memperkuat dan menyempurnakan ilmu kedua muridnya. Sebagaimana Mei Lan menerima warisan tenaga “yang” dan penggunaan Ban Hud Ciang guna memupuk tenaga “yang” tersebut, kedua murid kembar inipun memperoleh warisan tenaga “im” dan pengendalian hawa model Liang Gie Sim Hwat Bu Tong Pay dan dilatihkan dengan Thai Kek Sin Kun oleh Wie Tiong Lan.

Kondisi Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang memang lebih dilematis, karena Ilmu yang mereka pertukarkan adalah pusaka perguruan. Karena itu, ketiga anak muda itu, diminta berjanji dulu untuk tidak mempergunakan dan menurunkan Ilmu tersebut bagi orang yang menjadi murid Siauw Lim Sie di pihak pendekar kembar atau Bu Tong Pay di pihak Mei Lan. Dengan kata lain, ilmu yang dipertukarkan hanyalah diperuntukkan bagi ketiga anak muda tersebut dan tidak untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Keputusan ini diambil setelah melalui perembukan yang dalam, dan khusus dilakukan untuk mempercepat kesempurnaan latihan anak-muda anak muda tersebut. Terutama, karena mereka juga dipersiapkan untuk menghadapi badai dunia persilatan Tionggoan.

Ketika mendalami kembali kepandaian murid-muridnya, Kian Ti Hosiang mendapati, bahwa terdapat kemungkinan yang luar biasa yang dimungkinkan bagi kedua muridnya. Yakni dengan mengembangkan hawa khikang mujijat yang dimiliki Siauw Lim Pay, yang baru bisa didalaminya dalam diskusi mendalam dengan Wie Tiong Lan. Ilmu tersebut adalah Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) yang baginya sudah mencapai titik kesempurnaan. Penguasaan hawa khikang ini membuatnya kebal senjata tajam dan bahkan kebal racun, bahkan bisa mencapai radius 5 hingga 10 meter.

Kian Ti Hosiang sendiri sudah mencapai titik kesempurnaan dalam penguasaan ilmu mujijat Siauw Lim Sie yang tidak pernah bisa dikuasai oleh generasi murid Siauw Lim Sie selama lebih 300 tahun terakhir. Secara mujijat, hawa khikang yang luar biasa ini malah terpupuk oleh murid kembar ini ketika menggodok diri mereka dengan penggabungan hawa “yang” dan “im”. Penggerakan kekuatan sinkang yang luar biasa ini, yang bahkan penyaluran hawa tersebut terbantu oleh arus Liang Gie Simhwat, secara perlahan memupuk ilmu mujijat Siauw Lim Sie ini. Terutama ketika dalam puncak pengerahan ilmu Tay Lo Kim Kong Ciang dan Tay Lo Kim Kong Kiam yang mulai disempurnakan dengan pengerahan hawa “im” yang diterima mereka dari Wie Tiong Lan.

Kian Ti Hosiang sendiri tidak bermimpi sebelumnya bahwa kedua muridnya ini akan mampu memupuk hawa khikang tersebut sejak dini. Karena, dirinya sendiri baru mampu mengmbangkan dan menyempurnakannya ketika banyak berdiskusi dengan Wie Tiong Lan 50 tahun sebelumnya. Capaian murid-muridnya betapapun merupakan keuntungan luar biasa dan sangat menyenangkan padri tua ini. Dan dia tidak menyangka kalau peleburan hawa itu memiliki kemungkinan yang lebih banyak dari yang mereka ber-4 tokoh gaib itu bayangkan.

Hari-hari terakhir, saat Kian Ti Hosiang menyadari bahwa saatnya semakin dekat, dengan gembira ditemukannya bahwa kedua muridnya sudah mampu menguasai hampir setengah bagian Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak). Dengan Ilmu itu, mereka sudah mampu bereaksi untuk menolak racun, meski belum otomatis. Tapi kepekaan tubuh terhadap racun sudah sangat tinggi. Dan, pengerahan kekuatan hawa khikang ini, sudah sanggup menahan tusukan dan tebasan senjata tajam dari tokoh tingkat satu dunia persilatan.

Bahkan kedua muridnya sudah sanggup memainkan Thai Kek Sin Kiam dan Thai Kek Sin Kun secara sempurna dan memberi efek bantuan yang sangat besar dalam menguasai ilmu khikang mujijat Siauw Lim Sie tersebut. Justru itulah keuntungan terbesar kedua pendekar kembar, selain memperoleh tambahan jurus sakti lain dalam penggabungan penggunaan Thai kek Sin kun dan Thai kek Sin Kiam. Dengan gembira Kian Ti Hosiang melihat bahwa tinggal masalah waktu bagi kedua muridnya untuk mencapai tingkat yang jauh lebih sempurna lagi. Dan itu tinggal masalah ketekunan dalam berlatih dan penghimpunan tenaga sinkang yang lebih tinggi dan sempurna lagi. Yang pasti, semua ilmu mujijat yang dilatihkannya kepada muridnya, termasuk jurus maut terakhir ciptaannya Pek-in Tai-hong-ciang (Pukulan Ta*ngan Awan Putih Angin Taufan) sudah bisa diserap dan dilatih secara baik oleh kedua murid penutupnya.

Dengan kedua muridnya sudah menguasai ilmu khikang mujijat Siauw Lim Sie meski belum sempurna, Kian Ti Hosiang sudah merasa aman dan tenang untuk meninggalkan muridnya dan bahkan Siauw Lim Sie. Kedua muridnya sudah nyaris tanpa tanding di lingkaran Siauw Li Sie, bahkan dibandingkan dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie di Siong San dan di Poh Thian sekalipun.

“Murid-muridku, nampaknya tugas suhumu sudah berakhir. Karena kalian berdua sudah sanggup secara sempurna menyerap dan menyempurnakan Ilmu yang diajarkan gurumu. Lebih dari itu, pelajaran keagamaan kalian juga tidak lagi cetek. Sebetulnya, gurumu tidak ingin mengikat kalian dengan Siauw Lim Sie, dan membiarkan kalian memutuskannya kelak, tetapi keadaan dunia persilatan membuat mau tidak mau kalian mesti berjuang di bawah panji Siauw Lim Sie. Lebih dari itu, semua ilmu kalian, selain hadiah Pek Sim Siansu adalah murni ajaran asli Siauw Lim Sie. Karena itu, kebesaran Siauw Lim Sie mau tidak mau adalah tanggungjawab kalian berdua juga” Kian Ti Hosiang yang anehnya wajahnya malah “mentereng” dan segar itu, berhenti sejenak guna memberi pesan terakhir bagi kedua muridnya yang nampak duduk menghadapnya dengan khusuk.

“Usia suhumu sudah tidak panjang lagi, bahkan tinggal dihitung dengan jari tangan. Bahkan nampaknya, Kiong Pangcu, sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Dan sebentar lagi giliran suhumu”

“Suhu, apa maksud perkataanmu, apakah”? Kwi Song menyela dengan perasaan kaget dan terenyuh.

“Song Jie, setiap manusia memiliki batas akhir kehidupannya. Tidakkah engkau melihat betapa gurumu telah teramat jauh melintasi jalan kehidupan ini”?

“Tapi suhu, engkau orang tua khan masih nampak segar”

“Nampak segar bukan berarti tidak akan melewati batas itu bukan”?

Kedua murid itupun terdiam dengan perasaan tak menentu. Sudah tiba saat mereka akan bepisah dengan gurunya yang sangat berbudi, satu-satunya orang tua yang mereka kasihi dan mereka miliki sampai saat ini. Siapa yang tidak tersentak menghadapi hal tersebut”?

“Nah, karena itu, kuatkanlah hatimu dan dengarkanlah pesan-pesan terakhir gurumu. Bila mata batinku tidak keliru, dalam waktu sangat dekat kalian berdua akan bertemu dan menghadapi seorang tokoh besar yang bahkan kepandaiannya masih diatas kalian berdua. Dia atau mereka, adalah bagian dari persoalan gurumu pada masa lalu, yang sayangnya harus kalian hadapi dan selesaikan. Dan ingatlah, tokoh-tokoh semacam itulah yang akan kalian hadapi dalam menenteramkan dunia persilatan dari badai pembunuhan yang sangat mengerikan ini. Garis alam telah menunjuk generasi kalian dan bukan generasi gurumu lagi. Dan, memang, masing-masing generasi memiliki tugas dan tanggungjawabnya sendiri-sendiri” Sampai disini Kian Ti Hosiang nampak kembali berdiam diri sejenak. Dan ketika itu dimanfaatkan Kwi Song untuk bertanya,

“Apakah tecu berdua sudah layak memikul tugas berat itu suhu”?

“Selama 2 tahun terakhir ini gurumu telah menyiapkan kalian dan sudah memuaskan perasaan hatiku, terlebih setelah kalian membekal juga Ilmu Baju Emas yang mujijat itu. Hal itu membuatku rela dan siap meninggalkan dunia ini. Bicara kepandaian, yang mampu mengimbangi kalian sudah sangat terbatas. Meskipun demikian, diperlukan latihan lebih tekun dan pengalaman yang lebih luas untuk dengan leluasa menggunakan dan menguasai kepandaian-kepandaian tersebut”

“Bagaimana jika dibandingkan dengan Thian Suheng di Poh Thian suhu”? Kwi Beng turut bertanya.

“Suheng kalian itu, memiliki bakat tidak di bawah kalian. Suhumu percaya, diapun mengalami kemajuan hebat setelah bertemu kalian berdua. Tetapi, dengan penguasaan ilmu-ilmu terakhir, rasanya suhengmupun tidak lagi mampu mengimbangi kalian”, jawab Kian Ti Hosiang, untuk kemudian melanjutkan

“Beng Jie, suhengmu di Poh Thian nampaknya penujui dirimu untuk menggantikannya di Poh Thian. Tetapi, semuanya biar tergantung keputusan dan perjalanan hidupmu. Untuk saat ini, belum tepat bagimu mencukur rambutmu, terlebih hanya karena pesan dan perintah gurumu. Menjadi pendeta Siauw Lim Sie, harus karena “panggilan” hati dan hidupmu, bukan karena paksaan dan perintah orang lain. Tetapi engkau Song Jie, nampaknya engkau tidak berjodoh menjadi Pendeta Siauw Lim Sie, karena itu engkau kutugaskan dan kuterima sebagai murid preman Siauw Lim Sie. Tetapi, semua aturan Siauw Lim Sie tetap akan mengikatmu, dimanapun dan kapanpun. Dalam urusan-urusan mendesak, maka engkau wajib membela Siauw Lim Sie dan wajib memberitahukan Ciangbunjin bila ingin menerima murid dan menurunkan Ilmu Pusaka Siauw Lim Sie”.

“Baik suhu”

“Dan, selain tugas berat untuk menangani badai dunia persilatan, kalian berdua juga mewakili gurumu dalam pertemuan antara Pendekar Tionggoan melawan Pendekar dari Bengkauw, Lam Hay Bun dan Thian Tok. Kalian mewakili suhumu untuk datang dalam pertemuan itu 3 tahun mendatang dan bergabung dengan anak murid Kiong Pangcu, Kiang Bengcu dan Pek Sim Siansu. Pertemuan itu sudah berulang kali kujelaskan kepada kalian, jadi seharusnya sudah dipahami. Terutama menghadapi lawan dari Thian Tok, nampaknya kalian mesti sangat awas, karena ajaran aslinya tidak jauh berbeda dengan Siauw Lim Sie. Sementara Bengkauw dan Lam Hay nampaknya sudah pernah kalian saksikan kehebatan mereka. Nah, hari ini adalah hari terakhir gurumu, setelah selesai pertemuan kita ini, kalian sampaikan kepada Ciangbunjin bahwa gurumu tidak menginginkan penghormatan berlebihan, lakukan seadanya bersama keluarga besar Siauw Lim Sie dengan tidak berlebihan melepas kepergian gurumu.

Tetapi, semua memang akan terserah kepada Ciangbunjin. Mengenai hal itu dan status kalian berdua, sudah suhumu persiapkan. Beng Jie, engkau menyerahkan surat ini kepada Ciangbunjin” Kian Ti Hosiang kemudian berhenti bicara dan menyerahkan sebuah surat tertutup untuk disampaikan kepada Siauw Lim Sie Ciangbunjin.
“Baik suhu, tecu akan melakukan permintaan suhu” Kwi Beng bicara dengan suara begetar sambil menerima surat dari gurunya. Siapa pula yang tidak tergetar perasaannya mendengar orang yang dikasihinya akan “pergi”, dan berbicara masalah kepergian itu demikian datar dan bahkan demikian lancar, seakan bukan sebuah peristiwa penting.

Tetapi, manusia sepuh seperti Kian Ti Hosiang, sebagaimana juga Kiong Siang Han, manusia yang telah “tahu” batas usianya, membicarakan kematian sama dengan membicarakan perjalanan lebih lanjut dari apa yang dinamakan “kehidupan”. Keadaan Kwi Song, tidak jauh berbeda dengan keadaan kakak kembarnya, sangat terenyuh dan kehilangan kemampuan berkelakarnya. Tidak mampu bicara banyak karena gurunya yang banyak bicara dan terlihat sangat menikmati perjalanan baru yang akan dilakukannya. Dan waktu itu, lebih mengejutkan lagi adalah hari ini, dan pertemuan saat itu adalah pertemuan terakhir. Siapa tidak tersentak, siapa tidak terguncang?

“Nach, murid-muridku, pesanku untuk kalian berdua sudah selesai. Pesan lain, untuk bagaimana berlaku sebagai manusia dan sebagai pendekar Siauw Lim Sie, sudah kalian resapi lama. Ingatlah sekali lagi, diatas langit masih ada langit, kepandaian kalian jangan membuat kalian tekebur. Jangan merasa lebih hebat dari yang lain, tapi gunakan untuk kepentingan umat persilatan. Suhumu percaya penuh dengan kalian berdua, dan Ciangbunjin akan gurumu titipi pesan dan wewenang untuk mengawasi kalian berdua. Bila salah satu dari kalian berdua menyeleweng dari kebenaran, maka tanda kehadiran suhumu akan digunakan untuk mengekangnya. Tapi gurumu percaya, kalian tidak dan bukan manusia yang gampang disesatkan. Sebagai persiapan terakhir, marilah kalian mendekat, meski kalian belum cukup menandingi pendatang itu, tetapi biarlah bekal terakhir ini mampu membuatnya berpikir untuk bertindak lebih jauh. Duduklah mendekatiku, tetapi setelah selesai, segera tinggalkan tempat ini dan laporkan keadaan gurumu kepada Ciangbunjin” Kian Ti Hosiang kemudian memanggil mendekat kedua muridnya, dan tangan kanannya terulur kepunggung Kwi Beng, sementara tangan kirinya ke punggung Kwi Song. Keduanya memang diminta untuk membelakanginya.

Dan tidak lama kemudian segulung arus yang tidak terkatakan mengalir ke pusat penguasaan sinkang kedua pendekar kembar ini. Sambil terdengar bisikan Kian Ti Hosiang,

“Tenaga ini, jangan dulu dibaurkan kedalam proses pembauran tenaga mengikuti aliran Liang Gie atau proses pembauran dari Jawadwipa. Gunakan untuk menghadapi si pendatang dalam waktu dekat ini, baru kemudian lakukan sebagaimana biasanya”

Proses tersebut berlangsung selama kurang lebih 1 jam, proses pemindahan kekuatan sinkang secara instant, yang akan membuat si penyalur tenaga akan mengalami kerugian luar biasa dan akan sangat menguntungkan yang disaluri tenaga tersebut. Dan nampaknya, Kian Ti Hosiang yang mengerti bahwa batas umurnya sudah tiba, memang sudah merencanakannya sejak lama. Bahkan semakin bulat tekadnya itu setelah mata batinnya membisikkan sesuatu yang perlu ditangani oleh kedua muridnya dalam waktu dekat ini. Itulah sebabnya Kian Ti Hosiang memutuskan memperkuat kedua muridnya dengan cara ini, sekaligus juga mempercepat proses “kepergiannya”. Dan memang, setelah sejam lebih dia melakukan proses transfer tersebut, kedua tangannya merosot dan terkulai dari punggung kedua muridnya. Tetapi, masih sanggup dia bersedekap dalam posisi duduk bersamadhi, dan kemudian berbisik kepada kedua muridnya:

“Sudah selesai, dan ingatlah semua pesanku untuk kalian berdua. Keluarlah, dan mulai lakukan tugasmu” Itulah bisikan “hidup” terakhir yang pernah didengar kedua pendekar kembar itu dari gurunya. Karena setelah itu, tidak nampak lagi cahaya kehidupan dari wajah dan tubuh pendekar gaib dari Siauw Lim Sie ini. Kwi Beng dan Kwi Song berlutut lama, sangat lama didepan jasad gurunya, atau pengganti orang tua yang mendidik dengan penuh hati, penuh kasih dan bahkan merenggut hidup mereka dari malaikat elmaut. Kepada orang tua inilah bakti mereka sebagai bukan hanya murid, tetapi bahkan sebagai anak mereka tunjukkan. Tetapi, mereka tidak lagi menangis, tetapi membulatkan tekad untuk tidak mempermalukan orang tua saleh yang membimbing mereka dengan keras dan penuh kasih.

Setelah sanggup membenahi diri dan perasaan mereka, baru kemudian keduanya bangkit berdiri untuk kemudian memberitahu Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Hari ini, berselang mungkin 10 hari dari kepergian Kiong Siang Han, dunia persilatan Tionggoan kembali melepas salah satu tokoh yang dibanggakannya. Seorang tokoh besar yang memimpin Siauw Lim Sie dalam kesalehannya dan banyak membantu dunia persilatan Tionggoan semasa hidupnya. Siauw Lim Sie selama 100 tahun terakhir, nyaris identik dengan kebesaran guru besar yang saleh dan maha sakti ini. Jarang bahkan murid Siauw Lim Sie sendiri mengerti dan mampu menjajaki sampai dimana kesaktian tokoh ini. Tokoh yang kini telah berpulang KIAN TI HOSIANG.

================

Tetapi, Ciangbunjin Siauw Lim Sie sangatlah berbeda dengan Pangcu Kaypang. Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang diberitahu kematian Kian Ti Hosiang. Dengan segera dia mengadakan rapat dengan para sesepuh Siauw Lim Sie, dan semua sepakat untuk menghormati jenasah guru besar mereka melalui penghormatan besar sesuai sistem yang berlaku di Siauw Lim Sie. Dengan kata lain, pesan Kian Ti Hosiang untuk diperabukan secara sederhana justru diabaikan. Bahkan, pada hari itu juga, pesan dan undangan bagi semua tokoh dunia persilatan, termasuk perguruan besar langsung dilayangkan.

Kian Ti Hosiang adalah Guru Buesar, maha Guru terakhir yang dimiliki kuil ini, masakan tidak dilakukan penghormatan besar baginya? Wajar bila kuil Siauw Lim Sie memperlakukannya secara istimewa, karena namanya sangat harum dimata baik kawan maupun lawan. Bahkan dia menjadi salah satu tiang dan tonggak kebanggaan Tionggoan pada masa lalu. Tidak ada yang bisa dan mampu membenarkan pesan Kian Ti Hosiang, termasuk juga kedua murid kembarnya, bahwa upacara sederhana yang lebih baik. Semua sesepuh partai memutuskan dan sepakat untuk mengadakan penghormatan besar-besaran yang terakhir untuk melepas guru besar ini.

Dan, nyaris tidak mungkin ada perguruan besar maupun kecil yang sanggup dan mampu menolak undangan Siauw Lim Sie. Semuanya, mulai dari Perguruan ternama semisal Lembah Pualam Hijau, Bu Tong Pay, Kaypang yang juga sedang berduka tetapi tidak disebarluaskan, Cin Ling Pay dan Go Bi Pay yang sedang hancur juga malah mengirim utusan, Thian San Pay, Kun Lun Pay dan semua perguruan besar sudah memutuskan datang. Juga Benteng Keluarga Bhe, Perkampungan keluarga Yu, serta perguruan terkenal lain juga bersiap mengirimkan utusan. Bahkan pendekar-pendekar utama dan kelas satupun sudah meluruk datang untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Kian Ti Hosiang.

Sungguh sebuah peristiwa besar yang diputuskan dan disiapkan Siauw Lim Sie bagi Kian Ti Hosiang, sesuatu yang nampaknya sudah diduga Kian Ti Hosiang. Sebagai mantan Ciangbunjin Siauw Lim Sie dia mengerti tradisi Kuil itu menghormati tokohnya. Karena yang bisa memutuskan jenis upacara bukanlah yang bersangkutan, tetapi pimpinan Siauw Lim Sie bersama dengan sesepuh dan tetua partai. Dan kebetulan Kian Ti Hosiang adalah tokoh yang dituakan dan bahkan menjadi symbol kebangkitan dan kebanggaan Siauw Lim Sie puluhan tahun terakhir ini.

Malam itu adalah malam kedua jasad Kian Ti Hosiang disemayamkan di sebuah ruangan khusus di Siauw Lim Sie. Ruangan jasad itu dijaga oleh beberapa pendeta Siauw Lim Sie, tetapi didalamnya di sisi kiri dan kanan peti jasad nampak bersimpuh kedua murid Kian Ti Hosiang, Souw Kwi Song dan Souw Kwi Beng. Mereka nampak bersimpuh terus dan beristirahat juga nampaknya secara bergantian dengan melakukan Samadhi. Karena itu, siapapun tokoh atau orang yang berkehendak masuk, pastilah akan dengan mudah diketahui oleh salah satu dari kedua anak muda ini.

Tetapi, sungguh luar biasa, tengah malam itu tanpa angina tanpa hujan dan tanpa diketahui kedua anak muda itu, justru sudah berdiri 2 orang kakek tua yang semua rambut mereka sudah memutih. Siapa lagi kedua orang tua luar biasa yang sanggup melakukannya jika bukan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu dan Kiong Sin Liong dari Lembah Pualam Hijau?

Sudah tentu, baik Kwi Beng maupun Kwi Song maklum belaka siapa kedua orang tua itu. Malah mereka menyambut kedua orang tua sakti itu dengan penghormatan dan mengucapkan kata-kata terima kasih atas nama Siauw Lim Sie dan guru mereka. Seterusnya mereka membiarkan kedua orang tua itu melakukan penghormatan terakhir dengan wajah yang tidak mengesankan apa apa, selain kelembutan yang terpancar dari wajah mereka. Seterusnya, Kiang Sin Liong yang memberi penghormatan lebih dahulu kemudian berujar setelah berdiri didepan jasad itu:

“Engkau telah menyelesaikan tugasmu Kian Ti Hosiang. Kedua anak muridmu telah menunjukkan buah kerjamu, dan Siauw Lim Sie telah memancarkan sinar kerja kerasmu” kemudian dia memandang kedua anak muda kembar itu dan berkata:

“Lohu bisa melihat, kalian berdua sudah lebih dari cukup untuk mewakili guru kalian. Kionghi …. dan selamat tinggal” dan tubuh itupun raib dari pandangan kedua anak muda itu bagaikan lenyap begitu saja.
Begitupun ketika Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan melakukan upacara yang sama dan pujian yang sama untuk rekan seangkatan yang mendahuluinya. Bahkan terhadap kedua akak beradik itu, dia hanya berguman:

“Tanpa mencoba, hanya melalui sinar mata kalian berdua, lohu yakin kalian sudah berhasil. Berjagalah, akan ada yang berusaha mengganggu, tetapi nampaknya Kian Ti si Pendeta Saleh itu sudah menyiapkan kalian” Dan sebagaimana datangnya, begitu juga perginya kakek sakti ini, seperti juga Kiang Sin Liong. Mereka berdualah yang menjadi tamu pelayat pertama yang memberi penghormatan terakhir buat Kian Ti Hosiang, dan kedua pendekar kembar itu maklum, bahwa kehadiran mereka memang tidak untuk diberitahukan kepada siapapun. Karena itu, merekapun tidak pernah memberitahu siapa saja, kecuali Ciangbunjin Siauw Lim Sie perihal kedatangan mereka.

“Siancai siancai, ternyata mereka para pendekar ajaib Tionggoan masih saling berhubungan. Sungguh kurang sopan punco tidak menjumpai dan menghormati kedatangan kedua orang tua luar biasa itu” sesal Ciangbunjin ketika diberitahu Kwi Beng perihal kedatangan Kiang Sin Liong dan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Ciangbunjin tahu belaka reputasi dan kehebatan kedua orang tua yang angkat nama bersama Kian Ti Hosiang, karenanya diapun merasa menyesal tidak sempat menemui kedua orang tua itu. Meskipun begitu, dia maklum bahwa tokoh sekaliber kedua orang tua itu, memang pastilah tidak lagi ingin publikasi atau pamer dan memilih untuk melayat sobat mereka dengan cara mereka sendiri. Tetapi, Kwi Beng kemudian menambahkan:

“Ciangbunjin, kedua orang tua itu juga mengingatkan bahwa akan ada pengganggu jasad suhu dan memerintahkan jiwi tecu untuk berjaga-jaga”

“Siancai siancai, memang bukan tidak mungkin. Biarlah nanti malam punco juga akan ikut berjaga sejenak di tempat ini. Dan sebaiknya kalian berdua juga benar, meningkatkan kewaspadaan” ucap Ciangbunjin dan kemudian berlalu untuk mengatur banyak hal.

Dan sepanjang siang hingga menjelang malam, lebih banyak lagi kemudian para pelayat yang datang memberi penghormatan terakhir. Gunung Siong San secara tiba-tiba menjadi sangat ramai pengunjung meski dengan wajah muram melepas kepergian tokoh besar Tionggoan itu. Bahkan menjelang sore hari ketiga kematian Kian Ti Hosiang, tiba-tiba muncul kabar dari bawah gunung bahwa Bengcu Dunia Persilatan Tionggoan berkenan melayat. Dan, belum lagi persiapan menyambut kedatangan bengcu dilakukan, duta perdamaian 1 dan 6 sudah melesat tiba di depan Kuil Siauw Lim Sie. Dan berturut-turut tidak lama kemudian menyusul 4 duta perdamaian yang lain.

Ke-6 Duta Perdamaian ini selalu harus mendampingi Bengcu ketika melakukan perjalanan dalam dunia persilatan. Dan beberapa saat kemudian nampak 3 sosok tubuh melesat dating dan kemudian berhenti di depan Kuil Siauw Lim Sie. Ternyata, Kiang Ceng Liong mengadakan perjalanan ke Siong San bersama Liang Mei Lan dan Siangkoan Giok Hong.

Nampaknya mereka disambut langsung oleh Ciangbunjin Siauw Lim Sie dan yang kemudian menyapa mereka lebih dahulu:

“Siancai siancai, selamat datang di Siauw Lim Sie Kiang Bengcu. Dan, siapa pula kedua nona ini”?

“Tecu Liang Mei Lan mewakili suhu Pek Sim Siansu datang melayat suhu Kian Ti Hosiang”

“Tecu, Siangkoan Giok Lian, mewakili Bengkauw Kawcu memberi penghormatan terakhir bagi suhu Kian Ti Hosiang”

“Siancai siancai, benar-benar alpa. Punco kedatangan tamu-tamu agung mewakili perguruan dan perkumpulan besar. Baik, mari Kiang bengcu, Liang Kouwnio dan Siangkoan Kouwnio” Sang Ciangbunjin yang didampingi beberapa tokoh Siauw Lim Sie kemudian mengundang mereka ke ruang jasad Kian Ti Hosiang dan memberi penghormatan bagi guru besar itu. Tetapi, karena kondisi, Kiang Ceng Liong tidak sempat bercakap dengan Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song yang gembira melihat kedatangan mereka bertiga. Untuk menghormati rombongan Bengcu Tionggoan, Ciangbunjin menyiapkan ruangan istirahat khusus bagi ketiga tamu terhormat tersebut.

Berturut-turut, sore hari itu juga menyusul datang tamu-tamu dari perguruan besar. Ciangbunjin Bu Tong Pay datang dengan ditemani Jin Sim Todjin dan bahkan Sian Eng Cu Tayhiap dan beberapa anak murid Bu Tong Pay juga ikut mengawal dan menyertainya. Sudah tentu rombongan ini disambut dengan penuh kehormatan dan ucapan terima kasih dari Ciangbunjin Siauw Lim Pay. Bahkan sore itu, masih juga bermunculan utusan dari Tiam Jong Pay yang diwakili Wakil Ciangbunjin, kemudian juga menyusul Ciangbunjin Kun Lun Pay dan beberapa tokoh kenamaan rimba persilatan. Sore menjelang malam, jumlah pelayat di Siong San bertambah secara drastis dan membuat penjagaan di Gunung itu bertambah ketat. Bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie sendiri tidak sempat beristirahat dan selalu bersiaga, sambil tentu menerima tamu yang datang melayat.

Para pelayat baru berhenti berdatangan ketika matahari sudah terbenam, dan bahkan ruangan tempat persemayaman jasad Kian Ti Hosiang ditutup menjelang jam 9 malam. Tetapi, baik kedua pendeka kembar maupun Siauw Lim Sie Ciangbunjin masih tetap dalam siaga penuh. Pesan Kian Ti Hosiang dan peringatan kedua guru besar yang melayat malam sebelumnya, juga telah membuat mereka menjadi dalam keadaan siaga penuh. Sementara itu, Kiang Ceng Liong yang beristirahat di kamar tamu, ruang yang sama yang pernah digunakan ayahnya, Kiang Hong, nampak sedang bersamadhi menghimpun kembali semangat dan tenaganya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Liang Mei Lan dan Siangkoan Giok Lian. Beberapa hari mereka menempuh perjalanan siang dan malam ke gunung Siong San ini setelah menerima kabar kematian Kian Ti Hosiang. Dan malam ini, adalah malam pertama mereka bisa menikmati istirahat secara penuh dan bahkan membebaskan mereka dari mengejar sesuatu kearah gunung Siong San.

Tetapi menjelang tengah malam, perasaan Ceng Liong seperti tergugah. Firasat dan instingnya memang mengalami kemajuan yang luar biasa kahir-akhir ini, terutama sejak melatih ilmu batin tingkat tinggi dan dilontarkan melalui mata dibawah arahan Kian Ti Hosiang dan gurunya. Dengan cepat dia sadar dan memusatkan perhatiannya, dan dengan cepat dia juga sadar bahwa akan ada “pendatang” di kuil ini pada tengah malam nanti.

Dan, menilik suasana, maka kedatangan tamu aneh ini nampaknya akan terjadi sebentar lagi. Hanya, karena maksudnya kurang jelas, maka Ceng Liong menjadi terjaga dan waspada, meskipun dia tahu bahwa gunung Siong San ini adalah sarangnya Naga dan harimau. Gudangnya Ilmu Silat Tionggoan dan apalagi di ruangan jasad disemayamkan, dia tahu dijaga dua anak muda sakti binaan langsung Kian Ti Hosiang.

Tetapi, godaan dan ketukan pada firasat dan mata batinnya cukup kuat. Dan menurut gurunya, hal itu menandakan bahwa sesuatu atau seseorang yang akan datang berarti sangat hebat. Meski pesan itu sangat halus dan dalam gelombang perasaan yang tidak berbentuk fisik, tetapi peringatan yang disampaikannya bisa membuat orang gelisah. Menyadari hal itu, Ceng liong kemudian berinisiatif untuk bangun dan kemudian mengenakan pakaian ringkas. Dan kebetulan ruangan jasad disemayamkan tidaklah jauh dari tempat dia menginap dan beristirahat. Karena itu dengan langkah ringan, dia kemudian mendekati pintu ruangan yang dijaga beberapa pendeta Siauw Lim Sie itu. Dia bahkan disapa lebih dahulu oleh Pendeta yang berjaga itu:

“Selamat malam Bengcu, adakah sesuatu yang penting yang perlu kami Bantu”?

“Terima kasih suhu, bisakah aku bertemu sebentar dengan kedua sahabatku Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song didalam”? nampaknya sesuatu yang penting akan terjadi” jawab Ceng Liong.

“Mari, silahkan bengcu. Kebetulan, Ciangbunjin juga sedang menemani kedua Susiok didalam”

Begitu memasuki ruangan, Ceng Liong terkesiap ketika melihat keempat orang yang berada didalam ruangan sedang dalam keadaan siaga. Tetapi, ketegangan cair ketika kemudian Siauw Lim Sie Ciangbunjin melihat Ceng Liong yang masuk dan menyapanya dengan ramah:

“Siancai siancai, Kiang Bengcu, ada apakah gerangan malam-malam begini masih belum istirahat”

“Losuhu, dan kedua sahabat Souw, entah mengapa aku mendapatkan firasat kurang enak terkait dengan jenasah losuhu Kian Ti Hosiang. Getarannya agak kuat dan membuatku merasa ingin memperingatkan Ciangbunjin dan kedua sahabat Souw” bisik Ceng Liong lirih dan mengejutkan Ciangbunjin. Semuda ini tetapi telah memiliki kepekaan bathin yang tinggi, sungguh luar biasa. Tanpa disadarinya, kekagumannya atas Ceng Liong meningkat lebih dari sekedar melihatnya sebagai Bengcu.

“Ceng Liong, sebetulnya gurumu dan juga Pek Sim Siansu locianpwe telah memperingatkan kami semalam sebelum engkau datang” Kwi Song menjawab ramah.

“Ach, Kwi Song, dia orang tua juga sudah datang”?

“Benar, bahkan bersama Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan” jawab Kwi Song

“Dan, tokoh seperti apakah yang mereka orang tua maksudkan akan datang”?

“Entahlah, tetapi menurut suhu, orang itu bahkan sangatlah sakti dan digdaya. Suhu berpesan menjelang ajalnya” kali ini Kwi Beng yang menjelaskan.

“Hm, luar biasa jika demikian. Ciangbunjin suhu, dan saudara Kwi beng dan Kwi Song, jika diperkenankan, bolehkah siauwte juga menemani kalian dalam menyambut tamu agung tersebut”? Ceng Liong bertanya.

“Siancai siancai, didampingi Kiang Bengcu tentu membuat kami menjadi lebih merasa tenang. Silahkan Kiang bengcu” Siauw Lim Sie Ciangbunjin malah senang dengan pengajuan diri Ceng Liong. Dan akhirnya, mereka berlimapun kemudian melakukan Samadhi di seputar peti jenasah Kian Ti Hosiang, menunggu kedatangan tokoh hebat yang diperingatkan para tokoh besar itu. Tapi, siapakah mereka yang gerangan datang itu?

===================

Tengah malampun lewatlah sudah. Suasana menjadi semakin menegangkan, terutama dalam ruangan jenasah itu. Bahkan cenderung semakin menyeramkan, karena penerangan sangat temaram atau minim cahaya, sementara bau dupa juga cukup menusuk. Di luar kuilpun tidak terdengar apa-apa selain semilir angin yang berhembus, tidak terdengar sama sekali adanya suara-suara asing lain yang mencurigakan selain suara alam.

Tetapi, ketengangan dan kesunyian itu, justru menjadi semakin mencurigakan. Terlebih, 5 orang yang berada dalam ruangan itu, sontak seperti diserang oleh sebuah kekuatan hitam yang tidak terlihat. Sebuah kekuatan yang pasti terlontar dari jarak tertentu dan nampaknya dikhususkan untuk menyerang ruangan persemayaman jenasah ini. Tetapi, kelima orang dalam ruangan itu bukanlah manusia-manusia biasa, tidak. Sebaliknya malah. Mereka sudah berjaga sejak tadi, sudah sangat siaga dengan keadaan yang sunyi mencekam tersebut. Karena itu, serangan ilmu yang mencoba merusak konsentrasi mereka dan membuat mereka tertidur bisa dengan muda ditangkis. Satu-satunya yang terganggu, hanya orang kelima, seorang pendeta yang dipanggil menemani Ciangbunjin di ruangan itu.
 
3 Upacara Duka di Siauw Lim Sie bagian 3





Dan tiba-tiba sebuah getaran suara berpengaruh berbisik dan mengalun di ruangan itu, dan membuyarkan kekuatan hitam yang menyerang:

“Bersiaplah …. nampaknya mereka sudah datang”

Suara Ceng Liong itu memang perlahan saja, mengaung dan mengambang, tetapi telah membantu pendeta disamping Ciangbunjin yang nampak agak terganggu dengan serangan tersebut. Dan bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie sendiri sampai kagum oleh alunan suara mengambang yang dikeluarkan Ceng Liong mengimbangi serangan ilmu tersebut. Dan, seusai suara Ceng Liong sirna, tahu-tahu di dalam ruangan itu sudah bertambah dengan dua orang manusia dengan dandanan yang nyaris sama – dandanan pendeta, hanya pendeta dari Tibet yang terkenal dengan nama Lhama Tibet. Bahkan sebuah suara lirih yang hanya terdengar semua orang dalam ruangan itu segera terdengar:

“Selamat bertemu kembali Kiang Bengcu. Maaf, lohu harus menyelesaikan sebuah kewajiban lain buat toa suhengku, untuk kemudian menyelesaikan kewajibanku kepadamu”

Kiang Ceng Liong memandang wajah para pendatang, dan segera maklum ternyata salah seorang pendatang adalah Bouw Lim Couwsu yang dikalahkannya secara tipis di Perkampungan Keluarga Yu daerah Lok Yang. Dan jika kawannya yang datang adalah toa suhengnya, berarti pendatang yang satu lagi tentunya adalah Bouw Lek Couwsu. Dan terkaan Ceng Liong sama sekali tidak salah. Orang itu, Bouw Lek Couwsu, berperawakan tinggi besar dan nampak menyeramkan dengan dandanan Lhama Tibet. Dia kemudian berjalan menuju peti mati setelah hanya mengerling Ceng Liong dan tokoh lain yang duduk dalam ruangan tersebut. Kemudian terdengar suaranya, yang juga hanya berkuamandang dalam ruangan itu:

“Hm, Kian Ti Hosiang, setelah engkau mengikat kami selama 40 tahun, masakan engkau pergi begitu saja”? sungguh tidak adil” dan tokoh berperawakan besar ini terus berjalan kearah peti mati.

“Siancai siancai, tahan langkahmu saudara …. Jangan mendekat lagi, tolong hormati jenasah guru besar kami” Siauw Lim Sie Ciangbunjin berujar lirih, memperingatkan Bouw Lek Couwsu.

Tetapi tokoh besar itu masih tetap melangkah 3 langkah kedepan, menjadi dekat ke peti mati dan kemudian berdiri. Dia sama sekali tidak lagi melirik orang lain dalam ruangan tersebut dan memusatkan perhatiannya kearah peti mati. Sementara itu, Kwi Song dan Kwi Beng sendiri sudah lebih dari siap siaga ketika Bouw Lek Couwsu terus melangkah. Bahkan masih tetap siaga ketika tokoh itu sudah berhenti melangkah. Terdengar kembali Bouw Lek Couwsu berkata:

“Sudah cukup 40 tahun kami mengekang diri, tapi setelah kami siap menemuimu engkau malah pergi. Bagaimana pertanggungjawabanmu atas janji memberi kami waktu berusaha lagi setelah 40 tahun”? nampak dia seperti menyesali kematian Kian Ti Hosiang.

“Tapi, sudahlah, bila memang engkau sudah menutup mata, biarlah kuiringi dengan ucapan selamat jalan buatmu” nampak Bouw Lek Couwsu kemudian seperti menjura, tetapi tidak dengan menghormat karena tiba-tiba meluncur sebuah hawa pukulan tak berujud dari kedua tangannya yang menjura itu. Itulah sebuah pukulan sakti yang dinamakan Pukulan Udara Kosong, yang bisa meluberkan apa yang dalam peti namun tidak merusak petinya sendiri.

Tetapi, disekitar Bouw Lek Couwsu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepekaan dan mata awas. Kwi Beng dan Kwi Song dengan cepat menangkap gelagat kurang baik itu, dan dengan cepat kedua tangan mereka sudah meluncurkan hawa pukulan menangkis serangan Bouw Lek Couwsu. Dan benturanpun tidak bisa dihindarkan lagi, tapi hanya terdengar suara seperti desisan ketika benturan itu terjadi. Akibatnya, Bouw Lek Couwsu tertahan keinginannya dan sedikit menggoyahkan kedudukannya, sementara kedua anak muda itu tidak mengalami apapun. Gabungan tenaga mereka nampaknya cukup memadai untuk memapak serangan gelap Boue Lek Couwsu kearah peti mati. Dan benturan itu telah membuka mata Bouw Lek Couwsu, karena tenaga benturan tadi jelas-jelas adalah ciri khas ilmu Siauw Lim Sie. Dan, dia, tentu saja mengenal dan mengerti keampuhan ilmu yang dikerahkan dengan daya topang tanaga Kim kong ciang tersebut.

“Hm, tidak tahu malu. Suhu sudah almarhum, dan engkau masih juga ingin mengganggunya. Dimasa hidupnya engkau bahkan menunjukkan diripun tidak, tapi setelah beliau meninggal, baru engkau berani datang dan berniat merusak jasadnya” Kwi Song menegur si penyerang.

“Ah, rupanya si pendeta tua itu meninggalkan kepandaiannya kepadamu anak muda”?

“Benar, kami berdua adalah murid-murid suhu Kian Ti Hosiang, dan tidak akan kami biarkan siapapun yang berniat mengganggu Siauw Lim Sie dan apalagi mengganggu jasad suhu. Engkau orang tua, lebih baik kembali saja dan jangan mengganggu” Kwi Beng menimpali.

“Kembali”? hahahaha, setelah menunggu 40 tahun untuk menandingi kembali gurumu, dan engkau menyuruh aku kembali begitu saja”? Bouw Lek Couwsu nampak geli dengan perkataan Kwi Beng dan melanjutkan,

“Lohu harus menunjukkan hasil latihan lohu untuk melawan pendeta tua itu. Entah melawan Ciangbunjin Siauw Lim Sie, ataupun melawan siapa saja dihadaan jenasah Kian Ti Hosiang, baru akupun puas” semakin jelas maksud kedatangan Bouw Lek Couwsu.

“Siancai-siancai, Bouw Lek Couwsu, sebagai orang beribadat, harusnya engkau sadar, bahwa saat ini adalah saat berkabung bagi kuil kami. Bisakah engkau meninggalkan ruangan ini terlebih dahulu dan nanti mengurus masalahmu kelak? Ciangbunjin Siauw Lim Siepun menimpali.

“Ciangbunjin, lohu tidak akan pergi sebelum memberi persen sebuah pukulan kepada pendeta tua itu. Atau sebelum menunjukkan bahwa aku bisa mengalahkannya dengan ilmuku seandainya pendeta itu masih hidup” Bouw Lek tetap berkeras.

“Koko, benarlah dugaan suhu. Bahwa akan datang seorang yang tidak tahu diri mengganggu jenasahnya. Bila demikian, maka kita tidak bisa membiarkan orang ini mengganggu suhu. Kita wajib melawannya” Kwi Song dengan sengaja mengeraskan suaranya dan dengan perlahan dia kemudian bangkit berdiri yang seterusnya diikuti oleh Kwi Beng sebagai langkah persiapan.

“Murid Kian Ti Hosiang memang hebat, sungguh hebat” Bouw Lek Couwsu terdengar memuji.

“Tetapi, sayangnya kalian berdua masih belum tandinganku, lebih baik suruh orang turunan Pendeta tua itu untuk melawanku” dia memandang enteng kedua pendekar muda murid musuhnya itu.

“Tidak perlu Ciangbunjin yang melawanmu, cukup kami murid-murid suhu yang akan menghadapimu, karena ini urusan pribadimu dengan guru kami yang sudah almarhum. Jadi wajar bila sebagai murid kami maju membela guru kami” Kwi Song berkeras.

“Baik, kalian boleh maju berdua. Dan biarlah dihadapan jasad gurumu kuperlihatkan bagaimana anak anak didiknya diberi pelajaran setimpal olehku. Ayo, majulah” Kakek raksasa itu akhirnya menantang kedua pendekar kembar untuk maju bersama. Tetapi, dengan tenang Kwi Beng kemudian berjalan maju 3 langkah diiringi oleh tatap muka penuh ketegangan dari Kwi Song dan bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Terdengar Kwi Beng kemudian bersuara sambil berkata:

“Bouw Lek Couwsu, biarlah aku yang akan menantangmu mewakili guruku. Dan bila aku tidak sanggup, maka adikku akan menggantikanku atau kami akan melawanmu bersama” suaranya tenang dan mantap, tidak membayangkan kengerian dan ketakutan. Bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie sendiripun menjadi kagum dan mengangguk-anggukkan kepala mengagumi anak muda ini. Diam-diam diapun ingin tahu sejauh mana kepandaian anak didik sesepuhnya ini.

“Terserahmulah anak muda, yang penting lohu tidak dianggap lancang telah melawan seorang bocah bertanding ilmu” jawab Bouw Lek Couwsu.

Selesai mengucapkan kalimat itu, Kwi Beng kemudian sudah maju menerjang setelah berteriak “awas orang tua, aku mulai”. Serangannya sudah langsung menggunakan jurus maut Kim kong Ci atau jurus totokan sakti yang berbeda dari Tam Ci Sin Thong. Ketika kemudian terdengar suara “cus-cus” dengan daya tusuk yang tajam bukan main mengarah ketubuhnya, baru Bouw Lek Couwsu merasa terperanjat. Sungguh tidak disangkanya bila anak muda yang berusia paling banyak 20 tahun ini, bisa menghasilkan daya serang yang begitu tajam menusuk. Bahkan mampu menyusup ke khikang pelindung badannya, dan pada akhirnya membuatnya harus mengangkat tangan mengurangi daya rusak totokan lawan.

Juga tidak terdengar suara keras ketika totokan Kim Kong Ci bisa dipunahkan oleh Bouw Lek Couwsu, dan makin sadarlah orang tua itu bahwa lawannya bukanlah makanan empuk seperti yang diduganya semula. Bahkan setelah mendapatkan angin dan kedudukan menyerang yang baik, Kwi Beng kemudian terus mencecar kakek tinggi besar itu dengan jurus-jurus ampuh dari Kim Kong Cid an juga Tay Lo Kim Kong Ciang. Dicecar seperti itu, mau tak mau Bouw Lek Couwsu kelimpungan dan keteter, menyesal dia telah memandang Kwi Beng terlalu remeh dan lunak. Kini, dia malah terdesak mundur beberapa langkah baru kemudian bisa menemukan keseimbangan setelah mengalami serangan berantai selama kurang 10 jurus.

Tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak percuma menjadi tokoh utama pemberontakan di Lhama di Tibet pada masa lalu. Kehebatannya bahkan masih melebihi keampuhan kedua sutenya, Tibet Sin Mo Ong dan Bouw Lim Couwsu. Tokoh tua ini, bahkan masih memiliki keampuhan dan kesempurnan iweekang diatas adik seperguruannya dan karena itu, setelah mengalami kekagetan beberapa saat dan jatuh dibawah angin, dengan pengalaman dan kekuatannya perlahan dia mampu merebut keadaan seimbang kembali. Bahkan, kelalaiannya memandang enteng lawan membuatnya gerah dan memperhebat serangan dengan mengkombinasikan pukulan Hong Ping Ciang dan Tam Ci Sin Thong.

Tetapi, kembali dia terkejut, karena lawan yang masih mudapun ternyata memiliki hawa khikang yang membuat pukulannya nyasar. Bahkan tutukannya tidak mampu menembus hawa khikang tersebut. Karena itu, segera dia sadar, bahwa pertarungan ini bukan pertarungan biasa. Dia seperti sedang melawan Kian Ti Hosiang muda, yang bergerak kokoh dan bersilat dalam kemurnian Ilmu Silat Siauw Lim Sie. Dan bukan perkara mudah baginya untuk mengatasi perlawanan anak muda yang bergerap cepat dan kokoh, bertahan dan menyerang dengan sama baiknya.

Kwi Beng masih belum terdesak, bahkan dia masih mampu melakukan serangan serangan yang membahayakan Bouw Lek Hwesio. Pukulannya yang menggunakan Tay Lo Kim Kong Ciang dan sentilan jari sakti Kim Kong Ci, cukup ampuh untuk membuat lawan menjadi berhitung banyak. Akibatnya, Bouw Lek Hwesio mulai meningkatkan kekuatan iweekangnya untuk tidak dipermalukan anak muda ini. Sebesar 6 bagian tenaga dalamnya dikerahkan untuk mendukung dan mengisi pusaran pukulan Hong Ping Ciang yang menerpa membadai kearah Kwi Beng.

Tetapi, Kwi bengpun tidak tinggal diam dengan badai serangan yang menimpanya. Merasa Bouw Lek Hwesio meningkatkan kekuatannya, anak muda inipun kemudian mengerahkan dan meningkatkan kekuatan sinkangnya untuk mengimbangi kekuatan musuh. Dan untuk membantunya melawan kekuatan musuh yang dirasanya masih diatasnya, dia kemudian bersilat denga Thai kek Sin Kun, bergerak kadang lemas dan kadang kokoh untuk bertahan dan mementalkan serangan-serangan Bouw Lek Couwsu. Pada keadaan ini, Liang mei Lan dan Siangkoan Giok Lian yang terganggu dengan getaran-getara pertempuran kemudian melangkah masuk dan menonton pertarungan menegangkan itu setelah saling pandang dengan Ceng Liong.

Sementara itu, Ciangbunjin Siauw Lim Sie memandang kagum luar biasa melihat anak muda binaan sesepuhnya itu ternyata mampu mengimbangi seorang sepuh semisal Bouw Lek Couwsu. Bahkan, nampaknya dia tidak akan terdesak dan tidak akan kalah dalam waktu singkat. Padahal, bila dia maju melawan datuk ini, maka sudah hampir pasti dia akan terkalahkan. Tapi anak muda tunas Perguruannya ini, mampu mengimbangi dan bahkan mengirimkan serangan berbahaya kearah kakek sakti itu. Kiang ceng liong juga memandang kagum akan kehebatan Kwi Beng, meski dia sadar masih sulit bagi Kwi Beng untuk menang, tetapi untuk bertahan lama sudah bisa dipastikan.

Bahkan Ceng Liong mampu melihat hamparan tenaga khikang mujijat dari Siauw Lim Sie ketika Kwi Beng mulai mengerahkan puncak kekuatan Thai kek Sin Kun dikombinasikan dengan Tay lo Kim Kong Ciang. Ini nampak dari lontaran pukulan dan sentilan Bouw Lek Couwsu yang bisa dipentalkan oleh kekuatan tidak nampak diseputar tubuh Kwi Beng.

Tak terasa sudah hampir 50 jurus pertempuran itu berlangsung, dan Bouw Lek Couwsu sudah kehilangan kepongahannya karena belum sanggup mendesak Kwi Beng. Padahal, Kwi beng maklum, tanpa titipan sinkang yang terakhir dari gurunya, maka dia murni tinggal bertahan dengan ilmu baju emas mujijatnya. Untuk cadangan sinkangnya masih tersedia sebagaimana dikerahkan suhunya dan membuat dia seakan tidak kehabisan tenaga dalam sewaktu bertempur. Dan itu juga sebabnya Bouw Lek Couwsu menjadi tertampar kehormatannya karena tidak sanggup mendesak seorang angkatan muda. Bahkan tenaganya sudah ditingkatkan sampai 8 bagian tenaga dalamnya, dan membuat Kwi Beng merasa semakin berat. Bouw Lek Couwsu kemudian meningkatkan serangan dengan jurus-jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) dan ditimpali dengan gerakan Sin Liong Coan In. Dia kini bergerak-gerak cepat dan mengirimkan pukulan-pukulan berat ke sekujur tubuh Kwi Beng.

Tetapi Kwi Bengpun tidak mau berayal, diapun membuka jurus Ban Hud Ciang yang mujijat dan mengimbangi dengan keluwesan Thai Kek Sin Kun. Dengan cara itu, dia berhasil menahan serbuan pukulan Bouw Lek Couwsu dan kembali terdengar beberapa kali benturan penuh tenaga antara keduanya. Kwi Beng masih sanggup bertahan karena bantuan sisipan tenaga dari gurunya, tapi dia tetap merasa terguncang dan maklum bahwa kekuatan hawa khikangnya bisa ditembus oleh kekuatan Bouw Lek Couwsu. Dengan mengerahkan Ban Hud Ciang sampai jurus ke-9, dia mampu menahan badai serangan ampuh dari Bouw Lek Couwsu dan mereka menghamburkan tenaga mereka dengan beberapa kali benturan.

Bahkan dengan Ban Hud Ciang jurus ke10 dan 11 membuatnya mampu mendesak Bouw Lek Couwsu yang berganti jurus menggunakan Pukulan Udara Kosong. Dan benturan tanpa suara tetapi dengan akibat yang lebih besar segera mereka rasakan bersama-sama. Tetapi kali ini, nampaknya pengaruh lebih besar dirasakan oleh Kwi Beng, karena betapapun cadangan tenaga yang ditransfer gurunya tidak akan bisa digunakan sampai sangat lama. Untuk meningkatkan daya tahannya dia kemudian mengerahkan juga Pek In Ciang, yang membuat hawa mujijatnya lebih manjur dalam melindungi dirinya dari benturan benturan berat itu.

Dari tangannya mengepul awan putih yang semakin lama semakin pekat, dan semakin tercipta juga tembok pelindung badannya yang makin ampuh. Tapi, Bouw Lek Couwsu cepat sadar, bahwa kekuatan lawannya mulai menyusut, dan karena itu dia kembali mencecar lawannya dengan jurus-jurus berat dari Ilmu Pukulan Udara Kosong. Dan benturan kali ini mulai mendesak Kwi beng mundur sampai 2 langkah, sementara Bouw Lek hanya tergetar sedikit. Baik Ceng Liong, Kwi Song maupun Ciangbunjin Siauw Lim Sie mengerti belaka apa yang sedang terjadi. Tetapi, sekian lama, Kwi Beng tidak kunjung melemah dan terluka, meski beberapa kali terdorong sampai 2-3 langkah, namun efek pengerahan tenaga besart di pihak Bouw Lek Couwsu juga berdampak kurang baik baginya bila diteruskan.

Akhirnya Bouw Lek memutuskan untuk menggunakan Ilmu terakhirnya. Ilmu yang memiliki hawa sihir dan pengganggu mental lawan yang malah jauh lebih mahir dibandingkan Bouw Lim Couwsu. Posisi kedua tangannya terkatup didepan dada dan kemudian matanya menatap tajam kearah Kwi Beng, inilah Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit) yang penuh hawa sihir. Selain juga mengandung pukulan-pukulan hawa dalam yang sangat berat. Dari sini bisa ditilik, bahwa Bouw Lek Couwsu memandang musuh mudanya ini begitu tinggi hingga harus menggunakan ilmu pamungkasnya. Nampak bahkan Bouw Lim Couwsu juga tergetar, karena keampuhan suhengnya dalam ilmu ini masih jauh meninggalkannya.

Dan, Kwi Beng cukup tahu diri. Dia sadar, bahwa nyawanya dipertaruhkan dalam pertarungan yang berat ini. Dia segera menyiapkan Pek In Tai Hong Ciang dan meningkatkan ilmu hawa pelindung badan pada tingkat tertinggi yang dikuasainya, Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak). Dia tahu, bahwa benturan selanjutnya akan merugikan dia, hanya dengan kedua ilmu inilah dia mengharapkan kerugian dipihaknya bisa dikurangi. Untunglah dia mendapatkan tambahan tenaga titipan gurunya untuk pertarungan kali ini. Jika tidak, sungguh dia tak mampu membayangkannya.

Dan ketika mereka kembali bentrok, suasana sekitar mereka bagi yang menonton menjadi sangat luar biasa. Yang paling tercengang adalah pendeta yang mengawal Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Sampai terngangah-ngagah dia menyaksikan bayangan manusia yang bagaikan naga beterbangan saling pukul dan saling intai. Bahkan Sang Ciangbunjin sendiripun nyaris tak percaya menyaksikan anak muda Siauw Lim Sie itu bergerak dengan langkah dan akibat mujijat.

Tapi, dia segera sadar, bahwa kematangan latihan dan pengalaman serta kekuatan pihaknya masih belum memadai untuk mengalahkan Bouw Lek Couwsu. Kakek Lhama raksasa itu nampak semakin garang dan semakin menakutkan, terlebih pancaran sihir menyorot dari matanya yang untungnya tidak mempengaruhi dengan sangat Kwi Beng. Hanya dengan unsur mujijat Pek In Tai Hong Ciang sajalah dia masih sanggup bertahan dengan kuatnya. Tetapi sudah pasti, dia berada pada pihak yang bertahan kali ini.

Melihat keadaan kakaknya, Kwi Song segera bersiap untuk memberi bantuan. Tetapi, belum sempat dia besuara untuk memberi bantuan, dihadapannya sudah berdiri dalam sikap menanti Bouw Lim Couwsu, sute Bouw Lek Couwsu yang tidak kurang saktinya. Dalam kekhawatirannya, Kwi Song tidak lagi banyak pertimbangan, langsung dia memutuskan menyerang Bouw Lim Couwsu dan menciptakan arena kedua dalam ruangan yang untungnya memang cukup luas itu.

Pertempuran yang tidak kurang serunya segera terjadi, dengan ilmu-ilmu yang mirip dengan pertarungan pertama dan tingkat penguasaan yang tidak jauh berbeda. Hanya, nampaknya Kwi Song menghadapi lawan yang sedikit lebih lemah dibandingkan kakaknya, dan mampu bertarung secara seimbang dengan Bouw Lim Couwsu. Baik Ceng Liong maupun Ciangbunjin Siauw Lim Sie sama paham bahwa nampaknya Kwi Song sanggup menandingi Bouw Lim Couwsu dan mendatangkan rasa kagum bagi keduanya. Sungguh Kian Ti Hosiang tidak percuma membuang banyak waktu membina kedua anak muda sakti yang kini sangat membanggakan itu.

Sementara di arena lain, meskipun kondisinya menunjukkan kemenangan dipihaknya, tetapi kesombongan dan arogansi Bouw Lek sudah lenyap entah kemana. Baru muridnya saja sudah sedemikian lihaynya, bagaimana pula dengan kematangan ilmu gurunya? Lenyap sudah keinginannya untuk memberi hajaran kepada jasad Kian Ti Hosiang. Sebab, bila anak muda murid Kian Ti Hosiang yang satu lagi mengeroyoknya dan dia sudah mengijinkannya sebelum bertempur tadi, bagaimana pula nantinya nasibnya? Karena itu, maka dia berniat menyelesaikan pertempuran meskipun niatnya untuk memberi hajaran kepada Kian Ti Hosiang sudah lenyap. Tentu, dia ingin menyelesaikan dengan kemenangan ditangannya.

Tetapi, dengan pengerahan tenaga sebesar mereka saat ini, maka dia hanya bisa menang dengan melukai Kwi Beng, dan itu hanya mungkin dengan mengerahkan seantero kekuatannya. Dan tidaklah mungkin dia melakukannya, sebab daya untuk berjalan pergi dari Siauw Lim Sie bisa tidak lagi tersisa. Tetapi, sayang, untuk menarik diri dari libatan perkelahian mereka sudah sangat terbatas, karena sudah saling melibas.

Untungnya, kesulitan kedua orang ini bisa dilihat oleh mata ahli yang lain. Ceng Liong paham, bahwa keadaan Kwi Beng sungguh sangat berbahaya, sewaktu-waktu dia bisa terluka parah oleh keadaan terakhir. Tetapi, Ceng Liong juga sadar, bahwa untuk melukai Kwi Beng, Bouw Lek akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak akan mudah bagi Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan dan melukai Kwi Beng yang bersilat dengan kecepatan dan kekokohan Ilmunya. Hal yang sama ditemuinya dalam arena kedua, dimana Kwi Song mampu bertarung sama kuat denga Bouw Lim Couwsu, bahkan dia bisa mengirimkan serangan yang sama tajamnya dengan serangan yang dilancarkan oleh Bouw Lim Couwsu. Pertarungan itupun nampaknya akan makan waktu lama untuk diselesaikan.

Tetapi, pada saat dia berpikir demikian, nalurinya yang tajam menerima sebuah pesan naluariah yang agak lain dan membuatnya menjadi sangat waspada. Nampaknya, kedatangan kedua orang ini tidaklah semata persoalan pribadi, karena masih ada sekelompok orang lain yang ternyata datang bersama mereka. Sekejap dia melirik Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang juga nampaknya mendapatkan firasat yang sama. Sesuatu harus diputuskan, dan harus cepat. Dengan segera dia menoleh kepada Liang Mei Lan dan Siangkoan Giok Lian dan memberi bisikan lirih, juga kepada Ciangbunjin Siauw Lim Sie:

”Lan Moi, Lian Moi, kalian bantulah Ciangbunjin Losuhu mengawasi keadaan sekitar. Nampaknya masih ada beberapa jago tangguh yang menyertai kedua orang tua sakti ini, biarlah aku mengawasi arena pertarungan didalam dan juga jenasah Kian Ti Locianpwe. Sebaiknya agak cepat, situasi bisa berubah sewaktu-waktu“ Setelah mengirimkan isyarat dan bisikan tersebut, Ceng Liong kemudian berjalan mendekati peti mati berisi jasad Kian Ti Hosiang dan langkahnya kemudian diikuti seorang pendeta tua lainnya yang tadinya berdiri di belakang Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Sementara itu, Cangbunjin Siauw Lim Sie memandang sekilas ke arah Ceng Liong memberi anggukan persetujuan dan kemudian melangkah keluar ruangan diikuti kedua nona sakti yang kemudian bersiap dan berjaga di luar ruangan jenasah tersebut.

Aneh, keadaan di luar masih tetap lengang dan sunyi. Hanya terdengar semilir angin dan tingkah jangkrik yang mengisi suara di kesenyapan malam. Selebihnya adalah sepi dan lengang, yang justru mendatangkan rasa seram bagi mereka yang bermental rapuh. Tapi, Mei Lan dan Giok Lian tentu mengerti bahwa tersimpan sesuatu yang berbahaya dibalik kesenyapan yang mencekam tersebut.

Sama seperti yang juga dirasakan oleh Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang malah memiliki ketajaman batin yang melebihi anak-anak muda tersebut. Diapun sadar, kuilnya sedang disatroni oleh tokoh-tokoh lihay yang membuat banyak orang malah terlelap akibat pengaruh sebuah ilmu yang membuat orang menjadi sangat nyenyak tidurnya. Membuat segala sesuatu disekitarnya menjadi senyap dan seakan-akan melupakan apapun yang mungkin dan sedang terjadi malam itu.

Sedang Mei Lan, Giok Lian dan Ciangbunjin Siauw Lim Sie berkonsentrasi untuk mengenali keadaan sekitar kuil tersebut, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring: ”Berhenti kau“, dan kemudian disusul dengan benturan kekuatan yang mengeluarkan suara menggelegar ”blaaaaar“. Dan sebentar kemudian terdengar suara pertempuran terjadi di luar pintu kuil sebelah tenggara, dan nampaknya pertempuran itu juga merupakan pertempuran antara orang-orang berkepandaian luar biasa.

Mei Lan dan Giok Lian saling pandang dan saling mengerti dengan mengirim isyarat bahwa mereka akan mendatangi tempat tersebut. Dan Ciangbunjin Siauw Lim Sie mengerti akan keadaan tersebut, dia menganggukkan kepala menyetujui isyarat kedua nona yang akan mendatangi lokasi pertempuran tersebut dan akan meninggalkannya di depan pintu masuk untuk berjaga-jaga. Dan saat kedua nona itu beranjak ke arah pertempuran tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah siulan isyarat yang nampaknya berasal dari dalam ruangan jenasah. Suara tersebut mengalun rendah dan mengawang, nampaknya disertai kekuatan batin yang disalurkan dalam suara tersebut.

Saat itu, ketika suara asing itu masih mengawang di seputar kuil Siauw Lim Sie, Mei Lan dan Giok Lian sudah tiba di lokasi pertempuran di luar pintu tenggara kuil Siauw Lim Sie. Dan betapa terkejutnya Mei Lan ketika melihat seorang anak muda yang sedang bertanding seru dengan seorang lain yang juga sudah dikenalnya, Hu Pangcu pertama Thian Liong Pang. Anak muda itu, adalah Liang Tek Hoat, kakaknya, dan sudah tentu keadaan itu sangat mengejutkannya.

Sementara di arena kedua, seorang pengemis tua yang tertawa seperti setan tertawa, Hu Pangcu Kaypang Pengemis Tawa Gila sedang didesak hebat oleh orang yang juga sudah dikenal Mei Lan dan Giok Lian, yakni Hu Pangcu Ketiga Thian Liong Pang, Tibet Sin Mo Ong. Melihat keadaan yang kurang imbang ini, Giok Lian dengan cepat menerjang kedepan mengirimkan serangan kearah Tibet Sin Mo Ong dan membebaskan Pengemis Tawa Gila dari serentetan serangan maut yang menderanya.

Dua arena yang sama beratnya terbentang di pintu tenggara kuil Siauw Lim Sie. Pertempuran-pertempuran yang sangat jarang nampak dalam dunia persilatan, dan melibatkan ilmu-ilmu ampuh dan mujijat yang dimainkan oleh mereka yang sednag bertempur. Ledakan-ledakan memekakkan telinga segera tergelar ketika Tek Hoat kemudian mulai memainkan Pek Lek Sin Jiu untuk mengimbangi permainan Hu Pangcu Thian Liong Pang yang juga membadai menerpa dirinya.

Menghadapi Tek Hoat sungguh menghadirkan rasa penasaran yang luar biasa dalam diri Hu Pangcu pertama ini, karena kembali dia ketanggor anak muda yang luar biasa lihaynya setelah pernah dirugikan dalam pertempuran dengan Liang Mei Lan. Dan nampaknya, meski tidak secepat Mei Lan, tetapi anak muda Kaypang ini tidak berada dibawah kepandaian anak gadis yang pernah melukainya dulu.

”Aneh, sungguh banyak kini anak muda yang memiliki kepandaian menakjubkan dan bahkan sanggup mengimbanginya. Sungguh tidak menguntungkan bagi Thian Liong Pang“ pikir Hu Pangcu Pertama dan membuatnya menjadi lebih was-was. Terlebih ketika melihat bagaimana Hu Pangcu Ketiga, juga ternyata menemui lawan yang tidak kurang tangguhnya dengan lawannya, dan lawan Hu pangcu Ketiga, juga seorang nona yang masih muda. Luar biasa, sungguh banyak anak muda sakti dewasa ini.
 
Sementara itu, Tibet Sin Mo Ong, juga mengalami perlawanan yang luar biasa seru dan beratnya. Semua permainan Ilmu Saktinya, mulai dari Hong Ping Ciang hingga Tam Ci Sin thong sanggup dihadapi dan mendapatkan balasan yang tajam dari si gadis. Giok Lian sendiri bertempur dengan mengandalkan ilmu-ilmu keluarganya, ilmu begkauw dan mengandalkan jiauw sin pouw poan soan yang menghindarkannya dari serangan mematikan.

Bahkan sesekali dengan landasan sinkang Jit Goat Sin kang warisan kakeknya dia membalas dengan ilmu mengerikan yang memang agak sadis dan ganas, Toat beng Ci yang menggidikkan. Benar-benar lawan berat, tidak kurang berat dibandingkan dengan lawan yang mengimbanginya di perkampungan keluarga Yu. Bila begini, maka sulit diharapkan bahwa gerakan mereka malam ini akan memberi efek jera dan efek tobat bagi para pendekar yang berkumpul di Siauw Lim Sie.

Sementara itu, dibagian dalam tidak lama setelah suara asing yang mengambang tadi sirna, tiba-tiba di depan ruangan jenasah sudah bertambah dan berbaris barisan 6 pedang Duta Perdamaian Lembah Pualam Hijau. Rupanya Ceng Liong telah mengerahkan tenaganya untuk membuyarkan pengaruh hitam atas Barisan 6 Pedangnya dan kini barisan itu telah menjaga pintu masuk ruangan jenasah tempat bersemayamnya jenasah Kian Ti Hosiang.

Hal itu membuat Ciangbunjin Siauw Lim Sie menjadi lebih lega, dan dengan cepat dia menyadarkan 4 pendeta Siauw Lim Sie yang berjaga di depan pintu dan meminta mereka untuk menyadarkan banyak suheng dan sute mereka dalam kuil Siauw Lim Sie. Dan sepeninggal ke-4 pendeta itu, tokoh-tokoh utama Siauw Lim Siepun seperti wakil Ciangbunjin, 18 Barisan Lo Han, dan beberapa Pendeta angkatan ”Kong“ (angkatan Ciangbunjin Siauw Lim Sie saat itu) bermunculan mengelilingi ruangan jenasah tokoh mereka. Keadaan mulai dapat dikenali dan dikuasai, karena untungnya pihak pengganggu hanya datang beberapa tokoh lihay mereka, dan tidak menyertakan anak buah mereka untuk ikut menyerang kuil Siauw Lim Sie.

Bahkan tokoh-tokoh utama lain semisal Cianbunjin Bu Tong Pay dan Jin Sim Todjin juga tidak berapa lama juga berkumpul diikuti dengan Ciangbunjin Kun Lun Pay dan beberapa tokoh lain. Sementara Sian Eng Cu sudah bergabung bersama beberapa tokoh lain di pintu tenggara kuil Siauw Lim Sie, arena perkelahian Tek Hoat dan Giok Lian melawan tokoh Thian Liong Pang.

Sementara itu, di bagian dalam ruang jenasah, pertarungan yang terjadi semakin lama menjadi semakin berat. Arena pertempuran antara Kwi Song melawan Bouw Lim Couwsu tidaklah mengkhawatirkan, tetapi pertempuran puncak antara Kwi Beng melawan Bouw Lek Couwsu sudah hampir bisa dipastikan. Hanya karena kemujijatan ilmu pamungkas Kian Ti Hosiang yang membuat Kwi Beng masih sanggup bertahan. Tetapi, dengan keunggulan tenaga, pengalaman dan kematangan latihan, Kwi Beng akan semakin keteteran.

Hanya karena jurus dan ilmu pamungkas serta khikang mujijat baju emas sajalah yang menghindarkannya dari keadaan terluka dari lawannya. Dan, lama-kelamaan Ceng Liong mulai berpikir untuk menghentikan pertarungan itu. Apalagi, dia paling mungkin terlibat dan melibatkan diri dalam pertempuran itu, hanya dia seorang, dalam kapasitas sebagai Bengcu Dunia Persilatan. Dan, sebelum keadaan berkembang makin rumit, dikuatkannya hatinya, dikerahkannya saluran tenaga dalamnya untuk dibenturkan tepat ditengah benturan kekuatan Kwi Beng dan Bouw Lek Couwsu. Dan untuk itu, dia harus sangat teliti memanfaatkan kesempatan, karena kesempatan itu hanya akan ada kurang dari sedetik.

Beberapa saat Ceng Liong berkonsentrasi, dan ketika saatnya datang, dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dibenturnya pusat benturan tenaga Kwi Beng dan Bow Lek Couwsu. Sesungguhnya, dia bertaruh dengan keadaan yang sangat membahayakan dirinya sendiri bila gagal. Tapi, ketimbang melihat Kwi Beng terluka parah, maka ditempuhnya resiko berbahaya bagi dirinya. Dan, untungnya dia berhasil memukul persis di pusat benturan tenaga kedua orang yang bertempur dan persisi dititik yang diharapkannya. Ledakan memekakkan telinga terjadi. Dan akibatnya, meski Ceng Liong terlempar oleh hempasan tenaga gabungan, tetapi dengan kekuatan lentur dan lemasnya dia melayang dan meletik di atas memunahkan daya gempur atas tubuhnya. Bahkan dia kemudian turun tepat di tengah kedua pihak yang bertikai dan segera berseru

”Tahan, selaku Bengcu Rimba Persilatan Tionggoan, kuminta pertempuran ini disudahi. Dan kuminta semua untuk menghormati arwah Kian Ti Hosiang. Siapa yang masih penasaran akan berhadapan denganku selaku bengcu“ kali ini Ceng Liong bertindak dengan sangat pas, dengan wibawa kuat memancar dari wajah dan sinar matanya. Bahkan Bouw Lek Couwsu sendiri sampai terpana dan maklum, bahkan bocah muda yang menyebut dirinya Bengcu ini malah masih lebih liat dibanding lawannya barusan. Berani membetur benturan tenaganya dengan Kwi Beng dan bahkan tidak terluka, hanya mungkin dilakukan oleh orang sakti, yang bahkan tidak terpaut jauh dengan kepandaiannya. Hal ini sungguh membuatnya terkejut. Sungguh hebat anak muda itu, pikirnya.

Campur tangannya Ceng Liong telah mengundang banyak penafsiran. Yang pasti, Kwi Beng merasa bersyukur karena nyaris susah bertahan lebih lama di bawah himpitan serangan Bouw Lek Couwsu. Bouw Lek Couwsu, merasa kurang senang meski sadar bahwa posisi mereka sangat tidak menguntungkan. Tetapi, untuk berkelahi lebih jauh, dia sadar bahwa hal itu tidaklah memungkinkan. Menang melawan Kwi Beng tetapi dengan menang tipis, juga lebih membuatnya malu. Disamping itu, diapun sadar, Bengcu muda ini juga bukanlah lawan empuk, belum lagi anak muda satunya lagi yang adalah murid Kian Ti Hosiang juga. Karena itu, disamping merasa gerah dengan Ceng Liong, diam-diam diapun bersyukur perkelahian yang tidak menguntungkannya sudah diselesaikan. Tetapi, dasar cerdik dia kemudian bergumam:

“Apakah ini berarti Bengcu Tionggoan ingin menggunakan kekuatannya mengempur orang yang menagih hutang pribadi“?

”Sudah kutegaskan, siapapun yang tidak menghormati jenasah guru besar Kian Ti Hosiang, bukan hanya akan berhadapan dengan Siauw Lim Sie, tetapi juga dunia persilatan Tionggoan. Urusan pribadi ataupun urusan kelompok atau urusan siapapun, tidak terkecuali. Karena itu, bila locianpwe mau memberi penghormatan terakhir, silahkan. Jika tidak, kami persilahkan untuk berlalu dari tempat ini“ tegas, sangat tegas keputusan dan penegasan Ceng Liong.

“Baiklah anak muda, urusanku disini sudah selesai. Toch, Kian Ti Hosiang sudah mendahuluiku, biarlah urusan selebihnya kuhapuskan sampai disini. Lohu tidak punya urusan dengan Siauw Lim Sie, urusanku murni urusan pribadi. Jika demikian, kami mohon diri“ Bouw Lek Couwsu cerdik, dia tidak memaksakan diri karena memang posisinya sudah tidak mengenakkan.

Mengundurkan diri adalah jalan yang paling mungkin dan paling baik baginya untuk saat ini. Meskipun datang dengan Bouw Lim Couwsu, dia tidak punya keyakinan lagi untuk memenangkan pertempuran di Siauw Lim Sie. Apalagi, ketika melirik kearah Bouw Lim Couwsu, sutenya itu juga ternyata mendapat perlawanan yang hampir seimbang, dan tidak mungkin memenangkan pertempuran dalam waktu singkat. Jangankan menang dalam waktu singkat, melihat pertempuran seru itu, dia sadar bahwa sutenya itu hanya menang tipis atau jika bukan imbang atau bertempur seimbang dengan pendekar muda Siauw Lim Sie yang satunya lagi.

Maka, sambil menjura memberi penghormatan kepada jenasah Kian Ti Hosiang, dia kemudian menggapai kearah Bouw Lim Couwsu dan berkata:

”Sute, sudah waktunya kita pergi. Toch Kian Ti si pendeta tua sudah berpulang lebih dahulu, biarlah lain kali kita melakukan perhitungan lain“

Mendengar perkataan Bouw Lek Couwsu, Bouw Lim Couwsu yang memang semangat bertempurnya sudah banyak turun sejak dijatuhkan Ceng Liong dengan cepat menarik diri dari pertempuran dan dibiarkan saja oleh Kwi Song. Dan kemudian Bouw im Couwsu mendampingi Bouw Lek Couwsu memberi penghormatan terakhir kearah jenasah Kian Ti Hosiang.

Tapi, begitu selesai mereka memberi penghormatan terakhir, tiba-tiba nampak kilatan emas bergerak sangat cepat dari arah jendela. Kecepatannya sungguh mengagumkan, sangat cepat malah dan nampak seperti kilatan emas memanjang kearah dalam.

“Hm, inikah Bengcu Tionggoan yang masih muda itu“?

Dan segera nampak kalau kilauan cahaya emas memanjang itu, kini terpentang dan dengan cepat mengarah ke Ceng Liong. Belum lagi tiba serangan kilatan warna emas itu, serangkum angin yang sangat tajam telah menerpa datang. Untungnya, Ceng Liong sejak tadi memang sudah bersiap sedia, dan karena itu dengan cepat dia bereaksi. Ceng Liong sadar, penyerangnya bukan orang biasa, bukan. Malah sebaliknya. Ditinjau dari angin serangan yang mengarah kearahnya, malah masih lebih berat dibandingkan dengan angin serangan Bouw Lim, atau malah masih seurat di atas Bouw Lek Couwsu.

Dan serangkum hawa berat itu yang sedang mengarah ketubuhnya. Karena itu, tak berayal lagi, dikerahkannya segenap tenaganya, dan memilih salah satu jurus ampuh dari Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), jurus keenam ”Awan Putih Menangkal Kilau Mentari“. Dan, kilatan cahaya keemasan itu kemudian membentur Ceng Liong yang sempat membentengi dirinya dengan khikang pelindung badan dan membuat tangannya nampak seperti diselimuti awan putih yang tebal pekat. Tapi, kilauan keemasan itu juga tidak olah-olah hebatnya dan, dan terbukti karena setelahnya kemudian terdengar benturan keras, sangat keras malah:

”Blaaaar“ dan tubuh Ceng Liong terdorong mundur sampai 5 langkah kebelakang, sementara kilauan keemasan yang bergerak cepat itupun terdorong sampai 3 langkah kebelakang. Tidak lama, tidak sampai bisa dikenali siapakah gerangan penyerang itu, karena segera setelah itu, terdengar suaranya:

”Tidak kecewa, sungguh mengagumkan. Semuda ini sudah sehebat ini, tapi masih belum mampu melawan lohu“ dan suara itu segera terbang bersama tubuh keemasan yang tidak sempat bisa dikenali bagaimana raut muka maupun perawakannya. Tubuh itu segera melesat secepat kedatangannya dan menghilang sama cepatnya dengan Bouw Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu. Tetapi sepeninggal mereka sebuah suara mendenging di telinga Ceng Liong yang baru bisa menemukan keseimbangannya akibat terdorong oleh sebuah tenaga yang luar biasa besarnya: ”Anak muda, pinto sedang melakukan tugas terakhir memenuhi kewajiban kepada suhengku, dan inilah pengembaraanku yang terakhir“, suara Bouw Lim Couwsu. Dan kemudian lenyap.

Sementara itu, Ceng Liong yang tergetar oleh benturan kekuatan yang luar biasa tadi, membutuhkan waktu beberapa saat untuk menenagkan diri dan mengumpulkan semangatnya.

”Luar biasa. Ceng Liong, sungguh lawan-lawan kita adalah tokoh-tokoh kawakan yang menakutkan. Tapi, siapakah tokoh yang datang terakhir itu“? Kwi Song segera mendekati Ceng Liong begitu lawan-lawan mereka berlalu dan Ceng Liong nampak menarik nafas beberapa saat baru kemudian menemukan keseimbangannya.

”Benar saudara Kwi Song. Jika tidak salah, lawan-lawan kalian adalah Bouw Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu yang menjadi Hu Hoat ke-3 dan ke-4 di Thian Liong Pang. Mereka pernah bertarung nyaris seimbang dengan guru-guru kalian, Kian Ti Hosiang dan Pek Sim Siansi Wie Tiong Lan pada masa lalu. Memang sungguh hebat mereka. Dan rasanya tidak mungkin kalau kedua locianpwe yang mulia, guru kalian belum menceritakannya kepada kalian“

”Terima kasih atas bantuan saudara. Benar, suhu pernah menyinggung nama-nama mereka yang pernah berontak terhadap Lhama di Tibet dan kini mereka menjadi pelarian. Bila tidak dipisahkan, rasanya siauwte tidak sanggup bertahan lebih lama lagi“ Kwi Beng berkata kepada Ceng Liong.

”Saudara Kwi Beng, Bouw Lek Couwsu memang masih seurat diatas adiknya, dan memang nampak jelas kehebatannya. Tapi, bukan berarti kita tidak sanggup mengalahkannya kelak“ hibur Ceng Liong.

”Sudahlah, nampaknya di luar juga terjadi pertempuran lainnya. Sebaiknya kita melihat keadaannya“ Kwi Song berinisiatif.

Saat kedatangan Kwi Beng, Kwi Song dan Ceng Liong adalah saat dimana pertempuran tersebut berakhir. Baik Tek Hoat yang memainkan Pek Lek Sin Jiu dan berkali-kali juga Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut memang mampu melawan dan mengimbangi Hu Pangcu pertama. Bahkan nampak masih bisa menguasai pertempuran meskipun tidaklah seberapa, tidak mampu dirubah menjadi kemenangan, apalagi dalam waktu singkat.

Sementara Giok Lian, juga mampu menang seusap melawan Hu Pangcu ketiga, tetapi tidaklah mungkin menang dalam waktu singkat. Sementara di sisi arena masih bediri Pengemis Tawa Gila dan juga beberapa tokoh Siauw Lim Sie yang sudah sadar dari pengaruh Ilmu yang memabukkan dan juga tokoh sakti Sian Eng Cu yang sudah berdiri didekat Mei Lan. Tokoh-tokoh itu sudah pada sadar dari serangan ilmu yang memabukkan, meskipun mereka terlambat keluar karena tidak enak dengan aturan Siauw Lim Sie.

Tetapi, setelah siulan Ceng Liong dan suara pertempuran di luar kuil, mereka sadar bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Bahkan, didepan mereka semua, masih bediri kokoh Liang Mei Lan didampingin Sian EngCu yang menyaksikan dan mengawasi pertempuran di dua arena tersebut. Saat-saat yang menunjukkan bahwa hasil gangguan ke Siauw Lim Sie tidaklah menghasilkan cukup banyak keuntungan bagi, kemudian membuat pihak pengganggu memutuskan menyelesaikan pertempuran dan pergi mengundurkan diri.

Tiba-tiba terdengar sebuah dengusan tidak senang:

”cukup, bersiaplah, kita pergi“

Bersamaan dengan itu, selarik sinar kehitaman nampak melompat dari kegelapan. Cepatnya sungguh mengagumkan, bahkan sempat membuat Mei Lan yang ahli ginkang juga kagum atas kecepatan lawan tersebut. Melihat yang diserang adalah kakaknya, Mei Lan dengan segera mengerahkan segenap kekuatannya di tangannya. Segenap tenaganya, karena dari deru angin serangan lawan dia menyadari bahwa lawan yang menyerang bahkan masih lebih hebat dari Hu Pangcu yang menjadi lawan Tek Hoat dan Giok Lian.

Diapun mengerahkan segenap kekuatannya dan bergerak sama cepatnya dengan si penyerang sambil menyambut serangan tersebut dengan jurus pamungkasnya. Bergerak sangat cepat baik penyerang maupun Liang Mei Lan sehingga membuat mereka saling berbenturan sebelum pukulan si penyerang mendekati Tek Hoat. Tapi, sungguh hebat akibatnya, benturan keras dengan suara memekakkan telinga tidaklah bisa dihindari lagi:
”Blaaaaaar“, Mei Lan sampai merasa kepalanya sedikit pusing dan dia terdorong sampai lebih 6 langkah kebelakang. Tapi, tangkisannyapun ternyata membuat lawannya terdorong 3 langkah ke belakang. Dan akibat serangan tersebut, baik Tek Hoat dan Giok Lian sempat tersentak melihat akibat benturan Mei Lan dan si penyerang gelap yang tidak sempat bisa diidentifikasi siapa orangnya.

Tidak ada tanda-tanda fisik yang bisa ditangkap saking cepat datangnya seangan dan kelabatan orang itu untuk meninggalkan arena diikuti kedua Hu Pangcu Thian Liong Pang. Dan pada saat itulah Ceng Liong bertiga tiba di tempat atau tiba diarena pertempuran yang juga baru saja usai itu.

Ceng Liong segera mendekati Liang Mei Lan karena dia sempat melihat bagian akhir dari benturan hebat tersebut. Dengan suara yang sangat khawatir dia berbisik:

”Lan Moi, engkau baik-baik sajakah“?
Ada beberapa ketika Mei Lan menetralisasi tenaga dalamnya dan beberapa saat kemudian dia sadar dan sambil tersenyum dia bergumam:

”Sudah tidak berhalangan lagi, Liong Koko. Bagaimanakah keadaan yang lainnya“ segera dia melihat sekitarnya dan melihat Giok Lian yang memandangnya khawatir, juga melihat kedua pendekar kembar, pengemis gila tawa dan terakhir juga melihat kokonya yang sedang tersenyum kearahnya, Liang Tek Hoat.

”Ach, koko, bagaimana keadaan terakhir“?

”Sudah, semua sudah usai Lian Moi. Kokomu khawatir melihat benturanmu dengan si bayangan hitam, entah siapakah tokoh sakti itu”?

”entahlah koko, tapi yang pasti rasanya dia masih lebih lihay lagi dibandingkan Hu Pangcu mereka. Sungguh banyak tokoh lihay di Thian Liong Pang” Mei Lan sambil mengeluh, selain menomalisasi kondisi tubuhnya yang tergetar, juga gemas karena lawan memiliki demikian banyak tokoh tangguh yang sudah pada bermunculan di dunia persilatan.

”Benar nona Mei Lan, bahkan didalampun Ceng Liong sampai bertempur dengan sesosok bayangan keemasan yang juga luar biasa lihaynya. Bahkan masih lebih lihay dari Bouw Lim Couwsu dan juga Bouw Lek Couwsu nampaknya“ Kwi Song menambahkan.

”Benarkah demikian Liong Ko”?

”Begitulah Lan Moi. Nampaknya tugas kita menjadi luar biasa sulitnya. Tokoh-tokoh mereka luar biasa lihaynya, sangat tidak mungkin kita melawan mereka seorang demi seorang. Padahal, kitapun belum tahu apakah mereka sudah inti kekuatan lawan ataukah malah masih ada jago tersembunyi lainnya“ Ceng Liong berdesis membenarkan.

”Sungguh berbahaya. Benar Bengcu, nampaknya masih ada inti kekuatan lawan yang tersembunyi. Bukan tidak mungkin yang menempur Bengcu dan Nona Mei Lan adalah Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kai. Dan bila mereka, maka lawan kita memang benar-benar ampuh. Sungguh berbahaya“ desis Pengemis Tawa Gila yang ikut merasa seram karena kehadiran kedua tokoh iblis yang sangat luar biasa itu. Setahunya, hanyalah Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong yang dulu sanggup menahan kedua maha iblis ini dan mengikat mereka dengan perjanjian menutup diri selama 40 tahun.

“Ya, sangat mungkin bahwa keduanya adalah Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sinkai, bila melihat kehebatan mereka dalam bergerak dan ilmu silat. Jika demikian, nampaknya pihak lawan sudah bergerak secara terbuka dan akan berhadapan dengan kita, cepat atau lambat“ Sian Eng CU membenarkan dugaan Pengemis Tawa Gila.

Tengah mereka bercakap-cakap dengan sangat serius membahas kejadian paling akhir dan ketika pagi mulai menjelang datang, tiba-tiba wakil Ciangbunjin Siauw Lim Sie nampak datang. Dia kemudian menyapa semua orang dan menyampaikan pesan:

”Ciangbunjin mengundang semua orang gagah untuk minum teh pagi bersama dan becakap-cakap banyak hal“
Ceng Liong yang merasa selaku Bengcu memang pada tempatnya membicarakan banyak hal bersama banyak orang gagah dari banyak perguruan dengan cepat mengiyakan.

”Mari losuhu, nampaknya undangan Ciangbunjin memang sangat tepat bagi kita semua untuk membicarakan banyak hal"
 
5 Upacara Duka di Siauw Lim Sie





Meskipun masih dalam suasana berkabung, tetapi Ciangbunjin Siauw Lim Sie tetap bergabung dengan para tamu, kawanan jago persilatan yang datang melayat pada hari sebelumnya dan masih bertahan di Siauw Lim Sie. Peristiwa serangan ke Siauw Lim Sie, sungguh mencengangkan banyak orang, apalagi hanya dilakukan oleh beberapa tokoh sakti yang nampaknya berasal dari Thian Liong Pang.

Sangat menggemparkan tentunya, karena menurut pendengaran para jagi dunia persilatan, yang datang adalah para pemimpin teras Thian Liong Pang. Tidak kurang dua orang hu-pangcu dari Thian Liong Pang datang ”berkunjung“, tengah malam buta atau menjelang fajar. Bahkan, 2 tokoh kuat lainnya, yakni Bouw Lek Couwsu dan Bouw Lim Couwsu yang juga merupakan 2 orang hu-hoat dari Thian Liong Pang juga datang meski mengusung alasan pribadi.

Bahkan yang lebih menggemparkan lagi, ketika nama 2 maha durjana dunia persilatan, Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay, tokoh yang sangat ditakuti di dunia hitam, ternyata juga disinyalir ikut meluruk datang. Benar-benar gila, pikir para jagi dunia persilatan tesebut. Di tengah keadaan berduka dan didatangi banyak jago dunia persilatan, Thian Liong Pang tetap berani main kurang ajar terhadap Siauw Lim Sie. Benar-benar sebuah tantangan dan ancaman secara terbuka yang membuat para jagi menjadi ketar-ketir.

Dengan kekuatan Thian Liong Pang yang sedemikian dahsyat, maka ancaman terhadap yang hadir dan dunia persilatan sungguh nampak semakin terasa mengerikan. Betapa tidak, bahkan di kandang singa, Siauw Lim Sie sekalipun, mereka tidak merasa risih dan takut untuk datang mengacau. Bahkan mampu mempengaruhi banyak tokoh persilatan sehingga mengalami rasa kantuk dan tidur yang nyaris lupa akan diri masing-masing.

Tapi. Percakapan juga menjadi seru ketika mendengar bahwa justru yang mengusir para jagi itu, bukannya Sian Eng Cu yang sangat terkenal kesaktiannya. Juga bukan Ciangbunjin Siuw Lim Sie yang dianggap tokoh tua yang juga tidak kurang lihaynya, bukan pula Cianbunjin Bu Tong Pay atau tokoh tua mereka Jin Sim Todjin, juga bukan Lo Han Tin Siauw Lim Sie. Sebaliknya, adalah tokoh-tokoh muda dari Siauw Lim Sie, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.

Juga tokoh muda dari Kay Pang, Liang Tek Hoat yang adalah calon yang digadang-gadang banyak tokoh Kay Pang untuk menjadi generasi Pangcu berikutnya. Kemudian juga salah seorang tokoh muda Bengkauw, seorang nona muda yang juga sangat lihay ilmu silatnya. Kemudian, juga murid Bu Tong Pay, Liang Mei Lan yang malah disaksikan banyak orang berbenturan langsung dengan tokoh sakti mandraguna, Koai Tung Sin Kai. Sungguh orang-orang muda yang menjadi tiang dan tonggak harapan dunia persilatan pada masa mendatang, atau bahkan masa kini.

Herannya, tiada satupun yang membicarakan apa yang dilakukan Kiang Ceng Liong, Bengcu muda yang pekerjaannya malam tadi tiada seorangpun yang menaruh perhatian dan bertanya. Apalagi yang tahu belaka hanya kedua saudara kembar she Souw dan juga Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Tapi, untungnya Kiang Ceng Liong memang tidak bermaksud mencari nama dengan semua yang dikerjakannya.

Di meja sekitar Ciangbunjin, duduk bersama Kiang Ceng Liong, Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ciangbunjin Kun Lun Pay, Sian Eng Cu, Jin Sim Todjin dan juga Kay Pang Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila. Satu-satunya anak muda yang gabung adalah Ceng Liong, atas kedudukannya sebagai Bengcu dunia persilatan. Sementara di meja terdekat lainnya, duduk para tokoh muda lainnya, Tek Hoat, Mei Lan, Giok Lian, Souw Kwi Song dan Souw Kwi Beng serta beberapa tokoh hebat lainnya. Masing-masing meja tempat minum teh pagi terlibat dalam percakapannya sendiri-sendiri dengan tingkat analisis yang berbeda-beda. Tetapi di meja utama, percakapannya nampak sangat serius, terutama ketika Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu memaparkan apa yang mereka lihat dalam pertempuran tadi:

’Menurut pengamatan lohu, penyerang terakhir adalah Koai Tung Sin Kay. Seorang pengemis sakti yang sangat kukoay dan sering bawa adatnya sendiri. Dan bahayanya, dia berteman akrab dengan Kim-i-Mo Ong, karena mereka berdua pernah dikalahkan Kiong Siang Han Pangcu Kay Pang generasi terdahulu bersama Kiang Sin Liong locianpwe dari Lembah Pualam Hijau“ ucap Pengemis Tawa Gila

”Benar, lohu juga memiliki pandangan dan dugaan yang sama dengan Pengemis Tawa Gila. Tingkat mereka sudah sangat tinggi, dan masih belum ada diantara kita yang sanggup melawan mereka bila pertandingan dilangsungkan. Ach, dugaan mereka orang tua sungguh tepat. Kita berhadapan dengan kekuatan iblis yang luar biasa lihaynya” tambah Sian Eng Cu

”Maksud jiwi, kedua maha iblis itu juga ikut-ikutan meluruk ke Siauw Lim Sie“? Ciangbunjin bertanya dengan nada serius

”Dugaan kami begitu Lo suhu” sahut Pengemis Tawa Gila

”Tapi, bagaimana mungkin merekapun ikut mengundurkan diri tanpa melakukan sesuatu yang berarti sute”? Jin Sim Todjin bertanya kepada Sian Eng Cu

”Ji Suheng, pertama, mereka nampaknya hanya ingin menggetarkan nyali orang dengan tanda tanya mereka hadir atau tidak. Kedua, secara kebetulan Kim-i-Mo Ong membentur Kiang Bengcu yang meski masih kalah tetapi tidak terpaut jauh dengannya. Hal yang sama terjadi dengan Koai Tung Sin Kai yang ditangkis secara hebat oleh sumoy Mei Lan. Bermaksud mengagetkan kita, justru mereka yang terkaget-kaget sambil pergi”

”Masuk di akal” Jin Sim Todjin mengangguk-angguk diikuti Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

Di meja lainpun ke-5 anak muda sakti lainnya nampak sedang berbincang-bincang seru. Nampaknya merekapun sedang mendiskusikan kejadian paling akhir dan terkait dengan tugas masing-masing yang diembankan oleh sesepuh perguruan mereka. Kwi Song yang tidak menyembunyikan kekagumannya atas Mei Lan sudah bertanya:

”Liang Kouwnio, kabarnya engkau sempat membentur salah seorang jago sakti dari Thian Liong Pang”?

”Ach, sungguh menyesal aku tidak sanggup mengatasinya. Dia masih terlampau sakti´ Sesal Mei Lan

”Ach, nampaknya memang benar banyak orang sakti yang meluruk datang. Ceng Liong juga memapak serangan seorang berjubah emas yang nampaknya masih lebih lihary dibandingkan lawan kami berdua“

”Benar Song te, lawan-lawan kita memang sangat berbahaya. Termasuk lawan Nona Giok Lian juga sungguh luar biasa kuatnya. Jika tidak salah, dia adalah Hu Pangcu Thian Liong Pang, dan Nona berhasil menghalaunya pergi. Kagum sungguh kagum” Liang Tek Hoat mengutarakan perasaannya, juga jelas penujui nona Siangkoan Giok Lian, seperti juga Souw Kwi Song yang nampak memiliki rasa terhadap Mei Lan.

”Ach, tapi Hu Pangcu pertama yang lawan saudara Tek Hoat, juga bukan lawan yang ringan. Sungguh, tugas yang diembankan kongkong luar biasa beratnya” Giok Lian termenung.

’Ach, tapi kita bisa bekerja sama Kouwnio, kita bisa bersama dengan kekuatan dunia persilatan ini untuk membentur organisasi Thian Liong Pang ini.

”terima kasih saudara Tek Hoat” Siangkoan Giok Lian tersipu-sipu mengucapkan terima kasih kepada Tek Hoat.

Sebagaimana meja pertama, meja para anak muda inipun penuh dengan percakapan seputar kemungkinan yang akan dihadapi, persoalan besar dan penting lainnya serta kadaan musuh mereka yang masih di tempat kegelapan, susah diraba kapan dan bagaimana cara mereka turun tangan lebih jauh nantinya. Beda dengan meja sebelahnya, pendar-pendar rasa antara orang muda ini nampak cukup kentara, terutama Kwi Song yang selalu memperhatikan Mei Lan dan Tek Hoat yang selalu memberi perhatian khusus terhadap Siangkoan Giok Lian. Karena itu, percakapan mereka jauh lebih hidup, tidaklah tegang semata, terlebih karena nampaknya Giok Lian memberi angin terhadap perhatian Tek Hoat.

Sementara Kwi Song yang penuh percaya diri tidaklah patah arang meski melihat Mei Lan tidak terlampau antusias dengan perhatian khusus yang dinampakkannya. Padahal, sebagaimana Tek Hoat, Kwi Song juga memiliki pembawaan yang tidak kurang menyenangkan. Tetapi, bila memang hati sudah tertambat ke orang lain, maka sehebat apapun orang baru yang mencoba membuka pintu asmara itu, pastilah sukar sekali melakukannya.

Lain dengan meja satunya. Percakapan mereka benar-benar serius, sangat serius dan fokus terhadap persoalan yang ditimbulkan Thian Liong Pang dan bagaimana mengurusnya nanti. Bahkan dikaitkan dengan semua kejadian di dunia persilatan yang demikian menyeramkan. Bahkan juga dengan resiko yang akan terjadi begitu meninggalkan Siauw Lim Sie. Sungguh sebuah kemungkinan yang sangat tidak menyenangkan tetapi sangatlah mungkin terjadi. Karena itu, sampai Ciangbunjin Siauw Lim Sie menjadi sangat terkejut dengan fakta bahwa terdapat ancaman bahaya bagi setiap para jago yang akan meninggalkan gunung Siong San nantinya. Karena itu, dia berpaling kepada Kiang Ceng Liong dan bertanya:

”Kiang Bengcu, bagaimana dengan pandangan serta pemikiranmu menghadapi ancaman pembunuhan bagi mereka yang nantinya turun dari gunung ini setelah upacara perabuan? Kentara sekali sang Ciangbunjin memandang Kiang Ceng Liong sangat tinggi.

”Lo suhu, nampaknya siauwte membutuhkan banyak masukan dari para locianpwe disini´ Ceng Liong merendah

”Yang pasti, harus dihindari perjalanan turun gunung dengan melakukannya perseorangan. Mau tidak mau perjalanan berkelompok, bila mungkin semakin besar semakin baik adalah pilihan yang paling mungkin. Sebab bisa dipastikan kelompok penyerang dari Thian Liong Pang akan mencari-cari kesempatan untuk menghabisi para jago yang turun dari gunung ini setelah usai acara di Siauw Lim Sie“ tambahnya.

”Benar Bengcu, nampaknya jalan itu yang paling mungkin. Resiko berjalan sendiri-sendiri teramat riskan” tambah Pengemis Tawa Gila

”Tetapi, rombongan ini tidaklah mungkin terus menerus selalu bersama, karena suatu saat pasti akan terurai sendirinya karena arah dan tujuan yang berbeda’ Sian Eng Cu bersuara.

”Benar, dan dalam hal ini Kay Pang harus banyak berperan. Baik sebagai pencari berita, maupun mengintai jalanan yang mungkin sudah disiapkan penghadangan oleh musuh“ Ciangbunjin Kun Lun Pay menambahkan.

Tapi, belum sempat keputusan itu diutarakan kepada semua jago, keresahan yang juga telah menjalar di kalangan mereka lama kelamaan membuat suasana menjadi panik dan panas. Bahkan, perbincangan-perbincangan di meja-meja para jago dunia persilatan cenderung tak terkontrol dan mengakibatkan suasana menjadi tambah runyam. Dalam puncaknya, seorang jago yang terkenal berangasan bernama Thi ciang kay pit (telapak baja penghancur nisan) Tang Cun terdengar bersuara lantang:

“Cuwi enghiong sekalian, keadaan dunia persilatan sudah sekian lama dalam ancaman teror Thian Liong Pang. Bahkan semakin lama semakin banyak korban mereka, dan bukan tidak mungkin sebagian besar diantara kita akan segera menyusul. Bahkan banyak perguruan, termasuk perguruan besar menjadi korban mereka. Sudah bertahun-tahun, dan kita masih belum pernah berhadapan langsung dengan mereka. Bahkan Bengcu menghilang entah kemana. Nampaknya, dunia persilatan Tionggoan membutuhkan persatuan dan pimpinan baru untuk menghadapi kekisruhan ini. Entah bagaimana pandangan cuwi sekalian”?

Ucapan Tang Cun ini menarik perhatian yang sangat besar, terutama di kalangan para jago yang ternyata memang sudah agak resah dan semakin tercekam oleh kekhawatiran akan keadaan dunia persilatan dan fakta bahwa bahkan Siauw Lim Sie sendiripun tidak aman lagi. Karena itu, begitu picu ditarik, dengan segera sambutanpun muncul:

“Lohu Tiong It Ki sependapat dengan saudara Tang Cun. Sudah terlalu lama dunia persilatan Tionggoan dibuat ketar-ketir oleh teror Thian Liong Pang. Sementara, kita nyaris tanpa perlawanan atas kekisruhan yang dihadirkan organisasi itu. Karenanya, kebetulan juga Bengcu sudah lama tidak kelihatan, sudah saatnya kita menentukan persatuan dan memilih pemimpin baru yang tidak berhalangan”
Dan, kemudian disambung lagi oleh seorang:

”Penting, penting sekali memilih pemimpin baru. Karena begitu turun dari Siong San ini, bila tanpa pemimpin, bukan tidak mungkin sebagian besar dari kita akan segera menjadi korban. Dan, pada gilirannya banyak perguruan lain akan habis dan dihancurkan pengganas ini. Akan semakin banyak bila kita lalai dan lamban. Bukanlah kelalaian dan kelambanan ini yang menyebabkan begitu banyak korban sudah jatuh hingga saat ini? Jadi, memang harus ada pemimpin baru. Dan untuk itu, lohu mendukung usulan Tang Cun hengte untuk segera dipilih seorang bengcu baru bagi dunia persilatan Tionggoan guna menempur Thian Liong Pang. Bagaimana cuwi sekalian”?

Dan, setelah pembicara ketiga yang pandai berhotbah ini, terdengar seruan gembira dari banyak tokoh dunia persilatan yang hadir di Siauw Lim Sie dan sebagiannya ngeri membayangkan jalan pulang yang pasti sudah diintai jago jago Thian Liong Pang. Maka terdengarlah seruan-seruan:

”Setuju, setuju, setuju, kita butuh pemimpin baru. Suara itu makin lama makin berani dan makin keras.

Melihat keadaan yang berkembang diluar dugaan tersebut, para tokoh utama menjadi sangat terkejut. Tokoh-tokoh semisal Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ciangbunjin Kun Lun Pay, Wakil Ciangbunjin Tiam Jong Pay, Sian Eng Cu, Hu Pangcu Kay Pang dan para tokoh muda menjadi mengerutkan dahi. Meskipun, sebagian besar dari mereka bisa memahami pergolakan perasaan diantara para jago rimba persilatan yang memang dicekam ketakutan dalam banyak tahun terakhir. Bahkan beberapa diantara mereka sembunyi-sembunyi ingin melihat reaksi dan apa yang terjadi dalam diri Kiang Ceng Liong sebagai Bengcu terakhir dewasa ini.

Tetapi, untungnya Ceng Liong sudah bisa dan mampu menguasai dirinya. Meskipun dia sendiri sangat terguncang mendengar kritikan yang secara tidak langsung mengarah ke dirinya dan Lembah Pualam Hijau, tetapi kejadiannya memang demikian belaka. Tidak bisa disembunyikan dan tidak perlu untuk membela diri secara berlebihan. Keadaan Ceng Liong sungguh membuat para tokoh utama tersebut menjadi sangat kagum. Mereka melihat belaka, bahwa yang menjadi motor pernyataan ketidakpuasan sebagian besar adalah tokoh-tokoh yang punya hubungan dengan perguruan yang telah diserbu dan rusak berat akibat ulah Thian Liong Pang.

Ada tokoh-tokoh pelarian dari Go Bie Pay, Cin Ling Pay dan kerabat pendekar-pendekar kelana yang terbunuh oleh Thian Liong Pang. Bahkan masih terdapat pula beberapa tokoh yang berasal dari perguruan lain yang telah diserbu dan ditaklukkan oleh Thian Liong Pang. Jadi wajar bila suasana menjadi panas dan menuntut pertanggungjawaban bengcu secara tidak langsung.

Begitupun Kong Sian Hwesio, Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang menjadi tuan rumah dan juga tokoh utama yang bijaksana dan dituakan merasa perlu untuk angkat bicara:

”Siancai-siancai,Cuwi enghiong, dewasa ini sangat dibutuhkan kebersamaan dan persatuan diantara kita. Selaku tuan rumah yang sedang berduka, punco sangat mengerti, tidak seharusnya banyak bicara. Tetapi, keadaan dunia persilatan seperti sekarang, membuat punco merelakan diri untuk melanggar kebiasaan di Siauw Lim Sie. Pertama, lawan kita demikian berbahaya, terorganisasi baik dan memiliki banyak tokoh lihay yang sangat berbahaya. Kedua, teror yang mereka lakukan cenderung tidak pilih bulu, dan melanda siapapun, bahkan termasuk Kay Pang, Bu Tong dan Siauw Lim Sie. Bahkan juga Lembah Pualam Hijau. Ketiga, berhadapan dengan mereka dalam keadaan yang saling menyalahkan, justru akan merugikan kita. Keempat, kita sudah memiliki Bengcu Tionggoan yang sekarang, Kiang Ceng Liong yang meskipun masih muda tetapi sangat gagah. Maka, usulan cuwi untuk mencari pengganti, justru membuat kita terserak dan sulit untuk bersatu”. Suaranya dikerahkan dengan kekuatan khikang meskipun demikian tetap terdengar tegas dan penuh kelembutan.
Keadaan menjadi hening sejenak, tetapi tidak lama. Karena dengan segera kembali terdengar pendapat dari kalangan yang berkehendak memilih pimpinan dunia persilatan yang baru:

”Bukannya tidak menghormati Lo Suhu dari Siauw Lim Sie. Tetapi, terlampau banyak persoalan yang tidak sanggup ditangani oleh Bengcu dewasa ini. Bahkan, untuk waktu yang sangat lama menghilang dari dunia persilatan dan membiarkan begitu banyak korban berjatuhan. Parahnya lagi, ketika banyak tokoh mengunjungi Lembah Pualam Hijau, tak ada satupun tokoh utama mereka yang menemui dan memberi jaminan bahwa Lembah itu akan bergerak menghadapi keolompok perusuh Thian Liong Pang. Rasanya, kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi pertimbangan kita” ucap seorang jago, nampaknya salah satu pelarian dari Go Bie Pay yang belum terbangun kembali. Dan pendapatnya ini, kembali dibenarkan oleh banyak orang, terbukti dengan beberapa suara yang terdengar menyetujui pendapat tersebut.

Melihat keadaan yang tidak mengenakkan tersebut, Ci Hong Todjin, Jin Sim Todjin dan Sian Eng Cu jadi saling berpandangan. Betapapun, mereka memiliki hubungan yang akrab dengan Siauw Lim Sie dan Lembah Pualam Hijau, wajar bila mereka merasa perlu membantu Lembah Pualam Hijau sebagaimana Kong Sian Hwesio tadi melakukannya. Karena itu, dengan suara yang sama dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Ci Hong Todjin segera bersuara:

“Cuwi sekalian, kami dari Bu Tong Pay sependapat dengan Kong Sian Suhu, Ciangbunjin Siauw Lim Sie mengenai keadaan dunia persilatan dewasa ini. Haruslah dimengerti, bahwa Kiang Hong Bengcu, lenyap dari dunia persilatan dalam tugas sebagai bengcu. Lenyap bersama tokoh-tokoh utama dari Kaypang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay. Sehingga kurang tepat menyebut ada unsur kelalaian yang dilakukan Lembah Pualam Hijau. Bahkan dewasa inipun, tokoh Lembah Pualam Hijau, Bu Tong Pay, Siauw Lim Sie dan Kaypang sudah melakukan perlawanan meski masih belum terpadu baik. Dan kinipun, kita telah memiliki Bengcu muda yang sangat gagah, Kiang Ceng Liong yang bahkan sanggup menahan sebuah pukulan dari maha iblis Kim-i-Mo Ong. Entah pemimpin semacam apalagi yang dicari oleh cuwi sekalian”?

”Bahkan, Bengcu muda kita inipun pernah memukul roboh Bouw Lim Couwsu, salah seorang Hu Hoat Thian Liong Pang di kota Lok Yang. Lohu sendiri menyaksikannya, menyaksikan betapa gagah dan dl Bengcu kita dewasa ini. Sehingga menjadi sulit bagi persatuan kita bila hendak memaksakan pergantian kepemimpinan, apalagi di tengah keadaan Siauw Lim Sie yang sedang berduka” Sian Eng Cu menambahkan.

Keadaan memang sempat membaik dan nampak mempengaruhi banyak orang ketika Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Sian Eng Cu yang terkenal itu mendukung apa yang dikemukakan Kong Sian Hwesio, Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Bahkan nampaknya Ciangbunjin Kun Lun Pay juga manggut manggut menyetujui usulan tersebut bersama dengan wakil dari Tiam Jong Pang. Tetapi, kembali keadaan berbalik ketika Tang Cun kembali berbicara:

”Benar, tetapi apakah fakta bahwa begitu banyak korban, begitu lama teror berlangsung, dan bahkan kembali didepan mata kita, dan bahkan ada ancaman terhadap perjalanan pulang para jago dan semua terus terjadi. Lagipula, Bengcu sekarang masih teramat muda, masih belum cukup berpengalaman. Karena itu, kami tetap beranggapan bahwa pemimpin yang baru sangat dibutuhkan dewasa ini” orang ini nampak sangat hebat dalam berbicara, dan nampaknya sejauh ini ditunjuk sebagai salah satu pembicara kelompok yang pro memilih pimpinan baru. Karena gaya dan cara bicaranya yang begitu mempesona, banyak orang yang terpengaruh dan kembali keseimbangan bergeser kekelompok yang meminta pergantian kepemimpinan di Tionggoan.

“Lohu, adalah orang yang telah beberapa kali melihat kerja Bengcu saat ini. Bahkan ketika dia melukai See Thian Coa Ong, membantu Kaypang di utara Yang Ce dan bahkan kemudian memukul mundur Thian Liong Pang di Lok Yang bersama beberapa pendekar muda dari Bu Tong dan Bengkauw. Bila ini masih bukan pengalaman memadai, maka lohu bingung harus menunjuk siapa lagi sebagai pemimpin dunia persilatan dewasa ini” Pengemis Tawa Gilapun ikut-ikutan memberi dukungan kepada Kiang Ceng Liong, karena memang rasa terima kasih Kaypang kepadanya sungguh luar biasa. Bahkan Ceng Liong sudah demikian akrab dengan pangcu sekarang ketika mereka untuk waktu berbulan-bulan saling menyembuhkan luka dalam masing-masing.

Sementara percakapan itu berlangsung terus, perdebatan dan pendapat terus menerus dikemukakan, nampak bahwa begitu banyak orang yang meminta pergantian Bengcu. Kiang Ceng Liong menjadi sedih, keadaan dan nama Lembah Pualam Hijau nampak sedang merosot tajam, justru dijamannya menjadi Bengcu. Selain itu, dia juga kecewa, karena ayahnya hilang ketika melaksanakan tugas sebagai Bengcu, tetapi kehilangan itu dianggap tidak memadai bagi kawanan jago dunia persilatan.

Bahkan perjalanan dan usahanya yang dilakukan selama ini, dianggap bukan sesuatu pekerjaan bengcu, dan bahkan masih mengangap dirinya mentah. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat memukul perasaannya. Tetapi untungnya, semua perasaan yang berkecamuk dalam dadanya masih sanggup ditahannya dan sedapat mungkin tidak berbicara. Sementara dari meja lain, Mei Lan memandang Ceng Liong dengan terharu, dia sadar betul apa yang dihadapi anak muda itu dan melihat betapa tersudutnya Ceng Liong.

Sementara itu, kembali terdengar suara Tang Cun, dan nampaknya pendapatnya lebih banyak dan mayoritas diterima banyak orang:

”Singkatnya para cianpwe yang terhormat, kita berkehendak dan berkeinginan untuk memilih pemimpin dunia persilatan yang baru. Kita perlu bergerak sangat cepat dalam menangani dan mengatasi keadaan dunia persilatan dewasa ini, dan dengan segala maaf, Bengcu kita yang sekarang masih terlampau muda untuk memimpin kita sekalian. Itulah sebabnya kami meminta adanya pemimpin yang lebih bepengalaman dalam memimpin kita sekalian menghadapi keadaan yang kacau balau ini”.

“Benar, pilih pemimpin baru” kali ini pendapatnya didukung lebih banyak lagi orang dan membuat para tokoh utama geleng-geleng kepala. Menjadi kurang leluasa dan tidak pada tempatnya menurut pemikiran mereka memecah kekuatan dan menimbulkan keadaan yang kisruh diantara golongan pendekar pada kondisi begini. Apalagi, mereka tahu dan sadar belaka bahwa Ceng Liong menyimpan kekuatan yang luar biasa dan akan sangat membantu keadaan di Tionggoan dewasa ini.

Tapi sementara para tokoh sepuh berpikir-pikir dan berbisik diantara mereka, dan di sudut lain juga para jago merundingkan sesuatu untuk mendesakkan pemilihan pemimpin baru, tiba-tiba terdengar sebuah suara lain. Suara yang justru belum pernah bicara sebelumnya:

”jadi, apakah menurut para locianpwe ini (sambil menunjuk kelompok yg ingin milih pemimpin baru) Bengcu yang sekarang tidak becus ya?. Hebat sekali. Mungkin ada diantara para locianpwe ini yang bisa menerima satu kali pukulan Kim-i-Mo Ong? Atau melukai seorang See Thian Coa Ong? Atau memukul mundur Bouw Lim Couwsu yang hanya sempat dikalahkan seorang Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan pada masa lalu? Dan bahkan membuat Bouw Lim Couwsu kembali harus mengundurkan diri dari dunia persilatan?, nah, Bengcu baru yang diusulkan siapakah gerangan? Sungguh heran, bukannya memikirkan bagaimana bersama mengatasi keadaan sekarang, malah mau memilih pemimpin baru. Entah siapa pula yang ingin ada pemimpin baru sementara pemimpin yang ada sudah sedang bekerja bagi dunia persilatan ini” Suara yang getas, tegas dan penuh kekuatan. Anehnya, suara ini keluar dari mulut seorang gadis, Liang Mei Lan. Gadis yang merasa bahwa Ceng Liong diperlakukan sangat tidak adil oleh pertemuan yang dimaksudkan bukan untuk urusan demikian di Siauw Lim Sie.

”Nona, urusan ini berkaitan dengan keselamatan dunia persilatan, jadi perlu pemimpin yang tepat dan berpengalaman” Tang Cun kembali bersuara

”Siapa gerangan yang paman anggap tepat dan berpengalaman saat ini”? buru Mei Lan

”Ya kita perlu memikirkan dan mencarinya bersama”

“Dan membuang bengcu yang sekarang meskipun dia telah berbuat banyak, kedua orangtuanya hilang dalam bertugas bagi kita, dia telah membela keluarga Yu, membela Kaypang dan banyak melawan Thian Liong Pang. Begitu maksud paman”?

”Ini, ini, khan memang tanggungjawab mereka dulunya”

”Dan kalau mereka sudah melakukannya dan bahkan berkorban, kini harganya menurut paman tidak cukup dan mau menanggalkan jubah Bengcu dari tangan keluarga Kiang, apakah begitu paman”?

“Apakah paman juga tahu sejarah diberikannya penghargaan bengcu bagi keluarga itu pada masa lalu”? ataukah dnia persilatan ini bagaikan “habis manis sepah dibuang”, setelah dianggap tidak memadai akan ditinggalkan karena tidak sanggup melayani permintaan semua orang dan kalian menganggap wajib bagi mereka memuaskan keinginan, perasaan, kemauan dan selera semua orang di rimba persilatan ini”? hebat kata-kata Mei Lan yang bagaikan diberondongkan kepada mereka yang ingin memilih emimpin baru.

“Dan hebatnya, para paman tidak peduli dan tetap memaksa meskipun Siauw Lim Sie sedang berduka, sednag berkabung dan memilih untuk memikirkan dan mengusulkan sesuatu yang bukan pada tempatnya dipikirkan dan dibicarakan dalam suasana perkabungan”

“Nona, betapapun keselamatan dunia persilatan yang menadi pertimbangan kami untuk mengusulkannya. Sudah banyak tahun kita diteror dan sudah terlampau banyak korban jatuh, masakan kita harus menunggu lebih lama lagi”? Kembali Tang Cun bicara dan didukung oleh pendukungnya meski sekarang sedikit berkurang.

Tetapi, semakin lama percakapan itu berlangsung, semakin Ceng Liong terharu atas pembelaan Mei Lan. Tetapi, tidak dapat disangkal, bahwa emosinya juga tersulut, apalagi betapapun diapun memang masih anak muda yang masih memiliki darah panas. Percakapan yang sudah menyinggung dirinya, menyinggung harga diri dan kehormatan Lembah Pualam Hijau membuatnya lama kelamaan menjadi gerah juga. Sampai kemudian disatu titik, dia memutuskan bahwa dia harus bersikap, harus menegaskan sikap Lembahnya dan sikapnya pribadi sebagai Bengcu. Sudah cukup dia dan keluarganya berkorban, dan pengorbanan itu kini tidak dianggap oleh banyak orang lagi. Karena itu, demi kehormatan itu, dia tetap harus berbicara dan harus memberi putusan terakhir. Untuk itu, dia berusaha keras menenangkan diri, berdiam sejenak dan ketika dia sudah bisa menguasai diri akhirnya dia berdiri dan berbicara:

”Cuwi enghiong sekalian, para Locianpwe yang terhormat, perkenankan selaku Bengcu, masih Bengcu, hingga saat ini, tecu menyatakan pendapat sendiri. Harus diingat, dalam sejarahnya Lembah Pualam Hijau tidak mengajukan diri menjadi pemimpin, tetapi dianugerahkan oleh dunia persilatan Tionggoan. Dan bila saat ini penganugerahan itu dianggap sudah cukup, maka dengan rendah hati kami mengembalikannya kepada sahabat dunia persilatan Tionggoan. Kami tidak pernah berkeinginan mengangkangi jabatan tersebut bagi Lembah kami. Tapi, jangan juga menyatakan bahwa Lembah Pualam Hijau berpangku tangan dalam persoalan sekarang. Kedua orangtuaku, Bengcu angkatan sebelumnya, hilang ketika bertugas, bahkan dengan seorang Duta Hukum, dan seorang duta hukum lainnya tewas terbunuh. Tidak cukup besar dibanding korban di Kun Lun Pay, Keluarga Yu, keluarga Bhe, Cin Lin San dan Go Bie San. Tapi bagi Lembah kami yang hanya berisi beberapa orang, adalah kehilangan besar. Bila semua yang kami lakukan, turun dari Lembah bersama barisan 6 Pedang dan kembali melawan Thian Liong Pang bukan merupakan tugas kami sebagai Bengcu, maka tecu tidak tahu yang bagaimana yang diinginkan sahabat dunia persilatan. Tapi, biarlah dalam kesempatan ini, atas nama Lembah Pualam Hijau, kami mengembalikan jabatan BENGCU itu kepada para sahabat sekalian. Atas nama Lembah Pualam Hijau kami ucapkan terima kasih kepada Lo Suhu Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Ciangbunjin Bu Tong Pay, Kun Lun Pay dan Tiam Jong Pay, serta Kaypang yang sudah membantu tecu. Meski bukan BENGCU lagi, kami Lembah Pualam Hijau akan tetap membantu Rimba Persilatan menghadapi Thian Liong Pang, bukan karena dendam hilangnya orang tua, tetapi karena mengatasnamakan keadilan dan kebenaran. Rasanya, itulah keputusan kami, dan silahkan cuwi sekalian memilih Bengcu baru, tetapi Perkenankan kami mohon pamit lebih dahulu, karena urusan kami dengan demikian sudah selesai” Demikian tegas, mantap dan tanpa emosi berlebihan Ceng Liong berbicara. Setelah selesai bicara dia memberi hormat kepada para tokoh sepuh dari Siauw Lim Sie, Kun Lun, Bu Tong, Tiam Jong Pay dan Kay Pang dan seterusnya bersama Barisan 6 Pedang dia berjalan keluar. Dan, bahkan bersama Ceng Liong menyusul keluar Liang Mei Lan, Liang Tek Hoat dan juga Siangkoan Giok Lian.

Kejadian dari Ceng Liong mengeluarkan pendapatnya hingga keluar dari ruangan hanya berselang beberapa ketika belaka. Pada saat para jago masih belum sadar sepenuhnya, bahkan para tokoh utama belum cukup sadar dari keterkejutan Ceng Liong meletakkan jabatannya, Ceng Liong sudah berada di luar ruangan diikuti Barisan 6 Pedang. Suasana menjadi tegang dan sungguh tidak diperkirakan, justru pada saat perlawanan harus dilakukan, justru keadaan yang kisruh yang diperoleh. Bahkan kemudian Ciangbunjin Siauw Lim Sie terdengar berucap:

”Cuwi enghiong, bila memang mau memilih bengcu baru, silahkan saja, Tapi, rasanya punco tidak ingin melibatkan diri dalam urusan tersebut. Silahkan saudara-saudara memutuskannya sendiri”

“Rasanya Bu Tong Pay juga tidak akan mengurusi masalah ini”

“Kay Pang juga absent untuk urusan memilih bengcu baru”

“Kami dari Kun Lun Pay dan juga Tiam Jong Pay tidak ambil bagian”

Bahkan kemudian menyusul Ciangbunjin Bu Tong Pay bersama Sian Eng Cu dan Jin Sim Todjin mengundurkan diri dari ruangan tersebut, diikuti Ciangbunjin Kun Lun Pay dan Wkl Ciangbunjin Tiam Jong Pay. Tak lama kemudian, Ciangbunjin Siauw Lim Sie juga mengundurkan diri dar ruangan tersebut dan meninggalkan kumpulan jago tersebut yang belakangan kebingungan untuk menentukan sikap apa. Bahkan belakangan, sebagian besar diantara mereka kemudian menyesali keteledoran mereka yang menyebabkan Dunia Persilatan kini malah kehilangan Bengcu. Karena Bengcu yang dimiliki sudah menyatakan mengembalikan mandatnya kepada Dunia persilatan Tionggoan, dan diantara mereka, tak satupun yang berani untuk memangku jabatan berat tersebut.

Demikianlah, manakala dunia persilatan menghadapi ancaman terbuka dari Thian Liong Pang, justru mereka kisruh dan kehilangan Bengcu. Bahkan Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang yang mereka harapkan memimpin, justru menolak karena segan dan masih mempercayai Lembah Pualam Hijau. Akibatnya, yang terjadi justru semua menjadi merasa seram dengan keadaan dunia persilatan. Dan terutama mereka, kelompok para pendekar yang memaksakan pergantian bengcu.

Bukan hanya agenda tersebut gagal, malah harapan mereka untuk bersandar pada kekuatan tertentu dalam perjalanan turun dari Siong San justru pudar. Keadaan mereka bahkan menjadi lebih mengenaskan, karena sampai hari kelima ketika upacara perkabungan diselesaikan dengan perabuan jenasah Kian Ti Hosiang justru tak ada lagi percakapan soal bengcu dan soal dunia persilatan. Keadaan yang memburuk ini membuat banyak tokoh tua menjadi sedih, karena nampaknya badai dunia persilatan akan sangat susah ditanggulangi.

Meskipun demikian, tokoh-tokoh utama yang memang sudah siap atau menyiapkan diri lama, sudah memiliki pandangan sendiri, meskipun mereka juga menyesali insiden yang merugikan dunia persilatan itu sendiri. Percakapan lebih serius justru dilakukan diantara Keenam anak muda itu, beberapa kali bersama Sian Eng Cu dan tokoh-tokoh sepuh Siauw Lim Sie, Kun Lun Pay, BuTong Pay dan Tiam Jong Pay. Bahwa tugas perlawanan itu kini diserahkan sepenuhnya kepada anak muda-anak muda yang disiapkan gurunya masing-masing.
TAMAT
 
Minta saran lanjut di threan ini apa buat baru !


Buat baru aja gan. Keknya jika mesti OL Via HP, tulisannya dipenuhi garis-garis vertikal, mungkin setiap postingannya sudah melewati kapasitas HP kali ya ?
 
Buat baru aja gan. Keknya jika mesti OL Via HP, tulisannya dipenuhi garis-garis vertikal, mungkin setiap postingannya sudah melewati kapasitas HP kali ya ?
siap bang rangga makasih loh atas sarannya ,,,,
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd