Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(capos) kisah para naga di pusaran badai lanjutan jilid 2

Bimabet
2





Akibat cecaran ilmu pedang Hu Pangcu Kedua, Giok Lian jadi lebih banyak menggerakkan pedangnya untuk menjaga diri dan masih belum banyak menyerang. Maklum, ilmu pedang lawan, selain cepat dan sangat tajam menusuk, juga relatif aneh bagi Giok Lian yang lebih banyak melihat dan melawan ilmu pedang Tionggoan.

Tetapi setelah lama kelamaan mengalami serangan dengan kecepatan tinggi, Giok Lian akhirnya mulai lebih bisa menyesuaikan dengan pertarungan dan gaya pertempur Hu Pangcu Kedua. Meskipun tidak akan sembarangan orang yang lolos dari sergapan Hu Pangcu kedua dengan ilmu pedangnya, bahkan baru Giok Lian yang mampu bertahan tanpa banyak menyerang dengan pedangnya melewati 20 jurus.

Merasa bahwa kedudukannya jadi lebih banyak terserang, maka Giok Lian mulai mempersiapkan dirinya. Jika sebelumnya dia bertahan dengan melindungi dirinya dengan Jit Goat Kiam Sut, sesekali dia mulai memainkan In Liong Kiam Sut (Ilmu pedang Naga awan). Tetapi, serangan-serangan gencarnya, juga tidak sulit dipatahkan Hu Pangcu Kedua, karena nampaknya dia sangat memahami gaya-gaya bertempur ilmu pedang Tionggoan.

Pertempuran dengan kecepatan tinggi tersebut terjadi semakin lama semakin menegangkan. Nampaknya pengalaman dan kematangan Hu pangcu Kedua yang membuatnya sanggup mengendalikan keadaan, meskipun semakin lama Giok Lian semakin menyadari makna kecepatan yang didiskusikan Mei Lan dengannya.

Memasuki jurus ke-100an, dia mulai merasa mampu mengefektifitaskan gerakannya dan sanggup mengantisipasi serangan lawan. Karena itu, perlahan namun pasti, pertempuran mulai memasuki tahapan keseimbangan, dengan hanya pengalaman sajalah yang membuat Hu Pangcu Kedua masih tetap sanggup mengendalikan keadaan.

Tetapi, rasa percaya diri Giok Lian yang tumbuh semakin menebal, mulai juga menumbuhkan keberaniannya untuk menggunakan ilmu silat lainnya. Hanya, dia tetap tidak memiliki keberanian untuk memapak pedang lawan dengan menggunakan Kang See Ciang, karena paham bahwa pedang panjang lawannya mampu bergerak sangat cepat dan sanggup memilih daerah serangan ganda dalam waktu sekejap.

Sebaliknya dari menggunakan Kang See Ciang, Giok Lian mulai memilih melontarkan serangan jari saktinya dari ilmu Toat Beng Ci, salah satu ilmu sesat yang dipelajarinya dari neneknya.

Dan terbukti, dengan menyelingi serangan dan tangkisannya dengan sentilan jari maut tersebut, perlahan dia mampu melepaskan diri dari tekanan berat lawannya. Dan Hu Pangcu Kedua, perlahan harus mengakui, bahwa lawan mudanya itu bukanlah lawan empuk seperti yang ditemuinya selama ini.

Lawan mudanya itu sanggup melawan kecepatan pedangnya dan juga sekarang sanggup mengirimkan serangan sentilan jari yang snagat berbahaya. Bahkan bukan hanya Hu Pangcu yang terkesima, para Pendekar yang sebelumnya sangat mengkhawatirkan Giok Lian dan meragukan keputusan Ceng Liong, perlahan mulai melihat kehebatan gadis cantik itu.

Meskipun rasa seram mereka melihat pedang panjang yang menyebar maut itu berkelabat-kelabat bagaikan malaekat el-maut, tetapi nona muda itu, yang awalnya sangat mergaukan, perlahan sanggup mengimbangi. Bahkan sekarang sudah sanggup membuat pertandingan menjadi imbang, dengan kelabatan jari saktinya bersama dengan papasan pedang sabuk naganya.

Setelah melihat kondisi pertarungan yang sudah berimbang, Ceng Liong menarik nafas panjang. Dan beberapa saat kemudian, dia melihat Tek Hoat dan Kwi Song sudah kembali berada di posisi mereka masing-masing dan terbelalak melihat gadis yang mereka cintai bergebrak dalam kecepatan mengagumkan.

Bukan cuma itu, meskipun mereka percaya dengan kemampuan sang gadis, tetapi melihat kelabatan pedang panjang yang menyeramkan itu, mau tidak mau mereka merasa sangat berkhawatir dengan Giok Lian. Ceng Liong memaklumi keadaan, tetapi dia membutuhkan bantuan Tek Hoat. Karena itu dengan menggamit Tek Hoat dia berbisik:

”Tek Hoat, bagaimana dengan Lan Moi, apakah diapun sudah sanggup memahamkan pesan yang disampaikan kepada kita“?

”Dia masih tetap belum yakin, tetapi menurut Lan Moi, dalam soal pesan pertama, dia bahkan sudah sangat paham. Tetapi dia terus mencoba untuk memahami dan mencerna dalam dirinya arti pesan lewat kita“

”Baguslah, karena dia harus berhadapan dengan Bouw Lim Couwsu. Mungkin sebentar lagi“

”Mudah-mudahan dia sanggup“ Tek Hoat bergumam, tetapi tanpa kesanggupan untuk mengalihkan perhatiannya dari pertarungan Giok Lian. Ceng Liong tersenyum maklum, dan kembali megalihkan perhatiannya kearena pertempuran yang telah memasuki jurus ke250-an. Dan keadaan masih tetap seperti semua, diselingi kini dengan serangan-serangan tajam dari jemari Giok Lian yang menyerang tajam kearah hu pangcu Kedua.

Dengan mengganti-ganti serangan tangannya dengan Toat Beng Ci dan juga melepas pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang) yang maha ampuh dan sadis itu, Giok Lian nampak tidak lagi kerepotan melayani Hu Pangcu Kedua. Sementara itu, Hu Pangcu Kedua, semakin lama semakin heran dengan keuletan dan daya tahan si gadis, yang bahkan semakin lama semakin mampu balik dan balas menekannya.

Memang, pemahamannya atas Ilmu pedang Tionggoan sudah sangat matang, dan dari pemahamannya itu dia menyederhanakan gerakannya dengan memberi tekanan atas kecepatannya. Terutama setelah dia melatih jurus ampuh dan mengerikan dari Samurai Jepang yang terkenal dengan “Sekali tebas nyawa melayang“.

Jurus pedang ampuh itu, selama ini baru dikeluarkannya sebanyak 2 kali, dan dengan sekali bergerak, dia sanggup memisahkan badan dan kepala orang, setangguh apapun lawan yang penah ditemuinya selama ini. Sebetulnya, Hu Pangcu ini, tidak berselera untuk membunuh Giok Lian, tetapi setelah keadaan menjadi demikian kalut dan sulit baginya untuk tidak melakukan pembunuhan, maka Hu Pangcu Kedua memutuskan untuk menggunakannya meski dengan berat hati.

Dia merasa sayang untuk memisahkan kepala dan badan gadis cantik yang mendatangkan rasa sayang dihatinya. Tapi kehormatan dan harga dirinya terlalu tinggi untuk membuatnya mengalah kepada sekedar seorang gadis cantik.

Dan, tiba-tiba sang Hu Pangcu meloncat ke belakang. Dan kemudian bersikap atau besiap sebagaimana posisi awalnya sebelum pertarungan. Dia berkonsentrasi bahkan dengan tidak memandang Giok Lian. Sangat dimaklumi, karena Hu Pangcu ini sebelumnya dan sebetulnya tidak punya niat untuk membunuh Giok Lian.

Tapi perkembangan keadaan membuatnya harus melakukan hal tersebut. Karena itu dia menundukkan wajahnya dan dengan serius memegang pedangnya, sementara Giok Lian menjadi heran mengapa lawan mundur dan kemudian bersiap atau bersikap untuk menyerang, tetapi tetap diam tidak menyerang, malah menundukkan wajahnya dengan sikap yang sangat serius.

Giok Lian tidak menunggu lama untuk menyadari keadaan yang sangat berbahaya, karena dia teringat bahwa Mei Lan sempat menceritakan kepadanya bagaimana dia mengalami serangan maha cepat yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Dan, kali ini, Giok Lian akan mengalaminya pula dengan menantikan serangan yang bahkan lebih hebat dari kedua penyerang Mei Lan.

Menyadari bahaya, dan juga merasakan betapa hawa tajam pedang menusuk dari lawannya bahkan sudah menerjang memasuki areanya, dengan cepat Giok Lian berkonsentrasi. Dikerahkannya tenaga Jit Goat Sinkang ketataran tertinggi untuk menambah kewaspadaannya, dan diapun kemudian memejamkan mata, dan berkonsentrasi dengan kemampuan batinnya memandangi dan mengantisipasi gerakan Hu Pangcu Kedua.

Para penonton menjadi terhenyak melihat pertarungan yang menjadi aneh tersebut. Hu Pangcu Kedua diam tak berkutik dengan kepala tertunduk dan tidak memandangi lawannya. Pedang panjangnya sudah lebih dari siap disabetkan, sekali sabetan meregang nyawa. Banyak orang melihat suasana menjadi sangat menyeramkan.

Perang tanding ini sungguh seru dan aneh. Tetapi, bagi para pentolan pendekar tingkat tinggi, mereka tahu semata, bahwa posisi kedua orang tersebut sangatlah berbahaya. Siapa yang rusak konesntrasinya dan lengah sedikit saja, akan menimbulkan akibat yang tidak terduga. Para pendekar pedang sadar, bahwa sekali Hu Pangcu bergerak, maka akan menentukan siapa menang dan siapa yang akan kalah.

Karena itu, meskipun ada ratusan orang yang mengelilingi arena, tetapi keheningan yang menyeramkan justru lahir dari posisi dan kondisi kedua orang yang sedang mengadu konsentrasi dan ketenangan tersebut. Boleh dibilang, siapa yang memulai gerakan terdahulu secara gegabah, akan menciptakan peluang diserang terlebih dahulu.

Dan posisi Giok Lian dalam hal ini sangat rawan. Untung dia menyadari, bahwa pertarungan seperti ini adalah pertarungan adu mental dan adu daya tahan. Pertarungan seperti ini, juga menguras tenaga dan pikiran yang bukannya sedikit. Karena taruhannya adalah nyawa, maka wajar bila konsentrasi harus terpusat.

Di pihak lain, Hu Pangcu keduapun sadar, bahwa sekali dia melepas jurusnya dan dia gagal, maka dia akan terhitung kalah. Justru karena itu, maka dia menantikan saat yang tepat dimana lowongan tercipta dan arah itu yang akan dituju untuk memenangkan pertandingan. Tetapi celakanya, Giok Lian juga sudah mencium rencana tersebut.

Masih-masing menantikan saat yang tepat untuk melepaskan jurus mematikan pada ketika yang dirasa bahwa kemungkinan untuk menang terbuka. Bila Hu pangcu menyiapkan jurus pamungkas yang berlandaskan kecepatan kilat, maka Giok Lianpun menyiapkan untuk melepas jurus pamugkasnya dari ilmu Sam Koai Sian Sin Ciang. Dengan ilmu tersebut, dia tidak takut tanpa harus melihat lawannya, karena kesiagaan melalui kesiapan batin justru jauh lebih tajam bagi ahli-ahli semacam mereka.

Kondisi yang tercipta, baik keheningan maupun keseramannya mencengkeram semua orang. Semua menantikan ketika terakhir, atau bentrokan terkahir yang akan menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang. Terlebih, karena menang kalah akan menentukan seperti apa pertempuran terbuka nantinya, apakah terjadi di hutan itu juga, atau bisa menunggu sampai esok harinya.

Ketegangan penonton, justru bertolak belakang dengan mereka yang berhadapan secara langsung, karena ketenangan menentukan tingkat ketelitian. Dan dalam hal ini, keduanya sudah tenggelam dalam upaya mencari peluang menyerang dan ketenangan yang menentukan kesanggupan menghindar dan melepas serangan balasan yang mematikan.

Tetapi, waktu yang dibutuhkan ternyata sungguh meletihkan dan membuat penonton yang tadinya tegang mulai kendor. Sementara, kedua orang yang bertahan dalam posisinya justru mengkhawatirkan gangguan kecil ketika keributan disekitarnya mengganggu konsentrasi. Dan nampaknya, siapa yang terganggu duluan akan menderita serangan maut lawan.

Karena itu, keduanya tetap dalam posisi siap menyerang dan siap diserang dengan merapal jurus jurus mematikan yang tersiapkan sejak semula. Dan, adalah kemudaan Giok Lian yang akhirnya membuatnya kurang tahan terhadap tekanan pertarungan mental yang sangat menentukan tersebut.

Meskipun hanya sepersekian detik yang dianggap cukup bagi Hu Pangcu Kedua, tetapi kesempatan yang ada tersebut langsung dimanfaatkannya. Yang untung adalah, Giok Lian sudah siap dengan jurus pamungkasnya yang dilambari kekuatan batin, dan kedua, dia sudah mendengar kejadian serupa yang dialami Mei Lan.

Karena itu, meski kehilangan sepersekian detik dan menghadapi jurus mematikan dari Jepang, Giok Lian tidak kehilangan keseimbangan. Tidak menjadi panik dan ketakutan menghadapi serangan itu. Dan dasarnya, Giok Lian memang seorang anak gadis yang tabah.

”Hyaaaaaaaaat“ diiringi dengan teriakan membahana, meluncurlah serangan pedang panjang Hu Pangcu Kedua, bahkan mendahului runcingnya ujung pedang yang digunakan, meluncur selarik sinar maha tajam kearah leher Giok Lian. Pada saat bersamaan, ratusan orang menahan nafas, baik tegang maupun ngeri dengan apa yang akan terjadi setelah samurai itu menabas dengan kecepatan kilat.

Bahkan tokoh-tokoh utamapun termasuk Mei Lan yang sudah menduga, nampak menahas nafas dan khawatir bagi Giok Lian. Ngeri membayangkan kepala gadis yang cantik itu akan terpisah dari tubuhnya bila gagal mengantisipasi kecepatan dan ketajaman pedang lawan. Tetapi, serangan dan kekhawatiran yang terjadi pada saat bersamaan dalam hitungan hanya sekian detik, berubah menjadi keheningan dan orang orang yang menahan nafas ketika Giok Lian bukannya mundur, malah dengan kecepatan yang nyaris sama, justru melangkah maju memapak pedang mengerikan itu, dan dengan pesat, lemas dan tepat, dia menggerakkan pedangnya dan tubuhnya di lingkaran serangan maut Hu Pangcu Kedua. Dan setelah itu sepi.

Di sudut arena yang satu, Hu pangcu kedua nampak terdiam dengan pedang samurai yang terjulur keatas. Di ujung pedangnya, nampak secarik kain yang nampaknya merupakan pita pengikat rambut Giok Lian yang mampu dipapasnya kutung. Tetapi, sikapnya masih tetap sangat serius, sehingga membuat banyak orang berpikir bahwa pertandingan masih belum selesai.

Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama, karena kemudian Hu Pangcu Kedua menarik nafas panjang dan perlahan-lahan menurunkan Pedang panjangnya. Dan kembali dalam posisi normal, tidak lagi dalam sikap bersiap untuk menyerang. Dan gerak-geriknya sudah tentu mengagetkan banyak orang, yang dengan segera mengalihkan perhatian mereka kearah Giok Lian. Apa gerangan yang terjadi dengan nona itu? Semua bertanya-tanya

Dan, sementara itu, disisi lainnya, Mei Lan nampak berdiri dengan sama tegangnya untuk sesaat. Sebetulnya dia masih belum percaya, bahwa tindakan spekulasinya memapak serangan pedang lawan adalah tindakan yang tepat. Cepat di lawan cepat yang efektif, dan kelemahan pedang cepat, justru ada disekitarnya pedang itu sendiri, karena arahnya yang pasti dan dengan jumlah tebasan yang terbatas.

Menyadari bahwa kepala adalah arah utama pedang panjang Jepang itu, maka Mei Lan bergerak dengan melindungi tubuhnya dibawah ketajaman pandangan batinnya dan perlindungan pedang mujijatnya. Dan akhirnya, hanya pita rambutnya yang terpotong atau terpapas putus, tetapi selebihnya tiada satupun yang terganggu darinya.

Tapi sekian lama dia terpesona dan mematung, dibawah pandangan tatapan banya tokoh rimba persilatan yang tertegun memandangi pertarungan aneh yang barusan berlangsung tersebut. Dan, nafas-nafas lega terdengar dibanyak sudut, ketika kemudians etelah sekian lama termenung, Giok Lian memutar tubuhnya menghadap ke sisi kelompok Thian Liong Pang.

”Hm, nampaknya pertandingan kali ini berada di pihak kami“ berkata Hu pangcu Pertama setelah melihat bahwa diujung pedang panjang Hu pangcu kedua terdapat pita pengikat rambut kepala Giok Lian yang mampu dipapas putus oleh pedang panjang itu.

”Pita pengikat rambut kepala gadis itu menjadi saksinya“ tambah Hu Pangcu Pertama yang disambut dengan sorak sorai oleh kelompok Thian Liong Pang dan dengan kebat-kebit oleh kelompok pendekar karena maklum bahwa pernyataan tadi benar belaka. Tapi, sorak sorai pihak lawan dan keterkesimaan kelompok pendekar tidak menggoyahkan Ceng Liong. Setelah riuh rendah dan sorak sorai kemenangan kelompok Thian Liong Pang mereda, terdengar suara Ceng Liong:

”Tanyakan kepada Hu Pangcu Kedua, apakah dia merasa memenangkan pertarungan itu“? Ceng Liong bertanya, dan pertanyaannya itu cukup untuk membuat banyak orang tersentak. Semua orang sontak memandang Hu Pangcu Kedua yang masih belum pulih sepenuhnya dari keterkejutan. Keheningan kembali melanda, dan smeua sorot mata diarahkan kepada Hu Pangcu Kedua. Butuh waktu beberapa lama bagi Hu Pangcu Kedua dans etelah menarik nafas beberapa kali dan ketika Hu Pangcu pertama bertanya kepadanya, baru kemudian dia menoleh:

”Hm, Hu Pangcu, jelaskan bahwa engkau telah memenangkan pertempuran itu dan bagaimana engkau melakukannya“

Setelah melihat kesekelilingnya dan juga melirik sekilas kearah Giok Lian yang juga kini memandangnya dengan sinar mata yang aneh baginya, Hu Pangcu Kedua akhirnya membuka suara:

”Bagiku, menggunakan jurus tadi harus dianggap menang ketika tubuh lawan terpisah. Tetapi dalam pertarungan tadi, hanya pita rambut dan sejumput rambut lawan yang sanggup kupapas. Nampaknya merupakan kemenangan bagiku, tetapi yang tepat adalah, lawan menemukan cara yang tepat untuk menghindari pedang panjangku dan malah menyerangku. Pertandingan itu lebih tepat dinyatakan seri. Karena selain menghindar, lawan masih memberi perlawanan dengan serangan balasan“ Hu Pangcu Kedua berkata tegas dan kemudian mundur ketempatnya semula. Diiringi tatapan kagum Ceng Liong dan Mei Lan yang mengetahui detail ceritanya dan Giok Lian yang kagum atas kejujurannya.

”Hu Pangcu Pertama sudah cukup jelas mendengarnya bukan“? Bahkan semua orang telah mendengarkannya. Pertarungan ketigapun dinyatakan draw. Atau adakah pertimbangan lain Hu Pangcu Pertama“? Ceng Liong bertanya

”Koko, Giok Lian memenangkan pertarungan“ Mei Lan mendesak kearah Ceng Liong sambil berbisik. Tapi Ceng Liong menahannya untuk bicara lebih jauh, karena diarena itu, selain dirinya, hanya Mei Lan dan Giok Lian sendiri yang tahu, bahwa sebuah pukulan aneh dari Giok Lian sempat menutul lengan Hu Pangcu Kedua. Tapi, nampaknya Giok Lian juga tidak menganggap itu sebuah kemenangan, dia lebih memilih untuk tutup mulut.

Ðan dengan wajah memerah akhirnya Hu pangcu pertama berujar:

”Baiklah, pertempuran ketigapun kita anggap seri. Dan kali ini, perkenankan aku mengajukan diri untuk memasuki babakan keempat“ Sambil berkata demikian, Hu pangcu pertama sudah maju ketengah arena untuk menghadapi jago keempat dari kalangan pendekar. Mulanya dia berpikir akan melawan Mei Lan yang sudah dua kali menempurnya dan dia menderita kerugian. Setelah kerugian pertarungan dengan Mei Lan, dia sudah maju lebih jauh lagi dengan ilmu-ilmu ciptaan terakhir yang sudah dimatangkannya. Dia bahkan sudah sanggup merendengi Bouw Lim Couwsu saat mengundurkan diri, dan dia yakin akan mampu menangkan Mei Lan. Tetapi, dia menjadi bingung ketika kemudian Ceng Liong berkata:

”Saudara Souw Kwi Beng, nampaknya Hu Pangcu Thian Liong Pang sudah menunggumu“

”Baik, saudara Ceng Liong. Biarlah aku mencoba kehebatan Hu Pangcu Thian Liog Pang ini“ sambil berujar demikian, Souw Kwi Beng dengan gagah dan kokoh berjalan maju ketengah arena. Dia sudah menduga, bahwa Ceng Liong akan memintanya untuk melawan tokoh satu ini. Dan dia sudah lebih dari siap untuk memasuki tahapan pertempuran itu.

Sementara itu, Hu Pangcu Pertama yang berharap bertempur melawan Mei Lan menjadi sedikit kecewa. Tetapi dengan mendapatkan lawan Kwi Beng, dia berpikir lawannya kali ini masih lebih lunak, dan kesempatan menang dipihaknya malah terbuka lebar. Apalagi, beberapa bukan terakhir dia sudah mampu mematangkan 2 ilmu pukulan terakhir yang diciptakan bersama tokoh lainnya.

Bahkan, diapun sudah sanggup meningkatkan penguasaannya atas Sinkang Bu Kek Hoat Keng seiring dengan semakin matangnya dia menggunakan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah). Ilmu yang sanggup memukul orang tanpa kesiur angin pukulan, dan sanggup menjatuhkan lawan dari ratusan langkah sekalipun. Selain itu ilmu lainnya Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam) akhirnya bisa disempurnakannya, meskipun belum matang betul.

Tapi dia memiliki keyakinan, dengan kedua ilmunya yang sudah disempurnakan bersama tokoh lain yang bersamanya mereka menciptakan ilmu tersebut, dia yakin sanggup mengatasi Mei Lan. Tapi yang maju melawannya kali ini, justru bukannya Mei Lan, tetapi Souw Kwi Beng. Pendekar muda binaan Kian Ti Hosiang yang juga lihay luar biasa, meskipun belum pernah dihadapinya. Tetapi, tetap dia memiliki keyakinan untuk memenangkan pertandingannya kali ini.
 
3





Menyadari bawah lawan masing-masing bukan tokoh sembarangan, maka ketika bergebrak keduanya sudah langsung menggunakan ilmu-ilmu berat dari pintu perguruan masing-masing. Hu Pangcu Pertama sudah memainkan ilmunya Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut) yang diimbangi dengan kokoh oleh Kwi Beng yang memainkan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang.

Kedua ilmu inipun sudah sejak dulu saling bertemu, ketika Lam Hay bertemu tokoh Siauw lim Sie, dan sekali lagi malam itu digunakan oleh dua tokoh utama dari pintu perguruan itu yang menguasainya secara baik. Berbeda dengan Kwi Song yang lebih kaya variasi dan tipuan, maka Kwi Beng ibaratnya seorang yang sangat taat pada kaidah. Karena itu, Kwi Beng lebih kokoh sementara Kwi Song lebih gagah dan lebih sebat bergerak. Gaya bertarung Kwi Beng juga menggambarkan kekokohannya, kuat dalam iweekang dan bertarung sesuai dengan teori.

Benturan-benturan hebat terjadi ketika kedua ilmu tersebut terbenturkan secara sengaja. Kwi Beng yang lebih kokoh dalam tenaga dalam namun kurang gesit dibandingkan dengan Kwi Song menyambut keras lawan keras ketika Hu Pangcu Thian Liong Pang menyerangnya dengan penuh kecepatan. Tak pelak terjadi benturan beberapa kali:

”plak-plak-plak“

Tetapi keduanya dengan cepat menguasai diri dari getaran yang timbul akibat benturan tersebut. Keduanya paham bahwa tenaga dalam masing-masing saling berimbang. Terasa dari getaran yang timbul dari benturan tersebut. Dan itu berarti, keuletan, ketabahan dan daya tahan akan sangat menentukan pertarungan tersebut.

Hanya, Kwi Beng adalah seorang yang teliti dan sabar, karena itu dia tidak gampang terpancing masuk dalam strategi bertarung yang dikembangkan lawannya. Dengan tipu daya dan pancingan yang bagaimanapun, sulit memaksa Kwi Beng bertarung diluar kebiasaannya, kokoh, tenang dan sesuai dengan kaidah-kaidah teori dan praktek yang dipelajarinya.

Berkelabatnya tangan-tangan dan tendangan Hu Pangcu dihadapi dengan tenang dan kokoh oleh Kwi Beng. Dia tidak takut menghadapi baik keras lawan keras ataupun dengan melawan tipuan dalam kekokohan gerak-gerak silatnya. Kondisi seperti ini membuat Hu Pangcu yang merasa ilmunya sudah meningkat tajam tetap tidak mampu menarik keuntungan dari serangan serangan kerasnya menghadapi Kwi Beng.

Apalagi, karena Kwi Beng juga dengan kokoh memainkan jurus-jurus Tay Lo Kim Kong Ciang dan bukan hanya sanggup membendung serangan Hu Pangcu, tetapi bahkan juga sanggup mengirimkan serangan balasan dengan tidak kalah berbahayanya. Dan karena itu, pertarungan mereka menjadi sangat seru, saling serang dan saling bertahan dengan sama kuatnya. Ilmu-ilmu yang digunakan, juga mengesankan penggunaan oleh orang yang lihay dan mahir benar dalam menggunakan ilmu itu sesuai kebutuhan.

Pertarungan berjalan semakin seru ketika kemudian keduanya perlahan namun pasti meningkatkan penggunaan tenaga dalam masing-masing. Terlebih ketika pukulan-pukulan Hu pangcu mulai menyebarkan hawa busuk yang juga membuat pukulan-pukulannya menjadi lebih sadis.

Merasa bahwa keseimbangan masih tetap tidak berubah, Hu Pangcu mengerahkan kekuatan beracunnya dengan mencampurkan kekuatan Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dalam serangan-serangannya. Tetapi, Kwi Beng juga memiliki bekal yang memadai untuk melawan pukulan berhawa beracun lawannya. Dengan meningkatkan kekuatan iweekangnya dan mengeluarkan Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak).

Dengan hawa khikang khas perguruannya itu semua hawa beracun yang mencoba menyusup, berubah menjadi awan berbau busuk disekitar arena pertarungan. Dan sementara itu, menghadapi serangan-serangan sadis dan menyeramkan dari kandungan ilmu sesat yang dimainkan Hu Pangcu, Kwi Beng juga mengerahkan Pek In Ciang di lengannya.

Kombinasi ilmu tersebut membuat pertahanan Kwi Beng menjadi aman dan berlapis. Baik menghadapi serangan mengerikan dari lawannya melalui telapak tangan dan tendangan kaki yang bisa dipelesetkan dengan awan putih dari tangannya, maupun dari serangan hawa beracun yang dilawan dengan ilmu khikangnya.

Perubahan perubahan yang dilakukan Hu Pangcu tetap tidak mampu merubah keseimbangan pertempuran, tidak mampu memberikan keuntungan bagi keduanya. Dan seperti pertempuran-pertempuran sebelumnya, nampaknya pertempuran merekapun akan berjalan lama dan memakan waktu berjam-jam.

Karena sampai mencapai hampir 100 jurus, keduanya masih nampak berimbang dan tiada tanda-tanda salah seorang dari mereka mampu memaksakan kemenangan atau sekedar mendesak mundur lawannya. Hu pangcu yang merasa memiliki keyakinan pada awalnya, mulai merasa heran dan kaget, karena kemajuan lawan-lawan muda mereka sungguh di luar perhitungan perkumpulan mereka.

Baru menghadapi Kwi Beng dan anak muda lainnya, tiada seorangpun dari petinggi partaynya yang mampu memetik kemenangan. Bahkan salah seorang Hu Hoat merekapun sanggup diimbangi Tek Hoat, sesuatu yang diluar perkiraannya dan perkiraan para tokoh utama Thian Liong Pang.

Tetapi, ada satu hal yang berbeda dari tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang yang telah bertarung sebelumnya. Dibandingkan dengan Hu Pangcu kedua dan ketiga, bahkan dengan Kim-i-Mo Ong, Hu pangcu ini terkenal cerdik serta juga sangat licik. Kecerdikan dan kelicikannya sudah teruji melalui serangan serangan gelap yang memporak porandakan keamanan dunia persilatan.

Boleh dibilang, perancang semua aktifitas teror di dunia persilatan adalah tokoh yang satu ini. Tokoh yang sangat dekat dengan Pangcu Thian Liong Pang dan yang juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Gabungan kesaktian, kecerdikan dan kelicikannya membuat Thian Liong Pang sanggup merajalela selama ini, meskipun mulai menghadapi jalan terjal dengan bangkitnya gabungan kekuatan dunia persilatan melawan mereka. Hal yang sebetulnya sudah diantisipasinya, tetapi untuk memperoleh hasil besar, memang harus bertaruh dengan taruhan besar.

Hu Pangcu paham belaka, jika dia memenangkan pertarungan dengan Kwi Beng, maka posisinya akan semakin terangkat dalam Partainya, dan karena itu dia mulai memikirkan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan tersebut. Tentu, dia memulai dengan ilmu silatnya. Tetapi, dia sungguh mendapat lawan yang sepadan dalam kesaktian dan kelihayan ilmu silatnya.

Lawan kuatnya ini nampak sangat kokoh dan ulet, meskipun dalam pengalaman bertempur masih belum sanggup memadai dan merendenginya. Tetapi kelemahan tersebut tertutupi oleh kegagahan dan kekokohan lawannya yang sanggup melayani semua jurus mautnya. Bahkan dengan menyisipkan tenaga beracunnya, masih tetap belum sanggup mendesak anak muda sakti tersebut.

Sebaliknya, dengan Pek In Ciang, semua serangannya jadi bisa dipelesetkan dan dipatahkan anak muda itu, sementara serangan balasannya tidak kurang berbahayanya. Terlebih ketika jari jemari Kwi Beng juga mulai melakukan serangan melalui sentilan jarinya menggunakan Kim Kong Ci. Dan Hu Pangcu paham, bahwa terkena sentilan dari ilmu mujijat Siauw Lim Sie akan sangat membahayakan dirinya.

Pada akhirnya, Hu Pangcu kembali melakukan perubahan dan mempersiapkan ilmu sakti berikutnya Siang Ciang Hoan Thian (Sepasang Tangan Membalik Langit). Ilmu tangan kosong lain yang ampuh yang dikuasainya dengan baik. Dan dengan ilmu itulah dia sanggup menggetarkan dan sanggup menahan serbuan berbahaya yang dilakukan Kwi Beng.

Bahkan dia sanggup kembali mengambil alih inisiatif menyerang, karena Kwi Beng sempat tesentak dengan kecepatan dan keampuhan ilmu baru yang dikembangkan Hu Pangcu. Beberapa kali Kwi Beng nyaris termakan telapak tangan lawannya, hanya dengan kekuatan Pek In Ciang sajalah dia bisa terhindar dari pukulan lawan yang mampu dipelesetkannya. Tetapi, bertahan saja, lama kelamaan akan tidak menguntungkannya.

Karena itu, dengan segera dia merubah ilmunya, dan kali ini menggunakan ilmu telapak Budha lainnya, yang malah lebih ampuh, Selaksa Tapak Budha (Ban Hud Ciang). Dan begitu ilmu itu digunakannya, arena pertempuran bagaikan dipenuhi telapak tangan yang saling berkutat untuk digunakan memukul lawan. Kedua tubuh mereka yang bergerak kokoh, dikelilingi oleh telapak tangan, saking cepatnya keduanya bergerak mengikuti jurus demi jurus dari ilmu sakti yang dikembangkan masing-masing.

Dengan menggunakan ilmu-ilmu andalan masing-masing, akhirnya pertempuran kembali menemukan keseimbangannya. Kwi Bengpun dengan penuh keyakinan menyerang dan bertahan dengan perlahan-lahan meningkatkan penggunaan jurus Ban Hud Ciang. Perlahan lahan, jurus demi jurus digunakannya melawan musuhnya.

Akibatnya, perlahan namun pasti Hu Pangcu juga merasakan tekanan yang semakin meningkat dari lawannya. Bisa dipastikan, karena Ban Hud Ciang pada dasarnya adalah ilmu berat yang khasiat dan keampuhannya menanjak dari jurus ke jurus. Seperti juga kali ini, jurus demi jurus akan semakin menghebat dan menggila, sementara itu Ilmu Hai Liong Kian Sin Ciang sudah hampir habis dimainkan Hu Pangcu.

Kondisi ini membuat dengan cepat Hu Pangcu mengambil keputusan memainkan jurus baru yang ditekuninya bulan-bulan terakhir ini, Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Pukulan inipun berhawa keras dan berat, dan dengan dikembangkannya jurus yang sudah sempurna dikuasainya itu, membuatnya sanggup menahan dan meningkatkan serangannya.

Hu Pangcupun merasa sedikit lega, terutama karena serangan-serangan Ban Hud Ciang sanggup tertahan oleh ilmunya yang terakhir. Diapun merasa bersyukur, karena dengan penguasaan yang lebih sempurna atas ilmu tersebut, dia bisa bertahan dan bahkan menandingi ilmu mujijat dari Siauw Lim Sie tersebut.

Bahkan hingga jurus ke-10 pun, Hu Pangcu masih sanggup bertahan dan bahkan sanggup balas menyarang dengan sama kerasnya dan sama beratnya. Keduanyapun telah meningkatkan penggunaan tenaga sinkangnya sampai pada bagian ke-8, dan mengakibatkan angin serangan mereka dengan tajam menerpa siapapun disekitar arena pertempuran.

Bahkan kilatan cahaya warna-warni di jurus ke-10 dari Kwi Beng dibayangi oleh kilatan-kilatan pukulan mematikan lawannya. Dan penontonpun sekali lagi merasa diterjang hawa yang tidak kelihatan dan membuat mereka sangat kagum atas kehebatan kedua orang yang sedang adu kekuatan tersebut. Sungguh sebuah pertarungan langka, sayangnya pertempuran itu bukan sekedar adu silat, tetapi mempertaruhkan nyawa banyak orang.

Sebagaimana pertempuran terdahulu, pihak-pihak yang terkait dengan mereka yang bertempurpun mengagumi tokohnya. Sekali lagi, tokoh Siauw Lim Pay ikut berjuang menyelamatkan para pendekar, dan tokoh muda Siauw Lim Sie ini tidak kurang hebatnya dengan Hu pangcu Thian Liong Pang yang gagah dan garang itu. Karena itu, wajar bila nama Kwi Beng juga berkibar karena kehabatannya menahan dan mengimbangi salah satu tokoh utama Thian Liong Pang.

Murid-murid Siauw Lim Sie merasa sangat bangga kepadanya. Sementara para pendekar juga memuji-muji namanya, termasuk para sesepuh yang semakin kagum atas penempaan dan binaan yang dilakukan Kian Ti Hosiang higga sanggup mendidik dua naga muda di kuil Siauw Lim Sie. Dan kedua naga muda itu, sekarang, atau hari ini telah membuktikan bahwa upaya guru mereka sama sekali tidaklah sia-sia.

Sementara itu, pertarungan sudah memasuki tahap-tahap yang semakin menentukan. Dengan penggunaan tenaga yang berat dan ilmu-ilmu yang meningkat pada puncak-puncak kehebatannya. Bahkan nampaknya Hu Pangcu sudah mempersiapkan diri menerima jurus terakhir dari Ban Hud Ciang yang sudah terkenal kehebatan dan kemujijatannya itu.

Tetapi, Hu Pangcu, juga sudah sangat mengerti akan kehebatan ilmu yang baru disempurnakannya itu, Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), yaitu ilmu pukulan sakti yang mengandalkan kecepatan angin, kekuatan halilintar dan daya tahan bumi dan tanah, serta rembesan air.

Dengan unsur-unsur rahasia bumi tersebut, dilahirkan dan diciptakanlah sebuah ilmu pukulan yang sangat luar biasa. Dan sejauh ini, Ilmu tersebut ternyata sanggup menahan kehebatan ban Hud Ciang yang jarang dapat ditahan orang. Dan pada akhirnya, benturan hebat terjadi dengan nyaris tiada ornag yang tahu apa dan bagaimana benturan tersebut terjadi.

Yang pasti, orang-orang masih sempat memperhatikan bagaimana Hu Pangcu mempersiapkan dirinya dalam puncak penggunaan ilmu Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Seperti juga mereka masih menyaksikan bagaimana Kwi Beng mempersiapkan jurus pamungkas dari Ban Hud Ciang, Buhda Merangkul Langit dan Bumi, dimana dimainkan semua kelihayan dari Ban Hud Ciang jurus pertama hingga ke sepuluh.

Beberapa kali terdengar benturan mirip ledakan berat, dan hanya beberapa pasang mata yang sanggup mengikuti bagaimana dua tubuh tersebut saling libat, kemudian pukulan demi pukulan terlontar dan bagaimana saling tangkis itu kemudian menghasilkan bunyi-bunyi menggelegar. Dan akibatnya, kedua tubuh tersebut berpisah, tetapi nampaknya mereka terpental mundur masing-masing dengan jarak yang sama.

Kembali membuktikan bahwa keduanya memang memiliki kesepadanan dan keseimbangan dalam enguasaan ilmu silat dan tenaga dalam. Mau tidak mau keduanya jadi slaing mengagumi. Tetapi, pada saat mundur tersebut Hu Pangcu yang licik, sebetulnya sudah mulai memperhitungkan bagaimana menyelesaikan pertandingan dengan prinsip “yang penting menang”.

Sudah sejak mengganti jurus, dia yang mengerti dan semakin mengenal Kwi Beng sebagai orang yang gagah, jujur dan nampaknya gampang ditipu itu, sudah menyiapkan tipu licik untuk mengakali lawannya. Hal yang sebenarnya sudah dirancangkan dan dipikirkannya sejak jurus ke-200 dimana keseimbangan masih tetap berpindah-pindah, alias serang menyerang terjadi dengan seru dan tiada kepastian siapa yang akan memenangkan pertandingan.

Dalam keadan harus menang, dan harga dirinya dipertaruhkan, maka Hu Pangcu mulai merancang siasat untuk menaklukkan lawannya dengan cara yang licik. Dan untuk itu, dia memang beruntung, karena memiliki sebuah ilmu pamungkas lain yang disebut Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah). Ilmu yang juga barusan kembali disempurnakannya meskipun belum matang betul, tetapi akan sangat berbahaya bagi mereka yang kurang menyadarinya.

Pukulan ini sejenis Pukulan udara Kosong, tetapi lebih berbahaya karena daya jangkaunya lebih panjang, selain pukulan tersebut tidak membawa angin pukulan sehingga tidak atau sulit untuk terdeteksi oleh lawan.

Dan nampaknya semakin lama, semakin pertarungan merambat naik ke penggunaan ilmu-ilmu pamungkas, Hu Pangcu ini sudah juga menetakan keputusan akan apa yang harus dilakukannya untuk menang. Dan ketika benturan antara dua kekuatan yang dilakukan dengan pengerahan jurus pamungkas masing-masing, maka terpentallah kedua tubuh kebelakang. Dan pada saat kedua tubuh tersebut melayang mundur, dengan cepat Hu pangcu melolos sesuatu dengan gaya dan cara yang tidak terikuti pandang mata siapapun.

Dan ketika kemudian keduanya berdiri kembali dalam keadaan terluka masing-masing, meski tidak mengganggu, terucaplah sesuatu dari mulut Hu Pangcu:

”Engkau hebat anak muda, aku sungguh kagum”

Kwi Beng yang jujur dan polos, otomatis mengira bahwa lawan mengeluarkan pujian tulus baginya, dan karenanya dia menjawab:

”Engkau juga hebat Hu Pangcu” dan disinilah kelengahan orang gagah yang satu ini. Persis pada saat dia mengucapkan kalimat itu, dia sedikit lengah dan mengendorkan tubuhnya, tetapi pada saat dia berbicara, Hu Pangcu sudah mengibaskan lengannya dalam jurus Pek Pou Sin Kun yang berbahaya.

Dan begitu Kwi Beng menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia sadar, intuisinya berbicara bahwa sesuatu sedang terjadi, dan untunglah dia masih mengerahkan ilmu mujijatnya Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak). Sebab jika tidak, maka dia akan terluka parah oleh serangan bokongan lawan yang dilakukan dengan kekuatan Sinkang Bu kek Hoat Keng.

Tetapi, bukan serangan pertama itu yang berbahaya, tetapi serangan kedua ketika Kwi Beng masih sibuk menangkis dengan kekuatan yang seadanya. Persis pada waktu dia mundur akibat benturan pertama, kembali Hu pangcu kali ini bukan sekedar mengibas, tetapi mendorongkan lengannya dengan kekuatan sinkang penuh kearah Kwi Beng.

”Hm sungguh licik dan curang” terdengar banyak orang menggerutu.

Orang-orang berseru murka melihat kelicikan Hu pangcu, tetapi Hu Pangcu tidak memperdulikannya. Sementara Kwi Beng yang belum sempat tegak sudah harus menerima pukulan lawan yang penuh dengan tenaga, terpaksa meningkatkan khikangnya Ilmu Badan Emas dan dengan seadanya juga mendorong dengan Ilmu mujijat lainnya Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih).

Tetapi, kedua Ilmu itu, hanya sanggup mencegahnya dari terluka parah didalam tubuhnya, tetapi tidak sanggup menahan tubuhnya untuk terlempar kebelakang. Kwi Beng bisa saja menahan tubuhnya untuk tidak terlempar jauh dan roboh bergulingan, tetapi resikonya tubuh bagian dalamnya akan mengalami luka yang sangat parah, dan bukan tidak mungkin bercacat. Bahkan, bukan tidak mungkin dia akan menerima serangan lebih lanjut dari lawannya, dan kemungkinan terserang itu akan semakin membahayakan kondisinya.

Kwi Beng tentunya tidak mau menempuh resiko berbahaya itu, yang dia sesalkan adalah kebaikan hatinya dan kelengahannya yang demikian mudah ditipu orang. Dan itu terjadi pada saat-saat atau pada detik-detik orang sedang memusatkan perhatian dan ilmunya. Dia merasa kesal dan murka, tetapi tidak sanggup menahan tubuhnya untuk akhirnya roboh kebelakang. Dan robohnya Kwi Beng kemudian disusul dengan tertawa bekakakan Hu pangcu yang merasa sangat bangga akan kemenangannya. Dan terdengar dia berkata:

”Hahahahaha, jika tidak salah, kali ini pihak kami memenangkan pertarungan”

”Hm, seandainya engkau tidak bermain curang Hu pangcu, maka pertarungan tidak akan berakhir demikian” dengus Ceng Liong ringan.

”Tidak Ceng Liong, aku belum kalah” Kwi Beng berkeras

”Engkau telah berusaha keras saudara Kwi Beng, kekalahanmu cuma karena engkau tidak berani dan berkeinginan bermain licik seperti lawanmu. Sudahlah, biarkanlah dia merasa senang dengan kemenangan semunya”

“Kemenangan tetap kemenangan, betapapun dan bagaimanapun cara kemenangan itu diraih. Hahahahahaha” kembali Hu Pangcu tertawa diringi pandangan muak beberapa tokoh kalangan pendekar. Sementara itu, Kwi Beng yang memang tahu dia lalai dan terkecoh tipuan licik lawan akhirnya berguman:

”Baiklah Ceng Liong, biarkanlah dia menikmati kemenangan curangnya itu. Lagipula, aku memang bodoh bisa ditipu tokoh sehebat dia”

”Baiklah, anggap pertempuran keempat kalian menangkan. Siapa yang akan maju kemudian Hu pangcu”? Ceng Liong nampak masih tetap tenang. Tenang karena dia memiliki keyakinan atas dirinya, lebih dari yang kemaren-kemaren. Pertarungannya dengan Koai Tung Sin Kay sebelumnya, pesan yang dicernakan dengan bantuan kakeknya dan hasil yang diperlihatkan Tek Hoat membuatnya yakin bahwa dia akan sanggup meladeni siapapun dari kedua Hu Hoat Thian Liong Pang.

Sementara keyakinannya atas Mei Lan juga sangatlah tebal, melebihi keyakinannya atas Tek Hoat dan yang lainnya. Dan dia juga memperkirakan dan bahkan yakin, Mei Lan akan sanggup menghadapi dan mengimbangi Bouw Lek Couwsu. Jadi, mengapa pula harus tidak tenang dan gugup?

”Hm, mudah-mudahan kalian tidak menyesali pilihan perang tanding ini, karena nampaknya kemenangan akan berada di pihak Thian Liong Pang” dengus Hu pangcu yang kesombongannya memuncak setelah kemenangannya yang kontroversial.

”Masih ada dua pertandingan yang menentukan Hu Pangcu” Ceng Liong mengingatkan

”Hahahaha, benar. Tapi entah adakah yang sanggup mengalahkan Koai Tung Sin Kay dan Bouw Lim Couwsu diantara kalian” dan ketika nama-nama itu disebutkan Hu pangcu pertama, dari kalangan pendekar terdnegar jeritan dan keluhan. Mereka menyadari betul, siapa kedua ornag yang barusan disebutkan namanya itu.

Nama nama mentereng didunia hitam, dan selama ini hanya tokoh sekelas 4 Dewa Persilatan Tionggoan yang sanggup menahan mereka. Jadi, apa nasib mereka nantinya? Dan apakah anak muda bernama ceng Liong itu memiliki kemampuan yang cukup? Bukankah yang akan dihadapi adalah dua tokoh hitam yang sangat sakti?

”Ada atau tidak tetap masih harus dibuktikan Hu pangcu. Kami sudah siap, silahkan siapa yang akan mewakili Thian Liong Pang dalam pertandingan kelima nanti”

”Baiklah” Hu pangcu kemudian berpaling kearah kedua Hu Hoat Thian Liong Pang yang belum maju bertempur. Dan nampaknya Bouw Lek Couwsu yang memilih bertempur pada pertempuran kelima. Dan setelahnya terdengar Hu pangcu berkata:

“Bouw Lek Couwsu, Hu Hoat Thian Liong Pang akan meladeni jago kalian di pertempuran kelima”

Ceng Liong memandang kearah Mei Lan, dan kebetulan pada saat yang sama Mei Lan juga sedang memandang kearahnya. Dan dari kedipan mata tersebut, keduanya sudah paham siapa yang akan maju menandingi Hu Hoat Thian Liong Pang yang sakti itu.
 
BAB 5 Pertandingan Puncak
1 Pertandingan Puncak




Dan kali ini Bouw Lek Couwsu yang terperangah. Dia akan dihadapi seorang pendekar muda, masih sangat muda malah, dan repotnya seorang perempuan lagi. Wajah Bouw Lek Couwsu bahkan masih lebih mengenaskan ketimbang Hu Pangcu Kedua yang menghadapi Giok Lian sebelumnya.

Maklum, karena dibandingkan Giok Lian, Mei Lan malah masih lebih mungil. Karena itu, Bouw Lek Couwsu sungguh-sungguh sangat repot bersikap. Meskipun dia telah mendengar bahwa anak gadis yang akan dilawannya, sudah dua kali mempecundangi Hu Pangcu Pertama. Tapi, dengan kedudukannya yang sangat tinggi di dunia persilatan, sungguh dianggapnya keterlaluan mengajukan seorang gadis muda sebagai lawannya.

Meskipun pertarungan itu merupakan pertarungan yang akan menentukan nasib pertarungan selanjutnya, tetapi Bouw Lek Couwsu sungguh-sungguh merasa sangat tidak layak.

Bouw Lek Couwsu sudah akan mengeluarkan kalimat-kalimat yang menggambarkan unek-uneknya seandainya dia tidak menyaksikan bagaimana si gadis mungil lawannya itu melayang ke tengah arena. Cara Mei Lan melayang kearena sungguh atraktif, meski dia sebetulnya tidak bermaksud untuk pamer.

Tanpa menekuk kakinya, dia melayang ke tengah arena meski tidak dengan kecepatan yang luar biasa. Tetapi justru, caranya melayang dan kecepatannya yang tidak seberapa itu yang sulit ditandingi dan diikuti banyak orang. Dan dengan anggunnya dia berdiri beberapa langkah dihadapan Bouw Lek Couwsu yang juga ikut merasa kagum atas peragaan ginkang luar biasa dari Mei Lan.

Dia sadar, bahwa ternyata gadis muda lawannya menyimpan sesuatu yang diandalkannya untuk menjadi lawan tokoh sekelas dia. Karena itu, untuk beberapa lama, Bouw Lek Couwsu malah memandangi Mei Lan dengan takjub tanpa mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Dan keadaan itu baru bisa cair ketika kemudian Mei Lan menegurnya:

”Locianpwe, akankah pertandingan kelima ini dilanjutkan”?

Dan pertanyaan itu menyadarkan Bouw Lek Couwsu bahwa dia sedang berada di tengah arena pertandingan. Meskipun agak segan melawan seorang gadis muda, tetapi mau tidak mau, karena sudah berada di tengah arena, tetap harus dilaksanakannya juga.
“Baiklah gadis kecil, semoga benar Wie Tiong Lan telah cukup mendidik dirimu untuk menghadapiku” dan seusai kalimat itu, Bouw Lek Couwsu kemudian membuka serangan dengan jurus-jurus sederhana. Tentu dia bermaksud untuk menjajaki kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu.

Dia masih belum berusaha untuk menyerang dengan jurus jurus dan ilmu andalannya, setidaknya sampai yakin bahwa lawannya memang perlu dilayani dengan ilmu ilmu andalannya.

Tetapi, seperti yang disangkanya, gadis muda itu memang bukan lawan enteng. Dengan mudah semua serangan-serangannya dielakkan dan bahkan ditepis oleh Mei Lan. Bahkan, sebagaiman sudah disaksikannya, gadis itu bergerak masih lebih cepat dan gesit dibandingkan Giok Lian.

Lebih mencengangkan lagi, karena semakin cepat dia bergerak, semakin cepat juga gadis itu berkelit atau menata langkahnya sehingga setiap pukulannya menjadi mubasir. Dengan jurus-jurus yang biasa, bukan saja dia tidak sanggup mencecar Mei Lan, sebaliknya Mei Lan seperti dengan sangat mudah dan tanpa kesulitan mengelakkan semua serangannya. Bahkan beberapa kali, juga melakukan serangan balasan yang sangat cepat dan cukup membuatnya tergesa-gesa melakukan tangkisan atas serangan balasan tersebut.

Bouw Lek Couwsu menjadi semakin tercengang ketika dia meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya, Mei Lan pun melakukan hal yang sama, yakni mengimbangi pengerahan tenaganya. Bahkan nampaknya juga tidak khawatir beradu tenaga dengannya, terbukti dengan beberapa kali dia menangkis serangan Bouw Lek Couwsu dengan keras lawan keras.

Dan bilapun dia tidak menangkis serangan tersebut, kelitannya juga sangat ringan, seringan kapas dan bergerak kearah dan sisi yang membuat pukulan lawan menjadi mubasir. Sampai sepuluh jurus lebih, Bouw Lek Couwsu masih berusaha untuk menyerang dengan jurus-jurus umum dalam perkelahian. Tetapi, tak ada untung sedikitpun yang diraihnya, sebaliknya lama kelamaan dia sadar bahwa gadis itu memang bukannya tanpa bekal berani menghadapinya.

Gadis itu, ternyata bukan hanya mengandalkan kecepatan, tetapi juga membekal kekuatan yang memadai untuk melawannya. Bahkan dengan beraninya, Mei Lan sudah mengambil insiatif menyerang dengan menggunakan jurus-jurus Bu Tong Pay dari pelajaran Kun Lun Kun Hoat. Ditangan ahli semacam Mei Lan, jurus tersebut tiba-tiba menjadi indah dan handal, dan mampu dipergunakan untuk menempur tokoh sekelas Bouw Lek Couwsu.

Dengan kecepatan dan dengan tenaga dalamnya, Bu Tong Kun Hoat menjadi cukup ampuh untuk menyerang. Terlebih, karena ditunjang dengan kecepatan dan dasar ginkang yang membuat Mei Lan mampu meliuk-liuk dan bergerak cepat, bahkan terkadang dengan gerakan yang tidak terduga.

Dan karena itu, Bouw Lek Couwsu akhirnya terpaksa mulai meningkatkan ilmunya dan menutul-nutulkan jarinya dengan ilmu Tam Ci Sin Thong. Mei Lan sadar, bahwa dalam hal tenaga dalam, meski tidak kalah, tetapi kakek lawannya itu pastilah lebih matang, juga bahkan jauh lebih berpengalaman. Karena itu, dia tidak mau gegabah menyambut dan menempur ilmu jari sakti yang perbawanya menciut-ciut tajam mengerikan itu.

Dengan cepat, diapun kemudian memainkan Thai Kek Sin Kun dan memaksakan kakek itu untuk ikut begerak cepat guna mengejar bayangannya yang bergerak cepat dan lemas. Gerakan-gerakan kaki dan tangannya mampu membuat jurus-jurus serangan Tam Ci Sin Thong yang mengarah ke kaki maupun tangannya serta bagian tubuh lainnya menjadi tak berguna alias mubasir.

Lama kelamaan Bouw Lek Cowsu jadi yakin, bahwa gadis itu membekal ginkang yang sulit dilawan, bakan olehnya sekalipun. Gerakan-gerakan pada waktu yang tepat dan dengan gaya yang tidak masuk akal, bahkan mampu melayang tanpa ancang-ancang membuatnya semakin sadar akan keampuhan gadis kecil yang dipandangnya ringan sebelumnya.

Akibatnya, tiada lagi pertimbangan lain yang membuatnya menahan-nahan hati untuk menyerang. Betapapun, kehormatannya kini ikut dipertaruhkan dalam melawan gadis kecil itu. Kalah akan benar benar membuatnya kehilangan pamor, dan hal itu tentu bukan tidak hanya tidak menyenangkan, tetapi memalukan.

Karena itu, serangan-serangan dengan Tam Ci Sin Thong menyambar-nyambar semakin mengerikan. Tetapi, semakin gencar dan semakin mengerikan serangannya mencecar Mei Lan, semakin indah dan semakin cepat Mei Lan bergerak, baik menghindar ataupun pada saat yang tepat memukul lengan lawan dari arah samping. Bukan sekali dua kali mereka adu kecepatan dalam melibas lengan lawan.

Mei Lan yang berupaya memukul dari samping, dikelit secara cepat oleh Bouw Lek Couwsu dan kembali ditotok oleh Mei Lan – dan seterusnya, dan semua berlangsung hanya dalam hitungan kurang dari sedetik.

Bouw Lek Couwsu sadar, dengan meladeni kecepatan Mei Lan akan merepotkannya. Apalagi, gadis yang bersilat dengan Thai kek Sin kun itu, bukan cuma cepat bergerak, tetapi juga sanggup dalam kelemasannya meladeni setiap serangan-serangannya. Dan Tam Ci Sin Thong pada akhirnya kembali tidak membawa keuntungan apa-apa baginya.

Karena itu, Bouw Lek Couwsu mulai mengandalkan kekuatan tenaganya dalam Ilmu Hong Ping Ciang untuk mencecar Mei Lan. Kehebatan pukulan itu, selain membawa perbawa yang luar biasa dalam rangkaian pukulan yang bertenaga berat, juga mampu menutup semua pintu keluar lawan. Karena itu, Ilmu ini biasanya harus dilawan dengan kekuatan juga dan memaksa lawan untuk adu tenaga.

Mei Lan menyadarinya. Tetapi, justru dalam kondisi seperti itu Mei Lan memperlihatkan pemahamannya atas gerakan-gerakan yang cepat dan efektif. Meskipun lama-kelamaan dia sadar, bahwa keadaannya akan semakin repot bila terus mengandalkan ginkangnya. Tapi, kesebatan dan kegesitannya dalam meladeni Hong Ping Ciang dari tokoh yang paling sempurna menguasainya saat itu, sangat mengagumkan.

Bahkan Bouw Lek Couwsu sendiri nyaris tidak percaya, ketika Mei Lan berkelabat-kelabat di kisaran jangkauan pukulannya dan tidak menjauh. Meskipun terdesak, tetapi Mei Lan tetap tidak terjangkau oleh pukulan tersebut. Tapi, Mei Lan sadar, kondisinya tertekan bila terus menerus seperti itu keadaanya.

Karena itu, sambil mencari ketika yang tepat, Mei Lan kemudian mempersiapkan ilmunya Sian Eng Sin Kun, ilmu yang dilatihkan suhengnya Sian Eng Cu Tayhiap sejak masih kecil. Penguasaan Mei Lan atas ilmu tersebut rasanya tidak lagi di bawah Sian Eng Cu, suheng merangkap suhunya, bahkan sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri.

Bahkan dengan landasan ginkang yang lebih sempurna, Mei Lan mampu berubah menjadi bayangan yang sanggup memberi “persen” pukulan kekiri dan kekanan. Dan dengan ilmu tersebut, Mei Lan kembali mampu menyeimbangkan posisinya.

Sian Eng Cu yang memandang sumoy terkecilnya, yang juga disayangnya sebagai anaknya sendiri itu, nampak tersenyum bangga ketika ilmu ciptaannya yang sudah disempurnakan gurunya dimainkan dengan baiknya. Bahkan dengan ilmu itu, Hong Ping Ciang dibuat mati kutu dan tidak sanggup menerobos benteng pertahanan dan kecepatan lawan.

Lebih dari itu, dengan kecepatannya Mei Lan bahkan sanggup mengirim dan melakukan serangan lebih banyak daripada Bouw Lek Couwsu yang semakin lama semakin kietar-ketir menghadapinya. Tapi, Bouw Lek Couwsu sama sekali bukan petarung kemaren sore. Bukan. Dia bukan hanya menguasai ilmunya secara baik dan sempurna, tetapi juga sudah melalui jumlah pertarungan yang sangat banyak.

Dia sadar betul, bahwa mutu ilmu gadis lawannya tidak dibawahnya. Bahkan dia masih ketingalan dalam hal ginkang, tetapi dia menang dari segi pengalaman. Selain, dia masih menyimpan sejumlah Ilmu ampuh yang siap untuk dipergunakannya bila waktunya sudah tepat.

Karena itu, Bouw Lek Couwsu tidaklah berkecil hati, tetapi malah mulai tabah dan bersiap untuk bertarung layaknya melawan tokoh seangkatan dirinya. Dia seperti sedang berhadapan dengan Wie Tiong Lan muda yang melawannya dengan variasi ilmu yang sangat kaya. Dan juga dengan tingkat kematangan yang luar biasa.

Kesadaran itu membuat Bouw Lek Couwsu tidak lagi berusaha memaksakan kemenangan singkat, tetapi mulai menyiapkan diri dengan strategi jangka panjang, belajar dari apa yang dilakukan Hu Pangcu Pertama. Hanya saja, meskipun terbilang tokoh sesat, tapi Bouw Lek Couwsu, sama seperti Kim-i-Mo Ong maupun Koai Tung Sin Kay, sangat alergi dengan kelicikan dalam pertempuran.

Karena mereka memiliki ambisi bukan dalam harta dan kekuasaan utamanya, tetapi dalam penguasaan dan kesempurnaan ilmu silat. Karena itu, justru pertandingan melawan Mei Lan membuat Bouw Lek Couwsu menjadi bersemangat dan girang karena mendapat lawan kuat. Hal yang juga menarik perhatian tokoh-tokoh besar, seperti Koai Tung Sin Kay dan Kim-i-Mo Ong.

Mereka sangat heran dengan kehadiran tokoh-tokoh muda yang kini bahkan sanggup merendengi mereka dalam waktu-waktu terakhir ini. Kim-i-Mo Ong merenungkan pertarungannya melawan Tek Hoat yang meski berakhir imbang, tetapi diakuinya dia terlampau gegabah mengumbar kemarahan dan nafsunya, tidak bertarung tenang seperti Bouw Lek Couwsu.

Dan kewaspadaan, juga mulai merambati hati Koai Tung Sin Kay, meski dia masih memiliki keyakinan karena baru beberapa jam sebelumnya dia sanggup mendesak hebat lawannya yang nampaknya akan kembali dihadapinya, Ceng Liong.

Sementara itu, pertarungan Mei Lan melawan Bouw Lek Couwsu sudah mengalami perubahan kembali. Kali ini Bouw Lek Couwsu mulai memainkan Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga), sebuah ilmu tangan kosong yang sangat ampuh. Terutama karena gerakan tangannya berisi baik keampuhan Tam Ci Sin Thong maupun telapak tangan yang bahkan berani menyambut serangan senjata tajam lawan.

Dan getaran kuat ketika menerima benturan telapak tangan membuat Mei Lan sadar, lawan semakin meningkatkan kemahirannya. Juga ketika dari jemari Bouw Lek yang satunya lagi mencicit cicit dan bahkan mengeluarkan sinar tajam mengerikan, membuat Mei Lan berpikir mengganti ilmunya. Setelah bergerak menghindar beberapa saat, tiba-tiba lengannya juga mengeluarkan sinar berkilat dan tidak takut menghadapi telapak tangan dan jemari Bouw lek Couwsu.

Pik Lek Ciang, salah satu ilmu ampuh dari Bu Tong Pay kini mulai dimainkan Mei Lan, bahkan masih ditunjang dengan permainan hawa Thai kek Sin Kiam di tangan kirinya dan dengan landasan ginkang Bu Tong Pay, Sian Eng Coan in.

Akibatnya pertarungan kembali menjadi sangat ramai, sekaligus menjadi lebih berbahaya. Baik letupan-letupan benturan antara telapak tangan maupun akibat kesiuran angin tajam yang lahir dari serangan-serangan jari dan tangan masing-masing. Akibat pertarungan mereka, para jago yang menonton dan memang telah mundur menjauh sejak pertandingan babak kedua, menyaksikan betapa tanah ataupun kerikil yang terkena kesiuran angin itu ada yang terbelah, ada yang hancur menjadi tepung.

Sungguh sebuah pemandangan yang mengerikan, dan bisa dibayangkan bila manusia yang berada didekat radius 3-5 meter dari pertarungan kedua orang itu. Dan kesiuran serta cicit pukulan dan sentilan yang dilakukan kedua orang itu, masih tetap terjadi, dengan kemampuan hanya sedikit orang saja yang masih sanggup menangkap dengan jelas dan detil pertarungan hebat itu. Ketika para jago melihat betapa Ceng Liong masih tetap tenang menatap pertarungan itu, banyak dari mereka yang mau tidak mau merasa kagum dengannya.

Diantara para jago, Sian Eng Cu yang nampak meski memiliki ketabahan, tetapi karena memiliki ikatan khusus dengan Mei Lan yang menjadi tidak sabaran. Tetapi, melihat Ceng Liong memiliki keyakinan atas sumoynya, perlahan diapun mengkonsentrasikan diri menyaksikan pertempuran luar biasa yang sedang melibatkan sumoynya itu.

Masih seperti biasa, sumoynya yang menang ginkang, berkelabat-kelabat bagaikan bayangan dan mengitari tubuh Bouw Lek Couwsu. Tetapi, karena lingkaran pertaruangan tertutup jalan keluar dan dikunci oleh tenaga yang hebat dari Bouw Lek Couwsu, dia melihat berkali-kali Mei Lan dengan berani dan tabah membentur ataupun menutuk lengan Bouw Lek Couwsu.

Dan proses itulah yang melahirkan letupan sinar kilat ataupun benturan kekuatan yang menggelegar diantara keduanya. Betapapun, Sian Eng Cu melihat, bahwa kepandaian sumoynya memang sudah sangat luar biasa, bahkan sudah melampauinya. Meskipun harus diakui, bahwa dalam hal pertarungan sumoynya memang masih kurang dibandingkan lawannya.

Tetapi, kekuatan sinkang sumoynya, juga bukan olah-olah hebatnya, hanya karena lawannya seorang sekelas Bouw Lek Couwsu saja yang membuat pertarungan itu menjadi sangat luar biasa. Penglihatan tersebut, perlahan namun pasti melahirkan keyakinan dan kepercayaan dalam hatinya terhadap kemampuan sumoynya dalam pertempuran itu.

Bouw Lek Couwsu yang telah mengerahkan salah satu ilmu hebatnya dan membuat pagar bagi pertarungan mereka dengan kematangan sinkangnya, tetap masih tidak bisa berbuat banyak dan tidak mampu menarik keuntungan dari Mei Lan yang bertempur seru dan mati-matian. Yang membuat Bouw lek Couwsu bingung adalah, ternyata dalam hal sinkangpun, anak gadis itu tidaklah kalah darinya.

Jikapun dia menang seusap, itu tidaklah berarti banyak, terutama karena sinkang gadis itu yang lebih murni dibanding dengan dirinya, dan bila diadupun tidak sanggup melukai gadis itu. Tetapi, nampaknya Bouw Lek Couwsu sadar, hanya dengan mengadu tenaga sajalah yang memberinya kesempatan lebih besar untuk menang. Tapi, masalahnya, Mei Lan bisa bergerak demikian cepat dan pesatnya.

Meskipun sekali-kali Mei Lan hanyut dalam alur dan strategi bertempur Bouw Lek Couwsu, tetapi tidak dalam waktu lama dia bisa menyadari kelebihan lawan dan kelebihannya sendiri. Dan karena itu, dengan cepat dia bersilat dan menyesuaikan diri dengan kondisi pertempuran.

Memang nampak aneh bagi banyak orang, seorang seperti Mei Lan dan kawan-kawannya ternyata sanggup menandingi tokoh-tokoh tua yang sudah dianggap tanpa tanding. Padahal, waktu dan tenaga yang dicurahkan tokoh-tokoh gaib rimba persilatan Tionggoan untuk mendidik anak-muda anak muda itu juga tidaklah kecil.

Dan faktanya, kembali seorang dedengkot tokoh hitam mampu diimbangi dengan baik oleh Mei Lan. Bukan hanya ilmunya, tetapi juga bahkan sinkang dan ginkangnya tidak sanggup menempatkan Mei Lan di bawah angin, dan terus mampu menandinginya. Bouw Lek Couwsu yang menyadari keadaan, setelah mencapai 200an jurus tidak mampu berbuat apa-apa, padahal ilmu-ilmu andalannya sudah dikeluarkan, akhirnya memutuskan untuk menanjak pada penggunaan ilmu-ilmu pamungkasnya.

Bouw Lek Couwsu yang akhir-akhir ini melatih ilmunya yakni Pukulan Udara Kosong, sebuah ilmu yang memampukannya meminimalisasi atau bahkan menghilangkan unsur “angin” ataupun pertanda datangnya sebuah pukulan, menjadi andalannya.

Pukulan itu, bahkan baru-baru ini dilatihnya kembali bersama sam sutenya, Tibet Sin Mo Ong, dan mengalami kemajuan berarti. Dan ilmu itulah yang kini mulai disiapkannya untuk digunakan dalam babakan selanjutnya, menghidari kekalahan atau kondisi seimbang yang akan membuatnya malu.

Kehebatan ilmu pamungkasnya itu adalah, bila dengan penggunaan iweekang tataran tertingginya, maka ilmu pukulannya, terutama tangan kososng Hong Ping Ciang dan Kong Jiu Cam Liong, bisa digunakan tanpa mengakibatkan kesiuran angin. Dan akan sangat sulit diantisipasi lawan, apakah dia sedang diserang ataukah tidak.

Hanya Tam Ci Sin thong yang sukar diatur dan dikerahkan dengan ilmu ini. Bahkan, selain menggunakan Hong Ping Ciang dan Kong Jiu Cam Liong, Bouw Lek Couwsu bahkan masih menciptakan dorongan pamungkas ilmu ini, yang tidak berbau dan tidak bersuara. Dengan menumpuk tenaga dalam dalam dorongan ilmu ini, maka lawan masih belum siap, dan ilmu pukulan sudah menerjang datang.

Dan sungguh jarang Bouw Lek Couwsu memanfaatkan ilmu pamungkas yang memang berbahaya ini, selain juga dia masih memiliki ilmu silat lain yang malah tidak kurang ampuhnya Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit). Sebuah ilmu silat lain yang berisi hawa sihir yang sangat kuat dan didorong oleh penggunaan hawa iweekang tingkat tertinggi.

Dan saat ini, Bouw Lek sedang menyiapkan penggunaan Pukulan Udara Kosong dan membuatnya meningkatkan kemampuan pengerahan tenaga dalamnya hingga tataran yang sangat tinggi. Dibutuhkan setidaknya kekuatan tenaga 8 bagian untuk mampu mengirimkan pukulan kearah lawan dengan meniadakan angin pukulan yang diontarkan.

Kurang dari itu, pukulan tidak akan mampu terlontar dengan mengurangi atau meniadakan angin pukulan tersebut. Dan kali ini, Bouw Lek Couwsu sudah memutuskan untuk menggunakannya. Dan nampaknya harus menggunakan secara bersungguh-sungguh bila tidak mau kehilangan nama besarnya dan gengsinya turun di tangan seorang gadis muda. Nampak Bouw Lek Couwsu memusatkan perhatian dan konsentrasinya, meningkatkan kekuatannya dan kemudian perlahan-lahan mulai membuka serangan.

Mei Lan terperanjat ketika tanpa didahului angin pukulan, tahu tahu pukulan lawan sudah menerpanya, dan bahkan kandungan tenaganya juga meningkat luar biasa kuatnya. Untungnya kewaspadaannya tidak pernah surut dan terutama pengerahan tenaganya juga tidak pernah kendur. Karena itu, dia masih sanggup menahan serangan tersebut, meskipun kemudian dia terhuyung sampai 3-4 langkah kebelakang karena kalah tenaga.

Melihat hasil pukulannya, Bouw Lek Couwsu kemudian mencecar Mei Lan yang masih belum siap karena sempat terhuyung kebelakang. Sebuah pukulan kembali dilontarkan, dan Mei Lan yang kembali belum menyangka apa yang sebenarnya terjadi, mulai paham apa yang sedang dihadapinya.

Dan belum lagi pukulan berikut datang, dengan kegesitan yang luar biasa, meski sedang tergempur mundur, Mei Lan sudah melenting dengan mengerahkan ginkang guru keduanya, Te Hun Thian. Luar biasa, meskipun sedang tergempur dia masih sanggup tidak sampai sepersekian detik sudah melenting keatas, bahkan kemudian seperti melawan gaya tarik bumi, dia mampu membuat belokan yang luar biasa di atas dan hinggap dengan keadaan siaga.

Tidak menunggu sampai sebuah pukulan kembali dilontarkan lawan, Mei Lan mendahului dengan kembali melenting keatas sambil melepaskan pukulan andalannya yang baru Ban Hud Ciang dalam jurus pertama ”Laksaan Tapak Budha Menerjang Bumi“.

Dan begitu terbentur pukulan lawan yang menangkisnya, kembali Mei Lan terlontar keudara, yang memang nampaknya disengajanya dan dari udara kembali dia meluncur dengan jurus yang sama tetapi dengan pengerahan tenaga yang lebih besar. Dan kembali terjadi benturan, kali ini dengan gelegar suara yang memekakkan:
 
2





”Blaaaaar“ dan tubuh Mei Lan kembali terlontar keatas, sementara Bouw Lek Couwsu juga tergetar oleh benturan dahsyat tersebut. Nampaknya, Mei Lan juga sudah meningkatkan kekuatannya sampai ke 8 bagian tenaganya. Dan masih melayang dia sudah menyiapkan kembali jurus kedua ”Laksaan Tapak Budha Membayangi Udara”.

Udara sekitar Bouw Lek Couwsu bagaikan dipenuhi telapak tangan Mei Lan yang mengejarnya untuk memukulnya. Tapi ketajaman mata Bouw Lek Couwsu dan ketabahannya memampukannya untuk mengikuti telapak tangan Mei Lan yang asli sedang mencecarnya. Tetapi Mei Lan tidak bodoh untuk terus menerus membentur Bouw Lek, tetapi mengandalkan ginkangnya Te Hun Thian untuk terus mencecar Bouw Lek dari udara.

Bahkan terus menggetarkan pukulannya dengan jurus ketiga “Laksaan Tapak Budha laksana halilintar”. Sebagaimana diketahui, semakin meningkat, semakin berbahaya Ban Hud Ciang, karena semakin kuat perbawanya dan semakin keras efeknya.

Berbeda dengan Kwi Song dan Kwi Beng, Mei Lan terbantu oleh ginkangnya yang istimewa, karena itu penggunaan ilmu ini dalam kecepatan tinggi, sungguh menghasilkan efek ganda. Baik beratnya pukulan, maupun kecepatan untuk mengantisipasi arah dan pukulan asli yang sedang mengancam.

Untungnya, Bouw Lek Couwsu juga bukan orang bodoh, menghadapi hujan telapak tangan yang luar biasa banyaknya, dia tetap menggetarkan pukulannya dan membentur telapak tangan Mei Lan. Dan kembali terdengar dentuman keras “blaaaaar” dan diikuti oleh terpukul mundurnya kedua orang itu.

Tetapi, Mei Lan tidak berlama-lama, kembali dikembangkannya pukulan ampuhnya itu, dan nampaknya Bouw Lek Couwsu mulai keteteran dalam menghadapi jurus ke 4 sampai ketujuh yang dikembangkan susul menyusul dengan kehebatan yang semakin meningkat. Beberapa kali terjadi benturan, tetapi benturan itu tidak mengurangi kecepatan Mei Lan dalam menekan Bouw Lek Couwsu dengan Ban Hud Ciang, bahkan mulai memasuki jurus ke-8 “Tapak Budha Mendorong Awan”.

Sebetulnya yang membuat Bouw Lek Couwsu terdesak bukanlah laksaan telapak tangan yang mengancamnya, tetapi kecepatan perubahan jurus yang sulit diantisipasinya. Serta perubahan dan perpindahan telapak tangan yang langsung mengancamnya.

Keadaan itulah yang membuatnya terus terdesak dan sulit membalas menyerang hingga memasuki jurus ke 9 “Laksaan Tapak Budha Menggoyang Mayapada”. Bouw Lek Couwsu tergopoh-gopoh untuk menghindar dan melontarkan sejumlah pukulan untuk membatasi ancaman atas dirinya, sekaligus menyiapkan jurus dan ilmu barunya.

Tepat, karena memang Bouw lek Couwsu sadar bahwa jurus ke-10 dan terutama ke-11 Ban Hud Ciang adalah jurus dengan perbawa yang menakutkan. Karena itu, tiada pilihan lain baginya dengan menyiapkan Ilmu Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit). Ilmu pamungkasnya yang sangat berbahaya dan didorong dengan kekuatan batin dan kekuatan sihir.

Dan pengerahannya tepat pada saat Mei Lan sedang menyiapkan jurus ke-10 : Laksaan Tapak Budha Bagaikan Pelangi. Pengerahan kekuatan sihirnya mampu mempengaruhi Mei Lan sekejap, dan akibatnya jurus ke-10 yang dilontarkannya banyak terpengaruh oleh perbawa Bouw Lek Couwsu. Dan karenanya dengan mudah Bouw Lek Couwsu menghindar dan bahkan mulai menyerangnya dengan jurus “Dewa Sakti Menggempur Thian San”.

Mei Lan yang dalam puncak pengerahan jurus terakhir Ban Hud Ciang, kembali terpengaruh oleh perbawa Bouw Lek Couwsu dan seakan-akan melihat guguran gunung sedang menuju kearahnya. Untungnya jurus ke-11 Ban Hud Ciang sudah dipersiapkannya, sehingga pukulan berat Bouw Lek Couwsu tidak mampu melukainya, hanya sanggup melontarkannya kebelakang, sama jauhnya dengan terlontarnya Bouw Lek Couwsu kebelakang.

Mei Lan segera sadar, lawan sedang menggunakan ilmu batin, ilmu sihirnya. Tiada jalan lain, Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), Ilmu terakhir ciptaan gurunya segera disiapkannya. Dengan mengerahkan jurus tersebut, tiba-tiba bayangan tubuhnya nampak bagaikan laksaan orang didepan mata penonton, sementara Bouw lek Couwsu bagaikan manusia raksasa yang sedang mendorong gunung untuk menggugurkannya.

Pertarungan yang unik, karena didorong oleh penggunaan tenaga batin yang hebat. Laksaaan bayangan tubuh Mei Lan berkelabat memutari Bouw Lek Couwsu yang menghambur-hamburkan pukulan saktinya kesegala arah dan mengejar bayangan tubuh Mei Lan. Benturan-benturan berat kembali terdengar, tetapi keduanya seperti tidak memperdulikannya. Dorongan-dorongan hebat dengan kecepatan berbeda kembali terjadi. Tetapi, kali ini kecepatan dan kekuatan pukulan nampaknya akan menentukan.

Setiap pukulan dan gerakan mengandung kekuatan iweekang dan kekuatan batin yang luar biasa. Dan pada posisi ketika kekuatan sihir dan kekuatan batin yang berimbang inilah kemudian Mei Lan melengking keras, dan mendorong dengan kekuatan sepenuhnya kearah Bouw lek Couwsu. Begitu benturan terjadi, Mei Lan sudah kembali dengan cepat memunahkan daya dorong kearah tubuhnya dan melenting sambil mengeluarkan serangan lainnya.

Bouw Lek Couwsu sadar akan bahaya, selain sudah semakin lamban gerakannya, penggunaan tenaga berlebihan menghadapi Ban Hud Ciang sungguh mempengaruhinya. Dalam kondisi seperti itu, Mei Lan memanfaatkan keunggulan ginkangnya dengan menyerang sambil melepaskan pukulan sepenuh tenaga sambil berjaga atas pukulan balasan, dan ketika berbenturan dengan cepat memunahkan tenaga yang mementalkannya dan kembali menyerang lawan.

Keadaan ini benar-benar merepotkan Bouw Lek Couwsu, dan dia sadar bahwa ilmu gadis kecil yang terakhir ini benar-benar merupakan tandingan ilmu pamungkasnya. Sayang, dia banyak menghamburkan tenaga sebelumnya.

Dan ketika benturan sekali lagi terjadi dan keduanya terpental kebelakang, dengan cepat Mei Lan sudah kembali melenting dan menyerangnya pada saat Bouw Lek Couwsu masih terhuyung kebelakang. Dan kembali sebuah benturan keras terjadi, dan kali ini diakhiri dengan merenggangnya jarak antara keduanya. Dan tidak terlihat Mei Lan kembali berusaha menyerang, sementara Bouw Lek nampak sedang tertunduk, merenung.

Nyaris tiada orang yang mengetahui benturan terakhir yang nampaknya menentukan siapa menang dan siapa kalah. Keadaan hening, sangat hening malah untuk beberapa saat. Sampai kemudian keheningan tersebut dipecahkan oleh tarikan nafas berat dari Bouw Lek Couwsu yang kemudian terdengar berujar:

”Hm, nampaknya gelombang di belakang benar mendorong gelombang didepannya. Tidak kusangka hari ini meski hanya dengan setengah jurus saja kebanggaanku lenyap direnggut orang. Hu Pangcu, babak ini aku memang kalah, kalah setengah jurus”

“Terima kasih locianpwe, hanya secara kebetulan aku bisa melakukannya” Mei Lan merendah, terutama karena mendengar betapa getir suara orang tua sakti yang baru saja bisa ditaklukkannya. Benar, meski hanya setengah jurus dan dengan memanfaatkan kelebihannya yang memang sangat luar biasa itu, ilmu ginkangnya.

Dan setelah melihat dengan penuh rasa kasihan langkah gontai Bouw Lek Couwsu yang kembali ke barisan para Hu Hoat Thian Liong Pang, Mei Lan kemudian juga beranjak mundur ke barisannya. Di telinganya mengingang sebuah suara:

”Lan Moi, kionghi atas kemenanganmu. Sungguh hebat. Tapi sekarang saatnya engkau memulihkan kekuatanmu” Sebuah suara, siapa lagi jika bukan Ceng Liong. Suara yang seakan mempercepat proses penyembuhannya. Dia melihat, Ceng Liong beberapa saat sedang bercakap-cakap dengan Tek Hoat, dan tidak berapa lama kemudian nampak Tek Hoat mengundurkan diri, diikuti Kwi Song. Tetapi Mei Lan sudah cukup letih dan selanjutnya tidak tahu apa yang terjadi karena dia berkonsentrasi untuk memulihkan tenaga dan semangatnya.

Sementara itu Ceng Liong sudah membuka suara:

“Hu Pangcu, kedudukan sekarang sudah satu sama, apakah masih akan dilanjutkan atau menunggu sampai hari esok”? tentu sebuah pancingan, karena Ceng Liong sadar bahwa memang lawan menunggu hari gelap.

”Hm, sekarang adalah saat penentuannya. Babak terakhir, kami mengajukan Koai Tung Sin Kay mewakili Thian Liong Pan. Terserah pihakmu anak muda, siapa yang diajukan untuk melawan locianpwe Koai Tung Sin Kay” Hu Pangcu nampak sangat yakin dengan kemampuan Sin Kay.

”Baiklah, kami akan menyiapkan lawan bagi locianpwe Koai Tung Sin Kay” Ceng Liong kemudian nampak berpaling dan bercakap sejenak dengan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila serta beberapa sesepuh. Tetapi sebelum Sian Eng Cu dan beberapa tokoh pendekar memberi pendapat, tiba-tiba terdengar suara:

”Saudara Ceng Liong, saat ini adalah tugasmu untuk melawannya. Dan aku yakin, engkau sanggup mengerjakannya” Suara Kwi Beng terdengar sangat kokoh dan meyakinkan. Akibatnya banyak orang yang memandangnya, heran dan kaget akan keyakinan tokoh muda Siauw lim Sie tersebut.

”Terima kasih saudara Kwi Beng, taruhannya sangat mahal”

”Anak muda, jangan bertindak tanggung dan setengah-setengah. Lohu tahu, engkau telah disiapkan suhumu dan juga Kiong Siang Han Locianpwe, bahkan suhuku juga yakin engkau sanggup memikul tugas ini. Lakukanlah” Sian Eng Cu meyakinkannya.

”Tidak ada lagikah jago dari kalian yang berani meladeni Koai Tung Sin Kay”? terdnegar suara Hu Pangcu yang agak arogan

”Hahahahaha, sebentar Hu Pangcu, seseorang sudah lebih dari siap menempurnya” Pengemis Tawa Gila berseru menjawab.

“Ðan yang akan melawan Hu Hoat thian Liong Pang adalah Kiang Ceng Liong, majikan baru Lembah Pualam Hijau” sambung Pengemis Tawa Gila yang membuat Ceng Liong tidak punya pilihan lagi. Mau tidak mau dia menetapkan hati untuk memikul tanggungjawab besar yang sangat menentukan itu. Meskipun diiringi tatapan keraguan dari beberapa orang yang selama ini meragukan kemampuannya. Tetapi ucapan pengemis Tawa Gila yang selanjutnya membuatnya berketetapan hati untuk maju:

”Anak muda, bersamamu setidaknya ada Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan restu guru besar kami Kiong Siang Han dan nama Lembah Pualam Hijau. Tidak sepantasnya engkau ragu”

”Baik Hu Kauwcu, smeoga tecu berhasil”

Dan dengan tenang kemudian Ceng Liong melangkah maju, bahkan langsung menghadapi Koai Tung Sin Kay dan memberi salam:

“Locianpwe, kita bertemu kembali. Baik-baikkah keadaanmu orang tua”?

”Hm, anak muda, tadi engkau masih bisa lolos. Tapi kali ini, lohu harus meringkusmu untuk memudahkan urusan kami di Tionggoan ini” Koai Tung Sin Kay berkata seram, meski bibirnya tidak kelihatan mengucapkan satu kalimatnya. Tetapi suaranya yang seakan memberitahukan bahwa dia sebelumnya mengalahkan Ceng Liong membuat banyak orang kebat-kebit. Tapi Ceng Liong yang sudah memiliki perhitungan sendiri sudah berkata:

”Mudah-mudahan tecu sanggup menahan seranganmu locianpwe”

”Baiklah, silahkan memulai anak muda. Jangan dianggap aku kurang sopan mulai menyerang generasi yang lebih muda”

“Baik, maafkan aku locianpwe” dan dengan suara itu, Ceng Liong kemudian membuka serangan kearah Koai Tung Sin Kay.

Sadar sedang berhadapan dengan tokoh sakti, Ceng Liong langsung membuka serangan dengan menggunakan jurus-jurus Giok Ceng Chap Ca Sin Kun. Bahkan tidak tanggung-tanggung Giok Ceng Sinkang juga langsung dikerahkan sampai setengah bagian. Dan, demikian juga dengan Koai Tung Sin Kay, yang sudah mengenal Ceng Liong, sudah tidak memakai basa-basi lagi untuk menandingi dengan menggunakan tongkatnya.

Bahkan tidak menunggu lama, selain mencecar dengan tongkatnya, sesekali juga dia menyerang dengan menggunakan Jari Tangan Beracun Putih. Hanya, kali ini Ceng Liong sudah lebih dari cukup memperoleh pengalaman menghadapi datuk maha lihay ini. Dia tidak membiarkan dirinya diserang sedemikian rupa, dan berani berbalik menyerang dengan menggunakan Giok Ceng Chap Ca Sin Kun.

Serangan dengan ilmu kebanggaan keluarganya mau tidak mau membuat orang merasa kagum, karena sudah lama tidak lagi nongol dan kelihatan di rimba persilatan. Kali ini, mereka kembali menikmati salah seorang ahlinya memainkan ilmu itu dengan sangat hebatnya. Gesit, kokoh dan tajam dalam menyerang, dan bahkan tidak takut diadu dengan Koai Tung Sin Kay yang memakai tongkat dalam ilmu tongkat yang ampuh Koai tung kwi eng (tongkat aneh bayangan hantu) yang juga diselingi dengan totokan totokan pek tok ci.

Akan sangat memalukan keluarga dan Lembah Pualam Hijau jika Ceng Liong tidak mampu menghadapi tongkat dan totokan-totokan itu. Apalagi, dia sudah menggunakan ilmu kebanggaan keluarganya, yang mengangkat derajat keluarganya tinggi-tinggi di dunia persilatan Tionggoan.

Dan memang, sekali ini, terutama setelah mematangkan pemahamannya atas dirinya dan penggunaan ilmu-ilmunya berdasarkan petunjuk gaib yang diperoleh lewat pesan orang tua aneh yang ditemui sebelumnya, Ceng Liong menarik keuntungan besar. Dia bahkan kini mampu memaksimalkan kehebatan ilmu keluarganya, dan berani menempur Koai Tung Sin Kay dengan penuh ketabahan.

Hal yang semakin lama membuat Koai Tung Sin Kay menjadi sangat heran, karena Ceng Liong yang dihadapinya kali ini mengapa menjadi jauh lebih cepat dan lebih alot. Jika ada orang sanggup membedakan atau menilai tingkat kehebatan Ceng Liong saat ini, maka pastilah Koai Tung Sin Kay orangnya. Baru beberapa jam sebelumnya, pagi menjelang siang mereka bertempur seru.

Meskipun mampu memberi perlawanan seru dank eras, tetapi Ceng Liong lebih banyak terdesak dalam pertempuran tersebut. Tetapi kini, anak muda itu nampak sangat kokoh, percaya diri dan memberi perlawanan yang luar biasa kuatnya terhadapnya. Hal yang menimbulkan rasa kagum dan penasaran di dadanya.

Karena sebagaimana jago silat lainnya, Koai Tung Sin Kay sangat penasaran dan tertarik jika mendapat lawan yang mampu membuatnya bekerja keras. Dan kali ini, seorang anak muda bernama Ceng Liong yang beberapa jam sebelumnya bisa ditaklukkannya dengan susah payah, kali ini sanggup mengimbanginya.

Dan herannya, kali ini, anak muda lawannya itu, dengan berani dan tidak takut-takut lagi, menangkis dan mendorong tongkatnya. Bahkan tidak takut berbenturan karena tangan itu sudah dipenuhi hawa Giok Ceng Sinkang yang luar biasa kuatnya. Kondisi ini menambah rasa penasaran Koai Tung Sin Kay, dan karenanya dimainkannya semua jurus “Tongkat Aneh Bayangan Hantu” secara tuntas, bahkan diselingi dengan totokan-totokan beracun dari Pek Tok Ci.

Tapi itupun tidak membuat Ceng Liong bergeming dan ketakutan, sebaliknya diapun bersilat dan memainkan Giok Ceng Chap Ca Sin Kun dengan bersemangat. Bahkan untuk mengimbangi ilmu tongkat ampuh itu, langkah kaki Ceng Liong juga dilandasi oleh ginkang Lembah Pualam Hijau, Jouw Sang Hui Teng yang membuat keringanan tubuhnya juga meningkat pesat. Terutama setelah Mei Lan membuka rahasia pesan yang ditujukan kepada Gadis manis itu. Karena itu, dalam hal kegesitanpun, meski belum sehebat Mei Lan, tetapi sudah sangat cepat dibandingkan pertarungan dengan datuk iblis ini sebelumnya.

Singkatnya, baikkecepatan, keberanian, ketabahan dan kekokohan Ceng Liong dirasakan meningkat pesat oleh sang datuk iblis tersebut. Tetapi, justru keadaan itu menggembirakan Koai Tung Sin Kay yang selama beberapa tahun sejak keluar dari hukuman penjara atas “janji” pertarungan mereka puluhan tahun lalu, belum lagi mendapatkan lawan yang menggembirakan dalam sebuah pertarungan.

Semakin lama bertarung, Koai Tung Sin Kay sendiri semakin bersemangat, karena dipaksa untuk mengeluarkan jurus jurus dan ilmu-ilmu yang dimatangkan dan dilatihnya untuk membalas dendam terhadap generasi guru Ceng Liong, 4 Dewa Tionggoan. Sementara Ceng Liong, juga semakin kokoh dan tabah begitu mengetahui kali ini dia bisa mengimbangi kehebatan Koai Tung Sin Kay, dan bahkan racun Pek Tok Ci, juga tidak lagi menjadi ganjalan yang berbahaya baginya.

Secara otomatis, kekuatan khikangnya juga menanjak hebat, dan karena itu disekitar tubuhnya racun-racun pek tok ci sudah bisa ditawarkan. Sementara kekuatan tangannya, juga semakin meyakinkan karena sanggup menghadapi dan menangkis tongkat Koai Tung Sin Kay tanpa takut terluka. Keduanya bersilat dan menghabiskan jurus demi jurus dari ilmu andalan masing-masing sambil mengintip lawan melakukan kesalahan untuk dicecar dengan serangan-serangan berbahaya.

Tetapi sampai keduanya menghabiskan jurus-jurus dari ilmu yang mereka mainkan, tetap tidak ada perubahan keseimbangan pertarungan. Saling serang dan bertahan terus terjadi silih berganti, dan membuat Koai Tung Sin Kay semakin bersemangat dan semakin senang.

Adalah Ceng Liong yang kemudian berganti jurus serangan dengan mulai menyerang dengan kecepatan tinggi menggunakan Soan Hong Sin Ciang. Pukulan-pukulannya menjadi secepat Tongkat Bayangan Hantu lawan dan mencecar Koai Tung Sin Kay dengan pukulan-pukulan cepat ditunjang ilmu ginkangnya.

Bahkan tidak lama kemudian Ceng Liong juga memadukan Soan hong Sin Ciang dengan hawa pedang pasangannya, Toa Hong Kiam Sut yang memenuhi tangannya. Jika dalam pertempuran sebelumnya Ceng Liong terdesak ketika mengadu ilmu dengan menggunakan ilmunya ini, kali ini dia sanggup bertahan dan meladeni kecepatan tongkat lawan dan bahkan berkali-kali mendesak lawan yang keripuhan oleh serangan-serangan tajam yang kini berani menerima dan beradu dengan totokannya Pek Tok Ci.

Bahkan, kakek itu menjadi heran, karena anak muda itu, Ceng Liong, kini mampu mendesaknya dengan menggunakan ilmu tersebut. Bukan hanya berani menerima tongkat dan totokannya, bahkan terus menerus menyerang tak hentinya dan membuat permainan tongkatnya sedikit goyah dan memberi kesempatan Ceng Liong untuk melakukan desakan yang lebih berbahaya.

Tidak mau jatuh di bawah angin, Koai Tung Sin Kay mengganti ilmunya dan kini memainkan Koai tung cim-jip-liong-hiat (Tongkat aneh Serbu Masuk Guha Naga). Ilmu yang disempurnakan dan ditekuni akhir-akhir ini, kembali diumbar dan dianggapnya cocok menghadapi serangan Ceng Liong yang membahana dan datangnya sangat cepat.

Ilmu tongkatnya mengibaratkannya sebagai seorang sakti yang berani menerobos Goa Naga yang berbahaya, dan tongkatnya memang dengan cepat mampu membendung serangan-serangan cepat dan membadai dari Ceng Liong. Tetapi, seiring dengan itu, perlahan, hawa panas membakar yang dihasilkan oleh pengerahan tenaga dalam Ceng Liong mulai ikut berperan. Dan karena itu, mau tidak mau Koai Tung Sin Kay harus meningkatkan penggunaan tenaga dalamnya, dan perlahan dia sadar, bahwa entah bagaimana, Ceng Liong yang dihadapinya pagi tadi, berbeda dengan yang bertarung dengannya kali ini.

Entah, mungkin orang yang sama, mungkin juga berbeda. Yang pasti, Ceng Liong kali ini seperti mengalami peningkatan hebat dalam bersilat, dan yang sanggup membuatnya kelabakan, padahal pagi tadi, dia masih sanggup mendesak anak muda ini. Tapi sekarang, beberapa kali dia bahkan yang didesak dan terdesak oleh anak muda yang hebat ini.

Karena itu, dengan terpaksa, diapun mulai menguras ilmu-ilmu hebat yang disempurnakan dan diciptakannya selama beberapa tahun terakhir sebagai bekal untuk melakukan pembalasan. Tapi ilmu tersebut nampaknya sudah harus digunakan saat ini.

Serang menyerang dengan menggunakan ilmu andalan baik Ceng Liong dan Koai Tung Sin Kay semaki tajam, semakin cepat dan semakin menggiriskan. Bahkan mereka yang meragukan Ceng Liong awalnya, mulai terbuka matanya menyaksikan bagaimana anak muda itu menandingi dan bahkan beberapa kali mendesak si Maha Iblis Koai Tung Sin Kay.

Diam-diam mereka menjadi malu sendiri, dan mulai tumbuh rasa percaya mereka dan kekaguman mereka. “Pantas anak itu sejak awal selalu tenang dan percaya diri, rupanya memang membekal ilmu yang tidak lumrah di usianya” gumam orang-orang yang tadinya sirik. Sementara Ceng Liong terus berusaha mendesak lawan, tetapi sebagaimana pelajaran yang diterimanya, dia berusaha untuk menghapus dan meniadakan “dendam”, “sakit hati” atau “emosi” lainnya dalam mencecar lawan.

Sedapat mungkin, dia menempatkan lawan dalam posisi “orang yang perlu diperbaiki” atau “orang yang perlu dibantu” untuk mengetahui dan mengenal makna kehidupan. Karena kesadaran itu, maka Ceng Liong seperti dalam motivasi membantu Koai Tung Sin Kay untuk menemukan makna kehidupannya, dan bukannya menyerang untuk memusnahkannya. Dan dengan kesadaran itu, maka Ceng Liong justru sanggup menemukan intisari ilmu-ilmunya dan menemukan penggunaannya secara tepat dan efisien.

Apakah Ceng Liong akan memukul roboh Koai Tung Sin Kay jika kesempatan itu datang? Hal juga yang dipikirkan Ceng Liong dalam mengatasi kebuntuan pemahamannya atas pesan gaib itu. Tidak, pukulan itu bukan dengan maksud membunuh, melukai atau merusak. Tetapi untuk menghidupkan, untuk menunjukkan adanya jalan lain, jalan kehidupan, bukan jalan yang merusak ciptaan sang “pengasih”.

Biarkan hati yang menuntun jenis pukulan dan kekuatannya, karena hati yang “mengerti” akan mengetahui jenis pukulan seberat apa yang tepat bagi orang yang tepat. Dan disinilah kebingungan dan kebuntuan Ceng Liong dan juga tek Hoat dalam memaknai dan memahamkan pesan rahasia itu.

Padahal, memukul tanpa maksud membunuh, menyerang tanpa maksud merusak, tetapi mebentuk, membangun dan memperbaiki bahkan menghidupkan, sama dengan membiarkan hati menentukan jenis pukulan atau kekuatan pukulan yang bagaimana yang memampukan orang untuk mengenali bahwa pukulan itu atau jeweran itu adalah untuk kebaikan.

Bukan tidak mungkin pukulan itu akan merupakan pukulan mematikan, tetapi tidak semua orang jahat layak dihukum dengan hukuman mati, terlebih bila mereka menyediakan dan menyisakan nurani dan pikiran menyesal untuk berbalik.
 
3





Orang-orang dan penonton pastilah tidak peduli dengan apa yang dipahami dan dipikirkan Ceng Liong. Yang jelas, mereka membutuhkan kemenangan dan jika perlu kemampuan Ceng Liong untuk menundukkan dan meniadakan iblis yang mengerikan itu. Itu pandangan umum yang berlaku di kalangan kelompok pendekar.

Bahwa seseorang akan dihargai sebagai pahlawan bila sanggup membatasi, membunuh dan menumpas penjahat yang hebat. Tapi, tidaklah semua pandangan umum adalah kebenaran universal. Siapa yang mengetahui bahwa seorang penjahat juga memiliki keluarga, keturunan dan bukan tidak mungkin sisi baik.

Jika memungkinkan sisi baik itu ditonjolkan, mengapa pula harus membinasakan? Bukankah semua manusia memiliki kandungan sisi baik dan buruk? Dan bukankah pendekar dan penjahat hanya soal takaran berbeda sisi baik dan sisi buruk dalam hidupnya? Jadi, adalah hak siapa sebenarnya untuk menentukan bahwa benar si penjahat harus dibunuh dan si pendekar harus umur panjang.

Sementara itu, pertarungan meningkat semakin seru lagi. Ketika Koai Tung Sin Kay memutuskan untuk menggunakan Ilmu Tongkat yang diciptakannya belakangan, Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai). Tongkatnya bergerak-gerak dan penyaluran hawa tenaga dalamnya yang membuat keluar hawa bagaikan kilat dan badai yang menyerbu Ceng Liong.

Tetapi, pada saat bersamaan, panas yang keluar dari tubuh Ceng Liong juga semakin menyengat bersamaan dengan penyaluran hawa pedang ditangannya. Bahkan gerakan-gerakan keduanya yang menggunakan pukulan Kilat dan Badai seakan akan saling beradu ”keributan” dan membuat para penonton menjadi terkejut menemukan kenyataan betapa menakutkannya kedua orang tersebut dalam puncak penggunaan kedua ilmu masing-masing.

Tetapi, harus diakui, perbawa tongkat memang lebih menentukan, karena lebih panjang, sehingga dalam jangkauan yang sama, pengguna tongkat akan lebih diuntungkan. Karena itu, Ceng Liong menjadi kehilangan kesempatannya dalam menggunakan atau penggunaan Soan Hong Sin Ciang, dan sering jadi pihak terserang.

Lama kelamaan Ceng Liong menyadarinya, meskipun hawa pedang ditangannya masih sanggup membuat tongkat terpeleset, tetapi kesempatannya dalam menyerang jadi menyusut. Karena itu Ceng Liong kemudian merubah ilmunya, dan kini menggunakan ilmu warisan Kiong Siang Han, Pek Lek Sin Jiu yang malah disempurnakannya dan memiliki kehebatan yang berbeda dengan Kiong Siang Han ataupun Tek Hoat jika memainkannya.

Terutama pada jurus terakhir, yang bahkan Kiong Siang Han sendiri dilarang pencipta ilmu itu untuk melatihnya. Baru pada generasi Tek Hoat dan Ceng Liong jurus kedelapan diijinkan untuk dilatih dan dipergunakan. Dan keduanya, meski saling mengetahui kehebatan masing-masing, juga mencapai hasil yang berbeda dalam hal peyakinan mereka terhadap ilmu mujijat tersebut.

Hawa panas yang menyengat menjadi semakin bertambah ketika kemudian Ceng Liong memainkan Pek Lek Sin Jiu. Karena hawa yang dilatihkan dan malah diperkuat Kiong Siang Han semakin kuat dalam tubuhnya, dan sekarang mendorong dan memperkuat hawa panas yang mengalir dari tubuhnya.

Karena itu, ketika Ceng Liong memainkan jurus pertama ”Halilintar Membelah Angkasa”, sebuah ledakan yang sama memekakkannya dengan ketika Tek Hoat memainkannya membuat orang-orang tersentak. Tetapi Koai Tung Sin Kay yang sudah menduganya, sudah mempersiapkan diri dan mampu menangkal ledakan memekakkan itu, meski jurus serangannya melenceng ketika dentuman-dentuman keras itu memapas dan menangkis jurus serangannya.

Dan Ceng Liong tidak menunggu diserang, sebaliknya malah mengambil inisiatif menyerang dengan membuka jurus kedua “Halilintar Menerjang Angin” dan mengejar Koai Tung Sin Kay yang juga sudah menyerang dengan jurus ketujuh “Tongkat Sakti Menjinakkan Badai”. Kembali benturan hebat terjadi dan akibatnya keduanya terdorong mundur, tetapi dengan cepat kembali bersiap ditengah hawa panas membara yang melingkupi arena pertarungan tersebut.

Kiang Ceng Long yang kembali sanggup mendesak Koai Tung Sin Kay sudah membuka serangan dengan jurus “Halilintar Menghujam Bumi”, dan otomatis meningkatkan hawa panas dalam penggunaan ilmu tersebut. Tetapi, Koai Tung Sin Kay kembali membuktikan bahwa namanya bukanlah pepesan kosong.

Meskipun ikut tersiksa dan terpaksa meningkatkan kekuatan sinkangnya dalam mengatasi rasa panas, dia tetap sanggup bertahan dan meningkatkan kemampuannya dan mempersiapkan jurus-jurus pamungkas dalam ilmunya Tongkat Kilat dan Badai. Ilmu itupun membuktikan kehebatannya dengan sanggup menahan kemampuan dan kehebatan Pek Lek Sin Jiu bahkan sampai jurus kelima “Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari”, dengan tetap bertarung ketat.

Hentakan dan dentuman Pek lek Sin jiu kembali mewarnai pertarungan malam hari yang seharusnya hening di huhan itu. Dan kedua orang yang bertempur masih saling tukar pukulan dan saling berkelit karena pukulan masing-masing, kini penuh terisi hawa sinkang yang sangat mematikan. Baik pukulan pek lek Sin jiu Ceng Liong, maupun Tongkat kilat dan Badai Koai Tung Sin Kay.

Hanya, Koai Tung Sin Kay sangat paham, bahwa inti ilmu Pek lek Sin jiu ada di jurus ketujuh, dan dia menyiapkan diri untuk menyambut jurus tersebut dengan jurus pamungkas yang juga diciptakannya. Yakni jurus kesepuluh, jurus terakhir dari Tongkat kilat Badai, yakni “Tongkat Sakti Mendorong Badai Menggugurkan Gunung”.

Jurus ini sangatlah ampuh, dan radius 10-15 meter masih sanggup mempengaruhi orang yang memiliki kepandaian tanggung. Dan justru jurus itu dipersiapkan untuk menghentak dan menandingi jurus ketujuh Pek lek Sin Jiu “Sejuta Halilitar Merontokkan Mega”. Baru menyiapkannya, suara bagaikan guguran gunung sudah mengaung-ngaung ketika tongkat sakti Koai Tung Sin Kay dibolang-balingkan dan menghasilkan deru angin.

Keadaan itu juga mempengaruhi para penonton yang dengan terpaksa kembali meluaskan arena pertarungan karena hembusan dan deru angina bukan cuma menyerang telinga, tetapi juga menyakiti kulit mereka. Bahkan tokoh-tokoh utamapun pada mengundurkan langkah mereka, karena paham bahwa jarak tertentu cukup berbahaya bagi mereka.

Pengenalan mereka atas jurus ketujuh Pek lek Sin jiu yang nampak disiapkan Ceng Liong tambah membuat mereka waspada. Jurus ketujuh bila dikombinasikan dengan badai dari tongkat koai tung Sin Kay pasti akan sangat merusak. Itulah sebabnya bahkan para penonton sudah menyiapkan diri lebih dahulu dengan mencipatakan dan menjaga jarak aman dari efek pukulan dan jurus sakti yang sednag disiapkan oleh kedua orang yang sedang bertempur.

Pengerahan tenaga Ceng Liong memang semakin memperluas sengatan hawa panas dari tubuhnya, tetapi berbeda dengan Koai Tung Sin Kay, Ceng Liong tidak meledakkan halilintar dari tangannya. Sebaliknya, hawa panas dan kesiuran hawa panas tersebut, nyaris tidak mengeluarkan suara yang berarti, namun telinga dan mata batin Koai Tung Sin Kay tergetar.

Dan Koai Tung Sin Kay paham apa artinya. Karena itu, diapun membentengi dirinya dengan kekuatan batin dan dengan mengeluarkan suara gerangan bagai Naga Sakti, dia kemudian mendahului Ceng Liong melayangkan serangan dengan jurus pamungkasnya itu. Saat yang sama, nampak Ceng Liong menjulurkan kedua tangannya yang berkilat dan diselimuti oleh cahaya menyilaukan mata.

Tidak takut dia menghadapi kilatan cahaya yang juga keluar dari tongkat sakti Koai Tung Sin Kay. Dan akibatnya sungguh luar biasa, ledakan petir dan halilintar dari tangan Ceng Liong memang tidak memekakkan telinga, tetapi menyerang telinga dan mata batin Koai tung Sin kay, bahkan menyentakkan banyak orang yang berada disekitar pertempuran tersebut.

Dan akibatnya, banyak orang yang berdiri termangu-mangu oleh efek mengerikan yang dikeluarkan oleh kedua orang yang sedang bertempur. Sementara itu, Koai tung Sin kay yang sempat gembira karena nyaris tidak merasakan kerugian berarti, kecuali sengatan panas dan gangguan pada telinga dan mata batinnya, namun bisa cepat diatasinya, menjadi tercekat ketika melihat Ceng Liong menyiapkan jurus kedelapan.

Bukankah tidak ada jurus kedelapan? Mengapa pula Ceng Liong nampak masih dalam posisi menyiapkan jurus selanjutnya? Padahal jurus pamungkas yang dikeluarkannya tadi diciptakan untuk menandingi ilmu semacam Pek Lek Sin jiu yang sangat merusak itu. Tapi, tentu tidak ada waktu memadai bagi Koai Tung Sin Kay untuk memahami benar tidaknya ada jurus kedelapan.

Yang jelas, jurus itu sedang disiapkan untuk menyerangnya, dan bisa dipastikan jurus ituakan lebih mematikan dan lebih berbahaya dibandingkan jurus ketujuh. Apa boleh buat, jurus pamungkasnya yang terakhirpun disiapkan “Mo-jin-hoan-eng Hoatsut (Sihir Iblis menukar bayangan)”.

Ilmu mematikan yang dilandasi Ilmu Sihir ini, juga merupakan salah satu ciptaan Koai Tung Sin Kay untuk mengalahkan musuh-musuh utamanya, 4 Dewa Persilatan Tionggoan. Tidak disangka, hari ini harus dipertunjukkan ke khalayak karena desakan yang sangat mengganggu dan sangat berbahaya dari Ceng Liong.

Dengan terpaksa, Koai Tung Sin Kay memusatkan perhatiannya dan pada saat dia sanggup memusatkan perhatian dan pikirannya dalam jurus pamungkas berlandaskan sihir itu, bagi orang banyak dan juga sesaat bagi Ceng Liong, Koai Tung Sin Kay bagaikan berubah menjadi pengemis raksasa. Tetapi, hanya sesaat bagi Ceng Liong untuk tahu apa yang terjadi, dan pada saat peralihan tersebut, Koai Tung Sin Kay telah mendahului untuk menyerang.

Dan disitulah letak keuntungan Koai Tung Sin Kay, sebab meskipun hanya sedetik, tetapi penyaluran kekuatan sinkang Ceng Liong mengalami penurunan, tetapi masih tetap sangat berbahaya. Dan karena konsentrasi buyar sejenak itulah, maka keampuhan Pek lek Sin jiu di jurus ke delapan justru berkurang dan membuat Koai tung Sin Kay mampu menjajarinya.

Tetapi meskipun berkurang, efeknya tetap lebih dahsyat daripada jurus ketujuh, dan Koai tung Sin Kay sampai merinding memikirkan bila anak muda ini berlatih 2-3 tahun lagi dengan kekuatan seperti sekarang. Benturan yang terjadi memang tidak mengeluarkan suara memekakkan, tetapi menampar dan memukul langsung pendengaran batin orang-orang.

Bahkan tokoh sekelas Sian Eng Cu dan pengemis Tawa Gilapun masih sempat goyah oleh terjangan bunyi yang dihasilkan pertarungan itu. Dan akibatnya, Koai Tung Sin Kay terdorong hanya 1 langkah kebelakang, sementara Ceng Liong sendiri bergoyang-goyang dan sempat doyong ke belakang.

Dan kini, dalam puncak pengerahan kekuatan masing-masing, Koai Tung Sin Kay menatap tajam Ceng Liong. Dia masih belum tahu, apakah anak muda itu masih akan menyerangnya, sementara dia sendiri sudah bersiap dalam jurus kedua dari Ilmu pamungkasnya. Hanya, dia merasa heran, karena nampaknya Ceng Liong sama sekali tidak tersentak dan tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya.

Bahkan sesaat nampak Ceng Liong bergerak singkat dan untuk pertama kalinya dia mempesiapkan penggunaan jurus Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari). Dengan cepat dikedua tangannya mengepul asap putih, dan dengan asap putih yang pekat tersebut, kekuatan sihir lawan dengan mudah dipecahkannya.

Dia tidak melihat Koai Tung dalam profil raksasa dan dengan wibawa besar, tetapi melihatnya sebagaimana biasanya. Hal ini membuat Koai Tung tercekat, bagaimana tidak? Benarkah anak muda ini kebal sihir? Atau sudah demikian matangkah anak ini hingga sihirpun tidak sanggup menguasainya atau mempengaruhinya? Bahkan jurus yang disiapkanpun nampaknya tidak kurang berbahaya dibandingkan dengan pek lek Sin jiu.

Dan, kembali keduanya bergebrak, tidak dengan kecepatan tinggi, tetapi mata penonton tidak lagi sanggup menangkap jalannya pertarungan. Mereka nampak bergerak lambat, tetapi juga terasa cepat, karena mata fisik mereka memang terpengaruh oleh kekuatan sihir yang saling mempengaruhi dalam penggunaan kedua ilmu mujijat tersebut.

Dan dalam benturan yang terjadi kemudian, Koai tung Sin Kay sadar, bahwa kekuatannya sudah berkurang banyak, sementara Ceng Liong justru semakin menyebarkan hawa panas yang sangat menyengat. Dan perlahan mulai menembus batas kekebalan ilmu dan tenaga dalam Koai tung Sin Kay. Dan dalam kondisi ini, Ceng Liong tiba-tiba teringat sebuah ilmu pamungkas yang belum pernah digunakannya.

Kali ini, dia berkeinginan menjajalnya untuk menghentikan pertarungan mereka, sebab bila dilanjutkan, bisa dipastikan Koai Tung akan menderita besar karena semakin terkuras dan mulai tertembus hawa panas Ceng Liong. Berpikir soal itu, maka Ceng Liong tiba-tiba kembali memusatkan perhatiannya dengan tidak mengendurkan persiapan melontarkan jurus kedua dari Ilmu pamungkasnya.

Karena betapapun dia mengerti, bahwa orang seperti Koai Tung Sin Kay pasti menjaga gengsi dan nama baiknya, dan Ceng Liong tidak ingin menghancurkan nama orang dan tidak mau mempermalukan orang tua itu didepan banyak orang. Kendatipun keduanya berhadap hadapan sebagai lawan saat itu.

Dan ketika Ceng Liong menyaksikan betapa Koai tung Sin Kay bersiap melontarkan serangan perlawanan, tiba-tiba dia mengerahkan ilmu mujijat lainnya ”Tatapan Naga Sakti”, sebuah totokan melalui tatapan mata. Dan celaka bagi lawan, karena tidak terantisipasi oleh Koai Tung Sin Kay. Tiba-tiba saja, lengan Kakek Tua sakti itu terasa kesemutan, dan belum sadar apa yang terjadi, Ceng Liong sudah menyerangnya dengan jurus saktinya.

Koai Tung Sin Kay tersentak, dia tidak sanggup mengangkat tangan kanan yang harusnya menjadi alat penyalur kekuatan penangkis. Akhirnya dengan terpaksa dia bergerak mundur dengan mengajukan tangan kiri dengan kekuatan seadanya. Tapi, aneh, serangan Ceng Liong ternyata berkurang banyak tenaganya, dan ketika berbenturan dia tidak mengalami luka yang berarti, bahkan hanya terdorong satu langkah ke belakang.

Dia menatap anak muda itu dengan mata yang aneh, padahal dia sudah pasrah untuk terluka parah dan malah bersedia mati ketika Ceng Liong melontarkan pukulan. Tapi, pukulan penuh tenaga sakti itu, tiba-tiba berubah melunak ketika berbenturan dengan tangannya, dan bahkan ikut terhuyung ke belakang meski hanya satu langkah.

Keduanya kemudian saling tatap, sekian lama sampai kemudian Ceng Liong berkata:

”Locianpwe, terima kasih sudah mengalah kepadaku yang muda meskipun hanya dengan setengah jurus”

Sementara itu, Koai Tung Sin Kay yang masih heran mengapa tangannya tiba-tiba terserang totokan dan sampai sekarang masih susah bergerak seperti tersadar dari mimpi buruk. Jika menghendaki, dia sebenarnya sudah lumat dalam pertempuran tadi oleh sebuah jurus pamungkas Ceng Liong.

Tapi anak muda itu, justru mengampuninya, bahkan masih melindungi muka dan gengsinya dari malu yang lebih besar dengan hanya mengatakan dia kalah setengah jurus. Padahal, sebetulnya dia kalah mutlak, karena bila menghendaki anak muda itu malah sanggup menjatuhkannya, menjatuhkan dirinya dan juga nama besarnya.

Tapi, justru tidak dilakukan anak muda itu. Hanya kepenasarannya membuatnya bertanya, meski tanpa nada kemarahan selain nada kepenasaran:

”Anak muda, dengan jurus apa engkau menyerangku”?

”Locianpwe, hanya kebetulan saja. Biarlah suatu saat tecu akan menjelaskan kepada engkau orang tua”

”Baik, kuingat janjimu memberitahuku suatu saat”

Dan setelah menghela nafas sesaat, orangtua sakti itu kemudian berpaling kearah Hu Pangcu Pertama sambil berkata:

”Lohu tidak sanggup menangkan anak muda itu. Bahkan dia sanggup mengalahkanku”

Hanya kalimat singkat itu yang dikeluarkan Koai Tung Sin Kay yang kemudian ngeloyor mundur ketempat Kim-i-Mo Ong dan Bouw Lek Couwsu yang juga masih bingung dengan cara dan proses kekalahan yang diderita Koai tung Sin Kay. Tetapi, melihat wajah yang kusam dan penuh penasaran dari Koai Tung Sin Kay, tiada seorangpun dari keduanya yang punya keberanian untuk menyapa dan bertanya apa yang terjadi dengan kakek sakti itu.

Sementara itu, mendengar bahwa Kiang Ceng Liong memenangkan pertempuran meskipun caranya mereka tidak sanggup ikuti, tetap menghadirkan kegembiraan diantara kelompok pendekar. Terdengar sorakan-sorakan gembira diantara mereka dan sebagian besar pendekar mulai semakin meyakini keampuhan lembah pualam hijau yang tokohnya sanggup mengalahkan Koai Tung Sin Kay yang merupakan Hu Hoat paling tangguh dari Thian Liong Pang.

Mereka yang awalnya sirik dan memandangnya remeh, menjadi sangat malu dan mulai mengakui bahwa anak muda itu memang memiliki isi yang sangat lebih dari cukup untuk dibanggakan. Tetapi, tokoh-tokoh sekelas Sian Eng Cu, Pengemis Tawa Gila, Ciangbunjin Bu Tong Pay, Kun Lun Pay dan tokoh utama lainnya, juga sungguh tak menyangka bila Ceng Liong sudah demikian saktinya.

Sian Eng Cu hanya meramalkan pertarungan seimbang antara Ceng Liong dengan Koai Tung Si Kay yang dilihatnya masih seusap diatas Kim-I-Mo Ong dan Bouw Lek Couwsu. Tapi luar biasa, anak muda itu bahkan dilihatnya sanggup mengalahkan telak Koai tung Sin Kay, tetapi berbelas kasihan pada jurus terakhir. Dia sudah mengenal Ceng Liong yang pernah mengampuni dan melepaskan Bouw Lim Couwsu, dan sadar bahwa sekali ini, Ceng Liong melakukannya lagi.

Dan ini semakin melahirkan rasa suka dan bangga serta hormatnya kepada anak muda itu. Cuma saja, dia sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya anak muda itu mengalahkan Koai tung Sin Kay. Tapi, dia memuji pengamatan gurunya yang tidak salah menilai anak muda itu.

Di tempat lain, setelah menenangkan diri dengan mengerahkan Sinkang Giok Ceng Sinkang yang memang memiliki kegunaan salah satunya mengobati sendiri luka dalam dan menyegarkan semangat, Ceng Liong nampak menghadapi Hu Pangcu. Dan beberapa saat kemudian, dia direndengi oleh Kaypang Hu Pangcu dan Sian Eng Cu. Setelah saling tatap sejenak, terdengar Ceng Liong berkata:

”Hu pangcu, sudah cukup jelas hasil akhir dari pertandingan kita. Apakah perjanjian kita tetap dipertahankan dan dipegang”?

”Sudah tentu, Thian Liong Pang akan memegang janji. Malam ini, kita tidak akan bergebrak, dan besok kami akan persilahkan rombongan kalian untuk keluar dari hutan ini. Tetapi setelah itu, kami tidak menjanjikan apa-apa, sebagaimana perjanjian, pertandingan ini hanya untuk membiarkan rombongan kalian keluar dari hutan. Selewatnya, kami tidak menjamin tidak akan menyerang”

”Hm, baik. Terima kasih, karena kalian masih berkemampuan memegang janji Hu Pangcu, mudah2an benar kalian taat sampai besok dengan janji itu”

”Sebab jika tidak, belum tentu siapa memburu siapa malam ini” Hu Kawcu Kay Pang Pengemis Tawa Gila mendengus.

”Hm, tidak usah memperkarakan masalah itu. Yang jelas Thian Liong Pang memegang janji untuk tidak menyerang malam ini hingga esok di batas keluar dari hutan ini. Seterusnya kami tidak dapat menjanjikan apa-apa, karena memang kami kalah dalam pertandingan tadi”

”Bagus Hu pangcu, kami sudah tahu jika engkau memang tidak menggerakkan apa-apa untuk mengganggu rombongan kami sejauh ini. Masalah besok, kita lihat dan hitung besok saja. Hanya, rombongan pendekar ini, juga memiliki keberanian bukan hanya untuk melintasi hutan ini, tetapi juga untuk balik mengejar Thian Liong Pang pada saatnya” Sian Eng Cu ikut bicara.

”Hm, kita lihat besok saja Tong Tayhiap” dengus Hu Pangcu pertama.

”Satu hal lagi Hu Pangcu” Ceng Liong menukas

”Apa lagi yang ingin kau katakan Kiang Ceng Liong”?

”Perjanjian menyebutkan kami bebas berjalan sampai keluar dari hutan ini, dan setelah itu kita tidak terikat perjanjian apa lagi. Benarkah demikian”?

”Benar, tepat sekali”

”Jika demikian, bolehkah tidak ada yang bergerak dari tempat ini sampai pada esok pagi dan kemudian kita sama bergerak”?

”Apakah permintaan itu tidaklah berlebihan”?

”Rasanya tidak” Ceng Liong menukas

”Baiklah, kami menghormati kemenangan kalian. Kita bergerak bersama besok pagi-pagi benar dari tempat ini. Selamat malam semua” dan setelah itu Hu Pangcu Pertama ngeloyor pergi dan kembali bergabung dengan rombongan Thian Liong Pang.

Sementara itu, dengan dipimpin Hu Pangcu Kaypang dan Sian Eng Cu dan juga Ceng Liong yang kini akhirnya bisa diterima semua pihak dan memandangnya penuh kekaguman, dilangsungkan pertemuan. Sekian lama pertemuan tersebut memperbincangkan banyak hal serta strategi buat besok pagi, dan setelah itu akhirnya semua beristirahat.

Tetapi, ke-6 pendekar muda, yang menjadi tulang punggung para pendekar masih melanjutkan pertemuan. Terutama mendengar apa yang dilakukan Tek Hoat dan Kwi Song yang menjejaki apa yang dikerjakan Thian Liong Pang pada akhir-akhir pertempuran adu tanding tadi. Dan ternyata Thian Liong Pang menepati janjinya, tidak menyerang selama pertandingan berlangsung
 
BAB 6 Diburu, Memburu
1 Diburu, Memburu




Rombongan para pendekar yang kini semakin susut, dari mendekati sekitar lebih 150 an orang kini jumlahnya susut lebih 100an orang saja. Yang sehat paling banyak berjumlah 100 orang, selebihnya terluka dalam pertempuran sehari sebelumnya.

Tetapi setelah beristirahat sepanjang malam, rombongan tersebut bergerak kembali, dan nampak lebih bugar. Tetapi, ketegangan masih tetap melingkupi, karena di belakang, semua sudah tahu bahwa kekuatan besar yang lebih 5 kali kekuatan mereka sedang mengejar. Tetapi, bila sehari sebelumnya mereka khawatir, hari ini nampak mereka lebih optimist. Terutama ketika melangkah keluar dari hutan lebat tersebut dan keluar ke lembah, semakin mendekati titik aman kedua.

Dan, anehnya, ketika berjalan bergegas selama lebih kurang lebih setengah jam dengan dikejar gerombolan Thian Liong Pang, rombongan para pendekar kini bahkan menunggu lawannya. Tempat dimana mereka menunggu tepat di mulut keluar lembah karena areanya cukup luas, dan di samping kiri berjarak 200 meteran dari tempat berdiri para pendekar berdiri terdapat sebuah hutan.

Tapi hutan tersebut tidak cukup lebat. Di belakang para pendekar adalah jalan terusan menuju ke sebuah kota yang sudah lumayan ramai, karena menjadi daerah perhubungan beberapa kota dan desa di seputaran Gunung Siong San, masih berjarak kurang lebih 1 jam berjalan kaki.

Dan, tidak menunggu berapa lama, rombongan pengejar tiba. Dan Hu Pangcu Pertama bersama dan diapit kedua Hu Pangcu lainnya sudah tiba lebih dahulu, langsung berhadapan dengan Hu Pangcu Kaypang dan Sian Eng Cu. Adalah Hu Pangcu Kay Pang yang menyambutnya dengan tawa khasnya:

“Hahahahaha, Samwi Hu Pangcu Thian Liong Pang, rupanya kalian sudah tidak sabar mendapat gebukan kami”

“Benar, kami tidak sabar untuk membasmi kalian” Hu Pangcu Ketiga yang lebih berangasan, Tibet Sin mo Ong, yang duluan mendengus.

“Agar Samwi ketahui, hari ini adalah keputusan Para pendekar Tionggoan untuk mulai bergerak membasmi Thian Liong Pang sampai ke akar-akarnya” Pengemis Tawa Gila kembali berkata.

Dan kali ini, Hu Pangcu Pertama berdetak hatinya. Sejak awal, dia sudah curiga, untuk apa kawanan Pendekar Tionggoan ini menunggu mereka di lembah ini, kendati mereka tahu sedang dikejar. Apa pula andalan dan keyakinan mereka? Hal ini membuatnya berhati-hati.

Hu Pangcu ini memamng memiliki kecerdikan lebih. Dan fakta bahwa lawan yang dikejar menunggu mereka, membuatnya curiga dan mulai memperhitungkan hal lain yang mungkin tidak diduganya.

“Hm, jangan membual Pengemis Tawa Gila, memangnya apa yang kalian andalkan melawan Thian Liong Pang”? Apa engkau tidak menyaksikan jumlah dan kekuatan kami”? Hu Pangcu Pertama sambil memalingkan wajahnya kearah jumlah kawanan Thian Liong Pang yang sudah menghampiri.

Jumlahnya nampaknya lebih dari 500an, bahkan mungkin 600 an orang, jauh melampaui jumlah para pendekar yang hanya berkisar 100an orang lebih. Tetapi, Hu Pangcu Pertama menjadi makin heran, karena tidak terbersit ketegangan di wajah Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu memandang jumlah kawanan mereka yang 6 kali lebih besar. Bahkan terdengar Sian Eng Cu berkata:

“Hu Pangcu, sekali lagi kami tegaskan. Hari ini adalah titik kebangkitan Pendekar Tionggoan untuk membasmi Thian Liong Pang. Menghadapi jumlah berapa banyakpun bukan soal, karena itu bagian dari perjuangan. Hanya, ingin lohu sarankan dan ingatkan kepada Hu Pangcu, tidak ada dimanapun, kejahatan akan mengalahkan kebenaran. Maka, kami menyarankan agar Thian Liong Pang bertobat dan melepas ambisinya menguasai Rimba Persilatan Tionggoan”

“Hahahaha, Sian Eng Cu, khotbahmu makin mirip dengan orang-orang yang sudah siap untuk meninggalkan dunia ini. Terdengar manis, tapi di telinga kami menjadi lelucon” terdengar Tibet Sin Mo Ong

“Khotbah seperti itu memang layak ditujukan bukan ke anak buah kalian, tetapi ke pentolan Thian Liong Pang macam kalian. Tapi, lohu juga yakin, kalian tidak akan sanggup mengambil keputusan”

“Karena keputusannya hanya satu, membasmi penentang Thian Liong Pang” Hu Pangcu Pertama berkata singkat.

“Baik, kalian sudah boleh menyerang” Tukas Sian Eng Cu ringan dan kembali membuat Hu Pangcu Pertama Thian Liong Pang kaget dan makin heran, apa yang diandalkan kaum pendekar ini? Dan semakin heran, karena dia tidak menemukan 3 anak muda pendekar lainnya selain Kwi Song, Kwi Beng dan Giok Lian di rombongan pendekar.

Tapi, betapapun, pertarungan memang harus dilakukan, ketika tangan kanannya diangkat ke atas, jarak antara rombongan Thian Liong Pang yang tadinya berjarak sekitar 200 meteran, dengan cepat susut, semakin lama semakin susut sampai kemudian benturanpun terjadi.

Tepat menjelang benturan terjadi, terdengar siulan keras dari mulut Hu Pangcu Kay Pang, Pengemis Tawa Gila. Dan, Hu Pangcu Pertama yang sejak awal mulai merasa was-was, menjadi sedikit tersentak ketika terdengar sorak sorai di belakang dan juga samping barisannya, tepatnya dari arah hutan.

Tetapi, tiada satupun yang bisa dilakukannya lagi, karena benturan antara kedua barisan sudah terjadi. Dan, terlebih, lawannya sehari sebelumnya, Souw Kwi beng sudah memapaknya dan segera melibatnya dalam pertempuran seru di tengah-tengah medan pertempuran.

Hal yang sama juga dialami oleh kedua Hu Pangcu Thian Liong Pang yang diladeni lawan mereka malam sebelumnya dan melibas mereka dalam sebuah pertarungan seru diantara ratusan anak buah masing-masing pihak. Tetapi, di barisan terdepan kelompok para pendekar, adalah Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau yang sangat ampuh, serta juga 18 Arhad Siauw Lim Sie yang membentuk barisan ampuh Lo Han Tin Siauw Lim Sie.

Akibatnya banyak pasukan lawan yang terjebak dalam keampuhan kedua barisan tersebut, dan bahkan menjadi korban dalamnya. Sementara sisa-sisa lawan yang berhasil menembus, menjadi lawan dari para pendekar yang menjadi bersemangat melihat munculnya kawan-kawan mereka yang lain.

Kelompok pendekar yang menyerang dari belakang dan samping sebetulnya adalah hasil kerja keras Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila. Jauh hari mereka menyadari, bahwa bukan tidak mungkin perjalanan turun dari Siauw Lim Sie akan menjadi bencana. Tetapi, menyadari bahwa penghadangan lawan bisa dirubah menjadi keuntungan, membuat mereka menggunakan ketika yang tepat untuk meminta bantuan Kay Pang, Bu Tong Pay, Kun Lun Pay dan sejumlah besar perguruan lain untuk bekerja membasmi Thian Liong Pang.

Kecepatan mengirim informasi ala Kaypang cukup dimengerti dunia persilatan. Mimpipun, pihak Thian Liong Pang tidak menduga, bahwa lawan sudah juga menyiapkan diri, dan mereka tertipu alias memperlama waktu ketika perang tanding kemarin. Padahal, Ceng Liongpun baru diberitahu di pertengahan perang tanding dan karenanya tampil sangat percaya diri. Terutama karena sadar, bahwa saat untuk melawan Thian Liong Pang secara terbuka sudah tiba.

Pasukan penyerang terdiri dari hampir 250 pendekar, yang lebih setengahnya merupakan anak buah Kay Pang yang datang dengan dipimpin Pangcu Kaypang secara langsung. Bahkan bersamanya juga turut serta 8 orang lain dari Cap It Ho Han yang kemudian bergabung dengan 3 orang lainnya yang mengawal Tek Hoat dan kemudian secara bersama menyerbu dari barisan samping.

Kemudian juga Kun Lun Pay, Bu Tong Pay, Tiam Jong Pay, dan perguruan lain, serta tokoh silat lain yang mengerahkan tenaga sampai pasukan bantuan mencapai lebih 250 orang. Jumlah yang sangat berarti, karena semua menyadari sewaktu waktu perguruannya bisa diterjang dan diserang oleh Thian Liong Pang yang nampaknya berambisi kelewat besar.

Bila dihitung, sebenarnya lawan masih memiliki keunggulan jumlah. Tetapi, lebih setengah dari pasukan Thian Liong Pang adalah perampok dan tokoh silat rendahan. Sementara 7-8 bagian kelompok pendekar adalah orang-orang yang terlatih dalam Ilmu Silat secara lebih baik. Baik dari kalangan Pendekar yang turun dari Siong San maupun yang menyusul datang, semuanya adalah tokoh-tokoh pilihan di perguruannya.

Ditambah lagi, baik Cap it hohan, Barisan 6 Pedang, Siauw Lim Sie Lo Han tin, sanggup menahan terjangan musuh dalam jumlah besar. Sementara sebaliknya, tokoh-tokoh besar Thian Liong Pang mampu dihadapi da ditandingi oleh tokoh-tokoh dari kalangan pendekar. Ketiga Hu Pangcu kembali berhadapan seru dengan tiga anak muda sakti yang mereka hadapi pada hari sebelumnya.

Sementara Ketiga Hu Hoat Thian Liong Pang juga ditandingi oleh tiga anak muda lainnya dan tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencederai banyak orang. Karena itu, keunggulan Thian Liong Pang hanya terletak pada keunggulan jumlah, namun secara kualitas, mereka jelas kalah jauh, kalah unggul. Apalagi, karena Cap It Hohan dan Barisan 6 Pedang tidak segan-segan membunuh dan mengurangi jumlah lawan.

Datuk-datuk lainnya dari Thian Liong Pang seperti See Thian Coa Ong, Liok te Sam Kwi dan kawanan mereka lainnya ditandingi oleh tokoh-tokoh utama pendekar. Disana ada Sian Eng Cu, Pengemis Tawa Gila, Ciangbunjin Kun Lun Pay, Bu Tong Pay, Jin Sim Todjin, Wakil Ciangbunjin Thian San Pay, Tiam Jong Pay, dan masih banyak pendekar lainnya yang bertempur bersama.

Jumlah penyerbu Thian Liong Pang dengan cepat menyusut, sementara di kalangan pendekar korban yang jatuh kurang begitu banyak, kecuali karena keroyokan dan pembokongan. Tetapi pertarungan berdepan membuat banyak korban di pihak Thian Liong Pang, karena lawan-lawan mereka, kecuali Pendeta Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay, tidak pantang melakukan pembunuhan. Bahkan di pihak Barisan 6 Pedang yang menggiriskan dan Cap It Hohan, sudah puluhan musuh yang menjadi korban, sampai kemudian kedua barisan itu ditandingi oleh Barisan Warna Warni Thian Liong Pang.

Tetapi akibatnya, banyak anggota Thian Liong Pang yang berkepandaian tinggi yang tersedot memperkuat barisan tersebut. Kondisi ini celakanya, tidak dapat cepat dikenali Hu Pangcu Pertama, karena dia dilibat secara ketat oleh Kwi Beng yang memang khusus diminta membuat Hu Pangcu Pertama terlibat dalam pertarungan ketat dengannya.

Di arena yang lain, nampak pertarungan kembali berulang. Antara Tek Hoat melawan Kim I Mo Ong, antara Mei Lan melawan Bouw Lim Couwsu dan antara Ceng Liong melawan Koai Tung Sin Kay. Hanya, kali ini, Koai Tung Sin Kay anehnya tidak lagi menunjukkan wajah jumawa, tetapi nampak mereka seperti berlatih saja. Dan lebih aneh lagi ketika kemudian Ceng Liong mendengar lawannya berbicara kepadanya:

“Anak muda, aku tahu engkau bermaksud menyelamatkan mukaku kemaren. Padahal jelas engkau memenangkan pertempuran itu. Tapi, tolong engkau jelaskan, dengan Ilmu apa engkau menotokku. Setahuku, baik kakekmu, maupun Kakek buyutmu, tidak memiliki ilmu yang mampu menotokku tanpa aku mengetahuinya”

“Ach, maafkan locianpwe. Kelihatannya karena locianpwe tidak bersiap secara cukup saja maka siauwtee bisa memasukkan totokan itu”

“Engkau tidak usah merendah anak muda. Betapapun, caramu menjaga mukaku telah membuatku banyak berubah dalam menilaimu. Aku tahu, engkau memiliki ilmu lain yang luar biasa”
Ceng Liong termenung sejenak. Terjadi perang batin dalam hatinya untuk memutuskan apakah harus membuka rahasia itu atau tidak.

Terlebih, karena dia sendiri belum sanggup menguasai ilmu mujijat dan sangat aneh itu secara penuh. Kadang sanggup dikeluarkannya, tetapi lebih sering gagal. Tengah dia termenung terdengar kakek itu berkata lagi:

”Anak muda, aku tidak ingin memaksamu. Tapi, tolonglah orang tua sepertiku untuk memuaskan keingintahuan atas penyebab kekalahanku. Tiada lagi nafsuku untuk mengalahkanmu. Jika tidak sangat terpaksa, akupun tidak akan berada dalam barisan Thian Liong Pang” dan suara kakek itu terdengar memohon, membuat Ceng Liong semakin tidak enak hati.

”Tapi locianpwe, siauwtee pun sebenarnya belum mampu menguasainya secara sempurna. Hanya kebetulan” Ceng Liong meragu, tapi membuat Koai Tung semakin penasaran atas Ilmu tersebut yang bahkan belum terkuasai secara sempurna. Belum sempurnapun sudah sanggup mengalahkannya, apalagi bila dikuasai secara sempurna.

“Tidak apa anak muda, aku hanya ingin tahu dengan apa dan bagaimana engkau mengalahkanku”

“Locianpwe, tapi bersediakah engkau orang tua untuk tidak menyebarkan berita mengenai ilmu itu kesiapapun”?

”Aku berjanji anak muda, bahkan engkau akan beroleh keuntungan lain setelah memberitahuku soal itu” Koai Tung berjanji.

“Baiklah locianpwe, siauwtee sebenarnya menyerangmu dengan ilmu “Tatapan Naga Sakti”, ilmu dorongan tenaga dan tutukan melalui sinar mata. Sayangnya siauwtee belum mampu menguasainya secara sempurna”

“Anak muda, apakah engkau sedang tidak berdusta”? Koai Tung sampai terkesiap dan berhenti menyerang Ceng Liong. Ditatapnya Ceng Liong dengan wajah keheranan, takjub dan susah meyakini bahwa anak muda didepannya adalah mahluk biasa.

Betapa tidak, sudah 20 tahun terakhir dia mendapat firasat akan hadirnya ilmu luar biasa semacam ini. Karena terutama, sebagai tokoh besar, dia pernah mendengar jejak ilmu ini dari para pengikutnya dan murid utamanya yang menerima informasi dari banyak penjuru dunia. Ilmu itu menurut sepengetahuannya teramat sulit dan susah dikuasai siapapun.

Bahkan ilmu sejenis di Siauw Lim Sie, tidak pernah kedengaran ada yang mampu menguasainya. Bahkan tidak juga Kian Ti Hosiang. Bisa berguna bagi ilmu sihir, tetapi kehebatannya adalah mengeluarkan serangan dan tutukan yang tidak akan diduga siapapun, karena berasal dari sinar mata. Dan, dia sudah mengalami dan merasakannya dan bahkan mungkin korban pertama di Tionggoan.

“Anak muda, jadi benarkah bahwa ilmu itu memang ada”? tanyanya meragu

”Benar locianpwe, cuma aku belum sempurna melatih dan menguasainya” jawab Ceng Liong ragu.

”Dan, apa namanya tadi, Tatapan Naga Sakti. Hm, luar biasa. Tidak kecewa aku kalah ditanganmu” Koai Tung menggumam perlahan, tapi tiada nafsu kepenasaran dimatanya. Dan kemudian terdengar dia berkata lagi:

”Anak muda, terima kasih atas informasimu. Jangan takut, tidak akan ada siapapun yang mendengarnya dari mulutku. Tapi, kuminta engkau berhati-hati. Di balik organisasi ini, masih ada tokoh-tokoh yang lebih hebat lagi, setingkat gurumu, 4 Dewa Tionggoan. Mereka menaklukanku dan Kim-I Mo Ong untuk bekerja berterang, sementara mereka bergelap.

Betapapun aku masih terikat perjanjian sampai 2 tahun kedepan membantu mereka sampai aku lepas dari janji pertarungan. Semakin jelas bagiku, masa kini sudah menjadi milik kalian, bukan kami lagi. Terima kasih atas informasimu, dan berjaga-jagalah, badai ini masih akan panjang” setelah berbicara sambil berbisik seperti itu, Koai Tung Sin Kay kemudian berkelabat berlalu. Ceng Liong memandangi kepergian orang tua sakti itu dengan pikiran berkecamuk.

Luar biasa, mulanya dia berpikir untuk menghadapi orang-orang semisal Koai Tung Sin Kay inilah dia bersama 4 kawan lainnya disiapkan guru-guru mereka masing-masing. Ternyata, malahan, masih ada tokoh lebih gila lagi yang berdiri dibalik temaram Thian Liong Pang.

Mungkin adalah sutradara dan pemain utama yang membuat Tionggoan kisruh dalam badai berdarah. Dan, lawan mereka di Thian Liong Pang, malah nyaris sejajar dengan kemampuan gurunya. Bukankah ini berita yang sangat luar biasa?

Sementara itu di arena lain, baik Tek Hoat maupun Mei Lan, juga bertarung tetapi tidak seseru dan sengotot dalam pertempuran mereka sebelumnya. Pertempuran mereka kurang serius dan terkesan yang penting terlibat dalam pertempuran itu dan bukannya menganggur. Serangan-serangan mereka yang sudah saling kenal sebelumnya, cenderung nampak seperti latihan saja.

Kim I Mo Ong dan Bouw Lek Couwsu, betapapun mereka sangat penasaran dengan pertarungan sehari sebelumnya, tapi tidak punya semangat hari ini. Karena disamping mereka, ratusan orang juga ikut bertempur dan menghilangkan selera bertarung mereka lebih jauh. Karena itu, Mei Lan dan Tek Hoat, juga lebih banyak bertarung santai dan lebih tepat berlatih dengan orang setingkat. Ketika Ceng Liong memandangi arena pertarungan itu, diapun paham apa yang terjadi dan tidak mengkhawatirkan.

Dan ketika memandangi keseluruhan medan, hatinya tertusuk melihat ratusan orang rebah dengan jiwa melayang, puluhan lainnya terbaring merintih karena menderita luka. Sementara angkara pertempuran terus menerus terjadi. Teriakan, bentakan dan jeritan kesakitan terjadi susul menyusul dari semua sudut arena.

Sementara itu, Hu Pangcu Pertama yang dilibas oleh Kwi Beng lama kelamaan menjadi geram dan gusar. Betapa tidak, ketika sempat melihat arena, ternyata lebih banyak, jauh lebih banyak anak buahnya terbantai, dan jumlah mereka sudah susut banyak. Sungguh, dia kembali menghadapi kenyataan betapa misi kali ini mendekati kegagalan.

Terlebih, kedua Hu Pangcu lainnya juga terlibat perkelahian yang seru dan tidak mampu keluar dari pertarungan itu dengan santai. Dan yang membuat semangatnya nyaris runtuh, dia melihat anak buahnya tinggal setengahnya, atau mungkin bahkan kurang dari setengahnya. Kegarangan Barisan 6 Pedang dan Kay Pang Cap it ho han sungguh membuatnya murka.

Belum lagi Siauw Lim Sie Lo Han Tin yang meski tidak membunuh, tetapi mampu menghadapi semua serangan lawan. Barisan-barisan itu memang dihadapi Barisan Warna Warni, tetapi barisan itu menyedot banyak tenaga, dan akibatnya banyak anak buah mereka yang menjadi korban sia-sia. Dan, tiba-tiba Hu Pangcu Pertama menyadari, nampaknya misi mereka akan segera berubah: dari misi memburu lawan, kini misi mereka harusnya adalah menyelamatkan diri.

Tapi, sungguh banyak kehilangan dan kekalahan kali ini, dan belum tentu lawan akan membiarkan mereka mengundurkan diri dengan nyaman. Otaknya yang cerdik mulai memikirkan bagaimana menonggalkan arena tersebut. Sungguh mengesalkan.

Tiba-tiba Hu Pangcu Pertama bersuit, nampaknya sebuah isyarat bagi kawanan Thian Liong Pang. Dan, memang demikianlah adanya. Meskipun jumlah mereka sudah susut, tetapi jumlah mereka masih tetap banyak. Setidaknya masih mendekati 300an orang, sementara di pihak pendekar lebih sedikit jumlahnya, tapi kemampuan mereka jelas jauh lebih kuat.

Karena itu, sambil mengundurkan diri kearah hutan, pertempuran tetap terus terjadi. Bahkan terus terjadi dengan korban yang bertambah banyak dari saat kesaat di kedua belah pihak. Dan kemudian dengan berlindung dibalik kerumunan anak buahnya, ketiga Hu pangcu akhirnya meloloskan dirinya bersama beberapa pentolan Thian Liong Pang lainnya.

Mereka meninggalkan arena dan melarikan diri dengan jumlah yang kurang dari 150-an orang saja. Dan sebagaimana diduga oleh Hu Pangcu Pertama, kawanan pendekar pasti akan memburu mereka. Dan siang hari itu, benarlah terjadi demikian. Dari keadaan diburu lawan, kondisi para Pendekar berbalik memburu Thian Liong Pang. D

an nampaknya lonceng kematian bagi Thian Liong Pang sudah dibunyikan. Lebih 200an orang kaum pendekar dari puluhan perguruan bergabung untuk bertekat membasmi Thian Liong Pang dari ambisi mereka menguasai Rimba Persilatan Tionggoan.
 
2





“Liong Ko, tunggu sebentar”, suara seorang gadis menghentikan langkah Ceng Liong, dan membuatnya menunggu sang gadis yang dari suaranya sudah dikenalnya. Siangkoan Giok Lian. Dan tidak lama kemudian, sang gadis sudah berdiri berhadapan dengannya.

“Ada apa Lian Moi, setahuku engkau bergabung dengan Lan Moi, kemanakah dia”?

“Yang kau cemaskan nampaknya hanya dia seorang Liong Ko?” Giok Lian berkata dengan mata menggoda

“Ach, jangan berlebihan Lian Moi” Ceng Liong sedikit tersipu. Dia memang berbeda dengan Kwi Song dan Tek Hoat dalam berhadapan dengan anak gadis, cenderung pemalu dan pendiam. Lebih mirip dengan Kwi Beng, kakak kembar Kwi Song.

“Sudahlah Liong Ko, aku sekedar bercanda ….. hahaha, coba lihat, mukamu sampai memerah begitu. Aku tanggung, Lan Moimu juga pasti sedang merindukanmu” Giok Lian enak saja mempermainkan Ceng Liong karena dia sudah paham benar adanya “rasa” antara Ceng Liong dan Mei Lan. Pasangan yang cocok, pikirnya. Bahkan pasangan yang akan menjadi sahabat sejatinya pada masa depan. Tetapi, Giok Lian menjadi sedikit tersentak ketika melihat, meski hanya sekilas, lintasan kesedihan di mata Ceng Liong.

“Liong Ko, sudahlah, jangan dimasukkan dihati. Aku sudah pamitan dengan Lan Moi untuk segera menuju ke markas Bengkauw. Ada baiknya Ayah dan Bengkauw melibatkan diri dalam menumpas Thian Liong Pang. Sekaligus melaporkan kejadian-kejadian terakhir kepada ayah. Bagaimana pendapatmu Liong Ko”?

Sejenak Ceng Liong pulih kembali, dan dengan segera berkata:

“Baik sekali maksudmu Lian Moi. Aku mendukungmu sepenuhnya. Alangkah baiknya bagi dunia persilatan bila Bengkauw bahu membahu memberantas para perusuh itu”

“Lan Moi juga setuju Liong Ko. Dan karena itu aku memisahkan diri dengan Lan Moi untuk menuju ke Heng San. Tapi sekaligus, aku ingin menagih satu janjimu Liong Ko”?
Degh …. Sekejap wajah Ceng Liong menegang. Hanya sekejap, karena dia tahu belaka apa yang dimaksudkan oleh Giok Lian dengan janji itu.

“Jika bisa, malah bukan cuma 1, yaitu janjimu Liong Ko, tetapi, juga urusan lain” Giok Lian menegaskan sambil tersenyum melihat Ceng Liong yang “menegang” dan sebentar “kikuk”.

“Hm, baiklah Lian Moi. Apa yang ingin kamu ketahui sebetulnya, dan yang mana kedua hal yang ingin kamu ketahui dariku” tukas Ceng Liong setelah menenangkan diri dari debaran jantungnya yang berdetak lebih cepat.

“Liong Ko, engkau menjanjikan menceritakan sesuatu mengenai keadaan enci Giok Hong. Menjelang aku kembali ke Bengkauw, aku mencarimu untuk berita itu, sebelum kusampaikan kepada Ayahku”

Ceng Liong menarik nafas sejenak. Dan kemudian, sambil menatap Giok Lian dia berkata:
“Baiklah Lian Moi. Tapi sebaiknya kita mencari tempat yang agak baik untuk bercakap-cakap”

Keduanya kemudian berkelabat meninggalkan tempat itu, dan menemukan sebuah tempat lain di luar hutan tempat mereka bertemu. Di bawah sebuah pohon yang agak rindang, kemudian Ceng Liong berhenti dan mempersilahkan Giok Lian untuk duduk dan mempercakapkan hal yang dianggap “sangat serius” oleh Ceng Liong.

“Baiklah Lian Moi, kita boleh bercakap disini” Ujar Ceng Liong setelah mereka dalam posisi yang enak untuk berbicara.

“Tetapi, sebelum aku menceritakan apa yang kutahu mengenai kakakmu, bolehkah aku tahu hal kedua yang ingin engkau ketahui dariku”?

Giok Lian nampak menimbang nimbang sejenak. Nampak sedikit ragu, tapi akhirnya dia mengangguk:

“Baik, tidak mengapa Liong Ko. Tapi …….”, kembali Giok Lian sedikit meragu

“Tidak mengapa Lian Moi, katakanlah”

“Apa engkau tidak akan marah Liong Ko, karena masalah ini sebenarnya menyangkut masalah pribadimu”

“Sejauh masih dalam batas kewajaran, tidak ada yang perlu dijadikan alasan buat marah Lian Moi”

Nampak sesaat kembali Giok Lian tenggelam dalam kebimbangan, sampai kemudian dia menetapkan keputusannya dan berkata:

“Liong Ko, maafkan bila aku mencampuri urusan pribadimu. Tapi, terus terang, sebagai sahabat dekat Lan Moi, aku …. aku … aku harus menyatakannya kepadamu”

“Hm, apa maksudmu Lian Moi” Ceng Liong mau tidak mau menjadi tegang juga

“Aku harus mengatakan bahwa sebagai sesama wanita, aku sangat mengerti kegalauan Lan Moi” Giok Lian tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

”Maafkan, kalau aku kurang paham Lian Moi” Ceng Liongpun jadi keki

“Begini Liong Ko, aku juga kan seorang gadis, seorang wanita. Jadi, aku …. aku mengerti dengan keadaan Lan Moi itu” Giok Lian berharap Ceng Liong mengerti dengan sendirinya. Padahal, dia kurang tahu, jika Ceng Liong sendiri setengah mati menebak-nebak, apa dan kearah mana percakapannya.

Meskipun setengahnya dia sudah menebak, tetapi, tentunya tidak akan semudah itu dia berkeberanian mengutarakan tebakannya. Karena dia sendiri sesungguhnya dalam keadaan bingung, selain tidak pasti akan Mei Lan, juga masih terkendala dengan urusan sendiri bersama Giok Hong.

“Aduuuh, Liong Ko, masakan engkau tidak mengerti juga”? Giok Lian menjadi gemas sendiri

“Maafkan aku Lian Moi, apa yang seharusnya kumengerti”?

“Sehari-harinya engkau begitu tegas dan berwibawa Liong Ko, tapi masakan dalam urusan segini engkau jadi linglung begitu”?

“Lian Moi, apa benar aku nampak sebegitu linglungnya dengan apa yang engkau maksudkan”?
Giok Lian sampai berdiri dan menghentakkan kakinya saking gemasnya.

“Ach, Liong Ko, masakan harus kukatakan terus terang. Betapapun Mei Lan itu sudah kuanggap adikku, dan tidak akan aku mempermalukannya”?
Ceng Liong jadi bertambah kikuk. Disuruh menebak, padahal dia hanya paham setengahnya, dan malah takut jangan-jangan tebakannya salah. Nanti disangka gede rasa pula.

“Apa maksudmu Lian Moi, sungguh aku kurang paham”

Giok Lian memandangi Ceng Liong lama. Dan lama kelamaan, dia jadi sadar bahwa Ceng Liong sama bingungnya dengan dirinya.

“Aduh, atau apa mungkin aku yang tolol ya” Giok Lian jadi menggumam sendiri.

“Apa maksudmu Lian Moi”?

“Begini Liong Ko ….. “ Giok Lian menenangkan dirinya yang ikut-ikutan jadi tegang.

“Engkau dan Lan Moi itu …… engkau mengerti kan?” sambil memandangi Ceng Liong dan menunjuk-nunjuk Ceng Liong, dan wajahnya sungguh lucu menggemaskan.

“Mengerti apa”? Ceng Liong justru tambah keki malah

“Sebenarnya engkau sayang sama Lan Moi atau tidak “? Plong, akhirnya dalam ketidaksadarannya, kalimat yang susah dikeluarkannya, justru menerobos keluar dalam kegemasannya atas “ketololan” Ceng Liong. Dan dipandanginya wajah Ceng Liong dengan harap-harap cemas.

Betapa dia selalu menjadi tempat pelampiasan kepenasaran Mei Lan, dan betapa kasihnya dia atas Mei Lan sehingga berusaha sendiri untuk menjajaki kemungkinan menyatukan hati kedua sahabat yang sangat dikasihinya itu. Padahal, diapun awalnya begitu menyukai Ceng Liong, hanya ketika melihat Mei Lan yang sudah keduluan menunjukkan perasaannya, akhirnya dia mundur. Dan perlahan dia mulai menilai Tek Hoat dan Kwi Song yang perlahan mulai mengisi kemesraan dalam hatinya itu.

Sejenak wajah Ceng Liong menegang, dan Giok Lian yang memandangnya menjadi cemas. Tetapi, bagaimana mungkin Ceng Liong memiliki keberanian memarahi Giok Lian. Selain wajah polosnya yang cemas memandanginya dengan harap-harap cemas, kejadian dirinya dengan kakak gadis itu, terlebih mengenaskan lagi, dan membuatnya tidak mungkin memarahi Giok Lian. Karena itu, akhirnya keduanya saling memandangi dalam situasi yang sungguh-sungguh aneh dan menggemaskan.

Kedua orang muda yang dalam ukuran umum sudah selayaknya menikah, membicarakan masalah perasaan orang lain dan menanggapinya dalam kepolosan masing-masing. Akibatnya keadaan mereka menjadi tegang-tegang lucu, dan keduanya jadi terdiam dalam seribu kata sambil menimbang cermat, kalimat apa yang pantas untuk dikemukakan. Dan kediaman mereka akhirnya dipecahkan oleh tarikan nafas berat dari Ceng Liong.

“Maafkan aku Liong Ko jika masalah ini membuatmu tidak senang” Giok Lian merasa sedikit bersalah.

“Tidak Lian Moi, sama sekali tidak. Engkau tidak salah, tapi masalahnya tidak semudah yang engkau bayangkan. Betapa aku menyayangi Lan Moi, tidak kuragukan. Tapi, aaaaach, ada sesuatu yang lain yang membuatku susah dan serba salah untuk bertindak” wajah Ceng Liong menjadi sangat mengenaskan. Dimatanya kembali terbayang kemungkinan apa yang terjadi antara dirinya dengan Giok Hong. Dan masih pantaskah dia memimpikan hidup berbahagia dengan Mei Lan?

“Jadi, apakah dengan demikian Lan Moi akan terus terombang-ambing dalam impiannya itu Liong Ko”? Giok Lian menuntut.

“Lian Moi, engkau tidak tahu …… engkau tidak tahu, betapa beratnya aku menanggung masalah ini. Seandainya …….” Suara dan ucapan Ceng Liong mengambang

“Liong Ko, apa maksudmu”? atau, apakah memang sudah ada orang lain dalam hidupmu”?

“Aku tidak jelas, aku tidak tahu. Ini sungguh membingungkan dan membuatku serba salah Lian Moi” tegas Ceng Liong yang semakin kebingungan.

“Maafkan, tapi aku juga menjadi bingung Liong Ko. Harus bagaimana aku menjelaskannya kepada Lan Moi”

Kembali keduanya tenggelam dalam lamunan dan pikiran masing-masing. Ceng Liong sebentar sebentar menarik nafas panjang, sampai kemudian dia memandang Giok Lian dan akhirnya berkata:

“Baiklah Lian Moi, engkau memang perlu tahu. Karena semuanya terkait dengan pertanyaan kedua yang ingin engkau tanyakan”

Sontak Giok Lian terkejut, dan dengan segera bertanya dengan muka terkejut:

“Apa maksudmu Liong Ko”? apa engkau ingin berkata bahwa semuanya ada kaitan dengan enci Giok Hong”?

“Benar sekali”

“Liong Ko, apa engkau bersedia menjelaskannya secara lebih rinci”? Ada hubungan apa engkau dengan enci Giok Hong”? Giok Lian bertanya dengan harap-harap cemas. Bahkan dengan keterkejutan yang jelas sangat sulit disembunyikan lagi.

“Ya, engkau harus tahu Lian Moi. Sikapku memang terkait dengan keberadaan encimu yang sedang engkau cari-cari itu”

“Tapi, bagaimana pula keterkaitannya. Aku sungguh tidak mengerti Liong Ko”

“Untuk mengerti, engkau harus mendengarkan ceritaku Lian Moi, dan kuharap engkau bisa mengerti ceritaku secara keseluruhannya”.

Pada akhirnya Ceng Liong menceritakan bagaimana dia bersama Giok Hong membantu Tek Hoat dan Kay Pang menempur See Thian Coa Ong. Bagaimana mereka membebaskan Kim Ciam Sin Kay, Pangcu Kay Pang dan melawan kawanan pengemis yang memberontak. Bagaimana mereka memancing dan menempur See Thian Coa Ong dan berkelahi bahu-membahu, dan bagaimana kemudian mereka berdua terluka oleh pukulan See Thian Coa Ong (Diceritakan di Bagian I Kisah Para Naga ini).

Dan juga Ceng Liong menceritakan bagaimana ketika dia siuman, dia tidak mengetahui lagi keberadaan Giok Hong sejak itu. Dan bahkan mencari-carinya hingga saat ini, tetapi tetap saja jejaknya tidak ditemukan.

“Jadi, sejak terluka di tangan See Thian Coa Ong, kemudian enci Giok Hong terluka dan menghilang. Begitu maksudmu Liong Ko”?

“Benar Lian Moi, bahkan pihak Kay Pang yang merasa berhutang budi, juga telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari encimu. Tapi hingga sekarang masih belum ketemu juga”

“Apakah benar-benar enci tidak meninggalkan jejak sedikitpun di goa itu Liong Ko”?

“Aku sudah bolak-balik puluhan kali menyusuri goa itu, tetapi tidak ada sedikitpun jejak dan petunjuk keberadaan encimu itu”

“Ach, enci, apa gerangan yang terjadi atas dirimu”? Giok Lian nampak terguncang dan bersedih untuk keberadaan encinya yang hilang tanpa jejak itu. Cukup lama dia terisak, tanpa Ceng Liong sanggup berbuat apapun, termasuk membujuk gadis yang sedang sedih itu.

Cukup lama keadaan mereka seperti itu, sampai kemudian Giok Lian akhirnya menyadari dirinya, mengeraskan hati dan pada akhirnya kemudian memandang kearah Ceng Liong dan berkata:

“Liong Ko, masih ada satu hal yang membebaniku. Jika engkau tidak keberatan, apa kaitannya kehilangan kakakku dengan Mei Lan”?

Ceng Liong tidak kaget lagi, karena dia merasa Giok Lian juga berhak mengetahui keberadaan kakaknya dan kaitannya dengan sikapnya yang nampak “plin plan” terhadap Mei Lan. Dan bahkan pertanyaan itu memang sudah ditunggunya, karena pasti Giok Lian akan menanyakannya.

“Lian Moi, justru ceritaku mengenai kakakmu belum sampai pada titik yang lebih mengejutkan lagi. Bahkanpun untuk diriku sendiri”, jawab Ceng Liong dengan nada bergetar.

“Liong Ko, apa maksudmu”?

“Lian Moi, ketika aku bersama encimu terpukul dan terlontar kearah goa itu, kami terpukul oleh pukulan beracun yang mengandung hawa “racun dewa asmara”. Racun khas See Thian Coa Ong yang sangat berbahaya itu. Pernahkah engkau mendengar prihal racun itu”?

“Rasanya, baru sekali ini aku mendengarnya Liong Ko”

“Barangsiapa yang terkena dan teracuni oleh racun dewa asmara, maka hanya ada dua cara untuk terlepas dari racun tersebut. Tanpa kedua cara itu, maka korban dipastikan meninggal kurang dari 24 jam”

“Apa dan bagaimana caranya Liong Ko”?

“Pertama, mendapatkan obat pemunah racun dari See Thian Coa Ong sendiri, sebagai satu-satunya pemilik racun dan tentu saja pemunahnya”

“Dan yang kedua”?

“Ini ….. ini, rada sulit Lian Moi ….. tapi, ya begitulah”

“Begitulah bagaimana”?

“Menurut Kim Ciam Sin Kay, cara kedua adalah dengan …… dengan” Sungguh sulit Ceng Liong menyebutkannya

“Dengan cara apa Liong Ko” Giok Lian yang penasaran menjadi geregetan melihat keadaan Ceng Liong

“Yaaaa…. Menurut Kim Ciam Sin Kay, dengan,…. Dengan…. menyalurkan hasrat “asmara” itu”.

“Tapi, apa maksud dari hasrat asmara itu Liong Ko? Giok Lian bertanya bingung. Dan kebingungannnya membuat Ceng Liong juga tambah bingung. Tapi dicobanya juga menjelaskannya:

“Maksudnya antara laki-laki dan perempuan Lian Moi”

“Ya ….. antara laki-laki dan perempuan, kenapa memang”?

"Berhubungan, laki-laki dan perempuan"

"Berhubungan apa"?

“Ya begitu ….. ada hubungannya Lian Moi” Ceng Liong tambah keki dan gagap menjelaskannya. Karena memang sulit baginya untuk menjelaskannya.

“Aduh Liong Ko, kamu ini gimana sich? Ya memang ada hubungannya, tapi hubungan yang bagaimana maksudku”?

“Begini Lian Moi, racun itu membuat orang yang terkena menjadi terangsang nafsunya”

“Jadi”?

“Yaaaa, begitulah menurut Pangcu Kaypang, cara kedua adalah menyalurkan nafsu asmara itu, baru bisa terlepas dari ancaman racun mematikan itu”.

“Artinya, engkau dan enci ….. engkau dan enci ….. sudah, sudah ….. melakukannya. Melakukan itu”? Giok Lian nampak risih, kaget dan malu melanjutkan kalimatnya.

“Menurut Kim Ciam Sin Kay, nampaknya demikian adanya”

“Menurut Pangcu Kaypang memang begitu. Menurutmu sendiri bagaimana”?

"Aku sembuh jelas bukan oleh See Thian Coa Ong Lian Moi, karena dia juga terpental jauh oleh gabungan pukulanku dengan Giok Hong. Jadi rasanya memang kami, aku dan kakakmu itu, sudah .... sudah .... melakukannya" Ceng Liong terbata-bata dan melanjutkan

“Selebihnya aku tidak tahu lagi Lian Moi,karena begitu aku sadar, aku sendirian dalam goa. Aku baru tahu keracunan racun itu ketika Pangcu Kaypang menyembuhkanku dan menemukan sisa dan jejak racun itu dalam darahku”

“Hm, aku percaya padamu Liong Ko. Tapi, akupun bingung harus berprihatin untuk siapa. Buat enciku atau buat Lan Moi ….. kasihan” wajah Giok Lian nampak seperti berbeban berat. Sungguh sulit dia menyalahkan Ceng Liong, apalagi kakaknya. keduanya menjadi korban kelicikan orang. Karenanya dia sungguh bingung, bagaimana menangani masalah semacam ini.

Disatu sisi, dia ingin menjodohkan Mei Lan dengan Ceng Liong, dan tahu keduanya saling mencinta. Tetapi, disisi lain, nampaknya encinya telah melakukan hubungan yang membuat keduanya mau tidak mau harus terangkap sebagai suami-istri.

“Lian Moi, sekarang engkau paham kiranya mengapa aku nyaris tidak mungkin memikirkan masalah percintaan dan perjodohan. Karena, apabila benar analisa Pangcu Kaypang, berarti aku sudah tidak bebas lagi. Meskipun aku sadar mencintai Lan Moi, tapi sungguh tidak layak itu kulakukan sebelum bertemu dengan encimu dan mendapat kejelasan mengenai semua kekisruhan yang kuhadapi ini”

“Ach, kasihan engkau Liong Ko. Kasihan enci dan kasihan Lan Moi. Nasib sungguh sungguh sedang mempermainkan kalian” keluh Giok Lian. Dan kemudian disambungnya kembali,

“Tapi, sudah berapa lama enci Hong tidak munculkan dirinya lagi? Kuhitung-hitung sudah lebih dari 3 tahun. Dan selama ini, tidak setitikpun kabar yang kudapatkan mengenai keberadaannya. Dan bila enci Hong tidak pernah muncul selamanya, apakah engkau juga akan seperti ini selamanya”?

“Selama tidak ada kejelasan mengenai masalah ini, bagaimana mungkin aku punya muka dan punya hak untuk menjadi pasangan Lan Moi? Suatu hal yang takkan mungkin kulakukan Lian Moi. Aku harus menemukan kakakmu dulu baru bisa memutuskan semuanya. Kuharap engkau mengerti dengan posisiku ini Lian Moi”

“Tentu Liong Ko, aku sangat mengerti. Aku prihatin untukmu dan untuk Lan Moi. Sejujurnya, akupun tidak tahu harus melakukan apa menghadapi persoalan kalian. Bahkan untuk
menjelaskan masalah ini kepada Lan Moi, akupun tidak tahu bagaimana caranya”.

“Lian Moi, perkenankan aku menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan kepada Lan Moi dan bahkan Tek Hoat. Betapapun, kepada mereka aku berhutang nyawa sejak kecil. Tanpa keduanya, tidak tahu apakah aku masih berada di dunia ini atau tidak. Selebihnya, keduanya sudah merupakan adik angkat bagiku, dan karena itu, aku harus menjelaskan posisiku kepada mereka berdua”

“Engkau benar Liong Ko. Hal itu memang sangat bijaksana. Biarlah kepada ayah dan Bengkauw, untuk sementara belum mengetahui masalah ini sampai semuanya jelas pada saatnya. Dan biarlah kita membicarakan masalah ini kelak, dikemudian hari”

“Oh ya, sebelum kita berpisah, apakah tidak salah bila kukatakan bahwa adikku yang satunya lagi, sedang memperhatikanmu lebih dari biasanya Lian Moi”? Ceng Liong berkata untuk memastikan sesuatu.

“Entahlah koko, tapi biarlah waktu yang akan menjawabnya” Giok Lian menjawab dengan wajah tersipu-sipu. Tapi sudah cukup jawaban itu bagi Ceng Liong.

“Baiklah Liong Ko, sudah waktunya kita berpisah. Aku harus segera menuju Bengkauw Pusat, banyak hal perlu kulaporkan. Jagalah dirimu baik-baik, dan tolong tetap berusaha menemukan enciku”, Giok Lian akhirnya menjura kearah Ceng Liong dan sekejap kemudian telah berkelabat menghilang kearah hutan.

“Hati-hati Lian Moi, sampaikan salamku untuk orangtuamu”
 
3





Ceng Liong melangkahkan kakinya dengan pikiran penuh. Penuh tanda tanya. Ketidak mengertian, pertimbangan, dan jelas kebingungan. Dan bahkan juga dengan penuh kegetiran. Dibenaknya penuh dengan rasa heran betapa cepatnya para tokoh Thian Liong Pang menghilang, padahal selama 2 hari ini dia membuntuti terus menerus, tetapi mengapa bisa secara tiba-tiba mereka kemudian menghilang.

Benar beberapa kali dia dihadang sekelompok orang, yang memang nampaknya sengaja dikorbankan. Tetapi, hanya dalam waktu singkat dia mampu melumpuhkan mereka. Dan waktu singkat yang terbuang itu, masakan mampu dimanfaatkan para pentoalan Thian Liong Pang untuk menyingkir darinya?

Belum lagi bila dia menimbang, dari arah yang lain ada kawan-kawannya yang juga melakukan pengintaian dan perburuan yang sama untuk mengetahui rahasia markas utama Thian Liong Pang. Entahkan Lan Moi sanggup tuntas melakukan tugas pengintaian ini? Ceng Liong berpikir dan menduga-duga dalam hatinya.

Tugas mengalahkan Thian Liong Pang dan membasminya harus dilakukan tuntas. Karena jika tidak, bisa dipastikan korban-korban akan kembali berjatuhan. Dan Thian Liong Pang akan melakukan pembalasan yang bisa saja secara acak dan meminta korban lebih banyak. Apalagi setelah mereka belajar dari kekalahan terakhir mereka sejak di bawah kaki gunung Siong San dan kemudian diburu para pendekar.

Ceng Liong sulit membayangkan apa yang akan terjadi jika tugas mereka ini tidak segera dituntaskan. Meskipun, disisi lain, Ceng Liong juga rada gelisah, karena ternyata di pihak lawan masih ada jago lain yang misterius dan tersembunyi. Benar-benar ampuh Thian Liong Pang ini.

Tetapi, selain persoalan Thian Liong Pang, anak muda berjubah hijau ini, juga sedang mumet dengan beberapa persoalan pribadi lainnya. Dia masih penasaran dan sedih mengingat dimana keberadaan dan bahkan keselamatan ayah dan ibunya. Dan diam-diam anak muda ini menarik nafas panjang, merasa betapa masa kanak-kanaknya terkorbankan oleh gejolak rimba persilatan.

Dan bahkan orang tuanya direnggutkan dari sisinya. Dan hingga sebesar ini, dalam waktu yang sangat lama, dia tidak mengetahui dimana dan bagaimana keadaan orang tuanya. Bukan cuma itu, adiknya, kakeknya, dan pamannyapun, entah bagaimana keadaannya. “Betapapun semua itu harus diselesaikan” desis Ceng Liong. Tapi, bagaimana mungkin? Dengan tumpukan persoalan Thian Liong Pang yang baru setengah beres, apakah dia punya waktu dan kesempatan menyelesaikannya?

Benar-benar sangat memusingkan, dan benar-benar menguras tenaga dan emosi. Belum lagi mengingat bisikan orang tua di Siauw Lim Sie, yang nampaknya masih kerabat Lembah Pualam Hijau, bahwa keluarganya terlibat dalam kekisruhan dunia persilatan. “benarkah”? apakah mungkin? Siapa dan bagaimana?. Wajah Ceng Liong tambah suram dan berkerut.

Dan disamping itu, dibenaknya juga berganti-ganti wajah dua orang nona, Siangkoan Giok Hong dan Liang Mei Lan, menari-nari dan meminta perhatian ekstra darinya. Wajah Giok Hong yang cantik manis namun misterius dan tidak jelas nasib dan keberadaannya dan wajah Liang Mei Lan yang tidak kalah cantiknya dan menanti keputusannya.

Tapi mungkinkah dia sanggup memutuskan apa yang tepat untuk dilakukannya bagi urusan pribadinya? Tidak, bukan, urusan Giok Hong malah bukan urusan pribadi lagi. Urusannya jauh lebih besar dan melebar, karena menuntut pertanggungjawabannya. Tapi, bagaimana menyelesaikan dan menanganinya sementara gadis itu bahkan tidak diketahuinya berada dimana?

Bagaimana dia akan bertindak dan bersikap sementara nasib gadis itupun malah dia sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti? Dan bagaimana pula pertanggungjawabannya terhadap Mei Lan yang jelas-jelas mencintainya namun sulit diladeninya dewasa ini? Sungguh, diapun jelas merasa yakin, bahwa cintanya jatuh atas Mei Lan.

Tapi, apakah itu mungkin? Adilkah perasaannya itu seandainya benar dugaan Kim Ciam Sin Kay bahwa dia telah menjadi suami Giok Hong? Dan bahkan dugaan Sin Kay itu, hampir 100% juga dipercayainya. Seorang sehebat Pangcu Kay Pang terlalu mengada-ada untuk mendustainya.

Sungguh sebuah pergumulan yang sangat berat. Bahkan masih juga ditambah dengan urusan Lembah Pualam Hijau. Lembah yang kini dipimpinnya, diwarisi dari leluhurnya dan telah kehilangan kejayaannya setelah dengan lapang dada dia melepaskan jabatan Bengcu di Siauw Lim Sie. Lembah yang juga menuntut perhatiannya, tangungjawabnya, sementara dia sendiri terlilit begitu banyak persoalan yang berskala besar, berskala rumit.

Baik bagi dirinya pribadi, maupun bagi orang banyak. Dan ketika terlepas dari tanggungjawab membantu keluarga neneknya dan kemudian di Siauw Lim Sie dan menghadapi Thian Liong Pang, kini dia berkesempatan memikirkan semua pesoalannya. Dan tanpa disadarinya dia merasa dirinya begitu kesepian, begitu merana dan merasa begitu menumpuk apa yang mesti dikerjakannya.

Bahkan untuk sekedar menikmati indahnya rasa cintapun, masih harus dengan disusupi rasa bersalah atas orang lain. Entah nasibnya yang jelek, atau nasib sedang mempermainkannya. Dan dalam kegalauan, tenggelam dalam pemikiran kusut mengenai nasib dirinya, keluarganya dan tanggungajwabnya atas dunia persilatan itu, Ceng Liong berjalan perlahan. Berjalan dalam kegalauan.

=======================

“Plak, plak” pagi yang cerah dibuka dengan benturan-benturan pukulan dan jeritan-jeritan tanda sebuah perkelahian sedang terjadi. Dari jeritan-jeritan tadi bisa dibedakan, atau diketahui bahwa yang sedang berkelahi adalah seorang wanita dengan seorang pria. Hanya saja, perkelahian yang nampak sangat cepat dan benturan yang juga sangat berat tadi, dilakukan tidak dengan maksud melukai dan membunuh lawan.

Keduanya, pastilah sedang berlatih, dan disudut Lian Bu Thia, nampak seorang lelaki lainnya, sepertinya lebih matang dan dewasa dari kedua orang yang sedang berlatih, menonton dengan mata tak berkedip. Maklum, sebagai insan persilatan, melihat orang berlatih dan berkelahi adalah kesenangan yang tak terhindarkan. Terutama mencermati ilmu ilmu yang terlontar dan dipergunakan orang.

Bila dicermati lebih jauh lagi, pertempuran yang merupakan latihan tersebut, meskipun hanya berupa latihan, tetapi ilmu, tenaga dan ginkang yang dikerahkan, bukanlah kelas kacangan. Bahkan bukan cuma kelas tinggi semata, tetapi kelas yang sangat tinggi dan luar biasa. Bagi mata ahli, permainan silat kedua orang itu adalah pemandangan luar biasa.

Dimainkan dengan pesat, tepat dan ukuran-ukuran yang membuktikan bahwa kedua anak muda tersebut sudah dan telah menguasai ilmu-ilmu mereka dengan matang. Terbukti keduanya mampu mengontrol penggunaan kekuatan sesuka hatinya dan perbenturan yang tidak melukai lawan.

Tetapi, dari penggunaan jurus-jurus, cara berkelit dan selanjutnya gerakan-gerakan silat lainnya, membuktikan keduanya adalah pesilat kelas kakap. Meskipun ilmu keduanya nampaknya berbeda, bahkan sang wanita nampak memiliki gerakan-gerakan yang terasa asing bagi persilatan Tionggoan. Tak pelak lagi, mereka akan termasuk kategori kelas utama seandainya keduanya terjun ke rimba persilatan Tionggoan.

Jurus-jurus si Pemuda bukanlah jurus-jurus biasa. Tetapi, bila menggunakan jurus biasapun, nampak menjadi sangat hebat perbawanya, dan membuktikan bahwa anak muda itu sudah bukan orang sembarangan.

Sama ampuhnya dengan sang wanita yang bersilat dengan gaya dan jurus-jurus asing, meski jejak dasar silat Tionggoan masih terasa. Gerakan-gerakannya termasuk kokoh dan aneh, gerakannya yang gesit terkadang licin seperti ular, terkadang mengembang seperti seekor burung. Kadang dia menggunakan varian gerakan yang dikenal di Tionggoan, tetapi, kadang juga terkesan sangat aneh dan bukan seperti dari Tionggoan.

Bahkan, belakangan terkesan berbau “sihir” yang kental, meskipun tidak mampu mengecoh si pemuda. Dalam hal tenaga dalam, si anak gadis juga tidak bisa dikatakan kalah, meski kurang ulet, tetapi dalam hal variasi gerakan dan tipuan, dia lebih kaya dan variatif. Demikianlah perkelahian itu berlangsung terus, sampai kemudian terdengar si anak gadis berkata:

“Toa suheng, engkau juga kelihatannya harus ikut berlatih. Ayo, kita berlatih bersama” dan seiring dengan itu serangkum angin serangan sudah mengarah ke si pemuda yang dipanggil Toa Suheng yang sebelumnya hanya menonton pertempuran latihan tersebut. Dan secara otomatis si pemuda itu juga mengelak, sambil kemudian berkata:

“Baik sumoy” dan bergeraklah si pemuda dan ikut terjun dalam latihan bertiga. Saling serang dan saling desak antara mereka, tanpa ada yang berkawan. Yang paling dekat akan menerima serangan dari lawannya. Dan ternyata, pemuda itupun bukanlah orang sembarangan.

Meskipun belum sehebat si anak muda satu lagi dan belum secepat si anak gadis, tetapi kematangan dan perhitungannya nampak sudah sangat tinggi. Karena itu, diapun sanggup bertahan dan berada dalam pusaran pertempuran itu dengan tidak terlampau kerepotan. Apalagi, kedua lawannya, sering membantunya seandainya dia terlampau didesak oleh salah satu lawan.

Akhirnya, pertempuran itu menjadi sangat seru, dengan kesiur angin pukulan yang berkibar disekitar mereka. Ruang latihan itupun menjadi ribut dengan suara teriakan dan benturan pukulan mereka bertiga, sebuah pertempuran yang ramai dan seru. Karena ilmu-ilmu yang digunakan kemudian adalah ilmu-ilmu langka dan terpilih, dan herannya dilakukan dalam tingkat kemahiran yang luar biasa.

Meski demikian, perkelahian itu bisa dipastikan tidak akan melukai siapapun, karena nampak dimanfaatkan untuk mematangkan penguasaan ilmu masing-masing. Karena itu, dari sebaliknya tegang, ketiganya justru saling mengagumi, dan pancaran kegembiraan membayang dari mata masing-masing.

Sementara itu, sepasang mata yang nampak juga “ahli”, mengintai pertempuran tersebut. Beberapa kali dia tersenyum puas untuk kemajuan ketiga anak muda itu. Dan setelah sekian lama, dan dia melihat ketiga anak muda itu sudah cukup dalam menjalankan latihan hari itu setelah menyelesaikan proses akhir berguru selama 2 tahun terakhir, maka orang tua itu kemudian berbisik. Nampaknya saja seperti berbisik, tetapi tujuannya, yakni ketiga anak muda yang sedang bertarung terkenyak. Di telinga mereka mengiang sebuah suara:

“Latihan hari ini sudah cukup. Selamat, kalian bertiga mengalami kemajuan setelah bertekun selama 2 tahun terakhir ini. Bersiaplah, kalian menghadapku di ruangan pertemuan segera”

Suara itu lenyap …… tetapi ketiganya dengan segera menjura kearah yang mereka anggap arah datangnya suara itu dan berucap:

“Baik pangcu”

Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang yang tadinya sedang berlatih silat itu, sudah memasuki ruangan pertemuan dengan pakaiannya masing-masing. Dan begitu menghormati pangcu dan kemudian dipersilahkan duduk, terdengar suara sang Pangcu:

“Posisi kita semakin lama semakin terjepit. Cukup banyak korban jatuh di kalangan anak buah kita. Kita harus mempertahankan dan setidaknya menahan serbuan mereka sebelum mendekati markas kita di luar kota Kwi Cu, sebab bila sampai markas disana bisa dicium musuh, maka jalan masuk ke markas utama bakal susah dipertahankan” Demikian ucap seorang tua, paling banyak berumur 65 tahunan nampak gagah namun sedang galau memikirkan sesuatu.

Dihadapannya sudah berdiri 3 orang yang dipanggilnya menghadap tadi, yang nampaknya adalah anak buahnya. Yang pertama, seorang yang seperti biasa nampak terus berdiam diri, bahkan bergerakpun terkesan susah. Tetapi, dari pandang matanya mudah ditebak, orang ini sangatlah berisi. Anak muda ini paling banyak berumur 35 tahun, bernama Thio Su Kiat, dan telah menjadi muridnya selama lebih dari 20 tahunan.

Bahkan sejak mulai mengenal derasnya dunia, anak muda ini hanya mengenal guru dan ibu gurunya sebagai pengganti orang tuanya. Itulah sebabnya rasa hormat terhadap guru dan ibu gurunya, sama dengan baktinya kepada orang tuanya. Dan dari gerak-gerik pemuda matang ini, sangatlah terasa bahwa dirinya adalah seorang anak muda yang berisi.

Sementara kedua orang lainnya, adalah seorang pemuda yang belum mencapai usia 30 tahun. Tetapi, meskipun demikian, anak muda ini mengesankan dirinya sebagai seorang yang jago dan mahir ilmu silatnya. Bahkan dalam latihan tadi, dia masih mengatasi anak muda yang satunya lagi, yang usianya bahkan melebihinya.

Langkah kaki yang sangat ringan, mantap dan keteguhan membayang dari sinar matanya. Bahkan sinar matanya malah masih lebih tajam dibandingkan dengan Thio Su Kiat, murid dari si orang tua yang tadi berbicara. Dan anak muda inilah yang juga pertama kali menimpali ucapan orang tua tadi:

“Ucapan pangcu sangat masuk akal. Meskipun, sangat sulit dipercaya, kekuatan yang dikerahkan sudah sedemikian besar, tetapi masih juga gagal dalam melaksanakan misi tersebut” Kesan angkuh sungguh sulit disembunyikan dari nada suara tersebut.

“Hm, dugaanmu benar. Lebih tidak masuk di akal, berdasarkan laporan, para pemimpin barisan kita, dikalahkan oleh pihak musuh”

“Maksud pangcu”? si kerudung hitam mengejar

“Mereka, dikalahkan dalam adu kepandaian secara jantan dan jujur”

“pangcu, apa benar begitu”? si kerudung putih yang dari suaranya adalah seorang anak gadis juga ikut mengejar, penasaran.

“Laporannya benar demikian. Tidak diragukan. Dan justru karena itu, maka saatnya kalian kuutus turun ke gelanggang. Kalian berdua harus membuktikan bahwa didikan guru kalian lebih 10 tahun terakhir ini tidaklah sia-sia. Terutama 2 tahun terakhir kalian meninggalkan markas besar ini”

“Baik pangcu” kedua orang yang berkerudung itu serentak menjawab.

“Nah kalian dengarkan tugas kalian masing-masing. Sebagaimana kalian ketahui, markas di Luar Kota Kwi Cu, seperti gambaran tadi adalah tempat vital yang tidak boleh diketahui siapapun. Kutugaskan engkau untuk melindungi markas itu atas namaku” Sambil menunjuk si anak muda

“Jika mendesak, buat kamuflase, seakan-akan tempat itu bukan markas kita. Semua tokoh utama Partai kita, sebaiknya diperintahkan masuk ke markas utama dan menyusun lagi rencana dari awal. Apakah ada pertanyaan terhadap tugasmu”?

“Pangcu, apakah kita juga harus mempersiapkan perlawanan terhadap serbuan seandainya para penyerbu datang meluruk markas di Kwi Cu”?

“Sebetulnya, di Kwi Cu kita tidak memiliki cukup banyak anak buah. Karena markas di Kwi Cu terutama berfungsi untuk menghubungkan semua informasi dari luar ke markas utama. Jika memang terjadi serbuan itu, usahakan untuk mempertahankannya, bila tidak mampu lagi, sebaiknya dimusnahkan saja. Kabar terakhir, sudah 4 markas di Selatan dihancurkan, dan nampaknya gerakan mereka bergeser kearah markas di Kwi Cu. Tetapi, sejauh ini, mereka belum mencium keberadaan markas tersebut. Apakah cukup jelas”?

“Jelas Pangcu, dipertahankan jika mungkin. Jika tidak, dimusnahkan”

“Baik, rasanya sudah cukup waktunya untukmu. Sebaiknya engkau segera menyiapkan dirimu dan segera bertolak menuju Kwi Cu. Dan ingat, semua tokoh utama diharuskan untuk segera berkumpul di markas besar kita ini. Sampaikan hal ini sebagai perintah langsung dariku”

“Baik Pangcu, hamba mohon diri bertugas”

“Pergilah”

Dan tidak berapa lama kemudian si Pemuda sudah berlalu dari ruangan tersebut. Wibawa dan kepemimpinan si orang tua sungguh hebat, susah terbantahkan. Bahkan analisis dan kesimpulan serta keputusannya juga sangat hebat. Dia paham belaka, bahwa kedudukan mereka sudah sangat rawan. Hal ini jelas sangat tidak menguntungkan

Sepeninggal Kerudung Hitam, Pangcu Thian Liong Pang nampak memandang kearah sang wanita untuk beberapa saat. Sampai kemudian terdengar dia berkata:

“Engkau”

“Siap Pangcu”

“Engkau kutugaskan untuk sedapat mungkin mengalihkan perhatian para pendekar dari arah Kwi Cu kearah lain. Aku menugaskanmu untuk pekerjaan ini, karena kecepatanmu masih lebih baik. Dan selain itu, kepandaianmu juga tidak berada di bawah kakakmu. Sedapat mungkin engkau menghalangi perjalanan mereka menemukan markas kita di Kwi Cu, dan untuk itu terserah engkau memilih apa dan bagaimana tindakanmu yang terbaik. Jika mungkin, engkau juga bisa menjajal kepandaian tokoh utama mereka. Terutama tokoh dari Lembah Pualam Hijau yang kabarnya memiliki kesaktian hebat dan memimpin penyerangan. Tapi diatas semuanya, perhatikan tugas utamamu, bukan menambah permusuhan dan membunuh lawanmu, tetapi sekedar mengalihkan perhatian mereka. Engkau paham dengan tugasmu”?

“Paham pangcu”

“Ada hal lain yang ingin engkau tanyakan”?

“Pangcu, apa maksud pangcu menyuruh hamba untuk tidak menambah permusuhan dan membunuh orang lagi”?

Wajah sang Pangcu nampak agak gelap dan wajahnya sedikit sayu mendengar pertanyaan itu. Sang wanita sempat menangkapnya dan merasa sangat bersalah. Karena itu segera dia berkata:

“Maaf bila pertanyaanku kurang berkenan pangcu”

“Tidak, pertanyaanmu tidak salah. Tapi, engkau kutugaskan sekaligus kuperintahkan untuk tidak melakukan pembunuhan, kecuali sangat terpaksa untuk membela dirimu. Ingat baik-baik pesanku itu”

“Baik pangcu”

“Nach, engkau sudah boleh berangkat. Ingatkan anak buahmu untuk tidak sembarangan melakukan perkelahian atau terutama pembunuhan atas pihak lawan”

“Baik pangcu, akan kuingatkan mereka nantinya”

Dan dengan kalimat itu, si wanita kemudian meninggalkan tempat pertemuan untuk selanjutnya melakukan tugas sebagaimana yang diperintahkan Pangcu Thian Liong Pang. Sebetulnya, dia sendiri kurang mengerti mengapa kali ini ada perintah tambahan untuk tidak melakukan pembunuhan, padahal biasanya tidak ada perintah tambahan seperti itu. Lebih mengherankan lagi ketika melihat sinar mata Pangcu yang agak sayu ketika dia menanyakan hal tersebut. Ada apakah gerangan? Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, setidaknya saat ini.

Ruangan tersebut kembali berkurang satu orang. Dan hening untuk beberapa saat, sampai kemudian sang pangcu memanggil:

“Kiat Ji”

“Ada apa suhu”

“Kali ini aku ingin menugaskanmu untuk urusan yang menurutku sangat penting. Penting bagi suhumu ini”

“Apa yang harus tecu lakukan untuk suhu, silahkan suhu ungkapkan. Sedapat mungkin tecu akan melakukannya”

Beberapa saat sang Pangcu terdiam. Cukup lama bahkan dia berdiam diri, dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan keluar. Tapi tiba-tiba dia seperti menyadari sesuatu:

“Ach, Kiat Ji, lebih baik kita bicara di tempat lain. Toch itu bukan urusan Pang ini, tetapi lebih merupakan urusan keluarga. Ayolah, kita bicara di tempat lain saja. Engkau ikuti aku”

“Baik suhu”

Thio Su Kiat kemudian mengikuti gurunya keluar dari ruang pertemuan, ruangan yang biasanya digunakan Gurunya, untuk memberikan perintah, berdiskusi strategi Pang mereka ataupun menemui tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang. Gurunya nampak berkelabat cepat tetapi masih bisa diikutinya, dan dari jalanan, bisa diketahuinya jika gurunya menuju ke tempat rahasia, dimana selama ini gurunya berdiam.

Mereka melalui beberapa tempat yang agak tersembunyi dan bahkan terkesan rahasia dan memang tidak dijaga atau tidak terjaga, dan kemudian tiba di bawah sebuah pohon yang sangat besar. Dan di belakang pohon besar yang melindungi sebuah pintu masuk Gua, terdapatlah tempat suhunya biasa mengaso ataupun melatih diri.

Selama ini dia sudah beberapa kali datang ketempat ini, bahkan beberapa kali melatih dirinya di bawah bimbingan gurunya di tempat itu. Bahkan bila subonya berada di tempat itu, maka dia juga berlatih ditempat itu bersama keduanya.

Tidak berapa lama kemudian, mereka memasuki gua yang pintunya sulit ditemukan karena terhalang oleh pohon besar itu. Suasana dan keadaan dalam Gua sungguh tidak bedanya dengan sebuah ruangan pribadi lainnya, lengkap dengan perabotannya. Bahkan di beberapa tempat nampak beberapa buku bacaan yang cukup tebal, menandakan bahwa sang Pangcu ini sebenarnya memang adalah seorang yang terpelajar.

Dan disudut lain, terdapat sebuah tempat khusus untuk meditasi, tempat yang biasanya digunakan Pangcu ini untuk melalukan siulian. Tempat yang sekaligus juga digunakan untuk melatih dan memperdalam kekuatan sinkangnya. Apalagi, karena keadaan dan suasana dalam Gua itu, entah dengan cara apa, justru terasa sangat dingin.

Su Kiat sendiri tidak pernah memahami, mengapa Goa tersebut terasa sangat dingin, apakah yang menyebabkannya, dia sendiripun tidak pernah tahu. Apalagi karena gurunya memang tidak pernah memberitahunya. Keadaan tersebut menurut gurunya sangat tepat untuk melatih kekuatan sinkang.

“Kiat Ji, duduklah”

“Baik suhu”

“Kiat Ji, sudah berapa lama engkau mengikutiku dan ibu gurumu, engkau tahu sendiri. Bahkan, engkau tahu banyak hal, yang justru dengan sengaja aku dan kami rahasiakan dari banyak orang. Aku memanggilmu kali ini, karena firasatku agak kurang enak”

“Apa maksudmu suhu”?

“Kiat Ji, tiba-tiba suhumu sadar, bahwa keadaan dan keruntuhan Pang ini ada didepan mata”

“Tapi suhu, bukankah masih bisa kita upayakan jalan lain”?

“Kiat Ji, engkaupun tahu kalau suhumu sendiri tidak memiliki ambisi sebesar itu. Tapi, sudah tentu, tidak ada jalan mundur dan menghianati rekan-rekan di benak gurumu ini. Meskipun demikian, dampaknya tidaklah boleh merembet ke keturunan gurumu ini”

“Benar suhu, pikiran itu sungguh bijaksana”

“Akupun tahu, bila sejak lama engkau bahkan tidak begitu setuju dengan pendirian dan ambisi Pang ini. Engkau bahkan lebih dekat pendirianmu dengan leluhur gurumu ketimbang gurumu sendiri”

“Ach, suhu bukan maksud tecu demikian”

“Kiat Ji, bagiku engkau sudah tidak lebih dari anak sendiri. Tidaklah mungkin aku tidak mengenalmu luar dan dalam. Bahkan pengenalanku atas dirimu, masih lebih dalam dibandingkan kedua anakku itu”

“Budi suhu dan sunio sungguh sedalam lautan”

“Maksudku tidak melibatkanmu dalam semua urusan luar Pang dan menjadi pengawal pribadiku, dalam maksud agar engkau tidak telribat dalam kekisruhan ini kelak”

“Tecu mengerti maksud suhu sejak lama” Su Kiat terharu, meskipun dia tahu dan mengerti hal ini sejak lama.

Nampak sang Pangcu kembali memandangi muridnya dengan sangat haru. Bukan apa-apa, anak yang dipungutnya sejak berusia 5 tahun ini, memang sangat dekat dan sangat disayanginya. Terlebih karena sebab tertentu, kedua anaknya justru kemudian diangkat murid oleh tokoh-tokoh hebat tertentu dan lebih banyak berada jauh darinya.

Bahkan, terkadang dia merasa, dipisahkannya dia dengan anak-anaknya seperti oleh sebuah unsur kesengajaan. Tetapi, entahlah. Apalagi, dengan aturan Pang yang nyelimet dan ambisius, urusan keluarga disisihkan, dan struktur hubungan harus sesuai dengan aturan, tanpa mengenal hubungan keluarga. Itulah sebabnya, dia memutuskan muridnya menjadi pengawal pribadinya dan tidak dilibatkan dalam urusan dan aturan Pang. Dan putusannya sejak dulu itu, baru sekarang dirasakannya manfaatnya.

Saat-saat ketika firasatnya menyatakan, bahwa sesuatu yang buruk sangat mungkin akan terjadi. Dia sadar betul, bahwa keluarga leluhurnya yang digdaya itu tidak akan tinggal diam, bahkan diapun sadar, akan banyak tokoh hebat yang akan terlibat. Dia telah membiarkan dirinya main-main dengan api, dan sangat mungkin api itu akan membakar. Padahal, memang api itu, disengaja untuk dikobarkan untuk keuntungan beberapa orang tertentu. Sang pangcu nampak menarik nafas panjang, dan kemudian terdengar dia kembali berkata:

“Kiat Ji, waktu pertempuran para jago gaib sudah kurang dari 2 tahun lagi. Apa yang disiapkan tokoh-tokoh tertentu nampaknya sulit diatasi, dan Pang ini sangat mungkin dikorbankan. Tapi, aku tidak ingin engkau sebagai pewarisku, dan kedua anakku menjadi korban dari pertarungan mengerikan itu. Karena itu, aku ingin menyampaikan banyak hal penting untuk engkau kerjakan malam ini. Hal-hal yang harus engkau kerjakan, yang utama saat ini adalah engkau membawa pesanku kepada anakku di markas Kwi Cu itu, dan beritahu dia untuk tidak membunuh lawan. Dan setelah menyampaikan pesanku itu, engkau membayangi adiknya dan membantunya secara diam-diam. Hal lain kita bicarakan malam hari nanti, dan setelah itu, engkau harus menyempurnakan dirimu dan berdiam disini selama semalaman, dan hari ketiga engkau harus segera turun gunung melakukan tugasmu itu. Pahamkah engkau”?

“Tecu paham suhu”
 
BAB 7 Majikan Kerudung Putih
1 Majikan Kerudung Putih




Sampai memasuki kota Ye Ceng, yang mengarah ke Kwi Cu, rombongan pendekar sudah terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. Meskipun komunikasi cepat antar kelompok itu dapat dilakukan dengan bantuan anak murid Kaypang yang memang tersebar di hampir semua kota di Tionggoan.

Tetapi, setelah melakukan pengejaran sampai ke kota Ye Ceng dan membasmi 3 markas Thian Liong Pang di 3 kota yang mereka lewati, akhir-akhir ini semangat kelompok pendekar mulai menurun. Terutama karena selama 2 minggu terakhir tiada terdengar kabar pasti, dimana markas utama Thian Liong Pang.

Kabar yang ada semua tidak mengandung kepastian, dan juga kemana para tokoh yang hilang bersama Kiang Hong beberapa tahun berselang, masih tetap sangat kabur dan tidak ada kejelasan.

Malam itu, Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sedang melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh pendekar. Termasuk dalamnya Beng San Siang Eng, dan juga nampak si Maling Sakti, tokoh yang membantu pengintaian lawan dan memberi tahu letak 3 markas Thian Liong Pang yang sudah dibasmi kawanan pendekar.

Sian Eng Cu memimpin kelompok pendekar gabungan Kun Lun Pay, Bu Tong Pay, dan kawanan pendekar lain dari Cin ling Pay. Sementara Pengemis Tawa Gila memimpin kawanan murid Kay Pang, dan kelompok lainnya dipimpin oleh Wakil Ciangbunjin Thian San Pay dan Tiam Jong Pay. Sementara Beng San Siang Eng bersama Yo Cat memimpin kawanan pendekar yang biasa berkelana menjadi satu kelompok tersendiri.

Sedangkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Kun Lun Pay sudah kembali ke gunung masing-masing. Mereka menunggu berita untuk bergabung apabila markas Thian Liong Pang sudah bisa ditemukan, sambil mengurus urusan keseharian di Partai masing-masing.

Di salah satu penginapan terbesar di kota Ye Ceng, nampak sedang berbicara dengan serius lima orang, yakni Sian Eng Cu, Pengemis Tawa Gila, Beng San Siang Eng dan Maling Sakti. Seperti biasanya, mereka menganalisis kondisi terakhir dari pengejaran dan pelacakan yang dilakukan kawanan pendekar dengan pencarian jejak dipercayakan kepada anak murid Kay Pang:

“Temuanku menunjuk ke arah Kwi Cu, kota yang sangat mungkin menjadi markas besar kawanan Thian Liong Pang. Tetapi, informasi ini masih sangat dini untuk diyakini” Maling Sakti memulai pembicaraan diantara kelima tokoh pendekar itu.

“Memang sangat aneh. Bila benar mereka di Kwi Cu, maka termasuk hebat mereka bisa menyembunyikan jejak. Terlebih, karena memang arah larinya tokoh Thian Liong Pang memang kearah Kwi Cu. Tetapi, menjelang kota Ye Ceng ini, tiba-tiba kita kehilangan jejak. Tokoh-tokoh utama mereka tiba-tiba menghilang. Bahkan para pendekar muda kita, juga ikut kehilangan jejak mereka sampai sekarang” Sian Eng Cu bergumam.

“Sangat mungkin memang ini adalah usaha mereka menghilangkan jejak, dengan mengaburkan pandangan kita untuk tidak ke Kwi Cu” Pengemis Tawa Gila menyela.

“Benar, hal itu sangat mungkin” Sian Eng Cu kembali berkata.

“Tapi, bisa juga terjadi, mereka sengaja menggiring kita ke Kwi Cu, untuk mengaburkan arah sebenarnya dari markas utama mereka” Pouw Kui Siang ikut angkat bicara.

“Hal itu juga sangat mungkin, dan menjadi hal yang perlu segera kita teliti. Karena moral para pendekar semakin menyusut setelah kita tidak menemui titik terang dalam 2-3 minggu terakhir ini” Sian Eng Cu nampak berpikir keras, sementara Pengemis Tawa Gila juga tidak memperdengarkan tawa khasnya.

Maklum, keadaan mereka memang semakin ruwet. Bila Thian Liong Pang diberi waktu cukup untuk mengkonsolidasikan kekuatan mereka, maka gelombang serbuan mereka bisa semakin berbahaya kelak.

Tetapi sementara itu, di luar gedung penginapan tempat mereka bercakap-cakap, nampak sesosok bayangan berkelabat susah diikuti pandangan mata. Dan, nampaknya arahnya sangat pasti, mendekati ruangan dimana para pemimpin pendekar itu sedang bercakap-cakap.

Dan ketika semakin mendekat, di dalam ruangan, orang pertama yang menyadari kehadirannya yang nampak tidak disembunyikan adalah Sian Eng Cu dan kemudian Pengemis Tawa Gila. Dengan cepat Sian Eng Cu memberi isyarat untuk tutup mulut kepada semua kawan-kawannya, dan kemudian berkata:

“Saudara yang di luar, bila memang berkepentingan silahkan masuk. Jika tidak, maafkan bila kami mengejar keluar”

Untuk beberapa lama sepi, tetapi semua yang dalam ruangan menjadi berdebar-debar. Apalagi karena semua sudah berkonsentrasi penuh dan sadar, bahwa pendatang yang berada di luar belum melakukan gerakan apa-apa. Tetapi setelah senyap beberapa saat, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat jelas dan didorong oleh kekuatan yang luar biasa. Sian Eng Cu sendiri sampai tercekat, karena maklum bahwa orang yang datang tidak berada di bawah kemampuannya.

“Cuwi enghiong, maafkan bila kedatanganku mengganggu. Tapi ada hal penting yang perlu kusampaikan. Maafkan keadaanku, dengan terpaksa harus dalam keadaan sulit dikenal, meskipun Tong Locianpwe bisa menjamin keberadaanku” Dan begitu suara tersebut selesai, dalam ruangan tersebut sudah bertambah dengan seorang tokoh berpakaian serba hitam dan bahkan topeng kain hitam menutupi wajahnya.

Kedatangannya sungguh luar biasa, dan dari cara datangnya mudah ditebak, tokoh ini adalah seorang tokoh luar biasa. Dan seperti ucapannya, dia memang dengan cepat bisa dikenali keberadaannya dan statusnya oleh Sian Eng Cu.

“Hahahaha, kita kedatangan seorang tokoh Lembah Pualam Hijau, masakan kami masih harus meragukan itikad baik saudara”? Sian Eng Cu menyambut dengan sangat gembira. Karena sudah beberapa kali dia bersentuhan dengan tokoh misterius ini, baik ketika menyelamatkan Ceng Liong, maupun ketika bertarung bersama di Siau Yau Kok.

“Maafkan aku masih belum bisa melepaskan topeng ini, karena memiliki kesulitanku sendiri. Pengemis Tawa Gila, Beng San Siang Eng dan Maling Sakti, mohon dimengerti keadaanku” si Topeng Hitam yang beberapa kali memanggil Ceng Liong dengan panggilan Liong Jie ini, sudah dengan mudah diterima setelah Sian Eng Cu menyebutnya tokoh dari Pualam Hijau.

Sian Eng Cu sendiri 4-5 bagian seperti mengenal tokoh ini, tetapi tidak berani memastikannya. Dia mengenal semua anggota keluarga Lembah Pualam Hijau sebagai murid dari suhunya Wie Tiong Lan yang mempunyai hubungan dekat dengan lembah terkenal itu.

Setahunya, diangkatan Topeng Hitam yang diketahuinya masih lebih muda darinya, hanya ada Kiang Hong dan Kiang Liong. Dia bingung, siapa gerangan Topeng Hitam yang kesaktiannya dirasakannya malah masih diatasnya? Jika Kiang Hong, masakan bertopeng dan kemana pula istrinya dan Pedang Pualam Hijau? Jika Kiang Liong yang diketahuinya menjadi gila beberapa tahun sebelumnya, mengapa pula bertopeng? Hal yang membingungkan.

Tapi, Sian Eng Cu nyaris yakin, kalau tokoh ini adalah Kiang Liong yang nampaknya memiliki kesulitan sendiri untuk tampil didepan umum saat ini.

“Baiklah, apakah ada sesuatu yang penting yang ingin saudara sampaikan”? Sian Eng Cu bertanya

“Benar Tong Locianpwe. Dalam pengamatan kami, nampaknya kunci dari upaya mengetahui keberadaan markas Thian Liong Pang berada di Kwi Cu”

“Kami, apa maksud saudara dengan kami”?

“Karena kesulitan untuk menyelesaikan masalah ini, beberapa tokoh Lembah Kami terpaksa bekerja secara tertutup. Tapi, aku diberitahu, bahwa Sian Eng Cu dan pengemis Tawa Gila, pasti tahu dan bisa menjamin bahwa apa yang kukatakan benar”

Kembali debar jantung Sian Eng Cu berdetak lebih cepat, meski hanya sesaat. Tiba-tiba dia sadar, bahwa tokoh seangkatannya yang malah lebih lihay darinya, yakni Kiang Cun Le dan adik perempuannya Kiang In Hong atau si Pertapa Sakti Dari Timur pasti ikut turun tangan.

Dia memiliki hubungan baik dengan kedua orang itu, bahkan “rasa” yang lain dengan si Pertapa Sakti yang membuatnya membujang seumur hidupnya. Mungkinkah dia meragukan orang-orang yang integritasnya sangat dikenalnya? Suatu hal yang mustahil tentu saja, dan artinya sebetulnya kekuatan mereka akan sangat terbantu dengan turun tangannya kedua tokoh puncak dari Lembah Pualam Hijau itu.

Hal dan urusan lain, apalagi urusan pribadi sudah tentu bisa diabaikan dan bukan sesuatu yang penting untuk diurusi dewasa ini.

Hal yang sama juga melanda Pengemis Tawa Gila. Dengan cepat, sebagai tokoh kawakan Kay Pang dia bisa menduga, bahwa dari Lembah Pualam Hijau nampaknya telah turun tokoh-tokoh utamanya. Dia bersyukur, karena rombongan Pangcunya, tokoh utama Kay Pang juga sudah turun tangan.

Bahkan sedang berada di markas Kay Pang kota Ye Ceng bersama dengan Cap It Ho Han. Dan sangat tidak mungkin untuk tidak meyakini hasil penyelidikan tokoh-tokoh sehaluan yang sudah sangat lama bekerjasama menghadapi kemelut dunia persilatan ini. Bahkan sejak jaman para guru besar yang mereka banggakan masing-masing. Karena itu, Pengemis Tawa Gila nampak mengangguk-anggukkan kepala atas informasi dari si Topeng Hitam tersebut. Yang bila benar, maka sangat penting bagi pergerakan mereka.

“Hm, adakah indikasi atau petunjuk yang kalian temukan diseputar kota Kwi Cu tersebut”? Pengemis Tawa Gila bertanya

“Beberapa tokoh dengan kepandaian luar biasa telah datang dan pergi dalam sekejap di Kwi Cu. Bahkan, 2 hari sebelumnya, seorang tokoh yang juga sangat luar biasa terlihat mendatangi Kwi Cu dan tidak pernah lagi kelihatan keluar dari kota itu setelahnya”

“Seberapa hebat kira-kira mereka yang datang dan pergi itu”? Sian Eng Cu bertanya penasaran

“Yang datang mendahului dan pergi lagi, masih bisa beberapa kuimbangi. Tapi, menurut salah seorang tokoh kami, yang datang terakhir, bahkan lebih hebat lagi. Mungkin bisa menjejeri tokoh utama kami tersebut, masih sedikit mengatasiku”

“Sebegitu hebatnya”? Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila sama terperanjat dengan informasi tersebut.

“Kami menduga, begitu banyak tokoh luar biasa dan terpendam yang bekerja bagi Thian Liong Pang. Bahkan, pekerjaan Thian Liong Pang nampak bukan sekedar mengobrak-abrik dunia persilatan, seperti ada agenda tersembunyi bagi mereka. Cuma, kami belum bisa menjajakinya”

Kali ini Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, terlebih Beng San Siang Eng dan Maling Sakti menjadi lebih terperanjat lagi. Sebab, bahkan tokoh utama Lembah Pualam Hijau sudah bisa menebak kehebatan lawan, dan mengakui kehebatan mereka, sungguh susah membayangkan, tokoh macam mana lagi yang akan tampil dari Thian Liong Pang.

Meskipun nampaknya, Lembah Pualam Hijau sudah mengerahkan hingga ke tokoh-tokoh utamanya untuk membantu, tetapi lawan tetap nampak sangat mengerikan. Dan tengah mereka termenung dan tenggelam dalam perenungan masing-masing, tiba-tiba berkelabat sesosok bayangan putih, sedikit mendekati jendela dan melayanglah sebuah piauw berbentuk ular kecil kedalam dan menancap di meja.

Di ujungnya nampak sehelai kertas, seperti sebuah surat. Tetapi tidak diperhatikan oleh keenam orang itu yang sudah dengan cepat melesat keluar jendela melakukan pengejaran. Bagaimana mungkin mencermati kertas itu? Karena jelas lebih penting mengejar si pelempar piauw yang nampaknya memangs engaja tidak mengarah ke tubuh manusia.

Sementara itu si Topeng Hitam sudah mengeluarkan suitan khas, sambil ikut melesat kedepan menjejeri Sian Eng Cu. Tetapi, keenam orang itu, hanya sempat melihat sosok bayangan berwarna putih menghilang dikejauhan dengan kecepatan yang susah mereka ikuti. Dan tidak berapa lama kemudian, disekitar mereka juga bertambah 6 orang lain.

Dan keenam orang itu adalah Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau yang nampak juga sangat menghormati si Topeng Hitam. Hal yang semakin menambah keyakinan para tokoh akan keaslian si Topeng Hitam dari lembah Pualam Hijau. Karena, Barisan 6 Pedang hanya bisa menerima perintah dari Pemilik Lembah atau mereka yang memakai marga “Kiang” dari Lembah itu. Karena itu, bisa dipastikan si Topeng Hitam adalah salah seorang keturunan Lembah Pualam Hijau bermarga Kiang.

Terdengar si Topeng Hitam bersuara:

“Selama Duta Agung bekerja, harap kalian Barisan 6 Pedang menjaga semua sisi dari ruangan tempat kami bercakap. Jangan biarkan siapapun mendekat, terutama mereka yang gerak-geriknya mencurigakan”

“Baik, kami siap” dan ke-6 orang itupun segera menyebar untuk menjaga setiap pelosok penginapan, terutama mengawasi gedung atau kamar tempat pertemuan itu dilakukan. Secara kebetulan, Barisan 6 Pedang memang dititipkan Ceng Liong untuk membantu barisan para pendekar, dan mereka bekerja di bawah perintah Sian Eng Cu.

Tetapi, tentu si Topeng Hitam yang identitasnya diketahui ke 6 orang itu, akan sangat siap menerima perintah, meski bukan perintah bertugas jauh dari orang atau tokoh lain Lembah yang bermarga Kiang.

Setelah Barisan 6 Pedang pergi, terdengar Sian Eng Cu berkata:

“Ginkang si baju putih nampaknya sangat luar biasa. Setahu lohu, hanya Liong-i-Sinni yang akan sanggup mengejarnya. Nampaknya dengan sumoyku mereka berimbang”

“Benar Tong Locianpwe, nampaknya hanya Liong-i-Sinni yang akan sanggup mengejarnya. Entahkah kemampuannya sama hebat dengan ginkangnya”? si Topeng Hitam bersuara.

“Kemampuannya menyusup kemari dan pergi dengan bebas nampaknya menggambarkan bukan hanya kehebatan ginkangnya, tapi juga nyali dan ilmunya. Lohu yakin, ilmunya tidak jauh beda dengan ginkangnya” Pengemis Tawa Gila berujar.

“Bila dibandingkan dengan si jubah hitam di Kwi Cu, maka ginkang si jubah putih ini malah masih melebihinya” Topeng Hitam berkata.

“Hm, mungkin kita bisa memeriksa sesuatu yang disambitkan tokoh itu dalam kamar” Li Bin Ham menimpali, yang disetujui meeka semua. Dan bergegaslah mereka memasuki ruangan yang tadi sempat mereka tinggalkan.

Tapi begitu melihat senjata rahasia yang terbuat berbentuk ular tetapi setipis dan seringan jarum, semua orang merasa terperanjat. Apalagi, karena ketika memasuki jendela, senjata tersebut masih belum mengeluarkan suara. Membuat mereka terperanjat dengan cara melempar dan tenaga lemparan senjata rahasia tersebut:

“Bagaimana menurut pandanganmu Sian Eng Cu”? Pengemis Tawa Gila tertegun menyaksikan senjata aneh tersebut. Senjata aneh yang dilemparkan atau dilontarkan dengan kekuatan yang tentu tidaklah biasa.

Sian Eng Cu nampak mendekati jarum tersebut, tetapi ragu-ragu untuk mencabutnya dari meja. Tetapi terdengar si Topeng Hitam bersuara:

“Jika tidak salah, jarum ular itu tidak beracun”

“Apakah engkau yakin”? Pengemis Tawa Gila berpaling memandang si topeng Hitam.

“Menurut Ayahku, senjata seperti ini dimainkan oleh seorang tokoh wanita sakti dari India. Tapi tokoh ini bukan tokoh beracun” setelah berkata demikian, si Topeng Hitam menepuk pinggiran meja dan menggetarkan tenaganya. Serentak dengan itu, jarum tersebut melesak mundur dari tancapannya dan dengan tenangnya disambut oleh si Topeng Hitam. Dilepaskannya surat dari senjata jarum ular itu dan diserahkan kepada Sian Eng Cu yang menerimanya dengan tenang. Tapi Pengemis Tawa Gila yang memperhatikan meja bekas tancapan jarum itu tercengang:

“Luar biasa. Tokoh tadi nampaknya tidak di bawah para pendekar muda kita. Lihatlah, bekas tusukan searah, dan benar-benari menunjukkan betapa matang dan mahirnya tanaga dalamnya. Mungkin bila dia mau, salah seorang dari kita bisa ditancapi jarum itu”

Semua orang akhirnya mengerubuti meja itu. Dan benar, bekas tancapannya sangat halus dan menusuk kedalam tanpa miring sedikitpun, sementara jarum tipi situ sendiri tidak bengkok. Artinya, senjata rahasia itu, dilemparkan dengan kekuatan sinkang yang mampu membelokkan arah jarum dari menyamping kearah sasaran dan kemudian berbelok menusuk ke bawah.

Menancap dengan sudut 90%, bukannya menancap dengan menyamping. Kemampuan seperti ini, jelas masih belum sanggup dilakukan baik oleh Sian Eng Cu dan pengemis Tawa Gila. Bahkan nampak si Topeng Hitampun berpikir keras dan berkata:

“Betul, bahkan akupun masih sangsi apakah sanggup melakukan hal seperti itu dengan lebih baik”

“Kematangan penggunaan tenaga semacam ini, baru bisa dilakukan pada tataran para pendekar muda kita. Bahkan mungkin, baru Kiang Ceng Liong yang bisa melakukannya atau juga mungkin Mei Lan. Tokoh ini, bahkan lebih sangar dan berbahaya dibandingkan dengan Hu Hoat Thian Liong Pang” Sian Eng Cu melanjutkan analisis kehebatan tokoh tadi.

Kembali semua tercekat. Luar biasa. Setelah tokoh jubah hitam di Kwi Cu, kembali muncul tokoh lain dengan kehebatan tidak main-main, bahkan baru saja berada didekat mereka tanpa mereka sadari keberadaannya. Dan kemudian malah bisa berlalu tanpa gangguan dan tanpa bisa mereka mampu mencegahnya.

Sementara itu, mengatasi ketegangan hatinya, Sian Eng Cu membuka surat yang diberikan si Topeng Hitam, sementara Senjata Jarumnya sendiri dikantongi si Topeng Hitam. Tidak ada seorangpun yang mempertanyakan atau bahkan memprotesnya. Dan tidak lama kemudian terdengar suara Sian Eng Cu membacakan surat yang sudah dipegangnya dengan lantang:

“Thian Liong Pang tidak terlawan. Kalian akan membuktikannya”
Majikan Kerudung Putih

“Jelas-jelas ini sebuah tantangan. Dan kita harus cepat membalas dan menjawab tantangan ini” terdengar Li Bin Ham bergumam penasaran setelah Sian Eng Cu membacakan surat pendek tersebut.

“Seandainya kelompok pendekar lain mendengar hal ini, maka moral bertarung mereka bisa sangat merosot” terdengar Pouw Kui Siang ikut bergumam mendukung pendapat saudaranya.

“Tetapi kita tidak boleh gegabah bertindak. Ditinjau dari keadaan saat ini, nampaknya mereka kembali berada ditempat gelap, sementara kita berterang” Pengemis Tawa Gila mengingatkan.

“Tepat, meskipun kita diuntungkan dengan kekuatan lain yang bisa sewaktu-waktu dikerahkan. Selain kekuatan Kay Pang yang sekarang banyak terpendam dimana-mana” Sian Eng Cu menguatkan keyakinan atas diri sendiri. Tetapi tetap tidak mengurangi kepenasaran semua orang.

“Justru karena itu, menurut pendapatku, lebih cepat kita menuju Kwi Cu lebih baik. Apapun pilihan kita, menggebrak langsung ke Kwi Cu jauh lebih baik daripada mereka melakukan konsolidasi kekuatan ulang” Topeng Hitam akhirnya bersuara.

“Benar, tetapi tanpa kepastian tempat mana yang kita tuju dan sasar, tidaklah mungkin kita mengundang para tetua perguruan dan partay. Padahal, kekuatan kita saat ini, sudah banyak berkurang dibandingkan beberapa waktu yang lalu” Sian Eng Cu mengemukakan pendapatnya.

“Dan rasanya tidaklah mungkin kita berjudi dengan mengundang para tetua partay tanpa ada kepastian dimana markas yang hendak kita serbu itu” Pengemis Tawa Gila menguatkan pendapat Sian Eng Cu.

Saat itu, tiba-tiba Maling Sakti yang biasanya tidak banyak bicara karena berada di hadapan tokoh-tokoh utama akhirnya membuka suara:

“Jika diperkenankan, biarlah aku akan mendahului ke Kwi Cu untuk kembali melakukan penyelidikan lebih teliti”

Suara Maling Sakti membuat orang-orang menimbang-nimbang. Tetapi, tidak ada yang meragukan kemampuan Maling Sakti melakukan pengintaian dan pencurian. Karena itu, rata-rata mereka mengambil keputusan mendukung. Dan memang, semua nampak mengangguk-angguk tanpa bicara, sampai kemudian terdengar Sian Eng Cu berkata:

“Baik, usulmu baik sekali Maling Sakti. Biarlah Pengemis Tawa Gila mengatur pengawasan dan penjagaanmu melalui orang-orang Kay Pang”

“Benar sekali, tetapi berjaga atas banyak hal, biarlah beberapa hari kedepan kitapun segera menuju Kwi Cu, meski belum semua. Biarlah anak-anak muda itu, juga kita minta mengarah ke Kwi Cu” Pengemis Tawa Gila menambahkan yang dianggukkan oleh orang-orang lain.
 
2





Perjalanan dari Kota Ye Ceng ke Kota Kwi Cu memakan waktu hampir setengah harian lebih dengan menggunakan atau mengendarai kuda. Atau, hampir 1 hari jika ditempuh dengan berjalan kaki. Dengan berjalan terus kearah utara dan melalui sebuah perbukitan dan hutan, maka akan dicapai kota Kwi Cu.

Jalur antara kedua kota relatif sudah cukup ramai dan banyak ditempuh oleh kaum pedagang. Juga sering digunakan oleh mereka yang berkepentingan atas kedua kota tersebut, termasuk oleh pejabat kerajaan ataupun petugas militer. Karena itu, bisa dimaklumi jika kota Kwi CU berkembang cukup baik dan juga tingkat kemakmurannya cukup merata.

Tetapi, belum lagi perjalanan ke Kwi Cu oleh Sian Eng Cu dan rombongannya diberitahukan ke semua rombongan, pagi-pagi sudah datang berita mengejutkan:

“Lapor Hu Pangcu dan Tayhiap, di beberapa tempat kita mengalami penyerangan. Pelakunya adalah kelompok yang sama, setelah melukai kawanan pendekar, mereka terus melarikan diri kearah selatan. Semua penyerang itu berpakaian putih”

“Apakah ada kawan kita yang binasa oleh serangan itu”? Sian Eng Cu bertanya

“Tidak ada Tayhiap, tetapi semua dilukai dengan senjata rahasia. Para penyerang nampaknya memiliki ginkang tinggi, dengan cepat menghilang dan rata-rata mengambil arah ke selatan” lapor seorang pengemis anggota Kay Pang

“Ada berapa kawan kita yang terluka”? Sian Eng Cu kembali bertanya

“Ada 7 orang Tayhiap, dari 4 kasus penyerangan di empat tempat berbeda”

“Hm, hal ini tidak bisa dibiarkan” Pengemis Tawa Gila bergumam marah

“Benar, dan pastinya bukan sesuatu yang kebetulan. Keinginan lohu ke Kwi Cu justru semakin kuat, meskipun kawanan pengganggu itu nampaknya terus berusaha mengalihkan perhatian kita” Sian Eng Cu menegaskan.

“Benar Tong Locianpwe, kita akan mendapatkan gambaran jelas memasuki Kwi Cu nantinya” Topeng Hitam menyela, entah sejak kapan sudah berada disekitar ruangan tersebut.

“Tapi, bagaimanapun kasus penyerangan ini perlu diperjelas. Maksud penyerangan dan siapa dibalik penyerangan yang nampaknya meski dari Thian Liong Pang tetapi dengan kekuatan lain yang sangat hebat” Pengemis Tawa Gila menyela.

“Benar Hu Pangcu, karena penyerangan ini adalah tantangan terbuka. Mungkin kita harus menunda sehari dua hari ke Kwi Cu sambil mengupayakan penyelidikan tuntas atas penyerang berbaju putih ini. Jika memungkinkan sekaligus menangkap mereka serta mencari tahu apa motif mereka, meskipun hampir bisa dipastikan mereka adalah orang-orang dari Thian Liong Pang belaka” Sian Eng Cu berkata dengan alis berkerut. Nampak kalau dia sendiri cukup terguncang dengan kejadian yang sama sekali tidak terduga dan bahkan belum terungkapkan itu.

“Nampaknya jika demikian, kita membutuhkan penyelidikan kawan-kawan Kay Pang dan jika perlu kitapun terjun langsung mengingat kemampuan penyerang yang cukup tinggi” Topeng Hitam menyarankan.

“Benar, lebih baik lagi seandainya anak-anak muda itu berada disini. Tugas seperti ini lebih baik dibebankan kepada mereka. Tetapi, dengan kekuatan yang adapun, kita harus menyelesaikan urusan disini” Ucapan Sian Eng Cu tertahan, seperti menemukan sesuatu yang sulit diucapkannya. Kemudian ia memandang si Topeng Hitam sejenak dan kemudian menambahkan:

“Jika saudara tidak keberatan, tugas melacak penyerang berpakaian putih ini akan kami serahkan kepada saudara”

Topeng Hitam sadar, bahwa SIan Eng Cu sedang memikirkan sesuatu. Tetapi susah ditebaknya. Tetapi untuk urusan melacak penyerang berbaju putih, dia memang sudah mempersiapkan dirinya untuk melakukan itu. Karena itu, hanya anggukan yang dilakukannya untuk menyanggupi penugasan itu, meski dengan tanda Tanya atas apa yang ditemukan Sian Eng Cu tadi.

“Baik, jika demikian, perkenankan lohu mempersiapkan penugasan bagi anak buah Kay Pang. Kita butuh beberapa hari sebelum melakukan perjalanan memasuki Kwi Cu” Hu Pangcu Kay Pang kemudian berjalan meninggalkan tempat itu dan meninggalkan Sian Eng Cu berdua dengan Topeng Hitam.

Beberapa saat kemudian hening, sampai kemudian si Topeng Hitam membuka keheningan itu dengan ucapan yang menggambarkan kegalauan hati kedua orang itu:

“Jika tidak salah, Tong Locianpwee sedang memikirkan sesuatu yang mungkin terasa sangat mengganjal dan sangat penting”?

Nampak Sian Eng Cu sedikit terpana, tetapi dengan cepat menguasai diri dan perasaannya. Betapapun kematangan dan pengalamannya di dunia Kang Ouw telah menempanya menjadi tidak mudah menunjukkan rasa marah, girang ataupun perasaan lainnya lewat ekspresi wajah. Setelah menarik nafas beberapa saat dia kemudian berujar:

“Kejadian-kejadian beberapa tahun terakhir ini, sungguh sangat sulit dicerna, meskipun sedikit demi sedikit mulai terkuak dan bahkan terbuka dengan sendirinya”

“Maksud Tong locianpwee”?

“Seperti misalnya jati dirimu sesungguhnya. Sebagian besar bisa lohu tebak, tetapi lohu sadar, ada kesulitanmu sendiri untuk saat ini. Apalagi dengan keterlibatan Kiang Cun Le dan Kiang In Hong secara dia-diam, membuat tiada alasan bagi lohu mencurigaimu”

“Tecu paham, dan sangat mengerti dengan kebijaksanaan dan pengertian locianpwee. Bahkan juga dengan ketajaman mata dan perasaan locianpwee”

“Jangan mengumpakku Topeng Hitam, setidaknya begitulah saat ini lohu memangilmu. Hanya, cara keluarga kalian dengan hanya membiarkan seorang Kiang Ceng Liong bekerja secara berterang dan tokoh utama lainnya dengan bersembunyi, membuat lohu kebingungan. Benar-benar sangat membingungkan, dan sulit kutebak arahnya”, Sian Eng Cu berkata dengan tetap memandang kearah Topeng Hitam.

“Lociapnwee, suatu saat Ayah sendiri yang akan meminta maaf kepada locianpwee, atau bahkan Duta Agung sendiri yang akan melakukannya. Saat ini, keluarga kami memiliki kesulitan tersendiri untuk mengungkapkannya, karena bahkan bagi kami sendiri masalah utamanya masih belum terang benar”

“Topeng Hitam, apakah ini berkaitan dengan kenyataan bahwa salah satu pukulan andalan Lembah Pualam Hijau muncul di Siauw Lim Sie pada beberapa tahun berselang saat Thian Liong Pang baru mulai unjuk diri”? Sian Eng Cu berdiam diri sebentar, berjalan mondar-mandir dan kemudian melanjutkan:

“Dan kekagetan lohu melihat betapa mahirnya si penyerang berkerudung dan berjubah putih bergerak dengan dasar gerakan yang sangat kental dari Lembah Pualam Hijau”?
Ucapan Sian Eng Cu sebetulnya cukup telak, tetapi Topeng Hitam nampak tidak terpengaruh dan tidak sangat kaget. Bahkan dengan tenang dia berkata:

“Locianpwee, sebagaimana sudah kukatakan tadi, ayah atau bahkan Duta Agung pada saatnya akan meminta maaf kepada locianpwee atau bahkan dunia persilatan. Hanya, untuk saat ini, karena masalahnya belum terang benar, makanya hanya Ceng Liong yang bekerja berterang. Bahkan kami belum menemukan jejak Kiang Hong dan istrinya, Duta Agung Lembah kami sebelumnya”.

“Secara tidak langsung, nampaknya misteri ini melibatkan Lembah Pualam Hijau. Lohu mengerti mengapa sahabat-sahabatku Kiang Cun Le dan Kiang In Hong memilih langkah misterius dalam menangani masalah ini. Topeng Hitam, percakapan ini tidak berarti lohu mencurgaimu dan Lembah Pualam Hijau, tetapi lebih mengungkapkan beberapa rasa penasaran lohu semata. Harap dimengerti”

“Jangan khawatir locianpwee, menurut ayah, dan menurut penelitianku, misteri ini masih akan berekor sangat panjang. Nampaknya banyak sekali tokoh sakti nan misterius yang sedang dan akan melibatkan diri, cepat atau lambat”

“Masalah ini sudah lama lohu timbang. Jika hanya karena kekuasaan, maka Thian Liong Pang sudah melakukannya besar besaran sejak 5 tahun sebelumnya. Entah apa penyebab sebenarnya, biarlah kita menunggu bagaimana misteri itu terbuka atau membuka dengan sendirinya”

=================

Saat yang sama, ketika para tokoh pendekar sedang berdiskusi di kota Ye Ceng, seorang anak muda berbadan tegap dan gagah sedang mengarah ke Ye Ceng. Nampaknya, anak muda tersebut memang menunggu terang tanah untuk kemudian memutuskan memasuki kota tersebut.

Tetapi, bukan hanya karena maksud tersebut, tetapi karena sepanjang malam anak muda itu menjejaki sebuah bayangan putih yang dilihatnya berkelabat pesat dari arah Ye Ceng. Karena curiga, anak muda tersebut kemudian bermaksud untuk mengintil bayangan putih tersebut. Tetapi, betapa terperanjatnya anak muda itu, karena bayangan putih itu sungguh-sungguh tak sanggup didekatinya.

Bahkan setelah mengejar selama lebih setengah jam, tiba-tiba bayangan putih tersebut berkelabat lebih pesat dan bahkan kemudian lenyap dari pandangan matanya. Ada cukup lama waktu yang digunakan anak muda itu untuk mencari bayangan putih tersebut, tetapi hasilnya nihil.

“Siapakah gerangan bayangan putih tersebut”? “lawan ataukah kawan”? “Bagaimana kemampuan ginkangnya dibandingkan Mei Lan”? “adakah hubungan bayangan itu dengan kawanan pendekar di Ye Ceng”? pikiran-pikiran tersebut berkesiuran di beak anak muda gagah tersebut. Yang jika didekati ternyata adalah Souw Kwi Beng, pendekar muda dari Siauw Lim Sie, binaan salah satu tokoh ajaib Siauw Lim Sie, Kian Ti Hosiang.

Sebagaimana 4 anak muda lainnya, Kwi Beng juga bertugas mengejar pada tokoh Thian Liong Pang ang mengundurkan diri untuk mengintai markas besar Thian Liong Pang. Rencananya, bila markas mereka ketahuan, maka penyerbuan terakhir akan dilakukan. Tetapi, meskipun bahkan Kwi Beng telah memisahkan diri dari saudara kembarnya Kwi Song untuk melakukan pengintaian, tetap saja usaha mereka sia-sia.

Tak ada seorangpun dari mereka nampaknya yang mampu mengikuti para tokoh Thian Liong Pang sampai ke markas utama organisasi gelap tersebut. Itulah sebabnya para tokoh pendekar banyak menghabiskan waktu untuk menunggu mereka dan tiada seorangpun yang membawa kabar berita yang tepat, dimana markas Thian Liong Pang berada.

Dengan sejumlah rasa penasaran yang tidak terjawab, dan juga kepenasaran akibat tidak menemukan jejak si Kerudung Putih, akhirnya Kwi Beng memutuskan untuk memasuki kota Ye Ceng. “Mungkin di Ye Ceng akan ada beberapa penjelasan mengenai si bayangan putih” pikir Kwi Beng.

Dan hal tersebut memantapkan hatinya untuk berjalan kearah Ye Ceng, dan berjalan keluar dari hutan tempat dimana dia melewatkan malam dengan rasa penasarannya. Setelah beberapa saat dia berjalan, nalurinya yang sudah demikian tajam membisikinya bahwa ada seseorang atau bahkan beberapa orang yang sedang membayanginya.

Tetapi yang membuatnya tercekat adalah nampaknya orang atau orang-orang yang membayanginya bukanlah orang biasa. “mungkin ada kaitannya dengan bayangan putih semalam” batin Kwi Beng. Dan kesadaran tersebut membuatnya meningkatkan kehati-hatiannya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Betapapun, Kwi Beng adalah anak muda gemblengan, dan keadaan tersebut tidaklah membuatnya gagap dan gugup, sebaliknya malah membuatnya sangat waspada. Dan belakangan membuatnya berkeinginan memancing pengintipnya untup bertemu muka.

Tetapi setelah beberapa saat kemudian, suara-suara dan langkah yang membayanginya seakan lenyap. Tetapi, keadaan itu tidaklah mengendorkan kewaspadaan Kwi Beng, sebaliknya malah membuatnya semakin meningkatkan kewaspadaannya. Dia paham benar, apabila lawan masih bisa dideteksi keberadaannya, maka keadaan tersebut masih belum cukup berbahaya.

Tetapi, semakin kabur dan semakin sulit lawan dideteksi keberadaannya, semakin berbahayalah keadaannya. Ibaratnya, dia berada di tempat berterang, sementara lawannya dengan leluasa mengawasinya. Keadaan yang tentu tidaklah menguntungkannya. Tetapi, toch tidak membuatnya berkecil hati dan menadi ketakutan.

Dia tetap melangkah penuh kewaspadaan, sama sekali tidak mengendorkan perhatiannya akan keadaan sekelilingnya. Sampai akhirnya, di tempat yang agak luas, dia menemukan jawaban atas kepenasarannya.

Di kejauhan arah langkah yang ditempuhnya, nampak enam sosok bayangan dengan semuanya berpakaian putih. Selain ke enam bayangan berpakaian putih, nampak juga sebuah tandu, yang nampaknya bisa dipastikan seseorang berada didalamnya. Sementara keenam bayangan, yang ternyata semuanya adalah gadis-gadis berparas cantik, berdiri disamping tandu tersebut, masing-masing 3 orang di sebelah kiri dan kanan tandu tersebut.

Semakin dekat semakin jelas bagi Kwi Beng, bahwa ke tujuh orang tersebut, termasuk orang didalam tandu yang belum diketahuinya bentuk jelasnya, memang sengaja menghadang perjalanannya. Tetapi, sengaja atau tidak, tentunya tidaklah membuat Kwi Beng menjadi takut. Sebaliknya, malah dipercepatnya langkahnya untuk bisa berhadapan dengan para penghadangnya yang dirasanya rada unik kali ini.

Dan tidak butuh waktu lama, Kwi Beng telah berdiri berhadapan dengan para penghadangnya, dan ketika ditegaskannya pandangan matanya, dia heran dan kaget, karena semua penghadangnya, kecuali orang dalam tandu adalah gadis-gadis muda yang sangat rupawan. Tetapi tak ada seorangpun yang bergerak dan menyapanya, meskipun semuanya memandang kearahnya.

Melihat keadaan ke-enam gadis cantik pengiring tandu itu, Kwi Beng saar, bahwa betapapun tiada seorangpun dari mereka yang akan berani berbicara. Karena itu dengan sopan, dia malah memulai percakapan:

“Ada apa gerangan para nona menghadang perjalananku”? dan jika boleh tahu, ada maksud apakah gerangan locianpwe yang mulia dalam tandu dengan menghadang jalanku”?

“Apakah engkau bagian dari para pendekar di Ye Ceng”? sebuah suara yang sangat dingin, tapi dipastikan keluar dari bibir seorang wanita terdengar lirih, tetapi nyaring di telinga Kwi Beng

“Benar, locianpwe, ada petunjuk apakah gerangan”?

“Hm, bagus. Apakah engkau anak muda yang berasal dari Lembah Pualam Hijau”?
Kwi Beng tercekat, ternyata penghadangnya sedang mencari Ceng Liong. Tapi dia tidaklah keder dan menjawab:

“Ada apakah locianpwe mencari sahabatku Ceng Liong”?

“Locianpwe, locianpwe, umur kita paling berbeda 2-3 tahun. Seenaknya memanggilku locianpwe. Jadi engkau bukan anak muda dari Lembah Pualam Hijau itu”?

“Bukan, tetapi anak muda dari Lembah Pualam Hijau adalah sahabat baikku” jawab Souw Kwi Beng masih tetap sabar, karena memang seperti itu jugalah karakternya, selalu tenang, tabah dan awas.

“Sahabatnya ….. hm, tapi engkau boleh juga. Bisa mengejarku beberapa waktu tanpa kuketahui. Dan engkau adalah bagian dari rombongan manusia sombong di Ye Ceng itu. Baiklah, apa engkau bisa menyampaikan beberapa perkataanku kepada mereka di Ye Ceng agar mereka cukup tahu diri dan tidak memaksakan diri memusuhi kami”?

“Bila layak kusampaikan akan kusampaikan. Bila tidak layak, tidak akan nanti aku menyampaikannya” tegas Kwi Beng.

“Hm, bagus, sungguh gagah. Tapi, aku ingin melihat, apakah kegagahanmu sepadan dengan kemampuanmu”.

“Tapi, apa cukup sanggup engkau mencobaiku, dan apakah karena engkau tidak berkemampuan menyampaikan sendiri pesanmu ke para pendekar di Ye Ceng”? Kwi Beng mulai yakin bahwa dihadapannya adalah lawan.

“hahahahahaha, aku sudah berkali-kali menimbulkan kekalutan di Ye Ceng dan engkau menganggapku takut menghadapi mereka”? seandainya aku tidak dilarang seserang, maka bukan hanya melukai orang, tapi bahkan aku sanggup meniadakan nyawa banyak orang didalam sana” Sebuah tertawa yang rada sinis tetapi dengan suara merdu terdengar dari dalam tandu. Jelas bagi Kwi Beng, bahwa pemilik suara itu adalah seorang nona.

“Hm, tidak salah, kalian pastilah bagian dari kawanan Thian Liong Pang yang sedang kami kejar itu”

“Hm, tidak salah. Ling, kalian coba apalah anak muda ini cukup pantas menyampaikan pesan kita ke Ye Ceng”, terdengar Nona dalam tandu tersebut mengeluarkan perintah.
“Baik”, terdengar gadis yang dipanggil Ling kemudian bersiap. Dengan gaya khas mereka, ke-6 gadis tersebut nampak bersiap, mengatur rambut mereka dan dengan gerakan yang sangat cepat telah mengurung Kwi Beng ditengah arena.

Bukan cuma itu, dengan cara yang tidak kalah cepatnya, ke enam gadis cantik itu telah menyerang Kwi Beng dari 6 penjuru. Bergerak cepat karena nampaknya kecepatan adalah andalan mereka.

Tetapi yang mereka serang adalah murid kesayangan salah seorang manusia ajaib di Tionggoan, Souw Kwi Beng. Seorang anak muda yang bahkan sudah kenyang dengan pengalaman tempur menghadapi tokoh-tokoh utama di Tionggoan meskipun usianya masih sangat muda. Karena itu, dengan gampang Kwi Beng mementahkan semua serangan ke 6 dayang di manusia berjubah putih dalam tandu itu.

Tapi, memang ada keistimewaan ke enam penyerangnya itu. Mereka bergerak dan nampaknya memiliki kemampuan ginkang yang sangat tinggi, meskipun kekuatan tenaga sinkang mereka nampaknya tidak sehebat ginkangnya. Tetapi, kelemahan itu bisa mereka tutupi dengan saling jaga dan saling bantu bila seorang diantara mereka mendapat serangan.

Yang pasti, kerubutan 6 gadis rupawan, yang tambah rupawan dengan pakaian putih bersih dan juga ikat rambut putih bersih, akan sanggup menghadapi dan mengalahkan tokoh kelas satu Tionggoan.

Cuma, untuk menghadapi seorang Kwi Beng, kerubutan itu nampaknya masih belum cukup memadai. Kwi Beng bisa mengimbangi gerak cepat keenam gadis rupawan itu, dan bahkan sanggup menghadapi kerubutan mereka meskipun mereka saling Bantu dan saling melindung. Untungnya, keenam gadis itu berhadapan dengan Kwi Beng yang berhati sabar dan berhati lembut.

Sama sekali tiada keinginannya untuk menjatuhkan dan melukai keenam pengeroyoknya, meski mereka menyerangnya dengan cepat dan ganas. Dengan tenaga yang terukur dan dibatasinya, Kwi Beng menghadapi kerubutan tersebut. Sesekali jemarinya memainkan ilmu Tam Ci Sin Thong yang membuat keenam gadis itu kewalahan dan tidak berani membentur tangan dan jarinya.

Perkelahian atau kerubutan ke enam gadis itu, sampai sekian lama tidak mampu menghadirkan bahaya bagi Kwi Beng, Karena kecuali gaya dan kecepatan gerak mereka yang memang termasuk luar biasa, ilmu kepandaian mereka masih jauh dan belum nempil melawan Kwi Beng.

“Kita coba dengan barisan ular” terdengar Ling yang menjadi pemimpin mereka bersuara, diikuti dengan gerakannya yang semakin cepat dan gaya bergerak selicin ular. Gerakan keenam gadis itu kini menjadi selain cepat, juga licin diikuti dan diimbangi dengan gaya tubuh mereka yang kini mirip ular.

Barisan itupun menjadi segaris, dan menyerang Kwi Beng, baik dengan ancaman gigitan kepala maupun kibasan ekor mirip ular. Gaya yang aneh dan belum pernah disaksikan Kwi Beng ini untuk beberapa saat membuatnya kebingungan dan membuat posisinya jatuh dibawah tekanan barisan 6 gadis cantik itu. Terlebih ketika desisan dari mulut gadis gadis cantik itu, perlahan mulai mempengaruhi pikiran Kwi Beng.

Dan justru kondisi itulah yang menyadarkannya, bahwa posisinya mulai berbahaya dan bahwa lawannya ternyata memiliki kemampuan melakukan penyerangan dengan menyertakan kekuatan sihirnya. Dan kekuatan itu yang membuat posisinya semakin lama semakin keteteran dan lama kelamaan keadaannya akan tambah berbahaya.

Menyadari keadaan tersebut, Kwi Beng kemudian mengembangkan ilmunya yang juga memiliki pengaruh mujijat, Pek In Ciang (tangan awan putih). Dengan ilmunya tersebut hawa sihir yang dikerahkan kawanan gadis cantik itu menjadi punah dengan sendirinya. Menjadi tidak punya arti untuk mempengaruhi kesadaran Kwi Beng, bahkan awan putih yang muncul dari lengan Kwi Beng sanggup mementalkan semua hawa pukulan dan serangan gadis-gadis tersebut.

Dan perlahan namun pasti, Kwi beng kembali menguasai keadaan, sementara kerubutan itu dengan sendirinya kembali jatuh di bawah angin. Karena pukulan dan desisan mereka tidak lagi sanggup menembus benteng pertahanan Kwi Beng yang kini mengerahkan ilmu mujijat dari seorang guru besar Siauw Lim Sie di Poh Thian.

Sementara itu, di balik tandu, sepasang mata yang jernih nampak memandang penuh perhatian dan sangat tertarik ke arena pertempuran. Tak disangkanya kalau anak muda yang mengejarnya semalam, ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Tadinya, sebuah senyum mengejek sempat berkembang dibibirnya melihat Kwi Beng gelagapan menerima serangan barisan ular 6 gadis cantik ciptaannya bersama gurunya.

Tetapi, melihat kemampuan Kwi Beng menanggulanginya dan bahkan memunahkan dan membuat serangan barisan itu menjadi tidak berguna, benar-benar merangsang rasa kepenasarannya. “Anak muda ini hebat juga, dan sepertinya bukan lawan enteng bagiku” pikir orang itu.

“Dan nampaknya barisan itu sebentar lagi akan mengalami kesulitan dan bukan tidak mungkin kekalahan mutlak jika dibiarkan” batis orang dalam tandu itu yang mulai menguatirkan anak buahnya tidak sanggup menahan dan menandingi Kwi beng, apalagi mengalahkannya.
 
3





Pikirannya memang benar, sayangnya dia belum mengenal Kwi Beng. Seorang anak muda yang gagah dan lembut hati, tidak akan sanggup dia menjatuhkan tangan keras kepada para pengeroyoknya. Itulah sebabnya, meskipun barisan ular 6 gadis cantik itu sudah kehilangan kesanggupannya untuk membahayakan Kwi Beng, tetapi tidak terbersit di hati Kwi Beng untuk menurunkan tangan kejam.

Lama kelamaan, hal ini terasa juga di hati kawanan 6 gadis cantik ini. Mereka menjadi kagum, ketika berkali-kali Kwi Beng menahan tangan dan angin pukulannya yang seharusnya sudah melukai lawannya. Dan, keadaan ini membuat ke enam gadis cantik ini berbalik menjadi simpati terhadap si anak muda.

Tetapi, mereka tidak akan pernah berani berhenti berkelahi sebelum perintah mundur meluncur dari mulut orang dalam tandu. Dan hal tersebut membuat mereka tidak mengendurkan serangan, meski mereka menaruh hati dan kasihan kepada pemuda yang tidak berani melukai mereka meski kemungkinan itu sangat terbuka.

Pada akhirnya, Kwi Beng yang menjadi tidak tahan. Disatu sisi, dia tidak sampai hati melukai kawanan gadis rupawan itu, tetapi disisi lain, juga sulit jika tidak menghentikan mereka. Sementara, tidak nampak tanda-tanda bahwa keenam gadis itu akan berhenti menyerangnya.

Dan lama kelamaan dia sadar, bahwa tanpa perintah dari orang dalam tandu, keenam gadis itu tidak akan berhenti. Karena itu dia berkata:

“Sudah cukup permainan ini. Sudah jelas, mereka tidak akan sanggup melukaiku. Apa belum cukup bagimu untuk mengerti bahwa aku cukup layak menerima apa pesan kalian? Atau, engkau sendiri yang harus turun tangan menghadapiku”?

“Hm, apakah engkau sanggup”? suara dingin tetapi cukup merdu itu terdengar dari balik tandu

“Bila belum dicoba, mengapa berkesimpulan aku sanggup atau tidak”?

“Baik, mari kita coba” belum selesai kalimat itu didengar Kwi Beng angin pukulan orang dalam tandu sudah menderu tiba, dan terdengar suara:

“Kalian menyingkir” diikuti dengan mundurnya 6 gadis cantik berpakaian putih itu. Dan segera terdengar benturan hebat antara Kwi Beng dengan si orang dalam tandu yang ternyata pakaiannya sama dengan pengiringnya, semua berwarna putih. Bahkan, dikepalanyapun masih ada pelindung muka, sebuah cadar, yang juga berwarna putih, menyembunyikan wajah asli pemiliknya.

“Blarrrrr”, akibatnya kedua orang tersebut sungguh terkejut. Kwi Beng terperanjat, dia memang sudah yakin bahwa lawannya pasti sangat hebat, meski dia tahu lawannya tu seorang wanita. Tapi, tak disangkanya bila kekuatan tenaga dalamnyapun, bahwa tidak berada disebelah bawahnya, bahkan mungkin mengatasinya. Sementara lawannyapun mencelat ke belakang setelah benturan tersebut.

Tak disangkanya bila anak muda dihadapannya demikian digdaya dan hebat. Sudah jelas, meski benturan itu baru sekali, tetapi bahwa anak muda itu sanggup menahannya jelas luar biasa. Tidak sembarang orang sanggup menahan pukulannya, bahkan kekuata tadi sudah sanggup menghalau semua anak buahnya tunggang langgang. Tapi, anak muda didepannya sanggup menahannya, luar biasa.

“Engkau hebat anak muda. Engkau bahkan sanggup menahan pukulan Majikan Kerudung Putih” desis orang itu yang ternyata adalah Majikan Kerudung Putih, yang bahkan masih setingkat di atas Kim I Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay. “Pantas dia begitu hebat, karena menurut Ceng Liong, Majikan Kerudung Putih dan Hitam masih di atas kesanggupan Hu Hoat Thian Liong Pang” pikir Kwi Beng.

Dan kesadaran itu telah membangkitkan semangat Kwi Beng untuk bertarung dengan kesanggupan tertingginya. Bahkan dia kemudian menyiapkan diri menghadapi lawan yang dia tahu sangat berat ini. Tapi, dia sedikit heran melihat Majikan Kerudung Putih menatapnya tak berkedip. Entah apa maksudnya, tapi tidak membuatnya mengendorkan kewaspadaannya. Benar saja, beberapa saat kemudian terdengar Majikan Kerudung Putih mendesis:

“jaga serangan” dan sama seperti sebelumnya, belum selesai ucapan itu, angin pukulan Majikan Keudung Putih sudah mencecarnya. Dan dengan segala kemampuannya Kwi Beng bergerak memapak serangan tersebut, dan sekali lagi terdengar benturan yang malah lebih keras dibandingkan benturan mereka sebelumnya:

“Blarrrrrrr”

Tetapi benturan yang lebih hebat tersebut tidak menghentikan serang menyerang antara keduanya. Kwi Bengpun tidak kalah sebat, dengan pengerahan kekuatan secukupnya, jari jemarinya melancarkan sejumlah totokan maut kearah Majikan Kerudung Putih. Totokan-totokannyapun bahkan diiringi dengan desisan tajam, bagaikan pisau atau pedang yang sedang mengincar sejumlah titik jalan darah ditubuh lawan.

Tetapi totokan-totokan itupun tidak banyak berpengaruh terhadap Majikan Kerudung Putih. Beberapa mampu ditepisnya dan beberapa sanggup dielakkannya dengan gampang. Bahkan tangannya dengan lenggang-lenggok seperti ular, mampu menyusupkan serangan balasan yang tidak kurang berbahayanya.

Benturan-benturan awal sungguh membingungkan Kwi Beng. Hanya karena memang semua ilmu dan dasar kekuatannya adalah murni Siauw Lim Sie yang membuatnya tidak jatuh terlampau jauh. Gaya bersilat Majikan Kerudung Putih memang rada berbeda. Kelihatannya dasar-dasar ilmu pukulan dan ilmu geraknya agak asing dan terkadang rada mujijat bagi Kwi Beng.

Sementara bagi Majikan Kerudung Putih, gaya bersilat Tionggoan nampaknya tidak begitu mengganggunya dan seperti sudah cukup memahaminya. Buruk bagi Kwi Beng, karena gaya bertarung lawannya relatif baru dan asing buatnya. Terlebih, setelah bertarung sekian lama, semakin jelas bagi Kwi Beng bahwa ginkangnya masih di bawah kemampuan lawan. “Mungkin ginkang manusia aneh ini nempil dengan Mei Lan” batin Kwi Beng.

Sementara kekuatan sinkangnya, bahkan juga sedikit mengatasinya, meski kemurnian dan keuletannya masih lebih bagi Kwi Beng. Hal yang juga disadari oleh Majikan Kerudung Putih setelah sekian lama mereka saling jajal ilmu masing-masing.

“Hm, tidak heran engkau begitu pongah anak muda, karena memang kemampuanmu memang sanggup menghadapi Hu Hoat kami. Tapi nampaknya masih belum memadai menghadapi Majikan Kerudung Putih dan Majikan Kerudung Hitam dari Thian Liong Pang” Majikan Kerudung Putih masih sanggup bicara meski dalam pertempuran ketat dengan Kwi Beng.

“Masih harus dibuktikan” Kwi Beng bersuara dengan masih tetap mantap.

Sambil berbicara keduanya terus terlibat dalam perkelahian dengan meningkatkan kemampuan masing-masing guna menekan lawan. Bahkan Kwi Beng sudah mengerahkan Ilmu Mujijatnya Ban Hud Ciang dan secara otomatis ilmu mujijat lainnya Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) mulai terkerahkan melindungi tubuhnya. Tetapi, dengan kecepatan dan juga kekatan iweekangnya, Majikan Kerudung Putih masih tetap sedikit diatas angin. Hanya, angin pukulannya tidak lagi terlampau menyulitkan dan menyakitkan bagi Kwi Beng setelah dia mengerahkan khikang mujijat Siauw Lim Sie.

Cuma, bagi Kwi Beng, kecepatan bergerak Majikan Kerudung Putih memang menyulitkannya, dan itu sebabnya dia sulit merebut inisiatif menyerang dari Majikan Kerudung Putih. Untungnya, pikirannya mampu tetap jernih setelah memainkan ilmu mujijat dan melindungi dirinya dari sambaran-sambaran pukulan Majikan Kerudung Putih.

Perlahan namun pasti, kecepatan bergerak dan sedikit kelebihan dalam kekuatan sinkang membuat Majikan Kerudung Putih mendesak Kwi Beng. Meskipun, bukan hal mudah bagi Majikan Kerudung Putih mengalahkan Kwi Beng yang sedikit lebih baik dalam hal kemurnian penguasaan tenaga dalam.

Deru pukulan Majikan Kerudung Putih yang sangat tajam menusukpun, masih belum sanggup mendatangkan rasa sakit bagi Kwi Beng. Hanya, memang frekwensi serangan dan inisiatif menyerang sejak awal dipegang oleh Majikan Kerudung Putih yang sangat digdaya itu. Pukulan dan ilmu sakti dari Siauw Lim Sie nampaknya bukan sesuatu yang sangat menyulitkan bagi si Majikan.

Karena baik Ban Hud Ciang, Tay Lo Kim Kong CI, Thai Kek Sin Kun dan Pek In Ciang yang berhawa sihir mujijat yang dimainkan Kwi Beng sanggup diimbanginya dengan baik. Bahkan sanggup melakukan serangan balasan dengan kualitas ilmu yang asing bagi Kwi Beng namun tidak kalah ampuh dan tidak kalah bermutunya.

Lama kelamaan nampak Majikan Kerudung Putih menjadi lebih penasaran, karena sekian lama mendesak Kwi Beng tetapi tidak mampu mendesak dan melukai Kwi Beng. Memang Kwi Beng sedikit terdesak, namun bukan berarti bisa dikalahkannya dengan mudah dalam waktu singkat.

Dibutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk menaklukkan anak muda itu. Karena memang tidak memngecewakan Kwi Beng menjadi murid terkasih mendiang Kian Ti Hosiang. Dan menghadapi salah satu tokoh puncak Thian Liong Pang ini, Kwi Beng kembali memperlihatkan kesaktian dan keperwiraannya.

Dia tidak kehilangan kewaspadaan dan putus asa menghadapi lawan beratnya itu, meski sadar sulit sekali meraih inisatif penyerangan untuk sebuah kemenangan. Hanya karena khikang istimewa dan pengaruh yang mengusir hawa sihir sajalah dia tidak terperosok lebih jauh.

Tiba-tiba terdengar suara seperti suara mendesis dari mulut si Majikan Kerudung Putih, dan secara tiba tiba terjadi perubahan cara berkelahinya. Tubuh yang berbalut pakaian serba putih itu, seperti melayang mendatar berjarak tidak jauh dari perut bumi dan mencecar bagan bawah Kwi Beng dengan kecepatan yang luar biasa.

Akibatnya, serangkum hawa dan angin pukulan yang luar biasa bagai prahara menghantam Kw Beng, sementara totokan dan juluran tangn Majikan Kerudung Putih mencecar bagian bawah Kwi Beng. Kembali kecepatan gerak tangan dan ginkang yang dikembangkan Majikan kerudung Putih mencecar Kwi Beng dan membuat anak muda itu mundur teratur ke belakang. Bahkan pundaknya sempat terserempet jentikan tangan Majikan Kerudung Putih, namun tetap tidak sanggup melukai anak muda tersebut.

Tetapi jelas Kwi Beng terjerumus dalam kesulitan untuk menandingi Majikan Kerudung Putih yang terus bersilat semakin lama semakin garang. Bahkan tubuhnya yang seperti ular melata tetapi melayang sedikit di atas bumi seperti sanggup bergerak seperti ular meliuk-liuk dan menyerang bagian bawah Kwi Beng dan bisa secara cepat mematuk dan menyerang keatas. Gaya seperti ini dan gerakan-gerakan asing nan aneh membuat Kwi Beng kesulitan beradaptasi. Untungnya dia memiliki kemurnian Ilmu silat dan tenaga memadai untuk tidak membuatnya lebih kesulitan lagi.

Tetapi, harus diakui, menerima beberapa kali jentikan dan pukulan Majikan Kerudung Putih membuat Kwi Beng kesakitan juga. Meskipun tidak sampai melukai tubuh bagian dalamnya. Tetapi meskipun demikian, perlawanannya masih tetap alot dan tidak membuat Majikan Kerudung Putih merasa sudah menang.

Karena kekuatan Kwi Beng masih belum berkurang dan pukulannya yang bersarang di tubuh Kwi Beng terpental dan nampaknya tidak melukai anak muda itu. Diam diam Majikan Kerudung Putih ini menjadi sangat kagum juga terhadap anak muda itu. Mengagumi keuletannya dan mengagumi kematangan permainan ilmu silat anak muda itu, yang menurut taksirannya memang sudah sulit menemukan tandingan. Akan sulit mengalahkan anak muda ini setelah 2-3 tahun lagi kedepan, batin si Majikan Kerudung Putih.

Sementara itu, dengan mengerahkan Pek In Ciang dan Tay Lo Kim Kong Ciang, Kwi Beng akhirnya bisa bernafas sedikit lega meski badai serangan masih tetap menerpanya. Tetapi setidaknya, secara perlahan dia mulai memahami bahwa lawannya bergerak berdasarkan gerak seekor ular. Hanya kecepatannya itu yang sangat memusingkannya. Itulah sebabnya Kwi Beng akhirnya memilih memainkan Thai Kek Sin Kun dan Tay Lo Kim Kong Ciang untuk mempertahankan dirinya.

Keadaannya kembali sedikit membaik dan Kwi Beng mulai memikirkan untuk melepaskan ilmu andalan perguruannya seandainya lawannya mencecarnya lebih jauh. Dan memang, nampaknya lawanpun belum sampai pada tingkat permainan ilmu tertingginya. Dia masih tetap memegang kendali meski tidak berkemampuan untuk merontokan perlawanan Kwi Beng untuk meraih kemenangan.

Bahkan terkesan, Majikan Kerudung Putih mengagumi lawannya dan membiarkan pertarungan menjadi panjang karena ingin mengenali lebih jauh ilmu dan kesanggupan lawan. Sebuah ciri khas dan penyakit dari pesilat yang sudah mencapai puncak kemampuannya. Selalu senang dan sangat menikmati bertempur melawan lawan yang memiliki kemampuan sepadan dan menemukan jurus dan trik ilmu silat baru untuk meningkatkan kemampuan sendiri.

Dan melawan Kwi Beng, meski penasaran tidak bisa mendesak lawan hingga tunggang langgang dan bahkan tidak mampu melukainya meski memegang inisiatif penyerangan, malah membuat nafsu bertarung Majikan Kerudung Putih semakin membara.

Nampaknya, diapun kemudian terpancing meningkatkan kemampuan ilmunya dan membuatnya seperti mengurung Kwi Beng di arena namun tidak sangup melukainya. Luar biasa pertarungan keduanya. Ilmu dari aliran dan gaya berbeda nampak diperbenturkan oleh kedua orang yang menguasainya dengan sangat mahir.

Dan tingkat penguasaan keduanyapun nampaknya tidaklah jauh berbeda, sehingga benturan benturan hebat terdengar memekakkan telinga. Selebihnya, bahkan anak buah si Majikan Kerudung Putih nampak sudah berkali kali melangkah mundur untuk menghindari angin pukulan yang semakin tajam menusuk dan kuat menerpa mereka. Mau tidak mau mereka mengagumi kedua orang yang sedang bertempur tersebut, meskipun mereka tentu berharap majikannya yang memenangkan pertarungan tersebut.

Tetap, setelah sekian lama, merekapun menjadi gugup karena meski terus mendesak, tetapi posisi Kwi Beng tidaklah menjadi lebih parah meski pertarungan sudah makan waktu lama. Bahkan tendangan dan pukulan serta sentilan jari Kwi Beng masih sangat tajam menusuk bahkan meninggalkan lubang yang mengerikan di batu sekalipun.

Hanya Kwi Beng dan Majikan Kerudung Putih yang mengerti bahwa sebetulnya memang inisiatif menyerang selalu dipegang sang Majikan, tetapi belum cukup sanggup menjatuhkan Kwi Beng yang bersilat dengan ulet. Bahwa serangan dipegang oleh Majikan Kerudung Putih memang nampak jelas. Dari 4 atau 5 kali serangannya, hanya bisa Kwi Beng melakukan satu kali serangan balasan. Karena itu nampak jelas bahwa Kwi Beng lebih banyak mempertahankan dirinya untuk tidak terkena pukulan mematikan lawan. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama, sampai kemudian tiba-tiba terdengar sebuah suara:

“Koko, jangan takut, aku membantumu”

Dan seiring dengan terdengarnya suara tersebut sebuah bayangan biru yang sangat pesat dan diiringi angin pukulan yang juga sangat kuat sudah menerjang datang. Tapi Majikan Kerudung Putih tidak kehilangan kewaspadaan dan kehebatannya. Dengan tenang dia memapak serangan yang mengarah kedirinya dan kesudahannya membuatnya sangat terkejut.

“duk”

Benturan hebat terjadi dan akibatnya untuk menjaga dirinya Majikan Kerudung Putih membiarkan dirinya terental ke belakang untuk menjaga diri dari serangan Kwi Beng akibat dia kehilangan tempo seketika. Tetapi, untungnya Kwi Beng bukanlah orang yang gemar menarik keuntungan dari kondisi buruk lawan.

Apalagi akibat serangan orang lain. Karena itu, Majikan Kerudung Putih kemudian memiliki waktu cukup untuk memandangi anak muda yang datang dan membuatnya terperanjat karena betapa miripnya lawan yang dicecarnya dengan penyerang yang baru datang kemudian. Selain kemiripan itu, yang juga sangat mengagetkannya adalah kemampuan si penyerang yang bahkan tidak berada di bawah lawan yang dicecarnya. Sungguh luar biasa, dia kini berhadapan dengan dua orang yang memiliki kemampuan nyaris menyamai dirinya.

Dan sulit baginya untuk mampu menghadapi kedua orang itu jika mereka maju berbareng. Karena itu dengan suara dingin dia membentak:

“Hm, kalian ingin mengeroyokku”?

Kwi Beng nampak memerah sejenak wajahnya tetapi kemudian dia menarik nafas panjang dan berkata:

“Engkau sungguh lihay, aku sendirian nampaknya akan sulit menandingimu. Tetapi, tidak ada niat kami untuk mengeroyokmu, asal engkau juga tidak mengotori tanganmu dengan menjatuhkan banyak darah para pendekar Tionggoan”

“Koko, maksudmu”? Kwi Song menatap kakaknya dan dalam pandangan seketika kedua saudara kembar itu sudah saling mengerti. Terutama ketika Kwi Song melihat anggukan kepala kakaknya yang dia tahu selalu jujur dan pantang berdusta.

“Dialah yang dimaksudkan oleh saudara Ceng Liong sebagai tokoh-tokoh Thian Liong Pang yang bahkan melebihi Hu Hoat mereka” tambah Kwi Beng. Dan penjelasan itu membuat Kwi Song mengerti mengapa kakaknya bisa jatuh dibawah angin menghadapi si Kerudung Putih.

“Hm, kita berdiri berhadap-hadapan sebagai lawan, tiada salahnya kalian maju mengeroyokku. Lagipula, aku masih memiliki para pengiringku yang sangup membantuku melawan kalian” terdengar jengekan si Majikan Kerudung Putih

“Rasanya sudah cukup Majikan Kerudung Putih. Mohon sampaikan pesan kami kepada Pangcu Kalian agar menarik diri dari ambisi besarnya yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban, atau menghadapi ancaman serbuan kami” Kwi Beng berkata.

“Apakah kalian berkemampuan”? tantang Majikan Kerudung Putih

“Kami sudah membuktikannya, dan akan melanjutkannya bila Pangcu kalian tetap memaksakan diri” Kwi Song menyambut dan memasuki arena perdebatan itu. Nampak kemudian Majikan Kerudung Putih memandang kedua anak muda itu bergantian, tersirat rona kagum di matanya dan tidak lama berselang dia berkelabat mundur. Dan sulit dikuti pandangan mata, Majikan Kerudung Putih meninggalkan tempat tersebut bersama pengiringnya. Diikuti pandangan sama, kagum, dari Kwi Beng.

Suasana cukup lengang beberapa saat, sampai kemudian dipecahkan oleh rasa penasaran yang terkandung dalam suara Kwi Song:

“Koko, kenapa mereka dibarkan berlalu”?

“Song te, Majikan Kerudung Putih memiliki tingkat ilmu di atasku. Bahkan keampuan ginkangnya, mungkin menyamai Mei Lan. Kita takkan sanggup mengejarnya” Kwi Beng bergumam dengan suara mengambang

“Tetapi, masakan kita berdua tidak sanggup menahannya”? Kwi Song tetap penasaran dengan sikap kakaknya. Sudah tentu dia merasa aneh dengan keputusan kakaknya membiarkan lawan berlalu dan melarangnya untuk menghadang dan mengejar.

“Karena belum saatnya adikku. Lagipula, jika tidak salah, Majikan Kerudung Putih adalah seorang wanita. Selain itu, dia tidaklah jahat kelihatannya. Entahlah. Dan para pengiringnya, juga bukanlah orang lemah”

“Hm, tidak disangka jika dalam Thian Liong Pang masih terdapat jago lain yang malah lebih lihay lagi koko. Nampaknya perjuangan melawan mereka bakal berlangsung alot dan lama”

“Benar adikku”

“Tapi, apakah engkau mampu menjajaki kira-kira asal dan jenis ilmu silat orang itu koko”?
Nampak Kwi Beng mengerutkan alis, dia sepertinya sedang berpikir keras untuk mengingat-ingat. Tetapi akhirnya nampak dia menghela nafas panjang, dan kemudian berkata:

“Semuanya gelap Song te. Ilmu silat dan dasar ilmunya terasa sangat asing, seperti bukan dari Tionggoan, selain itu hawa pukulannya mengalirkan hawa mujijat yang membingungkan. Kakakmu ini tidak sanggup mengenali dasar ilmunya, kecuali kenyataan bahwa dasar gerakannya nampaknya dari gerakan-gerakan ular”

“Sungguh penasaran ….. sungguh penasaran, kita bahkan tidak banyak beroleh info dari pertempuran koko dengan tokoh itu”

“Kecuali bahwa dia seorang perempuan dan nampaknya belum tua benar. Bahkan bukan tidak mungkin seorang nona”

“Seorang nona? Apakah engkau yakin koko? Kwi Song mengejar dan mencecar kakaknya dengan kepenasarannya

“Aku bakal tidak salah dengan yang satu itu adikku” Kwi Beng nampak masih penuh penasaran dan banyak pertanyaan yang tak terjawab dibenaknya. Tetapi, anehnya, Kwi Beng juga seperti gelisah.

Keadaan kembali hening sejenak, kedua kakak beradik kembar tersebut seperti memikirkan hal yang sama, kepenasaran yang sama dan hasrat yang sama atas penyelesaian masalah Thian Liong Pang. Dan kepenasaran serta pertanyaan mereka bahkan berlanjut hinga mereka sepakat melangkah bersama, kearah yang sama memasuki Ye Cheng.

Kota dimana para pendekar dilanda kepenasaran yang sama atas sergapan para penyergap berpakaian putih, melukai sjeumlah pendekar tetapi tidak membunuh mereka. Betapapun penasarannya para tokoh itu, tapi baru Kwi Beng dan Kwi Song yang secara langsung bisa berhadapan dengan tokoh itu. Bahkan ketika kemudian Mei Lan dan Tek Hoat bergabung, keduanya, seperti juga pendekar kembar dari Siauw Lim Sie, tidak membawa kabar yang lebih seputar markas utama Thian Liong Pang.

Karena itu, sebelum menemukan markas utama itu, para pendekar kini berkonsentrasi menghadapi Majikan Kerudung Putih yang menurut Kwi Beng, adalah seorang wanita yang bahkan masih diatas kemampuan para Hu Hoat Thian Liong Pang. Kabar yang sangat mengejutkan.

Tetapi, yang juga membuat para pendekar berdegup murka dan gemas adalah, masih ada sekali dua kali para penyerang gelap berbaju putih itu mengganggu, tetapi seperti biasa denga cepat menghilang. Dan setelah itu, ada beberapa hari penyerang itu menghentikan upaya mereka. Agaknya seperti mengetahui bahwa di Ye Cheng, kini telah berkumpul beberapa jago muda lain yang sangat hebat.

Tapi begitupun, kepenasaran para jago tetap merupakan sebuah teka-teki karena belum sanggup membuka tabir dibalik penyerangan kelompok berjubah putih yang rata-rata semua adalah gadis muda dengan ginkang istimewa.
 
BAB 8 Kemelut di Thai San Pay dan Tiam Jong Pay
1 Kemelut di Thai San Pay dan Tiam Jong Pay




Hari ketujuh setelah membatalkan memasuki Kwi Cu akibat gangguan para penyerang berbaju putih, seharusnya kondisi para pendekar menjadi lebih baik. Apalagi, karena kemudian pada hari kedua Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song membawa kabar telah mampu mengetahui identitas, meski belum sepenuhnya, dari para penyerang berjubah putih tersebut.

Dan kemudian dua hari menyusul, Liang Tek Hoat menyusul tiba di Ye Cheng dan pada hari berikutnya menyusul tiba Liang Mei Lan adiknya. Meski keduanya tidak membawa kabar yang lebih baik soal keberadaan markas besar Thian Liong Pang, tetap harapan menjejaki para penyerang berbaju putih akan semakin besar kemungkinannya.

Jikapun ada yang masih dipikirkan meski tidak serius sekali adalah, belum munculnya Kiang Ceng Liong, dan belum diketahui kabar apa kiranya yang ditemukan anak muda tersebut. Bisa dimaklumi, karena memang kelima anak muda sakti itulah yang menjadi sandaran utama para pendekar dalam upaya menggulung Thian Liong Pang kali ini.

Seperti diketahui, semua anak muda sakti itu, ditugaskan untuk mengintil kekuatan utama Thian Liong Pang yang mengundurkan diri. Diharapkan, dari mereka bisa ditemukan markas utama Thian Liong Pang untuk kemudian diselesaikan tuntas teror yang ditimbulkan Thian Liong Pang tersebut.

Tetapi, sayangnya, sebagaimana dilaporkan Souw Kwi Beng dan adiknya, serta juga Tek Hoat dan adiknya, sama sekali mereka kehilangan jejak. Bahkan jauh sebelum memaskui Ye Cheng. Nampaknya ada satu lokasi rahasia mereka, yang membuat para tokoh yang mengundurkan diri itu bisa menghilangkan diri dari pengawasan dan kuntilan para anak muda tersebut.

Selain, memang para tokoh tersebut bukan anak kemaren sore yang bisa dikibuli atau diakali dengan pengintaian semacam itu. Mereka tahu belaka, bahwa jejak mereka sangat pasti konangan, dan karena itu mereka jelas sudah mempersiapkan diri untuk menghilangkan jejak dari pantauan lawan. Sebagai tokoh-tokoh kawakan, jelas mereka punya banyak cara untuk menghindari pengintaian orang terhadap jejak mereka yang mengundurkan diri.

Kehilangan jejak dan ketidaktahuan bagaimana menemukan jejak markas utama Thian Liong Pang ini jelas membuat moral kelompok pendekar merosot. Semakin lama keadaannya akan semakin buruk. Hal itu disadari oleh para pemimpinnya, Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila. Sebagai tokoh kawakan, mereka sadar benar resiko yang dihadapi apabila markas besar yang akan diserang dengan kekuatan penuh itu tidak ditemukan.

Tetapi, merekapun tidak mungkin sembrono, karena kekuatan utama sekarang terbagi dua setelah para sesepuh Partai besar pamit mengurusi urusan perguruan masing-masing dan menunggu berita panggilan untuk serangan pamungkas. Tapi, setelah sebulan lebih lewat, ternyata serangan pamungkas itu tidaklah pernah bisa dilakukan akibat markas utama Thian Liong Pan tidak bisa diendus.

Bahkan pengendus berita terhebat jaman itu, yakni Kay Pang dan juga Maling Sakti, yang sudah mengerahlan tenaganya, masih tetap tidak sanggup menemukan dan mencium keberadaan markas tersebut.

Sementara itu, dipihak lain, terpaan atas kesatuan moral dan semangat para pendekar kian hari kian tergerus. Selain waktu yang terus berlangsung dan bahkan semakin lama, juga serangan gerilya dari pasukan berbaju putih, meski tidak mengorbankan nyawa para pendekar, tetapi juga ikut menggerus semangat.

Karena hingga hari ketujuhpun, masih belum sanggup menemukan dan menangkap pelakunya. Padahal, ke-4 anak muda sakti itu, sudah melakukan pengejaran dan perondaan setiap malamnya. Selain jatuhnya korban tersebut, kejenuhan juga mulai menerpa para pendekar. Terutama para pendekar kelana, yang memang tidak terbiasa hidup dalam ikatan yang ketat.

Meskipun mereka sadar akan ancaman dan bahaya membiarkan Thian Liong Pang, tetapi hidup dalam ketidakentuan dan terikat, membuat mereka sangat sengsara. Sejumlah benturan kian hari kian banyak terjadi, termasuk juga perbedaan pendapat. Untungnya, wibawa Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila yang sangat kawakan, masih sanggup mengekang dan mengatasi keadaan.

Tetapi, dapat dipastikan bila dibiarkan lebih lama lagi, maka rombongan para pendekar ini jelas akan buyar dengan sendirinya. Buktinya, sudah ada 1-2 pendekar kelana yang minta diri karena urusan pribadi kepada Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, meskipun mereka tetap memberi komitmen untuk membantu bila saat penyerangan sudah tiba.

Karena itu, maka pada hari ketujuh, Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Kwi Cu, dan akan diputuskan disana, apakah rombongan itu dipertahankan ataukah tidak. Keputusan ke Kwi Cu diambil setelah masuk laporan dari Maling Sakti, bahwa bukan tidak mungkin dan indikasinya kuat bahwa markas utama Thian Liong Pang nampaknya berada di seputar Kwi Cu, meski lokasi utamanya masih belum ditemukan. Karena itu, maka pada hari ketujuh, malam dikelarkan perintah bahwa rombongan pendekar yang terbagi dalam beberapa kelompok akan melakukan perjalanan menuju Kwi Cu.

Tetapi, pada hari keberangkatan, lagi-lagi terjadi peristiwa yang nampaknya seperti normal-normal saja, meski sangat mengganggu dan bahkan membatalkan perjalanan para pendekar. Pada pagi hari, tepat saat keberangkatan ke Kwi Cu akan dilakukan, rombongan dari Thai San Pay dan Tiam Jong Pay tiba-tiba menarik diri.

Bahkan pada hari itu juga, rombongan dari Thai San Pay dan Tiam Jong Pay memutuskan untuk kembali ke Gunung masing-masing. Lebih kurang 20 orang dari rombongan tersebut akhirnya memutuskan pulang ke perguruan masing-masing, dan secara otomatis mengurangi jumlah dan kekuatan kelompok pendekar. Tetapi, bukan berkurangnya jumlah itu yang mengkhawatirkan bagi Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila serta Topeng Hitam yang selalu berada di Ye Cheng.

Tetapi percakapan dengan Tang Hauw Sek, sute dari Thian San Pay Ciangbunjin dan Gui San Bu, Wkl Ciangbunjin Tiam Jong Pay yang berjulukan Coat-ceng-kiam (si pedang tanpa kenal ampun). Percakapan yang mendatangkan kecemasan yang lain bagi Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila dan bahkan si Topeng Hitam;

“Tong tayhiap dan cuwi sekalian, sebetulnya kami tidak berkehendak meninggalkan arena ini sedini ini. Dan bahkan kami tidak ingin membicarakan hal-hal lain seputar perguruan kami. Tetapi secara tidak sengaja, kami telah membicarakan urusan perguruan masing-masing, dan menemukan kesamaan yang sangat aneh dan mencurigakan” Tang Hauw Sek yang biasanya tinggi hati, angkuh namun bersifat dan bersikap gagah, nampak melirik sekilas kearah Gui San Bu.

Meskipun lebih tua, tetapi Gui San Bu memang terkenal susah berbicara, namun sama dengan Tang Hauw Sek, orang inipun terkenal tinggi hati, tetapi tetap mengutamakan sikap dan sifat kependekaran. Kedua orang ini, beberapa waktu terakhir menjadi dekat karena merasa disepelekan dan tidak ditempatkan sebagai pihak yang dimintai nasehat dalam urusan perlawanan terhadap Thian Liong Pang.

Karena itu, keduanya justru menjadi dekat, dan baru merasa sedikit terhargai ketika diminta memimpin 1 dari 3 kelompok utama pendekar yang akan mengarah ke Kwi Cu. Setelah berhenti sejenak, kemudian Tang Hauw Sek melanjutkan:

“Sebetulnya, tiada kecurigaan ketika terjadi percakapan antara lohu dengan Gui heng, dan hanya keluh kesah lohu belaka sekitar kekisruhan di perguruan kami, Thian San Pai. Tetapi ternyata, pola yang hampir sama ternyata juga terjadi di Tiam Jong Pay, dan juga menghadirkan rasa penasaran bagi Gui heng. Belakangan kami berdua menjadi penasaran, tetapi sekaligus juga menjadi bercuriga”

Sampai disini, baik Sian Eng Cu maupun Pengemis Tawa Gila dan Topeng Hitam masih belum begitu tertarik, meskipun nampak heran. Tetapi, karena tampang yang tegang dan serius dari Tang Hauw Sek dan Gui San Bu, mau tidak mau merekapun jadi ingin mengetahui, masalah apa sebetulnya yang sedang mau diutarakan oleh kedua tokoh dari perguruan pedang termasyur itu.

Dan terdengar Tang Hauw Sek yang menjadi juru bicara kembali melanjutkan:

“Awalnya, lohu hanya mempertanyakan mengapa surat perintah menarik diri dari persekutuan pendekar menyerang Thian Liong Pang ditandatangani oleh Tee Kong, orang yang baru sekitar 11 tahun lalu bergabung dengan Partay kami tetapi kemudian sangat dipercaya oleh ciangbunjin kami. Tetapi, ketika bercakap dengan Gui Hu Ciangbunjin Tiam Jong Pay, dia juga heran, karena surat penarikan hanya ditandatangani oleh Kwan Bok Hoan yang juga baru menjadi anggota di Tiam Jong Pay kira-kira 12 tahun sebelumnya. Kami berdua awalnya menduga ini hanya sebuah kebetulan, yakni seorang tokoh perguruan kami menyurat atas nama ciangbunjin kami” Hauw Sek nampak kembali berhenti sejenak. Sementara Gui San Bu nampak menatap menerawang, tetapi yang lain-lainnya nampak mulai sedikit tertarik.

Dan Tang Hauw Sek kemudian melanjutkan:

“Tetapi, ketika lohu pada akhirnya menceritakan bagaimana caranya Tee Kong bergabung dengan partay kami yang awalnya tidak cukup lihay, tetapi dalam 6-7 tahun kemudian mampu mengatasi murid-murid terlihay kami, bahkan termasuk bisa melampaui lohu, Gui heng menjadi terhenyak, karena hal yang sama terjadi dengan Kwan Bok Hoan di Tiam Jong Pay. Dan herannya, waktu mengabungkan diri kedua orang itu dengan perguruan kami, hampir bersamaan. Dan lebih mengherankan lagi, atas kecurigaan seperti ini, kami menjumpai sisa-sisa orang Cin Ling Pay dan juga Kun Lun Pay, ternyata merekapun mengalami pengalaman yang sama pada belasan tahun silam. Dan rata-rata, kami mencatat, bahwa orang yang masuk belasan tahun silam tersebut, sanggup mengambil hati pimpinan dan kepandaiannya melonjak pesat hinga melampaui tokoh-tokoh utama sebelumnya. Hal ini yang membuat kami berdua jadi bercuriga, jangan-jangan sesuatu sedang terjadi, baik di perguruan kami maupun di perguruan lain” Hauw Sek menutup uraiannya dan disambung oleh Gui San Bu yang meski susah berbicara, tetapi tidak sanggup menahan mulutnya untuk mengatakan:

“Kami berdua hampir yakin, bahwa ini pasti ulah Thian Liong Pang, karena kedua orang tadi, berusaha menghalang-halangi Ciangbunjin kami untuk mengirim utusan bergabung dengan kelompok pendekar”

“Celaka …..” tiba-tiba mulut Topeng Hitam mendesis

“Ada apa gerangan Kiang heng”? Sian Eng Cu yang sudah bisa menebak asal usul Topeng Hitam bertanya, meski hatinya juga sedikit mencelos. Di pihak lain, paras muka Pengemis Tawa Gila juga sudah mulai kelam. Dia bukan tertarik lagi dengan cerita Tang Hauw Sek dan Gui San Bu, tetapi sudah sangat tegang malahan.

“Jika benar dugaan jiwi, maka hampir bisa dipastikan Ciangbunjin Thian San Pay dan Tiam Jong Pay sedang mengalami masalah besar” Topeng Hitam menegaskan dengan suara perlahan.

“Bukan itu saja” Sian Eng Cu menambahkan

“Bahkan beberapa perguruan lagi, seperti Kun Lun Pay juga, mungkin sedang dalam ancaman masalah yang sama besarnya. Dan bukan tidak mungkin perguruan besar lainnya”

“Benar, Tong Tayhiap, hal-hal tersebut telah kami percakapkan tadi malam. Dan karena itu, kami meminta waktu khusus pagi ini, sebelum kembali ke perguruan kami, untuk membicarakannya dengan cuwi sekalian”

“Hm, nampaknya Thian Liong Pang memainkan kartu terakhirnya, dan ini sangat berbahaya” Topeng Hitam kembali bergumam.

“Benar, dan kita memiliki perkerjaan yang lebih berat lagi untuk menangani masalah-masalah yang kita hadapi. Terlampau beresiko untuk membiarkan masalah di banyak perguruan seperti ini. Dan nampaknya, perjalanan ke Kwi Cu untuk sementara harus kita tunda, ada tugas lain yang lebih penting” Sian Eng Cu memastikan.

“Baiklah, kami sudah mengutarakan apa yang sedang terjadi kepada cuwi sekalian. Sekarang, perkenankan kami kembali ke perguruan kami masing-masing, semoga masih belum terlambat” Tang Hauw Sek berujar dan mau mohon diri. Juga Gui San Bu.

Tetapi, sebelum keduanya pamitan, sebuah suara yang halus terdengar di luar tempat percakapan mereka:

“Apa yang engkau lakukan disitu” suara seorang perempuan, nampaknya Mei Lan. Dan tidak terdengar langkah kaki atau suara apapun menjauh dari tempat percakapan para tokoh itu, tetapi tak lama kemudian terdengar suara seorang laki-laki berkata:

“Maaf nona, saya sedang menunggu sahabat saya yang sedang berbicara dengan para pemimpin pendekar” dan setelah menjura kepada Mei Lan, kemudian orang itu berjalan menjauh. Mei Lan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi sudah tentu tidak menghalangi. Tetapi, di dalam pondok tempat percakapan itu berlangsung, Sian Eng Cu, Topeng Hitam dan Pengemis Tawa Gila saling pandang. Dengan cepat San Eng Cu bertanya:

“Apakah diantara cuwi ada yang membawa sahabat dan meninggalkannya di luar untuk menunggui”?

Tang Hauw Sek dan Gui San Bu nampak bingung dan keduanya mengeleng. Dan secepat gelengan itu hilang, segera Sian Eng Cu berseru:

“Sumoy, tangkap dan jangan sampai orang itu meloloskan diri. Cepat”

Mei Lan cepat tanggap, dan masih sempat dia melihat bayangan pria itu menjauh, tetapi masih lebih cepat lagi Mei Lan bergerak mengejar pria itu. Dan tepat saat Mei Lan mengejar, adalah ketika pria itu juga bergerak dengan ilmu ginkangnya, dan langsung kearah luar kota.

Sementara itu, dalam ruangan Sian Eng Cu berkata:

“Kita harapkan sumoy bisa menangkap pengintai itu, tetapi kemampuannya untuk tidak tertangkap oleh pengindraan kita sangat hebat. Kiang heng, jika bisa memberi bantuan kepada sumoy, biarlah hal lain yang perlu dikerjakan di Thian San Pay dan Tiam Jong Pay kami selesaikan disini. Siang nanti, kita memanggil kawan-kawan lain untuk membicarakan langkah secepatnya”

“Baik” dan dengan cepat Topeng Hitam berkelabat keluar. Sementara itu, percakapan dengan Tiam Jong Pay dan Thian San Pay terus dilanjutkan:

“Akan sangat berbahaya bila orang itu lolos” Gui San Bu bergumam khawatir

“Kita harapkan sumoy dan Topeng Hitam bisa menyelesaikan urusan ini sebelum berita yang dibawanya menyebar” Sian Eng Cu menghibur

“Benar, sebab jika tidak, banyak persoalan besar yang lain yang mungkin terjadi” Pengemis Tawa Gila juga berbicara.

“Dan sebaiknya kamipun segera mohon diri Tong Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila, sudah saatnya kami kembali ke perguruan kami” Tang Hauw Sek akhirnya minta diri.

“Baiklah, bila menilik keadaan, nampaknya suasana dan situasi di Thian San Pay dan Tiam Jong Pay sangat riskan dan berbahaya. Jika jiwi tidak keberatan, maka kami akan membantu meski secara diam-diam untuk tidak mengusik mereka yang sedang merencanakan kebusukan ini. Dan jika jiwi sepakat, maka dari tempat ini kami akan mengirimkan bantuan ke perguruan jiwi dan juga mengirimkan kabar rahasia ke beberapa perguruan agar mengetahui adanya penyusupan semacam ini”

“Terima kasih Tong Tayhiap, tentu, kami akan berterima kasih untuk bantuannya” Tang Hauw Sek mengiyakan, seperti juga Gui San Bu. Keduanya paham benar dan berfirasat, sesuatu yang tidak menyenangkan sedang terjadi di Perguruan mereka. Dan nampaknya, bantuan orang gagah se Tionggoan akan sangat mereka butuhkan. Keduanya kemudian berpamitan dan siang itu juga melakukan perjalanan pulang ke perguruan masing-masing.

Tang Hauw Sek dengan rombongannya kembali ke Thian San Pay dan Gui San Bu dengan anak buahnya kembali ke Tiam Jong Pay. Kedua tokoh dari perguruan berbeda itu berjalan pulang dengan hati penuh rasa cemas dan khawatir, tetapi menjadi sedikit besar karena ada jaminan bahwa Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila akan mengupayakan bantuan, seandainya benar terjadi sesuatu yang luar biasa di perguruan mereka.

============================

“Perlahan dulu sobat, kita perlu bicara” Mei Lan dengan cepat melakukan pengejaran, tetapi dengan cepat juga dia menjadi kaget karena lawan yang dikejar juga bergerak dengan cepat. Dalam waktu singkat Mei Lan memang dapat memperpendek jarak antara mereka, tetapi lawan yang dikejarpun sudah mampu mencapai pinggiran kota, dan bahkan nampaknya segera akan mengarah ke hutan di luar kota Ye Cheng yang memang cukup lebat.

Dan Mei Lan sadar, dia tidak boleh membiarkan lawannya mencapai hutan di luar kota sebelah utara tersebut, karena resikonya akan semakin besar. Tetapi yang ditakutkannya adalah, kaburnya lawan dengan memanfaatkan lebatnya hutan, dan berarti informasi yang diserap lawan akan menjadi konsumsi musuh dan sudah pasti akan sangat merugikan mereka.

Kesadaran tersebut membuat Mei Lan mengempos semangat dan akibatnya sungguh luar biasa, bagaikan terbang layaknya Mei Lan bergerak dan tepat di sisi utara Kota Ye Cheng, sebelum memasuki areal hutan, Mei Lan melayang dan kemudian melampaui lawannya serta berhenti persis di depannya.

“Sudah kukatakan kita perlu bicara. Tolong jelaskan, untuk maksud apa saudara mengintil pembicaraan para tokoh pendekar, dan mengapa ketika bertemu aku saudara kemudian lantas bergegas pergi. Dan eh ….., bukankah, bukankah engkau? Mei Lan yang berbicara sambil perlahan membalikkan tubuh terkejut menemukan siapa lawan yang dikejarnya.

Tang Cun, salah seorang dari barisan para pendekar dan terkenal sebagai salah seorang pendekar yang berkelana. Dan bahkan masih terhitung berasal dari satu desa dengan tokoh Thian San Pay, Tang Hauw Sek, dan karena itu dia bisa bergabung dengan rombongan pendekar. Dan secara kebetulan, Mei Lan secara samar bisa mengenali Tang Cun dari satu episode yang tidak bisa dilupakan Mei Lan dan membuatnya bisa mengenali lawan ini.

“Benar, engkau pasti yang bernama Tang Cun, dan engkau jugalah yang memanas-manasi para pendekar dengan menjelek-jelekkan Liong ko di Siauw Lim Sie. Apa maksudmu sebenarnya, dan siapa engkau sesungguhnya Tang Cun”? Benar, tokoh inilah salah satu yang menjelek-jelekkan Ceng Liong dalam pertemuan di Siauw Lim Sie dan membuat Ceng Liong kemudian mengundurkan diri selaku Bengcu.

Mei Lan merasa sangat sebal dengan orang ini yang sangat pintar bersilat lidah dan membakar banyak orang hingga kemudian cukup banyak yang memojokkan Ceng Liong. Dan wajah orang yang “mencederai” kekasih hati, sudah jelas akan sangat sulit untuk dilupakan, termasuk juga bagi Liang Mei Lan.

“Ach nona, aku hanya kebetulan berada di dekat pemondokan tersebut, sekaligus menantikan saudaraku yang masih berasal dari desa yang sama, tokoh Thian San Pay itu, Tang Hauw Sek”, Lihay juga Tang Cun ini, dia masih sanggup menentramkan hatinya meskipun posisi dan keadaannya jelas sudah diujung tanduk. Apalagi, Tang Cun kenal betul kelihayan Liang Mei Lan yang menjadi buah bibir dan kebanggaan para pendekar, karena selain cantik dan manis, nona ini ini juga teramat lihay, murid salah seorang kenamaan, Wie Tiong Lan dari Bu Tung Pay yang sejajar dengan 3 manusia dewa lainya.

Dan gadis cantik ini bahkan mampu mengalahkan salah satu maha iblis yang sangat ditakuti sejak puluhan tahun silam.

“Hm, begitu yaa, dan mengapa pula engkau bergegas pergi ketika aku memergokimu berada di sekitar ruangan yang digunakan para pemimpin pendekar untuk melakukan percakapan-percakapan yang biasanya bersifat rahasia itu”? Mei Lan bukannya orang bodoh, bukan. Dia cukup cerdik untuk mencecar lawannya dengan pertanyaan yang menyudutkan Tang Cun.

“Ach nona, aku sebenarnya menunggui saudaraku Tang Hauw Sek, sekaligus berjaga di luar ruangan tersebut” pintar Tang Cun berkelit.

“Dan, ketika aku memintamu kembali, engkau justru melarikan diri. Benar-benarkah engkau sedang menunggui locianpwe Tang Hauw Sek dan berjaga di pintu kamar yang sebenarnya terlarang bagi siapapun”? Mei Lan mendesak

“Ach, nona engkau terlalu memaksaku. Aku menjadi khawatir”

“Tang Cun, tidak ada yang menekanmu. Sebaiknya engkau ikut aku dan kita berbicara dengan para pemimpin pendekar, biar apa yang engkau lakukan menjadi jelas bagi semua, termasuk menghilangkan kecurigaan para pemimpin itu yang memerintahkan aku membawa engkau kembali”
“Tapi, aku tidak ingin kembali lagi nona”

“Jika begitu, aku harus membawamu kembali dengan paksa, aku minta maaf sebelumnya”

“Maaf, jika aku harus mempertahankan diri nona” Tang Cun berkeras dan bertahan untuk tidak kembali. Dan Mei Lanpun tidak menunggu lama untuk memaksa orang itu kembali. Dengan segera Mei Lan menyerang Tang Cun dengan totokan-totokan untuk membawa Tang Cun kembali ke Ye Cheng karena lakunya yang mencurigakan.

Tetapi, Mei Lan dengan segera menjadi tambah curiga, karena kepandaian Tang Cun, ternyata bukan ginkangnya saja yang diluar dugaannya. Kepandaian lainnya, termasuk iweekang dan jurus-jurus yang digunakan, termasuk jurus-jurus yang berbahaya.

Bahkan Mei Lan menjadi kaget, karena dasar-dasar ilmu pukulannya bebeda dengan dasar ilmu Tiongoan, meski nampak Tang Cun tidak asing dengan gaya ilmu Tionggoan. Gaya ilmu pukulan dan dasar ilmu Tang Cun sedikit asing, tetapi tidak kurang ampuhnya. Dan semua totokan Mei Lan yang menyerangnya dapat dipunahkannya dengan baik.

“Aku sudah salah menilai orang, dan nampaknya orang ini memang menyembunyikan diri dnegan baik di kalangan pendekar” gumam Mei Lan. Dan dengan segera Mei Lan kemudian meningkatkan serangan-serangan dan bahkan kecepatannya bergerak juga ditingkatkan, baru setelah itu nampaknya Tang Cun mulai kerepotan mengimbangi Mei Lan
 
2





“Hm, engkau semakin mencurigakan Tang Cun. Kepandaianmu jelas sudah di tingkat kelas satu di Tionggoan dan engkau bisa menyembunyikan diri sedemikian rapih. Kepada dan untuk siapa engkau bekerja sebenarnya”? Sambil mencecar lawan, Mei Lan juga awas dengan keadaan sekelilingnya.

Dia cukup berpengalaman bagaimana lawan dengan kejamnya menghabisi orang mereka yang sangat mungkin membuka rahasisa perkumpulan dengan membunuhnya atau membunuh diri. Mei Lan tidak ingin kehilangan Tang Cun, karena beanggapan orang ini nampaknya bisa menjadi titik berangkat mengetahui keadaan Thian Liong Pang lebih jauh.

Meskipun Tang Cun juga meningkatkan perlawanannya, tetapi tetap saja kian lama dia semakin jatuh dibawah angin, bahkan kemudian hanya berusaha mempertahankan dirinya saja. Ketika Mei Lan semakin bersungguh-sungguh mencecarnya, maka pada akhirnya Tang Cun yang memang sudah tahu diri bukan lawan bagi Mei Lan hanya bisa mengeluh dalam hati.

Dia membawa informasi yang sangat penting, tetapi lebih dahulu dia harus menyelamatkan nyawanya. Dan hal itu menjadi semakin lama semakin sulit. Untungnya Mei Lan hanya berusaha menawannya. Seandainya Mei Lan tahu apa yang diserap Tang Cun, sudah sejak dini Mei Lan melumpuhkannya. Terlebih karena Mei Lan hanya mendengar perintah untuk menghentikan Tang Cun, dan dia paham hanya sebagian dari perintah itu.

Dan itu juga yang membuat Tang Cun sanggup bertahan sekian lama. Dan itu juga yang nyaris membahayakan nyawa banyak orang di Thian San Pay dan Tiam Jong Pay. Dalam kondisi Tang Cun yang sudah patah arang dan rasanya tidak akan lebih dari 3-5 jurus dia akan jatuh, tiba-tiba terdengar suara dan desiran orang mendekat yang langsung menyerang Mei Lan:

“Engkau hebat nona, tapi biarkan orang itu berlalu” belum hilang suara itu, Mei Lan sudah merasakan serangan yang mengarah ke punggungnya. Meskipun tidak dengan kekuatan yang berbahaya, tetapi cukup ampuh untuk menghalangi Mei Lan melanjutkan serangannya kepada Tang Cun yang dengan cepat kemudian berdiri di pinggir arena.

Sementara itu, Mei Lan dengan sebat menghindari serangan si pendatang dengan gerakan yang manis dan membuat si penyerang mau tidak mau ikut menjadi kagum.

“Engkau ………!???? Mei Lan kaget bercampur gembira melhat di hadapannya tampil seorang yang berpakaian dan berkerudung putih menutupi semua bagian tubuhnya. Tetapi, perawakan orang itu, tidak diragukan lagi adalah seorang wanita. Dan perasaan peka Mei Lan segera menebak, wanita dihadapannya, belum tua benar, bahkan nampaknya juga masih seorang gadis. Sementara itu, Majikan Kerudung Putih, sudah dengan cepat berkata meski masih tetap berhadap-hadapan dengan Mei Lan:

“Mau apa engkau berdiri disitu. Tidak cepat pergi”?

Tang Cun segera sadar akan keadaan tersebut. Dengan cepat dia bermaksud masuk hutan dan pergi menyelamatkan diri. Dia sadar, bahwa barusan dia diselamatkan. Seandainya dia tertangkap oleh Mei Lan, dia sadar nyawanya terancam bahaya, bukan hanya oleh kawanan pendekar, tetapi bahkan juga yang lebih ditakutinya adalah ancaman kematian dari pihak Thian Liong Pang.

Karena itu, dia merasa bersyukur dan dengan cepat berniat berlalu dari arena pertempuran itu. Toch Mei Lan sudah ada yang mengurusi, dan dia tahu dan yakin benar dengan kemampuan Majikan Kerudung Putih yang pasti akan sanggup meladeni LIang Mei Lan, nona sakti yang selain dikaguminya kesaktiannya, juga kecantikannya.

Tetapi, pada saat bersamaan, pada saat Tang Cun baru mulai melangkah, sosok bayangan lain berkelabat mendekatinya. Bayangan hitam itu langsung meluncur kearah Tang Cun yang mengendorkan kewaspadaannya, dan juga berada di luar perkiraan Majikan Kerudung Putih. Dan ketika Majikan Kerudung Putih dan Mei Lan sadar, bayangan hitam itu sudah berada di belakang Tang Cun dan berkata:

“Maaf sobat, engkau tidak boleh berlalu begitu saja” dan Tang Cun yang terperanjat dengan kedatangan tokoh baru itu segera bermaksud menyerang. Untungnya bayangan hitam itu, yang ternyata adalah si Topeng Hitam, memberi ketika Tang Cun bersiap dan bahkan mendahuluinya menyerang. Dan pada saat itulah, hanya dalam hitungan detik, saat Majikan Kerudung Putih belum sadar sepenuhnya, juga Mei Lan belum sadar sepenuhnya, benturan hebat terjadi antara Tang Cun dan Topeng Hitam.

“Baaaaaaar” dan bagaikan layangan putus, tubuh Tang Cun melayang ke belakang dan kemudian terhempas ke tanah dengan suara keras. Perlahan tubuh itu menggeliat dan menunjuk kearah Topeng Hitam dengan suara terputus-putus:

“engkau …. engkau …..” dan setelah itu suara Tang Cun putus bersamaan dengan melayangnya nyawanya. Ada beberapa saat semua yang berdiri di arena terkesima, tidak tahu mau berbuat apa, sampai kemudian Topeng Hitam berpaling kearah Mei Lan dan berkata tegas:

“Engkau terlampau baik nona, bila orang ini lepas, maka ada ratusan nyawa manusia yang bisa melayang”

“Separah itukah? Dan sepenting itukah informasi yan diserap dan akan dibawahnya ke pihak lawan”?

“Sangat serius dan sangat berbahaya. Itulah sebabnya suhengmu menugaskan aku membantumu dan menghentikan langkah si penghianat yang sudah terbeli lawan ini”

“Maafkan aku, untungnya engkau cepat datang membantu paman. Aku benar-benar lalai dan nyaris membahayakan banyak orang” Mei Lan menyatakan penyesalannya akibat nyaris membiarkan informasi yang sangat penting jatuh ke tangan lawan.

“Sudahlah, nampaknya ada tugas lain yang sama pentingnya yang harus engkau kerjakan”

“Maksud paman”?

Topeng Hitam berhenti berbicara dan mengalihkan pandangannya kearah Majikan Kerudung Putih. Sementara yang dipandangi masih terkesima dan murka karena didepan matanya dia kecolongan menyelamatkan orang yang ditugaskan oleh Thian Liong Pang menyerap informasi dari dalam kelompok pendekar.

Dia menjadi lebih murka lagi karena kedua lawannya dengan seenaknya bercakap cakap didepannya seperti tidak menghiraukannya sama sekali. Bercakap cakap seenaknya dan seperti menganggap dia tidak ada diarena tersebut, sungguh keterlaluan. Dan pada saat Topeng Hitam beralih memandangnya, pada saat yang sama dia juga memandang si Topeng Hitam. Empat bola mata saling pandang, tapi entahlah, justru pada saat itu bukan kobaran amarah yang memuncak yang terjadi.

Tetapi entah perasan apa. Baik bagi Topeng Hitam maupun bagi Majikan Kerudung Putih. Keduanya seperti terpaku pada mata masing-masing, dan justru bukan amarah dan rasa ingin membunuh yang menguasai keduanya. Entah rasa semacam apa yang membuat mereka seperti itu. Sampai kemudian pada akhirnya Topeng Hitam mau tidak mau harus mengeluarkan kalimat:

“Nona Mei Lan, sebaiknya engkau yang menghadapi Majikan Kerudung Putih ini, dan mintakan pertanggungjawaban atas ulah mereka menyerang banyak kaum pendekar”

“Baik paman” Mei Lan kemudian juga berpaling dan kini berdiri berhadap-hadapan dengan Majikan Kerudung Putih yang juga kini akhirnya berpaling menghadapi Mei Lan. Dia sendiri belum mengerti mengapa tidak ada rasa marahnya terhadap Topeng Hitam, padahal seharusnya dia membalaskan dendam anak buahnya. “Tapi sudahlah, lawan sudah berdiri berhadapan di arena” pikirnya.

Dan kini, kedua jago wanita itu berdiri saling berhadap-hadapan. Meski baru sekali bergebrak dan masih belum tahu kemampuan masing-masing, tetapi setelah saling tatap beberapa ketika, keduanya sadar sedang menghadapi lawan yang tidak ringan. Apalagi bagi Mei Lan, dan telah mendengar keberadaan lawannya ini dari Ceng Liong dan terutama Kwi Beng yang bahkan barusan dikalahkan tokoh ini.

Hal yang membuat Mei Lan menjadi memandang lawannya sangat tinggi, meski tidaklah takut bertempur dengannya. Sebaliknya, Majikan Kerudung Putih juga sudah menakar kemampuan Mei Lan ketika melihatnya mencecar Tang Cun dengan kecepatan yang luar biasa. “Sunguh seorang nona yang lihay” pikir Majikan Kerudung Putih. Dan keduanya kini saling berhadapan dan dalam posisi siap bertempur.

Dan karena keduanya sudah bisa menilai kekuatan lawan, maka secara otomatis keduanya langsung bersiap dalam kesiagaan dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi masing-masing. Dan benar saja, dalam ketika bersamaan, dan hampir sulit diikuti pandang mata, keduanya bergerak bersamaan saling cecar dan saling serang.

Dalam waktu sepersekian detik, keduanya telah saling serang dan saling cecar dengan kecepatan luar biasa. Dengan gemulai Majikan Kerudung Putih mematuk lengan Mei Lan tepat di jalan darah kematian yang sangat berbahaya, tetapi dengan lemas dan cepat, dari terancam jemari Mei Lan yang terisi hawa Liang Gie bergerak menyamping dan menotok pangkal lengan lawan, dan kembali dengan menggerakkan lengannya Majikan Kerudung Putih menampari jemari Mei Lan dari samping.

Begitu terus menerus dan terjadi hanya dalam hitungan detik dan sudah banyak gebrakan dan saling serang terjadi antara keduanya. Dan ketika beberapa kali benturan kekuatan antara keduanya tak terhindarkan, ternyata kekuatan sinkang keduanyapun tidaklah berbeda jauh. Hanya, dalam hal ginkang, ternyata Mei Lan masih memilki sedikit keunggulan, dalam kecepatan dan dalam keringanannya bergerak dengan nyaris menyalahi hukum gravitasi, sementara Majikan Kerudung Putih unggul dalam kelemasan bergerak karena dia bergerak mengikuti dasar dan tipe gaya seekor ular.

Tetapi, apalah artinya keungulan tpis dalam hal ginkang itu, karena kedua orang tersebut nampaknya memiliki kekuatan Sinkang yang sepadan. Majikan Kerudung Putih nampaknya menang matang, tetapi Mei Lan unggul dalam kemurnian tenaganya yang didasarkan atas Sinkang Bu Tong Pay yang sealiran dengan aliran murni Siauw Lim Sie.

Sebagai seorang ahli, dalam beberapa saat saja, Topeng Hitam sudah bisa menebak bahwa akhir pertempuran ini pastilah sampyuh. Tidak akan ada yang mampu memenangkan pertempuran tanpa kerugian luar biasa dari salah satunya.

Keunggulan Mei Lan dalam ginkang, tidak bisa membuatnya diatas angin, karena betapapun nampak bahwa Mei Lan masih asing dengan tata gerak dan jurus serangan lawan yang sangat asing. Sementara bagi Majikan Kerudung Putih, silat gaya Tiongoan bukan hal baru. Perimbangan ini jelas membuat keduanya sukar untuk saling mengalahkan. Bahkan memprediksi siapa pemenangnyapun, sangatlah sulit.

Karena itu, Topeng Hitam meramalkan pertempuran ini bakal memakan waktu lama. Rumitnya, meskipun membela Thian Liong Pang, adalah bertentangan dengan jiwa kependekaran untuk mengerubuti Majikan Kerudung Putih. Sangat memungkinkan, dengan rasa aneh dalam tatapan mati tadi, sangat sulit bagi si Topeng Hitam berkeberanian untuk melontarkan pukulan andalan keluarganya.

“Hyaaaaaaaat” tba-tiba lamunan Topen Hitam dirobek oleh jeritan dari kedua Naga betina yang sedang bertarung. Dan sejenak Topeng Hitam menyaksikan betapa Mei Lan sedikit keteteran dengan kombinasi serangan Majikan Kerudung Putih yang mengeluarkan sinar kilat di tangannya. Tetapi, dengan beberapa geakan yang sulit dipercaya, Mei Lan kembali bisa memaksakan keseimbangan pertempuran.

Terutama setelah dia melihat Mei Lan memainkan Pik Lek Ciang dengan Sian Eng Sin Kun dan ditopang oleh ginkang nomor wahid Te hun thian. Tetapi episode itu berarti banyak bagi semua pihak. Baik bagi Majikan Kerudung Putih, Topeng Hitam maupun bagi Mei Lan. Majikan Kerudung Putih yang menyerang dengan tangan berkilat, nampaknya memainkan salah satu ilmu ampuh kebanggaannya.

Tetapi, dia sangat kaget karena Mei Lan kemudian sanggup memapaknya dengan sebuah pukulan berkilat yang nyaris sejenis dan bergerak nyaris mustahil dengan gaya-gaya yang sulit dipercaya. Barulah dia sadar bawa dalam hal ginkang, lawannya masih mengatasinya. Sementara bagi Mei Lan, dia sungguh sadar, bahwa meski ginkangnya unggul sedikit, tetapi kurang cukup emadai untuk memetik kemenangan. Lawannya juga ahli ginkang lemas dan sangup mengimbanginya.

Selain itu, Mei Lan sadar, bahwa lawan ini memang benar-benar luar biasa, bahkan masih lebih sulit dibandingkan melawan para Hu Hoat Thian Liong Pang. “orang ini masih lebih lihay dan ulet, padahal bersama Liong ko, akupun sudah meningkatkan kemampuanku” desis Mei Lan. Sungguh dia tidak mengira, bahwa benar didalam Thian Liong Pang, masih ada juga jago sekelas dan selihay Majikan Kerudung Putih ini.

Jago yang bahkan masih mengalahkan para Hu Hoat yang sudah pernah bertempur dnegannya beberapa waktu belakangan ini. Dan bahkan masih sanggup merendengi kemampuan ginkangnya. Sungguh luar biasa.

Sementara itu, disudut arena, Topeng Hitam nampak mengeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis: “bagaimana mungkin, ach tidak mungkin”. Entah apa yang berada dipikiran tokoh aneh ini, tetapi terang tokoh ini sedang sangat kebingungan. Matanya jelas masih terarah ke pertempuran maut itu, tetapi cahaya matanya terliputi kebingungan yang sangat. Dia seperti sedang merenungkan dan membayangkan sesuatu meskipun matanya terus menerus mengikuti pertempuran tersebut.

Kembali ke arena, lama kelamaan pertempuran tersebut seperti menjadi arena latihan saja bagi keduanya. Rasa kagum dan hormat justru tumbuh dalam hati keduanya. Bagi Mei Lan, meskipun lawannya adalah pihak Thian Liong Pang, tetapi kekasaran dan kelicikan dalam bertarung justru tidak terpancar dari serangan-serangan Majikan Kerudung Putih.

Memang, hawa menyesatkan pikiran, sejenis sihir, sangat kuat terpancar dari kandungan hawa pukulan dan hawa sakti Majikan Kerudung Putih. Tetapi, nampaknya, hawa tersebut datang bersamaan dengan pengembangan jurus dan peningkatan kemampuan tenaga dalamnya. Karena itu, sudah sejak dini Mei Lan juga mengerahkan kekuatan hawa batin dan khikang pelindung badannya. Kekuatan luar biasa lawannya, mengatasi lawan-lawan sebelumnya telah menghadirkan rasa hormatnya kepada lawan yang lihay ini.

Hal yang sama, juga bertumbuh di benak Majikan Kerudung Putih. Selain memang dia dipesan untuk jangan membunuh lawan-lawannya, diapun sangat kagum dengan daya dan gaya gerak lawannya yang menurutnya sangat luar biasa. Baru sekarang selain gurunya dia bertemu lawan dengan ginkang yang sangat luar biasa. Hal tersebut menumbuhkan rasa hormat di hatinya. Apalagi, sejauh ini, semua Ilmu yang dikerahkannya bisa direndengi dan diimbangi lawannya. Hebat, pikirnya.

Tetapi, bukan berarti tidak tumbuh rasa ingin menang diantara keduanya. Bagi mereka yang mempelajari Ilmu Silat, kemampuan lawan yang semakin tinggi, akan semakin mengasyikkan untuk dijajal dan dilawan. Dan hukum inipun berlaku bagi Mei Lan dan Majikan Kerudung Putih.

Meski saling menghormati, tetapi keinginan menunjukkan kemampuan masing-masing, juga masih sangat kental dan kuat merasuki keduanya. Karena itu, sambil menjaga untuk tidak saling melukai, keduanya terus meningkatkan kemampuan mereka dalam ilmu-ilmu pamungkas yang dibanggakan perguruan mereka. Bahkan kini Mei Lan menyerang lawan dengan ilmu pamungkasnya Ban Hud Ciang (selaksa telapak budha), sebuah ilmu mujijat dari pintu kuil Siauw Lim Sie.

Ilmu yang diwariskan oleh manusia gaib terakhir dari Siauw Lim Sie, yakni Kian Ti Hosiang. Di sekitar tubuhnya seakan-akan berkelabat-kelabat laksaan telapak tangan, baik yang menjaga dirinya, maupun yang menyerang lawannya. Merasa dikejar-kejar laksaan telapak tangan itu, tiba-tiba tubuh Majikan Kerudung Putih berputar-putar bagaikan gasing, dan tiba-tiba tubuhnya kembali bergerak-gerak luar biasa cepat dan meliuk-liuk aneh.

Kali ini, Majikan Kerudung Putih memainkan ilmu pamungkasnya Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti, yang memaksakan pertarungan kembali berlangsung dalam keseimbangan. Bila Mei Lan bergerak dalam kekokohan dan mengandalkan pukulan-pukulan, maka Majikan Kerudung Putih, membentengi diri dalam gerak yang menghadirkan lawan bagi laksaan telapak tangan dengan laksaan ular menerjang telapak tangan. Bagi lawan yang berkekuatan batin lemah, sudah pasti akan temakan tarian sihir laksaan ular yang membuat Majikan Kerudung Putih akan nampak bagaikan ular putih besar yang memerintahkan laksaan ular lain ntuk menyerang lawan.

Tetapi Mei Lan yang dalam lindungan ilmu mujijat Ban Hud Ciang, tidak terpengaruh oleh tarian sihir tersebut dan tetap memandang dan menempur lawan dalam ukuran normalnya. Tetapi tak pelak, peluh mulai mengucur dari dahinya, dan masih sedikit lebih banyak dibandingkan lawannya.

Tetapi, tidaklah berarti dia terdesak, apalagi dia mampu menciptakan keseimbangan dengan lebih mengandalkan tata geraknya. Meskipun demikian, lama kelamaan, Majikan Kerudung Putih yang juga bergerak dengan pengerahan sinkang dan kekuatan batin, menjadi semakin letih juga. Bahkan pada jurus ke 9 Ban Hud Ciang, sebuah benturan keras terdengar memekakan telinga, ketika keduanya mau tidak mau harus mengadu tenaga dan lengan karena kebuntuan saling cecar pukulan.

Dan akibatnya sunguh luar biaa, hawa mujijat terpancar keluar dari tubuh keduanya dan keduanyapun terdorong mundur kebelakang, dan kesudahannya keduanya saling senyum dan saling kagum:

“Luar biasa, engkaulah lawan terberat selama aku berkecimpung di dunia persilatan. Pantas Hu Hoat kami gagal menaklukkan kalian”

“Engkau juga hebat Majikan Kerudung Putih, lawan terberatku setelah Ceng Liong koko dan Hu Hoat kalian”

“Apakah engkaupun ingin menangkapku nona kecil”? Majikan Kerudung Putih bertanya dengan sinar mata yang nampak bersahabat.

“Seandainya boleh memilih, aku tidak ingin menangkapmu. Tapi kita berdiri pada pijakan yang berbeda” Mei Lan nampak meragu.

“Benar nona kecil, kadang pilihan kita berbeda dengan keinginan dan kata hati kita. Tetapi, belum tentu engkau bisa menangkapku nona kecil, meskipun belum juga tentu aku bisa mengalahkanku. Apalagi, masih ada tokoh lain yang lebih hebat di Thian Liong Pang”

“Apa …. Apa maksudmu”? Mei Lan bertanya

“Artinya, aku bukanlah tokoh terhebat di Thian Liong Pang” Majikan Kerudung Putih berkata. Dan akibatnya, baik Mei Lan maupun Topeng Hitam jadi terperanjat. Di pihak pendekar, selain Ceng Liong, adalah Mei Lan ini yang berkepandaian puncak. Jika masih ada tokoh lain yang lebih hebat, maka betapa Thian Liong Pang ini memang ancaman bahaya yang tidak kecil.

“Marilah nona kecil, aku tahu engkau masih menyimpan 2 jurus utama Ilmu Pamungkasmu, Ban Hud Ciang, dan mungkin ilmumu yang lain. Akupun masih tertarik mencoba ilmuku yang lain ….. atau kita sudahi sampai disini”?

“Baiklah Majikan Kerudung Putih, biarlah keinginanmu kupenuhi. Syukur aku sanggup mengalahkanmu dan menangkapmu, bilapun tidak, rasanya tidak akan ada yang menyalahkanku”

Keduanya kembali bersiap melakukan pertempuran. Dan kali ini, Mei Lan yang melanjutkan 2 jurus tersisa dari Ban Hud Ciang, Laksaan Tapak Budha Merangkul Pelangi dan Budha Merangkul Langit dan Bumi dihadapi dengan jurus Ular Sakti Menyihir dan Mematuk Langit, dari ilmu Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti.

Kesudahannya hebat, terutama ketika Jurus terakhir Laksaan Telapak Budha di mainkan dilawan oleh bagian terakhir Tarian Sihir Laksaan Ular Sakti. Suasana seperti berubah, terang dan temaram berganti-ganti, sementara alunan suara Budha diiringi oleh desis ular sakti, berlomba untuk saling menekan dan saling mengalahkan. Bahkan seorang Topeng Hitam sekalipun menyaksikan hanya secara samar dan kabur bagaimana benturan dan perkelahian seru dua Naga betina ini berlangsung.

Dan ketika kemudian keduanya terlontar mundur berbarengan, dari bibir keduanya meleleh setitik darah dan menandakan bahwa keduanya terluka, meskipun nampaknya tidak cukup berat akibat benturan Ilmu pamungkas keduanya. Rupanya, pada bagian akhir pengerahan jurus dari ilmu pamungkas tersebut, keduanya tidak sanggup menghindari lontaran kekuatan tenaga yang menyertainya. Dan keduanya terpukul mundur dengan menderita sedikit luka didalam tubuhnya. Tetapi begitu terlontar mundur, dengan masih tetap berdiri berhadapan keduanya nampak saling mengagumi.

“Engkau hebat adik kecil, engkau mampu melukaiku. Inilah luka bertempur yang pertama selama 5 tahun terakhir. Setahuku, hanya guru, paman guru, ayahku dan kakakku yang sanggup melukaiku seperti ini. Dan engkau adalah orang yang kesekian” Majikan Kerudung Putih berkata.

“Engkau juga hebat Majikan Kerudung Putih. AKu menyesal kita berdiri di pihak yang bersebarangan. Paman bagaimana pendapatmu” Mei Lan memandang kearah Topeng Hitam. Tetapi Topeng Hitam sendiri masih dalam permenungan yang belum selesai.

Belum selesai menerka siapa Majikan Kerudung Putih dan masih takjub dengan pameran kekuatan yang sangat menggoncangkannya barusan. Dan ada lagi sesuatu yang terselib sebagai rahasia besar yang tidak mampu diterka dan dijawabnya saat ini. Karena itu dia bertanya gagap:

“Apa maksudmu Mei Lan”?

“Bagaimana menurut paman kita menyelesaikan urusan disini”?

“Ach, memang rumit. Tapi kita harus berusaha untuk membawa Majikan Kerudung Putih ke Ye Cheng. Siapa tahu ada banyak informasi yang bisa disampaikannya”

“Hm, tapi sayang sekali, kalian tidak akan bisa membawaku kesana” Majikan Kerudung Putih berkata sambil tersenyum.
 
3




“Karena meskipun aku tidak atau belum mampu mengalahkan adik kecil ini, tapi diapun tidak akan mampu melakukanhal yang sama terhadapku”

“Hm, tetapi aku akan sanggup membantu nona ini menghadapimu Majikan Kerudung Putih” Topeng Hitam menyela.

“Aku tahu, tapi akupun tahu engkau tidak memiliki nyali sebesar itu untuk mengeroyok orang. Apalagi menyeroyok seorang wanita seperti diriku ini. Benarkah demikian Topeng Hitam”?

“Engkau benar. Tapi, kawan-kawan dunia persilatan tidak akan menegurkan jika kulakukan demi keselamatan dunia persilatan” Topeng Hitam berkeras, meski tidak yakin dengan perkataannya.

“Baiklah lakukanlah bila engkau merasa harus melakukannya” tantang Majikan Kerudung Putih.

Tetapi, belum lagi Topeng Hitam memutuskan melakukan sesuatu, tiba-tiba sesosok tubuh berpakaian kelabu melesat tiba disamping Majikan Kerudung Putih. Dari langkah dan lesatannya, baik Mei Lan maupun Topeng Hitam sadar, bahwa orang ini bukan orang sembarangan. Dan orang tersebut langsung mendekat Majikan Kerudung Putih dan langsung berkata:

“Hm sumoy, engkau terluka agaknya. Sudahlah, mari kita pergi” si pendatang langsung mengajak Majikan Kerudung Putih untuk pergi. Tetapi tiba-tiuba terdengar suara dibelakannya:

“Hm, nampaknya engkau sebagai suhengnya juga perlu ditahan. Maaf, aku menyerang saudara” dan begitu si pendatang menghadap kearahnya, Topeng Hitam sudah menyerangnya, terutama setelah melihat si pendatang sudah siap. Tapi, seperti dugaan semula, si pendatang ini, rupanya bukan orang sembarangan. Dia tidak takut dengan serangan Topeng Hitam, sebaliknya dengan ringan dan tangkas dia menangkis dan balas memukul kearah Topeng Hitam. Dan terdengar benturan keras:

“Bressssss” dan keduanya terdorong mundur ke belakang, sama-sama hampir atau nyaris 3 langkah akibat benturan hebat tu. Dan kesudahannya keduanya bersuara:

“kau ….”?

“kau…..”? Kekagetan jelas terdengar dari suara mereka berdua. Bahkan Majikan Kerudung Putihpun nampak kaget. Dan dengan segera kemudian dia melirik kearah Mei Lan dan berkata:
“Sampai bertemu lagi nona kecil”

“Mari suheng”, dan keduanyapun melesat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan arena dengan hanya dipandangi Mei Lan yang juga merasakan keanehan atas kedatangan, keberadaan dan kepergian kedua tokoh tadi. Tetapi, bagi Topeng Hitam, bukan sekedar keanehan, tetapi sesuatu yang membuatnya pusing tujuh keliling. “Mungkinkah”? pikirnya.

======================

Di Ye Cheng, menjelang tengah hari Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila memutuskan memanggil semua pimpinan kelompok dan tokoh pendekar untuk mendiskusikan dan memutuskan langkah terakhir. Untuk antisipasi atas penyusupan, maka hanya tokoh utama saja yang dipanggil, pimpinan 4 kelompok pendekar, kecuali Tang Hauw Sek yang telah langsung kembali ke Thai San dan Gui San Bu yang sedang melakukan persiapan pulang.

Dalam ruangan tersebut akhirnya yang berkumpul selain Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, juga nampak Liang Tek Hoat, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song, Beng San Siang Eng yang memimpin kelompok pendekar kelana, serta Yo Cat yang memimpin kelompok pendekar lainnya. Selain itu, nampak juga Maling Sakti yang baru datang dari Kwi Cu dan beberapa orang tokoh Kay Pang lainnya. Sementara Barisan 6 Pedang dari Lembah Pualam Hijau mengamankan ruangan pertemuan dari pengintaian orang lain.

Percakapan mereka diawali oleh Sian Eng Cu yang memaparkan perkembangan terakhir. Yakni diawali dengan kesempatan mereka memasuki Kwi Cu hingga kekisruhan yang terjadi di Thian San Pay dan Tiam Jong Pay, bahkan juga kenyataan betapan percakapan mereka ternyata diintip orang lain. Kejadian-kejadian terakhir, termasuk penyerangan Majikan Kerudung Putih, masuk dalam pertimbangan untuk menyimpulkan apa yang harus dilakukan.

Setelah menguraikan apa yang terjadi pada saat-saat terakhir, pada bagian akhir Sian Eng Cu menyampaikan:

“Cuwi enghiong, kita pada dasarnya sudah di penghujung kesimpulan memasuki Kwi Cu. Tetapi nampaknya selalu dihalangi oleh pihak Thian Liong Pang. Tapi anehnya, tokoh-tokoh utama mereka selain Majikan Kerudung Putih seperti sedang bersembunyi. Dan pada saat bersamaan terjadi kekisruhan di Thian San Pay dan Tiam Jong Pay, dan nampaknya juga dibeberapa perguruan silat lainnya. Kita perlu sangat awas menetapkan memasuki Kwi Cu dan menyelesaikan persoalan di beberapa perguruan. Hal yang menurut hemat lohu, harus dikerjakan secara saksama. Dan karena itu, kami mengundang cuwi sekalian untuk merundingkan dan memutuskan yang sebaiknya kita lakukan dalam waktu dekat ini. Namun, sebelumnya, sebaiknya kita mendengarkan beberapa keterangan yang diperoleh Maling Sakti dan Kaypang yang memasuki Kwi Cu secara rahasia beberapa waktu lalu”

Sian Eng Cu kemudian memandang kepada Maling Sakti yang segera tanggap dan melaporkan:

"Pada dasarnya, nyaris tiada gerakan berarti dari Thian Liong Pang di Kwi Cu, terutama pada siang hari. Tetapi, gelombang keluar masuk tokoh yang tak dikenal, nyaris selalu terjadi pada malam hari, tetapi tokoh tersebut tidak pernah menunjukkan dirinya diwaktu siang. Selama 4 hari berturut-turut kami mengamati dan mengintai bersama beberapa murid Kaypang, selalu kejadiannya seperti itu. Tokoh yang keluar masuk, rata-rata berkepandaian tinggi, dan tidak dikenal. Karena itu, kami semakin yakin, bahwa di Kwi Cu, pasti ada markas Thian Liong Pang dan bukan tidak mungkin juga markas besar mereka”

Setelah itu Pengemis Tawa Gila langsung melanjutkan:

“Dan menurut temuan anak murid Kaypang, arus keluar masuk tokoh tersebut selalu mengarah ke Sungai Yang Ce, dan di area lain kota Kwi Cu diwaktu malam, nyaris tidak ada aktivitas sebagaimana di arah yang disebutkan di atas. Dan ini memang semakin menguatkan dugaan bahwa ada Markas Thian Liong Pang disana, bahkan mungkin markas besar merekapun berada di sana”

Setelah itu, semua terdiam sejenak, sampai Sian Eng Cu kemudian bersuara:

“Nah, cuwi enghiong, nampaknya kita berada pada pilihan yang sulit. Antara secepatnya memasuki Kwi Cu untuk memastikan markas Thian Liong Pang berada disana untuk kemudian disusul memanggil tokoh-tokoh utama Perguruan Besar, dan menunggu sejenak dan mengirim bantuan bagi Thian San Pay dan Tiam Jong Pay yang sepertinya sedang dirundung bahaya”

“Menurut pendapatku yang bodoh, keduanya bisa kita kerjakan secara bersamaan Tong tayhiap. Kita bisa mengirim bantuan dan juga mengingatkan agar waspada perguruan silat lainnya atas penyusupan, dan yang lain memasuki kota Kwi Cu. Dengan cara demikian, kita memberi tekanan dan jawaban atas semua kemungkinan yang diambil oleh Thian Liong Pang” Yo Cat bersuara, dan memang orang ini meski rada tinggi hati, tetapi memiliki pandangan yang cukup tajam atas situasi yang terjadi.

Beberapa tokoh nampak mengangguk-angguk membenarkan saran Yo Cat tersebut, bahkan juga termasuk Sian Eg Cu dan Pengemis Tawa Gila.

“Usulan Yo heng memang beralasan. Tiada cukup alasan bagi kita bertahan di Ye Cheng, karena toch kota ini seperti telah dibiarkan oleh Thian Liong Pang, dan mereka leluasa mengganggu kita. Bila kita memasuki Kwi Cu, maka bisa dipastikan mereka akan melakukan tindakan baru dan kita bisa memulai pertarungan yang lain dengan pihak mereka” Pouw Kui Siang, salah seorang dari Beng San Siang Eng mendukung usulan orang she Yo.

“Bagaimana menurut cuwi sekalian, cara kita membantu kawan-kawan di Thian San Pay, Tiam Jong Pay dan mengingatkan perguruan silat lain”? terdengar Pengemis Tawa Gila bersuara.

“Hm, menurut hematku, kawan-kawan penyampai informasi dari Kay Pang bisa melakukannya” Yo Cat kembali bersuara.

“Benar”, kembali Pouw Kui Siang mendukung saran Yo Cat

“Baik sekali, karena kita masih belum tahu kondisi masing-masing perguruan tersebut. Jadi, mengingatkan ciangbunjin masing-masing perguruan adalah penting, dan sebaiknya dengan surat pengantar dari Sian Eng Cu Tayhiap” tambahnya.

“Ya, ya, bisa diterima, bisa diterima” Pengemis Tawa Gila bergumam menyatakan rasa setujunya.

Pada saat Sian Eng Cu ingin memberikan beberapa saran dan pemikirannya, tiba-tiba dari luar terdengar suara-suara berisik dan tidak lama kemudian disusul dengan masuknya Topeng Hitam bersama Lang Mei Lan ke dalam ruangan tersebut. Semua mata terbelalak, terutama karena menyaksikan betapa Liang Mei Lan nampaknya agak sedikit berhalangan, meski tidak terlampau berat. Adalah Tek Hoat yang tidak bisa menahan diri melihat adik kesayangannya seperti terluka. Dengan cepat dia mendekati Mei Lan dan menyapanya:

“Lan moi, engkau tidak apa-apa”?

“Sudahlah koko, aku sudah agak baikan. Sebentar lagi beristirahat sudah bisa pulih kembali” Mei Lan menjawab, betapapun malu dilhat begitu banyak orang.
Sementara itu, Topeng Hitam yang nampaknya tidak ada halangan dan sehat saja telah diserbu sejumlah pertanyaan. Dan dengan singkat, Topeng Hitam menceritakan bagaimana Mei Lan mengejar Tang Cun, menempur Majikan Kerudung Putih dan ternyata keduanya setingkat, dan kemudian terbunuhnya Tang Cun.

“Hm, syukurlah bila informasi itu belum menyebar ke Thian Liong Pang. Kalian berdua berjasa besar bagi Thian San Pay dan Tiam Jong Pay. Dan bila Thian Liong Pang menganggap sangat berharga informasi itu, maka berarti apa yang terjadi di Thia San Pay dan Tiam Jong Pay bukan masalah ringan. Lohu merasa, kita perlu mengirim bantuan yang memadai ke Thian San Pay dan Tiam Jong Pay, bahkan juga Kun Lun Pay. Bagaimana pikiran cuwi sekalian”? Sian Eng Cu dengan cepat menyimpulkan setelah membaca keadaan.

“Benar, kami setuju” beberapa orang menyatakan persetujuannya atas ide Sian Eng Cu. Dan dengan dasar itu, akhirnya Sian Eng berkata:

“Berhubung Ceng Liong masih belum tiba, maka biarlah urusan membantu Thian San Pay dan Tiam Jong Pay kalian rembukkan berempat” Sian Eng Cu memandang ke-4 pendekar muda yang dengan cepat mengangguk anggukan kepala tanda setuju.

“Dan urusan memberitahukan ke Kun Lun Pay dan perguruan lain, biarlah diatur oleh Kay Pang dengan membawa surat yang ditandatangani oleh lohu dan Pengemis Tawa Gila. Bagaimana, menurut pandangan saudara-saudara, apakah bisa kita tetapkan demikan”? Pertanyaan Sian Eng diikuti oleh anggukan semua orang yang berada dalam ruangan. Betapapun apa yang disimpulkan Sian Eng Cu memang masuk akal untuk segera dikerjakan. Dengan demikian, maka tugas membantu Perguruan-perguruan yang dalam bahaya akan dikerjakan oleh Pendekar Kembar kakak beradik, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song dan Liang Tek Hoat serta adiknya, Liang Mei Lan, terutama ke Tiam Jong Pay dan Thian San Pay.

“Sementara itu” lanjut Sian Eng Cu

“Kita semua bersiap memasuki Kwi Cu dengan cara yang akan diatur oleh Maling Sakti dan Kay Pang. Selambatnya dua hari kedepan, proses keberangkatan kita akan dimulai”. Demikian Sian Eng Cu kemudian mengatur strategi dan perjalanan ke Kwi Cu, yang dua hari kemudian langsung dikerjakan. Tetapi, mendahului semua orang, kakak beradik Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan yang kebagian bertugas ke Thian San Pay sudah melakukan perjalanan cepat keesokan harinya. Sementara Kakak beradik She Souw menyusul meninggalkan Ye Cheng bersamaan waktunya dengan rombongan pertama yang akan menuju Kwi Cu. Karena memang jarak ke Tiam Jong Pay relative lebih dekat dibandingkan perjalanan ke Thian San Pay.

=====================

Seperti juga kakak beradik she Liang, kedua kakak beradik she Souw, nyaris jarang bisa berbicara serius karena masalah susul menyusul yang perlu segera mereka tangani. Seperti hari ini, kedua kakak beradik kembar tersebut sudah dalam perjalanan meninggalkan Ye Cheng dan berjalan kearah barat, menuju ke Perguruan Tiam Jong Pay. Setelah lama berpisah dan selalu dirundung ketegangan, kedua kakak beradik itu akhirnya memiliki banyak waktu kembali bercakap banyak hal.

Bahkan sudah sejak sebelum berangkat, keduanya sudah banyak bercakap soal-soal yang mereka hadapi, dan termasuk juga bagaimana mereka akan menghadapi urusan di Tiam Jong Pay. Karena perjalanan cukup jauh, kedua kakak beradik itu, seperti juga Liang Tek Hoat dan adiknya menyewa kuda untuk mengejar rombongan Gui San Bu yang sudah 2 hari sebelumnya berangkat. Sudah tentu mereka ingin mencapai Tiam Jong Pay setidaknya bersamaan dengan tibanya rombongan Gui San Bu yang melakukan perjalanan juga dengan tergesa.

Tetapi, begitu keluar dari pintu barat Kota, baik Kwi Beng maupun Kwi Song segera sadar bahwa perjalanan mereka nampaknya dikuntit orang. Keduanya dengan kepekaan yan tinggi segera sadar, bahwa ada orang yang dengan kemampuan ginkang yan tinggi mengawasi mereka. Apalagi memang, karena medan yang mendekati hutan, membuat kuda mereka tidak bisa lari dengan kecepatan penuh.

Keduanya dengan saling lirik segera tahu apa yang harus mereka lakukan. Mencari tempat yang cukup luas untuk kemudian menjebak dan mengetahui siapa gerangan yang melakukan pengintilan atas perjalanan mereka tersebut. Dan tempat yang cukup luas itupun mereka temukan kira-kira setelah setengah jam lepas dari gerbang kota dan berada tidak terlalu jauh dari hutan.

Keduanya segera berhenti dan dengan cepat Kwi Song, seperti biasanya menegur kearah rimbunan hutan tersebut:

“Sahabat yang mengikuti perjalanan kami berdua kakak beradik, silahkan mengunjukkan diri. Mungkin kita perlu berkenalan”

Tetapi, tidak ada sedikitpun gerakan dari arah hutan tersebut. Keduanya menunggu sebentar, tetapi tetap tiada sedikitpun gerakan dalam rimbunan dedaunan tersebut. Bahkan sampai bosanpun, keduanya tidak mendapatkan jawaban atas maksud baik mereka bercakap baik2 dengan yang menguntit mereka berdua.

“Maafkan, kami berdua diburu waktu dan harus melanjutkan perjalanan kami. Silahkan menguntit jika memang kalian merasa itu sangat perlu” setelah bicara demikian, Kwi Song yang memang sedikit nakal segera naik kekudanya. Dan kemudian terus memacu kudanya. Tetapi, persis dibelokan ujung jalanan dan bertemu dengan rimbunan hutan yang lain, jalanan mereka sudah terhadang oleh rombongan berbaju putih.

Siapa lagi kalau bukan MAJIKAN KERUDUNG PUTIH? Dan bersama dnegan dia, sudah tentu adalah barisan pengawalnya, para nona cantik yang juga berpakaian serba putih, hanya tidaklah mengenakan kerudung putih sebagaimana majikan mereka.

“Hm, Majikan Kerudung Putih, jika tak salah demikian engkau dipanggil. Apakah maksudmu menghadang perjalanan kami”? seperti biasa, Kwi Song akan bertindak selaku juru bicara bila bersama kakaknya.

Hening sejenak, tetapi tak lama kemudian terdengar jawaban dari balik tandu dimana snag Majikan Kerudung Putih berada:

“Hm, hanya ingin bertanya, hendak kemanakah tuan-tuan”?

“Apakah menurutmu kami wajib melaporkannya kepada kalian, hendak kemana, ingin berbuat apa, dan apa maksud tujuan kami keluar dari Ye Cheng? Dan jika ya, sejak kapan aturan itu diberlakukan”? Hebat kata-kata Kwi Song. Tetapi, masih lebih matang lagi jawaban Majikan Kerudung Putih.

“Kami hanya ingin bertanya. Apakah engkau takut menjawabnya”? Sebuah pernyataan yang memancing sekaligus menantang.

“Sayangnya kita berdiri dalam posisi berlawanan, jadi basa-basi seperti itu tidaklah dibutuhkan. Lebih baik anda melakukan cara lain untuk mencari tahu jawaban kami”

“Hebat, hebat. Bear-benar tunas muda Siauw Lim Sie yang berisi. Sayang engkau terlampau ceriwis menjadi laki-laki” terdengar jengekan Majikan Kerudung Putih.

“Tetapi, bukankah yang ceriwis demikian yang engkau sukai”? kenakalan dan kebandelan Kwi Song kembali nampak. Tapi untungnya Kwi Beng menengahi dan berkata:

“Song te sudahlah. Tidak baik mendebat orang yang kita belum tahu maunya”

“Koko, masakan kita tidak bisa menebak mau mereka? Sudah jelas mereka menghadang kita, tidak perlu ditebak dan dicari tahu lagi”.

“Sudahlah, coba engkau diam dahulu.” Kwi Beng menyabarkan adiknya dan kemudian menghadap Majikan Kerudung Putih dan bertanya:

“ada maksud apakah gerangan engkau menghadang perjalanan kami”?

“Sudah kukatakan tadi, hendak kemana dan ingin melakukan apa kalian”?

“Tapi, rasanya terlalu sederhana jika hanya itu kehendak kalian” Kwi Beng menegaskan.

“Hihihi, engkau pintar. Aku memang ditugaskan untuk menghadang dan menangkap kalian ditempat ini”

“Tapi untuk maksud apakah”? Kwi Beng bertanya

“Mengurangi jumlah musuh yang ingin menyerang” tegas Majikan Kerudung Putih dengan suara dinginnya.

“Tapi sayang tidak akan segampang itu, Majikan Kerudung Putih” Kwi Song yang penasaran menegaskan.

“Baik, kita lihat saja nanti”, sambil berkata demikian Majikan Kerudung Putih sudah menyerang Kwi Beng. Sementara Kwi Song yag ingin membela kakaknya dengan cepat sudah dikeroyok 7 Gadis cantik berpakaian putih.

Barisan dayang Majikan Kerudung Putih sebetulnya ada 7 orang, dengan ketua yang kepandaiannya paling lihay adalah Gan Bi Kim. Tanpa Gan Bi Kim sebagai kepala, barisan ke 6 Dayang Baju Putih yang bergerak seperti ular ini tidak selihay bila kepalanya ada.

Karena itu, barisan yang kini menyerang Kwi Song, jauh lebih lihay ketimbang mereka pertama kali menyerang Kwi Beng. Kali ini, mereka bahkan mampu mengimbangi Kwi Song, padahal sebelumnya meski sempat merepotkan Kwi Beng, tetapi barisan ini tidak sanggup bertahan lama.

Kwi Beng yang diserang oleh Majikan Kerudung Putih bersilat seperti biasa, dan kali ini setelah belajar dari pertempuran pertama, dia relative bisa mempertahankan diri dengan baik. Dia telah mempelajari dan merenungkan pertempuran mereka yang pertama, dan sadar bahwa dalam hal kecepatan dia masih tidak mampu merendengi lawan.

Karena itu, dia bersilat dengan gaya yang kokoh, bersilat mengikuti gaya Thai Kek Sin Kun dan behasil memberi perlawanan yang memadai atas serangan khas Majikan Kerudung Putih. Diserang sebagaimana cepat dan kuatpun, Kwi Beng yang bersilat dengan gaya yang banyak mempertahankan diri dan mengembangkan sinkang mujijat yang melindungi tubuhnya, sanggup bertahan. Hal ini terutama karena pilihan ilmu yang tepat dank arena Kwi Beng dengan cerdik mempelajari gaya bertarung laan dan memberi balasan imu yang tepat.

Dengan cara tersebut, Kwi Beng mampu bertahan tanpa terlampau terdesak oleh lawan. Bahkan sesekali dia mampu memberi serangan balasan yang cukup merepotkan Majikan Kerudung Putih yang juga merasa heran, mengapa dalam waktu beberapa hari saja, Kwi Beng sepertinya mengalami kemajuan dalam bertempur dengannya.

Sementara itu dipihak Kwi Song, meskipun barisan 7 Gadis Berjubah Putih itu memang tambah lihay dengan kehadran Gan Bi Kim, tetapi masih belum cukup sanggup untuk menahan serbuan Kwi Song. Seperti diketahui Kwi Song ini lebih lincah dan lebih variatif dalam bertahan maupun menyerang.

Karena itu, setelah sekian lama mempelajari kemampuan dan pergerakan 7 gadis ini, dia mendapati kenyataan bahwa Gan Bi Kim yang pernah ditemuinya dahulu, adalah pusat pergerakan dan perintah bagi barisan tersebut. Itu sebabnya beberapa kali Kwi Song mececar Bi Kim, dan sesuai dugaannya serangan kearah Bi Kim akan mengundang serbuan deras kearahnya.

Untuk maksud menggempur barisan ini, maka Kwi Song kemudian memilh untuk mencecar lawannya secara bergantian, dengan berusaha mencari ketika yang tepat menyerang Bi Kim. Dan demikianlah strategi bertempur yang kemudian dikembangkannya, yakni mengurangis erangan ke kepala barisan itu, Gan Bi Kim, tetapi berkonsentrasi menyerang barisannya.

Otak dan tipu serta variasi gerakan Kwi Song memang temasuk telah matang. Sama seperti kekokohan kakaknya dalam bertarung yang mengalami pematangan dari waktu kewaktu. Karena itu, Kwi Song mencoba peruntungan dan perhitungannya dengan sedikit membiarkan Bi Kim di luar jangkauan pukulan dan cecarannya.

Dia sudah menghitung, bahwa suatu saat Bi Kim akan terlena dan kurang awas, dan menghitung saat itu akan tiba dimana dia mencecar BiKim untuk membongkar barisan yang menyerangnya dengan teratur itu. Demikianlah perlahan-lahan Kwi Song memancing barisan itu menyerangnya, sementara dia sendiri membirrkan diri di serang dan jikapun menyerang membatasi penyerangannya untuk tidak terlampau sering mengarah ke Bi Kim.

Dan perhitungannya benar, dari waktu ke waktu Bi Kim merasa serangan kearahnya semakin mengendor. Dan secara otomatis perlahan-lahan dia kehilangan keawasan atau kewaspadaannya menghadapi Kwi Song. Disangkanya, Kwi Song telah kehabisan akal untuk menyerangnya dengan sebat, meskipun langkah kaki lawannya dan gerakannya masih sangat sebat dan gesit. Gadis itu tidak pernah menyangka bahwa Kwi Song memang mengincarnya dan mempersiapkan diri dengan sabar untuk menyerangnya hinga mati kutu.
 
BAB 9 Kolomoto Ti Lou - Bintang Selatan Nan Sakti
1 Kolomoto Ti Lou - Bintang Selatan Nan Sakti
Perhitungan Kwi Song benar. Semakin lama, barisan itu semakin terlena dalam menyerang Kwi Song. Mereka kurang menyadari bahwa Kwi Song memang membiarkan diri diserang untuk menanti ketika yang tepat untuk melancarkan serangan ke pusat pergerakan barisan itu.

Dan ketika kemudian akhirnya saat yang ditunggu-tunggu Kwi Song tiba, dengan menggunakan ilmu saktinya dari Tay Lo Kim Kong Ciang, Kwi Song merangsek dan menerjang. Awalnya sasarannya seperti mengarah ke badan barisan itu yang dikawal oleh 2 orang gadis berbaju putih, tetapi ketika kemudian barisan itu bergerak merespons, tiba-tiba dengan kecepatan kilat serangannya beralih kearah Bi Kim.

Dan Bi Kim yang tidak siap sedia karena sedang mencoba membantu kawannya tidak cukup siap menerima serangan cepat dan keras dari Kwi Song. Untuk mengurangi efek pukulan Kwi Song, dengan terpaksa Bi Kim mengerahkan ilmunya sendiri dan keluar dari pakem barisan. Tapi, memang hanya dengan cara itu dia bisa mengurangi resiko pukulan Kwi Song.

Dia memapak pukulan Kwi Song dengan kedua telapak tangannya dan mengadu kekuatan. Untungnya Kwi Song bukan seorang pemuda kejam, hingga saat-saat terakhir dia mengurangi tenaganya membentur pertahanan Bi Kim. Tapi toch, itupun sudah cukup membuyarkan barisan para gadis berbaju putih dan melontarkan Bi Kim keluar barisan.

“Bresss” bersamaan dengan benturan itu, Bi Kim terlontar melayang keluar barisan. Untungnya luka dalamnya ringan saja, dan tidak membuatnya terkapar di tanah karena saat terakhir Kwi Song mengendorkan kekuatannya. Tapi, dari luar barisan dia melihat anak buahnya dipermainkan seenaknya oleh Kwi Song.

Hatinya miris, tetapi dia sadar dia tidak akan cukup sanggup berbuat apa, bahkan untuk merapatkan barisan mereka sekalipun. Karena itu dengan gemas dia melihat bagaimana barisan itu diobrak abrik Kwi Song, dan bahkan mempermainkan anak buahnya. Tetapi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Karena secara tiba-tiba, terdengar sebuah suara:

“Laki-laki ceriwis, berani benar mempermainkan perempuan lemah”

Bersamaan dengan suara itu, tiba-tiba sebuah bayangan mengejar kearah Kwi Song dan menghadiahkannya satu pukulan yang cukup kuat. Cukup kuat untuk membuat Kwi Song membatalkan serangannya dan menoleh serta menangkis penyerangnya yang ternyata adalah seorang perempuan pula.

Dan, seorang gadis manis lagi. Tapi tak ada waktu untuk mengagumi kecantikan dan keindahan si pendatang baru ini.

“Duk” benturan antara keduanya tidak terhindarkan. Tetap nampaknya Kwi Song masih lebih kuat. Terbukti dari benturan itu si gadis terdorong kebelakang sementara Kw Song hanya sedikit merasakan getaran di tangannya. Tetapi, harus dikatakan bahwa tergetarnya tangannya menandakan lawan bukan orang lemah.

Justru sebaliknya. Jika lawan baru ini membantu lawan yang lain, maka kedudukan mereka kakak beradik sungguh dalam bahaya. Apalagi ketika melirik keadaan kakaknya, posisinya masih berimbang, malah kakaknya dalam posisi selalu terserang. Meski tidak dalam posisi berbahaya.

“Hm, sungguh seorang laki-laki ceriwis, beraninya menghadapi anak-anak gadis. Jika berani lawan aku” si Gadis ternyata datang berdua dengan seorang pemuda yang kini berdiri di pinggir arena dan memandangi Kwi Song dengan tajam. Dari wajah, nampaknya mereka kakak beradik, karena keduanya rada rada mirip.

Tapi Kwi Song tidak memiliki waktu yang cukup meladeni keduanya, karena sang gadis sudah kembali menyerangnya. Kelihatannya dia masih penasaran karena kesudahan benturan tadi lebih merugikannya, dan terbersit sedikit kekaguman dalam hatinya karena Kwi Song mampu mendorongnya kebelakang. Sesuatu yang baru sekali dialaminya selama dalam pengembarannya. Dan sebagai seornag gadis yang terlatih, menemukan seorang pria muda yang sanggup menandingi bahkan mengatasinya, sungguh berarti banyak.

“Hyaaaaaat” dengan cepat dan tanpa ba bi bu lagi, si gadis kembali mencecar Kwi Song. Nampaknya bukan sekedar karena keceriwisan Kwi Song menurut bahasanya tadi, tapi karena rasa penasaran dan rasa tidak ingin kalah. Karena itu, gadis itu kembali menyerang Kwi Song dengan segenap kepandaiannya. Tetapi, meskipun dengan mengerahkan segenap kekuatannya, gadis itu tetap tidak sanggup mendesak Kwi Song.

Sementara Kwi Song sendiri sejak melihat wajah kakak beradik itu merasa seperti pernah melihat dan mengenal wajah mereka. Tetapi dia sama sekali tidak mampu mengingat dimana pernah bertemu dan dimana pernah melihat mereka, kedua kakak beradik itu. Karena itu, Kwi Song tidak gegabah menyerang, tetapi lebih banyak mempertahankan diri dari serangan gadis itu yang dating bagaikan hujan.

Tetapi betapapun, gadis itu memang sudah cukup tinggi tingkat kepandaiannya, meskipun masih belum mampu menandingi tingkat kepandaian Kwi Song saat itu. Yang pasti, tidaklah mungkin menghadapinya dengan berkelit saja. Justru karena itu, perlahan Kwi Song jatuh dalam kesulitan dan mulai berpikir untuk balas menyerang, meskipun sebatas untuk memperingan beban serangan yang dilontarkan lawannya.

Tapi entah bagaimana, Kwi Song selalu rada lemah hati melihat paras si Nona yang menggebu-gebu menyerangnya dan menjadi semakin penasaran karena lawan yang hanya mengelak dan berkelit itu tidak dapat disentuhnya dengan pukulan tangannya. Bahkan, bila dengan terpaksa tangan mereka bertemu, gadis itu merasa benar, bahwa memang lawannya sangat menyulitkannya. Bahkan, lama kelamaan, meski dia mendesak hebat, tetapi dirasakannya lawannya memberinya sedikit peluang dan angin.

Meskipun merasa penasaran karenanya, tetapi gadis itu mau tidak mau merasa kagum juga terhadap Kwi Song. Tetapi, kepenasarannya menutupi rasa kagumnya. Mereka yang belajar silat, secara otomatis mengidap penyakit tidak bisa terima kekalahan. Dan itu jugalah yang membuat gadis itu terus menyerang Kwi Song kalang kabut.

Di arena lainnya, meskipun mampu memperbaiki posisinya dalam pertarungan melawan Majikan Kerudung Putih, tetapi Kwi Beng sebetulnya masih sulit untuk menarik keuntungan dari pertempuran itu. Memang pertahanan dan daya tahannya menjadi jauh lebih baik dibandingkan pertempuran pertama.

Bahkan Kwi Beng telah menguras pengetahuannya dan menganalisis perkelahiannya yang sebelumnya. Dari sana, dia beroleh pengetahuan dan kemajuan baru dalam sebuah pertempuran. Tetapi, tetap saja ketika menghadapi Majikan Kerudung Putih yang menang dalam hal ginkang dan bahkan dalam hal iweekang setidaknya mereka imbang atau bahkan sang Majikan sedikit lebih asor, dan hanya kemurnian Sinkang saja yang menguntungkannya.

Karena itu, tetap saja Kwi Beng mengalami sedikit kesulitan dalam mengimbangi Majikan Kerudung Putih yang dahsyat itu. Keadaannya sunggu bertolak belakang dengan keadaan Kwi Song, yang meski terdesak, tetapi lebih karena tidak sampai hati harus menyerang lawannya.

Di sisi lain, Majikan Kerudung Putih sendiripun sempat merasa kaget dengan kemajuan lawan yang dihadapinya. Baru beberapa hari sebelumnya mereka berpisah, dan sekarang Kwi Beng sudah sanggup memberi perlawanan yang lebih menyulitkannya. Meskipun dia sendiri sudah menguras pemahamanya untuk menarik keuntungan dari pertempuran terdahulu.

Tetapi, tetap saja dia mengalami sedikit lebih sulit dalam mendesak dan menyerang Kwi Beng yang kini mempertahankan dirinya dengan lebih baik. Berkali-kali Majikan Kerudung Putih mengerahkan kemampuan ginkangnya dan ilmu-ilmunya untuk mendesak dan memojokkan Kwi Beng.

Tetapi, dalam keadaan terdesakpun, bahkan ketika harus menerima pukulannya, Kwi Beng tetap bisa berdiri dan tidak nampak terluka. Hal ini dimungkinkan karena Kwi Beng memang sudah meningkatkan kemampuannya dan melindungi diri dengan Khikang ajaib Siauw Lim Sie. Benar, dia merasa sedikit kesakitan, apalagi bila terus menerus ditembus oleh Iweekang ataupun tenaga dalam yang seimbang dengannya.

Tetap akan terasa menyakitkan memang. Tetapi, dengan kemampuannya sekarang, sungguh sedikit saja tokoh yang sanggup menembus khikang Kwi Beng dan menggoyahkannya.

Keadaan Kwi Beng yang sedikit sulit bertambah sulit ketika kemudian dia menengok keadaan adiknya, kwi Song yang kini juga mulai jatuh dalam kesulitan. Bukan karena serangan si gadis yang penasaran terhadapnya, tetapi karena kakak si gadis, juga pada akhirnya menerjunkan diri menyerangnya. Dan gabungan serangan kedua anak muda kakak beradik itu, jauh lebih berat lagi. Bagaimana ceritanya sampai jadi demikian?

Dalam keadaan yang selalu terserang, tiba-tiba Kwi Song mendapati kembali ingatannya mengenai kedua kakak beradik ini. “Benar, aku pernah bertemu keduanya” demikian pikir Kwi Song. Tetapi, ketika mendapati bahwa dia sudah mulai mengenali kedua kakak beradik itu, Kwi Song yang sedikit lengah, menghadapi ancaman bahaya di bawah serangan si gadis yang menggunakan ilmu yang juga mujijat.

Hawa serangan bergulung-gulung mengurungnya, dan segera Kwi Song sadar, bahwa sulit baginya untuk menghindar. Belum sempat dia bicara, pukulan sudah menerpa datang, dan dengan terpaksa, karena tidak mau melukai dan terluka, akhirnya Kwi Song memapak serangan si gadis dengan sedikit meningkatkan kekuatan iweekangnya. Dan kesudahannya adalah kerugian bagi si anak gadis yang kemampuannya memang masih berada di bawah Kwi Song:

“Plak, plak …….. ihhhhhh” terjadi dua kali benturan dan akibatnya tubuh si nona terdorong sampai tiga langkah ke belakang. Dan bersamaan dengan itu, bayangan biru sudah berkelabat menyerang Kwi Song, inilah dia, kakaknya si nona yang menyerangnya. Dan, Kwi Song mendapati bahwa sang kakak ternyata masih lebih lihay dari sang adik. Lebih kokoh dan lebih berbahaya dibanding si Nona. Dan lebih repot lagi, karena begitu menemukan kesadaran kembali, si gadis ikut menjadi murka karena terdorong keras ke belakang tanda kalah tenaga melawan Kwi Song.

Jadilah akhirnya Kwi Song mau tidak mau meladeni kedua kakak beradik itu tanpa punya tempo untuk menjelaskan kesalahpahaman dan bahwa dia mengenal kedua kakak beradik itu. Serangan-serangan keduanya yang sudah dikenali Kwi Song sebagai kakak beradik dari Lam Hay, Lamkiong Tiong Hong dan adiknya Lamkiong Sian Li, si nona manis yang tadi menyerangnya kalang kabut, betapapun sangat merepotkannya.

Menghadapi mereka berdua, Kwi Song betapapun mengalami kesulitan, apalagi melawan kedua orang ini yang pernah membantu mereka di Siauw Lim Sie cabang Poh Thian. Bahkan dengan bantuan kedua kakak beradik inilah, musuh bisa dienyahkan. Dan, bagaimana mungkin menghadapi mereka yang pernah membantu Siauw Lim Sie sebagai musuh? Kwi Song jadi serba salah.

Karena itu, dengan cepat Kwi Song benar-benar terjebak dalam kesulitan sendiri. Melawan Lamkiong Tiong Hong, dia masih bisa menang, karena tingkatannya memang masih lebih tinggi. Tetapi, menghadapi kerubutan kedua kakak beradik ini, dengan rasa hati yang galau, membuatnya benar-benar dalam kesulitan besar. Dia akhirnya benar-benar dicecar kedua kakak beradik yang juga amat sakti ini, dan hanya sekali-sekali membalas untuk membuyarkan serangan keduanya.

Keadaan Kwi Song yang runyam itulah yang tertangkap oleh Kwi Beng yang juga sedang dalam posisi yang kurang menguntungkan. Meskipun bermental baja, sabar dan kokoh, mau tidak mau, Kwi Beng goyah juga. Dia hanya memiliki Kwi Song sebagai orang yang terdekat dengannya, keluarganya sudah hancur entah kemana diterjang banjir bandang.

Mana bisa sebagai kakak, meski kakak kembar, dia membiarkan adiknya dalam kesulitan? Perlahan rona perlawanan mulai menguasai dirinya, dan bahkan semangatnya mulai terbangun untuk meningkatkan perlawanannya. Dia masih belum pernah lagi mencoba menggunakan ilmu ciptaan gurunya yang hebat, Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih).

Dia memang telah mengadu ilmu, termasuk ilmu mujijat Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) dan Ban Hud Ciang dalam pertempuran mereka terdahulu. Tetapi, dia masih belum mencoba menggunakan ilmu pamungkas yang menurut gurunya sudah hampir sempurna dikuasainya.

Padahal, menurut gurunya, ilmu itu harus digunakan secara berhati-hati, dan dalam konsentrasi tinggi, karena mengandung perbawa sihir yang sangat kuat dan pengerahan tenaga dalam yang juga sangat tinggi. Itulah sebabnya, gurunya mewanti-wanti untuk hati-hati menggunakan ilmu itu, sama dengan menggunakan jurus ke 11 dari Ban Hud Ciang (Selaksa Tapak Budha) yang juga sangat mujijat itu.

Kali ini, dalam kondisi yang terdesak, Kwi Beng mulai memikirkan opsi itu. Terlebih, karena selain lawan juga sangat digdaya, diarena lain, dia melihat adiknya sedang dalam kesulitan menghadapi dua lawannya yang juga masih muda.

Dengan tiba-tiba, Kwi Beng menghentakkan kedua tangannya, dan dengan segera kedua tangannya bergulung-gulung asap putih tebal yang menyilaukan pandangan mata. Bahkan kemudian dari gulungan awan atau asap putih tebal itu, mengalir aliran tenaga mujijat yang mampu merontokkan semangat orang atau lawan.

Melihat posisi dan pergerakan Kwi Beng, Majikan Kerudung Putih sedikit tercekat, tetapi dengan segera, dia juga melakukan pergerakan yang luar biasa. Bergerak-gerak lincah dan ringan, dan membuat tubuhnya seperti bayangan hijau yang juga menyakitkan bagi pandangan mata. Tetapi, dari gerak dan pancaran sinar tubuhnya, mengalir seleret sinar kuat yang sangat kuat mempengaruhi kesadaran orang.

Tak pelak lagi, keduanya sudah mengerahkan ilmu-ilmu pamungkas dari perguruan masing-masing. Dan nampaknya keduanya sudah siap dan dalam konsentrasi tinggi untuk melanjutkan pertempuran. Terlebih bagi Kwi Beng yang semangatnya terbangun dan ingin menyelesaikan pertarungan, jika perlu dengan melukai lawan.

Dan, dengan tidak menunggu lama, kedua pusaran berbalur cahaya berbeda, awan putih dan seleret sinar gemerlapan, berkeredep berwarna hijau gemilang nampak saling silang dan saling bentur. Anehnya, tidak terdengar suara apapun, bahkan sepeti tanpa angin pukulan yang memancar dari keduanya.

Tetapi, wajah Kwi Beng nampak semakin serius. Dalam benturan mereka yang pertama, hanya dengan kekuatan Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) sajalah dia tidak terluka dalam. Lawannyapun, nampaknya memiliki khikang yang tidak kurang ajaib yang membuatnya tahan dalam benturan pukulan-pukulan berat antara keduanya.

Tetapi, jelas terlihat, bahwa Kwi Beng terdorong hampir selangkah mundur ke belakang dalam pertarungan puncak itu. Paduan cahaya putih dan hijau yang berbenturan sungguh menyakitkan mata, dan mata orang biasa dipastikan rusak dari jarak 10 meteran. Bahkan jilatan cahaya entah putih entah hijau, bila menyengat batu di pusaran perkelahian, mampu membuat batu dengan segera menjadi bubuk-bubuk debu, dan membuat rumput sekitar mereka mengering seketika.

Tetapi, sama sekali tiada angin pukulan atau suara-suara beradunya pukulan berat. Padahal, kedua orang yang berada di balik cahaya putih dan hijau itu, nampak semakin serius. Terutama, Kwi Beng yang mulai sedikit berkeringat, meskipun masih belum terluka, hanya sesekali tersurut setengah langkah ke belakang akibat benturan antara keduanya.

Pertempuran antara keduanya semakin lama semakin berat, dan sebentar lagi akan memasuki babakan yang sangat berbahaya. Tidak disangsikan, keduanya pasti akan terluka sangat berat apabila melanjutkan pertarungan itu.

Meskipun memiliki khikang tinggi, tetapi bila benturan antara tenaga dalam setingkat dilakukan berkali-kali, tetap akan menyelinap dan melukai tubuh bagian dalam keduanya. Dan, nampaknya, memang Kwi Beng mulai sedikit meringis menahan sakit, sementara hal yang sama meski masih samar mulai dirasakan oleh Majikan kerudung Putih. Kedudukan masing-masing semakin jelas.

Tetapi, Majikan Kerudung Putihpun tidak akan keluar sebagai pemenang dengan keadaan yang baik. Keduanya nampak menyadari hal tersebut, tetapi posisi keduanya setelah mengerahkan ilmu pamungkas, sudah dalam keadaan yang tiada jalan mundur. Karena siapa yang duluan mengendorkan serangannya akan mengalami tolakan balik yang dahsyat yang akan mengakhiri hidup mereka. Dan keduanya sadar dengan kondisi tersebut.

Dalam posisi yang sangat berbahaya bagi keduanya, tiba-tiba di telinga Kwi Beng mendenging sebuah suara:

“Saudara Kwi Beng, arahkan pukulanmu menyamping, biar aku menyambut pukulan orang itu. Cepat lakukan dan jangan ragu”

Hanya orang yang luar biasa yang mampu menembus batas pengerahan tenaga Kwi Beng, dan kebetulan suara orang yang memasukinya adalah orang yang dikaguminya. Dan terlebih, Kwi Beng mengenali siapa pemilik suara yang sanggup menembus perisai kekuatan batinnya. Dan kepercayaan itulah yang menguntungkan, karena dengan segera tenaga yang disalurkan menyerang, diselewengkan menyamping.

Dan pada saat yang sama, sebuah bayangan hijau memasuki arena dan memapak pukulan Majikan Kerudung Putih. Akibatnya sungguh luar biasa, terdengar suara-suara mendesis yang hanya terasa oleh telinga batin, tetapi berdampak sangat luar biasa di lingkungan arena pertarungan:

“desssss, dessss, cusssss”

Suara-suara tersebut adalah akibat pukulan Kwi Beng yang membentur tanah kosong berumput. Tanah yang segera tergali demikian rapih, tetapi rumput-rumputnya nampak gosong seperti baru saja terbakar sesuatu. Tetapi, anehnya, lobang yang diciptakan oleh pukulan tersebut, seperti baru saja ditimpa sebuah benda dengan kekuatan dingin yang luar biasa. Di lobang galian akibat pukulan itu nampak air yang seperti baru saja mencair dari es-es membeku, kontras dengan rerumputan yang terbakar habis, gosong seperti terpanggang sesuatu yang sangat panas.

Sementara suara lainya adalah benturan antara pukulan bayangan hijau yang bukan lain adalah Kiang Ceng Liong yang menggunakan jurus terakhir dari Pek Lek Sin Jiu untuk memapak pukulan Majikan Kerudung Putih. Benturannyapun tidak mengeluarkan suara memekakkan telnga, tetapi guncangan diantara Majikan Kerudung Putih dengan Cen Liong sungguh luar biasa.

Majikan Kerudung Putih sampai terdorong dua langkah ke belakang, sementara Ceng Liong menapak mundur ke belakang 1 langkah atau mungkin lebih sedikit. Keadaan yang membuat mau tidak mau Majikan kerudung Putih mengernyitkan keningnya. Pendatang baru yang mengenakan baju dan jubah berwarna Hijau ini, tidak jauh berbeda usianya dengan Kwi Beng. Sama kokoh dan sama pendiam, tetapi nampaknya sedikit lebih berisi, karena sanggup mendorongnya ke belakang.

Majikan Kerudung Putih tidak bisa terima dengan keadaan tersebut, dalam keadaan penasaran dan murka dia menerjang pendatang berjubah hijau itu. Tetapi, berbeda dengan Kwi Beng yang bertahan saja, Ceng Liong yang mengenal lawan ampuh, tidak membiarkan dirinya diserang. Dan dengan cepat dia bersilat mengikuti alur dan jurus-jurus dari Lembah Pualam Hijau. Dan akibatnya terdengar seruan:

“Hm engkau nampaknya yang disebut anak muda dari Lembah Pualam Hijau, Ceng-i-Koai Hiap”, jelas suara kagum dan penasaran dari Majikan Kerudung Putih menghadapi Ceng Liong.

“Ada uruan apakah engkau denganku Nona”? Ceng Liong sudah bisa menangkap dia berhadapan dengan seorang gadis

“Ada, urusannya adalah menangkapmu”

“Cobalah, jika engkau mampu” Sambil berkata demikian, Ceng Liong kemudian berkata kepada Kwi Beng

“Beng te, cobalah engkau melihat keadaan adikmu, siapa tahu dia butuh bantuanmu”

“”Baiklah saudara Ceng Liong” Kwi Beng mengalihkan perhatiannya kearah Kwi Song yang asih menghadapi kerubutan dua lawan mudanya itu. Dia cukup yakin dan maklum akan kepandaian Ceng Liong dan percaya bahwa sahabatnya itu akan sanggup menandingi Majikan Kerudung Putih.

Sementara itu, dengan cepat Majikan Kerudung Putih telah menyerang Ceng Liong mengunakan ilmu-ilmu tingkat tingginya. Sebagaimana juga Kwi Beng, Ceng Liong segera sadar bahwa lawannya memiliki gerakan ginkang yang bahkan masih sedikit melebihinya.

“Mungkin hanya sedikit di bawah Lan Moi” pikir Ceng Liong kagum. Tetapi, dalam benturan tenaga dalam, Ceng Liong nampaknya masih sedikit lebih unggul dibanding lawannya. Karena itu, Ceng Liong sendiripun tidak berayal untuk menyambut serangan lawannya dengan ilmu-ilmu keluarganya.

Tetapi, Ceng Liong dengan segera menemukan keanehan, betapa semua serangannya menggunakan ilmu Lembah Pualam Hijau dengan mudah diatasi dan dihadapi lawannya. Bahkan, ada beberapa unsur dasar serangan lawan yang rada mirip dengan ilmu-ilmu keluarganya dari Lembah Pualam Hijau. Karena itu, posisi Ceng Liong malah sedikit lebih banyak menerima serangan lawannya. Tetapi, betapapun kematangan Ceng Liong dalam penguasaan ilmu keluarganya memang sudah mengagumkan.

Meskipun lawannya bisa menebak arah serangan Ceng Liong dalam penggunaan Giok Ceng Chap Ca Sin Kun, tetapi variasi-variasi baru kembangan Ceng Liong berdasarkan pengalaman tempurnya tetap merepotkan Majikan Kerudung Putih.

“Hm, memang tidak bernama kosong” gumam Majikan Kerudung Putih, masih sempat-sempatnya dia bicara ditengah serunya pertempuran mereka. Dan nampaknya dia berani berlaku demikian karena juga cukup memahami arah gerak dan serangan ilmu-ilmu keluarga Lembah Pualam Hijau.

Bahkan ketika mengubah ilmu silatnya dengan menggunakan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut sekalipun, tetap masih tidak mampu mendesak lawan karena memang daya gerak dan ginkang Majikan Kerudung Putih sungguh pesat dan luar biasa. Meskipun, nampak sekali bahwa Majikan Kerudung Putihpun sangat kesulitan untuk mendesak dan memojokkan Ceng Liong yang bertempur dengan penuh semangat.

Memang si Majikan kerudung Putih sanggup menebak arah serangan Ceng Liong, namun tetap sulit bagi Majikan Kerudung Putih mendesak dan menyerang Ceng Liong. Hal ini dikarenakan Ceng Liong masih sanggup menekannya dengan alur pukulan dan lontaran sinkang yang memang luar biasa. Hanya karena pemahaman akan ilmu yang dimainkan Ceng Liong dan kehebatan ginkangnya sajalah yang membuat Majikan Kerudung Putih nampak membuat pertempuran menjadi seru dan seimbang.

Saling serang dan bertahan dengan cepat dilakukan keduanya dan dalam hitungan beberapa detik saja, sejumlah pukulan telah mereka pertukarkan. Dan lama-kelamaan Majikan Kerudung Putih sadar bahwa dalam hal Sinkang lawannya memang masih melebihinya, sementara dalam ginkang dia masih sanggup mengatasi lawan
 
Terakhir diubah:
Lanjuttt Lanjuttttt :banzai:

Penasaran ama kakak adek yg baru dateng ,,
 
2
Sementara itu, di tempat lain Kwi Beng yang datang mendekati arena pertempuran kedua antara Kwi Song melawan sepasang anak muda, menjadi heran karena melihat adiknya ternyata memang sengaja mengalah. Tetapi, kecepatan perkelahian membuatnya tidak sempat memperhatikan siapa lawan adiknya Kwi Song.

Yang pasti, dan hal ini yang membuatnya sangat heran adalah adiknya yang berkelahi seperti setengah-setengah dan karenanya nampak jatuh di bawah angin. Padahal, jika Kwi Song berkelahi sungguh-sungguh, keadaannya pastilah tidak akan sangat kesulitan, meskipun lawannya juga masih akan bisa mengimbangi. Karena itu, Kwi Beng kemudian berkata:

“Song te, tidak ada gunanya engkau mengalah. Mereka mengejar dan menyerangmu demikian sengit”

Kwi Song yang mendengar suara kakaknya, meskipun masih ragu tetapi menangkap kebenaran perkataan kakaknya itu. Meskipun rada jahil dan nakal, tetapi terhadap kakaknya yang pendiam dan halus itu, Kwi Song benar-benar takluk dan menghormat. Serta tentu sayang. Karena itu, mendengar suara kakaknya, semangatnya terbangun, meski masih membatasi tenaganya.

Tetapi kali ini Kwi Song mengembangkan perlawanan dengan lebih ketat dan lebih seru lagi, serta balas menyerang kedua kakak beradik yang tetap terus mencecarnya dengan serangan-serangan tajam. Dia tidak lagi ragu harus menyentil serangan lawan dengan menggunakan Kim Kong Ci ataupun dengan menggunakan Tam Ci Sin Tong dan membuat serangan lawannya terpental kebelakang.

Bahkan dia juga tidak rau lagi membalas serangan dengan keras kearah si Nona yang sebelumnya membuatnya ragu untuk membalas. Tetapi, memang lebih sering serangan berat diarahkan dan ditujukannya kearah si lelaki, kakaknya sang nona yang nampak sangat bersemangat dalam mendesaknya.

Pertempuran merekapun menjadi semakin menarik. Karena betapapun, permainan ilmu silat kakak beradik itu tidaklah lemah, apalagi mereka berdua nampaknya sering berlatih bersama, dan kepandaian merekapun tidak terpaut jauh dari Kwi Song. Akibatnya, gabungan serangan keduanya membuat perlawanan mereka menjadi cukup untuk menahan serbuan dan serangan Kwi Song yang kini bertempur dengan bersungguh-sungguh.

Beberapa kali bahkan Kwi Song mendesak dan memojokan kakak beradik itu, tetapi kerjasama dan saling tolong keduanya yang berilmu sama, membuat pertarungan bisa kembali menemukan keseimbangannya. Tetapi, keadaan Kwi Song tidaklah lagi membahayakan, malah dia sudah mampu mengimbangi dan memberi serangan balasan yang berbahaya kearah kedua penyerangnya. Kwi Song nampaknya sudah bisa menghitung bahwa gabungan tenaga kedua kakak beradik ini, meskipun memang berbahaya, tetap masih sanggup ditahannya dengan khikang perguruannya. Karena itu, watak jahil dan nakal Kwi Song akhirnya mulai kambuh juga.

Beberapa kali dia menyerang dan mencecar si lelaki muda habis-habisan, untuk kemudian mengganti arah serangan kearah si nona, dan begitu seterusnya dia mencecar kedua lawannya dengan serangan-serangan ilmu dari pintu perguruan Siauw Lim Sie.

Sementara itu, Ceng Liong yang merasakan keanehan bahwa ilmunya seperti bisa ditebak arahnya oleh Majikan Kerudung Putih, pada akhirnya memutuskan menggunakan Pek Lek Sin Jiu ajaran Kiong Siang Han. Dan benar saja, ketika menggunakan ilmu berat tersebut, Majikan Kerudung Putih yang sudah mengalami pertempuran berat sebelumnya mulai tertekan.

Benar, dia masih bisa menghindar dengan kehebatan ginkangnya, tetapi setiap pertukaran tahapan penggunaan Pek Lek Sin Jiu, angin pukulan Ceng Liong selalu menutup pintu keluar Majikan Kerudung Putih. Dan akibatnya, beberapa kali terdengar ledakan keras yang diikuti letupan-letupan akibat benturan ilmu pukulan yang maha hebat. Apalagi, karena kemudian Pek Lek Sin Jiu ditandingi dengan ilmu ampuh Majikan Kerudung Putih bernama “Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti” yang masih di timpali dengan ginkang istimewa “Ular Sakti Terbang Kelangit”.

Berbeda dengan Kwi Beng, Ceng Liong mewarisi tenaga dalam tidak lumrah dari kakeknya dan bahkan kemudian juga menerima hawa sakti See Thian Coa Ong yang diolahnya dengan “ilmu pernafasan” berdasarkan robekan kitab sakti dari Jawadwipa. Belum lagi, dasar tenaganya Giok Ceng Sinkang memiliki kemampuan penyembuhan dan pemulihan tenaga dalam bila sudah mencapai tingkatan tertingginya.

Dengan bekalnya tersebut, benturan-benturan yang terjadi, semakin membuat Majikan Kerudung Putih tertekan. Tambahan, tokoh ini, juga telah mengalami kelelahan setelah bertempur dengan Kwi Beng yang juga kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan mereka berdua. Dan lagi, Ceng Liong, seperti juga Kwi Beng, tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan sihir dari ilmunya.

Hal ini membuat Majikan Kerudung Putih semakin lama semakin tertekan dan bahkan kemudian semakin merasa kelelahan. Sesuatu yang sulit diterimanya. Belum pernah dia mengalami keadaan seperti ini dalam sebuah arena pertempuran. Mengalami keadaan tertekan akibat cecaran serangan lawan hanya dialaminya dalam pertempuran dengan gurunya ataupun dengan ayahnya.

Sementara itu, Ceng Liong sendiri sudah memasuki penggunaan jurus ke-6 dari rangkaian Pek Lek Sin Jiu – “Badai Petir Membelah Langit” – sebuah rangkaian yang semakin tinggi dan semakin berbahaya. Menyadari keadaannya semakin melemah karena benturan-benturan tenaga yang merugikannya, sementara ginkangnya tertutup oleh halangan tenaga yang terpancar panas dari Ceng Liong, membuat Majikan Kerudung Putih memutuskan menggunakan kekuatan utamanya dalam jurus pamungkasnya “Ular Hijau Menerjang Mayapada”.

Lentikan cahaya kehijau-hijauan membungkus tubuhnya yang bergerak cepat dan memapas dengan berani lontaran Pek Lek Sin Jiu pada jurus ke 6 dan kemudian jurus ke-7 dari Ceng Liong. Akibatnya terdengar bunyi menggelegar dan menyakitkan telinga dari benturan tersebut:

“Blarrrrrrr” dan akibatnya tubuh Majikan kerudung Putih terdorong sampai 5 langkah ke belakang, sementara Ceng Liong hanya susut 2 langkah ke belakang. Hal ini semakin membuktikan, bukan bahwa tenaga Majikan kerudung Putih yang kalah telak, tetapi setepatnya adalah kelelahan yang telah menguras tenaganya dan membuatnya sulit mengimbangi Ceng Liong.

Sementara itu, setelah melepas jurus ke-7, Ceng Liong sebenarnya merasa sangat ngeri bila harus mengerahkan jurus ke-8, jurus pamungkas, dari ilmunya Pek Lek Sin Jiu. Sebuah jurus yang bahkan hanya dia dengan Tek Hoat yang menguasainya, karena guru mereka Kiong Siang Han dilarang melatih tingkatan ini.

Bahkan ketika menguji jurus ke-8 ini, Kiong Siang Han harus menerimanya berbarengan dengan Kiang Sin Liong dan baru mereka berani menerimanya. Sekarang, haruskah jurus itu dilepas untuk menyerang tokoh bernama Majikan Kerudung Putih ini? Ceng Liong meragu sejenak. Bukan apa-apa, dia sadar benar bahwa lawannya ini adalah seorang wanita, meskipun juga adalah pentolan dari Thian Liong Pang yang sangat menjengkelkannya. Haruskahdia mengerahkan kekuatan dahsyat dari ilmunya tersebut? Tetapi, pada saat itu, nampaknya Majikan Kerudung Putih sudah nekad dan mengerahkan segenap kekuatannya pada jurus terakhir dari ilmu pamungkasnya itu.

Tubuhnya semakin terbungkus cahaya kemilau yang kehijau-hijauan, dan tubuhnya condong kedepan. Bagi mata biasa, Majikan kerudung Putih telah berubah menjadi seekor Ular Hijau yang sangat ganas, dan disekujur tubuhnya adalah lentikan sinar kehijauan yang menusuk mata. Sementara Ceng Liong, meski sedikit terlambat, tetapi karena sudah lama siaga, akhirnya memutuskan memapak serangan lawan dengan jurus terakhir yang maha ampuh tersebut. Tetapi, karena mengerti bahwa lawan sudah terkuras tenaganya, Ceng Liong masih ingat untuk membatasi kekuatan tenaganya dengan tidak melepas segenap kekuatannya.

Dan sekali lagi terjadi benturan yang cukup keras, hal ini terutama karena Ceng Liong tidak menggunakan kekuatan dalamnya untuk meredam kekuatan lontaran pukulannya. Ceng Liong sadar akibatnya bila dia memukul sebagaimana dia menyerang Kiang Sin Liong dan Kiong Siang Han untuk mengujinya tempo hari. Tetapi akibat dari benturan tersebut masih tetap mengejutkannya:

“Blarrrr, bressssss” dan kemudian diiringi terpentalnya tubuh Majikan Kerudung Putih ke belakang. Kali ini tubuh itu, meskipun masih tetap mampu berdiri tegak setelah beberapa saat sempoyongan, tetapi di bibirnya telah meleleh darah merah yang kemudian merembes mewarnai kerudung dan jubah putihnya.

Sebetulnya, bukan karena Majikan Kerudung Putih kalah jauh melawan Ceng Liong, tetapi karena dia telah menguras tenaganya terlebih dahulu melawan Kwi Beng sehingga keadaannya menjadi lebih payah. Sekilas nampak Majikan Kerudung Putih menahan sakit, tetapi sesaat kemudian, dia kembali tegak dan bersiap melanjutkan pertempuran.

Dan dengan cepat, kembali dia menyiapkan diri dalam ilmu puncaknya, dan kembali siap menyerang Ceng Liong. Sementara itu, Ceng Liong sendiri kebingungan, bagaimana mengakhiri benturan mereka, karena dengan ilmu biasa, sulitlah baginya untuk menundukkan Majikan Kerudung Putih ini. Karena itu, kembali dia menyiapkan diri dengan jurus Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8, sambil mulai berpikir menotok Majikan kerudung Putih ini dengan ilmu “Tatapan Naga Sakti” yang mulai bisa dikendalikannya.

Tetapi, keragu-raguannya membuatnya kalah langkah dibandingkan Majikan kerudung Putih yang memang sudah bersiap untuk melepaskan serangan terakhir sebagai penentuan pertempuran antara mereka. Tetapi untunglah, pada saat yang gawat bagi kedua orang tersebut, tiba-tiba selapis angin pukulan yang maha lembut telah menahan tenaga kedua orang itu.

Adalah Ceng Liong yang dengan cepat menyadari bahwa dia harus segera menahan pukulannya bila tidak mau celaka, tetapi Majikan Kerudung Putih tidak lagi sanggup menahan pukulannya. Akibatnya, dia menghadapi ancaman pukulannya yang membalik dan efeknya bisa sangat gawat baginya.

Tetapi, orang yang menolong keduanya, nampaknya bukan orang biasa. Tenaga pantulan kearah Majikan kerudung Putih, masih sempat bisa ditahan sebagian besar daya pantul, sehingga ketika kembali memukul Majikan Kerudung Putih, pukulan tersebut sudah berkurang banyak efeknya. Tetapi, bagi Majikan Kerudung Putih yang tidak memiliki daya pelindung yang mapan, membuat pukulan tersebut tetap melukainya, bahkan membuatnya terpental roboh ke belakang.

Dan begitu melihat lawannya roboh ke belakang, Ceng Liong dengan cepat berpikir harus menotok roboh lawan untuk ditanyai. Tetapi, ketika tubuhnya berkelabat hendak menotok lawan, tiba-tiba Kwi Beng memapas totokannya tersebut dan kemudian memandang Ceng Liong sambil berkata:

“Saudara Ceng Liong, orang ini pernah membebaskan aku sekali. Biarlah kali ini kumintakan maaf dan ampun baginya, agar hutangku lunas atasnya”, suara Kwi Beng nampak tegas dan kokoh. Dan Ceng Liong maklum serta mengenal orang ini, dan jika meminta demikian, sulit baginya untuk menolak. Dia melirik sekejap kearah Majikan Kerudung Putih yang kini berusaha duduk untuk kemudian bersila berusaha memulihkan keadaannya. Beberapa kali dia memandang Kwi Beng tanpa berkata-kata, dan kemudian juga melirik kearah Majikan Kerudung Putih. Sambil menarik nafas panjang, akhirnya Ceng Liong kemudian melirik kearah Kwi Beng dan kemudian berkata:

“Beng te, baiklah. Memandang diatas mukamu, biarlah kali ini kita membebaskan Majikan kerudung Putih”. Belum habis Ceng Liong berkata, tiba-tiba sebuah bayangan kecoklatan berkelabat mendekati Majikan Kerudung Putih dan kemudian berkata:

“Sumoy, engkau terluka”?

Disamping Majikan Kerudung Putih telah berdiri seorang laki-laki, usianya nampaknya mendekati atau sekitar 30-an, bersikap gagah dan ternyata adalah suheng dari Majikan Kerudung Putih. Tetapi, Majikan Kerudung Putih, setelah mendengar persetujuan Ceng Liong untuk melepaskannya, telah memusatkan perhatiannya untuk memulihkan tenaganya dan lukanya. Sementara sang suheng, setelah melihat keadaan sumoynya tidak terlampau parah, kemudian memandang kearah Kwi Beng dan Ceng Liong, baru kemudian berkata atau tepatnya bertanya:

“Siapakah dari kalian berdua yang melukai sumoyku”?

Untuk sejenak baik Kwi Beng maupun Ceng Liong saling pandang. Nampaknya pertempuran baru akan terjadi, dan bila orang ini adalah suheng dari Majikan Kerudung Putih, berarti dia akan sama atau lebih hebat lagi, dan sudah pasti adalah musuh, alias orang Thian Liong Pang. Padahal, jika keduanya mengetahui keadaan yang sebenarnya, mungkin keduanya tidak akan setegang itu keadaannya.

Tetapi, betapapun, Ceng Liong bukan seorang pengecut. Meskipun baru saja bertempur dan menguras tenaga, tetapi dengan Sinkang istimewa lembah mereka, dia sudah merasa bugar kembali. Jikapun tidak, adalah tanggungjawabnya untuk memikul itu. Karena itu dia berkata:

“Akulah orangnya yang baru saja bertempur dengan sumoy saudara”

“Baiklah, jika ada kesalahan sumoyku, harap kalian berdua memaafkannya” suara orang ini malah membuat Kwi Ben dan Ceng Liong melengak heran dan bahkan kebingungan. Sampai-sampai Kwi Beng yang biasanya tenang malah menjadi gagap dan bertanya:

“ma …. maksud saudara”?

“Jika sumoyku melakukan kesalahan terhadap kalian berdua, sebagai suhengnya saya mohonkan maaf”

“Saudara bukan dari Thian Liong Pang”? Ceng Liong bertanya dalam keheranan dan kebingungannya.

“Bukan, meski sumoy adalah tokoh Thian Liong Pang, tapi aku bukanlah orang Thian Liong Pang, hanya suheng dari sumoyku ini”, si pemuda matang yang menjadi suheng Majikan Kerudung Putih berkata menegaskan siapa dirinya dan hubungannya dengan Thian Liong Pang dan Majikan Kerudung Putih.

“Benarkah saudara bukan anggota Thian Liong Pang”? Ceng Liong menegaskan

“Suhu dan sumoyku memang ornag Thian Liong Pang, tetapi Suhu melarangku menggabungkan diri dengan Thian Liong Pang sebagai syarat menjadi muridnya.

“Siapa suhu dan sumoymu jika demikian”? Ceng Liong mengejar

“Maaf, aku tidak dapat menjelaskannya. Yang hanya bisa kujelaskan adalah, namaku, yaitu Thio Su Kiat” si pendatang yang ternyata bernama Thio Su Kiat ini memperkenalkan dirinya, tetapi menolak menjelaskan siapa guru dan adik perguruannya yang menjadi Majikan Kerudung Putih tersebut. Benar-benar sangat memusingkan Kwi Beng dan Ceng Liong.

“Maafkan, jika demikian, jika engkau menolak untuk memberitahu nama guru dan sumoymu, kami terpaksa harus membuka kerudung orang itu” Ceng Liong berkata sambil menunjuk kearah Majikan Kerudung Putih.

“Saudara, aku sudah mintakan maaf baginya, tolonglah jangan mempersulit lagi kami kakak beradik seperguruan” Thio Su Kiat berkeras menolak permintaan Ceng Liong. Akhirnya Ceng Liongpun kehabisan kesabaran dan berkata:

“Beng te, kita perlu mengidentifikasi siapa tokoh utama mereka. Harap engkau membuka kerudungnya dan mencoba mengenalinya” Ceng Liong berkata sambil kemudian menghalangi Thio Su Kiat untuk membantu sumoynya.

“Engkau berani?” Su Kiat dengan cepat melangkah kedepan dan mencoba kembali mendekati sumoynya, tetapi dengan cepat langkahnya sudah dihalangi oleh Ceng Liong. Karena itu, dengan cepat Su Kiat kemudian menyerang Ceng Liong untuk menolong sumoynya. Tetapi, serangannya dengan cepat juga ditangkis oleh Ceng Liong, dan sebagai akibatnya keduanya sama terpental kebelakang dan saling pandang, terutama Ceng Liong memandangi Su Kiat seperti memandangi seorang yang sangat aneh.

Ceng Liong benar-benar heran dan merasa sangat terkejut, karena mendapati betapa serangan lawan dilakukan dengan kekuatan yang tidak di sebelah bawah kehebatan Majikan Kerudung Putih, hanya saja lebih lambat. Tetapi bukan kekuatan lawan yang mengagetkannya. Tidak, sama sekali bukan. Yang mengagetkannya adalah, dia mengenal ilmu pukulan lawan. Sangat mengenalnya malah. Dan dua kali mereka adu tenaga, menggunkan ilmu yang sungguh-sungguh dikenalnya, dan hal itu membuatnya menjublak tidak percaya.

Sementara itu, Kwi Beng mendapat tugas mencopot kerudung si Majikan Kerudung Putih sudah mendekati dan persis dihadapan Majikan Kerudung Putih. Tetapi, tiada keberaniannya untuk mencopot kerudungnya, bahkan kemudian dia terpekur di depan Majikan kerudung Putih sambil berbisik:

“Aku tahu engkau seorang nona, dan sangat tidak sopan bagiku untuk merenggut kerudungmu. Bahkan engkau pernah sekali mengampuniku. Sebenarnya kita sudah lunas tadi, tetapi tetap tidak tega rasanya membuka kerudung nona. Maafkan ….. maafkan aku nona”
Tetapi, setelah berbicara demikian, kembali Kwi Beng meragu, apakah akan membuka kerudung itu atau bukan. Benar, Kwi Beng sungguh-sungguh gugup dan kebingungan mengenai tindakan apa yang harus diambil. Soal kepantasan, dia merasa sungguh tidak pantas membuka kerudung seorang wanita. Dan lagi, di hati kecilnya, sungguh tidak merasa keberanian dan kepantasan untuk membuka kerudung orang didepannya.

Karena itu, sementara Ceng Liong bergebrak dan terkesima memandangi lawannya, Kwi Beng juga terkesima memandangi orang didepannya. Meskipun tertutup kerudung putih, tetapi Kwi Beng dari dekat sudah bisa melihat wajah seorang gadis yang sudah masak, pasti sudah sekitar 25-27 tahunan, dan wajah itu sungguh-sungguh cantik mempesona. Kwi Beng yang kokoh dan tahan ujipun sampai terkesima dan makin tidak tega untuk membuka kerudung gadis itu secara paksa. Terlebih karena gadis itu sedang bersila menyembuhkan luka dalam akibat pertempuran tadi.

Dan, memang untung bagi Kwi Beng untuk tidak melakukannya. Karena sebetulnya, gadis itu sudah mulai siuman sejak tadi, bahkan sejak sebelum Kwi Beng mendekatinya untuk membuka kerudungnya. Seandainya Kwi Beng langsung main paksa dan tidak bengong serta tidak merasa pantas membuka keudung, maka dia menghadapi acaman serangan mematikan yang sulit ditangkis.

Tetapi, kesopanan dan keraguan serta rasa tak pantas Kwi Beng, telah menolong dirinya sendiri dari ancaman bahaya yang mematikan. Biarpun hebat, tetapi sulit bagi Kwi Beng untuk menghindari bokongan tokoh sekaliber Majikan Kerudung Putih dari jarak kurang 1 meteran.

Tetapi, keraguan dan rasa tidak sopan Kwi Beng untuk membuka kerudung, bahkan bergumam di hadapan Majikan Kerudung Putih, justru telah mengetuk sanubari dan rasa lembut sang dara. Tenaga pukulan yang disiapkannya langsung kendor, dan dinikmatinya keraguan dan kesopanan Kwi Beng yang nampak gagah dan kokoh dimatanya. Dan justru episode yang nampak santai dan enteng ini, bukan hanya menyelamatkan Kwi Beng seorang, tetapi bahkan menyelamatkan banyak tokoh persilatan kelak.

Majikan kerudung Putih, justru tersanjung oleh Kwi Beng dan batal menyerang dan membunuh Kwi Beng. Sebaliknya, justru rasa simpati terhadap tokoh muda Siauw Lim Sie yang begitu sopan, tahu diri dan menyimpan rasa iba baginya. Sungguh ketukan alami yang sulit, teramat sulit malah untuk dihindari. Dan, sayangnya rasa dan panah itu tertancap pada sasarannya dengan tepat, dalam waktu yang tak seorangpun mampu memperhitungkannya. Jika sudah demikian, apalagi yang bisa dilakukan selain menikmatinya? Bahkan sekalipun terlarang norma.

Sebelum Kwi Beng sempat normal kembali dari lamunannya atas Majikan Kerudung Putih, tiba-tiba Majikan Kerudung Putih sendiri yang menyingkap kerudungnya. Memperlihatkan wajahnya kepada Kwi Beng, bahkan tersenyum kepadanya dan berkata:

“Aku menghargai kejantananmu, dan terima kasih atas bantuanmu” Majikan Kerudung Putih yang ternyata berwajah sangat cantik dan manis itu, kemudian membentuk sebuah senyum di kedua belah bibir basahnya. Bahkan memandangi Kwi Beng dengan kekaguman yang tak tersembunyikan, dan sesaat dia berkata:

“Semoga diwaktu yang lebih tepat kita bisa berjumpa dan dalam keadaan yang lebih baik”
Dan itulah momen yang sungguh-sungguh takkan pernah, tidak akan, dilupakan oleh seorang pemuda perkasa bernama Souw Kwi Beng. Sebuah momentum yang merenggut sukmanya untuk menyadari bahwa sesosok wajah cantik manis tu, menyedot seluruh rasa dan perhatiannya. Wajah yang membuatnya selalu membayangkannya, memimpikannya dan pertama kali mengetuk pintu cinta kasihnya untuk membuka. Souw Kwi Beng, bahkan masih belum sadar betul sampai kemudian terdengar suara:

“Suheng, mari kita pergi”

“Sumoy, engkau tidak berhalangan lagi”? Su Kiat bertanya, sementara didepannya Ceng Liong masih tetap diam terkejut, heran dan menjublak diam.

“Tidak lagi suheng, ayo”

“Baik Sumoy ..” ujar Su Kiat, tetapi sebelum pergi dia masih memandang Ceng Liong sambil kemudian berkata:

“Saudara, semoga suatu saat kita bertemu kembali, dan nampaknya memang kita pasti bertemu” sambil kemudian melompat berlalu. Tetapi, Ceng Liong cepat menemukan dirinya, dan dengan cepat dia mengejar hendak mencegah kepergian suheng-sumoy berdua itu. Dia melontarkan pukulan kearah kaburnya kedua orang itu, tetapi belum sempat mengenai kedua orang itu, pukulannya sudah tersampok menyamping dan tak sanggup mencegah kepergian kedua orang yang ingin dicegahnya.

“Siapa”? Ceng Liong yang sadar sejak tadi bahwa disekeliling mereka ada tokoh sakti yang sempat membantu mereka termasuk menghalanginya untuk mencegah keberangkatan lawannya tadi bertanya sambil memandang kesekelilingnya.

“Sudahlah Liong jie, ada waktu engkau bertemu mereka kembali. Tenanglah dan sabarkan dirimu, perlahan mereka juga akan menghampirimu dan semoga semua keruwetan ini cepat terselesaikan” sebuah suara yang seperti dikenalnya berkumandang memasuki telinganya. Dan entah sejak kapan, di belakang mereka berdua, sudah bertambah 3 sosok tubuh yang nampak sudah sangat tua.

Tetapi, cara datang mereka sudah menunjukkan betapa hebatnya ketiga orang ini, datang tanpa terendus dan hebatnya lagi tanpa mampu ditangkap oleh indra kedua anak muda sakti ini. Ceng Liong cepat membalikkan badan ketika merasa ada seorang atau berapa orang yang di posisi belakang tubuhnya. Tetapi, dengam cepat mulutnya ternganga keheranan, tetapi secepat itu pula dia mengenali seorang yang sangat dikenal dan disayangnya diantara ketiganya:

“Kong-kong, engkaukah itu”? ach, locianpwe engkau juga datang bersama kong-kong”? Ceng Liong segera mengenali kakeknya, Kiang Cun Le bersama orang tua aneh yang ditemuinya bersama kakeknya beberapa minggu sebelumnya. Bahkan kakek tua berdestar merah itu, memberinya beberapa petunjuk penting dan sulit dilupakannya. Petunjuk itulah yang membuat mereka, para pendekar muda sanggup menaklukkan tokoh-tokoh utama dari Thian Liong Pang.
 
3




“Hm, Liong Jie, engkau tidak memberi hormat kepada Bibi nenekmu ini”? nampak Kiang Cun Le menegur Ceng Liong sambil menunjuk kepada tokoh ketiga yang datang, seorang Pertapa Perempuan berwajah sejuk dan teduh dan sedang memandanginya dengan kasih yang tak tersembunyikan.

“Bibi Nenek …. astaga, jangan-jangan inilah Bibi Nenek Kiang In Hong, Pertapa Sakti dari Timur”? Ceng Liong nampak berseru terkejut, sama terkejutnya dengan Kwi Beng yang memandang terngangah kearah tokoh-tokoh hebat rimba persilatan dari Lembah Pualam Hijau dan masih jauh lebih muda dibandingkan suhunya sendiri.

“Siancai ….. siancai, demikian orang-orang menyebut masa laluku cucuku” demikian Pendeta Wanita yang dikenal berkemampuan ginkang tertinggi pada masa itu memandangi cucunya Ceng Liong yang memberi hormat kepadanya. Kemudian terdengar suara Cun Le,

“Nampaknya perkelahian mereka disana sudah harus segera diselesaikan. Salah paham begini harus segera diselesaikan, sedih melihat anak perguruan Siauw Lim Sie dan Lam Hay Bun bertempur tanpa alasan jelas”

Kwi Beng menjadi kaget bukan main, dan teringatlah dia akan bantuan kedua kakak beradik ini sewaktu mereka menghadapi kesulitan di Poh Thian. Karena itu dengan cepat dia mendekati arena pertempuran yang sudah sangat panas itu dan segera berseru:

“Song te, tahan …… saudara-saudara dari Lam Hay, kita orang-orang sendiri, tidak seharusnya bertempur”

Suara Kwi Beng tepat waktunya. Karena saat itu, ketiga anak muda itu sudah sangat terkuras tenaganya dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan cepat berakhir. Mendengar Kwi Beng menyebut mereka orang-orang sendiri, akhirnya ketiganya, terutama Kwi Song yang memang sudah mengenal kedua kakak beradik itu segera menghentikan pertempuran.

Wajahnya penuh berkeringat, tetapi hal yang sama juga dialami kedua kakak beradik dari Lam Hay itu. Malah nafas mereka sedikit lebih memburu dibandingkan Kwi Song. Dan setelah keadaan menjadi sedikit reda, Kwi Song kemudian yang membuka suara lebih dahulu:

“Maafkan, sejak tadi aku ingin mengenalkan diri, tapi kesempatan berbicara sangat sedikit. Kita pernah bertemu di Poh Thian, dan kalian berdua adalah bintang penolong kami ketika membantu melawan Thian Liong Pang di Siauw Lim Sie Cabang Poh Thian”

“Ach, benar koko. Aku ingat sekarang, kita pernah membantu Pendekar kembar ini dan Siauw Lim Sie di Poh Thian beberapa tahun lalu. Kalau begitu, kita benar orang-orang sendiri” si Gadis yang bernama Lamkiong Sian Li memandang kearah kakaknya yang bernama Lamkiong Tiong Hong. Keduanya adalah anak dari Ketua Lam Hay Bun saat ini, dan secara otomatis keduanya dilatih silat tingkat tinggi.

Hanya, meski sudah mereda, Lamkiong Tiong Hong masih agak penasaran karena nampaknya kepandaiannya masih belum setinggi Kwi Song dari Siauw Lim Sie, padahal mereka seangkatan. Tetapi, betapapun demi sopan santun, dan sebagai anak keluarga persilatan yang termasyur dan gagah, dia akhirnya bicara juga:

“Ach benar, aku ingat sekarang. Jika demikian, biarlah kesalah-pahaman ini kita habiskan sampai disini” Keangkuhannya menahannya untuk meminta maaf, padahal jelas mereka telah melakukan penyerangan dan pengeroyokan berdua kakak beradik atas Kwi Song.

“Benar, benar, buat apa kita bertengkar sendiri. Banyak hal lain yang harus segera kita kerjakan” Kwi Song yang berwatak terbuka tidak mempersoalkan masalah itu. Apalagi, karena selama beberapa waktu belakangan ini, Kwi Song tergembleng benar dengan keadaan-keadaan yang menegangkan urat syaraf dan perlahan namun pasti telah mematangkannya dan membuatnya lebih mampu menguasai diri dari hari kehari. Dan sikapnya itu pulalah yang rupanya menarik hari salah seorang dari kedua kakak beradik Lam Hay itu.

Pertempuran-pertempuran di tepi hutan itu, akhirnya berhenti dengan sendirinya. Bahkan kemudian dilanjutkan dengan percakapan ringan antara mereka semua, sampai akhirnya Lamkiong Tiong Hong dan Lamkiong Sian Li duluan minta diri karena sedang mengerjakan tugas dari ayah mereka untuk berkelana di Tionggoan.

Tetapi semakin lama semakin jelas, bahwa setelah pertempuran antara mereka, Lamkiong Sian Li jadi banyak memandang dengan kagum dan mesra kearah Kwi Song. Orang yang dipandang, sebenarnya juga terpesona atas kecantikan Sian Li. Karena itu dengan segera mereka menjadi akrab. Berbeda dengan Tiong Hong yang nampak cenderung menjaga jarak dalam pergaulannya dengan Kwi Song bahkan juga dengan Kwi Beng serta Ceng Liong.

Tetapi, untuk bersikap memusuhi, Tiong Hong juga merasa tidak pada tempatnya. Tetapi khusus terhadap Kwi Song, rasa penasarannya nampak sulit untuk ditutup-tutupi, karena berkaitan langsung dengan kepandaian. Karena itu, bibit dengki dan penasaran sebetulnya sudah bertumbuh didadanya, melihat dan merasa Kwi Song sungguh merupakan saingan beratnya dalam hal kepandaian. Padahal, dia masih belum tahu, bahwa bahkan Kwi Beng dan terlebih Ceng Liong, bukannya berada disebelah bawah kepandaian Kwi Song jika bicara soal Ilmu Silat belaka.

==========================

Keenam orang itu duduk berhadap-hadapan ………. Sedikit agak masuk ke hutan, dan disuatu tempat yang agak sepi. Keenamnya duduk berhadapan. Dan ditempat yang sedikit agak tinggi, adalah 3 orang yang sudah sangat tua namun berwajah lembut dan teduh. Yang satu adalah seorang Pertapa Wanita dengan hudtim khasnya, nampak berwajah penuh welas asih dan dengan gerak-gerik yang sangat lembut.

Tetapi, jangan salah sangka, jika Pendeta Perempuan ini bergerak, maka nyaris tiada seorangpun tokoh persilatan yang akan sanggup menyandaknya. Dia dikenal dan terkenal sebagai tokoh wanita nomor satu dewasa ini, dan juga sebagai pemilik ilmu gerak atau ginkang nomor wahid. Dia adalah Liong-i-Sinni, yang dulunya bernama Kiang In Hong, adik dari bekas Duta Agung Lembah Pualam Hijau kenamaan dan yang memang sudah sakti sejak pada masa mudanya.

Orang kedua, adalah salah satu tokoh pendekar legendaris yang angkat nama bersama Kiang In Hong. Siapa lagi jika bukan Kiang Cun Le, tokoh yang melanjutkan nama harum Lembah Pualam Hijau hingga turun temurun dikagumi dan dimalui serta ditakuti dunia persilatan Tionggoan.

Kiang Cun Le yang kini sudah tua, dengan rambut dan alis memutih adalah tokoh pertama yang membentuk Kiang Ceng Liong, dan telah memiliki wawasan kedepan yang cukup tinggi. Rabaannya akan masa depan, membuatnya mengambil langkah berani untuk menyelamatkan Lembahnya dan juga dunia persilatan.

Dan karena itu juga, badai berdarah dunia persilatan dapat dihadapi dengan mengedepankan selumlah pendekar muda yang memang disiapkan untuk memikul tugas dan tanggung jawab itu. Kiang Cun Le, pada masa mudanya adalah seorang pendekar muda yang sakti, melanjutkan harumnya nama kakeknya Kiang Sin Liong, dan melanjutkan pibu melawan tokoh-tokoh sakti dari Thian Tok, Lam Hay dan Bengkauw. Bahkan sampai kini, bekas-bekas kesaktiannya masih terasa, tetapi wajahnya sudah demikian teduh dan penuh kematangan.

Tokoh ketiga, dibarisan para tetua, adalah tokoh yang sebetulnya sangat misterius. Potongannya rada beda dengan potongan atau tipe biasanya pendekar Tionggoan. Kulitnya lebih mirip tokoh dari Thian Tok, tetapi rambutnya agak ikal kehitaman.

Meskipun demikian, diapun tidak mirip-mirip sangat dengan orang-orang dari Thian Tok (India), ada perbedaan yang sedikit membedakan dan agak khas. Yang pasti, tokoh ini berbeda secara fisik dengan pendekar Tionggoan umumnya, sedikit lebih hitam kulitnya dan rambutnya agak ikal. Ciri lainnya adalah rambut ikalnya itu, juga sudah memutih semuanya, termasuk alisnya.

Tatapan matanya lebih teduh namun sanggup mengaduk sampai kekedalaman hati seseorang. Kepalanya diikat oleh sehelai kain berwarna merah, sebuah destar berwarna merah. Mungkin, itu salah satu sebab dia disebut Si Destar Merah, karena memang dia selalu mengenakan Destar Merah bahkan sejak masa mudanya.

Tokoh seberang dan asing ini, memang bernama atau dipanggil si Destar Merah, dan hanya itu nama yang diketahui Cun Le, selain julukan lain yang terkenal juga di Thian Tok dan Tionggoan, yakni Kolomoto Ti Lou atau Bintang Selatan Nan Sakti. Dia, sangat dikenal kalangan tua dan sepuh di India dan Tionggoan, karena kegemarannya berkelana dan kehebatan Ilmu Silatnya. Bahkan, dia dikenal dekat oleh 4 Manusia Dewa Tionggoan, dan bergaul akrab.

Dihadapan ketiga tokoh tua itu, duduk berendeng ketiga tokoh muda, penerus mereka. Yakni Kiang Ceng Liong dan pendekar kembar dari Siauw Lim Sie, masing-masing Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Sudah sejak awal, kedua kakak beradik kembar ini memandang penuh takjub dan kagum kearah Liong-i-Sinni dan Kiang Cun Le, kedua Naga Sakti dari Lembah Pualam Hijau yang memiliki nama yang menjulang tinggi.

Bertemu kedua tokoh yang sering diceritakan guru mereka sebagai tokoh aliran pendekar terkemuka dan memiliki kemampuan silat yang digdaya sungguh menggetarkan dada kakak beradik itu. Berbeda dengan Ceng Liong, yang takjub memandang tokoh ketiga, karena memang bisikan dari Destar Merah inilah yang membantunya memenangkan pertempuran dengan para tokoh Thian Liong Pang.

Suasana hening, seperti membantu ketiga anak muda ini untuk tidak habis-habisnya memandangi ketiga tokoh tua gaib itu dan mengagumi mereka. Ketiganya tenggelam dalam angan yang didasarkan atas kekaguman terhadap ketiga tokoh tua nan sakti yang kini duduk bersimpuh menghadap mereka bertiga. Sampai kemudian kekaguman mereka diputuskan atau dipecahkan oleh sebuah suara yang nampaknya berasal dari Kiang Cun Le:

“Anak-anak, kalian sungguh beruntung boleh berjumpa dengan salah satu tokoh gaib yang terkenal bukan cuma di Tionggoan, tetapi juga bahkan di Thian Tok dan bahkan daerah sebrang dan beberapa daerah lain” Kiang Cun Le berhenti sebentar memandang wajah takjub ketiga anak muda yang duduk didepannya. Padahal, ketiga anak muda itu, memang juga sedang bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh tua aneh dengan potongan fisik yang lain dari lain itu? Terlebih Ceng Liong yang sangat penasaran dengan orang tua itu.

“Bahkan, tokoh ini masih lebih sepuh dibandingkan guru kalian sekalipun, yakni Kian Ti Hosiang dan Kakek Kiang Sin Liong, dan telah berkeliling jagad dalam pengabdian sebagai seorang pendekar. Dia berasal dari sebrang lautan, dari sebuah Negeri bernama Jawadwipa, terkenal sebagai Kolomoto Ti Lou, atau Bintang Selatan Nan Sakti, dan memiliki kesaktian yang tidak lumrah. Beliau ini bersahabat erat dengan guru-guru kalian, meski bahkan lebih tua dari mereka” Kembali Kiang Cun Le berhenti sebentar, melirik si Destar Merah yang diperkenalkan. Sementara orangnya sendiri senyam-senyum saja, seperti Kiang Cun Le seakan bukan sedang membicarakannya.

“Sebetulnya locianpwe Kolomoto Ti Lou ini berkeliaran lagi di Tionggoan karena beberapa sebab yang penting. Yang pertama, dia rindu menemui, untuk terakhir kali menurut perkiraannya, sahabat-sahabat kekalnya di Tionggoan, yakni 4 Manusia Gaib dari Tionggoan: Kiong Siang Han, Kian Ti Hosiang, Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan dan Kakek Kiang Sin Liong. Dan itu sudah dilakukannya. Bahkan dia sempat bertukar pikiran dengan Kiong Siang Han dan Kian Ti Hosiang locianpwe sesaat sebelum mereka masing-masing menutup mata. Ada beberapa percakapan yang harus disampaikan kepada kalian masing-masing, tetapi kalian akan mengerti dengan sendirinya kelak”

“Locianpwe sempat bertemu suhu”? Kwi Song bertanya penasaran sambil memandang si Destar Merah. Yang dipandangi hanya melebarkan senyum, dan itu sudah cukup sebagai jawaban.

“Tapi, kami bersama dengan suhu sepanjang hari, terutama 2 bulan sebelum dia orang tua menutup mata” Kwi Song berkata penasaran.

“Hahahaha, Song jie, locianpwe Kolomoto Ti Lou, jika tidak berkenan memperlihatkan dirinya kepada seseorang lain, maka jangan berharap orang tersebut akan pernah melihatnya, meskipun mati-matian mencari dan memburunya. Maka, beruntunglah kalian berkesempatan bertemu dengan tokoh yang sangat aneh ini saat ini, yang bahkan oleh guru kalian sendiri juga sangat segan dan menghormatinya. Dan lebih beruntung lagi, karena hubungan baik antara suhu kalian dnegan locianpwe ini, maka ada pesanan dari suhu kalian yang akan kalian dapatkan suatu saat nanti” Kiang Cun Le berkata dengan setengah misterius.

“Locianpwe, apakah benar suhu meninggalkan sesuatu melalui locianpwe”? Kwi Song kembali bertanya. Nampak si Destar Merah hanya mengangguk, tetapi tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Hm, tecu ingat. Sebelum menutup mata suhu memang sempat berkata bahwa akan ada orang yang membantu kami, dan kami harus percaya bahwa itu berasal dari suhu sendiri” Kwi Beng merenung sejenak, mengingat-ingat sesuatu baru kemudian berani berkata. Kemudian, kembali terdengar Kakek Kiang Cun Le berkata:

“Benar, suhu kalian meminta Locianpwe Kolomoto Ti Lou untuk membantunya menyempurnakan kalian. Karena kesempurnaan ilmu suhu kalian yang memampukannya melihat batas usianya, dan melhat kalian maih perlu menyempurnakan diri. Dan suhu kalian meminta kepada orang yang tepat, karena terlebih tidak ada rahasia antara suhu kalian dengan locianpwe Kolomoto Ti Lou ini, seperti juga dengan Manusia Gaib Tionggoan lainnya”

“Locianpwe, apa memang benar demikian”? Kwi Song mengejar dengan sedikit penasaran, jelas sekali perbedaannya dengan Kwi Beng yang lebih tenang. Dan kembali Kolomoto Ti Lou hanya tersenyum mengiyakan, dan yang berbicara kemudian adalah Kiang Cun Le seperti biasanya:

“Benar sekali anakku. Karena apa yang dipesankan dan dimintai tolong oleh suhu kalian, akan sangat erat hubungan dan kaitannya dengan tugas kedua yang memaksa locianpwe Kolomoto Ti Lou untuk menghabiskan banyak waktunya di Tionggoan ini”

“Maksud kong-kong”? Ceng Liong yang biasanya sama dengan Kwi Beng pendiam dan tidak banyak bicara, terpancing juga rasa penasarannya. Sementara Kwi Song merasa berterima kasih karena memang pertanyaan sejenis sudah menggantung di bibirnya.

“Perjalanan teramat jauh yang di tempuh locianpwe Kolomoto Ti Lou ini, kemungkinan besar sangat erat terkait dengan pergolakan dahsyat yang terjadi di Tionggoan. Dan pergolakan hingga saat ini, menurut beliau masih belum merupakan puncak dari misteri yang terjadi selama ini. Bahkan tokoh-tokoh utama dari pergolakan ini belum pada mengunjukkan dirinya, dan karena itu menjadi kesempatan bagi kalian untuk terus mengembangkan diri dan kemampuan kalian”.

“Anak-anakku” terdengar suara lain, yang kali ini datangnya dari Liong-i-Sinni, si Pertapa Wanita

“Sepanjang perjalanan pinni ke Tionggoan ini, nampak seperti terjadi sentakan yang berdaya luar biasa. Beberapa tokoh seangkatan kong-kong, Kiong Siang Han locianpwe yang sudah sangat sepuh, bahkan seperti menunjukkan tanda-tanda mengunjukkan diri kembali. Kita bisa membayangkan bagaimana kekuatan semacam itu, baik dari Thian Tok, bahkan konon orang kedua Dalai Lama dari Tibet dan para sesepuh lainnya dari Tionggoan ini tertarik untuk menceburkan diri dalam pertikaian besar kelak”

“Locianpwe, sedahsyat itukah yang akan terjadi”? dan apa pula penyebab utamanya? Mustahil kalau hanya sekedar adu kepandaian yang selama ini terjadi antara dua kutub kekuatan di Tionggoan yang menyebabkannya. Adakah satu misteri lain dari semua rangkaian kejadian yang susul menyusul dan nampak berada pada titik siap untuk meledak ini”? Kwi Beng bertanya karena juga menjadi sangat penasaran, atau malah sangat penasaran karena ternyata dugaan mereka bahwa Thian Liong Pang adalah kunci pertikaian, hanya semacam pemantik dari pertikaian itu. Sementara biang utamanya, malah masih belum unjuk diri. Jika benar demikian, bukankah justru kekisruhan yang lebih hebat justru sangat mungkin akan terjadi?

“Jika sampai kong-kong Kiang Sin Liong turun tangan sendiri menyiapkan Liong Jie, Wie Tiong Lan Locianpwe, Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han melakukan hal yang sama terhadap muridnya, dengan memaksakan diri, maka mereka melihat kedepan, sama seperti yang dilihat dan dirasakan oleh locianpwe Kolomoto Ti Lou” tegas Kiang Cun Le sambil memandangi anak-anak muda itu dengan wajah dan mimik yang sangat serius.

“Dan bisa dipastikan, bahwa urusannya lebih dari sekedar adu gengsi antara Lam Hay Bun, Bengkauw dan jago Thian Tok melawan Siauw Li Sie, Kay Pang, Bu Tong Pay dan Lembah Pualam Hijau” tambah Liong-i-Sinni.

“Jika demikian, bahkan malah jauh lebih rumit dari sekedar melawan Thian Liong Pang. Apakah memang benar demikian adanya kong-kong”? Ceng Liong bertanya cerdik.

“Benar cucuku. Tetapi, bukan tidak mungkin menelanjangi Thian Liong Pang akan membuka jalan bagi terbukanya banyak tokoh dan persekongkolan yang menumpang dibalik ambisi Thian Liong Pang” jawab Kiang Cun Le.

“Sebetulnya, turunnya dan munculnya tokoh-tokoh sakti mandraguna lainnya bisa dipastikan bukan secara kebetulan. Beberapa mengunjukkan diri di himalaya meski sudah lama mengasingkan diri. Bahkan tokoh besar Kay Pang lainnya, yang hampir semasa atau sejaman dengan Kiong locianpwe juga menunjukkan jejaknya. Tidaklah mungkin tokoh-tokoh besar semacam mereka bermunculan tanpa maksud tertentu. Dan memang, bukan semata karena persoalan Thian Liong Pang” Liong-i-Sinni menambahkan.

“Locianpwe, jika demikian, jika demikian hebatnya tokoh-tokoh maha sakti yang kembali bermunculan, apa yang mampu dan sanggup kami lakukan”? Kwi Song bertanya saking penasaran dengan informasi yang sungguh sangat mengejutkan itu. Teramat mengejutkan dan menyentakkan.

“Anakku, suhu kalian menyiapkan kalian dan meminta bantuan locianpwe Kolomoto Ti Lou, karena memang kalian yang wajib tampil kedepan. Kami yang sudah tua ini, biarlah menyelesaikan urusan-urusan masa lalu supaya tidak merusak keadaan pada masa kini. Urusan Thian Liong Pang, urusan pertandingan persahabatan antara Pendekar Tionggoan melawan Lam Hay, Beng Kauw dan tokoh Thian Tok, akan mempercayakan kalian yang muda menanganinya. Tapi konflik besar yang ditelisik locianpwe Kolomoto Ti Lou, juga akan meminta perhatian lebih kalian semua. Meskipun kami yang tua-tua, tetap akan terlibat suka ataupun tidak suka”

Ketiga anak muda itu nampak kemudian tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mencoba mencerna apa yang disampaikan oleh para tetuah didepan mereka, yang juga nampaknya berdiam diri untuk memberi kesempatan ketiga anak muda itu untuk berpikir dan meresapkan apa yang disampaikan barusan.

Suasana hening itu berlangsung cukup lama, sama lamanya dengan bagaimana ketiga anak muda itu mencerna, menerka, menerawang dan mencari posisi mereka dalam kekisruhan dunia persilatan yang sekali lagi, dimintakan kepada mereka untuk memikul tugas mengamankannya. Bahkan ternyata, yang mengagetkan, mereka masih memiliki tugas lain yang tidak kurang beratnya.

Dan terlebih, konflik serta teror Thian Liong Pang, yang sudah sedemikian menakutkan, hanya sebagian dari konflik besar, jika benar, apa yang disampaikan kakek Kiang Cun Le kepada mereka. Dan merekapun berpikir-pikir, siapa gerangan kakek berjuluk Kolomoto Ti Lou yang bahkan juga dihormati guru-guru mereka, dan sehebat apa sebenarnya kakek berpotongan aneh dan berkulit kehitaman ini dengan sebuah Destar Merah yang dikenakan dikepalanya dan berkibar-kibar tertiup angin.

Serta apa pula kira-kira yang akan dilakukan kakek itu buat mereka? Dan memang layakkah dia mendapat titipan dari guru mereka? Demikianlah sejumlah pertanyaan yang silih berganti mengisi benak ketiga anak muda itu. Cukup lama mereka dibiarkan dalam keheningan, meresapkan perkataan para tetuah mereka, sampai akhirnya Kiang Cun Le kemudian memecahkan keheningan dengan berkata:

“Anakku, jika tidak salah kalian berdua sedang melakukan sebuah pekerjaan. Benarkah demikian”? ucapnya lembut sambil memandang kedua Pendekar Kembar itu. Kwi Song dan Kwi Beng yang ditanya mendongak dan siuman dari lamunan mereka, dan Kwi Songlah seperti biasanya yang menyahut duluan:

“Benar locianpwe, kami ditugaskan untuk menuju ke Tiam Jong Pay, menyelidiki dan sekaligus membantu keadaan disana jika yang diperkirakan para tokoh pendekar benar”

“Hm, jika perhitunganku tidak salah, maka kalian akan menemukan keadaan yang memang luar biasa. Kalian harus berhati-hati disana anakku” Liong-i-Sinni nampak berkata, tetapi tidak menyebutkan secara rinci apa yang dimaksudkannya. Sementara Kwi Beng dan Kwi Song hanya menangkap sekilas, tetapi tidak bertanya lebih jauh makna ucapan pertapa wanita sakti itu buat mereka.

“Nach, karena memang tugas kalian memang sangat penting, usahakan untuk tidak terlambat tiba di sana, tenaga kalian pasti akan sangat diperlukan. Mengenai kesediaan locianpwe Kolomoto Ti Lou, pasti akan dilakukannya pada waktu yang tepat. Kita akan bertemu lagi anak-anakku” Kiang Cun Le akhirnya menutup percakapannya dengan mengingatkan sambil mempersilahkan Pendekar Kembar itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Bahkan sekilas mengingatkan untuk tidak terlambat, dan membuat kedua Kakak beradik itu terhenyak, karena tugas mereka memang sangat penting dan tidak boleh terlambat dikerjakan.

“Baiklah locianpwe, perkenankan kami melanjutkan perjalaan” Keduanya segera bangkit, memberi hormat kepada ketiga tetuah itu, dan kemudian berpaling kepada Ceng Liong sambil berkata:

“Saudara Ceng Liong, sampai bertemu kembali” dan selanjutnya keduanya berjalan meninggalkan tempat tersebut. Keduanya melanjutkan perjalanan ke Tiam Jong San, tetapi keduanya tidak pernah menyadari, bahwa perjalanan mereka kemudian, diikuti oleh salah seorang dari 3 tetuah yang bercakap bersama mereka sebelumnya. Ada apa di Tiam Jong San?
 
Bimabet
BAB 10 Kemelut di Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)
1 Kemelut di Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)




Ketiga orang itu nampak menikmati cemerlangnya sinar mentari, meski mulai lewat tengah hari. Tetapi, bukan hanya kemilau sang mentari dengan sinarnya yang menyengat mata yang membuat ketiganya nampak betah, duduk berdiam diri dibawah sebuah pohon rindang, dan yang membuat mereka terhalang dari sengatan sinar matahari.

Tetapi, karena dari ketinggian bukit itu, tempat yang mereka pilih, ketiganya bisa menyaksikan bentangan alam nun jauh di bawah sana. Barisan pohon-pohon yang membentuk barisan-barisan teratur dan memanjakan mata dengan kehijauannya. Belum lagi, lika-liku jalanan di bawah, yang kadang menghilang dibalik balutan pepohonan, dan terus mencuat lebih jauh lagi disana, ketika pepohonan menjadi lebih jarang.

Dan, terus lagi kearah matahari biasanya terbit, nampak menghalang sebuah bukit lain yang cukup tinggi, bahkan kemudian berbalur dengan barisan bukit-bukit lainnya yang memanjang dan kemudian menyatu terus kebelakang dengan sebuah gunung yang cukup tinggi. Dari kejauhan, gunung itu hanya kelihatan warna birunya belaka, dan hanya sebagian dari badan gunung hingga kepuncaknya yang nampak dimata.

Sementara, disisi kiri tempat mereka memandang kebawah, nampak sebuah sungai yang lumayan lebar, tetapi hanya kelihatan sebagiannya, untuk kemudian terus mengalir menurun kebawah. Nampaknya sungai itu menyusuri bagian bawah lembah dari gunung dihadapan mereka. Lingkaran sugai itu tidak cukup panjang untuk disaksikan, karena segera melingkar dan menghilang dikejauhan.

Tetapi, di areal sepanjang sungai itu, ada beberapa pemukiman yang nampak kecil dan jarang saja dari puncak bukit itu, dan bahkan sebelum lekuk sungai itu menghilang, dikejauhan sana, nampak bersama dengan kelompok pemukiman yang kelihatannya menyandarkan kehidupan mereka dari alur dan arus sungai tersebut.

Baru kemudian hamparan hijau dibawah, dekat dengan pemukiman-pemukiman tersebut menambah aroma alam yang masih sangat alami, karena sepanjang hamparan di lembah bawah, relatif masih sangat sedikit penghuninya dan masih sangat jarang tersentuh ataupun terolah tangan manusia. Begitu indah dan alaminya pemandangan dibawah mereka, bagaikan sebuah demonstrasi keindahan alam yang juga berpadu dengan cerlangnya sinar mentari. Membuat semuanya terasa sangat indah dipandang mata, dan mendatangkan kesegaran batin yang alami.

Apalagi, panorama indah yang mereka nikmati, masih diiringi oleh sajian musikal alami yang sangat menawan. Kicauan burung yang memecah kesunyian, saling sahut dan seakan menampilkan melodi alam tak tertandingi. Semua masih diikuti oleh semilir angin yang dengan lembut membelai wajah dan pakaian mereka.

Desis lembut angin dan lagi dari kicau burung di hutan, sungguh merupakan musik pengantar atau pengiring yang melengkapi keindahan panorama yang sedang dinikmati ketiga orang itu. Kesunyian dan kesenyapan dipecahkan oleh pameran musikal alami dan menghantarkan mereka menikmati panorama alam yang demikian hijau menawan.

Sungguh, tiada akan pernah kebosanan hinggap, bila batin dan jiwa menyatu dengan alam, menyelami rahasia alam, menikmati keindahannya dengan tidak merusaknya. Karena jika demikian, maka alam menyediakan sejuta rahasia keindahan yang sebenarnya tidak akan pernah habis terpakai atau habis dinikmati manusia.

Tapi, jika diimbuhi dengan kerakusan,ketamakan dan nafsu merusak, maka alampun menjadi cukup pelit bagi manusia. Keindahannya akan tergerus, melodinya akan menjadi gersang, dan bukan tidak mungkin berubah menjadi bala dan bencana. Karena alampun sanggup menyediakan murka tak tertahan bagi kebengisan manusia dalam mengolah atau bahkan merusaknya. Dan alam memiliki caranya sendiri untuk memberi hadiah setimpal bagi upaya menyakiti dan mencederai alam semesta.

Dan ketiganya, seperti memang sengaja sedang berusaha untuk menyatu dengan alam, menikmati keindahannya, menyatu dengan semilir angin, menikmati indahnya melodi kicauan burung, meresapi keresekan pepohonan dan dedaunan dan menempatkan diri mereka dalam rangkaian melodi alam tersebut. Tiada perlawanan, yang ada kepasrahan dan kemanunggalan dengan alam.

Ketiganya nampak menutup mata, membiarkan rambut mereka tergerai oleh hembusan angin, dan membiarkan jubah mereka bergelombang oleh terpaan angin di puncak bukit itu. Aneh, ketiganya dalam keadaan seperti itu dalam waktu yang cukup lama, agak lama, atau malah terlalu lama malahan. Akan tetapi, bukan kejenuhan dan capek yang tergambar diseri wajah mereka. Tetapi, justru rona teduh, gembira dan sangat natural.

Sebuah gambaran unik, bagaimana menyatunya manusia dengan alam, manunggalnya manusia dengan alam, dan melahirkan keharmonisan dan kegembiraan yang luar biasa. Nampaknya harmonisasi kicau burung, desir angin, desir dedaunan yang saling bergesekan dan terkadang juga pepohonan menimpal dengan bunyi keresekan, membuat ketiganya hanyut dalam dekapan alam.

Cukup lama keadaan mereka bertiga seperti itu, sampai kemudian matahari mulai kurang terasa sengatannya, tanda benda alam itu mulai condong ke barat dan memasuki masa sore. Dan, dalam keadaan seperti itu, nampak salah seorang dari ketiga orang yang dalam samadhi menghadap bentangan keindahan alam itu seperti sedang mengerjakan sesuatu. Apakah itu dan terlebih siapakah tokoh itu? Pertanyaan yang tentu menggelitik bagi siapa saja yang menemui atau menemukan ketiganya dalam keadaan yang aneh semacam itu. Ya benar, siapakah mereka?

Sebagaimana diceritakan di depan, setelah memberitahu beberapa hal kepada sepasang Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie dan kemudian mempersilahkan kedua pendekar muda itu melanjutkan perjalanan, tertinggal Kiang Cun Le, Kiang In Hong, Kiang Ceng Liong dan seorang tokoh aneh, si Destar Merah atau Kolomoto Ti Lou (Bintang Sakti dari Selatan). Seorang dari seberang lautan yang bahkan berdiri sejajar dengan 4 Dewa Persilatan Tionggoan, bahkan masih dihormati dan dimalui oleh 4 tokoh besar tersebut.

Tetapi, beberapa lama setelah kedua pendekar Siauw Lim Sie melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Kiang Cun Le seperti mendapatkan bisikan. Dan, seperti biasanya, memang dengan cara itulah dia berkomunikasi dengan kakek aneh, si Destar Merah, tokoh seberang lautan itu. Yakni, komunikasi melalui getaran batin.

Dan, bukan sembarang orang yang sanggup melakukannya, bahkan Kiang Cun Le sendiri, baru sanggup melakukannya beberapa tahun terakhir ini setelah selamat dari kecelakaan ketika melakukan “penggodokan” terhadap Kiang Ceng Liong. Dan kebetulan, orang tua aneh inilah yang menyelamatkannya dan kemudian bahkan mampu membuatnya mencapai tahapan yang lebih tinggi lagi.

“Sudah saatnya engkau berangkat, dan biarlah tugas untuk menyempurnakan kedua anak itu, sebagaimana amanat Kian Ti Hosiang, kuwakilkan kepadamu. Engkau sudah tahu bagaimana caranya menyempurnakan mereka” seperti itulah desisan yang terdengar terang di telinga dan batin Kiang Cun Le. Tetapi, baik Kiang Cun Le maupun si Destar Merah, masih tetap nampak tenang, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi antara mereka berdua.

Dan memang, hanya mereka berdua yang mengerti dan tahu apa yang mereka percakapkan. Karena itu, jawaban Kiang Cun Le sendiripun hanya diketahui oleh si Destar Merah. Dan beberapa saat kemudian, terdengar suara normal Kiang Cun Le ditujukan kepada Kiang In Hong dan Kiang Ceng Liong:

“Liong Jie, kakekmu ini harus mengerjakan sesuatu yang teramat penting. Dan biarlah engkau bersama bibi nenekmu untuk sejenak menemani Kolomoto Ti Lou locianpwe dan kalian berdua masing-masing harus mengerjakan sesuatu yang juga sangat penting”

“Baik kong-kong” singkat jawaban Ceng Liong, tetapi Kiang Cun Le tahu, ada banyak pertanyaan di mata cucunya itu. Karena itu dengan segera dia berkata:

“Ada banyak pertanyaan yang akan terjawab dengan sendirinya. Tetapi, ada kepentingan besar bagimu untuk tinggal, dan beberapa waktu kedepan kita semua akan berkumpul lagi. Apakah engkau bisa memahaminya Liong Jie”?

Nampak Ceng Liong sedikit terdiam dan tentu sedang berusaha keras untuk mengerti ucapan kakeknya. Tetapi, teramat banyak hal yang asing dan belum diketahuinya, belum lagi persoalan yang dihadapinya. Dan semua itu, masih belum ada titik terang yang bisa membuatnya tentram. Bagaimana mungkin dia mengerti maksud kakeknya?

“Beberapa hal, akan engkau mengerti sebentar lagi cucuku. Karena itu, biarlah kutinggalkan engkau sejenak dengan Kolomoto Ti Lou locianpwe, dan ketika bertemu semua yang ingin kamu tanyakan, sebagiannya pasti sudah ada jawabannya”

“Baiklah kong-kong” akhirnya dengan berat dan sedikit masygul Ceng Liong menjawab kakeknya. Dan dengan jawaban itu, tiba-tiba dia melihat kakeknya menjura sebentar kearah si tokoh aneh, Destar Merah, berkedip dan mengangguk kearah Liong-i-Sinni dan sebentar kemudian tubuhnya melayang pergi bagaikan asap.

Dan tinggalah ketiga orang itu, si Destar Merah atau Kolomoto Ti Lou, Kiang In Hong Liong-i-Sinni dan Kiang Ceng Liong. Dan kesenyapan sejenak melingkupi ketiganya, terlebih karena nampaknya si Kakek Aneh itu, sangat jarang berkomunikasi secara oral, atau berkomunikasi lewat mulut. Sayangnya, Ceng Liong belum memahami keadaan ini, hanya Liong-i-Sinni yang sudah mengetahuinya, bahkan juga sudah dalam tahapan mampu berkomunikasi dengan cara itu.

Beberapa saat kemudian, nampak dimata Ceng Liong, baik Liong-i-Sinni maupun Kolomoto Ti Lou sudah dalam keadaan berdiam diri. Sama sekali dia tidak mengerti mengapa dia seperti dibiarkan atau ditelantarkan, tiada instruksi apapun baik dari orang tua aneh itu maupun dari neneknya apa yang sebaiknya dikerjakannya.

Tetapi, sebagai seorang muda pilihan, Ceng Liong akhirnya memusatkan pikirannya dan tidak lama kemudian dia mulai tenggelam dalam semedinya. Tetapi, justru dalam semedinya itu, tiba-tiba dia merasa seperti sedang dihubungi seseorang. Tetapi, nampaknya dia masih merasa sangat sulit untuk membuka komunikasi dengan orang itu. Tetapi, yang pasti, dia merasa bahwa orang itu adalah Kolomoto Ti Lou.

Dan karena itu, dia tidak bercuriga dan membiarkan semedinya berlangsung dan bahkan membiarkan angan dan pikirannya tentang tokoh aneh itu ikut “bermain” dalam alam pikirannya. Anehnya, semakin dia membiarkan tokoh itu dalam angannya, semakin sanggup dia melihat semacam “wujud maya” tokoh aneh itu seperti sedang berhadapan dengannya.

Semakin lama “wujud maya” itu menjadi semakin jelas di mata dan telinga batinnya, sampai kemudian lama-kelamaan “wujud maya” itu mulai membentuk senyum, tawa dan gerak geriknya sudah bisa tertangkap indra batin Ceng Liong. Setelah menunggu sekian lama lagi, pada akhirnya, Ceng Liong seakan-akan merasa bahwa mereka berdua sedang berhadap-hadapan seperti di alam nyata, dengan menggunakan indra-indra kemanusiaannya, seperti mata, telinga dan kulit untuk merasakan.

Semua gerak-gerik Kolomoto Ti Lou sudah semakin jelas baginya, tidak lagi samar, bahkan tatap mata dan gerak kecil lain dari tokoh itu sudah jelas bagi Ceng Liong meskipun dalam wujud maya semata. Sampai kemudian Ceng Liong sanggup menerima dan mencerna apa yang sedang disampaikan oleh orang tua itu:

“Anakku ….” Demikian Ceng Liong mendengar lewat kontak batin apa yang disampaikan tokoh tersebut ….. Tapi, Ceng Liong masih belum berkeyakinan sanggup mengeluarkan kata-kata dan kalimat dalam percakapan dengan kontak batins emacam itu. Karena itu, kembali terdengar tokoh tua itu melanjutkan kalimatnya:

“Aku tahu bahwa engkau masih kaget dan belum mampu melanjutkan kontak dan percakapan seperti ini. Dalam alam fisik, kita sulit berkomunikasi karena bahasa kita berbeda, tetapi dengan kontak batin seperti ini, kendala bahasa bukan menjadi persoalan. Aku tahu, engkau pernah dididik kakekmu dengan tenaga yang luar biasa, bahkan engkau memiliki kekuatan batin dengan cara yang aneh. Tetapi, engkau tidak akan mampu menggunakannya secara optimal, dan belum mampu berkomunikasi secara batin seperti ini, karena belum terlatih dan belum terbiasa. Meskipun bukan sekedar latihan dan kebiasaan yang akan membuatmu mampu, tetapi kedalaman penguasaan tenaga dalam dan tenaga atau kekuatan batin. Dalam keadaan sekarang, engkau sudah memasuki tahap awal untuk berkemampuan melakukan komunikasi jenis ini”

Ceng Liong semakin kaget, tetapi tidak mengendurkan konsentrasi dan semedinya, meski kekagetannya sempat membuat bayangan maya kakek aneh itu memudar. Tetapi, dengan cepat Ceng Liong menyadari kekeliruannya dan kembali berkonsentrasi terhadap bayangan Kolomoto Ti Lou yang kemudian melanjutkan kembali:

“Anakku, aku tahu engkaupun berkeinginan mengungkapkan pikiranmu, perkataanmu untuk disampaikan kepadaku. Engkau sudah berkemampuan melakukannya sebetulnya, tetapi masih belum cukup melatih dan memperdalam kemampuan itu dalam sebuah kontak batin. Yang engkau butuhkan adalah mempertegas pengenalanmu akan orang yang engkau ajak berbicara dan mempertegas keyakinanmu sendiri bahwa engkau sanggup melakukannya. Berkonsentrasi terhadap apa yang ingin engkau sampaikan melalui kalimat bukan dengan isyarat mata, bibir ataupun mimik wajahmu, tetapi menjelaskannya melalui ketetapan hatimu dan menghubungkannya dengan orang yang ingin engkau sampaikan kalimatmu itu. Tidak semua orang sanggup melakukannya, dan dibutuhkan 2 orang yang berkemampuan seperti itu untuk melakukan kontak batin semacam itu. Bila kemampuanmu sudah meningkat, maka engkau bahkan bisa memasukan pikiran dan kalimatmu kepada orang yang tidak dalam kondisi semedi. Kemampuan itu sudah lama dimiliki gurumu dan ketiga Dewa Tionggoan, sementara kakek dan nenekmu sedang mengarah kekemampuan itu”

Kakek itu, Kolomoto Ti Lou, nampak berdiam diri sejenak, seperti memberi ketika bagi Ceng Liong untuk meresapkan penyampaiannya. Dan ketika waktunya sudah dirasa cukup, maka kembali orang tua itu melanjutkan kalimatnya yang disampaikan melalui percakapan batinnya dengan Ceng Liong:

“Cobalah engkau berlatih sejenak. Pertama, engkau mengolah kembali kekuatan tenaga dalammu, mematangkannya sekali lagi sesuai dengan apa yang kamu dapatkan dari sobekan kertas yang diperebutkan itu. Bahkan, dalam pematangan itu, engkaupun bisa mengolah kembali dengan mengkombinasikan juga kemampuan dan cara melatih iweekang lembah kalian. Kelihatannya kurang masuk di akal, tetapi melatihnya dalam sikap semedi dan mencari kemungkinan pematangannya secara bersama, justru tidak akan melukaimu dalam kondisi seperti ini. Tetapi, harus diingat, jangan mencoba untuk mengerahkan tenagamu dalam mencari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Bila nanti kemudian engkau menemukannya, maka selesaikan semedimu baru mencoba melatihnya. Bila engkau berhasil nanti, baru langkah selanjutnya akan kuberitahukan kepadamu. Jika aku tidak salah, jika engkau berhasil melatihnya nanti, maka percakapanku dengan Nenekmu nanti sudah akan bisa engkau ikuti, atau dengan kata lain, jika nenekmu dan aku menginginkan engkau terlibat dalam percakapan itu, maka engkau sudah sanggup menangkap percakapan kami. Nach, baiklah, engkau boleh memulai menjajaki kombinasi itu dan kemudian mencari kemungkinan mematangkannya kembali. Hasilnya akan sangat luar biasa bagi peningkatan tenagamu dan juga kekuatan batinmu. Lakukanlah anakku” Dan kemudian kakek itu berdiam diri, tenggelam dalam kemenyatuan dengan alam semesta.

Dan keadaan mereka bertiga yang sepi, senyap dan tenggelam dalam manunggalnya mereka dengan alam itulah yang nampak di atas sebuah bukit, tepat di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Tempat yang mereka temukan setelah Kiang Cun Le meninggalkan mereka bertiga.

Keadaan mereka yang sepi dan senyap itu, perlahan mulai tergugah. Terutama ketika Ceng Liong pertama-tama membuka matanya, dan nampak keningnya kemudian mengernyit, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang secara perlahan dipahaminya. Cukup lama sikapnya seperti demikian, yang bila orang yang tidak mengetahui keadaannya akan menganggapnya seperti orang gila karena sikapnya yang aneh seperti itu.

Tetapi, Ceng Liong memang sedang mengingat kembali apa yang ditemukannya dalam penelusurannya selama hampir 2 jam tanpa sedikitpun dia merasakan kelaparan. Senyumnya semakin lama semakin mengembang, sampai kemudian sinar matanya nampak berseri-seri. Dia pasti telah menemukan sesuatu, dan karena itu dia memutuskan melatihnya sebagaimana yang diingatnya dan terpatri dalam hatinya dan juga sesuai perintah atau petunjuk kakek aneh yang masih terpekur dalam semedi disampingnya itu.

Maka dengan cepat Ceng Liong mencoba melatih sesuai dengan tehnik melebur tenaga dalamnya. Bedanya, jika dahulu dia kelebihan hawa dan tenaga sebagai benturan antara tenaga kakeknya dengan hawa yang masuk melalui hawa See Thian Coa Ong dan Siangkoan Giok Hong, maka kali ini dia mencoba mematangkan kekuatannya berangkat dari sebuah pemahaman baru.

Pada tahap pertama dahulu, dia masih ingat betul, dasar tenaga Lembah Pualam Hijau menjadi landasannya, dan tetap meletakkan hawa lemas tersebut sebagai patokan dan dasar utamanya. Bila formasi kekuatan tenaganya itu, masih tetap akan menjadi landasan, maka sudah teramat sulit untuk meningkatkan kemampuannya. Cara satu-satunya adalah memupuknya melalui latihan waktu demi waktu, dan kekuatan tersebut secara otomatis akan bertambah seiring dengan latihannya.

Ceng Liongpun cukup lama mencoba mengamati kemungkinan mengembangkan lebih lanjut berdasarkan pemahaman sebelumnya, yakni landasan hawa lemas “im” dari Lembah Pualam Hijau sebagai “patron” atau landasan utama, dan tetap harus sedikit lebih kuat. Dengan cara dan corak demikian, Ceng Liong tidak melihat kemungkinan lain dari apa yang mungkin dilakukannya.

Tetapi, pesan khusus Kakek aneh itu, yakni dengan petunjuk pematangannya dengan mengkombinasikan dengan cara melatih hawa Giok Ceng Sin Kang keluarganya, Ceng Liong mendapat perspektif atau paham baru. Hawa keluarganya adalah lemas dari tenaga “IM”, dan setelah mengikuti arus melatih hawa berdasarkan coretan dalam sehelai kertas yang diperebutkan itu, hawa “Im” masih tetap dominant, karena memang sumber hawa tandingannya dari See Thian Coa Ong dan Siangkoan Giok Hong belum sebanding dengan tenaga yang berasal dari “operan” Kiang Cun Le.

Bolak balik Ceng Liong memeriksa kondisi tersebut selama hampir dua jam, untuk kemudian mencoba meninjau kemungkinan yang lain. Terlebih karena menurut kakek itu, dan juga dituruti Ceng Liong, dalam kondisi semedi dan tidak mengerahkan kekuatan iweekang, maka penelusuran justru tidak akan melukainya. Tetapi justru membuka banyak kemungkinan baru yang belum terpikirkan sebelumnya selama ini.

Selama hampir 2 jam, Ceng Liong mencoba menemukan kombinasi melatih tenaganya. Petunjuk dalam bentuk puisi melatih hawa dahulu menjelaskan bahwa sebetulnya, dalam kepasrahan dan menampung semua, ibarat bumi yang sanggup menerima semua hawa, angin, tenaga lontaran gunung, badai, dan semua fenomena alam sehingga mampu tenang kembali dan tersimpan kembali dalam bumi.

Bagaimana mencapai dan menemukan titik seimbang seperti bumi? Manakah kekuatan dominant di bumi? “IM” atau “YANG”? jika ada yang dominant, maka seharusnya bumi atau alam, sangat panas atau sangat dingin. Tetapi, mengapa alam dan bumi ini memiliki daerah dan masa yang ekstrem. Ada dingin ektrem (sangat dingin di daerah utara) dan ekstrem panas (sangat panas di selatan atau bahkan di Gunung Berapi), dan semua bisa berada dan tersedia dalam alam.

Apakah, dan mungkinkah manusiapun memiliki posisi dan komposisi sama dalam kepemilikan sumber “im” dan “yang” bahkan dalam ketersediaannya yang “ekstrem” sekalipun dengan tidak mengganggu keseimbangannya? Pertanyaan inilah yang membimbing Ceng Liong untuk melihat, bahwa masih ada celah untuk meleburkan kekuatan tenaganya kembali.

Bagaimana bila kondisi tenaganya benar-benar seimbang, tidak lagi ada yang dominant, dan karenanya sewaktu-waktu dia bisa menggunakan kekuatan panas ataupun dingin dan mengurainya kembali menjadi kekuatan yang biasa saja, tanpa panas dan tanpa dingin. Dan itulah yang kemudian dicobanya kembali, dilatihnya kembali sesuai dengan apa yang pernah dilakukannya dahulu.

Hanya, kali ini, berbeda dengan keadaan dulu, diamana dia mencoba-coba, kali ini dia membangkitkan kekuatan “IM” dan “YANG” termasuk latihannya dan tenaga operan kakeknya, untuk kemudian digodok dengan tenaga Pek Lek Sin Ciang dan warisan tenaga “Yang” dari Kiong Siang Han. Dan kali ini, tenaga yang sebetulnya telah melebur ini, coba dipadukannya untuk mencapai “KESEIMBANGAN”, tidak lagi berat pada pondasi “IM” ataupun “YANG”.

Tetapi baik “im” maupun “yang” memiliki kadar yang sama dan seimbang dalam tubuhnya. Bagi Ceng Liong, mencapai titik ini, berarti mencapai keseimbangan kedua kekuatan itu, dan seharusnya tubuh manusia mampu menerima dan menggodoknya sehingga seimbang, seumpama dan serupa dengan alam. Dan dengan demikian, maka dia akan sanggup mengeluarkan tenaga “im” baik lemas maupun dingin ekstrem maupun panas atau keras secara ekstrem seperti gambaran bumi.

Sekali ini, Ceng Liong justru jauh lebih lama berupaya meningkatkan kekuatan “YANG”, karena memang kekuatannya masih didominasi kekuatan “IM” sebagai landasan iweekangnya. Melepas dominasi “IM” inilah yang menjadi titik krusial bagi Ceng Liong. Dan karena itu, tubuhnya lebih lama dalam kondisi bagai terbakar, untuk kemudian beberapa lama menjadi bagai es, dan berkali-kali terjadi perpaduan demikian, sampai kemudian beberapa lama fenomena itu tidak lagi tumbuh dan timbul secara fisik di tubuhnya.

Hanya saja, kadang angin panas bergantian dengan angin dingin berhembus dari tubuhnya, begitu bergantian. Dan pada akhirnya, angin yang berhembus dari tubuhnya terasa normal, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi, efeknya bagi Ceng Liong adalah, dia merasa bahwa dia sanggup mengirim dan menciptakan angin panas ataupun dingin dengan kadar yang sama. Dia sanggup menciptakan badai panas ataupun badai es sesuai dengan takaran yang diinginkannya.

Tetapi, sampai saat dia kembali siuman dan normal, masih belum Ceng Liong merasakannya, menyadarinya dan mengetahui apa yang sudah mampu dilakukannya. Bahkan diapun masih belum tahu, bahwa setelah siuman, kekuatan tenaganya sudah kembali meningkat tanpa disadarinya. Meningkat cukup drastis, dan sudah dalam tahap menggunakannya sesuai dengan keinginan hatinya.

Bahkan, tanpa disadari Ceng Liong, kekuatan dan keampuhan iweekang Lembah Pualam Hijau justru sanggup disempurnakannya, dalam bentuk kemampuan mengobati luka dalam, hanya melalui penyaluran sinkang istimewa keluarganya yang malah sudah lebih sempurna lagi.

Sebagaimana diketahui, ada khasiat khusus Sinkang Giok Ceng bila dikuasai secara sempurna. Yakni sanggup mengobati luka dalam dalam sekali putaran pengerahan tenaga, dan Ceng Liong yang sebelumnya memang sudah sanggup melakukannya, kini bahkan sanggup melakukannya dengan lebih cepat lagi.

Meskipun pada saat ini, Ceng Liong masih belum menyadarinya. Kemampuan sinkang “Im” yang sempurna dari dari Giok Ceng Sin Kang memang merupakan kemampuan “membangun” atau “membentuk” dan bukannya dalam bentuk “mengurai” ataupun “merusak”. Pada titik ini, Ceng Liong baru sanggup melakukan kesanggupan “membentuk” atau “membangun”, tapi belum menyadari bahwa bibit melakukan “menghancurkan” atau “merusak” dalam kondisi kesmepurnaan tenaga “Yang” juga sudah dimilikinya.

Bahkan dia akan sanggup membuyarkan tenaga lawannya dan menguraikannya menjadi “apes” dan bahkan “habis” hanya dengan penggunaan tenaga tersebut. Bisa dibayangkan apabila tokoh sesat menguasai keampuhan tenaga semacam ini. Potensi ini, sayangnya masih belum disadari oleh Ceng Liong, terlebih, karena memang dengan penguasaan Ilmu-Ilmu Mujijat, kemampuan merusak itu bisa dilakukan dengan gerakan-gerakan jurus menyalurkan kekuatan tenaga istimewanya itu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd