Episode 41
Matanya
POV Hari
Oh Tuhan, baru aja gue punya tekad bulat untuk menghindari masalah, sekarang masalah justru mendatangi. Apalagi masalah itu ikut mendekati teman gue yang lainnya. Sialan. Sialan!
Buru-buru Dani mengambil hape Erna dari genggaman Erwan. Dia langsung menelepon Jamet selaku pengirim pesan. Dari situ, kami mendapat kabar kalau Eda yang sedang ada dalam masalah, dan Jamet mengikutinya. Jelas gue gak bisa tinggal diam karena ini berhubungan dengan orang yang gue kenal. Tapi gue harus apa.
“Ehm, jadi kita harus apa?” Erwan bicara.
Dani menoleh ke gue. Ada apa dengan gue? Gue bukan pemimpin dari klub apapun.
“Kenapa pada ngeliat gue sih?” Kata gue.
“Ya kita harus ngapain, Har?” Dani menekan kata-katanya.
“Aduh.”
Sejujur-jujurnya, gue bingung harus bertindak apa. Gue sadar sedang gak dalam kepercayaan diri terbaik. Gue yang kemarin-kemarin berbeda dengan gue hari ini dan hari-hari selanjutnya. Gue nggak sanggup ambil keputusan lagi.
“Oke, gue tetep jaga Erna di sini. Gue coba supaya dia gak tau apa-apa.” Erwan berusul.
“Kalo gitu kita yang bergerak.” Sahut Dani.
"Wei."
Oh, gue gak sanggup berkata-kata. Keputusan bulat udah diambil masing-masing orang. Dani bahkan sangat bersemangat meski dia masih punya trauma. Bahkan kejadian itu belum lewat dari seminggu lamanya.
Erwan menawarkan mobil untuk kami kendarai sampai lokasi tujuan. Sayangnya, di antara gue sama Dani gak ada yang bisa mengendarai roda empat. Jadilah kami sepakat naik motor gue lagi.
Sebentar kemudian, saat mau berpisah, Nando menghampiri kami bertiga.
“Anak-anak mau cabut tuh.” Nando datang.
“Oh, oke, gue sama Dani juga mau cabut.” Gue merespon.
Kepergian kami kahirnya tertunda sekian menit untuk saling bersalam-salaman. Buat mereka, hari ini adalah hari berduka untuk keluarga Erna. Buat gue dan Dani, hari ini lebih akan menegangkan setelah pergi dari sini.
Sementara semua orang berpamitan, Nando justru berbisik sesuatu kepada Erwan. Air muka Erwan mendadak berubah akibat bisikan Nando tersebut. Setelah itu, Erwan seperti ingin buru-buru menyelesaikan kegiatan pamit-pamitan ini dan segera melakukan sesuatu dengan Nando.
Gue adalah orang terakhir yang menyalakan mesin motor. Oleh karena itu, gue punya kesempatan melihat saat-saat terakhir Erwan dan Nando sebelum masuk rumah. Langkahnya begitu buru-buru melewati beberapa keluarga besarnya yang masih duduk-duduk di teras.
“Menurut lu aneh gak sih Nando dateng ke sini?” Gue bertanya ke Dani.
“Nggak, kan lu yang bikin pengumuman di grup angkatan.” Dani menjawab sekenanya.
Motor gue melaju meninggalkan rumah Erna, kembali menuju jalan besar tempat metro mini dan banyak angkot lainnya seliweran. Fokus gue harus terarah pada penyelamatan Eda atas apa yang akan terjadi padanya. Dani pun terus berpesan kepada Jamet di sana untuk menunggu kami.
Hari menjelang sore. Kepadatan dan kemacetan mulai mengular di beberapa titik, apalagi di lampu merah. Hal ini membuat laju kami jadi melambat. Kami terhambat untuk segera sampai pada tujuan.
Dalam kemacetan, pikiran gue kembali ke mana-mana. Gue punya firasat kalau Jamet cepat atau lambat akan tau siapa kami. Firasat ini sama dengan gue kepada Eda, dan pada akhirnya dia memang tau identitas gue saat menemani untuk menyelamatkan Kenia dari kedatangan si Jeepers Creepers.
Mungkin ini saatnya Jamet untuk tau juga. Semoga gue dan dia sama-sama siap. Terakhir gue denger, dia masih takut sama inhuman.
“Menurut lu, ini Roxxon yang sama waktu ketemu Jenggo?” Dani memecah lamunan gue.
Gue gak bisa menjawab. Selain karena sambil fokus bawa motor, gue memang gak tau. Roxxon menjual obat ke mana-mana. Bahkan, mungkin jaringan mereka lebih luas dibanding operasi watchdog karena punya perlindungan di bawah perusahaan legal.
Kasus satu ini mungkin aja kecil, seperti perkumpulan pecandu atau semacamnya. Artis-artis sekarang pun tertangkap basah di rumahnya sendiri. Wajar kan, karena seharusnya rumah sendiri itu lokasi paling aman dari penggerebekan.
Atau bisa juga ini kasus besar yang terselubung semisal percobaan manusia. Eksperimen saat ini bisa terjadi kapan dan di mana aja. Erna sering cerita dari pengetahuannya yang luas itu kalo banyak peneliti juga punya laboratorium mandiri di rumah-rumah mereka.
“Kalo ini bener Roxxon, kita harus kasih tau Akmal.” Kata Dani lagi.
“Kenapa?” Gue bertanya singkat.
“Adiknya dibawa Roxxon kan.” Sahut Dani.
Dani ada benarnya. Akmal punya misi pribadi untuk mencari adik kandungnya. Tapi, ini kasus yang masih abu-abu. Kalau ini ternyata kasus kecil, Akmal bisa kecewa dan lepas kendali.
“Baiknya kita cari tau dulu ini kasus kaya gimana deh.” Saran gue.
“Nicole?” Dani bertanya.
Gue menggeleng dan beralasan kalau dia gak bisa dihubungi. Begitu juga dengan Pur dan Laras. Kali ini kami benar-benar tanpa bala bantuan. Tinggal gue dengan kekuatan inhuman dan pistol icer yang selalu dibawa Dani ke mana-mana.
Menjelang maghrib, sampailah gue di lokasi yang diarahkan Jamet. Gue melihat ada mobil Jennifer di sudut jalanan sana.
---
POV Jamet
Itu dia Hari dan Jamet. Mereka punya rencana apa sendirian begitu?
---
POV Eda
Gue sempat bersyukur masih punya sedikit kesadaran saat kabur ke kamar mandi tadi. Gue sempat bersyukur sempat mengirim foto ke Jamet dan menghapusnya lagi. Gue sempat bersyukur atas umur yang udah gue lewatin selama ini.
Di depan mata gue sekarang ada peti mati.
Lalu gue diberikan minuman pahit.
Kata Alis, itu obat cina punya Samuel untuk mempercepat reaksi obat yang gue telan tadi.
Harusnya gue buang aja obat itu ya waktu di toilet tadi. Tapi ada hasrat lain yang menggebu agar gue sanggup menelan obat itu bulat-bulat. Apalagi saat Alis yang meminta kepada gue dengan kecapan bibirnya yang manja dan minta digigit itu.
“Kenapa harus ada peti mati?” Gue takut.
“Ini koleksi orang tuaku, sayang. Gak usah takut.” Jawab Alis.
Gue digiring meninggalkan ruangan yang ada peti mati ini. Siapa sangka rumah Alis punya ruang bawah tanah mirip labirin. Ruang demi ruangnya harus dilewati satu persatu. Unik sekaligus menyeramkan. Kemudian, sampailah gue di kamar terakhir. Rupanya ada teman-teman Samuel yang sama dengan saat gue diajak mabok dulu.
“Sejak kapan...?” Gue kaget.
“Mereka dateng waktu kamu lama di kamar mandi.” Kata Alis.
Siapa itu mereka namanya, gue lupa banget. Kenapa juga ada Samuel, dia kan harusnya lagi kerja.
Gue mencoba mengurangi ketegangan dengan melihat-lihat ruangan. Catnya putih bersih dengan lampu neon yang wattnya kelewat terang. Kamar tempat kami benar-benar seperti ruang santai. Ada sofa, ada lemari, ada karpet, bahkan ada tivi dan AC.
Tapi ini justru semakin membuat gue samkin gusar. Gak seharusnya tempat bersantai ada di bawah tanah. Senyaman apapun ruang bawah tanah, apalagi sekedar di rumah, tetaplah lembab.
“Ini ruangan apa?” Gue kembali panik.
“Ini tempat kerja bapakku, tapi jarang dipake.” Alis menjawab lagi.
Ya iyalah jarang dipake. Ini tempat terasing banget gila!
“Kita di sini supaya gak kedengeran orang lain, Da.” Sahut si arab.
“Alis paling berisik soalnya.” Kata si cewek tinggi.
Apa itu maksudnya?
Kemudian, sambil menunggu sesuatu yang gak gue pahami, Alis mengajak gue menghafal nama teman-teman mereka. Gue sedikit-sedikit inget dengan Talia yang paling tinggi. Selanjutnya, gue ingat kembali dengan Riza yang arab dan Ruly yang agak botak. Sisanya masih menunggu untuk dihafal karena mereka sedang ke toilet.
Harusnya yang ditoilet sisa dua orang perempuan. Satu orang cewek gue agak lupa-lupa inget kalo dia pacarnya Ruly, dan yang satunya lagi masih jomblo.
Sembari menunggu, waktu kosong diisi dengan tantangan Riza untuk main PES. Jadilah kami berempat, gue, Riza, Ruly, dan Samuel main PES.
Tapi, lambat laun, Semakin seru pertandingan, semakin badan gue gerah dan hawanya pengap. Bener kan, kamar ini lembab banget.
“Gerah.” Kata gue.
“Minum dulu, sayang.” Alis menginterupsi.
Gue kembali disodorkan gelas berisi air. Kali ini benar-benar air putih karena gak berasa dan berwarna. Tapi, gue lama-lama terasa bersemangat dan... ngaceng.
Di saat yang sama, dua orang cewek terakhir datang juga. Gue makin ngaceng ngeliat mereka, yang satu agak sipit dan putih dan yang satu lagi sama arab dan coklatnya kaya Riza. Mereka berdua berbalut kimono merah marun. Belahan dadanya tampak jelas. Gue bisa menerka-nerka bahwa payudara mereka sama kencangnya. Dua pasang puting tercetak dengan indahnya dari balik kimono masing-masing.
“Kamu mau istirahat dulu?” Alis bertanya lagi.
Gue bengong.
“Ih, matanya dong.” Alis menarik pipi gue.
Mulut gue mendadak dengan ganasnya disambar Alis. Kami langsung saling melumat di pinggir sofa, sementara tiga cewek yang tersisa menghampiri lawan jenis pilihan masing-masing. Yang pasti, Ruly dengan pacarnya. Tapi seketika Samuel udah menempel dengan Talia, dan Riza dengan satu cewek tersisa.
Gue seperti gak punya rasa malu untuk saling meraba dengan Alis meski dilihat orang lain. Begitu juga dengan mereka semua yang nyatanya lebih liar daripada gue. Bahkan Ruly udah mengelurkan tonggaknya untuk dikulum sang pacar.
“Kok diliatin mulu sih? Mau sama Dwi?” Alis menggerutu manja.
Dwi
Mati gue. Dasar gak bisa liat kulit putih dikit.
“Dwi, sini.” Alis memanggil.
Ah! Gila! Apa yang terjadi di sini. Cewek yang namanya Dwi ini, pacarnya Ruly, sangat menyambut positif panggilan Alis. Dia dengan senyumya datang dan membuka resleting celana gue. Sementara mulut gue masih sibuk dengan Alis, Dwi mulai menggenggam penis gue.
Di sudut yang lain, Ruly juga berpindah kepada Talia. Bahkan Ruly gak cemburu ketika Dwi mulai bermain dengan kejantanan gue. Dwi dengan penuh percaya diri menggelitiki kepala penis gue dengan lidahnya. Matanya tajam menusuk ke arah gue, seolah bicara bahwa dia sanggup mengantarkan sampai ke puncak kenikmatan.
Coba lihat juga gimana bahagianya Talia dikelilingi dua laki-laki tanpa ikatan itu.
Talia berjongkok di antara dua kelamin laki-laki. Ruly sudah tanpa celana, sedangkan Samuel hanya membuka resleting celana bahan hitamnya. Jijik sebenarnya melihat penis orang lain dengan mata kepala sendiri, tapi gue terlampau bersemangat melihat adegan tersebut.
Di sisi lain sofa ada Riza yang asik melumat selangkangan pasangannya. Perempuan itu sudah menanggalkan celananya sambil menungging, berpangku tangan pada pinggiran sofa. Gue berhadap-hadapan pada payudaranya yang menjuntai, sementara Kepala Riza menghilang di belakang badan Perempuan itu.
“Gak bisa ngeliat toket gede ih.” Alis makin centil.
Alis melepas lumatan bibir kami. Kemudian, dia naik ke atas kepala gue dan menyelipkannya di antara kedua belah kakinya sendiri. Alis meminta untuk dilayani secara oral.
Sekarang, posisi gue berpindah. Gue telentang di atas sofa. Dwi masih melumat batang penis gue, sedangkan di atas mulut gue ada Alis yang mulai menjerit keenakan. Lidah gue berayun dan membelai sepanjang bibir kemaluannya yang makin becek.
“Hai Eda... aahh...” Suara wanita menyapa.
Dia itu adalah pasangan mainnya Riza saat ini. Mata gue tepat bertemu matanya. Payudaranya menggantung dan bergoyang akibat genjotan Riza. Ah, mereka udah intercourse.
“Hmmh.. Inget gue?.. Rista.,, hhh..” Katanya.
Rista
Dari bawah sini gue bisa melihat segalanya. Ada vagina Alis yang tercukur rapi serta basah mengkilat. Ada juga wajah sayu Rista yang keenakan dan gerakan lambat dua bongkah payudaranya. Wajah kedua perempuan itu sangat menikmati apa yang para lelaki ini lakukan.
Kemudian, Alis menyambar mulut Rista. Mereka saling melumat bibir dan lidah satu sama lain. Ini bener-bener de Javu terhadap insiden di kosan Dani tahun lalu. Bedanya, sekarang pemain cowok bukan gue doang. Seharusnya ini gak terjadi lagi. tapi sungguh terlalu enak. Apalagi sensasi dari Dwi yang bermain tunggal di selangkangan gue.
Tiba-tiba Dwi melepaskan kulumannya. Gue gak bisa melihat apa yang terjadi.
Pinggang gue mendadak berat. Batang penis gue terasa ditekuk ke atas dan terjepit. Dwi kayanya mulai menindih gue.
“Ahhh..” Itu suara Dwi yang mendesah.
Akhirnya gue memahami apa yang Dwi lakukan. Dia bergerak menggesekkan mulut vaginanya dengan batang penis gue. Sensasinya luar biasa dijepit seperti itu, Sakit tapi gak menyakitkan, enak tapi gak menggilakan.
Lendir pelumas milik Dwi terasa menjalar hingga pangkal batang penis gue. Begitu juga cairan dari liang vagina Alis yang udah ada di sekitar mulut gue. Belum lagi teriakan-teriakan Alis yang menyeruak ke dalam kepala. Semuanya sangat serba seksi.
"NNGGH!! EDAA!! ANJINNGHH!!" Itu Alis meracau.
Lidah gue bermain lebih semangat dari pada tadi. Jemari gue ikut bermain, berusaha memberi kenikmatan lebih kepada Alis.
“KELUAR! KELUAR! AAHHH!!” Jerit Alis.
Pinggul Alis bergetar. Badannya ditekan kuat-kuat ke kepala gue hingga sesak banget. Sebentar kemudian, dia terhempas ke sandaran sofa. Alis mendapatkan puncaknya secepat itu.
Di saat setelahnya, bibir gue yang masih basah, mendadak dijilati dan dihisap oleh Rista. Kepalanya sering terhentak akibat hujaman Ruly saat kami berciuman. Gerakan itu membuat gue ikut berguncang dan beradu gigi. Cukup kasar apa yang dilakukan Ruly pada pasangannya sendiri, tapi menjadi sensasi baru buat gue.
Dan Alis, dia beranjak pergi dari ruangan.
“Aku pipis dulu ya. Main sepuasnya gih.” Alis berkata hal gila.
Di tempat yang lain, Samuel terdengar menggeram. Suaranya itu membuat gue menoleh. Kemudian, apa yang gue lihat di sana lebih gila lagi, seperti film porno. Talia melayani dua laki-laki dengan dua lubang yang dia punya di bagian bawah tubuhnya.
Samuel memuaskan diri dari arah belakang dan Ruly dari arah depan. Posisi mereka layaknya roti isi. Sama sekali gue gak bisa melihat pantat Talia yang seksi itu akibat terhalang Samuel di atasnya.
“Aaghhh.. gue mau keluar!” Geram Samuel.
“Sam.. Ohhh... Sam..” Talia ikut mengerang.
Sekarang Samuel yang mengambil kendali. Dia bergerak cepat mengejar puncak kenikmatannya sendiri. Akibat itu, Talia menjerit-jerit dan Ruly hanya bisa diam. Sebagai gantinya, gue sedikit bisa mengamati Ruly menghisap-hisap payudara Talia.
Cukup lama Samuel bergerak cepat hingga akhirnya dia diam mematung. Gue tau, dia baru aja ejakulasi.
Sekali lagi, seharusnya gue jijik melihat batangan punya orang lain. Tapi kali ini sungguh pengecualian. Gue sanggup melihat Samuel melepas penisnya dari dalam lubang anus Talia. Dari dalam sana mengalir lendir putih. Itu lah mereka, bermain tanpa pengaman meski dalam dubur.
Samuel langsung pergi dari ruangan tanpa bicara.
Setelah itu, Talia melanjutkan kegiatannya yang tersisa bersama Ruly.
“Rul.. Ngghh.. Kontol lo panjang...” Talia mengerang nikmat.
“Ahh.. Rizaa.. Cepetin lagi..” Pinta Rista kepada Riza.
Oh, gila. Ruangan ini mendadak menjadi surga buat selangkangan gue.
“Sssshhh.. Fix gue mau dimasukin sekarang.” Dwi bermonolog.
Suara Dwi merebut perhatian. Dia merasa mendapat izin atas hal yang disampaikan Alis. Dengan cepat Dwi merubah posisi duduknya menjadi berjongkok. Batang penis gue ditegakkannya menuju satu tujuan, dan gue sangat-sangat menunggunya.
Begitu posisi gue dan Dwi dirasa pas, hentakan terjadi bersamaan. Gue dan Dwi seperti punya pikiran yang sama untuk mempercepat terjadinya kenikmatan. Siapa sangka, hal seperti itu bisa memberikan efek kejut yang luar biasa.
“Ngghhh... Edaa..” Dwi mulai bersuara manja.
Dwi luar biasa. Dia sangat seksi dengan payudaranya yang berguncang di depan mata gue. Semoga Alis gak cemburu melihat Dwi menikmati penis gue habis-habisan.
Setelah menuntaskan hasrat dengan Dwi, gue sepertinya punya misi baru. Wajib hukumnya merasakan pelayanan semua cewek yang di sini. Gue mau nyoba anal bareng Talia. Bahkan pasangan mainnya Riza sekalipun harus gue nikmati.
BERSAMBUNG