Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Tablet kuning itu bisa bikin fokus Hari, Dani dan Erna teralihkan dari hal-hal buruk yang menimpa mereka selama ini. Fokus untuk menghancurkan Roxxon... lagi
 
Utamakan RL hu, tapi kalo bisa update sabtu besok ane (juga yg lain) pastinya seneng bngt :klove:
 
makasih uodatenya suhu, makin kebawa alur ceritanya nih. salut :beer:
 
Episode 41
Matanya


POV Hari

Oh Tuhan, baru aja gue punya tekad bulat untuk menghindari masalah, sekarang masalah justru mendatangi. Apalagi masalah itu ikut mendekati teman gue yang lainnya. Sialan. Sialan!

Buru-buru Dani mengambil hape Erna dari genggaman Erwan. Dia langsung menelepon Jamet selaku pengirim pesan. Dari situ, kami mendapat kabar kalau Eda yang sedang ada dalam masalah, dan Jamet mengikutinya. Jelas gue gak bisa tinggal diam karena ini berhubungan dengan orang yang gue kenal. Tapi gue harus apa.

“Ehm, jadi kita harus apa?” Erwan bicara.

Dani menoleh ke gue. Ada apa dengan gue? Gue bukan pemimpin dari klub apapun.

“Kenapa pada ngeliat gue sih?” Kata gue.
“Ya kita harus ngapain, Har?” Dani menekan kata-katanya.
“Aduh.”

Sejujur-jujurnya, gue bingung harus bertindak apa. Gue sadar sedang gak dalam kepercayaan diri terbaik. Gue yang kemarin-kemarin berbeda dengan gue hari ini dan hari-hari selanjutnya. Gue nggak sanggup ambil keputusan lagi.

“Oke, gue tetep jaga Erna di sini. Gue coba supaya dia gak tau apa-apa.” Erwan berusul.
“Kalo gitu kita yang bergerak.” Sahut Dani.
"Wei."

Oh, gue gak sanggup berkata-kata. Keputusan bulat udah diambil masing-masing orang. Dani bahkan sangat bersemangat meski dia masih punya trauma. Bahkan kejadian itu belum lewat dari seminggu lamanya.

Erwan menawarkan mobil untuk kami kendarai sampai lokasi tujuan. Sayangnya, di antara gue sama Dani gak ada yang bisa mengendarai roda empat. Jadilah kami sepakat naik motor gue lagi.

Sebentar kemudian, saat mau berpisah, Nando menghampiri kami bertiga.

“Anak-anak mau cabut tuh.” Nando datang.
“Oh, oke, gue sama Dani juga mau cabut.” Gue merespon.

Kepergian kami kahirnya tertunda sekian menit untuk saling bersalam-salaman. Buat mereka, hari ini adalah hari berduka untuk keluarga Erna. Buat gue dan Dani, hari ini lebih akan menegangkan setelah pergi dari sini.

Sementara semua orang berpamitan, Nando justru berbisik sesuatu kepada Erwan. Air muka Erwan mendadak berubah akibat bisikan Nando tersebut. Setelah itu, Erwan seperti ingin buru-buru menyelesaikan kegiatan pamit-pamitan ini dan segera melakukan sesuatu dengan Nando.

Gue adalah orang terakhir yang menyalakan mesin motor. Oleh karena itu, gue punya kesempatan melihat saat-saat terakhir Erwan dan Nando sebelum masuk rumah. Langkahnya begitu buru-buru melewati beberapa keluarga besarnya yang masih duduk-duduk di teras.

“Menurut lu aneh gak sih Nando dateng ke sini?” Gue bertanya ke Dani.
“Nggak, kan lu yang bikin pengumuman di grup angkatan.” Dani menjawab sekenanya.

Motor gue melaju meninggalkan rumah Erna, kembali menuju jalan besar tempat metro mini dan banyak angkot lainnya seliweran. Fokus gue harus terarah pada penyelamatan Eda atas apa yang akan terjadi padanya. Dani pun terus berpesan kepada Jamet di sana untuk menunggu kami.

Hari menjelang sore. Kepadatan dan kemacetan mulai mengular di beberapa titik, apalagi di lampu merah. Hal ini membuat laju kami jadi melambat. Kami terhambat untuk segera sampai pada tujuan.

Dalam kemacetan, pikiran gue kembali ke mana-mana. Gue punya firasat kalau Jamet cepat atau lambat akan tau siapa kami. Firasat ini sama dengan gue kepada Eda, dan pada akhirnya dia memang tau identitas gue saat menemani untuk menyelamatkan Kenia dari kedatangan si Jeepers Creepers.

Mungkin ini saatnya Jamet untuk tau juga. Semoga gue dan dia sama-sama siap. Terakhir gue denger, dia masih takut sama inhuman.

“Menurut lu, ini Roxxon yang sama waktu ketemu Jenggo?” Dani memecah lamunan gue.

Gue gak bisa menjawab. Selain karena sambil fokus bawa motor, gue memang gak tau. Roxxon menjual obat ke mana-mana. Bahkan, mungkin jaringan mereka lebih luas dibanding operasi watchdog karena punya perlindungan di bawah perusahaan legal.

Kasus satu ini mungkin aja kecil, seperti perkumpulan pecandu atau semacamnya. Artis-artis sekarang pun tertangkap basah di rumahnya sendiri. Wajar kan, karena seharusnya rumah sendiri itu lokasi paling aman dari penggerebekan.

Atau bisa juga ini kasus besar yang terselubung semisal percobaan manusia. Eksperimen saat ini bisa terjadi kapan dan di mana aja. Erna sering cerita dari pengetahuannya yang luas itu kalo banyak peneliti juga punya laboratorium mandiri di rumah-rumah mereka.

“Kalo ini bener Roxxon, kita harus kasih tau Akmal.” Kata Dani lagi.
“Kenapa?” Gue bertanya singkat.
“Adiknya dibawa Roxxon kan.” Sahut Dani.

Dani ada benarnya. Akmal punya misi pribadi untuk mencari adik kandungnya. Tapi, ini kasus yang masih abu-abu. Kalau ini ternyata kasus kecil, Akmal bisa kecewa dan lepas kendali.

“Baiknya kita cari tau dulu ini kasus kaya gimana deh.” Saran gue.
“Nicole?” Dani bertanya.

Gue menggeleng dan beralasan kalau dia gak bisa dihubungi. Begitu juga dengan Pur dan Laras. Kali ini kami benar-benar tanpa bala bantuan. Tinggal gue dengan kekuatan inhuman dan pistol icer yang selalu dibawa Dani ke mana-mana.

Menjelang maghrib, sampailah gue di lokasi yang diarahkan Jamet. Gue melihat ada mobil Jennifer di sudut jalanan sana.

---

POV Jamet

Itu dia Hari dan Jamet. Mereka punya rencana apa sendirian begitu?

---

POV Eda

Gue sempat bersyukur masih punya sedikit kesadaran saat kabur ke kamar mandi tadi. Gue sempat bersyukur sempat mengirim foto ke Jamet dan menghapusnya lagi. Gue sempat bersyukur atas umur yang udah gue lewatin selama ini.

Di depan mata gue sekarang ada peti mati.

Lalu gue diberikan minuman pahit.

Kata Alis, itu obat cina punya Samuel untuk mempercepat reaksi obat yang gue telan tadi.

Harusnya gue buang aja obat itu ya waktu di toilet tadi. Tapi ada hasrat lain yang menggebu agar gue sanggup menelan obat itu bulat-bulat. Apalagi saat Alis yang meminta kepada gue dengan kecapan bibirnya yang manja dan minta digigit itu.

“Kenapa harus ada peti mati?” Gue takut.
“Ini koleksi orang tuaku, sayang. Gak usah takut.” Jawab Alis.

Gue digiring meninggalkan ruangan yang ada peti mati ini. Siapa sangka rumah Alis punya ruang bawah tanah mirip labirin. Ruang demi ruangnya harus dilewati satu persatu. Unik sekaligus menyeramkan. Kemudian, sampailah gue di kamar terakhir. Rupanya ada teman-teman Samuel yang sama dengan saat gue diajak mabok dulu.

“Sejak kapan...?” Gue kaget.
“Mereka dateng waktu kamu lama di kamar mandi.” Kata Alis.

Siapa itu mereka namanya, gue lupa banget. Kenapa juga ada Samuel, dia kan harusnya lagi kerja.

Gue mencoba mengurangi ketegangan dengan melihat-lihat ruangan. Catnya putih bersih dengan lampu neon yang wattnya kelewat terang. Kamar tempat kami benar-benar seperti ruang santai. Ada sofa, ada lemari, ada karpet, bahkan ada tivi dan AC.

Tapi ini justru semakin membuat gue samkin gusar. Gak seharusnya tempat bersantai ada di bawah tanah. Senyaman apapun ruang bawah tanah, apalagi sekedar di rumah, tetaplah lembab.

“Ini ruangan apa?” Gue kembali panik.
“Ini tempat kerja bapakku, tapi jarang dipake.” Alis menjawab lagi.

Ya iyalah jarang dipake. Ini tempat terasing banget gila!

“Kita di sini supaya gak kedengeran orang lain, Da.” Sahut si arab.
“Alis paling berisik soalnya.” Kata si cewek tinggi.

Apa itu maksudnya?

Kemudian, sambil menunggu sesuatu yang gak gue pahami, Alis mengajak gue menghafal nama teman-teman mereka. Gue sedikit-sedikit inget dengan Talia yang paling tinggi. Selanjutnya, gue ingat kembali dengan Riza yang arab dan Ruly yang agak botak. Sisanya masih menunggu untuk dihafal karena mereka sedang ke toilet.

Harusnya yang ditoilet sisa dua orang perempuan. Satu orang cewek gue agak lupa-lupa inget kalo dia pacarnya Ruly, dan yang satunya lagi masih jomblo.

Sembari menunggu, waktu kosong diisi dengan tantangan Riza untuk main PES. Jadilah kami berempat, gue, Riza, Ruly, dan Samuel main PES.

Tapi, lambat laun, Semakin seru pertandingan, semakin badan gue gerah dan hawanya pengap. Bener kan, kamar ini lembab banget.

“Gerah.” Kata gue.
“Minum dulu, sayang.” Alis menginterupsi.

Gue kembali disodorkan gelas berisi air. Kali ini benar-benar air putih karena gak berasa dan berwarna. Tapi, gue lama-lama terasa bersemangat dan... ngaceng.

Di saat yang sama, dua orang cewek terakhir datang juga. Gue makin ngaceng ngeliat mereka, yang satu agak sipit dan putih dan yang satu lagi sama arab dan coklatnya kaya Riza. Mereka berdua berbalut kimono merah marun. Belahan dadanya tampak jelas. Gue bisa menerka-nerka bahwa payudara mereka sama kencangnya. Dua pasang puting tercetak dengan indahnya dari balik kimono masing-masing.

“Kamu mau istirahat dulu?” Alis bertanya lagi.

Gue bengong.

“Ih, matanya dong.” Alis menarik pipi gue.

Mulut gue mendadak dengan ganasnya disambar Alis. Kami langsung saling melumat di pinggir sofa, sementara tiga cewek yang tersisa menghampiri lawan jenis pilihan masing-masing. Yang pasti, Ruly dengan pacarnya. Tapi seketika Samuel udah menempel dengan Talia, dan Riza dengan satu cewek tersisa.

Gue seperti gak punya rasa malu untuk saling meraba dengan Alis meski dilihat orang lain. Begitu juga dengan mereka semua yang nyatanya lebih liar daripada gue. Bahkan Ruly udah mengelurkan tonggaknya untuk dikulum sang pacar.

“Kok diliatin mulu sih? Mau sama Dwi?” Alis menggerutu manja.


Dwi

Mati gue. Dasar gak bisa liat kulit putih dikit.

“Dwi, sini.” Alis memanggil.

Ah! Gila! Apa yang terjadi di sini. Cewek yang namanya Dwi ini, pacarnya Ruly, sangat menyambut positif panggilan Alis. Dia dengan senyumya datang dan membuka resleting celana gue. Sementara mulut gue masih sibuk dengan Alis, Dwi mulai menggenggam penis gue.

Di sudut yang lain, Ruly juga berpindah kepada Talia. Bahkan Ruly gak cemburu ketika Dwi mulai bermain dengan kejantanan gue. Dwi dengan penuh percaya diri menggelitiki kepala penis gue dengan lidahnya. Matanya tajam menusuk ke arah gue, seolah bicara bahwa dia sanggup mengantarkan sampai ke puncak kenikmatan.

Coba lihat juga gimana bahagianya Talia dikelilingi dua laki-laki tanpa ikatan itu.

Talia berjongkok di antara dua kelamin laki-laki. Ruly sudah tanpa celana, sedangkan Samuel hanya membuka resleting celana bahan hitamnya. Jijik sebenarnya melihat penis orang lain dengan mata kepala sendiri, tapi gue terlampau bersemangat melihat adegan tersebut.

Di sisi lain sofa ada Riza yang asik melumat selangkangan pasangannya. Perempuan itu sudah menanggalkan celananya sambil menungging, berpangku tangan pada pinggiran sofa. Gue berhadap-hadapan pada payudaranya yang menjuntai, sementara Kepala Riza menghilang di belakang badan Perempuan itu.

“Gak bisa ngeliat toket gede ih.” Alis makin centil.

Alis melepas lumatan bibir kami. Kemudian, dia naik ke atas kepala gue dan menyelipkannya di antara kedua belah kakinya sendiri. Alis meminta untuk dilayani secara oral.

Sekarang, posisi gue berpindah. Gue telentang di atas sofa. Dwi masih melumat batang penis gue, sedangkan di atas mulut gue ada Alis yang mulai menjerit keenakan. Lidah gue berayun dan membelai sepanjang bibir kemaluannya yang makin becek.

“Hai Eda... aahh...” Suara wanita menyapa.

Dia itu adalah pasangan mainnya Riza saat ini. Mata gue tepat bertemu matanya. Payudaranya menggantung dan bergoyang akibat genjotan Riza. Ah, mereka udah intercourse.

“Hmmh.. Inget gue?.. Rista.,, hhh..” Katanya.


Rista
Dari bawah sini gue bisa melihat segalanya. Ada vagina Alis yang tercukur rapi serta basah mengkilat. Ada juga wajah sayu Rista yang keenakan dan gerakan lambat dua bongkah payudaranya. Wajah kedua perempuan itu sangat menikmati apa yang para lelaki ini lakukan.

Kemudian, Alis menyambar mulut Rista. Mereka saling melumat bibir dan lidah satu sama lain. Ini bener-bener de Javu terhadap insiden di kosan Dani tahun lalu. Bedanya, sekarang pemain cowok bukan gue doang. Seharusnya ini gak terjadi lagi. tapi sungguh terlalu enak. Apalagi sensasi dari Dwi yang bermain tunggal di selangkangan gue.

Tiba-tiba Dwi melepaskan kulumannya. Gue gak bisa melihat apa yang terjadi.

Pinggang gue mendadak berat. Batang penis gue terasa ditekuk ke atas dan terjepit. Dwi kayanya mulai menindih gue.

“Ahhh..” Itu suara Dwi yang mendesah.

Akhirnya gue memahami apa yang Dwi lakukan. Dia bergerak menggesekkan mulut vaginanya dengan batang penis gue. Sensasinya luar biasa dijepit seperti itu, Sakit tapi gak menyakitkan, enak tapi gak menggilakan.

Lendir pelumas milik Dwi terasa menjalar hingga pangkal batang penis gue. Begitu juga cairan dari liang vagina Alis yang udah ada di sekitar mulut gue. Belum lagi teriakan-teriakan Alis yang menyeruak ke dalam kepala. Semuanya sangat serba seksi.

"NNGGH!! EDAA!! ANJINNGHH!!" Itu Alis meracau.

Lidah gue bermain lebih semangat dari pada tadi. Jemari gue ikut bermain, berusaha memberi kenikmatan lebih kepada Alis.

“KELUAR! KELUAR! AAHHH!!” Jerit Alis.

Pinggul Alis bergetar. Badannya ditekan kuat-kuat ke kepala gue hingga sesak banget. Sebentar kemudian, dia terhempas ke sandaran sofa. Alis mendapatkan puncaknya secepat itu.

Di saat setelahnya, bibir gue yang masih basah, mendadak dijilati dan dihisap oleh Rista. Kepalanya sering terhentak akibat hujaman Ruly saat kami berciuman. Gerakan itu membuat gue ikut berguncang dan beradu gigi. Cukup kasar apa yang dilakukan Ruly pada pasangannya sendiri, tapi menjadi sensasi baru buat gue.

Dan Alis, dia beranjak pergi dari ruangan.

“Aku pipis dulu ya. Main sepuasnya gih.” Alis berkata hal gila.

Di tempat yang lain, Samuel terdengar menggeram. Suaranya itu membuat gue menoleh. Kemudian, apa yang gue lihat di sana lebih gila lagi, seperti film porno. Talia melayani dua laki-laki dengan dua lubang yang dia punya di bagian bawah tubuhnya.

Samuel memuaskan diri dari arah belakang dan Ruly dari arah depan. Posisi mereka layaknya roti isi. Sama sekali gue gak bisa melihat pantat Talia yang seksi itu akibat terhalang Samuel di atasnya.

“Aaghhh.. gue mau keluar!” Geram Samuel.
“Sam.. Ohhh... Sam..” Talia ikut mengerang.

Sekarang Samuel yang mengambil kendali. Dia bergerak cepat mengejar puncak kenikmatannya sendiri. Akibat itu, Talia menjerit-jerit dan Ruly hanya bisa diam. Sebagai gantinya, gue sedikit bisa mengamati Ruly menghisap-hisap payudara Talia.

Cukup lama Samuel bergerak cepat hingga akhirnya dia diam mematung. Gue tau, dia baru aja ejakulasi.

Sekali lagi, seharusnya gue jijik melihat batangan punya orang lain. Tapi kali ini sungguh pengecualian. Gue sanggup melihat Samuel melepas penisnya dari dalam lubang anus Talia. Dari dalam sana mengalir lendir putih. Itu lah mereka, bermain tanpa pengaman meski dalam dubur.

Samuel langsung pergi dari ruangan tanpa bicara.

Setelah itu, Talia melanjutkan kegiatannya yang tersisa bersama Ruly.

“Rul.. Ngghh.. Kontol lo panjang...” Talia mengerang nikmat.
“Ahh.. Rizaa.. Cepetin lagi..” Pinta Rista kepada Riza.

Oh, gila. Ruangan ini mendadak menjadi surga buat selangkangan gue.

“Sssshhh.. Fix gue mau dimasukin sekarang.” Dwi bermonolog.

Suara Dwi merebut perhatian. Dia merasa mendapat izin atas hal yang disampaikan Alis. Dengan cepat Dwi merubah posisi duduknya menjadi berjongkok. Batang penis gue ditegakkannya menuju satu tujuan, dan gue sangat-sangat menunggunya.

Begitu posisi gue dan Dwi dirasa pas, hentakan terjadi bersamaan. Gue dan Dwi seperti punya pikiran yang sama untuk mempercepat terjadinya kenikmatan. Siapa sangka, hal seperti itu bisa memberikan efek kejut yang luar biasa.

“Ngghhh... Edaa..” Dwi mulai bersuara manja.

Dwi luar biasa. Dia sangat seksi dengan payudaranya yang berguncang di depan mata gue. Semoga Alis gak cemburu melihat Dwi menikmati penis gue habis-habisan.

Setelah menuntaskan hasrat dengan Dwi, gue sepertinya punya misi baru. Wajib hukumnya merasakan pelayanan semua cewek yang di sini. Gue mau nyoba anal bareng Talia. Bahkan pasangan mainnya Riza sekalipun harus gue nikmati.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Episode 42
California


POV Eda

Gue pernah ikut satu kelas mengenai reproduksi waktu kuliah. Dari situ, gue tau bahwa aktivitas seks itu gak sekedar melanjutkan generasi bagi dunia hewan. Mulai dari tikus, lumba-lumba, bonobo, sampai manusia melakukan seks juga untuk rekreasi. Itu adalah hasil bagian korteks otak yang menerjemahkan sinyal dari sel syaraf reseptor.

Sama seperti yang gue rasakan sekarang. Tiga indra gue memberi rangsangan nikmat yang tiada tara. Kulit merasakan bagaimana Dwi bermain-main di atas badan gue. Mata melihat bagaimana Riza dan Ruly bercinta dengan pasangannya masing-masing. Telinga mendengar semua desahan yang menggaung di ruangan.

“Ahh.. Edaa.. Aahh..” Dwi terus mendesah.

Payudara Dwi berguncang dengan indahnya. Kedua tangan yang bertumpu pada dada gue, membuat sepasang payudaranya itu menempel satu sama lain. Itu membuat bongkahannya tampak semakin besar dan ranum. Gue rela ditabok Alis cuma untuk menghisap dada itu lama-lama.

Dwi terus berpacu dalam temponya sendiri. Stimulasi yang diterima oleh tubuhnya membuat pukulan cepat antara kulit kami berdua. Bunyinya bahkan lebih keras dari pukulan telapak tangan Riza ke pantat Rista.

Gue cukup menikmati layanan dari Dwi ini. Dia bahkan gak lelah atau meminta gue gantian bergerak. Staminanya jauh lebih kuat dari Alis atau pun Rivin.

Damn, persetan Rivin. Banyak selangkangan cewek di sini.

“Udah mau keluar?” Dwi bertanya.

Gue menggeleng.

Dwi berhenti bergoyang. Dia lalu memanggil Rista untuk mengikutinya tidur di atas sofa menggantikan posisi gue. Kemudian, Rista menindih Dwi dengan kepala ada tepat di selangkangan masing-masing. Aksi apalagi ini.

“Ayo masukin lagi.” Dwi menyuruh gue.

Sekarang kepala penis gue dihadapkan pada dua lubang berbeda. Satu adalah lubang Dwi yang belum tuntas gue mainkan. Satu lagi adalah lubang mulut Rista. Seksi sungguh seksi mereka berdua.

Kesempatan ini gak gue sia-siakan untuk menjelajahi segala sudut dalam mulut Rista dulu. Maka gue sodorkan penis gue tepat ke mulutnya. Gak heran kalo Rista gak menolak. Lidahnya malah terjulur keluar untuk memberi ruang lebih bagi penis gue di dalam mulutnya.

Pinggang gue mulai bergerak liar dalam mulut Rista. Sekarang bukanlah mulutnya yang memegang kendali, melainkan penis gue. Sensasi geli dan nikmat menjadi satu di dalam otak. Apalagi gue bebas untuk menghujam dalam-dalam. Semakin dalam penis gue masuk, semakin sempit rongga mulut Rista.

“Ngghh... Ngghh..” Rista menggeram.

Di bawah Rista, vagina Dwi masih menunggu untuk dipuaskan. Tapi itu bukan masalah sekarang, karena rupanya Dwi juga sedang mengulum penis Riza. Kami benar-benar sedang melakukan kegiatan semacam swinger di sini.

Sementara itu, Talia udah tergeletak di atas matras. Kedua kakinya terbuka lebar ke samping bahu si lelaki. Ruly benar-benar mengontrol Talia di bawah badannya. Gaya mereka standar, tapi tetap konsisten pada selang beberapa waktu belakangan.

Tiba-tiba penis gue serasa dijepit erat.

“Ssssshhh...” Rista mendesah panjang.

Riza kembali menggenjot Rista. Itu memberikan sensasi yang berbeda lagi buat gue, penis dikulum dengan mulut sembari si pengulum dihujam dari kedua belah kakinya. Ditambah dengan wajah Dwi gak terlihat di bawah Rista, berandai-andai kalau dia sedang ikut menjilati lubang kencing Rista.

Pasti itu memberikan kenikmatan berlebih.

Penis gue berguncang di dalam mulut Rista. Dia semakin keras digenjot Riza sehingga gak fokus lagi mengulum. Ini berarti waktunya menikmati Dwi lagi. Tanpa mencoba berulang, penis gue amblas seketika di dalam liang senggama Dwi.

“Ahhh...” Suara Dwi lirih.

Gue langsung menghujam dengan cepat. Di saat yang sama, Rista ikut menjilati kemaluan Dwi. Gue bisa melihat jelas lidah Rista yang mengusap-usap klitoris Dwi dengan gerakan lambat. Akibat dua rangsangan itu, Dwi merintih semakin keras.

Kemudian, gak sampai dua menit lamanya, tubuh Dwi mengejang. Dicengkramnya pinggang Rista, pinggangnya sendiri pun ikut naik dan bergetar. Sedetik lewat, Dwi pipis membahasi perut gue dan muka Rista dengan derasnya.

Dwi orgasme. Baru kali ini gue ngeliat cewek squirting. Seperti itu rupanya.

Cukup udah dengan Dwi. Gue mau cewek yang lain. Siapa lagi? Rista? Talia?

---

POV Alis

Gue berkutat dengan beberapa buku di kamar gue sendiri. Gue sedang membuka lembaran-lembaran penting untuk ritual kali ini. Ini aksi pertama kami sejak kesepakatan tiga bulan lalu. Ini aksi pertama gue sejak pulang dari California untuk pertukaran pelajar.

“Ketemu bukunya?”

Samuel mendadak masuk ruangan.

“Kaget gue bego.” Gue memaki.
“Ini beneran kan? Gibborim yang lu ceritain itu?” Samuel mendekat.
“Iya.”
“Gue gak mau ngebunuh orang sia-sia nih. Ngeri.” Kata Samuel lagi.

Gue harus kembali meyakinkan Samuel tentang ajaran yang gue peroleh sewaktu di Amerika sana. Ini bukan bible biasa. Ini bible Gibborim. Sebuah lembaga amal, sebuah agama, sebuah keyakinan yang ada di sana.

Gue yakin bible Gibborim ini punya rahasia. Sebuah teka-teki, anagram, atau apalah namanya. Ada sesuatu yang bisa kami peroleh dari tulisan-tulisan ini. Ultra istilahnya, sebuah kekuatan super dan umur abadi.

Jadi, gak perlu lagi gue nyolong obat-obat produksi bokap di pabriknya. Obat-obatan kalo dikonsumsi berkelanjutan jadi gak baik. Malah bikin ngerusak ginjal, otak, dan mati lebih cepat.

---

POV Hari

Kami berempat. Gue, Dani, Jamet, dan Jennifer, semuanya masih terpaku di depan mobil Jennifer. Bahkan Jennifer sampai duduk di atas kap mobilnya sendiri. Kami harusnya udah mencari jalan masuk ke rumah sasaran kami dari tadi. Tapi Jamet menahan kami karena urusan pribadinya.

“Tunggu apa lagi sih, Met?” Gue bertanya ke Jamet.
“Tunggu sebentar lagi.” Balas Jamet.

Jamet sibuk dengan hapenya sendiri. Jamet gelisah. Sepertinya dia sedang mengajak seseorang lagi dalam upaya penyelamatan kami, kalau bisa dibilang penyelamatan. Gue bisa membaca gelagatnya karena Jamet asik sendiri dengan hapenya dari tadi.

Jamet gak mau ngasih tau alasannya ke semua orang. Jennifer pun gak diberi tau. Harusnya aksi begini cukup kami yang tau. Jennifer ikut-ikutan pun sebenernya udah beresiko. Lagipula Eda gak punya banyak temen kan.

“Nah, ini dia.” Seru Jamet.

Jamet merujuk ke ujung jalan. Tampak dari kejauhan ojek online berjaket hijau datang ke arah kami. Di belakangnya ada perempuan, senior kami waktu kuliah.

Kak Rivin.

Kak Rivin turun dari tumpangannya. Kami memerhatikan dengan seksama ojek itu pergi, agar obrolan kami gak dikepoin. Padahal, meski masih ada pun, paling tukang ojek itu gak peduli.

“Ada apaan emang sih?” Rivin bertanya.
“Eda ...” Jamet buka suara.
“Met!” Gue menegur.

Gue menarik Jamet menjauh. Jennifer ikut dengan kami berdua, meninggalkan Kak Rivin bersama Dani di depan mobilnya Jennifer.

“Lu gila!?” Gue berbisik.

“Hari bener. Gila!” Jennifer mengamini.

Rencana Jamet di luar perkiraan. Mengundang Kak Rivin dalam tindakan berpotensi aksi heroik sekaligus bunuh diri ini makin membuat tingkat resiko makin tinggi. Kak Rivin gak tau apa-apa.

Jennifer gak kalah cerewetnya sama gue. Dia malah beragumen lebih masuk akal daripada gue. Katanya, Kak Rivin gak bisa diajak menggerebek Eda di dalam rumah sana. Hubungan Eda dan Kak Rivin bisa bener-bener selesai kalau yang ditemukan di dalam sana gak sesuai perkiraan.

Karena kicauan Jennifer tadilah gue mendapat info kalau Kak Rivin dan Eda sedang ada masalah.

“Terus harus gimana?” Jamet bertanya balik.

Nah, Jamet konyol karena gak mikir konsekuensinya.

Sekarang mungkin saat yang tepat gue memberi tau semuanya kepada Jamet. Gue udah siap mental kalau Jamet takut, sama takutnya dia dengan semua inhuman.

“Met, ini bukan kasus biasa. Obat yang difoto itu obat ekperimen.” Gue menjelaskan.

Gue menceritakan mulai dari kasus tahun lalu. Waktu itu watchdog yang beroperasi dengan modus narkoba. Gue mengungkap bahwa berita penggerebekan gudang produksi narkoba di Semper kalau itu adalah aksi gue bersama polisi dan S.H.I.E.L.D. Kemudian, cerita gue sampai pada berita simpang siur hilangnya warga satu desa di kepulauan Bougainville, Papua Nugini.

Akhirnya gue membuka semuanya.

“Met, lu boleh gak percaya. Tapi gue inhuman.” Kata gue.

Situasi hening, Gue membuka hati sebesar-besarnya. Gue rela Jamet benci sama gue.

“Ini bukan waktunya bercanda.” Jamet menyanggah.
“Gue serius.” Bantah gue.
“Buktinya mana?” Jamet bertanya.

Gue menunjukkan satu tangan gue, ada jam di situ...

Astaga, gue lupa kalo jam pengawas Sokovia Accords udah gue lepas waktu berantem sama Nicole. Lencana A.T.C.U. juga udah gak ada, tiga-tiganya, lencana gue, Dani, dan Erna. Semua barang bukti gue buat Jamet udah gak ada.

“Nah kan bercanda.” Kata Jamet lagi.
“Beneran!” Gue masih membela diri.

Tapi gue bahkan gak bisa mendemonstrasikan kekuatan. Wujud gue tetaplah manusia biasa. Kekuatan gue juga bukan sesuatu yang menghasilkan atau merubah benda fisik. Membuat lemas seseorang malah bikin Jamet makin gak percaya. Dia paling sering bilang hoax ke gue dari dulu.

Sebelum gue memberi pembelaan lainnya, Jennifer kembali memotong.

“Udah, gak ada waktu debat lagi. Sekarang kita butuh rencana.”

Urusan gue dan Jamet kelar begitu aja. Antiklimaks.

Gue sebenarnya gak yakin dengan ide yang cepat melintas di kepala ini secara mendadak. Tapi Jamet dan Jennifer menatap gue sebagai maksud untuk menjadi penanggung jawab. Enak bener mereka.

Rencana gue adalah menerobos masuk ke rumah itu apapun caranya. Kemudian, di dalam sana bukti harus dicari sekaligus menjemput Eda pulang. Mudah, tapi mengerikan banget kalo gagal.

Satu lagi. Ini adalah aksi yang harus gue lakukan sendiri. Semua orang, termasuk Jamet dan Dani harus menunggu di luar. Gue mau ada musibah yang dialami temen-temen gue lagi. Cukup mereka berjaga di luar kalau ada apa-apa.

“Gue masuk, kalian tunggu di luar.” Kata gue.
“Yakali.” Sahut Jamet.
“Ini bukan sembarangan, Met.”
“Jangan bercanda mulu.” Jamet masih membantah.

Gue menghela nafas. Susah sekali mengungkap identitas ke Jamet. Mungkin begini kali ya takdirnya.

Selanjutnya, kami kembali ke tempat Dani dan Kak Rivin. Mereka tampak risih ditinggal berdua. Yah, masa lalu memang gak bisa dilupain kan.

Kak Rivin dapat penjelasan sejelas-jelasnya dari Jamet. Dia bilang bahwa Eda sedang ada masalah sama temen-temen baru di dalam rumah sasaran kami. Setelah itu, gue memberi tau sekali lagi rencananya ke semua orang.

Udah bisa ditebak, semua orang ngebantah rencana gue, apalagi Dani. Mereka bilang bahwa mereka juga harus punya peran di sini. Bahkan Jennifer menganalogikan tugas gue seperti pendaki gunung, minimal harus beraksi bertiga.

“Tuh, denger Jennifer.” Jamet kompor.
“Gue setuju sih sama mereka.” Kak Rivin ikutan argumen.
“Kita. Harus. Sama-sama.” Kata Dani tegas.

Gue menghela nafas lagi. Ini gila. Tapi, oke lah.

“Tapi harus tetep ada yang jaga di luar satu orang.” Kata gue.

Gue memaksa mereka semua setuju. Gue lalu ngusulin Kak Rivin yang berjaga di luar sini. Itu karena dia yang paling feminin di antara cewek-cewek. Takutnya, dia memperlambat kami di dalam nanti.

Tapi kemudian undian harus dilakukan melalui gambreng hingga suit agar adil. Hitam, putih, semut, manusia, jempol, konyol. Akhirnya, yang harus berjaga di luar adalah Dani.

“Deal ya?” Tanya gue.
“Yah, deal deh.” Kata Dani.
“Nih kuncinya.” Jennifer memberinya kunci mobil.

Setelah itu, Gue, Jennifer, Jamet, dan Kak Rivin berjalan ke depan pagar rumah yang maha besar ini. Kami dengan cepat memeriksa segala sesuatu yang bisa memberi jalan masuk. Menggeser pagar sangat gak mungkin karena udah terkunci dengan gembok besar.

“Panjat aja kali ya.” Kata Jamet.
“Gak ada jalan lain?” Kak Rivin menimpali.

Kak Rivin menunjukkan model pakaiannya yang sedang dikenakan. Sepatu hak, celana bahan hitam, dan blazzer. Itu bukan set yang tepat untuk aksi panjat tebing. Oleh karena itu, Kak Rivin gugur di awal-awal aksi menyelinap ini.

“Itu Kak Rivin ditinggal bareng Dani gapapa?” Tanya Jennifer.
“Mau gimana lagi.” Sahut gue.
“Asal gak berantem di mobil gue aja.” Jennifer menimpali.

Gue, Jamet, dan Jennifer yang notabene berpotensi dikeroyok warga ini pada akhirnya memutuskan panjat pagar. Gak ada yangs sulit dari panjat pagar, satpam pun gak ada. Di dalam sana pasti sedang dilakukan aksi yang rahasia banget, sampai-sampai pos satpam kosong.

Langkah selanjutnya adalah mencari jalan masuk ke dalam rumah. Pintu depan, jendela, dan garasi semuanya terkunci. Gak ada jalan yang bagus juga untuk menjat ke lantai dua atau atap.

“Dobrak aja apa?” Jamet berusul.
“Terlalu berisik.” Kata gue.

Beberapa jendela kami jelajahi. Kalaupun ada yang terbuka, di dalamnya tetap dipasang teralis besi sehingga cuma kucing dan hewan yang lebih yang bisa lewat. Kali ini kami menemui jalan buntu.

Seandainya ada Pur dan Laras di sini. Atau Sigit. Portal yang bisa mereka buat udah memudahkan kami dari tadi.

Hari udah gelap. Maghrib baru aja selesai berkumandang. Sementara itu, kami semua tersangkut di depan pintu masuk. Gelapnya malam hari membuat situasi semakin menegangkan bagi kami semua.

Beberapa chat masuk dari Dani, tapi gak gue hiraukan. Itu masalah pesonalnya sendiri kalau yang ingin dibahas adalah keberadaan dirinya dan Kak Rivin. Dia gak boleh bawa-bawa alasan masih trauma. Kan, dia sendiri yang selalu bilang kondisinya baik-baik aja.

“Gue punya feeling...” Jamet tiba-tiba berbisik.
“Kenapa?” Jennifer mengernyit.
“Sebentar.” Sahut Jamet.

Jamet bejalan perlahan, matanya menyorot ke bawah, dia sepertinya tau apa yang dia lakukan. Kemudian, jJamet berjalan jauh hingga ke tembok pekarangan. Di sela-sela tanaman pagar yang biasa dibentuk-bentuk itu, dia menemukan benda ajaib.

Kunci rumah.

“Itu kunci rumah?” Tanya Jennifer.
“Kayanya sih gitu.” Jawab Jamet.

Jamet memegang kunci yang dia temukan sendiri itu. Begitu kunci dimasukkan ke lubangnya, kami harap-harap cemas. Nyatanya, kunci itu benar-benar bisa diputar di lubangnya. Pintu depan terbuka. Mukjizat.

Kami masuk pelan-pelan ke dalam rumah. Beberapa lampu di ruang depan mati, tapi ada lampu yang menyala di ruang lebih belakang. Begitu juga lampu di lantai atas, karena sorotnya terlihat dari arah tangga.

Gue menoleh ke kanan. Foto keluarga ukuran besar tergantung di tembok. Piguranya berpotongan portrait. Ada satu ayah, satu ibu, dan satu anak perempuan yang mengenakan toga.

Jamet dan Jennifer kemudian merujuk foto anak perempuan di sana.

“Itu Alis.” Kata jamet.
“Iya, yang itu.” Sahut Jennifer.

Gue mengangguk tanda percaya. Sementara itu, gue lebih fokus kepada foto sang ayah yang berdiri di sebelah kanan Alis. Gue sangat mengenali perawakan paruh baya dan wajahnya yang menua. Dialah yang gue temui di Karang Tengah. Dialah yang membunuh nyokap gue.

Dialah Jenggo.

Kurang ajar. Dendam gue meningkat drastis. Sekarang gue udah masuk ke rumahnya pula. Ada anaknya yang bisa gue jadikan umpan agar dia datang. Lupakan dulu melindungi teman-teman. Gue udah beberapa langkah melompat dari misi pencarian selama ini. Gak mungkin kesempatan yang begini emasnya disia-siakan.

Kami terus melangkah masuk lebih dalam. Ada ruangan yang bercabang. Satu menuju dapur, satu menuju tangga, satu lagi ruangan tertutup. Kami gak boleh berpencar agar aman, tapi itu memberi opsi sulit untuk memilih tempat jelajah.

Tiba-tiba terdengar obrolan dua orang berbeda jenis. Si perempuan berceloteh tentang transformasi energi. Awalnya gue kira obrolan itu berupa sains mengacu pada hormon-hormon yang mereka sebut. Kemudian gue jadi ragu begitu mereka mengucapkan hal-hal berupa pengorbanan dan kekuatan super.

“Hafal gak mantranya?” Suara lelaki.
“Gak ada mantra bego, tinggal tusuk aja.” Suara perempuan.
“Tusuk doang gitu? Di jantung?” Suara lelaki lagi.

Mantra? Masa sih mereka sejenis dengan Sigit? Bukannya ini soal obat-obatan Roxxon?

Suara itu bergerak mendekat. Mereka datang dari lantai atas. Kami cepat-cepat bersembunyi di dapur. Gue bisa melihat langkah kaki mereka yang berpijak pada tiap anak tangga. Begitu wajahnya terlihat, kami mengonfirmasi bahwa si perempuan adalah Alis.

Dan mereka berdua telanjang bulat? Kenapa?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd