Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TETANGGA PERKASA

Penyergapan belum selesai
___________________________





Bondan dan anak buahnya lebih menguasai medan. Tentu saja dengan mudah mereka bisa menghindar dari kejaran Pak Hermanto dan kawan kawan. Setiap hari mereka menjelajah hutan rimba dibelakang perkampungan itu, semata demi mempersiapkan seandainya ada penggerebekan dari aparat. Dan seperti kali ini, mereka tidak kesulitan sama sekali menyusuri jalan setapak setengah berlumpur itu, karena mereka tahu persis mana jalan yang bisa dilewati dan mana yang tidak. Mereka juga tahu arah, sehingga langkah kaki mereka semua menuju kearah yang aosti, tidak menerka nerka.

Berbeda dengan para petugas kepolisian yang mencoba mengejar. Sesekali kaki para abdi negara itu terperosok tanah berlumpur, sehingga sedikit banyak hal itu menghambat dan memakan waktu.

Hanya Amin dan Zaid yang bisa berjalan sedikit lebih cepat. Karena kedua lelaki muda itu sudah tidak asing dengan suasana dan juga keadaan alam seperti itu. Tapi tetap saja setelah hampir 15 menit keduanya berjalan, tidak ada tanda tanda bekas jejak rombongan Bondan. Atau mungkin jejak kaki mereka terhapus curah hujan....?.

"Sebaiknya kita berpencar, siapa tau salah satu dari kita berhasil menemukan mereka... ". Amin mengutarakan ide yang sejak tadi terfikirkan.

Zaid mengangguk.. Itu cukup masuk akal.

" Baik.. Kau kekiri, aku kekanan. Kalau ada apa apa, teriak saja yang kuat... ". Ucapnya tersenyum.

Amin terkekeh...

"Aku tak yakin kau akan menolongku...". Balasnya tanpa menoleh, kemudian melangkah ke arah kiri.

Zaid tertawa sedikit terbahak.. Kemudian dia terlihat menggelengkan kepala samar. Dadanya berdenyut.. Perih......



_______________


"Kemana kita Bondan...? ". Tak tahan Pak Wijoyo untuk tidak bertanya. Cukup lama mereka melangkah cepat dijalan berlumpur ditengah hutan ini, tapi belum juga terlihat kemana tujuan Bondan membawa mereka.

"Jalan saja.. Tak perlu banyak tanya... ". Sang pemuda menjawab sambil lalu. Tangan kanannya mengayunkan golok, sibuk membabat dahan dahan nipah yang menghalangi jalan.

Asty, Latifah dan Nirmala tidak lagi bersusah payah menapaki jalan kecil itu, karena tubuh mereka bertiga yang kecil langsing sekarang telah digendong satu satu oleh tiga orang anak buah Bondan yang bertubuh paling kekar dan besar. Bahkan Nirmala terlihat memejamkan mata, mungkin malah tertidur ditengah suasana mencekam saat ini. Dari semalam mereka memang tidak tidur, ditambah lagi harus melayani puluhan lelaki haus itu, fisik dan stamina Nirmala benar benar berada di titik terbawah. Yang luar biasanya, gadis remaja belum ada 20 tahun itu tidak pingsan. Hanya seluruh persendian dan kedua pahanya saja yang terasa linu dan kram.

Hampir 5 kilometer menembus kerapatan hutan dibawah guyuran hujan yang semakin menggila, akhirnya rombongan Bondan sampai di sebuah bangunan bekas shawmill yang sudah lama tidak terpakai.

"Kita berhenti disini, sambil menunggu kabar dari yang lain.. ". Bondan lebih dahulu masuk kedalam bangunan kayu yang cukup besar dan masih terlihat kokoh itu,

Pemuda brewok tinggi besar itu duduk menjelepok begitu saja dilantai tanah yang kering, kemudian mengeluarkan senjata apinya yang sedari tadi terselip di pinggang.

Dengan menggunakan lain bekas yang tadi ditemukannya tersampir di sebuah pancang kayu gelam seukuran lengan yang tertancap di teras, pemuda itu kemudian mengelap pistol kecil itu, berusaha mengeringkannya.

"Gawat kalau si bongkok ini sampai basah dan tidak bisa berfungsi.. ". Ucapnya berlahan ketika melihat mata Pak Wijoyo sedari tadi memperhatikannya.

Melihat itu anak buahnya yang lain kemudian mengikuti apa yang diperbuat oleh sang bos, menggunakan kain bekas pakaian kerja para karyawan shawmill yang banyak tertinggal atau mungkin sengaja ditinggal. Sesekali mereka memutar mutat bagian tengah pistol rakitan itu, memastikan senjata api itu berfungsi dengan baik.

Yang mereka hadapi tidaklah main main. Gabungan Polisi dari Polda dan juga kepolisian perairan yang mengejar mereka pasti akan mengejar sampai ketemu. Jadi, mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik jika ingin selamat.

Wajah wajah sangar itu terlihat tegang. Tidak ada satupun yang bersuara. Sementara Asty, Latifah dan Nirmala duduk bersandar mengelilingi sebuah tiang besar ditengah bangunan. Tubuh dan pakaian mereka basah kuyup, membuat lekuk lekuk badan ketiganya tercetak jelas. Nampak sekali ketiga bidadari itu menggigil kedinginan.

Bondan terpaku menatap ketiga wanita muda itu dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Ada sedikit rasa kasihan, tapi lebih banyak di dominasi oleh nafsu. Apalagi penampakan Asty yang dalam keadaan begitu terlihat sangat membangkitkan gairah.

Siapa yang tak tak tergoda melihat tubuh seorang wanita cantik jelita dalam keadaan basah begitu rupa, rambut rambut halus menempel dileher putih, dan pakaian tipis basah yang menutupi ala kadarnya. Dada Asty terlihat membusung naik turun seiring tarikan nafasnya yang tertahan.

Melihat itu Bondan benar benar telah dibuat mabuk kepayang. Ingin rasanya dia menerkam wanita muda itu dan menggenjotnya membabi buta sampai sang wanita berteriak teriak menahan badai kenikmatan surga dunia yang dihadirkan dari tusukan senjata besar panjangnya. Tapi pemuda itu harus menahan diri..

"Ini bukan saat yang tepat... ". Gumamnya. Sementara Pak Wijoyo tersenyum sinis melihat sedari tadi Bondan tak berhenti memandangi Asty sambil senyum senyum sendiri.

"Kalau saja kau bukan keponakanku, tidak akan pernah ku lepas Asty untukmu, Bondan... ".




_______________


Setelah berhasil melewati hadangan puluhan ibu ibu tadi, Pak Hermanto kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah seluruh gubuk gubuk disekitar situ,.

"Kumpulkan semua barang bukti, jangan ada yang terlewat... ".

" Siap, Ndan....!! ".

Pak Hermanto beserta Pak Iwan dan belasan polisi yang lain kemudian berlari cepat menyusul kerarah tadi Bondan kabur.

Sesampainya kedalam hutan, mereka kemudian berpencar lima lima, jadi ada 3 tim yang kini terbentuk. Sementara sisa yang lain setelah menggeledah gubuk diperintahkan untuk segera menyusul mengejar kedalam hutan, tentu saja tidak semua, karena barang bukti yang ditemukan dan juga kendaraan air yang ditinggalkan harus ada yang menjaga.

Pada kenyataannya para polisi itu telah jauh tertinggal dan kehilangan jejak, tapi sebagai anggota yang terlatih, mereka tentu tak akan menyerah begitu saja, dan berusaha sebisa mungkin menemukan jejak sekecil apapun. Tapi curah hujan yang semakin lebat seperti telah menghapus semua jejak kaki yang tertinggal.

Sejenak Pak Hermanto termangu, kemana dia akan membawa anak buahnya untuk menemukan para bajingan itu...?.

"Maju saja terus... ". Akhirnya polisi senior itu memutuskan. Dan dijawab dengan anggukan penuh semangat oleh empat anak buahnya yang mengikuti.



______________


Zaid melangkah tersaruk saruk, sesekali dia berhenti dan bersandar di rumpun pohon nipah. Tubuhnya sangat kedinginan dan juga lapar...

"Sial, kenapa pula perutku keroncongan segala... ". Pemuda itu meringis.

" Bagaimana aku bisa menghadapi mereka dalam keadaan perut yang lapar...? ". Zaid menyeringai. Kemudian tertawa terkekeh. Tapi kemudian dia menghentikan tawanya mendadak karena telinganya mendengar ada suara suara aneh diantara gemuruh hujan. Pemuda itu kemudian merunduk diantara rumpun nipah, matanya dilayangkan memperhatikan sekeliling.

Jantung Zaid berdetak kencang, sekitar lima belas meter disamping kanan, dia melihat sesosok lelaki yang sedang melangkah cepat menuju kearahnya. Lelaki itu sendirian, mungkin dia salah satu anak buah Bondan yang kabur sendirian terpisah dari rombongan. Atau mungkin salah satu yang keluar dari gubuk selain rombongan Bondan dan rombongan para pengguna locok yang tadi sempat menembaki para petugas.

Suasana hutan yang sedikit gelap ditambah curah hujan yang menghalangi pandangan, membuat lelaki itu tidak menyadari ada orang lain didekatnya. Sejarak dua meter dari tempat Zaid bersembunyi, lelaki itu tiba tiba berhenti.

"Kemana mereka...? ". Laki laki itu bergumam meski terdengar samar samar ditelinga Zaid.

Sementara dia celingak celinguk memerhatikan jalan didepan, Zaid tetap diam bersembunyi diantara kerapatan rumpun nipah. Zaid tadinya tidak bermaksud mengusik lelaki itu, tapi demi menyadari dia adalah salah satu dari penjahat yang sedang dia buru, Zaid tiba tiba berdiri dan melangkah mendekati.

"SIAPA KAU...!! ". Tentu saja laki laki anak buah Bondan itu kaget setengah mati. Tangan kanannya sontak mengeluarkan sebilah golok kecil yang tergantung di pinggang dan menghunus nya. Sementara Zaid yang barusan dibentak hanya tersenyum kecil.

Melihat lelaki didepannya semakin mendekat, si pemegang golok lantas saja menyabetkan senjata tajamnya kedepan.

"MATI KAU... !! ". Teriaknya penuh amarah, karena dia sadar yang muncul ini bukanlah salah satu dari rekannya,

Tapi Zaid sudah siap, sabetan golok itu bisa dia hindari dengan mudah, kemudian tanpa aba aba tangan kanannya yang terkepal meluncur kedepan dan menghantam rahang si pemegang golok dengan keras dan telak sekali. Zaid sendiri sampai terkejut, tak menyangka dia bisa memukul lawan sedahsyat itu. Sejenak Sang lelaki muda terdiam, jumawa.

Dan itu berakibat fatal. Lelaki pemegang golok yang sempat oleng karena hantaman tinju Zaid, dengan cepat bisa menguasai diri. Demi melihat lawan sedikit lengah, kaki kanannya terangkat dan menghajar dada Zaid dengan keras, membuat lelaki muda itu terjengkang kebelakang, jika saja tidak terhalang batang nipah, tentu Zaid telah jatuh terlentang di tanah berlumpur.

Tapi dia tak punya waktu banyak untuk berterima kasih pada rumpun nipah, karena sepersekian detik kemudian sudut matanya melihat kelebatan serangan golok dengan sangat cepat mengincar lehernya.

"Mati aku.... ". Zaid merutuk.

" CRAKKKK...!! ". Terdengar suara golok menghantam sesuatu, Sepasang mata Zaid melotot besar, nafasnya terhenti di kerongkongan. Sekilas dia sempat menyaksikan dalam samar wajah lelaki yang menyerangnya tersenyum tipis mengerikan.



_________________



" Entah kenapa firasatku mengatakan Zaid adalah Deni... ". Amin berjalan dibawah hujan dengan kepala dipenuhi segala macam pemikiran. Saat ini dia berjalan sendiri. Beberapa saat yang lalu dia dan Zaid memutuskan berpencar.

"Itu lebih baik. Terus terang saja tatapan Zaid sangat tidak nyaman... ". Ucapnya lagi dalam hati.

" Sangat mengintimidasi..meski dengan tertawa tawa tapi tatapan itu seperti memvonis... ".

" Tuhan... Apa yang harus kulakukan jika benar dia adalah Deni sahabatku...?. Aku telah sangat bersalah sekali padanya.. Dia begitu mempercayai ku. Tapi aku membalasnya dengan penghianatan.. ".

Amin melangkah tanpa fokus. Benaknya berputar putar. Dia tak memperhatikan kemana kakinya menuju. Lelaki muda itu menangis dibawah hujan. Terlintas semua kenangan dan apa saja yang telah dia lakukan terhadap istri dari sahabatnya itu justru ketika sang sahabat meringkuk didalam penjara.

"Dia di penjara demi menjaga kesucian istrinya, tapi aku sebagai sahabat yang dipercaya malah menodai istrinya... ".

" Sahabat macam apa aku ini Ya Allah...?... ". Amin terisak isak dalam langkah yang tak beraturan.

" Bagaimana mungkin aku mencintai istri sahabat ku sendiri, bahkan bukan hanya mencintai, tapi sudah menyeretnya kedalam jurang perzinahan... ".

" Aku lelaki terkutuk,...terkutuk... ".

" TERKUTUK....!! ". Amin tiba tiba berteriak keras sekali, dengan wajah menengadah menatap langit, kedua tanganya menutupi wajah, kemudian belahan kedua kaki lelaki itu tertekuk, lututnya menyentuh tanah berlumpur.


" HEII... KAU SIAPA....!!? ".

Amin terlonjak kaget mendengar sebuah suara menyapanya dengan keras. Seketika lelaki itu menoleh asal suara, kemudian dengan cepat dia menjatuhkan diri tiarap di tanah becek itu begitu melihat sang penanya ternyata juga menodongkan pistol kearah nya.

"DORRRR....!! ".

Sebuah letusan terdengar. Tapi dari jarak dua puluhan meter tembakan pistol rakitan tidak akan mudah menemui sasaran. Melihat tembakan itu meleset, secepatnya Amin berguling kearah batang pohon yang cukup besar dan berlindung disitu.

Ada jeda beberapa detik dari tembakan satu ke tembakan selanjutnya pada senjata apa rakitan. Karena sang penembak harus memutar sendiri tempat peluru dengan tangan. Untuk memposisikan peluru tepat berada didepan pemantik. Dan itu sudah cukup bagi Amin untuk menemukan posisi yang lebih aman.

Berlahan lelaki pemegang pistol menuju ke arah Amin bersembunyi. Tangan nya teracung kedepan, dengan posisi siap menembak lagi. Dia tidak tahu persis, apakah lawannya masih bersembunyi disitu atau sudah lari menjauh. Yang pasti, dia harus waspada. Lelaki itu masih ingat kejadian penggerebekan 4 tahun yang lalu. Meski mereka berhasil meloloskan diri dari penyergapan Pasukan Brimob yang datang, tapi tak urung anggota komplotan mereka tewas 7 orang. Termasuk putra sulungnya yang waktu itu masih berusia 17 tahun.
Dan dia harus memastikan kali ini bukan dia yang harus menjadi tumbal. Dua anaknya yang tersisa masih kecil kecil, masih butuh perhatian dan kasih sayang dari sosoknya sebagai bapak pengayoman dan pelindung keluarga.

"DIMANA KAU.. KELUAR... !!". Lelaki perpistol rakitan itu berteriak keras sekali. Mengalahkan kerasnya gemuruh hujan dihutan itu. Sementara Amin semakin merunduk dalam dalam berrusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat. Dia tentu tak ingin mati terlalu cepat, sebelum berhasil memastikan wanita yang dicintainya baik baik saja.

Tepat disamping pohon dimana Amin bersembunyi, lelaki setengah baya berusia sekitar 40 tahun yang masih tetap menggenggam pistolnya erat erat sejenak menghentikan langkah. Katanya nanar memandang sekeliling. Curah hujan benar benar mengganggu pandangan. Bahkan tanah becek berlumpur tempat Amin tadi berguling menghindar tidak terlihat lagi bekas bekas dilalui tubuh Amin. Semua tampak sama saja dibawah tetes tetes air yang seolah berebut menerpa bumi.

"Siapa dia..?. Kalau dia adalah salah satu Polisi, kenapa dia justru lari...?.. ". Si lelaki sempat terdengar bicara sendiri.

"Perduli setan.. Awas kalau terlihat. Kutembak kepalanya.kali ini tidak akan meleset.. ".

Amin berlahan sekali mencoba berdiri. Beruntung suara yang dia timbulkan tertindih oleh suara hujan, sehingga lelaki berpistol belum juga sadar jika dirinya sedang di intai maut. Jarak keduanya hanya se penjangkauan tangan. Hanya saja terhalang pohon.

Tepat ketika kilat besar menyambar, disusul gelegar petir berdentum mengerikan, detik itu pula Amin sedikit memajukan badan dan menghantam tengkuk lelaki itu dengan kepalan tangan. Keras sekali karena Amin memukul berbarengan dengan adrenalin nya yang terpacu karena suara petir tadi.

Tubuh lelaki itu tumbang, jatuh ter telungkup ditanah becek. Pingsan. Amin sendiri tersandar dibatang pohon dengan jantung berdetak kencang. Bukan karena telah berhasil merobohkan lawan, tapi karena rasa terkejutnya mendengar suara petir.

"Hffft..... Bisa bisa nya ada geledek disaat aku mau memukul. Apakah aku tak sengaja mengeluarkan pukulan geledek...? ". Amin menyengir lebar.

Amin kemudian memperhatikan keadaan lelaki berpistol. Kepala lelaki yang pingsan itu setengahnya terbenam kedalam lumpur. Dia pasti tak bisa bernafas.

" Masa bodo lah.,Hmmm...Kemana pistolnya tadi...? ". Amin mengedarkan pandang.

Setelah ditemukannya pistol rakitan itu terlempar cukup jauh, Amin lantas memungut dan menyelipkan nya di pinggang. Sebelum kemudian melangkah menjauh, masih sempat dia menggunakan kaki kanannya untuk menekan kepala si lelaki pingsan sehingga terbenam lebih dalam.



____________



Mereka berada di bangunan tua itu telah hampir seperempat jam. Tapi belum ada tanda tanda hujan akan berhenti.

"Kau yakin polisi keparat itu tidak akan menyusul sampai kesini...? ". Pak Wijoyo bertanya kepada sang keponakan.

Bondan yang sedang merangkul tubuh Asty dalam pelukannya lantas mendongak.

" Sampeyan tak percaya saya...? ". Balasnya ketus.

" Bukan begitu. Hanya saja.... ". Pak Wijoyo tak meneruskan ucapannya ketika melihat Bondan bangkit dengan kasar.

" Kalau paman tak yakin, silahkan kabur lebih jauh., Bawa semua anak anak buah sampeyan yang tak berguna itu... ". Sahut Bondan sedikit emosi.

"Sabar.. Sabar.. Aku percaya padamu. ". Pak Wijoyo akhirnya mengalah. Percuma berdebat dengan keponakan keras kepala itu. Apalagi disaat seperti ini. Pak Wijoyo kemudian berpaling ke kanan, dan matanya bertemu pandang dengan Mata Jarot yang memperhatikannya. Tampak adik kandung Bondan itu cuma mengangkat bahu ketika pak Wijoyo seperti meminta pendapat.

Lelaki tua kepala Desa itu akhirnya cuma bisa menghembuskan nafas berlahan.

"Dengar semua...!! ". Tiba tiba Bondan berteriak cukup lantang. Semua matapun menatap kearahnya. Tak terkecuali ketiga wanita yang tengah duduk bersandar di tiang besar.

"Siapa saja diantara kalian yang tidak yakin akan keputusan ku, dipersilahkan pergi dari sini. Cari selamat sendiri sendiri... ". Lanjutnya kemudian sambil tangannya menimang nimang sebilah golok besar.

Tak ada yang bersuara. Semua membisu. Tidak ada satupun yang berani membantah apapun yang dikatakan sang pimpinan.

"Bondan... Bukan begitu maksudku.... ". Pak Wijoyo mencoba mencairkan suasana.

" DIAM PAMAN....!! ".

Pak Wijoyo terlonjak saking kagetnya mendengar bentakan Bondan.

" Paman yang membawa masalah, seharusnya paman ikut apa kataku. Jangan malah menambah ruwet isi kepala... ".

Pak Wijoyo mengangguk. Bondan benar, dia yang membawa masalah kesini. Masih untung Bondan mau terlibat melindunginya. Meski mereka akhirnya harus lari kabur jauh kedalam hutan.

"Semua gara gara Zaid, awas kau.... !!". Pak Wijoyo menyumpah dalam hati.

"Bang Bondan...!! ". Tiba tiba seorang lelaki muda masuk kedalam dengan tergopoh gopoh..

"Ada apa Rio...? ".

"Polisi menuju kesini. Sebentar lagi sampai.. ". Ucap Rio terengah engah.

Bondan kaget setengah mati. Dia sama sekali tidak menduga polisi itu akan terus mengejar.

"Cepat menyingkir...!! ". Tanpa menunggu lama Bondan keluar dari pintu belakang bangunan. Tangannya menyeret Asty dan kemudian berlari menerobos hujan. Disusul kemudian oleh arang orang lain yang berada didalam bangunan tua itu. Tidak ada yang ingin tinggal lebih lama. Semua ingin selamat.

"BERHENTI KALIAN... JANGAN LARI..!! ". Suara teriakan menggema disusul rentetan suara tembakan membahana Ditengah hutan itu. Tapi Bondan dan anak buahnya serta pak Wijoyo beserta yang lain telah kembali menghilang kedalam hutan.

" BAJINGAN..!!. " Itu suara Pak Iwan. Sementara Pak Hermanto yang datang belakangan hanya menggelengkan kepala seolah tak percaya.

"Licin sekali mereka... ". Gumamnya.


" DOR...!!.. DOOR...!!.. DOOR....!! ".

Tiba tiba terdengar beberapa kali tembakan dari sebelah kiri. Sepertinya anak buah Bondan yang lain juga telah tiba ketempat itu. Tapi sedikit terlambat, karena polisi telah mendahului.

Sontak Pak Hermanto memberi aba aba kepada anak buahnya untuk berlindung. Tapi Suara tembakan terhenti. Sepertinya para penembak lebih memilih menyusul kearah Boss besarnya berlari.

"Kejar terus, balas tembakan mereka... !!. ". Perintah Pak Iwan terdengar kepada anak buahnya kemudian.

Pak Hermanto menatap Pak Iwan sejenak, dan dibalas senyum lebar oleh polisi muda itu. Bagaimanapun Pak Hermanto adalah seniornya, pangkat nya saja jauh diatasnya. Pak Iwan merasa beruntung bisa terlibat urusan ini bersama Pak Hermanto, seorang AKBP. Setidaknya jika misi ini berhasil, dia bisa berharap promosi dari sang Ajudan Komisaris Besar... Pak Iwan tersenyum membayangkan itu... Dan kemudian senyumnya berubah jadi kekehan geli.

"Bisa keluar dari hutan ini hidup hidup saja belum tentu, malah mikir segala macam promosi kenaikan pangkat... Hehehehe... ". Polisi muda berpangkat Aipda itu semakin geli tertawa.


"Ayo bergerak, malah tertawa tawa macam orang gila kau.... ". Pak Hermanto berucap sembari mengulum senyum. Sebagai polisi senior, dia sedikit banyak bisa membaca isi hati sang Aipda. Sekilas kelakuan Danpospol muda itu mengingatkan Pak Hermanto memori jaman dahulu, ketika dia masih baru jadi polisi dan ditugaskan di Aceh. Prestasi yang dia raih ketika itulah yang membuat pangkatnya naik lebih cepat. Jika mengikuti jenjang karir kepolisian normal, sampai pensiun pun Pak Hermanto tidak akan mencapai pangkatnya yang sekarang. Paling banter Inspektur. Entah Ipda Atau Iptu. Pak Hermanto malas menghitung.




________________


"CRAKKK..!! ".

Mata Zaid melotot lebar, temgkuknya terasa dingin.

" Apakah aku sudah mati...?".

Bertahan kepala Zaid berputar,, pandangan matanya kabur. Bahkan wajah lelaki yang barusan mengayunkan golok tidak dia perdulikan.

Sedetik kemudian nyawa Zaid seperti kembali kedalam raga begitu pandangan matanya yang sedikit buram membentur sebilah golok yang tertancap di pangkal batang nipah sebesar bantal guling. Dia belum mati, golok itu tidak mengenai lehernya, golok itu terhalang batang nipah.

Zaid seperti akan berteriak kegirangan menyadari dia masih hidup. Semangat nya kembali tumbuh dengan cepat.

Kemudian dengan sisa tenaga Zaid nekad menyambar gagang golok, saling berebut dengan pemilik asli, dan demi nyamuk nyamuk hutan tropis, entah siapa yang menduga ternyata Zaid lah pemenang ajang perebutan golok itu.

Kali ini senyum dingin terukir di wajah Zaid yang berlahan mengeras, memperlihatkan aura kekejaman yang selama ini tidak pernah terlihat di wajah lembutnya.

Lelaki penyerang tersurut mundur, wajahnya pucat pasi. Matanya kini yang ganti membeliak ketakutan ketika tangan kanan zaid yang memegang golok mulai terangkat.

"JA.. JANGA....... ".

" CRASSSSS".

Ucapan laki laki itu tak akan pernah terselesaikan.
Tubuh tinggi besarnya ambruk, darah mengalir deras dari luka besar yang menganga di pangkal leher sebelah kiri nya.

Zaid terpaku dengan tubuh bergetar. Bergetar karena dingin, ditambah pula kenyataan sekarang dia telah membunuh orang. Golok yang barusan dipakai membacok leher orang pun tanpa sadar terlepas dari genggaman.

Zaid gundah, mati matian dia berusaha membuang segala macam rasa bersalah yang mencoba menggoyahkan tekadnya. Orang ini adalah penjahat, dia pantas mati.. Begitu bunyi kalimat yang sengaja diulang ulang oleh Zaid didalam hati, sambil lelaki muda itu meneruskan langkah mengejar penculik Asty dan dua gadis lainnya.




______________



Puluhan amak buah Bondan yang kabur dari dalam gudang terlihat lari tunggang langgang. Pak Wijoyo sendiri mengambil arah lain. Dia mencoba memisahkan diri, berharap bisa mengecoh orang orang yang mengejar. Dan sepertinya apa yang dia harap benar benar terjadi. Puluhan anggota polisi berlari cepat menerobos semak belukar dan pohon pohon gelam yang tumbuh rapat. Sama sekali mereka tidak memperhatikan bahwa ada sosok Pak Wijoyo yah mendekam didalam gerombolan tumbuhan perdu. Fokus para anggota kepolisian itu adalah rombongan terbanyak.

Beberapa kali letusan senapan laras panjang terdengar, beberapa kali pula Bondan harus merunduk runduk mencoba berlindung dari ancaman peluru. Anak buahnya yang Bersenjata api rakitan dan senjata laras panjang sejenis locok tentu tak mampu mengimbangi senjata api yang digunakan oleh para pengejar.

Semakin jauh kedalam hutan, semakin keras pula kontur tanah yang dipijak. Itu memudahkan Bondan dan anak buahnya berlari secepat mungkin. Asty yang masih digeggam tangannya oleh sang pimpinan bajak laut sampai terseret seret tak bisa mengimbangi kecepatan lari lelaki itu.

Pertama kali, Latifah lah yang terlepas dari rombongan. Dia tertinggal dan anak buah Bondan tak ada yang berani berbalik arah untuk membawanya kembali. Laki laki kekar yang tadi memegang tangan Latifah hanya bisa terpana melihat gadis itu sekarang telah berada di antara para polisi. Beberapa polisi memutuskan untuk berhenti mengejar dan memeriksa keadaan putri Kyai Thoriq itu. Kemudian setelah memastikan Latifah tak kurang suatu apa, tiga orang polisi kemudian berbalik arah menuntun Latifah menuju tempat yang lebih aman. Sementara anggota yang lain terus mengejar dengan sesekali mengeluarkan tembakan membuat anak buah Bondan semakin kocar kacir dan terpencar biar.

Bondan sekarang hanya berlari kecil berdua dengan Asty. Tidak ada lagi anak buahnya yang mengikuti. Tidak terlihat juga Pak Wijoyo dibelakang mereka.

"Baguslah.. Aku jadi lebih leluasa menghilangkan jejak... ". Pemuda itu menghentikan langkah, kemudian sambil masih menggenggam erat tangan Asty, dia kemudian mengambil jalan memutar, sedikit berbalik arah untuk mencoba mengelabui para pengejar.



______________


Di bagian sisi hutan yang lain, tak berapa jauh dari bangunan tua. Zaid menajamkan pendengaran ketika samar samar seperti ada beberapa kali suara tembakan. Hatinya resah. Secepat mungkin Zaid menuju kearah suara itu. Dia tidak ingin terlambat. Asty dan dua gadis lainnyalah yang dia khawatirkan.

Belum jauh lelaki muda itu berlari, tiba tiba langkah kaki nya terhenti. Didepannya, sekitar sepuluh meter berdiri sesosok lelaki setengah baya tegak menghadang. Ditangan lelaki itu tergenggam sebuah pistol.

"Pak Wijoyo....? ". Zaid tercekat. Lidahnya kelu ketika melihat kepala Desa Rahayu itu melangkah berlahan mendekati dengan pistol ter acung siap menembak.

" Hehehehe.... Kita ketemu disini Zaid... ". Pak Wijoyo tertawa, entah apa yang lucu menurutnya.

" Aku muak sekali padamu, bangsat... ". Suara Pak Wijoyo pelan, tapi penuh tekanan.

"Aku sudah berbaik hati padamu, tapi apa balasan mu..?, kau penghianat...!! ". Tambahnya lagi.

" Pak Wijoyo, anda memang pantas mendapatkannya.. Jadi jangan salahkan saya... ". Zaid sengaja meladeni kata kata Pak Wijoyo, berharap bisa sedikit mengulur waktu.

" SETAN KAU.... !! ". Kali ini Pak Wijoyo membentak.

Mereka kini hanya berjarak satu meter saja. Tatapan tajam beradu, dan zaid mendongak menantang ketika moncong pistol ditangan Pak Wijoyo menyentuh pertengahan keningnya.

"Ucapkan kata terakhir, sebelum kepalamu ku bolongi... ". Pak Wijoyo berucap, kemudian tertawa mengekeh.

" Hei... Siapa kau...? ". Tak sengaja mata tua Pak Wijoyo melihat ada keanehan di wajah Zaid. Tangan kirinya kemudian terulur, menyentuh lapisan tipis di wajah itu yang tidak lagi terpasang sempurna karena tertimpa air hujan. Dalam keadaan dibawah todongan pistol, Zaid tidak biasa berbuat apa apa, dia hanya membiarkan ketika Pak Wijoyo mulai menarik lapisan tipis itu hingga berlahan lahan terlepas.

"BANGSAT...!! ". Tiba tiba Pak Wijoyo memaki keras.

" Rupanya kau...... Ah, sialan kau....!! ".

" BUKKK... ".

Tubuh Zaid terjengkang jatuh ketika hantaman tinju Pak Wijoyo mendarat telak di dagunya. Cepat sekali, sehingga Zaid sama sekali tak sempat bergerak menghindar.

" BRUKKKK...!! ". Tanpa bicara Pak Wijoyo kembali menerjang, kali ini perut Zaid menjadi sasaran tendangan.

" BRUKKK..!! ".

" BRUKKK..!!.

Dua kali lagi tendangan susulan mendarat di perut, kemudian ditambah satu injakan keras di dada.

"Mati kau sekarang....!! ".

" KLIK... "

Tak ada peluru yang keluar. Senjata api rakitan itu tidak meletus, mungkin karena basah. Atau karena macet, atau juga karena tidak ada peluru di lobang kecil yang selurusan dengan pemicu.

Pak Wijoyo sejenak memeriksa senjata ditangannya, memutar mutar sedikit, kemudian kembali di acungkan, kali ini kearah bawah, karena Zaid masih terbaring terlentang dengan dada terinjak.

Tepat ketika pelatuk akan ditarik, tiba tiba...

"BERHENTI...!! JANGAN TEMBAK...!! ".

" DORR...!! ".

" AKHHHH..!! ".

" TIDAAAAAKKKK...!! ".

Asty meronta, melepaskan tangan Bondan yang mencekal pergelangannya, kemudian berlari laksana kerasukan setan menuju kearah Zaid yang terdengar berteriak kesakitan. Zaid adalah segalanya bagi Wildan Anaknya, Asty tak ingin lelaki itu kenapa napa.

Pak Wijoyo sempat terkejut, tapi kemudian beringsut mundur demi melihat Asty berteriak histeris dan memeluk tubuh Zaid yang berdarah darah.

Tapi wajah histeris itu sedetik Kemudian berubah pucat pasi ketika menyadari siapa pria muda yang dipeluk di pangkuannya.

Asty mengucek mata, memejam kemudian kembali membuka, dia tak yakin ini adalah nyata. Tapi begitu pandangan matanya kembali membentur seraut wajah yang selama hampir satu tahun ini dia rindukan, tangis nya kembali pecah, Asty meraung.. Menangis sejadinya.

"MAS DENIIIIIII....... !! ".




Bersambung..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd