Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TETANGGA PERKASA

Tumbangnya Sang Perkasa
___________________________




Sejenak waktu seakan berhenti berputar. Bahkan tetesan air hujan seperti melambat. Lambat sekali, seperti tak tega membasahi wajah Asty yang menengadah menatap langit sembari menangis meraung raung.

Tangan Zaid yang ternyata adalah Deni sang suami tercinta terlihat sedikit bergerak. Dia mencoba menyentuh wajah samg istri, bibir lelaki muda itu bergerak seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar.

Wajah itu semakin berubah pucat dengan bibir membiru. Sinar matanya sayu diantara basah air hujan.

"Is..triku....Jangan.. Me.... nangiiss... ". Susah payah Deni menyelesaikan kalimatnya, membuat hati Sang istri semakin tersayat sayat. Darah merah semakin deras keluar sari luka tembak di dada sebelah kiri Deni. Darah itu menggenang bercampur air hujan, membuat merah warna air berlumpur disekitarnya.

"JANGAN CENGENG...!! ". Tiba tiba tubuh Asty tersentak, tertarik kebelakang, akibatnya kepala Deni yang tadi berada dipangkuannya jatuh terhempas ketanah becek. Mata lelaki itu terpejam, wajahnya terlihat jelas menahan sakit yang teramat sangat.

" Biarkan dia mati, dan kau akan hidup selamanya bersamaku... Hahaha....!! ". Bondan tertawa terbahak bahak kemudian menarik tubuh Asty berdiri dalam pelukannya. Tentu saja wanita itu meronta, tapi dekapan sang lelaki terlalu kuat untuk dilepaskan.

" BUNUH DIA PAMAN...!! ". Perintah Bondan kepada Pak wijoyo kemudian.

Pak Wijoyo maju selangkah, sekarang tubuh Deni tepat berada di ujung kakinya.

" Tamat Riwayat mu cecunguk...!! ".

Tapi sebelum ajal berpantang mati.. Disaat pelatuk pistol sepersekian detik lagi akan ditarik, tiba-tiba dari samping kanan melesat cepat sesosok bayangan yang langsung menerjang Pak Wijoyo dengan tendangan keras. Tubuh tua itu terpental jatuh, pistol ditangannya terlepas entah kemana.

"SETAN... SIAPA KAU...?!! ". Bondan tentu terkejut bukan main. Dia tidak menyadari akan ada orang yang datang. Pandangannya terlalu fokus kepada Pak Wijoyo yang tadi bersiap menembak kepala Deni, sehingga situasi itu dimanfaatkan dengan baik oleh sosok yang baru saja datang dengan terjangan kaki, menggagalkan niat Pak Wijoyo.

*****

Beberapa saat sebelumnya........

Amin terkejut dan menghentikan langkah ketika melihat Pak Wijoyo sedang menodongkan pistol ke arah Zaid yang tergeletak ditanah, dengan dada yang terinjak kaki. Kemudian lelaki itu memutuskan bersembunyi ketika melihat Asty datang bersama seorang pemuda, dan bersamaan dengan itu suara tembakan terdengar. Disusul jeritan Asty yang menghambur kearah Zaid.

Amin terkesiap kaget ketika mendengar Asty meraung menyebut nama suaminya..

"MAS DENIIIIII.....!! ".

Wajah Amin memucat. Dugaannya benar ternyata. Zaid adalah Deni yang menyamar. Dalam kagetnya Amin tetap bersembunyi sambil memperhatikan apa yang terjadi. Dadanya bergemuruh dengan sejuta macam rasa yang tak terlukiskan.

Dan ketika kemudian Pak Wijoyo bermaksud kembali menembak, Amin tak tahan lagi untuk berdiam diri di persembunyian. Dengan sekuat tenaga lelaki muda itu melesat cepat menerjang tubuh Pak Wijoyo, membuat tubuh tua Kepala Desa bajingan itu terpental, terpelanting cukup jauh.

Tapi Amin tak bisa lama berpuas diri. Bentakan Bondan membuatnya sadar, posisinya telah dalam bahaya besar. Pemuda sangar itu mendekati Amin ynag terpaku bingung harus berbuat apa. Pistol ditangan Bondan membuat Amin tak leluasa mengambil tindakan.

*****

"Demi Allah.. Jika aku harus mati, aku rela. Asal Deni selamat... ". Amin berucap dalam hati. Matanya memerah, hilang sudah rasa takut dan keraguan di hatinya, dengan wajah kelam lelaki itu memutar kepala menatap tajam kearah Bondan yang melangkah mendekatinya.

"Katakan siapa kau, sebelum peluru ini menembus kapalamu... ". Ucap Bondan dingin.


" Aku malaikat maut mu... ". Jawab Amin tersenyum sinis..

" HAH...?!.. HAHAHAHAHA...... ". Bondan tergelak.

" GAGAH SEKALI BICARAMU BANGSAT...!! ". Bondan kembali membentak.

" Aku ingin lihat apa yang bisa kau lakukan... ".

Kemudian.......

" DORR...!! ".

Kaki kanan Amin tertekuk karena betis nya terhantam peluru. Perih dan panas, seketika kaki itu seperti mati rasa. Sekuat tenaga sang lelaki muda berusaha bertahan agar tidak tumbang.

" Giliranku Bondan, biar aku yang menghabisi kecoa itu... ". Pak Wijoyo telah kembali tegak berdiri. Lelaki tua itu melangkah mendekati Amin yang mengembungkan rahang menahan sakit. Dibawah hujan, tangan kanan nya meraba pinggang. Hatinya sedikit lega ketika mendapati pistol yang tadi dia pungut masih terselip disitu.
"Mudah mudahan pistol ini masih berfungsi. Jika rusak, aku tak punya harapan lagi..". Lelaki itu membathin.

Mendung semakin tebal membuat langit semakin gelap, suasana didalam hutan itupun semakin mencekam. Di kejauhan terkadang masih terdengar suara rentetan tembakan senjata laras panjang yang Sesekali dibalas dentuman tunggal. Sepertinya para pengejar sudah berhasil mendekati buruannya. Teriakan teriakan lantang, bersahutan dengan suara teriak kesakitan. Mungkin ada yang Tertembak, mungkin ada juga yang meregang nyawa terhajar peluru.

"Cepat selesaikan, dan kita lekas pergi dari sini... ".

Bondan lantas mengedarkan pandangan dengan sorot mata gelisah.

Pak Wijoyo meraih golok besar yang tergantung di pinggang Bondan. Dengan golok ditangan, lelaki tua itu kemudian melangkah mendekati Amin yang masih berdiri tegak meski terlihat mulai goyah.

Berjarak se penjangkauan tangan, dengan sekuat tenaga Pak Wijoyo mengayunkan golok berkilat itu ke arah pangkal leher Amin yang diam tak bergerak. Bondan memalingkan wajahnya, agak mual perutnya jika harus melihat darah tersembur dari leher yang nyaris putus. Meski sebagai Pimpinan bajak laut, tak pernah Bondan membunuh korbannya dengan senjata tajam. Dia selalu menggunakan pistol jika memang harus membunuh.

Sedangkan Asty berteriak tertahan..

"MASS.....!! ". Mata indahnya yang basah membeliak lebar melihat mata golok yang sangat tajam itu sebentar lagi akan membabat leher lelaki yang selama ini telah sering berbagi kehangatan dengannya.

Tapi Amin bukan sedang dibawah pengaruh hipnotis, mustahil dia akan diam saja ketika akan di bacok pangkal lehernya. Meski kaki kanan yang tertembak tadi masih tidak bisa digerakkan dengan leluasa, anggota tubuh yang lain masih berfungsi dengan baik.

Dua jengkal lagi serangan golok akan datang, secepat kilat sang pria muda menjatuhkan diri ketanah sehingga mata golok lewat sedikit diatas rambut kepalanya. Tubuh Pak Wijoyo sampai sedikit terputar kebelakang saking kuatnya dia mengayunkan golok dan tidak menemui sasaran.

Dan itu adalah putaran terakhir, ketika lelaki tua itu mencoba berbalik, suara letusan keras terdengar sangat dekat sekali. Pak Wijoyo terkesiap,telinganya berdengung membuat alam semesta serasa berhenti bersuara. punggungnya terasa dingin. Sekejap kemudian rasa dingin itu berubah menjadi panas, perih dan sakit sekali. Tubuh tua itu bergetar sesaat..

"K... KAU...... UHH......!! ".

" BRUKKKK...!! ". Pak Wijoyo jatuh tertelungkup di tanah, kedua kakinya melejang lejang sesaat, kemudian diam dengan golok yang masih tergenggam.

" PAMAAAN..... ". Bondan berteriak histeris. Meski tidak begitu akrab selama ini, tapi Pak Wijoyo adalah satu satunya saudara kandung bapaknya yang masih hidup. Artinya Pak Wijoyo adalah pengganti bapaknya di dunia ini.

" KUBUNUH KAU BANGSAT....!! ". Dalam emosi yang memuncak, Bondan lupa untuk menggunakan logika. Meski ditangannya tergenggam pistol, tapi pemuda berwajah sangar itu malah memutuskan menerjang Amin dengan sebuah tendangan keras kearah kepala. Amin yang masih terduduk di tanah setelah menembak punggung Pak Wijoyo secepatnya berguling menyelamatkan diri. Dia coba menarik pelatuk pistol ditangan, tapi senjata api rakitan itu tidak berfungsi. Mungkin tadi peluru nya memang cuma tersisa satu, tapi Amin tidak punya waktu untuk memeriksa..

Melihat Bondan akan kembali menyerang, Amin yang sudah berhasil berpindah tempat sedikit menjauh dengan bersandar di rumpun nipah kemudian melemparkan pistol ditangannya kearah kepala Bondan dengan sekuat tenaga.

"BLETAKK....!! ". Pistol itu tepat menghantam kening sang pimpinan bajak laut. Curah hujan dan suasana yang temaram membuat Bondan tak melihat jelas kemana arah lemparan, sehingga dia terlambat untuk mengelak, dan harus merelakan kening lebarnya benjol dan pecah berdarah terkena kerasnya gagang pistol. Tentu saja hal itu membuat Bondan gelagapan. Pandangan matanya terhalang cucuran darah yang bercampur air hujan.

Disaat Bondan sedikit lengah karena sibuk mengusap darah yang membasahi sekitar mata, Amin memaksakan diri untuk bangkit berdiri dengan bertopang satu kaki dan tangan berpegangan pada dahan nipah yang tumbuh menyerong kesamping. Secepat itu pula sang pria muda tampan itu melejangkan satu kaki untuk maju kedepan menubruk badan besar Bondan yang masih belum siaga. Tangan kirinya berhasil mencekal pergelangan tangan Bondan yang memegang pistol ketika kedua tubuh laki laki perkasa itu jatuh saling tindih di genangan air hujan.

Kedua laki laki itu berguling guling bergumul untuk saling melumpuhkan. Kadang Bondan yang diatas, kadang juga Amin. Sementara Asty menyaksikan kejadian itu dengan tegang. Kedua tubuh laki laki yang saling berebut untuk menjadi sang pemenang itu telah tak karuan rupa terbalut lumpur. Hanya kedua pasang mata yang masih terlihat putihnya.

Tak ada satupun yang menyadari, Jarot telah berdiri tegak tak jauh dari situ dengan pistol yang siap menembak. Tapi pemuda itu ragu karena gerakan Bondan dan Amin sangat cepat berubah posisi. Jarot tentu tak mau salah tembak.

Asty yang lebih dahulu menyadari kedatangan Jarot. Mata sang wanita muda cantik mungil itu menatap dengan takut takut dan kemudian tubuh basah kuyup nya jatuh lunglai ketanah. Tak jauh dari posisi Deni tergeletak.

Asty merasa hilang sudah harapan untuknya bisa selamat. Bahkan kehadiran Jarot dengan senjata siap tembak membuat keselamatan Amin dan Deni berada di ujung tepian jurang kematian. Meski Asty tidak bisa memastikan apakah Deni suaminya bisa bertahan, tapi barusan tadi Asty melihat jari tangan suaminya sedikit bergerak mengepal. Itu pertanda kalau sang suami masih bernafas.

Suara jatuhnya tubuh Asty menarik perhatian Deni. Dan wajah itu berlahan menoleh, Seketika sepasang mata Deni berubah nyalang begitu mengetahui kehadiran Jarot.

Sakit dan perih akibat luka tembak di dada kirinya seakan langsung menghilang, amarah dan dendam kesumat membuat Deni seperti mendapatkan tenaga Baru. Meski tenaga itu hanya bisa digunakan untuk merubah posisi badannya menjadi tertelungkup. Itupun harus dengan susah payah..

Asty yang terduduk lemas mengetahui pergerakan Deni, tapi dia hanya diam tak mampu bersuara, Asty takut akan menarik perhatian Jarot yang masih berusaha membidik dengan benar.

Tak begitu jauh didepannya Deni melihat sesuatu berwarna keperakan tergeletak setengah tenggelam didalam lumpur. Lelaki muda itu semakin bersemangat begitu bisa memastikan benda itu adalah pistol milik Pak Wijoyo yang tadi Terlempar jatuh akibat terjangan Amin.

Sekuat tenaga Deni menggerakkan tangan dan kaki nya, berusaha untuk merayap maju mendekati pistol itu. Dia ingin meraihnya, tapi senjata api rakitan itu masih diluar jangkauan tangannya.

Asty masih diam dengan tatapan tegang. Matanya tak lepas memperhatikan apa yang dilakukan sang suami. Dia kawatir pergerakan Deni diketahui oleh Jarot. Habis sudah kalau sampai dia tahu.

"Terus Mas... Terus... ". Asty menyemangati dalam hati. Dia menahan nafas ketika tubuh Deni kembali berhasil bergerak maju sedikit lagi.

Kini pistol berwarna putih perak itu sudah berada dalam genggaman Deni. Masih dalam keadaan tertelungkup lelaki itu mengarahkam bidikannya tepat di kepala Jarot. Tangan Deni bergetar hebat. Tenaga hampir habis. Pandangan matanya pun semakin buram tidak jelas. Selain fisiknya yang lemah karena sudah cukup banyak kehilangan darah, curah hujan bercampur tanah berlumpur juga menutupi sebagian matanya. Belum lagi rambut Gondrong yang basah tersibak kedepan menutupi wajah.

Deni memaki dalam hati ketika merasakan sangat kesulitan untuk sekedar sedikit mengangkat tangan yang menggenggam pistol.

***

Pergumulan Amin dan Bondan masih berlangsung seru. Pistol dalam genggaman telah terlempar entah kemana. Dalam satu momen beberapa saat yang lalu Amin sempat berada diatas tubuh Bondan dan dalam posisi duduk. Tak urung kesempatan itu digunakan sebaik baiknya. Dengan membabi buta Amin menghajar wajah Bondan dengan kepalan tinju, membuat mata dan bibir serta hidung Bondan biru lebam dan berdarah. Sedangkan luka robek di keningnya semakin lebar.

Pada saat itulah pistol Bondan terlepas dari genggaman. Bahkan Amin sendiri tidak menyadari. Mungkin sekarang pistol itu telah terbenam dalam lumpur terinjak injak.

Tapi pada momen selajutnya, giliran Amin yang harus menerima pukulan Bondan diwajahnya. Pemuda kekar itu menghajar Amin laksana kesetanan. Kepala selingkuhan Asty itu berulang kali terhempas dihantam tinju. Wajah tampan itu nyaris tak berbentuk lagi. Tak ada lagi senyum diwajah itu. Hancur pecah pecah bercampur lumpur. Dan Bondan kemudian menghentikan pukulan nya ketika menyadari lelaki musuhnya itu tak bergerak lagi.

"Huhhh... Bikin kotor badanku saja... ". Pemuda itu lantas bangkit berdiri dan mengusap usap wajahnya yang kotor berlumur darah.

"Jarot... Sejak kapan kau disitu...? ". Bondan sedikit kaget mendapati sang adik berdiri tegak berkacak pinggang menatap nya dengan senyum terkembang lebar.

"Kakak luar biasa... Hehehe.. ". Bukannya menjawab, Jarot malah tertawa cengegesan. Dalam hatinya lega, karena sang kakak berhasil melumpuhkan lawan.

Tiba tiba....


" DORR....!! ". Pistol ditangan Deni menyalak, melesatkan sebutir timah panas yang dengan sangat cepat menembus dada Jarot yang bidang dan berbulu. Tubuh besar itu terjengkang kebelakang.. Diam tak bergerak lagi. Mati....


Bondan terkesiap dengan wajah sepucat mayat. Pemuda itu kaget bukan kepalang melihat sang adik tersayang tumbang.

"JAHANAM....!! ". Matanya melotot besar menatap Deni yang baru saja menamatkan riwayat adiknya. Sejenak Bondan bermaksud menerjang Deni sebelum lelaki itu kembali menembak. Tapi Bondan kemudian melihat tangan yang memegang pistol itu terkulai dan jatuh ketanah berbarengan dengan kepala Deni yang lunglai kebawah. Pria itu kehabisan tenaga. Mungkin sudah pingsan kelelahan.

Bondan lantas menghambur mendekati tubuh sang adik, dan ketika mendapati kenyataan sang adik benar benar telah tak bernyawa, pemuda itu meraung kencang...

"SETAN JAHANAAAAMMMMM..!! ".

Asty sampai terlonjak kaget mendengar Bondan berteriak kalap. Tubuh mungilnya mengkeret ketika tatapan tajam dari sepasang mata merah milik Bondan menghujam penuh amarah.

" Ini semua gara gara kau betina sialan..!! ". Telunjuk Bondan menuding kearah Asty yang ketakutan setengah mati. Lelaki itu lantas bangkit berdiri dan mendekati Asty setelah sebelumnya tangannya meraih golok yang tergenggam ditangan Pak Wijoyo yang telah sedari tadi kaku keras tak bergerak.

"Kau layak mati keparat...!! ". Hilang sudah segala macam niat untuk menjadikan Asty sebagai pendamping hidupnya. Yang ada sekarang tinggal lah rasa benci yang berkobar kobar. Baru saja dia kehilangan sang paman, kini adik nya pula yang mendahului menghadap Sang Pencipta.

Bondan melangkah lebar lebar. Dia bermaksud memenggal kepala Sang Wanita terlebih dahulu, baru kemudian mencincang cincang tubuh dua lelaki yang saat ini terlihat sudah tidak berdaya.

Melihat situasi yang genting, Asty berdiri berlahan dengan sisa sisa tenaga dan beberapa cuil keberanian yang terkumpul, serta didorong oleh kenekatan dan pertimbangan lebih baik melawan kemudian mati dari pada berdiam pasrah dan akhirnya mati konyol juga.

"AKU LAWAN MU PRIA BANCI...!! ".

Bondan menghentikan langkah dan menoleh cepat ke asal suara. Dilihatnya lelaki yang tadi bergumul di tanah becek melawannya kini telah berdiri tegak bersandar di sebatang pohon Gelam seukuran paha yang berdiri tegak diantara rimbunnya rumpun nipah.

" AYO LAWAN AKU, JANGAN CUMA BERANI MENYAKITI PEREMPUAN...!! ". Keras ucapan lelaki itu dan berhasil membuat merah dan panas telinga Bondan. Meski terlihat gontai, Amin bisa berdiri tegak dan mendongakkan kepala sedikit menantang meski wajahnya babak belur tak berbentuk.

" TAII....... !! ". Emosi Bondan semakin tak terkendali. Serta merta keponakan Pak Wijoyo itu berlari cepat kearah Amin dan kemudian membacokkan golok dari atas kebawah. Bondan ingin membelah kepala orang.

Si pemilik kepala menyeringai. Dengan cepat tubuhnya berkelit kesamping. Meski telah berusaha bergerak secepat mungkin, mata golok masih sempat menyerempet bahunya. Rasanya perih, tapi tidak cukup berpengaruh karena luka tembak sedikit dibawah lutut kanannya terasa jauh lebih perih.

Mendapati bacokan goloknya hanya menyerempet bahu lawan, Bondan semakin tersulut emosi. Dikibaskannya kembali golok menyamping membabat kearah pinggang, tapi Bondan salah Perhitungan. Dalam emosi yang membuncah Bondan tak memperhatikan keadaan sekitar nya, tak urung gerakan sekuat tenaga justru membuat golok ditangan terpelanting jauh entah kemana karena sikutnya menyenggol tandan buah nipah. Ngilu sekali sikut itu terasa, dan ketika sedang menyeringai, tiba tiba hantaman tinju mendarat telak di pertengahan batang hidungnya.

Sang lelaki sangar berangasan terjajar mundur selangkah. Nafasnya sesak, darah menyembur dari kedua lobang hidung. Seandainya Amin dalam kondisi segar bugar, tentu saja Bondan telah habis kena hajar. Tapi tenaga Amin kenyataannya telah habis, melayangkan tinju sekuat tenaga telah menguras seluruh sisa sisa daya tahan tubuhnya. Amin tersandar lunglai diantara batang batang nipah yang menyangga tubuh Letihnya, jika tidak ada penopang, tentu saja dia telah ambruk jatuh kembali ke tanah basah.

Sepasang matanya hanya bisa menatap nanar kearah Bondan yang telah kembali kokoh tegak berdiri dan mulai melangkah mendekati.

Sedetik kemudian hujan pukulan dan tendangan meluluh lantakkan tubuh Amin yang tak mampu lagi bergerak kemana mana karena posisi badannya yang semakin terjepit diantara batang batang nipah yang pangkal pohonnya sebesar galon air. Tak ada suara yang keluar dari mulut sang lelaki muda, bahkan hanya untuk sekedar mengerang lirihpun Amin sudah tak sanggup. Matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat.

Tiba tiba Amin dalam kesadaran yang tinggal sedikit merasakan hujan pukulan itu berhenti. Tapi matanya yang bengkak tak lagi bisa dibuka untuk melihat apa yang terjadi. Dalam hujan yang masih bergemuruh disertai gelegar petir yang tak keras tapi panjang, tak ada suara lain yang ia dengar.

Sementara dibelakang tubuh Bondan yang kaku tak bergerak, Asty berdiri sempoyongan dengan golok berlumur darah di genggaman tangan kanan. Wajah samg wanita tertunduk menatap tanah, rambutnya yang panjang hitam tergerai kedepan menutupi wajah. Ada seringai mengerikan tampak dari sepasang bibirnya. Diantara rambutnya yang basah, sekilas terlihat tatapan mata yang menyorot tajam berwarna sedikit merah.

Deni yang sebenarnya masih dalam keadaan sadar meski lemah, menyaksikan semua apa yang terjadi. Disaat Bondan membabi buta menghajar Amin, Asty berdiri berlahan dan melangkah kedepan memungut golok Bondan yang tertancap di tanah. Tubuh mungil itu melangkah mendekati Bondan dari belakang, berlahan sekali tapi penuh aura kematian. Dan detik berikutnya tubuh besar lelaki kepala bajak laut itu tersentak kaku, pangkal lehernya sebelah kanan muncrat mengeluarkan darah ketika hantaman golok mendarat telak tanpa aba aba. Kedua tangan Bondan terkepal erat, tapi tubuh itu sama sekali tak bergerak.

Berlahan tubuh besar itu miring ke kiri. Kemudian kaki kirinya tertekuk membuat tubuh itu terjatuh kebelakang dengan keras menghantam tanah berlumpur. Asty tersurut mundur dua langkah. Dadanya berdesir kencang melihat sepasang mata Bondan membeliak melotot dengan mulut ternganga lebar. Ada gurat ketakutan luar biasa tergambar jelas diwajah sangar itu. Rasa takut yang amat sangat ketika didatangi malaikat maut.

Mata yang melotot besar itu bersirobok dengan pandangan mata Asty yang masih berdiri dengan tubuh goyah, tangan kanan Bondan berlahan terangkat keatas dengan telunjuk menuding lurus.

" KE... KEPARATTT.... K.. KA.. UU....!! ".

Ucapnya dengan suara serak mengorok seperti kerbau yang sembelih, kemudian berlahan kepala yang sedikit terangkat itu jatuh kebawah dengan pandangan kesamping, masih melotot menatap Asty yang menggenggam golok berlumur darah, dalam sekarat nya Bondan tak menyangka wanita Selembut Asty akan sanggup membacok pangkal lehernya.

Hujan mulai berhenti, meski masih menyisakan gerimis kecil. Gemuruh petir pun mulai jarang terdengar. Hanya saja langit masih gelap, tak ada sedikitpun cahaya matahari. Membuat suasana didalam hutan masih saja terasa mencekam. Ditambah lagi ada tiga sosok lelaki yang telah meregang nyawa dengan tubuh berlumur darah.

Asty bergidik...

Kemudian wanita itu bergegas melangkah mendekati Amin, membantu sang lelaki keluar dari jepitan pohon nipah dan merangkul tubuhnya untuk kemudian didudukan ditanah bersandar di batang pohon.

"Bertahan lah..... ". Bisik sang wanita pelan,..

Tak ada reaksi dari Amin, membuat akhirnya Asty meninggalkan lelaki itu dan melangkah mendekati Deni sang suami. Asty berjongkok disamping kepala Deni, tangannya menyibakkan rambut gondrong yang menutupi wajah, meyeka kening Deni yang kotor berlumpur,.

"Tunggu disini sayang.. ". Suara Asty bergetar.

" Aku akan mencari bantuan... ". Asty kemudian berdiri. Sebelum melangkah Asty menoleh menatap sang suami yang terbaring lemah ditanah becek.

Bibir Deni sedikit bergerak gerak. Asty dengan hati yang teriris pilu kemudian kembali berjongkok. Sepertinya Deni ingin berkata sesuatu.

Dengan sabar Asty menunggu, Sesekali tangan kirinya menyeka airmata yang bercucuran sambil tangan kanannya mengelus lembut pipi sang suami.

"Hati.... Hati... ". Suara Deni terdengar lirih, tapi cukup lancar dan jelas terdengar.

Asty mengangguk, dikecupnya kening Deni dengan lembut. Kemudian wanita itu berdiri dan melangkah cepat tanpa menoleh..

****

Sepeninggal Asty pergi mencari bantuan, Deni memaksakan diri untuk duduk. Susah payah dia berusaha, akhirnya dia berhasil duduk dan memandang sekeliling, ditatapnya Amin yang tersandar di batang nipah. Tak ada gerakan dari tubuh sang sahabat.

Deni berusaha mati matian mecoba merangkak mendekati sang sahabat karib yang tidak dapat dipungkiri telah banyak berjasa. Meski pada akhirnya Deni harus mendapati kenyataan getir dimana sang Sahabat justru terjerat rasa cinta yang salah kepada Asty istrinya. Tapi sebagai sesama laki laki, ditambah lagi setelah menyaksikan sendiri begitu besarnya pengorbanan yang dilakukan Amin, membuat Deni mencoba untuk berfikir jernih. Jika harus berpisah, setidaknya Asty mendapat ganti pria yang luar biasa. Begitu pemikiran Deni saat ini. Lagipula dengan keadaan tertembak di dada sebelah kiri, Deni tak yakin dia akan bisa bertahan hidup.

Setelah berjuang beberapa waktu, akhirnya Deni berhasil mencapai rumpun nipah tempat Amin bersandar. Dengan nafas satu satu, Deni kemudian mencoba duduk tepat disampingnya.

Gerimis masih turun meski tak lagi sederas tadi. Tanpa menoleh Deni kemudian merebahkan diri bertumpu pada dahan yang rebah.

"Thanks, bro.... ". Ucop Deni pelan. Setelah sejenak mengatur nafas dan mengumpulkan tenaga, dia kemudian berucap lagi.

"Kita berhasil... Kita berdua berhasil menyelamatkan wanita yang sama sama kita cintai.. Yah, kita berdua bro... ". Entah mendapat kekuatan dari mana, Deni bisa begitu lancar mengucapkan kata kata. Meski suara yang keluar sangat lirih, dan air mata yang menetes jatuh semakin deras.

"Kau tenang saja, aku tidak marah padamu. Aku justru bangga karena selain aku, Asty ternyata juga dicintai oleh lelaki hebat.. ". Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Deni semakin melantur. Lelaki itu benar benar terbawa perasaan. Emosinya begitu dalam menyentuh kedasar hati, membuat dia yang seharusnya marah, justru malah bisa menerima dengan lapang dada.

" Setelah semua ini berakhir, aku akan menyerahkan semua keputusan kepadanya, siapa nanti yang akan dia pilih, jika itu kau, aku ikhlas kawan... ". Amin sama sekali tak merespon perkataan Deni, tak bersuara sama sekali.

"Lagi pula, peluru ini pasti telah menembus jantung, sebentar lagi aku mati. Aku titip kedua anakku ya bro.... ".

Sang sahabat tetap diam.

Deni menoleh, pandangan matanya yang buram samar samar bisa melihat betapa wajah sang sahabat pucat pasi dan berdarah disana sini. Tangan Deni menyentuh bahu Amin, kemudian mengguncang guncangkannya berlahan. Tak ada respon. Amin tetap diam.

Deni tercekat, kemudian dia tertunduk dengan isak tangis yang tersedu sedu ketika melihat kepala Amin terkulai ke kiri. Bergerak rebah akibat goncangan dibahunya tadi.

Lama sekali Deni menangis terisak dengan menundukkan wajah diantara kedua lutut yang tertekuk dan kedua tangan melingkari betis. Darah yang keluar dari luka didada tampak menetes satu satu. Tak sebanyak tadi, tapi perihnya sama saja. Bahkan kini terasa lebih perih karena ditambah luka hatinya yang tersayat sayat.

"YA TUHAN....!! ".

Terdengar suara ribut ribut ditelinga Deni. Tapi lelaki itu terlalu lemah untuk sekedar membuka mata dan mendongakkan kepala.

" Cepat bawa mereka... ". Terdengar lagi satu suara. Dan Deni yakin itu Pak Hermanto.

" PANGGUL SAJA.. KELAMAAN JIKA HARUS MENUNGGU TANDU...!! ". Kali ini suara teriakan yang berbeda. Dan Deni masih ingat, itu adalah suara Pak Iwan.

Tiba tiba Deni merasakan tubuhnya terangkat, tapi setelah itu dia tak bisa mendengar apa apa lagi. Kepala nya terkulai kebawah, sementara orang yang memanggulnya melangkah cepat setengah berlari terburu buru.


________________


Asty melangkah dibelakang Pak Hermanto dengan dada sesak dan benak yang berkecamuk. Polisi yang memanggul tubuh Deni sudah cukup jauh didepan. Sementara polisi satunya yang kebagian tugas membawa tubuh Amin yang juga terkulai tanpa daya berada di posisi paling belakang. Tak lama kemudian Pak Hermanto, Pak Iwan dan beberapa polisi lain berhenti melangkah di ikuti oleh Asty, mereka sengaja memberi jalan kepada polisi yang memanggul tubuh Amin untuk berjalan lebih dahulu. Melihat itu, sang polisi pemanggul pun menambah kecepatan langkah nya, menyusul kawan sesama pemanggul yang sudah cukup jauh.

"Kau sudah tahu siapa Zaid....? ". Pak Hermanto bertanya berlahan kepada Asty yang berjalan tepat di depannya sekarang.

"Iya Pak... ". Jawab Asty, kemudian wanita itu terdengar kembali menangis terisak.

" Sabar, Nduk.... ".

Dalam Isaknya, Asty mengangguk.



Bersambung..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd