BAGIAN 39
"Sebenarnya, kau mau mendengarkan ga sih?" ucap Dara Emas dengan melotot indah.
"I ya ... iya ... cerewet amat, sih." tukas Jalu Samudra sambil memotes pisang lagi. “Ngomong saja, aku denger, kok."
"Untuk Pasir Kujang Duta Nirwana, kukira tidak perlu kujelaskan lagi. Kau sudah paham," sahut Dara Emas.
"Oke ... oke ... anggaplah begitu," jawab Jalu dengan logat sok gaulnya.
"Yang kedua : Medali Tiga Dewa. Medali berbentuk segi delapan yang sanggup menyerap Delapan Unsur Penggerak Bumi. Medali ini dibuat dari lempengan besi hitam berukiran naga, rajawali dan harimau yang oleh orang-orang Perguruan Tanah Bambu, disebut sebagai Tiga Petinggi Satwa Gaib. Jelasnya adalah Roh Dewa Naga Kaki Kilat, Roh Dewa Rajawali Mata Api dan Roh Dewa Harimau Petarung. Mulanya medali ini bernama Medali Delapan Unsur, namun karena campur tangan beberapa tokoh tua dari Perguruan Tanah Bambu yang menitipkan Roh Tiga Petinggi Satwa Gaib sehingga timbullah ukiran naga, rajawali dan harimau seperti sekarang ini ... ," Dara Emas berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu sambungnya kembali. "Untuk bisa menaklukkan atau menguasai Roh Dewa Naga Kaki Kilat, salah satunya adalah dengan memiliki ilmu 18 Jurus ‘Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ dan 18 Jurus ‘Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang untuk menaklukkan Roh Dewa Rajawali Mata Api."
Begitulah, secara bergantian, Sepuluh Dara Gaib menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan Pasir Kujang Duta Nirwana dan Medali Tiga Dewa yang benar-benar membuat mata dan pikiran Jalu Samudra terbuka lebar-lebar.
"E-lhadalah ... e-lhadalah ... wuih ... blaik tenan!" hanya itu saja yang terlontar dari mulut Jalu Samudra. Tidak hanya sekali ... berulang kali malah!
Tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya kalau Medali Tiga Dewa yang diamanatkan mendiang Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga memiliki sejarah yang rumit dan liku-liku yang memusingkan kepala.
"Terus ... untuk menaklukkan Roh Dewa Harimau Petarung, bagaimana?" tanya Jalu Samudra dengan rasa ingin tahu, "Aku cuma pengin tahu saja, kok!"
"Kau sudah melakukannya, Jalu Samudra ... ," jawab Dara Putih.
"Kapan aku melakukannya? Perasaan belum, tuh ... " kata Jalu Samudra sambil memandang tajam ke Dara Putih.
"Kau sudah melakukannya," jawab Dara Emas, mantap. " ... dengan cara mengalahkan kami bersepuluh ... "
"Jadi ... harus bertarung dengan kalian semua?" tanya Jalu dengan mata putih mengedar, memandangi wajah-wajah ayu yang mengelilingi dirinya. "Mana tegaaaa ... !?"
"Bukankah tadi kau sudah bertarung dengan kami?" ucap Dara Jingga yang duduk paling ujung.
"Lhahh ... kapan tarungnya?" tanya Jalu dengan heran. "Perasaan belum deh ... "
"Bukankah tadi kita sudah bertarung ... " kata Dara Perak dengan senyum dikulum. " ... bertarung dalam asmara ... "
Pemuda sakti murid Dewa Pengemis terperanjat kaget!
Tiba-tiba saja, kata-kata Ki Durba terngiang di telinga : ‘Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan.’ Pikirnya, "Jangan-jangan aku bercinta dengan setan bengis yang suka makan manusia!?"
Plok!
Dara Hijau menggaplok lembut belakang kepala si pemuda sambil berkata, "Enak saja kau katakan kami setan bengis? Cantik-cantik dan montok-montok begini ... bengisnya di bagian mana coba?"
Pemuda murid Dewi Pengemis cuma nyengir kuda saja, sambil nyeletuk, "Hehehe ... habisnya ... "
"Apa!?" potong Sepuluh Dara Gaib, serentak.
Makin susah saja Jalu Samudra dikeroyok dengan kata-kata oleh ke sepuluh gadis itu.
"Ahhh sudahlah ... kepalaku kok jadi pusing mendadak, ya ... "
Melihat tingkah Jalu Samudra yang mirip anak kecil ga ke bagian cendol, membuat Dara Merah dan Dara Hitam gemas dan karena kebetulan posisi duduk mereka berdua tepat berada di sisi kanan-kiri si pemuda lalu menggerakkan tangan masing-masing menjewer telinga.
"Ehhmm ... gitu ya ... " kata mereka berdua serempak. Lalu secara bersamaan pula ...
Cupp!
Ciuman mesra mendarat di pipi kanan-kiri si Pemanah Gadis.
"Gimana, masih pusing?" tanya Dara Hitam sambil melepas jeweran.
Jalu Samudra hanya haha-hihi saja sambil mengusap telinga dan pipi bergantian.
“Aduh, gimana, ya!?"
“Uuuhh, bilang saja kalau mau nambah!" seru dara jingga.
Cupp, cupp!
"Udah deh ... udah ... ampe sesak napas, nih!?" sahutnya dengan terengah-engah, lalu katanya, "Terus, kalau kalian sudah kalah, apa yang harus kulakukan!?"
"Masing-masing dari kami memegang satu bagian jurus Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang kekuatan intinya bisa diserap oleh lawan jenis jika kami semua mengalami puncak kemesraan tertinggi, dan kau ... kau satu-satunya pemuda yang telah melakukan hal itu," tutur Dara Emas kembali.
"Wah ... jadi tambah sakti, dong?"
"Ya dan tidak."
"Lho, kok bisa?"
"Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ hanya bisa digunakan jika kau berada di Kepulauan Tanah Bambu dan itu pun dalam keadaan terdesak. Keadaan benar-benar terdesak sekali. Ilmu ini akan muncul dengan sendirinya," ucap Dara Emas, sambungnya setelah menghela napas panjang, yang tentu saja, membuat bongkahan bukit kembar di dadanya bergerak indah.
Jalu Samudra tanpa sadar menelan ludah melihat busungan dada.
"Tapi ... sekeluarnya kau dari tempat ini, ilmu tidak berfungsi sama sekali."
"Wah, ada juga ya ilmu kesaktian seperti itu?" ucap Jalu Samudra dengan nada tidak yakin.
“Nah … karena kau sudah menjadi majikan kami, apa pun yang kau inginkan dari kami bersepuluh, apa pun itu, kami akan melaksanakan dengan patuh. Meski nyawa kami bersepuluh kau minta sekaligus, Sepuluh Dara Gaib tidak akan menolak sedikitpun!" ucap tegas Dara Emas.
“Kalau nyawa … enggaklah. Aku tidak sekejam itu," seloroh Jalu Samudra dengan mulut monyong-monyong, yang membuat para gadis tersenyum geli.
Melihat tawa geli Sepuluh Dara Gaib, membuat Jalu Samudra makin rikuh saja.
Maksudnya, rikuh-rikuh gimana gitu!?
Namun dalam hatinya, ia merasa dalam posisi serba salah. Di satu sisi, amanat dari mendiang gurunya sudah terlaksana dengan sukses dalam mengantar Pasir Kujang Duta Nirwana ke Kepulauan Tanah Bambu meski dengan lika-liku yang ‘sangat mendebarkan’. Di sisi lain, tanpa sengaja pula, dia memiliki tanggung jawab sebagai majikan baru Kepulauan Tanah Bambu di alam gaib.
Benar-benar keberuntungan yang bikin puyeng!
“Apakah … semua orang akan mematuhi dan mengakuiku sebagai majikan baru di tempat ini?" tanya Jalu Samudra.
“Tentu saja. Tidak ada yang berani menentang pemegang sah Pasir Kujang Duta Nirwana dan juga Medali Tiga Dewa," tutur Dara Hitam.
“Kalau ada yang menentang, gimana?"
“Hanya hukuman mati yang pantas untuknya," tandas Dara Hitam.
“Apa tidak terlalu kejam, tuh?"
“Kejam atau tidak, tergantung dari siapa yang membangkangnya."
“Maksudnya?"
“Membangkang yang kumaksud adalah melakukan tindakan yang dilarang kaum rimba persilatan. Misalnya menguasai ilmu sesat, menyerang kepulauan dengan tujuan tertentu, merebut kekuasaan misalnya … , " jawab Dara Jingga, lalu sambungnya. “Kalau sekedar berbeda pendapat hingga terjadi dendam, tergantung pula dari siapa yang salah dan siapa yang benar."
“Hemmm … kukira cukup adil," sahut si Pemanah Gadis dengan manggut-manggut, lalu sambungnya sambil menarik napas dalam-dalam. “Yach … baiklah-baiklah. Kuterima diriku menjadi majikan kalian! Gitu aja kok repot."
“Karena kau sekarang menjadi majikan di tempat ini, kami ada berita untukmu."
“Berita apa?"
“Di Perguruan Tanah Bambu ada sekumpulan manusia-manusia culas yang berniat menghancurkan kedaulatan wilayah Kepulauan Tanah Bambu," kata Dara Biru, “Tentu saja hal ini dianggap suatu kejahatan bagi kami. Dalam dua purnama terakhir ini, sudah lebih dari seratus orang kehilangan nyawa untuk dijadikan tumbal. Dari hasil penyelidikan yang telah kami lakukan, mereka bisa menerobos masuk ke wilayah yang dilingkupi kabut gaib dengan menerobos masuk melalui jalan ular yang ada di Lembah Selaksa Kobra."
“Lembah Selaksa Kobra?" ulang Jalu Samudra, yang tiba-tiba teringat dengan Nagagini.
“Ya. Dari arah lembah itulah, para penyusup --hingga sekarang ini-- berusaha mengggantikan kepemimpinan dari Tuan Majikan yang sah," terang Dara Hijau.
“ … dan yang lebih luar biasanya lagi, beberapa ilmu sakti simpanan Perguruan Tanah Bambu telah berpindah tangan," sambung Dara Jingga, sambil membetulkan duduknya.
“Hemm … jika begitu, kenapa kalian tidak segera bertindak menghentikan mereka?" tanya Jalu Samudra, heran.
“Keinginan seperti itu bisa saja kami lakukan, tapi ada beberapa hal yang menghalangi langkah kami bersepuluh."
“Apa karena kesaktian kalian tidak seimbang dengan lawan, begitu?" tebak si Pemanah Gadis.
“Itu salah satunya! Tapi yang utama, kami tidak bisa keluar dari wilayah alam gaib ini jika tidak ada yang meminta bantuan kami karena … “
“Kenapa?" potong si pemuda cepat.
“Pertama, tubuh kami bersepuluh akan musnah menjadi debu, jika kami melanggar pantangan yang telah digariskan oleh para leluhur Perguruan Tanah Bambu. Dan yang kedua, dalam tubuh kami bersepuluh berada sebuah kutukan, yang hanya bisa dibebaskan oleh seseorang yang sanggup mengalahkan kami bersepuluh," sahut Dara Emas, sambungnya kemudian. “Kutukan gaib yang berasal dari serpihan Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang memang sengaja dipencarkan oleh para leluhur kami!"
Murid ganteng Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga cukup mengerti dengan penjelasan singkat tersebut. Pada dasarnya Jalu Samudra adalah pemuda cerdas, jika orang bicara A, maka ia bisa menebak B sampai Z!
“Baiklah kalau begitu," sahut Jalu Samudra sambil bangkit berdiri, “Kita enyahkan para perusuh itu dari wilayah Tanah Bambu ini."
Serentak Sepuluh Dara Gaib bangkit berdiri sambil berkata serempak, “Siap, laksanakan!"
--o0o--
Brakk!
Meja dari kayu jati hancur berantakan sebagai sasaran kemarahan. Kitab setipis itu bisa menghancurkan kayu jati tebal, bisa diperkirakan seberapa besar kekuatan hawa sakti yang dimiliki sosok laki-laki parobaya berwajah cukup tampan. Kumis tipisnya terlihat terjungkit beberapa kali. Mulutnya mengatup rapat-keras menahan kemarahan yang menggelegak.
“Sial! Dari tiga kitab, justru Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang palsu!" makinya dengan sorot mata mencorong tajam.
Dari ruangan paling ujung, sesosok tubuh perempuan terlihat keluar dari sebuah ruangan.
Sosok cantik jelita dengan pesona menggoda iman, berjalan dengan langkah-langkah genit.
Baju hitam-ketat mencetak setiap lekuk lengkung tubuh indahnya yang digunakan terlihat tidak terkancing sempurna, terutama dua kancing bagian atas, sehingga sembulan bukit dada terlihat membelah separoh lebih dan dengan tongkrongan seperti itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mata laki-laki mana pun blingsatan. Belum lagi dengan keringat yang masih menempel pada baju hitam ketat si perempuan yang semakin memperjelas ke-sexy-annya. Jika sehabis berlatih silat, jelas tidak mungkin, tapi jika jurusnya adalah jurus silat lidah, malah banyak benarnya.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam. Dialah yang dijuluki ...
Nyai Kembang Hitam!
"Ada apa, Kakang Yama Lumaksa?" tanya Nyai Kembang Hitam sambil memeluk erat Yama Lumaksa atau yang dijuluki Dedengkot Dewa atau tepatnya samaran dari Dedengkot Dewa. "Kenapa kau marah-marah tanpa sebab? Dan lagian, kenapa kitab yang susah payah kau dapatkan malah kau buang begitu saja!?"
Dedengkot Dewa hanya mendesah saat merasakan bagian punggung terganjal sebentuk benda lunak yang sanggup memberikan sejuta kehangatan.
Sesaat kemudian, Yama Lumaksa pun berkata, "Kitab itu palsu ... "
"Begitukah?" sahut Nyai Kembang Hitam, lalu sambil melepas pelukan, lalu memungut Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang dianggap palsu oleh Dedengkot Dewa. Dibuka-bukanya sebentar.
Kosong!
"Emmm ... kitab ini memang kosong, tapi belum tentu palsu," tutur Nyai Kembang Hitam sambil duduk di atas meja kayu yang bersebelahan dengan meja kayu yang hancur.
"Apa maksudmu, Nyai?" tanya heran Dedengkot Dewa.