Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Wah anjaaaayyy ini cerita...gw besok kudu bangun pagi, tp gw dibikin gak sanggup berhenti baca...
Gw mau marathon...ayo kita cari penulisnya, kita mohon biar diselesaikan ceritanya...

Asli keren ini cerita..
dah dicariin kemana2 hu ga dpt jg,
nyesel ane ga nanya emailnya, waktu itu sempet ngobrol di forum bl** f*** atau forum v** l*** ane lupa, tp forumnya dah almarhum
sipengarang sempet share cersil ini jg disitu.
makanya ane share disini moga2 beliau baca jg :sedih:
 
Super sekali...kalo pendekar emang punya ilmu, tapi jalu punya tambahan rejeki, menang banyak jalu....trim update nya.
wkwkwkwk dpt rejeki nemplok eh nomplok mulu dia hu
 
sepeminum teh lg bakal diupdate lanjutannya kisanak :)
 
BAGIAN 35


Seorang kakek tinggi kurus seperti galah bambu berdiri dengan mulut tertawa menyeringai. Saat menyeringai teruar bau busuk yang harumnya cukup membuat perut mual plus bonus muntah. Tubuh kurus dibalut baju rompi dan celana model sisik ular warna perak hingga berkilauan tertimpa sinar mentari. Sosok si kakek --dilihat dari manapun-- sulit sekali mengatakan kalau ia ganteng, mendekati saja engga deh, tapi kalau jelek, sudah pasti. Yang cukup mengerikan, gigi kuningnya tajam-tajam macam karang terjal. Kalau nggigit daging mentah, pasti langsung tercabik-cabik.
Yang luar biasa --selain bau mulutnya, nih-- tepat di bawah kaki si kakek terlihat seekor ular hitam yang ukurannya sebesar pohon kepala ... eh ... kelapa, kepalanya melebar-melengkung macam tampah ditekuk dengan lidah ular bercabang acap kali keluar-masuk, seakan sedang membaui sosok di depannya.
Jelas saja, lha wong seekor king kobra ukuran jumbo, je!
Istilah yang pas adalah ... si kakek berdiri di atas kepala ular kobra hitam raksasa!
Nagagini hanya mengerutkan keningnya saja melihat tongkrongan si kakek yang menurutnya cukup ga match ini, pikirnya, "Makhluk ajaib dari mana ini? Gaul amat!"
Gimana ga gaul, lha wong potongan rambut model metal dengan rambut njegrak semua, pergelangan tangan kanan kiri pakai gelang dihiasi paku-paku metal yang lumayan tajam kalau kena mata. Celana sisik ular peraknya dililit rantai melingkar setengah pinggang di belakang.
Biar macho, pikir si kakek.
Bibirnya bergaya ala bimoli alias bibir monyong lima senti alias tonggos 100%!
"Hai ... " katanya dengan nada ramah, namun yang terlihat justru muka seram menakutkan.
"Hai juga ... " tukas Nagagini, sambil melangkah mundur dua tindak. Bukan apa-apa, cuma tidak tahan dengan bau semerbak dari mulut tonggos si kakek penunggang ular.
"Hihihihi ... ," kembali si kakek tertawa genit, " ... baru kali ini aku lihat ada anak gadis seberani dirimu. Biasanya tuh, cewek-cewek centil sudah pada pingsan melihat ketampananku yang tiada duanya ini," sambung si kakek sambil tangan kurusnya berulang kali menyisir rambut metalnya.
"Benar, Kek. Ketampananmu memang tiada duanya ... " kata Nagagini, sambungnya kembali, " ... dengan tungganganmu, maksudku ... hihihihik!"
"Tuh, betul khan!?" katanya sambil kepala melongok ke bawah. "Pasti banyak laki-laki sirik dengan kegantenganku."
"Ni orang ... gendeng apa syaraf, ngajak ngobrol sama ular!?" pikir Nagagini. "Wah, naga-naganya harus tarik urat sama kakek nyentrik ini."
Si ular hanya mendesis saja.
Seolah paham, si kakek justru duduk berjongkok sambil mengetuk-ngetuk kepala ularnya.
"Bocah Ayu! Kebetulan sekali kau datang kesini," seru si kakek sambil berjongkok seenaknya. Ia menopang kepalanya dengan tangan kiri dan mulai ngelamun jorok sambil mengupil membersihkan lubang hidungnya sambil mata sesekali merem-melek.
"Edan kakek ini! Malah ngupil di depanku pula," pikir Nagagini. "Hiiiihh ... tahi hidungnya besar-besar lagi!?"
Mendadak, mata indah Nagagini melotot besar setengah jelalatan. Gimana ga jelalatan, coba ... sebab dari arah belakang si kakek bertampang ‘macho’ keluar sosok-sosok hitam berkilat yang meski besarnya tidak sama dengan yang ditunggangi si kakek, tapi cukup membuatnya makin keder juga.
Hitung punya hitung, total ada enam belas ekor king kobra ukuran jumbo!
"Gawat! Peliharaannya banyak banget, tuh!" gerutu Nagagini tanpa sadar. "Dah gitu, gedhe-gedhe lagi."
"Kebetulan bagaimana, Kek!?" tanya Nagagini untuk menutupi kengeriannya.
"Kebetulan kakek yang ganteng ini sedang butuh kehangatan seorang gadis," ucap si kakek macho, enteng. To the point sajalah, begitu pikir si kakek.
"Terus?"
"Ya ... kau inilah ... "
"Kalau aku tidak mau?"
"Ya ... dipaksa, dong. Masa’ dibiarkan saja," tukas si kakek setengah menggerutu. "Masa’ gitu aja ga tahu!?"
"Wah ga bisa, kek."
"Ya ... harus bisa-lah."
"Pokoknya tidak bisa. Sekali tidak bisa tetap tidak bisa," ujar Nagagini sambil melangkah mundur beberapa tindak. Kakinya sedikit merenggang, siap-siap adu otot jika terjadi serangan mendadak.
"Khan tadi sudah kubilang, kalau tidak bisa ya ... harus bisa!" seru si kakek sambil melotot, "Masa’ tokoh sakti seperti Dewa Kobra Cabul dibuat mainan sama anak kecil."
Meski suaranya terdengar main-main, kakek yang menyebut dirinya Dewa Kobra Cabul termasuk kakek kepala batu. Kalau maunya itu ... ya ... harus itu!
"Oooo ... panteesss ... "
"Pantes apanya?" tanya si kakek.
"Mulutmu sama mancungnya dengan piaraanmu!" ejek Nagagini. Sambungnya dengan nada bercanda, "Habis julukanmu pake kobra sih ... "
Bukannya marah, Dewa Kobra Cabul justru menggerutu sama ular kobranya.
"Tuh, bener khan!? Gara-gara kamu sih, bibirku jadi mancung kayak gini," ucapnya menyalahkan si kobra.
Namanya juga ular, paling banter cuma mendesis sama menjulurkan lidah saja.
"Oke dech, aku tidak akan memaksamu, tapi dengan satu syarat!" kata si kakek.
"Apa!?"
"Kalahkan aku dulu!"
"DITERIMA!"
Begitu kata-kata ‘diterima’ terucap keluar, Nagagini langsung menerjang laksana kilat ke arah si kakek.
Wutt! Plakk! Plakk! Plakk!!
Jderr!
Dalam waktu satu detik, lima belas serangan dilontarkan murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal. Dalam serangan pertama, Nagagini melancarkan lima belas gerakan berbeda. Jika tidak ada peningkatan tenaga sakti dalam tubuhnya belum tentu murid cantik Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal sanggup melakukan serangan cepat seperti barusan. Meski yang digunakan masih terhitung jurus-jurus dasar, tapi sudah membuat si kakek yang semula posisinya duduk berjongkok menjadi berdiri dengan kaki kiri mundur selangkah.
"Hebat, hebat, hebat!" puji si kakek sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan yang tadi menahan serangan si gadis. "Murid siapa kau ini, Cah Ayu!?"
"Ya ... muridnya guruku, lah."
Nagagini melesat kembali ke atas setinggi enam tombak, lalu dalam posisi kepala dibawah kaki di atas, sepasang kakinya berputar cepat meliuk-melengkung seperti ekor ikan mengibas pasir. Salah satu jurus dari Ilmu Silat ‘Ikan Gajah Putih Pembunuh’ yang bernama jurus ‘Ikan Putih Kibaskan Ekor’ dikerahkan dengan menggunakan tujuh bagian tenaga saktinya.
Werr ... weerr ... werr ... !
Desiran angin dingin-kencang membuncah dan menerbangkan apa saja di sekitarnya.
"Hemmm ... jurus tendangan yang hebat," puji Dewa Kobra Cabul.
Dewa Kobra Cabul pun melesat cepat, memapaki serangan membadai gadis muda lawannya. Sepasang tangannya berwarna putih terang membentuk kepala ular bergerak susul menyusul dalam rangkaian jurus ‘Ular Perak Menembus Batu’.
Plakk! Prakk! Plakk! Prakk! Plakk! Prakk!
Dess ... !
Hujan tendangan dan serbuan tapak saling beradu keras di udara kosong.
Dan hasilnya?
Pelipis kiri Dewa Kobra Cabul tersengat lima-enam tendangan sehingga membuat si kakek terpelanting ke bawah. Namun disaat pelipisnya kena tendang, tangan kiri bergerak menyambar ke atas, ke arah selangkangan. Tentu saja Nagagini tidak mau bagian tubuhnya tersentuh tangan kiri si kakek yang tadi ia tahu digunakan untuk ngupil. Buru-buru kakinya di tekuk cepat, namun masih kalah cepat dengan sambaran Dewa Kobra Cabul.
Brett!
Jleg! Jleg!
Setelah berputaran beberapa kali di udara, keduanya menjejak tanah dengan hampir bersamaan.
"Hemmm, pijitan kakimu seperti menggaruk-garuk kepalaku, Cah Ayu." ujar Dewa Kobra Cabul sambil tangan kiri mengelus-elus pelipis kirinya. Pikirnya, "Sakit sih tidak begitu ... tapi kalau memar, sudah jelas."
"Oh ya?" Nagagini mencibir, namun dalam hatinya ia sempat kaget juga. "Hawa saktinya berada beberapa tingkat di atasku. Seharusnya kepala itu hancur berantakan. Tapi kulihat pelipisnya cuma memerah saja."
"Apa kau merasa kehilangan sesuatu!?" tanya Dewa Kobra Cabul, sambil tangan kanan mencium-cium sobekan kain warna biru laut.
Murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal terkesiap. Secara tidak sadar ia memeriksa balutan di dadanya. Tidak ada yang tersobek.
"Jangan-jangan ... " gumamnya saat merasakan desiran angin mengusap bagian bawah perutnya.
Memerah muka Nagagini mengetahui bagian yang dimaksud terlihat sobekan memanjang!
"Dasar kakek cabul!" bentak Nagagini.
"Wah ... harum ... harum ... harum sekali ... "
"Brengsek kau!" maki Nagagini dengan napas memburu.
Mata Dewa Kobra Cabul meliar melihat tonjolan besar di dada si gadis yang naik-turun seolah mengundangnya.
"Aku mau itu ... !" seru Dewa Kobra Cabul sambil berkelebat cepat mengarah ke sepasang bukit kembar Nagagini. Dua tangan keriput saling susul menyusul disertai kesiutan angin tajam. Jelas sekali, meski kesannya ingin meremas buah dada montok Nagagini, namun melihat dahsyatnya serangan, andaikata kena sasaran bisa dipastikan dada bisa jebol.
Tentu saja Nagagini tidak mau salah satu aset utamanya di jamah laki-laki, selain Jalu Samudra tentunya. Spontan, tubuhnya melayang mundur sambil melolos tali tambang yang membelit pinggang diikuti dengan hentakan jurus ‘Jalan Gelap Dalam Neraka’ menggeletar cepat membelit tangan kiri lawan.
Srett!
Bersamaan dengan belitan tali tambang, Nagagini menyentakkan tali tambang ke atas diikuti dengan sentakan kaki kiri yang berputar cepat sarat hawa sakti mengarah dada kurus Dewa Kobra Cabul.
Wutt! Dess!
Sempurna sudah rangkaian jurus yang dimainkan murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal.
Brugh ... !
"Auggh ... !" pekik Dewa Kobra Cabul. Kakek bertubuh kurus segera bangkit berdiri dengan cepat, lalu tangan dan kaki bergerak tak karuan. Nandak sendirian mirip orang sinting.
"Augh ... aughh ... ohhh ... yiihaa ... " seruan-seruan terus berkumandang dengan kepala sesekali geleng-geleng seperti orang mabuk duren. "Asyik coy ... goyang teruuusss ... yiihaaa ... "
Tentu saja tingkah sinting Dewa Kobra Cabul membuat Nagagini tertegun, lupa kalau saat ini sedang bertarung mengadu nyawa.
"Gila ni orang!? Apa penyakit sintingnya lagi kumat!?" gumam Nagagini.
Tanpa setahu Nagagini, Dewa Kobra Cabul sedang mengerahkan salah satu ilmu kesaktian yang paling ia sukai, yaitu jurus ‘Ular Gila Menipu Harimau’. Jurus ini secara perlahan namun pasti, akan mempengaruhi daya tarung lawan yang main lama-makin padam dan pada akhirnya lawan akan ikut-ikutan jadi sinting seperti si pemilik jurus ini. Hingga pada akhirnya, dari lima lobang tubuh lawan akan keluar darah kental yang memancar kuat yang ujung-ujungnya mati mengenaskan. Sudah berapa puluh kali jurus ini sanggup mengalahkan lawan tarung Dewa Kobra Cabul selama malang melintang di dunia persilatan. Konon kabarnya, jurus ini pernah setanding dengan jurus ‘Setan Menangis Serigala Menjerit’ milik mendiang Raja Setan Serigala.
Pelan-pelan namun pasti, Nagagini kadang mengangguk, kadang menggeleng tanpa sadar.
"Aneh, kenapa hatiku menjadi gembira, ya?" kata hati Nagagini, "Kok bisa? Padahal tadi bencinya setengah mampus terhadap kakek tonggos itu. Aneh sekali."
Meski luarnya ia masih menggeleng-geleng dan mengangguk-angguk macam burung pelatuk, mendadak Nagagini tersentak kaget, "Kakek gila itu ternyata menyerangku dengan kekuatan sihir. Aku harus melawan."
Meski tetap menggeleng-mengangguk bahkan sesekali goyang pinggul cukup hot, Nagagini mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ia punyai. Beruntunglah dirinya mengalami lonjakan tenaga sakti secara drastis sehingga hambatan-hambatan jalur hawa sakti sanggup dijebol tuntas. Sebentar kemudian, seluruh tubuh Nagagini dipenuhi pendaran cahaya hijau kehitaman.
"Heeaaa ... !"
Sebentuk teriakan keras terdengar dari mulut indah Nagagini, menyentakkan begitu saja pengaruh jurus ‘Ular Gila Menipu Harimau’ yang dikerahkan Dewa Kobra Cabul.
Jderr ... !
 
BAGIAN 36


Dewa Kobra Cabul terpelanting namun tidak jatuh.
"Jurus hebat," pujinya, meski ia tahu jurusnya telah gagal. "Pakai hawa sakti nih!? Boleh, boleh ... !"
"Brengsek, memangnya tadi ngapain?" pikir Nagagini. Pekiknya keras, "Dasar kabul! Teri ... "
"Apa itu : ‘KABUL’!?" potong si kakek nyentrik, heran. Gerakannya terhenti begitu saja.
"Kabul alias kakek cabul! Terima jurus ‘Patukan Iblis Dari Surga’-ku!" seru Nagagini sambil melecutkan tali tambang di tangannya. "Heeaaaa ... !"
Wutt!
Ctarr, ctarr, ctarr ... !
Rentetan bola-bola cahaya berbentuk pipih beterbangan ke arah Dewa Kobra Cabul dengan kecepatan tinggi.
"Boleh, boleh! Kuadu dengan jurus ‘Pukulan Ular Perak’, dech ... !" oceh si kakek sambil sepasang tangannya yang membentuk kepala ular dilontarkan berulang kali.
Wuss, wess, wess ... !
Puluhan bayangan putih-perak berbentuk kepala ular saling terjang dengan bola cahaya pipih di tengah jarak antara mereka berdiri.
Blamm! Blamm! Blamm!
Dentuman keras terdengar membahana.
Membuncah tanah hingga semburat ke atas menutupi pandangan mata.
Menggetarkan wilayah sekitar bagai gempa bumi.
Dan yang pasti ... membuat seantero arena pertarungan porak-poranda.
Pokoknya, rusak parah ... !
Sosok Nagagini terseret hingga empat-lima tombak jauhnya hingga pada akhirnya jatuh terduduk, sedang Dewa Kobra Cabul hanya tergeser satu-dua tapak ke belakang.
"Ughh ... hoekhh ... !"
Darah segar tersembur begitu saja dari mulut indah Nagagini. Sosoknya yang jatuh terduduk perlahan bangkit. Jelas-jelas dirinya terluka dalam parah, namun sosok murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal termasuk cewek keras hati dan keras kepala. Terlihat dari mulutnya merembes keluar darah kental, namun kekerasan hati si gadis tidak menghiraukan luka dalam yang dideritanya.
Meski pertarungan cukup singkat, namun sudah bisa diukur seberapa hebat kehebatan lawan.
"Wah, celaka! Kakek kampret ini ilmunya tinggi juga," desisnya sambil menyusut darah dengan tangan kiri, sedang tangan kanan terlihat gemetar memegang tali tambang yang sekarang tinggal setengah.
Tiba-tiba, Dewa Kobra Cabul tertawa terkekeh-kekeh.
"Wah, wah, wah! Tadi dipegang saja tidak boleh. Ehh ... sekarang malah pamer di depanku!" ujar si kakek dengan mata melotot-mendelik memandang Nagagini.
Nagagini terkesiap!
Spontan, tangan kiri menutup ke arah sepasang bukit kembarnya yang terpentang bebas. Rupanya, akibat benturan keras tadi, selain menghantam organ dalam juga secara tidak sengaja menghancurkan penutup dadanya.
"Sial! Tenaga dalamku turun drastis ... " kata hati Nagagini, " ... untuk bertarung dalam tempo lama, jelas sudah tidak memungkinkan lagi. Andai kugunakan Ilmu Silat ‘Ikan Gajah Putih Pembunuh’ mau pun 19 jurus Ilmu ‘Cambuk Cacat’ juga percuma, paling banter cuma jurus tanpa tenaga dalam. Kakek keparat ini terlalu hebat, kemungkinan untuk menang sangat kecil."
Sepasang mata Nagagini menatap nanar sosok tinggi kurus di depannya.
"Satu-satunya yang bisa aku andalkan cuma jurus ‘Sambaran Sayap Api Neraka’ dan Pukulan ‘Tanpa Tanda’ yang belum pernah kupakai satu kali pun," kembali Nagagini berkata dalam hati. "Ah ... andai saja Kakang Jalu tahu keadaanku disini ... "
Tali tambang yang tinggal separoh, mendadak merah membara seperti jilatan lidah api.
"Aduh, anak manis! Kok malah ditutupi!? Buka doong ... " pinta Dewa Kobra Cabul dengan mata semakin liar melihat gundukan kenyal yang sekarang tertutup meski tidak rapat.
Nagagini tidak menyahut sama sekali. Selain karena faktor luka, juga dikarenakan pengerahan hawa sakti hingga tahap tertinggi yang bisa ia capai dalam kondisi sekarang ini, hingga membuat murid cantik Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal lebih memilih berdiam diri.
Sementara belasan ular kobra --seperti sudah diberitahu-- segera bergerak melingkar membentuk kepungan. Suara desisan dan geseran perut ular terdengar bergemuruh bagaikan tebing runtuh.
Bahkan pijakan kaki Nagagini sedikit goyang tatkala ular-ular itu bergerak.
"Nampaknya ... , nasibku ditentukan hari ini," pikir Nagagini, masygul. "Ayah, selamat tinggal. Maafkan anakmu yang belum bisa memberimu cucu. Guru, mohon maafmu pula karena belum menunaikan tugas yang kau berikan padaku. Dan Kakang Jalu ... selamat tinggal, Kang. Semoga di kehidupan mendatang kita bisa bersama-sama lagi."
Werr ... werr ... tarr ... !
Tali tambang di tangan kanan Nagagini dilecutkan kanan-kiri seperti membentuk sayap-sayap api. Lama kelamaan, sayap-sayap api seolah membungkus tubuh nyaris telanjang si gadis. Akan halnya tangan kiri terlihat paduan merah api dan hitam jelaga yang berpendar-pendar.
Blub ... !
Terdengar suara terbakarnya kain. Tapi Nagagini seakan tidak peduli dengan tubuhnya yang sekarang telanjang bulat. Seluruh jiwa raganya disatukan dengan serangan tali tambang yang dimuati jurus ‘Sambaran Sayap Api Neraka’ dan Pukulan ‘Tanpa Tanda’ di tangan kiri.
Dan semuanya ingin ditumpahkan dalam satu serangan!
Serangan terakhir!
"Wah, wah, wah ... ! Cantik-cantik kok senang main api," canda Dewa Kobra Cabul. "Lebih baik main air sajalah ... "
Meski berkata dengan nada bercanda sepasang tangan kakek berpakaian nyentrik ini memancarkan sinar perak terang.
"Hemm ... dilihat dari jurusnya, gadis ini ingin mengadu jiwa denganku. Ughh ... ga usah, ya!? Belum dinikmati kok mau mati!? Enak saja!" pikir si kakek. "Aku lumpuhkan saja dengan Pukulan ‘Ular Dewa Memuntahkan Mayat’ dengan seperempat dari tenaga saktiku. Setelah pingsan, langsung ‘ciak’ (makan --red). Beres deh!"
Dewa Kobra Cabul pun akhirnya siap dengan jurus pukulannya. Namun, tunggu punya tunggu, tidak ada sebuah gerakan pun dari gadis lawannya yang terus menerus melecutkan tali tambang di kiri kanan secara bergantian.
"Brengsek! Kalau begini terus kapan selesainya," gumam si kakek jengkel. Lalu teriaknya, "Gadis cantik! Coba kau terima seranganku kali ini! Kalau kau bisa bertahan kali ini, aku akan melepaskanmu pergi."
Wutt!
Selarik sinar perak terang melesat cepat dan bersamaan dengan itu pula, sebentuk sayap api menyambutnya.
Jrasss ... !
Terdengar suara desisan keras.
"Weeeehhh ... edan!" gerutu si kakek sambil tangan kirinya yang membentuk paruh ular di dorong ke depan.
Wutt!
Kembali sinar perak terang melesat cepat dan kembali pula, sebentuk sayap api menyambutnya.
Jrasss ... ! Jrass ... !
Kali ini terdengar dua kali suara desisan yang lumayan keras.
"Weleh, weleh ... hebat, hebat ... !" seru si kakek melihat dua kali serangannya kandas di tengah jalan. Kejengkelan terlihat dari raut wajahnya yang semakin keriput membesi. Tanpa sadar, separoh dari tenaga saktinya telah dikerahkan. Akibatnya, sinar perak terang semakin memancarkan keangkeran tersendiri.
"Heeehh ... heeaaa ... !"
Disertai teriakan keras yang sanggup membuat tanah bergetar, Dewa Kobra Cabul melesat ke arah Nagagini disertai hempasan tapak kanan-kiri berulang kali.
Wutt ... wutt ... wutt ... !
Larikan-larikan sinar perak terang membentuk bayangan ular kobra yang jumlahnya puluhan, menerjang apa saja yang ada di depannya.
Blam ... blamm ... blammm ... !
Belum kena sasaran saja sudah sanggup membongkar tanah hingga kedalaman satu tombak, entah bagaimana jika mampir ke tubuh mulus Nagagini!?
Mendadak, sepasang sayap api raksasa yang tercipta dari jurus ‘Sambaran Sayap Api Neraka’ bergerak menghadang.
Blar ... blarr ... glaarr ... !!
Jdarr ... !
Blammm ... !
Apa yang terjadi!?
Tiga ledakan pertama adalah saat benturan larikan sinar perak terang yang membentuk bayangan ular kobra yang jumlahnya puluhan karena dilontarkan berulang kali oleh Dewa Kobra Cabul yang saling labrak dengan sepasang sayap api raksasa yang melindungi Nagagini.
Menahan empat-lima serangan mungkin masih bisa di tahan oleh sepasang sayap api raksasa, lha kalau jumlahnya puluhan dan beruntun pula?
Dua benturan berikutnya adalah dimana sepasang sayap api raksasa sanggup bertahan, namun suara dentuman ketiga adalah saat dimana jurus ‘Sambaran Sayap Api Neraka’ tertembus dan akhirnya hancur berkeping-keping.
Lalu, bagaimana dengan suara ke empat!?
Begitu mengetahui kalau jurus ‘Sambaran Sayap Api Neraka’ sanggup di tembus serangan lawan, putri cantik tokoh silat berjuluk si Tongkat Kayu Baka dari Perguruan Tongkat Hijau sontak mendorongkan tangan kirinya yang telah terangkum jurus Pukulan ‘Tanpa Tanda’. Meski darah kental kehitaman banyak keluar dari panca indranya, namun gadis ini yang berprinsip lebih baik mati daripada hidup terhina, tetap bersikeras melakukan serangan terakhirnya.
Si kakek yang tidak menyangka kalau gadis cantik lawannya masih memiliki pukulan terakhir, tidak sempat mengelak, apa lagi jenis pukulan yang dilontarkan si gadis ternyata sanggup menerobos kepungan sinar perak terang dari Pukulan ‘Ular Dewa Memuntahkan Mayat’.
Tak pelak lagi, si kakek terlempar ke belakang empat-lima tombak jauhnya disertai muntahan darah kental kehitaman.
"Hoekhhh ... ! Hoekhhh ... !"
Mau muntah ... muntah dech ... !
Lalu bagaimana dengan Nagagini?
Tewaskah!?
Tentu saja tidak!
Mesti saat ini bisa dikatakan nyawa tinggal seusap saja, toh nyatanya gadis itu masih hidup kendati luka yang dideritanya teramat sangat parah. Tubuhnya tersentak-sentak seperti orang disengat listrik ribuan volt. Setiap satu sentakan maka darah bergumpal-gumpal keluar dari mulutnya.
Benar-benar mengenaskan!
Gadis itu terkapar ditanah, tak mempedulikan lagi tubuh telanjang bulat dengan leleran darah dari mulutnya. Jangankan mengangkat tangan, berkedip saja sudah sulit.
"Ahh ... mungkin beginilah rasanya mau mati," pikir gadis itu.
Dewa Kobra Cabul dengan tertatih-tatih berjalan mendekat. Meski mengalami luka dalam, tapi kondisinya masih lebih bagus dari murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal.
Setiap langkah kaki Dewa Kobra Cabul bagaikan langkah kematian bagi Nagagini.
"Heemm ... kau memang ... gadis luar biasa ... " kata Dewa Kobra Cabul dengan terengah-engah. "Baru kali ... ini aku menjumpai ... lawan seperti dirimu ... "
Tangan kanan kakek berbaju sisik perak itu terjulur sejarak dua jengkal dari tengah dada membusung Nagagini (gendeng juga ni orang, lawan sudah tiga perempat koit masih juga buat ‘mainan’). Seberkas cahaya perak terang dengan loncatan-loncatan api putih terlihat menyelimuti tapak Dewa Kobra Cabul.
Zzzrtt ... zzrrtt ... !
Nagagini tentu saja melihat itu, tapi mau bagaimana lagi?
Dirinya sudah tidak bisa berbuat apa-apa!
Plekk!
Pelan sekali tangan kurus itu diletakkan di tengah-tengah busungan dada, namun akibatnya justru luar biasa!
"Aaaaaahhh ... aaghhh .... huaghh ... !"
Nagagini menjerit setinggi langit!
Merasakan sakit yang mendera seluruh jalan darah, nadi bahkan sampai ke seluruh urat yang ada di tubuhnya!
Sakitnya sungguh sulit dibayangkan.
Tubuhnya melejang-lejang sekarat.
Matanya membeliak seakan ingin meloncat keluar.
Seluruh jaringan tubuh seperti disundut dengan jarum api panas membara.
Benar-benar siksaan yang luar biasa!
Yang luar biasa, Nagagini tidak pingsan mendapat siksaan berat seperti itu!
 
BAGIAN 37


"Aaaaaahhh ... aaghhh .... huaghh ... !"
Entah jeritan yang ke sekian kalinya terdengar membahana di seantero tempat itu. Setelah sepeminuman teh berlalu, sedikit demi sedikit, suara teriakan keras Nagagini menurun ... menurun ... menurun lagi ... dan akhirnya berhenti sama sekali.
Begitu erangan kesakitan berhenti, cahaya putih terang yang semula memancar dari tapak tangan Dewa Kobra Cabul bergerak membola yang semakin lama semakin besar dan melingkupi sosok keduanya.
Werr ... !
Bersamaan dengan itu, enam belas larikan sinar hitam yang bergerak bagai kilat, menerobos masuk ke dalam bola cahaya perak dan pada akhirnya ...
Brasss ... !
Bola cahaya perak terang berhamburan bagai kaca pecah. Namun anehnya, serpihan kaca perak yang terbang melayang justru bergerak menyudut-panjang seperti ular dan akhirnya ...
Bluk!
Sebentuk benda panjang berwarna putih perak terlihat menggulung di tanah, di samping kanan sosok Nagagini yang entah tertidur entah pingsan.
Sebentuk cambuk!
Di sebelah cambuk, tergeletak sepotong celana bersisik perak, sebuah kain panjang selingkaran tubuh dan baju rompi yang juga bersisik perak.
Akan halnya dengan Nagagini, sosok gadis itu terlihat sehat-sehat saja, tidak tampak luka dalam atau pun ceceran darah seperti sebelumnya. Tubuhnya tetap mulus dengan dada kencang membusung. Sebentar kemudian, mata gadis itu membuka perlahan-lahan.
"Ooohh ... dimanakah aku?" gumamnya sambil bangun dari tidurnya dan duduk dengan raut muka bingung. Matanya memandang ke sekelilingnya. "Sudah matikah!?"
"Tidak ada siapa-siapa disini ... " gumamnya. " ... lalu kemana gerangan perginya kakek brengsek dan ular-ularnya?"
Mendadak ...
"Kau sudah bangun, Cucuku!"
Sebentuk suara terdengar, tapi tidak ada seorang pun di tempat itu selain sosok Nagagini.
"Kau siapa?"
"Aaahh ... masa’ sudah lupa dengan suaraku, hehehe ... " terdengar jawaban yang --nadanya terdengar cengengesan-- dan entah darimana datangnya, seolah-olah suara itu ada di dekat-dekat situ saja.
"Rupanya kau!" sentak si gadis.
Matanya mengedar ke sekeliling, tapi tidak ditemukan si kakek dan kawanan ularnya.
"Sudahlah, Cucuku! Kau tidak perlu marah-marah seperti itu. Kalau kau marah, jadi semakin cantik saja, hahahaha ... " kembali suara yang diyakini suara Dewa Kobra Cabul terdengar bergema.
"Kau ... !?"
"Cucuku! Dengar dulu penjelasan kakek!" cegah suara tanpa wujud.
Mendengar nada suara yang sedikit melembut, Nagagini menurunkan tensi suaranya.
"Baiklah, apa yang mau kau katakan!" seru Nagagini dengan sewot.
Terdengar suara helaan napas, lalu sebentuk suara kembali terdengar, "Begini! Dulunya kakek ini orang baik, cuma karena terlalu nakal dan jahil, bahkan dengan kenakalan kakek itu sampai beberapa gadis hamil dan akhirnya pada bunuh diri karena malu. Kakek dimarahi oleh guru kakek, bahkan sampai disumpah serapahi segala ... "
"Huh, kalau tingkahmu seperti itu memang sudah pas," potong Nagagini, cepat. Nadanya tidak seketus semula. Namun lucunya, gadis itu seolah lupa kalau sekarang ini sosok dirinya masih telanjang bulat alias bugil total!
"Ya iya-lah ... soalnya dulu kakek ini ganteng banget. Kakangmu saja masih kalah lho sama kegantengan kakek," seloroh suara tanpa wujud. "Tapi ngomong-ngomong nih ... lebih baik kau pakai baju dan celana dulu, kakek takut kalau kelamaan melihat bukit kembar dan hutan lebatmu, ‘pusaka’ kakek jadi bangun kembali ... hehehe ... "
Seperti diingatkan, Nagagini melihat tubuhnya. Mukanya merah padam menahan malu, lalu dengan secepat kilat, disambarnya baju rompi, kain panjang dan celana yang tergeletak disitu terus dipakainya dengan cepat.
Beberapa saat kemudian, selesailah sudah Nagagini.
Kulitnya yang putih mulut terlihat makin kinclong dengan balutan pakaian serba perak. Dada membusungnya terlihat semakin aduhai dibalut dengan kain panjang yang diikatnya di depan. Pas sekali. Belum lagi dengan rompi tanpa kancing yang dikenakannya, semakin menambah daya pikat dari si gadis kala angin bertiup kencang sehingga membuat rompi berkibar-kibar ke belakang. (bisa dibayangin, kan!?)
"Waduh ... waduh ... itu kain pusaka kenapa dipakai buat penutup dada, sih?"
Nagagini dengan mulut meruncing menyahut, "Habisnya ... "
"Ya, sudah. Nanti kalau kau keluar dari sini, segera lepas dan ganti, ya?" ujar Dewa Kobra Cabul yang sekarang entah berada dimana.
"I-ya .. ya ... "
"Uuhh ... senjata maut kok dibuat penutup dada," terdengar suara nggedumel di tempat itu. "Sekalian saja cambuk itu kau pakai buat ikat pinggang, biar bajumu tidak berkibaran seperti itu."
Nagagini memungut cambuk dan melilitkan di pinggang.
Pas sekali!
"Mau dengirin lagi ga ceritanya?"
Nagagini hanya mengangguk, lalu duduk di atas sebongkah batu besar.
"Karena kenakalan kakek itu, kakek dikutuk hidup dengan ular kobra dan bertingkah laku seperti mereka. Beruntung kakek dikutuk jadi manusia ular, cuma disuruh hidup dan bercampur baur dengan mereka. Meski kelihatan enak, namun tidak enak."
"Lho, kok bisa?"
"Ya, bisalah ... sebab setiap bulan purnama tiba, kakek selalu kelaparan. Apa saja yang kakek makan tidak bisa mengenyangkan. Bahkan kakek pernah makan kerbau besar, tapi tidak kenyang-kenyang juga. Ular-ular teman kakek juga sama. Dan bersamaan itu pula, nafsu birahi menjadi meninggi hingga kepala seperti mau pecah. Hingga pada akhirnya, kakek sering menculik anak-anak gadis, memperkosanya dan akhirnya kakek makan bersama ular kobra yang tadi kau lihat. Barulah rasa lapar itu hilang."
"Waaah ... kakek benar-benar kejam dan sadis," kata Nagagini dengan bulu kuduk meremang. Ia membayangkan kalau dirinya menjadi penghuni perut ular dan keesokan harinya cuma jadi seonggoh ampas alias kotoran ular.
"Benar, Cucuku! Tingkah kakek memang kejam dan tidak manusiawi lagi. Bahkan Kakek Guru pun menyesal telah mengutuk kakek dengan kutukan seperti itu. Lima puluh tahun yang lalu, kakek bermimpi bahwa kakek akan terbebas dari kutukan, jika ada seorang gadis cacat yang memiliki kesempurnaan tubuh dan beberapa ciri yang lain. Salah satunya adalah memiliki sebuah ilmu yang bernama ‘Tanpa Tanda’. Maka kakek akan terbebas dari kutukan," ujar suara tanpa wujud.
Nagagini paham yang dimaksud dengan kata-kata ‘gadis cacat yang memiliki kesempurnaan tubuh’ sebab kakinya pernah putus dan akhirnya bisa di sambung utuh oleh Jalu Samudra. Sedang bentuk kecacatan yang lain adalah ia kehilangan keperawanan juga dianggap sebagai bentuk kecacatan.
"Terus, darimana kakek mengetahui kalau gadis itu adalah aku?" tanya Nagagini.
"Pada mulanya kakek tidak tahu, Cucuku! Tapi sewaktu kakek ingin menghisap sari kehidupanmu sebagai makanan, justru tenaga saktiku tersedot ke dalam tubuhmu tanpa bisa kakek cegah."
"Kapan kakek melakukannya, kok aku tidak merasa?" tanya heran Nagagini.
"Ketika kau berada antara hidup dan mati, Cucuku."
Nagagini mengangguk pelan tanpa sadar.
"Ketika itulah kakek menyadari bahwa masa kutukan kakek selama ratusan tahun segera berakhir. Tapi kakek merasa sayang dengan segala ilmu kesaktian kakek akan hilang begitu saja, maka ... "
"Maka apa, Kek?" nada suara Nagagini melembut. Bagaimana pun juga, perasaan halusnya sebagai seorang wanita tetap merasa kalau kakek yang sekarang entah berada dimana patut dikasihani.
“ ... maka, seluruh ilmu kesaktian yang kakek miliki, semuanya kakek pindahkan ke dalam ragamu tapi tidak ke dalam jiwamu, Cucuku."
“Maksud kakek apa?"
“Kakek menginginkan kau mewarisi ilmu kakek, bukan kejahatan kakek. Kau paham?"
"Nagagini paham, Kek."
"Bagus ... bagus ... bagus ... "
"Tapi cara menggunakan ilmu kakek, bagaimana?"
"Ooo ... itu gampang. Sekarang kau pejamkan matamu," perintah si kakek. " ... dan lakukan semadi."
Tanpa diperintah dua kali, murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal memejamkan mata.
Tarikan napasnya begitu lembut mengalun bagai angin bergerak bebas. Sebentar kemudian, dalam benaknya, tergambar rangkaian jurus-jurus silat aneh yang baru pertama kali ia lihat. Terlihat di sana sesosok tubuh bergerak kadang cepat kadang lambat, kadang keras kadang lembut silih berganti. Yang lebih aneh lagi, sosok yang bergerak lincah kesana kemari itu ternyata adalah sosok dirinya!
Jurus tendangan, pukulan, totokan, dan penggunaan hawa sakti terpampang jelas. Tak lama kemudian, seluruh bayangan menghilang. Dan benak Nagagini kembali membumi.
"Bagaimana, Cucuku?" kata sosok tanpa wujud, yang rupanya masih dengan setia menanti di tempat itu.
"Saya sudah mengerti, Kek."
"Cambuk Dewa Kobra yang ada di pinggangmu adalah jelmaan enam belas ular kobra siluman yang sebelumnya kau lihat bersamaku. Pergunakan untuk menebar kebaikan. Kakek kira dengan 19 jurus ‘Cambuk Cacat’ dan 4 jurus ‘Cambuk Tak Sempurna’ yang kakek wariskan padamu sudah lebih dari cukup mendampingimu," tutur kakek Dewa Kobra Cabul.
"Baik, Kek."
"Nah, sekarang ... berjalanlah kau ke arah selatan dan bantu Perguruan Tanah Bambu mengatasi kemelut yang menimpa mereka. Kau akan menemukan Nyai Kembang Hitam sesuai amanat dari gurumu."
"Kakek tahu semua?"
"Hehehe ... jelek-jelek begini kakek orang sakti, lho ... "
"I ya deh ... i ya ... "
"Oh ya ... tambah lagi ... "
"Apa, kek?"
"Mulai sekarang, namamu kakek tambah : Dewi. Jadi lengkapnya : Dewi Nagagini. Gimana? Bagus ga?"
"Emmm ... bagus, kek. Saya suka."
"Nah, sekarang supaya cepat sampai disana, kau gunakan kain penutup dadamu itu," ucap si kakek.
"Caranya gimana, Kek?"
"Usap-usap sajalah ... "
"Hah!? Diusap-usap? Yang bener, Kek!?"
Sepi.
Tidak ada jawaban.
"Kek?" kata Nagagini.
Kembali suasana sepi.
"Uhhh ... dasar kakek aneh. Pergi tidak bilang-bilang," gerutu Dewi Nagagini. "Di usap-usap gimana? Apa begini!?"
Dua tangannya pulang-balik mengusap dada kencang membusung. Pada usapan ketiga ...
Wutt!
Tubuh Nagagini melenting tegak lurus bagai dilemparkan tangan-tangan raksasa.
"Wuaaa .... !"

--o0o--
 
BAGIAN 38


"Oohhh ... Jaluuu ... " berulang-ulang Dara Emas memanggil nama Jalu.
Sedangkan Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis tetap meremas sepasang bukit kembar sambil melihat pemandangan indah yang terpampang di depan mata. Tubuh Dara Emas menggerinjal-gerinjal, meliuk-liuk seolah menari-nari di hadapan pemuda ganteng bermata putih itu. Pilar tunggal penyangga langit terasa semakin nikmat merasakan remasan liang gerbang istana kenikmatan dan sebentuk jepitan kuat pahanya di atas paha si pemuda.
Tiba-tiba tubuh Dara Emas terdiam sejenak, matanya menatap penuh gairah ke arah si Pemanah Gadis, dan sesaat kemudian dengan liarnya Dara Emas memeluk dan tubuhnya menggerinjal-gerinjal dengan kuat, hingga gerbang istana kenikmatannya terasa semakin meremas-remas pilar tunggal penyangga langit yang hampir delapan bagian telah terbenam di dalam sana. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya benda yang besar panjang dan sanggup menerobos hingga sebegitu jauh. Jalu tahu, saat ini Dara Emas pasti sedang mencapai titik puncak asmara, maka dengan sekuat tenaga Jalu Samudra meremas pantat Dara Emas dan menekannya ke arah pilar tunggal penyangga langitnya, sehingga semakin dalam menghujam ke dalam gerbang istana kenikmatan Dara Emas.
20 dari 30 Jurus ‘Asmara Pemanah Gadis’ telah digunakan Jalu Samudra untuk menaklukkan sembilan dara, sekarang kini Jalu Samudra saling gempur dengan Dara Emas, dara ke sepuluh!
Benar-benar antrian yang panjang!
Ke sembilan dara lainnya terlihat terkapar dengan napas turun-naik. Bukan terkapar sekarat tapi terkapar dalam kenikmatan. Selama hidup, belum pernah mereka ditaklukkan luar dalam secara hampir bersamaan. (kalau diceritain satu-satu, bisa-bisa lepi yang ane pake ‘hang’, hahahaha ...!)
Benar-benar luar biasa!
Jika sebelumnya Jalu Samudra menggunakan jurus ‘Ulat Sutera Berjalin’, sekarang ini jurus ‘Kupu-kupu Melayang’ digunakan oleh si Pemanah Gadis. Jurus ini menempatkan diri si Pemanah Gadis sebagai pengendali dan pendominasi permainan dimana Jalu Samudra dalam posisi di bawah dan Dara Emas di atas. Jalu dalam posisi berbaring dengan kedua kaki setengah terlipat dan Dara Emas duduk mengapit panggulnya dengan arah membelakanginya.
Dara Emas sudah dalam kondisi rangsangan tinggi dimana pilar tunggal penyangga langit Jalu Samudra tegak menantang --meski sudah ‘menghabisi’ sembilan gadis-- dan gerbang istana kenikmatan Dara Emas sudah basah kuyup. Jurus ini merupakan jurus yang sangat dahsyat, selain Dara Emas dapat menentukan kecepatan dan gerakan, dia pun dapat menerima rangsangan yang kuat pada belahan buah pantat dan tulang ekornya sementara Jalu Samudra dapat menstimuli rangsangan di sana dengan sentuhan lembut menggoda.
"Jaluu ... oohh ... oohh ... " desah Dara Emas.
Gerakan Dara Emas acap kali ke kanan-kiri, atas-bawah dan spiral, sehingga Jalu dapat menggerakkan panggul dengan maju mundur dengan lembut dan perlahan. Kembali pemuda murid tunggal Dewa Pengemis mengikuti irama tubuh Dara Emas, sementara pilar tunggal penyangga langit pun terasa berdenyut-denyut dengan hebatnya.
"Ayo Dara Emaaass ... " si Pemanah Gadis membalas desahannya. Pikirnya, "Sudah saatnya kuakhiri dengan hawa keperkasaanku."
Dan dengan sekuat tenaga Jalu menekan pilar tunggalnya semakin dalam ke gerbang istana kenikmatan dan …
Srassh ... !
Sebentuk hawa aneh segera menerobos masuk.
Sontak Dara Emas berjengkit kaget!
"Apa ini?" pikir Dara Emas dalam hati, "Kurasakan sebentuk hawa menyelusup masuk lewat pintu bawah ... oohh ... kenapa ... kenapa tubuhku menjadi terasa ringan, terasa nyaman dan ... rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di bawah sana ... "
Dan ...
"Aahhhh ... !"
Terdengar erangan keras dari mulut Dara Emas sementara tubuhnya menegang dan pahanya meronta-ronta seolah liang dalam istana kenikmatan ingin melumat pilar tunggal Jalu Samudra. Perlahan-lahan tubuhnya mulai diam, sementara ‘pusaka’ pemuda sakti pewaris Kitab Dewa-Dewi tetap tertancap di dalam liang istana kenikmatannya.
"Jalu ... kau sungguh-sungguh luar biasa ... " dari mulut Dara Emas terdengar suara desahan.
"Dara Emas ... kau juga luar biasa ... " jawab Jalu alias si Pemanah Gadis, sementara tangan kiri mengelus-elus bongkahan pantat Dara Emas yang lembut.
Dara Emas kemudian turun dari atas tubuh si pemuda dan terlentang di sampingnya dengan mata terpejam.
Beberapa saat kemudian, sepi kembali meraja.
Setelah mengatur napas beberapa saat, Dara Emas --yang masih bugil tentunya-- bangkit dan bertepuk tangan tiga kali.
Plok! Plok! Plok!
Serentak ke sembilan dara lainnya bangun dan berdiri di belakang Dara Emas.
Mendadak Dara Emas duduk berlutut dengan kepala tertunduk.
"Salam hormat kepada Tuan Majikan!" kata ke sepuluh dara itu, serempak.
Jalu Samudra kaget!
Sontak ia berdiri dan matanya memandang berkeliling, namun tidak ada satu pun di tempat itu kecuali mereka bersebelas.
"Kalian bicara kepadaku?" tanya Jalu Samudra, heran.
"Benar, Tuan Majikan!" kembali suara serempak terdengar.
"Tapi ... aku bukan majikan kalian!?" tanya Jalu semakin heran.
"Sekarang ini, Tuan adalah majikan kami," sahut Dara Emas, mewakili teman-temannya.
"Waduh ... tidak bisa, tidak bisa! Aku bukan siapa-siapa kalian," kembali Jalu Samudra menolak.
Lucunya, pilar tunggal si pemuda tetap tegak menantang!
"Meski bukan siapa-siapa, Tuan tetaplah majikan kami," ujar Dara Hijau.
Jalu meringis untuk beberapa saat, lalu bertanya, "Apa sudah tidak bisa dirubah lagi?"
"Dengan sangat terpaksa sekali, tidak." sahut Dara Hitam.
Jalu Samudra langsung mendadak pusing!
Aneh, ya?
"Celaka dua belas setengah! Apa-apa’an mereka ini," pikir Jalu Samudra sambil bangkit berdiri, "Ga ada hujan ga ada angin, nyebut orang seenaknya."
Setelah berjalan mondar-mandir kayak setrika-an, barulah Jalu Samudra duduk kembali.
"Jelaskan alasan kalian," ucap Jalu Samudra.
Dara Emas yang menjawab, "Menurut ramalan ... "
"Tunggu, tunggu, tunggu dulu!" potong si pemuda, cepat. "Menurut ramalan? Jadi kalian menganggapku sebagai majikan juga menurut ramalan?"
"Benar."
"Terus ... kalian percaya ramalan itu begitu saja?"
"Tidak salah."
"Kalian ... percaya dengan ramalan itu? Benar-benar percaya?"
"Betul."
Si Pemanah Gadis memejamkan mata untuk menahan gejolak dalam dadanya. Makinya dalam hati, "Siwalan! Mereka percaya dengan takhayul, sudah gitu ... rombongan lagi. Wuuh ... untung mereka cantik-cantik, kalau seperti nenek-nenek bau susur ... hiiii ... "
"Jelaskan tentang ramalan itu," kata Jalu Samudra kemudian. "Tapi sebelumnya ... kalian berpakaian dulu. Tidak nyaman kalau kita berbicara dengan situasi dan kondisi seperti ini."
"Baik."
Setelah berpakaian rapi --wah, sulit mengatakan rapi, lha wong serba tembus pandang sih. Masih untung penutup bukit kembar dan rimba belantara cukup tebal. Kalo engga ‘khan sama juga bo’ong tuh!?-- mereka bersepuluh kembali dalam posisi berlutut.
Jalu sendiri juga sudah berpakaian rapi. Baju biru laut dan celana hitam super baru kesukaannya plus rambut di kuncir ekor kuda dengan ikatan tali biru laut pula.
Jalu paling malas dihormati seperti itu, lalu katanya, "Lebih baik kita duduk di bangku bundar itu dan aku ingin sikap kalian tetap seperti sebelumnya."
"Tapi ... tapi ... "
"Tidak ada tapi-tapian!" kata Jalu Samudra, tegas. Pikirnya, "Giliran kalian yang kukerjain ... "
Setelah duduk, mulailah mereka bersepuluh mengatakan tentang ramalan yang dipercaya oleh Sepuluh Dara Gaib.
"Dan jangan panggil tuan majikan," tegas Jalu samudra.
"Tapi ... "
"Ini syarat kalau kalian menganggapku majikan."
Setelah saling pandang satu sama lain, Dara Emas berkata, "Baik. Kalau ada orang lain selain kami, maka sebutan Tuan Majikan kami pakai."
"Eemmm ... boleh juga."
"Dara Hijau, keluarkan gumpalan lontar ramalan," perintah Dara Emas.
Dara Hijau mengangguk, lalu tangannya seperti meraih keatas, dan ...
Plekk!
Sebentuk gulungan lontar terjatuh ditangannya. Menimang sebentar, lalu diangsurkan ke arah Dara Emas.
"Barang siapa membawa kembali Pasir Kujang Duta Nirwana dan Medali Tiga Dewa, maka dialah majikan berikutnya dari Kepulauan Tanah Bambu ini ... " kata Dara Emas saat membaca gumpalan lontar di tangannya.
"Hanya itu?" tanya Jalu Samudra sambil meletakkan Pasir Kujang Duta Nirwana dan Medali Tiga Dewa di atas meja bundar di hadapan mereka.
"Tidak hanya itu saja, Kakang Jalu ... " sahut Dara Hitam, lalu sambungnya, "Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana adalah pusaka warisan leluhur yang tidak sembarang orang bisa menguasainya. Menguasai, bukan memiliki."
Dara Putih pun ikut menyambung ucapan Dara Hitam, "Semua orang bisa saja memiliki dua benda pusaka ini, tapi untuk menguasai para penghuni yang ada di dalamnya, hanya orang-orang yang dipilih saja yang sanggup menggerakkan kekuatannya ... "
"Kalau itu, berarti aku bukan Majikan yang kalian maksudkan," potong Jalu Samudra dengan cepat. "Kalian salah orang, tuh!"
"Kami tidak salah orang dan tidak mungkin salah memilih orang."
"Tentu saja salah orang, karena aku tidak menguasai semua penghuni ke dua benda ini," kata Jalu Samudra sambil menunjuk di atas meja. "Diriku ditugaskan oleh guru mendiang Dewa Pengemis untuk mengembalikan benda ini ke sini dan suruh bantu-bantu dikit, habis itu ... selesai!"
"Sekarang kami tanya padamu, dengan cara bagaimana kau mendapatkan Medali Tiga Dewa ini?" tanya Dara Perak.
"Aku mendapatkannya dari guru si Dewa Pengemis --yang menurut beliau-- Medali Tiga Dewa tidak boleh lepas dari tanganku," tutur Jalu Samudra.
"Sebelum gurumu memerintahkan hal itu, apa yang telah kau lakukan?" kembali bertanya Dara Perak.
Jalu Samudra berpikir sebentar, lalu menjawab, "Setelah menamatkan 18 Jurus ‘Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ dan 18 Jurus ‘Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang, guru Dewa Pengemis baru memerintahkanku untuk memegang medali itu, setelah sebelumnya, setiap medali kupegang, aku selalu terpental. Namun setelah menguasai dua ilmu itu, tidak pernah terjadi lagi."
"Lalu apa lagi?"
"Emmm ... tidak ada," sahut si Pemanah Gadis. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Oh ya ... waktu itu Nagagini pernah meminjam sebentar Pasir Kujang Duta Nirwana, tapi tubuhnya tidak separoh terbakar setengah membeku seperti dulu saat seorang murid tokoh persilatan menyentuh benda itu."
"Kalau Nagagini berniat memiliki benda itu, maka dia akan mengalami celaka," terang Dara Coklat. "Tapi Nagagini tidak berniat memiliki --hanya meminjam saja-- maka dia selamat."
"Setelah itu, apalagi yang kau alami?" tanya kembali Dara Perak.
Jalu Samudra berpikir beberapa lama, lalu jawabnya, "Seingatku ... sudah tidak ada lagi."
"Baiklah. Akan kujelaskan padamu," kata Dara Emas. Lanjutnya, "Pertama : Pasir Kujang Duta Nirwana. Kau berhasil menaklukkan Raja Iblis Duta Nirwana dan begitu ia musnah, sosok asli dari benda pusaka yang bernama Pasir Kujang Duta Nirwana menampakkan wujud aslinya. Seperti yang sekarang ini kau lihat."
"Kalau itu sih, sudah tahu ... " sahut Jalu sambil mencomot pisang raja yang ada disampingnya, kupas ujungnya, pencet bagian bawah kulit, maka pisang raja keluar dengan sedikit lontaran ke atas.
Happ!
Tanpa basa-basi, meluncur masuk ke dalam mulut. Dua kali kunyahan lalu mata sedikit melotot dengan leher memanjang dan urat leher sesaat mengejang ...
Glekk!
Sukses dech masuk ke dalam perut!
"Uahhh ... enaakkk ... " kata Jalu.
"Hahahah, dasar tidak sopan!" seru Dara Hijau tanpa sadar.
"Ihhh ... cara makan yang jorok!" sahut Dara Merah yang sedari tadi diam.
 
Dulu udah pernah baca cerita ini di indoxxxx, cuma sayang berhenti sampe chapter 43 kalo ndak salah, semoga ada yg bisa melanjutkan ceritanya....
Nice share om...
 
Bimabet
BAGIAN 39


"Sebenarnya, kau mau mendengarkan ga sih?" ucap Dara Emas dengan melotot indah.
"I ya ... iya ... cerewet amat, sih." tukas Jalu Samudra sambil memotes pisang lagi. “Ngomong saja, aku denger, kok."
"Untuk Pasir Kujang Duta Nirwana, kukira tidak perlu kujelaskan lagi. Kau sudah paham," sahut Dara Emas.
"Oke ... oke ... anggaplah begitu," jawab Jalu dengan logat sok gaulnya.
"Yang kedua : Medali Tiga Dewa. Medali berbentuk segi delapan yang sanggup menyerap Delapan Unsur Penggerak Bumi. Medali ini dibuat dari lempengan besi hitam berukiran naga, rajawali dan harimau yang oleh orang-orang Perguruan Tanah Bambu, disebut sebagai Tiga Petinggi Satwa Gaib. Jelasnya adalah Roh Dewa Naga Kaki Kilat, Roh Dewa Rajawali Mata Api dan Roh Dewa Harimau Petarung. Mulanya medali ini bernama Medali Delapan Unsur, namun karena campur tangan beberapa tokoh tua dari Perguruan Tanah Bambu yang menitipkan Roh Tiga Petinggi Satwa Gaib sehingga timbullah ukiran naga, rajawali dan harimau seperti sekarang ini ... ," Dara Emas berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu sambungnya kembali. "Untuk bisa menaklukkan atau menguasai Roh Dewa Naga Kaki Kilat, salah satunya adalah dengan memiliki ilmu 18 Jurus ‘Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ dan 18 Jurus ‘Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang untuk menaklukkan Roh Dewa Rajawali Mata Api."
Begitulah, secara bergantian, Sepuluh Dara Gaib menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan Pasir Kujang Duta Nirwana dan Medali Tiga Dewa yang benar-benar membuat mata dan pikiran Jalu Samudra terbuka lebar-lebar.
"E-lhadalah ... e-lhadalah ... wuih ... blaik tenan!" hanya itu saja yang terlontar dari mulut Jalu Samudra. Tidak hanya sekali ... berulang kali malah!
Tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya kalau Medali Tiga Dewa yang diamanatkan mendiang Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga memiliki sejarah yang rumit dan liku-liku yang memusingkan kepala.
"Terus ... untuk menaklukkan Roh Dewa Harimau Petarung, bagaimana?" tanya Jalu Samudra dengan rasa ingin tahu, "Aku cuma pengin tahu saja, kok!"
"Kau sudah melakukannya, Jalu Samudra ... ," jawab Dara Putih.
"Kapan aku melakukannya? Perasaan belum, tuh ... " kata Jalu Samudra sambil memandang tajam ke Dara Putih.
"Kau sudah melakukannya," jawab Dara Emas, mantap. " ... dengan cara mengalahkan kami bersepuluh ... "
"Jadi ... harus bertarung dengan kalian semua?" tanya Jalu dengan mata putih mengedar, memandangi wajah-wajah ayu yang mengelilingi dirinya. "Mana tegaaaa ... !?"
"Bukankah tadi kau sudah bertarung dengan kami?" ucap Dara Jingga yang duduk paling ujung.
"Lhahh ... kapan tarungnya?" tanya Jalu dengan heran. "Perasaan belum deh ... "
"Bukankah tadi kita sudah bertarung ... " kata Dara Perak dengan senyum dikulum. " ... bertarung dalam asmara ... "
Pemuda sakti murid Dewa Pengemis terperanjat kaget!
Tiba-tiba saja, kata-kata Ki Durba terngiang di telinga : ‘Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan.’ Pikirnya, "Jangan-jangan aku bercinta dengan setan bengis yang suka makan manusia!?"
Plok!
Dara Hijau menggaplok lembut belakang kepala si pemuda sambil berkata, "Enak saja kau katakan kami setan bengis? Cantik-cantik dan montok-montok begini ... bengisnya di bagian mana coba?"
Pemuda murid Dewi Pengemis cuma nyengir kuda saja, sambil nyeletuk, "Hehehe ... habisnya ... "
"Apa!?" potong Sepuluh Dara Gaib, serentak.
Makin susah saja Jalu Samudra dikeroyok dengan kata-kata oleh ke sepuluh gadis itu.
"Ahhh sudahlah ... kepalaku kok jadi pusing mendadak, ya ... "
Melihat tingkah Jalu Samudra yang mirip anak kecil ga ke bagian cendol, membuat Dara Merah dan Dara Hitam gemas dan karena kebetulan posisi duduk mereka berdua tepat berada di sisi kanan-kiri si pemuda lalu menggerakkan tangan masing-masing menjewer telinga.
"Ehhmm ... gitu ya ... " kata mereka berdua serempak. Lalu secara bersamaan pula ...
Cupp!
Ciuman mesra mendarat di pipi kanan-kiri si Pemanah Gadis.
"Gimana, masih pusing?" tanya Dara Hitam sambil melepas jeweran.
Jalu Samudra hanya haha-hihi saja sambil mengusap telinga dan pipi bergantian.
“Aduh, gimana, ya!?"
“Uuuhh, bilang saja kalau mau nambah!" seru dara jingga.
Cupp, cupp!
"Udah deh ... udah ... ampe sesak napas, nih!?" sahutnya dengan terengah-engah, lalu katanya, "Terus, kalau kalian sudah kalah, apa yang harus kulakukan!?"
"Masing-masing dari kami memegang satu bagian jurus Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang kekuatan intinya bisa diserap oleh lawan jenis jika kami semua mengalami puncak kemesraan tertinggi, dan kau ... kau satu-satunya pemuda yang telah melakukan hal itu," tutur Dara Emas kembali.
"Wah ... jadi tambah sakti, dong?"
"Ya dan tidak."
"Lho, kok bisa?"
"Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ hanya bisa digunakan jika kau berada di Kepulauan Tanah Bambu dan itu pun dalam keadaan terdesak. Keadaan benar-benar terdesak sekali. Ilmu ini akan muncul dengan sendirinya," ucap Dara Emas, sambungnya setelah menghela napas panjang, yang tentu saja, membuat bongkahan bukit kembar di dadanya bergerak indah.
Jalu Samudra tanpa sadar menelan ludah melihat busungan dada.
"Tapi ... sekeluarnya kau dari tempat ini, ilmu tidak berfungsi sama sekali."
"Wah, ada juga ya ilmu kesaktian seperti itu?" ucap Jalu Samudra dengan nada tidak yakin.
“Nah … karena kau sudah menjadi majikan kami, apa pun yang kau inginkan dari kami bersepuluh, apa pun itu, kami akan melaksanakan dengan patuh. Meski nyawa kami bersepuluh kau minta sekaligus, Sepuluh Dara Gaib tidak akan menolak sedikitpun!" ucap tegas Dara Emas.
“Kalau nyawa … enggaklah. Aku tidak sekejam itu," seloroh Jalu Samudra dengan mulut monyong-monyong, yang membuat para gadis tersenyum geli.
Melihat tawa geli Sepuluh Dara Gaib, membuat Jalu Samudra makin rikuh saja.
Maksudnya, rikuh-rikuh gimana gitu!?
Namun dalam hatinya, ia merasa dalam posisi serba salah. Di satu sisi, amanat dari mendiang gurunya sudah terlaksana dengan sukses dalam mengantar Pasir Kujang Duta Nirwana ke Kepulauan Tanah Bambu meski dengan lika-liku yang ‘sangat mendebarkan’. Di sisi lain, tanpa sengaja pula, dia memiliki tanggung jawab sebagai majikan baru Kepulauan Tanah Bambu di alam gaib.
Benar-benar keberuntungan yang bikin puyeng!
“Apakah … semua orang akan mematuhi dan mengakuiku sebagai majikan baru di tempat ini?" tanya Jalu Samudra.
“Tentu saja. Tidak ada yang berani menentang pemegang sah Pasir Kujang Duta Nirwana dan juga Medali Tiga Dewa," tutur Dara Hitam.
“Kalau ada yang menentang, gimana?"
“Hanya hukuman mati yang pantas untuknya," tandas Dara Hitam.
“Apa tidak terlalu kejam, tuh?"
“Kejam atau tidak, tergantung dari siapa yang membangkangnya."
“Maksudnya?"
“Membangkang yang kumaksud adalah melakukan tindakan yang dilarang kaum rimba persilatan. Misalnya menguasai ilmu sesat, menyerang kepulauan dengan tujuan tertentu, merebut kekuasaan misalnya … , " jawab Dara Jingga, lalu sambungnya. “Kalau sekedar berbeda pendapat hingga terjadi dendam, tergantung pula dari siapa yang salah dan siapa yang benar."
“Hemmm … kukira cukup adil," sahut si Pemanah Gadis dengan manggut-manggut, lalu sambungnya sambil menarik napas dalam-dalam. “Yach … baiklah-baiklah. Kuterima diriku menjadi majikan kalian! Gitu aja kok repot."
“Karena kau sekarang menjadi majikan di tempat ini, kami ada berita untukmu."
“Berita apa?"
“Di Perguruan Tanah Bambu ada sekumpulan manusia-manusia culas yang berniat menghancurkan kedaulatan wilayah Kepulauan Tanah Bambu," kata Dara Biru, “Tentu saja hal ini dianggap suatu kejahatan bagi kami. Dalam dua purnama terakhir ini, sudah lebih dari seratus orang kehilangan nyawa untuk dijadikan tumbal. Dari hasil penyelidikan yang telah kami lakukan, mereka bisa menerobos masuk ke wilayah yang dilingkupi kabut gaib dengan menerobos masuk melalui jalan ular yang ada di Lembah Selaksa Kobra."
“Lembah Selaksa Kobra?" ulang Jalu Samudra, yang tiba-tiba teringat dengan Nagagini.
“Ya. Dari arah lembah itulah, para penyusup --hingga sekarang ini-- berusaha mengggantikan kepemimpinan dari Tuan Majikan yang sah," terang Dara Hijau.
“ … dan yang lebih luar biasanya lagi, beberapa ilmu sakti simpanan Perguruan Tanah Bambu telah berpindah tangan," sambung Dara Jingga, sambil membetulkan duduknya.
“Hemm … jika begitu, kenapa kalian tidak segera bertindak menghentikan mereka?" tanya Jalu Samudra, heran.
“Keinginan seperti itu bisa saja kami lakukan, tapi ada beberapa hal yang menghalangi langkah kami bersepuluh."
“Apa karena kesaktian kalian tidak seimbang dengan lawan, begitu?" tebak si Pemanah Gadis.
“Itu salah satunya! Tapi yang utama, kami tidak bisa keluar dari wilayah alam gaib ini jika tidak ada yang meminta bantuan kami karena … “
“Kenapa?" potong si pemuda cepat.
“Pertama, tubuh kami bersepuluh akan musnah menjadi debu, jika kami melanggar pantangan yang telah digariskan oleh para leluhur Perguruan Tanah Bambu. Dan yang kedua, dalam tubuh kami bersepuluh berada sebuah kutukan, yang hanya bisa dibebaskan oleh seseorang yang sanggup mengalahkan kami bersepuluh," sahut Dara Emas, sambungnya kemudian. “Kutukan gaib yang berasal dari serpihan Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang memang sengaja dipencarkan oleh para leluhur kami!"
Murid ganteng Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga cukup mengerti dengan penjelasan singkat tersebut. Pada dasarnya Jalu Samudra adalah pemuda cerdas, jika orang bicara A, maka ia bisa menebak B sampai Z!
“Baiklah kalau begitu," sahut Jalu Samudra sambil bangkit berdiri, “Kita enyahkan para perusuh itu dari wilayah Tanah Bambu ini."
Serentak Sepuluh Dara Gaib bangkit berdiri sambil berkata serempak, “Siap, laksanakan!"

--o0o--
Brakk!
Meja dari kayu jati hancur berantakan sebagai sasaran kemarahan. Kitab setipis itu bisa menghancurkan kayu jati tebal, bisa diperkirakan seberapa besar kekuatan hawa sakti yang dimiliki sosok laki-laki parobaya berwajah cukup tampan. Kumis tipisnya terlihat terjungkit beberapa kali. Mulutnya mengatup rapat-keras menahan kemarahan yang menggelegak.
“Sial! Dari tiga kitab, justru Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang palsu!" makinya dengan sorot mata mencorong tajam.
Dari ruangan paling ujung, sesosok tubuh perempuan terlihat keluar dari sebuah ruangan.
Sosok cantik jelita dengan pesona menggoda iman, berjalan dengan langkah-langkah genit.
Baju hitam-ketat mencetak setiap lekuk lengkung tubuh indahnya yang digunakan terlihat tidak terkancing sempurna, terutama dua kancing bagian atas, sehingga sembulan bukit dada terlihat membelah separoh lebih dan dengan tongkrongan seperti itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mata laki-laki mana pun blingsatan. Belum lagi dengan keringat yang masih menempel pada baju hitam ketat si perempuan yang semakin memperjelas ke-sexy-annya. Jika sehabis berlatih silat, jelas tidak mungkin, tapi jika jurusnya adalah jurus silat lidah, malah banyak benarnya.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam. Dialah yang dijuluki ...
Nyai Kembang Hitam!
"Ada apa, Kakang Yama Lumaksa?" tanya Nyai Kembang Hitam sambil memeluk erat Yama Lumaksa atau yang dijuluki Dedengkot Dewa atau tepatnya samaran dari Dedengkot Dewa. "Kenapa kau marah-marah tanpa sebab? Dan lagian, kenapa kitab yang susah payah kau dapatkan malah kau buang begitu saja!?"
Dedengkot Dewa hanya mendesah saat merasakan bagian punggung terganjal sebentuk benda lunak yang sanggup memberikan sejuta kehangatan.
Sesaat kemudian, Yama Lumaksa pun berkata, "Kitab itu palsu ... "
"Begitukah?" sahut Nyai Kembang Hitam, lalu sambil melepas pelukan, lalu memungut Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang dianggap palsu oleh Dedengkot Dewa. Dibuka-bukanya sebentar.
Kosong!
"Emmm ... kitab ini memang kosong, tapi belum tentu palsu," tutur Nyai Kembang Hitam sambil duduk di atas meja kayu yang bersebelahan dengan meja kayu yang hancur.
"Apa maksudmu, Nyai?" tanya heran Dedengkot Dewa.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd