BAGIAN 21
Sore itu, langit cerah tanpa awan.
Angin bertiup sepoi-sepoi.
Si bulat bundar di langit pun tidak segarang seperti tadi siang.
Beberapa burung camar terlihat saling berlomba memburu ikan. Beberapa kali terlihat menyambar-nyambar ke arah permukaan air laut, lalu melesat naik dengan kaki mencengkeram hasil tangkapan.
Jalu Samudra, Adiprana dan Cideng terlihat berdiri dekat anjungan menikmati sore. Tiga laki-laki muda ini saling bercerita satu sama lain, namun toh pada intinya cuma satu.
Apalagi jika bukan perkara ... cewek!
Baru diketahui oleh Adiprana dan Cideng kalau Jalu Samudra atau yang kini mereka kenal dengan nama besar si Pemanah Gadis ternyata telah beristri.
“Wah ... hebat juga kau!” seru Cideng sambil menepuk pelan pundak Jalu. “Tapi ada satu pertanyaan dariku. Kau mau jawab?”
“Apa?”
“Gini! Eeee ... waktu kau malam pertama, kerepotan ga?”
“Lho, kenapa kau bilang begitu?” tanya Jalu, heran. Mata putihnya sedikit melebar. “Ada yang aneh begitu?”
“Yach ... engga sih. Cuma ... “ kata Cideng sedikit menggantung. Apalagi jika takut menyinggung perasaan Jalu Samudra.
“Cuma apa?”
“Anu ... hehehehe ... apa kau tidak salah tempat waktu memasukkan senjata pusakamu ... “ sahut Cideng sambil nyengir kuda.
“Hahahahaha!”
Bukannya marah, justru si pemuda bertongkat hitam ini tertawa keras. Beberapa burung camar sampai kaget mendengar suara tawa yang bebas lepas.
“Kalau perkara itu, kau jangan khawatir sobat! Pasti pas! Ga mungkin meleset!” ucap Jalu dengan tetap tertawa.
Adiprana sendiri tersenyum geli saat melihat muka Cideng justru merah padam.
“Hayooo, kau bayangin apa?” goda Adiprana sambil menyenggol bahu Cideng.
“Ahhh ... engga ... ga bayangin apa-apa.”
“Ah ... masak?” kembali goda Adiprana.
Meski kadangkala terlihat angkuh, namun setelah mengenal pribadinya beberapa waktu, Jalu berpikir kalau Adiprana menjadi angkuh karena didikan dari gurunya yang mantan orang aliran hitam yang --tentu saja-- masih memiliki sifat-sifat keangkuhan meski tidak seperti dahulu.
Kembali ketiganya tertawa lebar.
Saat itulah, tanpa sengaja mata Adiprana menangkap suatu gerakan di bawah air.
“Apa itu?” desisnya dengan mata sedikit menyipit.
“Apa ada?”
Jari telunjuk Adiprana menunjuk ke bawah sambil berkata, “Itu ikan, bukan?”
Terlihat disana, sesosok bayangan putih yang diyakini seekor ikan tampak berenang pelan. Namun yang membuat ketiganya kaget adalah bentuk sosok ikan itu hampir sama besar dengan kapal Surya Silam!
Belum lagi ikan putih raksasa menghilang lenyap, muncul empat ekor ikan putih raksasa yang bentuknya sedikit lebih kecil dari yang pertama.
“Jangan-jangan itu ... Ikan Gajah Putih!?” gumam Jalu Samudra, sedang dalam otaknya kembali berkecamuk. “Menurut guru Dewa Pengemis, wilayah Kepulauan Tanah Bambu berada tidak jauh dari lintasan Ikan Gajah Putih. Jika memang ini yang namanya Ikan Gajah Putih, pasti tempat yang aku tuju sudah tidak jauh lagi.”
Matanya mengedar ke sekelilingnya. Namun yang dicarinya tidak ada.
“Setahuku, Ikan Gajah Putih atau Ikan Gajah Putih Pembunuh paling senang berada di wilayah yang sedikit tawar airnya,” kata Adiprana sambil terus memandangi sosok-sosok raksasa yang berenang kesana-kemari di bawah kapal Surya Silam. “ ... dan setiap kawanan ini melintas, pasti akan melakukan hal yang mengerikan.”
“Apa itu?” tanya Cideng tanpa sadar.
“Ikan Gajah Putih senang bercanda dengan membenturkan tubuh ke benda-benda yang bergerak,” kata Adiprana enteng. “Syukur-syukur bisa makan gratis.”
“Makan gratis?” tanya Jalu Samudra.
“Ya. Maksudku ... makan orang secara gratis!” sahut si Naga Terbang. “Beritahu Kakang Gautama, agar menghentikan laju kapal sebelum terlambat.”
“Aku saja!” kata Cideng, segera ia berkelebat cepat ke arah juru mudi yang jaraknya memang tidak begitu jauh.
Sedang Jalu Samudra dan Adiprana mengawasi gerak-gerik kawanan pembawa maut ini.
“Kita harus memberitahu yang lain agar tidak panik. Sebab kepanikan justru memancing keberingasan kawanan liar ini,” tutur Adiprana.
“Apa sebaiknya kita biarkan saja orang-orang di kapal ini agar tidak memancing kepanikan?” usul Jalu Samudra sambil terus memandang kawanan ikan yang berada tepat di bawah kapal.
Adiprana tidak menjawab, tapi memandang lekat-lekat ke arah Ikan Gajah Putih paling ujung. Sosok penguasa laut paling besar diantara para kawanan lain terlihat tenang di bawah sana.
“Kurasa tidak perlu, Sobat! Gerakan kapal ini pada dasarnya sudah memancing hasrat para kawanan Ikan Gajah Putih untuk membenturkan tubuhnya,” kata Adiprana. “Coba kau lihat ikan yang paling besar di sana. Dia terlihat memutar tubuh.”
“Lebih baik aku beritahu teman-teman yang lain,” ucap Jalu Samudra.
Sebentar saja, puluhan orang sudah berkumpul di setiap sisi kapal Surya Silam untuk melihat kawanan Ikan Gajah Putih. Namun dasar orang tidak tahu bahaya, justru mereka melempar beragam jenis makanan ke arah kawanan Ikan Gajah Putih yang menurut mereka jinak.
Jalu Samudra dan Adiprana geleng-geleng kepala melihat tingkah laku para penumpang.
“Aku tidak melihat Trihasta. Kemana dia?” tanya Adiprana dengan mata mengedar.
“Mungkin masih di kamar,” sahut Jalu Samudra. “Biar aku beritahu dia.”
Tanpa menunggu jawaban dari si Naga Terbang, Jalu Samudra melayang naik ke lantai tiga. Menuju kamar Trihasta Prasaja yang memang letaknya hanya bersebelahan dengan kamarnya.
“Trihasta, kau ada di dalam?”
Tidak ada sahutan sama sekali.
“Jangan-jangan dia lagi molor?” pikirnya. “Lagian pintunya sedikit terbuka. Buka engga ya?”
“Trihasta! Kalau kau tidak menjawab, aku masuk nih,” panggil si Pemanah Gadis.
Setelah menunggu beberapa lama dan tidak ada sahutan dari dalam, Jalu mendorong pintu kamar yang memang awalnya agak terbuka, setelah di dalam ia kembali memanggil nama Trihasta beberapa kali.
“Trihasta ... kau dimana ... ?” panggil Jalu Samudra.
Kembali tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara gemericik air mengalir di kamar mandi sehingga Jalu berkesimpulan Trihasta Prasaja tidak bisa mendengar karena terhalang suara gemericik air jatuh.
Namun saat mengetuk pintu kamar mandi, alangkah terkejutnya Jalu Samudra karena ternyata pintunya terbuka sendiri, mungkin karena si penghuni tidak menutupnya dengan benar, sehingga dengan sedikit sentuhan saja pintunya jadi terbuka.
Begitu pintu terkuak lebar-lebar, terlihat sesosok gadis sedang membasuh tubuh putih mulus di bawah pancuran air dengan posisi tepat menghadap ke arah Jalu Samudra.
Jalu Samudra justru terperanjat kaget bukan alang kepalang!
Mata putihnya melihat jelas tubuh telanjang seorang gadis muda lengkap dengan sepasang bukit kembar padat menantang!
“Jaluuuu ... !” terdengar jeritan khas seorang gadis. “Apa-apa’an kau ini!?”
Si gadis sendiri terlihat kaget, segera saja ia menutup sepasang bukit kembar membulat dengan kedua tangan, sedangkan kaki kanannya agak disilangkan dengan maksud untuk menutupi wilayah gerbang istana kenikmatan yang terpampang jelas, lalu posisi tubuh dibalik membelakangi. Namun akibatnya kini terlihat bongkahan pantat padat nan seksi.
Saat itu si Pemanah Gadis sangat kaget, takut si gadis menyangka dirinya sengaja berbuat kurang ajar.
“Eh ... ma ... maaf ... itu ... ee ... aku ada perlu dengan Trihasta ... dia ada ... ?” kata Jalu Samudra terbata-bata sementara tubuhnya mematung tanpa bisa digerakkan dengan sepasang mata putih tetap menatap tubuh si gadis tanpa bisa dikendalikan.
“Wah, berabe nih ... “ pikir Jalu Samudra. “Ga tahunya dia sembunyi’in gadis di kamarnya. Cantik dan sexy betul dia! Dapat darimana dia? Perasaan waktu datang cuma sendirian deh ... “
Melihat yang masuk adalah Jalu Samudra, si pemuda buta yang memiliki kesaktian edan-edanan, hati si gadis sedikit lebih tenang. Meski tidak bisa menyembunyikan rasa malunya, gadis itu tetap berusaha setenang mungkin.
“Oh ... iya ... ada perlu apa?” suara merdu terdengar dari bibir sang gadis dengan tetap membelakangi Jalu Samudra sambil menutupi sepasang bukit kembar. Sementara itu, air dari pancuran terus mengguyur tubuh sekal si gadis, sehingga memantulkan segala keindahan yang dimiliki tubuh mulusnya.
“Trihasta dimana?”
“Aku ini ... Trihasta Prasaja!” bentak si gadis yang mengaku bernama Trihasta Prasaja.
“Ah, masa’ kau Trihasta?” ucap Jalu meragu. “Bo’ong nih!?”
“Dasar Jalu brengsek! Lihat mata dan wajahku!” tukas gadis yang mengaku Trihasta sambil membalik pinggang namun tetap menutupi sepasang bukit kembar dengan ke dua tangan.
“Sama, ‘kan?” kata si gadis setelah si Jalu terdiam beberapa saat. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. “Bego benar aku ini! Dia kan buta, mana bisa melihat?”
Meski agak malu, gadis cantik yang mengaku bernama Trihasta berjalan mendekati Jalu Samudra yang tetap memandang tanpa kedip dengan mata putihnya. Kedua tangannya sudah tidak lagi menutupi bongkahan padat menantang dengan ujung-ujung berwarna merah segar.
“Kalau begini bagaimana?” katanya dibuat berat seperti suara Trihasta yang biasa di dengar Jalu.
“Aku percaya.”
“Kau benar-benar percaya?”
Jalu mengangguk.
“Lebih baik kau berpakaian dulu,” kata Jalu beranjak pergi dengan tetap mengetukkan tongkat hitam, suatu kebiasaan yang tidak pernah lepas dari tangannya dan duduk di kursi dekat ranjang dengan degup jantung yang sangat cepat.
Sesaat kemudian terdengar langkah Trihasta Prasaja keluar dari kamar mandi. Gadis itu menutupi sebagian tubuhnya dengan selembar kain pendek, hingga bagian pahanya dengan jelas terlihat begitu indah.
Sementara itu si Pemanah Gadis terus memandangi tubuh Trihasta Prasaja, memandangi paha mulus yang tertutup sekedarnya, jika saja gadis yang menyamar ini agak membungkuk pasti pantatnya akan terlihat cukup jelas. Si Pemanah Gadis terus menikmati pemandangan indah itu, rangsangannya begitu kuat sehingga terasa sekali bagian bawah perutnya terasa menegang.
Jika saja tidak ditahan, pasti malu-maluin dech!
“Maaf tadi ... tadi nggak sengaja,” kata Jalu pelan.
“Iya ... udah ... nggak apa-apa ... “ sahut Trihasta Prasaja dengan suara merdu sambil berdiri di depan Jalu Samudra. “Toh kau buta, jadi tidak bisa melihat tubuhku. Tapi kau harus berjanji, tidak akan mengatakan kejadian ini pada siapapun!”
“I ya deh ... i ya ... “
“Jalu! Ada perlu apa kau mencariku?” kata lembut Trihasta Prasaja.
“Di bawah kapal ada ... “
Belum lagi suara Jalu terucap sepenuhnya, tiba-tiba saja terdengar suara keras.
Brakk! Brakk ... !
“Celaka!” seru Jalu Samudra. “Kawanan itu sudah mengamuk.”
“Kawanan apa?”
Kembali terdengar suara keras berderaknya kayu. Namun belum lagi Jalu Samudra beranjak dari duduknya dan Trihasta Prasaja bertanya lebih lanjut apa yang terjadi, tiba-tiba ...
Brakkk ... ! Brakkk ... ! Brakkk ... !
Rupanya, kawanan Ikan Gajah Putih menjadi liar saat mendengar suara-suara sorak-sorai penumpang kapal Surya Silam bahkan ada diantaranya yang melempari bergaai jenis makanan ke laut. Seekor Ikan Gajah Putih yang berukuran lebih kecil, melesat cepat dari bawah air dan membenturkan moncongnya ke lambung kapal.
Brakk!
Beberapa orang terjatuh ke dalam air dan tanpa sempat menyelamatkan diri lagi, mereka yang terjatuh ke laut dalam waktu kurang dari satu kedip telah menjadi penghuni perut kawanan Ikan Gajah Putih.
Mungkin besok pagi sudah jadi kotoran ikan!
Brakk! Brakk!
Beberapa ekor ikan putih raksasa berebutan menghantamkan moncong ke lambung kapal Surya Silam, hingga dalam waktu tidak kurang dari tiga puluh detik, kapal Surya Silam pun karam!
Blubb! Blubb!
Kapal tenggelam begitu cepat.
Bahkan si Pemanah Gadis sendiri yang entah bagaimana, tahu-tahu sudah berada di dalam air. Begitu menyentuh dinginnya air, Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ kembali menunjukkan kelasnya.
“Dimana gadis itu?” gumam Jalu Samudra. Kepala mengedar, lalu menangkap sesosok tubuh sedang sibuk mengikat kain yang melilit tubuhnya. “Itu dia!”
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga berenang ke arah gadis yang bernama Trihasta Prasaja, lalu mendekap erat tubuh si gadis.
Krepp!
Trihasta Prasaja tentu saja kaget, namun melihat siapa yang telah mendekapnya, dia hanya memandang penuh terima kasih.
“Atur napasmu,” kata Jalu Samudra dalam air.
Si gadis mengangguk sambil menjungkitkan alis keheranan, pikirnya, “Gila! Dalam air pun ia bisa berbicara seperti biasa! Kesaktian macam apa yang dimiliki si buta ganteng ini?”
Beberapa orang pesilat yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi, masih bisa bertahan di dalam air. Namun, sergapan ganas dari kawanan Ikan Gajah Putih membuat mereka salang-tunjang tak karuan. Bagaimana pun juga, penguasa laut ini merupakan biangnya mahkluk buas penghuni laut. Gerakan mereka gesit meski tubuhnya besar luar biasa.
Crakk! Crakk!
Cukup dengan membuka mulut saja, lima orang langsung tertelan sekaligus dan dengan gigi-gigi tajam sebesar batang kelapa, langsung mengunyah ‘makanan gratis’ yang ada.
Dia kejauhan, sejarak tujuh tombak terlihat satu bola cahaya warna hijau pupus membungkus sosok tubuh seseorang. Beberapa Ikan Gajah Putih berusaha menelan bola cahaya hijau, namun dengan gesit pula, bola cahaya hijau berhasil menghindar sambil melontarkan poukulan-pukulan mematikan ke arah kawanan Ikan Gajah Putih.
Blamm! Blamm!
Meski tidak membuat matinya ikan, namun cukup menyakitkan juga dan pada akhirnya kawanan ikan meninggalkan bola cahaya hijau pupus, mengarahkan pada buruan lain yang paling gampang.
Jalu sendiri belum pernah melihat ilmu kesaktian seperti itu, namun setidaknya ia bisa menduga siapa orang yang berada di dalam bola cahaya hijau pupus.
Siapa lagi jika bukan Adiprana, murid Naga Terkutuk Dari Neraka!?
Seekor Ikan Gajah Putih berukuran sedang menerjang dengan mulut terbuka lebar siap mencaplok tubuh Jalu dan Trihasta sekaligus.
Srattt!
Dengan sigap, Jalu melesat ke atas menghindar. Namun, sosok Ikan Gajah Putih ternyata berlaku cerdik. Mangsa pertama lolos, sosok lain telah menerjang dari belakang.
“Weeee ... ikan kurang ajar! Beraninya main keroyokan!?” seru Jalu sambil berkelebat kesana-kemari sambil mendekap erat Trihasta Prasaja.
Namun pada sergapan yang kesekian kali, dekapannya pada Trihasta terlepas, yang terpegang cuma selembar kain yang tadi dipakai si gadis.
Lepas dari perlindungan Jalu Samudra membuat Trihasta Prasaja yang kini telanjang bulat menjadi kelimpungan. Tidak ada waktu untuk malu, yang ada dalam otaknya hanya menyelamatkan selembar nyawanya. Namun ...
Crasss!
Secepat-cepatnya Trihasta bergerak dalam air, toh tetap kalah cepat dengan sambaran ikan raksasa ini.
Tak pelak lagi, dada kiri yang membusung tersayat sirip ikan! (Aduuh ... eman-eman rek ... !!)
Seketika, gadis yang mengaku bernama Trihasta Prasaja segera merasakan sakit yang merejam di dada kirinya. Darah merah tersembur keluar, dan praktis saja air langsung masuk ke dalam paru-paru karena tanpa sadar tatkala Trihasta menjerit kesakitan.
Akan tetapi belum lagi rasa sakitnya bisa diatasi, dari bawah kaki si gadis, kembali menerjang cepat ikan putih raksasa dengan mulut terbuka lebar ke arah sepasang kaki si gadis.
PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
ttd
GILANG SATRIA