BAGIAN 20
“Kebetulan sekali ... tidak,” jawab nini cantik berbodi semlohai ini. “Tuan Majikan belum sempat memberikan rapalan ilmu tersebut dengan alasan yang aku sendiri tidak tahu, tapi beliau terlanjur pergi tanpa memberikan alasan apa pun ... kecuali sebuah pesan.”
Semua yang berada di tempat itu terdiam. Tidak ada satu pun yang memotong perkataan dari Nini Cemara Putih, orang paling dihormati dari Perguruan Tanah Bambu.
“Tuan Majikan hanya berpesan, yang memimpin selanjutnya wilayah Kepulauan Tanah Bambu dan Perguruan Tanah Bambu adalah orang yang membawa Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana.”
“Medali Tiga Dewa!” seru semua orang yang ada di tempat itu. “ ... dan Pasir Kujang Duta Nirwana!”
Pada dasarnya, Perguruan Tanah Bambu tidak seperti perguruan silat pada umumnya yang menerima murid untuk belajar silat. Meski menggunakan embel-embel perguruan, Perguruan Tanah Bambu justru condong ke arah perkumpulan yang memiliki keanekaragaman ilmu silat pengikutnya, yang artinya tidak ada ilmsu silat baku atau andalan dari perguruan yang tempatnya selalu tertutup kabut gaib ini. Di mana dalam perguruan sendiri selain dibagi menjadi beberapa wilayah yang bernama Tapal Batas, juga setiap Tapal Batas memiliki pasukan tersendiri yang siap berani mati membela majikan masing-masing. Itulah sebabnya di Perguruan Tanah Bambu tidak ada istilah ’Guru’ yang ada hanya ’Tuan Majikan’!
Selain itu Kepulauan Tanah Bambu --tempat berdirinya Perguruan Tanah Bambu-- memiliki dua benda pusaka dan sebuah kitab sakti yang dijunjung tinggi. Yaitu pusaka Medali Tiga Dewa dan pusaka Pasir Kujang Duta Nirwana sedangkan kitabnya bernama Kitab Pusaka Ilmu ‘Seribu Indera’ yang didalamnya di bagi menjadi empat bab.
Tentu saja mereka semua tahu tentang Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana, dua benda pusaka warisan leluhur dari Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu yang konon moksa dan kabarnya tinggal di alam gaib. Medali Tiga Dewa adalah medali segi delapan yang sanggup menyerap Delapan Unsur Penggerak Bumi dimana medali ini terbuat dari lempengan besi hitam berukiran naga, rajawali dan harimau yang disebut Tiga Petinggi Satwa Gaib oleh orang-orang Perguruan Tanah Bambu.
Akan halnya senjata sakti yang bernama Pasir Kujang Duta Nirwana dulunya pernah dilarikan oleh Iblis Mara Kahyangan ratusan tahun silam dari alam gaib. Dan pada akhirnya justru sang iblis sendiri bersatu raga dengan kujang sakti saat menjelang ajal dan kembali hidup di dunia serta mengganti nama : Raja Iblis Pulau Nirwana yang merajalela dengan segala keangkaramurkaannya. Pada akhirnya kujang sakti berhasil dimurnikan kembali oleh seorang pemuda sakti bernama Jalu Samudra yang dijuluki si Pemanah Gadis (mau tahu kisahnya, coba liat ke jilid 2 dech ...!)
Riung Gunung yang berada di belakang sendiri berbisik pada Kaswari.
“Wah, kalau begitu kebetulan dong.”
“Apanya yang kebetulan, Kang?” bisik Kaswari.
“Jika Nini Cemara Putih benar-benar penulis kitab sakti yang hilang, bukankah sama artinya dia adalah kitab sakti berjalan,” ucap Riung Gunung lirih.
“Maksudmu?”
“Yahh ... minta diajari satu-dua ilmu bolehlah, hihihi!!”
“Aaahh .. paling-paling juga Kakang maunya nggodain nini cantik itu,” sungut Kaswari dengan mulut meruncing.
“Ahhh ... tau aja kau!” gerutu Riung Gunung ketahuan belangnya. “Memangnya kau ini cacing di perutku apa?”
“Justru Kakang ini yang cacing kegatelan! Liat jidat mulus dikit aja sudah blingsatan kayak mata maling,” bisik gemas Kaswari sambil mencubit paha pemuda berperiuk. “Dasar pemuda mata bongsang ... !”
Dasar pemuda rada gendeng, justru ia malah berkata, “Wadaoww ... !! Jangan ... jangan ... jangan ... “
“Jangan apa!?” potong Kaswari cepat.
“Jangan hanya disitu saja, naikin dikit dech ... “ desis Riung Gunung.
Bukannya mengerang kesakitan, wajahnya malah terlihat mupeng!
“Gayam Dompo!” panggil Nini Cemara Putih.
“Iya, Nini?”
Suara sember Gayam Dompo yang lumayan keras membuat semua orang kaget.
Tidak terdengar suara apa pun terlontar dari bibir sexy Nini Cemara Putih, namun mengapa Kakek Kocak dari Gunung Tugel ini berkata seolah menjawab sebuah pertanyaan. Namun sedetik kemudian, semua orang yang ada di situ maklum, kalau nini cantik berbody semok ini menggunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
“Jika murid cantikmu sudah pengin kawin, kawinkan saja. Daripada kasak-kusuk di belakang seperti orang sinting kebelet kawin,” ucap Nini Cemara Putih yang hanya bisa didengar oleh orang yang dituju. Di wajahnya tidak terlihat nada marah, hanya seulas senyum kecil saja.
Gayam Dompo sekejap melirik ke belakang, lalu kepalanya mengangguk meng-iya-kan.
“Baik, Nini. Baik.”
“Baiklah. Kita kembali ke topik semula,” kata Nini Cemara Putih sambil bangkit berdiri. “Beberapa hari yang lalu aku sempat mendengar adanya pihak-pihak luar yang berhasil menyusup kemari. Perlu diketahui, orang-orang yang bisa menyusup ke tempat kita ini pasti ada hubungannya dengan orang-orang yang ada Kepulauan Tanah Bambu. Sebab tidak mungkin mereka bisa keluar masuk seenaknya jika tidak mengetahui jalan masuk. Ingat! Tuan Majikan yang pertama kali menemukan pulau ini telah menanam pagar gaib yang tidak bisa ditembus dengan cara apa pun. Jangankan senjata sakti, ilmu-ilmu kesaktian dan ilmu gaib apa pun tidak bisa menembusnya.”
“Lalu bagaimana dengan pertarungan akbar yang terjadi dahulu kala antara Matahari Sabit dengan Biksu Shaolin, Nini?” potong Tua Raja Tabir Mentari.
“Itu adalah lain hal,” tukas Nini Cemara Putih. “Pertarungan itu terjadi karena Biksu Shaolin selain memiliki kesaktian tinggi, juga berhasil menemukan jalan tembus masuk ke wilayah Tanah Bambu. Namun, toh mereka sudah berkalang tanah dan rahasia itu pun ikut terbawa ke alam kematian ... “
Semua orang yang ada di tempat itu diam membisu seribu bahasa.
Nini Cemara Putih kembali berkata memecah kesunyian.
“ ... dan rupanya, ada pihak luar yang berkepentingan masuk ke tempat ini. Selain mencuri kitab, aku yakin mereka pasti punya tujuan lain.”
Tua Raja Pedang Bintang yang sedari tadi diam saja, menyeruak membuka kata.
“Lalu ... apa yang seharusnya kita lakukan, Nini?”
“Kita harus menyusun rencana untuk menghadapi setiap kemungkinan yang ada. Tepatnya ... menghadang orang-orang yang berniat makar!”
“Baik!” sahut Tua Raja Bedah Bumi, “Aku akan mem ... “
“Kurang ajar! Ada yang menguping pertemuan kita!” bentak Nini Cemara Putih setelah yakin bahwa atas langit-langit mendekam sosok yang mencuri dengar pembicaraan mereka.
Sontak tangan kirinya mengibas ke atas.
Wutt!
Sinar putih sebesar kepala melesat cepat dan melabrak atap.
Brakk!
Bersamaan dengan itu, Dedengkot Dewa berseru, “Biar saya yang menangani, Nini!”
Sosok laki-laki tampan berkumis tipis yang sekarang mengenakan baju biru gelap langsung melesat naik.
Wusss!
Menerobos langit-langit yang jebol, bersalto beberapa kali dan akhirnya melesat cepat mengejar si pengintip.
Tua Raja Tinju Kayangan bangkit berdiri sambil berkata, “Nini Cemara Putih! Saya rasa dua orang lebih baik dari pada satu orang. Mohon ijin!”
“Silahkan!”
Begitu kata-kata si nini cantik berbaju sedikit menerawang ini selesai, Tua Raja Tinju Kayangan sudah berkelebat cepat. Sebagai salah seorang dari Empat Tua Raja Tanah Bambu, tidak sopan rasanya jika harus pamer ilmu di depan pakarnya. Akhirnya ia melesat ke pintu depan dan menyusul kelebatan Dedengkot Dewa yang lebih dahulu mengejar.
“Riung! Kaswari!” perintah Dewa Periang. “Kalian selidiki sekitar tempat ini!”
“Siap, Paman!”
Pemuda berperiuk dan gadis baju kuning segera menjura, lalu berkelebat cepat. Namun tak lama kemudian, mereka berdua kembali ke tempat pertemuan.
Riung Gunung berkata, “Aman, Paman!”
“Yakin!?”
Murid Ki Ajar Lembah Halimun menganggukkan kepala.
Belum sampai rapat dimulai, terdengar dentuman keras yang sanggup menggetarkan meja kursi yang ada di tempat itu.
“Hemmm ... pakai kekerasan! Pasti ini ulah Kakang Bayu Rakta,” desis Barka Satya.
“Benar, Tua Raja Tabir Mentari!” Contreng Nyawa mendesis. “Dari getarannya, tukang marah itu tengah mengumbar kesaktian.”
“Aku setuju dengan perkataanmu! Si tukang marah lagi beraksi,” sahut Tua Raja Tabir Mentari sambil kembali duduk. “Entah bagaimana nasib si pengintip.”
“Paling juga jadi dendeng manusia,” seloroh Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
“Baiklah! Biar penyusup itu di urus oleh mereka berdua,” kata Nini Cemara Putih mengalihkan pembicaraan. “Kita bahas langkah-langkah yang perlu diambil.”
Sementara itu ...
Di sebelah selatan sejarak ratusan tombak dari tempat pertemuan, tepatnya di sebuah hutan Bambu Hitam yang notabene berada di daerah kekuasaan pimpinan tertinggi dari Empat Penguasa Tapal Batas yaitu Dedengkot Dewa, tampak dua sosok tubuh berdiri berhadapan.
Tidak ada posisi serang atau jurus yang digelar, tapi justru percakapan yang terasa akrab!
Yang berbaju biru gelap jelas Dedengkot Dewa adanya, sedang lawan bicara ternyata seorang perempuan bertubuh tinggi semampai berambut digelung sedemikian rupa dengan menyisakan juntaian rambut di pelipis kiri kanan yang berkibar lembut tertiup angin malam. Sosok perempuan yang memakai baju ketat tanpa dalaman dari bahan jaring rapat yang membungkus tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki hingga mencetak setiap lekuk lengkung tubuhnya. Namun yang paling menonjol adalah sepasang bukit kembar tercetak rapi sesuai bentuknya. Yang jelas, baju jaring hitamnya tidak sanggup menutupi sosok kulit putih bersih si pemakai baju jaring hitam.
Jelas, tongkrongan wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahunan dengan raut muka cantik jelita ini sangat menggiurkan setiap laki-laki yang memandang. Terlebih lagi dengan baju jaring super ketat menerawang sudah lebih dari cukup untuk membuat mata laki-laki jadi hijau.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam.
Nyai Kembang Hitam!
“Buat apa kau datang malam-malam begini?” bentak halus Dedengkot Dewa, namun hatinya sedikit bergetar melihat tongkrongan Nyai Kembang Hitam yang wooow sekali.
Gimana ga gemetar, wong serba keliatan semua. Karena jelas-jelas di balik baju jaring hitamnya, Nyai Kembang Hitam tidak memakai apa-apa!
“Jangan marah dulu, Kakang Yama Lumaksa!” bisik Nyai Kembang Hitam dengan dua tangan terkembang. “Aku sudah kangen denganmu!”
Lalu tanpa permisi, dipeluknya Dedengkot Dewa yang bernama asli Yama Lumaksa sambil bibirnya menutup bibir Dedengkot Dewa.
Waahhh ... rujak bibir nih!
Setelah beberapa saat, Dedengkot Dewa atau Yama Lumaksa melepaskan diri dari sergapan bibir Nyai Kembang Hitam.
“Bagaimana dengan Dedengkot Dewa?”
“Beres! Panji Tilar telah men-sukabumi-kan musuh bebuyutannya,” kata Nyai Kembang Hitam sambil menggelendot manja.
“Bagus!”
Aneh, jika memang Dedengkot Dewa sudah di-sukabumi-kan alias di bunuh oleh Panji Tilar alias Pawang Racun Kecil, lalu siapa Dedengkot Dewa yang sekarang bertemu dengan Nyai Kembang Hitam?
“Kita pergi sekarang?” tanya Nyai Kembang Hitam kepada Yama Lumaksa. “Sudah ga tahan, nih ... “
“Sebentar,” kata Yama Lumaksa sambil meraih ke tubuh sang Nyai, tangan kanan meluncur ke bawah seperti ular menelusuri belahan dada membusung, terus turun ke perut ramping dan akhirnya sedikit bermain di tempat paling ujung di bawah pusar. Dengan cuek-bebek jari tangan Dedengkot Dewa merobek sebagian baju ketat yang tepat menutupi gerbang istana kenikmatan yang kini sedikit basah.
Srett!
“Nah, ini lebih baik ... “ kata Yama Lumaksa sambil memasukkan jari tangan sedikit ke dalam yang tentu saja membuat Nyai Kembang Hitam semakin mendesah-menggelinjang kenikmatan. Namun, belum lagi meneruskan pekerjaannya, sesosok bayangan telah berkelebat mendekat.
Jleg!
“Brengsek kalian!” bentaknya dengan suara sedikit di tekan.
“Apa ada Tua Raja Tinju Kayangan?” sindir Dedengkot Dewa. “Kau mau?”
“Heh, ini bukan tempatnya, bangsat!” kembali Tua Raja Tinju Kayangan membentak. “Kalian harus pergi dari tempat ini secepatnya! Jangan membantah!”
Dengan bahu sedikit diangkat, entah karena nikmat atau meng-iya-kan perkataan Tua Raja Tinju Kayangan, Nyai Kembang Hitam langsung berkelebat pergi diikuti Dedengkot Dewa yang sambil berulang kali mengendus-endus jari tangannya.
Wuss ... !!
Di tinggal sendirinya, tentu saja Bayu Rakta semakin meradang, gerutunya, “Dua bangsat itu jika sudah saling sosor tidak ingat tempat dan waktu. Hemmm ... aku harus segera menyusul mereka.”
Baru satu tindak melangkah, kembali Bayu Rakta berdiam diri.
“Jika langsung pergi begitu saja, pasti orang-orang ****** itu akan curiga. Aku harus menghilangkan jejak.”
Dua tangan Tua Raja Tinju Kayangan mengepal kencang. Tenaga dalam di hempos sampai seperempat bagian hingga terbersit sinar terang berkilauan. Diirngi dengusan napas terbuang, dua tangannya berkelebat saling susul-menyusul ke empat penjuru.
Wurr ... wuss .... !!
Blamm! Blammm ... !
Jajaran Bambu Hitam sontak terdongkel disertai bau hangus menyengat.
Suara ledakan inilah yang terdengar hingga ruang pertemuan dan orang-orang disana beranggapan kalau terjadi pertarungan sengit dengan si pencuri dengar.
“Aku harus menyusul mereka. Sepenanakan nasi baru kembali ke tempat pertemuan,” desisnya. “Jika Dedengkot Dewa tidak mau juga melepas dari dekapan wanita genit itu, biar aku seret saja dia!”
Laki-laki muka codet itu segera berkelebat menghilang dari pandangan.
Keesokan harinya ...
Dua sosok bayangan tampak berkejar-kejaran di balik rimbunnya jajaran Bambu Hitam yang berada di daerah kekuasaan Dedengkot Dewa. Salah seorang diantaranya seorang pemuda baju buntung coklat tua dipadu dengan celana putih. Yang sedikit mencolok adalah sebuah periuk besar bertengger di punggung. Sedang satunya seorang gadis yang bisa dibilang cantik rupawan berbaju kuning ketat tanpa lengan dengan balutan baju dalam merah tua. Di punggungnya tersoren sebilah pedang dengan rumbai-rumbai tali biru.
Siapa lagi jika bukan Riung Gunung dan Kaswari!
Wutt! Wuutt!
Sosok Riung Gunung tiba lebih dulu diikuti tubuh ramping Kaswari.
“Ilmu ringan tubuh Kakang Riung makin hebat,” puji si gadis dengan senyum menghias bibir.
“Masa’ sih? Perasaan biasa-biasa tuh,” elak Riung Gunung sambil mengamati seantero batang-batang bambu hitam yang semakin hitam menghangus seperti bekas habis terbakar.
“Kakang, memangnya Paman Contreng Nyawa menyuruh kita menyelidik tempat ini ada tujuannya?” tanya Kaswari sambil menyeka peluh di dahinya. “Disini tidak ada apa-apa selain kumpulan batang bambu hangus.”
“Tentu saja ada, dong ... “ sahut murid Ki Ajar Lembah Halimun sambil matanya terus mengedar seakan sedang mencari-cari sesuatu.
“Lalu apa yang kita cari disini?”
“Entahlah ... “ ujar Riung Gunung sambil berjalan berkeliling. “Mungkin sebuah petunjuk barangkali ... “
“Petunjuk apa?”
“Biasanya, benda mati bisa juga menjadi petunjuk berharga.”
“Lha ... iya! Tapi mana buktinya?” tukas Kaswari jengkel karena sedari tadi pemuda berperiuk itu hanya memandang berkeliling saja tanpa melakukan apa-apa.
“Ada,” sahut Riung Gunung, pendek.
“Mana?” kembali gadis murid Kakek Kocak dari Gunung Tugel berucap dengan sedikit jengkel. Lalu sambil memandang berkeliling, ia tidak menemukan apa-apa. “Ga ada apa-apa di tempat ini.”
“Coba kau liat arah tumbangnya batang bambu di tempat ini,” kata Riung Gunung berteka-teki. “Kau merasakan sesuatu yang aneh?”
Kaswari diam sesaat, lalu kembali memandang berkeliling, lalu menggelengkan kepala dengan cepat.
“Ga ada yang aneh, tuh.”
“Heeeh! Punya otak kok ga pernah dicuci,” kata Riung Gunung sekenanya. Lalu berjalan ke depan sepuluh langkah, lalu duduk di atas batu datar seukuran anak kerbau.
“Brengsek! Kakang mengejek, ya?” sungut Kaswari mendekati Riung Gunung dan duduk menyebelahi si pemuda. “Mau kucubit apa!?!”
“Jangan aaah ... “
“Cepat katakan, apa yang Kakang temukan!”
“Baik-baik-baik!” kata Riung Gunung sambil meringis melihat mata bundar Kaswari yang semakin bundar kalau melotot.
Sumpah, makin cakep lho!
“Kau liat bambu-bambu hangus itu?”
“Tentu saja liat! Emangnya aku buta apa!?”
“Lalu batang bambu itu tumbang kena apa?”
“Tentu saja disini semalam terjadi pertarungan hebat dan bambu-bambu itu hangus akibat terkena pukulan sakti yang nyasar! Jelas!?” tukas Kaswari, lalu sambungnya, “Kakang ini makin lama makin bego aja, deh!”
Riung Gunung hanya tersenyum.
“Jika benar perkataanmu, Kakang mau tanya,” jawab Riung Gunung. “Pertarungan hebat yang mana yang kau katakan?”
Mendapat pertanyaan ini, sontak Kaswari terjengkit bagai disengat kalajengking!
Benar!
Pertarungan hebat yang mana?
Kembali mata Kaswari mengedar. Kali ini diamati setiap jengkal tanah, tumpukan daun bambu kering serta posisi batu-batu besar tetap seperti tidak tersentuh tangan sama sekali. Bahkan di bagian pojok agak sedikit ke ujung, sarang laba-laba pun masih ada, tidak koyak sedikit pun. Jelas aneh jika memang ada pertarungan, posisi runtuhan daun bambu kering dan batu-batu sekitarnya tidak ada yang bergeser meski sedikit.
“Eemm ... benar juga!” gumam Kaswari kemudian. “Ada yang aneh disini.”
“Bagaimana?”
“Kakang Riung benar. Jangan-jangan ... “
“Jangan menduga-duga yang jelek. Paling-paling juga ... “ ucapan Riung Gunung terhenti saat matanya melihat sesuatu warna hitam di dekat kakinya, lalu diambil dan diamati dengan seksama.
Secuil kain bentuk jaring warna hitam yang lebarnya sepanjang jari telunjuk saja.
“Kain apa ini?” desis Riung Gunung mengamati kain hitam ditangannya. Direntang dikit, dilepas, direntang-dilepas, lalu dibolak-balik.
“Apa yang Kakang temukan? Petunjuk lagi?”
“Cuma sobekan kain,” jawab Riung Gunung pendek. “Tapi aneh juga, kenapa bisa berada di tempat ini? Atau jangan-jangan ini sobekan baju atau sapu tangan yang tersangkut ranting pohon barangkali? Tapi di sekitar sini ga ada pohon, cuma bambu hitam melulu.”
Lalu sobekan kain hitam didekatkan hidung. Tercium aroma aneh di sana.
Sniiff ... snifff ... ! (ini suara hidung mengendus, heheheh!!)
Karena penasaran, sobekan kain semakin didekatkan dan pada akhirnya menempel di ujung hidung Riung Gunung. Andaikata Riung Gunung tahu itu sobekan kain apa, asalnya darimana dan posisi awalnya dimana, pasti selebar mukanya sudah merah padam!
Karena itu sama artinya dia mencium ... (tebak sendiri deh ...!)
“Baunya aneh,” gumam Riung Gunung sambil berulang kali mengendus. “ ... tapi ... emmm ... aneh-aneh harum ... gimana ya ... “
“Coba kesinikan,” kata Kaswari penasaran sambil merebut sobekan kain di tangan si pemuda. Lalu diendusnya beberapa saat.
Sebentar kemudian, selebar muka Kaswari langsung merah padam!
“Apa yang kau temukan!?” tanya Riung Gunung melihat raut muka Kaswari merona merah mendadak.
“Dasar jorok! Kakang Riung benar-benar jorok!”
“Jorok gimana?” tanya Riung Gunung, heran. Bahkan tangan bekas memegang sobekan kain kembali diendusi. “Baunya sedap. Ga busuk, kok! Coba dech sekali lagi!”
Kembali selebar muka Kaswari merah padam melihat tingkah laku si pemuda yang pulang-balik menciumi jari-jari tangannya. Wajahnya semakin merah dari sebelumnya.
Benar-benar persis udang goreng tanpa tepung!
“Pokoknya jorok, ya ... jorok! Titik!” sentak Kaswari sambil melempar sobekan kain ke tanah. “Sudah! Aku mau pulang!”
Tanpa banyak kata, Kaswari langsung melesat pergi.
“Ooooiii ... Wari! Apanya yang jorok!?” teriak Riung Gunung. “Pegang tahi ayam juga kaga’!”
Dipungutnya kembali sobekan kain hitam, diamati sesaat, kembali didekatkan ke hidung, diendus sebentar, lalu bergumam, “Heran ... joroknya dimana sih?”
Riung Gunung melangkah pergi dan tanpa ia sadari berulang kali menciumi sobekan kain di tangannya.
Tentu saja Kaswari mengatakan perbuatan Riung Gunung ‘jorok’ karena ia tahu bau yang keluar dari sobekan kain adalah bau khas cairan kenikmatan seorang perempuan!
Kegemparan yang diciptakan si Pencuri Kitab membuat kesiapsiagaan Perguruan Tanah Bambu meningkat tajam, bahkan Nini Cemara Putih sendiri yang memimpin penyelidikan dibantu Empat Tua Raja Tanah Bambu. Namun, hingga tiga berselang tidak juga menemukan petunjuk yang berarti. Kecuali sebuah petunjuk sementara yang diberikan Tua Raja Bedah Bumi bahwa si pencuri menguasai Ilmu ‘Baju Es Hitam’ yang hanya dimiliki para Penghuni Gerbang Surga.
--o0o--
PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
ttd
GILANG SATRIA