fartjokes
Semprot Baru
- Daftar
- 22 Nov 2016
- Post
- 34
- Like diterima
- 678
Salam untuk mimin, momod, dan para suhu2 semua, saya hanya ingin berbagi cerita dari sepenggal periode hidup yg menurut saya penuh drama dan patut untuk dibagikan. Tapi, saya harus bilang sebelumnya bahwa saya baru pertama kali ini membuat tulisan dalam bentuk cerita narasi, maka mungkin saya belum terlalu handal dalam storytelling dan aspek2 nya, seperti pacing, drama, dialog, bahasa, detil cerita, dll.
Sekedar background untuk saya sendiri, saya sudah mengenal hubungan seks sejak lama sebelum cerita ini terjadi. Pada saat cerita ini terjadi, kalau ga salah saya udah pernah seks dengan 3 orang mantan, dan beberapa FWB / one night stand. Ya, walaupun saya ga menganggap saya sendiri maniac/hobi sex/pervert, namun seks pada saat itu memang udah bukan hal yang asing lagi buat saya. Tapi untuk kali ini saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya dengan satu orang ini saja.
Satu lagi, berhubung saya udah tahu alur cerita secara keseluruhan yang akan saya ceritakan, menurut saya cerita ini pacing di awal akan agak lambat, mungkin agak lama sampai ke bagian "hot". Prolog mungkin agak panjang tanpa ada adegan hot, jadi bagi yang mencari quick cum boleh aja coba langsung scroll ke Chapter 1. Sengaja saya bikin Prolog dulu agar bisa lebih memahami setting dan karakter2 cerita ini bagi yang ingin. Mohon maaf sebelumnya kalau ini membuat ceritanya membosankan, namun beberapa bagian saya pikir emang penting untuk diceritakan agar pembaca bisa lebih mengerti seluk-beluk cerita yg mungkin akan datang nanti.
DISCLAIMER
- Cerita ini merupakan sekitar 90% cerita nyata yg saya alami, 10% lagi merupakan bumbu2 fiksi yang harus saya tambahkan untuk menyamarkan detail identitas asli karakter2 nya, atau untuk menambah drama.
- Mulustrasi yang akan saya cantumkan hanyalah sekadar mulustrasi, ada campuran foto asli orangnya dan comotan internet. Namun untuk menjaga privasi tetap akan saya sensor seperlunya. Selain itu, foto yg saya comot buat mulustrasi udah sengaja saya pilih baik2 yg mempunyai kemiripan fisik/muka/body dengan karakter aslinya. Bila ada yang merasa kenal, mohon maaf. Mohon jangan ada PK di antara kita.
- Untuk sex scenes mungkin saya ga bisa kasih mulustrasi, karena pada waktu kejadian aslinya saya hampir ga pernah ambil dokumentasi apapun, dan kalau mau cari gambar dari internet agak malas juga scroll2 porn hanya untuk mulustrasi.
- Saya ga minta like atau komen, tapi terima kasih sebelumya kalau mau beri... Motivasi utama saya hanya untuk berbagi dan menuangkan pengalaman hidup.
Selamat membaca.
Table of Contents
- PROLOGUE 1 -- An Eventful Day
- PROLOGUE 2 -- Let's See How This Goes
- CHAPTER 1 -- Assumptions
- CHAPTER 2 -- A Slippery Slope
- CHAPTER 3 -- Some Things Just Never Change
- CHAPTER 4 -- It's Not You, It's Me
- CHAPTER 5 -- Multitudes
- CHAPTER 6 -- Rashomon
- CHAPTER 7 -- Endings Without Stories
- CHAPTER 8 -- Skeletons in Your Closet
- CHAPTER 9 -- So, What Now?
- CHAPTER 9.1 -- A Night in the Limelight
- CHAPTER 10 -- No Ordinary Love
- EPILOGUE -- Rewind the Tape
----
PROLOGUE 1 -- An Eventful Day
PROLOGUE 2 – Let’s See How This Goes
Seminggu setelah perkenalanku dengan Nat, kita sekarang sering janjian untuk naik train bareng dan sering ngobrol, sehingga aku dapat informasi lebih banyak tentangnya. Seperti kutaksir sebelumnya, Nat seumuran denganku, kita satu angkatan di universitas yang sama, dan lulus di tahun yang sama. Dia ternyata kerja di suatu marketing company di Sydney, dan udah kerja disana hampir langsung sejak lulus. Sedangkan aku sempat kerja dulu di Jakarta sekitar satu tahun sebelum pindah kesini.
Dia tinggal di suatu flat di daerah yang ga terlalu jauh dari tempatku tinggal, dan dia tinggal hanya berdua dengan adik ceweknya, Viola. Viola ini sekarang masih kuliah di salah satu universitas sana. Sebetulnya, hanya beberapa bulan sebelum ini mereka masih tinggal bertiga bersama om mereka, tapi dia harus pindah ke kota lain karena pekerjaan dan akhirnya sekarang mereka hanya berdua.
Si Nat ini orangnya memang asik dalam pertemanan, selalu riang (hampir ga pernah kuliat dia sedih atau punya pikiran), dan dari dia juga akhirnya aku mengenal beberapa orang Indonesia lain yang tinggal/kerja disana yang udah dia kenal sebelumnya. Nat juga masih single pada waktu itu, dia bilang terakhir berpacaran hanya semasa masih kuliah. Walaupun dia ga bilang langsung, tapi aku menebak2 dia tipe cewek yang “free bird” dan agak susah untuk terlibat di hubungan dan komitmen jangka panjang, karena personality nya yang memang supel banget. Sedangkan aku sendiri, single baru sekitar 4 bulan sebelum pindah, karena satu dan lain hal.
Karena dugaanku itu juga, pada awalnya aku ga ada pikiran apa2 buat dia selain untuk “teman”, karena sebagai teman pun dia udah sangat mengisi hari-hariku, walaupun sebetulnya frekuensi janjian untuk ketemu (di luar perjalanan ke kantor) hanya sekitar 2-3 kali seminggu, karena kesibukan kita yang berbeda. Tapi apa boleh buat, lama-lama mulai tumbuh benih rasa suka untuknya, mungkin karena dia bisa dibilang satu-satunya teman akrab di kota dimana aku masih merasa sebagai orang asing. Apalagi cewek cantik, udah pasti naluri lelaki ku keluar walau gimanapun aku berusaha menghindari.
Akhirnya pada suatu hari sabtu, hampir genap 2 bulan semenjak perkenalanku dengannya, aku berniat memberanikan diri untuk mengajaknya jadian. Pada malam itu kita (sama adiknya Nat) janjian untuk pergi ke salah satu bioskop untuk nonton sebuah film baru. Karena aku emang bukan orang yang romantis2 banget, aku emang ga kepikiran untuk kayak ngajakin dia pergi ke fancy dinner atau jalan2 yang romantic, tapi aku udah niat berusaha cari kesempatan untuk mengutarakan maksudku padanya. Eh, nothing to lose anyway, pikirku. Entah kenapa aku pikir kalaupun dia ga menerima, dia bukan tipe orang yang bakal “hilang” sehabis itu, seengganya aku yakin kita bakal masih berteman (in other words, friendzoned).
Pulang dari bioskop itu, aku sengaja mengantarkan Nat dan adiknya pulang sampai ke flat. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30, sampai di depan bangunan flatnya, aku minta Nat menemaniku dulu untuk beli sedikit jajanan (di dekat flatnya ada satu alley kecil dimana banyak kios/bazaar makanan, kebanyakan makanan asia), sedangkan adiknya naik ke flat duluan.
Sehabis beli beberapa hotdog dan beer, kita jalan balik lagi ke flatnya, tapi di depan bangunan nya kuberanikan diri dulu untuk memegang tangannya (sebelumnya belum pernah sengaja pegangan tangan seperti ini) sambil menahan dia sebentar sebelum masuk.
“Nat, bentar dulu deh, gw mau ngobrol bentar” ucapku, aku yakin ucapanku agak gugup, tapi keliatannya dia ga terlalu sadar
“hah, apa lagi? Lu ada teori lagi tentang film tadi? Ato apa? Kok agak serius” tanyanya heran, keliatannya dia masih oblivious sama niatanku.
“emm.....engga...sebenernya gini...jadi...emm, mungkin lu udah sadar kan gw punya crush sama lu..? jadi...would you go out with me?” tanyaku masih gugup, susah banget rasanya keluarin kata-kata itu.
Ah, kalo diinget-inget lagi sekarang, cupu banget aku waktu itu, entah kenapa. Padahal sebelum sama Nat aku udah pengalaman kencan dengan banyak cewek sebelumnya. Entah kenapa dia bikin aku kayak ke-reset jadi polos kayak anak sekolah lagi.
Satu detik, dua detik, Nat hanya memandangku, kulihat ekspresinya agak campuran kaget dan bingung.
“like, for real, Ja?” tanyanya heran
“lu ngeprank gw ato gimana nih? Lagi lu rekam ini ya?” lanjutnya.
“I’m serious...lu seriously heran dan ga sadar kalo gw bisa suka sama lu? Asli??” tanyaku balik, masa sih beneran ada cewek se-oblivious ini?
Sadar bahwa kita masih berdiri di depan pintu building dan kadang-kadang ada orang lewat, dia menarik tanganku sambil jalan ke salah satu bench di pinggir jalan dan duduk disana, sebelum akhirnya menjawab:
“ga gitu juga...ya sah-sah aja kalo lu suka sama gw...dan sebetulnya gw juga agak suka sama lu...tapi lu juga liat kan sekarang kita temenan udah akrab banget..lu ga takut ini bakal ngerusak what we have now?” tanyanya sambil menunduk, suaranya pelan dan lambat, sesuatu yang sangat jarang kudengar darinya.
Ah shit, nah bener kan ini bau-baunya bakal jadi friendzone juga...
“hmm gimana ya Nat, masalahnya gw juga ga tenang sehari-hari dimana gw masih sering kontak dan ketemuan sama lu tapi gw punya perasaan terpendam. Belum lagi gw juga ga mau nantinya nyesel kalo sekarang gw ga bertindak apa-apa.” Aku pun agak sedikit menyesal karena sekarang mood nya jadi berubah, namun nasi sudah jadi bubur, jadi yaudah deh mau gimana lagi.
Dia ga langsung menjawab, beberapa detik kemudian dia memandang mataku sambil ngomong:
“oke honestly, gue juga lumayan suka sama lu, sifat dan kelakuan lu juga. Tapi ga semudah itu Ja...kalo lu mau tau, gw mungkin orangnya asik buat diajak jalan sebagai teman, tapi kayaknya gw gabisa terlalu terikat komitmen, dan gw sebagai pacar ga bakal sebaik dan se-asik gw sebagai temen, itu basically yg dibilang 2 mantan gw sebelumnya...” dia menggigit bibir bawahnya sedikit setelahnya, seakan berusaha mengusir suatu pikiran.
Kulihat tatapan matanya serius pas lagi ngomong itu, pantulan lampu jalan di jaketnya dan lampu mobil yang sesekali lewat dan menimbulkan bayangan di wajahnya menambah kesan serius saat itu.
“well, tapi kita juga ga bakalan tau kan kalo engga dicoba dulu? Siapa yg tau mungkin sifat-sifat gw cocok buat sifat-sifat lu? Lagian gw ga bakal kayak terlalu ngekang atau gimana, ini bukan proposal nikah kan” Shit lagi, apakah aku kesannya terlalu pushy ya? Tapi ucapanku udah keluar dan sekarang ga bisa ditarik lagi.
Nat terlihat menunduk sebentar kemudian menoleh ke atas arah langit, seakan sedang memikirkan banyak hal. Kuikuti pandangannya tapi kulihat ga ada bintang sama sekali, karena tertutup awan. Sampai akhirnya dia membuka mulutnya.
“I...suppose so. Mungkin lu bener, kita ga bakalan tau. Okay, I guess we could give it a try.”
Ada jeda sebelum dia menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Dan ada jeda juga sedikit lebih lama sebelum aku bisa mencerna apa yang dia bilang barusan.
“Wait....jadi itu maksudnya...”
“...yeah, you can consider us dating” jawabnya seakan membaca pikiranku.
Jalanan pada saat itu udah mulai sepi tapi masih ada mobil lalu-lalang, orang jalan kaki, dan terkadang ada suara sirine di kejauhan, suara orang mengobrol sayup-sayup, tapi setelah Nat ngomong itu, seakan seluruh dunia telah di-mute dalam kepalaku. Seakan-akan sekarang ada satu spotlight besar dari atas yang menyoroti kita berdua dan kursi dimana kita duduk, sedangkan di luar cahaya itu semuanya gelap gulita.
Sampai saat aku mengetik cerita ini pun aku masih bisa merasakan apa yang aku rasa waktu itu, namun sangat susah untuk dijelaskan. Yang paling terasa mungkin adalah rasa ga percaya, diikuti euforia yang lambat laun membesar seperti balon helium.
Pada waktu itu ga terpikir kenapa aku yang pada waktu itu udah berpengalaman kencan dan bahkan sex dengan banyak perempuan sebelumnya seakan-akan kembali lagi jadi seorang bocah ingusan dalam romansa, yang belum pernah berpacaran sebelumnya. Baru beberapa tahun setelah itu, setelah aku habiskan banyak waktu untuk memikirkan kenapa, baru bisa aku simpulkan bahwa in a way, Nat memang bisa dibilang “first love” buatku, dalam artian pertama kalinya aku betul2 menginginkan hubungan dengannya, dibandingkan dengan hubunganku dengan mantan-mantanku sebelumnya yang ga punya emotional impact sedalam ini.
Sori sori, kita balik lagi ke ceritanya.
Nat melanjutkan omongannya yang kemudian agak meletuskan euforia internal yang aku alami:
“Wait...sebelum lu terlalu senang, inget yang gw bilang tadi. Gw ga mau lu nantinya kecewa sama gw, seriously, sebaiknya lu jangan punya ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap gw. Mau gimanapun gw care juga sama lu, ga mau nanti lu kecewa sama gw”.
Ah...some standard disclaimer clause, whatever dear.
“yup...noted, gw usahain, tenang aja, semoga lu juga ga ekspektasi tinggi-tinggi buat gw” ujarku.
“Yaudah kalau gitu...let’s see how this goes, then”
Dan ucapannya itu menutup salah satu momen yang paling kuingat sampai sekarang.
Sekedar background untuk saya sendiri, saya sudah mengenal hubungan seks sejak lama sebelum cerita ini terjadi. Pada saat cerita ini terjadi, kalau ga salah saya udah pernah seks dengan 3 orang mantan, dan beberapa FWB / one night stand. Ya, walaupun saya ga menganggap saya sendiri maniac/hobi sex/pervert, namun seks pada saat itu memang udah bukan hal yang asing lagi buat saya. Tapi untuk kali ini saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya dengan satu orang ini saja.
Satu lagi, berhubung saya udah tahu alur cerita secara keseluruhan yang akan saya ceritakan, menurut saya cerita ini pacing di awal akan agak lambat, mungkin agak lama sampai ke bagian "hot". Prolog mungkin agak panjang tanpa ada adegan hot, jadi bagi yang mencari quick cum boleh aja coba langsung scroll ke Chapter 1. Sengaja saya bikin Prolog dulu agar bisa lebih memahami setting dan karakter2 cerita ini bagi yang ingin. Mohon maaf sebelumnya kalau ini membuat ceritanya membosankan, namun beberapa bagian saya pikir emang penting untuk diceritakan agar pembaca bisa lebih mengerti seluk-beluk cerita yg mungkin akan datang nanti.
DISCLAIMER
- Cerita ini merupakan sekitar 90% cerita nyata yg saya alami, 10% lagi merupakan bumbu2 fiksi yang harus saya tambahkan untuk menyamarkan detail identitas asli karakter2 nya, atau untuk menambah drama.
- Mulustrasi yang akan saya cantumkan hanyalah sekadar mulustrasi, ada campuran foto asli orangnya dan comotan internet. Namun untuk menjaga privasi tetap akan saya sensor seperlunya. Selain itu, foto yg saya comot buat mulustrasi udah sengaja saya pilih baik2 yg mempunyai kemiripan fisik/muka/body dengan karakter aslinya. Bila ada yang merasa kenal, mohon maaf. Mohon jangan ada PK di antara kita.
- Untuk sex scenes mungkin saya ga bisa kasih mulustrasi, karena pada waktu kejadian aslinya saya hampir ga pernah ambil dokumentasi apapun, dan kalau mau cari gambar dari internet agak malas juga scroll2 porn hanya untuk mulustrasi.
- Saya ga minta like atau komen, tapi terima kasih sebelumya kalau mau beri... Motivasi utama saya hanya untuk berbagi dan menuangkan pengalaman hidup.
Selamat membaca.
Table of Contents
- PROLOGUE 1 -- An Eventful Day
- PROLOGUE 2 -- Let's See How This Goes
- CHAPTER 1 -- Assumptions
- CHAPTER 2 -- A Slippery Slope
- CHAPTER 3 -- Some Things Just Never Change
- CHAPTER 4 -- It's Not You, It's Me
- CHAPTER 5 -- Multitudes
- CHAPTER 6 -- Rashomon
- CHAPTER 7 -- Endings Without Stories
- CHAPTER 8 -- Skeletons in Your Closet
- CHAPTER 9 -- So, What Now?
- CHAPTER 9.1 -- A Night in the Limelight
- CHAPTER 10 -- No Ordinary Love
- EPILOGUE -- Rewind the Tape
----
PROLOGUE 1 -- An Eventful Day
Perkenalkan, namaku Reza. Kisah ini terjadi medio tahun 2015 dimana waktu itu aku baru berusia sekitar 23 tahun. Aku baru saja pindah ke Sydney, Australia karena diterima bekerja di suatu game studio, di bidang management. Karena aku apply dan urus semua persyaratan dan persiapan kerja secara mandiri, aku tinggal di sebuah flat (sharing dengan 2 orang lain, laki-laki semua) dan ketika itu aku belum punya kenalan sama sekali disana (kecuali HR dan orang2 lain dari kantor yg udah aku temui).
Seminggu berlalu semenjak tinggal disana, aku udah mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungan kerja baru. Setiap harinya aku pergi ke kantor memakai Commuter train karena untungnya baik lokasi kantor maupun flat sama2 dekat dengan stasiun. Selain itu, living cost yg lebih tinggi daripada di Jakarta dan finansial yg masih belum stabil juga merupakan motivasi untuk menghemat pengeluaran sebisanya di mana saja.
Pada suatu hari aku sedang menaiki commuter menuju kantor, perhatianku tertuju pada seorang perempuan yg duduk di gerbong yang sama. Dia duduk di barisan seberang ku namun agak jauh sedikit, terpisah sekitar 5 kursi, sehingga aku bisa melihat mukanya dengan cukup jelas dari samping/serong. Kutaksir umurnya keliatannya sama denganku, mungkin di kisaran 22-24 tahun, dengan wajah cukup cantik dan agak chinese, rambut lurus sebahu, hidung agak mancung dan tinggi badan mungkin sekitar 165-166 cm.
Yang menarik perhatianku adalah saat dia berbincang di handphone dengan seseorang, sayup2 dapat kudengar dia bicara bahasa Indonesia, setelah kuperhatikan dan menajamkan pendengaran, dapat kupastikan dia memang berbicara bahasa Indonesia jadi keliatannya dia memang orang Indo. Tapi selain itu, yg paling menarik perhatianku adalah entah kenapa, mukanya agak familiar, seperti pernah kulihat sebelumnya (sebelum tinggal disini). Akupun berusaha untuk memutar otak mengingat2 apakah dia orang yang kukenal sebelumnya atau bukan.
Beberapa saat aku berfikir, tanpa kusadari dia menyadari kalo aku memperhatikan dia. Dia balas memandang ke arahku dengan suatu ekspresi, namun aku yg udah kaget karena dia sadar langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dan berlagak bego. Tapi dari ujung mataku dapat kulihat bahwa dia masih memandang ke arahku selama beberapa detik setelahnya. Sial, pikirku, jangan sampai baru tinggal disini langsung dicap creep, apalagi kalo dia emang beneran orang Indo.
Situasi jadi agak awkward untukku sampai akhirnya train berhenti di suatu stasiun, dan kali ini banyak orang yg masuk sehingga mereka harus berdiri di antaraku dan cewek tadi sehingga line of sight kita jadi terputus. Setelah sampai di stasiun tujuanku, tanpa berlama-lama aku langsung cabut keluar dari sana. Dari luar kulihat dia masih duduk di tempat yg sama, jadi keliatannya tujuan dia masih agak jauh.
Hari-hari berikutnya di minggu itu baru kusadari, bahwa dia juga seorang reguler di train dan Line yang sama dengan jam kantor yang mirip denganku, karena aku sempat lihat dia beberapa kali lagi saat perjalanan ke kantor dan (lagi-lagi) sempat ketahuan bahwa aku lagi melihat ke arahnya. Biasanya dia naik dari beberapa stasiun setelah stasiunku, dan aku turun duluan sebelum stasiun tujuannya. Sedangkan aku sendiri masih belum bisa ingat apakah dia orang yang pernah kukenal atau engga, dan gara-gara kejadian pas pertama kali lihat, pupus sudah nyaliku untuk mencoba berkenalan (aku orang yang sangat introvert kalo sama orang asing). Setelah beberapa kali kuperhatikan selama berpapasan dapat kusimpulkan bahwa dia adalah orang yg fashion sense nya bagus, karena outfit yg dia pakai selalu modis dan fresh, tapi tetap subtle tanpa terlalu menarik perhatian. Terkadang juga kulihat dia memakai outfit yang agak revealing, namun masih dalam batas kewajaran disana, kayak contohnya blouse dengan 2 kancing atas yang terbuka sehingga cleavages terlihat lumayan jelas, atau shirt yang agak transparan sehingga bra line nya terlihat. Tapi yg kusadari adalah dia selalu memakai celana/rok kain formal setiap berpapasan sehingga aku berasumsi bahwa dia juga bekerja di suatu kantor.
Sampai pada suatu hari di minggu ke-4 aku tinggal disana, saat train sampai di stasiun dia biasa masuk, ternyata dia masuk dari pintu tepat sebelahku duduk. Dia pun sadar dan keliatannya sengaja duduk di sebelahku. Hatiku berdebar karena terpikir apakah aku harus membuka percakapan atau tidak, namun aku jadi gugup karena udah kegep sering ngeliatin kayak creep. Tapi seperti kuduga juga, ga lama setelah train jalan lagi, ternyata dia yang ngajak ngobrol duluan.
"Eh, lu orang Indonesia kan ya?" dia tanya sambil menoleh ke arahku
"...ah iya, kok tau?" tanyaku balik sambil mikir, yah paling keliatan dari muka dan kulit
"lu ga inget gw ya...? kita satu univ dulu tapi beda fakultas, dulu kita pernah satu grup waktu zaman ospek kampus, waktu masih maba, beneran ga inget lu ya?"
Ah....betul juga, setelah dia bilang seperti itu barulah aku ingat. Dulu di universitasku memang ada beberapa tahap ospek: ospek kampus, fakultas, dan jurusan. di ospek kampus yang betul2 masih sangat awal, grup2 maba dibagi2 dari berbagai fakultas campur. Cuman ya emang susah bakal inget lah kalo ospek nya cuma 3 hari dan itupun kebanyakan anak2 nya pada cabut dan ga bantu ngerjain tugas grup. Aku baru ingat bahwa dia dulu satu grup denganku tapi waktu itu emang kayaknya mukanya agak berbeda dan punya hairstyle yang beda juga.
"Oooh ya ya, lu Hani kan ya? lu masih inget gw?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk salaman,
"...ngaco lu, gue Natasha, kalo Hani itu cewe yang satu lagi pak yang pake behel itu loh, hahaha" jawabnya sambil sedikit cekikikan.
Buset...lagi2 gue malu-maluin depan cewek satu ini.
"ups iya sori-sori, ga inget lah kan udah lama banget tuh, udah 5 tahun itu dari zaman maba, haha." aku cengengesan awkward
"santaii...lu Reza kan ya? kalo nama lu pasaran sih jadi gw masih inget sampe sekarang."
"asem...panggil aja Eja, biasanya temen gw manggil gitu." dari percakapan baru selama beberapa menit ini udah dapat kusimpulkan bahwa dia orangnya extrovert dan mudah berteman, agak kebalikan 180 derajat dariku.
"oh oke deh, panggil gw Nat aja kalo gitu ya" jawabnya, "kok lu bisa disini sih? kerja apa lanjut kuliah? tinggal dimana? udah lama disini?"
Ya ampun....tanya satu2 dong mba, beruntun gitu padahal baru aja baru kenal "lagi", kalo gw ga mungkin kayaknya seberani itu.
Akhirnya di sepanjang perjalanan sampai ke stasiun tujuanku kita sedikit bertukar cerita, tapi karena aku harus turun duluan, kita bertukar kontak dulu dan janji untuk bertemu lagi esoknya.
Yah lumayan lah, pikirku, ada kenalan orang Indonesia baru, cewek cantik pula (sebelum itu aku ga ada orang Indonesia yang aku kenal sama sekali disana).
Tapi tanpa kusadari pada waktu itu, ternyata perkenalanku dengan Nat adalah salah satu turning point paling signifikan di hidupku....
Seminggu berlalu semenjak tinggal disana, aku udah mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungan kerja baru. Setiap harinya aku pergi ke kantor memakai Commuter train karena untungnya baik lokasi kantor maupun flat sama2 dekat dengan stasiun. Selain itu, living cost yg lebih tinggi daripada di Jakarta dan finansial yg masih belum stabil juga merupakan motivasi untuk menghemat pengeluaran sebisanya di mana saja.
Pada suatu hari aku sedang menaiki commuter menuju kantor, perhatianku tertuju pada seorang perempuan yg duduk di gerbong yang sama. Dia duduk di barisan seberang ku namun agak jauh sedikit, terpisah sekitar 5 kursi, sehingga aku bisa melihat mukanya dengan cukup jelas dari samping/serong. Kutaksir umurnya keliatannya sama denganku, mungkin di kisaran 22-24 tahun, dengan wajah cukup cantik dan agak chinese, rambut lurus sebahu, hidung agak mancung dan tinggi badan mungkin sekitar 165-166 cm.
Yang menarik perhatianku adalah saat dia berbincang di handphone dengan seseorang, sayup2 dapat kudengar dia bicara bahasa Indonesia, setelah kuperhatikan dan menajamkan pendengaran, dapat kupastikan dia memang berbicara bahasa Indonesia jadi keliatannya dia memang orang Indo. Tapi selain itu, yg paling menarik perhatianku adalah entah kenapa, mukanya agak familiar, seperti pernah kulihat sebelumnya (sebelum tinggal disini). Akupun berusaha untuk memutar otak mengingat2 apakah dia orang yang kukenal sebelumnya atau bukan.
Beberapa saat aku berfikir, tanpa kusadari dia menyadari kalo aku memperhatikan dia. Dia balas memandang ke arahku dengan suatu ekspresi, namun aku yg udah kaget karena dia sadar langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dan berlagak bego. Tapi dari ujung mataku dapat kulihat bahwa dia masih memandang ke arahku selama beberapa detik setelahnya. Sial, pikirku, jangan sampai baru tinggal disini langsung dicap creep, apalagi kalo dia emang beneran orang Indo.
Situasi jadi agak awkward untukku sampai akhirnya train berhenti di suatu stasiun, dan kali ini banyak orang yg masuk sehingga mereka harus berdiri di antaraku dan cewek tadi sehingga line of sight kita jadi terputus. Setelah sampai di stasiun tujuanku, tanpa berlama-lama aku langsung cabut keluar dari sana. Dari luar kulihat dia masih duduk di tempat yg sama, jadi keliatannya tujuan dia masih agak jauh.
Hari-hari berikutnya di minggu itu baru kusadari, bahwa dia juga seorang reguler di train dan Line yang sama dengan jam kantor yang mirip denganku, karena aku sempat lihat dia beberapa kali lagi saat perjalanan ke kantor dan (lagi-lagi) sempat ketahuan bahwa aku lagi melihat ke arahnya. Biasanya dia naik dari beberapa stasiun setelah stasiunku, dan aku turun duluan sebelum stasiun tujuannya. Sedangkan aku sendiri masih belum bisa ingat apakah dia orang yang pernah kukenal atau engga, dan gara-gara kejadian pas pertama kali lihat, pupus sudah nyaliku untuk mencoba berkenalan (aku orang yang sangat introvert kalo sama orang asing). Setelah beberapa kali kuperhatikan selama berpapasan dapat kusimpulkan bahwa dia adalah orang yg fashion sense nya bagus, karena outfit yg dia pakai selalu modis dan fresh, tapi tetap subtle tanpa terlalu menarik perhatian. Terkadang juga kulihat dia memakai outfit yang agak revealing, namun masih dalam batas kewajaran disana, kayak contohnya blouse dengan 2 kancing atas yang terbuka sehingga cleavages terlihat lumayan jelas, atau shirt yang agak transparan sehingga bra line nya terlihat. Tapi yg kusadari adalah dia selalu memakai celana/rok kain formal setiap berpapasan sehingga aku berasumsi bahwa dia juga bekerja di suatu kantor.
Sampai pada suatu hari di minggu ke-4 aku tinggal disana, saat train sampai di stasiun dia biasa masuk, ternyata dia masuk dari pintu tepat sebelahku duduk. Dia pun sadar dan keliatannya sengaja duduk di sebelahku. Hatiku berdebar karena terpikir apakah aku harus membuka percakapan atau tidak, namun aku jadi gugup karena udah kegep sering ngeliatin kayak creep. Tapi seperti kuduga juga, ga lama setelah train jalan lagi, ternyata dia yang ngajak ngobrol duluan.
"Eh, lu orang Indonesia kan ya?" dia tanya sambil menoleh ke arahku
"...ah iya, kok tau?" tanyaku balik sambil mikir, yah paling keliatan dari muka dan kulit
"lu ga inget gw ya...? kita satu univ dulu tapi beda fakultas, dulu kita pernah satu grup waktu zaman ospek kampus, waktu masih maba, beneran ga inget lu ya?"
Ah....betul juga, setelah dia bilang seperti itu barulah aku ingat. Dulu di universitasku memang ada beberapa tahap ospek: ospek kampus, fakultas, dan jurusan. di ospek kampus yang betul2 masih sangat awal, grup2 maba dibagi2 dari berbagai fakultas campur. Cuman ya emang susah bakal inget lah kalo ospek nya cuma 3 hari dan itupun kebanyakan anak2 nya pada cabut dan ga bantu ngerjain tugas grup. Aku baru ingat bahwa dia dulu satu grup denganku tapi waktu itu emang kayaknya mukanya agak berbeda dan punya hairstyle yang beda juga.
"Oooh ya ya, lu Hani kan ya? lu masih inget gw?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk salaman,
"...ngaco lu, gue Natasha, kalo Hani itu cewe yang satu lagi pak yang pake behel itu loh, hahaha" jawabnya sambil sedikit cekikikan.
Buset...lagi2 gue malu-maluin depan cewek satu ini.
"ups iya sori-sori, ga inget lah kan udah lama banget tuh, udah 5 tahun itu dari zaman maba, haha." aku cengengesan awkward
"santaii...lu Reza kan ya? kalo nama lu pasaran sih jadi gw masih inget sampe sekarang."
"asem...panggil aja Eja, biasanya temen gw manggil gitu." dari percakapan baru selama beberapa menit ini udah dapat kusimpulkan bahwa dia orangnya extrovert dan mudah berteman, agak kebalikan 180 derajat dariku.
"oh oke deh, panggil gw Nat aja kalo gitu ya" jawabnya, "kok lu bisa disini sih? kerja apa lanjut kuliah? tinggal dimana? udah lama disini?"
Ya ampun....tanya satu2 dong mba, beruntun gitu padahal baru aja baru kenal "lagi", kalo gw ga mungkin kayaknya seberani itu.
Akhirnya di sepanjang perjalanan sampai ke stasiun tujuanku kita sedikit bertukar cerita, tapi karena aku harus turun duluan, kita bertukar kontak dulu dan janji untuk bertemu lagi esoknya.
Yah lumayan lah, pikirku, ada kenalan orang Indonesia baru, cewek cantik pula (sebelum itu aku ga ada orang Indonesia yang aku kenal sama sekali disana).
Tapi tanpa kusadari pada waktu itu, ternyata perkenalanku dengan Nat adalah salah satu turning point paling signifikan di hidupku....
PROLOGUE 2 – Let’s See How This Goes
Seminggu setelah perkenalanku dengan Nat, kita sekarang sering janjian untuk naik train bareng dan sering ngobrol, sehingga aku dapat informasi lebih banyak tentangnya. Seperti kutaksir sebelumnya, Nat seumuran denganku, kita satu angkatan di universitas yang sama, dan lulus di tahun yang sama. Dia ternyata kerja di suatu marketing company di Sydney, dan udah kerja disana hampir langsung sejak lulus. Sedangkan aku sempat kerja dulu di Jakarta sekitar satu tahun sebelum pindah kesini.
Dia tinggal di suatu flat di daerah yang ga terlalu jauh dari tempatku tinggal, dan dia tinggal hanya berdua dengan adik ceweknya, Viola. Viola ini sekarang masih kuliah di salah satu universitas sana. Sebetulnya, hanya beberapa bulan sebelum ini mereka masih tinggal bertiga bersama om mereka, tapi dia harus pindah ke kota lain karena pekerjaan dan akhirnya sekarang mereka hanya berdua.
Si Nat ini orangnya memang asik dalam pertemanan, selalu riang (hampir ga pernah kuliat dia sedih atau punya pikiran), dan dari dia juga akhirnya aku mengenal beberapa orang Indonesia lain yang tinggal/kerja disana yang udah dia kenal sebelumnya. Nat juga masih single pada waktu itu, dia bilang terakhir berpacaran hanya semasa masih kuliah. Walaupun dia ga bilang langsung, tapi aku menebak2 dia tipe cewek yang “free bird” dan agak susah untuk terlibat di hubungan dan komitmen jangka panjang, karena personality nya yang memang supel banget. Sedangkan aku sendiri, single baru sekitar 4 bulan sebelum pindah, karena satu dan lain hal.
Karena dugaanku itu juga, pada awalnya aku ga ada pikiran apa2 buat dia selain untuk “teman”, karena sebagai teman pun dia udah sangat mengisi hari-hariku, walaupun sebetulnya frekuensi janjian untuk ketemu (di luar perjalanan ke kantor) hanya sekitar 2-3 kali seminggu, karena kesibukan kita yang berbeda. Tapi apa boleh buat, lama-lama mulai tumbuh benih rasa suka untuknya, mungkin karena dia bisa dibilang satu-satunya teman akrab di kota dimana aku masih merasa sebagai orang asing. Apalagi cewek cantik, udah pasti naluri lelaki ku keluar walau gimanapun aku berusaha menghindari.
Akhirnya pada suatu hari sabtu, hampir genap 2 bulan semenjak perkenalanku dengannya, aku berniat memberanikan diri untuk mengajaknya jadian. Pada malam itu kita (sama adiknya Nat) janjian untuk pergi ke salah satu bioskop untuk nonton sebuah film baru. Karena aku emang bukan orang yang romantis2 banget, aku emang ga kepikiran untuk kayak ngajakin dia pergi ke fancy dinner atau jalan2 yang romantic, tapi aku udah niat berusaha cari kesempatan untuk mengutarakan maksudku padanya. Eh, nothing to lose anyway, pikirku. Entah kenapa aku pikir kalaupun dia ga menerima, dia bukan tipe orang yang bakal “hilang” sehabis itu, seengganya aku yakin kita bakal masih berteman (in other words, friendzoned).
Pulang dari bioskop itu, aku sengaja mengantarkan Nat dan adiknya pulang sampai ke flat. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30, sampai di depan bangunan flatnya, aku minta Nat menemaniku dulu untuk beli sedikit jajanan (di dekat flatnya ada satu alley kecil dimana banyak kios/bazaar makanan, kebanyakan makanan asia), sedangkan adiknya naik ke flat duluan.
Sehabis beli beberapa hotdog dan beer, kita jalan balik lagi ke flatnya, tapi di depan bangunan nya kuberanikan diri dulu untuk memegang tangannya (sebelumnya belum pernah sengaja pegangan tangan seperti ini) sambil menahan dia sebentar sebelum masuk.
“Nat, bentar dulu deh, gw mau ngobrol bentar” ucapku, aku yakin ucapanku agak gugup, tapi keliatannya dia ga terlalu sadar
“hah, apa lagi? Lu ada teori lagi tentang film tadi? Ato apa? Kok agak serius” tanyanya heran, keliatannya dia masih oblivious sama niatanku.
“emm.....engga...sebenernya gini...jadi...emm, mungkin lu udah sadar kan gw punya crush sama lu..? jadi...would you go out with me?” tanyaku masih gugup, susah banget rasanya keluarin kata-kata itu.
Ah, kalo diinget-inget lagi sekarang, cupu banget aku waktu itu, entah kenapa. Padahal sebelum sama Nat aku udah pengalaman kencan dengan banyak cewek sebelumnya. Entah kenapa dia bikin aku kayak ke-reset jadi polos kayak anak sekolah lagi.
Satu detik, dua detik, Nat hanya memandangku, kulihat ekspresinya agak campuran kaget dan bingung.
“like, for real, Ja?” tanyanya heran
“lu ngeprank gw ato gimana nih? Lagi lu rekam ini ya?” lanjutnya.
“I’m serious...lu seriously heran dan ga sadar kalo gw bisa suka sama lu? Asli??” tanyaku balik, masa sih beneran ada cewek se-oblivious ini?
Sadar bahwa kita masih berdiri di depan pintu building dan kadang-kadang ada orang lewat, dia menarik tanganku sambil jalan ke salah satu bench di pinggir jalan dan duduk disana, sebelum akhirnya menjawab:
“ga gitu juga...ya sah-sah aja kalo lu suka sama gw...dan sebetulnya gw juga agak suka sama lu...tapi lu juga liat kan sekarang kita temenan udah akrab banget..lu ga takut ini bakal ngerusak what we have now?” tanyanya sambil menunduk, suaranya pelan dan lambat, sesuatu yang sangat jarang kudengar darinya.
Ah shit, nah bener kan ini bau-baunya bakal jadi friendzone juga...
“hmm gimana ya Nat, masalahnya gw juga ga tenang sehari-hari dimana gw masih sering kontak dan ketemuan sama lu tapi gw punya perasaan terpendam. Belum lagi gw juga ga mau nantinya nyesel kalo sekarang gw ga bertindak apa-apa.” Aku pun agak sedikit menyesal karena sekarang mood nya jadi berubah, namun nasi sudah jadi bubur, jadi yaudah deh mau gimana lagi.
Dia ga langsung menjawab, beberapa detik kemudian dia memandang mataku sambil ngomong:
“oke honestly, gue juga lumayan suka sama lu, sifat dan kelakuan lu juga. Tapi ga semudah itu Ja...kalo lu mau tau, gw mungkin orangnya asik buat diajak jalan sebagai teman, tapi kayaknya gw gabisa terlalu terikat komitmen, dan gw sebagai pacar ga bakal sebaik dan se-asik gw sebagai temen, itu basically yg dibilang 2 mantan gw sebelumnya...” dia menggigit bibir bawahnya sedikit setelahnya, seakan berusaha mengusir suatu pikiran.
Kulihat tatapan matanya serius pas lagi ngomong itu, pantulan lampu jalan di jaketnya dan lampu mobil yang sesekali lewat dan menimbulkan bayangan di wajahnya menambah kesan serius saat itu.
“well, tapi kita juga ga bakalan tau kan kalo engga dicoba dulu? Siapa yg tau mungkin sifat-sifat gw cocok buat sifat-sifat lu? Lagian gw ga bakal kayak terlalu ngekang atau gimana, ini bukan proposal nikah kan” Shit lagi, apakah aku kesannya terlalu pushy ya? Tapi ucapanku udah keluar dan sekarang ga bisa ditarik lagi.
Nat terlihat menunduk sebentar kemudian menoleh ke atas arah langit, seakan sedang memikirkan banyak hal. Kuikuti pandangannya tapi kulihat ga ada bintang sama sekali, karena tertutup awan. Sampai akhirnya dia membuka mulutnya.
“I...suppose so. Mungkin lu bener, kita ga bakalan tau. Okay, I guess we could give it a try.”
Ada jeda sebelum dia menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Dan ada jeda juga sedikit lebih lama sebelum aku bisa mencerna apa yang dia bilang barusan.
“Wait....jadi itu maksudnya...”
“...yeah, you can consider us dating” jawabnya seakan membaca pikiranku.
Jalanan pada saat itu udah mulai sepi tapi masih ada mobil lalu-lalang, orang jalan kaki, dan terkadang ada suara sirine di kejauhan, suara orang mengobrol sayup-sayup, tapi setelah Nat ngomong itu, seakan seluruh dunia telah di-mute dalam kepalaku. Seakan-akan sekarang ada satu spotlight besar dari atas yang menyoroti kita berdua dan kursi dimana kita duduk, sedangkan di luar cahaya itu semuanya gelap gulita.
Sampai saat aku mengetik cerita ini pun aku masih bisa merasakan apa yang aku rasa waktu itu, namun sangat susah untuk dijelaskan. Yang paling terasa mungkin adalah rasa ga percaya, diikuti euforia yang lambat laun membesar seperti balon helium.
Pada waktu itu ga terpikir kenapa aku yang pada waktu itu udah berpengalaman kencan dan bahkan sex dengan banyak perempuan sebelumnya seakan-akan kembali lagi jadi seorang bocah ingusan dalam romansa, yang belum pernah berpacaran sebelumnya. Baru beberapa tahun setelah itu, setelah aku habiskan banyak waktu untuk memikirkan kenapa, baru bisa aku simpulkan bahwa in a way, Nat memang bisa dibilang “first love” buatku, dalam artian pertama kalinya aku betul2 menginginkan hubungan dengannya, dibandingkan dengan hubunganku dengan mantan-mantanku sebelumnya yang ga punya emotional impact sedalam ini.
Sori sori, kita balik lagi ke ceritanya.
Nat melanjutkan omongannya yang kemudian agak meletuskan euforia internal yang aku alami:
“Wait...sebelum lu terlalu senang, inget yang gw bilang tadi. Gw ga mau lu nantinya kecewa sama gw, seriously, sebaiknya lu jangan punya ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap gw. Mau gimanapun gw care juga sama lu, ga mau nanti lu kecewa sama gw”.
Ah...some standard disclaimer clause, whatever dear.
“yup...noted, gw usahain, tenang aja, semoga lu juga ga ekspektasi tinggi-tinggi buat gw” ujarku.
“Yaudah kalau gitu...let’s see how this goes, then”
Dan ucapannya itu menutup salah satu momen yang paling kuingat sampai sekarang.
Terakhir diubah: