Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER 8 – Skeletons In Your Closet

Maaf, masih SFW. Rasanya chapter ini udah kepanjangan sebelum bisa saya selipkan adegan panas.
I gave you all,
But you just keep me burning,
You just keep me burning, on and on,


Dead
Tak pernah kubayangkan sebelumnya, hubunganku dengan Nat yang telah berjalan selama hampir satu setengah tahun akan kandas dalam sebuah tragedi yang bahkan masih susah kupercaya telah terjadi. Walaupun relatif singkat, telah banyak yang telah kulalui bersamanya. Ups and downs, tangis dan tawa, susah dan senang, satu tahun itu terasa jauh lebih banyak yang telah terjadi dibandingkan dengan hubungan-hubunganku sebelumnya.

Kadang aku berpikir, apakah ini semacam pembalasan atas kesalahan2 yang telah kulakukan di masa lalu. Aku yang dulu bisa dibilang sangat mudah dalam bermain hati dan memainkan hati, sekarang dibuat takluk oleh seorang wanita, hanya untuk kemudian direnggut paksa dari hidupku. Jujur saja, aku memang masih sangat sayang pada Nat, yang sampai sekarang masih aku anggap sebagai satu-satunya orang yang kucintai, luar dan dalam.

Selama beberapa hari pertama setelah kami break-up, Nat masih mencoba menghubungiku beberapa kali dan ingin bertemu. Tak pernah kubalas. Berbelas-belas missed call dan unread messages kubiarkan begitu saja menumpuk di ponselku. Aku ga peduli. Hatiku masih terbakar amarah karena Nat masih tak dapat menunjukkan dirinya yang sebenarnya kepadaku, which means she didn’t actually love me that much. Kami berpisah tanpa kedamaian.

Setelah sekitar seminggu berlalu, dia mulai berhenti mencoba menghubungiku. Aku sendiri ga berusaha untuk memutus seluruh koneksi yang kami punya. Semua medsosnya masih kuikuti tanpa kublokir. Semua barang pemberiannya masih kusimpan dan kupakai. Aku hanya berusaha untuk sedikit demi sedikit memudarkan pengaruhnya di hidupku. Paling jauh, aku berusaha mengatur jadwal dan jalurku agar menghindari kemungkinan berpapasan dengannya. Tapi tentu saja semua itu tak berjalan dengan mulus begitu saja.

Lama-kelamaan aku mulai merasa kangen, karena hari-hari yang biasanya kulalui bersamanya sekarang harus kujalani sendiri dengan hampa. Aku mulai merasakan rasa gelisah. Sebagian karena aku memang masih sayang padanya, dan sebagian lagi karena masih adanya misteri tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Aku sangat yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dalam tentang insiden bar pada malam itu, sesuatu yang Nat jaga sangat rapat sampai rela mengorbankan diriku. Karena itulah aku merasa sebagian dari hatiku tertinggal disana pada sore hari saat aku meninggalkan dia.

Tapi, aku tak mungkin menjilat ludahku sendiri, karena aku masih punya harga diri dan karena masih marah atas rahasia Nat, apapun itu, yang menghancurkan hubungan kami. Hari demi hari berlalu dimana aku merasa dunia berputar tanpa kehadiranku di dalamnya. Hidupku berjalan otomatis, tanpa kehadiranku di belakang kemudi. So this is the life of a broken-hearted.

Berbagai cara kucoba untuk bisa mengembalikan hidupku ke keadaan semula, tapi tak ada yang berhasil. Nongkrong keluar dengan teman2 tapi pikiranku tak ada disana. Kucoba mendekati cewek2 baru tapi bayangan Nat selalu ada di wajah mereka. Dua bulan berlalu, aku masih belum bisa move on. Ingin rasanya aku pulang kembali ke Jakarta dan memulai hidup baru, tapi dengan sisa kontrakku dengan perusahaan yang masih lumayan panjang, akan mengharuskanku mengganti biaya visa sesuai pro-rata sejumlah bulan yang masih tersisa, yang berarti jumlah yang lebih besar daripada yang sanggup kubayar. Aku tetap harus menjalani siksaan ini sampai habis, atau sampai aku bangkit sendiri. Tidak ada jalan pintas.

Drama
Suatu sore aku berjalan pulang dari stasiun menuju flat-ku seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda bahwa hari itu akan berbeda dari biasanya. Kugerakkan kakiku dengan malas, membayangkan sisa pekerjaan yang masih harus kuselesaikan dari rumah nanti malam. Sampai aku tiba di depan gedung flatku, membuatku terkejut karena Nat ada disana, sedang duduk di anak tangga kecil yang menuju pintu masuk.

29077833934ddaadfadabcde2b0c4e3b01820917.jpg

I’m speechless. Kakiku berhenti dengan gugup. Setelah dua bulan lebih tanpa melihatnya, kini aku ga tahu harus melakukan apa saat bertemu dengannya lagi. Perasaan dan emosi yang masih belum tuntas mulai naik ke kepalaku, teringat apa yang terjadi pada terakhir kali aku bertemu dengannya. Namun, rasa rindu dan sayang yang tak dapat kusangkal juga mulai muncul dan mendesak jantungku. Aku berpikir, berusaha menemukan apa yang harus kulakukan.

Sedangkan, Nat yang memang tampaknya sengaja menungguku disana, kini mulai bangkit saat sadar bahwa aku telah ada disana, hanya berjarak 10 meter dari tempatnya duduk tadi. Dia berjalan ke arahku, dengan ekspresi muka yang tak dapat kucerna. Sepertinya beragam perasaan dan emosi juga melanda pikirannya secara bersamaan saat melihatku.

Penampilannya hampir sama persis seperti yang kuingat, saat terakhir kali bertemu dengannya. Mukanya tetap cantik, muka seorang anak yang mewarisi darah oriental dan caucasian dari kedua orangtuanya. Rambutnya hitamnya tergerai sampai di bawah bahu, tertutup oleh beanie rajut berwarna cokelat. Dia mengenakan sebuah jaket parka yang setengah menutupi celana jeansnya, T-shirt hitam sedikit terlihat dari baliknya. Aku masih terdiam saat melihatnya, hampir seperti dulu saat pertama kali kami berjumpa.

“Eja…” katanya memanggilku, berusaha membuatku melanjutkan berjalan ke arahnya.

No. Aku ga mau berjumpa dengannya hanya untuk mendengar lebih banyak alasan dan kebohongan.

Aku lanjut berjalan, tetapi dengan dagu yang terangkat dan pandangan lurus ke arah pintu kayu besar di belakangnya. Aku berusaha tak menghiraukan dia yang menunggu di jalan di antara aku dan pintu itu.

“Ja….please, tunggu.” Katanya sedikit panik berusaha melambatkan langkahku, saat aku udah berjalan hampir melewatinya.

Dia berhasil menahan tanganku. Saat aku sadar hal itu, aku berhenti dan berbalik menatapnya dengan tajam. Terkilas lagi semua yang terjadi pada malam insiden di bar itu, saat aku melihat mukanya dengan lebih detil dari jarak sedekat ini.

“Mau apa lagi? We’re done.” Tanyaku ketus, sengaja ga mau memanggil namanya.

Nat tampak sedih sekejap sebelum menjawab. Aku berusaha mengibaskan tanganku agar lepas dari genggamannya, tapi dia menahannya dengan lebih erat. Ya ampun, momen ini betul2 penuh drama seperti yang dulu sering kulihat di sinetron2 Indonesia.

“Aku tahu…aku minta maaf, kasih aku waktu dulu…”

“…no need, gue udah maafin lu dari waktu itu kok.” Potongku. “Lepasin.” Lanjutku sambil melihat ke arah pergelangan tanganku yang masih dia genggam.

“please. Kasih aku kesempatan jelasin semuanya ke kamu. I’ll come clean.” Jawabnya dengan menatap mataku penuh harap.

Kata-katanya barusan berhasil menarik perhatianku. Aku terdiam sejenak berusaha memikirkan bagaimana untuk menjawab.

“Aku janji, biarin aku jelasin dulu semuanya. Abis itu, I’m gone.” Katanya lagi, berusaha meyakinkanku yang masih terdiam.

Aku menarik nafas dalam. Kuputuskan aku ga mau mati penasaran. Dengan memasang ekspresi terpaksa, kuberi dia isyarat untuk mengikutiku masuk ke dalam. Dia melepaskan genggamannya dari tanganku, baru kusadari saat itu bahwa aku sangat rindu dengan genggaman tangannya, masih sehangat dan sehalus yang kuingat.

Bersama-sama, kami berjalan menaiki anak tangga, ke arah pintu masuk.

Anticlimax
Kami duduk di lantai kamarku, saling berhadapan. Aku merasakan Nat entah kenapa tak tahan menatap pandangan mataku lama2, mungkin karena takut. Karena itu, dia hanya menatap ke arah lantai, hanya sesekali mencuri-curi pandang ke arahku. Aku yang baru saja membakar sebatang rokok agak terenyuh, menyadari saat ini hampir sama persis seperti saat kami terakhir kali bertemu, bedanya hanya sekarang terjadi di tempatku.

“….gimana kabar kamu sekarang Ja…?” katanya perlahan, mencoba membuka percakapan.

Cih.

“cut the crap. Lu mau jelasin apa?” tanyaku dingin.

Padahal sebetulnya, aku sangat, sangat ingin menghampiri dan memeluknya dengan erat, membelai rambutnya seperti sering kulakukan dulu.

Nat mengerti aku sedang tak mau berbasa-basi, walaupun dia tampak agak sedikit kecewa.

“oke….pertama aku minta maaf lagi…”

Wrong turn.

“…udahlah, cepetan emang lu mau ngomong apa? Udah cukup gue denger maaf terus.” Kataku tak sabar.

“I lied to you. A lot, for long time. Termasuk yang saat kejadian di bar itu.” Katanya dengan cepat, seakan dia ga mau sampai denger ucapannya sendiri.

Ceritanya tentang insiden di bar itu emang penuh dengan bullshit, aku udah tau dari awal. Ga mungkin seorang Nat yang udah sangat familiar dengan alkohol bisa dengan mudah menyerahkan tubuhnya ke orang lain seperti itu hanya karena mabuk. Tapi kata-katanya yang lain mulai menarik perhatianku.

Aku tak menjawab, hanya terus menatapnya tajam.

Dia mengerti dan melanjutkan lagi.

“Orang-orang yang merkosa aku di bar malam itu…..they’ve got dirt on me.”

………

What?

“Dari awal kita jadian, aku udah bilang sama kamu Ja…don’t have any expectation too high on me. Aku betul2 serius waktu itu.”

“Aku bukan cewek polos, lugu, baik2 kayak bayanganmu…aku punya sisi gelap sendiri, sama kayak kamu punya masa lalu sendiri.”

Aku dari awal emang ga naroh ekspektasi tinggi2 sama Nat, tapi bukan berarti aku ga boleh shock saat dia mau2 aja diperkosa, kan? Dan sisi gelap apa, seks? Apa menurutnya aku orang yang sangat sangat alim?

Nat tampak dapat membaca banyak pertanyaan muncul di mataku setelah mendengar hal itu.

“Aku pemakai, Ja. I’m a junkie”

What.

Tak sadar mataku berkedip lebih cepat berusaha mencerna yang barusan dia katakan.

“Serius. Maaf, aku ga pernah bisa ngasitau kamu soal ini dulu.” Nat menunduk lagi.

Aku ingin menyuruhnya melanjutkan. Tapi lidahku kelu. Aku juga ga tau apa dulu yang harus kutanya.

Untungnya, Nat pada sore itu betul2 seperti bisa membaca seluruh pikiranku.

“Aku udah jadi junkie sebelum ketemu kamu, Ja. Sekitar 6 bulan sebelum kita jadian. Aku nyesel banget, aku salah. Awalnya aku hanya coba-coba karena diajakin temen, tapi aku nyesel banget waktu itu aku ga langsung nerima kamu sepenuhnya ke hatiku. Kalo udah, mungkin aja aku ga akan terjerumus kayak gini.”

What again. Selama awal kami pacaran ga pernah ada tanda2 apapun dari Nat yang berubah.

“Aku dapat barangnya dari si Lucas, itu cowo kulit hitam besar yang waktu itu di bar. Kenal dari si Will, temen kantor aku yang bareng ke bar malam itu. Mereka semua pemakai, Ja.”

Pantesan.

“Aku….aku sebenernya sering ngedrugs bahkan selama aku masih pacaran sama kamu…”

“Ga sering-sering banget, tapi juga lumayan…kayaknya mungkin dulu sekitar 2 bulan sekali gitu. Tapi pernah ada waktu itu aku pake dalam 1 bulan 3 kali…”

Buset, 3x sebulan sih sering namanya.

“….Ja, tapi, selain itu….” Katanya agak ragu melanjutkan. “…aku…aku kalo lagi pake juga sering langsung ngentot sama orang lain yang ada bareng aku…soalnya aku ga pernah pake sendiri…hampir setiap kali aku lagi pake” Nat semakin menunduk seolah kepalanya terbuat dari beton berat.

“…walaupun emang ga pernah sampai ngentot lebih sama dua orang atau lebih sekaligus sih….orang2 yang perkosa aku di bar, semuanya pernah ngentotin aku sekali-sekali sebelumnya…”

Aku terkejut. Pertama karena pertama kalinya kudengar dia ngomong kata jorok yang kasar seperti ‘ngentot’. Dan yang kedua, tentu saja karena mendengar pengakuannya. Setiap kali pake? Jadi totalnya sebenernya udah berapa penis yang merasakan vagina Nat selain punyaku? Dan lebih parah lagi, semuanya ini saat menjalin hubungan denganku, di belakangku?

“Aku emang bodoh, bodoh banget. Aku orangnya gampang terpengaruh kiri-kanan, selalu pengen nyoba hal-hal baru, mungkin kamu udah tau hal itu. Tapi tetep aja aku salah, udah nyembunyiin semuanya dari kamu. I really, really regret all of it now.”

Menyesal sekarang udah ga ada gunanya. Not gonna change things.

Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku terlalu naif. Seharusnya aku tahu, atau seengganya curiga, kalau Nat ga pernah sepolos yang kubayangkan sebelumnya, walaupun aku sendiri ga menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Kalau seseorang udah hidup bertahun-tahun di lingkungan yang ketat, biasanya mereka akan sangat liar ketika merasakan kebebasan, apalagi dalam kasus seperti ini, di negara seberang hampir tanpa oversight sama sekali. I should’ve known.

So, all of this, all about us, was a lie?

“....no, all we had was real. Aku memang betul2 sayang sama kamu. Cuma aku terlalu idiot sampe bisa ngorbanin kita demi hal2 seperti itu.” Nat membalas pelan.

Sial, ternyata tanpa sadar tadi aku bergumam sendiri mengeluarkan yang aku pikirkan.

“I really loved you, and I still do, Ja. Aku ga harap kamu bisa maafin aku dan kita kembali lagi, biasa-biasa aja, tapi aku pikir seengganya kamu harus tau. Kayak kamu bilang waktu itu, you deserve that much.” Lanjut Nat lagi.

Kembali lagi? Kembali lagi kemana? Hubungan kita sebelumnya yang ternyata palsu, ketika kamu masih bermain obat dan lelaki di belakangku?

Aku memang masih sayang padanya. Tapi ini masih belum cukup. Jauh dari cukup untuk bisa membangun kembali fondasi hubunganku dengannya yang telah runtuh by her own undoing.

“....why now?” tanyaku pelan.

Nat terdiam sejenak.

“aku tahu harusnya aku cerita semuanya sama kamu dengan jujur, waktu itu. Tapi aku ga bisa, maaf...”

Cih. Maaf lagi. Kalau setiap dia bilang maaf aku dapat 1 dollar, mungkin aku udah bisa beli mobil sekarang.

“They’ve got dirt on me. Bahkan malam insiden di bar itupun sebetulnya aku masih sempet taking drugs sama mereka. That’s why I couldn’t hold their advances...” Nat sedikit merenung.

Of course. Udah kuduga, Nat ga mungkin bisa jebol hanya gara2 pengaruh alkohol.

“Tapi sumpah, semakin lama aku pacaran sama kamu, aku udah makin niat untuk coming clean, setiap aku ngelakuin hal2 itu lagi, aku kebayang dan ngerasa bersalah banget sama kamu, semuanya karena kamu, Ja. Sampai aku benar2 berniat stop total.”

Well, that didn’t stop you to do it again at that goddamn bar, right?

“Tapi mereka ga suka aku mulai berhenti, selain karena duit, also because I could rat them out anytime. Mereka sering maksa aku terus ngelakuin lagi. Bahkan Lucas yang ngancam balik bakal laporin aku duluan, karena status aku yang foreigner bakal sangat lemah dibanding dia.”

“Ditambah aku lagi galau gara2 kecewa saat tahu kamu kontakan sama Vera waktu itu, aku makin terjerumus lagi. Makanya jadi kejadian insiden di bar malam itu. I’m sorry.....”

Hah, maksudnya, sekarang dia nyalahin aku? Apa ini bener2 balasan yang setimpal untukku yang khilaf sekejap?

“I know it’s not fair for you, sorry...aku juga ga bisa ceritain semuanya langsung sama kamu waktu itu karena sebetulnya mereka ngerekam kejadian itu...aku makin diancam, akan disebarin kalo aku bilang siapa2...”

Hmph. Terasa dadaku sedikit sesak mendengarnya.

“...kamu masih belum jawab pertanyaanku. Why now?” tanyaku lagi saat dia berhenti bicara.

“...Lucas sama Will udah ditangkap polisi duluan 3 hari lalu sebagai pengedar...beberapa orang lain di den mereka juga kena tangkap...” katanya perlahan.

Mataku sedikit terbuka lebar mendengarnya. Aku serasa ga bisa percaya. Really? Betul2 sebuah akhir yang antiklimaks untuk orang yang sangat kubenci itu. Tapi kalau begitu, berarti...

“semenjak itu aku udah hampir ga bisa tidur selama beberapa hari ini...aku takut bakal merembet juga ke aku, tapi juga karena makin lama my guilt makin berat...aku ga bisa biarin hubungan kita terbakar begitu aja tanpa kamu tau yang sebenernya...”

“Apalagi kalo aku juga bener2 kena, entah dipenjara atau dideportasi, aku seengganya pengen ketemu kamu buat terakhir kalinya, aku ga mau aku hilang tanpa kamu tau apa yang terjadi...” Nat sekarang udah betul2 menangis, membuat hatiku teriris2 melihatnya.

“I love you, Ja...one last time, please forgive me...” Nat terisak.

Aku tak dapat menjawab apa-apa. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku bahkan tak tahu apa yang kupikirkan.

Aku akui aku ga tega melihatnya seperti ini. Dan ternyata, aku lebih bucin daripada yang kukira, seengganya pada Nat. Semua amarah, heartbreak, kesal, kecewa yang sebelumnya memenuhi pikiranku sekarang menguap. Dengan mudahnya psikisku kembali seperti saat pertama kali berpacaran dengannya. Aku hanya ingin melihatnya berhenti menangis. Aku masih sayang pada Nat. Tanpa kusadari, aku tiba-tiba meraih bahunya dan memeluknya erat, tercium aroma yang pernah kukenal dari rambutnya.

Nat semakin menangis di pelukanku, air matanya terasa jatuh membasahi baju dan pundakku. Tetap kudekap dia dengan erat, seakan dia baru saja hidup lagi setelah mati suri. Aku pun tak kuasa menahan air mataku yang sedikit demi sedikit berlinang.

Di luar jendela, matahari udah hilang dan kegelapan malam udah menghiasi langit Sydney, tapi di satu titik itu aku justru merasa telah menemukan kembali secercah cahaya di ujung kegelapan yang selama ini kutempuh sendirian.

CHAPTER 9
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd