Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

fartjokes

Semprot Baru
Daftar
22 Nov 2016
Post
34
Like diterima
678
Bimabet
Salam untuk mimin, momod, dan para suhu2 semua, saya hanya ingin berbagi cerita dari sepenggal periode hidup yg menurut saya penuh drama dan patut untuk dibagikan. Tapi, saya harus bilang sebelumnya bahwa saya baru pertama kali ini membuat tulisan dalam bentuk cerita narasi, maka mungkin saya belum terlalu handal dalam storytelling dan aspek2 nya, seperti pacing, drama, dialog, bahasa, detil cerita, dll.

Sekedar background untuk saya sendiri, saya sudah mengenal hubungan seks sejak lama sebelum cerita ini terjadi. Pada saat cerita ini terjadi, kalau ga salah saya udah pernah seks dengan 3 orang mantan, dan beberapa FWB / one night stand. Ya, walaupun saya ga menganggap saya sendiri maniac/hobi sex/pervert, namun seks pada saat itu memang udah bukan hal yang asing lagi buat saya. Tapi untuk kali ini saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya dengan satu orang ini saja.

Satu lagi, berhubung saya udah tahu alur cerita secara keseluruhan yang akan saya ceritakan, menurut saya cerita ini pacing di awal akan agak lambat, mungkin agak lama sampai ke bagian "hot". Prolog mungkin agak panjang tanpa ada adegan hot, jadi bagi yang mencari quick cum boleh aja coba langsung scroll ke Chapter 1. Sengaja saya bikin Prolog dulu agar bisa lebih memahami setting dan karakter2 cerita ini bagi yang ingin. Mohon maaf sebelumnya kalau ini membuat ceritanya membosankan, namun beberapa bagian saya pikir emang penting untuk diceritakan agar pembaca bisa lebih mengerti seluk-beluk cerita yg mungkin akan datang nanti.

DISCLAIMER
- Cerita ini merupakan sekitar 90% cerita nyata yg saya alami, 10% lagi merupakan bumbu2 fiksi yang harus saya tambahkan untuk menyamarkan detail identitas asli karakter2 nya, atau untuk menambah drama.
- Mulustrasi yang akan saya cantumkan hanyalah sekadar mulustrasi, ada campuran foto asli orangnya dan comotan internet. Namun untuk menjaga privasi tetap akan saya sensor seperlunya. Selain itu, foto yg saya comot buat mulustrasi udah sengaja saya pilih baik2 yg mempunyai kemiripan fisik/muka/body dengan karakter aslinya. Bila ada yang merasa kenal, mohon maaf. Mohon jangan ada PK di antara kita.
- Untuk sex scenes mungkin saya ga bisa kasih mulustrasi, karena pada waktu kejadian aslinya saya hampir ga pernah ambil dokumentasi apapun, dan kalau mau cari gambar dari internet agak malas juga scroll2 porn hanya untuk mulustrasi.
- Saya ga minta like atau komen, tapi terima kasih sebelumya kalau mau beri... Motivasi utama saya hanya untuk berbagi dan menuangkan pengalaman hidup.


Selamat membaca.

Table of Contents
- PROLOGUE 1 -- An Eventful Day
- PROLOGUE 2 -- Let's See How This Goes
- CHAPTER 1 -- Assumptions
- CHAPTER 2 -- A Slippery Slope
- CHAPTER 3 -- Some Things Just Never Change
- CHAPTER 4 -- It's Not You, It's Me
- CHAPTER 5 -- Multitudes
- CHAPTER 6 -- Rashomon
- CHAPTER 7 -- Endings Without Stories
- CHAPTER 8 -- Skeletons in Your Closet
- CHAPTER 9 -- So, What Now?
- CHAPTER 9.1 -- A Night in the Limelight
- CHAPTER 10 -- No Ordinary Love
- EPILOGUE -- Rewind the Tape

----

PROLOGUE 1
-- An Eventful Day
Perkenalkan, namaku Reza. Kisah ini terjadi medio tahun 2015 dimana waktu itu aku baru berusia sekitar 23 tahun. Aku baru saja pindah ke Sydney, Australia karena diterima bekerja di suatu game studio, di bidang management. Karena aku apply dan urus semua persyaratan dan persiapan kerja secara mandiri, aku tinggal di sebuah flat (sharing dengan 2 orang lain, laki-laki semua) dan ketika itu aku belum punya kenalan sama sekali disana (kecuali HR dan orang2 lain dari kantor yg udah aku temui).

Seminggu berlalu semenjak tinggal disana, aku udah mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungan kerja baru. Setiap harinya aku pergi ke kantor memakai Commuter train karena untungnya baik lokasi kantor maupun flat sama2 dekat dengan stasiun. Selain itu, living cost yg lebih tinggi daripada di Jakarta dan finansial yg masih belum stabil juga merupakan motivasi untuk menghemat pengeluaran sebisanya di mana saja.

Pada suatu hari aku sedang menaiki commuter menuju kantor, perhatianku tertuju pada seorang perempuan yg duduk di gerbong yang sama. Dia duduk di barisan seberang ku namun agak jauh sedikit, terpisah sekitar 5 kursi, sehingga aku bisa melihat mukanya dengan cukup jelas dari samping/serong. Kutaksir umurnya keliatannya sama denganku, mungkin di kisaran 22-24 tahun, dengan wajah cukup cantik dan agak chinese, rambut lurus sebahu, hidung agak mancung dan tinggi badan mungkin sekitar 165-166 cm.

Yang menarik perhatianku adalah saat dia berbincang di handphone dengan seseorang, sayup2 dapat kudengar dia bicara bahasa Indonesia, setelah kuperhatikan dan menajamkan pendengaran, dapat kupastikan dia memang berbicara bahasa Indonesia jadi keliatannya dia memang orang Indo. Tapi selain itu, yg paling menarik perhatianku adalah entah kenapa, mukanya agak familiar, seperti pernah kulihat sebelumnya (sebelum tinggal disini). Akupun berusaha untuk memutar otak mengingat2 apakah dia orang yang kukenal sebelumnya atau bukan.

Beberapa saat aku berfikir, tanpa kusadari dia menyadari kalo aku memperhatikan dia. Dia balas memandang ke arahku dengan suatu ekspresi, namun aku yg udah kaget karena dia sadar langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dan berlagak bego. Tapi dari ujung mataku dapat kulihat bahwa dia masih memandang ke arahku selama beberapa detik setelahnya. Sial, pikirku, jangan sampai baru tinggal disini langsung dicap creep, apalagi kalo dia emang beneran orang Indo.

Situasi jadi agak awkward untukku sampai akhirnya train berhenti di suatu stasiun, dan kali ini banyak orang yg masuk sehingga mereka harus berdiri di antaraku dan cewek tadi sehingga line of sight kita jadi terputus. Setelah sampai di stasiun tujuanku, tanpa berlama-lama aku langsung cabut keluar dari sana. Dari luar kulihat dia masih duduk di tempat yg sama, jadi keliatannya tujuan dia masih agak jauh.

Hari-hari berikutnya di minggu itu baru kusadari, bahwa dia juga seorang reguler di train dan Line yang sama dengan jam kantor yang mirip denganku, karena aku sempat lihat dia beberapa kali lagi saat perjalanan ke kantor dan (lagi-lagi) sempat ketahuan bahwa aku lagi melihat ke arahnya. Biasanya dia naik dari beberapa stasiun setelah stasiunku, dan aku turun duluan sebelum stasiun tujuannya. Sedangkan aku sendiri masih belum bisa ingat apakah dia orang yang pernah kukenal atau engga, dan gara-gara kejadian pas pertama kali lihat, pupus sudah nyaliku untuk mencoba berkenalan (aku orang yang sangat introvert kalo sama orang asing). Setelah beberapa kali kuperhatikan selama berpapasan dapat kusimpulkan bahwa dia adalah orang yg fashion sense nya bagus, karena outfit yg dia pakai selalu modis dan fresh, tapi tetap subtle tanpa terlalu menarik perhatian. Terkadang juga kulihat dia memakai outfit yang agak revealing, namun masih dalam batas kewajaran disana, kayak contohnya blouse dengan 2 kancing atas yang terbuka sehingga cleavages terlihat lumayan jelas, atau shirt yang agak transparan sehingga bra line nya terlihat. Tapi yg kusadari adalah dia selalu memakai celana/rok kain formal setiap berpapasan sehingga aku berasumsi bahwa dia juga bekerja di suatu kantor.

Sampai pada suatu hari di minggu ke-4 aku tinggal disana, saat train sampai di stasiun dia biasa masuk, ternyata dia masuk dari pintu tepat sebelahku duduk. Dia pun sadar dan keliatannya sengaja duduk di sebelahku. Hatiku berdebar karena terpikir apakah aku harus membuka percakapan atau tidak, namun aku jadi gugup karena udah kegep sering ngeliatin kayak creep. Tapi seperti kuduga juga, ga lama setelah train jalan lagi, ternyata dia yang ngajak ngobrol duluan.

"Eh, lu orang Indonesia kan ya?" dia tanya sambil menoleh ke arahku

"...ah iya, kok tau?" tanyaku balik sambil mikir, yah paling keliatan dari muka dan kulit

"lu ga inget gw ya...? kita satu univ dulu tapi beda fakultas, dulu kita pernah satu grup waktu zaman ospek kampus, waktu masih maba, beneran ga inget lu ya?"

Ah....betul juga, setelah dia bilang seperti itu barulah aku ingat. Dulu di universitasku memang ada beberapa tahap ospek: ospek kampus, fakultas, dan jurusan. di ospek kampus yang betul2 masih sangat awal, grup2 maba dibagi2 dari berbagai fakultas campur. Cuman ya emang susah bakal inget lah kalo ospek nya cuma 3 hari dan itupun kebanyakan anak2 nya pada cabut dan ga bantu ngerjain tugas grup. Aku baru ingat bahwa dia dulu satu grup denganku tapi waktu itu emang kayaknya mukanya agak berbeda dan punya hairstyle yang beda juga.

"Oooh ya ya, lu Hani kan ya? lu masih inget gw?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk salaman,

"...ngaco lu, gue Natasha, kalo Hani itu cewe yang satu lagi pak yang pake behel itu loh, hahaha" jawabnya sambil sedikit cekikikan.

Buset...lagi2 gue malu-maluin depan cewek satu ini.

"ups iya sori-sori, ga inget lah kan udah lama banget tuh, udah 5 tahun itu dari zaman maba, haha." aku cengengesan awkward

"santaii...lu Reza kan ya? kalo nama lu pasaran sih jadi gw masih inget sampe sekarang."

"asem...panggil aja Eja, biasanya temen gw manggil gitu." dari percakapan baru selama beberapa menit ini udah dapat kusimpulkan bahwa dia orangnya extrovert dan mudah berteman, agak kebalikan 180 derajat dariku.

"oh oke deh, panggil gw Nat aja kalo gitu ya" jawabnya, "kok lu bisa disini sih? kerja apa lanjut kuliah? tinggal dimana? udah lama disini?"

Ya ampun....tanya satu2 dong mba, beruntun gitu padahal baru aja baru kenal "lagi", kalo gw ga mungkin kayaknya seberani itu.

Akhirnya di sepanjang perjalanan sampai ke stasiun tujuanku kita sedikit bertukar cerita, tapi karena aku harus turun duluan, kita bertukar kontak dulu dan janji untuk bertemu lagi esoknya.

Yah lumayan lah, pikirku, ada kenalan orang Indonesia baru, cewek cantik pula (sebelum itu aku ga ada orang Indonesia yang aku kenal sama sekali disana).

Tapi tanpa kusadari pada waktu itu, ternyata perkenalanku dengan Nat adalah salah satu turning point paling signifikan di hidupku....

PROLOGUE 2 – Let’s See How This Goes
290284001662799febf5fac323b60521bcbfb8fe.jpg
290283997a5664f944a4248e8b6240cad1621805.jpg
2902839804f3ef81b65c68277c678684d29d779a.jpg

Seminggu setelah perkenalanku dengan Nat, kita sekarang sering janjian untuk naik train bareng dan sering ngobrol, sehingga aku dapat informasi lebih banyak tentangnya. Seperti kutaksir sebelumnya, Nat seumuran denganku, kita satu angkatan di universitas yang sama, dan lulus di tahun yang sama. Dia ternyata kerja di suatu marketing company di Sydney, dan udah kerja disana hampir langsung sejak lulus. Sedangkan aku sempat kerja dulu di Jakarta sekitar satu tahun sebelum pindah kesini.

Dia tinggal di suatu flat di daerah yang ga terlalu jauh dari tempatku tinggal, dan dia tinggal hanya berdua dengan adik ceweknya, Viola. Viola ini sekarang masih kuliah di salah satu universitas sana. Sebetulnya, hanya beberapa bulan sebelum ini mereka masih tinggal bertiga bersama om mereka, tapi dia harus pindah ke kota lain karena pekerjaan dan akhirnya sekarang mereka hanya berdua.

Si Nat ini orangnya memang asik dalam pertemanan, selalu riang (hampir ga pernah kuliat dia sedih atau punya pikiran), dan dari dia juga akhirnya aku mengenal beberapa orang Indonesia lain yang tinggal/kerja disana yang udah dia kenal sebelumnya. Nat juga masih single pada waktu itu, dia bilang terakhir berpacaran hanya semasa masih kuliah. Walaupun dia ga bilang langsung, tapi aku menebak2 dia tipe cewek yang “free bird” dan agak susah untuk terlibat di hubungan dan komitmen jangka panjang, karena personality nya yang memang supel banget. Sedangkan aku sendiri, single baru sekitar 4 bulan sebelum pindah, karena satu dan lain hal.

Karena dugaanku itu juga, pada awalnya aku ga ada pikiran apa2 buat dia selain untuk “teman”, karena sebagai teman pun dia udah sangat mengisi hari-hariku, walaupun sebetulnya frekuensi janjian untuk ketemu (di luar perjalanan ke kantor) hanya sekitar 2-3 kali seminggu, karena kesibukan kita yang berbeda. Tapi apa boleh buat, lama-lama mulai tumbuh benih rasa suka untuknya, mungkin karena dia bisa dibilang satu-satunya teman akrab di kota dimana aku masih merasa sebagai orang asing. Apalagi cewek cantik, udah pasti naluri lelaki ku keluar walau gimanapun aku berusaha menghindari.

Akhirnya pada suatu hari sabtu, hampir genap 2 bulan semenjak perkenalanku dengannya, aku berniat memberanikan diri untuk mengajaknya jadian. Pada malam itu kita (sama adiknya Nat) janjian untuk pergi ke salah satu bioskop untuk nonton sebuah film baru. Karena aku emang bukan orang yang romantis2 banget, aku emang ga kepikiran untuk kayak ngajakin dia pergi ke fancy dinner atau jalan2 yang romantic, tapi aku udah niat berusaha cari kesempatan untuk mengutarakan maksudku padanya. Eh, nothing to lose anyway, pikirku. Entah kenapa aku pikir kalaupun dia ga menerima, dia bukan tipe orang yang bakal “hilang” sehabis itu, seengganya aku yakin kita bakal masih berteman (in other words, friendzoned).

Pulang dari bioskop itu, aku sengaja mengantarkan Nat dan adiknya pulang sampai ke flat. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30, sampai di depan bangunan flatnya, aku minta Nat menemaniku dulu untuk beli sedikit jajanan (di dekat flatnya ada satu alley kecil dimana banyak kios/bazaar makanan, kebanyakan makanan asia), sedangkan adiknya naik ke flat duluan.

Sehabis beli beberapa hotdog dan beer, kita jalan balik lagi ke flatnya, tapi di depan bangunan nya kuberanikan diri dulu untuk memegang tangannya (sebelumnya belum pernah sengaja pegangan tangan seperti ini) sambil menahan dia sebentar sebelum masuk.

“Nat, bentar dulu deh, gw mau ngobrol bentar” ucapku, aku yakin ucapanku agak gugup, tapi keliatannya dia ga terlalu sadar

“hah, apa lagi? Lu ada teori lagi tentang film tadi? Ato apa? Kok agak serius” tanyanya heran, keliatannya dia masih oblivious sama niatanku.

“emm.....engga...sebenernya gini...jadi...emm, mungkin lu udah sadar kan gw punya crush sama lu..? jadi...would you go out with me?” tanyaku masih gugup, susah banget rasanya keluarin kata-kata itu.

Ah, kalo diinget-inget lagi sekarang, cupu banget aku waktu itu, entah kenapa. Padahal sebelum sama Nat aku udah pengalaman kencan dengan banyak cewek sebelumnya. Entah kenapa dia bikin aku kayak ke-reset jadi polos kayak anak sekolah lagi.

Satu detik, dua detik, Nat hanya memandangku, kulihat ekspresinya agak campuran kaget dan bingung.

“like, for real, Ja?” tanyanya heran

“lu ngeprank gw ato gimana nih? Lagi lu rekam ini ya?” lanjutnya.

“I’m serious...lu seriously heran dan ga sadar kalo gw bisa suka sama lu? Asli??” tanyaku balik, masa sih beneran ada cewek se-oblivious ini?

Sadar bahwa kita masih berdiri di depan pintu building dan kadang-kadang ada orang lewat, dia menarik tanganku sambil jalan ke salah satu bench di pinggir jalan dan duduk disana, sebelum akhirnya menjawab:

“ga gitu juga...ya sah-sah aja kalo lu suka sama gw...dan sebetulnya gw juga agak suka sama lu...tapi lu juga liat kan sekarang kita temenan udah akrab banget..lu ga takut ini bakal ngerusak what we have now?” tanyanya sambil menunduk, suaranya pelan dan lambat, sesuatu yang sangat jarang kudengar darinya.

Ah shit, nah bener kan ini bau-baunya bakal jadi friendzone juga...

“hmm gimana ya Nat, masalahnya gw juga ga tenang sehari-hari dimana gw masih sering kontak dan ketemuan sama lu tapi gw punya perasaan terpendam. Belum lagi gw juga ga mau nantinya nyesel kalo sekarang gw ga bertindak apa-apa.” Aku pun agak sedikit menyesal karena sekarang mood nya jadi berubah, namun nasi sudah jadi bubur, jadi yaudah deh mau gimana lagi.

Dia ga langsung menjawab, beberapa detik kemudian dia memandang mataku sambil ngomong:

“oke honestly, gue juga lumayan suka sama lu, sifat dan kelakuan lu juga. Tapi ga semudah itu Ja...kalo lu mau tau, gw mungkin orangnya asik buat diajak jalan sebagai teman, tapi kayaknya gw gabisa terlalu terikat komitmen, dan gw sebagai pacar ga bakal sebaik dan se-asik gw sebagai temen, itu basically yg dibilang 2 mantan gw sebelumnya...” dia menggigit bibir bawahnya sedikit setelahnya, seakan berusaha mengusir suatu pikiran.

Kulihat tatapan matanya serius pas lagi ngomong itu, pantulan lampu jalan di jaketnya dan lampu mobil yang sesekali lewat dan menimbulkan bayangan di wajahnya menambah kesan serius saat itu.

“well, tapi kita juga ga bakalan tau kan kalo engga dicoba dulu? Siapa yg tau mungkin sifat-sifat gw cocok buat sifat-sifat lu? Lagian gw ga bakal kayak terlalu ngekang atau gimana, ini bukan proposal nikah kan” Shit lagi, apakah aku kesannya terlalu pushy ya? Tapi ucapanku udah keluar dan sekarang ga bisa ditarik lagi.

Nat terlihat menunduk sebentar kemudian menoleh ke atas arah langit, seakan sedang memikirkan banyak hal. Kuikuti pandangannya tapi kulihat ga ada bintang sama sekali, karena tertutup awan. Sampai akhirnya dia membuka mulutnya.

“I...suppose so. Mungkin lu bener, kita ga bakalan tau. Okay, I guess we could give it a try.”

Ada jeda sebelum dia menyelesaikan kalimat terakhirnya.

Dan ada jeda juga sedikit lebih lama sebelum aku bisa mencerna apa yang dia bilang barusan.

“Wait....jadi itu maksudnya...”

“...yeah, you can consider us dating” jawabnya seakan membaca pikiranku.

Jalanan pada saat itu udah mulai sepi tapi masih ada mobil lalu-lalang, orang jalan kaki, dan terkadang ada suara sirine di kejauhan, suara orang mengobrol sayup-sayup, tapi setelah Nat ngomong itu, seakan seluruh dunia telah di-mute dalam kepalaku. Seakan-akan sekarang ada satu spotlight besar dari atas yang menyoroti kita berdua dan kursi dimana kita duduk, sedangkan di luar cahaya itu semuanya gelap gulita.
Sampai saat aku mengetik cerita ini pun aku masih bisa merasakan apa yang aku rasa waktu itu, namun sangat susah untuk dijelaskan. Yang paling terasa mungkin adalah rasa ga percaya, diikuti euforia yang lambat laun membesar seperti balon helium.

Pada waktu itu ga terpikir kenapa aku yang pada waktu itu udah berpengalaman kencan dan bahkan sex dengan banyak perempuan sebelumnya seakan-akan kembali lagi jadi seorang bocah ingusan dalam romansa, yang belum pernah berpacaran sebelumnya. Baru beberapa tahun setelah itu, setelah aku habiskan banyak waktu untuk memikirkan kenapa, baru bisa aku simpulkan bahwa in a way, Nat memang bisa dibilang “first love” buatku, dalam artian pertama kalinya aku betul2 menginginkan hubungan dengannya, dibandingkan dengan hubunganku dengan mantan-mantanku sebelumnya yang ga punya emotional impact sedalam ini.

Sori sori, kita balik lagi ke ceritanya.

Nat melanjutkan omongannya yang kemudian agak meletuskan euforia internal yang aku alami:

“Wait...sebelum lu terlalu senang, inget yang gw bilang tadi. Gw ga mau lu nantinya kecewa sama gw, seriously, sebaiknya lu jangan punya ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap gw. Mau gimanapun gw care juga sama lu, ga mau nanti lu kecewa sama gw”.

Ah...some standard disclaimer clause, whatever dear.

“yup...noted, gw usahain, tenang aja, semoga lu juga ga ekspektasi tinggi-tinggi buat gw” ujarku.
“Yaudah kalau gitu...let’s see how this goes, then”

Dan ucapannya itu menutup salah satu momen yang paling kuingat sampai sekarang.
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 1 – Assumptions
1.5 bulan telah berlalu sejak jadian dengan Nat. Selama rentang waktu itu pula aku telah lebih mengenal dia lebih dekat. Makanan favoritnya, hal-hal yang ga dia sukai, goals hidup dan hal-hal lain yang memang biasa kita bagikan dengan pasangan baru.

29028407254fe505d02ed3931910e7ea50f4b046.jpg

Nat dan Vi adalah hanya dua bersaudara, ayah mereka ternyata adalah seorang WNA asal Amerika (sudah dinaturalisasi bertahun-tahun yang lalu) sedangkan ibu mereka adalah seorang wanita Indonesia tulen beretnis Tionghoa, dan saat ini mereka tinggal di suatu kota di Jawa Timur. Mungkin dari ayahnya itulah Nat mewarisi hidung mancung dan beberapa fitur “bule” lainnya. Namun yang agak di luar dugaan adalah bahwa kedua orangtuanya merupakan penganut Katolik yang sangat taat dan konservatif, jadi baik Nat maupun Vi tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang cukup ketat dan religius.

Hal itu agak di luar dugaan bagiku karena selama ini keduanya tidak menampakkan sama sekali unsur-unsur religius. Satu-satunya hal kecil yang menjadi indikator adalah adanya satu salib di dinding flat mereka, namun itupun bisa aja peninggalan dari Om mereka yang sebelumnya tinggal disana. Namun, mengetahui bahwa Nat berasal dari keluarga yg ketat dan religius mungkin secara tidak sadar membuatku lebih “menjaga jarak” dan “menjaga kelakuan”. Yang anehnya, aku kali ini tidak mengeluh sama sekali, jika dibandingkan dengan hubungan dengan mantan-mantanku sebelumnya yang sangat cepat mencapai tahap “bermain fisik”.

Nat sendiri secara pribadi tidak terlalu “kolot” dan cenderung lebih open-minded, tipikal anak muda zaman sekarang, apalagi tinggal jauh dari orang tua. Dia ga canggung sama sekali kalau aku peluk dan cium keningnya, walaupun kita memang belum pernah first kiss. Aku juga belum ada niatan sama sekali untuk ngetes sejauh apa batas personal yang dia pertahankan.

Sejak resmi dating, aku jadi lebih mengenal banyak sifat2 nya yang lain, tapi sebetulnya ga ada yang terlalu mengagetkan, hampir semua hal tentang dirinya udah dapat kutebak sebelumnya. Hanya saja yang agak aku pikirkan adalah dia orangnya agak mudah baper dan overthinking sesuatu dari interaksi nya dengan orang lain, suatu hal yang ga akan keliatan kalau hanya mengenalnya dari luar yang selalu supel, ramah dan energetik. Selain itu, dia ternyata orang yang artsy, lebih artsy dari aku yang kerja di bidang art (walaupun digital art, hehe). Karena itu juga beberapa minggu pertama date kita lebih banyak ke tempat-tempat seperti galeri/studio seni atau event2 art yang sedang berlangsung.

Lalu, pada suatu pagi hari Minggu, aku yang masih baru bangun dan setengah sadar agak terkaget mendengar ringtone hp yang ternyata kusetel di maximum, sial. Ternyata Nat menelepon di pagi2, agak jarang karena biasanya kalau weekend kita sama2 baru bangun agak siangan.

“Halo Ja, sori nih, ntar siang kita ga jadi keluar aja gapapa...? Vi harus keluar seharian ini tapi gatau kenapa aku jadi males keluar banget nih.” Tanyanya di telepon

“Oh...aku sih yaudah, gapapa kok” kita memang sebelumnya ada rencana date tapi kalaupun ga jadi, seengganya aku bisa bersantai tidur2an di flat, pikirku.

“Iya sori ya..tapi ntar siangan kamu kesini aja gimana? Buat gantinya ntar kita tetep makan siang aja tapi disini, tapi kamu tolong beli takeout mee yang waktu itu di chinatown, gapapa agak muter dulu? Aku cari2 ternyata dia ga ada delivery kalo hari minggu. Ntar aku ganti deh duitnya” ujarnya

Hadeuh, dalam hatiku, nih cewek kenapa tiba2 ngidam kayak orang hamil dah, mana harus muter dulu pula. Cuman akhirnya ku iyakan aja deh toh aku bisa sambil jalan2 dulu cari udara segar.

Sekitar 40 menit kemudian aku udah sampai di flat Nat, mee dari chinatown sudah di tangan. Nat membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Waktu itu dia hanya pake sweater longgar dengan hot pants, sehingga bagian atas pahanya yang putih dan mulus terlihat jelas. Hal biasa bagiku sebetulnya, karena dia sering pakai pakaian yang agak revealing dan hot pants kalau kita lagi dating keluar, namun mungkin karena masih pagi, aku jadi merasakan ada sesuatu di selangkanganku yang mengeras ketika melihatnya. Rambut sebahunya masih lumayan acak-acakan, aku jadi menduga sesuatu, dan langsung kutanyakan padanya.

“....kamu masih belum mandi ya..?” tanyaku curiga.

“iya, hehehe. Gapapa kan ya, gatau nih aku jadi males banget pagi ini, masih agak cape juga soalnya” jawabnya sok polos sambil menggaruk rambut.

“ewwww, jorok banget dong, kamu kan baru balik tengah malem tadi kan? Langsung tidur gitu?” jawabku lagi.

Dia ga jawab pertanyaanku yang terakhir, tapi langsung menyuruhku membuka makanan dan kita pun akhirnya makan dulu, ga jadi untuk lunch ternyata malah brunch karena kita udah sama2 lapar belum sarapan.

Setelah sarapan, dia mengajak main PS4 untuk rematch PES yang waktu itu kita akhiri dengan skor imbang. Kulihat di rak TV nya ada suatu benda yang belum pernah kulihat disana sebelumnya.

“Nat, itu kok ada asbak, siapa yang ngerokok disini? Aku belum pernah lihat juga tuh asbak kayaknya.”

“Oh...iya, sebenernya aku kadang2 ngerokok, dari masih kuliah, tapi sekarang jarang banget. Kamu tahu lah it’s hard to sustain smoking habit in Oz. Tadi pagi aku baru ngerokok sebatang sambil nungguin kamu, ngantuk banget soalnya.” katanya sambil melirik agak cemas ke arahku, keliatannya dia agak khawatir aku marah atau gimana2 karena dia ga pernah cerita ini sebelumnya.

Sebetulnya aku sendiri ga mempermasalahkan kalau dia ngerokok, malah aku agak senang karena aku sendiripun ngerokok, dan dia juga tau hal itu.

“Ooohh ya udah gapapa kali, kalo tau gitu kenapa ga bilang aja dari dulu, kan kamu tau aku ngerokok. Aku sebenernya ga pernah ngerokok kalo bareng kamu tadinya takut kamu ga suka sama asapnya.” Balasku.

“Ya ga enak aja sih sebenernya, takutnya kamu kaget ato nganggep aku gimana2 ntar.”

“buset...engga bakal segitunya lah, ngerokok wajar aja sih menurut aku walaupun cewek, toh udah sama2 gede dan ngerti juga. Yaudah kalo gitu kamu masih punya rokok nya ga? Bagi sebat lah sebagai ganti kamu ga bilang2” kupinta dia.

Dia menyodorkan sebungkus Marlboro Lights yang udah tinggal sisa setengah, kuliat sepertinya bungkus ini udah dibuka dari beberapa hari yang lalu. Asem. Untuk aku yang chain smoker, udah dapat kutebak rasanya udah agak lain pasti. Tapi lumayan lah rokok gratis karena disini harganya mencekik.

Setelah berbincang sejenak sambil menghabiskan satu batang (Nat juga ikut bakar satu batang lagi), kami mulai bermain PES sambil menyantap french fries yang baru dia panaskan. Setelah sejam kami mulai bosan dan berhenti bermain, kami cuma menonton TV sambil berleha-leha di sofa. Aku duduk dengan menyelonjorkan kaki agak jauh ke depan, sedangkan Nat tiduran menyamping sambil menyandarkan kepalanya di bantal sofa di atas pahaku.

Sebetulnya ini adalah pertama kalinya kontak fisik paling dekat dengan Nat. Dari posisiku ini, aku dapat sedikit melihat belahan payudaranya dari sela-sela kerah sweater putih yang dia pakai. Sekedar gambaran, sebetulnya buah dadanya ga terlalu besar, menurut perkiraan ku mungkin 32B atau 32C, tapi memang bentuknya yang sangat bulat sempurna sampai terlihat kalau dia lagi pakai baju yang low cleavage.

Duh...mulai ada lagi yang mengeras lagi di bawah bantal dimana kepala Nat sedang bersandar sekarang. Bahaya nih kalau ketahuan pervert, pikirku. Setelah beberapa lama menonton TV, dia menoleh ke arahku dan bertanya agak serius.

“Btw Ja...kamu beneran gapapa kan aku baru cerita aku ngerokok sekarang? Kamu ga ngambek...?” tanyanya agak khawatir.

“Ya ampun..*** perlu kepikiran gitu banget kali, aku kan orangnya emang santai, dari awal juga kan aku ga naroh ekspektasi apa2 sama kamu, as you asked yourself” timpalku berusaha menenangkan.

“yaudah...aku cuma agak kepikiran aja, sori ya sebelumnya ga pernah cerita..takutnya kamu jadi ilfeel atau gimana gitu ntar.” Ujarnya lagi.

Aku cuma menggelengkan kepala sambil sedikit tersenyum, lalu mengalihkan perhatian lagi ke arah TV. Kami lagi menonton salah satu film Marvel dan sebentar lagi adegan yang sangat aku sukai, jadi aku ingin fokus dulu menonton lagi. Namun Nat membuyarkan konsentrasiku lagi karena dia mengajak ngobrol lagi.

“Hmm gini deh, maaf ya aku masih kepikiran. Jadi mending sekarang kamu tanya aja kalo ada yang pengen kamu tau tentang aku, aku jawab jujur kok.” Katanya.

“Aku lagi ga ada kepikiran apa2 sih, emang kenapa Nat?” tanyaku.

“Ya siapa tau misalnya kamu ada sesuatu yang penasaran tentang aku, tapi ga enak tanya nya atau gimana, gapapa tanya aja sekarang...” katanya agak mulai menarik perhatianku.

Hmmm...kayaknya aku agak dapat menerka kemana arah percakapan ini.

“Ga ada lagi penasaran apa2 sih sekarang, emangnya aku arwah penasaran? Haha. Emang kenapa sih? Contohnya kayak gimana..?” tanyaku mulai memancing.

“hmm...siapa tau...if you’re wondering--” belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, udah aku potong duluan.

“whether you’re still a virgin or not??” sambungku cepat, aku yakin pasti ini yang dia maksud.

Nat ga menjawab, tapi hanya mengangguk pelan dengan agak malu.

“kamu udah pernah seks ya...?” tanyaku berinisiatif.

Anggukan pelan sekali lagi mengkonfirmasi pikiranku. Akupun menarik nafas dulu sebelum melanjutkan.

“it’s okay...I don’t judge. Tenang aja kali, kan kita udah sama2 gede juga, bukan bocah lagi. Emangnya kalau iya kenapa? Aku juga udah pernah kok sama mantanku sebelumnya” kujawab lagi berusaha menenangkan.

Terlihat agak ada ekspresi kaget di mukanya mendengar kalimatku terakhir, tapi cepat hilang lagi.

“Seriously? Sama mantanmu yang terakhir itu? Yang jilbaban?” Nat memang udah tahu mantanku yang terakhir karena pernah beberapa kali kuceritakan sebelumnya.

“yup...kenapa mesti kaget dah?” sekarang malah aku yang terheran, entah ini anak sangat polos banget atau gimana.

“gapapa...abis pernah kamu ceritain mantanmu itu, aku kan jadi sempat liat-liat profil2 medsosnya. Aku ga pernah nyangka aja kalian pernah gituan.” Ujarnya. Ga ada nada kesal di ucapannya, hanya pure rasa curious.

Buset, agak-agak kepo juga nih, biasanya tanda-tanda awal posesif ini nanti. Tapi aku berusaha menyingkirkan pikiran tersebut.

“Wah, good job Sherlock! At least sekarang kamu bisa belajar ga judge orang dari luarnya aja.” Ujarku agak sarcarstic.

Menyadari ada nada sarkasme di ucapanku, Nat terlihat agak bersalah di raut mukanya, dan hanya meminta maaf non-verbal melalui pandangan. Aku jadi ga tega.

“Sori..aku ga ngambek atau gimana kok, serius. Tapi serius juga, kamu beneran sepolos ini kah atau gimana? Kamu beneran kuliah di Jakarta dulu? Apa kamu dulu tinggal di bawah batu kayak Patrick?” tanyaku agak berusaha mencairkan suasana.

“Ya maaf...aku emang gini sih orangnya.” Katanya, udah agak rileks.

“Nah makanya...hari ini kamu udah berasumsi dua kali, satu soal aku bakal ngambek tentang tau kamu ngerokok, yang kedua tentang ini. Yaa semoga kamu paham aja sekarang kalo ga terlalu baik kalo berasumsi tentang orang tanpa dasar yang kuat.” Kataku sok bijak dan menceramahi.

Keliatannya dia udah siap untuk menutup topik dan mengalihkan pembicaraan ini, tapi aku ga terima. Karena udah sampai titik ini, kuberanikan aja untuk bertanya langsung padanya.

“In that case...can I kiss you..?” tanyaku

Sekali lagi terlihat ekspresi agak kaget di tatapannya, dia terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan.

Tanpa aba-aba lagi, kucium bibirnya yang masih polos belum memakai lipstick atau lipgloss apapun saat itu. Hanya kukecup selama sekejap, sebelum kuangkat lagi kepalaku untuk melihat apakah ada perubahan ekspresi apapun di mukanya.

That’s it, the first kiss with her, in a fine Sunday afternoon, in some suburban area of a foreign country miles away from our own homes. However that really felt good, in some way, as if a newfound sense of euphoric adrenaline suddenly surges through my veins. Without me knowing at the time, that it would be the first of many impactful events that would come along our journey.

Hanya sedetik kulihat mukanya dan ga ada tanda-tanda negatif sama sekali, dia hanya terdiam menatapku, kulanjutkan kekecup lagi bibir mungilnya, kali ini dengan lebih banyak passion. Beberapa kali kukecup dan kubuka bibirnya untuk merasakan lidah dan mulutnya melalui lidahku. Kurasakan aroma mulutnya yang somehow sangat melenakan, sambil berusaha untuk menorehkan rasa dan aromanya ke benak dan ingatanku.

French kiss kami masih berlanjut selama hampir semenit, dan lama-lama mulai kurasakan reaksi dari Nat. Tangannya meraih ke atas dan merangkul leherku, menarik kepala dan bibirku semakin erat ke bibirnya. Mendapatkan lampu hijau seperti itu membuat keberanianku semakin menjadi dan membangunkan sisi “pemain” dariku yang udah agak lama terlelap.

Tangan kiriku mulai membelai2 rambutnya yang terurai di pahaku, sementara tangan kananku yang tadinya nganggur mulai meraih ke arah dadanya. Ku elus2 buah dadanya dari luar sweater tebal yang masih menutupi, tapi udah bisa kurasakan ada sesuatu yang tegak dari baliknya. Nat belum pakai bra.

Kuangkat sedikit bagian bawah sweater nya dan dengan tangan kananku, ku elus badannya dari mulai pusarnya yang mungil ke arah atas. Dapat kurasakan kulit badannya yang sangat halus dan hangat, suatu kehangatan yang kurasakan dari dalam tubuhnya, bukan dari kulit luarnya itu sendiri. Tanganku akhirnya sampai ke suatu bongkahan bulat di dadanya, ya ampun, buah dadanya sangat kenyal sekali. Ukurannya ternyata lumayan lebih besar dari bayanganku sebelumnya, tapi masih bisa kututupi dengan telapak tanganku.

Kuremas-remas payudara kirinya dan mulai kumainkan putingnya yang mungil tapi mancung tegak, Nat mulai mengeluarkan eluhan-eluhan kecil dari balik bibirnya yang masih kulumat dengan penuh nafsu.

“uuuuhhh...oouuhhh” the first time I ever heard her weak yet powerful moaning, which burns my fire even hotter.

Aku ga sadar berapa lama kami di posisi seperti itu, french kissing sambil kumainkan payudaranya dengan posisinya yang masih tiduran di pahaku, di sofa tebal berwarna abu itu. Rasanya hanya sekitar 5 menit, but could be 1 hour too. Either way it was good, too good to just stop now.

Ketika akhirnya kuangkat lagi kepalaku dan menatapnya, aku melihat suatu ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ternyata seperti ini ekspresinya ketika udah horny, pikirku. Rona merah muncul di pipinya sedangkan matanya yang agak sipit sekarang mengeluarkan ekspresi sayu sambil menatap mataku.

“Nat, do you want to do it? Kalau kamu rasa ini udah berlebihan, kayaknya aku harus stop sekarang sebelum ga bisa aku kontrol lagi.” Tanyaku hati-hati.

“Now...?” tanyanya pelan. Sebelum aku sempat menjawab, dia udah memberikan lagi lampu hijau paling besar sejauh ini dengan sebuah anggukan sangat pelan.

Namun sebelum aku dapat melakukan apa-apa, dia bangun dan duduk dengan cepat seakan teringat sesuatu. Kemudian dia meraih ke balik bantal sofa di ujung kakinya, ternyata dia mengambil handphone.

Setelah membuka hp dan mengetik sesuatu, dia memencet sesuatu dan aku dapat mendengar suara nada sambung yang sekarang keluar dari loudspeaker.

“Halo, ya kenapa Nat?” tanya Vi di seberang sana, setelah nada sambung terdengar beberapa kali.

“Emmm. Lu kira2 balik jam berapa Vi?” tanya Nat balik

“Gatau nih kayaknya masih agak lama, maleman jam 10 PM kayaknya paling cepet, kenapa emang?”

“Oh, gapapa sih, tadinya gw mau nitip beliin frozen beef lagi, stok udah mau abis nih kayaknya besok cukup buat sekali sarapan doang” timpal Nat, sambil menatap ke arahku.

“Yeee, yaudah ntar gw coba ya kalo masih sempet, yg biasa lu beli di Asian Market itu kan ya? Kalo masih buka ntar gw beliin, tapi ganti ya!” balas Vi.

Belum sempat Nat menjawab, Vi udah menutup telpon, keliatannya dia emang lagi di tengah2 mengerjakan sesuatu atau buru2 barusan.

Setelah telepon ditutup, Nat masih menatap ke arahku dengan pandangan penuh arti. Kami berdua paham apa yang ada di benak masing2. Tanpa perlu dituntun, akupun bangun mengikuti dia yang bangun dan berjalan ke arah kamar tidurnya duluan.

Pintu kamarnya langsung kututup saat aku masuk, dan kuraih pundak Nat yang berdiri di depan pintu, ku balik badannya dan kudorong pelan ke pintu sehingga dia bersandar di pintu yang baru kututup. Sambil berdiri seperti itu, kucium lagi bibirnya penuh nafsu, sambil memainkan lidah dan sekali2 kugigit pelan lidah dan bibirnya. Nat hanya mengeluh pelan dengan pasrah sementara tangan kananku kembali bergerilya ke balik sweater nya dan memainkan lagi puting kanan nya seperti tadi. Kali ini, tangan kiriku meraih ke bawah, ke balik hot pantsnya, dan kuelus-elus vaginanya dari luar celana dalamnya yang ternyata sangat tipis.

Tak lama, tangan kiriku kuposisikan untuk meraih ke dalam celana dalamnya. Dengan telapak tanganku dapat kurasakan sebagian rambut-rambut halus sedangkan jari tengah dan telunjukku mulai menyerang lubang yang baru saja kutemukan. Kurasakan ternyata vaginanya udah sangat basah dan becek di jari-jariku. Ga tahan dengan aksiku itu, Nat melepaskan kepalanya dari ciumanku dan badannya mulai agak meronta pelan, tapi tanpa perlawanan berarti.

“hhhhhh....” kudengar erangan pelannya yang tertutupi dari balik bibirnya yang sedang dia gigit, berusaha untuk ga mengeluarkan suara terlalu kencang.

Sebagai gantinya, mulai kujamah leher dan telinganya dengan bibirku, kusibakkan rambut dari bahunya dan mulai kucium serta kadang2 kujilat lehernya yang halus dan hangat. Dapat kucium juga aroma sabun atau shampoonya yang bercampur dengan keringatnya yang sudah kering karena Nat masih belum mandi sampai siang ini. Suatu aroma khas yang akan terus kuingat sampai lama.

Sekitar 5 atau 10 menit di posisi itu, aku udah siap untuk melanjutkan permainan kami lebih lanjut. Kubalik lagi badannya dan kutuntun pelan menuju kasur queen size yang dia pakai untuk tidur setiap malam. Kasur tersebut kulihat masih agak berantakan, sama dengan kondisi kamarnya sendiri yang masih banyak barang-barang berceceran di lantai, tanda Nat belum membereskan kamarnya sama sekali sejak bangun tadi pagi.

Tapi aku ga peduli dengan itu semua saat ini. Satu-satunya yang ada di benakku adalah pacarku sekarang yang kupegang di kedua lengannya, siap kudorong ke kasur. Nat yang mungkin sadar rencanaku selanjutnya memberikan ekspresi “tunggu dulu” sejenak dan tanpa aba-aba tiba-tiba meraih penisku yang sudah mengeras dari tadi, mendorong ke arah luar dari balik celana jeansku.

Tangannya dengan cekatan membuka zipper dan kancing jeansku dan langsung meraih ke dalam celana dalamku, menggenggam batang penisku sambil agak berjongkok dan menurunkan celanaku dengan tangan satunya.

Saat dia melakukan hal ini, ada lagi suatu ekspresi yang baru pertama kali kulihat di mukanya. Suatu ekspresi nakal, atau “bitchy”, yang ga pernah kubayangkan sebelumnya. Sambil menatap ke arahku, dia tersenyum pelan sambil mulai mengocok pelan2 batang penisku yang udah sangat keras. Dengan telapak tangannya, dia memainkan kepala penisku sampai precum yang udah keluar daritadi membasahi telapak tangannya.

“Wow...lumayan gede juga ya, udah keras banget ini.” Katanya sambil masih tersenyum.

Saat itu aku masih sempat-sempatnya terpikir, bahwa setelah bertahun-tahun menonton film porn, apanya yang gede dari punyaku. Mungkin karena waktu itu aku juga ga punya perbandingan penis orang lain untuk menaksir apakah penisku memang termasuk besar atau engga.

Tapi pikiran itu dengan cepat hilang saat dia tiba-tiba turun berlutut di karpet kamarnya, dan mulai menjilati penisku dengan lihai. Pertama-tama batangnya dia jilatin dari samping, kemudian dia masukan seluruh batang penisku dalam satu gerakan ke dalam mulutnya yang mungil.

Dengan gerakan kepalanya yang maju-mundur dengan cepat tapi gentle, dapat kurasakan kehangatan mulut dan bibirnya yang mengelus lembut batang penisku, membuat aliran darah dari seluruh tubuhku menuju penisku dengan lebih kencang lagi. Aku ga tahan dan menunduk melihat ke arahnya sambil agak terengah.

Dapat kulihat pula dari cermin rias yang tinggi yang terletak di lantai, tersandar di dinding samping kananku, suatu pemandangan yang sebelumnya ga aku bayangkan akan terjadi. Natasha yang petite, cantik dan seksi, dengan personality yang kusukai sejak lama, terlihat dari samping sedang memberi blowjob dengan sangat bergairah untukku, wajah cantiknya agak tertutup rambutnya sedang agak acak-acakan dan matanya tertutup tapi memperlihatkan ekspresi yang sangat menghayati.

Setelah menikmati mulutnya selama beberapa menit saja, dia melepaskan penisku dari mulutnya dan berdiri lagi tepat di depanku, jarak di antara mulut kami yang mungkin hanya beberapa senti saja dapat merasak embusan nafasnya yang sama-sama agak terengah.

Wah, udah berpengalaman juga dia ternyata, batinku. Untung aja aku sebelumnya emang ga ada asumsi apa-apa tentangnya. Daripada merusak momen, mending sekarang kunikmati aja dulu dan nanti atau besok lagi baru kutanya lebih detil tentang pengalaman seksnya sebelum ini.

Dia ternyata kemudian menurunkan hot pants dan celana dalam nya sekaligus ke lantai, dan mengangkat satu kakinya sehingga terlepas dari lubang hotpants dan panty nya itu. Dia menarik kedua lenganku sambil menjatuhkan diri ke kasur yang ada di belakangnya. Aku yang ditarik ga sampai jatuh menindihnya, masih sempat kubuka tanganku untuk menahan badanku beberapa jengkal di atas badannya.

“put it in now Ja...couldn’t hold it anymore” katanya dengan nada yang sangat merasuk.

Kumajukan pantat dan kakiku sedikit sehingga posisi penisku sekarang tepat di atas vaginanya, sedangkan dia membuka kedua kakinya keluar menjadi dalam posisi mengangkang di bawahku. Tanpa pikir panjang lagi, kudorong badan bawahku sedikit sampai kepala penisku menyentuh bagian luar vaginanya yang udah basah. Setelah kuelus-eluskan kepala penisku beberapa detik, kutemukan lubang yang kucari dan dengan satu hentakan halus kudorong penisku sampai memasuki lubang vaginanya yang hangat dan basah sampai ke ujung batangku.

“aaaaaarrhhhhhh....ooouucchhhh” erangnya lebih keras lagi, keliatannya Nat udah ga bisa menahan suaranya sama sekali sekarang, atau memang udah ga peduli.

Saat penisku udah sepenuhnya masuk dan menyentuh ujung rahimnya, kudiamkan beberapa detik untuk meresapi yang sedang kurasakan. Vaginanya ternyata masih lumayan sempit dan menjepit erat di sekeliling batang penisku, dan agak sedikit berdenyut di beberapa bagian. Basah dan hangat, malah bisa dibilang agak panas. Membuat penisku merasakan suatu kenikmatan yang udah lama ga kurasakan.

Setelah itu, mulai kugenjot vaginanya dengan pelan tapi pasti. Kumundurkan penisku sampai hampir kepalanya dengan pelan, lalu kumasukkan lagi sampai mentok dengan sedikit lebih cepat. Ini kuulangi terus selama beberapa menit sampai mulai kunaikkan temponya menjadi lebih kencang.

Saat kugerakkan lebih kencang, tanganku yang tadinya masih menahan badanku di kasur kuarahkan untuk menggenggam kedua pergelangan tangan Nat, yang diposisikan ke arah atas seperti orang mengangkat tangan, sambil masih kutahan beban badanku disana. Kepala Nat sudah menoleh ke arah samping sambil terus meracau dan mengerang lumayan kencang, mukanya tertutup dari samping oleh rambutnya yang semakin acak-acakan.

Beberapa menit di posisi seperti itu, aku jadi ingin menaikkan kecepatan lagi. Untuk itu, aku bangun dari kasur dan berdiri di ujung kasurnya, sementara kutarik badan Nat dengan kakinya sedikit sampai selangkangannya berada di ujung kasur, tepat di depan penisku yang masih tegak menjulang.

Kuangkat kedua kakinya ke arah atas, disandarkan ke arah kedua bahuku, dan dengan agak sedikit membungkuk kumasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya dengan posisi berdiri. Karena kasurnya yang memang agak tinggi, gak susah untukku menyesuaikan posisi penisku dengan vaginanya. Langsung kugenjot lagi vaginanya dengan lebih cepat daripada tadi.

Di posisi ini, Nat mengangkat leher dan dadanya sedikit sehingga agak membungkuk dan melihat ke arah ujung kasur, dimana penisku dengan kencang tengah memompa lubang kenikmatannya, seakan tengah berusaha melihat sumber dari kenikmatan luar biasa yang tengah dia rasakan sekarang. Selain itu dia juga terkadang menatap ke arahku dengan pandangan yang merem-melek keenakan, tanpa berusaha sama sekali untuk menahan erangannya.

“aaaahhhhh....yeeessshhh...terusin giniii...i’m gonna cummmm...” katanya dibalik erangan seksi yang terus menerus keluar dari mulutnya

What? Seriously kayaknya baru 20-25 menitan kita missionary seperti ini, dia udah mau keluar? Batinku di tengah2 terengah memompa vaginanya.

Betul saja, tak lama kemudian dapat kurasakan seluruh badan Nat mengejang kaku seakan teraliri listrik, sambil setengah berteriak.

“i’mmm.....cummiiingg....” katanya sambil menggigit bibir bawahnya.

Setelah itu tiba-tiba badannya bergemetar dan langsung rileks, seakan otot-ototnya langsung lemas semua. Sementara itu dapat kurasakan juga dinding vaginanya berkontraksi menyedot batang penisku, sebelum akhirnya melemas lagi dan berdenyut-denyut lemah. Ga ada cairan squirt seperti yang biasa kita liat di video2 porn, tapi dapat kupastikan bahwa Nat barusan memang telah mencapai klimaksnya.

Kuberhentikan sejenak gerakanku, namun masih kutanamkan penisku di dalam vaginanya. Dan aku berusaha mencerna pemandangan yang ada di depanku. Di bawah lampu kamar putih yang lumayan terang, dapat kulihat badan Nat yang seksi tengah telentang di kasur depanku, peluh membasahi perutnya yang terlihat terbuka sampai di atas pusar karena sweater yang masih dia pakai agak terangkat sedikit. Baru aku sadari juga bahwa ternyata dia memasang piercing kecil di pusarnya, yang entah kenapa ga aku sadari tadi saat foreplay di ruang tengah. Posisi kakinya masih agak terlentang walaupun ujung kakinya tergantung karena melebihi ujung kasur, dan dapat kulihat juga vaginanya yang basah dengan penisku yang masih menancap setengah di dalamnya, ternyata rambut vaginanya dia cukur sehingga berbentuk segitiga kecil.

Buset, pikirku sejenak, ini baru beneran gw kaget dan ga nyangka, melihat piercing di pusarnya dan rambut kemaluannya yang berbentuk segitiga terbalik. Celana dalam putih tipisnya masih tergantung dan menggulung di pergelangan kaki kirinya.

Nat nampaknya masih belum merasakan sisa-sisa kenikmatan orgasmenya dan belum kuat untuk mengangkat atau menolehkan kepalanya, kepalanya masih tersandar lemah di kasur, menyamping menghadap ke dinding sebelah kiriku. Somehow, pikirku lagi, liat muka kamu yang acak-acakan saat sex seperti ini justru keliatannya lebih cantik.

Tapi aku masih belum puas, aku bahkan masih belum mencapai setengah dari mencapai klimaks. Tanpa bilang apa-apa kucabut penisku, dan kubalik badan Nat yang lemas dan kutarik pinggangnya ke atas, ke arah ujung kasur, sehingga dia sekarang agak menungging di ujung kasur. Keliatannya dia agak kaget tapi dia ga melawan sama sekali saat kubalik badannya seperti itu. Selain itu, kubuka juga seluruh sisa pakaian yang menempel di badanku sehingga aku telanjang bulat.

Sekarang posisi pantat dan vaginanya tepat setinggi penisku yang basah dan masih tegak, sehingga tanpa perlu menyesuaikan lagi langsung kusodok vagina mungilnya yang sudah basah dari belakang dengan mudah. Kali ini Nat ga terlalu bersuara kencang seperti tadi, mungkin tenaganya memang udah habis. Tubuh atasnya hanya terkulai lemas dan terhentak maju-mundur mengikuti irama tusukan penisku dari belakang. Dengan masih menggenjot pantatnya seperti itu, aku berusaha buka sweaternya dari belakang. Nat yang tampaknya masih agak sadar dan paham maksudku mengangkat tangannya ke arah kepalanya sehingga aku ga perlu mendorong sweaternya sampai habis, dia sendiri yang membuka sweater nya saat udah mencapai lengannya.

Lagi-lagi, ada pemandangan baru yang sebelumnya ga kubayangkan. Kulihat dari belakang tubuh Nat yang putih dan mulus, menungging menerima tusukan penisku yang masih memompa kencang. Punggungnya putih dan bersih, juga agak berbentuk karena terlihat sedikit otot ujung bahunya, menyambung ke pinggang rampingnya yang melekuk dengan indah ke dua bongkahan pantat yang sebetulnya ga terlalu besar, tapi indah dan juga mulus. Seluruh tubuhnya sangat putih dan mulus, walaupun agak terlihat sun tan berbentuk bikini (malah terlihat lebih seksi), agak kontras dengan badanku yang lebih terlihat sawo matang (walaupun masih lebih putih daripada rata-rata cowok di Indonesia), apalagi dengan adanya perbedaan warna yang kentara di antara lengan dan tanganku, karena bekas sinar matahari kalau aku pakai baju lengan pendek.

Tapi yang paling menarik perhatianku adalah satu spot di atas pantatnya, tepat di ujung tulang belakangnya, yang ternyata tertera sebuah tato bergambar dua sayap ala malaikat yang desainnya cukup berseni, di tengah-tengahnya ada tulisan LIVE dengan huruf yang berseni pula. Sejenak timbul beberapa pertanyaan agak bodoh di benakku, di tengah2 doggystyle sex itu. Apa maksudnya dari kata LIVE yang dia tato? Sejak kapan dia punya tato? Apakah orang yang membuat tato itu sempat melihat juga sedikit pemandangan dari badan Nat? Bukannya kalau Katolik yang religius ga diperbolehkan mentato badan? Ah sudahlah.

Pikiranku ga lama bergumul dengan hal-hal ga penting itu, karena badan dan penisku juga udah mulai merasakan sesuatu akan datang. Sadar aku akan mencapai klimaks sebentar lagi, kunaikkan kaki kananku ke atas kasur, ke samping pantatnya yang masih menungging. Dengan posisi ini aku dapat menusukkan penisku ke dalam vagina Nat sampai mentok, jauh lebih dalam dari sebelumnya, dan dengan lebih cepat juga. Nat yang ga siap dengan perubahan posisi itu agak tersentak dan kepalanya agak mendongak, erangannya jadi lebih sedikit lebih kencang lagi.

Melihat kepala Nat yang terus mendongak ke atas, aku jadi lebih memperhatikan mukanya. Dia menoleh ke samping sambil berusaha melihat ke arahku. Sadar kalo dia mungkin sedang berusaha bilang sesuatu, aku membungkukkan badanku sampai kepalaku bisa mencapai samping kepalanya, sambil masih terus menggenjot pantatnya dengan kencang.

Kuposisikan telingaku di dekat mukanya yang menoleh ke samping, dan dia berbisik lirih sambil masih mengerang.

“ahh...ahh...I...lovvee...you...sayang...pleassee...cum....for..meehh...”

Pertama kalinya dia panggil aku sayang, yaitu di tengah-tengah sex bergairah seperti ini, saat penisku masih menusuk maju mundur kencang ke dalam lubang kenikmatannya.

Mendengar bisikannya seperti itu seperti menambah gairah dan kenikmatan yang aku rasakan. Ga lama setelah itu aku rasakan ada yang udah mau keluar dari dalam penisku, kupercepat tempo keluar-masuk menjadi sangat, sangat cepat selama beberapa detik sampai akhirnya kucabut dengan cepat. Tanpa sadar kujambak rambut Nat dari belakang sehingga kepalanya mendongak ke atas lagi, dan tanpa terlalu berpikir ku arahkan penisku di atas punggungnya ke arah kepalanya.

Penisku menembakkan sperma yang sangat banyak, banyak cairan yang kena di rambutnya, tapi banyak juga yang terkena ke punggung Nat yang mulus. Beberapa bahkan sampai mengucur ke samping, ke kasur milik Nat yang spreinya udah ga karuan lagi kusutnya. Kulihat cairan spermaku meleleh di punggungnya dan bercampur dengan keringat Nat yang sudah timbul banyak disana, baru kusadari ternyata dari tadi AC kamar belum dinyalakan. Pantas aja seluruh badanku juga bermandikan keringat.

Dengan hati-hati kuturunkan lagi kepalanya ke kasur, kemudian aku membaringkan badanku telentang di samping Nat yang masih telungkup tak berdaya, posisi kakinya masih mengangkang dan tangannya masih terbuka lebar.

Aku menoleh ke arah muka Nat masih terkulai tak berdaya ke arahku, matanya masih terpejam dan nafasnya masih agak memburu.

“Nat...?” aku berbisik

Dia membuka matanya perlahan dan menatap ke arahku, mungkin masih mengumpulkan tenaga untuk menjawab.

“...I love you too...” kuteruskan tanpa menunggu dia menjawab.

Dia kemudian tersenyum manis dan memejamkan matanya lagi, sepertinya langsung ketiduran dengan tenang. Tetapi, lengannya masih sempat bergerak sehingga sekarang menindih tanganku, langsung kugenggam tangannya dengan sayang.

Aku yang juga merasa capek anehnya bahkan ga merasakan dorongan untuk ngantuk sama sekali, aku hanya menatap kosong ke arah langit2 dan berusaha mencerna yang barusan terjadi di kamar ini. Banyak perasaan yang berkecamuk, nikmat tentu saja ada, tetapi selain itu juga rasa senang yang tak terkira, somehow, padahal ini bukan pertama kalinya aku melakukan hubungan badan. Sepertinya pikiranku secara tidak sadar telah menyadari what this means for our future in the relationship, baik ataupun buruk.

Aku kemudian menatap ke arah jam dinding yang tergantung di depanku, di atas pintu kamar. Jamnya menunjuk hampir ke angka 5, berarti kira2 kami ngesex hanya sekitar 2 jam, walaupun rasanya itu terjadi seperti hanya sejam saja. Akupun memejamkan mataku untuk beristirahat sejenak.

------

Jarum pendek jam dinding sekarang sudah menunjuk ke arah 8 saat aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi pribadi di kamar Nat. Aku terpaksa meminjam handuk dan meminta sedikit sabun dan shampo milik Nat, ga apalah, ga mungkin dia ngambek.

Kulihat ke arah kasur, Nat yang masih telanjang bulat sekarang sudah berubah posisi menjadi menyamping, dan sekarang betul2 tertidur, raut mukanya nampak tenang walaupun kecapean. Ternyata dia memang lebih penidur daripada aku. Sempat kulihat dari atas sampai bawah tubuh seksinya yang masih telanjang itu, terbersit keinginan untuk melanjutkan ronde selanjutnya. Namun dengan pertimbangan Nat yang masih tak berdaya dan Vi yang mungkin sebentar lagi akan pulang, kuurungkan niat tersebut.

Aku menggoyangkan perlahan bahunya, berusaha membangunkannya sebentar.

“Nat...Nat bangun dulu coba bentar” kemudian kulihat matanya terbuka perlahan, menatap ke arahku.

“Hmmm...thank you ya Ja...” katanya sambil tangannya meraih dan mengelus pipiku.

“Iya..iya... kamu coba bangun dulu terus beberes dulu ya, Vi bukannya mau balik jam 9 katanya? Udah jam 8 loh ini.”

Dia pun mencoba bangun dan duduk di pinggiran kasur, kubantu dia bangun dengan memegangi lengannya.

“Ja...first thing first, sebelumnya tolong banget jangan bilang2 hal ini sama siapa-siapa apalagi Vi ya...keluarga aku ga ada yang tau tentang sisi aku yang ini..” katanya setengah memelas.

“Iya...pastinya, tenang aja...” jawabku memastikan. “udah kamu mandi dulu sekarang kalau emang ga mau ketahuan gih. Btw tadi aku pinjem handuk yang di shower sama minta sabun shampoo ya.” Kataku melanjutkan.

Dia pun bangun perlahan dan berjalan menuju kamar mandi. Kulihat lagi badannya yang masih telanjang ketika berjalan, betul2 sangat menggugah birahi...Ah ga apa, next time baby, ujarku dalam hati.

Terlupa akan sesuatu, aku mengetuk pelan pintu kamar mandi dan memanggil Nat yang baru menyalakan shower.

“Nat...Nat, btw ini aku gimana, harus balik duluan jangan sebelum Vi keburu balik..?”

“Oh yaudah santai aja, tunggu aja di ruang tengah, ntar bilang aja kamu baru dateng tadi sore apa gimana...kamu sekalian makan dulu disini ya abis ini aku mau masak buat kita bertiga.” Jawabnya dari balik pintu.

Oh oke siap kalau begitu. Sudah dapat seks hebat, dapat makanan gratis pula sesudahnya (walaupun biasanya masakan Nat ga wah2 banget rasanya). Super sekali memang hari ini.

Akupun keluar kamarnya dan menunggu di tengah, ga lama kemudian betul ternyata Vi datang, lengkap dengan beef yang tadi dipesan. Kubilang saja Nat masih mandi dan aku baru sampai tadi sore.

Sekitar 15 menit kemudian Nat pun keluar dari kamar, sudah segar dengan pakaian baru dan bertingkah normal seperti biasanya. Malam itu kami lanjutkan dengan makan dan berbincang, semua tanpa Vi sadari bahwa kakaknya baru saja kugagahi beberapa jam sebelumnya.

CHAPTER 2
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 2 – A Slippery Slope

“Aaaarrrhhh....terusshh kencengin lagi Jaa...” desah Nat.

Walau agak pegal, dengan tenaga yang masih tersisa kucoba mempertahankan tempo maju-mundur pinggulku agar bisa terus membenamkan penisku dalam-dalam ke vaginanya.

“hhh...kamu udah mau keluar sayang..?” tanyaku terengah-engah.

“iyahh...dikit lagii...terusinn..” jawabnya dengan terengah juga.

“aku juga udah mau keluar...barengin yahh...” aku memang udah merasakan geli yang hampir meledak di ujung kepala penisku.

Kurang dari semenit kemudian, Nat mengeluh panjang, tangannya makin erat memegang sandaran sofa dan kakinya yang terkangkang meregang. Beberapa detik kemudian aku pun dengan buru-buru mengeluarkan penisku dan menyemburkan sperma ke punggungnya yang masih terbalut blouse putih dan rok kain hitam yang telah kuangkat sampai membuka pantatnya. Kami mencapai klimaks hampir berbarengan.

"love you, dear" bisikku di telinganya sebelum mengecup pipinya pelan. Nat hanya memejamkan mata dan tersenyum kehabisan nafas.

290322842380277ada427ae2cc1acf497068f497.jpg

Setelah menarik nafas beberapa saat, aku melepaskan kedua tanganku yang sedari tadi mencengkeram pinggang Nat dan berjalan ke arah meja tengah untuk meraih tissue. Nat masih berdiri setengah membungkuk dan menyandarkan badannya di punggung sofa sambil terengah-engah berusaha bernafas, bongkahan pantatnya yang putih mulus masih membusung ke belakang dan terlihat pula cairan yang mengalir dari vaginanya mengucur ke pahanya yang sudah tak terbalut apa-apa.

“duh...tolong ya ambilin tissuenya...nanti keburu ngucur ke lantai nih cairannya” pintanya lemah.

Aku yang memang sudah mengambil tissue tersebut ga menjawab apa-apa, hanya mengambil 3 lembar tissue dan kuusapkan ke pahanya dari bawah sampai ke vaginanya, sebelum mengambil beberapa lembar lagi untuk mengeringkan batang penisku yang masih tegak.

“ah...aku mau langsung mandi dulu yah...daritadi udah gerah juga nih..” katanya sambil menurunkan rok yang tadi masih tersangkut di pinggangnya, dan celana dalamnya yang tergulung di kaki kirinya. “...kamu mau ikut mandi sekarang juga ga?” lanjutnya.

“aku nanti dulu deh ya..kamu duluan aja, pengen duduk dulu bentar yah” jawabku.

Nat kemudian hanya mengangguk dan pergi ke dalam kamar tidurnya sambil membawa rok dan celana dalam yang telah dia lepaskan tadi. Aku sendiri beranjak ke sofa dan menjatuhkan diri di sofa empuk sepanjang 2 meter itu. Kami baru saja pulang setelah janjian ketemu di stasiun dan karena udah ga tahan lagi, melakukan seks kilat segera setelah masuk flat Nat dan mengunci pintunya. Jam baru menunjukkan pukul 7 dan akupun menyandarkan kepalaku sambil beristirahat.

Empat belas bulan sudah berlalu sejak seks pertama kali kami di flat itu. Kejadian itu seakan-akan membuka sebuah frontier baru di hubunganku dengan Nat, yang sama2 sering kami explore. Sejak kejadian itu kami jadi sering melakukan hubungan badan dengan intensitas yang tiba-tiba tinggi, anytime anywhere we can. Hanya saja memang kami masih merahasiakan ini dari Vi karena alasan Nat yang takut orangtuanya yang mungkin ga se-open minded itu tentang seks pranikah, dan Vi memang keliatannya lebih mengikuti jalan pikir orangtuanya itu. Akupun hanya maklum, ga ada masalah sama sekali buatku walaupun harus “sembunyi-sembunyi” untuk dapat menikmati tubuh Nat.

Mengenai seks, ternyata Nat cukup terbuka untuk hal-hal baru. Dia juga sering berinisiatif untuk meminta duluan, apabila memang ada kesempatan. Menurut pengakuannya, dia memang pernah pertama kali berhubungan seks dengan mantannya semasa masih kuliah, tapi ga terlalu sering dan mereka putus hanya beberapa bulan setelah itu. Yang dapat kusimpulkan, pada dasarnya Nat adalah orang yang punya nafsu tinggi, dan setelah mungkin agak terkekang dalam pergaulan selama belasan tahun, semua nafsu dan gairahnya dalam mengeksplor seksualitasnya tak dapat tertahankan lagi setelah merasakan seks pertama kali.

Sejak pertama kali kami berhubungan seks, sudah ga terhitung lagi berapa kali berikutnya kami berhubungan lagi. Hampir semua gaya sudah pernah kami coba, hampir setiap kali Vi sedang ga ada di flat. Selain itu kami pun banyak mencoba hal-hal kinky lain seperti quickie saat ada orang lain, pakai vibrator/sex toys lain, dan semacamnya. Nat ga punya banyak fetish khusus yang jadi favoritnya, sedangkan aku sendiri ga pernah ada niatan untuk memaksakan fetishku setiap kali seks kepadanya. Hanya ada sedikit sekali batasan yang ada dalam hubungan kami, salah satunya adalah no anal at all.

Sedangkan di luar seks, hubungan kami juga jadi semakin erat seiring waktu. Kami sudah merasa sangat nyaman dan sayang dengan satu sama lain dan saling bertumpu dan mendukung di negara asing ini. Aku sendiri secara pribadi agak heran karena merasakan lagi rasa kasmaran yang biasanya hanya dialami oleh ABG yang baru pertama kali jatuh cinta. Dugaanku sendiri adalah karena Nat ini bisa dibilang satu-satunya hubungan dimana aku betul-betul emotionally invested, sedangkan hubungan pacaranku sebelumnya ga pernah ada yang mencapai level seperti ini.

Ga bisa kupungkiri sampai sekarang, punya hubungan yang erat dan nyaman seperti ini sangat membantu apabila kita sedang merantau di tempat yang jauh dari rumah, dan jauh dari keluarga dan teman dekat. Aku jadi punya tempat untuk beristirahat mental, berbagi kebahagian, tempat mengadu, atau bahkan tempat untuk melampiaskan nafsu seksual. Karena kantor dan jadwal kami masing-masing yang agak berbeda, kami ga bisa terus-terusan bersama setiap hari layaknya gaya pacaran anak kuliahan, tapi ketika kami memang bersama, we make the most out of it.

Sudah beberapa kali pula kami pergi liburan singkat ke beberapa destinasi wisata di dekat Sydney, kebanyakan hanya ke pantai dan hanya selama dua hari satu malam, dan itu pun bersama Vi, teman2 kami, atau teman2 Vi. Namun di setiap ada kesempatan, aku dan Nat selalu berusaha menyempatkan diri untuk sekadar seks kilat seperti barusan itu.

29032283e5501581d68f78bc7b9062155c9acad3.jpg
2903228251755f2c20068f2c5e476e678e376dcc.jpg

“Ja...kamu beberes sama mandi dulu gih..bentar lagi harusnya Vi pulang” kata Nat yang baru keluar dari kamar tidurnya, sekarang sudah berpakaian lengkap santai memakai t-shirt hitam polos dan celana training pendek. Kulihat ke jam di atas TV, kelihatannya aku telah tertidur selama 15 menit. Ya, aku memang kecapekan karena hari itu banyak kerjaan di kantor dan belum sempat beristirahat, tenagaku sudah dihabiskan sampai selesai untuk memuaskan nafsu birahi. Dia pun menyodorkan sehelai handuk putih yang masih basah, kelihatannya baru bekas dia pakai barusan.

Tanpa memasang celanaku dulu, aku berjalan malas ke arah kamar mandi tamu di sebelah pintu masuk. Ga perlu waktu lama, aku udah selesai mandi dan menyegarkan diri dalam waktu 5 menit. Setelah memakai kembali celana dan bajuku di ruang tengah, akupun kemudian mengambil tas backpack yang tadi kuletakkan di samping sofa dan membuka isinya.

“Nat, bentar dulu ya aku mau sambil ngecek e-mail dulu.” Kataku sambil membuka laptop yang baru kukeluarkan di atas meja. Tak lupa akupun meraih ponsel yang daritadi masih berada di dalam tas.

“Yaudah, jadi kamu mau makan apa? order Spaghetti aja mau ga? Enzos aku liat tadi lumayan lagi ada diskon...aku lagi malas banget masak nih soalnya” Tanyanya. Ah. Sebetulnya aku ga terlalu suka makanan Italia apalagi saat sedang lumayan lapar seperti ini, inginnya hanya cari makanan Indonesia atau setidaknya makanan Asia yang mirip. Tapi karena aku ingin segera berkonsentrasi ke sisa pekerjaanku, akupun hanya mengiyakan aja.

Sementara Nat menelpon restoran itu dan memesan makanan, aku sendiri mengecek ponselku sambil menunggu laptopku loading. Kulihat ada beberapa pesan masuk dan notifikasi aplikasi yang ga penting, tapi ada dua notifikasi yang menarik perhatianku. Terlihat ada 2 panggilan tak terjawab dan satu pesan Whatsapp yang belum dibuka, nama “Vera” tertulis disana, diterima sekitar setengah jam yang lalu. Aku agak heran dan penasaran, apa ada yang ingin dia sampaikan?

Vera adalah mantanku yang terakhir yang aku putuskan beberapa bulan sebelum aku mendapat pekerjaan baru ini di Sydney. Seperti halnya mantan-mantanku sebelumnya, kamipun sudah pernah melakukan hubungan seks walaupun kuakui dengan intensitas yang kurang tinggi dibandingkan dengan Nat.

Sebagai gambaran, Vera adalah seorang cewek berdarah Sunda yang dalam kesehariannya memakai jilbab, walaupun pakaiannya sendiri ga terlalu agamis dan menutupi. Biasanya hanya memakai t-shirt panjang yang agak ketat, tidak dapat menutupi lekuk tubuhnya dan gundukan payudaranya yang lumayan menonjol, sedikit lebih besar daripada milik Nat. Tingginya pun sedikit lebih tinggi daripada Nat, namun dengan perawakan yang lebih kurus apalagi kalau membandingkan lengan dan pinggulnya.

2903228101482f5e8865971316218afe54904621.jpg
290322807c58da6b2f6e35a3720f9338c5bace11.jpg

Sejenak aku mencoba melihat Nat dari ujung mataku. Dia masih menelepon memberikan detil pesanan di ponselnya, di depan bagian dapur. Akupun membuka pesan dari Vera yang masih belum terbuka.

“Eja...Apa kabar? Maaf ya aku misscall kamu, aku cuma mau ngabarin sesuatu. Kalo kamu ada waktu nanti tolong kabarin balik ya.” Begitulah isi pesannya setelah kubaca.

Deg...hatiku sedikit bergetar membacanya. Ada apa gerangan dia mencoba menghubungiku setelah lebih dari satu setengah tahun lost contact? Sungguh tak terduga dan aku berusaha menebak-nebak. Namun entah kenapa aku merasa enggan untuk memberitahu Nat tentang pesan yang kuterima ini. Kurasa dia akan cemburu duluan dan melarangku menghubungi Vera, atau malah ngambek dan mendiamkanku kalau aku tetap melakukannya.

Setelah berpikir beberapa detik, aku hapus dulu pesan dan panggilan tak terjawab dari Vera sebelum meletakkan ponselku lagi di meja. Aku akan hubungi dia nanti aja kalau udah pulang. Akupun kembali berfokus ke laptopku sementara Nat duduk di sampingku sambil menonton TV. Tak lama, Vi sampai di flat dan bergabung dengan kami, sambil menunggu makanan yang telah dipesan.

----

Aku bergegas berjalan memasuki flatku dan membuka sepatu di depan pintu kamarku sekenanya. Sebelum melakukan apapun, aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat menelpon Vera. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 10, yang berarti pukul 8 di Indonesia, harusnya Vera masih belum tidur, pikirku.

Sempat tak diangkat sekali, akupun mencoba menelponnya sekali lagi. Setelah beberapa kali nada sambung akhirnya dia mengangkat.

“Halo...Ja? maaf ya kalo tadi aku ganggu.” Katanya dari seberang telpon. Aku merasa suaranya agak lebih serak dari yang kuingat, seakan tenggorokannya sedang kering atau baru menangis lama.

“Iya gapapa...kenapa? ada yang penting? Kamu apa kabar?” tanyaku penasaran.

“Aku baik-baik aja kok...maaf ya tiba2 telpon sekarang abis lama ga pernah ketemu.” Jawabnya. “aku tadi cuma mau ngabarin aja...papaku tadi sekitar Maghrib meninggal.” Katanya berusaha menahan isak.

Aku sedikit terkejut, sebelum kubalas “Astaga....serius..? Kenapa Ver?” tanyaku benar-benar penasaran sekarang.

Selama dulu berpacaran dengan Vera sekitar 8 bulan, aku memang hanya sempat bertemu ayahnya hanya beberapa kali, kurang dari 10 kali mungkin. Tapi aku masih ingat jelas orangnya, apalagi sempat ada kejadian yang membuatku ga mungkin melupakan ayahnya itu.

Vera menjelaskan apa yang terjadi, ternyata ayahnya kecelakaan lalu lintas dan langsung tewas di tempat. Selama menceritakan kejadian itu, beberapa kali Vera terdengar tak dapat menahan isaknya lagi dan membuatku kasihan juga.

“Makanya, tolong maafin papaku ya Ja...maafin juga yang kejadian waktu itu..doain semoga diterima amal ibadahnya ya.” Ucapnya lagi. Tiba-tiba, aku jadi teringat sesuatu, dan tanpa aku sadari, aku tiba-tiba membalas.

“Iya....aku udah ga pernah kepikiran apa-apa juga kok sama papa kamu..semoga papa kamu diterima amal ibadahnya.” Ucapku sekadar formalitas. “Emm aku sebenernya udah ada rencana ke Jakarta minggu depan...kalau misalnya aku mampir ke rumah kamu gapapa..?” lanjutku.

Waktu itu aku sama sekali ga tau kenapa kata2 tersebut tiba2 meluncur dari mulutku. Mungkin karena pada dasarnya jiwaku yang masih “liar” ditambah hubunganku dengan Nat pada waktu itu yang sedikit demi sedikit menuju ke arah “plateau” atau “comfort zone”, selama telponku dengan Vera sempat terkilas lagi bayangan akan tubuh telanjangnya, saat dulu berhubungan seks dengannya yang tidak mengenakan apa-apa selain jilbabnya, dan payudara besarnya yang sedikit tertutupi jilbabnya itu.

Dapat kudengar Vera pun agak terkejut mendengar jawaban terakhirku itu.

“Hah? Serius..? Aku sih gapapa...tapi kamu masih di Australi kan sekarang ya?” tanyanya, kuasumsikan dia tahu karena memang masih follow beberapa medsosku.

“Gapapa, aku emang udah rencana dari bulan kemarin kok...ada acara keluarga. Jadi ya sekalian aja aku mampir kesana melayat kalo boleh” jawabku meyakinkannya.

“Yaudah...kalo gitu nanti kamu kabarin lagi aja kalo udah di Jakarta ya.” Ujarnya.

Kami ga berbincang banyak setelah itu, dan setelah menutup panggilan telepon aku baru tersadar dan heran sendiri kenapa aku menawarkan mau mampir ke rumahnya. Wah, bisa berabe ini kalau ketahuan sama Nat, pikirku agak menyesal. Selain itupun aku memang agak merasa menyesal karena harus merahasiakan hal ini dari Nat. Namun aku meyakinkan diri sendiri dengan alasan hanya untuk silaturahmi dan Nat pasti akan terlalu make a big deal out of this kalau dia tahu.

Sisa malam itu aku berusaha tidur namun malah jadi terbayang2 lagi adegan2 seks dengan Vera yang sudah lama berlalu.

29032292-100x100-9fcc64dd30b285c00e7abe49d0e2514e.jpg
----

Malam sabtu itu aku sampai di flat Nat pukul 6, sengaja buru2 setelah selesai jam kantor agar aku bisa sampai disana dan punya banyak waktu sebelum Vi akan pulang. Besoknya adalah jadwal pesawatku ke Jakarta dan aku sangat ingin memuaskan nafsuku dengan Nat sebelum berpisah dulu selama satu minggu.

Saat aku sampai, Nat sudah menunggu di kamar tidur. Aku yang sudah menerima pesannya untuk langsung masuk tanpa membuang waktu langsung masuk ke kamar tidur dan sempat terpana melihat Nat yang duduk menyilangkan kaki di kasur, hanya memakai satu set lingerie hitam, belahan dadanya semakin terlihat menyembul karena bentuk bra nya yang memang bulat keras.

Dia tersenyum menggoda dan melambaikan tangan memintaku mendekat. “Join me in bed, dear...nikmati dulu tubuhku sepuasnya sekarang sebelum kamu besok pergi..” katanya nakal, sungguh sebuah godaan yang luar biasa mengingat Nat yang biasanya riang, polos dan ga pernah diam di kesehariannya sekarang bergaya dan bertingkah seperti seorang femme fatale.

Aku melucuti seluruh pakaianku disana juga, sebelum melompat pelan ke kasur dan menindih tubuh Nat yang halus dan hangat, ingin kurasakan setiap jengkal kulitnya menempel di kulitku. Dia hanya terkikik pelan sebelum kami memulai berciuman dengan ganas sambil saling meraba dan menjamah tubuh satu sama lain.

“hhmmmppffhh...hmmffh..” sedikit suara lolos dari bibir mungilnya yang sedang kulumat dengan bergairah, aku bisa merasakan lipsticknya di bibirku.

Aku ga mau berlama-lama dan segera melucuti celana dalamnya, tanpa jeda kumasukkan batang penisku yang telah sangat tegang menusuk vaginanya yang mulai becek, walaupun penisku masih agak kering.

Nat terhentak sesaat sambil menggigit bibir berusaha menahan suara, tapi pertahanannya rubuh dan langsung mendesah-desah saat kulanjutkan dengan langsung menggenjot vaginanya dengan cepat.

Selama sekitar 2 jam kami berhubungan seks malam itu, dimulai dari gaya missionary, doggystyle, women on top, sampai reverse cowgirl. Nat sempat mencapai klimaks sampai 3x sedangkan aku sampai 2x dengan sedikit jeda. Sebetulnya Nat memang seperti itu, tipe cewek yang libidonya termasuk tinggi namun mudah juga untuk mencapai klimaks. Untung saja staminanya cukup tinggi karena memang rajin berolahraga setiap minggu, bahkan kadang aku hampir ga bisa mengimbangi bila aku sudah kecapekan sebelumnya. Dan seperti biasa kami selalu harus terbatasi oleh Vi, adiknya, yang akan pulang dan kami harus menyelesaikan persetubuhan ini walaupun masih belum puas.

----

Aku menoleh sekali lagi ke arah Nat dan sedikit melambaikan tangan, sebelum melanjutkan berjalan ke arah gerbang boarding room. Pesawatku dijadwalkan boarding dalam waktu setengah jam lagi, dan udah mulai banyak orang yang menunggu di boarding room. Kulihat Nat balas melambaikan tangan namun segera tertutup oleh antrian orang yang masuk di belakangku.

Selama menunggu pesawat datang dengan Nat, kami berbincang banyak sambil bermesra-mesraan, karena ini sebetulnya adalah pertama kalinya kami akan terpisah selama satu minggu dan berjauhan seperti ini. Nat terus-terusan bilang dia bakal kangen dan mengingatkanku agar selalu memberi kabar setiap harinya. Aku sendiri sebetulnya agak sedih juga karena harus berpisah seminggu seperti itu, setelah sebelumnya hampir satu setengah tahun kami bertemu hampir setiap hari, ga pernah lebih dari 3 hari tanpa bertemu satu sama lain.

Namun setelah di pesawat, mungkin karena pada dasarnya aku cowok yang agak brengsek, pikiranku malah beralih dan tertuju pada janji yang telah kubuat: bertemu dengan Vera.

CHAPTER 3
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd