Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER 7 – Endings Without Stories

Short chapter, SFW. Tanpa adegan panas.
Sore itu, kami tenggelam dalam kesunyian entah berapa lama. Sebuah keheningan yang sangat berat dan menyesakkan, yang rasanya telah menutupi sinar matahari yang sebetulnya masih cerah menembus dari balik jendela.

Aku masih tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun setelah Nat selesai bercerita. Pikiranku masih hanyut dalam jutaan emosi, yang diiringi dengan jutaan pertanyaan yang terus berseliweran di kepalaku.

Sedih. Marah. Kecewa. Marah. Kasihan. Marah. Penasaran. Marah. Tak percaya. Marah. Marah. Marah.

Semakin lama pikiranku terhanyut, semakin panas kurasakan amarah yang membakar dari dalam. Sial. Aku teringat pesan dari orangtuaku saat kecil dulu: jangan membuat keputusan saat sedang marah, dan jangan membuat janji saat sedang bahagia. Aku berusaha menahan diriku sendiri dari berbuat sesuatu yang bodoh, dan berpikir dengan kepala dingin. Kuputar kembali semua yang terjadi, semua yang kuketahui, semua kemungkinan, semua possible step.

Kurasakan tangannya menggenggam tanganku. Tetap hangat dan halus seperti biasanya, tapi kali ini tidak dapat menghangatkan kulitku yang rasanya sangat dingin. Kulihat matanya yang masih menatap ke lantai karpet dimana kami duduk. First things first. Setelah dengan hati-hati memikirkan semuanya, berusaha menceraikan pikiranku dari emosi, kutanyakan sesuatu padanya, memecahkan keheningan yang telah menyelimuti selama 10 menit ini.

“…mereka…keluar di dalam..?” tanyaku pelan, hampir tanpa emosi.

Tanpa melihat ke arahku, Nat hanya mengangguk pelan satu kali.

Fuck.

Sebelum aku sempat melanjutkan, Nat berbicara dengan suara lirih, campuran antara gugup dan takut.

“…aku udah minum morning after pill yang waktu itu..masih ada cukup sisanya…”

Pil seperti itu percuma kalau di masa subur, ga akan bantu banyak, pikirku.

Aku tak tahan untuk tidak menanyakan satu hal yang paling penting selanjutnya, yang paling terngiang-ngiang di pikiranku dari semalam.

“…kenapa?” tanyaku singkat.

Sebetulnya, out of context, pertanyaanku itu sangat ambigu. Tapi kelihatannya Nat mengerti apa maksudku, namun tetap membisu, menunduk tanpa menjawab.

“…..maaf.” ucapnya, sangat pelan hampir tak terdengar. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku.

Emang menurutmu, semua ini akan selesai hanya dengan maaf?

“Aku mau lapor polisi dulu sekarang.” Kataku dengan agak geram, sembari meraih ponselku yang berada di dalam tas di sampingku.

Tiba-tiba Nat mengangkat kepalanya dan menarik kembali tanganku, tatapannya kaget dan takut, sangat terlihat dari matanya yang udah mulai bengkak dihiasi bekas air mata yang telah mengering.

“jangan.” Nat tercekat.

Aku balik menatapnya dengan ekspresi heran dan marah, tatapanku sangat tajam meminta penjelasan.

“….let me handle this myself…semuanya gara-gara aku sendiri…maaf…” katanya agak takut melihat pandanganku.

Wow, such a bullshit. Aku masih menatapnya tajam, kedua alisku mengerucut.

“…aku ga mau keluargaku tahu kejadian ini…please…let me deal with this.” Katanya meminta iba.

Not good enough, dear. Is this really the best you can come up with?

Aku yang dapat mengendus bau-bau kebohongan semakin yakin dengan rasa curigaku tadi bahwa yang semua yang tadi dia ceritakan tidak dia sampaikan dengan kejujuran penuh. Sambil terus menatapnya dengan diam, dalam hati aku mulai menyusun rencana untuk pergi ke Community Legal Centre di daerah Nat tinggal. Aku juga mempertimbangkan apakah aku harus sekalian pergi ke Konsulat Jenderal RI untuk NSW atau tidak, berusaha membayangkan semua skenario dan langkah yang akan terjadi.

Dalam hatiku, amarahku masih membara untuk dapat segera memberikan balasan yang setimpal pada para bajingan tadi malam, seandainya bisa, akan kurobek tenggorokan mereka satu persatu dan kugantung mereka dari lehernya sampai mati kehabisan darah.

“…kenapa? Apapun yang kamu pikirin, sexual assault seperti ini tetep harus kita laporin. Apalagi pada kita sebagai orang asing.” Akhirnya aku menjawab, berusaha masih dengan logis, walaupun dengan sangat ketus.

Nat terdiam sejenak, seakan berusaha mencari kata-kata di pikirannya. Kuperhatikan lagi sejenak wajahnya. Sebuah wajah cantik yang membuatku jatuh hati, rambutnya yang masih belum betul2 kering masih acak-acakan mencapai bahunya. Sebuah wajah cantik yang baru tadi malam telah dinodai oleh sperma beberapa bedebah.

C’mon, Nat. What kind of bullshit now that you’re gonna throw?

“…please…aku ga mau berurusan dengan semua itu saat ini…aku hanya pengen ada kamu disini, Ja…I need you…please…” suaranya mulai bergetar lagi, tangannya kini berusaha merangkul tanganku dan menarik badanku mendekat ke kepalanya.

Nat baru saja mandi saat tadi aku tiba disini. Namun aroma sabun dari tubuhnya dan shampoo dari rambutnya tak dapat menutupi sebuah aroma asing yang tak pernah kucium dari Nat sebelumnya, aku yakin sisa2 aroma sperma yang membanjiri badannya tadi malam. Kulihat bibir mungilnya agak bergemetar, bibir yang malam tadi baru saja melayani penis empat orang bajingan secara bergantian. Dan dari tanktop lonnggar yang dia kenakan, belahan dadanya sedikit terlihat dari atas, tampak beberapa spot merah bekas cupang lelaki-lelaki yang tak kukenal di bawah lehernya.

Terbayang kembali kejadian tadi malam, bagaimana pacarku yang sangat kusayangi dan tengah kucari malam itu, semua karena aku merasa bersalah, telah digagahi oleh orang2 yang tak kukenal, perempuan yang kukagumi itu, telah merendahkan harga dirinya sendiri di hadapan mereka, membuatku kembali terbakar amarah, seketika meledak tanpa dapat kutahan lagi.

“That’s not how this works!! Apa lagi yang masih kamu sembunyiin?!” tanyaku menyentak.

Nat terlihat kaget, aku ga bisa menahan diri untuk tidak meluapkan emosi.

“You need me? YOU need ME?! What about me? What about when I needed you?!”

“You said you needed more time, which I gave, then what did you do with it?! You fucking whored yourself out to some strangers!”

“And what was that all about?! Out of spite?! Petty revenge?!”

Nat menarik tangannya, badannya agak menutup, menatapku dengan penuh rasa takut.

“Engga, Ja….please, aku bukan balas dendam buat kamu…kamu ga ngerti….”

THEN MAKE ME FUCKING UNDERSTAND!! Apa yang sebenernya terjadi?! Apa yang sebenernya lu pengen?! Just to watch me burn?! Coba jelasin semuanya!!” potongku dengan suara tinggi, aku yakin bisa terdengar keluar kamarnya.

Aku sedikit mengambil nafas dengan penuh nafsu, sambil melihat Nat yang hanya menunduk, air matanya kembali mengalir sedikit-sedikit. Kutunggu sampai dia siap menjawab.

Tak sabar, kupegang kedua bahunya dengan erat dan kugoyangkan dengan kencang, kepalaku sangat dekat di depan mukanya yang menunduk tertutup rambut yang bergetar mengikuti gerakan tanganku.

“Ayo jelasin semuanya!! You said you love me?!! I think I deserve that much!!” teriakku tak sabar.

Mungkin Nat memang ga ada niatan sama sekali untuk memberikan kejujuran untukku, atau mungkin mentalnya udah keburu padam oleh luapan emosiku. Dia hanya tetap terdiam menunduk sambil terisak.

“I…love you, I really do…” katanya terisak, tapi aku masih tak sabar

“…THEN FUCKING TELL ME EVERYTHING!!! Why is it so hard for you?!”

Dia masih menangis, terisak pelan. Nat sedikit menggelengkan kepalanya perlahan. Aku ga tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Dead end. Kudekat mulutku ke telinganya.

“I gotta admit, I love you too. I really do. But you know what? Kalo lu ga mau lapor polisi, fine. Lu ga mau ceritain semuanya ke gue, fine. I don’t wanna care anymore. Do what you want. You’re free.” Kataku dengan pelan tapi sangat tegas tepat di telinganya.

Nat yang mungkin tersadar apa maksudku sebenarnya sedikit tersentak dan memegang balik tanganku, berusaha mencegahku bangun. Tapi dengan mudah kulepaskan tangannya.

“Ga. This is it. We’re over. I’m done putting up with your shit for too long.” Kataku dengan kasar, sambil bangun dan membereskan barang2 milikku, ingin segera angkat kaki dari tempat itu.

“Ja….no please, tunggu…a..aku ga mau kamu pergi Ja, not now…please…” isaknya berusaha bangun dan menahanku. “maaf…I’m so…so sorry…please don’t leave me here….”

Tapi percuma, telingaku sudah tertutup. Aku udah beranjak ke arah pintu kamarnya. Kulewati area ruangan tengah dengan cepat menuju pintu keluar, tak sekalipun menoleh ke belakang.

Apabila kuingat-ingat kembali saat-saat itu, beribu-ribu perasaan kembali menyerang kalbu. Aku masih sayang, sayang sekali pada Nat. Dalam keadaan normal, aku ga akan berani bermimpi meninggalkan dia dalam kondisi seperti itu, dengan psyche yang udah runtuh. Aku sayang sekali padanya.

Endings Without Stories, lagu yang sebetulnya udah kuketahui sejak bertahun-tahun lalu, terus berputar dalam benakku.

Dan pada sore yang cerah itu, aku meninggalkan separuh hatiku disana, aku pergi tanpa mempunyai tujuan yang pasti.

CHAPTER 8
 
Terakhir diubah:
with or without sex its still good tho

heart wrenching moment there

i wish nothing but the best for u both

baper huu :(
 
with or without sex its still good tho

heart wrenching moment there

i wish nothing but the best for u both

baper huu :(
:( :( :(
makasih huu...

Wau ... Nat masih menolak kalau balas dendam !!!!!
hahaha...ternyata memang bukan balas dendam kok, nanti di ch selanjutnya saya bakal ketemu lagi sama Nat, barulah tau ada apa sebenernya

di halaman pertama sih tidak terlihat tanda tanda penulis pemula kurasa.

tak ada typo dan narasi terbangun apik.
lanjutkan pak
makasih huu...saya udah biasa nulis jurnal ilmiah, sama banyak baca2 novel, mungkin karena itu jadi bisa mengalir..tapi bikin2 cerita hot seperti ini baru pertama kali huu hehe
 
Bimabet
Shit. Reading this chapter is like hearing "Pamungkas-I Love You But I'm Letting Go" but in the most unpleasant way.

Hope the best for both of you.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd