Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT OKASAN NO HATSU KOI - my mom's first love (racebannon)

Gan maaf sebelumnya nanya oot, agan RB ngga pengen ngelanjutin MDT 2? Rasanya kayak kesel gitu baca part nya haruko,banyak banget kayaknya kejadian yang di skip,dan jadi pertanyaan dikepalaa apa yang terjadi sama arya selanjutnya hehehee
 
kyokob10.jpg

OKASAN NO HATSU KOI – PART 41
(my mom's first love)

------------------------------

azabuj10.jpg

Kana sedang sarapan sereal sambil menonton televisi pagi itu. Hari Sabtu. Douyobi, bahasa Jepangnya, alias hari tanah. Di atas meja makan, ada kertas dari ayahnya, yang bertuliskan, bahwa ayahnya akan ke luar negeri selama seminggu. Dan itu pemandangan biasa. Kana sampai curiga jangan-jangan Ayahnya tidak akan pernah pulang lagi setiap dia pergi.

Kana menarik napasnya dalam-dalam sambil menikmati susu dingin di mangkuk serealnya. Kalau weekend begini, biasanya adalah harinya untuk rileks di rumah, sambil mencoba-coba resep karena pelajaran praktik memasak dari hari ke hari makin sulit saja. Tapi sebagai seseorang yang ingin menjadi chef, terutama pastry chef, dia wajib berlatih terus-terusan.

Di coffee table di depan televisi, buku-buku resep makanan ditumpuk dengan rapi oleh Kana. Setelah sarapan dia akan membaca-bacanya mungkin, mencari resep apa saja yang sepertinya cocok dengan materi belajarnya di Senmon Gakkou.

Handphonenya tersimpan dengan anggunnya di atas tumpukan resep makanan itu.

Mendadak, handphonenya berbunyi. Ringtonenya biasa saja, bukan ringtone lagu yang sedang hits seperti handphonenya Marie, ataupun ringtone lagu Tatsuro Yamashita seperti handphonenya Kyoko. Tapi ringtone standard yang merupakan bawaan pabrikan handphone tersebut.

Dia menatapnya dan melihat nomornya setelah membukanya. Nama yang tertera di sana tidak asing lagi. Marie. Dengan sedikit malas, dia mengangkat nomor tersebut. Kalau Marie, paling apa sih? Paling tidak jauh-jauh dari mengajak main ke mall, atau karaoke, atau apapun kerjaan-kerjaan yang agak-agak buang waktu.

“Hai” dia mengangkatnya dengan nada malas.
“Kana…” suara Marie terdengar agak-agak bernada serius.
“Ada apa?”
“Ano…..”

“Tumben meneleponku pagi-pagi… Kalau kamu mau mengajakku shopping, karaoke, makan di luar, atau main di arcade, jawabanku adalah tidak” potong Kana.

“Bukan…. Sepertinya kita harus bicara….”
“Oleh karena itu bicaralah… Jangan terbata-bata begitu seperti habis melihat hantu…” lucu, padahal yang sepertinya penakut adalah Kana.

“Kamu ada rencana pergi keluar tidak hari ini?”
“Tidak”
“Kalau begitu aku ke rumahmu…….. Sebentar lagi, oke?”
“Baiklah… Kalau memang harus bicara langsung…. Lagipula, lebih mudah daripada bicara di telepon kan?” kesal Kana.

“Tunggu ya!” dan sambungan telpon dari Marie pun putus. Kana menekuk jidatnya sambil memainkan rambut panjangnya. Apa yang benar-benar sepenting itu sampai-sampai Marie harus buru-buru datang ke rumah dan menyampaikannya langsung?

Benar-benar aneh.

------------------------------

Marie dan Kana duduk di meja makan. Mereka berdua saling terdiam.

“Jadi, ada seseorang yang masuk ke dalam apartemen Atsushi?” tanya Kana.
“Iya” Marie baru saja menjelaskan apa yang terjadi pagi tadi. Seorang perempuan, dengan membawa kantung belanjaan, masuk ke dalam apartemen Okubo.

“Atsushi ada di Gunma kalau weekend. Mungkin itu saudaranya yang meminjam apartemennya” Kana memberikan kesimpulan.

“Mungkin” jawab Marie. “Tapi…… Untuk apa meminjam apartemennya?”
“Entah. Ada urusan di Tokyo mungkin….”

“Ada urusan sebentar di Tokyo dan bawa belanjaan seperti ingin memasak di apartemen?” bingung Marie.
“Memasak itu lebih hemat. Mungkin dia orang Gunma juga, dan harga makanan di Tokyo kan mahal”
“Kalau makan bento minimarket tidak mahal….”
“Jangan samakan semua orang seperti kamu…” dengus Kana. “Sudahlah, jangan mencampuri urusan orang lain terlalu dalam… Tidak baik”

“Eh, kamu itu yang pacarnya Okubo… Mungkin harusnya malah bukan aku yang khawatir soal itu, tapi kamu yang harus khawatir…”

“Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain”
“Bahkan untuk urusan pacarmu juga?”
“Terus aku harus apa? Bertanya padanya seperti anak perempuan yang terlalu manja ke pacarnya?”

“Menurutku wajar kalau kamu curiga, cemburu, lalu bertanya, lagipula, apa susahnya mengirim mail atau meneleponnya………” balas Marie, menatap Kana yang tatapannya dingin. Entah apa yang dipikirkan oleh temannya ini soal perempuan di dalam kamar Okubo.

“Jadi? Aku harus menelpon Atsushi, bertanya, dan curiga seperti anak remaja? Itu yang harusnya kulakukan?” tanya Kana dalam nada kesal.
“Kamu tahu kan kalau itu bukan berarti kamu kekanak-kanakan…. Curiga itu wajar” balas Marie dengan tatapan khawatir.

“Aku sudah pernah menelpon Atsushi dan mengirim mail di weekend atau hari libur, tentu saja tidak pernah dia angkat dan dia balas. Dia butuh waktu untuk istirahat.. Pasti lelah setelah kerja seminggu di Tokyo….” jawab Kana, dengan tatapan yang kalem.

“Ah….”
“Sudah, biarkan saja….. Kadang-kadang kalau kita tahu lebih banyak, kita menyesal sendiri……….” sambung Kana.

“Ano… Maaf, tapi…. Bukankah hak kamu untuk tahu lebih banyak soal pacarmu sendiri kan? Dan kupikir, sampai sekarang juga, kamu belum mencari tahu soal Abe-Sensei, apakah dia sudah berkeluarga atau belum… Jadi kamu seperti menjaga jarak dari mereka semua……. Terutama dari..”

“Marie…” potong Kana. “Tidak usah bawa-bawa Abe-Sensei. Itu pilihanku sendiri, untuk tahu atau tidak tahu soal kehidupan pribadi mereka semua lebih jauh. Sejauh ini aku mendapatkan apa yang aku ingin dapatkan… Kalau lebih dari itu……..”

“Walaupun misalnya perempuan tadi adalah istri atau pacar Okubo dan kamu selingkuhannya?”
“Jangan mencari-cari masalah…. Siapapun perempuan itu, kamu tidak ada urusan dengannya” jawab Kana sambil memainkan rambutnya sendiri.

“Kana…. Masa kamu tidak cemburu sih? Serius lho ini….. Bisa saja dia selingkuh dengan perempuan itu malah….”

“Jangan banyak berspekulasi…. Tidak baik untuk kesehatan pikiran kamu….”
“Ya tapi jangan cuek juga dengan pacar kamu begitu…. Atau……” Marie menatap mata Kana dengan serius.
“Atau apa?”

“Atau kamu sebenarnya tidak sayang-sayang amat dengan Okubo….”
“Bicara apa kamu?”
“Kalian tidak pernah kencan kecuali hanya untuk makan di luar dan ngobrol di café….”

“Marie..”

“Kalau pacaran, kamu cuma menginap saja di apartemennya…… Aku tahu ini maksudnya apa….”
“Maksudnya apa bagaimana?”

“Dia cuma pelarian kan? Dia cuma kebetulan ada, di saat kamu sedang menahan perasaan kamu ke Abe-Sensei…. Kamu pikir kamu bisa lari ke tempat lain, melemparkan diri kamu ke laki-laki lain tanpa perasaan sayang….. Cuma untuk melupakan Abe-Sensei……” ucap Marie panjang, sambil menunggu ekspresi marah Kana kepadanya. Tapi bentakan-bentakan atau ucapan kemarahan tidak kunjung tiba.

Untuk beberapa saat, meja makan Kana terasa hening.

“Sudah..”
“Eh?” bingung Marie.

“Sudah, biarkan saja tetanggamu itu… Dia ada di saat aku butuh dia dan sebaliknya…. Aku bahkan masih agak-agak risih kalau disebut pacarnya…. Jangan diperpanjang dan jangan cari tahu lebih dalam lagi… Sudah cukup sampai d sini bahasan kita soal Okubo…. Kita, terutama kamu, tidak harus tahu segala hal soal dia….. Oke?”

Kana tampak dingin. Dia menatap ke arah lain, tidak mau bertatapan muka dengan Marie.

“Terserah apa katamu…” jawab Marie dengan nada sesal. “Mungkin cara kita memandang hubungan laki-laki dan perempuan beda….. Yang membuat dulu aku stress sampai pindah apartemen, gara-gara Sakurai itu, karena aku berharap dia bisa mengisi ini” Marie menunjuk ke arah dadanya. “Tapi ternyata tidak…. Dan aku cukup terluka…. Sekarang, aku lebih berhati-hati, di saat ada Yusuke sekarang, aku mencoba memastikan terus menerus apakah aku merasa puas berhubungan dengannya atau tidak… Dan berusaha menjauhi hal-hal fisik terlebih dahulu….. Mungkin, yang kita butuhkan sekarang beda”

“Mungkin”
“Iya, mungkin beda…. Entahlah”

“Jadi, sudah sampai di sini saja ya, masih banyak yang harus kita lakukan berdua, daripada memikirkan Okubo. Setidaknya kamu harus menghindari mencampuri urusan orang lain, terutama yang kamu tidak terlalu kenal…”

“Tapi aku dan kamu kan…” kesal Marie.
“Bukan aku dan kamu. Tapi Okubo. Bagaimanapun dia orang lain untukmu, walaupun dia berhubungan denganku. Lagipula kamu sepertinya menikmati waktu-waktumu dengan Kamiya….”

“Walau kami belum resmi pacaran….”
“Ya, nikmati saja waktumu dengan dia, tidak udah memikirkan Okubo…..”

“Baiklah”

“Oke… Sekarang kamu bisa pulang, atau tinggal di sini sebentar karena aku mau masak makan siang, terserah kamu” Kana berdiri, dan mengambil apron dari lemari dapur, lantas memakainya.

“Entahlah, Kana… Kamu masak dulu saja, banyak yang mesti aku cerna hari ini……..” jawab Marie.
“Oke”

------------------------------

b6c7e410.jpg

“Ya, nikmati saja waktumu dengan dia, tidak udah memikirkan Okubo…..”

“Baiklah”

Ucapan itu terus terngiang-ngiang di dalam kepala Marie. Tapi, sekarang, badannya berada di depan pintu apartemen Okubo, berusaha menahan perasaan ingin mengetuk pintunya. Berkali-kali dia mengangkat tangannya, tapi dia urung untuk mengetuk, karena kata-kata Kana terus terbayang-bayang.

Bukan urusanmu. Okubo orang lain untukmu. Nikmati saja waktumu dengan Yusuke. Kita tidak harus tahu semuanya soal dia. Biarkan saja. Dia pasti saudaranya yang meminjam apartemen di weekend.

Tapi sore itu, Marie benar-benar ingin menghilangkan suara-suara Kana yang tadi ia dengar dari sebelum makan siang.

Ah, persetan.

Marie dengan segala keingintahuannya, langsung mengetuk pintu kamar Okubo, sambil merancang ratusan kata dan puluhan kalimat di kepalanya, agar ketika ia bicara dengan siapapun yang membuka pintunya, dia tidak terdengar seperti sedang menyelidik.

Dia membuang napas banyak-banyak, sambil mempersiapkan apapun yang perlu ia persiapkan.

Oke, ada suara kunci terbuka. Daun pintu perlahan bergeser ke luar, dan Marie sedikit mundur agar dia tidak tertabrak daun pintu. Dia juga sedang berusaha untuk mengontrol ekspresi mukanya.

“Ano… Sumimasen…. Konnichiwa…..” senyum Marie, ke perempuan yang tadi pagi.
“Konnichiwa….” senyum perempuan itu benar-benar manis, cocok sekali dengan rambut panjangnya yang ikal itu.

“Ah, Ano… Salam kenal, saya Taniguchi Marie dari sebelah…. Apakah anda penghuni baru? Dozo yoroshiku onegai shimasu…….” Marie menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Ini tricknya. Dia pura-pura menganggap perempuan tadi adalah penghuni baru. Anggaplah tetangganya Atsushi Okubo, Marie Taniguchi mengira kalau Okubo sudah pindah. Dan apartemen kosongnya dihuni oleh perempuan itu.

“Ah, bukan, aku hanya ada di sini saja sampai besok” sampai Minggu. Hmm… Mungkin benar, dia adalah saudaranya Okubo mungkin ya? Yah, kita anggap saja begitu, pikir Marie. Dia juga tidak enak kalau bertanya, siapakah dia dan ada hubungan apa dia dengan Okubo, itu akan sangat-sangat awkward. Dan kalau tebakan Kana benar, tentu dia akan malu sekali sudah mengganggu saudaranya Okubo.

“Oh begitu… Ahahaha… Kukira tetanggaku pindah dan penghuni barunya anda” senyum Marie dengan ramah.
“Ah, maaf, saya lupa memperkenalkan diri… Saya Okubo Misato….”

Okubo. Atsushi Okubo, Misato Okubo. Oh, saudara pasti, nama belakangnya sama. Masuk akal, wajar.

“Hehe, baiklah.. Saya permisi dulu… Maaf mengganggu…” lanjut Marie.
“Ah, baiklah… Saya yang minta maaf, karena harusnya saya berkenalan dari tadi” perempuan ini merujuk ke kejadian papasan tadi pagi. Oke, wajar kalau dia minta maaf. Dia sudah bikin Marie berpikir macam-macam, ke mana-mana dan mencurigai banyak hal.

Atsushi Okubo, Misato Okubo. Nama belakangnya, nama keluarganya sama. Itu berarti mereka satu keluarga. Kakak adik, atau sepupu dari garis ayah. Ya. Pasti itu. Sudahlah. Lagipula, Okubo yang Atsushi tidak terlihat hari itu. Mungkin dia benar-benar ke Gunma.

“Hehe, tak apa… Permisi…”
“Ah iya, saya juga permisi… Maaf sudah merepotkan Anda sebagai tetangga…. Suami saya juga pasti sering merepotkan ya, Jya…. saya juga permisi” senyum Misato Okubo sambil menutup pintu.

Suami?

Marie tersenyum ramah menanggapi jawaban itu, tapi matanya melotot. Pupil matanya membesar. Ekspresi matanya tidak sinkron dengan ekspresi wajahnya. Matanya bereaksi berbeda dengan anggota wajah yang lain.

Apa tadi dia bilang?

Suami?

Coba bilang sekali lagi?

Suami?

==================
==================


haruko10.jpg

“Ini cocok parfumnya untuk suaminya Bu….”
“Ahaha… Terimakasih” Okasan nerima sample parfum yang dikasih sama penjaga toko di mall ini. Dia lagi jalan sambil ngegandeng Papa. Papa cuman senyum aja. Aku ngintilin mereka berdua di belakang. Kita sekeluarga emang lagi jalan-jalan ke mall di weekend ini.

“Tinggal ke supermarket kan? Belanja mingguan?” tanya Papa ke Okasan.
“Iya Aya… Tapi kalau Aya bosan temani Kyoko, sama Haruko saja keliling-keliling, Kyoko akan belanja banyak soalnya, banyak yang sudah habis di rumah……” pasti Okasan mengacu ke sabun cuci piring, pelembut pakaian, deterjen, dan segala macam tetek bengek per-rumah tangga-an lainnya nih.

“Ah, masa nemenin belanja doang bosen”

“Ah, Aya kan kalau menemani biasanya bosan dan lihat-lihat alat pertukangan, lalu beli, lalu tidak terpakai, lebih baik tidak usah menemani kalau nanti begitu juga” ledek Okasan. Aku cuman mesem-mesem aja di belakang mereka, karena yang Okasan bilang itu 100 persen benar.

“Ah… Yaudah deh…. Yuk ah, Haruko mau ke mana?” Papa ngelepasin gandengannya sama Okasan dan tangannya sekarang ngacak-ngacak rambutku.

“Gak tau sih, tapi…..”
“Toko buku?”
“Gak ada yang pengen dibeli…”

“Hmmm…..”
“Kenapa Pa?”
“Kalo gitu……..”
“Kalo gitu kenapa?”

“Yaudah ikut Papa aja ya?”
“Oke deh”

------------------------------

promo-10.jpg

Aku duduk tenang di kursi, dengan minuman coklat panas di tanganku. Aku ngeliat Papa lagi beraksi. Not demi not yang nadanya menurutku aneh terbang dari amplifier gitar di toko itu. Ya, di mall ini ada toko alat musik high-end. Kebanyakan musisi terkenal belanja alat musik di sini. Aku pernah beberapa kali nemenin Papa beli efek gitar, aksesoris, atau bahkan beli gitar di sini.

Sebenernya aku gak begitu pas ada di sini, karena gak suka musik. Tapi karena gak ada pilihan lain dan daripada konsumtif, Papa milih mampir ke sini, nyobain gitar sambil ngobrol sama yang jaga di toko ini.

“Keren Mas kayak biasa” puji si penjaga toko saat Papa berhenti main.
“Gini-gini aja ah gue mainnya” tawa Papa. Iya deh Pa… Merendah untuk meninggi banget.

“Ehehehe… Kapan main Jazz lagi dong?” tanya si penjaga toko sambil memotret Papa yang lagi meluk gitar yang nempel di badannya itu.
“Itu lo foto, post di instagram, pasti orang-orang pada heboh itu, kok Arya megang stratocaster…. Gitu pasti” tawa Papa, disambut oleh ketawa keras dari si penjaga toko.

Stratocaster apaan pula, aku ga tau itu binatang apa. Tapi emang bentuk gitar yang dipegang Papa beda sih sama gitar-gitar dia yang ada di rumah. Kalo yang ini itu warnanya ngejreng, dan kayak ada tanduknya gitu. Entah apa istilah benernya. Buatku, gitar yang disebut Stratocaster itu, kayak punya tanduk.

“Mas Jacob kemaren ke sini lho…”
“Oh ya? Dah lama gue gak ketemu dia”

“Makanya main Jazz lagi dong Mas, please… Bisa gila nih kita kalo Mas Arya kayak gini mulu…… Bukannya kita gak suka Hantaman sama album solonya Mas ya… Tapi kan Mas aslinya ngeJazz banget………”

“Belom ketemu kliknya nih, mana udah lama gue gak keep In touch sama anak-anak Jazz… Jadi….”

Mendadak, obrolan mereka terhenti. Ada orang yang masuk ke dalam toko ini. Ah siapa itu? Aku baru pertama kali liat dia. Tante-tante cantik, tubuhnya langsing, dandanannya anggun, dan rambutnya lurus, panjang, hitam legam banget. Auranya benar-benar mengintimidasi.

“Ah, siang mbak..”
“Siang… Yang tadi udah aku tanyain lewat telepon… Pedal sustainnya….”
“Hehe.. Iya Mbak, mau dicoba dulu?”
“Harus. Ngapain dibeli kalo gak dicoba dulu………”

Papa ngeliat perempuan itu dengan tatapan kesel, dia langsung narik napas panjang, dan naro gitar yang tadi dia coba ke tempatnya.

“Apa kabar?” tanya perempuan itu.
“Baik”
“Sendirian?”
“Sama anak istri. Istri lagi belanja. Itu anakku…”

Aku kaget karena mendadak disebut. Aku langsung berdiri, dan menurut adab kesopanan orang Indonesia, aku langsung ngehampirin Tante itu dan aku ngajak dia salaman.

“Halo Tante… Aku Haruko…”
“Halo. Karina..”

Papa ngeliatin terus muka perempuan itu, dengan tatapan yang bener-bener gak suka. Siapa orang ini? Musuh Papa? Pernah ada apa dia sama Papa sampe kayaknya mereka berdua saling benci gitu.

“Ini Mbak…”
“Pasangin dulu ke keyboardnya, baru ntar aku cobain”
“Oh, iya”

Si penjaga toko dengan sigap masangin entah alat apa itu ke keyboard dan dia teken-teken, bunyinya sih tetep bunyi keyboard. Entah, pedal sustain itu makhluk apa dan gunanya buat apa kalo dicolokin ke keyboard.

Tante Karina langsung naro tasnya dengan gerakan anggun, dan dia duduk di kursi, di depan keyboard. Kakinya ada di atas pedal sustain, dan mendadak, jari-jarinya menari dengan indah di atas tuts keyboard. Dia nutup matanya, sambil berusaha menjelajah hamparan putih dan hitam yang ada di hadapannya itu.

Nada-nadanya aneh dan unik banget, dan kadang-kadang ada kedengaran nada yang menggelitik, sampe punggung ini merinding rasanya. Ini kali ya yang namanya musik Jazz. Katanya ada sensasi geli kalau kita denger nada yang bener-bener “klik” dan sesuai dengan suasana saat itu.

Papa langsung nyamperin aku, terus dia bisik-bisik.

“Kita jalan aja ke supermarket”
“Eh?”

Mendadak Tante Karina berhenti main keyboardnya. Dia berdiri lagi dan ngelemesin jari-jari tangannya.

“Jadi ya, aku bayar sekarang”
“Oke Mbak…” Tante Karina ngebuka handphonenya dan dia langsung scan itu handphone ke reader, untuk transaksi. Gak lama, transaksi selesai dan si penjaga toko langsung nyabut entah alat apa tadi namanya aku udah lupa, buat dimasukin ke kotaknya lagi dan dibungkus. Aku dan papa udah jalan sampai pintu keluar.

“Gue jalan dulu ya, makasih udah boleh nyobain strat barunya hahaha” Papa melambai ke arah penjaga toko, dan sesaat sebelum kaki papa keluar dari gerbang toko……

“Album Jazz kamu, sudah 15 tahun, gak muncul-muncul… Kamu masih nyebut diri kamu gitaris Jazz emang sekarang?”
"Ah, Haha..." jawab Papa.

https://ssl.***********/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif
Dih. Apaan tuh. Papa mendadak keliatan tensinya agak naik. Dia ngedip-ngedipin matanya, dan dia natap balik ke belakang.

Papa cuma senyum dan diem ke arah Tante Karina, terus dia narik tanganku, sambil jalan keluar dari toko itu. Aku cuma bisa ngikut dia, sambil bingung. Iya, sumpah bingung banget. Entah apa tadi.

Aku masih melongo, bingung, dan tiba-tiba, ada pertanyaan keluar dari mulutku.

“Papa… Tadi itu siapa?”
“Hmm?”
“Tadi, Tante Karina itu siapa?”

“Haha, biarin aja”

Eh? Tunggu. Apa? Biarin aja? Apa-apaan ini? Siapa Tante Karina? Siapa dia?

------------------------------

BERSAMBUNG
 
CAST PART 41

- Haruko Aya Rahmania (16) anak semata wayang Arya dan Kyoko, tokoh utama MDT
- Arya / Achmad Ariadi Gunawan (48) Sang Ayah, Suami dari Kyoko
- Kyoko Kaede (48) Sang Ibu, Istri dari Arya

- Karina Adisti (46) Musisi Jazz, Mantan pacar Arya.

Kyoko's Timeline:

438be411.jpg


- Marie Taniguchi (19) Teman akrab Kyoko di Senmon Gakkou
- Kana Mitsugi (19) Teman akrab Kyoko di Senmon Gakkou

- Misato Okubo (??) Siapa dia?.

Glossary :


Konnichiwa : Selamat Siang
Sumimasen : Permisi
Dozo Yoroshiku Onegaishimasu : Salam Kenal (formal)
Okasan : Ibu
Senmon Gakkou : Sekolah Kejuruan (setingkat diploma)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd