Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Anjrit, masih jauh bgt dari tamat. Ayo guys, kite geser lagi, biar cepet update, hehehe

thank you apdetnya masters
have a good time 4 yaall
 
Dah mo habis ni episode2 yg memacu darah sekencang kencangnya ke selangkangan :D

Makasih apdet nya om :beer:
 
Makasih updatenya om.. Boleh klo mau update lagi om RB.. Pan udah gnti page..
 
MDT SEASON 2 – PART 41

--------------------------------------------

14592210.jpg

Aku masih duduk di karpet, di tempat tadi dimana Arwen kabur dariku setelah aku menyerangnya. Aku masih terdiam. Masih merenungkan apa saja yang kuperbuat sejauh ini dan sejauh mana aku bisa menikmatinya. Dan sejauh mana aku tidak menikmatinya. Pertanyaan besar muncul di kepalaku. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepala ayahku dulu?

Bagaimana sebenarnya situasinya? Aku selama ini selalu sok tahu dan selalu menyalahkannya, tanpa pernah mengetahui apa yang dia alami. Aku hanya langsung membenci orangnya, tanpa pernah tahu apa-apa.

Yang aku tahu hanya hal-hal sederhana. Hal-hal sederhana semacam dia selalu suka marah-marah, setiap kesalahan ataupun kesalahan yang ibuku, Ai dan aku lakukan selalu saja menjadi penyebab kemarahannya. Lalu pulang mabuk. Lalu merokok tak henti-henti. Dan berita bahwa dia meninggal dalam sebuah kecelakaan, di dalam mobil bersama perempuan lain.

Aku selalu memusuhinya, sehingga terlalu malas untuk mencari penyebab atas semua hal yang ia lakukan dalam hidupnya. Aku tampaknya hanya cukup mendengar dari orang lain, tentang apapun yang berhubungan dengan ayahku. Aku bahkan tidak pernah bertanya dan tidak mau mendengar cerita dari ibuku sendiri soal Ariadi Gunawan.

Aku menghela nafas panjang, memandang ke jendela, dimana langit gelap di negara kecil tetangga Indonesia ini datang dan menyelimuti hari. Aku berdiri, mencoba melangkah ke tempat Arwen bersembunyi.

Kubuka pintu kamar mandi itu dan menemukan dia duduk di atas toilet, memeluk kakinya, menundukkan kepalanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Air mata hampir keluar dari matanya. Aku mencoba memegang pundaknya.

Dia menghindar, tampak masih takut akan kejadian tadi.

“Maaf...” bisikku, tanpa sadar. Dia masih tidak mau melihatku. Jelas. Siapa yang berani melihat orang yang menyerangnya secara seksual, berbuat kasar kepadanya. Aku menggigit bibirku sendiri, melihat perempuan yang baru saja kulukai ini.

Aku berjongkok di depannya, mencoba melihat mukanya. Dia masih belum berani menatap mataku.

“Maaf, tadi saya.... Kayaknya ngelakuin hal yang salah...”

Salah. Emosiku menyala saat dia tampak senang mendengarkan lagu tadi. Lagu yang kumainkan pada saat perkenalan pertama kami. “Saya tadi kasar.... harusnya gak gitu...” aku mencoba memeluk tubuhnya yang kaku dan defensif. Dia masih diam, tapi dia tidak menghindar pada saat tanganku merangkul bahunya. Aku menempelkan kepalaku di lehernya, dan mencoba membelai punggungnya.

Kami berdua diam beberapa saat. Aku tidak berminat mengatakan apapun selain kata-kata tadi. Aku tidak ingin memberinya ide bahwa semua hal tadi memancing amarahku. Dan tidak mungkin juga aku menceritakan tentang ayahku, semua yang dia alami dan pergulatan pikiranku dengan isu itu.

Dengan tolol aku mencoba mencium lehernya dengan lembut, lewat satu gerakan yang kaku. Dia melunak, membenamkan kepalanya di bahuku dan aku bisa merasakan matanya yang basah. Waktu serasa terhenti, dan rasanya ini sangat tidak nyaman. Mau apa sih lo Ya?

Yang pasti aku tidak ingin membuatnya terlihat seperti ini sekarang dan aku sedang berusaha untuk tidak menjadi orang yang jahat.

Tapi telat, aku sudah jadi orang yang jahat. Aku menjahati ibuku, Kyoko dan Ai, sekarang aku berbuat kasar kepada Arwen. Ini akan menambah panjang daftar orang yang kulukai. Dan yang sekarang tidak hanya kulukai mentalnya, tapi juga kulukai fisiknya. Aku dengan kasar tadi memegang tangannya erat, mencumbunya dengan paksa, walau dia sudah berkata tidak, dia sudah berusaha menolakku dan aku malah menyerangnya. Ini mengerikan. Apakah ini sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual?

Makin lama, untungnya makin kurasakan badannya yang tegang semakin rileks, terutama setelah aku memeluknya. Aku mencoba melakukan gerakan lain yang mungkin bisa membuatnya semakin santai. Aku mencium rambutnya dan menghirup bau tubuhnya.

Perlahan aku mengalihkan tempat tanganku memeluknya ke punggungnya dan pinggangnya. Dan dengan kekuatanku yang tersisa, aku mengangkat badan rampingnya, merengkuhnya dan mencoba menggendongnya. Dia pasrah.

Aku menggendongnya. Aku melihat bayanganku di kaca, sedang membopong dirinya, pemandangan yang benar-benar aneh. Dengan pelan aku berjalan, dia masih tetap berusaha menahan badannya agar tidak jatuh dari gendonganku.

Pelan, tapi pasti aku meletakkan tubuhnya di kasur. Mukanya masih datar, masih belum mau melihatku, pasti karena takut. Matanya masih berkaca-kaca dan aura suram masih keluar dari tatapannya. Ya. Itulah yang mungkin kita dapatkan kalau kita memaksakan ingin bersama dengan suami orang.

Mungkin. Semuanya masih serba mungkin. Serba kayaknya, serba sepertinya dan semuanya tidak ada yang pasti. Tapi aku tidak ingin memastikannya.

Aku menarik selimut, menutupi badannya. Dengan pelan aku berjalan ke arah saklar lampu, mengambil T-shirtnya yang tadi kulepas paksa, sebelum meredupkan lampu. Kulirik es krim yang tumpah tadi. Aku langsung membuang muka dan berjalan ke arah kasur. Kuserahkan pakaiannya, dan dia memakainya dengan gerakan yang canggung.

Kunaiki kasur itu, dan aku berbaring dengan canggung.

“Maaf... Sekali lagi Maaf.... Sekarang kita tidur aja ya…” bisikku sambil menggerakkan badanku untuk memunggunginya. Aku tak sempat melihat reaksi Arwen atas perkataanku tadi. Aku mencoba menutup mataku, melepaskan diriku ke alam mimpi dengan paksa. Pasti sulit. Tapi aku harus segera mengakhiri hari ini.

Mendadak, dia memelukku dari belakang. Tangannya mencoba melingkari perutku. Dia menempelkan badannya ke punggungku. Aku membiarkannya. Dadanya menempel, dan aku bisa merasakan jantungnya, berdetak dengan kencang.

Ah. Gila. Sejak Jogja, semua jadi gila. Aku jadi gila, Arwen jadi gila. Teman-temanku yang merestui hubungan ini juga gila.

Kututup mataku, sambil meyakini kalau kita semua sudah gila.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

amaris10.jpg

“Buka Fan, lama amat” aku mengetuk pintu kamar Stefan, sambil menenteng koper yang isinya pakaianku. Hari ini rasanya sangat lemas. Polo shirt hitamku dengan celana jeans dan sepatu boots ku rasanya berat semua.

Pintu terbuka dan kulihat seringai manusia itu pagi ini.

“Morning sunshine…” senyum Stefan dengan muka berseri-seri. “Gimana? Sukses ngewenya?”
“Gue butuh tidur” jawabku tak menjawab pertanyaannya. Aku langsung berjalan menuju kasur Stefan yang masih amburadul dan melempar diriku di atas sana.

“Gile, berapa ronde men?” tanya Stefan sambil menutup pintu.
“Banyak” jawabku asal.
“Sukses nih, musti dirayain di Jakarta hahahahahaha” tawanya terdengar sangat lepas. Sangat puas dan sangat bangga atas kenakalan temannya.

“Serah” jawabku dengan malas, menutup mataku sebisaku.

“Terus anaknya mana sekarang? Masih di hotel?”
“Gue udah check out tadi abis sarapan, dia udah jalan ke bandara, tau udah terbang kali sekarang…”
“Wih ekspres, beres ngewe abis abisan langsung pulang doi, niat amat…. Modal berapa tuh tiket” komentar Stefan sambil dia duduk di atas kursi, mengeluarkan rokok dan memutar-mutarnya. Dia tampaknya gatal ingin merokok. Tapi tidak bisa. Sudah beberapa lama ini di Singapura tidak ada lagi kamar hotel yang boleh merokok.

“Ga tau…”
“Lo apain aja tu anak?” tanya Stefan, penasaran.
“Sebutin apa yang lo bisa bayangin, ntar gue jawab…….” jawabku, meminimalisir apapun yang ingin kukatakan, karena kepalaku sudah ingin cepat-cepat bertemu dengan Kyoko.

“CIM?”
“Cim itu apaan sayang?” tanyaku malas.
“Duh ga gaul ni anak, CIM, Cum in mouth… keluarin di mulut…” jelas Stefan.

“He eh”

“CIF? Muka?”
“He eh”

“Anal?”
“Gak”

“Handjob?”
“Gak tau, lupa”

“Boob job?”
“Gak”

“Sambil di shower?”
“Gak”

“Di bathtub?”
“Enggak?”
“Kok pake nada kayak orang nanya sih Ya?”
“Gapapa”

“Oh berarti lo mandi berendem bareng tapi gak ngewe ya?” tanyanya lagi.
“Yap” jawabku malas, sambil membenamkan mukaku di bantal.

“Lo iket-iket ala BDSM Jepang?”
“Mana kepikiran kayak gitu?”

“Lo pecut? Lo gamparin?”
“Emang lo pikir dia sadomasokis?”

“Tembak di dalem?”
“Lu kira gue gila?”

“Lo ciuman mesra dan berjanji buat ngawinin dia?”
“Monyet” aku melempar bantal ke arah Stefan dan dia menepisnya sambil tertawa.

“Kebawah yuk, temenin gue ngerokok di tempat ngerokok, please” mohon Stefan.
“Ga mau, gue mau tidur…. Lagian ntar siang Anin sama Zee mau ngajak makan siang bareng kan?” jawabku.

“Gak nyambung, gue jawab apa, lo jawabnya kok malah Anin sama Zee”
“Soalnya ntar siang mereka ngajakin ketemuan, dan gue pengen tidur pagi ini….” aku menekankan kalimatku, dan mengambil nafas panjang. “Lo kalo mau ngerokok silakan aja ke bawah Fan, gue mau tidur”

“Gue mau tidur~” ledek Stefan sambil melempar balik bantal itu ke arahku. Aku tidak menghindar. Biar saja kena, toh tidak sakit. Tuh. Gak sakit kan, cuma bantal. Aku masih diam tak bergerak, tiduran tengkurap, mencoba menutup mataku.

“Yaudah, tidur sono dah, gue mau ngajak Kang Wira aja…. Beberapa batang sebelom mandi sabi nih…” tak berapa lama kemudian dia menghilang, dan tinggal aku sendirian di kamar hotel-nya Stefan. Aku diam.

Ada satu hal yang benar-benar kupikirkan sekarang. Bukan soal semua adeganku dengan Arwen di negara-kota ini. Dan ya, aku memang kangen kepada Kyoko dan ingin segera ada di dalam pelukannya, tapi bukan itu yang benar-benar menyita isi kepalaku sekarang. Tapi tadi pagi, proses bagaimana aku bangun, mandi, sarapan, dan melepas Arwen pergi ke bandara seorang diri.

Aku terbangun karena ciuman di pipiku. Aku terbangun secara otomatis karena merasakan kecupan pelan di pipiku. Kaget? Tentu saja. Karena kebiasaan di rumahku begitu. Kalau Kyoko mau pergi dan aku belum bangun, biasanya dia mencium pipiku. Tapi bukan Kyoko yang membangunkanku. Arwen. Dan dia kaget ketika aku bangun, karena dia tampaknya mencium pipiku bukan karena dia ingin aku bangun.

Kepalang bangun, aku pun segera mandi.

Mandi sama siapa? Arwen? Tepat. Kami mandi berdua lagi, lalu sehabis mandi kami membereskan semua kekacauan kami di kamar hotel. Setelah koper kami berdua rapih, dan kami sudah berpakaian sebagaimana mestinya orang pada umumnya berpakaian, kami lantas turun ke bawah, untuk sarapan di All Day Dining.

Di lift, mumpung tidak ada yang kenal kami, dia dengan bebasnya menyandarkan kepalanya di bahu, atau menggandengku dengan perasaan yang tampak ringan.

Lalu kami sarapan berdua, memilih tempat yang agak tersembunyi. Walaupun obrolan ketika sarapan hanya seputar jam berapa dia akan terbang ke Indonesia dan jam berapa aku akan terbang ke Indonesia juga, tetapi mukanya lebih cerah dari hari kemarin. Entahlah.

Walau gerakannya masih kaku di depanku, rasanya aneh. Kalau aku jadi dia, diserang seperti kemarin malam itu, aku akan takut. Tapi masa bisa dia lantas luluh karena dipeluk dan dicium?

Dan sehabis makan, sebelum check out, dia mendadak memelukku dari belakang ketika aku akan mengangkat koperku. Aku secara otomatis membalikkan badanku dan mencium bibirnya pelan. Dia menyambutku dan kami lantas berciuman. Lagi-lagi memakai nafsu di kepalaku. Karena aku tidak bisa menyangkal, mencium perempuan itu enak. Cobalah, mungkin kita semua akan ketagihan.

Setelah berciuman, dia pun lantas pergi, keluar dari kamar hotelku setelah mengatakan kalimat-kalimat berpisah sejenak, memelukku erat dan mencium tubuhku dengan perasaan yang agak aneh, menurutku. Karena rasanya seperti orang yang akan berpisah dengan kekasihnya. Entahlah. Dia bukan siapa-siapaku, cuma tempatku untuk melampiaskan nafsuku mungkin.

“Sampai ketemu di Jakarta” bisiknya sebelum dia benar-benar pergi. Jakarta. Rumahku. Rumah istriku. Rumahnya juga. Rumah Stefan. Rumah Anin. Rumah Bagas.

Persetan lah. Toh kalau ketemu juga, aku tahu kami berdua bakal ngapain. Pasti having sex lagi. Taruhan. Cuma itu saja hal yang merekatkanku pada dia. Bukan yang lain.

--------------------------------------------

bugis-10.jpg

Kami duduk melingkar di dalam restoran itu. Anin dan Zee ada di ujung meja. Muka perempuan melayu arab itu tetap cuek. Gaya dan gesturenya tidak berubah. Kami mengerubungi meja itu seperti semut. Makanan tersedia di hadapan kami dan kami makan dengan lahapnya. Kecuali aku mungkin. Rasanya tidak nafsu makan, karena kecapaian.

“Lo kemaren kemana Ya? Bukannya katanya ke tempat sodara elo?” tanya Ilham.
“Gue kemaren gak enak badan, jadi seharian tidur di kamar” jawabku dengan tersenyum kecut.
“Gak jadi ke kakaknya Dian?” tanya Stefan, pura-pura ikut berbohong. Aku cuma mengangguk. “Padahal adek lo nanyain sih, gue bilang lo ke sodara, soalnya lo susah dihubungin kemaren” lanjut Stefan sambil tersenyum. Tersenyum bohong. Apa-apaan sih. Garing juga kalau dipikir-pikir.

Ai memang bertanya apa yang kulakukan disini dari kemarin. Aku bilang saja kalau aku tidak enak badan dan hanya tiduran di kamar, supaya fit kalau sudah pulang.

“Oh, tiduran yah, kirain ke sodara” sahut Kang Bimo di sebelahku. Aku cuma senyum karena tahu dia juga berbohong. Berbohong entah pada siapa. Yang pasti bukan kepada temannya, Kang Wira yang dari tadi juga senyum-senyum melihatku, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Pasti tak jauh beda dari Stefan dan Kang Bimo. Pasti ingin tahu detail tingkahku dan Arwen disini.

“Guys” mendadak Anin bersuara. Kami semua menatap ke ujung meja, melihat Anin yang senyumnya lebar sekali, seperti gedung MPR DPR. Sedangkan istrinya menatap ke kami dengan gaya yang cuek, resting bitch face. Dia memakai t-shirt lengan panjang, boyfriend jeans dan sneakers. Juga dengan snapback yang dipasang terbalik ke kepalanya. Rambutnya sudah agak lebih panjang dari terakhir kali aku melihatnya.

“Mo ngomong apa, cepetan!” teriak Stefan dari ujung meja yang lain. Bagas cuma diam.

“Mau ngucapin makasih, udah date…” dia lantas berdiri dari kursinya.
“Duduk aja nyet!” teriak Stefan dari ujung meja yang lain.
“Biar keliatan semua orang bego”

“Lo segede dosa gitu kita semua bisa liat kalee” balas Stefan.

“Just sit. Everybody can see you” bisik Zee cuek tanpa melihat suaminya. Anin menurut. Dia duduk lagi.

“Jadi, gue sama Zee mau bilang makasih, makasih banget udah datang ke kawinan kita, makasih banyak…..” senyum Anin lebar sekali. “Makasih buat temen-temen Hantaman ya, gara-gara kalian semua, gue bisa ke Jepang dan ketemu istri” senyumnya sangat cerah. Istrinya cuma memutar matanya ke atas, tanda kalau apa yang suaminya ucapkan itu lebay.

“Sama-sama” Kang Bimo menjawabkan untuk kami. Mukanya tampak sok cool. Aku menduga pasti ada banyolan aneh yang keluar dari mulutnya. “Jadi Anin mau tinggal dimana abis ini, di Jakarta apa Singapur, apa di Pekanbaru?” tanyanya dengan muka yang sok serius.

“Jakarta Kang, tapi istri ga akan ikut dulu, dia bentar lagi kan harus balik ke Jepang, beresin kuliah S2 nya sampe Maret besok” jawab Anin.
“Kamu ikut aja atuh ke Jepang” sahut Kang Wira.
“Ntar Hantaman yang main bass nya siapa?” tanya Anin sambil tertawa.

“Gak usah ada yang main bass, kita aja survive ditinggal pemain Bass kita, tinggal berdua, tapi tetep we terkenal… Bener teu?” jawab Kang Wira.
“Betul, gak penting lah kamu, udah ikut ajah ke Jepang, mumpung, tar saya menta kirimin dvd JAV nya, tapi saya ga mau bayar” tawa Kang Bimo.

“Ah hahaha.. Gak lah, Hantaman kan penting banget, buat saya” senyum Anin.
“Merekanya nganggap kamu penting gak? Jangan-jangan kamu cuma dijadiin pajangan doang di panggung” balas Kang Bimo.

“PENTING….” jawabku dan Stefan bersamaan, dengan nada malas sambil makan tanpa melihat ke Anin. Bagas hanya diam.
“Tuh kan penting” sambung Anin.

“Pentil melenting” celetuk Kang Wira asal. Zee tampak tersenyum kilat. Tampaknya memang benar lucu selentingannya itu.

“Jadi, abis dia beres kuliah S2, dia bakal ikut ke Indonesia, mudah-mudahan ikut jadi WNI ya kayak Kyoko” senyum Anin.
“Nope. Don’t want to” balas Zee pelan.
“Ayolah…” bisik Anin.

Zee menggeleng sambil makan. Muka Anin terlihat hopeless.

“Jadi ini lo mau speech terimakasih dan ngasih pengumuman soal rencana kedepan elo habis kawin apa cuma mau ngeliatin lo ditindas bini di depan kita?” tawa Stefan panjang.
“Monyet”

“Monyet teriak monyet”
“Setan teriak monyet”

“Bangkong teriak bangkong” celetuk Kang Giting asal, padahal dari tadi dia diam.
“Mikir bangkong jadi lapar urang” lanjut Kang Bimo.
“Pan maneh teh keur dahar, gelo” sambung Kang Wira.

“Ujug-ujug kabayang soto bangkong”
“Ngeunah kitu?”
“Ngeunah”
“Biasa wae ah ceuk urang” Kang Wira tampak bingung. Aku juga bingung karena meraba-raba bahasa mereka. Bahasa sunda.

“Ceuk urang mah dahar nu penting seubeuh, teu kudu ngeunah” lanjut Kang Wira.
“Nya mun kitu mah dahar tai we” balas temannya.
“Sia we dahar tai”

“Kumaha mun jelema eta nu dahar tai…. Bari pogo di sawah…” sambung Kang Bimo.
“Oh enya… Naha nya si eta kitu”
“Teuing”

“Ngomongkeun saha?” tanya Kang Giting.
“Eta, nu ti Pontianak tea, nu ceunah rek ngasaan jadi promotor musik”

“Guuuuyssss……… Gue belom selesai ngomongggggg” muka Anin tampak memelas.

“Intinya udah kan Bang Anin? Abis kawin Zee ke Jepang, terus abis beres kuliah ke Indonesia, Bang Anin nungguin di Jakarta?” Sena akhirnya bersuara.

“Hhh…..” Anin tampak lemas. Zee menatap suaminya dengan pandangan prihatin sambil menggelengkan kepalanya.
“Hahaha payah… Udah pasti kalo di kasur dijajah bini nih” celetuk Stefan tak sopan.

“Kontol” komentar Anin dan kotak rokok melayang, jatuh di piring Stefan.
“Monyet!” teriaknya kaget dan semua orang di restoran mendadak melirik ke arah kami. Aku cuma bisa menggelengkan kepala sambil senyum melihat tingkah mereka, terlebih seisi meja menertawakan Stefan. Yang ditertawakan cuma memicingkan matanya ke arah Anin sambil memungut kotak rokok dari piringnya. Sepertinya dia merencanakan pembalasan yang lebih gawat lagi.

Hantaman dan Frank’s Chamber, memang keluarga yang lucu untukku. Dan aku jadi menyesal menghabiskan waktuku di Singapura dengan Arwen. Coba kalau aku jalan-jalan bersama mereka. Mungkin aku akan pulang ke Indonesia dengan senyum yang lebar dan hati yang tenang.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Arya makin geje. Itulah klo nakalnya telat. Dikira Arwen gak pake hati, cuma pengen bikin status Temen Tapi Entotan gitu? Ah... Arya...

:adek:;):mami:
 
Menghitung episod menjelang konflik ai chan & aya
Always waiting that
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd