Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 43

--------------------------------------------

guitar10.jpg

"Pagi sayang" panggil Arwen membangunkanku.
"Pagi..." jawabku sambil tersenyum, mencoba membuka mataku. "Ah curang, kok aku dibangunin jam segini?" aku melihat ke arah handphoneku. Jam lima pagi.

"Katanya mau nganterin aku ngantor?" tawanya. Dia memakai t-shirt polos dan celana jeans.

"Oh iya lupa... Aku gak pake mandi ya?" tanyaku dengan retoris. Aku bangkit dari tempat tidurku, sambil dengan asal melucuti baju tidurku, memakai pakaian yang pantas untuk naik motor, mengantarkan istriku ke tempat kerjanya.

"Kamu tidur jam berapa semalem?" tanya Arwen.
"Lupa, pokoknya lewat jam dua belas"
"Kuat gak nganterin aku? Kalo ga kuat aku tinggal nge gojek..."
"Masa nganterin kamu gak kuat sih, lagian jam segini mana macet" aku menghampirinya dan memeluk bahunya, mencium keningnya sekenanya.

Kami berdua turun dari kamar, dan mendapati ibuku dan Ai sedang ada di dapur. Mereka biasa bangun pagi, menyiapkan sarapan dan langsung makan pagi.

"Mau jalan?" tanya ibuku.
"Iya ma"
"Sarapan dulu mbak" senyum Ai ke Arwen.
"Aku masih geli dipanggil mbak... umur kita kan sama..." senyum Arwen geli.

"Tapi kan Mbak Arwen istrinya Mas Arya?"
"Iya sih..."
"Jadi Mbak dong panggilannya ahahaha" tawa Ai lepas melihat ekspresi aneh Arwen.

"Mending sarapan daripada ngebahas gituan....." aku langsung duduk di meja makan dengan asal, sambil memperhatikan senyum istriku.
"Jangan lama-lama tapi"
"Lama-lamain biar kamu telat" candaku. Dia cuma menggelengkan kepala sambil ikut duduk di sebelahku.

Tak lama kemudian kami segera sarapan pagi, sambil bercengkrama dan mengobrol akrab berempat. Tak butuh waktu lama memang, tapi ritual tiap pagi ini merekatkan kami, terutama juga merekatkan Arwen sebagai anggota keluarga baru di rumah kami dengan Ai dan Ibuku.

Setelah sarapan, maka kami berangkat. Setelah berpamitan dan menggunakan jaket agar terlindungi dari angin pagi buta ini, kami meluncur di atas motorku. Motor bermerk italia yang setia padaku ini. Arwen duduk dengan nyamannya di belakangku. Dia memeluk perutku dan menyandarkan kepalanya di punggungku, yang sering menemaninya jalan ke kantor pagi-pagi, jika dia ada jadwal siaran radio di pagi hari.

Jalanan masih sepi, dan tak butuh waktu begitu lama untuk mengantarkannya.

"Dah sayang" dia memberikan helm kepadaku, ketika sudah sampai di gerbang depan kantornya dan dia mencium tanganku.
"Bentar" aku menarik tangannya sebelum dia pergi dan aku mencoba mencium bibirnya dengan kilat. Dia menghindar.

"Apa-apaan malu begoo...." tawanya.
"Kan masih sepi"
"Jangan... Tar malem aja" dia melotot dengan bercanda. "Dah sayang.... Hati-hati pulangnya" dia tersenyum lantas dia berlari-lari kecil ke dalam gerbang, untuk memulai harinya.

--

"LO GILA YA FAN?"
"Ya kira-kira seperti itu gambaran kalo elo kawinnya sama Arwen wakakakakakaka" tawanya puas setelah dia bercerita panjang lebar seperti itu kepadaku.

"Kontol" kesalku sambil mencoba menendang pantatnya dengan sepatuku. Aku sedang pakai sepatu boot sekarang. Cocok untuk menendang anak setan. Yang ditendang menghindar dengan gerakan seperti ahli bela diri.

Tapi Stefan memang ahli bela diri. Terutama Silat. Alirannya adalah Silat Lidah.

Matahari mulai gelap di Jakarta. Aku dan dia ada di gedung Music Hall, sedang bersiap-siap untuk live nanti malam. Kami berempat plus Sena sudah ada disini. Walaupun tugas yang biasanya dikerjakan oleh Sena sudah di handle oleh pihak in house, tapi aku tetap menyuruhnya untuk datang. Dia juga harus belajar, memperhatikan sound man yang biasa menghandle musik orkestra, lalu mencuri ilmu darinya.

Check sound sudah dilakukan sore ini, dan kami tinggal menunggu waktu berganti kostum untuk manggung, dan menunggu para penonton datang.

Diantara para penonton itu, tentu ada rekan-rekan dan keluarga kami. Katakanlah Kyoko dan adikku yang akan menyusul. Dian dan suaminya juga akan datang. Rendy, Anggia, Zul, Ilham, Kang Bimo dan Kang Wira, tentu akan berada di tengah-tengah penonton.

Kecuali Arwen. Dia yang punya ide, dia juga yang tidak datang. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ada kesibukan, atau mungkin hanya sekedar menghindar dari kemungkinan bertemu dengan Kyoko.

“TTM lo datang?” tanya Stefan sambil membakar rokoknya.
“Gak”
“Takut ama bini lo berarti ya? Atau takut dia malah kelepasan gelayutan di tangan elo di depan bini lo” tawa si setan, menyeringai.
“Entah” jawabku sambil bersandar di tiang.

Kami berdua sedang di luar, istirahat sejenak setelah soundcheck. Sekarang aku sudah tidak terlalu pusing lagi melihat Karina. Karena masa-masa tidak menyenangkannya sudah lewat. Kini dia hanya akan menyaksikan hasil karyanya tampil di panggung. Hasil karya yang dihasilkan dengan energi negatif most of the time, tapi overall, hasilnya memang bagus. Jadi yasudahlah, kita tepuk tangan saja, kita mainkan di panggung, dan bisa pulang ke rumah masing-masing dengan tenang.

“Mereka nanti pada dateng jam berapa?”
“Katanya sih sejam sebelom kita mulai. Mungkin mereka lagi siap-siap mau berangkat sekarang, nunggu adek gue balik dari ke rumah dulu kan lalu mereka berdua kesini, macet-macetan...”
“Emang si Ai abis dari mana?” tanya Stefan lagi, seperti wartawan.

“Ga tau, lo tanya aja langsung, deket kan kalian berdua...” kesalku sambil menatap ke langit, menunggu dia makin gelap.

“Dipikir pikir, lo sama Kyoko, belom setaun kawin lho...”
“Udah setengah taun kurang lebih lah” balasku.
“Tapi lo udah punya dua gandengan, hebat anda” tawa Stefan geli,

“Kampret” kesalku sambil menatap Stefan yang tampaknya bangga, temannya terjerumus seperti ini. “Kalo waktu itu lo gak nyuruh gue kenalan sama dia di tempatnya Zul, mungkin aja gak jadi kayak gini” lanjutku.

“Kok nyalahin gue sih, itu ga ada hubungannya kali...” Stefan menghindari pernyataanku.
“Tapi kan..”
“Ye, yang curhat bedua terus bobo bareng di jogja siapa yang nyuruh? Bukan gue kan hahaha”

Aku lantas menghela nafas panjang, sambil menggaruk kepala.

“Udah, ntar abis gue beres sebatang lagi, kita masuk ke dalem, ganti baju manggung, biar ganteng terus makin banyak cewek yang nempel sama Mas Arya, ya nggak?” seringai Stefan lebar, sambil membakar rokok lagi. Aku mengangguk dan menggeleng, seperti orang india. Mengangguk untuk ganti baju, dan menggeleng untuk harapannya agar lebih banyak cewek lagi yang nempel padaku. Jangan sampai.

--------------------------------------------

Aku menatap diriku di cermin, di backstage. Aku memakai jeans berwarna hitam, sepatu boots, dan kemeja lengan panjang berwarna hitam. Semua anggota Hantaman tone nya sama. Hitam. Bagas memakai t-shirt lengan panjang berwarna hitam dan celana hitam, Anin memakai polo shirt hitam, celana hitam. Stefan memakai v neck berwarna hitam yang dipadukan dengan blazer ringan berwarna hitam.

Kami semua hitam-hitam.

Kontras dengan warna baju yang dipakai oleh para pemain string orchestra, putih-putih. Aku melihat Valentine ada di kerumunan para musisi lainnya, sedang merias diri. Mereka sedang mengantri dirias oleh mara make-up artist. Ada juga yang rajin, sibuk mempercantik dirinya sendiri. Tapi dari tadi, Valentine tampaknya menghindari Stefan. Mungkin karena malu, dia mabuk dan muntah pada waktu Stefan mengajaknya minum setelah latihan.

Di pojok ruangan, Karina dan Mas Awan sedang mengobrol. Entah mengobrol apa, aku tidak bisa mendengarnya dan tidak ingin sedikitpun mendengarnya. Aku hanya fokus ke panggung. Aku ingin menyelesaikan ini agar aku bisa benar-benar terbebas dari Karina. Dan aku harus benar-benar bersyukur pada Tuhan karena dia tidak ikut naik ke atas panggung. Mas Awan lah yang nanti akan memperkenalkan kami dan membuka konser ini.

Seorang pemain string orchestra tampak berpapasan dengan seseorang di pintu masuk backstage dan dia kemudian melihat ke arahku dan menunjukku dengan senyum. Dan muncullah dua orang terdekatku di pintu backstage, melambai ke arahku. Aku tersenyum kepada Ai dan Kyoko, lalu berjalan keluar untuk menemui mereka.

“Baru sampe?” tanyaku ke mereka berdua.
“Baru saja Aya, tak sabar ingin menonton” senyum Kyoko dengan sumringah. Dia memakai cardigan abu-abu dan rok berlipit yang manis, dengan mengikatkan bandana berwarna senada di kepalanya. Adikku sendiri memakai jaket kulit berwarna terang dan high heels yang lumayan tajam.

“Arwen mana Mas? Kok belom keliatan?” tanya Ai dengan bingung. Karena memang dia juga tahu, yang menginisiasi proyek ini adalah anak itu. Aku tapi menelan ludah dan menahan kagetku saat nama itu disebut.

“Dia ga bisa dateng, katanya ada urusan” jawabku ringan sambil menggandeng Kyoko.
“Sayang sekali dia tidak bisa menonton ya Aya” sambung Kyoko. Aku hanya mengangguk.

“Kalian udah dari auditorium?” tanyaku ke adikku.
“Engga, masih ditutup, jadi kita iseng main kesini, pengen liat Mas Arya. Gak boleh masuk sih tadi katanya kita ke dalem, tapi pas pintu kebuka, ada orang mau keluar, kita langsung cegat aja, tanyain apa kakakku ada di dalem apa engga” jawabnya panjang sambil celingukan.

“Kyoko tak sabar Aya, harusnya bagus penampilan nanti”
“Iya dong” senyumku kaku sambil mengacak rambut istriku.

Mendadak.

Sesosok yang tak kuharapkan keluar dari ruangan backstage. Sendirian. Karina. Untuk beberapa detik dia tampak lihat-lihatan dengan Ai. Pada saat itu waktu berhenti sebentar, dan Karina melengos pergi, menjauh dari kami. Suasana hening sejenak dan perasaan tak nyaman tiba-tiba muncul di udara. Kyoko dan Ai menatap punggung Karina yang menjauh, sampai dia benar-benar pergi dari pandangan kami.

“Najong” bisik Ai.
“Itu Karina ya Aya?” tanya Kyoko penasaran dengan muka clueless. Aku mengangguk sambil memutarkan bola mataku tanda aku tidak peduli kepada Karina.
“Kalo gak ada siapa-siapa aku banting kayak gulat WWF tu orang” Ai menggelengkan kepalanya sambil bergidik.

“Kayak yang kuat aja” bisikku, tapi aku setuju dengan pemikiran Ai.
“Gak kuat, jadi paling aku banting dalam kepalaku aja, jijay.... Mbak Dian bilang apa ya kalo liat dia nanti di dalem pas lagi kalian manggung....”
“Dian mah... Kalo sama Karina kesel banget dia, ya... Aku juga sih, tapi kalo Dian kayak pengen mites” aku paham kondisinya dulu, karena Dian dan Ai yang dulu jadi teman curhatku soal Karina dan ulah-ulahnya yang memusingkan.

“Ntar kalo sama-sama pengen ngebanting tu cewe setan, aku joinan deh sama Mbak Dian” senyum Ai meledek. Meledek Karina.

“Hahaha, Jangan Ai Chan.... Kasihan menyakiti orang..” canda Kyoko. “Dan Konser akan mulai, nanti setelah selesai, Aya bebas”
“Amin” senyumku ke Istriku. “Sekarang doain deh supaya aku lancar ntar, dan nanti kalo si Karina ngomongin aku dan kalian ada yang denger, jangan ragu-ragu, tampol aja” candaku yang disambut oleh tawa kecil Ai dan Kyoko.

Tapi walaupun tidak begitu, aku siap untuk menampol semua orang yang duduk menonton kami dengan sajian musik yang gila. Megah, anggun, keras, dan walau idealisme musik Karina disuntikkan ke dalam aransemennya, aku tidak masalah. Ambil yang baik-baik saja dari orangnya. Yang jelek-jeleknya tinggalkan.

--------------------------------------------

5a8e7910.png

Panggung gelap.

Semua pemain string orchestra sudah duduk di panggung, membawa alat musik mereka masing-masing, dan partitur yang wajib mereka ikuti terpampang dengan anggunnya di depan mereka. Muka mereka semua serius, menantikan penampilan kami dimulai.

Mas Awan naik ke panggung, untuk bicara sepatah dua patah kata.

“Selamat malam semuanya” ucapnya pelan di depan microphone yang disambut oleh salam balik dari para penonton.

“Malam ini, untuk kedua kalinya, di Music Hall ini, kita adakan kolaborasi antara String Orchestra dengan grup musik yang sudah mewarnai dunia musik Indonesia lewat jalur independen..... Malam ini sudah pasti ditunggu-tunggu oleh semua. Terimakasih untuk semua pihak atas kesempatan ini, dan tentunya, untuk music director kita, Karina Adisti yang sudah dengan bersusah payah mempersiapkan penampilan untuk malam ini...”

Karina berdiri, tersenyum kepada seluruh penonton. Mereka bertepuk tangan. Tapi pasti orang-orang yang mengenalku dan mengetahui hubunganku dengannya tidak ikut bertepuk tangan.

“Hantaman, sebuah unit rock yang garang, saya mengenal mereka sejak mereka mengeluarkan album debut mereka. Digawangi oleh empat orang pria yang menyimpan energi besar kemarahan mereka terhadap kondisi sosial, politik dan kondisi masyarakat kita. Sekarang mereka akan membalut musik mereka dengan keindahan dari String Orchestra, untuk menusuk kita pelan-pelan, dalam kehangatan musik malam ini” lanjut Mas Awan.

“Malam ini, Music Hall, mempersembahkan, Hantaman!”

Semua lampu meredup. Di panggung, drumset minimalis, tiga buah gitar akustik, dua buah bass akustik dan microphone-microphone yang dibutuhkan siap menyambut kami semua.

Mendadak panggung tampak menyala. Suasana masih hening. Tidak ada yang berani bersuara. Suara String Orchestra mulai terdengar pelan, perlahan sampai kemudian suaranya membahana di seluruh ruangan.

Intro dari lagu Tanah Memerah. Intronya berbau etnis kedaerahan. Bagas mendadak keluar ke panggung dengan muka datarnya. Suara tepuk tangan mulai terdengar. Bagas langsung duduk di drumsetnya, membuka partitur dan mulai memainkan intro-intro ringan yang senada dengan suara dari string orchestra. Aku dan Anin saling menatap dan tersenyum. Inilah saat kami masuk dan mulai membunyikan alat musik kami.

Suasana panggung semakin terang saat kami naik dan mulai menenteng alat musik kami masing-masing. Ada dua kursi tinggi yang disediakan untuk aku dan Anin. Kami duduk dan mulai membunyikan intro.

Aku dan Anin membuat suara dengan mulut kami di microphone. Suara-suara sayup-sayup. Mempersiapkan landasan untuk Stefan. Stefan yang akan muncul terakhir, meneriakkan lirik-lirik lagu Tanah Memerah. Lirik yang bercerita tentang orang-orang yang dipindahkan paksa dari rumah mereka oleh pemerintah. Siapapun yang duduk di kursi pemerintahan, dari kubu manapun, akan selalu membuat konsekuensi mengerikan demi kemajuan bangsa. Tak sedikit orang-orang yang digusur, dipindahkan dari rumah mereka, dan mereka akan melawan balik, hingga memerahkan tanah mereka, dengan warna darah mereka.

Suara musik terus bergema, menaikkan adrenalinku dan para penonton. Sejenak aku terbius, melupakan semua masalah yang ada di dalam kepalaku. Aku hanya fokus kepada enam senar yang ada di tanganku sekarang.

Stefan.

Akhirnya dia keluar, dan tepuk tangan penonton membahana. Senyum sombongnya tersungging dan dia langsung duduk di kursi tinggi yang disediakan, di depan kami semua. Dan tanpa banyak bicara lagi, dia langsung memuntahkan amarah tanpa distorsi. Berteriak tanpa harus berteriak.

Jujur, berapa harga kepalaku.
Hingga kau rela mencabut akarku
Dan memperlakukanku seolah aku tidak abadi.


Dia melengking tanpa harus bersuara garang. Suaranya lebih lembut daripada biasanya, dibalut oleh hentakan musik rock akustik dan suara string orchestra yang indah. Sejenak bisa kulihat bayang-bayang almarhum Chris Cornell di punggungnya.

Hingga saat ini kau bertahan
Bertahan di depan rumahku
Seakan-akan kau akan meninggali tanahku sampai hari akhir tiba


Musik makin menggila, sebagai lagu pertama yang benar-benar menghunjam jantung penonton sebagai pembuka. Karina memang jenius. Untung aransemennya gila dan benar-benar megah, kalau tidak, aku tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi.

Tanah ini akan kutinggali, sampai memerah dengan darahku.
Kau bisa saja tak paham, tapi cobalah untuk pecahkan kepalaku.
Agar tanah itu semakin merah, dan aku hidup abadi disana..


Stefan terus menyanyi, tak peduli dengan suasana di sekelilingnya. Matanya terpejam, tak sudi melihat manusia-manusia yang menontonnya. Suaranya terus menyayat, bersahutan dengan suara gitar dan bass, dan drum, dan string orchestra, dan kesunyian penonton yang menikmati penampilan ini.

Aku berdiri, memulai solo gitar di tengah suara merdu orkestra yang lembut. Solo gitarku ini sebagai penutup lirik-lirik menyayat nurani yang Stefan baru saja muntahkan tadi. Aku melayang sejenak, pindah dunia ke dunia musik, dan melagukan beberapa bait not-not miring dan menyayat di gitar akustik. Aku membiarkan mataku tertutup, dan membiarkan tanganku menari, melahap fret-fret yang butuh dibunyikan.

Dan musik pun mencapai klimaksnya saat aku selesai melafalkan kalimat-kalimat yang tak kalah mengerikannya dengan isi lirik Stefan. Aku menyelesaikan soloku dengan sempurna, ditutup oleh musik yang megah dan terus bergema di dalam telinga para penonton yang mulai memuji kami dengan tepuk tangan dan kegembiraan mereka.

Malam ini masih panjang, dan pesta malam ini masih akan terus berlangsung.

--------------------------------------------

xplayi10.jpg

“Gak ada yang lebih menggembirakan dibandingkan dengan eksplorasi bunyi” bisik Stefan di panggung, puitis, jauh dari kata-kata kasar dan sumpah serapah yang biasanya dia lontarkan dengan cueknya di atas panggung.

“Itu juga yang jadi alasan kenapa kita ada disini malam ini bukan?” tanyanya ke penonton yang tampak lebih suka diam daripada berteriak-teriak seperti di konser kami di situasi yang biasa.

“Dan apa yang bisa kita simpulkan dari sebuah eksplorasi? Pencapaian kesempurnaan. Walaupun dalam pencapaian kesempurnaan itu kita harus melawan monster yang sebenarnya sulit untuk dikalahkan, kita harus bisa dan minimal kita harus berusaha melawan monster itu” lanjutnya, sambil melirik nakal ke arah diriku.

Aku menekuk jidatku, kemana arah bicara Stefan di tengah-tengah konser seperti ini?

“Kadang, halangan harus kita kalahkan sebelum bisa berhasil. Kadang, dalam hidup kamu ada beberapa manusia yang tak wajar. Manusia yang sukanya menindas atas nama kepuasan. Dia ada disini malam ini, dan walaupun bantuannya sangatlah berarti, tapi kita harus melawan api yang keluar dari mulutnya dengan api...”

Karina maksudnya? Stefan kembali melirik ke arah diriku.

“Jadi ini jawaban kami, kami akan melawan api dengan api. We will fight fire with fire!” Stefan langsung memberi aba-aba agar musik mulai dan kami semua kembali larut didalam musik keras yang lembut ini. Sialan. Walaupun dia tidak bisa berkata kasar di panggung ini, dia masih sempat mengata-ngatai Karina. Aku paham ekspresi wajah penuh kemenangannya, mewakili kebencian dan kekesalanku kepada Karina.

Haha, dasar. Walaupun dia setan alas dan pendeta dewa kontol, dia tetap teman yang baik dan akan membelamu. Dan sekarang dia membelaku dari Karina. Bisa kulihat dari sisi mataku, Karina yang duduk di barisan paling depan tampak bermuka asam. Dia tahu itu pasti menyindir dirinya. Tapi dia mau bilang apa? Stefan menyampaikannya dengan baik.

Dan mari kita hancurkan lagi malam ini!

--------------------------------------------

Aku membunyikan gitarku dengan pelan, untuk menutup malam ini. Aku menunggu Stefan menyelesaikan bicaranya di tengah-tengah lagu terakhir kami.

Lagu Malaikat Kematian. Single pertama dari album pertama kami. Lagu yang membuat kami terkenal, literally. Lagu yang bercerita tentang orang yang main hakim sendiri. Stefan tersenyum di tengah mukanya yang santai. Dia ingin menutup ini dengan manis rupanya. Aku baru saja melahap banyak part untuk solo gitarku, sebagai pelengkap di lagu terakhir kami.

“Malam ini bakal berakhir. Dan mudah-mudahan kita semua pulang dengan mimpi indah malam ini” bisik Stefan di panggung. “Malam ini bakal berakhir dan gak ada apapun yang abadi disini. Semuanya. Umur, waktu, semuanya. Dan kita tinggal pilih, ingin mengakhiri hidup ini dengan cara apa, dan lagu ini, bukan tentang pilihan, tapi tentang kepasrahan... Karena kita berbeda, hidup kita bisa saja berakhir di tangan mereka yang merasa menjadi malaikat kematian, perpanjangan tangan Tuhan dan mereka sangat suci, bagaikan malaikat dan para utusan Tuhan” senyumnya ke dalam kegelapan.

“Tapi kita semua lupa, kalau Lucifer itu dulunya malaikat”

“Kita lupa, kalau malaikat yang terang itu, sekarang menjadi iblis”

“Dan tidak ada yang abadi di tangan manusia dan nafsunya yang mendekati iblis”

Musik mulai membahana lagi, karena Stefan sudah selesai dengan speechnya. Kami kembali mendengarkan suaranya meraung meneriakkan kekesalannya terhadap pihak-pihak yang main hakim sendiri dibalut kelembutan musik orkestra.

Luar biasa.

Energi manusia itu, yang sehari-harinya sepertinya hanya peduli sama alat kelaminnya sendiri dan alat kelamin semua perempuan di dunia ini, sekarang bagaikan Tuhan kita semua di depan sana. Lampu panggung menyorotinya, memperlihatkan lekuk mukanya yang sombong, memperlihatkan dirinya yang memimpin kami di atas panggung.

Memperlihatkan kuasanya atas semua bunyi-bunyian musik yang terjadi di alam panggung ini.

Lucifer. Dulunya malaikat. Aku juga mungkin dulunya malaikat. Aku melihat ke arah penonton, mencari wajah istriku yang sedang menonton kami. Dia duduk di sebelah Ai dan Zul. Dia tampak senang, menonton dengan seksama dan sesekali mengobrol akrab ke sebelahnya. Mau tak mau, ada perasaan tak nyaman melihatnya. Dan itu juga yang pasti Kyoko rasakan selama ini jika aku terlalu akrab dengan perempuan lain.

Baru begitu saja Ya, pikiranmu sedikit terganggu, apalagi kalau Kyoko tahu soal kesalahan-kesalahanmu setelah Jogja?

Entahlah. Biarkanlah aku berkonsentrasi lagi menyelesaikan malam ini, menjadikannya sempurna, menutupnya dengan baik dan menuntaskan tugasku di atas panggung.

Dan kami berhenti membunyikan alat musik kami, aku dan Anin, Bagas tampak menabuh drum dengan penuh perhitungan, menutup lagu dan disusul oleh bunyi string orchestra yang semakin meninggi, membahana, bagaikan pemenang malam ini.

Oh bukan, kalau ada pemenang malam ini, itu kita semua, yang ada di dalam ruangan ini. Kita berhasil menang melawan Karina, dengan kesabaran kita, kita berhasil menang melawan proses yang menyakitkan ini dan menyelesaikannya dengan manis. Aku berhasil membuktikan bahwa aku bisa bekerja dengan Karina, walau rasanya menyakitkan.

Mungkin tidak akan kuulangi lagi, tapi akan kuceritakan pada orang-orang, bahwa aku seperti Kapten Ahab yang berani bertualang, berusaha membunuh paus putih raksasa, Moby Dick.

Dan aku pulang dengan kemenangan.

Konser ini berakhir. Aku menatap ke sekelilingku dengan puas, saat para pemain string orchestra menyelesaikan bebunyian indah mereka dan suara penonton bergemuruh di dalam ruangan, suara tepuk tangan mereka dan suara kepuasan mereka. Aku bisa melihati Ai memeluk istriku dari samping, tanda mereka semua puas malam ini.

Aku tersenyum walau mereka tidak melihat senyumku.

“Selamat malam, kami Hantaman, dan malam ini sudah selesai. Terimakasih untuk semuanya, terimakasih untuk Tuhan untuk kesempatannya malam ini. Dan terimakasih untuk kita semua, mudah-mudahan besok pagi, kita semua bangun dengan perasaan cerah karena kemarahan kita sudah tertuang malam ini, bangun bersinar, layaknya Matahari Dari Timur. Malam” bisik Stefan, menutup pegelaran kami.

Dan aku berharap, mudah-mudahan, hal menyakitkan lain yang sedang kualami pun bisa kuselesaikan seperti konser ini. Dan bangun kembali bersama Kyoko, istriku, sebagai Matahari dari Timur.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Keren,,, berasa nonton duduk bangku paling depan hahaha.....

Thanks update nya om
 
Mantap sekali,,,,
Konser yang megah,,,
Ditonton keluarga, ,

Btw kayanya enak banget punya Temen band kaya arya
- setan alas dan pendeta dewa kont*ol
- bapaknya kingkong
- terminator
:pandaketawa:
 
Baru baca lagi adegan Misty. Gw kira lagunya diganti, tapi baru inget kalau adegan lagu yg satu lagi bakal muncul di lokasi hotel dengan nama yang sama sama judulnya. Ayooo..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd