Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
MDT SEASON 2 – PART 39

--------------------------------------------

14592210.jpg

Apa yang ada di pikiran anda kalau anda mendengar kata-kata sarapan?

Mungkin setangkup roti panggang dengan selai, lengkap dengan kopi dan teh. Bisa juga bubur ayam, sereal, maupun seporsi nasi goreng. Untuk orang yang bergaya hidup lebih sehat, menurut sepengetahuanku, mereka memilih sarapan dengan buah-buahan, mungkin ditambah dengan sedikit oat dan segelas susu segar.

Kalau aku, biasanya sarapanku adalah makanan biasa sehari-hari, dengan lauk pauk lengkap. Karena biasanya di rumahku, makanan untuk sarapan juga merupakan makanan yang kami makan pada saat siang dan malam hari.

Biasanya ibuku dan Kyoko yang menyiapkan sarapan pagi. Ai kadang membantu, kalau tidak malas. Aku kadang membantu, kalau ibuku sedang tidak sehat dan Kyoko berjibaku sendiri, dengan catatan kalau aku bangunnya pagi. Dan seorang Arya bangun pagi itu adalah mitos.

Tapi hari ini, pagi ini, sarapanku berbeda.

"Nnh.."

Arwen. Dia sarapanku hari ini. Dia telentang di tengah kasur, tanpa busana. Aku menggenggam kedua tangannya, pahanya terbuka lebar. Aku sedang melumat bibir vaginanya, kujilati semua permukaannya yang bisa kujangkau dengan lidahku. Dari tadi dia mengerang pelan, menikmati setiap inci bagian kewanitaannya yang mengirim rangsangan ke otaknya, sebagai reaksi dari lidahku dan bibirku yang nakal.

Tadi malam, sehabis pulang dari Clarke Quay, kami langsung masuk ke kamar dan berhubungan seks dengan singkat. Mungin karena kami berdua lelah, jadi tidak ada yang spesial malam itu. Cuma casual seks seperti biasanya saja, tidak berlebihan dan juga tidak kurang.

Setelahnya, mau tak mau kami terpaksa mandi bersama. Satu sesi yang awkward setelah kami bersama-sama mandi di shower, bermesraan di dalam sana, berciuman dan saling menjelajahi tubuh di bawah guyuran air hangat. Tidak ada maksudku untuk apa-apa, selain hanya karena penasaran akan setiap celah tubuhnya, tapi dia tampaknya merespon perlakuanku dengan gerakan-gerakan yang lebih lembut dan hangat daripada biasanya.

Dan itu terbukti ketika dia menahanku sebelum aku keluar dari shower booth. Dia berbisik pelan malam kemarin. "Ada bathtub... Mau nemenin aku di dalem sana? Sebelum tidur?" bisiknya dengan tatapan mata yang berbinar. Seperti anak kecil di depan toko mainan.

Sebagai ayah yang baik, aku mengangguk ketika anakku meminta mainan. Toh uangnya ada, waktunya ada dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Dan itulah yang kulakukan ke Arwen kemarin malam.

"Boleh" jawabku pelan. Dan muka penuh harapnya berubah jadi senyum manis yang kurasa sedikit berlebihan, walau dia tampak berusaha untuk menyembunyikan ekspresinya.

Dan terjadilah. Dia mengisi bathtubnya dengan air hangat dan entah apa lagi yang dibutuhkan. Dan kami masuk ke dalam sana. Aku bersender dengan santai dan agak kaku, entah aku harus menikmati kondisi itu atau tidak. Aku tidak paham pula kenapa dia merasa perlu membawa handphonenya ke dalam kamar mandi, setahuku iphone tidak tahan air dan debu.

Aku pun tidak bereaksi ketika dia menyandarkan badannya ke badanku di dalam bathtub. Perfect, seorang perempuan muda berumur pertengahan dua puluhan sedang berendam bareng lelaki berumur 30an awal, suami orang.

Dan aku makin bingung kenapa dia harus menyalakan handphonenya, memutar sesuatu di youtube.

"Aku lagi suka lagu ini" bisiknya sambil bersandar dan menikmati badanku yang bertindak melindunginya dari dinding bathtub.


"Look at me,
I'm as helpless as a kitten up a tree;
And I feel like I'm clingin' to a cloud,
I can' t understand
I get misty, just holding your hand."


Misty. Lagu Jazz lama yang ditulis oleh Eroll Garner. Dipopulerkan oleh Ella Fitzgerald.

"Walk my way,
And a thousand violins begin to play,
Or it might be the sound of your hello,
That music I hear,
I get misty, the moment you're near."


Misty. Berkabut. Tidak jelas. Aku pernah membedah lagu ini dulu bersama Karina. Mulai dari progresi musiknya, dan tema lagunya. Misty. Berkabut.

"Can't you see that you're leading me on?
And it's just what I want you to do,
Don't you notice how hopelessly
I'm lost
That's why I'm following you."


Misty disini, kata Karina, bisa juga berarti perasaan berat di mata, ketika kita ingin menangis. Entah menangis karena apa.

Tersesat, kata yang nyanyi. Dan dia mengikuti seseorang itu karena dia tersesat. Tersesat, hopeless.

"On my own,
When I wander through this wonderland alone,
Never knowing my right foot from my left
My hat from my glove
I'm too misty, and too much in love."


Entah. Entah apa maksudnya dia menyetel lagu ini sekarang. Dia tidak berkata satu patah katapun. Dia hanya menggumamkan lagunya sambil menyenderkan kepalanya di dadaku.

"Too misty,
And too much
In love"


Too much apalah, entahlah. Dan pagi ini sepertinya aku yang merasakan too much in love. Bukan love yang itu, tapi making love. Having sex. You name it. Aku berusaha memikirkan dengan keras, apa dan kenapa dia memutar lagu itu di dalam kamar mandi semalam. Apa karena dia memang sedang suka lagu itu? Apa karena terbawa suasana? Atau karena kondisi diantara kami berdua menyebabkan ada perubahan perasaan yang muncul dari dalam dirinya.

Entahlah. Peduli amat. Yang pasti dia terlihat makin clingy dan lembut perangainya di depanku, dan yang terpenting, kondisi sekarang membuatku lebih leluasa untuk menjelajahi tubuhnya dan berbuat seenak diriku. Seenak penisku lebih tepatnya.

Semalam juga, setelah mandi, dia langsung memakai baju tidur, dan mengajakku naik ke kasur, dengan mata berbinar-binar. Aku tidak memikirkan apapun lagi selain tidur. Karena hari itu sungguh melelahkan dan kami sempat melakukan hubungan seksual sekali sebelum mandi, aku mengiyakan saja. Aku memanjat tempat tidur dan langsung berlindung di balik selimut, melindungi diriku dari kerasnya air conditioner di hotel yang berada di pusat Singapura ini.

Aku masih ingat, semalam aku hanya berbaring dengan malas, menatap langit-langit. Arwen lantas mendekatiku dan memelukku dari samping, seakan aku miliknya. Karena posisinya agak tidak nyaman, aku malah memeluknya dan membiarkan dia bersandar di badanku, sesukanya. Dia meringkuk di sampingku seperti kucing yang kedinginan, helpless as a kitten up a tree.

Kami berdiam diri sampai terlelap.

Dan ketika bangun, aku langsung bersemangat melihat dirinya yang masih tidur. Maka tanpa aba-aba dan membangunkannya terlebih dahulu, aku langsung melumat lehernya, meremas buah dadanya dan menelanjanginya. Dia kaget dan bangun, tapi lantas pasrah. Pasrah sampai di detik ini, detik dimana aku sedang me "makan" nya. Memakan vaginanya. Menjilati setiap apapun yang ada disana, merasakan rasanya, merasakan kewanitaannya.

Dia pasrah, walaupun tadi kaget di permulaan. Siapa yang menyangka kalau kau bangun, mendapati lelaki di sebelahmu yang bukan suami dan pacarmu itu melucuti baju tidurmu, membugilimu tanpa aba-aba dan tidak peduli kamu masih tidur?

Dan sekarang dia tetap mengerang, merintih pelan setiap aku berhasil menyentuh spot-spot yang sensitif dengan bibirku.

I'm not that good at sex. I'm not that good. But i surely know what to do with this girl. I want to fuck her. I want to fuck her hard. Dan aku benar-benar menikmati menjilati daerah kewanitaannya, menikmati rasanya, menikmati suara berisik yang ia timbulkan.

Tak jarang ia menggelinjang lemah karena kegelian. Siapa yang tidak? Dia benar-benar tenggelam dalam kenikmatan seksual yang kuberikan. Aku bisa melihatnya dari ekspresi wajahnya, suara-suara rintihan pelan yang terus memenuhi kamar ini. Reaksi tubuhnya, yang begitu responsif membuatku menjadi semakin semangat. Dan sialnya, aku hanya membawa tiga buah kondom kesini. Satu sudah dipakai semalam. Dan mungkin sekarang akan kupakai lagi.

“Mas... Ah...” Arwen menggigit bibirnya sendiri, mencoba menikmati dan merasakan nikmatnya rangsangan yang sekarang sedang menjalar di seluruh tubuhnya.

Kondom sudah tergeletak di meja samping kasur. Cuma tinggal menunggu waktu saja sampai penisku akan segera masuk ke dalam tubuhnya, menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsu seks diriku.

Aku lantas melepas mulutku dari bibir vaginanya, dan menatap ke badannya yang telanjang bulat, tak berdaya. Aku melirik ke arah kondom. Ah fuck it. Bisa hilang flow nafsuku kalau repot-repot buka kondom. Kenapa tak dari awal saja kusiapkan kondomnya. Sekarang malah susah, karena penisku sudah berdiri tegak sekali dan tidak tahan untuk segera menyetubuhinya.

Aku pun lantas menarik pinggangnya, membalik tubuhnya.

"Mas?" tanyanya karena aku tampaknya tidak menyentuh kondom yang tergeletak. "Jangan... Nnh!" terpaksa. Maaf. Aku terpaksa melakukannya karena kepalaku sudah mau pecah akibat nafsu yang benar benar memuncak.

Posisiku duduk, menarik badannya yang membelakangiku, sehingga dia terpaksa bertumpu dengan tangannya ke tumpukan bantal. Aku jadi leluasa mempermainkan buah dadanya dari belakang. Tapi tanganku fokus untuk menggenggam pinggangnya yang ramping, agar aku bisa leluasa menggerakkan penisku di dalam lubang vaginanya yang sudah sangat licin itu.

"Aah... Aaahh..." suaranya menggema di dalam kamar. Hotel Bintang lima. Sudah seharusnya suara erangannya tak kemana-mana, tak bocor ke kamar sebelah. Dan suara erangannya bersahut-sahutan dengan suara pantatnya yang menepuk-nepuk pahaku.

Aku terus memompakan penisku ke dalam dirinya. Aku tidak mempedulikan lagi soal kenikmatan dirinya, hanya diriku sendiri saja, dan aku hanya berjuang untuk mencapai puncak sendirian.

Tangan kirinya mendadak memegang tanganku, dan dia hanya bertumpu ke satu tangan. Ya, aku tahu, posisi seperti ini memang tidak ideal. Sebuah pseudo-doggy style yang tidak nyaman. But what the hell. I don't care. Aku cuma peduli kepada suara-suara rintihan keenakan Arwen yang menjadi musik yang memberikanku semangat.

Semangat untuk terus memacu diriku ke puncak kenikmatan. Sendirian.

Aku lantas melepas penisku dari badannya dan aku membiarkannya jatuh terkulai di kasur. Aku membalik badannya lagi, dan aku merayap cepat ke arah mukanya. Aku menggenggam penisku sendiri di depan mukanya. Dia hanya menatapku dengan matanya yang tampak berat. Bagaimana tak berat, lima belas menit yang lalu dia masih tidur. Dan sekarang ada penisku di depan matanya, setelah aku menelanjanginya, menjilati vaginanya dan menyetubuhinya tanpa persetujuan terlebih dahulu.

"Mmh..." Arwen kaget dan menutup matanya saat spermaku muncrat dan membasahi mukanya. Tidak banyak, namun cukup untuk membuat sebuah pemandangan menggairahkan seorang perempuan berlumur sperma lelaki di mukanya.

Nafasku ngos-ngosan, berat. Pandanganku hanya tertuju ke mata Arwen. Dia yang menatapku dengan mukanya yang kotor oleh cairan tubuhku itu. Pandangan mata logikaku sudah kabur, alias misty.

"Too misty,
And too much
In lust"


--------------------------------------------

bugis-10.jpg

Kami berdua melewatkan sarapan, tapi rasanya tak mungkin kami melewatkan makan siang. Dan pilihan makan siang kali ini cukup beresiko. Kami makan berdua di sebuah restoran yang sepi di sebuah mall kecil di dekat hotel kami.

Kami diam.

Perjalanan yang terasa berat dan jauh ke tempat ini dari hotel, karena kami harus berjalan di tengah kerumunan manusia. Jujur, aku takut bertemu dengan orang yang mungkin mengenali kami berdua. Muka kami bukanlah muka asing bagi kebanyakan orang di Jakarta. Dalam beberapa kesempatan Arwen malah berusaha meraih tanganku, tapi tak pernah kusambut. Aku tidak mau menghadapi resiko yang berlebihan. Jika kami makan atau jalan berdua tanpa harus saling menggandeng, banyak alasan yang bisa kuberikan kepada orang-orang. Aku bisa bilang kalau aku tak sengaja berpapasan dengannya dan memutuskan untuk makan siang bareng.

Tapi gandengan? Too much.

Beberapa kali, tiga atau empat kali aku berusaha menepis tangan ARwen dengan sopan.

Iya aku tahu, ini bukan Indonesia. Tapi di negara ini mungkin ada orang Indonesia atau mungkin malah orang Singapura yang mengenali kami. Dan kami terpaksa makan di luar. Harga makanan room service ternyata sangat mahal. Aku jadi merasa tolol kemarin malam, dimana aku menyarankan Arwen untuk memesan room service.

Makan. Dalam diam.

Itu kondisi kami sekarang. Diam, tak mengobrol. Lupakanlah aku dan Arwen yang bisa mengobrol panjang lebar seperti dulu. Kini yang ada hanya keheningan yang tidak nyaman, selain juga aku merasa tidak aman, takut sewaktu-waktu orang-orang yang mungkin mengenaliku dan dirinya menyergap dari belakang punggungku.

Dan aku pun juga jadi tidak bisa menikmati makanan yang ada di hadapanku. Aku sangat lapar, tapi rasanya mual. Yang kupikirkan hanya dua hal. Takut bertemu orang yang mengenali kami dan tubuh telanjang perempuan yang ada di depanku. Tolol. Adrenalinku ada dalam titik tertingginya saat ini, tapi hatiku sangat tidak tenang.

Alhasil, makanan yang harusnya terasa enak itu, terasa sangat hambar di lidahku, dan aku pun tidak konsentrasi makan. Tidak konsentrasi makan sama dengan berantakan. Entah lah. Aku intinya tidak selera.

"Mas?" tegur Arwen mendadak, menghentikan pikiranku yang lari kemana-mana ini.
"Kenapa?"
"Itu" dia menunjuk ke bibirnya.

"Apa?" tanyaku bingung. Aku lalu berusaha menyeka sisi kiri bibirku. Tampaknya dia mau memberitahu kalau ada kotoran makanan disana.

"Bukan disitu" lanjutnya sambil mengambil tisu dari tasnya. Dan dia menyentuh bibirku yang sebelah kanan, menghapus sisa makanan disana. Aku pun diam. Diam melihatnya mencoba membersihkan bibirku. Aku hanya menatap kosong ke tatapannya yang mendadak seperti bisa memperhatikan detil-detil kecil di mukaku itu.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

messy-10.jpg

Capek? Aku tak peduli.

Arwen sudah habis tampaknya. Dia berlindung di balik selimut sore itu. Dia tampak lemas. Tentunya karena sehabis makan siang, ada dua sesi persetubuhan lagi yang kami lakukan. Bentuk energiku juga sudah tidak karuan. Rasanya pegal, terutama di bagian alat vital. Benar kata orang. Berlebihan itu tidak baik.

Pikiranku masih kotor tapi, walaupun aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi. Kondom sudah habis, dan memang aku terpikir untuk nanti malam membelinya sambil jalan keluar makan. Aku sudah tidak tahu lagi teman-temanku pada kemana. Kang Bimo sekeluarga, Kang Wira, Sena, Rendy dan Anggia katanya main ke Universal Studios. Stefan punya agenda sendiri. Entahlah, cari prostitusi mungkin, tapi dia setahuku tidak suka prostitusi dan ini masih sore.

Sejauh ini tidak ada yang mencariku di grup Hantaman. Mungkin karena mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing dan mereka sama-sama termakan oleh berita kalau aku bertemu dengan saudara sepupuku disini. Apalagi yang punya hajar, Anin, mungkin sedang sibuk bersama Zee pasca pernikahan.

Aku menatap televisi dengan perasaan kosong. Siaran berita Singapura. Tentang berita politik Singapura. Berita yang tak kumengerti. Dan tak ingin kumengerti. Arwen meringkuk di sampingku, dengan memakai t-shirtku dan celana dalam saja. Sedangkan aku telanjang bulat. Dia tampak berusaha menutup matanya sambil menggamit lenganku. Tak jarang dia menciumi tanganku dan mencoba merubah posisinya beberapa kali agar lebih nyaman.

Pikiranku terus terbayang-bayang akan dua adegan seks tadi. Yang pertama sehabis makan, hanya adegan seks biasa, dengan posisi dominan misionaris, tapi aku tampaknya terlalu bernafsu menciuminya, bibirnya basah oleh pertukaran cairan, buah dadanya kuremas, kugigit, kujilati dengan ganas. Dan dia pun akhirnya mencapai orgasmenya siang ini, setelah tadi pagi hanya jadi objek seks saja.

Tapi yang kedua, entah kenapa kami berdua jadi benar-benar liar.

Semua bermula dari dirinya yang mendadak ingin mandi. Tapi kuhentikan dia. Siapa yang tahan melihat perempuan cantik telanjang di dalam kamar hotel? Aku langsung melumatnya, dan langsung duduk di kursi, memintanya duduk di atas pangkuanku. Kami bersetubuh sambil duduk di kursi, sambil saling melumat dan bercumbu dengan ganas.

Kami lantas berpindah ke atas kasur, dan karena mungkin aku sudah terlalu lelah, aku tampak malas untuk menyetubuhinya dengan cara konvensional. Jadilah aku disibukkan oleh kegiatan menciumi buah dadanya, menjilati tiap jengkal permukaannya.

Tanganku yang bertindak di dalam lubang vaginanya. Jari-jariku bermain, mencabulinya, menghabisinya dan aku tidak bisa mendespriksikan lagi apa yang kulakukan padanya. Aku menstimulasi dirinya dengan menggunakan tangan.

Dan semuanya berakhir di posisi 69 yang dipaksakan. Aku berada di atas tubuhnya, dengan malas menjilati lagi vaginanya, sementara dia berjuang, tampak tersedak dan sesak oleh penisku yang dengan asal-asalan masuk ke dalam mulutnya.

Aku tak peduli.

Mulutnya kujejali dengan penisku. Dan terserah dia, mau dengan cara apa memuaskanku. Entah dengan tangannya, atau dengan lidah dan bibirnya. Terserah. Dia tampak susah payah melakukannya karena posisi kami berdua tidak sempurna. Tapi aku gelap mata. Kujejalkan batang penisku ke dalam mulutnya, dan tidak sekali dua kali dia kerepotan, terbatuk, tersedak dan air liurnya pun memenuhi bibirnya, menetes-netes tak karuan akibat ulahku.

Dan akhirnya aku kembali mengeluarkan spermaku, di dalam mulutnya. Pasti rasanya sudah tidak karuan untuknya. Buatku juga. Nikmat, tapi makin lama makin sedikit keluarnya.

Bahkan di detik inipun, aku sudah tidak mampu untuk melakukan hubungan seks lagi. Coba kita hitung. Pertama, malam kemarin setelah pulang makan. Kedua, tadi pagi. Ketiga, setelah makan siang. Keempat, sore tadi. Empat kali.

Gila.

Ini salah satu fuck-athlon terlama yang pernah kulakukan. Dan akibatnya aku duduk dengan lunglai di kasur, meluruskan kakiku, sambil menonton televisi ala kadarnya.

Arwen meregangkan badannya, mencoba merasakan rasa-rasa pegal di tubuhnya. Dia menatapku lalu tersenyum kecil. Tanpa suara. Tanpa kata. Tanpa kalimat. Aku pun merespon gerakan tubuhnya dengan memeluk kepalanya dengan tanganku. Dia masuk ke dalam pelukanku, dan sepertinya dia menikmati momen ini.

"Mas.." bisiknya mendadak.
"Hmm?"

"Itu handphoneku, tolong" dia menunjuk ke arah kiri kasur dengan matanya. Posisi tidur kami semalam, dia berada di sisi kiri dan aku di sisi kanan. Tapi karena kami sangat aktif berhubungan seks, kami jadi bertukar posisi sekarang. Dan handphonenya tertinggal di meja samping kasur.

Aku merentangkan tubuhku dan meraih handphonenya. Kuberikan dengan gerakan yang pelan kepadanya. Dia menerimanya dengan senyum dan mencium badanku.

"Makasih sayang.."

Apa?

Aku terpaku dan menatapnya tajam. Arwen tampak panik dan menatapku balik.

"Sayang? Maksudnya?" aku bertanya dengan nada yang tajam, melihat air mukanya yang berubah dari damai menjadi panik.

Maksudnya apa?

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
.....
Too much love will kill you
If you can't make up your mind
Torn between the lover
And the love you leave behind
You're headed for disaster
'Cause you never read the signs
Too much love will kill you - every time

I'm just the shadow of the man I used to be
And it seems like there's no way out of this for me
I used to bring you sunshine
Now all I ever do is bring you down
Oh, how would it be if you were standing in my shoes
Can't you see that it's impossible to choose
No there's no making sense of it
Every way I go I'm bound to lose
Oh yes
......
 
Udah geser lagi nih masters, bisa mereun double apdet, hehehe

thank you dah memanaskan malam ini, jadi tambah runyem, tp makin asyik, buat pembelajaran juga, sapa tau ada kawan yg kejebak sikon macem gini, kan jd bs bantu biar bs maen cantik, wkwkwkwk
good night
have a nice dream 4 yaall
 
Wes kuenceng tenan iki
Kuy lah om kalahkan bajindul. Dsana tikam2 dsini juga tikam2an :D

Makasih apdetnya om :beer:
 
MDT SEASON 2 – PART 40

--------------------------------------------

14592210.jpg

"Makasih sayang.."
"Sayang? Maksudnya?"

Aku menatap Arwen dan dia berbalik menatapku. Aku merasakan perubahan di air mukanya. Mukanya tampak kaget dengan dialog tadi. Entah mana yang menjadi pemicu perubahan air mukanya, apakah reaksiku atau ucapan yang keluar dari mulutnya sendiri.

Kami terdiam dalam beberapa detik. Beberapa detik yang terasa berjam-jam mungkin untuk kami berdua.

Dia mengulum bibirnya, tatapannya kaku dan ekspresi mukanya mendadak terlihat bingung.

"Maaf aku....." Matanya mendadak menyingkir dari pandanganku dan dia lantas menduduk. "Salah nyebut... Sori".
"Kamu sebenernya punya pacar?" tanyaku, mengkonfirmasi, mungkin dia biasa bicara seperti itu dengan pasangannya. Tapi selama ini aku tidak pernah melihat fotonya berduaan dengan lelaki. Mungkin dia tidak suka mengumbar kemesraan di media sosial. Atau mungkin juga dia single.

"Enggak, aku gak punya pacar... Maaf... Salah ngomong aku...." Dia membuang mukanya, berusaha bergerak ke posisi yang agak menjauh dariku, tapi kaki kami berdua saling bertaut seakan-akan tidak ingin dia lepas.
"Hmm.." jawabku pelan, sambil menatap kembali ke arah televisi.

Sayang? Apa-apaan? Setahuku posisi kami berdua sama, yakni mencari petualangan lewat jalur yang salah. Kami tidak pernah membahas soal hubungan kami. Yang kami tahu adalah janjian bertemu, janjian untuk melepas nafsu bersama-sama. Sejak kejadian di Jogja itu kami memang tidak pernah mengobrol panjang lagi. Kami seperti orang lain pada saat tidak sedang di ranjang.

Atau itu hanya ada di kepalaku saja? Apakah keinginan di kepalaku berbeda dengan harapan Arwen?

Apakah dia berharap lebih? Apakah dia menginginkanku lebih dari sekedar badanku? Aku menelan ludahku sendiri dan kepalaku lantas terbang ke Jakarta. Jauh. Jauh terbang sekitar 1263 kilometer ke ibukota negara kita. Kabur ke Radio Dalam, di daerah Selatan Jakarta. Masuk ke Jalan Dwijaya. Masuk ke sebuah rumah yang ada studio musik di dalamnya.

Tanganku langsung berasa dingin akibat satu kata itu.

"Sayang"

Apakah dia peduli terhadap diriku di luar fisikku dan semua kejadian ini? Apakah dia ingin dipedulikan? Apakah dia sudah merasa dipedulikan? Apa yang ada di pikirannya? Benarkah dia cuma salah bilang atau dia tidak sengaja bilang? Apakah kata itu sudah ada di kepalanya dan selama ini dia tahan dan akhirnya kata tersebut lolos dari kepalanya, keluar ke mulutnya?

Aku lantas berbaring, membenamkan kepalaku di bantal. Arwen sudah selesai memeriksa handphonenya. Dia lantas kembali memelukku dari samping, bersender pada badanku, tapi gerakan dan ekspresinya tidak sebebas tadi, sebelum “salah ngomong”. Badannya terasa kaku dan gerakannya menjadi canggung.

Ingatanku seperti memutar ulang semua hal yang kami berdua alami. Mulai dari cafe-nya Zul yang dulu belum bernama Mitaka. Sebuah tantangan dari Stefan, berani tidak aku berkenalan, selfie dan meminta nomernya Arwen, lalu kemudian rilis album kedua kami yang di repackaged, dimana dia menungguiku sampai acara selesai untuk meminta tanda tangan.

Semua percakapan akrab di tempatnya Zul, semua bercandaan dan obrolan lewat media sosial, lalu pertemuan kembali dengan Karina, lalu Jogja. Semua itu seperti make sense. Masuk akal kenapa kata "sayang" meluncur dari mulutnya. Masuk akal kenapa dia clingy ketika di Singapura ini. Masuk akal kenapa dia membersihkan mulutku dengan tisu pada saat makan siang.

Dan senyumannya di dalam Uber kemarin malam. Senyuman ketika sang supir bertanya apakah kami pasangan atau bukan. Walaupun aku secara otomatis melepas genggaman tangannya dan mengatakan bahwa kami hanya teman saja, tapi dia tampaknya hanya mempedulikan pendapat sang supir Uber. Dia tampak bahagia ketika aku dan dirinya dianggap sebagai pasangan, entah resmi maupun bukan pasangan resmi. Seperti itu mungkin yang ada di dalam kepalanya.

Pikiran ini berputar-putar sendiri di kepalaku. Dan apakah mungkin bisa kutanyakan kepadanya? Mungkin dia akan menghindar karena dia paham posisinya. Posisinya tidak mungkin jadi pengganti Kyoko. Dan aku juga hanya merindukan kebersamaan di kala adegan seks saja.

Mungkin dia tahu. Atau mungkin dia berharap.

Dua-duanya sama-sama tidak kuketahui.

--------------------------------------------

unname10.jpg

"Enak gak nyet? Kayaknya ngewe seharian nih?" tanya Stefan di media sosial pada saat jam makan malam.
"Boleh gak gw gak jawab?"
"Masih aja ngehindar, kalo enak mah bilang aja enak.... Abis kan tuh pasti cewek sama elo"
"Haha" jawabku. Jawabnya tertawa, mukanya datar. Aku sedang berjalan malam hari ini sehabis makan malam dengan Arwen.

Kami berjalan bersama tanpa bergandengan. Dia tampaknya agak sedikit "menjauh" setelah kejadian sore tadi, dimana dia mengeluarkan sebuah kata yang salah. Salah pada saat itu.

Aku mengantongkan handphoneku di jaketku dan kembali fokus ke jalanan, dan perempuan yang ada di sebelahku. Dimana kami terjebak di hubungan yang seperti ini. Hubungan yang mungkin sekarang jadi terlalu banyak kupikirkan setelah hari ini. Hubungan yang entah lah apalah. Gak tau namanya apa. Dan aku terjebak pada hal yang tidak kusukai sebenarnya. Ada alasan kenapa aku tidak merokok dan minum. Aku benci ayahku. Jadi aku tidak ingin seperti dia.

Kini aku malah terjebak pada satu hal yang kubenci dari ayahku juga, yaitu hubungannya dengan perempuan lain di luar rumah. Suka atau tidak. Aku jadi mempertanyakan kepada diriku sendiri. Sebenarnya yang kubenci apa? Orangnya? Tingkah lakunya? Perlakuannya kepada ibuku, aku dan Ai? Ataukah kelakuannya di luar rumah? Kenapa manusia senang berdosa? Kenapa manusia senang melepaskan hasratnya di saat dan tempat yang tak benar?

Tampaknya aku harus menanyakan, sebenarnya apa motifku untuk membenci ayahku.

Aku harus..

"Mas?"
"Ya?" pikiranku terhenti sebentar, karena Arwen mengajak bicara. Dia menunjuk sebuah minimarket sambil tersenyum. Aku mengangguk dan kami lantas berjalan kesana. Aku ikut masuk, menemaninya yang sepertinya ingin berbelanja beberapa barang. Aku memperhatikannya berjalan ke rak minuman dan freezer es krim. Aku mengamatinya dari jauh. Perempuan yang cantik, lucu, ramah, pergaulannya luas dengan pekerjaan yang menarik. Kenapa dia terjebak, atau sengaja menjebak dirinya jadi "ban serep" buat suami orang lain? Dan apakah itu pertanyaan yang pantas ditanyakan?

Entah lah.

Kepalaku serasa tidak bisa berpikir dengan jernih kalau dia ada di sampingku. Bukan apa-apa. Rasa penasaran untuk membugili, menggauli dan memperlakukannya seenaknya di kasur sangat besar.

Dan tadi adalah jawaban jujur, atas perasaanku padanya.

Rasanya, sekarang seperti pertarungan antara otak atas versus otak bawah. Dan selama ini aku membiarkan otak bawahku menang. Aku membiarkan badanku bergerak secara alami. Secara naluri. Mengejar kenikmatan bersama perempuan cantik, perempuan cantik yang lain. Ini salah, tapi perasaan bersalah hanya muncul ketika aku tidak sedang bersama dia. Tantangan yang terus muncul malah membuatku semakin penasaran.

Penasaran.

Dan aku melirik ke tumpukan kondom di sudut minimarket. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambilnya, dan menuju ke kasir.

“Do you need anything else?” tanya sang kasir. Aku menggeleng. Untuk saat ini itu saja yang kubutuhkan. Aku butuh tambahan pelindung untuk memenangkan pemikiran kelaminku.

Kali ini dia menang lagi.

--------------------------------------------

messy-10.jpg

“Nggghhh…” Arwen melepaskan orgasmenya dalam pelukanku.

Kami melakukannya lagi, walaupun rasanya sudah lemas tak karuan. Dan rasanya juga semakin capek. Sudah pasti sperma yang keluar sangat sedikit, tertampung dalam kondom yang baru saja kubeli tadi. Nafasnya berat, seberat nafasku, dan bisa kurasakan detak jantungnya berdegup dengan kencang, karena memang dadanya menempel ke badanku.

Posisi misionaris. Posisi standard bercinta. Posisi yang malas. Dua-duanya sudah malas bercinta, tapi dia selalu sukses untuk menggodaku, mengeksplorasi semua bagian tubuhnya dan semua gaya bercinta yang mungkin.

Aku melepaskan penisku, mencium bibirnya sebentar dan lantas beranjak ke kamar mandi, untuk segera mandi di bawah shower. Aku tidak mengajaknya. Tidak ada waktu untuk mengajaknya, karena rasanya punggung berkeringat yang diterpa AC sangat menggangguku. Aku butuh kehangatan dari air panas yang melimpah di hotel ini.

“Mas?” panggil Arwen.
“Ya?”
“Mandi?”
“Iya”
“Tunggu” lanjutnya. Dia lantas berjalan dengan lunglai, menyusulku dengan telanjang bulat. Adegan selanjutnya tak usah kalian bayangkan, karena kalian pasti tahu apa. Mandi di bawah shower bersama, dan aku membiarkan dia mencoba menciumku di bawah guyuran air hangat.

Membersihkan diri bersama. Macam betul saja. Seakan-akan kami ini adalah pasangan saja. Aku tak ingin ada dalam posisi seperti ini, tapi aku tak bisa menghentikan dirinya yang tampak antusias. Sungguh aneh rasanya, bergumul, saling berciuman sambil mandi, berbalut sabun yang berusaha membersihkan semua kotoran dari tubuh kami. Sayangnya sabun tidak bisa digunakan untuk membersihkan kotoran dari perbuatan dan tingkah laku kami saat ini.

Kalau bisa, mungkin perasaan yang ada sekarang bisa pergi. Perasaan kosong.

Mungkinkah hal seperti ini dirasakan oleh orang-orang yang berhubungan seks di luar pernikahan resmi mereka? Apakah pasangan selingkuh bahagia? Apakah pasangan selingkuh malah menumpuk perasaan berdosa dalam dirinya? Kenapa orang-orang begitu bangga? Kenapa Stefan, Kang Bimo dan Kang Wira malah menganggap aku hebat?

Sayangnya aku tak tahu perasaan yang ada di dalam diri ayahku. Yang aku tahu adalah dia adalah pria defensif pemarah yang sampai akhir hayatnya tidak kukenal.

Aku tidak tahu ujung masalahnya kenapa, kenapa dia kukenal sebagai pria tukang selingkuh, tukang mabuk, dan hampir tidak pernah pulang ke rumah. Kalau ada di rumah dia selalu marah-marah, menyalahkan kami semua atas masalah apapun yang dia alami.

Kata ibuku, dia tidak seperti itu dulu sebelum menikah. Katanya, dia pria yang paling hangat yang pernah kukenal ibuku. Apa yang menyebabkan dia berubah? Kenapa anak-anaknya mengenal dia sebagai pria brengsek?

Arwen mematikan shower, menghentikan air hangat yang sudah menyelesaikan tugasnya untuk membilas sabun dari diriku dan dirinya.

“Bathtub?” bisik Arwen sambil mencium pipiku. Aku menggeleng dengan pelan sambil tersenyum tipis. Dia mengangguk, mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ke adegan berikutnya.

“Saya mau tidur” bisikku pelan sambil meraih handuk. Dia mengangguk dengan pasrah. Walaupun tatapan matanya penuh harap, mengharapkan aku melanjutkan apapun yang bisa kulanjutkan. Tapi rasanya sudah terlalu aneh karena kepalaku sudah sedemikian penuhnya dengan pertanyaan.

Selesai mengeringkan tubuhku, aku memakai baju tidurku, dan lantas melempar diriku dengan malas ke atas kasur. Aku memeriksa handphoneku, membalas pesan-pesan yang halus dibalas, dan berbohong pada istriku. Aku berbohong soal apapun yang bisa menutupi jejak asliku di Singapura. Congrats, kamu sudah membohongi love of your life, Arya.

Arwen baru selesai dengan segala urusan kewanitaannya di kamar mandi dan di depan meja rias. Aku tertegun, menatapnya, dan menyesal kenapa itu bukan Kyoko. Aku mematikan layar handphoneku, sambil menatap terus kepada dirinya. Dengan cuek dia membuka handphonenya, dan menyetel sebuah lagu dari aplikasi streaming lagu.

Imagine. John Lennon.

“Inget lagu ini?” tanyanya kepadaku sambil tersenyum, menghampiri kulkas. Aku hanya mengangguk tanpa tersenyum. Ya, ini lagu yang kunyanyikan, demi berkenalan dengan Arwen. Aku berkenalan dengannya gara-gara Stefan. Waktu itu, setelah aku melamar Kyoko, Stefan tampaknya galau akan masa depannya dan dia melakukan “silenzio stampa” ala pelatih-pelatih di liga italia setelah timnya kalah. Tidak mau bicara apapun, sebagai orang yang sangat cerewet dan mesum, itu merupakan tingkah yang aneh untuk Stefan.

Dan aku memaksanya bicara. Dia bilang, ayo kenalan sama cewek itu dulu. Ya, cewek yang sekarang kutiduri setiap ada kesempatan ini.

Arwen datang ke arah kasur dan melahap eksrim yang tadi ia beli di minimarket. Dia sesekali menatapku yang menatap dirinya. Arwen lantas bersandar di bedhead, meluruskan kakinya sambil fokus ke es krim yang ada di tangannya. Es krim cup, entah apa mereknya, aku tak peduli. Dia memakai pakaian tidur biasa, celana pendek dan t-shirt.

Mendadak aku jadi kesal kepada lagu itu. Lagu itu terngiang-ngiang di kepalaku, seperti berusaha untuk mengingatkan bahwa aku sudah salah langkah dulu, salah langkah ketika mengajak Arwen kenalan. Ada sebagian suara dalam diriku yang ingin menyalahkan Stefan. Tapi aku tidak setuju. Semua ini bisa dihindari kalau saja aku tidak melakukannya.

Nah. Sekarang otakku jadi saling menyalahkan.

Kacau. Apa-apaan. Aku kesal melihat Arwen yang malah tampak nyaman bersamaku. Makan es krim sambil mendengarkan lagu? Aku kesal melihatnya. Aku benci melihat pemandangan itu. Kenapa dia bisa sesantai itu di depanku? Kenapa dia bisa menjadikan momen berduaan denganku sebagai salah satu sumber kebahagiaannya?

Tanpa sadar, dengan kemarahan yang tertahan aku bergerak dengan cepat dan menarik kaki Arwen.

“Mas?” Arwen bingung, karena dia jatuh ke kasur dengan posisi telentang. Aku merebut es krim itu dari tangannya, dan kubuang jauh-jauh. Dengan gerakan yang ganas, aku menarik T-shirt nya ke atas, dan berusaha menelanjanginya. “Jangan…. Jangan dulu…” Arwen mungkin menyangka aku akan menggaulinya lagi, dia mungkin tidak salah.

Aku melepas T-shirtnya dengan paksa. “Ah..… Ngapain??” dia kaget karena bibirku mendadak. menyentuh kulitnya yang hangat.

Dia berusaha menghindar, dan karena gerakanku begitu cepat, dia berusaha mengimbanginya, dia lantas jatuh dari kasur, ke karpet dengan lemahnya. Aku menerkamnya, menarik T-shirtnya dengan kasar, melemparnya dan lantas memegang kedua pergelangan tangannya dengan keras.

Dia kaget.

"Mas? Nngggh...."

Fuck this shit. Persetan dengan semua mimpi-mimpi yang mungkin ada di kepalanya. Persetan dengan kenyamananmu dan suami orang. Aku lantas menjilati area badannya yang nampak di mataku, sambil menimpa kakinya dengan tubuhku. Tanganku memegang kedua tangannya yang tampaknya berusaha berontak.

Persetan.

“Nggghh… Geli.. Mas… Jangan…. Uh..." Dia merasakan kegelian yang luar biasa. Siapa suruh kamu melakukannya, siapa suruh kamu tampak bahagia di tengah keegoisan dirimu yang tampaknya merasa kalau kamu memilikiku. Atau aku juga egois? Hanya ingin menidurimu berulang kali tanpa sedikitpun membagi perasaan kepadamu?

Sial. Kepalaku menegang, pelipisku sakit, karena pembuluh darah di kepalaku mengeras.

"Jangan!" dia meronta dengan lemahnya, karena mungkin tenaganya sudah habis terpakai untuk semua adegan seks hari ini. Dan entah dari mana juga tenagaku muncul. Mungkin karena perasaan kesal yang ada di dalam kepalaku ini.

Kupegang kedua tangannya dengan keras dan aku memaksa untuk terus menjilati badannya. Usahanya untuk lepas dari terkamanku seperti sia-sia. Dia tampak ketakutan, karena dia tidak menyangka akan kuserang seperti itu. Aku tidak tahu ini apa. Apakah ini perwujudan dari nafsu seksual yang bercampur dengan kemarahan? Tapi rasanya memang tidak pantas kulakukan, dan aku sudah gelap mata.

"Sakit... Mas... Tanganku sakit!"

Aku meremas kedua pergelangan tangannya dengan tenagaku yang berlebihan. Menguncinya, mati, tak bisa bergerak dan tangannya meronta tanpa tenaga. Kuciumi seluruh bagian buah dadanya, ptingnya, lehernya.

Dia tak berdaya, hanya bisa berteriak memintaku menghentikan perbuatanku.

"Mas... Please... Udah........"

Aku menciumi badannya dengan kasar, kujilati semua yang bisa kuraih, tak jarang sedikit gigitan kasar, tidak mempedulikan dia yang memohon kepadaku untuk melepaskannya. Aku lantas mencoba membungkamnya dengan ciuman yang ganas, tidak memberinya kesempatan untuk menolak.

"Ugghh!" Arwen berhasil melepaskan dirinya dariku. Kakinya menendang badanku dan aku lengah. Dia langsung beringsut, menjauhi diriku. Aku menatapnya nanar. Dia menatapku balik dengan muka pucat dan nuansa ketakutan benar-benar terlihat dari matanya. Nafasku berat, dimana emosi bercampur, tapi bisa kurasakan ada kemarahan yang mendominasi.

Arwen menutupi buah dadanya yang tak terlindungi pakaian dengan tangannya, dan dengan tatapan kagetnya itu, dia berlari, bergerak cepat ke arah kamar mandi. Dia menutup pintunya dari dalam.

Musik masih mengalun.

Aku duduk dengan menangkupkan tanganku di mukaku.

Apa yang telah kulakukan selama ini? Aku diam-diam telah melukai Kyoko, keluargaku, harga diriku, dan sekarang aku juga melukai dirinya, dengan tindakanku yang seperti itu. Aku bisa merasakan aku berubah, sedikit demi sedikit menjadi orang yang tidak kukenali lagi.

Kenapa ini semua harus terjadi dan kenapa aku harus ada disini?

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd