racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
MDT SEASON 2 – PART 39
--------------------------------------------
Apa yang ada di pikiran anda kalau anda mendengar kata-kata sarapan?
Mungkin setangkup roti panggang dengan selai, lengkap dengan kopi dan teh. Bisa juga bubur ayam, sereal, maupun seporsi nasi goreng. Untuk orang yang bergaya hidup lebih sehat, menurut sepengetahuanku, mereka memilih sarapan dengan buah-buahan, mungkin ditambah dengan sedikit oat dan segelas susu segar.
Kalau aku, biasanya sarapanku adalah makanan biasa sehari-hari, dengan lauk pauk lengkap. Karena biasanya di rumahku, makanan untuk sarapan juga merupakan makanan yang kami makan pada saat siang dan malam hari.
Biasanya ibuku dan Kyoko yang menyiapkan sarapan pagi. Ai kadang membantu, kalau tidak malas. Aku kadang membantu, kalau ibuku sedang tidak sehat dan Kyoko berjibaku sendiri, dengan catatan kalau aku bangunnya pagi. Dan seorang Arya bangun pagi itu adalah mitos.
Tapi hari ini, pagi ini, sarapanku berbeda.
"Nnh.."
Arwen. Dia sarapanku hari ini. Dia telentang di tengah kasur, tanpa busana. Aku menggenggam kedua tangannya, pahanya terbuka lebar. Aku sedang melumat bibir vaginanya, kujilati semua permukaannya yang bisa kujangkau dengan lidahku. Dari tadi dia mengerang pelan, menikmati setiap inci bagian kewanitaannya yang mengirim rangsangan ke otaknya, sebagai reaksi dari lidahku dan bibirku yang nakal.
Tadi malam, sehabis pulang dari Clarke Quay, kami langsung masuk ke kamar dan berhubungan seks dengan singkat. Mungin karena kami berdua lelah, jadi tidak ada yang spesial malam itu. Cuma casual seks seperti biasanya saja, tidak berlebihan dan juga tidak kurang.
Setelahnya, mau tak mau kami terpaksa mandi bersama. Satu sesi yang awkward setelah kami bersama-sama mandi di shower, bermesraan di dalam sana, berciuman dan saling menjelajahi tubuh di bawah guyuran air hangat. Tidak ada maksudku untuk apa-apa, selain hanya karena penasaran akan setiap celah tubuhnya, tapi dia tampaknya merespon perlakuanku dengan gerakan-gerakan yang lebih lembut dan hangat daripada biasanya.
Dan itu terbukti ketika dia menahanku sebelum aku keluar dari shower booth. Dia berbisik pelan malam kemarin. "Ada bathtub... Mau nemenin aku di dalem sana? Sebelum tidur?" bisiknya dengan tatapan mata yang berbinar. Seperti anak kecil di depan toko mainan.
Sebagai ayah yang baik, aku mengangguk ketika anakku meminta mainan. Toh uangnya ada, waktunya ada dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Dan itulah yang kulakukan ke Arwen kemarin malam.
"Boleh" jawabku pelan. Dan muka penuh harapnya berubah jadi senyum manis yang kurasa sedikit berlebihan, walau dia tampak berusaha untuk menyembunyikan ekspresinya.
Dan terjadilah. Dia mengisi bathtubnya dengan air hangat dan entah apa lagi yang dibutuhkan. Dan kami masuk ke dalam sana. Aku bersender dengan santai dan agak kaku, entah aku harus menikmati kondisi itu atau tidak. Aku tidak paham pula kenapa dia merasa perlu membawa handphonenya ke dalam kamar mandi, setahuku iphone tidak tahan air dan debu.
Aku pun tidak bereaksi ketika dia menyandarkan badannya ke badanku di dalam bathtub. Perfect, seorang perempuan muda berumur pertengahan dua puluhan sedang berendam bareng lelaki berumur 30an awal, suami orang.
Dan aku makin bingung kenapa dia harus menyalakan handphonenya, memutar sesuatu di youtube.
"Aku lagi suka lagu ini" bisiknya sambil bersandar dan menikmati badanku yang bertindak melindunginya dari dinding bathtub.
"Look at me,
I'm as helpless as a kitten up a tree;
And I feel like I'm clingin' to a cloud,
I can' t understand
I get misty, just holding your hand."
Misty. Lagu Jazz lama yang ditulis oleh Eroll Garner. Dipopulerkan oleh Ella Fitzgerald.
"Walk my way,
And a thousand violins begin to play,
Or it might be the sound of your hello,
That music I hear,
I get misty, the moment you're near."
Misty. Berkabut. Tidak jelas. Aku pernah membedah lagu ini dulu bersama Karina. Mulai dari progresi musiknya, dan tema lagunya. Misty. Berkabut.
"Can't you see that you're leading me on?
And it's just what I want you to do,
Don't you notice how hopelessly
I'm lost
That's why I'm following you."
Misty disini, kata Karina, bisa juga berarti perasaan berat di mata, ketika kita ingin menangis. Entah menangis karena apa.
Tersesat, kata yang nyanyi. Dan dia mengikuti seseorang itu karena dia tersesat. Tersesat, hopeless.
"On my own,
When I wander through this wonderland alone,
Never knowing my right foot from my left
My hat from my glove
I'm too misty, and too much in love."
Entah. Entah apa maksudnya dia menyetel lagu ini sekarang. Dia tidak berkata satu patah katapun. Dia hanya menggumamkan lagunya sambil menyenderkan kepalanya di dadaku.
"Too misty,
And too much
In love"
Too much apalah, entahlah. Dan pagi ini sepertinya aku yang merasakan too much in love. Bukan love yang itu, tapi making love. Having sex. You name it. Aku berusaha memikirkan dengan keras, apa dan kenapa dia memutar lagu itu di dalam kamar mandi semalam. Apa karena dia memang sedang suka lagu itu? Apa karena terbawa suasana? Atau karena kondisi diantara kami berdua menyebabkan ada perubahan perasaan yang muncul dari dalam dirinya.
Entahlah. Peduli amat. Yang pasti dia terlihat makin clingy dan lembut perangainya di depanku, dan yang terpenting, kondisi sekarang membuatku lebih leluasa untuk menjelajahi tubuhnya dan berbuat seenak diriku. Seenak penisku lebih tepatnya.
Semalam juga, setelah mandi, dia langsung memakai baju tidur, dan mengajakku naik ke kasur, dengan mata berbinar-binar. Aku tidak memikirkan apapun lagi selain tidur. Karena hari itu sungguh melelahkan dan kami sempat melakukan hubungan seksual sekali sebelum mandi, aku mengiyakan saja. Aku memanjat tempat tidur dan langsung berlindung di balik selimut, melindungi diriku dari kerasnya air conditioner di hotel yang berada di pusat Singapura ini.
Aku masih ingat, semalam aku hanya berbaring dengan malas, menatap langit-langit. Arwen lantas mendekatiku dan memelukku dari samping, seakan aku miliknya. Karena posisinya agak tidak nyaman, aku malah memeluknya dan membiarkan dia bersandar di badanku, sesukanya. Dia meringkuk di sampingku seperti kucing yang kedinginan, helpless as a kitten up a tree.
Kami berdiam diri sampai terlelap.
Dan ketika bangun, aku langsung bersemangat melihat dirinya yang masih tidur. Maka tanpa aba-aba dan membangunkannya terlebih dahulu, aku langsung melumat lehernya, meremas buah dadanya dan menelanjanginya. Dia kaget dan bangun, tapi lantas pasrah. Pasrah sampai di detik ini, detik dimana aku sedang me "makan" nya. Memakan vaginanya. Menjilati setiap apapun yang ada disana, merasakan rasanya, merasakan kewanitaannya.
Dia pasrah, walaupun tadi kaget di permulaan. Siapa yang menyangka kalau kau bangun, mendapati lelaki di sebelahmu yang bukan suami dan pacarmu itu melucuti baju tidurmu, membugilimu tanpa aba-aba dan tidak peduli kamu masih tidur?
Dan sekarang dia tetap mengerang, merintih pelan setiap aku berhasil menyentuh spot-spot yang sensitif dengan bibirku.
I'm not that good at sex. I'm not that good. But i surely know what to do with this girl. I want to fuck her. I want to fuck her hard. Dan aku benar-benar menikmati menjilati daerah kewanitaannya, menikmati rasanya, menikmati suara berisik yang ia timbulkan.
Tak jarang ia menggelinjang lemah karena kegelian. Siapa yang tidak? Dia benar-benar tenggelam dalam kenikmatan seksual yang kuberikan. Aku bisa melihatnya dari ekspresi wajahnya, suara-suara rintihan pelan yang terus memenuhi kamar ini. Reaksi tubuhnya, yang begitu responsif membuatku menjadi semakin semangat. Dan sialnya, aku hanya membawa tiga buah kondom kesini. Satu sudah dipakai semalam. Dan mungkin sekarang akan kupakai lagi.
“Mas... Ah...” Arwen menggigit bibirnya sendiri, mencoba menikmati dan merasakan nikmatnya rangsangan yang sekarang sedang menjalar di seluruh tubuhnya.
Kondom sudah tergeletak di meja samping kasur. Cuma tinggal menunggu waktu saja sampai penisku akan segera masuk ke dalam tubuhnya, menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsu seks diriku.
Aku lantas melepas mulutku dari bibir vaginanya, dan menatap ke badannya yang telanjang bulat, tak berdaya. Aku melirik ke arah kondom. Ah fuck it. Bisa hilang flow nafsuku kalau repot-repot buka kondom. Kenapa tak dari awal saja kusiapkan kondomnya. Sekarang malah susah, karena penisku sudah berdiri tegak sekali dan tidak tahan untuk segera menyetubuhinya.
Aku pun lantas menarik pinggangnya, membalik tubuhnya.
"Mas?" tanyanya karena aku tampaknya tidak menyentuh kondom yang tergeletak. "Jangan... Nnh!" terpaksa. Maaf. Aku terpaksa melakukannya karena kepalaku sudah mau pecah akibat nafsu yang benar benar memuncak.
Posisiku duduk, menarik badannya yang membelakangiku, sehingga dia terpaksa bertumpu dengan tangannya ke tumpukan bantal. Aku jadi leluasa mempermainkan buah dadanya dari belakang. Tapi tanganku fokus untuk menggenggam pinggangnya yang ramping, agar aku bisa leluasa menggerakkan penisku di dalam lubang vaginanya yang sudah sangat licin itu.
"Aah... Aaahh..." suaranya menggema di dalam kamar. Hotel Bintang lima. Sudah seharusnya suara erangannya tak kemana-mana, tak bocor ke kamar sebelah. Dan suara erangannya bersahut-sahutan dengan suara pantatnya yang menepuk-nepuk pahaku.
Aku terus memompakan penisku ke dalam dirinya. Aku tidak mempedulikan lagi soal kenikmatan dirinya, hanya diriku sendiri saja, dan aku hanya berjuang untuk mencapai puncak sendirian.
Tangan kirinya mendadak memegang tanganku, dan dia hanya bertumpu ke satu tangan. Ya, aku tahu, posisi seperti ini memang tidak ideal. Sebuah pseudo-doggy style yang tidak nyaman. But what the hell. I don't care. Aku cuma peduli kepada suara-suara rintihan keenakan Arwen yang menjadi musik yang memberikanku semangat.
Semangat untuk terus memacu diriku ke puncak kenikmatan. Sendirian.
Aku lantas melepas penisku dari badannya dan aku membiarkannya jatuh terkulai di kasur. Aku membalik badannya lagi, dan aku merayap cepat ke arah mukanya. Aku menggenggam penisku sendiri di depan mukanya. Dia hanya menatapku dengan matanya yang tampak berat. Bagaimana tak berat, lima belas menit yang lalu dia masih tidur. Dan sekarang ada penisku di depan matanya, setelah aku menelanjanginya, menjilati vaginanya dan menyetubuhinya tanpa persetujuan terlebih dahulu.
"Mmh..." Arwen kaget dan menutup matanya saat spermaku muncrat dan membasahi mukanya. Tidak banyak, namun cukup untuk membuat sebuah pemandangan menggairahkan seorang perempuan berlumur sperma lelaki di mukanya.
Nafasku ngos-ngosan, berat. Pandanganku hanya tertuju ke mata Arwen. Dia yang menatapku dengan mukanya yang kotor oleh cairan tubuhku itu. Pandangan mata logikaku sudah kabur, alias misty.
"Too misty,
And too much
In lust"
--------------------------------------------
Kami berdua melewatkan sarapan, tapi rasanya tak mungkin kami melewatkan makan siang. Dan pilihan makan siang kali ini cukup beresiko. Kami makan berdua di sebuah restoran yang sepi di sebuah mall kecil di dekat hotel kami.
Kami diam.
Perjalanan yang terasa berat dan jauh ke tempat ini dari hotel, karena kami harus berjalan di tengah kerumunan manusia. Jujur, aku takut bertemu dengan orang yang mungkin mengenali kami berdua. Muka kami bukanlah muka asing bagi kebanyakan orang di Jakarta. Dalam beberapa kesempatan Arwen malah berusaha meraih tanganku, tapi tak pernah kusambut. Aku tidak mau menghadapi resiko yang berlebihan. Jika kami makan atau jalan berdua tanpa harus saling menggandeng, banyak alasan yang bisa kuberikan kepada orang-orang. Aku bisa bilang kalau aku tak sengaja berpapasan dengannya dan memutuskan untuk makan siang bareng.
Tapi gandengan? Too much.
Beberapa kali, tiga atau empat kali aku berusaha menepis tangan ARwen dengan sopan.
Iya aku tahu, ini bukan Indonesia. Tapi di negara ini mungkin ada orang Indonesia atau mungkin malah orang Singapura yang mengenali kami. Dan kami terpaksa makan di luar. Harga makanan room service ternyata sangat mahal. Aku jadi merasa tolol kemarin malam, dimana aku menyarankan Arwen untuk memesan room service.
Makan. Dalam diam.
Itu kondisi kami sekarang. Diam, tak mengobrol. Lupakanlah aku dan Arwen yang bisa mengobrol panjang lebar seperti dulu. Kini yang ada hanya keheningan yang tidak nyaman, selain juga aku merasa tidak aman, takut sewaktu-waktu orang-orang yang mungkin mengenaliku dan dirinya menyergap dari belakang punggungku.
Dan aku pun juga jadi tidak bisa menikmati makanan yang ada di hadapanku. Aku sangat lapar, tapi rasanya mual. Yang kupikirkan hanya dua hal. Takut bertemu orang yang mengenali kami dan tubuh telanjang perempuan yang ada di depanku. Tolol. Adrenalinku ada dalam titik tertingginya saat ini, tapi hatiku sangat tidak tenang.
Alhasil, makanan yang harusnya terasa enak itu, terasa sangat hambar di lidahku, dan aku pun tidak konsentrasi makan. Tidak konsentrasi makan sama dengan berantakan. Entah lah. Aku intinya tidak selera.
"Mas?" tegur Arwen mendadak, menghentikan pikiranku yang lari kemana-mana ini.
"Kenapa?"
"Itu" dia menunjuk ke bibirnya.
"Apa?" tanyaku bingung. Aku lalu berusaha menyeka sisi kiri bibirku. Tampaknya dia mau memberitahu kalau ada kotoran makanan disana.
"Bukan disitu" lanjutnya sambil mengambil tisu dari tasnya. Dan dia menyentuh bibirku yang sebelah kanan, menghapus sisa makanan disana. Aku pun diam. Diam melihatnya mencoba membersihkan bibirku. Aku hanya menatap kosong ke tatapannya yang mendadak seperti bisa memperhatikan detil-detil kecil di mukaku itu.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Capek? Aku tak peduli.
Arwen sudah habis tampaknya. Dia berlindung di balik selimut sore itu. Dia tampak lemas. Tentunya karena sehabis makan siang, ada dua sesi persetubuhan lagi yang kami lakukan. Bentuk energiku juga sudah tidak karuan. Rasanya pegal, terutama di bagian alat vital. Benar kata orang. Berlebihan itu tidak baik.
Pikiranku masih kotor tapi, walaupun aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi. Kondom sudah habis, dan memang aku terpikir untuk nanti malam membelinya sambil jalan keluar makan. Aku sudah tidak tahu lagi teman-temanku pada kemana. Kang Bimo sekeluarga, Kang Wira, Sena, Rendy dan Anggia katanya main ke Universal Studios. Stefan punya agenda sendiri. Entahlah, cari prostitusi mungkin, tapi dia setahuku tidak suka prostitusi dan ini masih sore.
Sejauh ini tidak ada yang mencariku di grup Hantaman. Mungkin karena mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing dan mereka sama-sama termakan oleh berita kalau aku bertemu dengan saudara sepupuku disini. Apalagi yang punya hajar, Anin, mungkin sedang sibuk bersama Zee pasca pernikahan.
Aku menatap televisi dengan perasaan kosong. Siaran berita Singapura. Tentang berita politik Singapura. Berita yang tak kumengerti. Dan tak ingin kumengerti. Arwen meringkuk di sampingku, dengan memakai t-shirtku dan celana dalam saja. Sedangkan aku telanjang bulat. Dia tampak berusaha menutup matanya sambil menggamit lenganku. Tak jarang dia menciumi tanganku dan mencoba merubah posisinya beberapa kali agar lebih nyaman.
Pikiranku terus terbayang-bayang akan dua adegan seks tadi. Yang pertama sehabis makan, hanya adegan seks biasa, dengan posisi dominan misionaris, tapi aku tampaknya terlalu bernafsu menciuminya, bibirnya basah oleh pertukaran cairan, buah dadanya kuremas, kugigit, kujilati dengan ganas. Dan dia pun akhirnya mencapai orgasmenya siang ini, setelah tadi pagi hanya jadi objek seks saja.
Tapi yang kedua, entah kenapa kami berdua jadi benar-benar liar.
Semua bermula dari dirinya yang mendadak ingin mandi. Tapi kuhentikan dia. Siapa yang tahan melihat perempuan cantik telanjang di dalam kamar hotel? Aku langsung melumatnya, dan langsung duduk di kursi, memintanya duduk di atas pangkuanku. Kami bersetubuh sambil duduk di kursi, sambil saling melumat dan bercumbu dengan ganas.
Kami lantas berpindah ke atas kasur, dan karena mungkin aku sudah terlalu lelah, aku tampak malas untuk menyetubuhinya dengan cara konvensional. Jadilah aku disibukkan oleh kegiatan menciumi buah dadanya, menjilati tiap jengkal permukaannya.
Tanganku yang bertindak di dalam lubang vaginanya. Jari-jariku bermain, mencabulinya, menghabisinya dan aku tidak bisa mendespriksikan lagi apa yang kulakukan padanya. Aku menstimulasi dirinya dengan menggunakan tangan.
Dan semuanya berakhir di posisi 69 yang dipaksakan. Aku berada di atas tubuhnya, dengan malas menjilati lagi vaginanya, sementara dia berjuang, tampak tersedak dan sesak oleh penisku yang dengan asal-asalan masuk ke dalam mulutnya.
Aku tak peduli.
Mulutnya kujejali dengan penisku. Dan terserah dia, mau dengan cara apa memuaskanku. Entah dengan tangannya, atau dengan lidah dan bibirnya. Terserah. Dia tampak susah payah melakukannya karena posisi kami berdua tidak sempurna. Tapi aku gelap mata. Kujejalkan batang penisku ke dalam mulutnya, dan tidak sekali dua kali dia kerepotan, terbatuk, tersedak dan air liurnya pun memenuhi bibirnya, menetes-netes tak karuan akibat ulahku.
Dan akhirnya aku kembali mengeluarkan spermaku, di dalam mulutnya. Pasti rasanya sudah tidak karuan untuknya. Buatku juga. Nikmat, tapi makin lama makin sedikit keluarnya.
Bahkan di detik inipun, aku sudah tidak mampu untuk melakukan hubungan seks lagi. Coba kita hitung. Pertama, malam kemarin setelah pulang makan. Kedua, tadi pagi. Ketiga, setelah makan siang. Keempat, sore tadi. Empat kali.
Gila.
Ini salah satu fuck-athlon terlama yang pernah kulakukan. Dan akibatnya aku duduk dengan lunglai di kasur, meluruskan kakiku, sambil menonton televisi ala kadarnya.
Arwen meregangkan badannya, mencoba merasakan rasa-rasa pegal di tubuhnya. Dia menatapku lalu tersenyum kecil. Tanpa suara. Tanpa kata. Tanpa kalimat. Aku pun merespon gerakan tubuhnya dengan memeluk kepalanya dengan tanganku. Dia masuk ke dalam pelukanku, dan sepertinya dia menikmati momen ini.
"Mas.." bisiknya mendadak.
"Hmm?"
"Itu handphoneku, tolong" dia menunjuk ke arah kiri kasur dengan matanya. Posisi tidur kami semalam, dia berada di sisi kiri dan aku di sisi kanan. Tapi karena kami sangat aktif berhubungan seks, kami jadi bertukar posisi sekarang. Dan handphonenya tertinggal di meja samping kasur.
Aku merentangkan tubuhku dan meraih handphonenya. Kuberikan dengan gerakan yang pelan kepadanya. Dia menerimanya dengan senyum dan mencium badanku.
"Makasih sayang.."
Apa?
Aku terpaku dan menatapnya tajam. Arwen tampak panik dan menatapku balik.
"Sayang? Maksudnya?" aku bertanya dengan nada yang tajam, melihat air mukanya yang berubah dari damai menjadi panik.
Maksudnya apa?
--------------------------------------------
BERSAMBUNG