Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Valentin apa valerie sih dulu nama pemain orkestra nya?

Thanks update nya om
 
Jadi galau ngikutin kisah Arya-Arwen. Tapi emang gitu sih klo nakalnya telat... Hihihi...
 
korban telat nakal aya nambah lagi nggak ya? masa cuman sama arwen doang hu
 
Update yang ini bikin dag dig dug dan miris
Dag dig dug saat Arya ketahuan sedikit dan miris karena Kyoko tetap positive thinking :(
 
MDT SEASON 2 – PART 36

--------------------------------------------

01937310.jpg

“Each betrayal begins with trust” – Martin Luther.

Martin Luther, seorang reformis gereja dari Jerman pernah berkata seperti itu. Awal mula sebuah pengkhianatan adalah kepercayaan. Kalau untuk kasus ini, entahlah. Apakah kepercayaan Kyoko yang sangat kuat kepadaku, ataukah kepercayaan diriku yang merasa yakin tidak akan mengulang kesalahan yang sama seperti ayahku.

Tapi menurut Stefan… “Cuma tidur bareng aja kan? Gak ngasih nafkah batin?”

Bukan affair dia bilang. Gak pake feeling dia bilang. Human nature dia bilang. Semua-semuanya diwajarkan oleh Stefan dan kadang-kadang dia tertawa kalau aku menyuarakan rasa tidak enak hati di dalam diriku. Dan sekarang aku sudah lupa berapa kali dalam kurun waktu ini aku saling berhubungan seks sembunyi-sembunyi dengan Arwen.

Dan sekarang aku ada di dalam mobil, bersama si setan alas sialan titisan monster ular mutan berkepala dua. Alias Stefanus Giri Darmawan. Dia merokok dengan nyamannya, mengantarkanku ke rumah setelah sesi latihan di Music Hall. Latihannya berjalan cukup lancar, tanpa kendala berarti dan Stefan sepertinya makin gencar mengobrol dengan para perempuan-perempuan cantik dan lucu yang beberapa diantaranya menghiasi line-up string orchestranya.

Aroma kuat rokok putih menyelimuti mobil Stefan.

“Makan dulu yuk, Senopati, mau gak?” tanya Stefan dengan muka nakal.
“Boleh…. Gak ada makanan di rumah, makan siang tadi udah gue abisin…… Kelaperan banget gue akhir-akhir ini…” balasku.

“Ngewe mulu sih…” tawanya. Iya, ngewe mulu. Sudah sekitar entah berapa kali. Tapi yang pasti kurang dari sepuluh kali. Rasanya. Kayaknya. Entah lah.

“Bangke…..”
“Jangan bangke-bangke dong Mas, mumpung lagi ada, nikmatin aja…. Tapi bosen gak sih lo kalo ngewe di hotel mulu…. Jangan di hotel yang sama dong, ntar ketauan orang, lo bedua masuk akun gosip instagram gak lucu jadinya….” tawa Stefan. Iya, dia tertawa terus akhir-akhir ini.

“Abis dimana? Dan lo pikir gue siapa, masuk-masuk akun gosip segala, emangnya gue Rapi Amat…” kesalku sambil membecandai nama seorang terkenal yang sama sekali tidak punya bakat itu.
“Ya, lo tuh public figure, dan elo personanya bukan Bad Boy begok… Kalo gue ketangkep di club lagi mabok atau lagi jilat tete orang, itu pasti bakal dibilang wajar…. Nah kalo elo, kepergok keluar hotel sore-sore atau siang… apa kata orang?”

“Gue gak pernah turun bareng dia dari kamar, dan itu hotel tempat orang tidur, bukan terkenal hotel mesum….” jawabku.
“Oh elu sih dah pernah ya dulu ama bini lo ngewe di hotel mesum…” ledek Stefan.
“Gak fokus gini sih kalimat-kalimat elo” kesalku.

“Gue excited soalnya, minggu depan Anin kawin, pasti lucu, terus abis itu minggu depannya kita konser, abis beres konser, beres urusan sama cewek-cewek string orchestra itu secara profesional, sumpelin titit deh ke memek memek sama mulut mulut mereka…..”
“Sembarangan”
“Lo juga sama, nyumpel titit di mulutnya Arwen…. Dan sampe sekarang lo gak pernah moto doi bugil lho…. Padahal gue selalu minta, dan dia juga ga ragu-ragu tiap ngajakin ngewe, selalu ngirim foto seksi ke elo…” balas Stefan.

“Yah, kan itu bukan buat elo…” jawabku pelan sambil memutar-mutar handphoneku.

“Terus modus operandi kalian jadi gitu? Dm-dm an lewat instagram??” tanya Stefan menyelidik.
“Iyak”
“Gak praktis amat…”
“Kebiasaan, ga tau kenapa……” jawabku diplomatis.

Iya. Aneh. Entah kenapa aku dan dirinya jadi punya kebiasaan berkomunikasi lewat direct message-nya instagram. Semuanya berawal dari foto pertama yang ia kirim waktu itu. Foto yang menampilkan belahan dadanya yang proporsional dan mulut terbukanya yang katanya siap untuk dilumat dan diciumi sampai habis.

Entah sampai kapan kami berdua melakukan ini. Akupun tidak paham dan tidak mengerti kapan harus berakhirnya. Sepertinya tidak ada kata berhenti dari kami berdua. Setiap pulang, bertemu Kyoko, atau ketika beraktivitas bersama anak-anak Hantaman, atau sekedar nongkrong bersama Arka dan Jacob yang terpaksa vakum dulu mengiringiku, perasaan bersalah pasti selalu ada. Apalagi kalau ada yang mention-mention soal Kyoko di hadapanku.

Atau memuji hubunganku dengan istriku, atau juga malah ada yang membuat jantungku berhenti mendadak, seperti menanyakan kabar Arwen yang sudah lama tak mampir ke Mitaka. Entahlah. Sejauh ini cuma Stefan yang tahu soal rahasia ini. Dan aku tidak berminat orang lain mengetahuinya.

“Tumben sekarang gak ngecek?” tanya Stefan yang mengarahkan mobilnya ke arah komplek Widya Chandra.
“Ngecek apaan?”
“Instagram”

“Buat apa sih Fan?” bingungku.
“Besok kan kita gak ada latihan, lo agak nganggur besok, jadi lo bisa pake hari lo buat ngewe sama Arwen men, lo ajak aja dia duluan, masa dia mulu yang ngajak?”
“Gak kayak gitu”

“Gak kayak gitu apanya?” bingung si Setan.
“Gak semuanya dia yang ngajak…”
“Ooo… Bandel juga ternyata, gue pikir dia yang demen banget sama elo terus lo manfaatin buat jadi tatakan peju doang… Ternyata lo juga demen sama doi toh….”

“Demen gimana maksud lo… Gak lebih dari yang lo bilang waktu itu kok… “ Ya, gak dalam maksud affair atau pakai hati kok.
“Demen buat dijadiin tatakan peju maksudnya” tawa Stefan.

“Kontol” kesalku.

“Sewot amat akhir-akhir ini sih, harusnya lo bangga dong, bisa nidurin cewek kayak si Arwen… Cantik, lucu, smart, gue jamin, pasti banyak orang jadiin foto IG dia bacol…”
“Hahh… Ya tapi tetep aja gimana Fan… Gue juga ga nyangka bisa jadi kayak gini…” aku mendesah dan mengeluarkan nafas yang cukup panjang.

“Kalo lo pikir itu salah atau enggak kan itu gimana perspektif lo aja, dan yang penting lo mesti inget, lo mesti punya exit plan, kalo sewaktu-waktu dia jadi attach sama elo dan pengen sesuatu yang lebih dari elo…”
“Nasihat nih? Dari orang yang kebablasan waktu sama Chiaki nih?” ledekku balik.
“Kampret”

“Makanya jangan suka ngatain orang, kita sama-sama udah pernah jatoh dari kebiasaan kita bego” tawaku. Tertawa. Sialan. Berbuat salah lalu tertawa. Haha. Absurd. Makin lama dosa makin dijalankan, makin terasa mati rasa semuanya, dan lama-lama jadi biasa untuk dibicarakan.

“Nah, mumpung lo jatoh, lo nikmatin aja gak sih? Ntar kalo udah bosen, lo tinggalin aja, tapi jangan dioper ke gue, masih inget kan rules gue?” tanya Stefan sambil memilih restoran mana yang patut kami datangi.
“Yah boleh, lah nikmati suka-suka Stefan”
“Gitu dong!! Makanya jangan di sikat di kamar hotel aja, bosen pasti, bawa gitu kemana kek, di mobil, di kantornya lagi, atau pas rumah kosong, lo entot di tengah-tengah studio, di atas lantai kayu gitu…. Mantep pasti kayak settingan film porno bagus” dia memberi saran khas Stefan.
“Manaaa mungkin gue bawa dia ke rumah begok”
“Siapa tau, kan rumah sepi mulu kan? Kayak gue gak tau aja lo sama Karina pernah ngewe di studio kan dulu?” tawanya cekikikan.

“APA? LO TAU DARI MANA??”

Stefan hanya tertawa sambil mengambil ancang-ancang untuk parkir.

“WOI TAU DARI MANAAAAA”
“Elo tuh suka gak rapih kalo abis ngewe…. kontol….” Stefan geleng-geleng kepala sambil parkir. “Makanya gue selalu ingetin kalo abis ngewe sama Arwen itu yang bersih, rapih, biar gak ketauan….”
“Tau dari mana Fan?” aku bingung. Tahu darimana dia? Aku tak pernah menangkap dia mengintip. Atau jangan-jangan dia pernah tahu dari Karina? Tapi Karina pasti tak mungkin cerita soal hal-hal seperti itu pada orang lain, baik dulu maupun sekarang. Sialan.

“Pokoknya gue tau aja” dia mematikan mobilnya dan bersiap untuk turun.
“Sakit lo pasti ngintip”
“Ya, orang kayak gue insting soal seks nya pasti tinggi, jadi lo jangan pertanyain lagi ya….” dia membuka pintu mobilnya dan turun. “Mending lo turun terus makan, kalo gak makan mati” tawanya, menyisakan kebingungan dalam diriku. Dari mana Stefan tahu?

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Ada yang aneh hari ini. Seperti yang Stefan dan aku tebak, ketika kami berdua sedang makan malam, Arwen mengirim pesan untuk janjian bertemu besok. Awalannya sama.

“Besok free?”
“Iya, same place?”
“Nope. This time pick me up near my office….” pesannya yang membuatku bingung. Jemput deket kantor. Maksudnya gimana? Mau diajak kemana aku? Yang pasti aku akan menolak kalau diajak ke tempat publik seperti makan siang bersama, ataupun nonton bioskop. Big no-no. Selain menghindari mata publik yang tajam, aku juga menghindari attachment yang mungkin akan muncul kalau mendadak dia mengajak aku melakukan hal-hal yang lazim dilakukan besama pasangan itu.

Mobilku berjalan pelan menuju area stasiun radio tempat dia bekerja. Dia bilang agar dijemput di dekat sebuah minimarket yang ada di dekat situ. Entah kenapa mendengar dimana dia minta dijemput saja sudah cukup untuk membuatku sport jantung. Itu kan tempat umum. Kalau ada yang memergoki kami bagaimana?

Tapi entah kenapa rasa penasaran dan adrenalinku mengalahkan rasa paranoidku dan aku tetap menyetujui untuk menjemputnya disana.

Mobilku merayap dengan hati-hati, mencari sosok familiar yang katanya sudah berdiri di pinggir jalan. Ya. Aku melihatnya. Kemeja hitam, pegged jeans, sneakers, dan tote bag. Kacamata hitam menghiasi matanya. Aku menyalakan lampu sen dan merapat ke arahnya. Tanpa aba-aba aku membuka kunci pintu dan dia masuk ke dalam mobil, di sebelahku. Lalu aku jalan lagi. Lalu kami diam.

“Tumben” sapaku tanpa melihatnya.
“Gapapa…” jawabnya, tanpa melihatku dan tanpa membuka kacamata hitamnya. Dia siaran pagi hari ini. sekarang sudah jam 11 pagi menuju siang. Hari ini aku free, kosong, tidak ada agenda apa-apa. Itulah enak tak enaknya bekerja sebagai seorang aku. Kadang seminggu atau dua minggu lebih penuh dan padat, apalagi saat proses mastering album siapapun, tapi bisa saja ada hari-hari atau minggu-minggu dimana aku menganggur senganggur-nganggurnya.

“Kita kemana sekarang?” tanyaku, mempertanyakan kenapa aku diminta untuk menjemputnya di dekat kantornya.
“Ke arah kuningan…” jawabnya sambil memeriksa handphonenya.
“Ada apa disana?”
“Apartemen…..”
“Apartemen?” bingungku.

“Iya”
“Ada apa disana?”
“Jalan dulu aja Mas….” jawabnya terdiam. Mendadak aku merinding. Kenapa dia menyuruhku jalan ke apartemen?

“Kok gitu?” bingungku sambil tetap berjalan ke arah yang dia inginkan.
“Itu… Apa… Temenku ada apartemen kosong….”

“Terus kalo apartemen kosong maksudnya?”
“Aku pinjem”
“Berarti ada orang lain yang tau soal kita???” kagetku.

Arwen diam. Dia memandangku, matanya tidak terlihat tapi aku tahu, dibalik kacamata hitamnya, ada mata memelas. Semuanya tersirat dari ekspresi wajahnya.

“Apa-apaan ini? Saya gak mau” aku bereaksi sambil membelokkan mobil ke arah lain. Kami bisa berputar-putar sebentar disana, sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Minjem apartemen temen buat having sex sama suami orang? Gila apa?
“Tapi Mas….”
“Gak pake tapi-tapian…. Saya gak mau, apalagi ada orang lain yang tau soal kita..”

“Tapi aku mesti cerita sama orang…. Aku gak bisa gak cerita…” suaranya terdengar bergetar. “Mas mungkin ngerasain juga, rasa gak enak, dan pasti kita pengen share perasaan gak enak ini ke orang lain….”
“Gak mesti jadi minjem apartemen dia juga!”
“Dia yang nawarin”
“Kenapa dia sok baik sama kita? Emang kita bakal jadi apa?” tanyaku. Shit. Mungkin pertanyaanku terlalu tajam untuk Arwen. Dia tampak shock dan dia terdiam. Termangu di balik kacamata hitamnya. Atau jangan-jangan kacamata hitamnya itu untuk menutupi mata yang sembab atau apa. Entahlah.

“Terakhir, ada anak kantor yang liat aku keluar dari tempat kita biasa….. Terus malah jadi gosip, katanya mungkin aku habis ngapa-ngapain sama siapa lah… Sama orang ini, orang itu lah…. … Dan temenku coba klarifikasi soal gosipnya ke aku…. Temenku banget, jadi aku terpaksa cerita sama dia soal kita…” jelasnya dengan terpaksa.

“Oh…”
“Dia lantas nawarin buat make apartemennya yang kosong. Dia sewain tapi belom ada yang nyewa disana….. Kemaren aku bersihin, panggil go clean…”
“Kita bisa pindah hotel kalo emang gitu kejadiannya….” balasku.
“Enggak, please…. Jangan, apalagi deket kantor…. Aku gak mau resiko lagi digosipin kayak gitu…. Kesannya aku curang di tempat kerjaan….” oke. Masuk akal. Tapi tetap saja, walaupun dia tidak seperti yang disangkakan, tetap saja yang kami lakukan berdua itu salah.

“…..” Aku menghela nafas panjang.
“Please Mas…. Kesana aja…” mohonnya. Aku terpaksa mengangguk. Tidak bisa kutolak lagi kalau memang itu alasannya. Aku mengarahkan mobilku ke tempat yang ia inginkan. Aku menurutinya.

Kami berdua lantas diam lagi selama perjalanan. Memang tidak ada yang nyaman untuk diobrolkan. Aku memang terganggu oleh ceritanya tadi, dan cerita bagaimana dia jujur kepada temannya soal hubungannya denganku. Aku penasaran, bagaimana komentar temannya soal kami berdua. Aku ingin sekali bertanya, tapi aku menahan pertanyaanku. Aku tidak ingin terbawa empati. Karena dari tadi, yang kupikirkan adalah bagaimana dia berlutut telanjang di hadapanku, dengan semua lubang yang siap ia berikan kepadaku sepenuhnya.

Mobil berjalan, menuju area Kuningan, melewati yang perlu dilewati dan menuju tempat yang ingin kami tuju.

“Mas laper?” tanyanya mendadak.
“Udah jamnya makan sih emang….” jawabku diplomatis.
“Mau makan dulu?” tanyanya dengan nada khawatir. Aku menggeleng. Makan di tempat umum. Kamu gila apa? Sudah terlalu banyak informasi soal kita berdua keluar. Apalagi kalau makan bareng? Di muka umum? Mau jadi apa kita?

“Tapi mas…”
“Enggak…” jawabku pendek.

“Yaudah nanti gojek aja ya………” jawabnya tak kalah pendek. Aku mengangguk. Tidak. Tidak boleh kami terlihat di publik berdua-duaan seperti ini. Ini sudah lebih dari cukup. Ada orang lain selain Stefan tahu soal kami berdua itu sudah lebih dari cukup. Siapa lagi yang tahu soal aku dan Arwen? Siapa lagi?

“Itu… Masuknya lewat basement, jalannya penghuni….” bisik Arwen, dengan nada tak sabar. Entah tak sabar untuk apa. Tapi yang pasti, aku sudah tak sabar ingin turun dari mobil, agar kami berdua tidak terlihat sedang dua-duaan di dalam mobil. Dan aku juga sudah tak sabar ingin melumat badannya dan membolak-balik dirinya di tempat yang asing untukku ini.

Aku menurut, dan aku masuk ke parkiran basement. Arwen mengarahkanku ke tempat dimana aku bisa parkir. Dan tak lama kemudian, aku dan dia terdiam, dalam mobil. Di parkiran. Parkiran yang sepi siang ini. Dia melepas kacamata hitamnya dan menatapku.

“Maaf”
“Gapapa….”
“Aku gak cerita ke orang lain selain dia…. Dia gak bakal ngomong ke siapa-siapa Mas….. Pasti..” lanjutnya.
“Mudah-mudahan yang kamu bilang bener” balasku.
“Iya”

“Turun?”

Arwen mengangguk dan aku mematikan mesin mobilku.

--------------------------------------------

62234_10.jpg

Bekas makanan kami berdua teronggok di atas meja. Baju kami berdua pun teronggok di atas lantai. Apartemen yang dingin dan sepi itu jadi saksi bisu pergumulan kami berdua di sofa. Arwen terperangkap di pojok sofa, badannya bersandar pada tumpukan bantal, dan tak berdaya menjadi objek seksual untuk diriku.

Aku berdiri, menggenggam kakinya dan memompakan penisku ke dalam lubang vaginanya.

“Aahh… Uhhh….. Aaaa… Aahh… Nngggghh……..” dia bersuara dengan keras, mengikuti iramaku yang sedang menggagahinya. Dia tidak berdaya, terkulai begitu saja. Tangannya bertumpu di lengan sofa, tubuhnya yang ramping itu tergeletak lemah, menjadi korban dari nafsu birahiku. Tak jelas bagaimana awalnya kami jadi berhubungan seks disini, bukan di kamar.

Tadi begitu keluar dari lift yang membawa kami ke lantai ini, kami lantas masuk ke unit apartemen. Dan kami memesan makanan. Kami hanya terdiam, menunggu makanan datang. Aku dengan canggung menyelidik tiap sudut apartemen dengan furniture seadanya itu. Karena bosan menunggu makanan aku duduk di sofa. Arwen mengikutiku, dia juga duduk di sofa, lantas bersandar ke badanku. Aku memeluk bahunya dan menciumi rambutnya.

Entah kenapa, tiba-tiba kami langsung berciuman kembali dengan ganas. Bagaikan manusia yang sangat bernafsu untuk saling berhubungan seks karena lama tidak bertemu. Padahal tiga hari yang lalu, kami baru saja melakukannya di hotel tempat biasa kami bertemu.

Suara paha beradu dengan paha terdengar jelas di telingaku, bagaikan irama persetubuhan yang ganas. Di depan media sosial ataupun sehari-harinya, boleh lah dia tampil manis dan menggemaskan. Namun di depanku, dia selalu tampil panas, nakal dan menggairahkan.

Kami sudah bersetubuh begitu lama. Sehabis makan, kami lalu melanjutkan percumbuan kami dan lantas saling melucuti baju kami. Dan secara tak sadar, aku sudah berada di titik ini, dan karena sudah saking nafsunya, kondom yang selalu siap sedia tidak sempat kupakai lagi. Aku sudah gelap mata. Tujuanku sepertinya cuma satu, yaitu membugili Arwen dan menyetubuhinya dengan penuh nafsu kebinatangan seperti sekarang ini.

Buatku dia sangat-sangat menggairahkan dan dia pun tampil dengan begitu nakalnya. Dia selalu menurut kepadaku, padahal aku menjadikannya bulan-bulanan seksualku.

Dan semakin aku mendengar erangannya, aku semakin bersemangat untuk menghantamnya dengan penisku. Lubang vaginanya sudah sangat licin dan aku sangat leluasa mempermainkannya. Penisku bergerak maju mundur, menggila dalam tubuh Arwen. Dan dia juga menggila. Dia merintih, menggelinjang dan reaksi-reaksi tubuhnya sungguh menggemaskan.

Aku ingin menggigiti putingnya, aku ingin terus-terusan menjilati badannya, menciumnya dengan penuh nafsu, bermain lidah, menciumi bibir vaginanya, dan banyak lagi yang ingin kulakukan. Dia seperti pemuas nafsuku untuk sesuatu yang tidak pernah memuaskanku.

Entah nafsu macam apa itu.

“Mas… Ah… Aku…” dia merintih dengan suara bergetar. Suara penuh kenikmatan. Tapi sayang. Aku tidak bisa menemaninya untuk yang pertama hari ini. Penisku sudah mau meledak. Aku mencabut penisku dan lantas mengarahkannya ke mukanya. Arwen pasrah, dia membuka mulutnya dan menjilati ujung penisku, dengan mata tertutup, seakan-akan penisku ini permen lolipop kesukaannya.

Aku mengocok penisku dengan kasar. Dan tidak butuh waktu lama agar lahar panas itu keluar di mukanya dengan semena-mena.

“Nggh!” dia kaget saat peniskku memuntahkan sperma. Wajahnya lantas basah, terlumuri oleh cairan putih kental. Sperma menetes dari dagu dan hidungnya, mengenai dadanya. Dia menatapku dengan tatapan penuh gairah.

Stefan salah. Wanita terlihat paling cantik bukan hanya ketika dia telanjang atau ketika sedang melakukan oral seks. Tapi ketika wajahnya basah oleh sperma, dia juga terlihat sangat cantik.

--------------------------------------------

Aku membuka mataku. Badanku terasa pegal. Pegal sekali. Sendi-sendiku kaku dan otot-otot tubuhku terasa keras dan badanku sangat lemas.

Aku sudah berpakaian lengkap dan bangun dari pangkuan Arwen yang kupakai tadi sebagai bantal untuk sementara. Dia sedang asyik dengan handphonenya sendiri. Dan dia tersenyum tipis kepadaku saat aku membuka mataku dengan malasnya.

“Pulang?” tanyanya.
“Ayo” jawabku tanpa ekspresi. Aku baru saja bangun, bagaimana aku bisa berekspresi. Dan aku baru saja bangun dari pangkuan seorang perempuan yang bukan istriku.

Sehabis kami having sex, kami tadi dengan bodohnya mandi bersama di shower. Disana walaupun kami tidak berhubungan seks lagi, kami bercumbu dengan ganasnya dibawah siraman air dingin yang ada. Kami tidak peduli suhu airnya. Kami hanya mau membersihkan badan sambil bermesraan sebelum pulang. Sebelum kami berpisah lagi.

Sehabis mandi, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak agar aku punya tenaga lagi untuk mengarungi Jakarta. Aku lantas tiduran di sofa, dan Arwen duduk mengikutiku, menawarkan pahanya sebagai sandaranku sementara. Aku menurut saja dan lantas menutup mata.

Kami lantas membereskan sampah bekas kami. Baik itu sampah makanan, kondom yang minim dipakai hari ini, dan apapun yang bisa dibereskan.

Rasanya aku ingin segera pulang dan bertemu dengan kasurku kembali sembari menunggu Kyoko pulang.

“Mas Anin tinggal bentar lagi ya?” tanyanya sambil memperhatikanku memakai kaos kaki dan sepatu.
“Iya” jawabku pelan.
“Aku jadi ke Singapura….”
“Udah bilang Anin?”

“Enggak”
“Jadi ke Singapura tapi gak bilang Anin? Kawinan orang sana agak-agak kayak orang barat lho, tamunya duduk di meja yang udah ditentuin” balasku.

“Aku gak akan ke kawinan Mas Anin…”
“Terus kamu ngapain ke Singapur?”
“Aku mau spend time sama Mas Arya”

Deg. Jantungku berhenti mendadak. Maksudnya apa? Apa karena dia tahu Kyoko tidak ikut lantas dia memberanikan diri untuk menemaniku di Singapura?

“Maksudnya?”
“Aku gak akan datang ke nikahan Mas Anin…. Aku cuma mau bareng Mas Arya… Seharian… Disana… Boleh?” tanyanya dengan muka penuh harap.

Aku menelan ludah menatapnya. Suasana mendadak hening beberapa saat dan aku kehilangan kata-kata. Sepertinya butuh waktu lama untuk merangkai kalimat yang bisa menjawab keinginannya.

“Gak masalah sih… Saya pulang minggu… Tapi saya gak tau aransemen hotelnya gimana, Stefan yang pesenin semuanya….” jawabku tanpa berani melihat ke wajahnya lagi. Entah kenapa wajahnya seperti memelas meminta belas kasihan.
“Gapapa… Yang penting aku kesana, aku udah beli tiket, sampenya jumat malem…. Nanti kita langsung ketemu aja habis kawinan Mas Anin” lanjutnya.

“Bisa”
“Ok” dia tersenyum tipis, seperti merayakan kemenangan kecil. Kemenangan apa? Spend the entire day with me? Mau ngapain? Tapi aku tak kuasa menahan keinginannya karena aku merasa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan aku dan dirinya bergumul seharian penuh di kamar hotel. Oh Arya, kamu dan fantasi seksual kamu yang mendadak muncul tiba-tiba itu. Ya, aku tahu ini salah. Tapi bagaimana? Adrenalin dan rasa penasaranku akhir-akhir ini kubiarkan menguasai pergerakan tubuh dan mentalku.

Kami pun sekarang sudah siap pulang.

“Ayo” ajakku ke Arwen, untuk segera keluar dari unit apartemen sialan itu. Arwen menyambut ajakanku dengan senyum tersungging di bibir tipisnya. Kami lantas keluar dan dia mengunci pintu apartemen itu dengan teliti.

Kami berjalan dengan perlahan ke arah lift dan menunggu lift yang akan membawa kami ke parkiran dengan tidak sabar.

“Makasih udah mau diajak kesini” bisiknya di telingaku.
“Gapapa kok…” jawabku, seperti sudah lupa dengan obrolan tadi di mobil.

Pintu lift terbuka dan kami masuk ke dalam lift yang sunyi itu. Pintu lift kembali tertutup dan lift bergerak pelan ke lantai bawah. Perjalanan masih jauh. Masih ada ber-belas-belas lantai lagi yang harus ditempuh. Dan mendadak, Arwen mendekat, memeluk tanganku dan menjatuhkan kepalanya di bahuku.

Aku terdiam, merinding. Entah kenapa. Dia seperti sedang merayakan sebuah pencapaian dengan mengemukakan alasannya untuk pergi ke Singapura. Yakni untuk menghabiskan seharian penuh bersama seorang Arya. Mungkin banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan aku ingin sekali menanyakan kenapa dia perlu dan butuh untuk bersamaku sehari penuh. Tapi ini kesempatan yang baik untuk menyetubuhinya habis-habisan tanpa kenal waktu. Lagipula jauh dari siapa-siapa dan Stefan bisa menjauh saat itu terjadi. Anin akan sibuk dengan Zee, dan Bagas tidak akan peduli pada kami.

Jadi, demi sehari penuh bersetubuh, aku membiarkannya bersandar di bahuku, juga menggenggam tanganku.

Lantai 9. Ada orang akan masuk sepertinya dan pintu terbuka.

Jantungku lantas berhenti, melihat dua sosok yang ada di depan pintu lift. Arwen pun kaget, dan langsung melepaskan tangannya dari tanganku. Kami menatap dua orang itu dengan tatapan kaku.

Dua orang pria.

Yang satu rambutnya pendek, berkacamata, dengan brewok memenuhi wajahnya. Tangan kirinya penuh dengan tato. Dia memakai sepatu boots Dr Martens, jeans berwarna gelap dan t-shirt warna hitam bertuliskan “Minal Aidin Wal Faidzin” dalam aksara arab. Yang satu lagi berambut gondrong nanggung, dengan senyum yang selalu terpasang di wajahnya, kemeja flanel dan t-shirt bermotif tak jelas, celana pendek cargo dan sepatu converse hitam.

“Eh, nanaonan kalian disini?” tanya Kang Bimo.

Kang Bimo dan Kang Wira.

Shit.

Fuck.

Aku dan Arwen mundur teratur dan saling lihat-lihatan.

“Ah… Habis ketemu temen Kang…” jawabku kaget. Aku dan Arwen sama sekali tidak mengantisipasi bertemu dengan mereka berdua, dan kenapa harus disini? Kenapa dari sekian banyak tempat di dunia, kami harus bertemu dengan Kang Bimo dan Kang Wira? Kenapa mereka ada disini? Kenapa harus ketemu mereka? Kenapa?

“Temen?” tanya Kang Wira dengan seringai khasnya.
“Sarua urang ge, abis ketemu temen Ya…” senyum Kang Bimo.

Senyum mereka berdua aneh.

“Temen… Siapa?” tanyaku gugup. Aku dan Arwen saling lihat-lihatan, dan bertukar gesture aneh.

“Itu, vokalisnya Human In Disguise, kan tinggal disini” jawab Kang Bimo, sambil memainkan kotak rokok di tangannya. Shit. Vokalisnya Human In Disguise tinggal disini? Aku mengenalnya walau jarang bertemu. Di Tower yang sama pula. Tower yang sama dengan unit apartemen milik teman Arwen yang jadi saksi bisu persetubuhan kami berdua.

“Ntar mau ke tempatnya Cheryl, ngilu yu..” senyum Kang Wira. Senyumnya aneh. Mereka berdua melihatku dan Arwen dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan menyelidik dan senyum mencurigakan. Aku mengangguk ke mereka, mengiyakan untuk datang ke tempatnya Cheryl.

Entah kenapa aku mengiyakan, tapi yang pasti mungkin karena panik atau gugup. Keringat dingin mendadak merayap di punggungku. Entah ada atau tidak, tapi rasanya begitu. Sementara Arwen yang kukenal, memang sedang sulit menyembunyikan ekspresi hati di wajahnya, dan dia terlihat sangat panik. Dia berulang kali melihat ke arahku, dengan tatapan super khawatir. Tangannya terlihat tidak nyaman berada di tubuhnya. Dia berulang kali kulihat menggenggam entah tasnya atau ujung kemejanya.

“Kalian abis ketemu temen?”
“Iya Kang” aku menjawabkan untuk diriku dan Arwen. Kang Bimo yang bertanya cuma tersenyum. Lift berhenti di lobby dan Kang Bimo lantas menepuk pundakku.

“Duh, si Arya…. Duluan yah…Tar ditunggu okeh?” Mereka berdua tersenyum jahil dan berjalan keluar. Tepukan pundak itu terasa seperti petir yang menyambar diriku.

Apa-apaan ini?

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd