racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
--------------------------------------------
“LO ABIS NGEWE???”
Aku hanya bisa menatap Stefan dengan bingung, atau kaget, atau apa lah.
“LO ABIS NGEWE YA???” tanyanya lagi dengan keras.
“Engga......” jawabku pelan, menghindar. Tanganku dengan otomatis malah memainkan ujung jaketku.
“BOONG!!!”
“Apaan sih....” Aku berusaha melihat ke jalanan ramai yang akan membawa kami ke Kemang itu. Aku berusaha membuang muka, mengatur ekspresi mukaku agar kelihatan natural.
“WAH, MANA ADA ORANG ABIS BERAK BAUNYA KAYAK GINI”
“Bau dari WC kali, ah, udah lah jangan main-main.... Mana mungkin sih...” jawabku sambil menatap ke arah apa, aku juga tidak tahu.
“SINI!” Stefan menarik tanganku, dan dia mencium jariku, mengendusnya.
“Bau memek...” dia lalu mencoba mengendus bagian leherku dan kerah bajuku. “Bau cewek” dia mendadak menyeringai. “Abis ngewe sama siapa?”
“Fan...”
“Jorok lu yak abis ngobel-ngobel memek gak cuci tangan anjir....”
“Fan...”
Dia terlihat berpikir, tampak seperti ribuan rumus matematika dan semua kemungkinan-kemungkinan dalam alam sedang beradu di dalam kepalanya.
“OH, GUE TAU LO NGEWE AMA SIAPA!!!!”
“Fan gue gak...”
“ARWEN!!!!”
Dan pada saat itulah aku sudah tidak bisa lagi menyangkal, saat nama itu disebutkan. Aku diam dan mengusap jidatku yang mendadak menegang. Selanjutnya aku mendengar suara yang tidak disangka-sangka.
“HAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAA KAMPRET... MENANG BANYAK!!!!!!! KENAPA GAK DARI DULUUUUU” teriak Stefan dengan antusias di dalam mobil.
“Fan...”
“Ngahahahahahahahaaaa.........” shit.
“Fan...”
“Anjir nakal lo telat hahahahahahahahaahhaahaha......” Stefan tampak sangat antusias dan berbahagia, sampai-sampai mobil yang ia kemudikan sepertinya agak miring-miring ke arah yang tidak semestinya.
“Fan kalo mau ke Kemang lewat Bangka aja kok lo lewat.....”
“Bentar ini terlalu menarik buat dilewatin.... Gue mau denger detilnya, bentar-bentar bentar.........” Stefan tampak hilang orientasi karena saking antusiasnya. Mukanya berseri-seri, matanya berbinar, dan mulutnya terbuka seakan-akan dia baru menang lotre yang hadiahnya ratusan milyar dan puluhan mobil mewah, pajaknya ditanggung pemberi hadiah.
“Anjing, ini harus dirayain!!!! KAMPRET!!” serunya dengan penuh riang gembira. Dia tampak membawa mobil nya ke arah sebuah minimarket, dan dia langsung membuka jendela dan menyalakan rokok setelah mobilnya berhenti dengan posisi yang tidak nyaman.
“Fan... Kalo gak langsung ke Mitaka ntar dicariin loh...” kesalku.
“CERITA!!
“Apa yang harus gue ceritain????” tanyaku dengan nada aneh.
“Lo kapan pertama kali ngewe ama dia? Pasti bukan tadi kan? Masa mendadak ketemu ngewe? Lagian tadi dia gak keliatan friendly sama elo dan kita, pasti udah kejadian sebelumnya nih? Dimana?”
“Gak usah dibahas”
“Berarti bener kan lo ngewe sama Arwen?”
“Gak usah dibahas Fan.....” jawabku dengan penuh kebingungan. What should I do in this kind of situation?
“Berarti bener lo ngewe..... Lo udah mati kutu men!”
“Kampret gue jadi ngebayangin anak itu bugil, pasti asik ya bentuk tubuhnya? Ramping lucu gitu? Yang sekali peluk keambil semua? Gampang dibolak-balik? Warna putingnya apa? Pink?” tanyanya bertubi-tubi.
“Stefan.....”
“Bandel ya.... Pas udah punya bini, baru deh dia ngewein orang lain.... cobaaa dari dulu, gue ajakin kemana-mana....” tawa Stefan, membuang abu rokoknya ke luar jendela.
“Ah....” aku malah menarik nafas panjang. Bau cewek dia bilang. Kyoko bilang apa nanti kalau dia memelukku dan mengatakan kalau aku bau perempuan lain?
“Arya my boy.... Gila memang, kapan sih pertama ngewenya? Jangan jangan dari dulu?”
“Engga...”
“Jogja?” tanya Stefan.
“Yaaah.....”
“O pantes gue kayak gak ngeliat elo pas pulang dari mabok itu... Gue dah mabok berat, kayak gak ngeliat elo, tapi gue kok mikirnya lo ada di kamar udah tidur...... Ah tokai, ternyata lo ngilang ke tempatnya Arwen kan? Bobo-bobo lucu, kelon-kelonan bugil berdua, hahahahaha!” tawanya lepas.
“Anjir... Udah lah, kok malah dibahas sih?”
“Yang kayak ginian harus dibahas begooooooooo..... Dan gue bilang juga apa, elo tuh cowok!! Gak mungkin cowok, apalagi kayak elo yang selalu dikelilingin cewek, gak pengen ngerasain memek mereka.... Yaudah sana, ketemu Kanaya lagi, palingan dia juga mau kalo sama elo ditidurin lagi” tawa Stefan.
“Kok jadi bahas Kanaya??”
“Jangan defensif gitu ah mukanya, enak mah enak aja... Tenang, rahasia lo aman kalo sama gue....” senyum Stefan sangat lebar, saking lebarnya sampai seakan-akan mukanya tenggelam, hanya tinggal bibirnya saja yang terpasang di kepalanya.
“Ah, Fuck!” teriakku pelan, sambil menarik tuas yang fungsinya untuk merebahkan kursiku. Aku berbaring di mobil sambil menutup mataku.
“Aturan lo kalo abis ngewe gitu mandi dulu deh, biar ga bau cewek, itu bau si Arwen nempel semua di badan elo men sekarang.... Apalagi kalo tadi.... Kayaknya lo quickie, gak pake lepas baju, ya pasti nempel sih bau-bau parfum di bajunya ke baju elo” tegur Stefan.
“Hmmm...” jawabku.
“Tapi enak kan, ngewe di belakang bini, deg-degan gimana gitu?”
“Taik” jawabku.
“Ah masih aja defensif... Enak mah enak aja, apalagi udah dua kali.... BTW ini modelnya affair atau TTM an doang nih?” tanyanya penuh selidik.
“Ga tau....”
“Ngobrol mesra-mesraan gak? Pake sayang-sayangan?” tanya Stefan dengan nada kegelian.
“Gak” jawabku pelan.
“Terus gimana? Dia kan lumayan akrab sama elo, masa gak pake afeksi?”
“Enggak, gitu aja.... Semuanya tau-tau gitu..”
“Enak dong gak perlu ngasih nafkah batin, gak perlu ngajak jalan, gak perlu ngajak makan, kapan lo mau lo pake... Ini justru hubungan yang paling asyik!!!”
“Kok lo malah seneng gitu sih, gue malah pusing....” aku menatap ke langit-langit mobil dengan perasaan tak enak.
“Kenapa musti pusing, dari cara lo ngejawab, kalian berdua kayaknya gak pake affair, pasti pertama kali ngewe karena ga sengaja kebawa nafsu, yang kedua juga gitu kan???” tanya Stefan.
“Jangan sok tau ah...” kesalku sambil memutar handphoneku di tanganku.
“Ah basi!” Stefan lalu merampas Handphoneku dari tanganku.
“Woi!” Aku bangkit dan berusaha merebutnya kembali.
“EIT!! Mendekat gue sundut!!” Stefan menakut-nakutiku dan dia langsung membuka layar handphoneku yang memang tidak pernah diberi password itu. Dia mencoba melihat-lihat ke rekaman media sosial. “Hmm... Di wassap gak ada, bentar” dia tampaknya ingin mencoba memeriksa ke media sosial yang lainnya. Dia lalu tertegun dan memeriksa kalimat-kalimat yang mungkin ada antara Arwen dan aku.
Mendadak Stefan melemparkan kembali handphoneku kepadaku. Aku menangkapnya dengan gerakan yang tak sempurna, untuk saja tidak jatuh.
“Hebat, dari tanggal kita ke Jogja sampe hari ini gak ada chattingan lagi, langsung ngajakin ‘ngobrol’... Gak selingkuh lo berarti ya, cuma entot-entotan doang” tawanya.
“Emang apa bedanya, buat gue namanya apapun tetep sama...”
“Selingkuh?” tanya Stefan.
“Iya”
“Beda goblooook... Kalo selingkuh, affair, itu ada perasaan sayang, seenggaknya bisa diliat lah dari percakapannya, ini gak ada percakapan apapun lho, cuman tadi aja ngajak ngobrol, eh taunya ngewe..... jadi itu ya kodenya, ngobrol?”
“Gak pake kode...”
“Terus apaan?”
“Tapi emang beneran mau ngobrol....” jawabku enggan.
“Kok jadi ngewe? Emang mau ngomongin apa?”
“Ngomongin Jogja”
“Kenapa mau diomongin soal Jogja?”
“Biar ngelurusin semuanya....”
“AHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAAAAA” tawa Stefan dengan keras. “Apa yang mau dilurusin? Titit lo?”
“Fan.... Gue mau coba bicarain sama dia soal kesalahan yang kejadian di jogja!” aku bereaksi.
“Terus jadinya ngewe? Itu udah ultimate banget itu, gak pake banyak ngomong, janjian, terus gak pake kode, gak pake affair, udah tinggal bisa ngewe? Gampang banget.... Enak banget ya jadi orang ganteng, gampang bikin cewek horny, gak usah pake spik devil dulu.....”
“Kampret”
“Kalo emang kalian gak excited buat hal ini, kenapa pas ketemu bukannya ngobrol, atau coba berkomunikasi kayak biasa-biasa lagi, tapi malah ngewe? Wah udah ini, gue nyerah Ya, enak banget ya jadi orang ganteng, coba dari dulu elo kayak gini, bisa tandem kita, bisa oper-operan cewek kita, sayang lo baru sekarang nakalnya...”
“Udah ah”
“Ini harus dirayain!!!”
“Gak usah”
“HARUS!!” Stefan mendadak mundur dan melaju, menghindari tukang parkir yang mencoba menghentikan dan menagihnya 2000 rupiah untuk biaya parkir di minimarket. “Sekarang kita ke tempat bini lo, tapi suka gak suka, ini mesti kita rayain!” seru Stefan dengan senyum setannya.
--------------------------------------------
Aku duduk di meja bersama Stefan, Anin dan Bagas. Badanku bau tak jelas. Baunya seperti orang habis mandi parfum laki-laki secara berlebihan. Tadi di mobil sebelum turun, Stefan menyemprotkan parfum habis-habisan kepadaku. Supaya gak bau memek, katanya, jangan lupa cuci tangan pake sabun katanya, jangan cium-cium Kyoko dulu, katanya.
Dan aku menurut. Sial.
Kyoko dan Zul tampak sibuk di belakang sana, mempersiapkan pesanan kami dan tamu-tamu lainnya. Kyoko terlihat sangat cerah, dia bekerja dengan giat, dan memancarkan aura yang menyenangkan, seperti waktu dia bekerja bersama kakaknya dulu. Sementara aku garuk-garuk kepala, Bagas diam dengan kaku, Stefan dan Anin sama-sama tersenyum dan berseri-seri dengan alasan yang mungkin berbeda. Aku tahu alasan Stefan terlihat sangat senang apa, tapi kalau Anin, aku tidak tahu. Dia memang suka membuat kejutan-kejutan yang tidak rame dan tidak mengejutkan.
“Jadi apaan nih, lo tiba-tiba ngajakin ngobrol, terus pengen banget kayaknya bicara private diantara kita berempat” tegur Stefan ke Anin yang sedang asyik mengobrol di handphone. Mengobrol dengan Zee, dan tebakanku sepertinya benar.
“Ntar, nungguin Zul ama Kyoko” senyum Anin dengan muka yang bahagia. Entah kenapa. Apa yang disembunyikan oleh orang ini, mudah-mudahan tawaran tur lain lagi, keliling Jepang lebih banyak lagi misal, atau keliling Asia Tenggara, siapa tahu.
“Kenapa musti nunggu mereka?” tanyaku.
“Harus, tunggu aja” jawab Anin.
Sementara Stefan tampak menyeringai dan menatapku dengan tatapan yang sungguh-sungguh membuatku tidak nyaman. Aku tidak banyak bercerita padanya tadi. Kepalaku masih pusing akibat reaksinya. Aku masih ingat pesannya sebelum dia turun dari mobil tadi. “Mainnya yang rapih dan kalo sempet jangan lupa bagi-bagi barang bukti ke gue...” apa-apaan coba.
“Hai... ini pesanan kalian” Kyoko mendadak menghampiri kami dan memberikan tiga cangkir kopi kepada kami. Bagas tidak memesan apa-apa, seperti biasanya.
“Kyoko duduk sini bentar” tegur Anin, sambil menarik kursi dari meja kosong dan aku bergeser agar Kyoko bisa duduk di sebelahku. Setelah Kyoko duduk, Anin memanggil Zul dengan tangannya. Zul dengan nada enggan mendekat ke meja kami, dan dia duduk di kursi yang sudah disediakan oleh Anin. Jadilah kami berenam berkumpul dalam satu meja.
“Ada apaan sih si Anin, heboh amat” bingung Zul, sambil melipat tangannya, menatap ke Anin dengan tatapan penasaran.
“Aya baunya aneh” Kyoko menekuk jidatnya sambil bersandar di bahuku. Ya, memang, aku bau parfum Stefan secara berlebihan.
“Tau tuh si Stefan, iseng nyemprot-nyemprot” jawabku asal sambil melirik ke arah Stefan. Yang dilirik cuma tersenyum lebar, menyeringai, seperti tokoh Joker di film-film Batman, milyuner dengan gangguan jiwa yang hobi keluar malam pakai kostum kelelawar.
Kyoko hanya menggelengkan kepalanya, tak peduli oleh bau parfum pria yang menyengat dan dia tetap bersender ke bahuku, sambil mencoba menggenggam tanganku. Aku pasrah saja, walaupun itu tangan yang tadi diendus Stefan dan dikatai bau kelamin perempuan.
“Nah jadi....”
“Kita diundang tur ke Jepang?” potong Stefan.
“Bukan, jadi gue....”
“Ada yang ngajakin tur keliling Jawa?” potong Stefan lagi, tidak memberi kesempatan Anin untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia memang terlihat agak hiperaktif setelah pulang dari acara di radio.
“Bukan, jadi....” lanjut Anin.
“Mau dibawa tur kemana lagi Hantaman? Siapa lagi yang ngajakin kita bikin proyek?”
“Berisik nyet!” kesal Anin karena Stefan memotong kalimatnya terus-terusan.
“Abis apa dong, jangan sok misterius gitu kayak orang mau ngajakin MLM.... Apa jangan-jangan lo mau suruh kita jualan propolis atau obat apa?” canda Stefan.
“Bukaaaaaaann... Makanya diem dulu deh, biar gue cerita dulu napa, dipotong mulu...” keluh Anin dengan muka kesal.
“Oke” senyum Stefan jahil.
“Jadi... gue mau kasih berita bagus buat kalian semua...... Yakni....”
“Lo mau kawin jangan-jangan sama si Zee” canda Stefan. Aku tersenyum mendengarnya.
“Nah iya, itu”
“Apa?” aku, Kyoko, Zul, Stefan kaget bersamaan, kecuali Bagas.
“Coba ulangin lagi?” tanyaku.
“Gue mau kawin sama Zee”
“Ini maksudnya apa? Lo lagi mau ngasih tau rencana elu?” tanya Stefan bingung.
“Ini bukan rencana, ini emang bakal kejadian” senyum Anin.
“Kapan???”
“September pertengahan” jawab Anin singkat.
“Itu tinggal.....”
“Beberapa bulan lagi sih, deket waktunya” aku memotong kalimat Stefan.
“Cepet banget anjir, pacaran gak sampe setaun terus gak pernah ketemu lagi abis dari kita keliling Jepang waktu itu.....” Stefan tampak sedang berpikir, menghitung-hitung waktu dimana Anin tumbang sewaktu di Tokyo, yang berakibat dia dan Zee jadi sepasang kekasih.
“Ya, kalo masalah gak pernah atau jarang ketemu sih, gue sama Kyoko juga..... Tapi....”
“Aya menurut Kyoko, ini malah romantis” senyum Kyoko.
“Romantis dari mana?”
“Mereka bisa lebih banyak berkenalan ketika menikah, pasti pernikahan mereka nanti ramai” sambung istriku.
“Yang pacaran lama juga seru kok, seru berantemnya” tawa Stefan sambil menyalakan rokoknya, meledekku, merujuk ke sejarahku bersama Karina.
“Kampret.... Tapi...” aku bingung dan malah membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi dalam pernikahan Zee dan Anin.
“Jangan-jangan ini sepihak ya, lo doang yang pengen?” tanya Stefan. “Lo kan doyan ngayal”
“Engga, ini udah kesepakatan antara gue, dia, orang tua gue dan orang tua dia....” jelas Anin dengan tegas.
“Wooo sialan, serius dia...” komentar Stefan.
“Menurut gue ini pas dan masuk akal” Bagas mendadak bersuara, mungkin dia gatal melihat kami semua yang kaget karena keputusan pernikahan Anin dan Zee yang kami rasa terlalu singkat ini.
“Tapi...” aku berusaha untuk tetap mempertanyakan.
“Gak pake tapi” komentar Bagas, menutup niatku untuk membahasnya lebih lanjut.
“Emang lo udah tau? Tapi gapapa sih kalo udah tau, secara lo sepupunya” tanya Zul ke Bagas.
“Belum”
“Tapi kok?”
“Gampang ditebak” Bagas menatap Zul dengan tatapan dingin, yang membuat Zul agak-agak tidak nyaman berinteraksi dengan robot/terminator/monster/mahluk ini.
“Pernikahannya dimana Anin, Kyoko ingin sekali melihat Anin menikah” ucap Kyoko sambil memandang Anin dengan mata berbinar. Tampaknya istriku ini suka sekali dengan pernikahan, apalagi ala-ala Indonesia.
“Di Singapur, sekalian makanya gue mau ngajakin kalian semua” jawab Anin.
“Wah asyik tuh, kita bisa jalan-jalan ke singapur...” bisikku ke istriku.
“Tapi....”
“Tapi kenapa?” aku bingung melihat muka Kyoko yang tampak sedih karena mendengar Anin akan menikah di Singapura.
“Kyoko tidak bisa kemana-mana selama lima tahun....” jawab istriku dengan tampang menyesal.
“Oh...” Iya, aku lupa. Setiap WNA yang ingin jadi WNI, tidak boleh meninggalkan Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, sebagai syarat untuk menjadi WNI. Dia boleh saja sebenarnya pergi ke luar negri, tapi masa tunggu untuk mengajukan proses sebagai WNI jadi lebih panjang, jadi 10 tahun lamanya. Dan Kyoko tampaknya tidak ingin menunggu terlalu lama untuk menjadi WNI.
“Yah, maaf ya Kyoko, tapi orang tuanya Zee pengen dia nikah disana” Anin meminta maaf, dan berusaha menghibur Kyoko.
“Ah, tak apa, tapi jadinya Kyoko tak bisa ikut...” sesal istriku.
“Yah aku sendirian dong...” kesalku.
“Tidak apa Aya, rencananya memang bagaimana Anin?”
“Rencana kasarnya sih ijab kabul dan resepsi hari jumat dan gue bakal ada beberapa hari di sono sampe urusan dah pada beres deh, kalian bebas mau datang dan pulang kapan aja, yang penting pas ijab kabul datang yak” senyumnya sambil tetap menatap Kyoko dengan perasaan tidak enak.
“Gue sehari aja deh” jawabku, karena tidak enak meninggalkan Kyoko lama-lama.
“Masa cuman sehari Ya, sekalian kita liburan gitu?” tanya Stefan dengan seringainya yang lebar. Aku tahu kemana arah pembicaraannya. Aku sudah bisa mencium bau busuknya dari sini. Paling dia sedang euforia atas penemuannya soalku dengan Arwen dan sekarang ia ingin mengajakku nakal di Singapura.
“Gak lah..”
“Tak apa Aya, sekali-kali liburan, pasti butuh kan setelah capai dengan semua ini” Kyoko malah mendukung rencana Stefan.
“Eh, tapi kamu gimana?”
“Kan tak apa”
“Iya tapi....”
“Emang kalian itu susah dipisahin ya, nempel banget” komentar Zul sambil menatap kami dengan tatapan mupeng. Sepertinya dia ingin hubungan suami istri seperti aku dan Kyoko yang memang terlihat sangat mesra di hadapan publik.
“Pokoknya, selamat untuk Anin, dan Aya silakan tak apa kalau mau pulang minggu, lagipula kan Kyoko aman di sini” lanjut istriku sambil tersenyum tulus, merestuiku ada di Singapura selama beberapa hari untuk menghadiri pernikahan Anin.
“Gue gak tau deh, musti liat tabungan dulu....” Zul tampak tidak enak karena ada kemungkinan dia tidak bisa datang ke pernikahan Anin.
“Gapapa, yang penting doanya”
“Dan akhirnya Anin kita bakal ngerasain cewek” Stefan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Hehehehehehhe Sabtu sih gue gak akan keluar kamar kayaknya, silakan aja kalian main kemana di singapur hehehehehhe” tawanya aneh.
“To much info” reaksiku sambil mengacak rambut istriku.
Kyoko hanya tersenyum sambil menatapku dengan tatapan yang bahagia. Tampaknya dia cukup senang karena Zee dan Anin menikah, mengakhiri petualangan masing-masing mereka berdua, dan memutuskan untuk bertualang bareng. Apalagi nasibnya sama seperti kami, bertemu di Jepang, lalu berpacaran jarak jauh. Walaupun waktu berpacarannya jauh lebih singkat daripada aku dan Kyoko, tapi setidaknya langkah berani Anin untuk menikahi Zee patut dipuji. Intinya, kami semua senang mendengarnya.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Hari yang aneh.
Aku, Stefan dan Anin bingung. Hari ini hari pertemuan terakhir kami untuk melakukan aransemen ulang dan komposisi lagu untuk keperluan project ini. Kami bingung karena Karina hari ini mendadak jinak. Dan proses untuk hari ini sungguh cepat, hanya menyisakan sedikit pekerjaan.
Sepertinya ada yang terjadi ketika pertemuan antara Karina dan Bagas sebelumnya. Kami memang iseng menyuruh Bagas dengan dalih jadwal yang bentrok. Kami bermaksud menjahili Karina, melihat seperti apa reaksinya jika rapat dengan Bagas.
Karina sudah pasti kenal Bagas dari dulu, tapi interaksi mereka sangat sedikit. Bagas memang malas berinteraksi dengan manusia yang menurutnya tidak diperlukan dalam hidupnya.
Dan kali ini, kami bertiga terheran-heran, karena semua sisa pekerjaan yang kami limpahkan ke Bagas di pertemuan sebelumnya, beres dengan baik, dan malah dia membereskan sampai hampir selesai, jadi pertemuan terakhir ini hanya untuk review saja. Padahal kami sudah mempersiapkan diri rapat sampai malam dengan Karina, karena ini rapat terakhir dan kami menduga dia akan over perfeksionis lagi, ataupun dia kesal karena pertemuannya dengan Bagas.
Dan kami sendiri tidak tahu apa yang terjadi kemarin, sehingga kami terbengong-bengong ketika pekerjaan yang tersisa hanya mereview ulang semua partitur, dan kami bahkan sudah selesai sebelum gelap. Kami bahkan sudah beres mengatur jadwal latihan dengan string orchestranya.
“Harusnya kayak gini dari dulu” Karina sepertinya mengajak kami bicara. Kami sedang membereskan alat musik kami dan merapihkan kopian partitur yang tadi baru saja diberikan oleh Mas Awan.
“Maksudnya?” Stefan bertanya dalam kebingungan.
“Harusnya dari awal kalian ajak Bagas”
“Ehh.... Emang gimana kemaren sama Bagas? Kok tau-tau udah beres kayak gini?” tanya Anin bingung. Aku diam sambil menyelidik muka Karina. Aku jarang melihatnya tersenyum puas dan cenderung tenang. Hari ini Karina terlalu kalem.
“Beres, efektif, efisien, heran gue, orang kayak gitu kenapa gak pernah kalian libatin dalam komposisi lagu kalian” jawab Karina.
Aku cuma melongo saja sambil menatap wajah Karina yang memancarkan aura ketenangan yang tak wajar. Aku tidak pernah melihat wajahnya dengan ekspresi seperti ini seumur hidupku. Dia tampak tenang, kalem dan sepertinya sangat terpuaskan secara mental.
“Kapan-kapan gue pengen ngobrol lagi sama tu orang.... Hebat banget, gue gak nyangka, biasanya dia cuma duduk di belakang drum.... untung kalian kemaren itu gak bisa semua” lanjutnya dengan senyum simpul, sedikit tersipu.
Kami bertiga saling lihat-lihatan. Anin, Stefan dan aku merasa ada yang tidak beres. Ini ganjil, rasanya kelewat aneh.
“Emang, kemaren.... Gimana sih?” tanya Anin nekat, karena memang tidak ada info apapun dari Bagas walaupun yang bersangkutan sudah ditanya.
“He completes my work...” jawab Karina sambil menenteng tumpukan partitur. “Udah ya... Sampe ketemu pas latihan, gue gak sabar pengen diskusi sama Bagas lagi” dan Karina pun berlalu, keluar ruangan, meninggalkan kami bertiga yang shock.
Shock.
Bagas? Karina sampai terkesima oleh Bagas? Ini gila sih. Baru pertama kali kami melihat Karina seperti ini.
“Kemaren itu Karina entah kenapa cuma bisa diem pas Bagas yang dateng” Mas Awan berusaha menjawab kebingungan kami. “Bagas ngebedah part dengan cepet, dan dia bisa neken ego Karina dan perfeksionismenya... Heran saya, baru pertama kali liat Karina mati kutu kayak gini, dan dia ngeliat Bagas itu udah kayak gak ngeliat orang lagi, kayak ngeliat apa ya?” tanya Mas Awan ke dirinya sendiri mungkin.
“Dewa?” “Tuhan?” “Apa dong?” jawab kami bertiga bersamaan dengan nada tolol.
“Orang yang komplit sih menurut Karina kemarin, tapi tatapannya lebih dari sekedar itu”
Jawaban terakhir dari Mas Awan itu, benar-benar meninggalkan kami dalam kondisi speechless. Mau seperti apa lagi Bagas di dunia ini jika dia bisa menjinakkan Karina?
--------------------------------------------
“Bagas gokil emang, kita kalo bikin album ketiga, wajib ngelibatin dia lebih banyak lagi Fan” aku membuka pembicaraan di mobil, dalam perjalanan pulang menuju rumahku. Hari ini selesai lebih awal, dan langit baru saja mulai gelap. Aku dan Stefan terjebak dalam kemacetan Jakarta sore hari. Tenang, kami sudah biasa.
“Setuju, tapi daripada ngomongin Bagas, gue ada hal yang lebih asik lagi buat diomongin” senyumnya mendadak terkembang.
“Apaan?”
“Udah ngewe lagi belom sama Arwen?” tanyanya.
“Kampret....”
“Jawab dong....”
“Belum” jawabku terpaksa.
“Abis ngewe di radio lo gak pengen emang ngewe lagi?”
“Kalo gue gak jawab gapapa ya.....” jawabku dengan nada enggan.
“Eh gue belom tau tuh, pas ngewe yang terakhir posisinya gimana, lo duduk terus mangku dia? Apa gimana? Jangan-jangan berdiri kayak bokep” tawanya.
“Yah....”
“Berdiri?”
“Ho oh....”
“Sadis” dia tertawa puas.
“Kalo gitu kita harus rayain ini, bentar” dia mendadak belok masuk ke parkiran sebuah budget hotel.
“Ngapain kesini?” tanyaku.
“Bentar, lo tunggu di lobby ya....” aku menekuk dahiku, dan mengikuti Stefan yang sehabis selesai memarkirkan mobilnya, dia berjalan menuju resepsionis. Aku hanya duduk di lobby, menatap ke jalanan yang macet, dan membiarkan Stefan menyelesaikan urusannya.
Tak lama kemudian dia datang dan memasukkan sesuatu di saku kemejaku. “Nitip bentar” bisiknya.
“Lo mau kemana?”
“Tunggu yak” jawabnya dengan muka yang aneh. Aku hanya menggelengkan kepala. Entah dia ngapain. Tapi kalau dia merencanakan sex party di hotel ini, aku tak mau.
Stefan keluar dari lobby, dan dia berjalan dengan cepat ke arah mobilnya. Aku berdiri dan lantas bingung, melihat dia masuk ke mobil dan dengan cepat dia memacu mobilnya, pergi dari parkiran. Mendadak handphoneku berbunyi.
Nomor Stefan.
Aku berusaha mengangkatnya tapi telponnya berhenti. Mendadak tak lama kemudian sebuah sms masuk. Dari Stefan.
“Lo semenjak balik dari jogja jadi bego ya, sekarang aja gampang ditipu. Itu btw di saku lo kartu kunci kamar, kamar 318. Hadiah dari gue. Mumpung masih sore lo bisa puas-puasin ngajak Arwen ngewe sebelom pulang. Jangan lupa mandi sebelom ketemu Kyoko. Jangan lupa bagi-bagi foto doi lagi bugil. <3”
Fuck.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG
