Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Waduh... Sebenarnya ane infill baca perubahan karakter arya.. tp ane penasaran sama ending nih cerita...
 
Ini biang kerok berikutnya, bukan nya negor. Malah ngedukung si aya makin sesat, ckck. Pake bilang mumpung belum punya momongan, bandel aja dulu. Ckckckck
 
Puas2in deh Ya main ma si Arwen sblm kena sleding mas Epan :D


Makasih apdet2nya om & gak sabar nunggu apdet bericrotnya :beer:
 
Hahaha hidup Kang bimo...sok tah cabok si Arya huhuhu
 
MDT SEASON 2 – PART 37

--------------------------------------------

itemed11.jpg

“Sayang, aku pulang malem ya, mau nemenin Kang Bimo sama Kang Wira dulu, mereka ada di Jakarta hari ini…” aku menelpon ke Kyoko. Sudah jam 7 malam sekarang.
“Baik Aya, menemani dimana?”
“Di tempatnya Cheryl” jawabku.

“Oh dekat rumah. Baik, hati-hati pulangnya, nanti Kyoko tunggu” dari nada suaranya saja, aku tahu dia sedang tersenyum di ujung sana.
“Iya” jawabku lemas di parkiran. Dan di media sosial, Kang Bimo dan Kang Wira dua-duanya sudah ramai mengajakku chatting. Ditunggu di sini, katanya. Cepetan, katanya. Kita harus ngobrol, katanya.

Dengan lemas aku meniti jalan panjang dari parkiran ke tempatnya Cheryl. Aku memasuki tempat yang suasananya temaram itu. Musik elektronik yang ringan mengisi ruangan dengan lembut. Ada Kanaya disana. Haha, sial. Dan aku berusaha agar tidak menatapnya. Aku jalan dengan lemahnya ke arah Kang Bimo dan Kang Wira yang sedang duduk dengan pitcher bir besar di meja mereka.

“Sini-sini duduk…” Kang Bimo melambai kepadaku dan aku menuruti lambaiannya. Aku ada di hadapan dua orang dari Frank’s Chamber, rombongan tukang heureuy dari Bandung. Aku tersenyum tipis dengan awkwardnya dan diam seribu bahasa, dalam tatapan mereka berdua.

“Kacau euy kamu mah” Kang Bimo membuka obrolannya dan dia membakar rokoknya. Dia menghisapnya dalam-dalam. Ah, sebagai pria yang sudah lebih lama menikah dan sudah mempunyai anak, dia pasti akan menasihatiku macam-macam. Aku tertangkap basah di dalam lift dengan Arwen, dengan posisi dia sedang menggandeng tanganku dan bersandar di bahuku. Sudah pasti ada apa-apanya ini.

Dan aku menunggu rentetan kata-kata dari Kang Bimo yang mungkin akan bertanya, menginterograsi, karena memang mereka berdua sudah seperti sosok kakak bagiku.

Dan walau Kang Bimo tersenyum, dia memancarkan aura serius.

Tunggu.

Aura Serius? Sejak kapan mereka berdua bisa serius?

“Hebat euy” Kang Bimo menepuk bahuku kencang-kencang sambil menghembuskan asap rokok banyak-banyak.

“Eh?”

“Jagoan yah ieu budak” bisik Kang Wira ke Kang Bimo.
“Luar biasa”

Mereka berdua menyiratkan muka bangga padaku. Aku melongo. Aku tak menyangka mereka berdua malah merespon seperti itu.

“Habis ngapain tadi teh?” Kang Wira bertanya penasaran.
“Masa gak tau kamu mah…. Itu abis bobo-bobo siang lucu…”
“Hebat euy… Pamajikanna geulis… Mantanna geulis… Ayeuna TTBS na geulis….” Kang Wira menerawang ke arah langit-langit.

“TTBS teh naon”
“Teman Tapi Bobo Siang”
“Naon garing…”
“Kumaha aing we…”

“Tapi kudu dirayakeun sigana ieu mah”
“Nya atuh…”

“Jagoan euy, ini orang, bagi-bagi atuh, rahasianya apa kenapa cewe-cewe cakep teh pada mau sama kamu… Tenang, bukan buat saya, saya mah udah kawin, buat ini aja si Wira” bisik Kang Bimo kepadaku.
“Eh?”

“Iya euy… Susah nyari pacar… Lah ini malah geus kawin punya TTBS”
“Singkatan naon sih eta…”
“Pan ceuk aing ge kumaha aing….”

“Eh?” aku masih bingung, kenapa mereka semua reaksinya seperti Stefan, bukannya malah prihatin atau mencoba membawaku ke “jalan yang benar”?

“Ah dulu juga saya mirip-mirip sama kamu, pas udah kawin malah jadi jelalatan, tapi sayang ga ada yang mau euy…. Kayaknya saya mah kurang ganteng” bisik Kang Bimo.
“Jadi we nyerah ya?” tanya Kang Wira.
“Tah, jadi aja insyaf sebelum berbuat…..”
“Geuleuh”
“Bae”

Aku masih melongo.

“Daek oge nya awewena…. geulis kitu euy, asa familiar tapina, pasti rea lalaki nu ngudag” tawa Kang Wira.
“Apa kang?” tanyaku bingung, karena tak begitu paham Bahasa Sunda, walaupun sedikit-sedikit aku bisa menangkap artinya.
“Waduh…. Iya, itu tadi siapa, kenapa kayak familiar?”
“Siapa?” tanyaku bingung.

“Eh, itu tadi, cewe yang bareng sama kamu, yang lendot-lendotan di lift” Kang Bimo menendang kakiku.
“Eh iya kang…”
“Iya euy, cewe model gitu mah harusnya banyak yang ngejar atuh, malah maunya sama yang udah kawin” canda Kang Wira.

“Eh, kamu mesti tau, dulu waktu Hantaman rilis album kedua repackaged yang sebelum ke Jepang tea, si cewe ini ada, nungguin sampe beres, minta tanda tangan si Arya, mukanya bahagiaaaa pisan pas si Arya tanda tangan teh…” lanjut Kang Bimo.
“Maenya?”
“Beneran, sampe saya bilang ke Arya dulu, ini cewe teh suka ama dia…. Taunya beneran euy, disikat, nakal juga yah, padahal kata Stefan dia mah ga gatel sama cewe…. Tipe cowo setia ceunah” Kang Bimo menjelaskan entah apa kepada Kang Wira.

“Pan lalaki yang setia teh ga ada…” tawa Kang Wira. “Lalaki teh cuman ada dua…. Yang satu brengsek, yang satu homo…. Jadi kalo ga brengsek…..”
“Ya homo, siga si eta, saha, budak pontianak teh…” tawa Kang Bimo. Tampaknya dia membicarakan orang yang aku tak kenal.

“Oh yang suka makan motor itu yah” balas Kang Wira.
“Yang hobinya masuk kandang ragunan”
“Di Tamansari aja atuh bonbin mah, jangan ragunan….”

“Eh, ngomongin siapa ini?” aku mendadak bingung.

“Jadi kembali ke laptop yah…. Kamu teh baru sekarang bandelnya? Kenapa gak dari dulu, tau gitu dari dulu, nemenin Stefan...”
“Engga Kang saya tadi abis dari temen….” aku masih mencoba menghindar.
“Waduk”
“Enya waduk pisan” Kang Wira membakar rokok ke dua.

“Bener”
“Siapa kalo gitu nama temennya?”

“Ah itu…. Anu…”
“Waduh berarti, kalo beneran abis ketemu temen, jawabnya pasti cepet…… ga kayak sekarang…. Udah lah, kita malah bangga, asal jangan keterusan aja euy, takutnya ketauan istri nanti cerei…. Heug siah harta gono gini… Sigana mah bakal ditinggal ka Jepang deui….” bisik Kang Wira.

“Iya dibatesin aja, bener ceuk si Wira…” bisik Kang Bimo.
“Anu tapi….”
“Jangan pake tapi, mumpung bisa dinikmatin mah nikmatin aja, mumpung belom ada anak kan? Enak, kalo udah ada anak mah fokus ngurus anak sama istri….. Kalo masih bisa bandel di luar yah gapapa atuh…. Ntar ada lah saatnya tobat… Kayak saya” tawa Kang Bimo.

“Ah maneh mah…. Tobat sama cewe soalnya ga pernah berhasil….” balas Kang Wira.
“Iya euy… Gapapa lah, jadinya ga dosa, ga selingkuh sama istri” senyum Kang Bimo membalas omongan Kang Wira.
“Tetep we niatna…..”

“Nah, jadi sekarang kagok Ya, nih ada roko…. nih ada bir… Minum dan hisap we, kagok, masa nakalnya cuman bobo-bobo siang sama anak orang” tawa Kang Bimo.
“Eh… Engga usah kang…”

“Yang engga yang mana? Ngeroko minum bir apa bobo-bobo siang sama cewe tadi?” seringai Kang Bimo terlihat lebar.
“Yang….. pertama?” aku mencoba masuk ke obrolan mereka. Karena aku sudah tidak bisa menghindar lagi. Mereka sudah pasti tahu kalau aku habis ngapa-ngapain sama Arwen.

“Nah, akhirnya ngaku….” senyum Kang Wira.
“Ya gimana atuh Kang, kayaknya saya ga bisa ngehindar lagi….” jawabku dengan muka garing.

“Tah gitu dong….” lanjut Kang Bimo. “Kalo ada yang suka sikat aja…”
“Tapi gaya yah…. Ceweknya cakep yang mau euy….. Kayanya mah ngefans sama si Arya dia makanya mau…”

“Iya atuh si ganteng maut… Cewe udah basah duluan liat dia aja… Apalagi dibaik-baikin, becek itu….” komentar Kang Bimo menanggapi Kang Wira.

Dan aku bingung. Entah kenapa kejahatan/kenakalan/kebadungan ini malah jadi sesuatu yang dianggap “hebat” di kalangan kebanyakan laki-laki. Setahuku, ada tiga hal yang selalu kuhindari dalam hidup, tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, aku menghindarinya bukan karena kesadaranku sendiri. Tapi karena aku membenci orang yang mengenalkan semua itu kepadaku. Aku menghindari rokok, minuman keras dan godaan perempuan karena aku membenci ayahku. Ayahku yang seperti itu. Aku jadi antipati kepada tiga hal itu.

Terlebih soal perempuan, karena aku benci apa yang ayahku lakukan di luar rumah dan di belakang ibuku, secara alam bawah sadar mungkin aku jadi memperlakukan kebanyakan perempuan secara berlebihan, alias terlalu baik. Terlalu ramah. Terlalu dekat. Sehingga hal-hal itu menjerumuskan aku sekarang.

Lucu. Setelah 30 tahun lebih aku selalu berusaha setia kepada pasangan-pasanganku, bahkan yang semodel Karina pun, kali ini aku tersandung. Tersandung ketika sedang dalam hubungan pernikahan dengan Kyoko yang luar biasa. Tersandung dan tertidur dalam rasa nikmat adrenalin yang naik turun secara ekstrim, dan rasa penasaran yang luar biasa pada setiap sudut tubuh, setiap sentuhan dan setiap adegan seks dengan Arwen.

“Tapi nanti kamu kan ikut ya ke Singapur?” tanya Kang Wira sambil menghembuskan asap dari mulutnya. Aku mengangguk. Kanaya lewat lagi. Aku diam saja. Dia juga diam saja. Ya, dia juga pernah “tertipu” oleh sikapku yang “terlalu baik”.

“Sama istri atuh ya, lumayan, hanimun deui”
“Engga Kang…”
“Gak diajak?” bingung Kang Wira.

“Kan ga boleh kemana-mana dulu selama lima tahun, ke luar negri ga boleh maksudnya, biar bisa cepet jadi WNI” jawabku sambil meringis aneh.
“Oo… Jadi ngajak siapa atuh?” Kang Bimo menendang kakiku.

“Ya…. Ada yang mau ikut sih…”
“Wih gaya, diajak main ke luar negri…”
“Bukan gitu kang..” balasku.

“Ah pokoknya mah, kalo ntar disana kamu butuh waktu berdua-duaan, kita kasih… Ntar kalo kamu ditanyain sama Anin atau istri saya kalo ga keliatan, ntar saya ngewaduk aja….” tawa Kang Bimo.
“Ga usah Kang, biarin aja…”
“Pokoknya mah saya lindungin” senyum Kang Bimo sambil menaik-naikkan alisnya. Kang Wira cuma tertawa sambil menikmati nikotin menjalar di tubuhnya.

“Anu…”
“Pokoknya sesama lelaki mah harus saling melindungi di dalam kenakalan” Kang Bimo menepuk pundakku dengan tatapan bangga. Tatapan bangga yang aneh.
“Tapi ntar bagi-bagi atuh, foto-fotonya…” sela Kang Wira.
“Hus, jangan atuh…”

“Yah kalo gak foto mah video lah” lanjutnya.
“Urang ge daek lamun video mah” balas Kang Bimo.

Dan mereka berdua tertawa sambil menatapku seolah-olah aku ini lelaki yang paling beruntung di dunia.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Hei” aku menyapa Kyoko yang sudah tidur. Dia meringkuk di kasur dan terbangun ketika aku masuk ke kamar dan berganti baju tidur. Sudah malam. Jam 12 malam. Untung Kang Bimo dan Kang Wira tidak sampai mabuk dan aku bisa pulang di jam yang lumayan wajar. Tapi Kyoko sudah tidur karena dia pasti bangun pagi.

“Aya….” dia tersenyum dengan mata setengah tertutup.
“Maaf pulangnya kemalaman” bisikku sambil merayap ke arah tempat tidur setelah berganti baju.
“Tak apa Aya, kan sudah lama tidak bertemu mereka” bisiknya.
“Iya…”

Aku lantas masuk ke dalam selimut dan mencoba memeluk Kyoko dari belakang.

Sakit. Entah apa rasanya kalau Kyoko tahu, lelakinya tadi seharian habis ngapa-ngapain dengan “kenalannya”. Habis bobo-bobo siang sama “temannya”

Kyoko masuk ke dalam pelukanku dan dia terlihat nyaman. Dia menutup matanya lagi dan tersenyum.

“Maafkan Kyoko ya Aya, semenjak Kyoko bekerja di Mitaka, Kyoko jadi jarang sayangi Aya”
“Loh… Enggak kali, biasa aja, aku malah seneng kamu punya kesibukan”

Iya. Biar lo bisa ngentot sama Arwen terus-terusan ya?

“Sebenarnya Kyoko ingin ikut ke Singapura, tapi bagaimana ya? Apa tak apa Kyoko jadi 10 tahun menunggu menjadi orang Indonesia?” tanyanya.
“Gak usah, kelamaan…. Lagian kan tiketnya anak-anak udah beli”

Iya. Biar lo bisa ngewe seharian tanpa di ganggu jadwal ketemu bini kan?

Aku memeluk Kyoko makin erat.

“Hehe… Padahal Kyoko ingin lihat Anin menikah… Pasti dia bahagia sekali”
“Kayak kita gak bahagianya?”
“Tentu saja Aya”

Iya. Bahagia. Pulang kerumah disayang bini yang bener-bener perhatian. Di luar rumah ada cewek yang siap buka belahan pahanya buat bikin lo enak setiap saat.

What The Hell Ya. Just hug your wife and go to sleep.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Aku sedang berada di mobil bersama Stefan. Mobil meluncur dengan santainya pagi buta itu, menuju bandara. Nanti disana rombongan tamu pernikahan Anin yang dari Indonesia akan berangkat berbarengan ke Singapura.

Yang berangkatnya bareng dengan aku dan Stefan adalah Kang Bimo, istrinya dan anaknya, Kang Wira, Kang Giting, Sena dan Bagas. Kabarnya di Ilham sudah duluan ada di Singapura. Aku malah belum sempat bertemu dengannya lagi setelah dia pulang dari Jepang. Teman-teman kuliahku ada yang sudah ada disana, misalnya Rendy dan Anggia. Tapi Dian dan suaminya tidak ikut, karena mereka pasti akan repot oleh anak. Mereka sepertinya masih agak kelimpungan membawa anak mereka untuk trip ke luar negeri. Memang belum umurnya.

“Ntar kamar sendiri-sendiri ya” bisik Stefan kepadaku.
“Siap” jawabku, menatap jalanan Jakarta yang sepi.
“Kok lemes?”
“Gapapa”

“Jangan lemes dong, ayo semangat, lo kan bakal dapet sesi khusus disana” tawanya. Mang Ujang, yang tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan, hanya menatap lurus ke depan sambil menyetir mobil supaya baik jalannya.

Aku cuma meringis. Meringis mengingat Kyoko yang tadi bergelayutan sejenak di pelukanku sebelum aku berangkat. Meringis mengingat Ai yang senyum lebar sambil melambaikan tangannya ketika aku masuk mobil Stefan. Dan meringis mengingat punggung tangan ibuku yang kucium saat aku berpamitan sebelum berangkat tadi.

Meringis mengingat ketiga orang yang sedang kukhianati. Ada sih satu lagi orang yang kukhianati. Itu ada bayangannya di kaca mobil. Namanya Achmad Ariadi Gunawan. Yang sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandara, untuk menuju Singapura, untuk menghadiri pernikahan teman terdekatnya dan bassit band nya, Anin dengan perempuan pilihannya, Zee.

Arwen? Ya, dia katanya akan ke Singapura juga, hanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Katanya dia akan berangkat sore hari. Tidak ada yang tahu, katanya. Orang rumahnya tahunya dia ke Singapura bersama teman-temannya.

Yang tahu dia ke Singapura mungkin cuma aku, Stefan, Kang Bimo dan Kang Wira. Tapi Stefan tidak tahu kalau kedua personil Frank’s Chamber mengetahui soal hubungan Arwen denganku. Begitu juga sebaliknya. Mereka berdua tidak tahu kalau Stefan tahu.

Pusing?

Iya, aku juga pusing. Aku mencoba menutup mata untuk membunuh rasa lelah di mataku, agar aku cepat-cepat sampai ke bandara, tanpa harus melalui jalanan ini, dan kemungkinan ledekan-ledekan lebih lanjut dari Stefan. Mobil ini bau rokok. Bau rokok kretek yang tiap hari dibakar oleh Mang Ujang kala sedang menunggu tuannya mungkin. Dan sekarang rokok kretek itu, sedang dibakar oleh Stefan.

Stefan memang biasa memalak rokok kretek dari supir setianya itu. Dan menurut Mang Ujang, rokok pertama Mas Epan adalah rokok boleh nyolong dari sang supir.

“Tidur?”
“Pengennya sih gitu….”
“Jangan sok stress deh Ya, santai aja, jalanin aja, ambil aja yang enak-enaknya” lanjut Stefan.
“Andai gue bisa mikir kayak gitu Fan…”

“Resikonya lo minimalisir dong, mumpung lo dapet durian runtuh kayak gini” iya, Arwen maksudnya.
“Yah… Ga tau deh durian runtuh bisa dimakan, apa runtuhnya kena kepala gue” tawaku.

Tawa yang garing.

“Udah sedia pengaman kan?” bisik Stefan mendadak, takut terdengar oleh Mang Ujang. Aku mengangguk. Aku memang sengaja menyediakannya untuk besok atau minggu. Stefan tersenyum melihat reaksiku. Dia menepuk lututku. “That’s my boy” bisiknya lagi.

“Ntar gue bilang ke anak-anak kalo lo ketemu sodara di Singapur”
“Iya, kakaknya Dian emang tinggal disana” jawabku.
“Untung Dian sama adek lo gak ikut ya, kalo ikut buyar sudah” lanjut si Setan.
“No comment kalo soal itu”

“Gak usah defensif ah, nikmatin aja” aku terpaksa mengangguk supaya tidak panjang perbincangannya. Lagipula tidak bebas, karena ada Mang Ujang. Jadilah aku kembali menutup mataku sambil berusaha membenamkan diriku dalam pergulatan antara hati nuraniku dan penis nuranjingku.

--------------------------------------------

54168810.jpg

“Gak ada yang ketinggalan kan?” tanya Istri Kang Bimo sambil menatap nyinyir ke suaminya yang baru saja kembali dari area merokok.
“Ga ada atuh” jawab yang dituju sambil senyum.
“Ih bau roko”

“Biarin” dia menjulurkan lidahnya sambil mencoba merebut anaknya dari gendongan istrinya. Sang istri cuma melengos, tidak membiarkan si anak digendong oleh ayahnya yang bau rokok. Kang Bimo tertawa kecil sendiri sambil mengambil tasnya, untuk segera antri bersama-sama, menuju boarding lounge. Kami semua sudah check in tadi.

“Kang Wira belom balik” celetuk Sena. Kang Wira masih asyik merokok sendiri tampaknya di area merokok, santai dan tampak tidak takut ketinggalan pesawat. Karena memang boarding gate baru dibuka setengah jam lagi.

“Yuk atuh nunggu di gate aja” rajuk istrinya Kang Bimo.
“Disini aja nunggu si Wira, kalo dia ilang ntar saya nangis” jawab Kang Bimo.
“Udah gede dia mah”
“Badannya aja yang gede, tapi hatinya lembut”
“Naon teu nyambung” balas Istrinya.

“Bae” Kang Bimo lagi-lagi tersenyum jahil dan dia tampaknya ingin merebut si anak dari istrinya.

“Kalo kamu mau gendong, boleh, tapi kita nunggu di Gate sekarang….”
“Ayeuna pisan?” tanya Kang Bimo.
“Ayeuna…”

“Ya udah atuh…. Yuk jalan” Stefan, Kang Giting dan Bagas berdiri, seperti ingin mengikuti komando Kang Bimo yang tampak tidak berdaya di hadapan istrinya.

“Saya tungguin aja Kang Wira” aku menghentikan mereka semua yang mau jalan ke arah Boarding Gate.
“Loh?” bingung Sena.
“Gapapa, silakan aja kalian duluan” aku mempersilahkan mereka duluan, karena toh, menurutku tidak ada untungnya juga berlama-lama menunggu di boarding gate. Yang penting masuk di saat waktu yang tepat, karena memang kursinya tidak akan habis kan?

“Yowes, biarin aja… Kita duluan” Stefan lantas berjalan tanpa melihat sedikitpun ke arahku. Dia tersenyum dengan lebar. Aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Dia pasti sudah memikirkan seribu kebohongan untuk melindungi aku dan Arwen nanti si Singapura.

Aku melihat mereka semua berjalan ke arah Boarding gate dan aku duduk kembali. Aku memainkan handphoneku, melihat pesan dari Kyoko yang belum sempat aku balas. Dengan santai, aku mencoba membalasi satu-satu pesan dari Kyoko. Lalu berlanjut ke Ai. Sambil menunggu Kang Wira, aku merapihkan list chat ku. Kuhapus yang perlu kuhapus, kudiamkan yang perlu kudiamkan.

Mendadak aku melihat chat dengan Arwen yang sudah tenggelam jauh dibawah. Lantas aku membuka Instagram untuk melihat notifikasi yang mungkin ada. Dan ternyata memang ada. Direct message. Dari Arwen.

“Can’t wait to see you tomorrow” caption darinya terpampang jelas, diiringi sebuah foto. Foto dirinya berbaring di kasur, sebatas pinggang, dia hanya memakai pakaian dalamnya. Pakaian dalam berwarna merah menyala yang mencolok mata. Aku memandang foto itu beberapa saat.

“Seksi nya”

Aku kaget dan langsung menutup layar handphoneku.

“Eh” aku kaget karena Kang Wira sudah berada di depanku, mengintip layar handphoneku.
“Seksi kitu euy aslina budak teh” tawanya.
“Hus ah Kang….”

“Emang bener-bener jagoan kamu teh sebenernya yah… Pada kemana ini yang lain?”
“Pada ke boarding gate, pada mau nunggu disana” jawabku.
“Hayu atuh” ajaknya kepadaku. Aku pun lantas berdiri dan berjalan bersama Kang Wira. Aroma rokok putih tercium dari tubuhnya.

“Bagi atuh foto yang tadi” bisik Kang Wira.
“Jangan kang”
“Pelit”

“Kasian dong….” aku tersenyum awkward ke Kang Wira.
“Eh… Nanti kumaha kamu katanya mau ketemuan sama dia yah?” tanyanya. Aku mengangguk saja. “Kamu ada sodara gak di Singapur?” dia melanjutkan pertanyaannya.

“Ada kang” aku lagi-lagi merujuk ke kakaknya Dian.
“Nah nanti kalo ada yang nanya kamu ngilang kemana, saya bilang aja kalo ke tempat sodara… Ntar saya kasih tau juga ke Bimo biar kompak” dia menepuk bahuku.

Aku hanya mengangguk pasrah.

Pusing soalnya. Pusing sekali dan rasanya berjalan pun tidak fokus.

Rasanya seperti berjalan di pinggir tebing.

“Ntar foto kalian ngapa-ngapain bagi atuh yah…” bisik Kang Wira lagi.
“Jangan dong Kang… Kasian…”
“Gapapa atuh, kagok, ke kamu ngasih, kamu ngasih liat dikit mah gapapa”
“Jangan”

“Pelit ah… Ntar awas kalo manggung bareng, gitarnya saya tempelin upil” candanya. Aku hanya tertawa ringan, sambil membayangkan pusingnya Kang Bimo dan Kang Wira menutupi apa yang akan aku lakukan ke semua orang, termasuk Stefan. Dan Stefan juga akan begitu ke semua orang, termasuk ke Kang Wira dan Kang Bimo. Jangankan kalian, aku pun pusing dengan skema saling bohong membohongi yang aneh ini.

Absurd. Dan semuanya demi menutupi tingkah lakuku yang katanya telat nakal ini.

Sudahlah. Kita lihat saja nanti si negara kecil itu. Sekarang kita siap-siap naik pesawat dan terbang.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Emanglah, tenggelam dalam kenikmatan yg beresiko itu maha asyik banget.....

Tapi, semuanya itu juga punya cost yg harus dibayar dengan gak murah dan bahkan bisa disesalin seumur hidup....

Well, selalu ada cara terbaik buat pulang ke rumah. So, kembali secepatnya yah Arya..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd