Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Mudah mudahan gak di skip kayak dulu ...
Tahu tahu dah kelar urusan bagas sama Karina ...
Iya bikin penasaran... Atau mungkin sengaja di skip ... Biar nanti di jelaskan di cerita side storynya bagas #ngarep ada sih hehehehe suhu @racebannon maaf kan nubi yg hina ini
 
MDT SEASON 2 – PART 32

--------------------------------------------

Mas Arya jadi pendiem ya akhir-akhir ini?” tanya Ai pada saat sarapan pagi. Tumben-tumbenan aku hari ini bangun pagi. Entah kenapa, padahal semalam juga tidak bisa tidur. Menjelang penampilan kami di stasiun radio tempat Arwen bekerja, aku makin tidak bisa tidur. Aku bingung, membayangkan bertemu dengan dirinya, dan aku punya niat untuk bicara soal kesalahan yang telah kami lakukan.

“Aya capai, Ai Chan, tidak terbayang rasanya sering bertemu dengan Karina” Kyoko menjawabkan untukku, dan aku hanya cuek saja, makan, dan makanan entah kenapa terasa hambar. Entah karena perasaanku yang sedang hambar, ataukah memang aku sedang tidak sehat.

“Ya… Gitu deh dek… Bingung aku juga…” jawabku asal. Entah cocok atau tidak, jawabanku itu.
“Kok mesti Mas Arya ya yang tiap rapat ada?”
“Aku yang aransemen semua lagu Hantaman, jadi mau gak mau aku harus involved banget…. Tapi buat besok, katanya anak-anak mau ngasih kesempatan buat Bagas ketemu Karina, sendirian” jawabku.

Kyoko dan Ai kaget.

“Ini maksudnya mau balas dendam nih kalian sama Karina?” tebak Ai.
“Ah…”
“Memangnya Bagas mengerti Aya?”

“Sejauh yang aku tau, aku, Bagas sama Anin itu bisa baca not balok dan ngerti teori musik…. Stefan doang yang enggak, tapi…. Gak tau deh, Bagas bisa ngaransemen ulang atau composing, atau entahlah, yang penting anak-anak udah sepakat kasih kesempatan buat Bagas.....” lanjutku.
“Kalo cuman buat balas dendam lucu-lucuan mah jadinya gak lucu dong… Malah ngehambat progress gak si? Ya gak Ma? Ya gak Mbak?” tanya Ai ke ibuku dan Kyoko.

“Kalau soal itu sih mama yakin masmu lebih ngerti” jawab ibuku diplomatis.

Ah, mereka bertiga. Entah kenapa rasanya aku kecil sekali disini. Aku harus cepat-cepat membereskan masalahku dengan Arwen. Aku tak ingin ini menggantung begitu saja. Aku tak ingin nantinya jadi problem yang berkepanjangan. Tak sehat rasanya.

“Mungkin, mereka bertiga sudah membicarakannya ya dengan Bagas? Betul tidak Aya?” tanya Kyoko.
“Engga, baru mau dibilangin ntar sore pas latihan rutin…”
“Eee?”

“Makin yakin aku ini akal-akalan kalian buat balas dendam sama Karina, udah deh, kalian mending cepet diberesin aja, jangan malah ngejailin Karina pake Bagas, Bagasnya juga belom tentu mau….” potong Ai.
“Gak tau dek, liat aja entar”
“Tuh liat mukanya muka orang frustasi banget, kasian deh, buruan beresin, bukannya malah dibecandain si Karinanya……….”

Aku tersenyum. Bukan, muka ini bukan karena Karina. Tapi karena Arwen. Penyiar radio yang dari sejak aku suka nongkrong di tempatnya Zul, mendadak jadi dekat. Awalnya hanya saling sapa dan saling ngobrol, lama-lama merenggang, karena aku jaga jarak, agar tak jadi salah paham. Lalu gara-gara problem dengan Karina, yang secara tidak langsung Arwen merasa ambil bagian disana, kami jadi dekat lagi dan aku jadi intens berkomunikasi, terutama mengeluh soal Karina padanya.

Dan mendadak, kejadian di Jogja itu membuyarkan segalanya. Aku membayangkan jika aku bersuara soal kejadian itu di meja makan ini, bukan tidak mungkin ibuku akan shock, stress, dan kecewa padaku, Ai akan melemparkan piring makannya ke mukaku, dan Kyoko akan bergegas packing, untuk kembali ke Jepang dengan tangisan di wajahnya.

Ini semua gara-gara aku, yang membuat suasana hatiku sendiri jadi kacau tak karuan. Entahlah.

“Yah, kita liat aja nanti…” jawabku. Entah menjawab apa yang mana.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Jadi nih si Bagas dikasih ke Karina?” tanyaku, menatap Anin dan Stefan yang sedang merokok tak henti-hentinya di hadapanku. Kami belum mulai akan latihan. Belum masuk ke waktu latihan, dan Bagas pun belum datang.

“Ya kita kasih aja… Chiaki aja bisa dibikin jinak sama Bagas, gimana kalo cuma Karina? Karina kan gak sakit jiwa, cuma ngeselin doang” balas Stefan.
“Sakit jiwanya tu cewek kan gara-gara elo” sela Anin.
“Emang udah sakit jiwa dari sananya begok”
“Gara-gara elu lah, cewek kalo dikasih harapan, di enak-enakin terus ditinggalin mah pasti jadi stress”

Harapan? Enak-enakin?

“Apalagi kalo udah ditidurin, makanya, seks sebelum nikah itu it’s a big no-no” sambung Anin dengan muka jumawa.
“Sok bener lo…” ledek Stefan.
“Tapi bener kan? Coba deh, elo sebagai penjahat kelamin, coba lo pikirin konsekuensi-konsekuensi akibat kenakalan elo…”

“Ah gue mah nidurin ga pake hati, yang pake hati mah, yang ngePHP-in Kanaya” ledek Stefan kepadaku.

Aku cuma tersenyum kecut. Gak Kanaya doang sekarang Fan, ada lagi kejadian gak jelas, tapi yang ini lebih gak jelas. Entah kenapa aku merasa semesta sepertinya mencoba meledekku, atau, kalau aku mencoba berpikir positif, mengingatkanku untuk menyadari kalau yang terjadi itu salah.

Karena tidak ada pembenaran tolol, semacam khilaf, atau necessary mistake(s). Bullshit lah itu. Salah mah salah aja. Dan kalau mengingat tatapan Arwen ketika aku pergi, sepertinya dia shock juga. Dan kalau mengingat instagramnya yang sepi sampai beberapa hari setelahnya, padahal dia sedang liburan, dia pasti merasa bersalah juga.

Mendadak kami dikagetkan oleh suara kendaraan bermotor yang datang. Bagas. Ya, Bagas datang, selalu tepat waktu, tak seperti Toni yang suka telat dan parah telatnya.

Tampangnya muncul tak lama setelah suara mesin menghilang. Tampang khas Bagas yang datar, dengan langkah yang penuh percaya diri dan determinasi, sambil menenteng tas yang berisi peralatannya, stick drum dan lain sebagainya. Bibirnya datar, tatapannya tajam dan posturnya tegap. Sekalinya aku melihat dia senyum….. Wait, belum pernah. Belum pernah ada satupun dari kami berempat yang pernah melihat Bagas tersenyum.

Seperti biasa, tanpa suara, dia melepas sepatunya di teras, dan langsung masuk tanpa menyapa kami atau berkata apapun.

“Bagas” tegur Anin.
“Ya” jawabnya sebelum membuka pintu studio.
“Mau ngobrol bentar sini”
“OK” jawabnya dan dia pun langsung berbelok dari pintu, dan duduk di teras bersama kami bertiga.

“Ngomong-ngomong sama project yang bareng orkestra itu, kita kebetulan pas ketemuan sama Karina yang besok pada gak bisa…. Gue ada jadwal ngajar mendadak, Stefan gak bisa ninggal rapat penting di kantor dan Arya mau periksain Kyoko ke dokter kandungan” jelas Anin.
“Udah hamil?” tanya Bagas sambil menatapku.
“Belum, cek aja kok, rutin, biar calon ibu sehat” senyumku. Padahal bohong. Dari ketiga keterangan diatas, tidak ada satupun yang benar. Semuanya omong kosong belaka.

“Oh. Ok” jawabnya pelan. “Sore kayak biasa kalian suka obrolin di grup kan?” tanyanya. Dia selalu memantau grup, tapi tak pernah bersuara atau mengetik apapun.
“Iya”

Dia mengangguk, lalu berdiri lagi. Dan masuk ke ruangan studio. Kami bertiga menatapnya, dan bersyukur karena dia tidak menolak.

Stefan mengajak Anin tos tanpa suara, dan aku bernafas lega. Setidaknya kami untuk satu pertemuan tidak bertemu dengan Karina, dan biar Karina rasakan sendiri betapa sulitnya berkomunikasi dengan Bagas untuk aransemen lagu.

Rasain.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

adobes10.jpg

Sekarang, kami berada di stasiun radio itu.

Aku sebenarnya tidak tahu kapan saja jadwal Arwen siaran. Dan dia tidak memposting apapun di sosial media. Mungkin dia tidak ada disini. Dan kami baru saja menghabiskan sebuah lagu secara live, sekarang sedang dipotong iklan. Penyiar yang mewawancarai kami dari tadi juga bukan Arwen. Dan dia tidak terlihat ada disini.

Mungkin karena tahu kami mau datang, dia menghindar. Dan masuk akal sepertinya kalau menghindar. Mungkin dia canggung kalau aku ada disana. Mungkin dia belum siap kalau kuajak bicara.

Mungkin.

Aku menghela nafas sambil tetap menyelidik ke arah manapun di dalam studio radio ini. Entah aku berharap Arwen ada atau tidak. Kalau dia tidak ada mungkin lebih mudah, tapi kalau dia ada, masalah mungkin bisa kami berdua bicarakan. Stefan sedang berbicara dengan penyiar yang bertugas mewawancarai kami. Anin terlihat asyik sendiri melihat-lihat ke sekeliling, sedang Bagas sedang diam.

Tak satupun dari kami yang memegang handphone, karena memang tidak boleh.

Seorang kru mendadak memberi aba-aba.

Kami akan live sebentar lagi. Aku menaikkan volume gitar akustikku di efek gitarku. Aku berdiri dari kursi dan duduk kembali, untuk meregangkan badanku. Bagas masih tetap tampak nyaman di balik drum set minimalisnya. Dia sudah bertemu dengan Karina untuk menggantikan kami. Kami sudah menanyakan bagaimana hasilnya. Tapi jawabannya cuma “OK lah” dan tanpa penjelasan apapun lagi.

Untuk sekedar bertanya bagaimana hasilnya ke Karina, tentu saja kami malas. Buat apa ngobrol di media sosial dengan orang seperti itu? Malas pastinya.

Anin siap dibalik bass akustik dan Stefan kini sudah berhenti bicara dengan sang penyiar. Aku familiar dengan wajahnya. Entah aku pernah melihat dia ada di tempat Zul, ataupun lewat foto-foto Arwen di instagram. Kru mulai menghitung mundur. Kami siap untuk memainkan lagu kami. Tanganku sudah memeluk gitar dan siap untuk memainkan lagu berikutnya.

LIVE.

Dengan aba-aba, kami mulai bermain, dan suara musik kami bergema di ruangan studio tersebut. Riff-riff gitar yang biasanya penuh distorsi kini menarik di gitar akustik, aku fokus membunyikan gitarku, sementara menunggu Stefan bernyanyi dengan tone yang lebih lembut daripada biasanya. Sekarang dia sudah mulai bernyanyi, menyanyikan lirik-liriknya yang getir dan miris, merdu namun menyayat.

Stefan memakai t-shirt hitam, dan memakai kemeja flanel lengan panjang, menutupi tatonya di sekujur tangannya. Anin seperti biasa, memakai jersey timnas Indonesia. Padahal kita tidak sedang manggung di luar negri. Sedangkan aku seperti biasa lah, t-shirt yang ada hubungannya dengan musik, dengan jaket dari merk olahraga ternama asal Jerman.

Kami bermain musik seperti biasa, dengan nyaman dan santai. Sebentar lagi giliranku solo gitar, setelah nyanyian Stefan berhenti. Aku sudah menghitung dan mulai mereka-reka nada seperti apa yang ingin kumainkan. Oke, saatnya untuk mulai liar sedikit.

Aku mulai masuk ke not-not miring yang jadi ciri khasku. Aku melihat sang news anchor dan beberapa kru menggoyangkan kaki mereka mengikuti irama kami bermain musik. Nada-nada mengalir dengan merdu sekaligus sumbang yang disengaja. Musik kami memang didesign seperti itu, enak dinikmati dan menyayat dengan hantaman yang pas. Pantas saja kami bernama Hantaman.

Dan ketika aku sudah mulai solo, rasanya sangat nyaman, lancar dan….

DAMN.

Salah pencet not. Soloku mendadak amburadul, walau aku bisa membereskannya lagi. Anin tampak sadar akan kesalahanku. Dia melirik dan memberikan muka galak. Karena aku tidak biasa melakukan kesalahan. Tapi selain Anin, sepertinya yang lain tidak sadar. Oh tidak. Ada satu orang lagi yang sadar.

Arwen. Dia mendadak ada di tempat ini, menatap kami semua yang ada di studio dari jendela kaca besar. Dan saat dia ada tadi, soloku mendadak amburadul. Aku mencoba tidak mengindahkan keberadaannya.

Dia berdiri di samping seorang kru, sambil mengobrol dengan suara yang tak dapat kudengar. Dia mengeluarkan handphonenya dan tampak mengambil foto atau merekam kami dalam sebuah video. Shit. Aku jadi makin tak konsentrasi. Dia berdiri disana dengan pakaian yang menarik. Atasan yang colorful, dengan skinny jeans yang warnanya cocok. Riasan tipis di wajahnya membuatnya terlihat lebih menarik.

Keringat dingin mungkin mulai mengalir di punggungku, mungkin juga tidak.

Dia menatapku, lalu mata kami bertemu. Dan kami saling membuang muka saat mata kami bertemu.

Sial.

Dia masih ada disini rupanya.

Sial.

Sekarang aku sedang berupaya untuk menata permainan gitarku kembali, sebelum orang selain Anin dan Arwen menyadari permainanku mendadak ngaco dan memburuk.

Sial.

--------------------------------------------

Dan dia masih ada disini, di dalam tempat ini disaat kami sudah beres pun. Siang ini tampaknya jadi terasa sangat lama karena Arwen ada di sekitarku, walau dia tidak bertugas ataupun terlibat dengan urusan kami disini.

Aku dan Anin sedang membereskan alat-alat kami, seperti biasa, Stefan dan Bagas tampak duduk di kursi yang dekat dengan Arwen yang sedang berdiri, tertawa-tawa ringan, dengan Mas Awan dan juga rekan-rekan sesama penyiar dan kru radio, walaupun bisa kurasa beberapa tawanya agak dibuat-buat untuk menutupi kecanggungan diantara kami berdua.

“Abis balik mau kemana?” Anin dengan muka sumringah.
“Terserah” jawabku sambil memperhatikan gerak-gerik Arwen dengan canggung.
“Ke tempat bini lo ya? Gue mau nyantai hari ini, sekalian gue pengen ngajak kalian semua ngobrol” tawanya terlihat sangat lebar, seperti kucing di cerita Alice and Wonderland.

“Boleh, Bagas diajak lah sekali-kali… Kasian dia diumpanin ke Karina tapi kalo ngumpul di luar urusan musik dia gak pernah diajak, dan ngobrol apaan sih?” tanyaku dengan gerakan yang kaku.
“Ada deh.. Ntar aja dah pas udah sampe Mitaka”
“Sok misterius” komentarku.

“Gapapa lah hahahaha” tawa Anin, seperti orang yang baru saja menang lotre. Entah apa yang ada di dalam pikirannya dia. Mungkin dia mau ngajak kami ikut main ke Singapura untuk menyambut Zee yang liburan mungkin, atau dia mau apa. Entah lah.

“Ajak Bagas tapi”
“Bisa sih, tapi dia sukanya gak mau, tapi harus gue paksa kalo buat ini mah… Sekalian gue pengen nanya lebih detail soal kemaren dia sama Karina gimana, gak mau cerita mulu dia soalnya tadi sebelom live…. Gue nanya japri lewat wassap gak dibales, unik yak…” senyum Anin.

Aku mengangguk, dan aku menenteng peralatan bermusikku ke arah Stefan dan Bagas.

“Si Anin ngajakin kita semua ke Mitaka, katanya mau ngobrol, elo juga ikut katanya Gas” bisikku ke mereka berdua. Bagas hanya mengangguk tanda persetujuan.
“Mulut gue asem pengen ngerokok, BTW tu anak tumben gak nyamperin elo? Biasanya kan suka heboh kalo ada lo di deket dia…” tanya Stefan sambil melirik ke Arwen.
“Ga tau”

Aku mengeluarkan handphoneku dan mendadak aku mencoba memberanikan diri untuk bicara dengan Arwen. Sebentar saja. Aku ingin agar ada kesepahaman yang sama soal kejadian di Jogja itu, dan bagaimana caranya untuk melupakannya, serta mengembalikan hubungan pertemanan yang sepertinya jadi agak aneh sejak kejadian itu.

Aku memberi pesan padanya di media sosial.
“Bisa ngobrol sebentar?” tanyaku. Dia langsung tanggap dengan getaran di handphonenya dan dia melirik ke layarnya.
“Bisa.. Kapan?” tanyanya balik.
“Sekarang”

Dia langsung melirik kepadaku dan dia mengangguk ke arahku. Aku mengangguk pelan balik dan beranjak ke luar ruangan itu.

“Kemana?” tanya Stefan.
“Berak” jawabku asal, agar tidak banyak pertanyaan dari mereka.

--------------------------------------------

Kami berdua ada di dalam sebuah ruangan yang kosong. Aku hanya mengikuti Arwen berjalan di seputaran stasiun radio itu.

Kami tidak bicara di dalam yang tampaknya lebih cocok disebuh sebagai gudang itu.

Arwen berdiri bersandar di tembok, dan kami berdua sedang berciuman dengan panasnya di dalam ruangan yang terkunci dari dalam itu. Aku dan dia saling melumat, tak peduli bekas-bekas lipstik dan make up menempel di wajahku atau tidak. Tangan kanannya memegang pipiku, sedang tangan satunya terpaku ke dinding, dimana aku sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat.

Tanganku yang satu lagi sedang berusaha menurunkan celananya.

Saling mencium, menghisap, dan saling bermain lidah, kami seperti lupa untuk apa kami keluar dari studio tadi. Ngobrol macam apa ini? Ngobrol macam apa yang mendadak dari diam langsung bercumbu dengan kasar seperti ini? Kami seperti tidak berusaha untuk saling melepas. Kami masih saling berciuman, tak peduli dengan kemungkinan kami tertangkap basah oleh siapapun yang curiga, walaupun kami sudah mencoba untuk tidak membuat suara apapun.

Aku berhasil melepaskan celananya. Arwen melepaskan tangannya dan pipiku dan dia membantuku dengan cara melepaskan celana dalamnya. Celana dalamnya dia coba turunkan kebawah, aku ingin membantunya tapi rasanya sayang melepaskan ciuman dengan dirinya yang selalu penuh nafsu ini.

Arwen berinisiatif dengan menekuk salah satu kakinya, dan dia bertumpu ke badanku. Berhasil juga dia. Celana dalamnya kini nangkring di kaki kirinya, di atas sepatunya. Tanganku yang dari tadi sibu kini mencoba masuk ke dalam celananya.

Basah.

Kami padahal belum lama berciuman dan saling mencumbu seperti ini, tapi tampaknya nafsunya sudah diatas ubun-ubun, sama sepertiku. Aku menarik kaki kanannya, berharap kakinya cukup elastis. Kedua tangan Arwen kini berusaha membuka celanaku dan menurunkannya. Agar cepat, aku membantunya dan tak lama kemudian celanaku jatuh bersama pakaian dalamku dan penisku berdiri tegak.

Aku kembali mengangkat kaki kanannya, menaikkannya setinggi pinggangnya dan lalu mencoba menyelipkan penisku diantara kedua belah pahanya. Berhasil kutemukan bibir vaginanya, dan penisku lalu masuk secara perlahan. Arwen tampak menggigit bibirnya dan badannya bergetar. Aku mulai menggerakkan penisku di dalam vaginanya.

Tangan kiriku menggenggam pahanya agar tak turun. Sementara tangan kananku memeluk badannya, kedua tangannya bergantung di leherku, dan dia membiarkan bibirku melumat wajahnya. Mulai dari bibir, hidung, leher dan dagu, semuanya kucium dengan asal-asalan dan penuh nafsu. Aku semakin bersemangat memompakan batang kemaluanku di dalam lubang kewanitaannya.

Kami berdua berusaha agar tidak bersuara. Hanya suara nafas kami yang terdengar. Nafas berat yang terengah-engah. Kami sudah gelap mata. Tidak ada lagi yang bisa menghentikan kami detik ini.

Penisku terus menghunjam vaginanya dalam posisi berdiri.

Kami bahkan tidak melepas baju kami. Rasanya seperti sedang melihat adegan dari film porno. Kami berhubungan seks di tempat yang tidak semestinya, di waktu yang tidak seharusnya, bahkan kami berdua seharusnya tidak berhubungan seks lagi.

Ngobrol bullshit. Ngelurusin sesuatu bullshit. Kami tadi memang mencari-cari tempat sepi untuk bicara. Karena hal sensitif yang akan dibicarakan, Arwen mengajakku masuk ke ruangan yang kosong, dan satu-satunya tempat dimana kami berdua bisa bicara diam-diam. Setelah, bukannya ngobrol, tapi kami malah saling menerkam. Aura seksual yang dipancarkan olehnya entah kenapa sangat kuat. Rasanya seperti sepasang binatang yang sedang dalam musim kawin. Ketemu langsung ngeseks. Apa-apaan ini?

Berak. Itu izinku ke Stefan.

Berak macam apa yang melibatkan ciuman, saling pegang organ vital, dan sekarang malah ngeseks dengan posisi berdiri?

Penisku terus bergerak maju mundur dan kami sedang melakukan french kiss yang bisa dibilang sangat panas. Bibir kami saling terbuka, menempel dengan eratnya, dan lidah kami saling bermain. Apa-apaan ini. Arya dan Arwen sedang bercinta di tempat seperti ini?

Penisku makin lama makin tegang, terpacu oleh adrenalin karena kami berhubungan di tempat yang tidak seharusnya. Well, bahkan hubungan ini bukan hal yang seharusnya terjadi, tapi toh tetap saja, penisku bergerak maju mundur di dalam vaginanya yang super-super basah, entah karena apa. Apakah dia selalu seperti ini saat kami bertemu? Ataukah hanya karena kejadian di Jogja kemarin. Entahlah, aku tidak ingin membahasnya dan aku sedang fokus untuk memacu diriku sampai ke puncak kenikmatan yang singkat ini.

“Nnggghh” aku mengerang tertahan, saat aliran darah mulai memberi isyarat agar penisku memuntahkan spermaku. Aku mencabut penisku dengan mendadak, dan spermaku muncrat, membasahi paha Arwen dan menetes ke lantai. Aku dan dia masih berciuman walaupun aku sudah selesai.

Dia mendadak melepas ciumannya denganku dan kami saling bertatapan dengan tatapan yang masih penuh dengan nafsu.

Tanpa suara, kami berciuman lagi, mengakhiri kejadian singkat yang menegangkan siang ini.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg
https://ci3.*********************/proxy/C8IkLD--WxgxQejFVO2NAc7M2vkaD5xAijx6JKRHHGNfly_zhqozzxmxlEWw5H2PGCKq7bMn3a_KFf_TDet2zlXW4GW3EHbfZg=s0-d-e1-ft#https://i11.servimg.com/u/f11/11/85/95/77/pengen10.jpg

Aku sedang menemani Stefan di dalam mobil saat dia berusaha mengeluarkan mobilnya dari parkiran. Dia berusaha mengarahkan mobilnya keluar area parkir dan menuju ke Kemang, ke tempat istriku dan Zul.

“Si Anin apaan yak, senyum-senyum kayak orang bego gitu padahal Cuma ngajak ke Mitaka doang” kesal Stefan.
“Tauk” jawabku dengan lemas.

Mendadak tukang parkir muncul, dan dia berusaha mencari uang receh di mobilnya.

“Ada gak?” tanyaku.
“Bentar, abis kayaknya” jawabnya.
“Nih” aku memberikan selembar uang ke Stefan, yang langsung ia bayarkan ke orang itu. Setelah keluar dari gerbang, dia tampak memperhatikan gerak-gerikku.

“Kenapa lo?” tanyanya menyelidik.
“Apanya yang kenapa?”
“Elo”

“Emang gue kenapa?” tanyaku bingung.
“Bentar”

Sambil menyetir, Stefan menghampiriku dan tampak mengendus dengan hidungnya. Dia mundur, lalu matanya menyipit dan dia bertanya dengan suaranya yang kencang.

“LO ABIS NGEWE???”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Anjing, jadi kesel gini sama arya.. Maen colokin kontol aja.. Padahal Udh berharap urusan bakal selesai.. Wkwkwk taek laah
 
Huahahahahahahaha... bangsat bener si arya.
Mending pendeta kontol gk pernah selingkuh.
 
Bang Aryaaaaaaaaaa.....
Khilaf mah sekali doang lho. Klo berkali2 mah doyan lho. Kasian Kak Kyoko lho. Kayaknya Bang Bagas mesti turun lagi buat beresin masalah2 kalian semua Bang. Gak Abang, Bang Anin, Koh Stefan dan semuanya tetep aja Bang Bagas yg beresin.

FIX DAH...
BAGAS 4 PRESIDENT...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd