Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Kyoko ngirim pesennya abis subuhan, sambil doain aya selamet pulang ke jakarta, dan yg terjadi, voila!! Sungguh ironis, aya menjilat ludah sendiri.

Setia itu emang sulit, apalagi di depan mata ada cewek macem arwen, yang udah mau jadi tempat croot, eh curhat ding, semalaman pula berdua di kamar hotel. Nah, yg jadi pembeda dari aya biasanya ( adalah datang darimana gairah itu? Mabok gele ya ngga, Aya kan udh berenti, ga minum alkohol jg. Murni akan daya pikat arwenkah?? Bisa jadi. Atau karna masih kesel akibat ulah karinakah?? Bisa jadi. Atau rasa dari kopi yg "jelas lebih enak"?? Entahlah, biar aya yg jawab ntar pas curhat bareng sutepan.

Thanks updatenya master
Have a good time 4 yaall
 
MDT SEASON 2 – PART 31

--------------------------------------------

55ed0c10.jpg

Stefan dan aku baru saja hitung-hitungan kasar tadi pagi bersama EO. Tentu saja hasil penjualan CD semalam tidak fenomenal, tapi cukup. Toh penghasilan yang porsinya banyak itu hadir dari sponsor kok. Tapi setidaknya kami cukup puas dengan apa yang terjadi malam tadi.

“Kalo gini gue bisa pulang dengan lega” senyum Stefan sambil menatapku. Aku tersenyum membalasnya dan dia meregangkan badannya.
“Tar malem kan?”
“Ngapain mesti pake nanya pulangnya kapan, kan elo udah tau sendiri kapan..” balas Stefan.

Aku mengangguk sambil menatap koperku dan Stefan yang sudah rapih, tergeletak di atas kasur. Kasur. Aku langsung membuang muka dengan otomatis. Aku mengalihkan perhatianku ke handphone.

“Aya tidak balas-balas? Aya pasti capai…” pesan terakhir dari Kyoko. 2 jam yang lalu.

Sementara itu tidak ada pesan dari dan ke Arwen. Semua diam. Handphoneku seperti terjebak dalam waktu.

“Sayang semalem gue gak dapet tuh cewek, padahal mayan, gue lagi pengen denger cewek mendesah pake logat jawa” tawa Stefan.
“Haha” aku cuma tertawa ringan, tanpa ekspresi.

“Oke… Udah beres semua, yuk Check Out dan kita balik ke Jakarta. Kemaren lo emosi kayaknya musti ditenangin pake ngewe bini…” candanya. Aku hanya mengangguk sambil senyum. Aku lantas meraih koperku dan mencoba mengumpulkan semangatku untuk pulang mati-matian. Aku tak tahu harus bagaimana di depan Kyoko nanti.

Entahlah.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Aya!” Kyoko menyambutku dengan sumringah saat aku masuk ke dalam rumah. Dia memelukku dan berusaha merebut tasku dari tanganku. Aku melarangnya dengan gerakan pelan dan hanya memeluknya ringan sambil mencium keningnya dalam diam.

“Akhirnya pulang juga……” bisikku.
“Kasihan Aya, pasti lelah…. Sudah makan malam?” tanyanya.
“Belom… Kamu malam ini gak di Mitaka?”

“Karena Aya mau pulang maka Kyoko izin ke Zul untuk pulang lebih awal” senyumnya. Aku tersenyum balik, lalu berjalan dengan lemas ke atas, ke kamarku.

“Lemes amat mukanya?” tanya Ai yang sedang berkonsentrasi di depan televisi.
“Capek” jawabku pelan.
“Kata Mbak Kyoko si Karina ngomong yang enggak-enggak ya sama Anin, kampret emang” kesal Ai.
“He-eh” jawabku malas sambil menaiki tangga.

Dengan cepat aku menaruh koperku di dalam kamar, lantas duduk dengan malas di atas kasur. Aku membuka media sosial di handphone. Sepi. Hanya ada reminder dari Anin untuk jadwal bertemu lagi dengan Karina minggu depan. Aku membuka instagram.

guitar10.jpg

Lucu. Biasanya anak itu selalu rajin update stories dan macam-macam lainnya. Tapi sejak tadi malam, tidak ada postingan apapun dari dirinya.

Aku menutup layar handphoneku dan segera menutup mata. Tidak, ini tidak boleh terulang lagi. Ini salah. Rasanya sekarang seperti terasing di rumah sendiri. Aku takut salah bergerak, salah bersikap dan salah bersuara. Ini tidak benar. Mendadak ingatanku kembali ke masa lalu, dimana aku selalu penuh emosi dan penuh kemarahan setiap mendengar berita dan cerita soal ayahku dari siapapun.

Aku tidak ingin jadi orang seperti itu.

Sekarang, aku hanya berharap lenyap dari dunia ini, meninggalkan dosa yang kulakukan semalam dengan Arwen. Aku masih ingat tatapan pasrahnya saat itu semua selesai. Dia menatapku kosong, dan dengan sadar ia pasti menyadari kalau semalam itu salah besar. Aku melempar handphoneku ke sebelahku, sambil berusaha menutup mataku, mencoba menikmati sepinya kamarku sendiri. Tapi tidak bisa. Aku terlalu terusik dengan bau harum Kyoko yang memenuhi ruangan ini.

Baunya sudah sama dengan bau Kyoko setiap hari. Dan setiap aku menghirup udara di kamarku ini, rasanya makin sesak dan makin bersalah.

Entahlah.

Aku pejamkan saja mata ini, sambil berusaha tidak mengingat-ngingat malam itu lagi. Aku ingin agar semua kegaduhan ini cepat beres saja. Minimal kegaduhan di kepalaku dan aku mengutuk diriku, belum selesai satu masalah, aku sudah menambah-nambah dan membuat-buat masalah sendiri.

Walaupun tidak ada yang tahu dan aku tidak berminat untuk memberitahu dan bercerita kepada siapapun soal aku dan Arwen, tetap saja itu masalah. Setiap kejadian pria yang sudah keluarga tidur dengan wanita lain itu adalah masalah. Mau suka sama suka sekalipun, mau hamil atau tidak hamil sekalipun, menurutku itu sudah masalah.

Dan cuma orang tolol yang tidak menganggap itu masalah.

Tapi kemarin kan karena Karina Ya? Karina yang membuat mu kesal dan mendorongmu untuk menjadikan Arwen sebagai objek pelampiasan.

Bullshit.

Orang tanpa kontrol diri itu namanya. Excuse. Cara untuk pura-pura tidak bersalah. Kita bisa memilih, stress dan tekanan di hidup kita dilarikan ke mana, apakah ke hal yang positif atau hal yang negatif. Tadi malam itu hal yang negatif. Hal yang sangat negatif dan aku malu saat Ai dan Kyoko menatapku dan menyambutku pulang. Malu sekali. Rasanya aku menjadi kerdil dan ingin menggali lubang dan masuk ke dalamnya.

Mendadak pintu terbuka.

“Aya lama sekali, Kyoko tunggu dibawah, katanya Aya belum makan?” tanya istriku dengan muka yang ceria.
“Hmm…” Aku masih berbaring dan menatap dirinya yang masuk.

“Aya mengantuk?”
“Sini…” bisikku.

Kyoko menurut dan dia lantas duduk di dekatku. Aku beringsut dan menggunakan pahanya sebagai bantal. Kyoko mengerti bahasa tubuhku dan dia membelai rambutku perlahan, sambil memeluk kepalaku dengan lembut.

“Aya harus makan, kok tidak segera makan?”
“Aku mendadak gak laper”
“Tapi Aya kan harus makan?”
“Gak laper…. Langsung tidur boleh?”

Bohong. Perutku rasanya kosong seperti mau mati. Tapi aku lebih memilih untuk ada disini, memenangkan diriku, sebelum aku mampu menatap muka kalian bertiga bersamaan. Muka ibuku, Ai dan Kyoko.

“Yasudah, Aya tidur saja, pasti capai… Kyoko temani ya…” senyumnya kepadaku. Dan aku malah makin membenamkan kepalaku ke paha Kyoko, sambil menahan rasa panas di kepalaku, dan menahan agar aku tidak melelehkan air mataku.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan Ya?

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

5a8e7910.png

I survived another day in hell.

Masih sama. Penuh dengan adu nyinyir, walau kami hari ini membuat progress yang lumayan banyak. Aku dan Anin membereskan gitar dan bass yang kami bawa. Dan aku malas sekali melihat tampang Karina hari ini. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan pakaian dan riasannya. Yang salah hanya satu. Karena dia Karina. Itu salah besar. Kesalahan dirinya adalah karena dia Karina.

Mas Awan membereskan partitur yang penuh coret-coretan. Dia akan merapihkannya katanya, membuat versi cetaknya untuk nanti ketika beres, didistribusikan ke seluruh pemain alat musik gesek. Baguslah, jadi tidak makan gaji buta orang ini. Produser kok diam saja saat Music Directornya menyerang Artist nya? Gimana sih?

“Makan bareng dulu Ya?” tanya Anin kepadaku.
“Gue mau ke Mitaka, jemput bini…” aku melihat jam. Sudah jam 7 malam. Jalanan lagi macet-macetnya. Untung hari ini aku bawa motor.

“Yah, pas lagi macet ya jam segini mah”
“Makanya gue males bawa mobil tadi, bawa motor aja”
“Ah… Tau gitu gue naik gojek aja ya…”
“Lo kebiasaan bawa mobil sih…”

“Ngomong-ngomong, Mas Arya dan Mas Anin, bisa ngomong bentar?” tanya Mas Awan. Karina sudah ngacir entah kemana. Mungkin dia tidak tahan bertahan lama-lama ada di dekatku. Tak apa, aku juga tak tahan berlama-lama ada di dekat dia.

“Boleh” jawab Anin sambil tersenyum ke Mas Awan. Aku dan Anin menghentikan kegiatan beres-beres kami sejenak dan menghampiri Produser kami itu.

“Jadi gini… Karena kita sudah sekitar 80% beres proses aransemennya, kita bakal promo juga ke radio-radio.... Kalaupun nanti di radio ada perform, formatnya kalian bakal akustikan aja…” senyumnya.
“Gimana tuh Mas, kayaknya menarik..” tanyaku sambil duduk kembali.

“Jadi ntar di acara itu kalian jadi bintang tamu di acara, secara global sih ngomongin kegiatan kalian akhir-akhir ini, tapi nanti kalian banyak ngobrolin juga buat persiapan acara ini, biar orang yang nonton prepare kalo kalian mau konser bareng sama orkestra....”

“Menarik” balas Anin. Aku mengangguk tanda setuju. “Di mana aja Mas?”

“Karena kita mau penetrasinya ke pasar pop dan menengah ke atas…. Kita ada beberapa nama radio yang udah deal.....”

Mendadak jantungku berhenti. Mas Awan menyebutkan nama radio station tempat dimana Arwen bekerja.

Aku berusaha menghentikan ekspresi muka khawatirku, dan pura-pura senyum, terlebih lagi setelah kulihat muka Anin tampak sumringah.

“Berita bagus Mas, makasih lho…” balas Anin.
“Iya, sekalian nanti di radio saya dampingin sih, ngga pake ikut kok Karina..” Mas Awan tersenyum kepadaku, berharap itu menjadi berita baik untukku. Iya disatu sisi. Tapi di sisi lain, what the actual fuck. Telingaku berasa panas dan akupun rasanya seperti malu sendiri.

“Saya udah lama gak ketemu si Arwen sih, jadi ntar sekalian ketemuan saya pas ke sana... hahaha…. BTW katanya dia sabtu kemaren ikut nonton launching band yang kalian orbitin ya?” tanya Mas Awan.
“Si Arwen nonton Ya?” tanya Anin juga.

Aku diam terpaku, bingung harus menjawab apa.

“I… Ya sih” jawabku canggung.
“Demen banget tuh anak itu jalan-jalan kemana-mana, kayaknya ada aja tiap bulan jalan-jalan, maklum kali ya, masih single tuh bocah”
“Iya..”

“Kadang saking gemesnya karena dia single mulu pengen banget saya jodoh-jodohin ke orang-orang yang saya kenal, tapi setau saya, kalian semua udah punya pasangan sih ya?” tawa Mas Awan. Telingaku makin panas.
“Stefan belum sih, tapi jangan deh… Hahaha”
“Gak cocok sepertinya, cocokan yang kalem-kalem kayak kalian” balas Mas Awan ke Anin.

Percakapan macam apa ini ?

“Cocoknya sama si Zul sih kayaknya” tawa Anin.
“Siapa tuh?”
“Temen kita, punya coffee shop di Kemang bareng sama istrinya Arya, si Arwen itu sering main kesana…. Kayaknya emang cocok sih Zul sama dia, ya gak Ya?” tanya Anin kepadaku.

“Ah? Iya…. Mungkin sih, gak tau juga” jawabku dengan aneh. Kalau mereka semua Stefan, mungkin mereka bisa langsung mencium gelagat anehku dari tadi.
“Belum pernah ketemu sih saya sama orang itu, boleh lah saya kapan main ke Kemang, haha…. Sekalian ketemu sama istrinya Mas Arya” lanjut Mas Awan.

“Iya mas…” jawabku dengan awkward.

“Oke deh, ntar saya kabarin detailnya, saya sekarang mau jalan dulu, tinggalin gapapa ya?” tanya Mas Awan.
“Oke” jawab kami berdua hampir bersamaan.

Aku dan Anin menatapnya pergi sambil melanjutkan kegiatan beres-beres kami. Setelah selesai, Anin mengajakku menemaninya merokok sebentar di luar. Aku menurut saja. Tak ada ruginya menemani teman, apalagi di tengah suasana tidak nyaman di hati seperti hari ini.

Kami berdua sampai keluar sambil menenteng tas yang berisi alat musik kami. Anin menyalakan rokoknya dan mukanya menjadi lebih santai.

“Stress ya sama Karina”
“Banget”
“Dan gue minta maaf karena waktu itu gue gak bisa ngapa-ngapain di depan dia….” lanjut Anin.
“Gue sempet kesel banget sama elo sih, tapi ya mau gimana lagi, lo sama Karina gak ada hubungan apa-apa dan gak pernah ada sejarah gak enak, awkward banget kalo lo ngebelain gue mati-matian” jawabku sambil bersender di pilar.

“Hahh…” Anin menarik nafas dan memandang rokoknya.
“Zee apa kabar?” tanyaku memecah keheningan.
“Baik banget…..” senyumnya mendadak sumringah.

“Kalo Ilham?”
“Dia kan sebenernya udah beres S2 dari maret kemaren, tapi dia masih ada yang harus diurusin di Jepang, jadi dia pulang September”
“Oooh…”
“Bareng Zee juga pulangnya…” lanjut Anin dengan senyum.

“Kok bareng, yang satu ke Jakarta, yang satu ke Singapur kan?”
“Iya, tapi gitu deh” mukanya tampak senang. Senang sekali, seperti tidak dapat dikontrol lagi rasa senang yang ada di dalam hatinya.
“Dia beresnya kapan? Si Zee?”

“Maret taun depan…” jawab Anin.
“Terus rencananya abis lulus?”
“Hehehe…” jawabnya dengan aneh.

“Kawin?”
“Hehehehe….”

“Tapi kalian gak intens lo ketemuannya, mendingan pas dia balik ke singapur lo maen kesana, lo ajakin pacaran kesana kemari aja hahah” tawaku sambil melihat kemacetan ala Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ada di hadapan gedung ini. Kudoakan Karina tenggelam dan terlelap di kemacetan tai anjing itu.

“Hehehehe”
“Taik ketawa terus…. Apaan sih” kesalku lama-lama.
“Ntar gue kasih tau pas kita udah ngumpul semua deh…”
“Ah paling apa, lo kan suka gitu, sok heboh terus pas ngasih tau, biasa-biasa aja….”

“Biarin, eh tapi, gue punya ide deh…. Gue lama-lama jenuh kalo ketemu Karina terus Ya, bukan apa-apa, mana enak sih liat orang harusnya kerja biasa-biasa aja malah banyak berantemnya kalo ketemu elo…” lanjut Anin.

“Ide apaan? Bolos? Ntar dia nyap-nyap lagi… Bisa mati gue kalo di nyap-nyapin dia, mending gue ketemu sama nenek lampir, lebih mending kayaknya” ucapku kesal, sambil memikirkan soal Arwen. Damn it.

“Bagas” bisik Anin.
“Kenapa soal si Bagas?”
“Kita minta dia yang dateng sekaliii aja ketemu sama Karina, kita bertiga ga usah…. Gimana, pura-pura kita pada sibuk?” tanya Anin.
“Jahat sih buat Bagas” senyumku kecut.
“Atau lo pengen liat Bagas belain lo dari Karina, jadi dia dateng, elo juga dateng?” tanya Anin.

“Jahat Nin”
“Sekaliii aja, kan tinggal 4 lagu doang kan yang belom diapa-apain?” tanya Anin.
“Jahat”

“Enggak, yakin deh, dia kan sepupu gue”
“Elo kan biasanya paling males sama jail-jailan dan iseng-isengan, lo kok kedengeran kayak si Pendeta Kontol sih Nin?” tanyaku bingung. “Kalo Stefan yang ngomong gini sih gue gak aneh” balasku.

“Bentar….” Anin mengambil handphonenya, dan menelpon Stefan. Dia menyalakan speaker phone. Nada sambung terdengar, dan tidak lama kemudian, suara agung Pendeta Kontol terdengar.

“Paan nih” sapanya.
“Fan, gue sama Arya baru beres bareng Karina”
“Udah tau, mau ngobrol apa, gue lagi nyetir nih…. Tar gue nabrak dan mati, gue hantuin kalian berdua”
“Gini, gue ada ide, kan kita tinggal dikit lagi nih ngaransemen, paling dua-tiga kali ketemuan lagi….. Sama ada berita kita mau dimasukin radio nih sama Mas Awan..” balas Anin.

“Yang Radui dulu deh, masukin mana? RRI?”
“Bukan, tapi salah satu yang udah di pastiin itu…” jawab Anin sambil menyebut nama sebuah stasiun radio.
“Wah, asik dong, si Arya ketemu sama fans nya, yang bela-belain dateng ke Jogja buat liat Speed Demon…”

“Dia kebetulan aja, lagi liburan sama temen-temennya” jawabku dengan canggung.
“Ah, tau aja nih Mas Arya, lucu tau, si Arwen manggil doi pake Mas”
“Kalian semua dipanggilnya pake Mas tauk”
“Biarin, udah, yang satu lagi, soal ide bagus, buruan, gue mau ke tempatnya Cheryl nih, gue mau nyari memek bagus, bosen gue ke coffee shop mulu, ketemunya si Zul lagi, Kyoko lagi, gue mau cari memek antariksa, buruan omongin!” bentaknya dari sebrang sana.

“Jadi, tadi gue kepikiran, kalo next meet up kita kasih si Bagas gimana?” tanya Anin.
“……….” Hening.

“Fan?”
“Bentar, ada motor gak punya otak ngelewat hampir nyamber spion gue, ulangin!” serunya.
“Bagas, buat ketemu Karina di meet up selanjutnya”

“Hmm…”
“Gimana?”
“Bukan ide bagus sih menurut gue” balasku.

“IDE BAGUS!!!! PINTER!!! Gak dari dulu kek lo obrolin, kasih lagu yang gampang aja ke Bagas, biar si Karina tau rasa dia dimamam kali sama si Bagas!!” teriak Stefan kegirangan.
“Anu, Emang kita tau Bagas bisa bedah aransemen lagu kita? Yang bikin banyakan gue lho…” selaku.

“PEDULI SETAN!!!! Ini anggap aja revenge kita pas dia kemaren ngata-ngatain elo di depan Anin… SETUJU!!! PINTER!!! Gue beliin mainan robot lo Nin!!!” teriak Stefan dari ujung sana.
“Ya tapi…”
“Woi, Arya!! Gak pake tapi!! Gue veto!!”
“Emang nya elo dewan keamanan PBB?” tanyaku.
“Udah, kasih Bagas, biar dia mampussss”

“Siap… Makasih Fan, tar kita bertiga tinggal cari alibi supaya Bagas mau gak mau dateng ke tempatnya Karina” balas Anin.
“Oke. Dah! Jangan telpon lagi, gue lagi nyetir!” dan telpon itu pun berhenti dengan senyum puas Anin tersungging di wajahnya.

Aku menggelengkan kepala. Mungkin aku sedang tidak punya selera humor karena kepalaku ada di tempat lain. Ya, kepalaku masih di Jogja, memikirkan kesalahan yang aku perbuat disana. Aku jadi agak takut soal jadi bintang tamu di radio.

Entah kenapa aku agak ngeri membayangkan aku akan bertemu dengan Arwen lagi. Mungkin akan ada rasa canggung yang luar biasa besar, atau entah apa. Tapi mungkin kami juga bisa bertemu dan bicara seperti biasa, membuat semuanya yang terjadi di Jogjakarta dapat diobrolkan seperti layaknya dua orang manusia biasa yang berbuat kesalahan dan berusaha memperbaikinya.

Ya, mungkin bicara dengannya saat itu bisa membuat beban dosaku sedikit terangkat. Kami berdua pasti sama-sama paham soal apa yang kami lakukan. Soal kesalahan kami. Soal kekeliruan yang kami buat.

Mari kita lihat. I just want to make it right again.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd