Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MAAF, KITA SUDAH MANTAN

Part 12

Alex menyandarkan punggungnya dikursi, dengan kedua tangan di atas kemudi mobilnya. Pertemuannya dengan Arya tadi entah mengapa membuat emosinya tiba tiba tersulut.

"Sial!" Umpatnya.

Ia meremas rambutnya kuat, giginya gemeretak, lalu kembali mendengkus kesal.

[Aku suka Raya, Aku suka gadis itu]

***

Ucapan saudara tirinya itu kini kembali terngiang di telinganya, bak kaset yang diputar berulang-ulang. Beberapa kali ia membuang napas kasar seakan ingin mengusir kalimat itu dari pikirannya.

"Apa yang kau rencanakan, Arya?" Geramnya tertahan.

Stella, gadis yang ditaksirnya sejak masih sekolah dulu kini telah menjelma menjadi seorang aktris populer negeri ini dan membuatnya menjadi pusat perhatian. Membuat Alex hanya bisa menyimpan rasa cinta saja untuknya.

Stella dan Alex masih berhubungan baik sampai saat ini. Hanya saja hubungan mereka hanya sebatas teman. Terkadang mereka menghabiskan waktu bersama meski hanya sekedar membicarakan pekerjaan.

Alex, Stella dan Arya, mereka bertiga menghabiskan masa putih abu-abu di sekolah yang sama. Kala itu, Alex hanyalah adik kelas mereka, karena Stella dan Arya berada dikelas yang sama.

[Kau mungkin bisa membohongi ibumu, bahkan mungkin bisa membohongi dirimu sendiri. Tapi tidak denganku. Aku yakin kau dan Raya tidak memiliki hubungan apa apa. Entah mengapa, aku tak bisa mengerti mengapa kau bisa melibatkan gadis polos itu dalam hidupmu.]

Kalimat terakhir yang diucapkan Arya sebelum akhirnya ia masuk kemobilnya, kini terngiang kembali ditelinganya. Membuat pemuda blasteran itu berdecak kesal.

"Mengapa selalu saja kau mengganggu hidupku, Arya."

"Argghh ...!" Pekik Alex sambil meremas rambutnya.

"Ya, aku memang masih menyimpan perasaanku untuk Stella. Lalu, mengapa kau ingin ikut campur kali ini?" Geram pemuda itu.

Tangan Alex membuka dashboard mobilnya, lalu menarik selembar foto seorang gadis yang tersimpan disana, sebuah foto yang memang selalu ia letakkan disana.

"Kenapa aku tak bisa melepas rasa cinta padamu, Stella?"

Pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh dirinya sendiri itu membuat Alex mulai terbawa perasaan, tanpa ia sadari jika pertanyaan itu membawanya kembali mengingat kenangan masa lalunya.

****

"Aku melihatmu meletakan sesuatu didalam tas sekolah milik Stella," ucap Arya ketika baru saja Alex keluar dari kelas ini.

Rasa gugup melanda pemuda blasteran itu, ia tak menyangka jika rencananya menyelipkan sebuah hadiah untuk kakak kelas yang disukainya diketahui oleh Arya, senior yang kerap membullynya saat masa orientasi siswa setengah tahun lalu.

"Hei bule!"

Alex tak menggubris panggilannya. Rasa gugup karena ketahuan membuatnya segera mengambil langkah seribu meninggalkan tempat ini. Ia tak menyangka jika perasaan sukanya pada Stella, gadis yang menurutnya paling cantik di sekolah ini bisa diketahui oleh orang lain. Terlebih lagi Arya, kakak kelasnya yang tidak disukainya.

Demi bisa lebih dekat dengan Stella, Alex memilih universitas yang sama dengannya, usahanya berhasil. Hubungan mereka ada sedikit perkembangan. Hanya saja masih sebatas senior dan junior dikampus. Meskipun Arya juga berada dikampus yang sama, tak membuat Alex melupakan semua kisah yang terjadi dimasa sekolah dulu, pemuda itu masih tetap menyimpan rasa pada Stella.

Sebuah kesempatan akhirnya datang, ketika pesta ulangtahun Stella. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya Alex menyatakan perasaannya. Sayang, saat itu Stella menolaknya dengan alasan ia sudah memiliki seseorang yang spesial dihatinya, belakangan Alex akhirnya mengetahui jika pria yang disukai Stella adalah Arya. Pemuda yang masih berdarah ningrat Jawa itu.

Dering ponsel membuyarkan lamunan Alex. Ia mengusap kasar wajahnya. Entah mengapa sampai sekarang ia masih belum bisa melupakan rasa cintanya pada Stella, meski gadis itu telah menolaknya.

Nama Stella tertera dilayar pipih dalam genggaman Alex itu. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, mungkin pepatah itu yang cocok untuknya saat ini. Gadis yang ia pikirkan sedari tadi tiba-tiba menelponnya.

Dengan wajah mengulas senyum, Alex menjawab telepon Stella. Partner kerja, inilah hubungan mereka sekarang. Bagi Alex tak masalah yang penting ia bisa selalu berdekatan dengan wanita yang di cintainya selama ini.

[Kau bisa jemput aku tidak? Mobilku tadi siang tiba tiba mogok. Aku butuh tumpangan untuk pulang.]

[Tentu bisa, kau dimana?]

[Aku masih menyelesaikan pemotretan. Sebentar lagi selesai. Aku akan share lokasinya padamu.]

[Aku akan kesana]

[Terima kasih Alex]

Alex menutup panggilan teleponnya, bergegas ia menyambar jaket dan kunci mobilnya. Dengan senyum tipis diwajahnya, pemuda itu segera menuju garasi.

Lokasi pemotretan itu tak begitu jauh dari mall tempat Raya bekerja. Namun, tak begitu dipikirkan oleh Alex yang terlalu senang akan bertemu dengan pujaan hatinya selama ini.

Ferarri merah itu akhirnya membelah Jalanan. Menuju sebuah studio foto milik seorang fotografer terkenal. Beberapa kali Alex menatap kaca tengah spion mobilnya seakan ingin melihat wajahnya yang diselimuti rona bahagia.

Mobil yang dikemudikan Alex kini berbelok kearah deretan ruko-ruko mewah. Tak lama Ia bergegas keluar dari mobilnya. Lima menit kemudian, Stella keluar dari salah satu ruko dengan wajah tersenyum.

"Kupikir kau tak akan datang?"

"Aku kan tidak sibuk. Pekerjaanku hanyalah duduk diam saja," ucap Alex.

"Iya kau duduk diam tapi tetap dapat uang, warisan saham milik papamu dibeberapa perusahaan sangat banyak, cukup untuk biaya hidupmu hingga anak cucumu," balas Stella.

"Ha ... ha ...!" Alex tertawa getir karena apa yang dikatakan Stella semuanya benar.

"Oh ya, kau bisa temani aku pergi ke mall sebentar, aku harus mencari kado ulang tahun untuk seorang teman," pinta Stella ketika mereka berdua telah duduk di dalam mobil Alex.

"Baiklah, akan kuantar kau kesana."

Alex mengigit bibirnya ketika tahu bahwa Mall yang akan didatanginya adalah Mall tempat dimana Raya bekerja. Meski ia berusaha berkelit agar tidak ikut masuk kedalam, tetap saja ia tak mampu menolak ketika Stella menggandeng tangannya.

"Ayo, kita ke butik sebentar, aku ingin mencari tas disana. Kupikir tas akan menjadi kado istimewa untuk seorang teman baik, iya kan?" Ucap Stella sambil melirik pada Alex.

"Oh iya, tentu saja."

Mereka berdua kini tak berada jauh dari counter tempat Raya bekerja. Kerumunan penggemar tiba tiba mengelilingi Stella. Aktris pendatang baru yang sedang naik daun itu kini sibuk melayani penggemarnya, membuat ia lupa akan keberadaan Alex yang sedari tadi berada disampingnya.

[Mbak Stella, apa itu pacarnya? Kenalin dong]

Seorang wartawan on-line mencecar aktris cantik itu dengan beberapa pertanyaan, hingga karena kesal bibir Stella tiba tiba terucap sebuah kalimat penegasan.

[Dia, bukan pacarku. Kami hanya teman saja]

Ucapan Stella, membuat Alex hanya bisa tersenyum getir. Para wartawan terus mencecar artis cantik itu, karena apapun berita tentang Stella, akan selalu menarik bagi para penggemarnya. Dan itu akan menguntungkan portal berita selebritis online maupun offline.

Beberapa kali mata Stella melirik Alex, agar membantunya menyanggah berita itu, hingga pertanyaan seorang wartawan wanita mulai membuat Alex kehilangan kesabaran.

[Bagaimana mungkin kalian tidak memiliki hubungan spesial. Mbak Stella terlalu sering terlihat berdua dengannya. Mohon klarifikasinya mbak.]

"Itu benar, aku dan Stella. Ah, maksudku kami hanyalah teman. Karena aku sudah memiliki calon istri sendiri."

Ucapan Alex sontak membuat para wartawan berhenti mencecarnya. Namun, tanpa disadari oleh pemuda itu, jika raut wajah Stella tiba tiba berubah.

"Kau punya calon istri, kok tidak pernah dikenalkan padaku?" Tanya Stella begitu para wartawan itu pergi.

"Aku tahu kau tadi hanya menjawab asal saja kan, untuk mengusir mereka?"

"Tidak. Aku bicara benar."

"Si-siapa? Siapa gadis itu. Apa aku mengenalnya?"

"Tidak, kau tidak mengenalnya. Dia hanya gadis biasa, seorang gadis sederhana," tutur Alex.

Stella memilih bungkam, Namun, tangannya mengepal kuat. Entah mengapa gadis itu terlihat tak begitu senang mendengarnya.

Mereka berdua kembali berjalan menuju sebuah toko yang tak jauh dari kerumunan wartawan tadi. Tak lama, keduanya masuk kedalam.

Dari kejauhan, Raya melihat semua kejadian tadi, mata gadis itu berbinar mendengar apa yang baru saja diucapkan Alex. Ia tak menyangka jika Alex berani mengakui keberadaannya, meskipun hanya untuk mengusir para wartawan.

"Kau semakin membuatku bimbang, tuan!" Bisik Raya.

Bersambung.
 
Part 13

Dari kejauhan, Raya melihat semua kejadian tadi, mata gadis itu berbinar mendengar apa yang baru saja diucapkan Alex. Ia tak menyangka jika Alex berani mengakui keberadaannya, meskipun hanya untuk mengusir para wartawan.

"Kau semakin membuatku bimbang, tuan!" Bisik Raya.

***

Dua hari kemudian.

"Minggu depan aku akan pulang kampung, Win," ucap Raya pada teman satu kostnya ini.

"Pulang?"

"Ho-oh!" Jawab Raya sambil meletakkan kresek plastik hitam yang berisi dua bungkus Nasi Padang ini dari tangannya.

"Masalah lamaran itu?" Ucap Winda sambil membuka plastik hitam yang dibawa Raya.

"Iya," jawab Raya pendek.

"Wah, Nasi Padang yah? Enak nih, tahu aja kalau aku pengen makan rendang.

Kedua gadis itu membuka bungkusan Nasi Padang lalu melahapnya, tak hanya nasi, sekotak pizza yang dibawa Winda juga menemani menu makan malam mereka.

Mereka makan malam sambil duduk di sebuah bangku kayu panjang yang ada di depan kamar Winda sambil menikmati keindahan langit malam yang bertabur bintang, beberapa penghuni kost yang lain masih belum pulang, karena itu mereka bisa sedikit leluasa menikmati beranda depan kamar.

"Tante Sekar, mamanya Alex menemuiku di counter tadi siang, memintaku untuk mengabari emak akan kedatangan dan niat mereka untuk melamar," jelas Raya sambil menyendok nasi ke mulutnya.

"Lalu ...?"

"Apanya?"

"Kau menerima pernikahan ini?"

"Entahlah, aku sedang istikharah beberapa malam ini. Berdoa kepada yang Maha Kuasa, meminta diberi petunjuk. Agar niatku memiliki suami kaya terkabul."

"Ha ... ha ...!" Winda tergelak.

"Bisa juga kau istikharah. Kupikir kau hanya bisa memikirkan uang saja, lagipula bagus kan, kau bisa pamerin si tuan bule itu sama Mas Dhani, mantanmu itu," ejek Winda.

"Lidahmu memang sangat pedas, level 30, tapi aku setuju." Balas Raya lantas menggigit potongan daging rendang yang cukup alot.

"Lho kan emang begitu kenyataannya, kau kan sangat perhitungan dengan uang," Winda berkilah.

"Semua harus ada perhitungannya. Setelah mati juga ada perhitungan amal. Lagipula menghitung uang kan kebiasaan bagus. Begini-begini aku pernah mengaji dengan Pak Amir, lho," ucap Raya bangga.

"Terserah kau sajalah," ucap Winda menyerah.

"Ngomongin Pak Amir, itu yang haji tiga kali itu kan, yang rumahnya dekat lapangan?"

"Iya."

"Hebat, Pak Amir kan terkenal galak." Winda memberikan jempolnya.

"Ho-oh, berarti aku hebat kan." Cicit Raya terkekeh. Membuat Winda mencibir padanya.

"Nih daging, beneran mau ngajak ribut deh, dari tadi susah bener digigit," rutuk Raya.

"Digeprek pakai batu sana."

"Kau pikir daging geprek! Dendeng kali."

"Menu baru, bagus kan. Kau bisa jadikan ide untuk masakan hari pertamamu setelah jadi istrinya si tuan bule nanti."

"Lama lama ngomong sama kamu jadi ngawur. Bodo ah, nih beresin aku mau mandi." Ucap Raya sambil mengambil sepotong pizza dan melangkah masuk kedalam kamar kostnya.

"Dasar!" Cibir Winda sambil membereskan sampah sisa makan mereka.

***

Blam!

Stella menutup pintu mobilnya kasar lalu melangkah tergesa menuju kamarnya, entah mengapa hari ini ia tak begitu bersemangat. Beberapa kali ia harus mengulang take adegan untuk syuting hari ini. Menyebabkan gadis itu akhirnya pulang terlambat kerumah.

Jarum jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul dua pagi. Gadis itu melempar tas Herm*s Birkin Red Cherry miliknya ke atas ranjang. Lalu duduk didepan meja rias, mulai menghapus riasan wajahnya.

Sejak kejadian dimall beberapa hari lalu, suasana hatinya tidak begitu bagus. Seharusnya ia senang mendengar berita pernikahan Alex. Namun, entah mengapa wajahnya terlihat kusut.

"Ada apa denganku?" Ucap Stella sambil menatap wajahnya di cermin.

"Mengapa aku sangat kesal mendengar Alex akan menikah? Bukankah aku sendiri yang menolaknya dulu."

Stella merenggangkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya terpejam mengingat kembali akan kejadian di acara ulang tahunnya yang ke dua puluh tahun. Beberapa tahun lalu.

[Aku ingin menjadi seseorang yang spesial untukmu]

Ungkapan perasaan Alex padanya kala itu, kini kembali terngiang di telinganya. Saat itu, Alex hanyalah juniornya dikampus, seorang junior yang selalu mengikutinya. Membuat Stella merasa malu jika harus menerima cinta junior.

Bukan tanpa alasan ia menolak perasaan cinta Alex padanya, selain merasa malu, juga karena ia telanjur mengagumi Arya, pria berdarah oriental yang masih memiliki darah ningrat Jawa. Baginya hanya Arya sajalah yang cocok dan sepadan untuk mendampinginya.

Beberapa kali ia telah mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengan Arya, namun, pemuda itu seolah tak peduli. Arya seperti tak memiliki perasaan yang sama dengan dirinya, membuat aktris cantik itu menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

"Apa yang kurang dariku?" Gumam Stella.

"Keluargaku terhormat dan kaya. Aku juga populer, banyak gadis yang menginginkan kehidupan mewah seperti diriku. Banyak pria yang mengejar cintaku. Tapi, mengapa Arya tak bisa kudapatkan? Mengapa ia tak melirikku?" Stella berdecak kesal.

Sejak masa sekolah, Arya memang dingin dengan wanita, konon katanya hanya satu orang gadis saja yang pernah menjalin hubungan asmara dengannya ketika masa kuliah dulu. Setelah itu, tak pernah terdengar lagi kabar pemuda ningrat itu menjalin hubungan dengan gadis manapun.

"Mungkin aku harus mencoba mengatakan perasaanku padanya. Tak ada salahnya seorang gadis melamar pemuda impiannya. Bukankah Khadijah juga lebih dulu melamar Rasulullah."

Stella bangkit dari tidurnya. Melangkah menuju kamar mandi. Berniat membersihkan dirinya. Namun, sebelum benar-benar masuk kedalam kamar mandi, matanya menatap wajahnya di cermin.

"Sejak pesta ulang tahun ku, Alex tak pernah terlihat dekat atau menggandeng seorang wanita, lalu sekarang katanya ingin menikah?"

"Siapa dia?" Ucap Stella tampak mengernyitkan keningnya.

"Siapa gadis yang ingin dinikahi Alex itu. Apa kelebihannya hingga Alex bisa berpaling dari menatapku? Entah mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya." Bisiknya pelan.

****

Pagi pagi sekali Alex sudah bersiap, pemuda itu mematut dirinya di depan cermin, merapikan rambutnya dan tak lupa menyemprotkan parfum di tubuhnya.

Bukan tanpa sebab ia bersiap sepagi ini, Alex berencana untuk menemui Raya dikostnya hari libur ini. Baginya tak ada hari yang lebih baik menemui gadis itu selain hari ini, untuk mendengar keputusan Raya terkait rencana pernikahan mereka. Sebelum ibunya bertemu dengan keluarga Raya dikampung Minggu depan.

Selesai menghabiskan sarapan, dengan cepat tangannya meraih kunci mobil yang ada di dalam laci lemarinya dan bergegas menuju ke garasi. Tinggal sendiri di rumah sebesar ini, membuatnya terbiasa melakukan semua hal sendiri.

Mengenakan kaos putih polos dipadu dengan kemeja biru tua dibagian luarnya. Alex pun mulai menyalakan mobilnya. Tak lama Ferarri merah miliknya mulai melaju cepat.

Tak sampai setengah jam. Mobil yang dikendarainya sudah tiba di bangunan kost kostan raya. Sambil memainkan kunci mobilnya. Alex berjalan menuju kamar kost calon istrinya itu.

"Masih 'ngebo' kali mas si Raya didalam!" Ucap Winda yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. Gadis itu sudah terlihat rapi karena akan berangkat kerja.

"Oh."

"Calon suaminya Raya, kan?"

"I-iya."

"Ah, kenalin mas, saya temen baiknya Raya. Winda," ucap Winda sambil mengulurkan tangannya.

"Alex." Balas pemuda itu menyambut uluran tangan Winda.

"Mau berangkat kerja, mbak?" Alex berbasa-basi.

"Iya, Maklumlah mas, Kerja shift kan liburnya nggak kenal tanggal merah."

"Coba diketuk aja terus pintunya. Maklum Raya kalau tidur, kayak orang mati. Maaf, saya tinggal dulu ya mas," pamit Winda.

"Begitu ya. Terima kasih."

Sepeninggal Winda, tangan Alex langsung mengetuk pintu kamar kos Raya. Beberapa kali ia mengetuk namun, tak ada jawaban, hingga akhirnya pemuda itu kesal.

"Nih, orang tidurnya saja menyebalkan. Entah mengapa gadis seperti ini yang akan kunikahi," rutuk Alex.

"Siapa sih yang ngetuk pintu? ganggu orang tidur tahu!" Gerutu Raya tiba tiba membuka pintu, lalu menguap lebar.

"Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh saja berdiri disini," umpat Alex kesal.

Sambil menggaruk kepalanya, Raya memandang tiap centimeter wajah Alex. Gadis itu mengucek matanya demi memastikan siapa yang dilihatnya sekarang.

"Kau ...? Ngapain pagi pagi begini ada didepan kamarku?"

"Ini sudah siang."

"Aku pulang malam. Wajar dong kalau bangun siang dikit," Raya berkilah.

"Ngapain kau datang kesini?"

Bukannya menjawab Alex menarik tangan Raya dan memintanya duduk di bangku panjang yang ada didepan kamar Winda.

"Apa keputusanmu? Aku kesini karena ingin mendengar jawabanmu?"

Bersambung.
 
Part 13

Dari kejauhan, Raya melihat semua kejadian tadi, mata gadis itu berbinar mendengar apa yang baru saja diucapkan Alex. Ia tak menyangka jika Alex berani mengakui keberadaannya, meskipun hanya untuk mengusir para wartawan.

"Kau semakin membuatku bimbang, tuan!" Bisik Raya.

***

Dua hari kemudian.

"Minggu depan aku akan pulang kampung, Win," ucap Raya pada teman satu kostnya ini.

"Pulang?"

"Ho-oh!" Jawab Raya sambil meletakkan kresek plastik hitam yang berisi dua bungkus Nasi Padang ini dari tangannya.

"Masalah lamaran itu?" Ucap Winda sambil membuka plastik hitam yang dibawa Raya.

"Iya," jawab Raya pendek.

"Wah, Nasi Padang yah? Enak nih, tahu aja kalau aku pengen makan rendang.

Kedua gadis itu membuka bungkusan Nasi Padang lalu melahapnya, tak hanya nasi, sekotak pizza yang dibawa Winda juga menemani menu makan malam mereka.

Mereka makan malam sambil duduk di sebuah bangku kayu panjang yang ada di depan kamar Winda sambil menikmati keindahan langit malam yang bertabur bintang, beberapa penghuni kost yang lain masih belum pulang, karena itu mereka bisa sedikit leluasa menikmati beranda depan kamar.

"Tante Sekar, mamanya Alex menemuiku di counter tadi siang, memintaku untuk mengabari emak akan kedatangan dan niat mereka untuk melamar," jelas Raya sambil menyendok nasi ke mulutnya.

"Lalu ...?"

"Apanya?"

"Kau menerima pernikahan ini?"

"Entahlah, aku sedang istikharah beberapa malam ini. Berdoa kepada yang Maha Kuasa, meminta diberi petunjuk. Agar niatku memiliki suami kaya terkabul."

"Ha ... ha ...!" Winda tergelak.

"Bisa juga kau istikharah. Kupikir kau hanya bisa memikirkan uang saja, lagipula bagus kan, kau bisa pamerin si tuan bule itu sama Mas Dhani, mantanmu itu," ejek Winda.

"Lidahmu memang sangat pedas, level 30, tapi aku setuju." Balas Raya lantas menggigit potongan daging rendang yang cukup alot.

"Lho kan emang begitu kenyataannya, kau kan sangat perhitungan dengan uang," Winda berkilah.

"Semua harus ada perhitungannya. Setelah mati juga ada perhitungan amal. Lagipula menghitung uang kan kebiasaan bagus. Begini-begini aku pernah mengaji dengan Pak Amir, lho," ucap Raya bangga.

"Terserah kau sajalah," ucap Winda menyerah.

"Ngomongin Pak Amir, itu yang haji tiga kali itu kan, yang rumahnya dekat lapangan?"

"Iya."

"Hebat, Pak Amir kan terkenal galak." Winda memberikan jempolnya.

"Ho-oh, berarti aku hebat kan." Cicit Raya terkekeh. Membuat Winda mencibir padanya.

"Nih daging, beneran mau ngajak ribut deh, dari tadi susah bener digigit," rutuk Raya.

"Digeprek pakai batu sana."

"Kau pikir daging geprek! Dendeng kali."

"Menu baru, bagus kan. Kau bisa jadikan ide untuk masakan hari pertamamu setelah jadi istrinya si tuan bule nanti."

"Lama lama ngomong sama kamu jadi ngawur. Bodo ah, nih beresin aku mau mandi." Ucap Raya sambil mengambil sepotong pizza dan melangkah masuk kedalam kamar kostnya.

"Dasar!" Cibir Winda sambil membereskan sampah sisa makan mereka.

***

Blam!

Stella menutup pintu mobilnya kasar lalu melangkah tergesa menuju kamarnya, entah mengapa hari ini ia tak begitu bersemangat. Beberapa kali ia harus mengulang take adegan untuk syuting hari ini. Menyebabkan gadis itu akhirnya pulang terlambat kerumah.

Jarum jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul dua pagi. Gadis itu melempar tas Herm*s Birkin Red Cherry miliknya ke atas ranjang. Lalu duduk didepan meja rias, mulai menghapus riasan wajahnya.

Sejak kejadian dimall beberapa hari lalu, suasana hatinya tidak begitu bagus. Seharusnya ia senang mendengar berita pernikahan Alex. Namun, entah mengapa wajahnya terlihat kusut.

"Ada apa denganku?" Ucap Stella sambil menatap wajahnya di cermin.

"Mengapa aku sangat kesal mendengar Alex akan menikah? Bukankah aku sendiri yang menolaknya dulu."

Stella merenggangkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya terpejam mengingat kembali akan kejadian di acara ulang tahunnya yang ke dua puluh tahun. Beberapa tahun lalu.

[Aku ingin menjadi seseorang yang spesial untukmu]

Ungkapan perasaan Alex padanya kala itu, kini kembali terngiang di telinganya. Saat itu, Alex hanyalah juniornya dikampus, seorang junior yang selalu mengikutinya. Membuat Stella merasa malu jika harus menerima cinta junior.

Bukan tanpa alasan ia menolak perasaan cinta Alex padanya, selain merasa malu, juga karena ia telanjur mengagumi Arya, pria berdarah oriental yang masih memiliki darah ningrat Jawa. Baginya hanya Arya sajalah yang cocok dan sepadan untuk mendampinginya.

Beberapa kali ia telah mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengan Arya, namun, pemuda itu seolah tak peduli. Arya seperti tak memiliki perasaan yang sama dengan dirinya, membuat aktris cantik itu menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

"Apa yang kurang dariku?" Gumam Stella.

"Keluargaku terhormat dan kaya. Aku juga populer, banyak gadis yang menginginkan kehidupan mewah seperti diriku. Banyak pria yang mengejar cintaku. Tapi, mengapa Arya tak bisa kudapatkan? Mengapa ia tak melirikku?" Stella berdecak kesal.

Sejak masa sekolah, Arya memang dingin dengan wanita, konon katanya hanya satu orang gadis saja yang pernah menjalin hubungan asmara dengannya ketika masa kuliah dulu. Setelah itu, tak pernah terdengar lagi kabar pemuda ningrat itu menjalin hubungan dengan gadis manapun.

"Mungkin aku harus mencoba mengatakan perasaanku padanya. Tak ada salahnya seorang gadis melamar pemuda impiannya. Bukankah Khadijah juga lebih dulu melamar Rasulullah."

Stella bangkit dari tidurnya. Melangkah menuju kamar mandi. Berniat membersihkan dirinya. Namun, sebelum benar-benar masuk kedalam kamar mandi, matanya menatap wajahnya di cermin.

"Sejak pesta ulang tahun ku, Alex tak pernah terlihat dekat atau menggandeng seorang wanita, lalu sekarang katanya ingin menikah?"

"Siapa dia?" Ucap Stella tampak mengernyitkan keningnya.

"Siapa gadis yang ingin dinikahi Alex itu. Apa kelebihannya hingga Alex bisa berpaling dari menatapku? Entah mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya." Bisiknya pelan.

****

Pagi pagi sekali Alex sudah bersiap, pemuda itu mematut dirinya di depan cermin, merapikan rambutnya dan tak lupa menyemprotkan parfum di tubuhnya.

Bukan tanpa sebab ia bersiap sepagi ini, Alex berencana untuk menemui Raya dikostnya hari libur ini. Baginya tak ada hari yang lebih baik menemui gadis itu selain hari ini, untuk mendengar keputusan Raya terkait rencana pernikahan mereka. Sebelum ibunya bertemu dengan keluarga Raya dikampung Minggu depan.

Selesai menghabiskan sarapan, dengan cepat tangannya meraih kunci mobil yang ada di dalam laci lemarinya dan bergegas menuju ke garasi. Tinggal sendiri di rumah sebesar ini, membuatnya terbiasa melakukan semua hal sendiri.

Mengenakan kaos putih polos dipadu dengan kemeja biru tua dibagian luarnya. Alex pun mulai menyalakan mobilnya. Tak lama Ferarri merah miliknya mulai melaju cepat.

Tak sampai setengah jam. Mobil yang dikendarainya sudah tiba di bangunan kost kostan raya. Sambil memainkan kunci mobilnya. Alex berjalan menuju kamar kost calon istrinya itu.

"Masih 'ngebo' kali mas si Raya didalam!" Ucap Winda yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. Gadis itu sudah terlihat rapi karena akan berangkat kerja.

"Oh."

"Calon suaminya Raya, kan?"

"I-iya."

"Ah, kenalin mas, saya temen baiknya Raya. Winda," ucap Winda sambil mengulurkan tangannya.

"Alex." Balas pemuda itu menyambut uluran tangan Winda.

"Mau berangkat kerja, mbak?" Alex berbasa-basi.

"Iya, Maklumlah mas, Kerja shift kan liburnya nggak kenal tanggal merah."

"Coba diketuk aja terus pintunya. Maklum Raya kalau tidur, kayak orang mati. Maaf, saya tinggal dulu ya mas," pamit Winda.

"Begitu ya. Terima kasih."

Sepeninggal Winda, tangan Alex langsung mengetuk pintu kamar kos Raya. Beberapa kali ia mengetuk namun, tak ada jawaban, hingga akhirnya pemuda itu kesal.

"Nih, orang tidurnya saja menyebalkan. Entah mengapa gadis seperti ini yang akan kunikahi," rutuk Alex.

"Siapa sih yang ngetuk pintu? ganggu orang tidur tahu!" Gerutu Raya tiba tiba membuka pintu, lalu menguap lebar.

"Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh saja berdiri disini," umpat Alex kesal.

Sambil menggaruk kepalanya, Raya memandang tiap centimeter wajah Alex. Gadis itu mengucek matanya demi memastikan siapa yang dilihatnya sekarang.

"Kau ...? Ngapain pagi pagi begini ada didepan kamarku?"

"Ini sudah siang."

"Aku pulang malam. Wajar dong kalau bangun siang dikit," Raya berkilah.

"Ngapain kau datang kesini?"

Bukannya menjawab Alex menarik tangan Raya dan memintanya duduk di bangku panjang yang ada didepan kamar Winda.

"Apa keputusanmu? Aku kesini karena ingin mendengar jawabanmu?"

Bersambung.
layak untuk di tunggu kelanjutannya, mantap
 
Part 14

Apa keputusanmu? Aku kesini karena ingin mendengar jawabanmu?"

***

"Kau datang kesini pagi pagi hanya untuk bertanya hal ini saja?"

"Iya. Apa jawabanmu?" Desak Alex.

"Tidak."

"Apa!? Co-coba katakan lagi?" Ucap Alex lembut penuh arti.

"Tidak, tidak, tidak! Jawabanku adalah tidak. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang mencintaiku saja. Kau mengerti?"

"Sudah, sana pulang! Kau datang kesini hanya untuk menganggu tidurku saja. Lagipula, kau kan bisa meneleponku saja, tak harus datang kesini!" Sungut Raya.

"Aku tak punya nomor teleponmu."

"Ah iya benar. Itu karena kau terlalu gengsi meminta nomorku. Padahal butuh, huh!" lanjut Raya.

"Sini, berikan ponselmu."

"Untuk apa?" Balas Alex ketus.

"Sudah berikan saja. Apa perlu aku sendiri yang mengambilnya dari saku celanamu itu?"

"Jangan coba coba berbuat mesum padaku."

Raya langsung mencibir begitu mendengar pernyataan Alex barusan, gadis itu tak menyangka jika pemuda dihadapannya ini bisa berpikir jorok seperti itu padanya.

"Aku tak bernafsu padamu, tuan. Jika aku berminat denganmu. aku tinggal menarikmu saja ke ranjang sana, lalu tutup pintunya. Beres kan."

Mendengar ucapan Raya, sebuah senyuman penuh arti kini terlihat di wajah Alex. Alisnya juga nampak terangkat sebelah. Sepertinya ada sesuatu sedang dipikirkan pemuda itu.

"Kau mau ... Ayo kita lakukan sekarang? Lagipula tak apa apa menikmati gadis menyebalkan seperti dirimu. Aku yakin punyamu masih bersegel kan?"

"A-apa maksudmu?"

Mata Alex mengedip sebelah, salah satu tangannya menyentuh pintu dan perlahan menutupnya, tak lama ia melepas kemejanya, hanya menyisakan kaus putihnya saja lalu melemparnya ke hadapan Raya.

Dengan cepat Alex menarik lengan Raya, lalu setengah memaksa merebahkan tubuh gadis itu diranjang. Mata Raya terbelalak lebar, seolah belum menyadari akan apa yang hendak dilakukan Alex padanya.

"Ma-mau apa kau?"

"Memberimu kenikmatan. Bukankah kau menantangku tadi?" Senyum mengembang dibibir Alex. Pemuda itu kini merasa menang.

Wajah mereka semakin dekat, mata Raya masih menatap Alex tanpa berkedip. Membuat pemuda itu semakin bersemangat menggodanya.

"Ayo kita mulai. Kau mau merasakan cium*n panas dariku, Nona Raya?"

"Argghh! Lepasin tanganku!"

Pelan pelan bibir Alex mendekat kehidung Raya. Salah satu tangannya mulai menyentuh hidung dan membelai lembut rambut Raya, Senyum pemuda itu mengembang ketika ia melihat wajah Raya yang mulai ketakutan.

"Katakan apa keputusanmu. Kau akan menerima lamaranku atau tetap menolaknya?" Bisiknya ditelinga Raya.

"Atau haruskah aku melepaskan segelmu dulu, nona. Agar aku bisa mendengar keputusanmu?" Goda Alex sambil memainkan bibirnya.

Brak!

"Aawww!"

Satu hantaman keras dari kaki kanan Raya ke bagian bawah milik Alex membuat pemuda itu langsung menjerit dan melepaskan tangan Raya. Wajahnya meringis menahan rasa sakit akibat serangan balasan yang tak terduga dari Raya.

Melihat Alex yang tengah meringis kesakitan, Raya segera bangkit dan berdiri, tangannya dengan cepat menyambar sebuah sapu. Lalu, memukul kepala Alex dengan bagian ijuknya yang berdebu.

"Kau benar benar punya otak yang kotor. Pantas saja tak ada seorang gadis yang mau mendekat."

"Singkirkan sapu ini dariku." Tangan Alex menarik paksa dan melempar sapu itu.

Alex mengibaskan rambutnya yang terkena debu dan menempel. Melihatnya lengah, Raya berlari kekamar mandi lalu tak lama ia keluar dengan membawa sebuah ember berisi air ditangannya. Dengan kecepatan cahaya, gadis itu langsung menyiram ke bagian tubuh dan kepala Alex hingga basah kuyup

"Setidaknya air ini bisa mencuci pikiran kotormu itu, tuan Alex," ucap Raya terkekeh.

"Ah, si4l!"

"Kau membuatku basah kuyup."

"Siapa suruh kau mencoba berniat buruk padaku!"

"Kau benar benar menyebalkan. Entah mengapa aku harus sampai terlibat masalah denganmu."

"Jaga ucapanmu, kau yang melibatkanku dalam masalahmu. Aku yakin tak ada yang mau jadi istrimu, karena itu Ibumu sampai harus turun tangan sendiri mencarikan istri untukmu," ejek Raya.

"Kau jangan sok tahu! Ah, sudahlah. Bicara denganmu tak ada gunanya. Kepala batu mana bisa diajak berpikir."

"A-apa kau bilang tadi? Kepala batu? Kau bilang aku kepala batu? Asal kau tahu, kau bahkan lebih dari kepala batu. Kau itu Joker, Tuan Crab, Patrick, burung hantu. Kau bahkan lebih buruk dari Giant, yang sangat menyebalkan itu."

"Aku seperti Joker?"

"Iya"

Alex menyipitkan matanya. Senyum tipis kembali terlihat di wajahnya. Sesuatu telah terlintas di kepalaku.

"Kau tahu, Joker bilang orang jahat terlahir dari orang baik yang terlalu sering disakiti."

"Maka aku adalah Batman."

"Cepat keluar dari kamarku! Jika tidak aku akan berteriak dan meminta orang orang untuk memukulimu." Tangan Raya langsung menunjuk arah pintu keluar kamarnya.

Mata Alex mendelik tajam pada Raya. Dengan langkah cepat ia mengambil kemejanya dan berjalan keluar dari kamar Raya. Namun sayang, sebelum ia benar-benar keluar, tangan Raya kembali menadah. Menahannya.

"Apalagi?"

"Cepat berikan ponselmu padaku. Akan kuberikan nomor ponselku. Cepatlah atau nanti aku berubah pikiran."

Dengan wajah masam. Alex mengikuti keinginan Raya. Tangannya langsung merogoh saku celananya, dan mengambil ponselnya.

"Ini!"

Tangan Raya dengan cepat meraihnya. Tak lama jarinya menari lincah diatas layar pipih itu.

"Itu nomorku. Sudah ku calling ke ponselku. Lain kali telepon dulu kalau mau kesini. Jika tidak, aku tidak segan segan untuk memandikanmu lagi disini."

"Aku belum mendengar keputusanmu?"

"Asal kau mengabulkan satu keinginanku. Maka lamaranmu akan kuterima."

"Baik, tapi sebelum itu, bisa kau ceritakan alasannya mengapa kau terus saja mendesakku agar menerima perjodohan ini?"

Bersambung.
 
Part 14

Apa keputusanmu? Aku kesini karena ingin mendengar jawabanmu?"

***

"Kau datang kesini pagi pagi hanya untuk bertanya hal ini saja?"

"Iya. Apa jawabanmu?" Desak Alex.

"Tidak."

"Apa!? Co-coba katakan lagi?" Ucap Alex lembut penuh arti.

"Tidak, tidak, tidak! Jawabanku adalah tidak. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang mencintaiku saja. Kau mengerti?"

"Sudah, sana pulang! Kau datang kesini hanya untuk menganggu tidurku saja. Lagipula, kau kan bisa meneleponku saja, tak harus datang kesini!" Sungut Raya.

"Aku tak punya nomor teleponmu."

"Ah iya benar. Itu karena kau terlalu gengsi meminta nomorku. Padahal butuh, huh!" lanjut Raya.

"Sini, berikan ponselmu."

"Untuk apa?" Balas Alex ketus.

"Sudah berikan saja. Apa perlu aku sendiri yang mengambilnya dari saku celanamu itu?"

"Jangan coba coba berbuat mesum padaku."

Raya langsung mencibir begitu mendengar pernyataan Alex barusan, gadis itu tak menyangka jika pemuda dihadapannya ini bisa berpikir jorok seperti itu padanya.

"Aku tak bernafsu padamu, tuan. Jika aku berminat denganmu. aku tinggal menarikmu saja ke ranjang sana, lalu tutup pintunya. Beres kan."

Mendengar ucapan Raya, sebuah senyuman penuh arti kini terlihat di wajah Alex. Alisnya juga nampak terangkat sebelah. Sepertinya ada sesuatu sedang dipikirkan pemuda itu.

"Kau mau ... Ayo kita lakukan sekarang? Lagipula tak apa apa menikmati gadis menyebalkan seperti dirimu. Aku yakin punyamu masih bersegel kan?"

"A-apa maksudmu?"

Mata Alex mengedip sebelah, salah satu tangannya menyentuh pintu dan perlahan menutupnya, tak lama ia melepas kemejanya, hanya menyisakan kaus putihnya saja lalu melemparnya ke hadapan Raya.

Dengan cepat Alex menarik lengan Raya, lalu setengah memaksa merebahkan tubuh gadis itu diranjang. Mata Raya terbelalak lebar, seolah belum menyadari akan apa yang hendak dilakukan Alex padanya.

"Ma-mau apa kau?"

"Memberimu kenikmatan. Bukankah kau menantangku tadi?" Senyum mengembang dibibir Alex. Pemuda itu kini merasa menang.

Wajah mereka semakin dekat, mata Raya masih menatap Alex tanpa berkedip. Membuat pemuda itu semakin bersemangat menggodanya.

"Ayo kita mulai. Kau mau merasakan cium*n panas dariku, Nona Raya?"

"Argghh! Lepasin tanganku!"

Pelan pelan bibir Alex mendekat kehidung Raya. Salah satu tangannya mulai menyentuh hidung dan membelai lembut rambut Raya, Senyum pemuda itu mengembang ketika ia melihat wajah Raya yang mulai ketakutan.

"Katakan apa keputusanmu. Kau akan menerima lamaranku atau tetap menolaknya?" Bisiknya ditelinga Raya.

"Atau haruskah aku melepaskan segelmu dulu, nona. Agar aku bisa mendengar keputusanmu?" Goda Alex sambil memainkan bibirnya.

Brak!

"Aawww!"

Satu hantaman keras dari kaki kanan Raya ke bagian bawah milik Alex membuat pemuda itu langsung menjerit dan melepaskan tangan Raya. Wajahnya meringis menahan rasa sakit akibat serangan balasan yang tak terduga dari Raya.

Melihat Alex yang tengah meringis kesakitan, Raya segera bangkit dan berdiri, tangannya dengan cepat menyambar sebuah sapu. Lalu, memukul kepala Alex dengan bagian ijuknya yang berdebu.

"Kau benar benar punya otak yang kotor. Pantas saja tak ada seorang gadis yang mau mendekat."

"Singkirkan sapu ini dariku." Tangan Alex menarik paksa dan melempar sapu itu.

Alex mengibaskan rambutnya yang terkena debu dan menempel. Melihatnya lengah, Raya berlari kekamar mandi lalu tak lama ia keluar dengan membawa sebuah ember berisi air ditangannya. Dengan kecepatan cahaya, gadis itu langsung menyiram ke bagian tubuh dan kepala Alex hingga basah kuyup

"Setidaknya air ini bisa mencuci pikiran kotormu itu, tuan Alex," ucap Raya terkekeh.

"Ah, si4l!"

"Kau membuatku basah kuyup."

"Siapa suruh kau mencoba berniat buruk padaku!"

"Kau benar benar menyebalkan. Entah mengapa aku harus sampai terlibat masalah denganmu."

"Jaga ucapanmu, kau yang melibatkanku dalam masalahmu. Aku yakin tak ada yang mau jadi istrimu, karena itu Ibumu sampai harus turun tangan sendiri mencarikan istri untukmu," ejek Raya.

"Kau jangan sok tahu! Ah, sudahlah. Bicara denganmu tak ada gunanya. Kepala batu mana bisa diajak berpikir."

"A-apa kau bilang tadi? Kepala batu? Kau bilang aku kepala batu? Asal kau tahu, kau bahkan lebih dari kepala batu. Kau itu Joker, Tuan Crab, Patrick, burung hantu. Kau bahkan lebih buruk dari Giant, yang sangat menyebalkan itu."

"Aku seperti Joker?"

"Iya"

Alex menyipitkan matanya. Senyum tipis kembali terlihat di wajahnya. Sesuatu telah terlintas di kepalaku.

"Kau tahu, Joker bilang orang jahat terlahir dari orang baik yang terlalu sering disakiti."

"Maka aku adalah Batman."

"Cepat keluar dari kamarku! Jika tidak aku akan berteriak dan meminta orang orang untuk memukulimu." Tangan Raya langsung menunjuk arah pintu keluar kamarnya.

Mata Alex mendelik tajam pada Raya. Dengan langkah cepat ia mengambil kemejanya dan berjalan keluar dari kamar Raya. Namun sayang, sebelum ia benar-benar keluar, tangan Raya kembali menadah. Menahannya.

"Apalagi?"

"Cepat berikan ponselmu padaku. Akan kuberikan nomor ponselku. Cepatlah atau nanti aku berubah pikiran."

Dengan wajah masam. Alex mengikuti keinginan Raya. Tangannya langsung merogoh saku celananya, dan mengambil ponselnya.

"Ini!"

Tangan Raya dengan cepat meraihnya. Tak lama jarinya menari lincah diatas layar pipih itu.

"Itu nomorku. Sudah ku calling ke ponselku. Lain kali telepon dulu kalau mau kesini. Jika tidak, aku tidak segan segan untuk memandikanmu lagi disini."

"Aku belum mendengar keputusanmu?"

"Asal kau mengabulkan satu keinginanku. Maka lamaranmu akan kuterima."

"Baik, tapi sebelum itu, bisa kau ceritakan alasannya mengapa kau terus saja mendesakku agar menerima perjodohan ini?"

Bersambung.
Makasih update lanjutan nya, semoga sehat selalu ya suhu
 
Part 14

Apa keputusanmu? Aku kesini karena ingin mendengar jawabanmu?"

***

"Kau datang kesini pagi pagi hanya untuk bertanya hal ini saja?"

"Iya. Apa jawabanmu?" Desak Alex.

"Tidak."

"Apa!? Co-coba katakan lagi?" Ucap Alex lembut penuh arti.

"Tidak, tidak, tidak! Jawabanku adalah tidak. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang mencintaiku saja. Kau mengerti?"

"Sudah, sana pulang! Kau datang kesini hanya untuk menganggu tidurku saja. Lagipula, kau kan bisa meneleponku saja, tak harus datang kesini!" Sungut Raya.

"Aku tak punya nomor teleponmu."

"Ah iya benar. Itu karena kau terlalu gengsi meminta nomorku. Padahal butuh, huh!" lanjut Raya.

"Sini, berikan ponselmu."

"Untuk apa?" Balas Alex ketus.

"Sudah berikan saja. Apa perlu aku sendiri yang mengambilnya dari saku celanamu itu?"

"Jangan coba coba berbuat mesum padaku."

Raya langsung mencibir begitu mendengar pernyataan Alex barusan, gadis itu tak menyangka jika pemuda dihadapannya ini bisa berpikir jorok seperti itu padanya.

"Aku tak bernafsu padamu, tuan. Jika aku berminat denganmu. aku tinggal menarikmu saja ke ranjang sana, lalu tutup pintunya. Beres kan."

Mendengar ucapan Raya, sebuah senyuman penuh arti kini terlihat di wajah Alex. Alisnya juga nampak terangkat sebelah. Sepertinya ada sesuatu sedang dipikirkan pemuda itu.

"Kau mau ... Ayo kita lakukan sekarang? Lagipula tak apa apa menikmati gadis menyebalkan seperti dirimu. Aku yakin punyamu masih bersegel kan?"

"A-apa maksudmu?"

Mata Alex mengedip sebelah, salah satu tangannya menyentuh pintu dan perlahan menutupnya, tak lama ia melepas kemejanya, hanya menyisakan kaus putihnya saja lalu melemparnya ke hadapan Raya.

Dengan cepat Alex menarik lengan Raya, lalu setengah memaksa merebahkan tubuh gadis itu diranjang. Mata Raya terbelalak lebar, seolah belum menyadari akan apa yang hendak dilakukan Alex padanya.

"Ma-mau apa kau?"

"Memberimu kenikmatan. Bukankah kau menantangku tadi?" Senyum mengembang dibibir Alex. Pemuda itu kini merasa menang.

Wajah mereka semakin dekat, mata Raya masih menatap Alex tanpa berkedip. Membuat pemuda itu semakin bersemangat menggodanya.

"Ayo kita mulai. Kau mau merasakan cium*n panas dariku, Nona Raya?"

"Argghh! Lepasin tanganku!"

Pelan pelan bibir Alex mendekat kehidung Raya. Salah satu tangannya mulai menyentuh hidung dan membelai lembut rambut Raya, Senyum pemuda itu mengembang ketika ia melihat wajah Raya yang mulai ketakutan.

"Katakan apa keputusanmu. Kau akan menerima lamaranku atau tetap menolaknya?" Bisiknya ditelinga Raya.

"Atau haruskah aku melepaskan segelmu dulu, nona. Agar aku bisa mendengar keputusanmu?" Goda Alex sambil memainkan bibirnya.

Brak!

"Aawww!"

Satu hantaman keras dari kaki kanan Raya ke bagian bawah milik Alex membuat pemuda itu langsung menjerit dan melepaskan tangan Raya. Wajahnya meringis menahan rasa sakit akibat serangan balasan yang tak terduga dari Raya.

Melihat Alex yang tengah meringis kesakitan, Raya segera bangkit dan berdiri, tangannya dengan cepat menyambar sebuah sapu. Lalu, memukul kepala Alex dengan bagian ijuknya yang berdebu.

"Kau benar benar punya otak yang kotor. Pantas saja tak ada seorang gadis yang mau mendekat."

"Singkirkan sapu ini dariku." Tangan Alex menarik paksa dan melempar sapu itu.

Alex mengibaskan rambutnya yang terkena debu dan menempel. Melihatnya lengah, Raya berlari kekamar mandi lalu tak lama ia keluar dengan membawa sebuah ember berisi air ditangannya. Dengan kecepatan cahaya, gadis itu langsung menyiram ke bagian tubuh dan kepala Alex hingga basah kuyup

"Setidaknya air ini bisa mencuci pikiran kotormu itu, tuan Alex," ucap Raya terkekeh.

"Ah, si4l!"

"Kau membuatku basah kuyup."

"Siapa suruh kau mencoba berniat buruk padaku!"

"Kau benar benar menyebalkan. Entah mengapa aku harus sampai terlibat masalah denganmu."

"Jaga ucapanmu, kau yang melibatkanku dalam masalahmu. Aku yakin tak ada yang mau jadi istrimu, karena itu Ibumu sampai harus turun tangan sendiri mencarikan istri untukmu," ejek Raya.

"Kau jangan sok tahu! Ah, sudahlah. Bicara denganmu tak ada gunanya. Kepala batu mana bisa diajak berpikir."

"A-apa kau bilang tadi? Kepala batu? Kau bilang aku kepala batu? Asal kau tahu, kau bahkan lebih dari kepala batu. Kau itu Joker, Tuan Crab, Patrick, burung hantu. Kau bahkan lebih buruk dari Giant, yang sangat menyebalkan itu."

"Aku seperti Joker?"

"Iya"

Alex menyipitkan matanya. Senyum tipis kembali terlihat di wajahnya. Sesuatu telah terlintas di kepalaku.

"Kau tahu, Joker bilang orang jahat terlahir dari orang baik yang terlalu sering disakiti."

"Maka aku adalah Batman."

"Cepat keluar dari kamarku! Jika tidak aku akan berteriak dan meminta orang orang untuk memukulimu." Tangan Raya langsung menunjuk arah pintu keluar kamarnya.

Mata Alex mendelik tajam pada Raya. Dengan langkah cepat ia mengambil kemejanya dan berjalan keluar dari kamar Raya. Namun sayang, sebelum ia benar-benar keluar, tangan Raya kembali menadah. Menahannya.

"Apalagi?"

"Cepat berikan ponselmu padaku. Akan kuberikan nomor ponselku. Cepatlah atau nanti aku berubah pikiran."

Dengan wajah masam. Alex mengikuti keinginan Raya. Tangannya langsung merogoh saku celananya, dan mengambil ponselnya.

"Ini!"

Tangan Raya dengan cepat meraihnya. Tak lama jarinya menari lincah diatas layar pipih itu.

"Itu nomorku. Sudah ku calling ke ponselku. Lain kali telepon dulu kalau mau kesini. Jika tidak, aku tidak segan segan untuk memandikanmu lagi disini."

"Aku belum mendengar keputusanmu?"

"Asal kau mengabulkan satu keinginanku. Maka lamaranmu akan kuterima."

"Baik, tapi sebelum itu, bisa kau ceritakan alasannya mengapa kau terus saja mendesakku agar menerima perjodohan ini?"

Bersambung.
Absen pagi ...
 
Bimabet
Bro @Ghurafa .. mangstab updatesnya
•⌣»̶·̵̭̌✽̤̈🐡 Terima Kasih 🐡✽̤̈·̵̭̌«̶⌣•
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd