Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MAAF, KITA SUDAH MANTAN

Ghurafa

Semprot Baru
Daftar
11 Sep 2021
Post
47
Like diterima
500
Bimabet
Part 1

"Mbak, ini kembaliannya," ucap pelayan toko itu menyerahkan uang kembalian milik Raya.

"Iya, terima kasih," Jawab gadis itu sambil menghitung kembali uang yang diterimanya.

Untuk sesaat Raya mengerutkan kening karena nominalnya yang dirasa tidak sesuai dengan hitungannya.

"Mbak, ini kurang lho uang kembaliannya. Kurang lima ratus rupiah lagi," keluh Raya.

Nita yang berdiri disamping Raya menyenggol pelan lengannya, wajah gadis itu gusar seolah memberi kode jika Raya tak perlu melakukan hal itu.

"Oh, gak ada koin lima ratusan Mbak. Ambil permen saja ya, tuh ada toples permen didepannya Mbak. Ambil tiga ya," jawab pelayan toko itu enteng.

Mata Raya langsung mendelik mendengar jawaban dari pelayan toko ini. Raut wajahnya langsung berubah masam ketika pelayan toko ini menyodorkan tiga buah permen ini padanya.

"Kalau seandainya besok aku membayar belanjaanku dengan sekantong permen, apa Mbak mau terima?" Ketus Raya.

Wajah sang pelayan toko terlihat kesal. Tak lama ia membuka laci uangnya dan mengambil sebuah koin senilai seribu rupiah lalu, menyerahkannya pada Raya.

"Ini ambillah."

"Nah, setidaknya ini tidak merugikan pembeli," jawab Raya sambil tersenyum.

Nita yang melihat kejadian itu hanya menggeleng pelan. Sudah sering ia melihat sahabatnya bertingkah menyebalkan seperti ini.

Mereka berdua keluar dari minimarket itu sambil menenteng dua kantong belanja. Perintah dari emak yang meminta Raya untuk membelikannya bahan bahan membuat kue, sedang Nita, gadis itu hanya menemani saja, karena mereka bertetangga.

"Anggap aja sedekah sih, lagian cuma lima ratus perak ini," Ucap Nita manyun.

"Lima ratus itu tetap saja uang namanya, Nit, terserah kau mau bilang aku pelit, medit atau materialistis. Yang penting aku nggak ngutang, nggak maling, dan nggak menolak uang kembalian lebih seperti ini," jelas Raya sambil tersenyum lebar. Selebar lapangan bola di samping rumah Pak RT.

"Lagipula, kalau aku belanja lagi ketoko itu, apa mereka mau kubayar pakai permen," jelas Raya terkekeh.

"Au ah, gelap," balas Nita sambil mencebik kesal pada Raya.

"Katanya hari ini, Mas Dhani akan pulang dari kota, apa kau tahu?" Tanya Nita.

"Iya, kata adiknya sih begitu, mungkin sore ini Mas Dhani nyampe sini," balas Raya.

Mata gadis berusia dua puluh dua tahun itu terlihat berbinar. Penantian Raya selama tiga tahun ini akan selesai, karena Dhani bilang jika ia akan segera melamarnya begitu pulang.

Setahun sekali kekasih Raya itu akan pulang dari rantau. Sejak lulus kuliah dua tahun lalu, laki laki itu bekerja disebuah perusahaan skala nasional di ibukota, yang membuatnya hanya bisa pulang saat mengambil cuti tahunan saja.

Dhani, pria yang lebih tua tiga tahun dari Raya itu, masih tinggal di satu kecamatan yang sama dengannya. Meski mengalami pasang surut, Namun, hubungan mereka bertahan hingga tahun ketiga.

"Seandainya Mas Dhani punya cewek lain dikota, apa yang akan lakukan?" Tanya Nita tiba tiba.

"Apa maksudmu bilang seperti itu?"

"Nggak, hanya nanya saja. Cewek kota cantik cantik lho."

"Menurutmu, aku jelek, begitu!" Bibir Raya maju beberapa centi.

"Tidak, kan aku bilang seandainya."

Raya memilih mengatup rapat mulutnya. Tak lama gadis itu berucap lirih.

"Kalau memang Mas Dhani mengkhianatiku. Akan kubuat ia menyesal."

"Dah lah, mending cepetan pulang, ntar emak ngomel lagi, nih bahan kelamaan nyampe," sungut Raya.

***

Mata Raya tak berkedip saat melihat laki laki yang dinantikannya selama ini terlihat menggandeng seorang gadis. Beberapa kali ia mencubit lengannya, demi menyakinkan apa yang baru saja dilihatnya. Seorang gadis dengan dandanan modis dan kekinian terlihat bergelayut manja dilengan kekasihnya. Seolah mereka pasangan paling serasi yang ada di kecamatan ini.

Gadis itu mungkin dari keluarga kaya dan berpendidikan. Terlihat dari pakaian dan tas yang dikenakannya. Raya melirik penampilannya yang memang tak sekeren dan semodis dirinya.

Tak lama, mulut Raya terlihat mengumpat. Ia marah, kesal, dan kecewa. Cukup lama gadis itu mematung menatap kemesraan mereka. Menahan rasa amarah dan sakit hatinya.

Dhani dan gadis kota itu berdiri didepan sebuah warung sayur tempat emak biasa belanja dan menitipkan kue - kue buatannya. Entah apa yang mereka lakukan di warung itu. Karena tak ada barang yang bisa dicari oleh seorang gadis kota, di warung kecil yang menjual cabe dan terong itu.

Raya tersenyum lebar sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi, ia mencoba menyamarkan perasaan sakit hatinya saat ini. Tangannya mengepal erat, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri dan menyapa mereka.

"Hai!"

Wajah Dhani berubah ketika menoleh dan melihat siapa yang baru saja menyapanya. Pria itu cukup terkejut dengan kedatangan Raya.

"Apa kabar, mas?" Tanya Raya sambil melirik gadis kota yang masih bergelayut di lengan laki laki ini.

"Raya ...!"

"Yah, itu masih namaku. Kupikir kau lupa, mas?" Ucap Raya sinis, membuang muka lalu mencari keberadaan Wak Husna, sang pemilik warung ini.

"Wak, mau ambil sisa kue ya," ucap Raya seakan tak peduli dengan tatapan dua orang di sampingnya.

"Iya."

"Nih sekalian titip buat emak ya." Wak Husna menyerahkan sejumlah uang pada Raya.

"Terima kasih, Wak."
No quote
Raya membalikkan badan. Untuk sesaat ia menatap Dhani. Pria yang selalu mengumbar janji akan menikahinya selama setahun terakhir ini. Matanya menatap marah pada laki laki itu.

"Kembalikan jam tangan yang kau pakai itu, mas. Setengah tahun aku menabung demi memberimu hadiah itu. Sekarang, aku minta kembali jam tangan itu karena kita sudah tak ada hubungan lagi. Kita sudah mantan."

Bersambung
 
Kita sudah mantan....

Barisan para mantan.... Ayoo berbaris yang rapiiiii.....
 
Part 2

"Kembalikan jam tangan yang kau pakai itu, mas. Setengah tahun aku menabung demi memberimu hadiah itu. Sekarang, aku minta kembali jam tangan itu karena kita sudah tak ada hubungan lagi. Kita sudah mantan."

****

Wajah Dhani memerah. Malu dan marah dengan apa yang baru saja diucapkan Raya. Beberapa saat berlalu hingga akhirnya gadis kota yang berdiri disampingnya ikut bicara.

"Anda siapa ya? Kok lancang sekali!"

"Lancang?"

"Ah, iya ... Kenalkan. Saya Raya, mantan calon istrinya, mbak," balas Raya ketus.

"Cepat lepas jam tangannya, mas. Atau aku akan melepasnya sendiri dari tanganmu," desak Raya.

Laki laki itu berdecak kesal, tangannya terangkat pelan, seakan enggan melepas jam tangan yang melingkar di tangannya itu. Hingga membuat gadis kota itu melotot tajam padanya.

"Cepat lepas, mas. Aku mau pulang."

"Katanya hadiah kok diambil, Mbak. Apa nggak malu?" Sindir gadis kota itu.

"Suka suka aku. Belinya juga pakai uangku. Harusnya kau bertanya mengapa laki laki ini berbohong dan mengkhianatiku. Bilangnya mau melamar. Nggak tahunya ..."

"Ah, sudahlah." Raya mengibaskan tangan.

"Apa benar mas, yang wanita ini katakan?" Hardik gadis kota itu pada Dhani.

Pasangan kekasih itu terlihat bertengkar, untuk beberapa saat Raya mematung melihat drama menyebalkan itu, lalu mencebik kesal. Tak lama ia melepas sebuah cincin dijari manisnya.

"Kalian berdua, kalau mau main drama, jangan disini. Males lihatnya," ketus Raya.

"Nih mas, ambil kembali cincinmu ini, aku sudah tak butuh. Setidaknya jam tangan ini harganya lebih mahal dari cincinmu ini." Raya menarik paksa jam tangan yang sudah terlepas itu dari tangan Dhani, lalu, balas meletakkan cincin di telapak tangan laki laki itu. No quote

Setelah merasa hajatnya selesai, sambil menenteng keranjang kue milik emak. Raya melenggang santai meninggalkan mereka, menuju sepedanya. Tangan gadis itu masih terkepal. Karena kemarahannya yang masih belum hilang.

"Ah, bodoh ... bodoh. Harusnya ku tampar saja laki laki pengkhianat itu tadi," sesalnya sambil menepuk kepalanya sendiri.

Raut wajah masam terus diperlihatkan gadis itu sepanjang tujuh ratus meter perjalanan pulang menuju kerumahnya, mulutnya terus saja mengumpat selama ia mengayuh sepedanya.

"Haaish ...!"

"Dia kira siapa dirinya. Mentang mentang sudah kerja di kota, merasa sukses, lalu seenaknya saja mempermainkan perasaanku. Apa karena gadis itu kaya?"

"Awas saja kau, mas." Gadis itu masih menggerutu.

****

"Huaaaa ...."

"Dasar laki laki buaya, pengkhianat, pecundang, Giant, Suneo, Patrick, Squidward, plankton," sungut Raya sambil menyebut anggota keluarga bikin*i bottom itu.

Shroott!

Raya menggerutu panjang di hadapan Nita sambil membuang lendir dihidungnya karena terisak. Rasa kesal dan marah karena dikhianati Dhani masih menggerogoti hatinya.

"Memang dia pikir siapa dia? Baru kerja setahun aja lagaknya sudah kayak orang terkenal. Pake bawa cewek lagi kesini. Mau pamer sudah jadi orang hebat atau mau ngajakin ribut!"

"Lalu, kenapa sampe nangis Bombay gitu?" Nita menggeleng melihat kelakuan sahabatnya.

"Lihat ini, Jam tangannya kan jadi mubazir Nit, hampir dua juta lho aku belinya, mana setengah tahun lebih ngumpulin duitnya. Sedih aku ..."

"Hiks ...!"

"Jadi kamu nangisin nih jam tangan. Ampun dah nih anak."

"Lha iya, tentu saja. Ini belinya pake uang. Bukan pake perasaan. Apalagi dapet utangan."

Shroot!

Lagi, Raya membuang lendir yang memenuhi hidungnya. Membuat Nita akhirnya mencebik kesal padanya.

"Ya udah jual aja ke tukang loak aja. Lumayan kan!"

"What! Jual ke tukang loakan? Ini belinya muahaall!"

"Terus maunya apa?" Nita mulai mendelik. Tak sabar.

"Bantu aku jualin ya atau kau beli saja nih Jam. Aku kasih murah deh." Ucap Raya sambil mengedipkan kedua matanya dan tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya.

"Asem!"

"Kau ternyata lebih menyebalkan daripada Tuan Crab yang pelit itu." Gerutu Nita sambil menjitak kepala sahabatnya itu.

"Sudah, bicara denganmu lama lama bikin aku kesal. Besok aku bantu jualin di grup jual beli barang bekas, atau di grup KBM, siapa tahu ada emak emak disana yang tertarik mau beli jam tanganmu itu."

Senyum Raya mengembang. Meski rasa kesal atas perbuatan Dhani padanya masih terasa, namun, tak membuat gadis itu sedih berkepanjangan. Baginya yang penting jam itu bisa bertukar menjadi uang.

"Apa rencanamu selanjutnya setelah ini?"
Tanya Nita, sambil bertopang dagu melihat Raya yang mengusap jam tangan itu.

"Cari duit yang banyaklah." Jawab Raya cepat.

"Entah mengapa aku bisa bertemu orang seperti kau didunia ini," rutuk Nita.

"Aku beneran mau cari duit yang banyak. Bila perlu cari pria kaya biar hidupku tidak susah lagi dan diremehkan orang." Jawab Raya antusias.

****

"Mak, aku mau ke tempatnya Bi Lastri di Jakarta," ucap Raya, seminggu setelah pertemuannya dengan Dhani.

Wanita berdaster coklat itu, langsung menatap penuh tanya pada putrinya begitu mendengarnya. Janda yang masih cantik di usianya yang sudah kepala empat itu lalu mulai bertanya.

"Mau ngapain kesana?"

"Mau cari kerja, Mak. Bosen tinggal di kecamatan terus. Pengen lihat ibukota," ucap Raya sambil mengaduk adonan tepung dan telur.

"Jangan mendadak kesana, nanti bibimu kaget. Kasih kabar dulu. Biar bisa minta jemput, kamu kan belum pernah kekota, nak." Jelas Bu Hartati, emak Raya.

"Gak usah mak, aku tahu kok alamatnya Bi Lastri. Minggu depan aku berangkat ya Mak." Raya mulai merayu.

Bu Hartati terdiam, sebenarnya berat untuk mengabulkan keinginan Raya, ada rasa tidak rela untuk melepas putri sulungnya itu.

"Nanti siapa yang bantu emak dirumah, terus kalau tersesat, gimana? Jakarta itu luas," Tanya Bu Hartati cemas.

"Nggaklah Mak. Anaknya ya di doain baik baik, lagipula kan masih ada Rifki dirumah, yang bisa bantuin emak, " ucap Raya.

"Adikmu itu mana bisa dimintai tolong cuci piring dan ngulek cabe, Raya," jawab Bu Hartati cepat.

"Tapi, mak ...."

Mata Raya menatap wajah ibunya dengan penuh harap, melihat sikap putrinya yang begitu kekeuh ingin pergi, akhirnya hati sang ibu pun luluh.

"Ya, sudah. Tapi, jangan merepotkan bibimu disana. Minta dia carikan pekerjaan untukmu. Bila perlu, kalian kerja di pabrik yang sama." Ucap Bu Hartati, menyerah.

"Yes. Emak memang yang terbaik." Ucap Raya sambil mencium tangan ibunya, lalu beranjak pergi meninggalkan adonan yang baru setengah jadi itu.

"Mau kemana?" Teriak Bu Hartati.

"Jual jam tangan." Balas Raya dari arah teras rumah mereka.

"Jual jam tangan?" Gumam Bu Hartati bingung dengan ucapan putrinya.

Bersambung.
 
Part 3

"Jadi kau beneran mau ke Jakarta?" Tanya Nita.

"Iya." Jawab Raya cepat sambil menyeruput kuah mie instan rasa soto ayam itu.

"Enak mie nya?" Desis Nita sambil melotot kesal.

"Henak ... Pake banget, apalagi dimakan lagi panas panas begini. Muantap bener pedesnya, kau mau?" Ucap Raya cengengesan.

"Jelaslah enak. Gratis, coba kalau bayar ... Lagipula itu mie kan punyaku," rutuk Nita.

"Kau tak akan tega menarik bayaran sama gadis yang imut imut nan manis seperti ini, Nit!" Balas Raya mengedip ngedipkan matanya sambil tersenyum manis.

"Jangan dihabiskan mie nya, aku lapar tahu!" Sungut Nita.

"Ada urusan apa kau siang terik begini kerumahku? Bukannya semalam kau bilang sudah ada orang yang mau beli jam tanganmu itu." Tanya Nita sambil merebut mangkok berisi mie instan yang sudah tersisa separuhnya itu dari tangan Raya.

"Iya, katanya sih siang ini mau ambil. Aku ajak aja ketemuan di sini," Jawab Raya enteng.

"Disini? Maksudnya dirumahku begitu?" Mata Nita kembali melotot.

"Iya."

"Me-memangnya siapa yang memberi izin padamu pakai rumahku untuk transaksi jual belimu itu?"

"Lagipula, siapa yang mau beli Jam tanganmu itu?" Lanjut Nita penasaran sambil mengambil segelas air dan meminumnya.

"Fiko," jawab Raya cepat.

Byyurrr!

Nita menyemburkan air yang baru saja diminumnya. Matanya menatap Raya tanpa berkedip. Seolah ingin memastikan apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah suatu kebenaran.

"Fi- fiko, adiknya Mas Dhani? kau tawarkan jam tanganmu itu sama adiknya Mas Dhani? Gila juga kau." Nita terbata.

"Lho, kenapa? Nggak ada yang salah kan. Bisnis is bisnis. Lagipula kenapa kalau Fiko yang beli?"

"Bodo ah," Nita mencebik kesal padanya.

"Lihat, gara gara semburan maut mu itu, bajuku sampai basah," sungut Raya sambil mengelap kaus yang dipakainya.

"Kok bisa si Fiko?"

"Ya bisa lah. Nggak sengaja kemarin ketemu dijalan. Tiba tiba jiwa bisnisku meronta saat melihatnya, ya sudah langsung kupepet dan prospek saja dia. Hasilnya, taraaa ...! dia mau beli jam tanganku. He ... he ... he!" Jawab Raya terkekeh.

"Dasar, entah makhluk dari planet mana kau berasal. Kupikir setelah selesai dengan Mas Dhani, kau akan nangis nangis semalaman, sampai matamu itu bengkak. Nggak tahunya masih sempat sempetnya ngurusin jam tangan mantan."

"Aku lebih sedih kehilangan uang, daripada kehilangan Mas Dhani. Lagipula, Pak lurah masih mau kok nampung aku jadi mantunya," desis Raya.

"Halo, aku juga mau kali jadi mantunya Pak lurah, secara si Febri, kan gantengnya pake banget, sebelas dua belas sama Song Jong Ki, si duda meresahkan itu. Ah ... Andai saja ..." Nita mulai terlihat senyum senyum sendiri.

"Wes, bangun. Mimpimu ketinggian." Raya menepuk pipi sahabatnya itu.

Suara salam seseorang terdengar dari luar, menginterupsi pembicaraan mereka, tampak seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, berdiri diteras rumah keluarga Nita. Membuat senyum Raya semakin merekah.

"Mana mbak, jam tangannya. Aku sudah lama sekali kepingin jam tangan yang sama kayak miliknya Mas Dhani." Ungkap Fiko tak sabar, begitu masuk kerumah ini.

"Ini." Raya menyerahkan sebuah box persegi berwarna hitam itu padanya.

"Untung saja tuh kotak masih disimpan sama emak, kalau nggak, turun deh nilai jual tuh jam tangan," Bisik Raya pada Nita.

"Aku gak mau ikut campur." Balas Nita ditelinga Raya.

"Bagaimana, suka sama jamnya?" Tanya Raya memastikan.

"Tentu mbak Raya. Ini keren. Sama persis, dengan miliknya Mas Dhani. Ah ya, Ini uangnya. Dihitung dulu, mbak," Ucap Fiko sambil menyerahkan uang itu padanya.

Senyum Raya langsung merekah ketika melihat setumpuk uang ditangannya. Matanya melirik kearah Nita yang menggeleng pelan karena tingkah aneh sahabatnya itu.

"Terima kasih ya, Fik," ucap Raya dengan memamerkan senyum manisnya.

"Sama sama mbak."

"Kau benar benar manusia langka yang ada di planet ini," sungut Nita sambil melihat Raya yang sibuk menatap uang ditangannya.

"Berarti kau harus bersyukur karena mengenal manusia langka ini," tutur Raya bangga.

"Bodo ah, mending pulang sana, daripada terus membuatku kesal."

"Nih, untukmu." Raya menyerahkan selembar uang merah pada Nita.

"Apa ini?"

"Uang untuk menutup mulutmu itu."

"Terima kasih atas rumahnya. Dah ya, aku mau pulang dulu. Kasihan emak nanti sedih karena anak gadisnya yang imut imut ini belum pulang." Ucap Raya yang langsung membalikkan badan, melangkah pergi meninggalkan Nita yang masih diam terpaku.

****

"Untuk apa kau datang kerumahku, mas, aku tak punya urusan lagi denganmu," ketus Raya.

"Aku ingin ..."

"Ingin menjelaskan sesuatu? Maksudmu aku salah paham, tuh cewek sepupumu atau adik angkatmu begitu. Ah alasanmu basi, mas," pungkas Raya cepat.

"Katakan cepat, untuk apa kau kerumahku? Jangan bilang jika kau ingin meminta jam tangan itu kembali" Lanjut Raya ketus.

"Tidak, aku kesini karena disuruh ibu, untuk pesan kue buat acara syukuran besok malam, karena ibu sedang berhalangan."

Hiks!

Raya melongo sesaat begitu mendengar alasan yang dikemukakan Dhani. Tak lama, ia berucap sinis.

"Emak lagi libur jualan."

"Eh, nak Dhani. Ada apa? Mau ketemu Raya?" Suara Bu Hartati tiba tiba menyela.

"Nggak Mak!" Raya langsung menjawabnya.

"Ah, a-anu. Ini Bu, anu ..."

"Apaan sih mas, anu, anu, mau main anu anuan!" Gerutu Raya.

"Bi Marni mau pesan kue buat besok malam. Mak," jelas Raya mewakili.

"Oh, berapa banyak?"

Dhani menjelaskan tujuannya kepada Bu Hartati, tak lama wanita berusia empat puluhan itu, pamit kedapur, meninggalkan Raya dan Dhani diteras depan rumah mereka.

"Kau marah?"

"Nggak, kita kan sudah mantan, buat apa marah. Mending sekarang pulang sana mas, toh urusanmu juga sudah selesai kan dirumahku," usir Raya.

"Aku ..."

"Aku apa ...? Sudahlah, aku sudah tahu, namanya Siska, anak bosmu dikantor, iya kan?"

Dhani menelan ludah, beberapa kali ia bersikap seperti seorang maling yang ketahuan mencuri. Beberapa kali pula ia menghindar dari sorot mata tajam Raya.

"Nggak perlu nanya aku tahu darimana!"

"Lagipula aku tahu diri kok, mana mau orang yang sudah berpendidikan dan mapan sama anak yang cuma lulus SMA," lanjut Raya seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Dhani.

"Sana pulang, mas. Maaf, aku sibuk!"

Raya melangkah masuk meninggalkan Dhani yang masih terpaku. Tak lama terdengar suara seseorang menyeret langkah, segera saja gadis itu berbalik kembali, melihat mantan kekasihnya yang berjalan meninggalkan rumahnya.

"Kau meremehkanku mas."

"Aku memang hanya lulusan SMA. Kau pikir aku sebodoh itu dan dengan mudah bisa membohongiku, asal kau tahu, adikmu berkata jujur saat ku tanya semua hal tentang dirimu. Meskipun aku terpaksa harus menjual jam tangan itu, setengah dari harga pasaran." Gumam Raya sambil berdecak kesal.

Raya membalikkan badan, masuk kedalam kamarnya, lalu mengambil sesuatu dari dalam lipatan baju dilemarinya, sebuah amplop berisi uang tabungannya.

Gadis itu mulai menghitung rupiah demi rupiah yang telah ia kumpulkan. Uang yang ia rencanakan untuk meringankan beban Ibunya atas biaya pernikahannya dengan Dhani kelak, kini sudah terkumpul cukup banyak. Untuk sesaat ia menatap uang itu, tak lama, terlihat ia menggigit bibirnya sambil mengepal kuat lembaran lembaran merah itu tangannya. No quote

Bersambung.
 
Part 4

Wajah sendu Bu Hartati terlihat kala melepas putri sulungnya ketika bus antar propinsi itu perlahan bergerak. Dibalik kaca jendela, Raya balas menatap ibunya, sambil mengulas senyum dan melambaikan tangan, seolah ingin memberi tahu jika ibunya tak perlu mengkhawatirkannya.

Beberapa pesan dan nasihat sudah diucapkan Bu Hartati sebelum Raya berangkat tadi. Meski rasa khawatir dan takut melanda. Namun, wanita yang sudah menjanda sepuluh tahun itu berusaha tegar dan yakin jika putrinya bisa menjaga dirinya.

Bus yang ditumpangi Raya terus bergerak melewati kota demi kota, masuk keluar hutan dan akhirnya menyebrangi lautan, jarak tempuh antara Palembang dan Jakarta membuatnya harus duduk diam selama lebih dari 20 jam di dalam bus.

Pagi akhirnya menjelang ketika bus ini berbelok ke terminal Rawamangun. Rasa lelah melanda sekujur tubuhnya, namun, tak membuat semangatnya luntur. Gadis itu memandang ke depan, berharap impiannya untuk sukses dan memiliki banyak uang akan terkabul.

Sejak semalam ia sudah memberi tahu bibinya jika pagi ini busnya akan tiba, dari pesan WA terakhir yang diterimanya, bibinya bilang akan menjemputnya, dan memintanya untuk menunggu.

Dengan langkah cepat, Raya keluar dari bus, sambil menyandang ransel dipunggungnya, gadis itu berjalan menuju ke deretan warung yang menjual minuman ringan. Demi menghilangkan dahaganya yang mulai terasa seperti gurun pasir.

"Air mineralnya satu, mbak," Pinta Raya.

Seorang gadis yang hampir seusianya, langsung melayaninya, tangan terampilnya mengambil sebuah botol air mineral bermerk terkenal, dan segera menyerahkannya.

Raya mengambil botol air mineral itu, dan balas menyodorkan sebuah lembaran uang lima ribuan padanya. Tak lama, gadis itu membuka dan meminum hampir setengah botol isinya.

"Mbak kembaliannya, aku minta wafer yang itu ya," tunjuk Raya pada sebuah wafer Nabat* coklat tak jauh darinya.

"Nggak ada kembaliannya, Mbak. Uangnya pas kok."

Untuk sekian detik Raya tertegun kala mendengar ucapan gadis pelayan warung itu, tak lama mata Raya mendelik. Otaknya seketika berhitung ketika kesadarannya kembali.

"Maksudnya, ini sebotol harganya Lima ribu?" Ketus Raya sambil memperlihatkan botol air mineral yang dipegangnya.

"Iya, benar mbak. Harganya Lima ribu."

Raya mencebik kesal, begitu mendengar jawabannya. Matanya masih mendelik seakan tak bisa menerima harga sebuah botol air mineral bisa semahal itu.

"Mahal banget! Di tempatku ini harganya cuma Tiga Ribu, diwarungnya Wak Husna malah cuma Dua Ribu Lima Ratus." Raya mencicit.

"Dikampungnya elu mungkin segitu Neng. Ini Jakarta, ya beda lah harganya." Jawab gadis penjaga warung itu tak mau kalah.

Raya mendes*h panjang, bibirnya terlihat ingin mengumpat, tak lama ia memandang botol air mineral yang masih tersisa setengah dipegangnya dan meletakkannya di atas meja.

"Nih, ambil, setidaknya aku masih sisakan setengah airnya untukmu." Ketusnya kesal.

Raya mengambil tas ranselnya yang tadi ia lepas, dan menentengnya kembali, tak lama, gadis itu membalikkan badan, dan memilih meninggalkan tempat ini sambil berdecak kesal.

Sepanjang perjalanan keluar dari terminal, gadis itu terus menggerutu. Ia menyesal karena telah mengeluarkan uang lebih hanya untuk sebotol air mineral.

"Ah, kenapa harus kutinggalkan disana botolnya. Kan masih ada sisa airnya." Sesal Raya.

"Mau naik haji nggak begitu caranya, ambil untung kok banyak bener. Tahu gini, mending beli dua botol di warungnya Wak Husna saja, kemarin," umpat Raya masih mengingat kekesalannya tadi.

Raya mengambil sebuah sobekan kertas kecil bertuliskan alamat rumah Bi Lastri dari dalam saku tas ranselnya. Rumah Bi Lastri ada di daerah Kali Malang, Bekasi. Bibirnya terlihat komat Kamit karena mencoba mengingat dan mengeja kembali pesan bibinya.

Bola mata Raya mulai berputar, mencari tempat untuk beristirahat. Suasana terminal yang ramai, membuatnya sedikit kesulitan mencari tempat yang nyaman untuk duduk.

"Panas!" Keluhnya sambil menggerakkan telapak tangannya, mengipasi wajahnya.
Kurang lebih satu jam kemudian, Sang bibi akhirnya tiba menjemputnya.


***


Raya tercekat untuk beberapa saat lamanya ketika mengetahui bahwa rumah Bi Lastri begitu kecil dan sempit. Tak seperti apa yang ada dibenaknya. Rumah Bibinya ini sangat sederhana dengan kedua anaknya yang mulai beranjak remaja.

Asap rokok mengepul kuat begitu Raya melangkah memasuki rumah ini. Seorang pria yang tengah asyik menonton televisi kemudian menatapnya. Sadar, dengan tatapan suaminya, Bi Lastri langsung mengenalkanku pada penghuni rumahnya.

"Ini Raya bang! Anaknya Mbak Hartati," Ucap bi Lastri.

Pria ini tersenyum, ia bersikap cukup ramah, lalu meminta Raya tak perlu sungkan dan menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, membuat gadis itu hanya bisa tersenyum getir, saat melihat kondisi rumah bibinya yang sempit dan ramai.

Kedua anak bibinya juga tak terlalu ramah menyambut kedatangannya, si sulung Dara, bahkan tak lepas dari headset ditelinganya sedang adiknya Dita, sibuk bermain game online.

"Dara, ajak Mbak Raya kekamarmu ya!" Pinta Bi Lastri pada putri sulungnya.

Mata remaja itu menatap Raya tak berkedip, membuat Raya mulai tak sabar. Gadis itu masih berusaha menahan lisannya untuk tidak berkata kasar. Mengingat mereka masih keluarganya.

Dengan langkah malas, remaja berusia dua belas tahun yang lalu mengajaknya kekamar. Sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan satu ranjang medium, tempat kedua putri bibinya itu membaringkan tubuh.

"Masuklah, tapi, jangan sembarangan menyentuh barang barangku," ucap remaja bernama Dara ini.

Melihat sikap sepupu dan keadaan rumah bibinya, membuat Raya menggeleng pelan. Hatinya mulai khawatir. Ia merasa tak akan betah jika harus menetap beberapa saat dirumah Bibinya ini.

Raya meletakkan ranselnya. Untuk sejenak ia diam hingga akhirnya mengambil ponselnya dan menelepon ibunya, mengabarkan keadaannya saat ini.

[Syukurlah, kau sudah sampai. Ingat, baik baik disana, jaga sikapmu disana, dan jangan sekali-kali merepotkan bibi mu, ya]

Ucap emak begitu hendak mengakhiri panggilan telepon ini membuat Raya hanya menghela nafas panjang. Ia memilih duduk di atas tempat tidur. Bibirnya lalu bergumam pelan.

"Lalu, aku mau tidur dimana?" keluh Raya, mengingat rumah ini hanya memiliki dua kamar saja.

"Mungkin lebih baik, aku cari kost kostan saja nanti. Tak apalah keluar uang tapi aku bisa tidur dengan nyaman, " Lanjut Raya sambil menatap ranjang kamar ini.


***

Tujuh hari pertama dirumah Bibinya dilaluinya dengan perasaan tak rnyaman. Setiap malam gadis itu terpaksa menggelar karpet di lantai untuk tidur. Karena kasur kamar ini tak bisa dipakai untuk tiga orang.

Pagi pagi sekali bibinya sudah berangkat. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik mengharuskannya berangkat lebih awal. Jika tidak, maka bisa terlambat mengingat jalanan yang akan ramai jika matahari sudah terbit.

Kedua orang sepupunya juga bersiap siap berangkat sekolah, karena hari ini adalah hari Senin. Sedang, Bang Harun, suaminya Bi Lastri juga terlihat akan bersiap untuk berangkat kerja.

Semua penghuni rumah ini akhirnya pergi, hanya tinggal ia sendiri saja. Entah mengapa gadis itu juga bersiap siap hendak keluar rumah.

"Maaf Bi, sepertinya aku tak akan lama menumpang dirumahmu," tutur Raya pelan.


Bersambung.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd