Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MAAF, KITA SUDAH MANTAN

Part 5

"Kau mau cari kost kostan?" Tanya Winda.

"Iya, aku nggak enak numpang terlalu lama dirumahnya Bi Lastri," sahut Raya.

"Udah dapet kerjaan belum? Dijakarta, biaya hidup disini itu mahal lho, nggak kayak di tempat kita."

"Aku udah kirim lamaran ke pabrik tempat Bi Lastri kerja, cuma belum ada jawaban. Katanya Bi Lastri kalau aku siapin uang pelicin tiga juta, bisa diterima," jelas Raya.

"Lalu ... Apa rencanamu, Raya?"

Mata Raya membulat begitu mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang membawanya harus bertemu dengan Winda, teman satu SMA dulu. Teman yang sejak lulus sekolah, langsung hijrah mencari penghasilan sendiri di Jakarta karena tak mampu melanjutkan kuliah.

"Justru karena itu aku belain sampe nyasar kesini, Win!"

"Cariin aku kerjaan, ya. Apa saja deh, yang penting bisa nabung buat beli berlian, sama beliin emak mobil. Udah!"

"Jidatmu lebar!" Winda mencebik.

"Ya sudah, mana berkas lamaranmu, Ntar aku bantu titip ke HRD kantorku. Kebetulan aku kenal baik seorang staf HRD disana."

Mata Raya mengerjab, bibirnya tersenyum lebar, dengan lidah yang tak henti memuji kebaikan sang teman.

Sebenarnya, sudah tiga hari belakangan ini Raya menghubungi beberapa teman yang ia ketahui menetap dijakarta. Namun, hanya Winda saja yang merespon baik dan mau mendengar keluhannya, sedang yang lain, entahlah, mungkin terlalu sibuk hingga tak sempat mengecek ponselnya.

Raya mengenal Winda karena mereka masih satu kampung dan bersekolah di SMA yang sama, meskipun mereka tak pernah satu kelas. Namun, hubungan pertemanan mereka terjalin dengan baik.

"Aku kerja sebagai SPG. Apa kau mau?"

"Nggak nolak. Yang penting aku bisa dapet duit."

"Ya sudah. Aku usahakan, Tapi, ngga janji ya diterima apa nggak nya," ungkap Winda.

"Aku percaya kemampuanmu merayu, Win," balas Raya terkekeh.

"Ehm ... Kalau boleh, sekalian aku numpang di kostanmu ya, ntar aku bantuin bayar," lanjut Raya.

Winda menghela nafas panjang, bibirnya terlihat maju beberapa kilometer, ketika mendengar ucapan temannya itu.

"Ya sudah, tapi begitu kau dapat pekerjaan, pindah! Aku tak suka kamarku sempit."

"Kau memang yang terbaik Win, the best pokoknya," puji Raya diikuti gelengan kepala Winda.

****

Mata bibinya melotot tajam kala Raya meminta izin untuk pindah ke kontrakan temannya. Beberapa kali ia meminta Raya untuk menunda niatnya karena tak yakin gadis itu bisa mandiri di kota metropolitan ini.

"Kau baru beberapa hari disini. Belum tahu arah pulang kalau kutinggal di Tanah Abang, malah sekarang bilang ingin nge kost. Apa kata emakmu nanti kalau tahu kau tidak tinggal disini, Raya?"

"Aku sudah bilang sama emak kok bi. Dan emak cuma bilang hati hati, pamit baik baik sama bibimu. Makanya sekarang aku menuruti ucapan emak. Pamit sama bibi," Jawab Raya.

Untuk beberapa saat Lastri tak bisa bicara, matanya terus memindai sikap keponakannya itu. Ia masih tak yakin untuk melepas Raya dari rumahnya.

"Lalu, dimana kost temanmu itu?"

"Di daerah Radio Dalam, Bi. Katanya disana juga banyak kost kostan karyawan. Sudah, bibi nggak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri. Lagipula kalau aku kehabisan uang, nanti balik ke sini." Tutur Raya berusaha meyakinkan Lastri.

"Bibi tahu daerah itu, ya sudah, hati hati. Jangan lupa sering seringlah main kesini. Jangan sampai saat uangmu habis kau baru datang kesini." Lastri menyerah.

"Terima kasih banyak, bi." Raya mencium punggung tangan adik perempuan ibunya itu.

****

Sudah satu minggu Raya menumpang di kamar kost Winda. Wajah gadis itu terlihat sangat senang ketika mendengar kabar baik yang sampaikan temannya itu, saking bahagianya, ia langsung menelepon emak dikampung.

Berbekal baju dan tas pinjaman dari Winda. Gadis imut imut nan manis itu, bersiap untuk pergi wawancara kerja. Matanya terus menatap pantulan dirinya dicermin, melihat hasil polesan make-up Winda di wajahnya.

"Tuh, udah cantik. Nih, bawa bedak sama lipstik ini. Nanti kira kira sebelum masuk ruang interview, rapiin dulu lipstiknya biar wajahmu kelihatan segeran. Bila perlu oles yang tebal sekalian," saran Winda.

Raya tak menjawab, hanya mengangguk saja, dan memasukkan benda keramat wanita itu kedalam tas, karena ia masih tak henti mengagumi hasil karya Winda, di wajahnya.

"Ternyata aku bisa berubah jadi cantik ya, kalau dandan. Coba dari dulu aku kejakarta, pasti penampilanku lebih cantik dari gadis kota itu. Mas Dhani juga nggak akan mungkin berpaling," curhat Raya.

"Masih aja mikirin mantan. Kalau aku mah ogah."

"Buktikan kalau kamu bisa sukses, Raya. Bikin dia menyesal, terus kamu bilang, Maaf, kita sudah mantan, gitu kan keren dengernya," ucap Winda mengompori temannya itu.

"Iya kau benar. Makanya itu, aku harus punya uang banyak. Bila perlu cari pria kaya disini, biar nggak perlu capek capek kerja," Jawab Raya terkekeh.

"Dasar, Sifat perhitunganmu itu masih sama saja seperti saat sekolah dulu. Entah kenapa aku selalu bisa terjebak denganmu." Winda mencebik kesal.

***

Sudah ada satu bulan sejak jadwal interview kerja itu, dan sudah tiga minggu terakhir ini Raya sudah mulai bekerja, baginya pekerjaan ini menyenangkan karena ia bisa bertemu dengan berbagai karakter orang.

Menjadi seorang Sales Promotion Girl sebuah ponsel pabrikan Korea Selatan itu membuatnya harus tampil cantik dan menarik. Demi mewujudkan impiannya memiliki suami kaya, Raya bahkan merelakan uangnya untuk perawatan wajah dan tubuh disalon. Bahkan ia juga membeli beberapa produk kosmetik sendiri, meski setelah itu menangisi isi dompetnya yang mulai menipis.

"Ah, tak apalah, yang penting sekarang cantik. Modal utama menggaet pria kaya adalah cantik," gumamnya menghibur diri.

Sejak tiga hari lalu, Raya sudah tidak menumpang lagi di kamar kost Winda. Ia menyewa kamar sendiri tepat disebelah kamar milik Winda, karena kebetulan kosong di tinggal penyewa sebelumnya yang pulang kampung karena mau menikah.

"Entah kenapa, orang menyebalkan seperti dirimu, hidupnya selalu saja beruntung, yah?" Cibir Winda saat mereka makan malam dengan dua mangkuk mie instan bersama dikamar Raya.

"Aku saja butuh tiga bulan disini, baru dapet kerjaan. Kau ...? Ah, sudahlah. Mungkin rejekimu saja lagi bagus." Lanjut Winda.

" ... Karena aku anak baik. Tidak macam macam, saking terlalu baiknya. Mas Dhani sampai membohongiku."

Hiks!

"Aku gadis yang malang," ucap Raya dengan ekspresi wajah dibuat merana.

"Asem!" Gerutu Winda, membuat Raya akhirnya tertawa lebar.

****

Pagi ini seperti biasa, dengan menumpang angkot, Raya Berangkat menuju sebuah mall di bilangan pusat Jakarta. Pekerjaannya sebagai SPG sebuah merek ponsel terkenal, mengharuskannya mengenakan seragam khusus yang disediakan perusahaan saat bekerja.

"Aku memang terlihat keren kalau pakai seragam dan ID card seperti ini. Persis seperti orang orang sukses yang kerja kantoran di TV. Gak kalah cantik kok sama pemain sinetron ikatan karet gelang yang sering ditonton emak itu," bisik Raya ketika berkaca di etalase counter ini.

"Udah cantik kok Mbak Raya," tegur Nanda, rekan kerjanya.

"Ah, he ... he ...!"

"Tuh Mbak, kalau mau diprospek." Ucap Nanda ketika melihat seorang ibu dan seorang remaja masuk dan melihat lihat deretan ponsel yang terpajang di etalase.

Tanpa pikir panjang dan membuang waktu, gadis itu segera melesat menghampiri. Dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya, akhirnya sebuah ponsel seharga dua belas juta itu pun terjual.

"Kau memang pandai mbak Raya, rata rata konsumen yang kau pegang selalu beli," Nanda memuji.

"Ah, kebetulan saja, dikampung dulu aku ikut bisnis MLM," jawab Raya malu.

"Mbak Raya, Ini kayaknya punya ibu tadi deh ketinggalan," tunjuk Nanda tiba-tiba pada sebuah paper bag merah yang ada dilantai.

Raya langsung mengerutkan kening, mencoba mengingat.

"Ah iya, kau benar, aku kejar dulu ya, siapa tahu masih belum jauh," Sahut Raya lalu menyambar paper bag itu.

Dengan langkah cepat, Raya mencoba mengejar konsumennya tadi. Baru Lima menit berselang sejak ibu dan anak perempuannya tadi pergi meninggalkan counter. Rasanya belum terlalu jauh mereka berjalan.

Mata Raya terus memindai tiap sudutnya. Kerumunan pengunjung mall ini membuat pandangannya terhalang beberapa kali, hingga akhirnya ia melihat ibu dan anak tadi masuk kedalam sebuah restoran Jepang.

"Terima kasih banyak, mbak. Maaf ibu sampai lupa." Ucap ibu itu kepada Raya ketika gadis itu mengembalikan paper bag miliknya.

"Sama sama bu," ucap Raya hendak pamit.

"Tunggu Mbak, ini terimalah. Tolong jangan menolak." Ibu itu menyodorkan dua lembaran merah padanya.

Mata Raya berbinar ketika melihat warna uang itu, dengan senyum tertahan gadis itu menerimanya.

"Terima kasih, bu."

"Ini tak seberapa dengan barang dalam paperbag ini mbak. Terima kasih karena sudah mengembalikannya."

Raya mengangguk mengucapkan terima kasih sekali lagi, tak lama iapun pamit.

Senyum Raya terus tersungging di bibirnya kala ia melangkah keluar dari restoran itu, hatinya gembira karena rejeki yang baru diterimanya tadi, hingga Ia tak sadar jika tiba tiba seorang pria menarik tangannya.

"Aku sudah bilang jika punya calon istri sendiri, ma. Ini dia orangnya. Perkenalkan ini calon istriku, dan aku akan menikahinya bulan depan."

Mata Raya terbelalak lebar ketika mendengarnya. Hingga membuatnya tak mampu mengeluarkan suara untuk beberapa detik lamanya.

"Tunggu dulu, a-apa maksud ucapannya tadi, ca-calon istri? Me-menikah?"

Bersambung.
 
Part 6

Mata Raya terbelalak lebar ketika mendengarnya. Membuatnya hingga tak mampu mengeluarkan suara untuk beberapa detik.

"Tunggu dulu, a-apa maksud ucapannya tadi, ca-calon istri? Me-menikah?"

****

Raya memandang pria yang berada disampingnya tanpa berkedip. Mulutnya terbuka karena masih belum mengerti akan apa yang baru saja didengarnya.

Sadar jika tangannya masih dipegang erat oleh pria itu, Raya berusaha melepaskannya, sayang, pria itu bukannya melepaskan tangannya, tetapi malah merangkul pinggangnya. Hingga tak ada jarak lagi diantara mereka.

"Ini gadis yang ingin kunikahi, kuharap setelah ini, mama berhenti mencarikan calon istri untukku."

Wanita dengan hijab dikepala, berpenampilan yang anggun serta berkelas itu, menatap Raya dengan seksama, matanya memindai setiap centimeter tubuh Raya dari atas sampai kebawah, hingga akhirnya sebuah senyuman terbit di wajahnya.

"Cantik, dan sepertinya pekerja keras, mama suka pilihanmu, Alex."

"Siapa namamu, nak?"

"Maaf, bu sepertinya ada kesalahpahaman, saya tidak meng ...." Belum sempat Raya menjelaskan, tiba tiba kakinya diinjak pria itu.

"Aawww!" Raya menjerit tertahan.

Mata pria itu melotot padanya, tangannya semakin mendekap erat pinggang Raya, seakan meminta Raya untuk mengikuti ucapannya.

"Ra-raya, Tante. Nama saya, Raya."

Wanita itu balik memandang puteranya, lalu, lalu menggeleng pelan.

"Kenapa tidak pernah dikenalkan sama mama, Alex, kalau begini kan mama tenang. Ngga perlu mencari cari calon istri lagi untukmu," ucap wanita itu sumringah.

"Oh ya nak, besok malam ajak Raya makan malam dirumah yah, mama ingin kenalan dengan calon istrimu ini, Jangan lupa, Mama tunggu dirumah."

Wanita itu pergi setelah mengatakan kalimat itu, sementara, pria bernama Alex ini, segera melepaskan tangannya dari pinggang Raya.

"Aku ingin bicara denganmu. Kapan jam kerjamu selesai?" ketusnya.

Ucapannya sontak membuat gadis itu langsung membalikkan badan, dan bersungut kesal.

"Pria aneh."

"Hei tunggu!" Pria bernama Alex itu menyusul dan berusaha menghalangi langkah Raya.

Gadis itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik kembali memandang Alex sambil membeliakkan lebar ke-dua matanya

"Apa!"

"Harusnya aku yang ingin bicara denganmu, apa maksud semua sandiwara tadi? Kau membuang buang waktuku saja."

"Jam berapa kau pulang?"

"Jam lima," jawab Raya tak ramah.

"Okay, jam lima kutunggu di parkiran timur mall ini. Jangan coba lari, jika tidak aku akan datang ke countermu besok dengan pengaduan atas pelayanan kerjamu yang sangat buruk," Ancamnya sambil melirik seragam kerja yang dipakai Raya.

"Kau mengancamku. Hei bangun tuan ... Kau yang butuh bantuanku, bukan? Setidaknya, kau minta maaf dulu atas tindakanmu tadi padaku," ucap Raya tak mau kalah.

"Kau ... " Tangan pria bernama Alex itu terkepal.

"Kenapa, tak mau? Ya sudah. Tolong minggir, tuan. Calon istrimu ini mau lewat!" Ejek Raya dengan mengulas senyum.

"Aku minta maaf." Ucap Alex cepat.

Suara permintaan maaf dari pria yang baru beberapa menit di kenalnya itu, membuat senyum Raya semakin mengembang, gadis itu merasa menang.

"Nah, tak sulit toh minta maaf," ucap Raya jumawa.

"Aku akan menjemputmu. Jam lima kutunggu diparkiran timur mall ini."

Raya tak menjawabnya, lalu membuang pandangannya, meninggalkan pria itu yang masih menatapnya penuh harap.

"Jangan lupa, nanti sore diparkiran timur," ulang pria itu dengan suara yang cukup keras.

****

Mata Raya memandang tiap pengunjung yang berada diparkiran timur mall ini, sambil terus mencebik kesal, wajah masam terus ia perlihatkan begitu tiba di tempat ini.

"Entah mengapa aku mau datang kesini." Gumamnya.

Bibirnya terangkat tatkala ia melihat Alex, pria yang dikenalnya beberapa jam lalu didalam mall tadi sedang melambaikan tangan padanya. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri pria itu.

"Kupikir kau tak akan datang, hampir saja aku ingin mendatangi countermu itu, nona Raya!" Ucap Alex begitu melihat kedatangan Raya.

Raya tak menjawabnya, hanya mencebik kesal padanya. Mata gadis itu memperhatikan pria dihadapannya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

"Ayo ikut aku, kita bicara ditempat lain."

Pria dengan wajah kebarat-baratan ini lalu mengajaknya menuju kesebuah mobil Ferarri merah. Mobil yang membuat mata Raya sontak terbuka lebar, selebar GOR Senayan.

"Mo-mobilmu tuan?" Tunjuk Raya sambil mengedipkan matanya beberapa kali karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Bukan, dapet nyewa."

"Ayo cepat masuk," ajaknya lagi.

"Eh, tunggu!" Tahan Raya.

"Berjanji dulu satu hal padaku, kau tak akan membawaku ketempat yang aneh atau menurunkanku dijalan."

"Iya aku janji, ayo!"

"Ma-mana KTP mu? Aku mau lihat."

"Buat apa?"

"Ya buat jaga jaga lah. Siapa tahu kau langsung membawaku ke Penghulu, kan repot. Setidaknya, aku harus tahu siapa kau!" Jawab Raya ketus.

"Lama lama kau membuatku kesal, nona. Lagipula siapa juga yang mau macam macam denganmu, asal kau tahu, kau sangat jauh dari seleraku ..."

"Ya sudah."

Raya berbalik, melangkah cepat meninggalkan Alex yang masih bicara. Sadar jika lawan bicaranya menjauh, pria itu refleks mengejarnya.

"Tunggu, aku minta maaf. Aku ingin minta tolong padamu."

Raya menghentikan langkahnya, gadis itu menarik nafas panjang. Lalu membalikkan badan, menatapnya tajam.

"Kau butuh bantuanku? Ya sudah, mana KTP mu. Sini berikan!" Pinta Raya sambil menadahkan tangan.

Raut wajah kesal diperlihatkan Alex padanya, dengan terpaksa pria itu mengeluarkan kartu identitas yang diminta Raya dari dalam dompetnya.

"Ini ...! Apa sekalian aku beri paspor dan SIM juga padamu?" Sungutnya.

"Iya, bila perlu kau berikan sekalian kartu debit dan kreditmu, agar aku yakin kau pria baik." Balas Raya terkekeh.

"Ayo masuk ke mobil!"

"Tunggu sebentar!"

"Apalagi ...?"

"Aku mau ambil foto KTP mu sebentar."

"Ya tuhan, untuk apa?"

"Untuk jaga jaga lah, siapa yang tahu ada niat terselubung dibalik ini. Aku kan bisa mencegahnya. Setidaknya aku punya identitas pria jahat itu." Jawab Raya sambil mengambil beberapa foto KTP Alex.

"Astaga, mengapa aku bisa bertemu dengan gadis seperti ini?" Keluh Alex mulai tak sabar. Tak lama, tangannya menarik paksa Raya, dan memintanya segera duduk di mobil.

"Duduk dan diamlah."

Blam!

Pintu mobil itu langsung ditutup Alex, tak lama ia berjalan memutar menuju kursi kemudi.

Raya menatap pria itu dengan raut wajah masam. Keningnya berkerut, mencoba mencari tahu apa yang ingin pria ini bicarakan dengannya.

Untuk beberapa detik, mereka berdua diam, tak lama, mata Raya mulai memperhatikan tiap milimeter interior mobil ini dan mulai mengaguminya, semua tak luput dari tatapan matanya.

"Kita bicara ditempat lain saja, sekalian kutraktir kau makan." Ucap Alex mengakhiri keheningan mereka.

"Terserah kau saja," jawab Raya yang tak henti menepuk jok mobil yang didudukinya.

"Mobilmu nyaman ya, beda sekali dengan angkot yang tiap pagi kunaiki," tutur Raya polos.

Mata Alex mendelik melihat tingkah Raya, senyum tipis tiba-tiba merekah dari bibir pria itu. Sebuah senyuman yang penuh arti.

Bersambung
 
Part 7

"Andrew Rinindra Alexander Green."

Raya mengeja sebaris nama di kartu identitas Alex yang dipegangnya.

"Namamu keren ya. Orang bule ternyata."

"Kalau sudah selesai membacanya, sini kembalikan KTP ku," sungut Alex.

"Ternyata sudah 25 tahun umurnya, pantesan sampe dicariin calon istri segala. Udah tua!" Lanjut Raya terkekeh.

Merasa diejek, tangan Alex dengan cepat menyambar kartu identitasnya dari tangan Raya, wajah kesal ia perlihatkan pada gadis itu.

"Bukan urusanmu, nona." Ketusnya sambil meletakkan kartu identitasnya kedalam saku celana yang dipakainya.

"Perasaan nyonya yang tadi siang wajahnya Indonesia banget. Kok bisa punya anak kayak bule nyasar begini yah," tutur Raya sambil meliriknya.

"Lidahmu tajam juga ternyata, nona?"

"Orang hidup ya harus bicara," sanggah Raya cepat.

"Papa ku seorang Ekspatriat, WNA. Apa itu sudah jelas?"

"Oh, hasil perkawinan silang."

"A-apa ...? Kau bilang apa tadi?"

"Yang mana?"

"Tadi barusan kau bilang apa? Ha-hasil perkawinan silang? Kau pikir aku tanaman!"

"Eh, dia marah."

"Kau ...!" Geram Alex dengan mata melotot.

"Bibit unggul," balas Raya terkekeh.

"Emang susah bicara dengan pohon."

"Pohon kelapa, nyiur melambai ..." Balas Raya.

"Ya tuhan, mengapa aku harus bertemu denganmu?"

"Mungkin karena kita berjodoh, tuan." Jawab Raya enteng.

Ckitt!

Mobil yang mereka tumpangi, tiba tiba berhenti mendadak, karena Alex, yang refleks menginjak rem ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Raya. Mata pria itu kini melotot pada gadis disampingnya itu dengan raut wajah kesal.

"Hei, dengar nona! Sebaiknya, jangan asal bicara. Gadis kasar sepertimu bukan tipeku. Jangan bermimpi kita akan berjodoh. Kau itu, bencana untukku tahu!" sungut Alex.

"Bagimu mungkin bencana, tuan. Tapi akan menjadi berkah untukku," jawab Raya tak peduli.

"Arrgghh!"

Tangan Alex menepuk kemudi mobilnya, sementara Raya terkekeh, tak lama sebuah senyuman terbit di wajah gadis itu.

Tin ... tin ....!

Suara klakson mobil dari arah belakang, menghentikan pertengkaran mereka. Alex melirik kaca spion tengah mobilnya. Tampak sebuah mobil SUV dibelakang, trus menerus membunyikan klakson.

"Iya, sebentar. Bawel amat nih mobil dibelakang," umpat pria itu kesal.

Alex menepikan mobilnya. Raut wajah masam ia perlihatkan. Meski AC mobil ini sudah membuat tubuh menggigil kedinginan, tetap tak mampu mendinginkan kepalanya yang mulai dipenuhi rasa kesal.

"Oh ya tuan, kau bilang ingin mentraktirku makan. Apa janjimu itu masih berlaku?" Tanya Raya cuek sambil melihat jejeran warung tenda didekat mereka.

"Kau benar benar membuatku kesal. Nona Raya."

"Lho, kenapa? rasanya aku nggak salah ngomong?" Raya mengernyitkan dahi.

"Ah, sudahlah. Susah bicara denganmu." Alex menyerah.

"Hei tuan. Tadi siang kau bilang ingin bicara sambil mentraktirku makan, iya kan? Ayo kita makan dulu, aku sudah lapar, soalnya tadi siang aku cuma makan roti saja," ajak Raya.

"Kau benar benar gadis yang sangat jujur dan terbuka," sindir Alex.

"Kita tak akan makan disini, aku akan mengajakmu ke tempat lain. Karena aku ingin bicara hal penting denganmu," Lanjut Alex.

"Tak perlu repot repot. Pecel ayam daerah sini katanya terkenal enak. Apalagi yang itu, kata temenku enaknya luar biasa, sampe ke tulang tulangnya. Sedapp!" Ucap Raya tersenyum penuh arti.

"Tidak! Kita ketempat lain," tolak Alex.

"Disana saja. Lagipula, aku tahu kok apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kau mau aku pura pura menjadi calon istrimu, kan. Tenang, Raya Faradina dengan senang hati akan membantu anda, tuan." Ucap gadis itu sambil menepuk pelan dadanya.

"Baiklah, ingat besok kau akan ikut denganku untuk acara makan malam bersama mamaku," ucap Alex menyerah.

"Iya aku ingat. Tolong buka pintunya, aku sudah lapar!" Ajak Raya yang sedari tadi mencoba menarik kenop pintu mobil yang tak mau terbuka itu.

****

Mobil yang dikendarai Alex berbelok kearah kanan dan mulai memasuki sebuah Jalanan sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja, tak lama tangan Raya, menunjuk kesebuah rumah.

"Jadi disini kau tinggal?" Tanya Alex begitu Ferarri yang dikemudikannya berhenti tepat di sebuah bangunan berlantai dua ini.

"Iya, kamarku ada dilantai dua, tuh yang ada tempelan gambar kartun Patrick dan Spongebob itu." Raya menunjuk sebuah kamar di sisi kedua dari kanan.

"Oh, pantes! Kau dan si Patrick itu memang ada kemiripan," ucap Alex spontan.

"Maksudmu ...?"

"Ah, sudahlah. Lekas keluar dari mobilku."

Dengan bibir di buat maju tujuh kilometer, Raya keluar dari mobil mewah ini. Saat hendak melangkah, tatapan matanya langsung bertemu dengan Winda yang melihatnya dengan penuh tanya.

"Hei, nona. Besok sore akan kujemput kau. Jangan lupa, awas saja kalau kau kabur!" Seru Alex dari dalam mobil.

"Mau lupa atau kabur sekalian, suka suka aku dong. Lagipula kau yang butuh bantuanku, bukan. Semestinya, kau harus bersikap baik padaku. Bukankah begitu aturannya, tuan?" cibir Raya sambil mengumbar senyum.

Mobil yang dikendarai Alex perlahan pergi menjauh diiringi lambaian tangan Raya yang masih mengulas senyum tipis dibibirnya. Tak lama, gadis itu membalikkan badan. Berniat masuk kedalam kamar kostnya.

"Keren, kenalan dimana?" Tanya Winda begitu Raya baru saja tiba didepan kamarnya.

"Nggak sengaja nemu dimall," tukas Raya cepat.

"Nemu, kau bilang? Itu sih bukan Nemu lagi Raya. Itu hadiah dari Tuhan."

"Kau mau?"

"Iyalah. Bodoh kalau menolak berlian mewah begitu."

"Nah itu tahu." Raya tersenyum lebar.

"Masih ada stok lain ngga? Aku mau dong satu."

"Haish, kau kira aku penampungan. Pake nanya stok segala."

"Aku serius Raya."

"Ntar kutanya deh. Siapa tahu dia ada temen jomblo buat dikenalin sama kamu."

"Alhamdulillah. Ya Tuhanku, terima kasih sudah mengirimkan teman yang ada gunanya seperti ini."

"Asem!"

"Sudah ah, aku mau masuk dulu, mau mandi. Terus tirakat semalaman. Biar impianku dapet suami kaya terkabul." Tangan Raya dengan cepat memutar pintu kamar kosnya.

"Yuk, bobo cantik biar tambah manis," lanjut Raya.

"Kenapa bisa ada gadis yang selalu beruntung, seperti dirimu," keluh Winda.

"Bisa dong, karena aku manis dan imut imut" jawab Raya asal, lalu masuk ke dalam kamar kostnya, meninggalkan Winda yang masih terlihat menatapnya.

Bersambung
 
Part 8

Sejak pagi Raya sudah bersiap, gadis itu berdandan cantik, meski acara makan malam yang akan di hadirinya, masih beberapa jam lagi, tetap saja ia menjaga penampilannya.

Sepanjang waktu, Raya terlihat bersemangat melayani calon pelanggan yang datang ke counter yang dijaganya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Suasana hatinya terlihat sangat baik hari ini.

"Mbak Raya, baik baik saja, nggak demam atau lagi sakit kan?" Tanya Nanda, rekan kerjanya, sesama penjaga counter ini.

"Nggak, emang aku kenapa?" Balas Raya.

"Gak apa apa sih, cuma heran saja. Mbak Raya nggak kayak biasanya. Perasaan dari pagi senyam senyum terus. Apa ada sesuatu yang menarik, menang lotere, mau nraktir makan, atau dapat gebetan?"

"Apa iya sih, kok aku nggak ngerasa yah?'

"Yee ... Hari ini mbak Raya tuh aneh. Biasanya manyun, muka ditekuk kalau ngeliat dompet, ngitung mundur tanggal gajian. Lha ini senyum terus. Kayak lupa kalau sekarang lagi tanggal tua."

"He ... he ... he!" Balas Raya tersenyum, memamerkan giginya.

"Ntar besok besok, aku traktir ciloknya
Bang Arsyad yang deket parkiran bawah."

Bibir Nanda, rekan kerja Raya itu mulai memanjang, sejauh mata memandang. Gadis itu tampak menggelengkan kepalanya, setelah mendengar ucapan Raya barusan.

"Mending aku ngerjain laporan saja. Ntar ketularan aneh lagi, kayak mbak Raya." cicit Nanda lalu pergi meninggalkan Raya yang terlihat masih asyik mematut diri didepan kaca etalase.

Raya melirik jam tangannya, sudah hampir jam dua siang, bibirnya berdecak, lalu duduk disebuah kursi, menunggu pelanggan datang ke counter nya.

Suasana mall ini semakin sore terlihat semakin ramai. Beberapa orang mulai masuk, dan melihat deretan ponsel ponsel yang dipajang. Entah mengapa, gadis itu tampak begitu bersemangat melayani. Hingga tanpa sadar sudah waktunya untuk pulang.

"Akhirnya pulang juga. Tak sabar rasanya pengen naik mobil bagus lagi," gumamnya lalu pamit dengan karyawan lain.

Raya melangkah cepat meninggalkan mall ini, karena mengejar waktu akan janjinya pada Alex, pemuda yang dikenalnya kemarin. Beberapa kali ia melirik jam dipergelangan tangannya. Hanya demi memastikan dirinya tak akan terlambat pulang.

Sepanjang perjalanan, bibir gadis itu terus menggerutu. Alasan klasik, jalanan yang macet akhirnya membuatnya terpaksa menyerah.

"Hadeeh ... aku yakin akan terlambat kalau nih angkot jalannya kayak keong begini."

****

Wajah masam langsung diperlihatkan Alex ketika ia melihat Raya melangkah turun dari angkot, hingga tanpa sadar menendang kaleng minuman ringan yang sudah habis diminumnya tadi. Wajar saja pria itu merasa kesal, karena sudah satu jam lebih pemuda itu menunggunya.

Udara malam ini cukup panas, Karena saat ini sudah masuk musim kemarau, Raya berjalan sambil mengikat rambut panjangnya. Pertanda betapa gerahnya ia berada didalam angkot tadi.

Alex keluar dari dalam mobil lalu berdiri menatap tajam Raya, tak lama pemuda itu melontarkan kalimat yang mewakili kekesalannya. Kala ia melihat Raya yang berjalan mendekatinya.

"Kau membuatku menunggu terlalu lama, nona!"

"Salahmu sendiri mengapa datang terlalu cepat. Kan baru jam setengah tujuh malam," balas Raya.

"Kau kan tahu, aku harus kerja dulu, lagipula, kau bisa meneleponku dulu. Setidaknya, kasih kabar kalau mau sore datang kesini," lanjut Raya enteng.

"Kau bilang menelepon? Nomor ponselmu saja, aku tak punya."

"Ya salahmu sendiri, tuan. Mengapa tidak minta kemarin."

"Ah, sudahlah. Bicara denganmu tak akan ada habisnya. Lebih baik cepat masuk ke mobil. Kita berangkat sekarang."

"Se- sekarang? Apa tak bisa menungguku mandi sebentar?"

"Tidak, itu terlalu lama. Mama bisa menerorku nanti."

"Tapi ..."

"Kita bisa terlambat jika menunggumu mandi dan dandan. Lagipula, ini hanya makan malam saja, bukan mau ke pagelaran acara fashion show. Cepat masuk ke mobil."

"Setidaknya, biarkan aku mengganti bajuku sebentar," ucap Raya ketus

"Baiklah. Cepat!"

Dengan wajah ditekuk, Raya berjalan menuju kamar kostnya, mengganti seragam kerjanya dengan blouse berwarna kuning yang lembut. Beberapa saat kemudian, ia kembali menghampiri Alex.

"Sudah?"

Raya tak menjawabnya, hanya bibirnya yang terus menerus berdecak kesal.

"Ayo cepat masuk!"

Wajah masam ia perlihatkan ketika tangan kekar Alex membuka pintu mobil ini untuknya. Untunglah, perasaan kesalnya mereda begitu udara dingin yang berasal dari AC mobil ini membelai lembut kepalanya yang tadi dibasahi keringat.

"Ah, untung mobilmu sejuk dan wangi. Tak mandi juga ngga apa apa. Jika tidak ..."

"Jika tidak? Kenapa?"

"Males pergi denganmu. Cape, gerah! Memangnya, kau akan mengajakku kemana?"

"Kerumah mamaku di Serpong,"

"Serpong? Dimana pula itu?" Gumam Raya.

Mata Alex mendelik ke arah Raya. Pemuda itu menaikkan salah satu sudut bibirnya, begitu mendengar ucapan Raya.

"Kau belum pernah kesana?"

"Belum. Sejak aku dijakarta. Aku hanya tahu Bekasi, tempat bibiku tinggal. Radio dalam, tempat kostku, dan Senayan saja, mall tempat kerjaku," jawab Raya polos.

"Kau pendatang?"

"Iya, baru dua bulanan aku disini!"

"Pantesan udik."

Mata Raya langsung mendelik tajam pada Alex. Gadis itu terlihat kesal. Namun, bukan Raya jika tak bisa membalas hinaan yang dilontarkan padanya.

"Iya, aku memang gadis udik. Tapi, ada seseorang sampai kesal karena menunggu kedatangan gadis udik ini."

Alex memilih tak merespon balik sindiran Raya, matanya kini fokus kedepan, mengemudikan mobilnya.

Raya membuka tasnya, dan mulai mengambil tas kecil berisi peralatan makeup nya. Tak lama gadis itu mulai memperbaiki riasan wajahnya.

"Tak usah banyak-banyak naruh dempulannya, nona. Ntar kelihatan banget udiknya."

"Sensi amat, tuan. Suka suka aku dong. Memang kau nggak malu nanti jika calon istrimu ini tampil kusut begini?"

"Nggak lah,"

"Bodo!" Ketus Raya sambil terus memperbaiki riasan wajahnya. Tangannya kini mulai mengoleskan lipstik matte berwarna merah muda itu, lalu beberapa saat kemudian ia mengambil parfum dengan keharuman bunga melati itu dan mulai menyemprotkannya ke beberapa bagian tubuhnya.

"Hmm ... Bau apa ini?" Hidung Alex mengendus.

"Parfumku, enak kan baunya."

"Enak apanya, kayak kembang kuburan begini!"

"Kau bilang apa? Ke-kembang kuburan! Sembarangan. Ini tuh wangi paling alami dan natural."

"Tetep aja udah kayak wangi kembang kuburan. Wanginya sama kayak bunga yang biasa ditabur diatas makam itu," ejek Alex sambil menutup hidungnya.

Karena kesal, Raya menyemprotkan parfumnya ke setiap sudut mobil ini. Membuat Alex terpaksa membuka pintu mobilnya. Mengganti udara yang dihirupnya.

"Kau membuat parfumku terbuang percuma," ketus Raya saat melihat Alex yang tak jua menutup jendela mobil.

"Aku sesak nafas tahu!"

"Salah sendiri, mengapa menghina parfumku. Kau membuatku rugi. Apa kau tahu aku harus menghemat uang makanku demi membeli parfum ini?"

"Aku tak meminta kau menyemprot isi parfummu."

"Karena kau membuatku kesal."

"Turunkan aku!"

Ucapan Raya membuat Alex seketika langsung berbalik menatapnya. Pemuda itu terlihat menelan ludah, ada rasa takut jika Raya benar benar meminta turun.

"Berhenti! Ku bilang, turunkan aku."

Dengan terpaksa Alex menaikkan kembali kaca jendela mobilnya dan menghirup kembali parfum aroma melati itu, Merasa menang, Raya mengulas senyum.

Mobil yang dikendarai Alex mulai membelah jalanan ibukota. Langit yang bertaburan bintang seolah-olah ikut menyambut kedatangan mereka diserpong. Tanpa di sadari, bahwa acara makan malam ini akan membuat babak baru dalam kisah hidup mereka.

Bersambung
 
Part 8

Sejak pagi Raya sudah bersiap, gadis itu berdandan cantik, meski acara makan malam yang akan di hadirinya, masih beberapa jam lagi, tetap saja ia menjaga penampilannya.

Sepanjang waktu, Raya terlihat bersemangat melayani calon pelanggan yang datang ke counter yang dijaganya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Suasana hatinya terlihat sangat baik hari ini.

"Mbak Raya, baik baik saja, nggak demam atau lagi sakit kan?" Tanya Nanda, rekan kerjanya, sesama penjaga counter ini.

"Nggak, emang aku kenapa?" Balas Raya.

"Gak apa apa sih, cuma heran saja. Mbak Raya nggak kayak biasanya. Perasaan dari pagi senyam senyum terus. Apa ada sesuatu yang menarik, menang lotere, mau nraktir makan, atau dapat gebetan?"

"Apa iya sih, kok aku nggak ngerasa yah?'

"Yee ... Hari ini mbak Raya tuh aneh. Biasanya manyun, muka ditekuk kalau ngeliat dompet, ngitung mundur tanggal gajian. Lha ini senyum terus. Kayak lupa kalau sekarang lagi tanggal tua."

"He ... he ... he!" Balas Raya tersenyum, memamerkan giginya.

"Ntar besok besok, aku traktir ciloknya
Bang Arsyad yang deket parkiran bawah."

Bibir Nanda, rekan kerja Raya itu mulai memanjang, sejauh mata memandang. Gadis itu tampak menggelengkan kepalanya, setelah mendengar ucapan Raya barusan.

"Mending aku ngerjain laporan saja. Ntar ketularan aneh lagi, kayak mbak Raya." cicit Nanda lalu pergi meninggalkan Raya yang terlihat masih asyik mematut diri didepan kaca etalase.

Raya melirik jam tangannya, sudah hampir jam dua siang, bibirnya berdecak, lalu duduk disebuah kursi, menunggu pelanggan datang ke counter nya.

Suasana mall ini semakin sore terlihat semakin ramai. Beberapa orang mulai masuk, dan melihat deretan ponsel ponsel yang dipajang. Entah mengapa, gadis itu tampak begitu bersemangat melayani. Hingga tanpa sadar sudah waktunya untuk pulang.

"Akhirnya pulang juga. Tak sabar rasanya pengen naik mobil bagus lagi," gumamnya lalu pamit dengan karyawan lain.

Raya melangkah cepat meninggalkan mall ini, karena mengejar waktu akan janjinya pada Alex, pemuda yang dikenalnya kemarin. Beberapa kali ia melirik jam dipergelangan tangannya. Hanya demi memastikan dirinya tak akan terlambat pulang.

Sepanjang perjalanan, bibir gadis itu terus menggerutu. Alasan klasik, jalanan yang macet akhirnya membuatnya terpaksa menyerah.

"Hadeeh ... aku yakin akan terlambat kalau nih angkot jalannya kayak keong begini."

****

Wajah masam langsung diperlihatkan Alex ketika ia melihat Raya melangkah turun dari angkot, hingga tanpa sadar menendang kaleng minuman ringan yang sudah habis diminumnya tadi. Wajar saja pria itu merasa kesal, karena sudah satu jam lebih pemuda itu menunggunya.

Udara malam ini cukup panas, Karena saat ini sudah masuk musim kemarau, Raya berjalan sambil mengikat rambut panjangnya. Pertanda betapa gerahnya ia berada didalam angkot tadi.

Alex keluar dari dalam mobil lalu berdiri menatap tajam Raya, tak lama pemuda itu melontarkan kalimat yang mewakili kekesalannya. Kala ia melihat Raya yang berjalan mendekatinya.

"Kau membuatku menunggu terlalu lama, nona!"

"Salahmu sendiri mengapa datang terlalu cepat. Kan baru jam setengah tujuh malam," balas Raya.

"Kau kan tahu, aku harus kerja dulu, lagipula, kau bisa meneleponku dulu. Setidaknya, kasih kabar kalau mau sore datang kesini," lanjut Raya enteng.

"Kau bilang menelepon? Nomor ponselmu saja, aku tak punya."

"Ya salahmu sendiri, tuan. Mengapa tidak minta kemarin."

"Ah, sudahlah. Bicara denganmu tak akan ada habisnya. Lebih baik cepat masuk ke mobil. Kita berangkat sekarang."

"Se- sekarang? Apa tak bisa menungguku mandi sebentar?"

"Tidak, itu terlalu lama. Mama bisa menerorku nanti."

"Tapi ..."

"Kita bisa terlambat jika menunggumu mandi dan dandan. Lagipula, ini hanya makan malam saja, bukan mau ke pagelaran acara fashion show. Cepat masuk ke mobil."

"Setidaknya, biarkan aku mengganti bajuku sebentar," ucap Raya ketus

"Baiklah. Cepat!"

Dengan wajah ditekuk, Raya berjalan menuju kamar kostnya, mengganti seragam kerjanya dengan blouse berwarna kuning yang lembut. Beberapa saat kemudian, ia kembali menghampiri Alex.

"Sudah?"

Raya tak menjawabnya, hanya bibirnya yang terus menerus berdecak kesal.

"Ayo cepat masuk!"

Wajah masam ia perlihatkan ketika tangan kekar Alex membuka pintu mobil ini untuknya. Untunglah, perasaan kesalnya mereda begitu udara dingin yang berasal dari AC mobil ini membelai lembut kepalanya yang tadi dibasahi keringat.

"Ah, untung mobilmu sejuk dan wangi. Tak mandi juga ngga apa apa. Jika tidak ..."

"Jika tidak? Kenapa?"

"Males pergi denganmu. Cape, gerah! Memangnya, kau akan mengajakku kemana?"

"Kerumah mamaku di Serpong,"

"Serpong? Dimana pula itu?" Gumam Raya.

Mata Alex mendelik ke arah Raya. Pemuda itu menaikkan salah satu sudut bibirnya, begitu mendengar ucapan Raya.

"Kau belum pernah kesana?"

"Belum. Sejak aku dijakarta. Aku hanya tahu Bekasi, tempat bibiku tinggal. Radio dalam, tempat kostku, dan Senayan saja, mall tempat kerjaku," jawab Raya polos.

"Kau pendatang?"

"Iya, baru dua bulanan aku disini!"

"Pantesan udik."

Mata Raya langsung mendelik tajam pada Alex. Gadis itu terlihat kesal. Namun, bukan Raya jika tak bisa membalas hinaan yang dilontarkan padanya.

"Iya, aku memang gadis udik. Tapi, ada seseorang sampai kesal karena menunggu kedatangan gadis udik ini."

Alex memilih tak merespon balik sindiran Raya, matanya kini fokus kedepan, mengemudikan mobilnya.

Raya membuka tasnya, dan mulai mengambil tas kecil berisi peralatan makeup nya. Tak lama gadis itu mulai memperbaiki riasan wajahnya.

"Tak usah banyak-banyak naruh dempulannya, nona. Ntar kelihatan banget udiknya."

"Sensi amat, tuan. Suka suka aku dong. Memang kau nggak malu nanti jika calon istrimu ini tampil kusut begini?"

"Nggak lah,"

"Bodo!" Ketus Raya sambil terus memperbaiki riasan wajahnya. Tangannya kini mulai mengoleskan lipstik matte berwarna merah muda itu, lalu beberapa saat kemudian ia mengambil parfum dengan keharuman bunga melati itu dan mulai menyemprotkannya ke beberapa bagian tubuhnya.

"Hmm ... Bau apa ini?" Hidung Alex mengendus.

"Parfumku, enak kan baunya."

"Enak apanya, kayak kembang kuburan begini!"

"Kau bilang apa? Ke-kembang kuburan! Sembarangan. Ini tuh wangi paling alami dan natural."

"Tetep aja udah kayak wangi kembang kuburan. Wanginya sama kayak bunga yang biasa ditabur diatas makam itu," ejek Alex sambil menutup hidungnya.

Karena kesal, Raya menyemprotkan parfumnya ke setiap sudut mobil ini. Membuat Alex terpaksa membuka pintu mobilnya. Mengganti udara yang dihirupnya.

"Kau membuat parfumku terbuang percuma," ketus Raya saat melihat Alex yang tak jua menutup jendela mobil.

"Aku sesak nafas tahu!"

"Salah sendiri, mengapa menghina parfumku. Kau membuatku rugi. Apa kau tahu aku harus menghemat uang makanku demi membeli parfum ini?"

"Aku tak meminta kau menyemprot isi parfummu."

"Karena kau membuatku kesal."

"Turunkan aku!"

Ucapan Raya membuat Alex seketika langsung berbalik menatapnya. Pemuda itu terlihat menelan ludah, ada rasa takut jika Raya benar benar meminta turun.

"Berhenti! Ku bilang, turunkan aku."

Dengan terpaksa Alex menaikkan kembali kaca jendela mobilnya dan menghirup kembali parfum aroma melati itu, Merasa menang, Raya mengulas senyum.

Mobil yang dikendarai Alex mulai membelah jalanan ibukota. Langit yang bertaburan bintang seolah-olah ikut menyambut kedatangan mereka diserpong. Tanpa di sadari, bahwa acara makan malam ini akan membuat babak baru dalam kisah hidup mereka.

Bersambung
Makasih atas update lanjutan nya suhu @Ghurafa .. semoga sehat selalu
 
Part 9

Raya menatap takjub deretan bangunan mewah yang dilewatinya. Mobil yang dikemudikan Alex kini mulai bergerak pelan, berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua bergaya Mediterania klasik.

Pagar setinggi dua meter itu langsung terbuka, begitu mobil ini menepi, seorang penjaga rumah terlihat melambaikan tangan, seakan telah mengenal pemilik Ferarri merah ini.

Alex membuka sedikit kaca jendela mobilnya, dan membalas lambaian tangan itu dengan senyum tipis, lalu membawa mobilnya masuk ke area carport rumah ini.

"Aku ingin tahu latar belakangmu. Siapa kau dan apapun tentang keluargamu. Tak lucu bukan, jika aku tak bisa menjawab pertanyaan mama, atau nanti jawaban kita tidak sama?"

"Apa yang ingin kau ketahui? Namaku, pendidikan, atau status?"

"Aku ingin tahu semuanya. Cepat ceritakan tentang dirimu," desak Alex tak sabar.

"Tenang, aku belum nikah kok, masih single," ucap Raya cengengesan.

Mata Alex langsung melotot. Begitu mendengarnya. Ia melirik jam tangannya, lalu kembali memandang Raya tanpa berkedip.

"Namaku Raya, lulusan SMA, punya adik satu laki-laki namanya Rifky, kelas 3 SMP. Emakku namanya Hartati, seorang janda cantik yang jadi rebutan Pak Guru Rano, Mantri Yusuf, dan mandor Hamzah ..."

"Stop, stop!"

"Lho, kan aku belum selesai bicara?"

"Aku hanya bertanya tentang dirimu, bukan emakmu."

"Lho, kenapa. Itu bener kok, Emakku lagi jadi incaran Pak guru, Mantri puskesmas, sama mandor. Memang kenapa? Jangan bilang jika kau juga mau ikutan daftar?"

"Argghh!"

"Bicara denganmu selalu saja membuatku kesal, rasanya mending aku ngobrol sama tembok!"

"Aneh, salahku dimana coba? Katanya mau tahu tentangku dan keluargaku?" Raya mendengkus kesal.

"Dengarkan aku, nanti apapun yang kukatakan kau hanya perlu Jawab iya, atau anggukan kepala saja. Jangan membantah. Aku tak ingin mamaku curiga dengan hubungan palsu kita, mengerti!" ancam Alex.

"Iya, aku mengerti."

"Kau memintaku berbohong, kan? Tapi, kau harus tahu, nggak gampang lho berbohong sama orang tua. Dosa!" Ucap Raya dengan penekanan.

Cih!

Alex mendengkus sambil membuang nafas kasar. Pemuda itu sudah mulai kehilangan kesabaran. Bahkan suara nyanyian merdu Raisa yang terdengar dari radio mobilnya tak mampu mengusir rasa kesalnya.

"Aku akan membayarmu. Bagaimana?"

"Nah, bilang dong dari tadi kalau ada bayarannya. Kalau begini kan enak ngomongnya," balas Raya sumringah.

"Ayo keluar. Ingat, nanti di dalam, jangan membantah ucapanku. Cukup bilang iya, atau kalau tak mengerti, cukup anggukan saja kepalamu."

"Iya, Tuan Andrew Rinindra Alexander Green."

"Gak perlu selengkap itu juga kali manggil namaku. Aku sadar kok kalau namaku keren!" Ketusnya.

"Keren sih keren tapi panjangnya udah kayak gerbong kereta, kalau namamu masuk jadi Jawaban soal ujian kelulusan, pasti banyak yang tidak lulus. Hi ... hi!" Gumam Raya sambil terkekeh.

"Ada yang lucu, nona Raya?"

"Ti-tidak." Jawab Raya mengulum senyum.

"Ayo cepat keluar, aku mau mengunci mobilnya."

"Bawel!"

***

Raya memandang rumah ini dengan decak kagum. Matanya tak henti mengagumi desain eksterior halaman rumah ini. Terutama sebuah kolam ikan kecil berada tak jauh dari sisi kiri rumah ini. Kolam ikan dengan hiasan lampu itu benar benar menarik perhatiannya.

"Coba kalau kolam ikan punya Rifky dikampung, dikasih lampu warna warni seperti ini, pasti lebih cantik dari kolam ikan ini. Meskipun isinya cuma ikan cupang. Tapi jumlahnya lebih banyak dari ikan yang ada dalam kolam ini," ucap Raya.

Alex yang mendengar, lantas refleks mencibir, meskipun begitu wajah pemuda itu mengulas senyum.

Ting ... tong!

Bel rumah ini dibunyikan Alex, beberapa detik kemudian tampak seorang asisten rumah tangga yang sudah cukup umur membuka pintunya. Mempersilahkan mereka berdua masuk.

"Mas Alex, sudah ditunggu nyonya dari tadi. Ayo kita langsung ke ruang makan saja. Bapak dan Mas Arya sudah ada disana."

"Iya, makasih mbok."

Mata Alex memberi kode pada Raya, agar mendekat, tak lama Alex menarik tangan gadis itu, lalu menggandengnya.

"A-apa yang kulakukan?"

"Menggandengmu lah, bukankah dengan begini kita seperti pasangan kekasih yang hot!" Mata Alex mengedip sebelah.

"Begitu ya, bilang dong. Aku kan jadi berprasangka buruk tadi. Lagian kalau beneran juga aku mau kok!" Balas Raya lembut dan manis. Semanis rayuan gombal Song Jong Ki pada Author.

Sambil terus mengulum senyum, mata Raya tak hentinya mengagumi keindahan isi rumah ini. Kursi tamu seharga puluhan juta, rak rak kaca yang menyimpan koleksi koleksi kristal, dan beberapa foto keluarga yang terpajang didinding.

"Aneh!" Ucap Raya pelan, kerena dari sekian banyak foto yang terpajang. Hanya satu saja wajah Alex terlihat disana. Hanya didalam foto keluarga saja.

Mereka berjalan menuju tempat dimana penghuni rumah ini sudah menunggu untuk acara makan malam bersama. Hati gadis itu gembira, karena malam ini ia tak perlu memikirkan menu makan malam, dan yang paling penting ia tak perlu mengeluarkan uang.

"Sekali kali anak kost memang perlu perbaikan gizi, makan enak," bisik Raya pelan.

Meja makan mewah dengan tiga orang yang duduk diatasnya menyambut ramah kedatangan mereka. Nyonya rumah ini terlihat sangat senang menyambut kedatangan putranya, begitupun suaminya. Hanya pria yang berkemeja coklat itu yang masih diam, hanya mengulas senyum tipis saja.

"Ayo duduk!" Ajaknya.

"Apa dia yang bernama Arya, yang tadi disebutkan si mbok tadi? berarti saudaranya si tuan menyebalkan ini, tapi, kok beda, nggak mirip?" Raya berbisik.

"Yang satu kayak bule kesasar, yang satunya wajahnya oriental banget. Apa benar mereka berdua saudara?" Bisik Raya pelan, hampir tak terdengar.

Acara perkenalan pun dimulai, fokus Raya hanya pada pemuda berkemeja coklat itu, dari penjelasan Bu Sekar, mama Alex, gadis itu mengetahui jika pemuda bernama Arya itu, lebih tua dua tahun dibanding Alex.

Senyum penuh kepalsuan ditebar Alex sepanjang acara makan malam ini, begitu juga dengan Raya yang mengikuti sandiwara demi sandiwara yang dimainkan pemuda itu. Sungguh, mereka berdua memainkan peran dengan sangat baik.

"Jadi, ibumu tinggal berdua saja dengan adik laki-lakimu. Benarkah begitu?" Tanya Bu Sekar. Ibunya Alex.

"Iya, Tante. Emak bilang ia tetap mencintai bapakku, meski Pak guru Rano, mantri Yusuf dan mandor Hamzah ...."

"Ibunya Raya ditinggal pergi ayahnya sejak beberapa tahun lalu, dan belum berniat ingin menikah lagi. Benar begitu kan, sayang," potong Alex cepat sambil membulatkan kedua matanya pada Raya.

"Ah, iya, maksudnya begitu, Tante." Balas Raya nyengir.

"Sepertinya Ibumu orang yang baik ya, soalnya putrinya saja menyenangkan seperti ini. Pantas saja Alex terus menolak untuk bertemu dengan beberapa gadis yang ingin kukenalkan padanya. Ternyata pesonamu mampu memikatnya."

Nyonya rumah ini terkekeh, tak lama ia memandang putranya sambil tersenyum.

"Kau memilih gadis yang tepat, mama suka pilihanmu. Kalian berdua juga terlihat cocok. Benar begitu kan, mas?" Ucapnya pada suaminya, Pak Bambang.

"Iya, kau benar. Aku sependapat denganmu." Balas Pak Bambang tersenyum kecil.

Raya tersenyum simpul mendengarnya. Mata gadis itu melirik Alex yang tersenyum kecut. Tak lama lengan Raya menyenggol pemuda itu.

"Kita memang serasi ya," ucapnya dengan senyuman yang lebar. Membuat Alex berdecih pelan, lalu membuang muka.

Pemuda bernama Arya itu duduk disamping Bu Sekar. Ia terlihat dingin. Hanya sesekali saja ia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. Berbeda sekali dengan Alex yang cukup banyak bicara, sosok Arya, cenderung diam.

"Secepatnya, aku ingin bertemu dengan ibumu, Raya," ungkap Bu Sekar.

"Be- bertemu ... tapi untuk apa, ma?" Tanya Alex gugup.

"Kok nanyanya begitu, nak. Ya untuk membicarakan tentang pernikahan kalian. Bukankah kau bilang kemarin ingin menikahinya bulan depan? Mama pikir juga sebaiknya begitu, semakin cepat akan semakin baik. Lagipula tak elok jika terlalu lama menunda, benar begitu kan, Raya?"

Ucapan yang sangat jujur dan terbuka itu sontak membuat Alex salah tingkah. Ia tak mungkin menyanggah perkataan ibunya, karena sama saja seperti menjilat ludahnya sendiri. Tapi, jika secepat itu menikahi gadis yang baru belum genap dua hari dikenalnya ini, membuatnya harus berpikir keras mencari alasan untuk berkelit, menundanya.

"Anu ma ... Kami sudah sepakat untuk me- ..."

"Minggu depan kita akan menemui keluargamu, Raya. Kau tak keberatan kan, sayang," Bu Sekar menyela cepat.

Raya melirik Alex, sambil menaikkan salah satu sudut kelopak matanya, gadis itu tak tahu harus menjawab apa.

"Nak Raya?"

"Ah, iya Tante. Bi-bisa kok!" Jawab Raya diikuti dengan lirikan mata Alex yang melotot padanya.

"Ok. Minggu depan kita akan kerumahmu dan mempersiapkan lamaran."

Ucapan Bu Sekar refleks membuat Alex menyemburkan air yang baru saja diminumnya. Namun, tanpa disadari mereka berdua jika mata Arya sejak awal terus mengawasi tingkah mereka berdua.

Bersambung
 
Bimabet
Part 10

"Ke-kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan wajahku, Jangan bilang jika kau sedang terpesona dengan ketampananku?" Alex mencicit ketika melihat Raya menyipitkan matanya, saat memandang dirinya.

"Ge-er!"

"Lalu?"

"Aku hanya memastikan apa kau benar benar anaknya Pak Bambang? Secara pria itu orang Jawa tulen, aksen jawanya saja masih kedengaran. Lah kau, tampangmu udah kayak bule nyungsep di empang gini ..."

"Kan aku sudah bilang, papaku seorang WNA, masih nanya lagi?" Alex memotong cepat.

"Tentu saja, kau seperti kapur yang nyelip di tumpukan arang. Aneh sendiri."

Alex tak menggubris ucapan Raya, pemuda itu terus fokus mengendarai mobilnya.

Acara makan malam telah selesai. Meninggalkan sebuah keputusan bahwa dua minggu ke depan, keluarga Pak Bambang dan Bu Sekar, akan mengadakan pertemuan keluarga dengan keluarga Raya dikampung untuk membahas pernikahan mereka.

"Apa benar kalian bersaudara?"

Alex langsung mendelik, begitu mendengarnya.

"Maksudku kau dan Mas Arya, apa bener kalian kakak adik?"

"Tidak."

"Mamaku menikahi Pak Bambang sekitar dua tahun yang lalu," Jawabnya.

"Oh, lalu bapakmu?"

"Papa meninggal dunia sewaktu usiaku delapan belas tahun, apa kau sudah mengerti sekarang?"

"Oh, saudara ketemu besar."

"Iya, Mas Arya itu anaknya Pak Bambang dengan istrinya terdahulu. Katanya sih ibunya masih berdarah China," jelas Alex.

Raya menggangguk pelan, wajahnya terlihat puas dengan penjelasan Alex. Hanya saja masih ada pertanyaan yang masih menggantung dibenaknya.

Mobil yang dikendarai Alex mulai menepi dan akhirnya berhenti disebuah rumah besar, rumah yang sangat mirip dengan rumah rumah yang sering dilihat Raya di sinetron ikatan karet gelang yang suka ditonton emak itu. Rumah mewah berlantai dua yang megah.

"Rumah siapa ini?"

"Rumahku," jawab Alex cepat.

"Rumahmu? berarti kau tidak tinggal bersama mama mu?" Raya mengerutkan keningnya.

"Ya."

"Aku tinggal sendiri disini. Dirumah warisan Alm. Papaku. Sejak menikah dengan Pak Bambang, dua atau tiga kali dalam sebulan, mama akan kesini untuk merapikan rumah ini!"

"Merapikan?" Raya kembali mengerutkan keningnya, tak mengerti.

"Iya, kan sudah ku bilang aku tinggal sendiri disini, Nona Raya. Ayo masuk dulu, maka kau akan mengerti."

"Masuk, bukannya kau akan mengantarku pulang?"

"Iya, nanti akan kuantar kau pulang, setelah aku buang air besar sebentar. Perutku sakit karena sedari tadi terus mendengar ocehanmu itu."

Raya terpaksa keluar dari mobil, mengikuti langkah Alex dari belakang. Mata gadis itu terus memindai tiap inchi bangunan rumah ini.

"Ayo masuklah," ajak Alex sambil membuka pintu utama rumahnya.

"Terima kasih."

Mereka berjalan beriringan melintas ruangan tamu, lalu menaiki tangga yang menuju ke lantai atas, sambil memegang selusur tangga ini, mata Raya tak sengaja melihat foto keluarga yang tergantung di dinding ini.

Foto seorang anak laki laki berkemeja putih yang diapit kedua orang tuanya. Sebuah foto yang memperlihatkan kehangatan keluarga ini membuat Raya menghentikan langkahnya sejenak.

"Apa ini bapakmu?"

"Iya, itu foto kedua orang tuaku. Sudah jelas kan sekarang jika aku bukan kapur yang berada di tumpukan arang," sindirnya.

"Masih ingat saja." Raya terkekeh.

Alex membuang muka sambil mendengkus kesal, tak lama ia masuk kedalam sebuah kamar.

"Dengar, aku butuh waktu untuk membuang hajat. Kau bisa berkeliling rumah ini. Tapi ingat, Jangan sekali kali mencoba masuk ke kamarku."

"Iya. Tapi jangan lama lama, aku mau pulang, aku mau istirahat," balas Raya.

"Kau benar benar gadis menyebalkan, nona," rutuk Alex.

Blam!

Pintu kamar ini pun akhirnya tertutup rapat. Raya mencibir melihat tingkah Alex, tak lama gadis itu mulai melangkah, melihat isi rumah ini, ruangan demi ruangan.

"Hmm ... Ini dapur," gumamnya sambil membuka kulkas.

"Kulkas sebagus ini isinya cuma soft drink, minuman cola semua, tak ada kue atau buah. Benar benar rumah seorang bujangan."

"Tak ada ART, atau penjaga rumah. Sepertinya, tuan menyebalkan itu benar benar tinggal sendirian dirumah sebesar ini," ucap Raya sambil melihat susunan piring di rak yang seperti tak terjamah itu.

Gadis itu meneruskan langkahnya keruang keluarga. Ia menggeleng ketika melihat sebuah bantal tergeletak di atas karpet dan juga tumpukan Compact disc (CD) yang sedikit berantakan.

Sepi dan hening.

Itu yang dirasakan Raya ketika mengelilingi rumah ini, rumah dengan empat kamar lengkap dengan dua buah kamar pembantu dibelakang, membuatnya sedikit bergidik ngeri.

"Hebat juga ia berani tinggal sini bertahun tahun sendirian. Kalau aku sih nggak mau. Mending dikampung, meski rumahnya nggak sebesar dan megah seperti ini, tapi nggak bikin merinding. Hii ..." Ucap Raya bergidik.

"Sudah puas berkeliling rumahku? Ayo kuantar kau pulang!" Ujar Alex tiba tiba, membuat Raya refleks menoleh padanya.

"Kau mengagetkanku. Ayo cepat, antar aku pulang karena besok aku harus kerja," sungut Raya.

****

"Panas ...!" Keluh Raya sambil mengibaskan tangannya.

Sejak naik dan duduk dalam angkot ini, tangan gadis itu terus mengipasi wajahnya. Parfum beraroma melati yang dipakainya hampir tak tercium karena sesaknya penumpang.

Setiap pagi ia selalu naik angkot, kadang ia naik bis kota menuju mall tempatnya mencari nafkah. Namun, pagi ini entah mengapa baginya udara terasa panas.

"Mungkin karena aku pernah naik mobil bagus, makanya jadi gerah naik angkot," ucap gadis itu seakan lupa jika tiap pagi ia selalu naik angkutan umum saat berangkat kerja.

Beberapa menit didalam angkot ini, akhirnya ia tiba juga di mall tujuan. Gadis itu bergegas langsung melangkah menuju pintu karyawan.

"Selamat pagi, mbak Raya!" Sapa Nanda, rekan kerjanya, begitu ia tiba dicounter.

"Pagi."

Rutinitas kerja pun dimulai. Seperti biasa, sambil menunggu pelanggan yang datang, gadis itu mematut wajah manisnya dicermin etalase.

"Udah cantik kok, Mbak," Puji Nanda.

Raya terkekeh mendengarnya. Suasana Mall ini masih tak terlalu ramai jika pagi, membuatnya masih bisa meluangkan waktu untuk sebentar mematut diri dietalase atau sekedar bermain ponsel.

Menit demi menit berganti, hingga akhirnya sudah hampir menjelang sore, Raya melirik penunjuk waktu yang ada dipergelangan tangannya, yang sudah hampir menunjukkan angka empat.

"Mbak, tolong display yang itu ditarik ya. Stok nya kosong," pinta Nanda sambil menunjuk sebuah ponsel contoh yang tak jauh dari jangkauan Raya.

"Oh, ya sebentar."

Tangan Raya membuka etalase dan mengambil ponsel contoh dari sana, seketika ia menghentikan aktivitasnya ketika melihat seorang pria yang dikenalnya. Menghampirinya.

"Senang bertemu denganmu lagi, Nona Raya."

"Kau, Mas Arya?"

"Iya, terima kasih karena masih ingat padaku. Kau kerja disini?"

"Iya mas. Kau sendiri kesini ada apa? Mau beli hp baru?"

"Tidak. Aku ada janji bertemu orang di cafe atas, mampir sebentar kemari karena tak sengaja melihatmu. Kupikir aku salah mengenali orang, ternyata itu benar dirimu," jelasnya.

Raya hanya tersenyum mendengarnya, ia tak menyangka jika dibalik sikap dinginnya di acara makan malam beberapa hari lalu, ternyata pria ini sangat ramah.

"Kau sangat manis jika tersenyum seperti itu, Nona."

"Raya, panggil saja Raya. Aku tak enak dipanggil seperti itu," ungkap gadis itu, malu.

"Aku hanya meniru Alex saat memanggilmu," tuturnya.

"Kau sangat ramah, sangat berbeda dengan saudaramu itu," ungkap Raya Jujur.

"Kami hanya saudara tiri. Kebetulan ayahku menikah dengan ibunya Alex," jawab Arya sambil melihat jam tangannya.

"Oh maaf, aku pergi dulu. Senang bertemu denganmu, Raya," pamitnya.

"Silakan, terima kasih sudah mampir kesini, mas."

Sejenak Raya menatap kepergian Arya dengan tatapan tanya.

"Mas Arya sangat sopan dan ramah, sangat berbeda dengan Tuan Crab yang sangat menyebalkan itu, entah kenapa aku merasa jika hubungan mereka berdua sepertinya tidak baik," ucapnya setengah berbisik.

Tepat pukul lima, Raya bersiap siap untuk pulang, setelah berpamitan, dengan langkah cepat, gadis itu menuju parkiran timur mall ini. Karena pintu masuk dan keluar karyawan berada di bagian timur mall ini.

Sebuah Ferarri merah sudah menunggunya disana ketika ia keluar dari basement. Membuat Raya sedikit terpana dan terkejut karena tak merasa punya janji bertemu dengan pemuda itu.

Sosok pria dengan setelan kantor melihatnya dengan wajah masam keluar dari mobil itu, sejenak Raya terpukau dengan penampilannya yang terlihat berbeda hari ini.

"Pake jas hitam kayak gitu, keren banget. Berasa mau dilamar," bisik Raya terkekeh.

"Hei nona, ngapain diem disitu. Ayo cepat masuk ke mobil," Alex berteriak.

"Keren sih keren tetap saja lebih menyebalkan dari Tuan Crab. Bikin rugi mataku saja karena sempat sempatnya terpesona tadi," gerutu Raya sambil memaksakan diri tersenyum.

"Bukan seperti itu caranya memperlakukan seorang gadis."

Ucapan seseorang refleks membuat Raya langsung menoleh, tampak disana dia sedang mengulas senyum sembari mengulurkan tangannya.

"Kau!"

"Akan kutunjukkan padanya, bagaimana cara memperlakukan seorang gadis." Lanjutnya.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd