Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT M.E & You

Beehhhh, cerita ini bakalan rame kayaknya gan...
Keep update yaa...
 
Bang Pai...

Pagi2 dpt BBM dri dia ntuh...
Nuduh gue, katanya crita ini tulisan gue...


Om TS

Tolong klarifikasi yah
Hahahahahahahha...


Hahaha siap om tj44,

Cerita mah asli bikinan sendiri om, tp dewan penasehatnya yang udah kesohor (om pai) ;)
 
alurnya mengingatkan pada kisahnya para pendahulu yang sudah pakai Tanda "TAMAT" hihi
Moga juga bisa Wisuda alias Menyandang predikat TAMAT.
 
Bang Pai...

Pagi2 dpt BBM dri dia ntuh...
Nuduh gue, katanya crita ini tulisan gue...


Om TS

Tolong klarifikasi yah
Hahahahahahahha...
Yaelah al, lha wong yang benerin tulisannya orang yang sama kok. Pantes aja kalo penulisannya mirip :pandaketawa:

Cerita ini darimu? Hehehe, judulnya aja yang mirip. Dalemannya beda. Absolut beda :pandapeace:


Btw lu gak ngumpul lagi al? Ane kangen bully lu lagi :pandajahat:
 
Yaelah al, lha wong yang benerin tulisannya orang yang sama kok. Pantes aja kalo penulisannya mirip :pandaketawa:

Cerita ini darimu? Hehehe, judulnya aja yang mirip. Dalemannya beda. Absolut beda :pandapeace:


Btw lu gak ngumpul lagi al? Ane kangen bully lu lagi :pandajahat:

Hahaha om pai kejam euy maen bully
 
Chapter 3 First Meet


Semenjak kematian Ongko Widjojo 6 bulan yang lalu, perang perebutan kekuasaan narkoba semakin membesar. Banyak kelompok kecil saling memperebutkan wilayah yang selama ini dikuasai oleh Ongko.

Kubu Ongko semakin melemah dengan kepergian pemimpin utama mereka, anak ongko tidak dapat mempertahankan kekuasaan dan memilih melarikan diri dengan kekayaan yang ada untuk dihambur-hamburkan.

Berita habisnya “The Black Devils”, menyebar cepat dikalangan tentara bayaran (mercenaries). Sebagian besar berusaha mundur secara teratur dan tidak mau ikut campur pertempuran melawan M.E. karena mereka tau kalau berurusan dengan M.E ujungnya adalah kematian.

Kekuatan persaudaraan dan persaingan yang terjadi diantara tentara bayaran, memudar setelah beberapa team dari asia, berusaha membalas dendam, namun setelah itu tidak terdengar kembali beritanya.

Perebutan kekuasaan di sisi narkoba yang mendapat beking dari pejabat membuat suasana semakin panas, dan membuat PT Samson Security yang menjadi salah satu rekanan pemerintah untuk mengurus data dan informasi menjadi target oleh para mafia dan pejabat korup.



POV SONG JI

Udara pegunungan yang segar tanpa polusi membuatku menarik nafas panjang sambil meregangkan kedua tangan kesamping menikmati kesegarannya. Pagi ini aku duduk disamping rumah yang kutinggali selama beberapa hari terakhir.

Luka yang aku alami setelah melewati hutan dan sungai sudah mulai membaik. Beberapa luka sudah mulai mengering.
Aku ambil bola kecil ini dan kembali melemparkannya menjauh. Bruno segera berlari mengejar bola itu, dan kembali lagi setelah mendapatkannya. Sudah beberapa kali bola itu kulempar, dan beberapa kali juga bruno mengembalikannya kepadaku.

Suasana tenang dan bruno yang selalu menemaniku setiap hari, membuat suasana hatiku membaik dan melupakan kejadian beberapa hari yang lalu.

Setelah puas bermain, “Bruno” menggongong mengajakku jalan keliling rumah ini.

“Bruno” berlari kecil didepanku diiringi gonggongan gembira karena bisa keluar dari rumah. Kita berjalan menyusuri sungai kecil yang ada tidak jauh dari rumah yang aku tempati.

Di sungai, aku bertemu dengan lelaki yang menolongku sekaligus pemilik “Bruno”.

“Gimana, udah enakkan badannya?”, tanya lelaki itu.

“Iya, udah lumayan. Makasih ya.”, jawabku.

“Gak pa pa, yang penting kamu udah sehat lagi.”, katanya.

“Ya. Kamu ngapain?”, tanyaku padanya.

“Abis nyari ikan, lumayan dapet dua. Cukup buat dibakar entar.”, lanjut lelaki itu.

“Yuk balik. Bruno!!”, ajak lelaki tersebut sekaligus memanggil anjing kesayangannya.

Maka, kembalilah kami ke rumah. Sambil berjalan kami bertukar cerita mengenai diri kami.

Dia mengaku punya sebuah Pet Shop dan tempat pelatihan anjing yang berjarak empat kilometer dari rumahnya. Tempat pelatihan itu cukup ramai pada saat menjelang liburan. Karena banyak orang kota menitipkan anjing kesayangan mereka sambil melatih kedisiplinan.

Beberapa jam kemudian, kami telah selesai membereskan kekacauan setelah makan siang. Awan hitam mulai menggantung dengan deru angin yang semakin kencang menandakan perubahan cuaca.

Hujan deras turun dengan lebatnya. Membuat kami basah karena air hujan. Lelaki tersebut langsung menggandengku masuk kedalam rumah dengan terburu, karena takut luka ditubuhku yang sudah mengering kembali basah dan menjadi masalah dikemudian hari.

Lelaki tersebut duduk di kursi kecil disamping sofa tempatku duduk. Dengan telaten dia membersihkan dan mengoleskan salep dari tumbuhan yang diracik terlebih dahulu untuk luka ditangan dan kakiku. Sementara itu “Bruno” sudah masuk dikamar yang jadi tempatnya selama ini.

“Kayaknya udah mulai kering.”, kata lelaki itu.

“Ya, thanks ya udah nolongin...”, jawabku.

“Hehehe, gak pa pa kok. Kasihan ada cewek cantik luka-luka.”, balasnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu diketok dari luar, “Tok..tok..tok...”.

Lelaki tersebut mengeryitkan dahinya, berdiri dan berjalan menuju pintu. Pada saat lelaki itu membuka handle pintu, terdengar bunyi tembakan yang sangat keras. “Door...”.

Lelaki tersebut mundur sambil memegang bahunya. Pintu yang sedikit terbuka ditendang dari luar dan menghantam dia hingga terlempar kebelakang.

Bersamaan dengan kejadian itu, jendela kaca pecah dan masuk beberapa lelaki memakai pakaian tentara dengan wajah dihitamkan.

Aku menjerit kaget, “Aaaahhhh.....!!!”.

Mencoba berdiri dan berlari. Namun gerakan lelaki tersebut sangat cepat. Dia menarik rambutku dan membantingku ke sofa tempatku tadi duduk.

“Diam..”, teriaknya.

“Angkat dia, introgasi...!”, perintah lelaki berseragam kepada rekannya.

Dua orang berseragam tentara langsung maju dan melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh lelaki itu.

Gongongan “Bruno” terdengar diatas. Menyadari masalah yang dihadapi tuannya.

Kedua lelaki berseragam tentara tersebut mendudukkan lelaki penolongku di kursi kayu dan mengikat kedua tangannya kebelakang dengan tali.

“Siapa kamu...”, tanyanya.

“Bug...bug..”, bunyi pukulan yang mendarat diperut lelaki penolongku.

Aku menangis ketakutan, “Hikss..hiks...hen..hentikan...”.

“Plaak...”, bunyi tamparan lelaki berseragam tentara di wajahku. Membuatku terdorong hampir jatuh dari sofa. Pengelihatanku berkunang-kunang, rasa anyir dari terasa dimulutku.

“Jawabb...”, teriak salah satu dari mereka, sambil menendang perut lelaki penolongku.

Salah satu dari lelaki berseragam itu, menarik rambutku dan menyuruhku berdiri. Aku hanya bisa menangis ketakutan dan kesakitan.

Aku dipaksa berdiri didepan pemimpin mereka. Sementara salah satu dari mereka mencengkram kuat kedua tanganku dibelakang.

“Licin juga kamu...”, kata pemimpin mereka sambil memegang daguku.

“Hiks..lepasin...lepasin...hikss....”, tangisku.

“Bugg....”, bunyi pukulan sang pemimpin ke perutku.

“Aagghh....”, jeritku. Seketika itu juga aku terduduk menahan rasa sakit.

“Guukk..gukk...grrr....grrr....”, suara “Bruno” berusaha membuka pintu kamar tempatnya tidur.

Beberapa lelaki berseragam masuk kedalam rumah dan melaporkan bahwa situasi diluar aman terkendali. Karena rumah ini jauh dari tempat keramaian.

“Ikat perempuan ini dikursi. Kita istirahat sebentar.”, kata sang pemimpin.

Mereka mengikatku dikursi kayu berseberangan dengan lelaki penolongku.

Beberapa dari lelaki berseragam tentara itu mulai menggeledah rumah ini. Entah apa yang dicari. Sampai mereka dilantai dua tempat “Bruno”.

“Boss... Anjing dikamar itu berisik banget....”, kata salah satu lelaki berseragam yang sedang melangkah naik kelantai dua.

“Bunuh aja....!”, balas sang pemimpin.

Aku terkejut. Ketika aku mengangkat wajahku dan berteriak, “Janggann...tolong jangan...”.

“Plak..”, bunyi tamparan yang kembali menghampiri wajahku.

“Diam...”, bentak salah satu lelaki berseragam tentara padaku.

Darah mengucur dari bibir dan hidungku, akibat tamparan yang mereka lakukan. Sementara tangisanku semakin menjadi-jadi.

Bunyi tembakan beruntun sangat keras kearah kamar tempat “Bruno” berada. Membungkam gonggongan dan cakarannya pada pintu. Aku terkejut dan ketika aku akan mengarahkan pandanganku ke lantai dua.
Aku melihat lelaki penolongku, tiba-tiba duduk tegak, mengangkat wajahnya dan tersenyum mengerikan. Diiringi tatap mata yang sangat tajam.

Seperti gerakan lambat pada film-film yang biasa aku tonton dibioskop. Dia bergerak melepaskan ikatan di kedua tangannya. Mengambil sesuatu dari bawah meja dan bergerak sangat cepat ke arah sang pemimpin lelaki berseragam tentara ini. Mengayunkan tangannya kearah leher sang pemimpin.

“Aaahhkkkk.....”, teriak sang pemimpin sembari memegang leher yang mengucurkan darah segar.

Keempat lelaki berseragam tentara yang mengelilingku terkejut dan mengarahkan senjata mereka. Melancarkan tembakan membabi buta. Sementara lelaki penolongku segera berguling kebawah sambil melemparkan sesuatu ke arah lelaki berseragam yang melancarkan tembakan.

Tiga orang berseragam tentara langsung tewas dengan pisau dikepala. Membuat kegaduhan, dan dua orang yang menembaki “Bruno” dilantai dua berlari turun.

Lelaki penolongku berdiri beberapa meter dihadapanku, dengan tubuh berlumuran darah. Masih dengan senyuman yang belum pernah aku liat selama ini. Aku tercekat diam. Merasakan ketakutan yang belum pernah aku alami. Bulu kudukku meremang kuat. Tangiskupun terhenti.

“Siapa kau....?”, tanya salah seorang lelaki berseragam tentara kepadanya. Nada suara yang bergetar menandakan ketakutan yang amat sangat.

Dia tidak menjawab, dan masih tersenyum.

“Mati....”, katanya lirih.

Dia bergerak zig zag dengan sangat cepat. Menundukkan tubuhnya dan mengayukan tangannya ke lelaki berseragam. Dua lelaki berseragam tentara yang berdiri didepan tidak bergerak, dan jatuh. Dari leher mereka mengucurkan darah dengan tubuh kejang-kejang.

“Tes...”, aku merasakan tetesan air hangat di pundakku.

Ketika aku berpaling melihat. Ternyata darah segar membasahi pundakku, dan lelaki berseragam yang berdiri di belakangku memegangi lehernya. Dengan tubuh bergetar hebat, darah mengucur deras tanpa mampu ditahannya.
“Aaaaaahhhhhh..........”, aku menjerit keras.

Aku terbangun dari tidur siangku. Dengan tubuh basah oleh keringat dan gemetar mengingat kembali mimpi yang baru saja aku alami.

“Shitt.... Mimpi lagi gua.”, batinku.


Beberapa saat kemudian.....

Air hangat shower membasahi tubuhku. Aku mengangkat wajahku, merasakan kehangatan ini. Mencoba menenangkan diri dari semua beban hidupku. Mencoba mencari jawaban dari semua mimpi yang kualami selama beberapa minggu terakhir.

Ada ketakutan, ada kesedihan yang memblok ingatanku. Akan kejadian setengah tahun yang lalu. Yang bisa kuingat hanyalah bunyi senapan bersahutan, dan teriakan kesakitan para penjaga villa. Tidak lebih dari itu. Hanya itu.
Karena ketika aku tersadar sudah berada dirumah sakit. Selang hampir seminggu semenjak serangan itu.

Ketika aku mencoba mengingat kembali yang ada hanya sakit kepala. Sepertinya otakku melarang untuk mengingat kembali kejadian seminggu sebelum aku sadar dirumah sakit. Melarangku untuk kembali merasakan sakit dan ketakutan yang amat sangat.

Tapi sebagai gantinya, mimpi yang sama aku alami. Mimpi yang semakin intens menyerang tidurku beberapa minggu ini. Sangat menakutkan memang, tapi apakah mimpi itu adalah jawaban dari ingatanku.

Lelah dengan semua ini membuatku semakin sering mengalihkan perhatianku pada rokok. Yah, rokok ini pelampiasanku. Meskipun tidak menghilangkan semua bebanku.

Bayangan wajah Michel yang muncul tiba-tiba. Membuatku tersenyum sendiri. Entah kenapa, aku merasakan perasaan nyaman dan aman kalau dekat denganya.

Aneh memang, tapi apakah aku suka dengannya. Pertanyaan yang sering muncul dikepalaku. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku enggan mengakuinya.

Tanpa kusadari, jariku menekan tombol call pada HP ku. Memanggil Michel.....

“Halo mbak. Ada apa?”, jawab suara Michel melalui HP nya.

“Gak pa pa, cuman pingin nelpon kamu aja.”, sahutku sambil tersenyum senang

“Kirain ada apa....”.

“Kamu dimana kok rame banget?”.

“Hehehe, lagi jalan – jalan mbak di mall paling gede”.

“Ohhh. Hmm.. Entar temanin aku yah..”.

“Ok mbak. Aku jemput ato gimana?”.

“Tungguin aku aja yah, aku kesana sekarang...”.

“Tutt...tutt..”, aku putuskan sambungan telp HP ku.

Segera aku mengganti pakaianku. Dengan baju model kemben yang menyambung dengan celana dari bahan kulit dan blazer tanpa lengan warna hitam.

7a755f514980527.jpg

Song Ji


Dua jam kemudian. Setelah meminta Adam mengantarkan aku ke mall terbesar dikota ini. Aku berjalan melewati berbagai macam outlet pakaian ternama.

Banyak mata memandangku kagum. Bukan GEER, tapi memang penampilanku sore ini sedikit menantang. Entah kenapa aku memilih pakaian ini.

Tetap berjalan dengan santai menyusuri lantai demi lantai mall besar ini. Hingga mataku tertuju pada seorang lelaki yang memeluk mesra dua gadis ABG.

“Siapa gadis itu...?”, batinku dengan sedikit emosi.

Mereka bertiga berjalan menuju salah satu cafe kopi terkenal. Entah mengapa, aku merasa kecewa. Melihat Michel memeluk kedua gadis muda itu.

Drtt...drrrtt... HP ku bergetar. Lalu aku tekan tombol accept.

“Mbak udah sampai belum?”, terdengar suara Michel.

“Iya, bentar lagi yah.. hihihi...”, jawabku mencoba tersenyum.

“Oohh, kirain udah dateng mbak.”.

“Kenapa? Udah kangen yah, hihihi...”.

“Hehehe.... kayaknya sich kangen.”.

“Bener nich kangen? Kangen apanya?”.

“Eh.. kangen aja ama mbak. Hehehe....”.

“Yakin kangen? Kan udah ada yang nemenin tuh, cakep2 lagi...”, pancingku.

“Ohh udah sampe berarti. Hehehe...”.

Sambungan telp segera aku akhiri. Aku berjalan masuk kedalam cafe tempat Michel berada. Bersamaan dengan Michel menoleh kebelakang, bertatapan denganku.

Aku tersenyum sambil memandang Michel. Dari sudut mata, aku melihat dua gadis muda kembar identik.
Mereka berdua tampak terkejut, lalu tersenyum manis menyambutku.

“Hi Michel, pa kabar...?”, tanyaku.

“Hi mbak. Baik-baik aja.”, jawab Michel.

“Duduk mbak, sekalian pesen ya.”, kata Michel berdiri dan menuju ke counter untuk memesan minum.

“Hi....”, sapaku pada kedua gadis kembar dihadapanku.

“Hi kak.”, jawab mereka berbarengan.

“Kakak cantik dech. Kakak temen ato pacarnya kak Evan?”, tanya mereka berdua

Sedikit terkejut dengan pertanyaan mereka. Aku tersenyum dan menjawab,”Bisa dibilang temen, bisa dibilang juga pacar....?!”.

“Wahhh.... kak evan punya pacar ga ngomong...”, kata mereka tampak senang.

“Lalu kalian adeknya Michel?”, tanyaku

“Iya kak. Hihihi... Kakak namanya siapa?”, tanya mereka.

“Song Ji, kalian siapa namanya?”, jawabku.

“Aku Hikari”, jawab gadis berkemeja jeans dengan kantong putih.

“Aku Hikaru”, jawab gadis dengan kantong hitam.

“Wah kalian cantik-cantik dech. Kok Michel ga pernah cerita ya punya adek kembar?”, kataku.


420b8b514980273.jpg

Hikari & Hikaru



“Hihihi... kak evan mana pernah cerita-cerita kalo ga ditanyain. Kebiasan tuh dia.”, jawab Hikari

Michel sudah kembali ke kursinya sambil membawa Coffee Machiato kesukaanku.

“Ini mbak...”.

“Makasih sayang....”, jawabku, lalu memberikan kecupan dipipi.

Michel terkejut mendengar kata “sayang” dan lebih terkejut lagi ketika aku mencium pipinya. Wajah Michel langsung memerah.

“Wah kakak....... So sweet....”, kata Hikari dan Hikaru.

“Aduh....”, jawab Michel kikuk.

Aku mengambil tissu dan membersihkan bekas lipstik dipipi Michel. Membuat Michel semakin salah tingkah. Sementara kedua adik Michel semakin bersemangat menggodanya.

“Eh mbak, udah kenalan belum sama adekku ...”, kata Michel mengalihkan perhatian.

“Hihihihi. Udah kok. Kamu kok pernah cerita punya adek cantik-cantik gini?”, balasku.

“Eh, be..belum sempet mbak ceritanya.”, jawabnya gugup.

“Kak. Kok ga pernah cerita sich kalo udah punya pacar...?”, tanya Hikari.

“Hah..pa..pacar?”, jawab Michel.

“Hihihi sayang kok kamu ga pernah cerita sich kalo kita udah jadian...”, kataku semanja mungkin. Membuat Michel semakin salah tingkah.

“Aduh....”, katanya.

“Iya nich kak Evan jahat, ga pernah cerita kalo udah punya pacar. Ru telp mama dech kasih tau kalo kak Evan udah punya pacar.”, kata Hikaru.

“Udah aku WA kok, hihihihi..”, jawab Hikari.

“Lho.. ini gimana sich...?”, kata Michel kebingungan.


Beberapa jam kemudian. Setelah bercanda dengan Michel dan kedua adiknya. Kami memutuskan untuk menikmati malam akhir pekan ini dengan melanjutkan ke Club Malam di daerah selatan kota ini. Club malam milik orang tuaku.
Kami naik mobil Outlander milik Michel. Kedua adik Michel tampak senang dengan acara ke club. Selama perjalanan mereka terus bercerita mengenai semua kegiatan mereka di sekolah.

Sedangkan Michel, masih tetap dengan senyumnya. Namun dia masih tampak rikuh ketika aku menatapnya. Namun Michel juga sering mencuri pandang padaku.

“Ada apa...?”, tanyaku pada Michel, saat memergokinya

“Eh, gak pa pa mbak.”, jawabnya.

“Yakin gak pa pa, dari tadi ngeliatin aku terus. Ada yang salah ya sama bajuku?”, tanyaku langsung. Sembari memperbaiki letak blazer yang kukenakan.

“Ihhhh, kak Evan malu ketahuan ngeliatin kak Song. Hihihihi..”, sahut Hikari dari kursi belakang.

Kembalilah Hikari dan Hikaru menggoda Michel. Sementara aku hanya tersenyum melihat Michel salah tingkah.

Namun harus aku akui, kalau akhir-akhir ini tatapan Michel berbeda. Seperti ada yang disembunyikan. Dia selalu menghindar ketika aku mulai mengorek keterangan darinya.

Sedangkan yang aku rasakan, nyaman dan aman. Ketika berada di dekat Michel. Rasa aman yang tidak pernah aku rasakan meskipun ada Adam yang menjagaku setiap hari. Aku hanya percaya kalau Michel bisa melindungiku. Itu saja.

Di dalam Club Malam. Hikaru dan Hikari tampak antusias dan langsung duduk disofa yang tersisa. Kami memesan beberapa minuman. Martini Dry untukku, Chivas, dan Jonny Walker.

Musik berdentum hingar bingar. Suasana semakin panas malam ini. Efek alkohol sudah mempengaruhiku, juga Hikaru dan Hikari.

Aku duduk sambil menggerakkan tubuhku mengikuti dentuman musik bit. Sementara Hikari dan Hikaru sudah melantai.

“Wahhh capek nich. Kak Evan yuk ahh... temenin Kari...”, kata Hikari menarik Michel.

Aku hanya tersenyum, melihat Michel yang terlihat malas.

Beberapa saat kemudian Hikaru kembali duduk disampingku.

“Kak ga turun..?”, tanyannya.

“Hihihihi... gantian ya...”, sahutku.

Aku berdiri melepas blazer. Berjalan menghampiri Michel dan Hikari. Mereka berdua tak berhenti bergerak mengikuti dentuman musik bit.

Michel terkejut melihatku. Sementara Hikari tersenyum dan memberikan tempatnya padaku.

“Silahkan kak...”, bisik Hikaru padaku.

Aku bergerak ke hadapan Michel, mengalungkan kedua tanganku dilehernya. Tiba-tiba musik berganti dengan musik slow, entah siapa yang meminta.

Michel memeluk pinggangku dan kamipun bergerak mengikuti iringan musik dansa yang mengalun pelan mengisi relung hatiku.

Aku sandarkan kepalaku di dada Michel. “Thanks ya...”, bisikku pelan.

Musik mengalun ringan. Hanya tinggal beberapa pasangan yang masih menikmati musik ini. Sementara yang lain kembali duduk.

Aku mengangkat wajahku, menatap Michel. Entah siapa yang memulai. Kami berciuman. Lembut, saling menikmati.
Alunan musik lembut menghilang digantikan dengan musik bit yang disambut antusias oleh pengunjung. Sementara aku dan Michel masih terlena dengan ciuman yang kita lakukan.

Aku lepaskan bibirku dan kembali menatap Michel yang terlihat berusaha mengendalikan diri dari nafsu yang mulai menjerat. Aku tersipu dan berkata,”Nakal....”.

Musik bit kembali menghentak, memanaskan darah muda pengujung Club Malam ini. Akupun bergoyang mengikuti tubuhku. Merespon liarnya dentuman house musik.

Aku berdiri membelakangi Michel, mengkaitkan kedua tanganku dilehernya. Menggoyangkan tubuhku mengikuti alunan musik. Michel memeluk perutku mencoba mengimbangi gerakanku. Sadar atau tidak Michel mencium lembut leherku. Menaikkan birahi yang sudah tersulut oleh alkohol.

Cukup lama kami bergoyang mengikuti dentuman house musik. Hingga aku merasakan sesuatu yang hidup dari tubuh Michel. Membuatku tersenyum.

Tiba-tiba Michel berbisik lembut padaku, “Yuk mbak...”.

Michel menggandeng tanganku, menjauh dari kerumunan pengunjung. Aku hanya mengikutinya. Genggaman tangannya terasa kuat meskipun sedikit bergetar.

Aku duduk disebelah Michel, sementara kedua adik Michel tersenyum-senyum centil. Sementara Michel dengan masih tersenyum, wajahnya memerah.

“Hihihihi... kak Evan so sweet....”, goda Hikaru.

“Kirim fotonya ke mama, cepetan...”, kata Hikari.

“Eh...foto.. foto apaan...?”, tanya Michel, kaget.

“Foto kak Evan yang lagi ciuman tadi, hihihi...”, jawab Hikaru.

“Udah jangan digodain terus dong, kasihan kakak kalian.”, belaku.

Kamipun bercanda, menghabiskan waktu. Selang beberapa jam kemudian, Hikari dan Hikaru sudah mabuk. Sementara aku juga sudah tidak sanggup lagi.

“Yuk...”, ajak Michel.

Kamipun berjalan keluar dari Club Malam ini. Aku memapah Hikaru, sedangkan Michel memapah Hikari menuju mobil.

Udara dingin menyapa tubuhku, ketika aku membuka jendela mobil Michel.

“Mbak, mau aku antar kerumah langsung?”, tanya Michel.

“Ga usah. Aku ikut kamu aja...”, jawabku dengan tersenyum.

“Yakin mbak...? Entar dicariin sama Adam lho..”.

“Dia ngikutin kok dari tadi, hihihi...”.

“Lah...”.

“Kenapa..?”.

“Gak pa pa mbak...”.

“Kamu takut ketahuan ya? Abis nyiumin bos kamu..? Hihihihi...?”.

“Eh.*** gitu mbak. Tapi yah gitu dech..”, jawab Michel dengan salah tingkah.

Setelah hampir satu jam, kami sampai dirumah Michel. Rumah dipinggir kota ini. Cukup besar dengan dua lantai. Halaman yang lebar disekelilingnya. Ada beberapa pohon besar yang menambah kerimbunan dan kesejukan rumah ini.

Michel memarkirkan mobilnya. Lalu menggendong Hikaru keluar, sementara aku membantu membukakan pintu rumah setelah mendapatkan kunci darinya.

Ketika pintu terbuka, “Millo” anjing Shitzu Michel segera menggonggong dan mengelilingiku, mengajak bermain.

“Mbak duduk aja dulu, biar aku bawa Hikari kekamar dulu.”, katanya berjalan keluar.

Aku duduk di sofa diruang tamu Michel. Tidak besar namun terasa nyaman rumah ini. Di samping ruang tamu menyambung ruang makan dan dapur yang dibatasi oleh dinding kecil. Aku tertarik menuju dapur untuk membuat minuman hangat untuk menghilangkan pengaruh alkohol yang sudah sangat kuat.

Aku menyeduh susu hangat dan secangkir kopi untuk Michel. Lalu membawanya ke meja makan yang berada diseberang dapur.

Aku duduk sambil meminum susu yang aku buat, sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian Michel sudah duduk dihadapanku.

“Mereka sudah dikamarnya?”, tanyaku.

“Ya. Mbak yakin mau tidur disini? Ga pulang..?”, tanyanya.

“Kenapa sich dari tadi pengen banget nganterin aku pulang? Kamu ga mau aku disini yah?”.

“Bu..bukan gitu mbak. Ga enak aja sama mbak.”.

“Ga enak, kenapa?”.

Michel tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku. Aku mencoba membaca pikirannya melalui tatapan mata Michel. Namun yang dapat aku tangkap hanya kegelisahan.

Aku bangkit berdiri dan berjalan ke arah Michel. Dia hanya memandangku. Aku tarik kursinya mundur, lalu duduk dipangkuannya.

Michel tidak bergerak, hanya deru nafas yang memburu. Seperti orang yang sedang mengendalikan dirinya.

Tanpa bicara aku lepas Blazerku dan menjatuhkan begitu saja. Segera kedua tanganku bergerak memeluk leher Michel. Dinginnya hembusan AC menerpa tubuh kita. Tapi aku melihat keringat bergerak perlahan diwajah Michel.

Aku mencium lembut bibir Michel. Tidak ada nafsu, hanya rasa sayang yang dapat kurasakan. Sementara Michel memelukku semakin erat. Hingga akhirnya kita saling melepaskan diri.

Bisa kurasakan wajahku memerah. Entah malu, entah nafsu. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Hanya rasa tidak ingin lepas darinya. Rasa untuk selalu menyayanginya.

“What...why...?”, tanyaku pelan.

“Talk to me...”, lanjutku.

Sementara kulihat Michel masih berusaha menenangkan diri. Manakala tanganku menyentuh dada Michel, bisa kurasakan detak jantung Michel berdetak cepat.

“Sorry....”, jawab Michel.

“Am i not good enough? Am I to old for u?”, desakku.

“No..no. itn’t about u. It’s all about me.”, jawabnya.

“Well, what’s the problem? Tell me.”, kataku gelisah melihat penolakan Michel.

“I love .... Michel. I love u. I just love u, that’s it.”, kataku lemah.

“I know, cause i’ve the same tought.”, jawab Michel.

Mendengar jawaban Michel, wajahku memerah. Dia memegang wajahku dan mengecup bibirku pelan.

“It’s going to rough after this. Trust me always, okay.”, kata Michel lagi.

“Okay...”, jawabku dengan senyum malu.

“Are we going to do it here...?”, tanyaku.

“Eh... not today. Let gets some rest.”, kata Michel.

“Hihihi... are you sure? I felt some movement....”, godaku.

“Su..sure my love.”, jawab Michel gugup, ketika tubuhnya merespon keintiman kita.

“Carry me then. Please...”, mintaku manja.

Michel berdiri dengan menggendong tubuhku. Aku mempererat pelukanku dan mengkaitkan kedua kakiku dipinggangnya. Dia membawaku kekamarnya, membaringku lembut diatas tempat tidur.

Ketika dia beranjak dari tempat tidur, aku menariknya dan meminta Michel menemaniku. Dengan nafas panjang, Michel kembali berbaring disampingku, memelukku. Hangat dan damai, itu yang kurasakan. Hingga aku tertidur.

_________________________________________________________


Pagi menjelang. Sinar matahari menembus diantara kordin, menghangatkan tubuhku. Kicauan burung dan gonggongan “Millo” menyadarkanku dari lelapnya tidur.

Aku bangun dengan tubuh yang berselimut. Betapa terkejutnya aku, ketika melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Aku bergegas bangun dan ketika akan berjalan menuju kamar mandi. Aku menemukan tumpukan baju dengan catatan kecil diatasnya, “Pakai baju ini ya”. Aku sadar kalau tidak membawa baju ganti dan tidur dirumah Michel.

Selesai mandi dan memakai pakaian yang disediakan oleh Michel, aku keluar kamar. Hendak keluar mencari Michel namun betapa terkejutnya aku ketika aku melihat wanita yang sudah berumur sedang memasak didapur, dan wanita yang mungkin seumur denganku sedang duduk dimeja makan. Memakai kaos dengan belahan rendah dan celana jeans balel.


3597c5514980528.jpg

Nina


bf93d7514980272.jpg

Angelica aka Mother



“Eh, maaf...”, kataku kaget.

“Sini duduk, disini.”, kata wanita muda itu.

Akupun duduk disampingnya.

“Kenalin yah, aku Nina. Kakak Evan.”, katanya sambil menjulurkan tangannya.

“Song Ji...”, jawabku menyambut tangan Nina.

“Kakak Michel...?”, gumanku.

“Ya, aku kakak Evan. Beda 2 tahun doang sama dia. Hihihihi...”, sahut Nina.

“Ma, duduk sini dech. Kenalan dulu sama calon menantu. Hihihihi...”, kata Nina menggoda.

“Eh... Menan..menantu?”, sahutku gugup.

“Udah kamu jangan godain dia terus.”, potong sang Ibu.

“Pa kabar. Iih.. cantik bener..”, kata sang Ibu, sambil memegang wajahku lalu memelukku erat.

“Ba..baik tante....”, jawabku.

“Jangan panggil tante yah, panggil aja mama.”, jawab sang Ibu.

“Ma.maaf ma, “, jawabku.

“Hihihi... gak pa pa Song Ji. Santai aja, ga usah gugup gitu.”, sahut Nina.

Akhirnya kami berbincang-bincang layaknya keluarga. Yah, keluarga yang tidak pernah aku rasakan selama ini. Ibu Michel begitu hangat menyambutku, meskipun aku hanya seorang yang baru memasuki kehidupan anaknya.

Nina, begitu supel. Membuatku lupa kalau aku baru berkenalan dengannya. Meskipun umurnya masih dibawahku. Karena aku saat ini berumur 33 tahun.

Ibu Michel dan Nina mengajakku memasak untuk makan siang. Malu sebenarnya, karena aku tidak pernah bisa memasak. Aku selalu mendapatkan semua kebutuhanku secara instan. Tanpa mengenal prosesnya. Tapi mereka menerimaku dan mengajariku dengan kesabaran. Sungguh kehangatan yang tidak dibuat-buat.


“Akhirnya selesai juga ya, Song Ji.”, kata Nina.

“Iya. Akukan Cuma motong sosis...”, jawabku.

“Hihihi. Gak pa pa namanya belajar. Nanti mama ajarin lagi.”, sahut Ibu Michel.

“Yuk kita bawa kebelakang, mereka disana semua.”, ajak Nina.

Kamipun membawa piring yang sudah berisi dengan nasi goreng dengan ayam dan sosis ke halaman belakang rumah Michel.

Setelah menata meja makan ini. Kami duduk melihat ke arah Michel yang sedang berlatih dengan Hikaru & Hikari.
Michel memakai kaos pendek dan celana pendek. Berdiri dengan posisi santai. Sementara Hikari dan Hikaru memakai Chestguard Reversible Protector.

Tampak wajah kedua adik kembar Michel lelah dan penuh keringat.

Tiba-tiba Hikari menerjang Michel dengan melakukan tendangan melayang kedepan (Twieo Ap Chagi), bersamaan dengan gerakan Hikari. Hikaru menyusul dengan melayangkan tendangan kebelakang dengan melompat (Twieo Dwi Chagi).

Sementara Michel hanya memiringkan tubuhnya menghindari tendangan Hikaru. Lalu mengangkat tangannya bukan untuk menahan tendangan Hikari, tapi membelokkan tendangan Hikari. Tidak berhenti disitu. Hikaru kembali melayangkan tendangan berputar dengan sasaran kepala (Twieo Sip Chagi An). Michel kembali memajukan tubuhnya, menarik Chestguard Hikaru dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menahan kaki Hikaru, lalu mendorongnya hingga Hikaru terdorong kebelakang dan jatuh.

Hikari melihat kesempatan. Maju kedepan, melayangkan pukulan ke bawah (Sambion Jiruegi) dengan melompat. Michel merespon dengan memundurkan tubuhnya hingga jarak pukulan Hikari menjadi hilang. Menempelkan pinggulnya dan menarik tangan Hikari, dan melakukan bantingan. Hikari pun tergeletak dirumput dengan nafas memburu.

“Hah..hah.. kakak curang.”, kata Hikaru.

“Iya..hah..hah..curang banget. Hah...hah.. katanya mau nerima tendangan Kari.”, sahut Hikari.

“Kan udah dibilang, jangan nyerang sambil lompat. Bandel sich. Yuk ah..”, jawab Michel sembari membantu kedua adiknya bangkit.

Aku hanya terdiam, melihat semua gerakan yang mereka lakukan. Aku tidak pernah mengira kalau Michel dan kedua adiknya memiliki kemampuan yang luar biasa.

Tanda kusadari, aku berdiri dan berjalan mendekati mereka. Dengan tangan membawa handuk.

“Kak Song Ji, udah bangun kak...?”, tanya Hikari.

Aku hanya tersenyum dan memberikan handuk kepada mereka berdua. Michel hanya melihatku dengan diam. Lalu aku mendekati Michel dan membersihkan keringat di wajah dan leher Michel dengan handuk yang kubawa.

“Makasih...”, kata Michel pelan.

“Iya....”, jawabku.

“Ihhh...so sweet banget sich.... jadi iri nich.”, goda Hikaru.

Akupun terkejut dan segera melepaskan handuk itu. Kami berjalan ke arah meja makan.

Aku menikmati makan pagi bersama dengan keluarga Michel. Penuh canda dan tawa. Sungguh hangat perasaan yang kurasakan saat ini. Bila dibandingkan dengan keluargaku sendiri.

Keceriaan yang membuatku lupa waktu, hingga hari beranjak sore. Aku pun berpamitan dengan mereka. Senja itu aku pulang diantar Michel. Kami terdiam dalam lamunan masing-masing, hingga...

“Makasih ya...”, kataku.

“Maksudnya..?”, jawab Michel.

“Iya, buat semalem sama hari ini.”

“Ohh. Ya.”

“Mama kamu baik banget dech. Ga ngebedain aku sama yang lain.”

“Masa sich...? Mama baik?”

“Ya, baik banget. Sampe nyeritain masa kecil kamu, kesukaan kamu, sama, hihihihi.... rahasia kamu.”

“Eh. Rahasia...? Rahasia apa...?”

“Emang mama udah ngomong apa aja?”

“Mau tau banget sich?! Kan urusan cewek....”
 
pertamax update, silahkan komeng and keripiknya....
:semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd