Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT M.E & You

Chapt 9



Waktu 30 menit menjadi sangat lama, apabila orang yang merasakan dalam keadaan tidak tenang. Hal inilah yang sekarang dialami oleh Paidi. 30 menit yang mencekam, manakala mobil yang dikendarainya bersama dengan kedua ajudannya berkelok menembus celah sempit di antara banyak kendaraan yang berada di jalan bebas hambatan negeri ini.

Keluar dari jalur tol, segera kedua mobil yang bergerak beriringan bergegas menuju rumah sang komandan.

“Berhenti...!!!”, kata Paidi tiba-tiba. Ketika mobil hendak memasuki area perumahan tempatnya tinggal.

Seketika itu juga mobil berhenti diikuti oleh mobil belakangnya. Paidi membuka pintu mobil dan bergegas ke bagasi, membukanya. Sementara para ajudan segera mengikutinya. Mengambil senjata yang memang selalu tersimpan dibagasi mobil.

“Hari ini saya tidak memaksa kalian untuk ikut, semua ini masalah saya.”, kata Paidi setelah mempersiapkan dirinya dengan segala persenjataan yang ada.

“Mati pun kami bersedia, karena bapak adalah panutan dan pimpinan kami.”, kata mereka bersama.

“Ok, kalo gitu. Kita masuk lewat belakang.”.

“BOOMMM!!!!”, terdengar ledakan dengan api membumbung tinggi tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ledakan tersebut semakin membuat Paidi panik, namun ia tahu dalam situasi seperti ini hanya akan membahayakan diri dan teamnya, bila kepanikan terlihat dari dirinya.

Sebelum berjalan memutar, Paidi telah mempersiapkan mobil agar menghalangi jalan keluar perumahan tempatnya tinggal.

Mereka berlima berjalan mengendap-endap di samping dinding perumahan yang menjulang setinggi 2 meter, mencoba memisahkan dunia yang penuh keteraturan dengan daerah sekelilingnya. Mereka turun ke dalam parit yang berukuran kurang lebih 2 meter, tidak peduli kondisi hujan, kotornya air dan bau tidak sedap yang tercium santer.

Sesekali mereka berhenti mencoba memastikan posisi mereka, hingga akhirnya Paidi melompat keluar dari parit dan diikuti oleh yang lain. Berjalan di atas rumput ilalang yang cukup tinggi. Terus berjalan mengendap-endap, sementara bunyi tembakan masih terus terdengar semakin jelas.

Paidi mengangkat tangan kanan dengan posisi menggenggam, sebagai tanda berhenti bagi yang lain. Kembali tangan itu membuat tanda untuk memisahkan teamnya, seorang bertugas sebagai pemantau dan yang satu sebagai backup, sementara yang lain menunggu isyarat dari komandan mereka.

Tiba-tiba salah satu ajudan Paidi yang mendapatkan tugas mengintai memberikan kode bahwa ada beberapa orang bersenjata yang berjaga tidak jauh dari mereka. Segera Paidi dan team memasang peredam pada senjatanya. Lalu memisahkan mereka semua, seorang dari sisi kanan, seorang lagi dari sisi kiri dan yang lain bersama dengannya bergerak selaku penyerang.

Gerimis kembali turun, kilatan petir menerangi langit yang murung oleh semua ulah manusia dibumi ini. Sementara beberapa pasukan dengan senjata lengkap yang terlihat dari pihak kepolisian sedang berjaga namun tidak waspada dengan sekelilingnya. Saat kilatan petir menyambar, bersamaan dengan itu, Paidi dan teamnya melakukan penyerangan.

Serangan dimulai dari Paidi yang menembakkan senjata laras panjang SS2 yang menjadi senjata andalannya, diikuti oleh teamnya. Serangan mendadak dari berbagai arah membuat pasukan yang berjaga tidak berkutik langsung ambruk tak bernyawa.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Paidi berdiri dari tempatnya bersembunyi. Diikuti oleh teamnya. “Kalian berdua jaga di sini, buat parameter dan 5 menit dari sekarang ledakkan mobil kita.”, perintah Paidi singkat.

“Siap Ndan..”, sahut kedua ajudannya.

“Ayo kita serbu!!”, kata Paidi pada kedua ajudannya.

Tanpa membuang waktu, mereka bertiga berbalik dan bergerak cepat menyesuaikan gerakan sang pemimpin. Sesampainya diparit, Paidi segera turun ke dalamnya, dan menekan semacam tombol yang memang tersembunyi di antara bata merah dan semen yang berlumut. Ketika tombol ditekan, muncul sepotong baja yang menyekat aliran air dalam parit dari sisi hulu, dan beberapa detik kemudian muncul lagi dari sisi hilir. Tiba-tiba dinding bata merah yang berlumut itu pun bergerak perlahan memperlihatkan sebuah lorong kecil yang cukup untuk orang dewasa untuk merangkak di dalamnya.

Paidi segera memasuki lorong tersebut dan diikuti oleh kedua ajudannya. Kilatan cahaya yang berada diujung lorong menuntun mereka bertiga merangkak. Tidak peduli tubuh yang basah, kotor dan bau. Mereka terus bergerak maju.

Sesampainya diujung, Paidi segera mendorong dinding batu dengan sebuah bata yang terbuat dari kaca untuk cahaya masuk. Dinding tersebut terbuka, dan segera Paidi keluar dengan senjata yang siap untuk ditembakkan sebagai perlindungan terhadap rekannya.

Mereka bertiga pun keluar dari lorong dan mendapati bahwa tembusan lorong tersebut adalah ruang bawah tanah. Sementara bunyi tembakan dari senjata terdengar begitu nyaring, berbaur dengan suara beberapa laki-laki yang sedang berbicara antara seorang dengan yang lain. Tampak situasi di atas sungguh berbahaya dan kritis.

Perlahan tapi pasti, Paidi dan kedua ajudannya bergerak menuju pintu kayu yang menghubungkan tuang bawah tanah dengan lantai atas.

“Tok...tok..tok..tok...tok”. Bunyi pintu kayu yang diketuk perlahan, sebagai kode. Tiba-tiba tembakan yang berasal dari dalam berhenti, sementara suara tembakan dari luar terus berlanjut. Memecahkan semua perabot di rumah Paidi.

“Tok.tok.tok...tok.tok.tok”, bunyi ketukan balasan. Mereka aman, Paidi mendorong pintu kayu. Maka terdoronglah lemari kayu dengan kaca yang sudah tidak berwujud akibat benturan peluru dari senjata. Yah ternyata pintu bawah tanah tersebut merupakan lemari kayu sebagai penyamaran.

“Pak, anda baik2 saja?”, tanya salah satu komandan pasukan gerak cepat yang sebelumnya dihubungi oleh Paidi.

“Situasi...?!!!”, kata Paidi tidak menanggapi pertanyaan anak buahnya.

“Team B sudah tiada pa, mereka menjebak kita di sini. Puteri bapak tidak ada di tempat saat kami tiba... Maaf pa.”, jawab sang komandan penuh penyesalan.

“Ok, kita sekarang keluar dari tempat ini. Siapkan rencana darurat. Aktifkan semuanya...”, kata Paidi berat, ketika mendapati kedua anak gadisnya tidak ada di tempat. Namun situasi saat ini tidak membuatnya putus asa. Yang terpenting bagi Paidi saat ini adalah keselamatan team dan dirinya.

“Baik pa, rencana darurat.”, sahut sang komandan yang diikuti oleh teamnya. Segera dia bergerak perlahan dan berbicara dengan team yang tersisa.

Rencana darurat, adalah rencana penghancuran total dengan meledakkan bom yang sudah tertanam di rumah ini.

“Pak, bagaimana dengan yang lain...?”, tanya sang ajudan yang sedari tadi melihat situasi dan kondisi.

“Kita balaskan nanti, ambil yang perlu saja...!!!”, sahut Paidi.

Sementara sang ajudan masih tertegun tidak bergerak mendengar jawaban Paidi. Mereka harus meninggalkan jasad rekan mereka yang tewas tanpa bisa memberikan penghormatan terakhir yang layak sebagaimana seorang prajurit yang tewas dalam bertugas.

“Hei!!!”, seru Paidi sambil mencengkram pundak sang ajudan.

Sang ajudan pun menatap Paidi penuh amarah.

“Simpan amarahmu, pilihannya mereka atau kita semua yang mati. Mari kita keluar dan kita balas mereka sampai titik darah penghabisan!!!!.”, kata Paidi.

“Siap Ndan....!!”, sahut sang ajudan cepat.

Maka baku tembak pun kembali terjadi. Tiba-tiba sebuah ledakan keras terdengar sangat kuat dari arah mobil yang tadi dikendarai oleh Paidi dan teamnya. Api membumbung tinggi mengejutkan para penyerang yang sedari tadi fokus untuk mengepung rumah ini.

Celah tersebut menjadi kesempatan bagi paidi dan team untuk bergerak membalas mereka. Tembakan dan lemparan beberapa butir granat keluar dari dalam rumah Paidi.

“BOOM.....!!!!”, ledakan granat terdengar kencang setelah mengenai sebuah mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari halaman rumah Paidi. Disusul dengan ledakan demi ledakan yang semakin membuat para penyerang semakin kacau dan tidak terorganisir.

Kesempatan itu digunakan olah Paidi dan team untuk mundur melalui lorong kecil yang sebelumnya digunakan.

Setelah beberapa saat, mereka berkumpul dengan kedua orang yang bertugas sebagai penjaga dan back up apabila terjadi sesuatu.

Mereka berlari menembus hutan kecil yang memang terdapat di belakang perumahan Paidi. Hutan kecil yang mengarah ke desa kecil yang berjarak kurang lebih 5km.

Beberapa menit setelah mereka berlari, tiba2 terdengar ledakan keras yang menghancurkan rumah Paidi beserta isinya. Menghancurkan semua bukti dan jejak kepergian mereka yang masih selamat.

Ledakan terakhir terasa begitu menyakitkan bagi semua anggota dan khususnya Paidi selaku atasan yang mengambil keputusan untuk menghancurkan semuanya. Bara amarah api dan dendam pun muncul memenuhi hati mereka yang masih selamat. Penuh sumpah serapah untuk membalaskan kematian para sahabat, rekan dan saudara seperjuangan.

Raungan sirine pemadam kebakaran dan polisi anti teroris terdengar sahut menyahut memenuhi langit kelam.

Sementara deru nafas beberapa manusia yang berjuang untuk terus hidup terdengar begitu berat. Rasa lelah, mulai melingkupi membuat beberapa dari mereka yang berlari terjatuh berguling-guling karena mulai menurunnya konsentrasi.

*Ayo, cepat!!! Waktu kita tidak banyak...”, seru Paidi pada rekan-rekannya.

Mau tak mau mereka pun kembali berlari berpacu dengan waktu. Jeda waktu 1-2 jam setelah ledakan bukanlah waktu yang lama. Sementara mereka terus berlari dengan kaki. Para pengejar menggunakan kendaraan. Sungguh tidak adil dunia ini.

Setelah berlari sekitar 45 menit, mereka menemukan jalan setapak yang cukup lebar untuk dilewati sebuah mobil.

Mereka pun berhenti di tengah mencoba mengatur nafas dan mencoba menenangkan deru jantung. Namun tiba-tiba kilau cahaya dari lampu mobil menerangi para pelari tersebut. Membuat mereka semua mengarahkan senjata mereka ke arah cahaya tersebut.

“Pa...papa....”, terdengar suara gadis yang membuat Paidi terkejut, dan dengan segera menyuruh pasukannya menurunkan senjatanya.

“Meri...?”, sahut paidi pelan. Penuh kehati-hatian.

“Papa....!!!”, teriak kedua gadis tersebut sambil berlari menghambur kepada sang ayah.


Tangisan terdengar memecah keheningan malam yang penuh dengan suara binatang malam ini.

Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki muda menghampiri Paidi dan team. Melemparkan beberapa botol air mineral ke arah mereka.

“M.E.... Terima kasih....”, kata Paidi bergetar antara bahagia dan rasa lega.

“No poblem Mr Paidi. Anda punya waktu 2 jam untuk meninggalkan tempat ini bersama team anda. Biarkan saya yang handle dari sini...”, kata pemuda itu dingin.

“Team ayo....”, kata paidi pada teamnya.

“M.E, mereka menyewa pembunuh bayaran yang sangat berbahaya...”, kata Paidi mencoba mengingatkan.

“Ok....”, sahut M.E tanpa menoleh.

Paidi dan team segera naik ke dalam mobil mini bus tersebut, meninggalkan tempat ini. Meninggalkan M.E seorang diri.

Mobil berguncang cukup kuat karena jalan yang mereka lalui bukanlah jalan biasa, namun jalan berbatu yang dibuat sebagai jalan pintas.

“Pa, kita ke...?”, kata ajudannya tidak melanjutkan pertanyaan.

Paidi hanya mengangguk, tanpa berkata-kata.

Setengah jam telah berlalu, mobil yang di kendarai oleh Paidi dan teamnya sudah memasuki jalan raya. Riuh suara sirene meraung-raung memenuhi heningnya malam ini. Bara api masih terlihat dari kejauhan. Setelah merasa sedikit tenang, Paidi memerintahkan anggotanya untuk beristirahat sebentar. Sementara Paidi masih tetap terjaga, melayangkan pandangan kosong ke depan.

Pikirannya, sekarang penuh dengan segala macam strategi untuk bisa lepas dari jeratan penguasa lalim negeri ini.

“Pa, apa yang akan kita lakukan nanti?”, tanya ajudannya.

“Entahlah, yang penting sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.”, sahut Paidi gamang.

“Plan B kita jalankan pa?”

“Ya.”

Tidak ada kata terucap setelah itu. Hanya keheningan malam dan deru angin malam yang terpecah oleh mobil yang bergerak cepat meninggalkan ibukota.



Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun tampak seorang wanita yang masih terjaga. Duduk di atas kursi kayu di balkon kamar lantai dua, di sebuah rumah kecil. Duduk dengan memeluk kedua kaki didada, ditemani oleh secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap. Semerbak rasa manis hilang dihembus oleh semilir angin malam.

Diam menatap gelapnya malam, seperti menantikan seseorang. Tampak kegelisahan dan rasa lelah tidak mampu disembunyikannya. Terus mencoba terjaga dari dera rasa kantuk. Hingga akhirnya wanita ini menyerah dan terlelap dalam tidur.

Beberapa waktu kemudian, sepasang tangan mengangkat tubuh wanita ini. mengangkatnya lembut mencoba untuk tidak membangunkannya dari alam mimpi. Memindahkan tubuh indah yang hanya terbalut oleh kaos panjang hingga lutut. Membawanya ke dalam dan membaringkan wanita itu diranjang, lalu menyelimutinya.

Lelaki itu mengibaskan rambut yang jatuh di dahi sang wanita, dan mengelusnya lembut penuh rasa sayang. Yah, wanita tersebut Song Ji. Setelah peristiwa beberapa minggu yang lalu, mereka putuskan untuk tinggal bersama.

Michel pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari percikan darah para polisi yang dihabisinya setelah menolong Paidi. Membasahi tubuh telanjangnya dengan air hangat yang mengucur dari pancuran. Memberikan rasa nyaman pada tubuh yang tidak pernah berhenti bergerak.

Tiba-tiba sepasang tangan memeluk tubuh kekarnya. Membiarkan tubuhnya ikut basah oleh derasnya air hangat yang terpancar dari shower. “Kamu ga papa sayang?”, katanya Song Ji lembut. Tidak ada jawaban dari Michel, hanya remasan pada kedua tangan Song Ji.

Michel pun membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan sang kekasih. Sebuah senyuman dan anggukan kecil menjadi jawaban dari pertanyaan sang kekasih. Michel pun memegang wajah sang kekasih yang basah oleh air dan air mata kesedihan akan jalan hidup sang kekasih.

Dengan lembut Michel menghapus air mata yang mengalir deras membasahi pipi sang kekasih. Melabuhkan ciuman lembut ke kening, mata, hidung, dan bibir. Sentuhan lembut penuh kasih dan sayang. Akhirnya mereka pun berpelukan erat.

Entah apa yang terjadi, tubuh Michel selalu bereaksi apabila berdekatan dengan sang kekasih. Bereaksi dengan melepaskan hormon testoteron cukup banyak, hingga libido atau gairahnya meningkat secara drastis. Ciuman yang sebelumnya lembut, berubah dengan perlahan menjadi penuh gairah. Tangan yang sebelumnya memeluk punggung sang kekasih, kini bergerak turun meremas kuat bongkahan daging membulat yang tidak tertutupi oleh kain pelindung.

Sementara Song Ji hanya mengikuti gairah sang kekasih. Entah mengapa dia tidak pernah bisa menolak keinginan sang kekasih untuk memadu kasih dan diakhiri oleh kepuasan duniawi.

Getaran lembut kejantanan sang kekasih, begitu terasa ketika pelukan semakin erat. “Nakal...”, kata Song Ji dengan suara yang menggoda.

Song Ji melepaskan pelukannya, melepaskan juga kedua tangan sang kekasih yang mengikat kuat tubuhnya. Mendorongnya lembut hingga berdiri tepat di bawah shower yang masih mengucurkan air hangat.

“Diam disitu...”, kata Song Ji.

Song Ji pun dengan perlahan mengangkat kaos panjang yang dipakainya. Perlahan kaos dengan bahan katun tersebut meninggalkan tubuh indah yang sedari tadi dilindunginya. Sementara sang kekasih masih berdiri diam menanti apa yang akan dilakukan oleh pasangannya.

Song Ji bergerak mendekat lalu memeluk tubuh sang kekasih, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sang kekasih.

“Promise me....”, kata Song Ji lemah.

“Promise me, that u’ll be on my side forever...?”

“I’ll do.”, sahur Michel memperat pelukannya.

Tanpa disadari oleh Michel, jawabannya tadi memberikan rasa aman dan nyaman bagi sang kekasih. Semu merah di wajah sang kekasih seketika itu juga muncul.

Tak lama, Song JI pun mulai memandikan sang kekasih. Membasahi tubuhnya dengan sabun cair, dan menggosoknya menggunakan Sea Sponge. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Membalikkan tubuh sang kekasih dan menggosok punggungnya. Semua dilakukan Song Ji dengan lembut. Bahkan kejantanan sang kekasih pun disapu lembut oleh tangan Song Ji, mengurutnya perlahan. Mencoba menghilangkan semua sisa ataupun bekas kotoran yang menempel.

Setelah seluruh tubuh sang kekasih telah dipenuhi oleh busa sabun, Song JI menarik tangannya dan membimbingnya berdiri tepat di bawah pancuran shower. Membiarkan busa sabun terbawa oleh air. Kembali tangan Song JI bergerak lincah menggosok bagian yang tidak terkena oleh aliran air shower hingga bersih.

Song Ji bersimpuh di hadapan sang kekasih, menengadahkan wajahnya. Menatap wajah sang kekasih dengan tatapan penuh gairah. Tangannya dengan lembut mengurut dan memijat kejantanan sang kekasih, membuat deru nafas sang kekasih memburu. Song Ji pun mendekat, dan mulai menciumi buah dari kejantanan sang kekasih, sementara tangannya masih mengurut lembut batang kejantanan sang kekasih. Mencoba memberikan kenikmatan ganda padanya. Lidah Song Ji ikut memanaskan situasi. Menjilati dari bawah sampai dengan ujung kejantanan sang kekasih. Melepaskan tangannya, dan menjilat bagian bawah kepala kejantanan sang kekasih. Membuat suara erangan muncul dari mulut sang kekasih.

“Aaahhhhh....honey....”

Tidak berhenti begitu saja, Song Ji terus menggerakkan lidahnya, mengulasi bagian sensitif dari kejantanan sang kekasih. Mencoba memberikan service terbaik untuknya. Membuka mulutnya dan perlahan Song Ji mengulum kepala kejantanan sang kekasih, disertai dengan hisapan lembut dan lidah yang masih terus mengulas bagian sensitif batang tersebut. Semua itu dilakukan Song JI dengan mata terbuka dan menatap wajah sang kekasih.

Tampak ada kepuasan tersendiri bagi Song Ji bisa membuat sang kekasih, mengerang-erang larut dalam kenikmatan dunia yang menenggelamkan.

Perlahan namun pasti, Song JI mulai menggerakkan kepalanya, maju mundur dipadukan dengan semua hisapan dan permainan lidah yang luar biasa itu. Beberapa saat kemudian, tubuh sang kekasih mulai menegang, dan batang kemaluannya mulai membesar. Sebagai tanda puncak kenikmatan itu segera tiba. Song Ji menyadari hal tersebut, tapi tetap all out memberikan kenikmatan bagi sang kekasih.

Tangan Song Ji mencengkram kuat pangkal kemaluan sang kekasih. Menghentikan desakan kenikmatan yang sudah sampai pada puncaknya. “AAAHHH, sa...sayang.....”, seru sang kekasih ketika puncak itu tiba namun tidak tersalurkan.

Dengan senyum genit Song Ji berkata lembut, “Not yet honey....”.

Tampak batang kemaluan sang kekasih membesar. Godaan birahi pun terus dilanjutkan oleh Song JI. Lidahnya kembali bermain pada bagian bawah kepala kemaluan sang kekasih. Terus bermain dengan mata yang menatap tajam wajah sang kekasih. Membuat urat-urat dibatang kemaluan itu semakin tampak, seiring dengan semakin membesarnya batang kemaluan itu. Namun cengkraman tangan Song Ji pada pangkal kemaluan sang kekasih tidak mengendur, bahkan semakin kuat, ketika puncak kenikmatan itu kembali menyapa.

Batang kemaluan itu semakin membesar dan merah karena aliran yang terhenti oleh cengkraman tangan sang kekasih. Rasa nikmat yang tertunda membuat Michel lupa diri. Segera Michel mengangkat tubuh sang kekasih yang sedari tadi bersimpuh di hadapannya, menggendongnya keluar dari kamar mandi dan melemparkannya ke tempat tidur, tidak peduli tubuh yang basah oleh air. Dia menerkam sang kekasih yang terkejut oleh perilakunya, namun terus tersenyum.

Menciumi wajahnya, dan melumat bibir tipis kemerahan sang kekasih. Dibarengi oleh remasan-remasan kuat pada payudara sang kekasih. Mencoba membalas perlakuan sang kekasih. Dengan menyerang semua titik gairah sang kekasih.

Ciuman Michel mulai turun, menyerang leher jenjang dan meninggalkan tanda merah kepemilikan yang terlihat jelas. “Aaahh...sayanggg.....aahhhh....”, erangan Song Ji ketika jari tangan Michel dengan liar bermain tanpa ampun pada kemaluannya.

Tidak mau membuang waktu lagi, Michel membalikkan tubuh sang kekasih dan mengangkat pinggul sang kekasih searah dengan kemaluannya. Dengan satu gerakan pasti, Michel membimbing batang kemaluannya masuk ke dalam lubang surgawi sang kekasih.

Dengan mengangkat kedua tangan sang kekasih ke belakang sebagai pegangan, Michel memacu tubuh sang kekasih dengan penuh kekuatan, erangan dan teriakan penuh gairah memanaskan ruangan ini. tidak peduli dengan siapa pun juga. Yang ada hanya keinginan untuk mencapai rasa itu.

Setelah beberapa saat, teriakan kepuasan pun terdengar begitu nyaring. Teriakan akan rasa yang menyelimuti tubuh keduanya.

Tiba-tiba hening menyelimuti. Hanya deru nafas yang terdengar memburu disertai debaran jantung yang mulai berkurang. Michel menarik tubuhnya dari pertautan dengan sang kekasih. Entah air, entah keringat yang membasahi tubuh keduanya.

Michel pun memeluk tubuh Song Ji dari belakang, mencoba membantu meredakan sentakan-sentakan kecil setelah pendakian ke puncak surga dunia yang baru saja mereka lakukan. Begitu hangat dan lembut, Michel menciumi pundak Song Ji.

“Sayang....?”, kata Michel lirih.

“Ya.....”

“Ma...maaf tadi aku kelewatan...”

Tidak ada jawaban, hanya deru nafas yang masih terus terdengar. Hingga akhirnya Song jI membalikkan tubuhnya dan wajahnya berhadapan dengan wajah Michel. Tidak ada rasa kecewa, marah atau apa pun, hanya senyum yang terus tersungging di wajah Song JI.

“Hihihi... kamu nakal banget sich sayang....”

“Eh..”

“Aku ga pa pa kok, rasanya beda banget,”, kata Song Ji diselingi oleh ciuman lembut ke bibir Michel.

Mereka pun berpelukan menghabiskan sisa malam yang tinggal beberapa saat lagi.

Pagi harinya, Song Ji telah mempersiapkan meja makan untuk sang kekasih. Ya, seorang CEO muda mempersiapkan meja makan, membuat kopi dan roti bakar. Seseorang yang biasa dilayani dalam kehidupan sehari-hari, namun saat ini dia berlaku sebagaimana wanita pada mestinya.

“Gimana yang?”, kata Song Ji membuka percakapan ketika mereka sedang menikmati sarapan pagi.

Michel hanya mengangkat wajahnya, dan tersenyum. Seperti akan mengatakan sesuatu namun tertahan. “Baik-baik aja.”.

“Yakin?”, jawab Song Ji dengan menopang dagu.

Setelah menghela nafas, Michel pun menatap sang kekasih dan menjulurkan tangan diatas meja. Song Ji pun menyambut uluran tangan itu. Seperti tahu apa yang dibutuhkan sang kekasih.

“Mereka sudah tahu posisiku dan bersiap mengejarku. Mungkin dalam 1 atau 2 hari ini....”, kata Michel yang terhenti sambil meremas tangan sang kekasih.

“I’m fine honey, just keep ur promise...”

“Yup, i’ll be there when u need me.”

“Ok honey, love u...”, jawab Song Ji.



Pov Song Ji



Hari ini cukup menggembirakan buatku, selain permainan panas yang aku lakukan dengan Michel. Ini pertama kalinya dia mengambil alih dalam urusan sex, meskipun tidak sepenuhnya tapi sudah ada kemajuan. Tidak hanya itu, tapi kejadian di meja makan juga semakin membuatku semakin sayang padanya.

Ketika aku bertanya mengenai apa yang terjadi, dan mencoba mengutarakan kekhawatiranku. Michel dengan senyumnya yang khas menghilangkan semuanya.

Uluran tangannya padaku yang diakhiri dengan pelukan erat dan menenangkan, semakin membuatku jatuh cinta.

Entah kenapa, setiap kali dia memelukku, gairahku pun ikut naik, aroma tubuhnya, rengkuhan hangat lengannya, selalu membuatku lupa diri.

Meskipun begitu kekhawatiranku akan keselamatannya cukup membuatku kerepotan. Ini adalah resiko yang harus aku terima, tapi aku tetap tidak dapat menyembunyikannya.

Aku duduk di sampingnya di dalam mobil. Menatapnya lembut, tanpa kusadari senyumku pun terkembang, memupus habis semua ketakutanku.

“Kenapa sayang...?”, tanya Michel menyadari tatapan dan senyumanku.

“Hihihi, gpp. Pengen aja ngeliatin kamu...”, sahutku manja.

Michel hanya tersenyum, dan mobil pun turun ke dalam basemen kantor. Entah mengapa gairahku tiba-tiba naik. Aku pun memandu Michel untuk memarkirkan mobil di basemen P3, tempat parkir paling bawah dari gedungku ini.

“Yah di situ aja yang parkirnya...”, seruku.

Ketika mobil berada dalam posisi parkir, aku melarang Michel untuk mematikannya dan membiarkan mobil tetap menyala. Masih dengan senyum genitku, aku menggoda Michel dengan membuka dua kancing blous putih hingga memperlihatkan belahan dadaku. Seperti yang kuduga Michel menatapnya tanpa berkedip.

Aku lepaskan sabuk pengaman di kursiku dan bergerak ke tempat Michel duduk. Meskipun sempit namun tubuh rampingku dapat menyelinap di antara stir dan tubuh Michel.

Michel sepertinya tahu yang kuinginkan. Seketika aku duduk di atas pahanya, dia menarik tuas pengatur kursi dan mendorongnya mundur dengan kaki menjejak dilantai mobil.

“Sayang....”, kata Michel lirih.

“Ssstthhh....”, seruku dengan menaruh jari telunjukku di bibirnya.

Aku mengalungkan tanganku pada sandaran mobil tempat Michel duduk. Kami pun berciuman dengan lembut, namun penuh gairah.

“Kita quickly ya honey, hihihi...”, kataku sambil membuka gasper dan resleting celananya.

Setelah batang kemaluan Michel muncul dengan begitu menantang, aku angkat tubuhku dan menarik turun resleting rok pendek yang kupakai lalu mengangkatnya hingga panggulku.

Tanpa kusadari Michel sudah membuka beberapa kancing blous yang kupakai hingga mempermudah akses untuk menjamah payudaraku.

Dengan bimbingan tanganku, batang kemaluan Michel pun masuk ke dalam. Aku mendesis mencoba beradaptasi dengan benda yang memasukiku.

Sementara ciuman dan remasan lembut pada leher dan payudaraku menambah percikan api gairah yang sudah meninggi.

Tidak peduli seperti apa rupa dan tampangku setelah ini. Yang terpenting adalah menggapai puncak itu bersamanya.

“Aahhh....aahhhh....”, erangku ketika gerakan pinggulku yang mencari rasa itu.

Bagai gayung bersambut, Michel juga mendorongkan batang kemaluannya semakin dalam. Kami pun berpacu dan bergerak penuh ritme yang serasi. Dengan tujuan yang sama, yaitu rasa “itu”.

Entah mengapa aku berlaku seperti ini, berlaku layaknya wanita yang haus akan kenikmatan. Tapi semua rasa ini tidak dapat kuhentikan, rasa yang menjadi candu dalam hidupku.

Beberapa saat setelah kami memulai ritual kuno manusia, kami pun mengerang kuat disertai letupan dan gelinjang tubuh menyambut rasa itu. Berpagutan guna meredam erangan birahi yang memuncak.

Sungguh rasa yang amat sangat berbeda, apabila hubungan itu dilandasi oleh kasih dan sayang.

Beberapa saat kami berdiam diri, saling memeluk. Menumpahkan rasa yang tiada terperi.

Deru nafas saling bersahutan dan keringat pun membasahi tubuh kami.

“Thank you honey, it was great. I love u, cupp.”, kataku yang di akhir oleh kecupan ringan di bibirnya.

“Love u too.”, balasnya.

“Eeeggh...”, erangku ketika aku melepaskan batang kemaluan Michel dari dalam tubuhku.

Aku pun kembali duduk di tempatku, sambil menyalakan lampu dalam mobil. Mencoba memperbaiki dandananku. Sampai ketika, aku melihat bekas merah di sisi kanan leherku.

“Ihhh sayang, jadi keliatan nich bekasnya...”, kataku dengan mencibirku bibir tipisku.

“Maaf, ga sengaja sayang...”, sahutnya.

“Tapi ga pa pa kok, biar semua orang tau kalo bosnya udah ada yang punya. Hihihi...”

“Hah...”, kata Michel mendengar jawabanku.

Aku kembali mengancingkan blousku dan menarik resleting rok pendekku. Setelah itu, kami pun keluar dari mobil dan berjalan bergandengan tangan.



“Tingg....”, bunyi lift ketika berhenti dilantai kantorku.

Tampak adam dan sekretaris baruku sedang berbincang-bincang.

“Pagi Adam, pagi Meli...”, sapaku pada mereka berdua.

“Pagi Miss Song...”, jawab mereka bersamaan.

Aku masuk ke dalam ruangan dan duduk di meja. Meli dan Adam pun mengikutiku ke dalam. Mereka berdua sepertinya ingin bertanya kenapa aku tampak kusut pagi ini, tapi seperti takut kena marah olehku, dan itu membuatku geli.

“Mel, hari ini ada agenda apa yah?”

“Eh, agenda? Agenda hari ini miss?”, tanya Meli.

Aku pun menatapnya, dan baru kusadari kalau hari ini harusnya aku cuti.

“Eh, gua harusnya cuti yah?? Maaf mel, lupa, hihihi...”, kataku setelah menyadari kesalahanku.

“Aduh bau apa sich ini?”, kataku tiba-tiba.

Bersamaan dengan itu rasa mual menghampiriku. Dengan segera aku bangkit berdiri dan berlari menuju toilet di ruangan ini dan, “Hoeekkk..hoeekkk...”.

Meli segera menghampiriku dengan membawa segelas teh hangat yang memang selalu ada di mejaku.

“Ini Miss, diminum dulu...”, katanya.

“Makasih mel...”

Dan rasa mual itu kembali hadir, seperti ingin muntah tapi tidak ada yang dikeluarkan. Meli pun memijat tengkukku mencoba membantu meredakan rasa mual ini.

Ketika akan berbalik ke ruangan, aku merasa tubuhku seperti tidak bertenaga. Aku pun hampir jatuh kalau tidak dibantu oleh Meli.

“Adam..adam cepetan bantu sini...”, teriak Meli pada Adam yang berada di luar.

Maka mereka berdua pun segera memapahku dan mendudukanku di sofa panjang. Tampak wajah penuh kekhawatiran di wajah ADam dan Meli.

“Tolong ambilkan handphone ku mel..”

Meli segera beranjak menuju meja kerjaku dan segera mengambil HP yang tergeletak di atas meja. Lalu kembali duduk disisi bawah sofa tempatku berbaring.

“Ini miss...”

“Thanks mel”

Aku mengecek Hpku untuk memastikan tidak ada yang menghubungiku.

Akhirnya aku mencoba mengistirahatkan tubuhku. Entah mengapa beberapa minggu terakhir aku jadi mudah lelah. Lelah? Mual? Apakah? Hamil????

Banyak sekali bayangan yang melintas dalam pikiranku. Maka kucoba untuk menenangkan diri dan mengatur nafas. Setelah tenang, aku kembali mengingat siklus bulanan yang biasa aku dapatkan.

Hingga akhirnya aku tersenyum dan bangkit dari posisi berbaring dan duduk. Adam dan Meli menatapku heran.

“Dam, tolong kamu beliin testpack. Dan pastiin kamu ga mampir ketempat Michel!!!”, seruku tegas.

Perintahku sempat membuat Adam termangu diam, hingga aku panggil lagi namanya, “Adam...!!!”.

“Eh, iya miss, iya. Saya jalan sekarang...”, sahutnya kaget.

Setelah melihat adam pergi, aku meminta tolong pada Meli untuk mengunci pintu ruanganku.

“Mel, tolong kunci pintu yah. Setelah itu bantuin gua bersih-bersih...”

Aku pun berjalan menuju kamar mandi yang ada di ruangan ini. Dengan pintu yang terbuka, karena memang hanya tinggal aku dan Meli yang tersisa di ruangan. Aku pun membuka blous putih yang kukenakan, rok pendek, bra, dan celana dalamku. Semua aku letakkan dilantai. Lalu aku menyalakan shower dengan air hangat untuk membasuh rasa lelah tubuhku yang semakin menjadi-jadi.

Beberapa saat setelah mandi, aku pun keluar dari ruang kaca tempat shower berada, dan mengambil handuk untuk membersihkan sisa air yang masih menempel, meskipun terasa segar namun rasa lelah itu masih ada.

Setelah merasa kering, aku pun berjalan masuk ke dalam ruanganku, dan membuat Meli terkejut. “Miss....!!!”.

“Hihihi... Kenapa kaget begitu Mel? Kan cuman kamu doang yang di sini.”

“Tapi miss Song, kan ini dikantor, emang ga risih sama saya atau takutnya ada orang lain yang masuk?”

“Hahaha, ada orang masuk kalo kamu yang bukain pintu Meli....”

“Eh, maksud saya bukan itu Miss...”

“Hihihi.. Ga pa pa Meli, aku tahu kok kalo ga ada orang makanya aku berani keluar telanjang gini. Kecuali yang masuk si Michel, beda lagi itu. Hihihi...”

“Kok..kok tahu ga ada orang lain miss..?”

“Just know it...”

Kali ini aku memakai kaos tanpa lengan dengan sweater dibarengin dengan celana denim. Pakaian yang lebih santai menurutku.

Dengan wajah yang lebih segar, aku pun duduk di sofa tadi dengan secangkir teh hangat yang sudah disediakan oleh Meli.

Sementara Meli masih berdiri di sampingku dengan posisi bersiap, seperti menunggu perintah selanjutnya.

“Meli duduk dech, jangan berdiri di situ. Ga enak liatnya...”

“Baik Miss Song...”

“Salam ya buat Mr Paidi. Thanks udah ngirim kamu buat jagain aku...”, kataku setelah Meli duduk.

Seketika itu juga wajahnya berubah, terkejut dengan pernyataanku mengenai statusnya.

“Mr..mr Paidi.. Miss?”

“Yup. Atau kamu lebih suka aku panggil Radin Kameliana, letnan dua BIN dengan bintang penghargaan dalam tugas spionase?”

Meli pun menghela nafas panjang mencoba menenangkan diri. Lalu bertanya padaku, “Miss Song tahu itu semua sejak kapan?”.

“Sejak kamu apply di sini...”

“Aku dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari dirimu mel, meskipun kamu berakting seperti gadis muda yang centil dan smart, tapi itu semua hanya kedok dari dirimu yang sesungguhnya.”, kataku lebih lanjut.

“Yang pasti aura dan energimu tidak sesuai dengan penampilanmu.”, kataku dengan tersenyum.

“Terima kasih Miss Song, untuk tidak mengexpose identitasku.”

“Akhirnya, per hari ini aku serahku nyawaku padamu, Mel.”

“Apa Miss Song...?!!”

“Yup, per hari ini kamu dan Adam akan selalu disisiku. Karena per hari ini juga Michel akan berada ditangan para Polisi korup itu.”

Meli tampak terkejut dengan penjelasanku, namun setelah berpikir cukup lama akhirnya dia menganggukkan kepala, menyetujui permintaanku.

*Bener ga mah...?”, kataku ketika pada mama Michel yang berada di dalam ruangan kantorku. Duduk di kursi kerjaku.

Perkataanku barusan mengejutkan Meli. Karena dia tidak merasakan ada orang lain selain aku dan dia. Memang keahlian mama sangat luar biasa. Dia menguasai kemampuan para pembunuh darah dingin dari jepang atau yang biasa disebut para ninja.

Bahkan Michel pun tidak bisa mendeteksi mamanya, namun aku mendapatkan karunia atau gift untuk dapat merasakan energi yang dari dulu kuanggap sebagai hal tidak penting.

“Hihihi, iya sayang...”, sahut mama.

Wajah Meli tampak pucat ketika ia tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu. Namun mama segera mendekati Meli dan memeluknya. Mengatakan hal yang menenangkan Meli.

Setelah itu, mama pun mendekatiku dan duduk di samping. Memelukku dengan rasa sayang. Aku pun balas memeluknya erat, seperti melepas rindu akan kasih sayang seorang ibu.

“Mah..mah...hikss.hikss.”, tangisku pun pecah.

Mama melepaskan pelukannya dan mengusap air mata di pipiku. Mengecup dahiku dan berkata, “Ga pa pa sayang.. Mama udah tahu kok...”.

“Makasih ma...”, sahutku lirih.

Aku dengan tiba-tiba menyuruh Meli untuk membuka pintu karena Adam sudah datang.

“Meli, buka pintu yah. Adam dateng tuh..”

Meli sempat terkejut, namun segera mengikuti kemauanku. Berjalan mendekati pintu dan membuka kuncinya lalu menarik daun pintu untuk terbuka. Selang dua detik pintu lift terbuka dan tampak Adam datang.
 
Semakin menarik..... Semakin kesini scene2 nya berasa lebih kena suhu, berbeda dg scene2 awal pasti akibat dari bimbingan jendral Paidi.
 
Siap om, maklum belum diedit. Editornya ngejar setoran...
:devil:
Editor nya kejar setoran pembacanya harus ulang dari awal... Untuk muncul di notif kalau thread ini bangkit lagi...

Btw keren... Baru inget putusnya dimana cerita ini... Btw kok ditangan polisi?
 
Editor nya kejar setoran pembacanya harus ulang dari awal... Untuk muncul di notif kalau thread ini bangkit lagi...

Btw keren... Baru inget putusnya dimana cerita ini... Btw kok ditangan polisi?

Hahaha, kirim somasi sama editornya om.
:mami:
 
Mantap suhu, maaf nih ada sedikit koreksi ya suhu paramater seharusnya perimeter
 
Inga...Inga....
Para readers harus Inga....
Update nya.....
Per 3 bulan....
So just.be patient....
 
Thx ats updatnya suhu....*** sia sia penantiannya....
Masi sedikit banyak pertanyaaan si mengwnai adiknya ME.....Hara.....smoga seusai harapan saya...hehehe....smogaaaah....
 
Good job gan.. setelah sekian lama penantian.. baca dari awal lagi feelnya lebih dapet..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd