------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 15
”Hentikan..! ini polisi. Angkat tangan semuanya..!” Tiba-tiba hardikan keras sekelompok anggota polisi..
lengkap dengan lampu sorot dan gonggongan anjing pelacak membuat gerak si Jebah terhenti.
Jebah, celana longgar dan Kumis segera lari menghambur..
meninggalkan Kuntoro yang berusaha menyingkir tertatih-tatih dengan tongkatnya.
Letusan tembakan peringatan membahana di tebing itu.
Anggota polisi sigap mengejar si Jebah, celana longgar dan si Kumis. Yang lain membantu Sujarno.
Candi mencari tau ke mana Kuntoro menghilang.
Ia tau Kuntoro menyelinap pergi tanpa kawalan satu pun anak buahnya yang sudah tercerai berai cari selamat.
Tanpa anak buah, Kuntoro tak akan punya peluang lari jauh.
Tak sulit Candi menemukan Kuntoro. Ia menjemba kerah orangtua itu dan menghentikannya dari belakang.
Tapi, tanpa terduga, Kuntoro berbalik dengan tongkat menyambar telak ke pelipis Candi.
Gadis ini menjerit. Matanya berkunang-kunang. Perhatiannya berkurang.
Andai malam tak gelap, pasti habis ia dihajar Kuntoro yang mengayun-ayunkan tongkat dengan gerakan membabi-buta.
Candi mundur beberapa saat dan mencoba mengumpulkan tenaga dan konsentrasi.
Desing tongkat yang membabat angin ia perhitungkan baik-baik.
Kuntoro saat ini pasti sedang panik mencari-cari sasaran, dan inilah saat yang tepat melumpuhkan macam ompong itu.
Manakala desing tongkat terdengar tak jauh dari Candi..
cepat ia menangkap tongkat itu dengan genggamannya dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Sekuat tenaga ia merebut tongkat itu. Tapi, karena Kuntoro memegang bagian yang melengkung..
ia punya kekuatan lebih besar mempertahankan tongkatnya.
Dengan kedua belah tangan, Candi menarik tongkat itu.
Ia bisa merasakan getar hebat tangan Kuntoro yang menjaga sekuat tenaga agar tongkat tak berpindah tangan.
Candi jadi tau Kuntoro kini mengandalkan hidupnya pada tongkat itu.
Tapi, tak dinyana-nyana.. tongkat itu tiba-tiba melemah. Dan berbareng dengan datangnya Danica dan sejumlah anggota polisi..
Candi tau Kuntoro tengah bergulat mempertahankan tubuhnya yang tiba-tiba saja oleng.
Rupanya Kuntoro salah memilih tempat berpijak.
Tanah yang dipijak Kuntoro runtuh satu per satu dan tubuh Kuntoro melesat deras ke atas dengan raungan singkat.
”Pegang erat, Pak..!” Candi meneriaki Kuntoro.. tubuh gadis itu terseret ke tanah, mengikuti gerak jatuh Kuntoro.
Untung ada akar melintang yang bisa Candi gunakan untuk mengaitkan kaki dan menghentikan gerak turunnya.
”Pegang kuat. Jangan dilepaskan. Saya akan menarik Pak Kuntoro..!”
Kata Candi sekuat tenaga menghela batang tongkat yang dirasa makin licin.
Tapi tubuh Kuntoro terlalu berat. Perlahan cengkeraman dua tangan Candi pada batang tongkat bergeser..
dan cengkeraman itu beberapa centimeter lagi akan sampai pada ujung tongkat.
Para polisi berjongkok untuk membantu menahan..
tapi pegangan Candi makin tak tertahankan dan lepaslah tongkat itu bersama Kuntoro.
Kuntoro menjerit histeris. Jeritannya membahana di tebingan itu.
Orang-orang mendengar bunyi berderak dan berdebum di bawah sana. Sejumlah lampu senter tersorot ke bawah.
Kuntoro terkapar sektar 20 meter di bawah sana. Darah membersiti cadas dan batuan runcing di seputaran kepalanya.
Tak terlihat orang tua itu bergerak. Hidupnya tamat di pangkuan bebatuan Kali Randu.
-----ooOoo-----
Dengan lampu senter yang ia raih dari meja di kamar Si Mbah.. Rio segera melesat menyusul Bu Lurah ke pertelon.
Masih bergayut sangsi di dada Rio; benarkah perempuan cantik ini juga merupakan salahsatu sumber kekacauan di desa ini..?
Alangkah rapinya ia menyembunyikan gerakan di depan suami, di depan semua orang, di depan masyarakat desa Kemiren.
Desir dingin angin pagi melibas wajah Rio.
Masih terasa hangat bibir Bu Lurah di bibirnya, masih membara sisa dekapan Bu Lurah di dadanya.
Tapi tak ada Praptiwi di pertelon.. tidak juga Harjo. Ke mana harus melacak Praptiwi..?
Rio berpikir sejenak. Tak mungkin Praptiwi menuju ke balai desa. Ada banyak polisi di sana.
Ia pasti perlu tempat bersembunyi atau mencari jalan aman ke luar dari Kemiren.
Rio memutuskan untuk kembali ke selatan, ke arah Kali Randu. Ia menggunakan sisa-sisa tenaga yang ada.
Rio yakin Praptiwi punya tempat khusus di sekitar jajaran kaliandra tempat mereka bertemu kemarin.
Rio hampir sampai di jajaran Kaliandra itu ketika jalannya terhenti oleh seonggok tubuh..
melintang di jalan setapak gelap menuju ke jajaran pepohonan. Segera ia sinari onggokan tubuh itu.
Harjo tergeletak di tanah tak dasarkan diri dengan wajah bersimbah debu dan kepala bocor.
Tak jauh dari situ, sebongkah batu sebesar kepalan tangan tergeletak, penuh darah.
Malang benar Harjo. Agaknya Praptiwi menyudahi hubungannya dengan Harjo..
lewat cara yang sangat jelas tidak disukai laki-laki itu.
Karena ada tanda-tanda Harjo masih bernafas.. Rio mengeluarkan saputangan dari saku celana..
kemudian membalut kepala Harjo untuk menghentikan pendarahan. Ia lantas menepikan Harjo ke pinggir jalan setapak.
Ujung kelam tampaknya agar segera menjemput. Langit timur berubah warna menjadi rembang ungu.
Tapi itu belum cukup memberi cahaya untuk sekeliling. Rio kembali menyambart lampu senter.
Sekarang harus diperhitungkan ke mana Praptiwi melaju, yang boleh jadi mencari Kuntoro.
Kalau Kuntoro telah tertangkap, harus pula dipastikan ke mana perempuan itu menyembunyikan diri.
Rio menggunakan ujung cahaya lampu senter sebagai petunjuk untuk menelusuri setiap sudut.
Ia mulai menyusuri jalan setapak yang dijajari pohon-pohon kaliandra dari satu ujung ke ujung lain.
Tiba-tiba saja bulu kuduk Rio meremang. Nalurinya mengatakan ada gerakan mengintai tak jauh darinya.
Cepat ia mengirim cahaya ke sumber mencurigakan itu.
Ia terkejut ketika dari arah samping kanan sebuah gerakan cepat menghantam tangan kanannya.
Rio mengerang kesakitan. Lampu terlempar jauh. Sekeliling menjadi gelap.
”Aku memang kasmaran pada kamu.. tapi aku tak ingin kau terus mencampuri urusanku..!!” Pekik Praptiwi menyibak gelap.
Dalam remang Rio melihat wanita itu berbekal sepotong kayu dalam genggaman kedua tangan.
Dari caranya memegang kayu, Rio tau Praptiwi tidak lihai memainkan senjata temuan itu.
Ia mengayun-ayunkan kayu asal-asalan saja.
”Tahan, Mbak Prap..!” Rio berusaha menghentikan gerak merangsek Praptiwi.
Tapi wanita itu tetap maju dengan raut beringas. Kalau suasana terang, pasti Rio melihat raut macam betina di wajah cantik itu.
Rio melompat ke kiri saat kayu itu terayun ke arah kepala.
Pada saat itu juga, Rio sempat mencuri peluang kelemahan Praptiwi.
Tangkas ia menendang kayu itu. Praptiwi berteriak.
Bunyi bergedebug di sebelah menandakan kayu itu telah terbang dan mendarat di sana.
Kini Praptiwi tak bersenjata, dan akan bekurang bahaya serangannya.
Tetapi Rio salah. Ketika ia mendekat, Praptiwi meraih sesuatu dari sakunya; sebuah pisau lipat..
yang langsung terbuka ketika digoyang keras. Bercahaya pisau itu dalam remang dinihari.
Dan kali ini Rio gagal mengantisipasi dengan cermat.
Pisau lipat di tangan Praptiwi berkelebat dan menyerempet pahanya.
Meski perih, Rio tak berusaha memekik. Ia mundur beberapa langkah untuk menghindarkan serangan fatal berikutnya.
Rio juga tak ingin serangan balik untuk bertahan malah membuat pisau itu menggores kulit cantik Praptiwi.
Berulangkali pisau lipat itu menyambar.. dan Rio berkelit dengan hati-hati.
Saat pisau itu menyambar ruang kosong, Rio berhasil meraih salahsatu ujung jaket Praptiwi, dan langsung membetotnya.
Perempuan itu langsung tersentak ke belakang.
Segera ia melepas jaket seluruhnya dan membiarkan jaket itu lepas dalam hentakan tarikan Rio.
Bersama jaket itu, belati di tangan Praptiwi terpelanting entah ke mana. Praptiwi lari menjauh.
Rio menghempaskan jaket itu di tanah. Langit di timur bertambah cahaya.
Tapi cahaya yang masih temaram itu hanya memberian sedikit bayangan Praptiwi..
yang makin jauh masuk ke dalam rerimbunan semak-semak liar.
Agak lama Rio berlari kecil menyusuri jalan setapak berdinding jajaran Kaliandra..
dan sebentar kemudian ia sampai di kawasan yang banyak ditumbuhi pohon orok-orok.
Agar kehadirannya tak diketahui Praptiwi yang mungkin sudah duluan berada di kawasan itu,
Rio berusaha sedapat mungkin tidak menyenggol salahsatu pohon itu..
agar biji-biji kering di dalam ribuan buah orok-orok tidak menimbulkan kegaduhan.
Tapi itu ternyata tidak mudah. Ketika ia memutar tubuh, tak sengaja ia menyenggol satu pohon orok-orok.
Gemericik buah orok-orok memecah sunyi. Pada saat itu juga ia mendengar bunyi gemericik lain..
bersambung-sambungan dari jarak 3 meter.
Cepat Rio mencari bunyi itu. Praptiwi melesat menerabas pepohonan orok-orok.
Ia tau ia telah memilik tempat bersembunyi yang salah.
Meski paha bekas sayatan Praptiwi menimbulkan nyeri yang luar biasa ketika berlari.. tak sulit bagi Rio untuk mengejar Praptiwi.
”Berhenti, Mbak Prap..! Berhenti..!” Seru Rio. Tapi Praptiwi enggan mendengar.
Ia baru berhenti manakala larinya terhenti oleh sebatang pohon yang ia tak sengaja ia terabas.
Ia terpental ke belakang, dan mendekap wajahnya dengan erang kesakitan.
Rio mendapatkan wanita itu mencoba berdiri. Ketika Rio mendekat, cepat kaki Praptiwi menendang perut Rio.
Rio kaget. Sulit dibayangkan wanita pecinta bunga itu bisa sedemikian kasar. Ia menanti gerakan Praptiwi berikutnya.
Wanita itu mengambil sebongkah batu dari tanah dan siap menghantam Rio.
Rio merunduk dan menyergap pinggang Praptiwi dari bawah. Praptiwi kehilangan keseimbangan.
Keduanya terjatuh mengikuti dorongan Rio. Praptiwi merintih menahan tindihan Rio.
Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia membalik tubuh Praptiwi dan menguncinya dari belakang.
”Tubuhmu seharum rempah-rempah. Wajahmu seindah bunga, dan tatapan matamu teduh.
Tapi hatimu busuk luar biasa. Akui kau yang memicu kekacauan di desa ini..!” ujar Rio di telinga Praptiwi.
”Kau tau isi surat dari yayasan itu dan kau bersekongkol dengan bapakmu Kuntoro yang serakah itu..!”
”Memang aku yang mengendalikan semua itu. Aku otak dari semua kekacauan ini..!” Sengit Praptiwi.
Ia meronta dalam kuncian tangan dan lutut Rio yang menekan tubuhnya rata ke tanah.
”Sekarang tenanglah..! Kamu dan komplotanmu sudah kalah. Akui semua kesalahanmu di depan suami dan masyarakat Kemiren.
Uang hibah yayasan itu bukan hakmu. Itu hak orang lain; hak desa ini, hak negeri ini..!” Tekan Rio
”Tidak..! Bunuh saja aku..! Bunuh..!” Praptiwi meronta lebih hebat. Ia mencoba bergerak lebih hebat ke arah pohon.
Rio tau perempuan itu hendak membentur-bentukan kepala pada batang pohon di depannya.
Cepat Rio menarik tubuh Praptiwi menjauh dari pohon. Praptiwi tampak jengkel sekali.
Gerakannya kini seperti kuda betina liar yang kehilangan kendali.
Tapi.. dalam cengkeraman Rio yang makin kuat, ia hanya bisa melolong dan meronta dalam waktu lama.
Sabar Rio menahan dan mengikuti gerak liar Praptiwi yang makin lama makin melemah.
Perlahan Rio menjemba rambut Praptiwi dan menghadapkannya ke arah langit timur..
yang baru saja mendapat sapaan hangat matahari pagi.
”Pandang matahari itu.. dan cari tau siapa Mbak Praptiwi sebenarnya. Mbak Prap bukanlah ibu desa yang selembut bunga..
bukan perempuan yang bisa membedakan kearifan dan keserakahan. Mbak Prap sudah menimbulkan banyak korban..
Menumpahkan banyak darah..” kata Rio.
Praptiwi menatap rembang fajar tanpa kedip. Ia terus meronta dan meronta.
Tapi rontaan itu makin lemah dan melemas. Ia kini balik menyandarkan kepala ke dada Rio.
Rio melonggarkan cengkeramannya dan beralih memeluk hangat perempuan itu.
”Semuanya sudah berakhir, Mbak Prap. Lihat indahnya matahari pagi ini. Itu adalah matahari harapan hari ini.
Harapan bagi desa ini.. harapan untuk berhentinya angkara murka. Harapan bagi Mbak Praptiwi untuk berubah menjadi lebih baik.
Mbak Prap sebetulnya bukan perempuan jahat. Mbak Prap hanya korban keserakahan..” Rio berujar.
Praptiwi menumpuki tangan Rio yang mendekap dadanya, mendengarkan dalam diam.
”Sebentar lagi polisi datang kemari. Mbak Prap tak perlu lari.
Jika Mbak Prap mengakui semua kesalahan, semuanya akan jauh lebih mudah..”
Rio mendekap dada Praptiwi lebih kencang dan hangat.
Wanita itu menengadah.. seolah ingin mendengar suara Rio lebih jelas. Sudah pasrah dia.
”Dan..” Rio bicara dengan pipi menempel di pipi Praptiwi.. ”Saya ingin Mbak Prap tau.. saya menyukai Mbak Prap.
Saya bangga dan senang Mbak Prap menginginkan saya. Mbah Prap berhasil membuat saya terpesona..
Tapi.. Mbak Prap adalah Bu Asromo. Mbak Prap adalah ibunya Hendro. Saya ingin Mbak Prap tetap seperti itu..”
Dan makin meleleh airmata Praptiwi. Ia menangis tanpa suara. Rio tau itu tulus.
Tak lama kemudian, terdengar tapak-tapak mendekat. Polisi dan sejumlah orang berdatangan.
Rio dan Praptiwi masih menatap rembang fajar di ufuk timur.
Rio mencium pipi Praptiwi mesra satukali, dan membiarkan wajah Praptiwi merebah di lehernya.
Praptiwi memejamkan mata. Pipi Praptiwi bersimbah airmata.
Polisi.. Candi.. Asromo.. dan Danica berdiri tak jauh dari dua orang yang masih berpelukan..
menatap matahari yang makin benderang, bundar dan hangat.
------ooOoo------
Rio meneguk kopi hangat di meja di beranda rumah Si Mbah.
Sejumlah polisi baru saja menyelesaikan tanya ini-itu pada Rio, Candi, Danica, Sujarno, dan orang-orang lain.
Jam 10 pagi lebih sedikit.
Dari kejauhan Asromo tergopoh datang dengan dua orang bule berpakaian necis.
Danica tak terkejut melihat kedatangan kedua rambut jagung itu. Danica menyapa dalam bahasa Belanda.
Kedua bule itu adalah utusan dari Yayasan Kristoff von Weissernborn.
”Kabar buruk..” kata Asromo.
”Kenapa, Pak..?” Tanya Rio.
”Bukti dua carik kertas yang kau rebut dari Praptiwi itu ternyata tidak sah..” kata Asromo.
”Tidak sah..?”
”Ya..” sambung dua bule itu dalam bahasa Inggris.
”Setelah kami teliti dengan cermat, ternyata yang dianggap sebagai bukti bukanlah dua carik kertas itu..”
Rio dan Candi menunggu dua bule itu bicara lagi.
“Kedua kertas ini tidak dilukis.. tapi dicetak sebelum kemudian dipotong menjadi dua bagian persis di tengah.
Dalam wasiat von Weissernborn, baru saja kami temukan penjelasan bahwa bukti yang diperlukan adalah cetakan itu, bukan kertasnya.
Orang yang membuat cetakan itu adalah pemilik bukti itu..” lanjut salahsatu bule itu.
Candi dan Rio berpandangan dan tak kurang dari Danica minta agar penjelasan soal bukti itu diulang.
Pada saat itu tiba-tiba istri Sujarno berteriak.. “Si Mbah bicara.. Si Mbah bicara..!!”
Bergegas orang-orang menghambur ke kamar Si Mbah.
Orang tua yang selama beberapa hari hanya terbaring membisa kini mulau berkata-kata.
Airmatanya meleleh di pipi keriput. Tangan kanannya bergerak-gerak arah sebuah tugu kayu setinggi setengah meter..
berbentuk balok dengan panjang dan lebar bagian dasar 30 cm.
Tugu kayu itu, yang bagian atasnya melebar.. selama ini berada di dekat ranjang Si Mbah..
dan digunakan sebagai meja kecil untuk meletakkan air minum Si Mbah.
Tak seorang pun bisa menangkap isyarat tangan Si Mbah.
Tapi semua terhenyak ketika Si Mbah memaksakan diri untuk menyenggol rubuh meja kayu berbentuk tugu tunggal itu.
Maja itu roboh bersama dengan gelas air minum Si Mbah. Orang-orang yang hadir tak segera memahami itu.. kecuali Rio.
Rio langsung menghampiri tugu kayu itu dan memeriksa dasarnya.
”Lihat, ukiran kaliandra di dalam bulatan dengan huruf W dan P, dan angka 19 dan 40..” kata Rio.
”Ini cetakan itu..!”
Semua orang merubung tugu kayu itu.
Salah seorang bule mengais selembar kertas kosong dari tas portepel yang dibawanya.
Ia mencari-cari sesuatu untuk mengoles.
Rio punya akal. Ia membakar sumbu sebuah cublik, dan mengambil cermin kuno di dinding.
Rio kemudian membiarkan nyala api menjilati permukaan cermin untuk mendapatkan jelaga.
Si bule faham. Begitu jelaga terkumpul.. ia mengoleskan telapak tangan pada jelaga..
dan kemudian mengolesi dasar tugu berupa cetakan dengan jelaga.
Bagian dasar itu kemudian ia stempelkan ke kertas kosong.
Dan tercetaklah sebuah bundaran dengan bentuk kaliandra utuh di tengahnya..
Dibarengi huruf W di kiri dan P di kanan, angka 19 di bawah W dan angka 40 di bawah P.
Dua bule itu kemudian menyamakan hasil cetakan dengan kedua lembar kertas kusam yang selama ini menggegerkan Kemiren.
Lama mereka menelitinya. ”Ya, benar. Ini bukti itu..!” Kata salahsatu bule.
”Orang tua itu pastilah pemilik cetakan ini. Ia yang berhak atas uang hibah itu. Saya akan segera email ke Belanda..”
Orang-orang bernafas lega dan bergantian menatap hasil cetakan itu.
Tak seorang pun memperhatikan Si Mbah yang tiba-tiba tersengal-sengal.
”Si Mbah..!” Pekik Rio. Semua orang kini menoleh ke Si Mbah Parto Sumartono.
Bibir Si Mbah bergetar hebat. Dari mulutya terdengar kata-kata, ”Musssseeumm.. musseummmmmm..” guman Si Mbah.
Sejenak kemudian Si Mbah menarik nafas panjang dan akhirnya terhenti nafas itu.
”Mbah Parto..!!” Pekik Rio. Tapi Si Mbah bergeming. Tak ada embusan nafas di hidungnya.
Ia terbujur kaku. Sekilas tampak keriput menghias wajah.. tapi senyum Si Mbah mengembang di bibir.
Wajahnya damai. Rautnya teduh. Ia telah tiada.
Rio menyelinap perlahan ke luar kamar dan memandangi papan nama Si Mbah di depan rumah.
Papan itu bergoyang-goyang ditiup angin. Rio melihat cahaya terang memancar dari papan itu.
Si Mbah telah menuntaskan pekerjaan besarnya dengan baik.
Si Mbah telah memberi tuturan pada Kemiren tentang kerendahan hati.
Si Mbah telah membuat Rio menitikkan air mata.
------ooOoo------
Rio membuka halaman koran Tajuk Zaman yang baru ia beli di kios koran di ujung gang.
Tiga hari beturut-turut koran itu menurunkan berita Kemiren, semuanya tulisan Candi
‘KONSPIRASI PENJEGALAN HIBAH BELANDA’
‘UANG HIBAH DIRENCANAKAN UNTUK MERENOVASI MUSEUM PURBAKALA SESUAI WASIAT PARTO SUMARTONO’
‘MARAKNYA KERAJINAN FOSIL PURBAKALA’
‘IN MEMORIAM: PARTO SUMARTONO, ASISTEN VON WEISSERNBORN’ .. dan sebagainya ..
Seminggu ini wartawati cekatan dan tak kenal takut itu pasti terus berkutat dengan komputer di meja redaksi.
Hape di atas meja kamar kos Rio berbunyi.
“Bisa bicara dengan Rio..?” Terdengar suara dari seberang.
“Saya Rio. Ini siapa..?”
“Candi..”
“Oi.. Can..! Di mana kau..?”
“Di Bandara Juanda. Mau ke tempatmu. Boleh..?”
“Mau apa ke tempatku..?”
“Mau ngajak kamu ke Kemiren.. terus bikin feature tentang kisah cinta dua dunia..” kata Candi.
“Kisah cinta dua dunia..? Maksudmu..?”
“Ya, itu.. kisah cinta seorang mahasiswa dan ibu desa yang jauh lebih tua..”
“Sialan..! Menyindir..! Dari mana kau dapat isu itu..?”
“Ini beneran..!”
“Kalau mau nulis yang begituan, kamu berangkat aja sendiri. Aku ogah..!”
“Marah nih..!?”
“Ogah..!” Rio menutup ponsel. Dan Candi tidak menderingkan telepon itu lagi.
Rio menunggu, beberapa menit kemudian ponselnya pasti berdering lagi.
Tapi ternyata benda itu terus bungkam sampai satu jam kemudian.
Rio baru saja mandi ketika Candi sudah berdiri di pintu kamar kos. Taxi bandara baru saja menderu pergi.
"Payah..! Kau mudah marah..!” Kata Candi, langsung masuk kamar kos Rio dan menyeruput sekaleng Cocacola punya Rio.
“Bu Lurah sekarang ada di tahanan Polres di kota kabupaten. Jadi aku tak bisa mewawancarainya untuk tulisan feature ini.
Satu-satunya narasumber adalah kamu, mau ya kuwawancara..?” Kerling Candi.
“Nggak. Memangnya kau tau apa soal aku dan Bu Lurah..?”
“Praptiwi itu cinta hebat sama kamu. Ia kesengsem. Ia kasmaran..! Aku tau itu.
Ada Hansip di rumah depan rumah Si Mbah yang bilang kau ciuman dengan Bu Lurah di pagi buta itu.
Ia juga menyerah dalam pelukanmu. Kalau ia tak cinta kamu, mana bisa ia luluh begitu..” kata Candi.
“Terus..?”
“Ya nggak ada terusannya. Gitu aja, aku cuma ingin tau apa kamu juga suka dia..?”
Rio menggaruk kepala. “Aku.. gimana ya..?”
“Bilang aja kau juga suka dia, repot amat..!” Kata Candi berubah ketus. Rio tak menyahut.
Tak jelas kenapa Candi tiba-tiba membahas soal hubungan khususnya dengan Praptiwi dengan nada ketus.
“Jadi benar-benar kau mau nulis cerita kayak gitu..? Nggak ada nilai beritanya, tau..!” Kata Rio.
“Buat aku itu ada nilai beritanya..” kata Candi tersenyum.. “Hehehe.. jangan kuatir. Aku cuma bercanda, kok.
Aku nggak nulis cerita begituan..”
Candi mengeluarkan dua helai tiket pesawat dari tasnya. “Ini tiket pesawat ke Lombok, dan liburan ditanggung Tajuk Zaman.
Satu atas nama aku, satunya atas nama kamu. Berangkat nanti jam 3, pulang seminggu lagi. Siap-siap, kita jalan bareng, oke..?”
Rio diam sesaat dan mengamati tiket itu. “Berlibur sama kamu..? Berdua saja..? Kenapa kamu pikir aku mau..?” Tanya Rio.
Candi berdiri mendekati Rio. “Karena aku tau kamu suka perempuan lebih tua..” kata Candi.
Rio mengernyitkan dahi. Apa pula maksudnya ini..? Ia baru sadar pastinya Candi lebih tua beberapa tahun daripada Rio.
Pemuda itupun tersenyum. “Boleh aku tanya..?” Tanya Rio.
“Apa..?”
“Seandainya ada pemuda lebih muda jatuh cinta pada kamu, apakah kamu akan menerimanya..?”
“Tergantung..”
“Tergantung apa..?”
“Tergantung cara ia menyampaikannya..”
“Oke, kamu kan hebat dan anggota Persatuan Sok Tau Indonesia.. kamu bisa ngajari aku bagaimana caranya..?”
“Memang kau sedang jatuh cinta pada perempuan lebih tua..?” Kata Candi.
“Umurmu berapa..?” Tanya Rio.
“26..” kata Candi.
“Aku 21..″
“So..?”
“Kayaknya aku jatuh hati pada kamu. Jadi ajari aku cara mengutarakannya..” kata Rio.
“Tidak sekarang..!”
“Kapan..?”
“Nanti di Lombok..!”
“Kalau menunggu di Lombok, aku lebih suka menggunakan cara Praptiwi mengucapkan cinta padaku..” kata Rio.
“Bagaimana caranya..?” Candi memandang Rio.
“Sederhana. Begini..” perlahan Rio meraih kepala Candi dan mencium bibirnya.
Candi terkejut. Tapi ia tak berdaya, atau.. membuat dirinya tak berdaya. Ia balas ciuman Rio dengan hangat dan mesra pula.
Nafsu Rio semakin meninggi setelah kedua buah dada Candi menyentuh dadanya, terasa kenyal dan hangat.
Dia tak tahan untuk tidak memegangnya. Sambil meremas, mereka terus berciuman.
Sementara itu tangan Rio juga sudah mengelus-elus punggung.. kemudian pelan-pelan turun ke arah pantat.
Gila.. pantat Candi empuk benar. Sudah begitu, hangat pula. Rio berlama-lama mengusap di area tersebut..
Sebelum kembali memindahkan tangannya ke punggung.
Dia mengelus-elus mesra sambil lidah mereka saling berpagutan panas. Benar-benar menggairahkan.
"Tidak ada yang marah kan, kalau aku jatuh cinta sama kamu..?" Kata Rio sambil melirik nakal.
"Memangnya kamu peduli..?” Jawab Candi.
Jawaban itu, meski terkesan asal-asalan.. cukup membuat Rio tenang.
Selain itu, juga membuat birahinya semakin memuncak.
Mereka kembali berciuman. Tangan Rio kembali memegang di buah dada.
Mula-mula ia mengelus dari belakang, kemudian menjalar dari samping, terasa kenyal.
Ternyata bagian bawah buah dada Candi sudah tidak tertutup beha, gadis itu diam saja.
Rio jadi semakin lupa diri..
Gemas diremasnya seluruh buah dada Candi, dielus dan dipijit-pijitnya hingga nafas Candi semakin tidak beraturan.
"Can, boleh tanganku masuk ke dalam..?" Tanya Rio penuh harap.
“Ah.. kamu kayak nggak pernah aja..!” Candi mengangguk pelan malu-malu.
Penuh senyum Rio memasukkan tangannya dari bawah ke balik kaos.
Pertama tersentuh kulit perut Candi yang halus dan hangat, membuat pikiran Rio melayang ke mana-mana.
Semakin ke atas, akhirnya ketemu juga gunung kembar yang selama ini selalu ia rindukan.
Buah dada Candi masih sangat kencang dan bulat.
Rio menyusupkan jemari ke dalam bra, halus dan hangat terasa saat menyentuhnya.
Putingnya mungil, tapi sudah kaku dan tegang. “Ahhh..!” Candi pun melenguh.
Nafasnya semakin tak beraturan ketika jemari Rio memilin kedua putingnya.
Bra yang ia rasakan sangat mengganggu akhirnya dilepas.
Kebetulan kancing pengaitnya ada di depan, jadi mudah bagi Rio untuk menemukannya.
Setelah terbuka, tangan Rio menjadi semakin leluasa menggerayangi kedua buah dada Candi yang bulat besar.
Dia mengelus-elusnya memutar, keliling di bagian luar. Baru kemudian ia garap lagi pentil susu Candi..
yang masih sangat kecil mungil, dan seingatnya berwarna merah muda.
Rio memelintir-lintir pentil susu itu, membuat Candi semakin menggelinjang.
"Aahh.. Rio, gelii.. iiih..” pekik gadis itu.
Rio tak bisa menjawab karena nafsu birahinya semakin memuncak.
Dia hanya dapat tersenyum sambil mengecup bibir Candi berkali-kali.
Tangannya pun semakin leluasa bergerilya;
Sambil terus sibuk menggerayangi buah dada.. dia juga mengelus-elus paha putih mulus milik Candi.
Terasa halus sekali. Rio mengelusnya dari lutut.. kemudian naik sedikit sampai kira-kira 20 cm, kemudian turun lagi.
Bibir mereka terus berpagutan, sambil terus berpelukan.
"Buka, Can.." Rio mengangkat kaos putih Candi setengah badan.
Tampaklah perut putih gadis itu dan sebagian buah dada bagian bawah yang sudah tidak terbungkus beha.
Rio gembira melihat pemandangan tersebut. Dadanya bergemuruh keras..
bagai akan meledak melihat pemandangan yang demikian menakjubkan.
Disingkap sedikit.. maka nampaklah sepasang buah dada indah milik Candi, putih dan cantik..
begitu tegak menantang, menanti belaian tangan-tangan kasarnya.
Untuk sesaat lamanya Rio berdiri tertegun, tak bergerak, diam membisu.
Tak sedetik pun pandangannya terlepas dari dua buah dada indah itu.
“Kenapa..? Kok malah diam..?” Tanya Candi menyadarkan Rio dari lamunan.
"Payudara kamu bagus sekali, Can..” ujar Rio refleks. Candi pun tersenyum malu.
Dengan lembut Rio mengelusnya dari bawah.. kemudian berputar ke atas..
mengelilingi puting susu berwarna merah yang terlihat semakin menonjol.
Candi menggelinjang kegelian, tampak seluruh badannya bergoyang menahan rasa geli dan nikmat yang tak terkira.
Meski ini bukan pertamakali buah dadanya dipermainkan oleh seorang cowok, namun nafasnya seakan-akan berhenti.
Terutama ketika jemari Rio perlahan mengelus dan memutar mempermainkan puting susunya.
"Rioo.. ugh, gelii..” ujar Candi sambil mendekap tangan Rio ke arah buah dadanya.
Rio mengecup kening Candi untuk menenangkan, lalu bibir mungilnya..
kemudian ia ciumi juga leher indah Candi, ditelusuri, dijilati sampai menjadi basah.
Dan ciumannya perlahan beranjak turun ke bawah, dijilatinya buah dada Candi satu per satu.
Baru kemudian ditelusurinya buah dada indah itu dari atas memutar ke bawah..
hingga akhirnya sampai ke puting susu mungil yang sudah sangat mengeras.
Rio mengisapnya perlahan bagai anak kecil menyusu kepada ibunya.
“Aghhh..!!” Candi memejamkan mata.. seluruh badannya tampak mengejang..
terutama ketika lidah Rio mengenai kedua putingnya.
Sementara mulut bermain di buah dada, tangan Rio juga tak mau kalah.
Dia kembali meraba-raba paha putih Candi. Disingkapnya rok mini yang dipakai Candi sedikit ke atas..
Paha indah itu semakin tampak jelas dihiasi oleh bulu-bulu halus.
Tangan Rio terus bergerak ke atas.. hampir sampai ke pangkal paha. Terasa semakin hangat dan halus.
Namun tiba-tiba saja tangan Candi memegang jemari Rio yang tinggal beberapa centi mengenai kemaluannya.
"J-jangan, Rio..” desis Candi.
“Kenapa..?“ Rio terengah.
“Cepatlah berkemas. Nanti kita bisa ketinggalan pesawat. Akan kuberikan semua padamu nanti di Lombok.
Kita punya waktu seminggu penuh di sana..!”
Senyum Candi mengembang cerah sambil menutupi kembali gundukan payudaranya yang lumayan besar.
Rio meringis dan meremasnya pelan.
“Kamu memang super sialan..! Mana bisa aku menolak ajakanmu kalau begini..!”
Candi meraba penis Rio dan tertawa renyah.
E(. )n( .)D
-----------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
End of Cerita 196..!!
Sampai Jumpa di Lain Cerita.. Adios..!!