Cerita 28 – Pesona Tetangga
Part 3
Dalam keremangan cahaya lemari.. aku sadar bahwa yang terjamah olehku tak lain dan tak bukan adalah celana dalam bekas pakai.
Warnanya coklat lembut dan di bagian pinggangnya ada tulisan spidol hitam.. ‘Arissa..’
Ya sudah.. daripada nggak dapat apa-apa.. kain berbau tak jelas itupun jadi pelampiasan hasratku yang terpendam.
Nggak dapat buahnya.. dapat kulitnya juga lumayan..! Begitu aku membatin.
Sambil mulai mengocok penis aku merem-melek mengendus kain dekil itu penuh imajinasi.
Demikian semangatnya aku dalam mengendus.. sampai tidak sadar kalau mereka sudah selesai.
Pak Amin beranjak ke kamar.. sementara Rissa bangkit mendekat ke lemari. “Heh, Dek Han ngapain..!?” Bisiknya kaget.
“Hehehe.. maaf, Mbak. Habis nggak kuat melihat Mbak ngasih enak sama suami.
Ya sudah.. daripada ngenes nggak dapat isinya.. kulitnya aja aku cium-cium..” kataku berterus terang. Rissa nyengir.
“Sudah-sudah.. cepetan kamu pulang..! Suamiku udah balik.. bahaya kalau Dek Han tetap di sini..”
“Bentar, Mbak. Nanggung nih.. bentar lagi ngecrot..” Kutunjukkan penisku yang sudah panas dan berwarna coklat kemerah-merahan kepadanya.
Dengan ragu Rissa mengulurkan tangan untuk memegangnya. “Sini kubantu.. biar cepat..” Sambil berkata dia menggantikan fungsi tanganku.
Hmm.. digenggam jari lentik nan halus seperti miliknya.. dengan cepat jiwaku melayang.
Apalagi sambil mengocok dia juga membolehkan tanganku memegangi gundukan payudaranya yang kembali tertutup baju panjang dan jilbab lebar.
“Ayo, cepetan. Jangan lama-lama..” bisiknya takut-takut karena bisa saja sang suami keluar dari kamar detik itu juga.
“I-iya.. bentar lagi. Rasanya sudah di ujung. Enak. Teruskan, Mbak. Jangan berhenti..” aku merintih.
“Sudah, jangan banyak omong. Cepat keluarin..” sahutnya gemas.
Dan tak lama, akupun berteriak tertahan.. “Oughhh.. Mbak..!!”
Kupencet payudara kuat-kuat saat spermaku menyembur deras membasahi tangannya.. juga meleleh di paha dan perutku.
Aku terengah-engah.. badan rasanya ringan.. sementara Rissa mengelap spermaku dengan menggunakan ujung jilbabnya hingga bersih..
“Sudah.. sekarang kamu pulang..” katanya mendesak.
Akupun bangkit dan tak lupa meremas gundukan payudaranya untuk yang terakhirkali sebelum melangkah pelan menuju pintu.
“Terimakasih ya, Mbak..” bisikku.. “Pengen deh bisa nyusu di sini..”
Dia nyengir..” Iya kapan-kapan, sekarang Dek Han balik dulu sana..” Rissa menyingkap rok panjangnya agar bisa melepas underwearnya.
“Nih ambil sebagai kenangan-kenangan.. jangan yang coklat itu..!” Katanya sambil menyodorkan kain basah berwarna pink yang tadi ia pakai.
“Kenapa diganti..?” Aku bertanya heran.
“Yah.. karena yang kamu cium-cium itu bukan milikku. Tapi milik suamiku..!” Katanya menahan tawa.
“Huweeekk..!!!” Mendadak saja aku jadi tersedak ingin muntah.
“Pantesan.. daritadi baunya nggak jelas..”
“Hihihi..” Rissa tersenyum.. dan lekas mendorong punggungku agar pergi meninggalkan rumahnya.
Di perempatan orang-orang masih ramai agustusan. Sementara di rumah.. istriku juga masih pulas tertidur.
Aku merebahkan diri di sofa. Rasa takut, senang, puas, sekaligus juga penasaran.. bercampur di dalam batinku.
Benar-benar hari yang tidak terlupakan.
Pengalaman pertama selingkuh dengan tetangga incaran.. dan langsung hampir dipergoki sama sang suami. Pertanda apakah ini..?
Yah.. mungkin ini pertanda kalau Tuhan sebenarnya memberi jalan.. tapi tidak sekarang.
Mungkin nanti.. kalau aku terus bersabar.. begitu aku menghibur diri.
--------------
Dua hari Pak Amin berada di rumah.. berarti dua hari pula aku tidak bisa mendekati istrinya. Padahal nafsuku terus menumpuk di ubun-ubun.
Habis dikocokin kemarin dan juga bisa merasakan betapa empuk dan kenyal payudaranya.. kepalaku rasanya berasap kalau tidak mendapatkannya lagi.
Namun, tentu saja itu sangat sulit. Hingga ujung-ujungnya terpaksa kulampiaskan hasrat ini kepada Fenti istriku.
Dia sih ho-oh ho-oh saja kugarap malam-malam.. karena memang dia juga menyukainya.
Tetapi sore ini.. di saat aku lagi On lagi.. dia belum pulang dari kantor. Bikin aku jadi puyeng dan frustasi sendiri.
Seharian aku tidak menghasilkan karya apa-apa.. draf novelku masih kosong, padahal minggu depan sudah harus disetorkan.
Pikiranku telanjur kacau. Ideku buntu.. sementara nafsuku terasa semakin memuncak.
Harusnya kerja.. ujungnya seharian aku cuma mikir bodi molek istri tetangga.
Semangatku baru muncul ketika terdengar bunyi byur-byur dari belakang rumah. Bunyi orang mandi.
Pasti itu si Rissa.. memang biasanya jam segini dia mandi.
Segera aku mengambil kursi untuk kugunakan mengintip dari balik pagar. Tapi lampu kamar mandi ternyata sudah dimatikan.. dia sudah selesai.
“Sial..!” Mendesah kecewa, aku berniat untuk kembali ke dalam rumah.
Namun niatku itu kuurungkan begitu tak lama berselang pintu kamar mandi terbuka dan Rissa keluar dari dalam sana.
Biasanya dia langsung masuk ke dapur dan menghilang untuk ganti baju.. tapi sore ini lain.
Entah kenapa.. dengan santai Rissa menuju ke pekarangan belakang dan menjemur dalemannya yang tadi ia cuci di kamar mandi.
Aku terus mengintai.. kuperhatikan handuk hijau yang ia lilitkan di badan seperti kemben.
Melihat pundak serta sebagian pahanya yang putih mulus rasa cekot-cekot di selangkanganku jadi makin tak tertahankan.
Istriku pulangnya masih lama, apa enaknya aku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini ya..?
Berpikir seperti itu aku jadi tidak waspada; kepalaku melongok terlalu panjang hingga Rissa bisa melihatku.
“Heh, Dek Han ngapain..?” Sapanya sambil mencantolkan beha warna putih tulang ke tali jemuran.
“Eh.. enggak. Enggak. Cuma nyari kucing..” jawabku bodoh.
“Beneran cuma nyari kucing..?” Dia tersenyum mengejek..
“Nggak nyari yang lain..?” Candanya.
“Emang nyari apaan..?”
“Nyari aku misalnya..” Dan dia tertawa.
Aku ikut tertawa.. sambil terus kupandangi tubuh sintalnya yang terlihat begitu menggoda.
Andai tidak ada Pak Amin.. aku tentu sudah meloncat ke sana untuk mendapatkan santapan lezat.
Tapi selain ada sang suami.. ini bentar lagi juga jamnya Fenti pulang. Benar-benar waktu yang tidak tepat.
“Heh, itu ngapain burungnya dipegang-pegang..?” Tegur Rissa melihat tanganku yang mengelus-elus selangkangan.
“Ah, nggak tahu ini. Gatel banget daritadi..” kataku sok tahu.
Nekad.. kuperlihatkan tonjolan penisku yang sudah menegang kepadanya.
“Kayak sesak gitu.. kenapa nggak dikeluarin aja..?” Dia bertanya.. tatap matanya seperti terpesona.
“Nggak ah, nanti dicakar kucing..” Aku jual mahal. Kulihat dia mendesah kecewa.. dan kemudian..
“Gimana kalau begini..?”
Tanpa aba-aba sebelumnya.. Rissa menurunkan sedikit lilitan handuknya; memperlihatkan sebagian tonjolan payudaranya yang begitu sintal kepadaku.
Sedikit ke bawah lagi aku pasti bisa melihat putingnya..! Tapi sayang Rissa tidak melakukannya.
“Dek Han suka..?” Tanyanya menggoda.
Gila..! Ini bukan mimpi kan..? Kucoba untuk menggigit bibir. Ternyata sakit. Ini beneran.
Maka aku melotot agar bisa melihat semakin jelas. Bongkahan payudaranya nampak sangat menonjol.. membentuk dua lekukan bukit yang begitu curam.
Warnanya putih bersih, malah cenderung menyilaukan karena saking mulusnya.
“Ehm..” Di saat aku masih melongo dan terkagum-kagum.. kulihat Rissa mengangguk pelan.
Tanpa perlu diberitahu aku sudah mengerti apa yang ia inginkan.
Maka pelan kubuka ritsleting celana dan kukeluarkan penisku yang sudah mengacung keras.
Rissa mendelik saat melihatnya.. namun kemudian tersenyum lebar. “Iya..” menggumam pelan.. dia kemudian menyingkap lagi kain handuknya.
Hanya sedikit.. dan cuma yang sebelah kanan.. tapi itu sudah cukup untuk membuat salahsatu bongkahan payudaranya meloncat keluar.
Amboi indahnya.. Putingnya tampak mengacung tegak, berwarna coklat muda kemerahan dengan aerola melebar cantik seukuran koin.
Benda yang subur itu kelihatan begitu kenyal.. menonjol besar seakan menantang.
Pelan Rissa memijit-mijitnya sambil matanya tak berkedip menatap penisku.
Hm.. jadi begitu ya..? Mengangguk mengerti.. pelan aku mulai mengocok penis.
Hanya dibatasi oleh tembok dan jarak kami cuma tiga meter.. aku onani sambil memperhatikan tubuh sintalnya.
Beberapakali Rissa menoleh ke dapur.. mengawasi keadaan sekitar, takut dipergoki oleh sang suami.
“Hhh.. hhh..” bernapas terengah-engah.. dia terus memijat-mijat bulatan payudaranya.
Jarinya dengan kasar menyentuh-nyentuh ujung putingnya hingga menjadi sangat kaku dan keras.
Entah di mana Pak Amin sekarang hingga ia berani berbuat seperti itu.
Aku tidak berniat untuk mencari tau.. karena aku pun mulai merasakan sedikit geli tapi enak sekali.
Selain pegalku di bagian kaki dan paha mulai sedikit berkurang.. aku juga mulai melayang.
Kumiringkan sedikit tubuhku sambil agak membungkuk agar ujung penisku tepat mengarah ke matanya.
Rissa yang sudah paham.. perlahan mendekat ke arahku. Ingin aku meraih tubuhnya, tapi ada tembok tinggi yang menghalangi.
Jadi aku hanya memandanginya saja sambil terus mengocok cepat.
“Hhh.. hh..” Kulihat dia sudah bergetar.. namun terus mengurut dada kanannya.
Sensasi semi telanjang di tempat terbuka sambil menatap penisku yang sudah hampir meludah.. ditambah ketakutan akan dipergoki oleh sang suami.. membuat Rissa mendapat kepuasan dalam waktu cepat.
Tanpa perlu memegang memek.. dia terkejang-kejang saat air cintanya mengucur deras. Rissa menggigit bibir agar teriakan nikmatnya teredam.
Sementara aku yang melihat.. jadi ikut tak tahan. Cepat kumuntahkan seluruh cairanku tepat mengarah ke mukanya.
Rissa yang belum siap sempat terkaget-kaget juga. Namun berikutnya ia menerima dengan senang hati.
Malah semua pejuhku dibiarkannya mengalir di wajahnya yang cantik.
“T-terimakasih, Mbak..” kataku terengah-engah. Penisku masih tegang, namun sudah mulai lunglai.
Rissa menyingkirkan cairanku yang menutup di lubang hidungnya agar bisa bernapas.
“Baunya aneh..” dia nyengir, dan lekas ngacir ke kamar mandi.
“Haduh.. jadi mandi lagi nih..” katanya jenaka.
Aku cuma tersenyum saja dan turun dari kursi dengan kaki lemas.
Sebentar aku duduk bersandar di pagar belakang untuk memulihkan diri. Ada SMS masuk, dari istriku..
“Yah, maaf ya. Bunda agak malam pulangnya. Ada acara perpisahan teman..”
“Ah, sial..!” Aku meradang.. Kenapa baru SMS sekarang..?
Tau gitu.. kusempatkan loncat nyamperin Rissa tadi.. lumayan dapat-dapat setengah jam..! Aku menggeram gemas.
Tapi sesal kemudian tak ada gunanya. Hari sudah telanjur gelap.
Mungkin ini takdir.. belum waktunya bagiku untuk benar-benar menikmati tubuh sintalnya.
Namun kalau dipikir-pikir barusan juga sudah lumayan. Jalan untuk menuju perselingkuhan, terbentang sangat lebar.
Rissa sudah tidak malu-malu lagi.. sementara aku begitu berharap sekali. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Pikiranku jadi sedikit tenang.. maka aku menunggu kedatangan istriku dengan tidak terburu-buru.
Sehabis mandi aku tidur-tiduran dengan hati masih penasaran.
Hari ini cuma bisa mengintip dan onani bareng.. itupun cuma lima menit. Next time betterlah.
Kalau perlu, besok pagi-pagi aku standby lagi setelah Fenti berangkat kerja. Bangun harus pagi..!
Begitu aku bertekad hingga waktu berlalu.. dan tak terasa aku malah ketiduran beneran.
Di saat lagi asyik terlelap.. tau-tau badanku diguncang-guncang oleh seseorang.
“Dek Han, bangun.. saya kesepian, Dek..!” Begitu bisikan itu mendesah.
“Hah! Apa..!?” Geragapku serasa tak percaya. Mencoba untuk membuka mata, tapi rasanya masih pliket..
“Hah..? Mbak Rissa..!?” Seruku kaget begitu mata ini terbuka. Mendadak sekali.
Aku celingukan.. kok bisa-bisanya tengah malam ada bisikan lembut yang mengundang seperti ini.
“Iya, Dek Han. Ini aku.. tetanggamu yang selama ini selalu kamu impikan..” Rissa mengikik tertahan.
“Fenti, Fenti.. mana..?” Aku memeriksa.
“Ssst.. jangan berisik. Dia masih belum pulang. Saya lihat lampu depan menyala terang benderang, ya udah, saya nyelinap ke sini aja mumpung suami juga lagi nggak ada..” kata Rissa.
“Nanti kalau istriku mendadak pulang, gimana..?” Tanyaku waswas.
“Tenang aja.. pintunya udah aku kunci..” bisiknya mesra.
“Hah..! Eh, sst.. ya udah, yuk main kuda-kudaan..?” Kataku semangat.
“Siapa takut..!?” Rissa segera pasang posisi.
Tanpa disuruh.. dia sudah menyuguhkan hidangan yang siap disantap.
Bahkan dia membantu menyiapkan serbet dan membantu mengatur posisi dudukku dengan begitu mesranya.
“Bener boleh..?” Kataku ragu menjelang puncak acara.
“Cepetan deh..!” Jawab Rissa gemas.
“Bener ini nggak apa-apa..?” Aku bertanya sekali lagi.
“Idih.. iya. Rada ngilu sih, tapi ngilu enak. Hihihi..” dia mendesah.
Dan aku pun jadi idiot mendadak. Sama sekali tidak menyangka bahwa tanpa harus ditelepon.. hidangan cepat saji ternyata bisa datang sendiri dari tetangga sebelah.
“Makasih ya, Mbak, kamu pengertian banget..”
“Iyalah. Kita kan saling menyayangi..” kata Rissa tersengal saat kuremas-remas tonjolan buah dadanya.
ASI langsung terpancar dari ujungnya yang runcing.
“Lagipula, aku udah nggak tahan Jablai, Dek..” katanya sambil menikmati detik demi detik isapanku yang sekarang menyusu rakus seperti bayi kecil.
“Kumasukkan sekarang, ya..? Mbak Rissa, oh.. oh.. Mbak Rissa..” aku mengerang.. dan saat dia membuka jalan segera kuluncurkan pesawat tempurku.
Namun mendadak.. Dzig..! Wadaw..!!! Tahu-tahu aku merasa ngilu yang amat cleng-clengan. Kok aneh..? Walah..!
Ya jelas aneh..! Ini ternyata cuma mimpi. Oh, hahaha.. tentu saja itu cuma mimpi.
Manalah mungkin seorang Rissa yang jelita dan sopan.. rela repot-repot menyelinap hanya sekedar untuk menyuguhkan hidangan cepat saji kepada seekor kadal seperti diriku..?
Waduh.. tapi ini sakitnya sakit beneran. Aku loading.. dan sekejap kemudian baru sadar kalau ada seseorang yang sudah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelahku.
Itu Fenti. Barusan aku telah disodok telak olehnya.
“Bunda mukul ayah ya..?” Kuajukan pertanyaan tolol.
“Udah jelas iya..! Pake nanya..!” Dia bersungut-sungut, masih memakai pakaian kerjanya.
Hmm.. baru pulang rupanya.
“Dalam rangka apa..?” Aku bertanya lagi, masih belum ngeh 100%
“Dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia..!” Ketusnya.
“Walah..? Sejak kapan Bunda jadi panitia agustusan..?” Aku bangkit berdiri.
“Ya sejak ayah ngelindur nyebut-nyebut nama Rissa.. Rissa..” kata istriku.
“Hah..? Siapa yang nyebut siapa..?” Aku mencoba ngeles.
“Rissa itu siapa..? Istrinya Pak Amin yang cantik itu, ya..?” Dia menuduh.
“Hah..! Rissa..? Oh.. Bunda tuh. Orang lagi mimpi digangguin..” aku nyengir.
“Mimpi bercintaan sama Mbak Rissa, ya..?” Dia makin melotot.
“Bukan. Waduh.. Bunda tuh cantik tapi kok tulalit sih. Tadi itu.. hmm.. ayah mimpi bercintaan sama bunda.
Pas lagi bilang asyik, asyik.. dzig..! Malah Bunda sodok..!” Aku berkilah dengan sebisa-bisa.
Walau mimpi itu bunganya tidur.. tapi kalau terlalu berbunga-bunga.. istri tidaklah perlu diberitahu agar situasi tetap aman terkendali.
Bukankah benar begitu..?
“Ya udah, tidur lagi sana. Bunda mau ganti baju dulu..!” Fenti melepas jilbab ungunya.
“Eh.. Bunda..!” Aku memanggil.
“Apa..?” Dia menjawab tanpa menoleh.
“Nanggung udah bangun, kita mesra-mesraan yuk..!” Ajakku bercanda.
“Hah..!? Ayah tuh.. kan tadi pagi sudah.. kok duakali sih..?” Jawabnya.
“Ya.. kalo duakali memangnya kenapa, nggak ada pembatasan kuota, kan..?”
Aku bangkit dan mendekatinya, lalu memeluknya mesra dari arah belakang.
Kupandangi wajah cantiknya yang kini tak tertutup jilbab.
“Kuota..? Emangnya ekspor garmen..?”
Dia tersenyum.. dan tak keberatan saat aku mulai meraba-raba tonjolan buah dadanya.
“Nah itulah.. karena nggak ada pembatasan kuota, jadi Ayah minta sekali lagi..”
Pelan.. kulolosi kancing bajunya satu per satu.
“Ya udah. Tapi cepetan ya, jangan lama-lama. Bunda capek..” dia berkata.
Aku pun langsung beraksi; kulepas semua kain yang membungkus di tubuh sintalnya.. lalu kubaringkan dia di kasur.
Tapi, saat akan menyodok batangku ternyata tidak begitu perkasa.
Tetap keras sih.. tapi masih kurang. Nafsu besar tapi tenaga loyo. Ujungnya bikin Fenti jadi geram.
“Ayaah.. idih, kok lama sekali sih gocekannya..?” Dia memprotes.. merasa keberatan terus kutindih tapi tak kunjung aku tusuk.
“Ini tuh gara-gara sodokan Bunda tadi. Suami bukannya dikasih enak.. malah digalakin. Begini nih jadinya..” kilahku.
“Ssst. Udah deh. Nggak usah banyak diskusi. Dingin ta'uk kalo lama-lama begini..?”
Dia menunjuk tubuh sintalnya yang telanjang yang putingnya kini tengah kuemut-emut mesra.
“Lagipula, kalo ayah nggak kelar-kelar, ujungnya kita bisa begadang sampai pagi. Kata Bang Haji Rhoma Irama: begadang jangan begadang, kalo tiada artinya..!”
“Tuh, kan.. Bunda bilang jangan banyak diskusi, tapi malah Bunda yang nyerocos nggak berhenti-berhenti..” aku nyengir..
“Dan lagipula, sejak kapan Bunda suka lagu dangdut..?”
“Idih! Ayah ini mau wawancara atau mau ngajak bercinta sih..!?” Dia manyun.
Gawat kalau begini. Maka lekas aku aku mengokohkan kuda-kuda dengan susah payah.
Awalnya memang tetap sulit.. tapi begitu memandangi ragawi Fenti yang memang sangat sempurna.. juga sambil membayangkan tubuh montok Rissa yang beberapa hari ini terus menggoda.. akhirnya hasrat itu pun menggelegak juga.
“Waduh.. kirain Ayah beneran nggak bisa..” Fenti memekik senang saat batangku perlahan mulai meluncur masuk.
Aku tak menjawab.. karena tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk diskusi lagi.
Maka gedebuk.. gedebak..! Gedebuk.. gedebak..! Gedebuk.. gedebak..! Kulampiaskan segala dendam rindu dengan menggebu-gebu.
Sampai akhirnya Fenti pun meronta sambil meraung hebat.. dan menggeletar. Dia orgasme.. dan spontan tersungkur dengan badan lemas namun sangat puas.
“Bun, Bunda.. bangun..” kutepuk-tepuk pipinya.
“Hah..! A-ada apa..?” Jawabnya linglung.
“Tahan bentar. Jangan keburu tidur dulu, ayah kan belum..” Aku menghela nafas.
“Eh, iya. Maaf. Nggak sengaja..” Kasihan melihatku.. Fenti segera menyiapkan dirinya lagi.
“Ayo, mau dilanjutin apa enggak..?” Tantangnya.
“Siapa takut..?” Aku pun langsung tancap gas.. sementara Fenti menggigit bibirnya untuk menahan rasa geli.
Dan tak lama, aku pun meledak menyusulnya.
“Trims ya, Bun..” bisikku sambil memeluk dan menciumi puncak kepalanya.
Dia hanya mengangguk saja dan kemudian tertidur pulas dalam pelukanku.
-----
Besok paginya.. pas aku bangun Fenti sudah tidak berada di kasurnya. Padahal saat itu baru jam lima pagi.
Aku pun celingukan memeriksa setiap sudut kamar. Yang ada cuma catatan secuil.
“Yah, maaf. Bunda musti ke kantor pagi-pagi, ada rapat penting. Sarapan sudah ada di meja. Assalamu’alaikum..!” Begitu tertulis di situ.
“Hati-hati, Yah. Pot kembang di teras jangan diberantakin lagi..!”
“Arrggghhh..!!!” Aku meraung.. “Apa pentingnya sih pot kembang di teras..!?”
Suntuk.. aku langsung gelinjangan gangnam style untuk melampiaskan gemas.
Dengan menahan geram aku lalu mencari-cari handuk dan bersiap untuk mandi.
Di saat sedang galau begitu.. tau-tau dari arah belakang rumah terdengar bunyi orang mandi.
Ngapain tuh si Rissa pagi-pagi udah mandi..? Aku mikir sejenak.
Tapi kemudian pikiran isengku muncul lagi.. Siapa tahu dapat enak kayak yang kemarin.. begitu aku membatin.
Maka lekas aku naik ke tempat strategis yang biasanya.. tapi lantas kecewa.
Haduh.. kenapa yang muncul malah si gorila..?
Sudah kadung berharap dapat pemandangan indah.. tak tahunya malah Pak Amin yang bersiul-siul keluar dari kamar mandi.
Dia membalut tubuhnya yang segede gajah itu dengan handuk putih dekil selutut.
Lemas.. aku pun turun dari pagar.
Mengintai cuma untuk dapat bayang-bayang semu.. tau-tau ada empuk-empuk nggak jelas dan bau nggak jelas yang kepegang tangan.
Miauww..! Si Kucing meloncat kaget.. tapi rupanya.. sebelum pergi dia sudah meninggalkan ranjau darat di atas pagar.
Dan sekarang, adonan lengket itu menempel di tanganku. Kampret..!! Buru-buru aku ngibrit lari ke kamar mandi.
Nggak dapat enak malah apes. Nasib-nasib.
“Assalamu’alaikum.. Mas, kita ke rumah Pak RW, yo..” tahu-tahu Ustadz Lilik menyapa.. membuatku jadi terpaksa membukakan pintu depan.
Udara pagi terasa sejuk masuk ke dalam rumah.. tanganku sudah wangi lagi.
“Waalaikum salam, Ustadz. Ke Pak RW dalam rangka apa..?” Aku bertanya.
“Lho, belum tahu ya..? Pak RW kan meninggal mendadak tadi malam..” katanya.
“Innalillahi..” Jadilah. Walau sebetulnya ingin menenangkan diri di rumah.. akhirnya aku pun mengikuti Ustadz Lilik melayat ke rumah Pak RW.
Saat berjalan ke rumah duka.. pikiranku mengembara. Aku ingat, selama hidupnya Pak RW itu rada-rada belang juga.
Beberapa hari lalu, aku ingat, saat kami sedang kelelahan berdua sehabis jalan pagi Pak RW berbisik-bisik..
”Dek, kemarin aku kencan sama istrinya Pak Anwar lho. Wuih.. mantab tenan. Umurnya baru 23 tahun.. namanya Taya kalo nggak salah..!
Wah.. bikin saya kayak jadi perjaka lagi..!” Begitu dia bilang.
Aku pernah ketemu sama yang namanya Taya itu. Memang jelita. Tingginya 170 lebih dan bodinya berisi seperti kuda balap.
Pak Anwar kayak kewalahan menghadapinya. Karena itu Pak RW bisa dengan mudah menggaetnya.
Aku terpekur. Apakah aku akan berhasil juga mendapatkan Rissa.. istri tetangga yang selama ini kuincar..?
Karena dalam setiap kematian itu ada nasehat bagi yang hidup.
Kehidupan Rissa sepertinya tidak jauh beda dengan Taya. Kalau aku tekun seperti Pak RW.. akankah aku bisa merasakan tubuh sintalnya..?
Entahlah.. waktu yang akan menjawab.
Setelah pulang melayat Pak RW.. tekadku semakin membaja.
Aku terus berpikir dan berpikir.. merencanakan berbagai cara agar dapat terus mendekati Rissa.
Aku harus pintar-pintar.. selain agar tak dicurigai oleh istriku.. juga agar tidak dipergoki oleh Pak Amin yang beberapa hari ini terus berada di rumah.
Kapan sih laki-laki itu balik..? Bosan rasanya aku menunggu.
Tak terasa.. Pak Ustadz Lilik yang tadi bersamaku pamit memisahkan diri ketika kami sampai di depan rumahku..
“Nggak mampir dulu, Pak..?” Aku menawari.
“Mau sih, tapi kamu seperti sedang banyak pikiran..”
“Hah, banyak pikiran..? Eng.. enggak sih. Saya cuma itu.. anu.. merasa terganggu sama kucing-kucing di atas genteng..!”
Begitu kataku, sok mengeluhkan bahwa masalah terbesar dalam hidupku saat ini adalah kucing-kucing.
“Oh, iya sih.. RW kita ini memang sedang dilanda wabah kucing yang populasinya over. Eh, tapi saya punya solusi jitu loh..! Mau pake..?”
Pak Ustadz mengangsurkan botol.
“Kucingnya dimasukin botol ini..?” Tanyaku bingung.
“Ini tuh obat tidur, Mas. Kamu 'suguhkan' saja di atas genteng. Nanti, kalau kucing-kucing itu terbius kamu tangkap.. serahkan ke saya.. nanti kita transmigrasikan kucing-kucing ke kampung sebelah yang kebetulan sedang dilanda hama tikus..!” Pak Ustadz memberi solusi jitu.
“Oo, begitu ya..” Aku pun tertawa lebar.
Tidak lama setelah Pak Ustadz pergi.. surprise-surprise.. tiba-tiba Rissa datang dengan wajah sumringah..
“Dek Han, apa kabar..?” Begitu katanya. Oh.. dia kelihatan cantik sekali hari ini.
“Oh.. hai, Mbak. Tumben kemari..?” Tanyaku grogi.
Kupandangi tonjolan buah dadanya yang kemarin sempat dipamerkan kepadaku.
Meski sekarang rapi tertutup gamis dan jilbab lebar.. tapi aku masih bisa membayangkan bentuk dan ukurannya yang super besar.
Tak sadar.. penisku pun mulai menegang kencang.
“Ini, Dek. Silakan cicipi kue bikinan saya..” kata Rissa malu-malu.
“Eh, i-iya..” Tak ingin melewatkan kesempatan baik yang tidak datang duakali itu, aku pun segera mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Pikiranku langsung korslet. Gimana enggak..? Rissa itu pesonanya bukanlah main-main.
Tukang bakso saja bisa jatuh kecemplung got kalau melihat pinggul indahnya yang sekarang berjalan mengiringiku ke ruang tamu.
Rumahku sepi.. maklum hanya ada Rissa dan aku di sana.
Memberi kesempatan padaku untuk semakin mengakrabkan diri dengan perempuan cantik itu.
Sambil ngobrol mataku berlama-lama namplok di payudara seksinya.. dan ia tampak oke-oke saja kutelanjangi seperti itu.
“Terimakasih sudah mau mampir, saya jadi ada yang menemani..” kataku gembira.
“Iya, Dek. Saya juga bingung mau ngapain. Ya akhirnya terpaksa mengisi waktu dengan bikin kue-kue nggak jelas kayak gini..”
Dia tersenyum lagi.. “Jadi harap maklum kalo rasanya nggak enak..”
”Tidak apa-apa..” kataku.. “Kukira cuma saya yang kesepian, ternyata kita sama..”
”Kesepian ketemu sama kesepian, klop juga..” Dia tertawa.
Jderr..! Aku terkejut, sempat kehilangan kata-kata karena komentarnya. Apakah ini suatu pertanda darinya..? Entahlah.
Tapi aku tidak mau terburu-buru. Kalau memang sudah takdirku untuk bisa menidurinya, semua pasti terjadi.
Jadi aku menghela napas dan bertanya.. ”Kalau sepi-sepi gini, enaknya ngapain ya..?”
Dia menatapku.. “Makan kue..” Lalu tertawa.
Sial. Dia sengaja menggodaku.
Tapi aku tidak gampang menyerah.. akan kumanfaatkan kesempatan emas ini dengan sebaik mungkin.
Maka aku segera bertanya lagi.. “Saya tahu sesuatu yang lebih enak daripada makan kue..”
Dia segera menatapku kaget dan tidak percaya, tapi tetap bertanya.. “A-apa itu..?”
Kena kau..! Kataku dalam hati..
“Makan kue sambil minum kopi..” jawabku bercanda. Dan kami tertawa secara bersama-sama.
“Gimana kue buatan saya, enak..?” Tanyanya pura-pura acuh tak acuh.. padahal sudah jelas napasnya mulai ngos-ngosan.
“Enak..” Aku segera menurunkan volume suaraku..
“Eh, Mbak, emang suami nggak keberatan Mbak main ke rumah saya..?”
”Nggak, memang kenapa..?” Tanyanya polos.
”Ya, bisa saja kan saya berbuat macem-macem sama Mbak..” terangku jujur.
”Emang Dek Handoko mau berbuat macem-macem apa..?” Tantangnya.
”Tergantung Mbak sih..” jawabku.. “Mau nggak dimacem-macemin..”
Kulihat dia tertawa gugup sebelum menjawab.. ”Kayak gimana contohnya..?”
Tanyanya sambil menatap mataku.. seperti ingin membaca apa yang ada di dalam pikiranku.
”Nyium Mbak misalnya..” kataku santai.. pura-pura kalau itu hanya candaan klise.
Dia terdiam.. tapi tetap menatap mataku. Apa aku terlalu mendesaknya ya..? Ah.. aku jadi sedikit menyesal.
Tapi jawaban selanjutnya membuatku mendesah lega.. bahkan berjingkrak karena saking senangnya.
”Kok cuma nyium..? Padahal bisa saja saya ngasih lebih kalo kamu minta..” Dia menembak.
Aku langsung menatap linglung.. “Hah, benarkah..?”
“Nggak.. saya bercanda..” Dia tertawa.. “Kita kan bukan suami-istri, Dek. Nggak boleh. Dosa..!”
“Lha.. kalo yang kemarin-kemarin itu apa..?” Desakku.
“Itu.. a-aku khilaf. Maaf..” Dia menunduk malu. Mukanya memerah.
“Tapi, saya serius. Mbak. Saya bener-bener suka sama mbak..”
Dia mendongak.. menatapku. Lalu kemudian menangis lirih secara tiba-tiba.
“Lho.. Mbak. Kenapa..?” Tanyaku bingung.
Saking bingungnya, aku sampai nggak sadar kalau sudah ambruk ke dalam pelukanku. Isak tangisnya menjadi semakin keras.
“Dek Han..” dia terus terisak-isak sambil namplok minta dibelai.
Dan ditamplok oleh ibu muda jelita begitu.. imanku yang dasarnya sudah nggak kuat, jadi makin tak terkendali.
Apalagi tanpa sadar.. tahu-tahu mereka sudah berada di dalam kamar..! Waduh, kok bisa sampe sini..? Aku makin puyeng.
“Iya.. ada apa, Mbak. Apa saya telah menyinggung perasaan Mbak..?” Tanyaku gugup.
“Bukan, Dek. Kamu nggak salah..” lirihnya.
“Lalu apa..?”
Tidak menjawab.. dia malah terus menggugu di pelukanku.
Kuusap-usap punggungnya untuk menenangkan.
Bisa kurasakan tali beha yang ada di sana.. juga bau parfumnya yang segar memabukkan.
Tanpa sadar tanganku sudah turun ke bawah untuk mengusap juga bulatan bokongnya yang sintal.. tapi sepertinya itu terlalu lancang.
Jadi kutarik lagi ke atas dan kuelus-elus kembali bagian atas tubuhnya.
Dia masih menangis.. tapi sudah tidak sekeras tadi. “Sudah, Mbak.. setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya..”
Aku tidak tahu apa masalahnya.. namun hanya itulah yang bisa kukatakan.
”Iya, Dek..” Dia berusaha mengusap air mata yang menetes di pipinya.
Kuperhatikan wajah cantiknya yang kini jadi memerah.
Ingin aku ikut mengusap airmata itu, tapi masih sungkan. Jadi aku hanya berdiri diam memperhatikan.
“Dek..” dia memanggilku.. seperti ingin berkata sesuatu tapi tidak bisa..
Aku mengangguk.. “Ya, Mbak..?”
Lama dia menatap wajahku sampai akhirnya –entah siapa yang memulai..– wajah kami saling mendekat dan bibir kami saling bersentuhan.
Dia memelukku dan aku balas memeluknya. Tanpa perlu dikatakan.. aku sudah tahu apa yang dia inginkan.
Tubuhnya memang terasa tegang.. tapi dia tidak menolak lumatanku.
Menutup mata.. Rissa memberikan bibir lembutnya untuk terus kutekan.
Kupeluk erat-erat tubuh sintalnya sampai kurasakan payudaranya yang empuk menumbuk ketat di dadaku.. kulumat habis bibirnya sambil sesekali kudorong bibirnya terpisah dengan lidahku.
Dia terlihat cukup canggung.. tapi terus menanggapi. “Mmm.. ahh..!" Bahkan dia mengerang di dalam mulutku.
Kubelai wajahnya yang masih terbungkus jilbab dengan tanganku dan menarik tubuhnya lebih dekat lagi.
Kini dia terlihat lebih rileks dengan membiarkan lidahku meluncur ke dalam mulutnya.
Aku hampir tidak bisa percaya bahwa –untuk pertamakalinya..– bisa menikmati bibir perempuan pendiam yang bahkan di dalam mimpi pun tidak pernah kubayangkan.
Tapi akhirnya.. setelah sekian lama.. aku benar-benar mendapatkannya. Aku hanya berharap mudah-mudahan ini bukan hanya mimpi.
---------
Kami terus berciuman sampai kurasakan Rissa meremas bahuku kuat-kuat. Tubuhnya gemetar saat gairah meledak melalui tubuh kami berdua.
Batang penisku sudah mengencang dan kugesek-gesekkan ke depan perutnya saat dia berbisik..
“Dek, i-ini nggak boleh..” katanya serak saat aku menatap matanya.
“Kenapa..?” Sudah kepalang basah. Aku sudah telanjur enak dan tidak ingin mundur.
Jadi tanpa menunggu jawaban.. bibirku kembali menukik turun ke mulutnya dan melumat dengan lebih rakus di sana.
Tak disangka.. Rissa juga mengimbangi dengan lebih baik.
Rupanya kata-katanya tadi hanya sekedar pemanis untuk menutupi gairahnya yang sudah meledak-ledak.
Hilang sudah wanita lembut yang sehari-hari kulihat.. kini yang ada hanya Rissa yang menggigil oleh kenikmatan dan terus mengerang-ngerang di dalam mulutku.
Aku memutuskan untuk mengambil langkah berikutnya; sambil terus melumat.. tangan kiriku meluncur untuk menangkup salahsatu gundukan payudaranya dan meremasnya ringan.
Tubuh Rissa sedikit tersentak saat merasakannya.. tapi tidak menolak. Merasa diberi jalan.. aku pun meremas dengan sedikit lebih kuat.
Baru saat itulah dia terkesiap dan menarik diri. “M-maaf, Mbak.. saya kelewatan..” kataku menyesal.. seharusnya aku tidak terburu-buru tadi.
“S-sudah, Dek. Sebaiknya kita berhenti..” katanya sambil mengambil napas dalam-dalam.
Aku berdiri terpaku di tempat. Kupandangi dia yang masih tertunduk di depanku.
Saat kulihat ia tidak bergerak.. kuberanikan diri untuk memeluknya kembali.
Rissa tidak menolak.. dan ia juga tidak bereaksi saat aku kembali menunduk untuk mencium bibirnya.. kali ini dengan lebih lambat dan dalam.
Aku tidak ingin mengulangi kesalahan. Meski sangat bernafsu.. akan kuperlakukan dia dengan lembut seperti layaknya kepada istriku sendiri.
Sekali lagi lidah kami mulai bergulat.
Dia mulai mengerang dan mengubur jari-jarinya di rambutku.. menarikku lebih dekat lagi saat lidah kami saling menari.
Ciuman kami menjadi lebih bergairah.. dengan tanganku mulai merayap lembut menjelajahi tonjolan buah dadanya.
Hanya kuremas-remas di permukaan saja, sekedar merasakan bentuk dan ukuran benda itu tanpa berani untuk berbuat lebih jauh.
Biar Rissa yang memutuskan.
“Ahh..” dia mengeluarkan erangan lembut saat aku terus mengusap dan kemudian meremasnya sedikit, rasanya benar-benar lembut dan lentur.
Tapi tak lama aku bisa merasakan bahwa seiring setiap remasan.. benda itu menjadi lebih kencang dan putingnya yang mungil mulai mengeras.
Jelas bahwa tetanggaku yang cantik ini sudah mulai terangsang.
Namun ketika kami semakin terkunci dalam ciuman penuh gairah.. tiba-tiba saja terdengar suara sang suami dari halaman rumah.
Rissa langsung tersentak dan berusaha untuk membebaskan diri dari pelukanku.
“A-aku harus pergi..” katanya gemetar sambil bergegas melangkah menjauh. Wajahnya masih memerah dan napasnya juga masih berat.
Kupandangi dia yang keluar lewat pintu depan. Huh.. sekali lagi aku gagal menikmati tubuh sintalnya.
Tapi aku sudah cukup puas.. peristiwa barusan merupakan kemajuan yang cukup berarti. Bisa menidurinya, itu lain soal.
Memang situasinya sangat tidak memungkinkan dan sepertinya terlalu cepat.
Aku harus bisa menahan nafsuku.. jalan menuju ke sana sudah ada, aku tinggal menyusurinya dengan sabar dan telaten saja.
Bagaimanapun Rissa adalah ibu rumah tangga yang sebenarnya baik.. yang bisa saja kabur kalau aku terlalu mendesak.
Jadi sepertinya cukup untuk saat ini. Aku bisa menyimpannya untuk lain waktu.. apalagi hari juga sudah beranjak sore.. sudah waktunya bagi istriku untuk pulang.
-------
Malamnya.. baru aku tahu alasan kenapa Rissa tiba-tiba berbuat nekad.
Pak Amin, suaminya.. ternyata telah selingkuh. Laki-laki itu punya istri lagi di luar kota.
“Dasar laki-laki brengsek..! Sudah nggak bisa ngaceng, masih juga main perempuan.
Sama sekali nggak bersyukur punya istri cantik dan sabar kayak bu Amin..” umpat istriku.
“Heh.. sudah-sudah. Dia yang selingkuh, kok malah Bunda yang marah..? Bu Amin aja biasa-biasa tuh sikapnya..” kataku menenangkan.
“Biasa-biasa gimana..? Bunda bisa tahu gara-gara Bu Amin kemarin cerita sambil nangis-nangis. Di depan aja dia tampak tegar.. padahal aslinya hatinya hancur..” bela istriku.
Aku terdiam. Mungkin itu sebabnya kemarin Rissa tiba-tiba menangis di dalam pelukanku. Dia teringat akan pengkhianatan suaminya.
Dan untung bagiku, karena dipilih sebagai tempat pelampiasan amarahnya. Lain kali kalau ketemu.. akan kupastikan dia mendapat penghiburan.
Kalau suaminya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, kenapa dia tidak..?
Berpikir seperti itu, akupun merangkul tubuh mulus istriku. “Yah, eh.. j-jangan..! Jangan..!” Tapi dia menolak.
“Kok gitu sih..? Ayah ‘kan suami Bunda..!”
Gagal dengan Rissa tadi siang membuat nafsuku serasa mentok di ubun-ubun.. jadi aku agak sedikit sewot saat Fenti menolak.
“Iiih.. Ayah tuh. Bunda lagi capek, nih..!” Tukasnya keras.
“Yah, apes deh..” aku berguling lemas.
“Jangan bilang gitu dong.. Ayah mesti sabar..” dia menasehati.
”Iya, iya..” Aku tiduran tengkurap membelakanginya.
Tapi pikiranku masih ke mana-mana.. desakan hasrat terasa terus menggedor-gedor dari dalam.
Sejenak kemudian.. aku pun berbalik lagi dan merengkuh tubuh indah istriku.
“Bunda sayang.. biar lagi capek, kalo sayang-sayangan masih bisa ‘kan..?” Aku berbisik.
“Iih.. kok maksa sih..? Enggak ah. Bunda beneran capek, Yah. Ini tuh udah jam sebelas lebih. Tadi kan Ayah tahu sendiri, jam sepuluh lebih Bunda baru nyampe rumah..”
Ya udah. Akhirnya aku pun tidur dengan nelangsa.
Kususupkan kepalaku ke belahan dada Fenti yang tak berkutang.. dan sambil menyusu di putingnya yang mungil akupun terlelap.
Esok paginya aku bangun dengan badan segar. Aku melihat jam, masih jam lima kurang.
Aku pun mengecup sekilas pipi istriku.. lalu ngolet-ngolet meregang otot.
Apa enaknya sholat sekarang ya..? Aku berpikir, tapi kemudian niat baik itu menguap begitu saja saat aku menajamkan telinga.
Yang kudengar bukanlah panggilan adzan.. tapi.. bunyi byur-byur dan nyanyi-nyanyi kecilnya Rissa si istri tetangga.
Walah.. sewaktu-waktu Fenti bisa bangun dan memergokinya.
Tapi, dasarnya sudah tak kuat menahan kegersangan batin. Di pagi buta, aku pun nekat berjingkat di atas pagar.
Tertolak oleh istri di malam hari.. rasanya terbayar oleh keindahan bidadari cantik yang sedang mengguyur badan di hadapannya.
Putih.. mulus sekali. Seperti buah yang matang di atas pohon. Sempurna dari segala sisi.
Kencang tak berlemak. Tertempa oleh pekerjaan rumah tangga yang tiada henti.
Keteganganku jadi semakin dahsyat karena menyadari ini adalah langkah yang penuh risiko.
Sewaktu-waktu Fenti bisa memergoki, tapi itu malah semakin bikin sensasional..!
Batangku rasanya sudah nyut-nyutan, dan tak tahan, lekas aku tarik keluar.
Lalu kukocok cepat sambil terus mengintip tubuh indah Rissa yang cemerlang di depan sana.
“Hhh.. hhh..” Selagi aku tersengal tak jelas, tahu-tahu.. Wadaw..!! Aku jatuh berguling-guling dari pagar. Gubrak..! Super heboh.
“Ayah..! Ayah..! A-ada apa..!?” Istriku yang baru bangun.. langsung datang dengan tergopoh-gopoh.
Aku pun dengan tergopoh ikut membenahi pakaian ala kadarnya.
Sejenak kemudian Fenti celingukan dengan kecurigaan menggila. “Ayah ngapain pagi buta di belakang sini..!?” Semburnya kencang.
“Eh.. i-itu.. anu.. tadi.. eh, Ayah kira.. rumah kita kemasukan maling. Makanya Ayah cek.. nggak tahunya.. ternyata cuma kucing yang habis melahirkan..!” Begitu aku beralasan.
Nyatanya.. di situ memang masih ada sisa-sisa darah kucing. Dan juga darahku sendiri karena kejedot pagar tadi.
“Iih, jijik..!” Fenti yang tak tahan lihat darah langsung masuk ke rumah.
Sementara aku cuma bengong meratapi kesialanku, atau malah keberuntungan karena nyatanya Fenti sama sekali tidak curiga.
--------------------------