Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

Cerita 28 Pesona Tetangga

Part 3


Dalam keremangan cahaya lemari.. aku sadar bahwa yang terjamah olehku tak lain dan tak bukan adalah celana dalam bekas pakai.
Warnanya coklat lembut dan di bagian pinggangnya ada tulisan spidol hitam.. ‘Arissa..’

Ya sudah.. daripada nggak dapat apa-apa.. kain berbau tak jelas itupun jadi pelampiasan hasratku yang terpendam.
Nggak dapat buahnya.. dapat kulitnya juga lumayan..! Begitu aku membatin.

Sambil mulai mengocok penis aku merem-melek mengendus kain dekil itu penuh imajinasi.
Demikian semangatnya aku dalam mengendus.. sampai tidak sadar kalau mereka sudah selesai.
Pak Amin beranjak ke kamar.. sementara Rissa bangkit mendekat ke lemari. “Heh, Dek Han ngapain..!?” Bisiknya kaget.

“Hehehe.. maaf, Mbak. Habis nggak kuat melihat Mbak ngasih enak sama suami.
Ya sudah.. daripada ngenes nggak dapat isinya.. kulitnya aja aku cium-cium..” kataku berterus terang. Rissa nyengir.

“Sudah-sudah.. cepetan kamu pulang..! Suamiku udah balik.. bahaya kalau Dek Han tetap di sini..”

“Bentar, Mbak. Nanggung nih.. bentar lagi ngecrot..” Kutunjukkan penisku yang sudah panas dan berwarna coklat kemerah-merahan kepadanya.

Dengan ragu Rissa mengulurkan tangan untuk memegangnya. “Sini kubantu.. biar cepat..” Sambil berkata dia menggantikan fungsi tanganku.

Hmm.. digenggam jari lentik nan halus seperti miliknya.. dengan cepat jiwaku melayang.
Apalagi sambil mengocok dia juga membolehkan tanganku memegangi gundukan payudaranya yang kembali tertutup baju panjang dan jilbab lebar.

“Ayo, cepetan. Jangan lama-lama..” bisiknya takut-takut karena bisa saja sang suami keluar dari kamar detik itu juga.

“I-iya.. bentar lagi. Rasanya sudah di ujung. Enak. Teruskan, Mbak. Jangan berhenti..” aku merintih.

“Sudah, jangan banyak omong. Cepat keluarin..” sahutnya gemas.

Dan tak lama, akupun berteriak tertahan.. “Oughhh.. Mbak..!!”
Kupencet payudara kuat-kuat saat spermaku menyembur deras membasahi tangannya.. juga meleleh di paha dan perutku.

Aku terengah-engah.. badan rasanya ringan.. sementara Rissa mengelap spermaku dengan menggunakan ujung jilbabnya hingga bersih..
“Sudah.. sekarang kamu pulang..” katanya mendesak.

Akupun bangkit dan tak lupa meremas gundukan payudaranya untuk yang terakhirkali sebelum melangkah pelan menuju pintu.
“Terimakasih ya, Mbak..” bisikku.. “Pengen deh bisa nyusu di sini..”

Dia nyengir..” Iya kapan-kapan, sekarang Dek Han balik dulu sana..” Rissa menyingkap rok panjangnya agar bisa melepas underwearnya.
“Nih ambil sebagai kenangan-kenangan.. jangan yang coklat itu..!” Katanya sambil menyodorkan kain basah berwarna pink yang tadi ia pakai.

“Kenapa diganti..?” Aku bertanya heran.
“Yah.. karena yang kamu cium-cium itu bukan milikku. Tapi milik suamiku..!” Katanya menahan tawa.

“Huweeekk..!!!” Mendadak saja aku jadi tersedak ingin muntah.
“Pantesan.. daritadi baunya nggak jelas..”

“Hihihi..” Rissa tersenyum.. dan lekas mendorong punggungku agar pergi meninggalkan rumahnya.
Di perempatan orang-orang masih ramai agustusan. Sementara di rumah.. istriku juga masih pulas tertidur.

Aku merebahkan diri di sofa. Rasa takut, senang, puas, sekaligus juga penasaran.. bercampur di dalam batinku.
Benar-benar hari yang tidak terlupakan.

Pengalaman pertama selingkuh dengan tetangga incaran.. dan langsung hampir dipergoki sama sang suami. Pertanda apakah ini..?
Yah.. mungkin ini pertanda kalau Tuhan sebenarnya memberi jalan.. tapi tidak sekarang.
Mungkin nanti.. kalau aku terus bersabar
.. begitu aku menghibur diri.
--------------

Dua hari Pak Amin berada di rumah.. berarti dua hari pula aku tidak bisa mendekati istrinya. Padahal nafsuku terus menumpuk di ubun-ubun.
Habis dikocokin kemarin dan juga bisa merasakan betapa empuk dan kenyal payudaranya.. kepalaku rasanya berasap kalau tidak mendapatkannya lagi.

Namun, tentu saja itu sangat sulit. Hingga ujung-ujungnya terpaksa kulampiaskan hasrat ini kepada Fenti istriku.
Dia sih ho-oh ho-oh saja kugarap malam-malam.. karena memang dia juga menyukainya.

Tetapi sore ini.. di saat aku lagi On lagi.. dia belum pulang dari kantor. Bikin aku jadi puyeng dan frustasi sendiri.
Seharian aku tidak menghasilkan karya apa-apa.. draf novelku masih kosong, padahal minggu depan sudah harus disetorkan.

Pikiranku telanjur kacau. Ideku buntu.. sementara nafsuku terasa semakin memuncak.
Harusnya kerja.. ujungnya seharian aku cuma mikir bodi molek istri tetangga.

Semangatku baru muncul ketika terdengar bunyi byur-byur dari belakang rumah. Bunyi orang mandi.
Pasti itu si Rissa.. memang biasanya jam segini dia mandi.
Segera aku mengambil kursi untuk kugunakan mengintip dari balik pagar. Tapi lampu kamar mandi ternyata sudah dimatikan.. dia sudah selesai.

“Sial..!” Mendesah kecewa, aku berniat untuk kembali ke dalam rumah.
Namun niatku itu kuurungkan begitu tak lama berselang pintu kamar mandi terbuka dan Rissa keluar dari dalam sana.

Biasanya dia langsung masuk ke dapur dan menghilang untuk ganti baju.. tapi sore ini lain.
Entah kenapa.. dengan santai Rissa menuju ke pekarangan belakang dan menjemur dalemannya yang tadi ia cuci di kamar mandi.

Aku terus mengintai.. kuperhatikan handuk hijau yang ia lilitkan di badan seperti kemben.
Melihat pundak serta sebagian pahanya yang putih mulus rasa cekot-cekot di selangkanganku jadi makin tak tertahankan.

Istriku pulangnya masih lama, apa enaknya aku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini ya..?
Berpikir seperti itu aku jadi tidak waspada; kepalaku melongok terlalu panjang hingga Rissa bisa melihatku.

“Heh, Dek Han ngapain..?” Sapanya sambil mencantolkan beha warna putih tulang ke tali jemuran.
“Eh.. enggak. Enggak. Cuma nyari kucing..” jawabku bodoh.
“Beneran cuma nyari kucing..?” Dia tersenyum mengejek..

“Nggak nyari yang lain..?” Candanya.
“Emang nyari apaan..?”

“Nyari aku misalnya..” Dan dia tertawa.
Aku ikut tertawa.. sambil terus kupandangi tubuh sintalnya yang terlihat begitu menggoda.

Andai tidak ada Pak Amin.. aku tentu sudah meloncat ke sana untuk mendapatkan santapan lezat.
Tapi selain ada sang suami.. ini bentar lagi juga jamnya Fenti pulang. Benar-benar waktu yang tidak tepat.

“Heh, itu ngapain burungnya dipegang-pegang..?” Tegur Rissa melihat tanganku yang mengelus-elus selangkangan.

“Ah, nggak tahu ini. Gatel banget daritadi..” kataku sok tahu.
Nekad.. kuperlihatkan tonjolan penisku yang sudah menegang kepadanya.

“Kayak sesak gitu.. kenapa nggak dikeluarin aja..?” Dia bertanya.. tatap matanya seperti terpesona.
“Nggak ah, nanti dicakar kucing..” Aku jual mahal. Kulihat dia mendesah kecewa.. dan kemudian..

“Gimana kalau begini..?”
Tanpa aba-aba sebelumnya.. Rissa menurunkan sedikit lilitan handuknya; memperlihatkan sebagian tonjolan payudaranya yang begitu sintal kepadaku.
Sedikit ke bawah lagi aku pasti bisa melihat putingnya..! Tapi sayang Rissa tidak melakukannya.

“Dek Han suka..?” Tanyanya menggoda.
Gila..! Ini bukan mimpi kan..? Kucoba untuk menggigit bibir. Ternyata sakit. Ini beneran.

Maka aku melotot agar bisa melihat semakin jelas. Bongkahan payudaranya nampak sangat menonjol.. membentuk dua lekukan bukit yang begitu curam.
Warnanya putih bersih, malah cenderung menyilaukan karena saking mulusnya.

“Ehm..” Di saat aku masih melongo dan terkagum-kagum.. kulihat Rissa mengangguk pelan.
Tanpa perlu diberitahu aku sudah mengerti apa yang ia inginkan.
Maka pelan kubuka ritsleting celana dan kukeluarkan penisku yang sudah mengacung keras.

Rissa mendelik saat melihatnya.. namun kemudian tersenyum lebar. “Iya..” menggumam pelan.. dia kemudian menyingkap lagi kain handuknya.
Hanya sedikit.. dan cuma yang sebelah kanan.. tapi itu sudah cukup untuk membuat salahsatu bongkahan payudaranya meloncat keluar.

Amboi indahnya.. Putingnya tampak mengacung tegak, berwarna coklat muda kemerahan dengan aerola melebar cantik seukuran koin.
Benda yang subur itu kelihatan begitu kenyal.. menonjol besar seakan menantang.
Pelan Rissa memijit-mijitnya sambil matanya tak berkedip menatap penisku.

Hm.. jadi begitu ya..? Mengangguk mengerti.. pelan aku mulai mengocok penis.
Hanya dibatasi oleh tembok dan jarak kami cuma tiga meter.. aku onani sambil memperhatikan tubuh sintalnya.
Beberapakali Rissa menoleh ke dapur.. mengawasi keadaan sekitar, takut dipergoki oleh sang suami.

“Hhh.. hhh..” bernapas terengah-engah.. dia terus memijat-mijat bulatan payudaranya.
Jarinya dengan kasar menyentuh-nyentuh ujung putingnya hingga menjadi sangat kaku dan keras.
Entah di mana Pak Amin sekarang hingga ia berani berbuat seperti itu.

Aku tidak berniat untuk mencari tau.. karena aku pun mulai merasakan sedikit geli tapi enak sekali.
Selain pegalku di bagian kaki dan paha mulai sedikit berkurang.. aku juga mulai melayang.
Kumiringkan sedikit tubuhku sambil agak membungkuk agar ujung penisku tepat mengarah ke matanya.

Rissa yang sudah paham.. perlahan mendekat ke arahku. Ingin aku meraih tubuhnya, tapi ada tembok tinggi yang menghalangi.
Jadi aku hanya memandanginya saja sambil terus mengocok cepat.

“Hhh.. hh..” Kulihat dia sudah bergetar.. namun terus mengurut dada kanannya.

Sensasi semi telanjang di tempat terbuka sambil menatap penisku yang sudah hampir meludah.. ditambah ketakutan akan dipergoki oleh sang suami.. membuat Rissa mendapat kepuasan dalam waktu cepat.

Tanpa perlu memegang memek.. dia terkejang-kejang saat air cintanya mengucur deras. Rissa menggigit bibir agar teriakan nikmatnya teredam.
Sementara aku yang melihat.. jadi ikut tak tahan. Cepat kumuntahkan seluruh cairanku tepat mengarah ke mukanya.

Rissa yang belum siap sempat terkaget-kaget juga. Namun berikutnya ia menerima dengan senang hati.
Malah semua pejuhku dibiarkannya mengalir di wajahnya yang cantik.

“T-terimakasih, Mbak..” kataku terengah-engah. Penisku masih tegang, namun sudah mulai lunglai.

Rissa menyingkirkan cairanku yang menutup di lubang hidungnya agar bisa bernapas.
“Baunya aneh..” dia nyengir, dan lekas ngacir ke kamar mandi.

“Haduh.. jadi mandi lagi nih..” katanya jenaka.
Aku cuma tersenyum saja dan turun dari kursi dengan kaki lemas.

Sebentar aku duduk bersandar di pagar belakang untuk memulihkan diri. Ada SMS masuk, dari istriku..
“Yah, maaf ya. Bunda agak malam pulangnya. Ada acara perpisahan teman..”

“Ah, sial..!” Aku meradang.. Kenapa baru SMS sekarang..?
Tau gitu.. kusempatkan loncat nyamperin Rissa tadi.. lumayan dapat-dapat setengah jam..!
Aku menggeram gemas.

Tapi sesal kemudian tak ada gunanya. Hari sudah telanjur gelap.
Mungkin ini takdir.. belum waktunya bagiku untuk benar-benar menikmati tubuh sintalnya.

Namun kalau dipikir-pikir barusan juga sudah lumayan. Jalan untuk menuju perselingkuhan, terbentang sangat lebar.
Rissa sudah tidak malu-malu lagi.. sementara aku begitu berharap sekali. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Pikiranku jadi sedikit tenang.. maka aku menunggu kedatangan istriku dengan tidak terburu-buru.

Sehabis mandi aku tidur-tiduran dengan hati masih penasaran.
Hari ini cuma bisa mengintip dan onani bareng.. itupun cuma lima menit. Next time betterlah.

Kalau perlu, besok pagi-pagi aku standby lagi setelah Fenti berangkat kerja. Bangun harus pagi..!
Begitu aku bertekad hingga waktu berlalu.. dan tak terasa aku malah ketiduran beneran.

Di saat lagi asyik terlelap.. tau-tau badanku diguncang-guncang oleh seseorang.
“Dek Han, bangun.. saya kesepian, Dek..!” Begitu bisikan itu mendesah.
“Hah! Apa..!?” Geragapku serasa tak percaya. Mencoba untuk membuka mata, tapi rasanya masih pliket..

“Hah..? Mbak Rissa..!?” Seruku kaget begitu mata ini terbuka. Mendadak sekali.
Aku celingukan.. kok bisa-bisanya tengah malam ada bisikan lembut yang mengundang seperti ini.

“Iya, Dek Han. Ini aku.. tetanggamu yang selama ini selalu kamu impikan..” Rissa mengikik tertahan.
“Fenti, Fenti.. mana..?” Aku memeriksa.

“Ssst.. jangan berisik. Dia masih belum pulang. Saya lihat lampu depan menyala terang benderang, ya udah, saya nyelinap ke sini aja mumpung suami juga lagi nggak ada..” kata Rissa.

“Nanti kalau istriku mendadak pulang, gimana..?” Tanyaku waswas.
“Tenang aja.. pintunya udah aku kunci..” bisiknya mesra.

“Hah..! Eh, sst.. ya udah, yuk main kuda-kudaan..?” Kataku semangat.
“Siapa takut..!?” Rissa segera pasang posisi.

Tanpa disuruh.. dia sudah menyuguhkan hidangan yang siap disantap.
Bahkan dia membantu menyiapkan serbet dan membantu mengatur posisi dudukku dengan begitu mesranya.

“Bener boleh..?” Kataku ragu menjelang puncak acara.
“Cepetan deh..!” Jawab Rissa gemas.

“Bener ini nggak apa-apa..?” Aku bertanya sekali lagi.
“Idih.. iya. Rada ngilu sih, tapi ngilu enak. Hihihi..” dia mendesah.

Dan aku pun jadi idiot mendadak. Sama sekali tidak menyangka bahwa tanpa harus ditelepon.. hidangan cepat saji ternyata bisa datang sendiri dari tetangga sebelah.

“Makasih ya, Mbak, kamu pengertian banget..”
“Iyalah. Kita kan saling menyayangi..” kata Rissa tersengal saat kuremas-remas tonjolan buah dadanya.
ASI langsung terpancar dari ujungnya yang runcing.

“Lagipula, aku udah nggak tahan Jablai, Dek..” katanya sambil menikmati detik demi detik isapanku yang sekarang menyusu rakus seperti bayi kecil.

“Kumasukkan sekarang, ya..? Mbak Rissa, oh.. oh.. Mbak Rissa..” aku mengerang.. dan saat dia membuka jalan segera kuluncurkan pesawat tempurku.

Namun mendadak.. Dzig..! Wadaw..!!! Tahu-tahu aku merasa ngilu yang amat cleng-clengan. Kok aneh..? Walah..!
Ya jelas aneh..! Ini ternyata cuma mimpi. Oh, hahaha.. tentu saja itu cuma mimpi.

Manalah mungkin seorang Rissa yang jelita dan sopan.. rela repot-repot menyelinap hanya sekedar untuk menyuguhkan hidangan cepat saji kepada seekor kadal seperti diriku..?

Waduh.. tapi ini sakitnya sakit beneran. Aku loading.. dan sekejap kemudian baru sadar kalau ada seseorang yang sudah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelahku.
Itu Fenti. Barusan aku telah disodok telak olehnya.

“Bunda mukul ayah ya..?” Kuajukan pertanyaan tolol.
“Udah jelas iya..! Pake nanya..!” Dia bersungut-sungut, masih memakai pakaian kerjanya.
Hmm.. baru pulang rupanya.

“Dalam rangka apa..?” Aku bertanya lagi, masih belum ngeh 100%
“Dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia..!” Ketusnya.

“Walah..? Sejak kapan Bunda jadi panitia agustusan..?” Aku bangkit berdiri.
“Ya sejak ayah ngelindur nyebut-nyebut nama Rissa.. Rissa..” kata istriku.

“Hah..? Siapa yang nyebut siapa..?” Aku mencoba ngeles.
“Rissa itu siapa..? Istrinya Pak Amin yang cantik itu, ya..?” Dia menuduh.

“Hah..! Rissa..? Oh.. Bunda tuh. Orang lagi mimpi digangguin..” aku nyengir.
“Mimpi bercintaan sama Mbak Rissa, ya..?” Dia makin melotot.

“Bukan. Waduh.. Bunda tuh cantik tapi kok tulalit sih. Tadi itu.. hmm.. ayah mimpi bercintaan sama bunda.
Pas lagi bilang asyik, asyik.. dzig..! Malah Bunda sodok..!” Aku berkilah dengan sebisa-bisa.

Walau mimpi itu bunganya tidur.. tapi kalau terlalu berbunga-bunga.. istri tidaklah perlu diberitahu agar situasi tetap aman terkendali.
Bukankah benar begitu..?

“Ya udah, tidur lagi sana. Bunda mau ganti baju dulu..!” Fenti melepas jilbab ungunya.

“Eh.. Bunda..!” Aku memanggil.
“Apa..?” Dia menjawab tanpa menoleh.

“Nanggung udah bangun, kita mesra-mesraan yuk..!” Ajakku bercanda.
“Hah..!? Ayah tuh.. kan tadi pagi sudah.. kok duakali sih..?” Jawabnya.

“Ya.. kalo duakali memangnya kenapa, nggak ada pembatasan kuota, kan..?”
Aku bangkit dan mendekatinya, lalu memeluknya mesra dari arah belakang.

Kupandangi wajah cantiknya yang kini tak tertutup jilbab.
“Kuota..? Emangnya ekspor garmen..?”

Dia tersenyum.. dan tak keberatan saat aku mulai meraba-raba tonjolan buah dadanya.
“Nah itulah.. karena nggak ada pembatasan kuota, jadi Ayah minta sekali lagi..”

Pelan.. kulolosi kancing bajunya satu per satu.
“Ya udah. Tapi cepetan ya, jangan lama-lama. Bunda capek..” dia berkata.

Aku pun langsung beraksi; kulepas semua kain yang membungkus di tubuh sintalnya.. lalu kubaringkan dia di kasur.
Tapi, saat akan menyodok batangku ternyata tidak begitu perkasa.
Tetap keras sih.. tapi masih kurang. Nafsu besar tapi tenaga loyo. Ujungnya bikin Fenti jadi geram.

“Ayaah.. idih, kok lama sekali sih gocekannya..?” Dia memprotes.. merasa keberatan terus kutindih tapi tak kunjung aku tusuk.

“Ini tuh gara-gara sodokan Bunda tadi. Suami bukannya dikasih enak.. malah digalakin. Begini nih jadinya..” kilahku.

“Ssst. Udah deh. Nggak usah banyak diskusi. Dingin ta'uk kalo lama-lama begini..?”
Dia menunjuk tubuh sintalnya yang telanjang yang putingnya kini tengah kuemut-emut mesra.

“Lagipula, kalo ayah nggak kelar-kelar, ujungnya kita bisa begadang sampai pagi. Kata Bang Haji Rhoma Irama: begadang jangan begadang, kalo tiada artinya..!”

“Tuh, kan.. Bunda bilang jangan banyak diskusi, tapi malah Bunda yang nyerocos nggak berhenti-berhenti..” aku nyengir..
“Dan lagipula, sejak kapan Bunda suka lagu dangdut..?”

“Idih! Ayah ini mau wawancara atau mau ngajak bercinta sih..!?” Dia manyun.
Gawat kalau begini. Maka lekas aku aku mengokohkan kuda-kuda dengan susah payah.

Awalnya memang tetap sulit.. tapi begitu memandangi ragawi Fenti yang memang sangat sempurna.. juga sambil membayangkan tubuh montok Rissa yang beberapa hari ini terus menggoda.. akhirnya hasrat itu pun menggelegak juga.

“Waduh.. kirain Ayah beneran nggak bisa..” Fenti memekik senang saat batangku perlahan mulai meluncur masuk.
Aku tak menjawab.. karena tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk diskusi lagi.

Maka gedebuk.. gedebak..! Gedebuk.. gedebak..! Gedebuk.. gedebak..! Kulampiaskan segala dendam rindu dengan menggebu-gebu.
Sampai akhirnya Fenti pun meronta sambil meraung hebat.. dan menggeletar. Dia orgasme.. dan spontan tersungkur dengan badan lemas namun sangat puas.

“Bun, Bunda.. bangun..” kutepuk-tepuk pipinya.
“Hah..! A-ada apa..?” Jawabnya linglung.

“Tahan bentar. Jangan keburu tidur dulu, ayah kan belum..” Aku menghela nafas.
“Eh, iya. Maaf. Nggak sengaja..” Kasihan melihatku.. Fenti segera menyiapkan dirinya lagi.

“Ayo, mau dilanjutin apa enggak..?” Tantangnya.
“Siapa takut..?” Aku pun langsung tancap gas.. sementara Fenti menggigit bibirnya untuk menahan rasa geli.
Dan tak lama, aku pun meledak menyusulnya.

“Trims ya, Bun..” bisikku sambil memeluk dan menciumi puncak kepalanya.
Dia hanya mengangguk saja dan kemudian tertidur pulas dalam pelukanku.
-----

Besok paginya.. pas aku bangun Fenti sudah tidak berada di kasurnya. Padahal saat itu baru jam lima pagi.
Aku pun celingukan memeriksa setiap sudut kamar. Yang ada cuma catatan secuil.

“Yah, maaf. Bunda musti ke kantor pagi-pagi, ada rapat penting. Sarapan sudah ada di meja. Assalamu’alaikum..!” Begitu tertulis di situ.
“Hati-hati, Yah. Pot kembang di teras jangan diberantakin lagi..!”

“Arrggghhh..!!!” Aku meraung.. “Apa pentingnya sih pot kembang di teras..!?”

Suntuk.. aku langsung gelinjangan gangnam style untuk melampiaskan gemas.
Dengan menahan geram aku lalu mencari-cari handuk dan bersiap untuk mandi.

Di saat sedang galau begitu.. tau-tau dari arah belakang rumah terdengar bunyi orang mandi.
Ngapain tuh si Rissa pagi-pagi udah mandi..? Aku mikir sejenak.
Tapi kemudian pikiran isengku muncul lagi.. Siapa tahu dapat enak kayak yang kemarin.. begitu aku membatin.

Maka lekas aku naik ke tempat strategis yang biasanya.. tapi lantas kecewa.
Haduh.. kenapa yang muncul malah si gorila..?
Sudah kadung berharap dapat pemandangan indah.. tak tahunya malah Pak Amin yang bersiul-siul keluar dari kamar mandi.
Dia membalut tubuhnya yang segede gajah itu dengan handuk putih dekil selutut.

Lemas.. aku pun turun dari pagar.
Mengintai cuma untuk dapat bayang-bayang semu.. tau-tau ada empuk-empuk nggak jelas dan bau nggak jelas yang kepegang tangan.

Miauww..! Si Kucing meloncat kaget.. tapi rupanya.. sebelum pergi dia sudah meninggalkan ranjau darat di atas pagar.
Dan sekarang, adonan lengket itu menempel di tanganku. Kampret..!! Buru-buru aku ngibrit lari ke kamar mandi.
Nggak dapat enak malah apes. Nasib-nasib.

“Assalamu’alaikum.. Mas, kita ke rumah Pak RW, yo..” tahu-tahu Ustadz Lilik menyapa.. membuatku jadi terpaksa membukakan pintu depan.
Udara pagi terasa sejuk masuk ke dalam rumah.. tanganku sudah wangi lagi.

“Waalaikum salam, Ustadz. Ke Pak RW dalam rangka apa..?” Aku bertanya.
“Lho, belum tahu ya..? Pak RW kan meninggal mendadak tadi malam..” katanya.
“Innalillahi..” Jadilah. Walau sebetulnya ingin menenangkan diri di rumah.. akhirnya aku pun mengikuti Ustadz Lilik melayat ke rumah Pak RW.

Saat berjalan ke rumah duka.. pikiranku mengembara. Aku ingat, selama hidupnya Pak RW itu rada-rada belang juga.
Beberapa hari lalu, aku ingat, saat kami sedang kelelahan berdua sehabis jalan pagi Pak RW berbisik-bisik..
”Dek, kemarin aku kencan sama istrinya Pak Anwar lho. Wuih.. mantab tenan. Umurnya baru 23 tahun.. namanya Taya kalo nggak salah..!
Wah.. bikin saya kayak jadi perjaka lagi..!” Begitu dia bilang.

Aku pernah ketemu sama yang namanya Taya itu. Memang jelita. Tingginya 170 lebih dan bodinya berisi seperti kuda balap.
Pak Anwar kayak kewalahan menghadapinya. Karena itu Pak RW bisa dengan mudah menggaetnya.

Aku terpekur. Apakah aku akan berhasil juga mendapatkan Rissa.. istri tetangga yang selama ini kuincar..?
Karena dalam setiap kematian itu ada nasehat bagi yang hidup.

Kehidupan Rissa sepertinya tidak jauh beda dengan Taya. Kalau aku tekun seperti Pak RW.. akankah aku bisa merasakan tubuh sintalnya..?
Entahlah.. waktu yang akan menjawab.

Setelah pulang melayat Pak RW.. tekadku semakin membaja.
Aku terus berpikir dan berpikir.. merencanakan berbagai cara agar dapat terus mendekati Rissa.
Aku harus pintar-pintar.. selain agar tak dicurigai oleh istriku.. juga agar tidak dipergoki oleh Pak Amin yang beberapa hari ini terus berada di rumah.
Kapan sih laki-laki itu balik..? Bosan rasanya aku menunggu.

Tak terasa.. Pak Ustadz Lilik yang tadi bersamaku pamit memisahkan diri ketika kami sampai di depan rumahku..
“Nggak mampir dulu, Pak..?” Aku menawari.
“Mau sih, tapi kamu seperti sedang banyak pikiran..”

“Hah, banyak pikiran..? Eng.. enggak sih. Saya cuma itu.. anu.. merasa terganggu sama kucing-kucing di atas genteng..!”
Begitu kataku, sok mengeluhkan bahwa masalah terbesar dalam hidupku saat ini adalah kucing-kucing.

“Oh, iya sih.. RW kita ini memang sedang dilanda wabah kucing yang populasinya over. Eh, tapi saya punya solusi jitu loh..! Mau pake..?”
Pak Ustadz mengangsurkan botol.

“Kucingnya dimasukin botol ini..?” Tanyaku bingung.

“Ini tuh obat tidur, Mas. Kamu 'suguhkan' saja di atas genteng. Nanti, kalau kucing-kucing itu terbius kamu tangkap.. serahkan ke saya.. nanti kita transmigrasikan kucing-kucing ke kampung sebelah yang kebetulan sedang dilanda hama tikus..!” Pak Ustadz memberi solusi jitu.

“Oo, begitu ya..” Aku pun tertawa lebar.

Tidak lama setelah Pak Ustadz pergi.. surprise-surprise.. tiba-tiba Rissa datang dengan wajah sumringah..
“Dek Han, apa kabar..?” Begitu katanya. Oh.. dia kelihatan cantik sekali hari ini.

“Oh.. hai, Mbak. Tumben kemari..?” Tanyaku grogi.
Kupandangi tonjolan buah dadanya yang kemarin sempat dipamerkan kepadaku.

Meski sekarang rapi tertutup gamis dan jilbab lebar.. tapi aku masih bisa membayangkan bentuk dan ukurannya yang super besar.
Tak sadar.. penisku pun mulai menegang kencang.

“Ini, Dek. Silakan cicipi kue bikinan saya..” kata Rissa malu-malu.

“Eh, i-iya..” Tak ingin melewatkan kesempatan baik yang tidak datang duakali itu, aku pun segera mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Pikiranku langsung korslet. Gimana enggak..? Rissa itu pesonanya bukanlah main-main.
Tukang bakso saja bisa jatuh kecemplung got kalau melihat pinggul indahnya yang sekarang berjalan mengiringiku ke ruang tamu.

Rumahku sepi.. maklum hanya ada Rissa dan aku di sana.
Memberi kesempatan padaku untuk semakin mengakrabkan diri dengan perempuan cantik itu.

Sambil ngobrol mataku berlama-lama namplok di payudara seksinya.. dan ia tampak oke-oke saja kutelanjangi seperti itu.
“Terimakasih sudah mau mampir, saya jadi ada yang menemani..” kataku gembira.

“Iya, Dek. Saya juga bingung mau ngapain. Ya akhirnya terpaksa mengisi waktu dengan bikin kue-kue nggak jelas kayak gini..”
Dia tersenyum lagi.. “Jadi harap maklum kalo rasanya nggak enak..”

”Tidak apa-apa..” kataku.. “Kukira cuma saya yang kesepian, ternyata kita sama..”

”Kesepian ketemu sama kesepian, klop juga..” Dia tertawa.

Jderr..! Aku terkejut, sempat kehilangan kata-kata karena komentarnya. Apakah ini suatu pertanda darinya..? Entahlah.
Tapi aku tidak mau terburu-buru. Kalau memang sudah takdirku untuk bisa menidurinya, semua pasti terjadi.

Jadi aku menghela napas dan bertanya.. ”Kalau sepi-sepi gini, enaknya ngapain ya..?”
Dia menatapku.. “Makan kue..” Lalu tertawa.

Sial. Dia sengaja menggodaku.
Tapi aku tidak gampang menyerah.. akan kumanfaatkan kesempatan emas ini dengan sebaik mungkin.

Maka aku segera bertanya lagi.. “Saya tahu sesuatu yang lebih enak daripada makan kue..”

Dia segera menatapku kaget dan tidak percaya, tapi tetap bertanya.. “A-apa itu..?”
Kena kau..! Kataku dalam hati..
“Makan kue sambil minum kopi..” jawabku bercanda. Dan kami tertawa secara bersama-sama.

“Gimana kue buatan saya, enak..?” Tanyanya pura-pura acuh tak acuh.. padahal sudah jelas napasnya mulai ngos-ngosan.
“Enak..” Aku segera menurunkan volume suaraku..

“Eh, Mbak, emang suami nggak keberatan Mbak main ke rumah saya..?”
”Nggak, memang kenapa..?” Tanyanya polos.

”Ya, bisa saja kan saya berbuat macem-macem sama Mbak..” terangku jujur.
”Emang Dek Handoko mau berbuat macem-macem apa..?” Tantangnya.

”Tergantung Mbak sih..” jawabku.. “Mau nggak dimacem-macemin..”

Kulihat dia tertawa gugup sebelum menjawab.. ”Kayak gimana contohnya..?”
Tanyanya sambil menatap mataku.. seperti ingin membaca apa yang ada di dalam pikiranku.

”Nyium Mbak misalnya..” kataku santai.. pura-pura kalau itu hanya candaan klise.

Dia terdiam.. tapi tetap menatap mataku. Apa aku terlalu mendesaknya ya..? Ah.. aku jadi sedikit menyesal.
Tapi jawaban selanjutnya membuatku mendesah lega.. bahkan berjingkrak karena saking senangnya.

”Kok cuma nyium..? Padahal bisa saja saya ngasih lebih kalo kamu minta..” Dia menembak.

Aku langsung menatap linglung.. “Hah, benarkah..?”
“Nggak.. saya bercanda..” Dia tertawa.. “Kita kan bukan suami-istri, Dek. Nggak boleh. Dosa..!”

“Lha.. kalo yang kemarin-kemarin itu apa..?” Desakku.
“Itu.. a-aku khilaf. Maaf..” Dia menunduk malu. Mukanya memerah.

“Tapi, saya serius. Mbak. Saya bener-bener suka sama mbak..”
Dia mendongak.. menatapku. Lalu kemudian menangis lirih secara tiba-tiba.

“Lho.. Mbak. Kenapa..?” Tanyaku bingung.
Saking bingungnya, aku sampai nggak sadar kalau sudah ambruk ke dalam pelukanku. Isak tangisnya menjadi semakin keras.

“Dek Han..” dia terus terisak-isak sambil namplok minta dibelai.
Dan ditamplok oleh ibu muda jelita begitu.. imanku yang dasarnya sudah nggak kuat, jadi makin tak terkendali.
Apalagi tanpa sadar.. tahu-tahu mereka sudah berada di dalam kamar..! Waduh, kok bisa sampe sini..? Aku makin puyeng.

“Iya.. ada apa, Mbak. Apa saya telah menyinggung perasaan Mbak..?” Tanyaku gugup.
“Bukan, Dek. Kamu nggak salah..” lirihnya.

“Lalu apa..?”
Tidak menjawab.. dia malah terus menggugu di pelukanku.

Kuusap-usap punggungnya untuk menenangkan.
Bisa kurasakan tali beha yang ada di sana.. juga bau parfumnya yang segar memabukkan.

Tanpa sadar tanganku sudah turun ke bawah untuk mengusap juga bulatan bokongnya yang sintal.. tapi sepertinya itu terlalu lancang.
Jadi kutarik lagi ke atas dan kuelus-elus kembali bagian atas tubuhnya.

Dia masih menangis.. tapi sudah tidak sekeras tadi. “Sudah, Mbak.. setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya..”
Aku tidak tahu apa masalahnya.. namun hanya itulah yang bisa kukatakan.
”Iya, Dek..” Dia berusaha mengusap air mata yang menetes di pipinya.

Kuperhatikan wajah cantiknya yang kini jadi memerah.
Ingin aku ikut mengusap airmata itu, tapi masih sungkan. Jadi aku hanya berdiri diam memperhatikan.

“Dek..” dia memanggilku.. seperti ingin berkata sesuatu tapi tidak bisa..
Aku mengangguk.. “Ya, Mbak..?”

Lama dia menatap wajahku sampai akhirnya –entah siapa yang memulai..– wajah kami saling mendekat dan bibir kami saling bersentuhan.
Dia memelukku dan aku balas memeluknya. Tanpa perlu dikatakan.. aku sudah tahu apa yang dia inginkan.

Tubuhnya memang terasa tegang.. tapi dia tidak menolak lumatanku.
Menutup mata.. Rissa memberikan bibir lembutnya untuk terus kutekan.

Kupeluk erat-erat tubuh sintalnya sampai kurasakan payudaranya yang empuk menumbuk ketat di dadaku.. kulumat habis bibirnya sambil sesekali kudorong bibirnya terpisah dengan lidahku.

Dia terlihat cukup canggung.. tapi terus menanggapi. “Mmm.. ahh..!" Bahkan dia mengerang di dalam mulutku.

Kubelai wajahnya yang masih terbungkus jilbab dengan tanganku dan menarik tubuhnya lebih dekat lagi.
Kini dia terlihat lebih rileks dengan membiarkan lidahku meluncur ke dalam mulutnya.

Aku hampir tidak bisa percaya bahwa –untuk pertamakalinya..– bisa menikmati bibir perempuan pendiam yang bahkan di dalam mimpi pun tidak pernah kubayangkan.

Tapi akhirnya.. setelah sekian lama.. aku benar-benar mendapatkannya. Aku hanya berharap mudah-mudahan ini bukan hanya mimpi.
---------

Kami terus berciuman sampai kurasakan Rissa meremas bahuku kuat-kuat. Tubuhnya gemetar saat gairah meledak melalui tubuh kami berdua.

Batang penisku sudah mengencang dan kugesek-gesekkan ke depan perutnya saat dia berbisik..
“Dek, i-ini nggak boleh..” katanya serak saat aku menatap matanya.

“Kenapa..?” Sudah kepalang basah. Aku sudah telanjur enak dan tidak ingin mundur.
Jadi tanpa menunggu jawaban.. bibirku kembali menukik turun ke mulutnya dan melumat dengan lebih rakus di sana.

Tak disangka.. Rissa juga mengimbangi dengan lebih baik.
Rupanya kata-katanya tadi hanya sekedar pemanis untuk menutupi gairahnya yang sudah meledak-ledak.

Hilang sudah wanita lembut yang sehari-hari kulihat.. kini yang ada hanya Rissa yang menggigil oleh kenikmatan dan terus mengerang-ngerang di dalam mulutku.

Aku memutuskan untuk mengambil langkah berikutnya; sambil terus melumat.. tangan kiriku meluncur untuk menangkup salahsatu gundukan payudaranya dan meremasnya ringan.
Tubuh Rissa sedikit tersentak saat merasakannya.. tapi tidak menolak. Merasa diberi jalan.. aku pun meremas dengan sedikit lebih kuat.

Baru saat itulah dia terkesiap dan menarik diri. “M-maaf, Mbak.. saya kelewatan..” kataku menyesal.. seharusnya aku tidak terburu-buru tadi.

“S-sudah, Dek. Sebaiknya kita berhenti..” katanya sambil mengambil napas dalam-dalam.
Aku berdiri terpaku di tempat. Kupandangi dia yang masih tertunduk di depanku.

Saat kulihat ia tidak bergerak.. kuberanikan diri untuk memeluknya kembali.
Rissa tidak menolak.. dan ia juga tidak bereaksi saat aku kembali menunduk untuk mencium bibirnya.. kali ini dengan lebih lambat dan dalam.
Aku tidak ingin mengulangi kesalahan. Meski sangat bernafsu.. akan kuperlakukan dia dengan lembut seperti layaknya kepada istriku sendiri.

Sekali lagi lidah kami mulai bergulat.
Dia mulai mengerang dan mengubur jari-jarinya di rambutku.. menarikku lebih dekat lagi saat lidah kami saling menari.

Ciuman kami menjadi lebih bergairah.. dengan tanganku mulai merayap lembut menjelajahi tonjolan buah dadanya.
Hanya kuremas-remas di permukaan saja, sekedar merasakan bentuk dan ukuran benda itu tanpa berani untuk berbuat lebih jauh.
Biar Rissa yang memutuskan.

“Ahh..” dia mengeluarkan erangan lembut saat aku terus mengusap dan kemudian meremasnya sedikit, rasanya benar-benar lembut dan lentur.

Tapi tak lama aku bisa merasakan bahwa seiring setiap remasan.. benda itu menjadi lebih kencang dan putingnya yang mungil mulai mengeras.
Jelas bahwa tetanggaku yang cantik ini sudah mulai terangsang.

Namun ketika kami semakin terkunci dalam ciuman penuh gairah.. tiba-tiba saja terdengar suara sang suami dari halaman rumah.
Rissa langsung tersentak dan berusaha untuk membebaskan diri dari pelukanku.

“A-aku harus pergi..” katanya gemetar sambil bergegas melangkah menjauh. Wajahnya masih memerah dan napasnya juga masih berat.

Kupandangi dia yang keluar lewat pintu depan. Huh.. sekali lagi aku gagal menikmati tubuh sintalnya.
Tapi aku sudah cukup puas.. peristiwa barusan merupakan kemajuan yang cukup berarti. Bisa menidurinya, itu lain soal.

Memang situasinya sangat tidak memungkinkan dan sepertinya terlalu cepat.
Aku harus bisa menahan nafsuku.. jalan menuju ke sana sudah ada, aku tinggal menyusurinya dengan sabar dan telaten saja.

Bagaimanapun Rissa adalah ibu rumah tangga yang sebenarnya baik.. yang bisa saja kabur kalau aku terlalu mendesak.
Jadi sepertinya cukup untuk saat ini. Aku bisa menyimpannya untuk lain waktu.. apalagi hari juga sudah beranjak sore.. sudah waktunya bagi istriku untuk pulang.
-------

Malamnya.. baru aku tahu alasan kenapa Rissa tiba-tiba berbuat nekad.
Pak Amin, suaminya.. ternyata telah selingkuh. Laki-laki itu punya istri lagi di luar kota.

“Dasar laki-laki brengsek..! Sudah nggak bisa ngaceng, masih juga main perempuan.
Sama sekali nggak bersyukur punya istri cantik dan sabar kayak bu Amin..” umpat istriku.

“Heh.. sudah-sudah. Dia yang selingkuh, kok malah Bunda yang marah..? Bu Amin aja biasa-biasa tuh sikapnya..” kataku menenangkan.

“Biasa-biasa gimana..? Bunda bisa tahu gara-gara Bu Amin kemarin cerita sambil nangis-nangis. Di depan aja dia tampak tegar.. padahal aslinya hatinya hancur..” bela istriku.

Aku terdiam. Mungkin itu sebabnya kemarin Rissa tiba-tiba menangis di dalam pelukanku. Dia teringat akan pengkhianatan suaminya.
Dan untung bagiku, karena dipilih sebagai tempat pelampiasan amarahnya. Lain kali kalau ketemu.. akan kupastikan dia mendapat penghiburan.
Kalau suaminya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, kenapa dia tidak..?

Berpikir seperti itu, akupun merangkul tubuh mulus istriku. “Yah, eh.. j-jangan..! Jangan..!” Tapi dia menolak.

“Kok gitu sih..? Ayah ‘kan suami Bunda..!”
Gagal dengan Rissa tadi siang membuat nafsuku serasa mentok di ubun-ubun.. jadi aku agak sedikit sewot saat Fenti menolak.

“Iiih.. Ayah tuh. Bunda lagi capek, nih..!” Tukasnya keras.
“Yah, apes deh..” aku berguling lemas.

“Jangan bilang gitu dong.. Ayah mesti sabar..” dia menasehati.
”Iya, iya..” Aku tiduran tengkurap membelakanginya.
Tapi pikiranku masih ke mana-mana.. desakan hasrat terasa terus menggedor-gedor dari dalam.

Sejenak kemudian.. aku pun berbalik lagi dan merengkuh tubuh indah istriku.
“Bunda sayang.. biar lagi capek, kalo sayang-sayangan masih bisa ‘kan..?” Aku berbisik.

“Iih.. kok maksa sih..? Enggak ah. Bunda beneran capek, Yah. Ini tuh udah jam sebelas lebih. Tadi kan Ayah tahu sendiri, jam sepuluh lebih Bunda baru nyampe rumah..”

Ya udah. Akhirnya aku pun tidur dengan nelangsa.
Kususupkan kepalaku ke belahan dada Fenti yang tak berkutang.. dan sambil menyusu di putingnya yang mungil akupun terlelap.

Esok paginya aku bangun dengan badan segar. Aku melihat jam, masih jam lima kurang.
Aku pun mengecup sekilas pipi istriku.. lalu ngolet-ngolet meregang otot.

Apa enaknya sholat sekarang ya..? Aku berpikir, tapi kemudian niat baik itu menguap begitu saja saat aku menajamkan telinga.
Yang kudengar bukanlah panggilan adzan.. tapi.. bunyi byur-byur dan nyanyi-nyanyi kecilnya Rissa si istri tetangga.

Walah.. sewaktu-waktu Fenti bisa bangun dan memergokinya.
Tapi, dasarnya sudah tak kuat menahan kegersangan batin. Di pagi buta, aku pun nekat berjingkat di atas pagar.

Tertolak oleh istri di malam hari.. rasanya terbayar oleh keindahan bidadari cantik yang sedang mengguyur badan di hadapannya.
Putih.. mulus sekali. Seperti buah yang matang di atas pohon. Sempurna dari segala sisi.
Kencang tak berlemak. Tertempa oleh pekerjaan rumah tangga yang tiada henti.

Keteganganku jadi semakin dahsyat karena menyadari ini adalah langkah yang penuh risiko.
Sewaktu-waktu Fenti bisa memergoki, tapi itu malah semakin bikin sensasional..!

Batangku rasanya sudah nyut-nyutan, dan tak tahan, lekas aku tarik keluar.
Lalu kukocok cepat sambil terus mengintip tubuh indah Rissa yang cemerlang di depan sana.

“Hhh.. hhh..” Selagi aku tersengal tak jelas, tahu-tahu.. Wadaw..!! Aku jatuh berguling-guling dari pagar. Gubrak..! Super heboh.

“Ayah..! Ayah..! A-ada apa..!?” Istriku yang baru bangun.. langsung datang dengan tergopoh-gopoh.
Aku pun dengan tergopoh ikut membenahi pakaian ala kadarnya.

Sejenak kemudian Fenti celingukan dengan kecurigaan menggila. “Ayah ngapain pagi buta di belakang sini..!?” Semburnya kencang.

“Eh.. i-itu.. anu.. tadi.. eh, Ayah kira.. rumah kita kemasukan maling. Makanya Ayah cek.. nggak tahunya.. ternyata cuma kucing yang habis melahirkan..!” Begitu aku beralasan.

Nyatanya.. di situ memang masih ada sisa-sisa darah kucing. Dan juga darahku sendiri karena kejedot pagar tadi.
“Iih, jijik..!” Fenti yang tak tahan lihat darah langsung masuk ke rumah.

Sementara aku cuma bengong meratapi kesialanku, atau malah keberuntungan karena nyatanya Fenti sama sekali tidak curiga.
--------------------------
 
Bimabet
Cerita 28 Pesona Tetangga

Part 4


Setelah itu semua berjalan seperti biasa. Fenti kerja.. sementara aku menekuri laptop untuk menulis cerita.
Berkat botol-botol kecil dari Pak Ustadz kemarin.. benar saja.. pagi ini dua kucing tergolek di tangga depan rumah.
Dengan mudah mereka kukarungi.. lalu kuhantarkan ke Pak Ustadz untuk ditransmigrasikan.

Di depan pagar aku bertemu dengan Rissa. Dia tersenyum manis. “Sudah nggak sakit lagi, Dek Han..?” Tanyanya kalem.
Sial.. rupanya dia tahu soal kehebohanku tadi subuh.. “Lumayan. Eh, mau ke rumah Pak Ustadz juga..?”
Kulihat dia juga membawa seekor kucing yang tergolek pingsan.

“Iya. Sini, biar saya antarkan ke sana..” Dia menawarkan jasa. Dan tanpa membantah.. kuberikan dua kucing hasil tangkapanku kepadanya.
Setelah mengucapkan salam Rissa berlalu pergi meninggalkanku.
Melihat buritan perempuan itu saat berjalan menjauh.. glek.. rasanya ser-seran juga hati ini. Khususnya karena teringat saat mengintip tadi.
Gairahku seperti tak bisa diredam.. apalagi energiku juga masih utuh karena tadi malam ditolak oleh istri tercinta.

“Sebelum Bunda berangkat.. Sini Ayah aku layani. Daripada Ayah tersengal gitu lihat geal-geolnya Mbak Rissa..”
Tiba-tiba Fenti sudah ada di sampingku.

Waduh..! Aku kaget setengah mati. Kok dia bisa tahu ya..? ”Lho.. memang Bunda sudah nggak capek..?”

Dia mengangguk.. “Mandi bareng yuk..!” Ajaknya sambil menggandeng tanganku ke kamar mandi.

Tanpa bisa menolak dan daripada tidak ada yang dihantam.. kami pun mandi bersama.
Byur-byur-byur.. dan di antaranya di sela-sela dengan sedikit acara lain. Menanami ladang yang gersang.. membalas yang semalam tidak dikasih.

“Makasih, Ayah..” desah Fenti puas. Dan aku ikut menggumam lemas di sebelahnya.
Dia tidak tahu kalau aku menyetubuhinya sambil membayangkan tubuh montok Rissa.
Setelah itu istriku berangkat kerja.. sementara aku jalan-jalan keliling kompleks menikmati sejuknya udara pagi.

Sudah pukul sembilan lebih seperempat.. Nggak bisa enggak.. aku mesti bisa tidur sama Rissa..!
Begitu aku bertekad saat melintasi pintu pagar rumahnya.

Iseng aku melongok ke dalam. Ups.. tapi cepat aku menarik diri begitu kudengar sayup-sayup suara cempreng Pak Amin yang entah bicara dengan siapa.

Rumah tangga mereka tampaknya mulai tidak harmonis.. itu yang harus kumanfaatkan. Tapi bagaimana caranya..? Itu yang harus kupikirkan.
Saking kebanyakan ngelamun di jalan.. hampir aku kecemplung got. Astagfirullah. Astagfirullah. Cepat aku mengurut dada.. yaitu dadaku sendiri.
Kalau dadanya Bu RT.. suaminya pasti akan marah. Sudahlah. Next time better.

Sebelum pulang aku menyempatkan diri mampir sebentar ke toko elektronik di plaza kompleks. Mau belikan hape baru buat istri.
“Oh.. bisa, Pak. Yang ini malah lebih bagus..” karyawati berbaju abu-abu silver menyambutku dengan ramah tamah. Selain senyumnya lebar.. kakinya juga melebar.
Begitu segernya dengan pelayanan itu, sampai-sampai aku tidak sadar kalau sudah dikenakan harga beberapa ratus ribu lebih mahal untuk satu hape baru keluaran Korea.

“Sambil nunggu.. mari saya temenin melihat-lihat produk kami yang terbaru di counter belakang..?” Petugas pelayanan pelanggan itu rupanya merangkap salesgirl juga.

“Boleh-boleh. Waduh.. ditemenin sama karyawati cantik, siapa yang bisa nolak..?” Selorohku.
“Hah.. masa’ sih, Mas, Rose cantik..? Cantik itu kan relatif, Mas..” katanya tersipu.

“Beneran lho, kakimu bagus, wajahmu bersih dan mulus.. kulit putih, masih muda, ramah, pinter, baik hati.. kalau nggak cantik, apa tuh istilahnya..?”

“Aduh, Mas bisa aja. Rose kasih diskon deh, kalo Mas beli dua sekarang..” katanya.. memanfaatkan kelemahan lelaki untuk keperluan marketing.
Tapi apa daya, aku pun menggeleng. Bukan karena tidak kepincut pada hape-hape baru yang canggih-canggih itu, tapi yah.. duitku memang belum nyampe ke sana.

“Rose temenin makan siang deh, Mas, kalo Mas ngambil dua..!” Si cantik mengerling.
“Kalo makan siang aja, tapi nggak usah pake beli, bisa nggak..?” Tanyaku.

“Hehehe.. waduh, Mas. Siang ini jatahnya untuk bisnis, nih..” Rose pun langsung menjauh karena kebetulan juga ada pelanggan lain datang.. dan datangnya pake mobil yang kelasnya satu-Em lebih.

Aku langsung manyun. Ingin hati merengkuh Rose.. apa daya dompet tak sampai.
Begitulah kira-kira. Waduh.. apalagi itu si pelanggan tajir pake main langsung merangkul-rangkul pinggang Rose lagi. Jadi makin kepingin deh aku.
“Ini memang bagus, Pak.. dan paling mahal juga. Nanti saya tunjukin cara pakenya deh. Eh, tapi tunjukinnya nggak pake dipangku, ya..?” Kata Rose dengan kenesnya. Aku yang mendengar dialog itu dari kejauhan jadi cemut-cemut.

Sampai rumah.. kayaknya mesti langsung menyalurkan hasrat nih.
Tapi.. pada siapa..? Istri lagi kerja. Sedangkan Rissa sedang ditunggui sama suaminya. Hah, pusing..!
Iman dan imin itu pada dasarnya memang naik-turun.
Padahal tadi pagi sudah dikuras sama istri.. tapi begitu ketemu si cantik penjual hape yang agresif aku jadi korslet lagi.

Walau begitu.. karena tidak ada pelampiasan cepat aku ambil air wudhu untuk menunaikan sholat duhur.. kemudian istighfar agar bisa meredam rasa-rasa nggak jelas itu.
Niatku sih ingin menyalurkannya secara sakinah pada istri.. nanti setelah dia pulang kerja.

Tapi.. istighfarku terpotong.. karena belum apa-apa aku sudah mendengar suara seseorang memanggil di depan.
“Iya, sebentar..” Aku bangkit berdiri.

Di depan pintu aku tercekat begitu kulihat Rissa berdiri sambil membawa sesuatu.
Rupanya dia baru datang dari jalan-jalan bersama anak-anaknya.

Wajah cantiknya kelihatan ceria.. sama sekali tidak terlihat kalau sedang menanggung beban yang berat.
Mungkin dia sengaja pergi jalan-jalan untuk melupakan prahara rumah tangga yang sedang menerpanya.

“Maaf, Dek Handoko. Ini sekedarnya..” dia memberiku sebuah bungkusan.
“Terimakasih, Mbak..” Aku tersenyum menerimanya.

Selanjutnya kami berbasa-basi sejenak.. sebelum tanpa sadar aku menunduk dan mencium bibirnya ringan.
Aku tak tahan menatap bibir lembab yang hanya berjarak sejengkal itu. Rissa tersipu tapi tidak menolak.
Selanjutnya kami terdiam tidak berkata apa-apa.. sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Maaf, Mbak. Saya hanya ..” aku tersenyum canggung.
“Nggak apa-apa, Dek..” Rissa menyahut, lalu segera pamit.

“Saya sebaiknya pulang, sebelum Dek Han keterusan..” Dan dia tertawa.
Aku menatap wajah cantiknya dan menyela.. “Kenapa buru-buru, istri saya baru akan pulang sejam lagi..” kataku nekad.

“S-saya, ehh.. kita tidak boleh..” Dia menjawab ragu-ragu.
“Jangan membohongi diri sendiri, Mbak. Saya tahu apa yang ada di dalam pikiran Mbak sekarang..” kataku pasti.

“S-saya tidak mau mengkhianati suami, Dek..” Rissa hampir berbisik.
“Kenapa tidak..? Dia sudah mengkhianati Mbak duluan..” aku terus mendesak.

Dia membelalak dan menatapku tajam.. “B-bagaimana .. pasti Dek Fenti yang cerita ya..?” Tebaknya.

Aku mengangguk.. “Tapi saya juga tidak akan memaksa seandainya Mbak nggak mau. Saya hanya ingin membantu mengobati rasa sakit hati Mbak..” bujukku.

Dia terdiam, tampak berpikir keras sekali.. “Bagaimana dengan istri Dek Han..?” Tanyanya kemudian.
“Kalau kita nggak cerita, dia tidak akan tahu..” sahutku sambil menatap matanya.

“T-tapi ini salah, Dek..” jawabnya bingung.
“Saya tau.. karena itu saya menyerahkan semuanya pada Mbak..” kataku dengan tersenyum kecil.

Terdiam sebentar.. dia perlahan mulai menggeser duduknya ke sampingku.
Pelan aku memeluknya dan merasakan bagaimana dia sedikit meringkuk lebih dekat.

Untuk beberapa waktu kami berdua hanya saling memandang.. sampai kemudian aku membungkuk dan berbisik di telinganya..
“Biarkan saya membantu membalas sakit hati Mbak..”
Dia hanya menatapku.. napasnya terasa hangat bertiup di pipiku.

Di balik baju panjang yang ia kenakan.. aku bisa melihat payudara bulat Rissa yang kemarin sudah kusentuh.
Oh.. betapa aku bernafsu untuk mengulanginya.
Aku merasakan denyutan kecil di selangkangan saat mulai berpikir tentang hal itu. Penisku perlahan mulai membesar dan menegang penuh.

“S-saya nggak bisa, Dek..” Rissa berbisik.. napasnya meniup di bibirku.
“Mungkin Mbak bisa mencoba dulu.. seperti kemarin..”

Aku tahu harus membantunya mengenyampingkan rasa takut.. jadi aku perlahan-lahan mulai menjalankan jari-jari dengan lembut ke lengannya yang masih tertutup jilbab lebar. Kutunggu sampai ia merasa siap.

Rissa awalnya tidak merespon.. namun setelah beberapa detik ia mulai mengangkat kepala dan perlahan bibirnya melayang mendekati mulutku.
Aku mengerang ringan saat wanita impianku itu menciumku sekali lagi. Kulihat matanya terpejam sementara dadanya naik-turun dengan sangat cepat.

Tatapanku merangkak ke bawah.. mengikuti garis samar belahan gamisnya hingga menemukan jalan ke payudaranya.
Kain tipis berwarna coklat muda itu membuat tampilan yang sungguh memikat.. menggodaku dengan kelembutan serta kekenyalan bukitnya yang naik-turun secara perlahan-lahan.

Dengan tatapan bingung Rissa mencoba untuk melihat sekeliling.. tampaknya khawatir seseorang akan memergoki ulah nakal kami.
Namun aku segera menenangkannya dengan kembali mencium lembut di bibirnya.

Kusentuh mulutnya yang berbau harum itu dengan lidahku.
Dia membalas ragu-ragu, tapi setelah beberapa waktu mulai membuka mulutnya dan turut mengisap ringan.

Dia juga mencoba untuk lebih menyeimbangkan diri dengan meletakkan tangan di kakiku.. sementara suara napasnya semakin terengah.
Sampai tangannya tiba-tiba tanpa sengaja menyentuh batangku yang sudah mengacung tegak di balik celana.

“Oh, Dek..!” Rissa tersentak.. dia memandangku namun tetap duduk diam dengan napas masih terengah-engah.

Akhirnya aku berbicara.. “Maafkan saya, Mbak. Saya nggak tahan..”

“Ooh, saya juga nggak sengaja.. maksud saya.. emm, sebaiknya kita berhenti saja, Dek..” Dia menggeleng.

“Jangan berkata begitu, Mbak..” Aku hampir menggeram saat menarik kembali tubuhnya ke dalam pelukan.

“Saya yakin Mbak juga menginginkannya..”

“Dek, s-saya nggak bisa.. saya masih belum sanggup tidur dengan laki-laki lain..” Dia menatapku.

“Kita nggak tidur, hanya sedikit bersenang-senang..” kataku sambil kembali menciuminya.

Dia mencoba menolak, namun cuma setengah hati.. “T-tapi, Dek ..”

“Sudahlah, Mbak. Kita sama-sama membutuhkan, buat apa dibikin sulit..” aku mendesak.

Dia terdiam, namun mulutnya tetap menanggapi cumbuanku.

“Semoga saya tidak pernah menyesali ini, Dek..” katanya kemudian saat lumatan kami terlepas terdengar sedikit tidak yakin.

“Pasti..! Percaya saja sama saya, Mbak..” aku tersenyum dan kembali menarik tubuhnya.. kali ini dia kuminta untuk mengangkangi kakiku.

Lalu aku mulai menciumnya lagi. Rissa tidak menarik diri ketika bibirku mulai bergerak pada bibirnya.. jadi sekali lagi kami mulai saling melumat dan mengisap rakus.

Begitu nikmatnya sampai aku lupa waktu.. tidak tahu berapa lama kami berciuman.
Namun yang jelas mulai kurasakan belaian lembut tangannya di leher dan punggungku sementara lidahku terus bermain di dalam mulutnya.

“Ahh..” Rissa mendesah sambil tersenyum.. tampak sudah mulai menikmati apa yang kami lakukan.
Aku menciumnya lagi dan kali ini aku tidak ragu-ragu untuk menangkupkan kedua tangan ke bawah pantatnya.

Kutarik benda bulat yang masih tertutup rapat itu dan kuremas-remas dengan gemas.
Rissa menggapaikan lengan dan melingkarkannya di leherku. Kami berpelukan semakin erat dalam ciuman panjang yang penuh gairah.
Aku terus membelai pantatnya sampai kurasakan dia bergeser sedikit. Rissa sekarang praktis berbaring di atas tubuhku.

Aku berhenti menciumnya namun ganti membisikkan beberapa pujian ke telinganya dan dia hanya tersenyum lalu menciumku kembali.
Tanganku pindah dari pantat dan menyelinap ke bawah baju gamis panjang yang kini sudah terangkat hingga ke pinggang.

Kami terus berciuman sementara tanganku mulai membelai seluruh paha dan pantat mulusnya.
Setelah beberapa lama.. aku juga mencoba untuk membuka kancing depan baju itu.

Tanpa keberatan Rissa mengangkat lengannya hingga memungkinkanku untuk melepas semuanya.
Kami kembali berciuman saat tanganku terulur berusaha melepas kait behanya.

Namun ternyata cukup sulit hingga aku hanya bisa puas dengan terus meraba-raba bagian depannya selama beberapa waktu.. sebelum kemudian Rissa melepasnya sendiri.
“Oh, indahnya..” aku bergumam tanpa sadar saat menatap dua bongkahan payudaranya yang memantul-mantul indah di depanku.

Rissa berusaha untuk menutupinya dengan tangan.. wajah cantiknya yang masih tertutup jilbab tampak bersemu merah..
“Jangan dipandangi terus, Dek. Saya kan malu..” Dia tersenyum.

Inilah untuk pertamakalinya aku melihat payudara ibu rumah tangga yang cantik ini dari dekat.. lengkap dengan segala pesona dan kemuliaannya.
Aku duduk menatap dengan mata terbelalak menyaksikan betapa benda itu begitu bulat dan nyaris tanpa kendur. Indah sekali.
Aku meluncur lebih dekat dan dengan tangan gemetar mulai menangkupnya lalu meremas-remasnya lembut secara bergantian.

“Augh.. Dek..!” Rissa mengerang sambil menyandarkan tubuhnya ke bawah dan mulai menciumiku lagi.
Ia juga melingkarkan lengan ke leherku, masih sambil mengangkangi.

Aku terus membelai payudaranya, mempermainkannya dengan sebaik mungkin, sampai akhirnya aku berbisik.. “Boleh aku cium..?”

Rissa awalnya tampak agak gugup sebelum kemudian meletakkan tangannya di belakang kepalaku dan menariknya lebih dekat..
“Silakan.. tapi jangan digigit lho ya..” candanya.

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mulai menjilati salahsatu puting coklatnya.. kemudian yang satunya lagi sebelum mengisap lembut dua-duanya secara bersama-sama.
Rasa manis air ASI langsung masuk ke tenggorokanku.

Aku terus mengisap beberapakali sampai kudengar Rissa mulai mengerang ringan sambil tangannya terus mendorong bagian belakang kepalaku. "Ooh.. Dek Handoko..! Umm, yah terus..” rintihnya keras.. Jelas terlihat menyukai apa yang kulakukan pada bulatan payudaranya.

Aku merasa penisku berkedut bahagia saat aku mengisap payudaranya semakin kuat.
Kulakukan sambil bersandar di sofa dengan telapak tangan dan jari-jariku terus menjelajahi payudara lezatnya.

Kurasakan putingnya semakin mengeras, menunjukkan kalau perempuan cantik tetanggaku itu juga sudah sama-sama terangsang.
ASI-nya juga mengalir semakin banyak, yang terus kujilat dan kupijat untuk menguji berat dan teksturnya di tanganku.

Kunikmati kekenyalan dan kelembutannya.. juga kehalusan kulit susu Rissa yang sekarang sudah bernapas terengah-engah..
Putingnya yang mungil sudah menegang penuh.. terlihat begitu basah dan memerah tajam.

“Ahh..” aku ikut mengeluarkan erangan.

Rissa menatapku, matanya bersinar penuh kesenangan.
Ada ketakutan sekaligus nafsu yang sangat membara di sana.. bergejolak dalam setiap isapan dan remasan tanganku.

Bibirnya yang indah terpisah saat ia mengeluarkan erangan panjang.. tubuhnya gemetar dengan napas semakin terengah.
Aku terus mengisap dan menjilat sementara dia melengkungkan punggungnya untuk mendorong lebih banyak bulatan payudaranya masuk ke dalam mulutku.

Melihat kedua puting coklat mudanya yang segar dan merangsang itu semakin membuatku mengeras seperti baja.
Tubuh Rissa gemetar dan ia menggenggam rambutku sebagai tanda ikut menikmati.

Aku terus menggodanya selama beberapa menit sebelum memutuskan sudah waktunya untuk mengajak perempuan berjilbab lebar ini masuk ke tingkat selanjutnya.

Sebelum dia bisa menolak.. aku langsung buru-buru melepas celana. Tak sampai satu menit aku sudah duduk di sofa ruang tamu dengan pantat telanjang.
Kulempar celanaku entah ke mana dan berpaling ke arah Rissa.
Kulihat dia menatap bingung dengan tangan menutupi mulut.. matanya terbuka lebar menunjukkan ekspresi kaget.

“Ada apa..?” Aku bertanya polos padahal tahu apa penyebabnya.

“Ohh, Dek Han.. itumu.. lihat.. b-besar sekali..!" Dia tergagap takjub.

“Benarkah..?” Aku tersenyum puas.

“K-kayaknya lebih besar dari yang kemarin. I-ini luar biasa..” Dia jelas-jelas kagum.

Aku menarik salahsatu tangannya dan kupindahkan ke arah batang panjangku.
Rissa mengeluarkan rintihan terkesiap lirih saat mulai menyentuhnya.

Kubiarkan ia meremas-remasnya lembut sebagai langkah awal.. sebelum kemudian kutekan lagi tangannya hingga ia mulai mengocok-ngocok ringan.
Penisku terasa semakin menebal dan berdenyut-denyut kuat di dalam genggaman tangannya.

“Oh Dek Han, tubuhku gemetar..” dia berkata.

“Santai saja, bukankah ini yang Mbak inginkan..?”

Aku tersenyum dan merangkulnya.. lalu sekali lagi aku menciumnya dengan penuh gairah.
Rissa terus mengocok batangku sementara lidah kami mulai berputar-putar saling mengisap.

Aku mengerang ke dalam mulutnya saat ia tiba-tiba memijit batangku sedikit kuat.
“Pelan-pelan, Mbak. Dikocok aja, lebih enak..” Dia mengangguk dan kembali mengocok ringan.

Setelah beberapa menit aku mengagetkannya dengan berkata.. “Nggak ingin menciumnya, Mbak..?”
“Gila kamu..! Jijik tau..” protesnya.

Aku tidak ingin memaksa. Di kesempatan pertama ini, dia tidak boleh kubuat takut.
Kami harus sama-sama menikmati, dengan begitu ia bisa kuajak lagi di kemudian hari.

Baru saat itulah ia akan kuajari pelan-pelan bagaimana cara yang baik melayani seorang lelaki, dan juga akan kutunjukkan padanya bahwa bercinta bukan hanya urusan memek ketemu kontol.
Banyak hal-hal kecil namun nikmat yang bisa melengkapi permainan. Dan sepertinya Rissa tidak tahu itu.

Kubiarkan ia terus menggenggam dan membelai.. kurasakan kehangatan jari-jari lentiknya yang melingkupi batangku.
Nafsuku meradang menikmati kocokannya yang lembut namun sedikit kaku. Tapi aku tetap menyukainya.

Dengan tangan kanan, kuraih salahsatu bulatan payudaranya dan meremasnya dengan lembut, lalu yang satunya lagi sambil sesekali kugoda kedua putingnya dengan gelitikan halus.
Rissa mengerang dan menggelinjang.. namun tangannya tetap berdiam di penisku dan mengocok-ngocok lembut di sana.

Selama beberapa menit berikutnya kami terus saling mengerang dan memegang sampai kurasakan sebuah dorongan kuat secara tiba-tiba mengalir dari pangkal penisku.

Aku berusaha untuk melawan, ingin memperpanjang sensasi nikmat itu selama mungkin, tapi sepertinya kocokan Rissa mustahil untuk dihentikan.

Jadi dengan sangat-sangat menyesal, aku pun menyerah.
Tubuhku kejang-kejang sambil kucengkeram dengan kuat kedua bongkahan payudaranya saat cairan spermaku meluncur berhamburan.
Cratt.. cratt.. cratt.. cratt.. cratt.. Penisku meledak di dalam genggamannya.

“Ehh..” Rissa sedikit terkejut saat tembakan pertama meluncur, dia cepat-cepat menarik tangannya.
Tapi dorongan selanjutnya dan yang seterusnya tetap membasahi jari-jari lentik itu.

“Ihh..” dia terlihat jijik dan buru-buru mengelapkannya ke pinggang.
Lebih baik baju gamisnya yang kotor daripada tangannya yang basah, mungkin begitu pikirnya.

Aku cuma bisa melihatnya sambil terus merintih terkejang-kejang, sampai akhirnya spermaku berhenti meleleh tak lama kemudian.
Namun tubuhku masih gemetar menikmati sisa-sisa orgasme kuat yang baru saja melanda. Inilah klimaks terbaik yang pernah kurasakan.
Padahal baru pakai tangan.. bayangkan kalau bisa masuk ke dalam memek.. pasti akan berkali-kali lipat nikmatnya.

Rissa tampak terkejut melihat jumlah air maniku yang sangat banyak dan kental.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya duduk melihatnya tanpa sempat berkedip.

“Maaf..” kataku sambil menyeringai. Sebelum dia sempat memprotes, cepat aku meraih tubuhnya yang sintal dan dengan lembut tapi tegas menarik bibirnya ke arahku.

“S-saya nggak tahan..” bisikku sambil menciumnya.

“Ahh..” Rissa mengerang di dalam mulutku.

Ketika aku melepaskan ciuman, dia cepat-cepat bangkit dan mulai membenahi pakaiannya.
“Lho, mau ke mana..?” Tanyaku bingung, aku masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi.

“S-saya harus pergi..” sahutnya lirih sambil berusaha menutupi tonjolan buah dadanya yang kedodoran..
“Sebentar lagi istri Dek Han pulang..” ingatnya. Dia benar, jadi akupun tidak menghalangi.
Setelah menyeka air maniku dengan celana dalam, akupun ikut memakai celana.

“Bagaimana dengan, Mbak..?” Tanyaku sebelum dia pergi.
“Apanya..?” Tanyanya buru-buru.

“Hanya saya yang enak, sedang mbak Rissa ..” sahutku.
“Nggak usah.. lain kali aja.. nunggu waktu yang lebih tepat..” dia menyeringai.

Gila..! Aku menyahut dalam hati. Dia sudah memikirkan tentang pertemuan kami berikutnya.
Tampaknya ini hanya awal saja.. dan aku harap memang begitu karena aku masih ingin menikmati tubuh istri tetanggaku yang cantik ini.

Kuantar dia ke pintu depan, dan setelah berjanji untuk saling merahasiakan kejadian ini, kami pun berpisah.
Aku berjalan kembali masuk ke dalam rumah sambil tersenyum puas.
Apa yang kuimpikan akhirnya terwujud. Kini tinggal menjalani dan menjaganya agar jangan sampai istriku tahu, bisa-bisa terjadi perang nanti.

Tak kusangka, gara-gara perselingkuhan Pak Amin, aku jadi bisa merasakan kehangatan tubuh sang istri yang sudah menggodaku sejak pertama pindah ke kompleks ini.

Istriku datang tak lama kemudian.. ia tampaknya tidak curiga dengan noda basah yang membasahi sofa ruang tamu.
Kami berbincang-bincang sebentar dan setelah keringat kami sama-sama hilang, kuajak dia untuk mandi bersama.

Istriku sempat heran melihat penisku yang tetap meringkuk meski sudah dielus-elus ringan. “Tumben ini tidur aja..!?” Serunya.

“Capek mungkin, Bun..” aku tersenyum. Kubalas dengan membelai bulatan payudaranya ringan.
Dia menggelinjang dan memintaku untuk menjilati liang vaginanya juga.

“Nggak apa-apa kan kalo cuma Bunda yang enak..?” Dia bertanya sambil mulai mengangkangkan kaki.

“Anggap aja Bunda punya utang sama Ayah..” aku berseloroh dan sedetik kemudian sudah kubuat ia merem-melek keenakan sambil menjerit-jerit keras.

Di penghujung petang kami pun sama-sama lemas. Kalo spermaku tadi tumpah di tangan Rissa, kini cairan istriku meluber di dalam mulutku.
Kami sama-sama puas. Dan malamnya, kami tertidur pulas sampai pagi.

Keesokannya aku bangun sambil menguap dan berguling telentang. Tubuhku masih telanjang.
Istriku sudah tidak ada.. mungkin sudah sibuk menyiapkan sarapan di dapur.

Kutatap langit-langit kamar. Tak terasa pikiranku melayang, terbayang peristiwa dengan Rissa kemarin sore.
Apakah itu benar-benar terjadi..? Apakah tetanggaku yang cantik itu benar-benar mengocok penisku..?
Dan benarkah bulatan payudaranya selembut itu..? “Ahh..” aku mendesah dan menarik selimut.

Sedikit melompat aku masuk ke kamar mandi dan mulai merencanakan langkah berikutnya.
Kami harus bisa berduaan lagi.. tapi bagaimana caranya aku masih tidak tahu.

Setelah mencuci muka, aku berjalan ke dapur. Kulihat istriku sedang menggoreng telor sambil mengenakan baju tidur tipis yang berpotongan rendah.. hanya disangga oleh dua tali kecil di atas pundak.
Payudaranya terlihat longgar.. yang segera kujamah dan kupegangi agar tidak jatuh.

“Masak apa, Bun..?” Bisikku sambil meremas-remasnya ringan.

“Ahh.. Ayah..!” Dia mendesah.. rambut ikal panjangnya bergoyang indah saat dia menoleh.
Kukecup bibirnya dan kubiarkan dia meneruskan pekerjaannya.

“Bunda nggak kerja..?” Tanyaku heran.. karena biasanya jam segini dia sudah berangkat.

“Hari ini masuk agak siang, ada audit dari kantor pusat..” terangnya.

Aku tidak bertanya lagi. Kulihat jam, baru pukul tujuh lebih seperempat.
Telepon istriku berbunyi dan dia segera menerimanya dengan penuh sumringah.

Fenti terus bertelepon.. terus.. dan terus.. sampai akhirnya.. aku tak tahan lagi. “Bun, Ayah pengen..” aku menggumulinya di meja dapur.
Fenti menggelinjang.. tapi tidak meronta.. membiarkan saja aku terus beraksi sesuka hati.
Namun di sisi lain obrolan di teleponnya juga ia teruskan.. tidak diputuskan sama sekali.

“Bun, kamu tuh udah cantik, harum lagi. Padahal baru bangun..” aku mendesah sambil terus saja merangsek.
Bahkan tak sadar kalau pintu ruang depan masih sedikit terbuka.
Namun aku tak peduli. Aku memang paling nggak tahan kalau disuguhi yang seger-seger di pagi hari seperti ini.

Lekuk tubuh Fenti yang begitu berliku dan pakaiannya yang sedikit ketat.. merupakan tantangan tersendiri yang membuatku butuh limabelas menit lebih untuk mengupasnya.. mencari jalan masuk.

Menit pertama.. kancing-kancing terbuka. “Ya, ya. Bener tuh. Menurut saya, presentasi yang dalam power point mesti disederhanakan lagi..”
Fenti terus saja ngoceh di telepon.. meski kedua payudaranya sudah terburai keluar menjadi sasaran remasan dan jilatan mulutku meski masih terlapisi beha.

Semenit kemudian.. saat celana tidurnya melorot ke bawah.. Fenti terus saja berdebat lewat telepon..
“Kalau file-file Excel-nya, ya mesti dikonversi dong menjadi powerpoint. Yang ruwet-ruwet, harus disederhanakan..”
Aku pun ikut menyederhanakan tongkrongannya dengan mengupas bagian atas.

“Pokoknya.. kalau saya sih bertekad menyajikan yang terbaik untuk direksi..”
Dan untuk mendapatkan sajian terbaik.. aku pun langsung menyerobot ‘file-file’ di dadanya yang berukuran 36A itu.

“Soal pricing dan diskon.. kita minta arahan saja pada direksi. Apa saja yang diputuskan saya siap melaksakan dengan sepenuh hati..” begitu Fenti terus mendebat.. saat akhirnya kain terakhirnya yang berwarna hijau melon kudiskon hingga habis tak bersisa.

Fenti sendiri sempat terperangah juga saat pembicaraan teleponnya berakhir.
“Idih.. kok tahu-tahu sudah lepas semua sih..? Pantesan berasa kayak masuk angin..” katanya terkejut.

“Hah..? Kok bisa-bisanya Bunda nggak sadar..?”
Aku garuk-garuk kepala.. lalu berlanjut menggaruk liang vaginanya yang sudah menganga memerah.

“Ihh.. geli, Yah..” Dia menggelinjang.

“Ayo, Bun. Ayah pengen nih..” Aku mengerling sambil kembali mencucupi puting susunya satu per satu.

“Iya, silakan. Daritadi kan Bunda juga nggak ngelawan..” Dia tersenyum sekilas.

Ya sudah, segera kukunci mulut tipis itu.. sambil tanganku terus beraksi menggerayangi tubuhnya yang sintal..

Riingg..!! Tapi.. baru saja aku mau masuk ke biliknya yang mungil.. telepon Fenti berbunyi lagi.
“Eh, ntar dulu..! Ntar dulu..! Ada telepon nih..!” Dia beringsut sejenak.. menahan penisku yang sudah bersiap meluncur masuk.

Segera kujauhkan telepon itu.. “Ganggu aja..” aku menggerutu.

“Ayaaahh..! Jangan gitu doong..!” Fenti menggapai-gapai.. tapi malah batang penisku yang kuberikan agar bisa tersentuh tangan lentiknya.

“Teleponnya nanti aja, Bunda sayang..” pintaku sambil kembali meremas-remas bulatan susunya.

“Iya, iya..!” Sahutnya, tapi tetap saja meraih teleponnya. Namun dia tidak keberatan ketika pada saat yang sama aku menyodok masuk.

Slebb.. “Ughh..” menggeram.. aku pun lekas mengocok cepat maju-mundur.

“H-halo, Celia ya..? Ahh.. s-sebentar ya. Saya lagi ada perlu lain nih..! Ehgm.. SMS aja ya..” begitu dia bilang dengan tubuh bergoyang-goyang.

“Hah..? Mbak Fenti kenapa, kok ngos-ngosan begitu..? Sakit ya..?” Tanya Celia.. sobatnya di seberang sana yang agak tulalit.
Lalu klik.. telepon dimatikan sama istriku.

“Hmm.. Ayah.. enak.. terusin..!” Erangnya, terlihat mulai gelisah menahan syahwatnya.

Kudekatkan kepalaku ke buah dada ranum miliknya.. kuisap dan kujilati putingnya yang mungil kemerahan sambil terus kugerakkan pantatku maju-mundur.

Sekitar lima menit kemudian, ia pun menembakkan jurus pamungkasnya.
“Aiiih..!!” Fenti menjerit panjang, sampai tukang sayur yang lagi mangkal di depan rumah mendengarnya sambil celingukan.

“Hah.. kok udah selesai, singkat bener..?” Tanyaku saat kulihat ia melemas lunglai melepaskan cengkeraman.

“Kalo lama-lama, ntar Bunda malah bengek..” dia membalas, menunjukkan tubuhnya yang telanjang dalam pelukanku.

“Lho, kok bisa..?” Sergahku.

Tapi sebelum aku sempat memprotes Fenti sudah keburu meraih baju tidurnya yang berserakan di lantai, lalu mengenakan dan melanjutkan acara memasaknya. Cuek dengan kondisiku yang masih tegang luar biasa.

Menghela napas berat.. lekas aku ngacir ke kamar mandi untuk menetralisir nafas yang masih memburu cepat.
Sial..! Tigapuluh menit kemudian sarapan sudah siap. Aku segera menyantap masakan yang ia hidangkan.
Kepalaku masih nyut-nyutan akibat sahwat yang diputus di tengah jalan.

Setelah mematikan kompor kulihat Fenti menyambar handuk dan melangkah menuju kamar mandi.
“Lho.. Bunda nggak makan..?” Aku bertanya.

“Nanti aja setelah mandi..” jawabnya kalem.. sama sekali tidak merasa berdosa. Aku hanya mengangkat bahu dan meneruskan suapan.

Sebenarnya saat itu aku tidak mengharapkan adanya kejutan.. namun di saat istriku mulai menghidupkan kran.. tiba-tiba saja terdengar suara alunan salam dari luar. Sebuah suara yang sangat-sangat kukenali.

“Dek Han.. sampean ada di rumah..!?” Seru Rissa.. memanggil pelan.

Aku buru-buru meloncat untuk menemuinya, nasi yang masih separo langsung kutinggalkan.
Kulihat dia berdiri di depan pintu. Wajahnya segar.. begitu juga senyumnya yang tersungging manis di bibir.
Meski bajunya pagi itu sangat sederhana, tapi Ya Tuhan.. dia terlihat sangat cantik..!

Kain tipis menempel di tubuhnya yang sintal.. menguraikan tonjolan payudaranya yang kemarin kukenyot dan kupegangi.
Kulihat ada puting mungil yang menyodok di balik jilbabnya. Apa dia tidak memakai beha..? Aku jadi berpikiran aneh-aneh.

Dalam bayanganku langsung terbentuk ukuran.. warna, rasa dan kehangatannya.
Aku ingin kembali mengisap dan menjilatinya, menggigiti lembut putingnya yang mungil kemerahan sementara Rissa mengubur jari-jari tangannya di rambutku.

Tak terasa penisku mulai menegang cepat.. dan tak lama kemudian sudah terasa begitu menyakitkan.
Aku berjalan menyeberangi ruangan sambil terbungkuk-bungkuk dan berdiri tepat di depannya sambil menyeringai.

“A-ada apa, Mbak..?” Tanyaku dengan mata melirik belahan pantatnya yang begitu sekal dan padat.
Kulihat gaun yang ada di situ juga menempel erat.. menampakkan bentuknya yang begitu sempurna.
Ah.. apa dia juga tidak memakai celana dalam..? Aku jadi penasaran karena kemarin aku tidak sempat melihatnya.

Melihat kedatanganku Rissa tersenyum. Tapi dia langsung terlihat rikuh saat menatap motor istriku yang masih terparkir di ruang tamu.
“Dek Fenti masih belum berangkat ya..?” Tanyanya salah tingkah.

Kusambut dia dengan mengajaknya masuk ke dalam. “Dia lagi mandi, habis ini berangkat..”

Tanpa perlu bertanya.. aku jadi tahu apa tujuannya datang kemari pagi ini. Pasti dia ingin melanjutkan yang kemarin.

Malu-malu.. Rissa melangkahkan kakinya yang ramping dan jenjang mengikutiku, tapi kemudian berdiri bingung.
“Nanti saja saya datang lagi..” bisiknya ragu. Matanya menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Suara istriku yang lagi mandi sambil bersenandung kecil terdengar dari sana.

“Tidak apa-apa..” Kupeluk dia dan kutelusurkan tanganku menuruni punggung dan seterusnya.. sampai tiba di belahan pantatnya yang bulat menggoda dan berhenti tepat di sana.

Rissa mendesis.. “J-jangan..!”
Aku mengabaikannya.. malah kini mulai kuremas-remas ringan bokong bulat yang terasa hangat itu..

“Mbak terlihat cantik pagi ini..” bisikku sambil menempelkan batang penisku di depan perutnya.. kubiarkan dia merasakannya.

Mata Rissa melesat menuju kamar mandi di mana istriku berada. “J-jangan nekad..” ingatnya.
Aku mendengus dan semakin meremas-remas gemas.. kuciumi juga pipi dan bibirnya yang merekah indah.

“Dek Han, jangan..!” Rissa berbisik.. lalu berusaha untuk berbalik.

“Hanya sebuah ciuman, Mbak..” aku balas berbisik.. lalu menariknya ke arahku dan mencari bibirnya kembali.

“Ada istrimu di rumah..!” Ia memprotes.. tapi hampir tak terdengar.

“Memangnya kenapa..?” Aku bersikeras.. bibirku mendarat di bibirnya yang lembab.

“Dia lama kalo mandi..”

Kuhujani bibir itu dengan ciuman-ciuman lembut sebelum kemudian lidahku menyelinap ke dalam mulutnya.
Rissa mencoba untuk melepaskan diri, tapi aku segera memegangi bagian belakang jilbabnya untuk mencegah.
Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.. apalagi saat mulai kupegangi payudaranya yang sebelah kanan.

Rissa memberontak.. tampak sangat terkejut dengan tindakanku.
Tapi sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, aku sudah membungkuk dan berbisik di telinganya..

“Saya ingin menebus utang saya yang kemarin, Mbak.."

Rissa mendelik.. terlihat panik dan terkejut. “T-tapi ..” Dia tergagap sebelum aku memotongnya.

“Kita masih sempat kalau Mbak tidak membantah lagi..” bisikku memaksa.

Kutarik dia ke dapur dan kududukkan di atas meja makan.

“Oh, Dek Han. I-ini salah.. kita sudah melangkah terlalu jauh..” rintihnya dengan suara rendah.

“Dan saya tidak berniat untuk kembali, Mbak..” sahutku yakin.. kubelai dagunya dengan tangan kanan sambil melihat ke matanya yang berkaca-kaca..

”Saya hampir tidak percaya bisa punya tetangga secantik Mbak Rissa..” kataku tulus.

“Dek Han..” Dia gemetar.

“Ssst..” kusuruh dia untuk diam.. lalu sebelum dia sempat memprotes lagi aku membungkuk dan menciumnya.
Itu adalah sebuah ciuman lembut tapi basah dan bibirnya terasa lezat. Penisku langsung berdenyut hidup di dalam celana.

“Shh..” Rissa menarik napas dalam-dalam saat bibir kami terlepas.

Kubelai wajahnya yang cantik sambil terus kuhujani dengan pagutan-pagutan ringan di bibir.
Dia membalas dengan setengah hati, namun tidak berniat untuk menolak. Kendali sekarang berada di tanganku.

“Mbak..” Sambil berbisik kubawa dia ke dalam pelukan.

Kembali bibir kami bertemu untuk sebuah ciuman, namun kali ini lebih hangat dan basah.
Lembut aku mendorongnya.. sehingga dia berbaring telentang di atas meja makan. Tak berkedip kukagumi apa yang tersaji di depanku.

Gamis tipisnya terlihat ketat.. menampakkan kedua puting payudaranya yang mencuat bebas seperti ingin merobek menembus kain.
Benar.. dia memang tidak mengenakan bra..!

Bisa kulihat tonjolan payudaranya yang besar.. yang segera kuremas dan kupegangi dengan sepenuh hati.
Rasanya masih sama, tetap empuk dan kenyal di dalam genggaman.

Rissa segera memalingkan mukanya ke samping saat aku menatapnya.. dia terlihat sangat rikuh dan malu.
Meski sudah mempersiapkan semuanya dari rumah.. tak urung naluri keibuannya tetap mengambil alih begitu bertemu denganku.
Aku bisa mengerti.. namun tidak ingin berhenti.

Sambil menatap jilbab hitam panjang yang membingkai wajah cantiknya aku menunduk untuk kembali mencium bibirnya yang tipis.
Dengan lembut aku memagut sebelum membiarkan lidahku bergerak melingkar-lingkar di sepanjang buah dadanya.

Kubenamkan wajahku di sana sambil terus meremas-remas gemas.
Aroma keintiman sensual yang menguar dari tubuhnya semakin membangkitkan gairahku.
Aku merasa penisku semakin berdenyut di selangkangan.

“Mbak sangat cantik. Saya jadi tidak bisa berhenti..” bisikku sambil menoleh dan menemukan bibirnya kembali.

Rissa tidak menjawab.. tapi aku yakin dia menyukai belaianku.
Itu terlihat dari deru nafasnya yang semakin berat, juga wajahnya cantiknya yang tambah memerah seakan terbakar.

Merasa menang.. aku pun kembali menghantam. Dari luar baju bisa kurasakan kedua putingnya mulai menegang.
ASI yang mulai mengalir membuat baju itu jadi sedikit basah.
Aku terus memijat dan meremas-remasnya sampai kurasakan benda mungil itu menjadi sangat kaku di antara jari-jariku.

Bibir kami bertemu kembali.. dan Rissa mengerang dalam satu ciuman lembut saat kutekan bulatan payudaranya dengan satu remasan kuat.
“Auwh..!” Ia mendorong untuk menyingkirkan tanganku.. terlihat begitu kesakitan.

Namun aku memutuskan untuk membuatnya lebih menarik dengan memindahkan bibirku ke puncak payudaranya yang kini sudah terbuka.
Baju gamisnya sudah melorot hingga ke perut menampakkan pemandangan yang sangat menakjubkan.
Bongkahan payudaranya seperti mau meledak.. lengkap dengan dua puting mungil kemerahan yang sudah sama-sama basah oleh air susu.

Lidahku segera meluncur ke sana untuk menjilatinya. Lembut aku mencium dan menggigit.. berpindah dari satu puting ke puting yang lain.
Kutarik pelan dengan gigi sebelum menyerang dengan lidahku.

Bulatannya yang terasa empuk dan hangat kupegangi erat-erat sambil sesekali kuremas-remas gemas.
Kudengar Rissa merintih tertahan, terlihat suka dengan apa yang kulakukan. Tangannya membelai rambutku saat dia terus merintih pelan.

“Hh.. Hhm..” Mendengus seperti kerbau.. jemariku menari-nari ringan di atas perutnya yang rata.

Kusingkap baju gamisnya yang panjang ke atas untuk menampakkan kedua kakinya yang jenjang.
Kuraba-raba belahan pahanya yang halus dan putih mulus.. sebelum tanganku mulai mengusap bibir vaginanya melalui celah celana dalam.
Bisa kurasakan kalau benda itu sudah basah kuyup kebanjiran.

Aku segera bergerak cepat.. mumpung Rissa tidak memprotes. Hampir tidak berbunyi.. kutarik celana dalam itu ke bawah. Srrrrkk..!
---------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd