Cerita 28 – Pesona Tetangga
Part 1
”Siapa, Bun..?” Sambil terus merapikan barang-barang, aku bertanya pada istriku.
”Bu Amin, tetangga sebelah..” jelas istriku..
”Rumahnya pas di kiri rumah kita, dempet tembok..” Tambahnya.
Kuperhatikan ibu muda yang baru saja berlalu dari rumahku itu. Cukup cantik juga.
Kulitnya putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai.
Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar.
Umurnya sudah 32 tahun, kata istriku. Anaknya dua, yang masih kecil baru berusia 6 bulan.
Pantas saja susunya kelihatan montok, dia lagi menyusui rupanya.
Pak Amin, suaminya, bekerja sebagai penghulu di luar kota. Pulang cuma seminggu sekali.
Untuk sementara, itulah info yang bisa aku dapatkan.
”Kenapa, ayah tertarik ya..?” Tanya istriku tanpa menoleh. Tangannya masih asyik memindahkan piring dan gelas ke dalam rak.
”Ah, enggak..” aku berbohong. Siapa sih yang bisa menolak wanita secantik dia.
”Nama aslinya Arissa..” kata istriku lagi.
”Sama seperti dia, sebentar lagi, aku juga bakal tenar dengan nama Bu Handoko..”
Handoko adalah namaku. Sedangkan istriku sendiri bernama Fenti Rahma.
Nama yang cantik, secantik orangnya. Itulah kenapa aku dulu ngebet menikahinya.
Fenti adalah mahasiswi tercantik di kelasku. Bahkan dibanding bu Amin –atau Rissa, begitu aku memanggilnya..– dia lebih cantik.
Tapi entah kenapa, aku malah terus terbayang-bayang wajah ibu muda itu.
Ada sesuatu yang menarik pada dirinya yang membangkitkan rasa penasaranku.
”Ayo, Yah. Jangan ngelamun aja..” tegur istriku.
”Kapan selesainya pekerjaan kita kalau ayah ngelamun terus..” tambahnya.
Kami memang baru pindah rumah. Barang-barang masih banyak yang berserakan menunggu ditata.
”I-iya, Bun..” segera kutepis bayangan tubuh Rissa yang menggoda dan melanjutkan lagi pekerjaanku.
Esok paginya.. aku terbangun oleh suara riang ibu-ibu yang sedang berbelanja.
Rupanya pos gardu depan rumahku adalah tempat mangkal Pak Yus, si tukang sayur langganan. Terdengar suara merdu istriku dan Rissa yang sedang menawar ikan bandeng.
Rissa..? Teringat kemarin, aku langsung berdiri dan mengintip dari celah jendela.
Hari ini, ibu muda itu memakai rok hitam panjang dan kaos oblong tipis.
Wajah cantiknya terlihat polos tanpa bedak apalagi make up. Tapi entah kenapa, aku tetap terpesona dibuatnya.
Di mataku, dia tetap terlihat menarik dengan jilbab warna ungu yang ia kenakan.
Aku segera cuci muka dan berganti pakaian yang pantas. Aku ingin berkenalan dengannya.
Menunjukkan kalau di sebelah rumahnya ada laki-laki ganteng yang siap memuaskan hasratnya kapan saja kalau dia membutuhkan.
”Sudah bangun, Yah..?” Tanya istriku saat melihatku keluar dari rumah.
”Belikan kue dong, laper nih..” aku beralasan. Kuperhatikan semua ibu muda yang berkumpul di situ.
Rata-rata cukup cantik dan seksi. Maklum orang kota, jadi pada pintar dandan dan merawat diri semua.
Tapi yang menang tetaplah Rissa, dia kelihatan paling mencolok dan bersinar.
Bahkan Pak Yus yang sudah tua aja tahu, beberapakali matanya mencuri-curi pandang ke arahnya.. lalu ke istriku, seperti membandingkan.
Segera kusalami semua yang ada di situ. Tak terkecuali Rissa. Aku berusaha berlama-lama saat bersalaman dengannya.
Kurasakan betapa halus dan lentik jari-jarinya. Tapi dia buru-buru menarik tangan dan melepaskan. Mungkin sungkan pada istriku.
Bahkan wanita itu segera pergi begitu belanjaannya sudah terbayar, seperti berusaha menghindar dariku.
Mungkin dia merasa kalau aku berhasrat pada tubuh sintalnya.
Selanjutnya, hari-hari berlalu tanpa ada peristiwa penting yang terjadi.
Aku sering sendirian di rumah karena istriku kerja kantoran, sedangkan aku sendiri adalah penulis lepas yang kadang-kadang juga menerima jasa desain website.
Aku terus memperhatikan Rissa dan tetap curi-curi pandang kepadanya.
Dia mengetahuinya, tapi kini sudah tidak berusaha menghindar lagi.
Bahkan dia sudah mau tersenyum bila kusapa. Suatu kemajuan yang cukup berarti.
***
Hari ini hari Minggu. Rumah sepi, istriku tadi pamit pergi ke pasar untuk berbelanja sayur dan ikan.
Aku yang bangun agak siang segera bangkit dari tempat tidur dan berniat untuk cuci muka.
Saat itulah, sayup-sayup kudengar bunyi gemericik air dari samping rumah. Tepatnya dari rumah Rissa. Sepertinya ibu muda itu sedang mencuci pakaian.
Aku segera naik ke loteng dan mengintipnya. Karena halaman belakang Rissa tidak tertutup, aku jadi bisa melihatnya dengan jelas.
Ini adalah untuk yang ketigakalinya aku melakukannya. Yang pertama dan kedua cukup berkesan, aku bisa melihat sedikit pahanya dan juga lekuk tubuhnya yang menggitar saat pakaiannya basah.
Untuk kali ini, aku berharap dapat melihat lebih.
Seperti biasa, wanita cantik itu cuma memakai daster, yang sekarang sudah nampak basah dan tersingkap hingga memperlihatkan separuh kulit pahanya yang halus dan putih mulus.
Saat dia mengucek.. payudaranya yang besar juga kelihatan bergoyang-goyang pelan.
Inilah yang kusukai, benda itu jadi terlihat sangat indah dan menggiurkan.
Tak terasa, penisku mulai menegang dan mengeras di balik celana.
Aku segera mengeluarkan dan mengocoknya. Sambil terus mengintip, aku melakukan onani.
Saat lagi enak-enaknya, tiba-tiba kulihat Rissa berdiri.
Dia mengangkat dasternya dan serta merta mencopot celana dalam yang ia pakai dan langsung mencucinya sekalian.
Aku tercekat. Nafasku bagai berhenti. Bagaimana tidak, meski cuma sekilas, aku bisa melihat seluruh pahanya yang putih mulus dan juga vaginanya yang mungil kemerahan dengan sedikit rambut-rambut halus tumbuh di atasnya.
Ohhh.. sungguh sangat menggairahkan sekali. Aku jadi tak tahan. Ingin rasanya aku loncat ke bawah dan memperkosanya saat itu juga.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Yang bisa kulakukan cuma terus mengintip sambil mengocok penisku semakin cepat.
Aku sudah hampir orgasme saat kudengar bunyi motor istriku meraung memasuki halaman.
Segera kusudahi kegiatanku dan turun menyambutnya. Daripada sperma dibuang percuma, kan mending ditaruh di lubang yang tepat.
Istriku baru saja membuka pintu saat aku menarik tangannya dan menyeretnya ke tempat tidur.
”Yah, apa-apaan sih..?” Dia protes, tapi tidak menolak.
Tanpa basa-basi lagi, aku segera mencium bibirnya yang tipis dan indah itu. Kujilat lipstiknya yang berbau strawberry..
Meski masih bingung, karena baru pulang dari pasar langsung kuserang, dia tetap membalas dengan penuh gairah.
Saat tanganku bergera merambahi buah dadanya, dia juga ikutan dengan meraih penisku yang sudah tegak di balik celana dan membetot-betotnya keras.
”Ehmm.. Yah, kok tumben sih..?” Tanyanya saat tanganku mencari kaitan BEHA kuningnya dan menariknya lepas.
Aku juga menyingkap kaos hitamnya ke atas hingga tampaklah buah dada Fenti yang bulat dan putih mulus.
Dengan gemas, kuremas-remas benda bulat empuk itu dan kucucupi putingnya berkali-kali.
”Oughh..” istriku langsung mendesah sambil menggelinjang.
”Ohhh.. Ayah..!” Tubuh sintalnya melenting ke depan, membuatku makin leluasa menjilati putingnya yang terasa mulai sedikit mengeras.
”Yah, geli..!” Rintihnya lagi saat tanganku menjalar meraba paha mulusnya, dan terus naik hingga masuk ke balik celana dalamnya.
”Ayah pengen, Bun..” aku berkata singkat.
Untuk alasan kenapa aku sampai bergairah seperti ini, tentu saja tidak bisa kukatakan.
Istriku sepertinya juga bergairah karena kulihat celananya sudah mulai basah oleh cairan kewanitaannya. Dia juga dengan tak sabar membuka kancing piyamaku.
Saat aku sudah telanjang dada, dia langsung mencium dan menjilati putingku.
Lalu terus ke bawah ke perutku. Kemudian dia berlutut dan dengan tangannya yang lentik berbulu halus, dia merogoh ke dalam celana kolorku dan mengeluarkan kemaluanku yang sudah menegang dahsyat.
"Ohh.. sudah ngaceng rupanya. Besar sekali, Yah. Bunda suka.." katanya sambil mengagumi kemaluanku dari dekat.
Meski sudah sering melihat dan menikmatinya, dia masih tetap terpesona dibuatnya.
Fenti tidak melanjutkan lagi kata-katanya karena mulutnya yang mungil itu kini sudah melahap dan mengulum penisku.
”Hmph.. Hmph..” matanya melirik nakal kepadaku, sementara tangannya sibuk meremas-remas buah zakarku.
"Hmm, isap terus, Bun. Ya begitu! Ough, enak..!" Rintihku sambil menahan rasa nikmat yang kembali menjalar hebat.
Tidak tahan, segera kutarik tangannya agar berdiri. Aku berbaring telentang di kasur, sementara Fenti naik ke atas tubuhku.
Dia menyibak rok dan celana dalamnya hingga vaginanya kelihatan.. dan menaruhnya tepat di atas kemaluanku yang sudah menjulang dahsyat penuh gairah.
Pelan.. Fenti menurunkan tubuhnya hingga batangku pun menerobos masuk ke liang vaginanya yang masih sempit itu.
"Ough..!” Jeritnya tertahan.
Aku yang sudah tak sabar segera memegang pinggangnya dan menggerakkannya naik-turun hingga kemaluanku yang besar keluar-masuk menjelajahi liang nikmat istriku yang cantik ini.
Sambil terus menggoyang.. tanganku juga bergerak meremasi buah dadanya yang bergoyang-goyang indah saat perempuan itu bergerak turun-naik.
Sesekali juga kutarik badannya sehingga buah dadanya yang besar itu jatuh tepat di depan wajahku. Dengan penuh nafsu aku mengisap dan mencucupinya.
"Ohh.. Yah..! Enak banget..!" Desah istriku sambil terus menggoyang-goyangkan badannya naik-turun di atas kemaluanku.
Setelah beberapa menit, aku turunkan tubuhnya dan aku suruh dia untuk menungging sambil berpegangan pada tepian tempat tidur.
Kembali aku sibakkan roknya hingga tampak pantatnya yang putih mulus menggairahkan.
Kutarik celana dalamnya yang sudah miring ke samping hingga vaginanya tampak jelas kelihatan dari belakang.
Dan segera kuarahkan kemaluanku ke sana.
Slepp..! Dengan mudah penisku menusuk masuk. Sambil berpegangan pada jilbabnya yang panjang kugenjot lagi tubuh sintalnya.
Fenti langsung merintih-rintih sambil merem melek keenakan..
”Yah, Ohhhhh.. Terus, Yah.. lebih keras..! Terus..! Lebih cepat..! Oh.. Ayah..!” Racaunya.
Aku menggenjot makin cepat. Tusukanku juga semakin kuat dan dalam.
Tanganku kini memegangi payudara istriku yang menggantung indah di depan dadanya.
Kuremas-remas benda bulat padat itu sambil terus kutusukkan penisku kuat-kuat.
"Ohh.. Yah, aku hampir sampai! Ough..!” Jeritnya.
"Tentu, sayang. Aku juga hampir sampai..” bisikku manja di telinganya.
Kemaluanku sudah terasa kaku dan berdenyut-denyut.
Terus mengenjot dia dari belakang, aku akhirnya meledak. Crett.. crett.. crett.. crett..
Sambil sibuk meremas-remas buah dadanya yang bergoyang-goyang menggemaskan, aku menyemburkan spermaku yang hangat dan kental ke lubang kemaluan istriku yang sempit dan legit.
"Ahh.. Yah..” Fenti melenguh saat menerimanya. Bersamaan, tubuh sintalnya mengejang dan bergetar-getar ringan.
Dia menyusulku mencapai klimaks.
”Memang enak ya, Yah.. bercinta tiba-tiba kayak gini..” Fenti mencabut penisku dan mengulumnya. Dia mengemut dan menjilatinya hingga bersih.
"Terimakasih, Bun. Ayah puas sekali..” bisikku jujur.
"Sama-sama, Yah. Bunda juga puas sekali..” sahutnya sambil bergegas membetulkan pakaiannya kembali.
”Harus cepat-cepat masak nih, sudah siang..” dan tanpa mengenakan atasan, dia pergi ke dapur, memasak dengan bertelanjang dada.
Tapi tentu saja payudaranya tidak kelihatan karena tertutup jilbab.
Sementara aku, berbaring kelelahan di atas tempat tidur. Merasa puas sekaligus penasaran.
Senikmat apakah rasa tubuh Rissa..? Aku harus menahannya dengan sabar untuk mengetahui jawabannya karena besok istriku mengajakku mudik ke desa untuk mengunjungi rumah orangtuanya.
***
Istriku membagi buah-buah itu menjadi beberapa bungkus. Kami baru saja balik dari desa dan mendapat oleh-oleh buah yang sangat banyak.
Tidak akan habis kalau cuma dimakan berdua. Jadi istriku berinisiatif untuk memberikannya ke tetangga-tetangga sekitar.
“Sini, Bun, biar ayah yang antar jatahnya Bu Amin..” aku sudah tidak sabar untuk bertemu wanita cantik itu. Padahal baru dua hari kami berpisah.
Selama di desa, aku terus terbayang-bayang wajahnya, juga postur tubuhnya yang tinggi dan langsing, dan yang terutama: paha dan kemaluannya yang menggiurkan yang kemarin sempat kulihat, meski cuma sekilas.
“Ini..” tanpa curiga.. istriku memberikannya.. ”Titip juga ya punyanya Bu Tari..” tambahnya.
Aku bergegas keluar rumah sambil membawa dua kantung kresek berisi buah.
Kulihat pintu rumah Rissa tidak terkunci.. aku pun mengintip sebentar dan mengucapkan salam.
“Assalamualaikum..!” Kutunggu sebentar, namun tidak ada jawaban.
Kuulangi lagi.. sambil kali ini dengan mengetuk pelan pintu rumahnya. Tetap tidak ada jawaban.
Hanya terdengar suara musik mengalun dari dalam, kalau tidak salah dari grup vokal Raihan.
Seharusnya ada orang di rumah ini, tapi kenapa tidak ada yang keluar..?
Penasaran, akupun memberanikan diri untuk melangkah masuk. Baru saat itulah aku mengetahui alasannya.
Kulihat Rissa keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk.
Tubuh sintalnya yang montok dan putih mulus terbungkus rapat sebatas dada dan paha. Sisanya yang tidak tertutup, jadi santapan mataku.
Rambutnya yang agak keriting terlihat tergerai basah sepunggung.
Karena selama ini selalu memakai jilbab, tak kubayangkan kalau dia memiliki potongan rambut seperti itu.
Pundaknya putih, dengan tonjolan dada yang mengintip sedikit, dan tidak kalah putih.
Begitu juga dengan lengan dan pahanya. Di sanalah terutama kuarahkan pandanganku.
Kapan lagi mengintip sebagian paha Rissa kalau tidak sekarang.
Benda itu tampak begitu mulus, juga putih dan licin. Tetesan air yang masih membasahi semakin membuatnya indah.
Lalat yang coba-coba menempel di sana kujamin akan langsung terpeleset karena saking mulusnya.
“Huh..” Tak sadar, aku mulai kesulitan menelan air liur.
Rissa masuk ke dalam kamar tidurnya, tapi tidak menutup pintunya karena yakin masih sendirian di rumah.
Padahal di dekatnya ada aku yang terus mengintip dengan hati berdebar-debar.
Kulihat anaknya yang berumur 6 bulan tidur terlelap di atas buaian, sementara anaknya yang lain sedang sekolah.
Dari celah pintu, aku terus memperhatikannya.
Duduk di depan meja rias, kulihat Rissa mengambil hairdryer dari dalam lemari untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
Dia menghadap tepat ke arah meja rias, karena cerminnya besar, bisa kulihat dengan jelas bagian depan tubuhnya, juga wajah cantiknya yang jelita.
Namun ia tidak bisa melihatku karena aku berusaha menyembunyikan diri dengan baik.
Dari tempatku mengintip, jantungku mulai berdebar saat mengantisipasi apa yang mungkin terjadi.
Dan aku tidak kecewa. Rissa mengembalikan hairdryer ke dalam lemari dan mulai membuka simpul handuknya.
Kain putih itu dengan cepat melorot.. menampakkan tubuh bugil Rissa yang duduk telanjang bulat di atas tempat tidur.
Mataku serasa mau melompat dari tempatnya begitu melihat tubuh telanjang itu.
Penisku langsung mengeras tanpa perlu kupegang.
Rissa memang masih duduk membelakangiku, lebih sering kulihat punggungnya daripada bagian depan tubuhnya.
Tapi itupun sudah cukup karena aku masih bisa melihatnya melalui pantulan di kaca cermin.
Payudaranya terlihat begitu putih dan montok. Berukuran sangat besar dan sungguh menggiurkan.
Lebih dari setangkupan tangan. Tidak nampak turun sama sekali, malah cukup montok menurutku.
Putingnya mungil kemerahan, dengan tonjolan sebesar jari kelingking yang nampak sangat segar.
Bulatannya putih sekali, hampir aku bisa melihat urat-urat hijau yang berkelindan di sana.
“Ahh..” aku melenguh saat merasakan batang penisku yang jadi semakin mengeras, kucoba untuk sedikit meluruskannya karena terasa ngilu saat terjepit di balik celana.
Di dalam kamar, Rissa masih duduk di depan meja rias dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke kanan untuk mencari sesuatu dari laci.
Ia menarik keluar sebuah handuk kecil dan kemudian membungkuk untuk mulai mengeringkan tonjolan buah dadanya.
Kedua bulatan yang sangat kurindukan itu ditekan-tekannya ringan, membuatnya jadi bergoyang-goyang indah saat ia membungkuk dan kemudian berdiri tegak.
Aku terus menatap sambil menahan napas, dan tanpa sadar kucengkeram penisku keras-keras saat ia berbalik dan mulai berjalan langsung ke arahku.
Tak berkedip aku menatap bagian mungil yang sedikit berbulu di antara kakinya, sekaligus juga terpaku pada payudara cantik telanjangnya.
Ia menaruh handuk ke cantelan baju dan kemudian berbalik untuk kembali ke tempat tidur, pantat seksinya terlihat menggeliat indah saat dia berjalan.
"Berbaliklah dan biarkan aku melihat memekmu lagi..” kataku keras-keras pada diri sendiri.
Celanaku sudah kulepas dan aku sudah mulai mengocok penisku pelan-pelan.
Namun Rissa tidak mengabulkan. Ia terus berjalan dan baru berhenti ketika tiba di depan lemari. Diambilnya sesuatu dari dalam sana.
Dari pantulan cermin, bisa kulihat kalau itu adalah sebuah celana dalam hijau tipis yang bagian tepinya berenda rumit.
Kuperhatikan saat ia mulai membungkuk untuk memakainya.
Dari belakang, aku bisa melihat belahan mungil di antara kedua kakinya, juga bulatan bokongnya yang semakin nampak mulus dan indah.
Payudaranya yang menggantung ke depan ingin kutangkup dengan dua tangan.. takut apabila mereka sampai jatuh ke lantai.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Jadi sambil membayangkannya, kukocok juga penisku semakin keras.
Rissa sekarang mengambil bra dan menaruh di sekitar pinggangnya, lalu mengait dan mengencangkannya sebelum diputar untuk digunakan menangkup kedua tonjolan buah dadanya.
Ia memasukkan dua bulatan yang sepertinya sangat empuk itu satu per satu ke dalam sana.
Payudara itu bergoyang-goyang indah, seakan melambai kepadaku untuk yang terakhir kali sebelum hilang ke balik beha.
Ah, aku jadi semakin sulit untuk bernapas. Aku mengocok semakin keras dan tanpa sadar rasa nikmat itu tiba-tiba datang.
Saat aku masih bingung ingin menembak di mana, spermaku sudah keburu muncrat keluar membasahi dinding dan pintu kamar.
Aku kaget, tapi tidak sempat memikirkannya lebih jauh karena kulihat Rissa mulai berjalan meninggalkan kamar tidur, ia kini berpakaian lengkap.
Baju panjang dan jilbab putih lebar membingkai tubuhnya yang sedaritadi kunikmati.
Aku cepat-cepat membenahi celana dan bergegas keluar. Tidak kupikirkan lagi spermaku yang berceceran di sana.
Kalau memang Rissa nanti mengetahuinya, biarlah. Toh dia tidak akan menuduhku.
Berpikir seperti itupun, aku pun berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.. pura-pura baru datang.
Kembali kuucapkan salam. Kali ini dengan cepat Rissa menyahut dan pergi keluar menemuiku.
“Eh, Dek Handoko.. katanya pergi ke kampung..?” Tanyanya ramah.
Senyumnya itu lho, membuatku jadi bingung dan kehilangan kata-kata.
“Eh, i-iya..” Namun aku cepat berusaha menguasai situasi.
“Barusan pulang. Ini ada sedikit oleh-oleh..” kataku sambil memberikan buntelan kresek.
Kutatap tubuhnya yang tertutup rapat itu, tapi yang terbayang di otakku malah dia yang lagi telanjang. Dasar sinting..!
“Kenapa, Dek..?” Tanyanya saat melihatku bengong.
“Eh, enggak. Nggak pa-pa..” Daripada salah tingkah terus, aku pun segera pamit.
Rissa mengucapkan terimakasih dan kami pun berpisah. Kuteruskan langkah ke rumah Bu Tari.
Wanita yang satu ini sudah tidak menarik, posturnya kecil dan badannya juga kurus sekali.
Bukan seleraku. Jadi setelah berbasa-basi sejenak, akupun cepat pamit.
-----
Di rumah, istriku menunggu tanpa curiga, padahal aku pergi hampir setengah jam hanya untuk mengantar ke dua rumah.
Salahkan Bu Amin, Bun.. kalau Ayah sampai pulang telat.. kataku dalam hati.
Selanjutnya kuantar sisa buntelan ke tetangga-tetangga lain.
Sorenya, Rissa datang ke rumah. Ia mengantar semangkok kolak ubi sebagai ganti karena sudah dikasih buah-buahan.
“Moga-moga nggak kemanisan..” katanya bercanda.
“Kok repot-repot sih, Mbak..?” Sahut istriku.
Sementara aku cuma tersenyum karena pikiranku kembali dipenuhi oleh fantasi tubuh telanjangnya.
Entahlah, aku tidak bisa mengenyahkan bayangan itu. Bahkan kini, setiapkali ngobrol dengannya.. aku seperti bisa melihat tubuhnya dan membayangkannya telanjang, seperti yang kulihat siang sebelumnya.
Untungnya aku masih bisa mengendalikan diri, cukup puas hanya dengan membayangkan saja, tidak berpikiran untuk menggoda apalagi memperkosanya, meski jujur keinginan itu sempat muncul juga, tapi cepat-cepat kutekan.
Untuk melampiaskan nafsu birahi, terpaksa istriku yang jadi korban.
Memang ia tidak curiga, tapi sempat bertanya juga.
“Sejak pindah ke rumah ini, nafsu Ayah jadi ugal-ugalan..“ katanya suatu hari sehabis kusetubuhi di kamar mandi.
“Kenapa..?” Aku bertanya.
“Nggak apa-apa sih, aku hanya takut..” dia mengedikkan bahunya.
“Jangan-jangan di rumah ini ada jin penunggunya dan dia merasuki Ayah hingga jadi seperti ini..”
Aku tertawa..” Jangan percaya tahayul..” kataku sambil melanjutkan dalam hati: bukan jin, Bun, tapi bidadari cantik, dan bidadari itu ada di sebelah rumah kita.
Tapi tentu saja itu tidak kuutarakan.
Beberapa hari selanjutnya tidak ada insiden yang cukup berarti.
Hari-hari berjalan tenang; istriku ke kantor, aku menulis di rumah, sementara Rissa pergi-pulang mengantarkan anaknya ke sekolah.
Jam di mana dia mengantar, bisa dipastikan aku akan standby di teras.
Meski hanya sekedar menyapa dan basa-basi sejenak, sudah cukup membuatku puas.
Senyumnya, dan juga bentuk tubuhnya yang kuperhatikan jadi semakin ramping dan montok, semakin membuatku tergila-gila.
Entah apa yang terjadi dengan diriku, sudah punya istri cantik tapi masih saja suka pada istri tetangga.
Padahal usia kami terpaut hampir empat tahun.. dan Rissa juga sudah punya dua orang anak.
Tapi justru itu yang jadi penyebab, aku sepertinya lebih tertarik pada perempuan yang lebih matang.
Oedipus Complex.. atau pun rumput tetangga lebih hijau.. mungkin itu yang tepat untuk menggambarkan.
Pada istriku, aku memang tergila-gila. Tapi pada Rissa, aku juga bernafsu. Bikin bingung.
Bayangan tubuh telanjangnya terus menghantui pikiranku, dan tanpa sadar aku menginginkannya lagi.
Mau pergi ke rumahnya – siapa tahu bisa mengintip lagi..– tapi tidak ada alasan yang tepat dan takut dipergoki.
Jadilah aku konak sendiri hingga setiapkali mendengar desir air di halaman belakang aku langsung berlari ke sana.. berharap bisa melihat Rissa yang sedang mencuci baju, karena biasanya pemandangannya akan sangat indah dan menggiurkan.
Tapi sepertinya aku belum beruntung karena Rissa rupanya cuma membuang air sisa memasak.. atau kalau tidak gitu cuma menyiram bunga yang tumbuh subur di antara pekarangan kami.
“Hahh..” aku menghela napas berat dan kembali duduk di depan laptop. Mencoba melanjutkan menulis, tapi tidak ada ide.
Pikiranku rasanya jadi buntu karena terus-menerus membayangkan tubuh telanjangnya. Sampai akhirnya istriku pulang pada sore hari.
“Ada apa, Yah..?” Tanyanya saat melihatku lemas dan tak bersemangat.
“Nggak apa-apa, mungkin sedikit capek..” jawabku berbohong.
Istriku segera pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat, sementara aku berbaring rebahan di depan tv sambil memindah-mindah channel.. tak tahu mau menonton apa.
Kudengar bunyi air yang mengucur perlahan, awalnya kukira itu istriku yang mau memasak air.
Tapi kok lama, mau masak berapa banyak..?
Namun aku tidak berniat untuk melihatnya.. sampai kudengar suara istriku yang memanggil perlahan.
“Yah, cepetan sini..!” Kepalanya melongok dari dapur.. ada senyum jenaka di parasnya yang cantik.
“Ada apa sih..?” Aku hanya menoleh.. tapi masih malas untuk bangun.
“Sudah sini.. Ayah pasti suka..” kata istriku lagi.
Karena penasaran, akupun bangkit dan menghampirinya.
Dia tersenyum lebih lebar dan menunjuk ke jendela, ke halaman belakang rumah Rissa.
Mataku langsung terbelalak.
Di situ, kulihat si cantik yang selalu menjadi obyek fantasiku itu sedang merendam baju ke dalam bak cuci.
Daster yang dikenakannya terlihat tipis sekali, dan ketika tersorot oleh sinar matahari sore, bisa kupastikan kalau saat itu dia tidak mengenakan beha dan celana dalam.
“Ternyata rambut Bu Amin panjang juga ya..” komentar istriku. Aku yang pura-pura tidak tahu hanya bisa ikut mengangguk.
Dasar wanita, fokusnya pada hal-hal yang tidak penting.
Kalau aku sih lebih suka menatap bulatan payudara dan juga bokong mengkal si Rissa yang terlihat begitu montok dan menggiurkan di depan sana. Ngapain ngurusi rambut, buang-buang waktu saja.
Kami terus menonton. Kuperhatikan Rissa yang mulai mengucek beberapa cuciannya.
Payudaranya terlihat bergoyang-goyang indah, juga belahan pahanya yang kini jadi nampak sedikit basah.
Namun Rissa seperti tidak mempedulikannya, ia cuek saja.
Halaman belakangnya yang bertembok tinggi memungkinkan bagi dia untuk berbuat bebas seperti itu.
Hanya dengan rumahku, halaman itu dibatasi oleh pagar tanaman, sehingga kami bisa menonton aksinya sepuas hati.
“Hei, lihat..!” Istriku menunjuk ke pintu belakang, di sana kulihat Pak Amin berjalan keluar dengan hanya berkain sarung.
Tubuhnya yang tambun tampak menggelikan.
Dan aku hampir meledak tertawa saat tiba-tiba Pak Amin melepas kain sarungnya dan memberikannya kepada sang istri.
“Ihh.. Abi nggak tahu malu..!” Pekik Rissa sambil menepuk pelan pantat telanjang sang suami.
Pak Amin tertawa dan balas menepuk bokong istrinya.
“Buat apa malu, kan hanya ada kita berdua di sini..” sambil berkata begitu ia memeluk Rissa dari belakang dan menciuminya mesra.
Rissa menggeliat.. ”Sudah, Bi. Aku harus nyuci..” dia berusaha melepaskan diri.
Tapi Pak Amin terus mendekapnya dan kini malah menggelitik pinggangnya.
“Hei, mau ngapain mereka..?” Tanya istriku saat melihat Pak Amin mulai mengangkat daster Rissa ke atas.
Aku tidak menjawab. Mataku lebih sibuk memperhatikan adegan di depan sana daripada menjawab pertanyaan istriku.
Kalau tadi kami tega mengejek penis Pak Amin yang nampak kecil dan mungil.. sekarang kami ganti memuji-muji Rissa yang tubuhnya nampak indah menggairahkan.
Pak Amin sudah membaringkan istrinya itu di meja cucian.
Daster Rissa sudah terangkat hingga ke perut.. menampakkan kaki jenjang dan juga belahan pinggangnya yang mulus menggitar.
Bokongnya bulat dengan serabut hitam halus menutupi celah mungil di antara kedua kakinya, persis seperti yang kulihat beberapa hari yang lalu.
Payudaranya masih tertutup oleh daster, tapi Pak Amin sudah meremas-remasnya gemas hingga membuat Rissa jadi mendesis dan merintih kegelian.
“S-sudah, Bi.. hentikan..” Rissa mengeluh namun cuma setengah hati, karena begitu Pak Amin menyambar dan melumat bibir tipisnya, ia langsung terdiam.
Malah yang ada, tangannya mulai ikut meremas-remas penis sang suami hingga benda yang sedaritadi meringkuk itu mulai menggeliat bangun.
“Masih besar punya Ayah..” kata istriku mengomentari. Aku mengangguk sambil melonggarkan bagian atas celana jinsku.
Istriku yang melihatnya langsung berkata.. ”Kenapa, Yah, ngaceng ya..? Dilepas aja sekalian..”
“Hah..!?” Aku berseru kaget.
Tapi jawabannya langsung membuatku mengerti. “Nggak pengen ngelakuin kayak mereka..?”
Tentu saja aku ingin. Jadi lekas kulepas celana jinsku, juga celana dalamnya sekalian.
Sambil memperhatikan Rissa yang mulai digoyang oleh suaminya, kurengkuh tubuh montok istriku ke dalam pelukan dan kuraba-raba tonjolan payudaranya yang masih terbungkus baju kerja.
“Lepas, Bun..” aku meminta.
Istriku segera melonggarkan kancing bajunya, juga resleting rok panjang yang ia kenakan.
Sedang jilbab lebarnya tetap ia kenakan karena mengerti kalau aku lebih suka ngentot dengan jilbab tetap terpasang rapi.
Oh, rasanya sungguh luar biasa, bersetubuh sambil mengintip permainan tetangga.
Apalagi kalau tetangganya cantik seperti Rissa.
“Jangan bayangin dia lho ya..” kata istriku mengingatkan saat aku mulai melakukan penetrasi.
“Hehe..” aku hanya bisa tersenyum menanggapi.
“Bunda juga jangan bayangin Pak Amin lho ya..” aku balas mengancam.
“Nggak bakalan, Yah. Lha penisnya kecil gitu, Bunda lebih suka yang ini..” kata istriku sambil menggenggam batangku dan melumatnya pelan.
Dia mengemutnya sebentar agar jadi sedikit basah, setelah itu menyuruhku agar menusuk lagi.
“Pelan-pelan, Yah.. argh..!” Dia mengerang saat aku menghentak cepat.
Slebb.. Terus kudorong batangku hingga akhirnya terbenam semua.
“Heran, kok bisa Bu Amin puas dengan penis sekecil itu..?” Kata istriku saat aku mulai menggoyang perlahan.
“Bahkan sampai bisa punya dua anak..”
“Tanyakan sendiri kepadanya, Ayah mana tahu..” jawabku sambil mencium dan meremas-remas tonjolan buah dadanya.
Ukurannya sedikit lebih kecil dari milik Rissa, tapi lebih padat dan mengkal.
Maklum.. istriku masih belum pernah melahirkan, kami baru menikah dua bulan yang lalu.
“Cantikan mana aku sama Bu Amin..?” Tanya istriku, matanya terpejam menikmati genjotanku.
“Cantik Bunda dong..” Aku tidak mau berbohong, memang lebih cantik istriku.
Tapi ada sesuatu dalam diri Rissa yang menggelitik rasa penasaranku.
Di halaman sebelah, kulihat tubuh Pak Amin mulai terkejang-kejang dan setelah itu lemas terkulai di pelukan sang istri.
Rissa tampak kecewa, namun raut muka kesalnya hanya nampak sesaat sebelum digantikan oleh senyum manis yang sanggup membuat lelaki manapun meleleh.
Tak terkecuali diriku.
Kuperhatikan saat Pak Amin mencabut penisnya dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.
Sementara Rissa segera mengelap sisa-sisa lendir yang ada di selangkangannya dengan ujung daster.. lalu merapikan bajunya dan melanjutkan mencuci.
Di dapur, aku dan istriku masih jauh dari kata selesai.
Aku mengubah posisi dengan batang kejantananku masih di dalam liang senggama Fenti.
Kuangkat satu kaki istriku ke atas meja dapur, lalu kembali kumaju-mundurkan senjata keperkasaanku di liang senggamanya dengan irama sedang namun cukup mantap.
Kemudian, tidak lama setelah itu, aku mengubah posisi lagi. Sekarang menungging.
Aku tusukkan batang kejantananku dari arah belakang. Jelbh.. clebbh.. slebb..
“Ahh.. aah.. Yah, aku mau keluar..” rintihnya sambil berusaha menahan dorongan yang kulakukan.
“Keluarin aja, Ayah masih belum..” balasku yang masih tetap memacu cepat.
“Aahh..!!” Istriku menjerit saat dari liang senggamanya memancar cairan bening yang amat banyak.
Aku merasakan lubang kemaluannya jadi licin karena cairan itu. Tapi aku masih terus mengocok karena rasanya juga jadi semakin nikmat.
“Hah.. hah..” Napas istriku terengah-engah, namun tersungging senyum kepuasan di bibirnya yang tipis..
”Kasihan Bu Amin ya, Yah. Nggak pernah merasakan yang seperti ini..” ujarnya.
“Iya, letoy banget tuh suaminya. Suruh ke sini, Bun, biar Ayah puasin..” kataku bercanda.
“Yee.. enak saja..!”
Istriku mengajak berganti posisi. Sekarang dia berbaring di meja makan.
Pakaiannya sudah acak-acakan dan semrawut tak karuan.
Payudara yang bulat nampak mencuat indah dari sela-sela beha yang kutarik hingga ke perut.
Aku segera mengulum dan menciuminya sambil berusaha memasukkan kembali batang penisku.
“Yah, aghh..” istriku merintih. Kuangkat kedua kakinya dan kurentangkan lebar-lebar agar aku bisa menyodok dengan bebas dari arah depan.
10 menit kemudian, aku sudah tidak tahan lagi.
Segera kutekan batang kejantananku kuat-kuat dan kutembakkan spermaku secara bertubi-tubi di liang rahimnya.
Dengan begitu aku berharap istriku bisa segera hamil.
Sesudah itu kami segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sambil menyabuni tubuhku, istriku sempat berkata.. ”Ternyata tadi lemas karena pengen toh..”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Masa' harus kukatakan kalau lemas karena kangen dengan Rissa..? Bisa rame urusannya..!
Tapi adegan intip mengintip itu terbukti bisa mengembalikan mood-ku.
Aku kembali bersemangat dan ide dalam menulis juga mengalir deras.
Dalam sekejap aku bisa menyelesaikan draf novel yang sudah berbulan-bulan terkatung-katung.
Istriku bahkan sampai heran.. ”Tumben, nggak biasanya Ayah begini..” katanya.
Aku hanya menjawab dengan memeluk dan memberinya ciuman mesra di bibir.
Itu baru ngintip, bayangkan kalau bisa tidur beneran. Bisa-bisa aku sanggup menulis ensiklopedia.
-----------
Keesokan harinya, istriku berangkat kerja seperti biasa.
Rissa juga pergi mengantar anak-anaknya, sementara suaminya sudah sejak subuh tadi berangkat kerja ke luar kota dan baru balik minggu depan.
Hari itu Selasa dan aku sudah menggarap satu draf novel baru yang berjudul ‘Pesona Tetangga..’
Ini novel pribadi, tidak akan terbit dan beredar di toko buku karena isinya memang sangat-sangat istimewa, namun bisa didapatkan dengan harga murah di blog *******. Hehe..
Sengaja kutulis sebagai bahan koleksi. Bab satu sudah rampung, tapi bab selanjutnya membuatku bingung.
Aku tidak tahu harus menulis apa karena memang aku belum mengalaminya.
Ingin mereka-reka, namun tidak ada adegan yang cocok. Aku lebih sreg menulis novel ini seperti kenyataan yang sebenarnya.
Suntuk, akupun memutuskan untuk jeda sebentar. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi saat aku mematikan laptop dan pergi ke luar.
Karena tidak punya tujuan, aku hanya jalan muter-muter di seputaran kompleks.
Di pertokoan dekat pintu masuk, kulihat ada Ruko baru yang menjual buku. Sepertinya koleksinya cukup lengkap. Karena tertarik, akupun mampir ke sana.
Dua jam kemudian, aku pulang sambil menenteng dua buku karya Neil Gaiman dan satu majalah wanita untuk istriku.
Tapi aku tidak langsung membacanya, aku lebih memilih untuk istirahat tidur siang daripada menelusuri kata-kata rumit karya tukang dongeng dari barat itu.
Sorenya aku baru bangun ketika istriku sudah pulang dari kantor.
“Enaknya yang lagi nganggur..” dia menyindir.
Aku nyengir dan setelah memberinya ciuman selamat datang di pipi.. langsung ngacir ke kamar mandi.
Sementara istriku pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Rasanya baru sebentar berada di kamar mandi ketika sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil di pintu depan.
Istriku langsung sigap mendatangi.
Kudengar mereka bercakap-cakap, tapi tidak jelas karena tertutup oleh suara air shower yang lagi mengguyur rambutku.
Pasti para peminta sumbangan, batinku. Biasanya jam-jam segini mereka bergerak keliling kompleks, pura-pura meminta dengan mengatasnamakan yayasan anak yatim atau pondok pesantren yang letaknya jauh, bahkan sering daerahnya saja tidak kukenal.
Biasanya kalau menghadapi yang begini, aku mengusir mereka dengan halus.
Lebih baik langsung bersedekah kepada anak yatim di sekitar rumah daripada memberikannya ke orang asing yang tidak kukenal.
Kudengar setelah bercakap-cakap, istriku masuk kembali ke dalam rumah dan meneruskan acara memasaknya.
Akupun meneruskan mandiku.
Namun lagi asyik keramas, tiba-tiba kudengar istriku berteriak dari arah dapur.
“Yah, Tolong..! Aduh, krannya jebol..! Gimana ini..!?” Dia terdengar panik.
“Ada apa, Bun..?” Aku bertanya.. tidak terdengar cukup jelas tadi.
“Krannya jebol..!” Dia berteriak lebih kencang.
Aku segera membasuh rambut dan mematikan shower, lalu dengan hanya berbalut handuk aku keluar dari kamar mandi dan melangkah bergegas menuju dapur.
Yang aku tidak tahu –karena letaknya bersebelahan..– ternyata puncratan air kran sudah menggenang di depan kamar mandi.
Jadi begitu melangkah, aku langsung terpeleset dan jatuh berdebum.
“Iiihh, Ayah. Pake acara jatuh segala..” omel istriku sambil berusaha menyumbat air yang menyembur deras.. nampak tak peduli denganku yang merintih kesakitan di sebelahnya.
Aku berusaha bangkit.. handukku yang melorot dan jatuh ke lantai kubiarkan saja.
Dengan tubuh telanjang kuhampiri istriku dan kubantu dia untuk memegangi kran.
“Yah, pake kembali handuknya..!” Dia mendelik.
Di dahinya terlihat cucuran keringat.. namun entah kenapa itu malah membuatnya menjadi semakin cantik.
Belum lagi saat itu dia hanya mengenakan daster pendek yang sebenarnya tidak terlalu ketat, tapi karena terkena percikan air jadi menampakkan bentuk pantat dan pinggulnya yang bulat.
Garis dari celana dalamnya juga terlihat jelas, semakin memancing gairahku.
Ah, seksi sekali istriku ini.. pikirku kotor.
Kuputar kran yang lepas itu ke posisinya semula. Air mulai tersumbat dan lama-lama menjadi semakin kecil.
Yang tidak aku sadari adalah, ternyata posisi tubuhku saat ini jadi seperti memeluknya dari belakang.
Bisa dibayangkan, tanpa sengaja juga penisku jadi mengenai belahan pantatnya yang sekal.
Keadaan ini bertahan beberapa lama hingga air jadi tersumbat sepenuhnya.
Namun sebagai gantinya.. penisku yang kini jadi menegang sempurna.
“Ayahh..!” Hardik istriku saat aku berusaha menggesek-gesek bulatan pantatnya.. namun dia sama sekali tidak bisa bergerak karena tubuhnya sudah kukekang.
Kemudian tanpa pikir panjang.. secepat kilat kusingkap daster tipisnya.. kemudian secepat kilat juga aku berusaha memelorotkan celana dalamnya.
“Eh.. apa-apaan sih, Yah. Jangan..!?” Dia berusaha berontak.
Namun sudah kepalang tanggung.. aku langsung berjongkok untuk menyibak pantatnya yang besar dan mencari liang senggamanya.
Kudekatkan kepalaku, kujulurkan lidahku untuk mencapai belahan vaginanya.
“Auw.. Yah.. ahh..! J-jangan..!!” Jilatan pertamaku langsung membuatnya bergetar tanpa bisa beranjak dari tempatnya semula.
Kucari klitorisnya, memang agak sulit. Namun setelah dapat, segera kuisap habis bulatan mungil itu. Dua jariku juga ikut menusuk liang vaginanya.
Sudah tak terkira jumlah lendir yang keluar, bahkan tak lama kemudian, terasa pantat istriku bergetar hebat.
“Ahh.. hh.. Yah! Ahh.. aouhh..” Dengan erangan keras, ia mencapai orgasmenya.
Tubuhnya langsung lunglai ke dalam pelukanku.
“Hei.. bangun, Bun. Ayah belum apa-apa nih..” bisikku tak tahan.
Dia segera membungkuk di depan bak cuci. Langsung aku berdiri dan menyiapkan senjataku yang sudah mengacung tegak.
Dengan dua tangan kucoba untuk menyibak kedua belahan pantatnya sambil kudekatkan batang penisku ke liang vaginanya.
Selanjutnya kudorong sedikit demi sedikit saat aku sudah menemukannya.
Begitu sudah betul-betul tepat, tanpa ba-bi-bu langsung kulesakkan dengan cepat. Jlebh..!
“Ahh.. Yah.. pelan.. auh..!” Kepala istriku langsung melonjak ke atas dengan tangan berpegangan semakin erat di pinggiran cucian piring.
Kudiamkan sebentar penisku yang sudah masuk.. kunikmati benar-benar bagaimana ternyata vagina istri yang baru kunikahi ini tetap saja nikmat menggigit.
Sensasi yang sangat luar biasa sekali.
Pelan-pelan kutarik, kemudian kudorong lagi.
“Ohh.. Yah, enak.. terus.. yang cepat..! Aouhh.. ahh.. terus..!!” Rintihnya dengan pantat bergoyang melawan arah dari kocokanku.
Aku terus menusuk cepat, dan sebentar kemudian tubuh istriku kembali bergetar hebat.
“Yang cepat, Yah.. aku sudah mau keluar lagi.. ouhh.. terus..!!” Jeritnya dengan kepala semakin menggeleng-geleng tak karuan.
Sedetik kemudian.. orgasmenya telah sampai dibarengi dengan kepalanya yang melonjak naik.. sementara tangannya mencengkeram pinggiran cucian piring semakin erat.
“Berbalik, Bun..” aku meminta. Istriku segera memutar tubuhnya.
Wajahnya sudah awut-awutan dan basah kuyup, namun terlihat semakin seksi dan menggairahkan.
Kududukkan dia di atas bak cuci piring menghadapku.
Aku mendekat dan langsung kucari bibirnya.
Kami berpagutan lama sekali sambil kuusap-usap kedua bongkahan payudaranya yang terasa mengganjal empuk.
Sambil berciuman, kurasakan satu tangan istriku membimbing batang kontolku ke arah liang vaginanya.
Tanpa perlu disuruh, segera kudorong pantatku untuk kembali menyetubuhinya.
“Ahh..” erang kami secara bersamaan, ciuman kami terlepas.
“Kocok yang cepat, Yah..” Pinta istriku sambil pahanya semakin dilebarkan.
“Begini..?” Kataku sambil menggenjot sekuat tenaga.
“Oughh.. iya, Ayah pintar..” bisiknya sambil satu tangannya menarik tanganku.. kemudian ditaruhnya di bagian atas liang vaginanya.
Aku tahu apa yang ia inginkan. “Ya yang itu.. terus, Yah..! Ohh enak.. terus..!!”
Rintihnya ketika sambil mengocok, tanganku juga memelintir lembut klitorisnya.
“Ohh Yah, aku hampir sampai..!!” Teriak istriku saat tubuhnya mulai bergetar agak keras.
“Ayah juga, Bun..” timpalku tidak bisa mengendalikan diri.. orgasmeku sudah tinggal sebentar lagi.
Crebb.. clebb.. clebb.. clebb.. clebb.. crebb.. crebb.. crebb.. crebb..
Maka semakin kupercepat kocokanku, istriku juga mengimbangi dengan menggoyang pantatnya.
Hingga kemudian.. sambil berpegangan pada bagian belakang pantatnya, kukeluarkan air maniku. Cratt.. cratt.. cratt.. cratt..
“Aughh..!!” Aku merintih keenakan.
“Oughh.. ahh..” erangnya sambil jemarinya mencengkeram bahuku.
Akhirnya kami berdua terkulai lemas. Kudiamkan dulu penisku yang masih berada di dalam liang vaginanya.
Kulirik ada sedikit lelehan air mani yang keluar dari sana.
Namun seperti tersadar.. istriku tiba-tiba mendorong badanku hingga tautan alat kelamin kami jadi terlepas.
“Ayah nakal.. berani sekali berbuat seperti ini saat masih ada tamu..” sungutnya.
“T-tamu..!?” Aku terbelalak kaget.
“Tuh lihat di depan..”
Dia turun dari bak cuci dan segera membenahi baju dasternya yang basah dan awut-awutan. Aku juga ikut menyambar handukku.
Namun saat kuintip, ternyata tidak ada siapa-siapa di ruang tamu.
”Tamu siapa, Bun..?” Aku bertanya bingung.
“Hmm.. berarti dia sudah pulang..” Istriku ikut ke depan.
“Tadi Bu Amin ke sini mau minjam laptop. Tapi karena masih dipake Ayah.. jadi kusuruh nunggu sampai Ayah selesai mandi..”
Aku langsung terbengong-bengong. Jadi yang tadi ngobrol sama istriku itu adalah Rissa.
Sungguh tidak disangka. Dia ada di ruang tamu ini sementara aku main sama istriku di dapur gara-gara kran air copot.
Tanpa perlu mengintip pun ia sudah bisa melihat dengan jelas apa yang kami lakukan.
Gila..! Bagaimana ini bisa terjadi..?
“Bunda kok nggak bilang sih..?” Aku menyalahkan istriku.
“Lha.. Ayah keburu nyosor duluan. Tahu sendirian kan aku gampang nggak tahan..” belanya.
Aku terdiam. Tapi setelah kupikir-pikir, ini ada untungnya juga. Rissa jadi tahu betapa jantan dan perkasanya diriku.
Aku yakin dia sempat melihat aksiku meski akhirnya pulang, entah karena malu atau karena tak tahan.
Yang pasti, sudah kutunjukkan kepadanya –meski secara tidak sengaja..– kalau aku sangat memuaskan.
Biar dia membandingkan dengan suaminya. Tapi kalau sampai kepingin, aku tidak tanggungjawab lho.
“Hei, kok senyum-senyum sendiri..?” Tanya istriku.
Aku segera memberitahu apa yang ada di dalam pikiranku.
“Sinting..! Bu Amin itu alim, suaminya aja penghulu. Nggak mungkin mau selingkuh sama Ayah..” kata istriku yang kembali sibuk di dapur.
“Kalau sampai mau gimana..?” Tanyaku memancing.
“Berarti dunia sudah mau kiamat..!” Serunya sengit.
Namun dunia memang beneran mau kiamat.. karena beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Rissa sudah datang ke rumah.
Istriku sudah akan berangkat kerja saat ia datang berkunjung.
“Maaf, Dek Fenti. Boleh mengganggu sebentar..” sapanya dengan suara merdu.
-------------------