Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------

Cerita 116 – Ekspedisi Borneo

[Part 07]

Sophia mencium dan menggigiti penis itu.
Udara terasa dingin, tapi anehnya mereka malah berkeringat.
Sophia mengisap lambat.. sementara Erick hanya bisa mengerang dengan penuh kegembiraan.

Sophia memegang dan membelai penisnya dengan tangan kiri.. sementara tangan kanan menangkup kedua telurnya.
Erick membalas dengan melarikan tangannya di depan dada gadis itu..
Menelusuri payudara bulat Sophia yang menggantung indah dengan menggunakan jari-jarinya.

Pelan Erick menyingkap kaus tipis yang masih menghalangi..
Membiarkan bulatan payudara Sophia benar-benar tertangkup telanjang di dalam genggamannya.

Ehmm..!! Terasa sangat lembut dan manis. Saat diremas.. hanya rasa empuk dan kenyal yang ia dapatkan.
Ahhhh..!! Nikmat sekali. Kulitnya begitu hangat, juga halus dan mulus sekali.

Dengan puting mungil yang sudah menegang kencang.. berwarna coklat kemerahan.. benda itu terasa begitu sempurna.
Erick segera membelainya.

Gemas ia menjalankan jari-jari di sepanjang biji mungil itu.. menjepit dan memilin-milinnya.
Sesekali juga menariknya kuat-kuat begitu Sophia mengisap penisnya semakin dalam.

“Jangan keras-keras..” Erick memprotes. “Nanti aku keluar duluan..”
Sophia tersenyum dan menarik kepalanya ke belakang.. sampai hanya bibirnya yang mengitari ujung penis Erick.

Dia mengibaskan lidahnya sejenak di sana, lalu melepasnya. “Jangan terburu-buru. Kalau mau keluar, muncratkan di sini..”
Sophia segera berdiri tegak.. kemudian dengan gemulai mengayunkan kakinya ke pangkuan Erick..
Hap..!! Ia lantas duduk tepat di atas penis pemuda itu.

Slepp.. slepp.. slepp.. slepp..!! Pelan ia menggosok-gosokkan belahan bibir vaginanya yang basah..
Sebelum kemudian.. slebbb.. rrrrbbbb.. slebb.. clebb.. mulai menekannya ke bawah.

“Hmm.. ahh..!!” Erick hanya bisa mengerang.. menyerap kesenangan dari vagina licin Sophia..
Yang membungkus di sekitar kepala penisnya. Ufhhh..!! Rasanya begitu mengagumkan..!

Apalagi saat Sophia terus menekan.. blesseph..!! Hingga akhirnya alat kelamin mereka bisa saling bertaut erat.
“Hhh.. hhh..” terengah-engah.. slebb.. slebb.. slebb.. slebb.. slebb.. Sophia perlahan mulai menggoyang.

Tubuhnya bergerak naik-turun.. sambil mulutnya tak henti menciumi bibir Erick.
“Hmm..” meladeni lumatan itu..
Erick juga meluncurkan tangan untuk menangkup bulatan payudara Sophia yang terguncang-guncang pelan.

Ia membelai keduanya.. meremasi kedua putingnya, merasakan betapa hangat, lembut dan tegasnya benda mungil itu.
Sementara mereka bergoyang cepat dan lebih cepat.

Genjotan itu seperti tiada henti dan sepertinya akan berlangsung selamanya..
Seandainya Sophia tidak tiba-tiba memekik dan jatuh ke depan.

Goyangannya melambat dan ia mulai terguncang-guncang pelan. Serr.. srrrr.. srrrr.. serrr..!!
Cairannya menyembur deras.. membasahi batang penis Erick yang masih terus meluncur lembut.

“Hh.. hh.. a-aku.. s-sudah.. dapat..!” Sophia mendesah lirih. Erick mengangguk dan membelai pinggul gadis itu..
Membimbingnya agar melanjutkan permainan. Dia sendiri masih belum.
Penisnya masih tetap kaku seperti batu.. dan membutuhkan pelepasan untuk melemaskannya.

“Iya.. tapi cepatlah..!” Kata Sophia. “Sebentar lagi giliran jaga kedua..”
Erick mengiyakannya. Sekali lagi mereka saling menggoyang.. bergantian menggesekkan alat kelamin.

Dan kali ini Erick tidak menahan lagi.. sebentar saja ia sudah memekik dan meledak. "Errghh..!!"
Crrrtt.. crrtt.. crttt..!! Cairannya tumpah membasahi liang vaginanya Sophia.. memancar hingga jauh ke dalam..

Dan sisanya muncrat di perut dan paha gadis itu. “Gila.. banyak sekali..!!”
Sophia memandangi selangkangannya yang belepotan sperma.

“Bagaimana kalau aku sampai hamil..?”
Erick mendelik. “Kenapa tidak kau suruh aku klimaks di luar..?” Protesnya.

Gadis itu tertawa. “Habis enak sih.. aku jadi tidak sempat bilang..”
“Kalau begitu jangan salahkan aku..!”
Erick mengusap sekali lagi payudara bulat Sophia.. lalu bergeser untuk duduk di atas bebatuan.

“Santai, ini bukan masa suburku kok..” Sophia meringis.
Erick segera menciumnya. “Dasar..! Bikin kaget saja..” Mereka segera berpakaian dan balik lagi ke tenda.

Markus terlihat sudah bangun.. dan nampaknya mengetahui apa yang barusan mereka lakukan.
Tapi pemuda lokal pembawa barang itu sama sekali tidak berkata apa-apa.

Sophia segera membangunkan Miranda, sementara Erick langsung pergi tidur. Badannya terasa letih sekali.
Tapi baru saja merebahkan diri.. suasana malam yang begitu tenang mendadak menjadi mencekam.

Hampir seketika Erick mendengar bunyi gemerisik di semak-semak di luar perkemahan.
Awalnya Erick mengira itu adalah suara Markus dan Miranda yang sedang asyik memadu kasih.

Namun ketika didengarnya Markus membidikkan senapan.. dan bunyi itu menjadi bertambah keras, ia pun bangkit.
Erick juga mendengar bunyi aneh menyerupai desahan saat ia menyandang senapannya dan berlari keluar.

Prayoga dan Prof. Darmaji juga sudah bangun, begitu pula dengan para wanita.
Clara yang pada dasarnya penakut, segera merinding. Semuanya tegang, waspada.. menunggu.

Tapi selama satu jam berikutnya tidak terjadi apa-apa.
Semak-semak di sekitar memang mereka bergerak-gerak, namun nampak tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan.

Kemudian.. beberapa saat sebelum tengah malam.. pagar pengaman yang dialiri listrik tiba-tiba memercikkan bunga api.
Erick langsung membidikkan senapan dan menembak.

Prof. Darmaji segera menyalakan lampu malam, dan seluruh perkemahan dibanjiri cahaya merah tua.
“Ada yang sempat melihatnya..?” Tanya Erick. “Ada yang sempat melihat apa yang ada di pagar tadi..?”
Mereka menggelengkan kepala. Tak ada yang tau apa yang terjadi.

Jam-jam berikutnya, semua anggota kelompok tidak ada yang tidur.
Semuanya berjaga, namun sisa malam itu berlangsung tanpa adanya gangguan yang cukup berarti.
----oOo----

Suasana pada pagi harinya serba kelabu dan berkabut. Erick sedang menyusuri pagar pengaman..
Pakaiannya basah sampai dada akibat embun yang menempel di semak-semak.

Sarah mengikutinya.. alhasil pakaiannya jadi ikutan basah, padahal ia tidak memakai beha dan bajunya tipis sekali.
Tanpa bisa dicegah.. dengan bangga putingnya menyembul keluar. Dan Erick menikmatinya dengan senang hati.

Dia menunjuk ke tanah. Sarah menunduk dan melihat jejak kaki baru. Jejak itu dalam dan pendek..
Berbentuk agak segi tiga.. jempol dan keempat jari lainnya terpisah cukup jauh..
- Kira-kira sama seperti jempol dan jari tangan manusia.

“Bukan jejak manusia..” ujar Erick sambil menadahi bulatan payudara Sarah..
Yang menggantung indah dengan kedua tangannya. “Hei.. jaga tanganmu..!” Sarah memperingatkan.
Erick tertawa. Ia meremasnya sebentar, lalu melepaskannya.

Membungkuk.. ia mengamati jejak itu dari dekat. “Ini jejak primata..”
“Orangutan..?” Sarah menyudahi pengamatannya dan kembali berdiri tegak.
Erick menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Tapi Orangutan termasuk binatang yang tidur pada malam hari dan menghindari kontak dengan manusia..”
Bantahnya.. lebih kepada diri sendiri.

“Yang satu ini tidak..” kata Sarah membantah.
“Coba lihat ini..” Ia menunjuk tempat lain di tanah becek. Di sana terlihat empat cekungan berderet.
“Itu bekas buku-buku yang ditinggalkan waktu mereka merangkak..”

“Jejaknya kecil untuk jejak Orangutan..” ujar Erick. Ia memeriksa pagar pengaman di dekat situ..
Tempat hubungan pendek terjadi semalam, dan menemukan bulu-bulu coklat.
“Dan Orangutan tidak berbulu coklat..”

“Bagaimana dengan Orangutan jantan dewasa..?” Tanya Sarah.
“Ya.. tapi warna bulu mereka lebih muda dari ini.. lebih kemerah-merahan. Bulu-bulu ini betul-betul coklat..”
Erick terdiam sejenak.

“Ini jejak kaki Orangutan..” Sarah berkeras. “Atau lebih tepatnya, sekelompok Orangutan.
Aku menemukan jejak kaki di sepanjang pagar pengaman. Kelihatannya mereka mengintai perkemahan kita..”

“Mengintai perkemahan kita..?” Erick mengulangi sambil menggelengkan kepala.
“Ya..” ujar Sarah. “Perhatikan saja jejak kaki mereka..” Kesabarannya mulai menipis.

Ia mengatakan sesuatu tentang dongeng api unggun para pemburu..
Dan Erick membalas dengan menyindir orang-orang yang mengandalkan pengetahuan teoretis dari buku.

Saat itulah kera-kera bekantan di pepohonan mulai memekik-mekik dan mengguncang-guncangkan dahan-dahan.
Rupanya mereka dikagetkan oleh mayat Prayoga yang tergeletak di luar batas perkemahan.

Pemuda itu hendak pergi ke sungai untuk mengambil air ketika ia terbunuh.
Tulang tengkoraknya diremukkan dari samping; wajahnya tampak ungu dan bengkak, mulutnya menganga lebar.

Para anggota rombongan yang lain sangat terpukul oleh kematiannya yang mengenaskan.
Clara membuang muka karena mual;
Sedangkan wanita yang lain bergerombol di sekitar Erick.. yang berusaha menenangkan mereka.

Prof. Darmaji membungkuk untuk memeriksa cedera yang dialami oleh Prayoga.
“Perhatikan cekungan di kedua sisi kepala, seakan-akan kepalanya dijepit..”

“Mengerikan..” ujar Miranda. Sepertinya ia terpukul sekali.. dan Sarah segera berbalik untuk menghiburnya..
Tapi Miranda melanjutkan.. “Ekspedisi kita terancam gagal. Ini gawat.
Kita harus mencoba bertahan, atau kita takkan pernah menemukan intan-intan itu..”

“Hanya itukah yang kau pedulikan..!?” Sembur Sophia.
“Hmm, kita sudah diasuransikan. Jadi ..”

“Ya Tuhan..!” Sophia bergumam.. dan mulai menangis. Clara segera merangkulnya.
“Aku juga takut oleh gangguan monyet-monyet brengsek itu..” kata Sarah.
“Tapi jangan terlalu ditunjukkan. Mereka sedang memperhatikan kita..”

Para Orangutan memang sedang memperhatikan dari tempat mereka di atas pohon.
Dan mereka memonyongkan bibir, seperti mengejek.

Erick berbicara sejenak dengan Sophia, dan gadis itu segera menyeka air matanya.
Kemudian ia berpaling pada semuanya.
“Kita akan tetap tinggal.. jenasah Prayoga akan kita makamkan di sini..” Erick berkata.

“Bagus..” ujar Miranda. Suaranya kembali bernada memerintah ketika ia berkata..
“Markus, ambil sekop dan mulai menggali. Lebih cepat lebih baik..”

“Dilihat dari caranya jatuh, Prayoga sedang berdiri ketika kepalanya dihantam..”
Prof. Darmaji berpaling kepada Erick dan menatap matanya.

“Binatang besar, kira-kira setinggi orang. Binatang besar dan kuat. Orangutan..”
Erick tak bisa menjawab. “Ini betul-betul tak bisa diterima..” komentarnya.

“Orangutan biasanya tidak berlaku buas. Semuanya tidak masuk akal.
Mereka menyerang dengan meremukkan tengkorak manusia..? Itu tidak mungkin..”
Namun memang begitulah adanya.

Setelah memendam mayat Prayoga.. mereka pergi ke sungai untuk membilas darah dan tanah..
yang menempel di tangan.
Erick berjongkok di tepian.. memandang air yang mengalir jernih, dan merenungkan kemungkinan ia keliru.

Penelitian mengungkapkan bahwa selain memakan dedaunan..
Dari waktu ke waktu.. Orangutan juga berburu binatang kecil dan kera, setiapkali..

Erick mendengar bunyi menggerisik di seberang kali.. dan sekonyong-konyong..
seekor Orangutan jantan dewasa yang sangat besar muncul dari semak-semak setinggi dada.

Erick sempat tersentak kaget..
Tapi setelah berhasil mengatasi rasa takutnya, ia langsung sadar bahwa mereka aman.
Orangutan tak pernah melintasi air, biar pun hanya sungai kecil. Ataukah itu juga termasuk prasangka yang keliru..?

Orangutan jantan itu menatapnya dari seberang sungai. Sorot matanya tidak mengancam, lebih berkesan ingin tau.
Erick mencium bau apak yang khas.. dan ia mendengar bunyi mendesis..
waktu Orangutan itu mengembuskan napas melalui lubang hidungnya yang menonjol.

Ia masih memikirkan apa yang harus dilakukannya..
ketika Orangutan di seberang kali tiba-tiba menerobos semak-semak, lalu menghilang.
Erick terbengong-bengong dan hanya bisa berdiri di tempat sambil menyeka keringat.

Lalu ia sadar bahwa semak belukar di seberang sungai masih bergerak-gerak.
Sesaat kemudian seekor Orangutan lain muncul, lebih kecil dari yang pertama.

Seekor betina.. Erick berkata dalam hati.. meski pun ia tak dapat memastikannya.
Orangutan ini pun menatapnya tanpa berkedip, dan tak lama kemudian berbalik pergi.

Clara.. Sarah, dan Sophia menghabiskan pagi yang panas dan melelahkan itu..
dengan merebus rumpun-rumpun tumbuhan rambat yang menghasilkan ubi berasa manis.
Mereka memakannya sebagai sarapan dan juga makan siang.

Miranda masih sibuk dengan peralatan elektroniknya, dengan dibantu oleh Prof. Darmaji.
Mereka mencari lokasi di mana tepatnya intan-intan biru berada.
Kesibukan itu membuat mereka dengan cepat melupakan kematian Prayoga.

Di sisi lain.. Erick terus termenung. Apakah ini adalah tanda-tanda awal kesialan mereka..?
Karena sudah melanggar pantangan;
Yaitu bersetubuh.. maka perjalanan mereka akan menghadapi bencana.

Ia berdoa dalam hati.. mudah-mudahan saja dugaannya itu tidak terbukti.
-------ooOoo-------

Menjelang malam, usaha Miranda akhirnya membuahkan hasil.
Dia menemukan bebatuan yang tampak berbeda dengan tanah di sekitarnya.

Luasnya hampir sepuluh kilometer persegi. Tapi sudah terlalu sore untuk mulai menggali.
Jadi mereka memutuskan untuk melakukannya esok pagi.

Malam ini mereka akan kembali berkemah, dan bersiap dengan serangan Orangutan, atau binatang apa pun itu.
Bersama-sama mereka menggunakan sekop-sekop yang dapat dilipat untuk menggali parit di luar pagar pengaman.

Pekerjaan itu berlangsung sampai lama setelah matahari terbenam.
Prof. Darmaji terpaksa menyalakan lampu malam yang berwarna merah..
Sementara Markus mengisi parit dengan air yang dialirkan dari sungai.

Sarah menganggap parit itu sebagai rintangan tak berarti..
- Kedalamannya hanya beberapa inci dan lebarnya tak lebih dari tiga puluh sentimeter.
Setiap orang dapat dengan mudah melangkahinya. Termasuk juga Orangutan. Tapi Erick menyanggahnya.

“Orangutan benci air..” ia berkata.
“Aku pernah melihat Orangutan yang tidak mau menyeberangi parit yang lebih kecil dari ini..”

“Ya, mudah-mudahan saja..” Sarah bergumam. Kemudian ia membungkuk dan masuk ke tendanya.
“Kurasa sudah cukup..” ujar Erick, dan memberi isyarat kepada yang lain agar berhenti.

Ia berkelakar ketika mereka duduk untuk makan malam.
Erick harus terus mempertahankan sikapnya yang santai dan penuh canda..

Karena sadar.. bahwa hanya dengan cara itu ia dapat mencairkan ketegangan yang meliputi rekan-rekannya;
Semuanya gelisah.. meringkuk di sekeliling api unggun.

Namun seusai makan malam.. ketika Markus membagi-bagikan amunisi dan memeriksa semua senapan..
Clara bertanya kepada Erick.. “Apakah bakal ramai nanti..?”

“Kuharap tidak..” balas Erick singkat. “Kalau takut, kau bisa tetap berada di dalam tenda..”
Clara memberi isyarat, “Aku percaya padamu..”
“Semuanya akan beres..” Erick menyahut sambil tersenyum.

Lampu malam yang berwarna merah telah dipadamkan. Tapi dalam cahaya api unggun yang menari-nari..
Mereka berjaga dengan menggunakan kacamata khusus, mengambil tempat di sekeliling perkemahan.

Diiringi bunyi berdengung dari pagar beraliran listrik.. pemandangan ini menimbulkan kesan menyeramkan.
Tapi memang hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Miranda mendadak sadar akan posisi mereka yang sarat bahaya..
– segelintir orang yang ketakutan di tengah-tengah hutan tropis Kalimantan..
Tigaratus kilometer dari permukiman terdekat.

Kakinya tersandung kabel hitam yang tergeletak di tanah ketika Miranda berniat mendekati Sophia.
Gadis itu sedang memasang alat perekam. “Kau takut..?” Miranda berbisik.
“Entahlah. Yang jelas, aku sama sekali tidak mengantuk..”

Sophia menyerahkan alat perekam pada Miranda..
lalu pergi untuk memeriksa baterai-baterai mini bertenaga surya yang merupakan catu daya..
Untuk semua peralatan listrik di tempat itu. Tampaknya semua masih berfungsi dengan baik.

Miranda melirik ke arah Sarah yang duduk di kegelapan, di tepi perkemahan.
Wanita itu melambaikan tangannya dengan ceria. Karena memakai kacamata khusus..
mereka jadi tampak seperti makhluk luar angkasa yang terdampar di tengah rimba belantara.

Tapi dengan begitu, pandangan mereka jadi beberapa tingkat lebih jelas. Ini sangat berguna sekali.
Dan mereka terus menunggu.

Jam demi jam berlalu. Tak ada bunyi apa pun selain suara percikan air di parit.
Sesekali mereka saling memanggil dan berkelakar untuk mencegah kantuk.

Pukul 23.00 berlalu, kemudian tengah malam, kemudian pukul 01.00.
Miranda mendengar Sophia mendengkur di depan sana. Ia menoleh ke arah lain..
Dan melihat Prof. Darmaji yang tiduran di tanah dengan jari menempel pada sakelar lampu malam.

Miranda melirik jam tangannya dan menguap; takkan terjadi apa-apa malam ini. Namun, ternyata ia keliru.
Erick-lah yang pertamakali mendengar bunyi napas itu. Secara berurutan.. yang lain juga mendengarnya..
Dan mereka segera membidikkan senapan ke kegelapan yang mengelilingi mereka.

Erick mengalami kesulitan untuk menentukan lokasi sumbernya.
Bunyi desahan tersengal-sengal itu seakan-akan datang dari segala arah, terbawa kabut malam..
sayup-sayup dan menyebar.

Sekonyong-konyong Erick mendengar bunyi berdebam serta bunyi air bercipratan.
Semua mendengar bunyi itu, dan segera membuka kunci pengaman pada senapan masing-masing.

Semak belukar di balik pohon tampak bergerak-gerak. Bunyi desahan napas pun bertambah keras.
Erick mendengar bunyi gemercik dan melihat sebatang pohon mati melintang di atas parit.

Rupanya itulah sumber bunyi berdebam tadi: sebuah jembatan dipasang melintang pada parit!!
Seketika Erick menyadari bahwa mereka terlalu meremehkan lawan.

Ia memanggil Markus dengan lambaian tangan..
Tapi pemuda berbadan kekar itu malah memberi isyarat agar ia menjauhi pagar.

Sebelum Erick sempat bergerak.. kera-kera bekantan di pepohonan mulai memekik-mekik..
– disusul kemudian Orangutan pertama yang menyerang tanpa bersuara.

Erick melihat binatang besar berbulu merah berlari menghampirinya.. dan sedetik kemudian..
Orangutan itu menabrak pagar beraliran listrik. Bunga api beterbangan dan Erick mencium bau daging hangus.
Itulah awal dari pertempuran mengerikan yang berlangsung dalam suasana hening.

Rentetan bunyi tembakan membelah kegelapan malam. Senapan-senapan mereka menyalak..
Menembak ke segala arah..
Memuntahkan peluru untuk menghadang Orangutan-Orangutan yang menyerang dari segala arah.

Enam Orangutan menerjang pagar secara bersamaan dan terpental di tengah hujan bunga api.
Serangan datang bergelombang.. menerjang pagar yang terbuat dari anyaman tipis.
Namun mereka tidak mendengar apa-apa selain percikan bunga api dan teriakan kera-kera bekantan.

Sampai kemudian Erick melihat Orangutan-Orangutan pada dahan-dahan pohon yang membentang di atas perkemahan.
Sarah dan Markus mulai menembak ke atas.
Berkas-berkas peluru mereka menerjang dedaunan.. namun tidak menemukan sasarannya.

Malah Erick kembali mendengar bunyi napas tersengal-sengal. la berbalik dan melihat sejumlah Orangutan..
mengguncang-guncangkan pagar pengaman yang kini telah mati.. –tak ada lagi bunga api beterbangan.

Serta-merta Erick sadar bahwa peralatan canggih tersebut tidak dapat menghalau Orangutan-Orangutan itu.
– Mereka membutuhkan upaya lain. Bunyi tembakan terdengar susul-menyusul saat Erick mulai ikut menembak.

Dua Orangutan jatuh dari pohon, satu masih hidup. Orangutan itu menerjangnya..
Tapi laras senapan yang pendek segera memberondong binatang itu dari jarak dekat;
Spratt..!! Crattt..!! Cairan hangat bercipratan ke wajah Erick.

Bunyi letusan senapan yang memekakkan telinga serta awan mesiu ternyata efektif..
untuk menghalau serangan gerombolan Orangutan; mereka mulai mundur tunggang-langgang.
Suasana menjadi hening.. hutan belantara kembali sunyi.

Meski begitu mereka masih mengarahkan senapan ke semak belukar..
mencari sisa-sisa Orangutan yang mungkin tetap nekad untuk menyerang.

Namun.. Orangutan-Orangutan itu telah pergi. Bangkai-bangkai Orangutan yang mati tergeletak di tanah..
kebanyakan sudah mulai kaku. Erick menghabiskan dua jam memeriksa binatang-binatang itu bersama Sarah.

Banyak dari mereka adalah jantan yang sedang gagah-gagahnya.
Ciri paling menonjol adalah bulu mereka yang kecoklatan.

Ini spesies lain.. karena ras Orangutan yang dikenal sampai saat ini berbulu merah.
Memang ada yang bercorak kuning, bulu itu akan muncul di punggung dan pantat Orangutan jantan..
Yang sekaligus merupakan tanda kematangan seksual mereka. Coklat sama sekali tidak pernah dikenal.

Berdasarkan pemeriksaan gigi, Orangutan-Orangutan yang mati itu tak lebih dari sepuluh tahun.
Mereka tampak muda.. baik pada mata, kulit, mau pun bulu. Mata mereka cokelat muda kekuningan.

Warna mata itulah yang menarik perhatian Sarah.
Dengan menggunakan pisau, ia membedah kepala Orangutan terbesar dan memotong kulitnya yang kecoklatan.
Agar dapat melihat otot-otot dan tulang di bawahnya.

Tampak kepala Orangutan itu tidak berkembang sempurna.
Mungkin itu yang membuat tubuh mereka jadi sedikit lebih pendek..
dan bobot mereka juga lebih ringan dari Orangutan yang sudah dikenal.

Menjelang pagi hari.. kesimpulan Sarah sudah jelas: binatang-binatang itu merupakan ras Orangutan yang baru.
Yang lebih pintar dan cerdik dari Orangutan kebanyakan.

Mereka merayakan kemenangan malam itu dengan membakar daging Orangutan..
yang sudah mereka bunuh sebagai menu sarapan. Semua orang jadi tidak takut lagi.
Terbukti, sebuas apa pun binatang itu, mereka dapat dengan mudah ditaklukkan.

Hanya Erick yang tidak terpengaruh.
Ia telah memeriksa persediaan amunisi, dan hasilnya tidak menggembirakan.
“Peluru kita tinggal setengah..” ia berkata.

“Apa yang bisa kita lakukan..?” Tanya Sarah.
“Aku justru berharap kamu bisa memberikan pemecahannya..” ujar Erick.

“Kamu yang memeriksa bangkai-bangkai Orangutan itu..” Sarah menyatakan keyakinannya..
bahwa mereka menghadapi spesies primata yang belum dikenal.

Ia merangkum temuan-temuan anatomis yang diperolehnya..
Dan temuan-temuan tersebut memang memperkuat teorinya.

“Oke..” kata Erick. “Tapi aku membutuhkan keterangan tentang perilaku binatang-binatang itu..
bukan mengenai penampilan mereka. Kita tau.. Orangutan termasuk binatang yang aktif pada siang hari..
dan tidur pada malam hari; sedangkan yang ini justru sebaliknya. Orangutan pada umumnya pemalu..
dan menghindari kontak dengan manusia;
Sedangkan yang ini bersikap agresif dan menyerang manusia tanpa kenal takut. Kenapa..?”

Sarah terpaksa mengakui bahwa ia juga tidak tau.
“Mengingat persediaan amunisi kita, sebaiknya kita segera mencari tau..” sahut Erick muram.

Mereka tidur sejenak pagi itu.
Siangnya, dengan dipimpin oleh Miranda, mereka bergerak ke lokasi di mana intan biru diperkirakan berada.

CONTIECROTT..!!
-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------
 
-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------

Cerita 116 – Ekspedisi Borneo

[Part 08]

Tempat itu luas dan menyeramkan.
Ditutupi oleh pepohonan tinggi.
Mereka menemukan sederet bebatuan kecil yang tersusun rapi.

Miranda menduga batu-batu itu adalah bekas bangunan..
karena nampak dari patahan serta irisannya yang tergores sempurna.

“Tapi, itu tidak mungkin..” sanggah Erick. “Tidak ada manusia yang tinggal di sini..”
“Sekarang memang tidak ada..” kata Miranda. “tapi menurut dataku, di sini pernah ada peradaban.
Cukup maju meski tidak berumur panjang. Dari merekalah intan biru bisa dikenal, dan akhirnya dicari oleh orang-orang..”

Erick jadi teringat tulang-belulang manusia yang mereka temukan kemarin.
Andaikan meneliti lebih seksama, akankah mereka akan menemukan lebih banyak tulang lain?

“Jadi.. mereka yang menambang intan itu untuk pertamakali..?” Dia berkata.
“Sepertinya begitu..” Miranda mengedarkan pandangannya.. “Sebaiknya kita berpencar dan mulai menggali..”

“Tapi sebelumnya, aku ingin tau..” kata Prof. Darmaji. “Kenapa peradaban itu bisa menghilang..?
Aneh bukan.. mereka bisa hidup makmur hanya dengan menjual intan biru.
Tapi kenapa malah meninggalkannya dan menghilang begitu saja..?”

“Aku sendiri juga kurang yakin..” Miranda berkata jujur.
“Mungkin ada hubungannya dengan wabah penyakit, atau pasokan makanan yang sangat kurang.
Kelaparan bisa mendorong seseorang untuk bertindak di luar nalar..”

“Itu benar..” kata Erick. “Apalagi orang jaman dulu hidupnya berpindah-pindah.
Intan biru memang berharga, tapi tidak bisa dimakan.
Menurutku masuk akal kalau mereka mencari tempat lain yang lebih menjanjikan..”

“Dan meninggalkan tempat ini begitu saja..?” Sergah Sophia sambil mengarahkan kameranya ke mana-mana.
“Begitulah.. dan sekarang waktunya kita bekerja..”
Miranda menutup perbincangan itu dengan membagi tim menjadi tiga kelompok.

“Seberapa dalam kita akan menggali..?”
Tanya Erick yang meminta kepada Clara serta Sophia agar menjadi anggota kelompoknya.

“Tidak terlalu dalam. Kita di sini hanya untuk mengumpulkan sampel. Kalau memang benar intan itu ada..
akan ada tim lanjutan yang berisi lebih banyak orang..
dan dengan peralatan yang lebih canggih untuk menambang intan tersebut..”

“Di mana areaku..?” Tanya Sarah yang satu grup dengan Markus.
Mereka hanya berdua karena Prof. Darmaji harus menemani Miranda.

“Hmm..” Miranda memperhatikan layar hapenya. “Coba di bebatuan sana, sepertinya cukup menjanjikan..”
Dia menunjuk area tandus yang jarang dihuni pepohonan.

Hanya ada rerumputan tinggi dan tumpukan batu hitam yang tampaknya adalah bekas bangunan besar.
“Oke..” Sarah segera mengajak Markus ke sana.

Sementara Erick dan dua gadis bergeser ke kiri.. mereka menyisir daerah lembab yang tertutup oleh
dedaunan tebal. Di saat matahari mulai bergeser ke barat, mereka pun mulai menggali.

“Anda yakin akan menemukan intan di sini..?” Tanya Markus sambil mengayunkan linggisnya.
Mereka kini berada di bebatuan terjal yang sepertinya sangat sukar untuk dihancurkan.

“Aku percaya pada data-data yang dibawa Miranda..” jawab Sarah
“Tapi menurutku, yang namanya penambangan, pasti ada di perut bumi.

Bukan di permukaan tanah seperti yang sekarang kita lakukan..” Markus menatap.
Sarah mendongak. “Ah, kau pintar juga..”

Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Jadi menurutmu, di mana sebaiknya kita menggali..?”
Markus menunjuk sebuah gua yang tertutup oleh lebatnya rerumputan. “Di sana..!”

Sarah memandanginya, lalu mengangguk. “Bagaimana mungkin aku tidak melihatnya..? Ayo kita ke sana..!“
Beriringan mereka menuju gua itu.. dan Sarah yang sampai duluan..
karena Markus harus berjalan terseret-seret memanggul segala macam peralatan.

Batu-batu di dalam terowongan berpermukaan halus dan terasa dingin saat disentuh.
Di banyak titik bermunculan tonjolan-tonjolan mungil bagai kelereng mungil yang selamanya terjepit di dalamnya.

Kilatan cahaya menarik perhatian Sarah.
Sinar matahari yang memudar menghujam di sudut gelap, membuat celah lebar itu jadi bercahaya suram.

Markus sudah akan menyalakan lampunya saat Sarah melarang.
“Lebih baik kita hemat untuk nanti malam. Aku cukup puas dengan terang seperti ini..”

“Lalu, bagaimana kita akan menggali..!?” Tukas Markus.
“Kita tidak akan menggali..” Sarah tersenyum dan mendekati lelaki berbadan tegap itu.
Ada sorot mengagumi dalam tatapan matanya yang sendu.

“Daripada capek-capek.. kenapa tidak kita manfaatkan saja waktu luang ini dengan baik..?”
Melihat Sarah yang bergerak di sekitarnya dengan pakaian basah oleh keringat..

Dengan singkat membuat Markus jadi mabuk..! Setelah meletakkan peralatannya..
Segera ia rengkuh tubuh sintal perempuan itu dan dijatuhkannya ke dalam pelukan.

Mereka saling berpandangan. “Bagaimana kalau Miranda nanti tau..?”
Tanya Markus, dengan satu tangan berada di atas gundukan payudara Sarah.
Tanpa perlu meremasnya, ia sudah bisa merasakan betapa halus kulit payudara itu.

“Jangan kuatir..” kata Sarah. “Aku yang akan bertanggungjawab..” Dia memberikan payudaranya pada pemuda itu.
Melalui bajunya yang basah.. Markus pasti bisa mendeteksi tonjolan putingnya yang mulai menegang kencang.

Menyadari keberuntungannya.. Markus segera tersenyum gembira.
Sekilas tangannya turun ke selangkangan Sarah.. tapi segera ditarik lagi ke atas begitu Sarah menggeleng tak suka.

“Remas-remas dulu dadaku. Kita pelan-pelan saja..”
Pinta perempuan itu sambil menyelipkan tangannya di celana Markus dan mengelus penisnya perlahan.

Tersenyum.. Markus lekas melonggarkan baju atasan yang dipakai oleh Sarah.
Ia keluarkan payudara perempuan itu lebih dari setengah..
Membuat puncak areola-nya jadi terlihat jelas, tapi putingnya belum.

“Hmm.. begini..?”
Kata Markus sambil melingkari payudara Sarah yang penuh dan bulat dengan kedua telapak tangannya.

Putingnya yang mungil kecoklatan ia jentikkan keluar..
Lalu perlahan ia pilin-pilin ringan hingga menjadi hangat dan semakin tegak.

“Yah.. terus..! Remasanmu enak..!” Sarah nampak tidak keberatan..
Dan melanjutkan permainan kecilnya dengan meremas dan mengocok penis Markus sebisanya.

Pemuda itu berhasil merobek bajunya, juga beha merah marun yang ia kenakan.
Sarah membiarkan tubuhnya ditelanjangi..
Malah ia melengkungkan diri agar Markus semakin mudah dalam melakukannya.

Kini bajunya benar-benar terbuka.. menampakkan pemandangan yang mengagumkan..
dari kedua payudaranya yang berputing tegak.. juga perut rampingnya yang berkulit halus..
Serta lekukan pinggulnya yang begitu mengundang.. lengkap dengan liang vaginanya yang nyaris tersembunyi.

“Hmm..” mengerang..
Sarah menggeser tangannya di dalam celana Markus untuk memberi pemuda itu kocokan yang lebih baik.

Ia gelitikkan jari-jarinya di ujung penis pemuda itu yang mulai terasa berdenyut-denyut lembut.
Benda itu sudah mengeras.. kaku seperti batu.

Markus membalas dengan melarikan tangannya ke pantat manis Sarah dan membelainya gemas.
Ia telusurkan jari-jarinya di sepanjang belahannya yang terasa menyenangkan.
Kulit pantat itu terasa begitu hangat dan halus.

“Sshh..” mendesis kegelian.. Sarah mengulurkan tangan dan menarik baju Markus ke atas.
Ia lalu mencium pemuda itu sambil menggosokkan payudaranya di dada Markus yang bidang.

Sangat lembut pada awalnya.. namun kemudian menjadi cepat seiring semangat mereka yang semakin meningkat.
Sarah terus menekan dirinya.. juga senantiasa menciumi Markus, lagi dan lagi.. sebelum kemudian ia melangkah mundur.

Sarah menarik turun celana Markus ke bawah hingga teronggok di tanah.. menunjukkan tubuh telanjang pemuda itu.
Di mana penisnya sudah tampak berdenyut keras di kegelapan terowongan. Terlihat begitu mengundang.

Pelan Sarah membelai lembut batang yang melambai kaku itu..
Mengocoknya sambil menunduk.. dan kemudian mengisapnya.

Seperti tak sabar.. ia sedot-sedot batang penis Markus.. dilahapnya dengan rakus..
Kemudian ‘ditelannya’ mentah-mentah ke dalam mulutnya.

“Oh, Tuhan..!” Markus kontan mengerang.. lututnya terasa lemas.
Disorot oleh sinar matahari sore.. kepala Sarah mulai mengangguk-angguk di depan penisnya.

Agak lambat.. namun tetap membuat Markus terus mengerang dan mengerang lagi.
Ia hanya bisa menengadahkan kepala sambil melebarkan kedua kakinya..
sementara Sarah bekerja dengan mulutnya yang ajaib.

Markus mengulurkan tangan dan membelai rambut perempuan itu..
saat Sarah melarikan lidahnya sampai ke bagian bawah penis.. sebelum kemudian menelan hampir semuanya.

“Ahh..!!” Takjub.. Markus menatapnya dengan mata terbuka lebar.
Diperhatikannya tangan Sarah yang kini berada di antara kedua kakinya.. meluncur tepat di belahan vagina.

Dan kemudian.. tangan itu bergerak.. lembut, berirama. Sarah merangsang dirinya sendiri..!
Melihat tatapan Markus.. Sarah tersenyum nakal. “Kamu suka..?” Tanyanya sambil terus mengisap.

Tidak mampu menjawab, Markus hanya bisa mengerang.
Perlakuan Sarah membuatnya dekat dengan klimaks.. namun ia masih belum ingin keluar.

Maka lekas ditariknya Sarah ke atas.. hingga penisnya terlepas dengan bunyi hirupan samar.
Lalu dengan lembut ia paksa perempuan itu agar berbaring di lantai.

“Ehm..” Sarah mengerang saat Markus mulai menciumi puting payudaranya..
Lembut pada awalnya.. dan kemudian lahap.. mengisap dan menggigit kecil-kecil di sana.

Dia mengerang dan menggeliat dalam pelukan laki-laki itu..
Apalagi saat Markus mulai meluncur di antara kedua kakinya.

Lembut Markus membelai paha Sarah yang putih mulus..
Dan berikutnya melarikan lidahnya di sepanjang liang vagina Sarah yang sudah mekar sempurna.

Ia berlutut di lantai.. dengan kaki Sarah berada di atas bahunya, membuatnya jadi mudah dalam menjilat.
Tangannya juga tak henti-henti mengelus pantat mulus perempuan cantik itu..
Memberinya kegembiraan hebat sebelum mulai bangkit dan merangkak untuk menggosokkan penis ke liang vaginanya.

"Iya, cepat masukkan..!” Sarah meminta.. napasnya terengah. Slebbb..!! Clebb..!! Blessseph..!!
Markus pun meluncur.. tepat ke arah lorong vagina Sarah yang sudah begitu basah dan panas.

Jlebb..!! Dia membenamkannya dalam-dalam.. sampai semua batangnya hilang tak terlihat lagi.
“Aghh..!!” Mereka berdua mendesah dalam kenikmatan.

Perlahan.. Markus mulai bergoyang maju-mundur.
Penisnya hampir keluar.. namun kemudian ditusukkan lagi kuat-kuat..
Menerjunkannya dengan keras ke gawang Sarah yang sudah lengket memerah.

Tubuh perempuan itu terguncang..
Awalnya perlahan-lahan.. tapi semakin lama menjadi semakin cepat dan lebih cepat lagi.
Sarah membungkuskan kakinya di pinggang Markus.. ia remas pantat laki-laki itu saat goyangannya melambat.

“Lakukan seperti tadi, yang kencang..!” Sarah meminta..
Dan langsung berteriak kecil setiapkali penis Markus menghujam di celah liang vaginanya.
Batang itu begitu kaku dan kuat, tekanannya juga sangat terasa.

Dengan dorongan keras.. Sarah jadi merasa panas mulai merambat di sekitar selangkangannya.
“Oh, Markus.." Sarah terengah. Keringat keluar di seluruh tubuhnya.

“Nikmat.. nikmat sekali..! Sungguh luar biasa..!”
"Mmm..” Markus mengangguk setuju.

Diresapinya kehangatan tubuh Sarah yang terasa begitu lembut..
Juga menikmati keajaiban liang vaginanya yang terasa begitu menggigit dan sempit.

Dengan penis besarnya.. terus ia jelajahi lorong itu..
Hingga perasaan menyenangkan mulai melingkupi tubuh mereka berdua.

“Ah, Markus..! Aku ingin..” Sarah merintih dan membiarkan Markus menyusu di bongkahan payudaranya.
“Ya..?” Markus menjilati putingnya yang mungil kemerahan..
Kemudian dengan lembut menggosoknya menggunakan ujung lidah.

Penisnya terus bergerak naik-turun.. menjelajah di sepanjang lajur yang bisa ia capai.. merasakan kelembutan..
Juga kehalusan dan keketatan lubang Sarah yang sangat sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

“Oh.. apa kau tidak ingin mencoba lubang belakangku..?” Sarah bergumam menggoda.
“Yang ini..?” Markus membelai lembut pantat bulat Sarah dan membukanya sedikit.
Udara terasa dingin.. tapi sensasi mereka yang meningkat membuat tubuh keduanya bersimbah keringat.

Sarah membelai rambut ikal Markus saat laki-laki itu melengkungkan jari dan menusuk di antara kedua pantatnya.
“Ahh..!!” Dan mendesah begitu Markus menyelipkannya ke dalam.. tepat ke lubang anusnya.

“Yah, di situ..!” Sarah mengangguk puas.
Markus menggerakkan jarinya naik dan turun.. membuka lubang itu hingga menjadi hangat dan berlendir banyak.

Rasanya berubah licin, dan Sarah mendorong pantatnya lebih keras saat Markus meluncurkan jarinya lebih dalam lagi.
Dari cuma satu, kemudian bertambah menjadi dua. Membuat lubang mungil itu jadi semakin panas dan basah..!

Saat jari ketiga ikut menusuk, Sarah pun tidak tahan lagi.
Cepat ia menarik batang penis Markus dan membawanya dengan lembut menuju liang anusnya yang sudah licin.

Dia bergumam lagi begitu Markus mulai menyundul-nyundul ke sekeliling permukaannya yang basah mengkilap.
“Cepat.. lakukan..!” Pintanya. Dengan sinar matahari sore semakin condong ke barat.. mereka pun mengulangi proses itu lagi.

Bedanya, kali ini lubang anus Sarah yang menjadi sasaran hujaman batang panjang Markus.
Sedang liang vaginanya hanya digosok-gosok oleh laki-laki itu menggunakan dua jari.

Cairan kewanitaan Sarah yang mengalir deras.. dioleskan Markus ke payudara perempuan itu.
Namun Sarah sesekali juga meraih tangan Markus dan mengisapnya untuk mencicipi jus vaginanya sendiri.
Sungguh teramat manis..!

Mereka bercinta dengan sangat cepat.. terus menarik-dorong.. lagi dan lagi..
Hingga tidak tau berapa lama waktu telah berlalu. Saat keadaan di luar sudah mulai temaram..
barulah Markus merasakan penisnya mulai kaku dan menegang penuh.

Ujungnya yang tumpul seperti membengkak saat pijitan vagina Sarah dirasanya berubah menjadi sedikit kencang.
“Oh nikmatnya..! Enak.. enak sekali.. a-aku.. oh-oh.. aku..!” Keluh perempuan itu..

Begitu tubuhnya mengejang dan cairan bening menyembur deras dari lorong kewanitaannya..
Muncrat hingga ke tepi pintu gua.. membasahi pakaian mereka yang berserakan di mana-mana.

“Hh.. hh..!!” Markus mendorong dengan lebih kuat..
Napasnya terengah saat ia merasakan liang vagina Sarah berdenyut di sekitar penisnya.
Tak kuat menahan lagi.. ia pun ikut meledak dengan semburan tak kalah kencang.

Sarah menahan napas saat sperma Markus menyembur di kedalaman liang anusnya.
Ia merasa cairan itu menetap..
Sebelum kemudian mengalir keluar saat Markus mencabut batang penisnya perlahan-lahan.

“Kita harus kembali..” bisik Sarah dengan tenaga setengah pulih.
“Ya, sebelum Erick menyusul ke sini untuk menemukan kita..” Markus bergumam.

“Padahal.. aku ingin sekali tidur denganmu di sini sepanjang malam..”
Sarah bangkit dan membungkuk untuk mencium Markus, dengan sangat lembut.

“Ah, kurasa tidak bisa.." Markus berdiri dan menatap ke sekitar.
Ia memunguti celana.. kemeja.. serta kaus dalamnya, kemudian mulai mengenakannya.

Sarah ikut berpakaian, tapi sebentuk bayangan di dinding gua menghentikan segala aktifitasnya.
Ia lalu melangkah lebih dekat untuk melihat beberapa goresan yang tertera di atas batu.
Terlihat sangat menarik.

Sarah membersihkan beberapa petak lumut yang menutupi agar dapat melihatnya lebih jelas.
Di luar.. matahari sudah terbenam.
Tapi langit barat masih mengirim sisa-sisa sinarnya untuk membantu Sarah melihat.

Ia memandang sekeliling dan membersihkan beberapa petak lumut lain.
Semakin banyak goresan yang muncul, semuanya seperti menggambarkan sesuatu.

Terbengong-begong, Sarah segera menyuruh Markus agar membersihkan seluruh bagian dinding gua.
“Buat apa..?” Tanya pemuda itu, namun tetap melakukannya.

Tidak menjawab,
Sarah segera menyelinap keluar dan berlari kembali ke area Miranda yang terletak 500 meter jauhnya.

Tapi baru saja beranjak..
Sesosok manusia dengan membawa senter muncul dari bayang-bayang di sebelah kanan pintu gua.

“Oh..!!” Sarah memekik, sedikit kaget.
“Oh, hai..! Ini aku, Miranda..” kata sosok itu.

Terlihat di antara percikan cahaya, sosok itu memang Miranda.
Ahli geologi itu itu mengenakan kemeja flanel, celana pendek dan membawa kotak peralatan elektroniknya.

“Di mana Prof. Darmaji..?” Tanya Sarah, agak lemah.
“Itu, di belakang..” kata Miranda. “Dia sepertinya capek sekali..”

“Kebetulan..” Sarah segera menyeret Miranda masuk ke dalam gua. “Kamu harus melihat ini..”
“Eh, ada apa..?” Dengan tersandung-sandung Miranda mengikuti.

Markus sudah selesai membersihkan sebagian dinding gua..
Dan gambar-gambar yang tampak langsung membuat mereka terdiam.

“Wow..!” Desis Miranda, takjub. Ukir-ukiran di batu itu merupakan adegan-adegan berurutan..
seperti dalam buku bergambar.. mengungkapkan segala jawaban yang sedari pagi mereka cari-cari.

Adegan pertama memperlihatkan sejumlah Orangutan di dalam kerangkeng.
Seorang pria berdiri di dekatnya.. sambil memegang tongkat.

Gambar kedua menampilkan pria kekar yang berdiri bersama dua Orangutan yang mengenakan tali pengikat leher.
Gambar ketiga memperlihatkan orang yang tengah melatih Orangutan di sebuah lahan terbuka.
Orangutan-Orangutan itu diikat ke tiang-tiang dengan gelang di bagian atas.

Gambar terakhir memperlihatkan Orangutan-Orangutan menyerang barisan boneka kayu yang digantung di tonjolan batu.
Kini Miranda telah mengetahui apa yang membuat Orangutan menyerang mereka semalam.

“Ya Tuhan..” ujarnya. “Orangutan-Orangutan itu dilatih..” Sarah mengangguk.
“Dilatih sebagai penjaga untuk mengawasi tambang intan. Pasukan pilihan.. tidak kenal ampun.. dan tak bisa disuap.
Bukan ide buruk, kalau dipikir-pikir..”

Miranda kembali mengamati gambar di sekelilingnya. Ada sesuatu yang terasa mengganjal:
Gambar-gambar tersebut telah berusia ratusan tahun.. peradaban di sini juga sudah hilang.
Tapi Orangutan-Orangutan itu tetap ada.

“Siapa yang melatih mereka sekarang..?” Ia bertanya.
“Mereka sendiri..” kata Sarah. “Mereka saling melatih..” Sebagai ahli Zoologi, ia tau akan hal ini.

“Apakah itu mungkin..?” Tanya Miranda tak percaya.
“Mungkin saja. Pengajaran sejenis memang terjadi di kalangan primata. Para imuwan menemukan..
bahwa tradisi serta perilaku primata diteruskan secara turun-temurun selama generasi demi generasi..”

“Meski orang-orang yang melatih mereka sudah pergi sejak berabad-abad yang lalu..?”
“Kelihatannya begitu..” jawab Sarah.

“Bahkan sebuah eksperimen menunjukkan bahwa manusia ternyata tidak seistimewa yang kita duga sebelumnya.
Primata bisa menyaingi kepandaian kita. Ada seekor Orangutan yang memperoleh nilai 92 ketika menjalani tes IQ manusia.
Dari segi itu, dia sudah secerdas manusia.. dan dalam banyak hal bahkan lebih cerdas lagi.. - lebih peka dan sensitif..”

Miranda mengangguk. “Orangutan-Orangutan di sini memiliki kecerdasan sama..
tapi dikembangbiakkan secara khusus untuk menjadi binatang penjaga.
Mereka dilatih untuk menyerang dengan buas.. sampai berhasil membunuh kita.
Seperti halnya mereka membunuh semua orang atau binatang yang datang ke sini sebelumnya..”
“Ya, mereka memang sangat mematikan..” lirih Sarah, muram.
-------ooOoo-------

Erick mendesah frustasi saat dikabari berita itu. Ekspedisi mereka tengah mengalami masalah gawat.
Mereka berhadapan dengan spesies binatang baru;
Orangutan yang telah terlatih, dan tak segan membunuh untuk mempertahankan wilayah mereka.

“Kalau begitu, kita harus cepat pergi dari sini..” Erick memutuskan.
“Jangan konyol..” balas Miranda. “Kita belum menemukan intan-intan ltu. Kita tidak bisa pergi sekarang..”
“Tapi..”
“Beri aku waktu dua hari lagi..”

Erick memandang anggota yang lain, tapi saat semuanya terdiam, ia akhirnya hanya bisa mengidikkan bahu.
Dua hari.. berarti mereka harus bersiap-siap tinggal lima hari lagi di hutan terkutuk ini.
Persediaan makanan tidak menjadi masalah.. lain halnya dengan persediaan amunisi.

Sarah mengusulkan untuk memakai gas air mata.
Ia menduga Orangutan-Orangutan coklat itu akan mencoba cara lain, dan dugaannya terbukti benar.
Binatang-binatang tersebut menyerang segera setelah gelap.

Pertempuran berlangsung sengit oleh suara ledakan tabung dan bunyi mendesis gas air mata.
Strategi Sarah ternyata berhasil. Para penyerang dipaksa mundur, dan tidak kembali lagi pada malam itu.

Erick merasa lega. Ia memberitahu yang lain bahwa mereka memiliki persediaan gas air mata yang memadai..
untuk menghalau serangan selama seminggu.
Untuk sementara.. masalah serangan Orangutan tampaknya sudah terpecahkan.
----oOo----

Tidak lama setelah fajar, Markus berteriak saat menemukan mayat Prof. Darmaji di dekat tenda.
Serangan semalam rupanya hanya usaha untuk mengalihkan perhatian..

Sehingga seekor Orangutan berhasil menyusup ke dalam perkemahan..
Membunuh laki-laki tua itu, lalu menyelinap keluar lagi.

Erick was-was.. karena mereka tidak menemukan petunjuk:
bagaimana Orangutan itu dapat melewati pagar yang dialiri listrik.
Penyelidikannya mengungkapkan bahwa sebagian pagar terkoyak di bagian bawah.

Di dekatnya ada sebatang kayu panjang tergeletak di tanah.
Tampaknya Orangutan-Orangutan itu menggunakan tongkat tersebut untuk mengungkit bagian bawah pagar.
Sehingga salahsatu dari mereka dapat merangkak melewatinya.

Sebelum pergi, mereka mengembalikan pagar ke keadaan semula.
Erick sulit menerima sikap Orangutan-Orangutan itu yang penuh perhitungan.
Pengalamannya mengatakan bahwa binatang di alam bebas cenderung tidak memedulikan manusia.

Namun Sarah menyimpulkan dengan tepat. “Binatang-binatang itu dilatih oleh manusia.
Jadi kita harus menghadapinya seperti manusia. Pertanyaannya kini:
Apa yang akan kita lakukan seandainya mereka manusia..?”

Bagi Erick, jawabannya sudah jelas. “Kita harus mengambil inisiatif..”
“Menyerang duluan, maksudmu..?” Tanya Miranda. Erick mengangguk.

Semua menoleh ke arahnya.
Tampaknya mereka menyerahkan keputusan mengenai langkah selanjutnya pada lelaki itu.

CONTIECROTT..!!
-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------
 
-----------------------------------------------------------ooOoo-----------------------------------------------------------

Cerita 116 – Ekspedisi Borneo

[Part 09]

Selepas memakamkan mayat Prof. Darmaji..

Erick segera mengajak mereka pergi ke bagian hutan yang sepertinya adalah tempat tinggal kawanan Orangutan.

Pukul 10.00 pagi, mereka menyusuri lereng-lereng bukit di sebelah utara, dengan membawa senapan berpeluru penuh.
Tak lama kemudian mereka menemukan jejak Orangutan.. - tinja, serta sarang-sarang di tanah dan di atas pohon-pohon.

Erick gelisah karena apa yang dilihatnya;
Beberapa pohon berisi duapuluh sampai tigapuluh sarang, yang menunjukkan populasi cukup besar.

Sepuluh menit setelah itu.. mereka menemukan kelompok Orangutan coklat yang terdiri atas sepuluh binatang..
Yang sedang melahap tumbuhan rambat:
Empat jantan, tiga betina, satu Orangutan muda, dan dua bayi yang sedang bermain-main.

Orangutan-Orangutan dewasa itu tampak santai. Mereka berjemur dan makan tanpa terburu-buru.
Beberapa Orangutan lain sedang tidur dalam posisi telentang sambil mendengkur keras.
Semuanya memberi kesan bahwa mereka merasa aman sepenuhnya.

Erick memberi isyarat; kunci pengaman pada senapan-senapan segera dibuka.
Ia sudah hendak melepaskan tembakan ketika Sarah menarik kerah bajunya.

Erick menoleh dan tersentak kaget. Seperti tersambar petir.. ia memandang ke tempat yang ditunjuk oleh Sarah.
Di atas kelompok pertama ada satu kelompok lagi, sekitar sepuluh sampai duabelas Orangutan.

Kemudian ia melihat satu kelompok lagi - dan satu lagi - dan satu lagi.
Secara keseluruhan ada tigaratus Orangutan atau lebih. Seluruh lereng bukit penuh Orangutan..!

Kelompok Orangutan terbesar yang pernah terlihat di alam bebas terdiri atas 31 Orangutan, dan itu pun diragukan.
Jadi.. tiga ratus Orangutan dalam satu tempat merupakan ‘pemandangan menakjubkan’.

Erick menganggap temuan ini sangat menarik.. tapi di pihak lain, ia pun ketakutan seperti orang-orang di sekelilingnya.
Mereka jongkok di balik semak belukar lebat.. memperhatikan kawanan Orangutan itu makan di lereng bukit seberang.

Meski pun binatang-binatang tersebut tampak tenang..
orang-orang yang memperhatikan dicekam oleh ketegangan yang mendekati panik.

Akhirnya Erick memberi aba-aba.. dan mereka mundur lewat jalan setapak yang mereka lalui tadi..
kembali ke perkemahan. Penampakan di lereng bukit menunjukkan akan bahaya yang sedang mereka hadapi.

Erick berkata kepada Sarah.. “Sepertinya mereka tidak agresif pada siang hari..”
“Sepertinya memang begitu..” ujar Sarah.

“Perilaku mereka tampak lebih lamban daripada perilaku Orangutan biasa pada siang hari.
Aku lihat hampir semua Orangutan jantan dalam kelompok itu sedang tidur..”

“Berapa banyak jantan yang ada di lereng tadi..?” Tanya Miranda.
Erick telah memastikan bahwa hanya Orangutan jantan yang terlibat dalam penyerangan.
Ia bermaksud menghitung peluang untuk lolos.

Sarah berkata.. “Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa dalam setiap kelompok..
terdapat sekitar lima belas persen Orangutan jantan dewasa.

Penelitian juga menunjukkan bahwa taksiran jumlah individu per kelompok biasanya meleset 25 persen..
-artinya, 25 persen terlalu rendah. Selalu ada lebih banyak individu daripada yang terlihat..”
Perhitungannya ternyata tidak menggembirakan.

Mereka sempat menghitung tigaratus Orangutan di lereng bukit tadi..
Berarti jumlah sesungguhnya sekitar empatratus.. dan limabelas persen dari itu adalah jantan dewasa.

Berarti terdapat enampuluh binatang yang dapat menyerang..
Sedangkan kelompok mereka hanya tersisa enam orang saja.
“Berat..” ujar Erick sambil menggelengkan kepala. “Kita benar-benar harus pergi dari sini..”

Miranda sudah akan memprotes saat Sarah berkata.. “Aku kira dia benar. Aku juga menginginkan intan-intan itu..
Tapi semuanya takkan berguna kalau kita mati. Kita tak punya pilihan. Kita harus pergi, kalau bisa..”

Miranda mengumpat, sedangkan Erick memandang Sarah tajam. “Apa maksudmu dengan ’kalau bisa..?’”
“Begini..” jawab Sarah, “Orangutan-Orangutan itu mungkin takkan membiarkan kita pergi..”
Clara dan Sophia memekik tertahan, dan mereka mulai menangis.

Sementara Erick segera mengemasi perbekalan dan amunisi dalam jumlah seminimal mungkin.
Mereka harus bisa bergerak cepat. Barang-barang lain ditinggalkan begitu saja di tengah lapangan..
yang dibanjiri sinar matahari siang - tenda-tenda, perlengkapan pertahanan, peralatan komunikasi, semuanya.

Miranda tidak membantah karena merasa memang nyawa adalah taruhannya.
Ia menoleh ke belakang dan dalam hati berharap telah mengambil keputusan yang tepat.

Ia harus bisa mempertanggung-jawabkan hal ini pada Kementerian saat tiba di Jakarta nanti.
Kalau memang mereka bisa selamat..

Erick segera membawa ekspedisi itu keluar dari wilayah Orangutan.
Ketika mereka menerobos hutan belantara, Erick terus memikirkan barisan di belakangnya.

Mereka berjejer satu-satu – formasi yang paling tidak menguntungkan untuk menghadapi serangan.
Erick menjengit saat memperhatikan semak belukar yang bergerak-gerak, sementara jalan setapak bertambah sempit.

Mereka seakan-akan dijepit oleh pakis-pakis dan palem-palem.
Kawanan Orangutan mungkin berada hanya beberapa meter di tengah semak belukar lebat..
dan mereka takkan mengetahuinya sampai terlambat.

Erick terus menyuruh kelompoknya berjalan.
Ia berpendapat mereka akan aman setelah mencapal lereng timur pegunungan.
Orangutan-Orangutan itu hidup di daerah utara, jadi takkan mengejar sampai sejauh itu.

Dengan berjalan kaki selama satu-dua jam, mereka akan terbebas darl bahaya yang mengancam.
Erick melirik jam tangannya, mereka baru berjalan sepuluh menit.

Saat itulah, ia mendengar bunyi mendesis. Bunyi itu seakan-akan datang dari segala arah.
Erick melihat daun-daun di depannya berayun-ayun, seakan-akan tertiup angin.
Tapi, sama sekali tidak ada angin. Dan bunyi mendesis itu bertambah keras.

Mereka berhenti di tepi sebuah jurang yang mengikuti sungai yang diapit lereng-lereng berhutan lebat.
Tempat yang sempurna untuk penyergapan. Sarah menghampirinya. “Bagaimana sekarang..?”

Sambil memperhatikan daun-daun yang bergerak-gerak, Erick membuka kunci pengaman pada senapannya.
Yang lain segera mengikuti. Sementara itu, bunyi mendesis masih terus terdengar.

Erick hanya bisa menduga-duga.. berapa banyak Orangutan yang bersembunyi di tengah semak belukar.
Duapuluh..? Tigapuluh..? Yang jelas, terlalu banyak untuk dilawan..!

Miranda menunjuk ke lereng, ke jalan setapak yang melintas di atas jurang. “Naik ke sana..?”
Erick membisu untuk waktu lama, sebelum kemudian berkata, “Tidak, kita tidak naik..”

“Lalu ke mana..?”
“Kembali..” ujar Erick. “Kita kembali..”
Mereka berpaling dari jurang. Bunyi mendesis itu menghilang dan semak belukar berhenti bergerak-gerak.

Ketika Erick menoleh ke belakang.. jurang itu tampak seperti lintasan biasa di tengah hutan.. tanpa ancaman apa pun.
Tapi ia tau itu tidak benar. Semua orang sadar, kini mereka benar-benar tak bisa pergi lagi.

Pukul 14.00, mereka tiba kembali di perkemahan. Erick berkata bahwa mereka takkan sanggup bertahan..
jika monyet-monyet itu melancarkan serangan frontal lagi, padahal ia memperkirakan justru itulah yang akan terjadi.

Kini sudah lewat pukul dua; empat-lima jam lagi malam akan tiba. Namun Erick sadar, mereka tidak boleh menyerah.
Satu jam kemudian..
ketika cahaya matahari sudah semakin meredup, ia telah menyiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin.

Pertama-tama Erick menggali sejumlah lubang yang menyerupai perangkap gajah di luar perkemahan;
Lubang-lubang dalam dengan tonggak-tonggak runcing, ditutup daun dan dahan-dahan.

Ia juga melebarkan parit di beberapa tempat..
dan menyingkirkan pohon-pohon mati yang mungkin digunakan sebagai jembatan.
Markus memangkas dahan-dahan rendah yang menjulur ke atas perkemahan.

Kalau pun Orangutan-Orangutan itu memanjat pepohonan..
mereka tetap berada sekitar sembilan meter di atas tanah.. - terlalu tinggi untuk melompat turun.

Erick membagi-bagikan senapan dan kaleng-kaleng berisi gas air mata pada keempat wanita.
Bersama Miranda, ia memperbesar arus listrik pada pagar pengaman sampai hampir 200 ampere.
Itulah arus maksimum yang dapat dialirkan anyaman logam tersebut tanpa meleleh.

Mereka terpaksa mengurangi frekuensi arus dari empat menjadi dua denyutan per detik.
Berkat penambahan arus tersebut, pagar itu tidak lagi sekadar penghalang, melainkan rintangan mematikan.

Binatang-binatang yang pertama menerjang pagar akan tewas seketika..
meski pun kemungkinan terjadinya hubungan pendek juga meningkat.

Ketika matahari terbenam, Erick berjalan mondar-mandir di sekitar perkemahan.
Inilah saat yang paling dibencinya. Semuanya menunggu, tegang, gelisah.

Sebenarnya ia ingin berkelakar dengan Clara..
tapi tampaknya ketenangan adalah hal paling masuk akal untuk dilakukan sekarang.
Jadi Erick segera menjauhi gadis itu, ia menoleh ke arah Miranda.

Perempuan cantik itu menunjuk ke langit dan menggosok-gosok jari.
Erick mengangguk.. ia pun merasakannya; kelembapan yang menekan..

Muatan listrik yang begitu kentara.. hingga seakan-akan bisa diraba.
Hujan akan turun..!! Erick sadar ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan.

Pukul 21.00, Markus menghampirinya sambil membawa senapan besar.
“Kamu yakin ini akan berhasil..?”
Erick menggelengkan kepala. “Aku tak bisa memastikan..”

Selusin hambatan yang mungkin akan mereka alami terlintas dalam benaknya..
Namun tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Satu-satunya cara adalah dengan mencobanya..
karena tak lama kemudian mereka mulai mendengar suara mendesis-desis yang menggetarkan hati.

Markus langsung mengarahkan senapannya. Ia mengamati semak-semak melalui kacamata khusus.
Sekali lagi suara itu datang dari segala arah; dan meski pun mendengar daun-daun bergerisik di hutan.
Mereka tidak dapat melihat gerakan di dekat perkemahan.

Kera-kera di pepohonan membisu. Yang terdengar hanyalah suara tersengal-sengal.
Seekor Orangutan muncul dan Markus melepaskan tembakan.

Pelurunya yang mendesing membelah kegelapan malam.
Tanpa bersuara, Orangutan itu menghilang kembali di balik rum pun pakis yang lebat.

Erick dan yang lain segera mengambil posisi di tepi perkemahan.
Mereka berlutut dengan tegang.. sementara lampu inframerah memproyekslkan bayangan mereka..
ke anyaman pagar dan hutan di baliknya.

Bunyi mendesah-desah ltu terdengar selama beberapa menit..
lalu berangsur-angsur menjauh, sampai suasana kembali hening.

“Ada apa ini..?” Tanya Sarah.
Erick mengerutkan kening. “Mereka menunggu..”
“Menunggu apa..?”
Erick menggelengkan kepala.
Ia mengelilingi perkemahan, mengamati para wanita yang lain, sambil berusaha memecahkan teka-teki itu.

Clara tampak pucat, dan Erick segera memeluknya. Begitu juga dengan Sophia.
Erick terpaksa mengakui bahwa ia tidak tau apa yang akan terjadi.

Mungkinkah Orangutan tadi bertugas mengintai pertahanan mereka..?
Ataukah serangan sesungguhnya sudah dimulai, lalu dibatalkan karena sebab yang tidak jelas..?
Jangan-jangan ini sekadar siasat untuk menggerogoti saraf lawan..?

Erick pernah menyaksikan gerombolan simpanse yang sedang berburu menggertak kawanan kera babon..
sebelum melancarkan serangan sesungguhnya.

Dalam keadaan kacau-balau yang menyusul..
seekor babon muda terpisah dari kelompoknya, lalu dikejar dan dibunuh tanpa ampun.

Gemuruh guntur terdengar. Miranda menunjuk ke langit sambil menggelengkan kepala.
Itulah yang ditunggu oleh kawanan Orangutan..!! “Persetan..!” Erick bergumam.

Dan pada Pukul 22.30, mereka mulai diguyur hujan lebat. Dalam sekejap pakaian mereka basah kuyup.
Hujan itu juga mengakibatkan hubungan pendek pada kabel-kabel listrik, dan pagar pengaman langsung mati.

Lampu-lampu malam berkedap-kedip dan dua bola lampu meledak.
Tanah berubah menjadi lumpur; jarak pandang berkurang sampai lima meter.

Yang lebih parah lagi.. hujan yang menerpa dedaunan menimbulkan suara begitu keras..
Sehingga mereka terpaksa berteriak-teriak untuk berkomunikasi.

Hujan juga akan mencegah penyebaran gas air mata. Para anggota rombongan tampak galau.
Lima menit kemudian, Orangutan-Orangutan itu pun menyerang.

Kedatangan mereka tidak diketahui di tengah hujan lebat.
Mereka muncul begitu saja, menerjang pagar pengamanan dari tiga arah sekaligus.

Miranda langsung menyadari bahwa serangan tersebut berbeda dari serangan-serangan sebelumnya.
Orangutan-Orangutan itu telah mempelajari keadaan, dan kini bertekad menggempur lawan sampai habis.

Binatang penyerang, yang dilatih untuk kecerdikan dan kebuasan.
Meski pun Miranda sendiri yang berkesimpulan demikian..
ia tetap terkesima ketika melihat bukti nyata dengan mata kepalanya sendiri.

Orangutan-Orangutan itu melancarkan serangan bergelombang, bagaikan pasukan tempur berdisiplin tinggi.
Namun bagi Miranda, serangan mereka lebih mengerikan dibandingkan serangan pasukan manusia.

Di mata mereka, manusia hanya binatang. Sebuah spesies asing yang tak perlu diberi ampun.
Manusia hanya hama yang harus diberantas.

Orangutan-Orangutan tersebut tidak peduli mengapa Miranda dan yang lain berada di situ..
atau alasan apa yang membawa mereka ke Kalimantan.

Mereka membunuh bukan karena lapar.. karena membela diri.. atau karena ingin melindungi anak-anak mereka.
Mereka membunuh karena mereka dilatih untuk membunuh.

Serangan mereka berlangsung cepat. Dalam beberapa detik saja mereka telah berhasil merobohkan pagar.
Tanpa hambatan mereka menyerbu ke perkemahan.. sambil mendengus-dengus dan mengaum.
Hujan lebat membuat mereka basah kuyup.

Erick melihat sepuluh sampai limabelas Orangutan di perkemahan.
Mereka menginjak-injak tenda dan menyerang semua orang.

Markus langsung tewas dengan tengkorak remuk akibat hantaman sebongkah batu besar.
Sophia, Clara, dan Miranda menembakkan senapan mereka, namun hasiInya tidak seperti yang diharapkan.
Sarah tiarap sambil memuntahkan peluru ke segala arah.

Beberapa Orangutan mati diberondong, dan mereka jatuh sambil mendekap dada, seperti manusia yang tewas ditembak.
Kini semua orang sudah terlibat pertempuran jarak dekat.

Setelah menembak mati beberapa pejantan, dan kehabisan peluru..
Erick telentang di lumpur, diduduki oleh seekor Orangutan besar. Mereka bergulat.

Clara tidak kelihatan, dan suaranya juga tidak terdengar.
Hanya ada Miranda yang menjerit-jerit saat beberapa Orangutan mengoyak baju pelindungnya.

Di ujung perkemahan, Sophia dengan kalap memukuli lawannya.
Namun Orangutan-Orangutan itu tampaknya tak peduli, mereka terus datang menyerangnya.

Sarah menjerit ketika tubuhnya diterjang oleh Orangutan besar, dan ia jatuh ke belakang..
menimpa selusin Orangutan yang tewas ia bunuh.

Ketika mencoba untuk menarik pemicu senapannya, hanya terdengar bunyi klik-klik-klik.
Dia telah kehabisan peluru.
Seekor Orangutan membalikkan tubuhnya, dan Sarah hanya bisa menggeliat-geliut di lumpur tanpa bisa melawan.

Pejantan paling besar mengoyak-ngoyak baju Sarah secara sistematis..
dan semakin banyak Orangutan memasuki perkemahan, mengerubunginya..
tanpa menggubris suara jeritan Sarah yang kasar dan melengking.

Serta-merta Erick menyadari bahwa mereka telah gagal.
Riwayat mereka sudah tamat; kematian hanya soal waktu.

Seekor Orangutan menerjangnya sambil meraung dan merentangkan tangan yang menggenggam sebongkah batu.
Dengan ngeri Erick menutup mata, pasrah menghadapi ajalnya.

Namun 1,8 meter sebelum tiba di hadapannya, Orangutan itu tiba-tiba saja berhenti.
Begitu mendadak, hingga terpeleset dan jatuh ke belakang.

Orangutan itu duduk dengan bingung sambil memiringkan kepala, seakan-akan mendengarkan sesuatu.
Baru sekarang Erick sadar bahwa hujan sudah hampir berhenti.

Ia memandang berkeliling dan melihat seekor gorita lain juga berhenti dan memasang telinga..
- lalu satu lagi - dan satu lagi - dan satu lagi.

Suasana di perkemahan menjadi hening ketika semua Orangutan berdiri seperti patung di tengah kabut.
Semuanya mendengarkan bunyi yang berkumandang dari tengah rimba.

Erick menahan napas; ia tak berani berharap. Orangutan-Orangutan itu tampak bingung.
Tapi Erick mendapat kesan:
bahwa setiap saat mereka bisa mengambil keputusan bersama dan kembali menyerang bertubi-tubi.

Namun itu tidak terjadi. Semua Orangutan melangkah menjauh.
Miranda bangkit dengan susah payah, lalu memungut senapannya dari lumpur untuk digunakan sebagai penopang.

Pakaiannya koyak, memperlihatkan salahsatu gundukan payudaranya yang terburai keluar dengan begitu indah.
Sophia dan Sarah mengikuti, kondisi mereka juga tak kalah parah.
Bahkan Sophia terlihat hampir telanjang karena sedikit sekali kain bajunya yang tersisa.

Di bawah hujan rintik-rintik dan cahaya lampu malam yang berkedap-kedip..
Orangutan-Orangutan itu menyingkir satu per satu. Mereka tampak kebingungan.

Bunyi berkeresek aneh masih terus terdengar, dan Orangutan-Orangutan itu mundur teratur..
melintasi pagar yang roboh, dan menghilang di hutan belantara.

Para anggota ekspedisi yang tersisa berpandangan sambil menggigil karena basah kuyup.
“Kita selamat..” kata Erick, tapi tiba-tiba ia menengadah dan menatap ke hutan.

“Ada yang tidak beres..?” Tanya Miranda.
“Tidak, tidak ada apa-apa..” balas Erick. Dengan gelisah ia memandang berkeliling.
Selama beberapa menit mereka berdiri sambil membisu.

Kemudian semak belukar di dekat mereka bergoyang-goyang, dan seorang dayak melangkah keluar.
Laki-laki berkulit terang itu berperawakan kekar namun pendek, sekitar 155 sentimeter.
Ia hanya mengenakan cawat, menyandang busur serta panah.

Dengan tenang ia mengamati para anggota ekspedisi satu per satu.. rupanya untuk mencari pemimpinnya.
Erick bangkit dan segera mengucapkan sesuatu yang sepertinya adalah ucapan terimakasih.
Orang dayak itu menjawab dengan satu dengusan halus.

Erick lalu memberikan sebatang rokok sebagai tanda persahabatan..
Dan orang dayak itu langsung menyimpannya ke dalam kantong kulit yang tergantung di tabung panahnya.

Percakapan singkat menyusul. Berulangkali orang dayak itu menunjuk ke arah hutan.
“Katanya dia sudah mengamankan Clara di desa..” ujar Erick. “Dia mengajak kita untuk pergi ke sana.
Di sini tidak aman, Orangutan bisa kembali kapan saja..”

“Apa kita akan lebih aman kalau bersama mereka..?” Sarah memprotes tak yakin.
Erick menatapnya sambil mengerutkan kening.

“Dia yang membuat bunyi-bunyian tadi, untuk menakuti para Orangutan.
Kalau memang dia berniat jahat, kita pasti sudah dibiarkan mati dari tadi..”

Orang dayak tadi mengangguk-angguk. Tiga orang dayak lagi muncul dari semak belukar.
Erick mengangguk. “Aku sudah menduga, dia tidak sendirian..” ia berkata.

“Orang-orang ini tak pernah bepergian seorang dini. Yang lainnya mengawasi kita.
Kalau kita melakukan gerakan mencurigakan, kita pasti sudah tewas dipanah.
Kalian lihat ujung-ujung panah yang cokelat itu..? Itu racun..”

Tapi orang-orang dayak tampaknya bersikap tenang, mereka memandangi bulatan payudara Sarah..
Sophia serta Miranda yang bergelantungan indah dengan penuh ketertarikan.
Meski payudara-payudara itu berlepotan lumpur, mereka tampak menyukainya.

Salahsatu orang dayak mengatakan sesuatu pada Erick.
Pemuda itu mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Miranda, kemudian ia berpaling kepada yang lain.

“Kita harus segera pergi, atau kita akan ditinggal. Aku akan mengikuti mereka, dan menyelamatkan Clara..”
Miranda menatapnya dingin dan menghela napas panjang.
Tapi tetap mengikuti ketika mereka mulai beranjak. “Ya Tuhan..” bisik Miranda tak suka.

Orang-orang dayak ternyata tidak berjalan pelan-pelan ketika melintasi hutan; mereka berlari dengan gesit..
menyelinap di antara tumbuhan rambat dan dahan-dahan..
menghindari genangan air dan akar-akar yang malang melintang.

Sesekali mereka menoleh ke belakang..
dan menertawakan kesulitan yang dialami keempat orang asing yang mengikuti mereka.

Sophia yang terlihat paling kewalahan. Ia merasa seakan setiap akar hendak menjegalnya..
setiap dahan mengincar kepalanya..
Dan setiap tumbuhan rambat berduri menanti-nanti kesempatan merobek kulitnya yang mulus.

Napasnya tersengal-sengal ketika ia berusaha mengejar orang-orang kecil yang berlari di depan.
Miranda mengalami masalah yang sama..
Dan Sarah pun, meski cukup tangkas, mulai memperlihatkan tanda-tanda kelelahan.
Hanya Erick yang masih terlihat kuat.

Akhirnya mereka mencapai tepi sungai kecil yang bermandikan sinar matahari pagi.
Orang-orang dayak berhenti, lalu jongkok di atas batu-batu besar, menghadap ke matahari.

Para wanita langsung ambruk dan menarik napas sambil megap-megap.
Orang-orang dayak rupanya menganggap ini lucu, dan mereka tertawa geli.

Sepuluh menit mereka beristirahat.
Orang-orang dayak masih tertawa ketika mengajak mereka untuk kembali meneruskan perjalanan.
Ketiga wanita asing berdiri sambil mendesah, lalu menyusul dengan langkah terseok-seok.

Mereka berlari lagi selama setengah jam, tanpa berhenti mau pun mengurangi kecepatan.
Kemudian Erick mencium asap dan mereka tiba di lapangan terbuka..
di tepi sungai yang merupakan desa orang-orang dayak.

Miranda melihat sepuluh pondok bundar setinggi 180 sentimeter, disusun dalam bentuk setengah lingkaran.
Para penghuni desa sedang berada di luar.

Kaum wanita tengah membersihkan jamur dan biji-bijian yang mereka kumpulkan sepanjang hari..
atau memasak di atas api yang meretih-retih; Anak-anak berlari-larian..
mengganggu kaum pria yang duduk-duduk sambil mengasah ujung panah di depan pondok-pondok.

Kedatangan mereka menimbulkan kehebohan.
Anak-anak menunjuk-nunjuk Miranda sambil cekikikan; kaum pria meminta tembakau pada Erick;
Kaum wanita memegang-megang payudara Sophia yang bulat padat sambil berdebat.

Seorang gadis cilik merangkak ke antara kaki Sarah..
kemudian mengintip ke balik kain celananya yang berlubang tepat di selangkangan.

Erick menjelaskan bahwa para wanita ingin tau apakah Sophia mengisi buah dadanya dengan adonan..
karena mereka tidak pernah melihat payudara yang sepadat itu.
“Katakan pada mereka ini memang bentuknya yang asli..” ujar Sophia tersipu-sipu.

Erick berbicara sejenak dengan para wanita.
“Aku memberitau mereka bahwa itu berisi air susu..” katanya kepada Sophia.
“Tapi aku tidak yakin mereka percaya..” Erick tertawa.

Sophia membiarkan payudaranya terus dipegang-pegang.
Dan keikhlasannya itu disambut dengan senyum lebar dan tawa cekikikan.

Mereka juga melakukan hal yang sama pada Sarah dan Miranda. Ketika wanita itu terus dikerubuti untuk diteliti.
Seusai acara ‘perkenalan’.. mereka diajak ke sebuah pondok besar di ujung desa..
tempat Clara yang masih pingsan berada.

Mereka menemukan pria berusia tigapuluhan yang kotor dan berjanggut sedang duduk bersila di atas tikar usang..
sambil mengusap-usap tubuh telanjang Clara dengan cairan kuning pekat.

“Oh, ya Tuhan..” ujar Sophia. ”Apa yang dia lakukan..?”
“Dia mencoba mengobati Clara..” kata Erick.
“Siapa orang itu..?” Tanya Miranda.
“Sepertinya dia dukun..”

Salahsatu orang dayak mengatakan sesuatu kepada Erick.
“Saat Orangutan mengamuk semalam..” Erick menerjemahkan.
“Clara tanpa sengaja berlari ke hutan dan digigit ular. Sekarang dukun itu mencoba untuk mengeluarkan racunnya..”

Sarah mendekat dan membungkuk. Ia menepuk-nepukkan tangan di bahu Clara..
Namun gadis itu sama sekali tidak memberi tanggapan. “Apakah dia tidak apa-apa..?” Tanya Sarah kuatir.

Erick menanyakannya pada orang dayak, dan mendapat jawaban. “Masa kritisnya sudah lewat.
Racun ular sudah dikeluarkan dan sekarang tinggal sisa-sisanya. Seharusnya nanti sore dia sudah siuman..”

Sarah mundur sambil mendesah lega. “Kelihatannya tak ada yang bisa kita lakukan untuk dia..”
“Ya, sebaiknya kita juga beristirahat. Akan kita diskusikan langkah selanjutnya nanti malam..” kata Erick.
“Orang-orang ini sudah menyediakan tempat tidur untuk kita..”

“Apa boleh aku minta baju..?” Tanya Sophia.
“Kalau kau tidak keberatan memakai anyaman daun..” Erick tertawa.

Selama percakapan itu.. Clara tak bergerak sedikit pun..
Padahal tangan sang dukun terus mengubek-ubek tubuhnya yang sintal.

Terutama di paha.. tempat di mana gigitan ular berada.

CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------
 
Bimabet
-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------

Cerita 116 – Ekspedisi Borneo

[Part 10]

Erick maju untuk menatap
seluruh tubuh gadis pujaannya yang tampak kuning mengkilat, indah sekali.
Meski tau sekarang bukan waktu yang tepat, tak urung Erick tetap bergidik juga.
Dan ia langsung mundur, agar debaran jantungnya jadi kembali tenang.

Salahsatu orang Dayak berbisik pada mereka. “Ayo kita pergi..” ujar Erick pendek.
“Kau tidak cemburu..? Lihat gadismu..!” Bisik Sarah.
“Buat apa..? Itu semua demi kebaikan Clara..”

Salahsatu orang dayak lalu mengantar mereka melintasi jalan setapak di sebelah selatan desa..
menuju gubuk terpencil yang sudah menunggu.

Di sana mereka merebahkan diri dan beristirahat sampai sinar matahari berangsur-angsur condong ke barat.
----oOo----

Erick terbangun akibat dari suara-suara yang bergumam pelan.
Ia membuka mata dan melihat siluet merah tipis di luar melalui jendela gubuk.

Matahari telah condong ke barat.
Arlojinya menunjukkan pukul 17.11 - pukul lima sore, waktu Indonesia bagian barat. Ia hanya tidur sekitar dua jam.

Menguap, Erick lalu melirik ke arah Sophia yang masih tidur meringkuk dalam selimut di lantai.
Ranjang-ranjang yang lain kosong. Ia kembali mendengar suara bergumam, dan menoleh ke jendela.

Tampak Miranda berada di sana, sedang.. ah, penasaran sekaligus juga kaget..
Erick segera turun dari tempat tidur dan memperhatikan, dengan lebih teliti.

Ternyata memang benar, tapi.. ini tidak mungkin. Erick pun menyusul keluar, yang terlihat remang-remang.
Udara terasa dingin sekali, setiap embusan napasnya segera mengembun.

Tapi Miranda dengan cuek berdiri di sana, tubuhnya telanjang! Wanita itu sedang membelakanginya..
Tapi ketika Erick mendekat, ia langsung menghentikan ‘perbuatannya’ dan berbalik.

“Aku pikir kamu sedang tidur..” kata Miranda, tenang.
“Apa yang kau lakukan..?” Erick bertanya heran.

“Sedang bernegosiasi..” ia memberitahukan.
“Untuk apa..?” Erick terkesima.

Ia tercengang ketika melihat lengkungan-lengkungan di tubuh Miranda yang sungguh indah..
serta keringatnya yang berkilau-kilau dalam cahaya matahari sore.

Di sekeliling perempuan itu, Erick melihat orang-orang Dayak menatapnya tajam.
Sorot mata mereka berkesan sangat tidak bersahabat, karena takut kesenangannya diganggu.
Maka Erick langsung tersenyum ramah, seakan-akan menyetujui adegan aneh tersebut.

Seorang dayak bertubuh pendek dan berpenampilan keras..
dengan rambut tebal dan mata berwarna gelap yang awas..
Segera melanjutkan gerakannya kembali setelah tadi sempat berhenti.

Ia kembali menyetubuhi Miranda.. yang tampaknya senang dengan apa yang ia lakukan.
Wanita itu menoleh pada Erick sambil tersenyum lebar.

“Ahh.. m-mereka memiliki informasi soal.. s-sumber intan biru.
L-lebih banyak dari.. ahh.. y-yang kita t-temukan kemarin. J-jadi .. auwh..!”

Miranda tidak sanggup berkata-kata lagi..
karena salahsatu orang dayak sudah menusukkan penis ke dalam mulutnya, meminta untuk dukulum dan dilumat.

“Tapi, apa harus begini..?” Balas Erick.
Miranda tersenyum. “Imbalan seperti inilah.. ahh.. y-yang mereka inginkan. K-kalau kita menginginkan sesuatu.. ughh..
K-kita harus b-berani.. auhh, bertaruh. O-orang-orang ini.. bukan orang bodoh..”

Erick menggelengkan kepala. “Di mana Sarah..?”
“Ahh.. t-tadi dia.. p-pergi.. uhh.. ke s-sungai..” jawab Miranda dengan payudara terpantul-pantul..
akibat genjotan laki-laki di belakangnya.

“Hmm, begitu..?” Erick mengangguk dan kembali ke gubuk.
Sebelum masuk, dia berbalik sebentar dan cepat-cepat menambahkan..
“Nikmatilah, aku juga akan sedikit bersenang-senang dengan Sophia kalau begitu..”
Ujarnya dengan senyum lebar yang membuat jengkel Miranda.

“B-bajingan..!!” Wanita itu menggerutu.
Laki-laki dayak yang menyetubuhinya sudah ejakulasi, dan segera digantikan oleh lelaki lainnya.
Di belakang, masih banyak yang antre.

Ada sekitar sepuluh orang yang berkumpul di sana, semua dalam kondisi tubuh telanjang.
Miranda sungguh harus bekerja keras malam ini.

Seorang dayak yang telah memiliki ereksi sempurna, tanpa basa-basi mulai menyetubuhinya dari arah belakang.
Miranda pasti sangat basah, karena kemaluan yang begitu besar itu dengan mudah meluncur masuk.

Miranda sedikit terkesiap saat ia menerimanya, sambil sejenak memuntahkan penis besar keluar dari mulutnya..
“Ugh yah.. pelan-pelan..!" Namun dayak itu tidak peduli.

Merasa telah menguasai pinggul Miranda, ia pun mulai mempercepat laju sodokannya.
Dan ia menggeram begitu vagina hangat Miranda menyambutnya dengan senang hati.

Segera ia membanting kemaluannya dengan kekuatan penuh..
menyebabkan Miranda tersentak dan berteriak-teriak setiapkali dia menusuk.

“Auw! Ahh.. pelan-pel.. hmph..!!” Dan jeritan Miranda terbungkam saat seorang dayak lain..
memasukkan batang penis ke dalam mulutnya.. sehingga kini ia tertusuk dari kedua lubang.

Sementara dayak yang ketiga mengambil tangannya..
kemudian membungkuskan jari-jari lentik Miranda di sekitar batang penisnya.

Setelah tersedak sejenak.. Miranda tampak mulai menemukan ritme untuk mengakomodasi mereka semua.
Dia terlihat liar oleh nafsu, rindu akan belaian penis panjang dan tebal.

Membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi kian ganas dan brutal.
Dengan berbagai cara mereka menggunakan vagina, mulut serta tangan Miranda untuk bersenang-senang.

Tidak butuh waktu lama bagi Miranda untuk mulai kejang-kejang saat nikmat orgasme menggiringnya ke tepian.
Tubuh langsingnya tampak berombak, melemparkan rambut hitam panjangnya ke depan.

Mata Miranda terpejam, sementara tangannya menarik-narik putingnya sendiri saat ia gemetar oleh klimaks.
Di saat yang sama, penis panjang yang tengah dikulumnya meledak; mengirim tetesan sperma kental ke mulut..
Dagu, gigi, lidah, serta hidungnya. Beberapa bahkan ada yang menempel di mata.

“Hhh.. hh.. s-sudah.. b-berhenti sebentar..” desah Miranda terengah.
Namun seorang pria dayak yang berada di sisinya, sama sekali tidak memberi kesempatan itu.

Rakus ia menjilati puting susu Miranda. Lalu merangkak naik ke leher, dan akhirnya berhenti di sekitar mulut.
Miranda tak lagi dapat memprotes saat ujung lidah basah mulai menyeruak masuk ke celah bibirnya.

Ia membuka mulut, membiarkan lidah penyusup itu bergumul dan bermain dengan miliknya.
Mereka berbagi keinginan yang sama, serta tetesan air liur juga.

“Ahh..!!” Melirik ke bawah.. Miranda melihat orang kedua yang menyetubuhinya sudah menggeram lemas.
Pejuhnya berceceran di bokong dan perut Miranda.

Namun dengan cepat celah mungilnya yang memang begitu menggoda, diisi kembali.
Oleh orang yang lain lagi.. dengan kemaluan terasa sedikit lebih kecil.

Di saat Miranda masih melayang..
tiba-tiba seorang pria dayak muncul di depan mulutnya, dengan penis sudah mengacung tegak.

Masih ada berapa lagi sih..? Batin Miranda dalam hati. Mereka seperti tiada habis-habisnya.
Namun tanpa memprotes.. Miranda segera membuka mulut dan menjulurkan lidahnya.

Ia sentuh batang panjang itu di sana-sini, beberapakali juga mengisapnya..
atau memainkannya dengan ujung lidah.. sebelum kemudian melanjutkan lagi dengan mengulumnya kuat-kuat.

Miranda harus tetap melakukannya, seberapa pun capek yang ia rasakan.
Dia rela mengorbankan tubuh.. karena ini semua demi intan biru.
Benda langka yang sanggup mengubah masa depan negara Indonesia.
----oOo----

Keesokan paginya.. seluruh lembah tertutup lapisan abu hitam tipis.
Ketika terbangun.. Miranda langsung teringat pada rencananya kemarin, tampaknya misi kali ini tidaklah terlalu gagal.

Tekadnya untuk menemukan intan semakin menggebu, meski tubuhnya terasa amat lelah.
Bayangkan.. melayani hampir sepuluh orang dalam semalam.
Namun setidaknya pengorbanan itu akan terbayar dengan ditemukannya sumber-sumber intan biru.

“Ayo sarapan. Mukamu pucat sekali..” kata Sarah yang sudah bangun lebih dulu.
“Di mana yang lain..?” Miranda meregangkan tubuhnya yang terasa begitu kaku.

“Erick sedang pergi ke tempat sang dukun untuk menengok keadaan Clara.
Sedang Sophia berkeliling merekam dengan kameranya..”

Miranda menggerakkan bahu. “Kita harus segera berangkat..”
“O ya..?” Sarah bertanya dengan sabar. “Sebaiknya kita makan dulu..”

Tidak membantah.. Miranda segera mencuci muka..
kemudian menyantap daging bakar yang disiapkan oleh perempuan suku dayak.

Sepuluh laki-laki yang tadi malam menyetubuhinya, sama sekali tidak kelihatan.
Mungkin mereka sudah pergi ke hutan untuk berburu dan memasang jerat.

“Bagaimana keadaan Clara..?” Tanya Miranda saat melihat Erick kembali.
“Lumayan. Sudah mulai siuman, tapi badannya masih lemas..”

“Jadi, dia tidak ikut..?”
“Malah akan merepotkan..” Erick mengepaki peralatannya dan memasukkannya ke dalam tas ransel.

“Mereka bilang tanah pegunungan di sebelah utara mengandung banyak batu biru yang bercahaya..”
Miranda memberitau.

“Hmm, sangat menarik..” Erick bergumam.
“Bagaimana dengan Orangutan, apakah nanti kita tidak akan diserang..?”

“Di sana tidak ada Orangutan..
Dan akan ada dua orang suku dayak yang akan mendampingi kita. Jadi sepertinya akan aman..”
“Baiklah, ayo berangkat..”

Tempat yang mereka tuju ternyata berbentuk sekumpulan reruntuhan batu tua di tengah hutan panas dan lembap.
Mereka mencari sisa-sisa letusan gunung berapi yang kini sudah tak aktif lagi.

Hubungan antara intan dan gunung berapi telah diketahui sejak lebih dari satu abad..
Namun tetap belum dipahami sepenuhnya.

Sebagian besar teori menyatakan bahwa intan.. yaitu kristal-kristal karbon murni..
Terbentuk di selubung atas kerak bumi yang bertekanan dan bersuhu luar biasa..
Kira-kira 1.600 kilometer di bawah permukaan.

Intan-intan tersebut tetap berada di dalam perut bumi, kecuali di daerah-daerah gunung berapi..
Tempat aliran magma cair membawa batu-batu itu ke permukaan.

Tapi ini tidak berarti orang harus mendatangi gunung berapi yang sedang meletus..
untuk menangkap intan-intan yang disemburkan.

Tambang intan pada umumnya terdapat di gunung berapi yang sudah mati..
dalam kerucut-kerucut yang telah membatu.

Berdasarkan informasi geologis dari Miranda.. mereka kini mencari sisa-sisa gunung berapi..
yang dulu pernah ditemukan oleh para penduduk suku dayak pedalaman.

Beberapa saat sebelum tengah hari, upaya mereka akhirnya membuahkan hasil.
Pada bukit-bukit di sebelah utara..
Miranda menemukan sejumlah terowongan yang menembus ke dalam lereng gunung.

Perempuan itu tampak begitu gembira. Erick berkata..
“Ini hanya terowongan-terowongan biasa, dengan tonjolan-tonjolan batu berwarna cokelat buram di sana-sini..”

Miranda segera memotong.. “Tonjolan-tonjolan batu buram tersebut sesungguhnya adalah intan;
Setelah dibersihkan, batu-batu itu menyerupai kaca kotor..” katanya sambil melompat-lompat senang tak terkendali.

“Hei, jangan jadi gila..” ujar Sarah, sama sekali tidak sadar apa yang ada di depan matanya.
Jika seseorang memandang ke dalam terowongan tambang intan, tak satu pun intan akan terlihat.
Yang ada hanya batu-batu menonjol.

Dengan menggunakan parangnya.. Miranda berhasil mematahkan salahsatunya..
Kemudian memperlihatkan kilau kebiruan yang langsung tampak. “Ini yang kita cari..!” Kata wanita itu, bangga.

Sarah melihat enam atau tujuh batu berukuran sama dengan batu yang baru saja dicungkil oleh Miranda.
Dan masih ada lebih banyak lagi di dalam gua. Ratusan, bahkan ribuan.

“Sepertinya, kita berhasil..” ia berkata, hampir menangis.
“Ya, ada sekitar empat ribu sampai limaribu tonjolan di sini. Tinggal kita patahkan, tanpa perlu menggali..
tanpa perlu mengayak, tanpa perlu berbuat apa-apa. Tambang ini sangat kaya. Betul-betul sukar untuk dipercaya..”

Sophia mengajukan pertanyaan yang sudah sedari tadi terbentuk dalam benaknya.
“Kalau tambang ini begitu produktif..” ia berkata.. “Kenapa para penduduk tidak memanfaatkannya..”

Erick segera mengalihkan pertanyaan itu pada para pengawal dan mendapat jawaban.
”Mereka hanya menggunakan sedikit sebagai bahan penyulut api.
Selebihnya tetap dibiarkan karena mereka tidak mengetahui kegunaannya..”

Sebagai batu perhiasan.. kristal-kristal tersebut memang tidak berharga..
– semuanya berwarna biru karena terkontaminasi zat lain.

Takkan terbayang oleh para penduduk bahwa batu-batu tersebut ternyata lebih langka..
dan lebih bernilai dibandingkan sumber daya mineral mana pun di dunia.
“Dan itu adalah keuntungan buat kita..” Miranda tertawa dan memetik intan lain dari dinding batu.

“Kenapa intan-intan biru ini begitu dicari..?” Tanya Sophia.
“Karena akan mengubah dunia..” jawab Miranda dengan nada lembut.

“Intan-intan ini akan mengakhiri zaman nuklir. Selain senjata.. kita juga dapat menggunakan intan-intan ini..
sebagai bahan bakar yang sangat hemat. Sebagai perbandingan.. satu tanker minyak..
setara hanya dengan satu sendok intan. Malah bisa lebih sedikit lagi kalau riset kita sudah lebih sempurna..”

Sophia mengangguk mengerti.. dan bersama Erick serta Sarah..
mereka segera membantu Miranda untuk mulai meneliti intan-intan itu.
----oOo----

Sudah lewat tengah hari ketika Clara terbangun.
Menyipitkan mata, ia melihat sekelilingnya dengan bingung.

Udara terasa lembab.. membuat bajunya basah dan menempel ketat di tubuh;
Menekan setiap lekuk di bongkahan payudara serta pinggangnya dengan begitu indah.
Kulitnya berkilau oranye pucat oleh sisa-sisa minyak penyembuh.

Clara menoleh ketika merasa kedua lengannya tertarik ke sudut dan diikat erat di pergelangan..
– Sangat tidak nyaman. Kaget dan sedikit gugup, ia langsung membuka matanya.

"A-apa yang terjadi..?” Tanyanya terkejut.
“Sshh..” terdengar sebuah suara tanpa emosi.

Clara merasa pergelangan kakinya juga diikat ke samping..
Membuatnya jadi benar-benar tak berdaya dan sangat rentan.

“Oh kumohon, lepaskan aku..!” Dia mengerang dan menarik-narik tali..
Berusaha untuk membebaskan diri dengan sedikit panik. Dia berjuang sia-sia selama beberapa menit.

“Kumohon..!”
Teriaknya sekali lagi.. berharap ini semua hanyalah salahsatu tahap dari metode penyembuhan sang Dukun.
Namun suara gumaman berkarat dengan aksen Dayak kental membuatnya langsung terdiam.

Clara berbalik ke arah itu untuk melihat sang Dukun yang berdiri di dalam lingkaran obor.
Pria berkulit hitam itu menyeringai pada dirinya.

“Apa yang akan kau lakukan..?” Clara bertanya dan kembali menarik-narik tali.
Tidak menjawab.. Dukun itu beringsut lebih dekat. Gigi hitamnya berdecit ketika ia tertawa.

“Lepaskan aku..! Kumohon..!” Teriak Clara ketakutan.. namun terdengar sangat lemah untuk ditanggapi.
Air mata mulai berkilauan di matanya.. meski dirinya menolak keras untuk menangis.

“Tidak, tolong.. biarkan aku pergi..” sekali lagi Clara memohon.
Sebuah tawa mengental membelah udara.

Tangan gelap sang Dukun meluncur turun menyentuh tubuh indah Clara.
Jari-jarinya perlahan-lahan membuka kancing, satu per satu.. hingga pakaian Clara jadi benar-benar terbuka.
Mengungkapkan tubuh telanjangnya yang begitu mulus menggoda.

“Tidak.. ampuni aku!” Gadis itu menutup mata karena malu, berusaha menahan air matanya.
Sang Dukun mendengus mencemooh.. dan tangan hitamnya dengan cepat menangkup..
serta meremas-remas payudara Clara yang terasa begitu lembut.

Juga sangat kenyal dan padat. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan..
Perlahan-lahan dipilin-pilinnya agar menjadi tegak.

Clara menangis diam-diam, tetapi menolak untuk membiarkan air matanya jatuh.
Dia tidak akan mengakui kekalahannya, bahkan jika tubuhnya menolak untuk bekerjasama.

Karena untuk alasan yang tidak ia mengerti.. Clara tiba-tiba saja melirik selangkangan penyiksanya.
Di sana.. ia melihat penis terbesar dia pernah ia temui. Bahkan milik Erick pun tidak ada apa-apanya.

Benda itu begitu panjang.. tebal.. dan mengarah lurus ke atas. Juga tampak sangat kaku dan keras.
Tanpa sadar, tubuh Clara bereaksi secara naluri.

Saat sang Dukun membungkuk untuk mencucup salahsatu putingnya.
Ia pun mengerang perlahan.. “Auw.. ahh.. tidak..!”

Dengan lidah terus menjilat..
serta satu tangan sang Dukun perlahan menelusur ke perut.. dan lebih ke bawah lagi;
Melewati semak hitam yang tercukur rapi.. sebelum akhirnya berhenti tepat di selangkangan Clara.

Lelaki itu memijat-mijatnya lembut.. sampai vagina sang gadis mulai mengeluarkan cairan pelumasnya..
Dan erangan tenang lolos dari bibir tipis Clara.
“Ahh.. hh.. hhm..” Clara merasa tubuhnya sudah bukan miliknya lagi.

Seolah membaca situasi tersebut.. sang Dukun segera menghentikan cumbuannya dan terduduk tegak.
Perlahan dia mulai naik ke atas tubuh sintal Clara dan berbaring menindihnya.

Kulit hitam gelap milik sang Dukun dan daging pucat gadis kota milik Clara terlihat begitu kontras.
Bagai batu pualam yang menempel pada arang.

Plepp..!! “Auwww..!!” Clara memekik ketika sang Dukun memposisikan penisnya yang mengerikan..
Tepat di antara kedua kakinya.. pas di celah merah muda mungil yang berada di sana.

“Tidak, tolong.. aku mohon padamu..!!”
Clara menjerit.. mencoba untuk mencegah hal yang tak dapat dia hindari.

Dengan senyum jahat dan mendengus.. Slebbb.. clebb.. blessekkk.!!
Sang Dukun menusukkan daging gelapnya yang teramat panjang ke vagina gadis cantik itu.

Dalam-dalam dan sangat kuat.. hingga membuat Clara menjerit kesakitan.
Dan tanpa bisa ditahan lagi.. ia mulai menangis pelan.
Sang Dukun menikmati lubang ketat dan hangat itu dengan mulai memompa.

Mendorong alat kelaminnya keluar-masuk.. menggesek dinding-dinding vagina Clara..
Yang perlahan-lahan mulai basah oleh cairan pelumas.. hingga mudah baginya untuk meningkatkan langkah.

Clara yang mendapatkan tusukan yang begitu ia sukai.. perlahan mulai lupa..
Bahwa dia adalah boneka yang dipaksa untuk melayani kehendak sang Dukun.

Tanpa sadar ia mulai melawan pinggul laki-laki itu.. membalas setiap genjotannya yang 'mengerikan'..
Dengan himpitan dinding-dinding liang vagina yang tak kalah mantab.

“Hmm.. ahh.. hhh..” Clara mulai mengerang.. - lembut pada awalnya, kemudian lebih keras dan lebih keras lagi.
Seolah-olah awan gelap telah menutupi pikirannya.. dia berteriak kencang.
Bahkan sampai jerit kenikmatannya bergema di gubuk kosong itu.

Erick yang baru balik dari gunung, segera berlari begitu mendengar jeritan itu.
Namun langkahnya tertahan saat dua orang Dayak menghadangnya di pintu masuk gubuk.

“Ada apa ini..? Biarkan aku masuk..!” Katanya dengan menggunakan bahasa setempat.
Tapi dua penjaga itu menggeleng dan menyuruh Erick agar menyingkir.

“Tidak..!” Erick mencoba untuk merangsek..
Namun todongan panah beracun segera menghentikan langkahnya.

“Sst.. lebih baik kita pergi..” Miranda merangkul dan menariknya mundur.
“Tapi, Clara..”

Namun Sarah dan Miranda segera memeluk tubuh pemuda itu dan membawanya menjauh.
“Kita bisa menyelamatkannya nanti..” bisik Miranda.
“Tidak, aku harus pergi ke sana sekarang. Tidak boleh ada yang menyentuh tubuh Clara..!”

Erick meronta.. dan terlepas. Dia segera memburu ke pintu gubuk, tapi dua langkah sebelum tiba..
Ketika para prajurit sudah mengarahkan panahnya..
Sarah berhasil menjegal langkah pemuda itu dan menjatuhkannya ke tanah.

Lalu memukul pelipis Erick dengan batu hingga membuatnya pingsan.
“Setidaknya dia aman, daripada ditembak dengan panah beracun..”
Sarah memandang dua prajurit yang mengangguk puas.

Bersama Miranda.. dia segera membopong tubuh Erick menjauh dari gema rintihan Clara yang masih terus terdengar.
Setelah sang Dukun mengosongkan isi penisnya..
Barulah rintihan itu mereda dan desa di tengah hutan itu pun kembali tenang.
----oOo----

“Dia hilang..!!” Teriak Sophia sambil berlari.
Dia tadi ditugaskan untuk mengantarkan makanan kepada Erick, pemuda itu masih pingsan.
Namun ketika sampai di kamar, Erick ternyata tidak ada.

“Ke mana dia..?” Gumam Sarah, bingung sekaligus juga takut.
“Aku tak tau..” balas Sophia. “Tapi kutemukan ini di pintu masuk gubuk, sepertinya milik dr. Miranda..”
Sophia menyerahkan tas ransel yang sudah kosong pada Miranda.

“Ya, ini memang milikku..” ujar Miranda.
“Apa isinya..?” Tanya Sarah.

Miranda sudah akan menjawab..
saat melihat seberkas sinar senter muncul di bagian utara pegunungan, kemudian menghilang dari pandangan.

“Gawat, Erick pergi ke pertambangan intan..” bisiknya pasti.
“Untuk apa dia ke sana..?” Tanya Sophia.
“Tebakan terbaikku, kelihatannya dia ingin meledakkan tempat ini..”

Miranda menceritakan soal tiga kerucut keramik yang tadi tersimpan di ransel, namun kini sudah tidak ada.
“Apa itu..?” Sophia bertanya bingung.
Miranda menggelengkan kepala.. “Itu bahan peledak elektronik..” ujarnya.

“Rencananya kugunakan untuk meledakkan halangan-halangan kecil yang mungkin kita jumpai.
Kekuatannya memang tidak seberapa besar, tapi dengan adanya intan-intan biru yang begitu eksplosif..
Erick bisa menghancurkan seluruh tempat ini kalau sampai dia benar-benar memasangnya di gua..”

“Erick tampaknya jadi gila setelah melihat Clara diperkosa tadi sore..” kata Sophia.
“Kalau begitu, harus cepat kita hentikan..”

Sarah memutuskan.. dan dengan itu ketiganya segera berlari menuju areal pegunungan.
----oOo----

Erick menerobos semak belukar setinggi pinggang..
sampai mencapai punggung sebuah bukit kecil yang curam.

Serta-merta ia berguling menuruni lereng..
membuat dadanya bergerak naik-turun dan lengannya berkedut-kedut sakit.

Tapi dia terus bergerak, karena yakin ia tidak mengalami cedera serius.
Perhatian Erick sepenuhnya tertuju pada gua yang letaknya sudah tak jauh lagi.

Kerucut keramik yang ia ambil dari ransel Miranda..
terasa menusuk-nusuk saat ia mulai memasuki pintu terowongan.
Erick memutuskan ia tidak perlu jauh masuk ke dalam, dari sini nampaknya sudah cukup.

Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tiga kerucut keramik berwarna putih..
serta beberapa kotak kecil yang dilengkapi antena.

Sesuai petunjuk dari Miranda yang pernah diingatnya..
Erick memasang sebuah kotak pada masing-masing kerucut..
kemudian menempelkan kerucut-kerucut pada dinding batu, dan melangkah menjauh ke kegelapan.

“Erick, di mana kau..!?” Terdengar sebuah teriakan.
“Sebaiknya jangan cari masalah..” kata Miranda.

Erick mendengar panggilan itu dengan perasaan was-was. Kenapa mereka menyusul kemari..?
Apakah waktunya cukup..? Apa dia sudah benar memasang bom itu..?

Diam-diam ia menyingkir dan memungut alat pemicu.
Pada alat mungil tersebut ada tiga LED yang menyala.. lebih dari cukup untuk menguatkan hati Erick.
Ia langsung mengangkat jari untuk menekan tombol-tombol itu.

“Ya Tuhan..!!” Jerit Sophia ketika serangkaian ledakan bergumuruh..
menyemburkan debu intan berkilau-kilau dari terowongan tambang.

Semuanya bergetar.. tempat mereka berdiri terguncang, begitu keras..
Hingga mereka semua terempas ke tanah.
Kawasan sebelah utara Kalimantan dilanda gempa berkekuatan 8 skala Richter.

Pada gempa sehebat itu, bumi terguncang begitu keras, hingga berdiri pun terasa sulit.
Tanah beringsut ke samping dan membelah pohon-pohon, bahkan bukit-bukit kecil ikut bermekaran.

Bagi Sarah, Miranda, Sophia..
waktu lima detik yang menyusul awal letusan merupakan mimpi buruk mengerikan.
Semuanya bergerak. Mereka terus terempas ke tanah dan terpaksa merangkak seperti bayi.

Bahkan setelah menjauhi terowongan, tanah tetap terayun-ayun bagaikan mainan oleng.
Disusul oleh pohon-pohon yang mulai ambruk..
juga bongkahan-bongkahan batu besar yang runtuh secara bersamaan.

Kebisingan memekakkan telinga, bunyi ledakan intan yang terdengar tanpa henti dari lembah.
Ledakan-ledakan itu menimbulkan serangkaian gelombang kejut.

Bahkan saat tanah tempat mereka berpijak tidak bergerak pun..
Mereka tetap diempaskan gelombang udara panas, tanpa peringatan lebih dulu.
Ketiga perempuan itu seakan-akan terperangkap di tengah perang.

Sebuah getaran hebat mengempaskan Miranda ke tanah.
Ia bangkit lagi dan kembali berjalan sambil terhuyung-huyung.

Ia sepenuhnya sadar akan kelembapan dan abu pekat yang menyelubungi mereka.
Dalam beberapa menit saja langit di atas mereka gelap gulita.

“Lari..!” Teriaknya. “Lari..!” Sementara Sophia terus maju..
Sarah keluar dari awan abu sambil terbatuk-batuk dan membungkuk.

Sisi kiri tubuhnya tampak gosong dan hitam, kulit tangan kirinya terbakar.
Ia menunjuk hidung dan tenggorokannya.. “Perih.. sakit..”

“Karena gas..!!” Seru Miranda. Ia merangkul pundak wanita itu, lalu mengangkat dan membopongnya.
“Kita harus naik ke bukit..!”

Desa dayak di bawah mereka terselubung asap dan abu, yang pasti sudah menewaskan semua penghuninya.
Termasuk juga Clara.

Di bagian atas lereng gunung..
mereka menyaksikan sederetan pohon mendadak menyala akibat aliran panas yang tidak kelihatan.

Mereka mendengar raungan kesakitan Orangutan-Orangutan di sebelah bawah..
ketika binatang-binatang itu dihujani angin panas yang membakar kulit.

Dan saat awan panas itu mengalir juga mendekati bagian atas pegunungan..
Baru Miranda menyadari bahwa intan-intan yang diincarnya pun telah lenyap.. ketika mereka ditelan oleh awan gelap.

Terkubur untuk selama-lamanya. END
-----------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------

End of Cerita 116..

Sampai Jumpa di Lain Cerita .. Adios..:dor:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd