Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 19

"Hah? Papa serius?"

"Buat apa bercanda, Ma."

"Terus sekarang Farhan di mana?"

"Ya di sana dong, masak ya mau dibawa pulang."

"Ini jadi semakin aneh dan membingungkan."

"Papa juga nggak nyangka akan secepat ini."

"Papa nggak berusaha menolak?"

"Mama tahu kan hubungan Papa dan Ustad Bagir?"

"Itu tadi pertanyaan bodoh, sih."

"Sampai sekarang Papa masih belum percaya rasanya."

"Mama tahu ini ide dari mama. Tapi kan tidak secepat ini maksudnya."

"Papa mau mandi dulu. Mendinginkan pikiran."


Tidak ada seorang pun yang menduga. Apalagi Winda. Di dalam lubuk hati terdalam, Winda sedikit menyesali keputusan untuk meminta mencarikan Farhan pasangan. Tahu begini, Ia nikmati dulu saja hubungan itu. Kekhawatiran akan kesempatan memacu birahi dengan Farhan makin memenuhi otaknya. Ia tidak berusaha menghubungi pemuda itu. Ah, meski Winda tidak pernah tahu bagaimana rupa anak dari Ustad Bagir, Ia hanya yakin gadis itu cantik. Ada perasaan cemburu, sedikit. Segera saja Winda memulihkan diri. Ia membuang jauh-jauh perasaan itu. Kembali mengingatkan diri bahwa ini adalah keinginannya. Satu hal yang pasti, Winda seketika rindu bersetubuh dengan Farhan.


***


"Yang bener aja sih?"

"Nih bukti chat sama Farhan."

"Kalau mau valid ya tanya sama Pak Bos saja lah."

"Sungkan lah."

"Ada apa ini kok pada bisik-bisik?"

"Kata Edo Farhan nikah, Bu."

"Gosip apa lagi ini, Do?"

"Beneran, Bu. Saya chat dia sendiri."

"Kamu tahu dari mana?"

"Dia pamit nggak masuk. Cuti katanya. Saya tanya dong ngapain cuti, tumben kan."

"Jawabannya?"

"Ibu baca sendiri, deh."

"Bercanda mungkin. Nggak ada kabar-kabar apapun kan."

"Satu-satunya cara memastikan kabar ini adalah tanya Pak Dibyo, Bu."

"Yes, benar. Pliss dong, Bu."

"Orangnya ada?"

"Ada. Baru masuk."

"Jadi korban lagi saya."


***


"Permisi, Pak."

"Eh, Bu Rima. Silakan, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya cuma jadi alatnya anak-anak ini."

"Soal apa ini?"

"Tadi Edo kontak sama Farhan, dia katanya cuti. Waktu ditanya alasan katanya menikah. Gempar itu, Pak, sekantor."

"Saya pikir malah Farhan sudah menghubungi Bu Rima buat izin."

"Belum, Pak."

"Edo benar. Farhan menikah semalam."

"Memang mendadak atau sebenarnya sudah terencana, Pak?"

"Mendadak. Sangat mendadak. Awalnya niatnya saya cuma ingin mengenalkan Farhan dengan anak seorang teman. Bapaknya malah minta nikah malam itu juga."

"Kok kayak film-film ya, Pak."

"Sampai sekarang ini saya juga masih belum percaya rasanya."

"Farhan mau-mau aja, Pak?"

"Buktinya begitu. Anak itu memang agak unik, kan."

"Iya sih, Pak. Tapi agak aneh baru kenal langsung nikah. Ini bukan zaman kita muda lho, Pak."

"Saya semalam waktu nyetir pulang sendiri sampai melamun, Bu Rima."

"Tapi selamat sampai rumah, kan?"

"Bisa dilihat belum ada yang hilang bagian tubuh saya."

"Perlu disidang ini anak waktu masuk."

"Silakan. Bikinkan meja bundar persidangan."

"Sampai kapan katanya, Pak?"

"Belum bilang ke saya. Dia cuma izin cuti sebentar buat urus dokumen pernikahan."

"Memang anak ajaib."

"Begitulah. Seperti yang kita saksikan."

"Baiklah. Terima kasih ya, Pak."

"Sama-sama. Bilang sama anak-anak jangan terlalu ribut. Saya masih belum sadar ini."

"Permintaan yang susah dipenuhi itu, Pak."


***


"Anak-anak. Jawabannya adalah iya."

"Bisa kita telepon saja nggak sih itu anak?"

"Jangan dulu, dong. Ganggu pengantin baru saja."

"Gimana ceritanya, Bu?"

"Singkatnya, kata Pak Bos, beliau sebenarnya berencana mengenalkan Farhan dengan anak dari temannya. Tapi oh tapi, si teman Pak Bos menawarkan Farhan untuk menikahi anaknya malam itu juga."

"Ini bukan skrip sinetron kan, Bu?"

"Nanti tanya sendiri ke orangnya ya."


Kabar itu makin menyebar. Minimal, semua orang di kantor itu telah mendengar. Farhan menikah. Farhan menikahi wanita yang baru saja Ia kenal. Ada yang bilang Farhan kena pelet. Ada yang bilang istrinya pasti cantik bagai bidadari hingga tidak ada kata selain iya. Ada juga yang bilang Farhan hopeless tidak kunjung bertemu jodoh. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya. Pun dengan Dibyo yang terkadang masih enggan percaya. Sementara Rima hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia mulai memikirkan bagaimana dengan agenda persetubuhan dengan Farhan yang mulai membuatnya ketagihan. Bisa jadi Farhan akan menghentikan aktivitas itu secara sepihak. Kalau begini, setahun ke depan akan menjadi masa yang amat sulit. Rima sanksi bisa menemukan orang lain yang mampu memuaskan birahi sekaligus menjaga rahasia. Ingin rasanya menghubungi Farhan dan menanyakan perihal kabar yang Ia dengar. Tidak. Rima mengurungkan niat itu. Risikonya terlalu besar. Ia juga tidak ingin merusak kebahagiaan Farhan.


***


Menjelang sore, suasana rumah Ustad Bagir dengan istri keduanya, Hasnah, nampak lengang. Tidak ada aktivitas berarti. Hasnah sedang mengajar. Ustad Bagir pun sama. Di dalam rumah, hanya ada Aisyah yang sibuk dengan beberapa pekerjaan rumah. Sementara Farhan sedang mengurus administrasi untuk kelengkapan dokumen pernikahan. Meski sebenarnya masih syok, Aisyah memilih untuk menerima semuanya. Semenjak selesai kuliah, wanita itu memutuskan pulang. Ia ingin sedikit membantu Sang Abah mengurus pesantren. Tapi kini jalan cerita kembali berubah. Aisyah menyetujui Abah untuk menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenal. Pelan-pelan Ia terus membesarkan hati menerima semua keputusan ini.


Banyak sekali hal-hal yang ingin dicapai Aisyah sebenarnya. Mulai dari mengejar pendidikan lebih tinggi, mengajar, hingga berbagai jenis karir yang lain. Kemarin, berbagai impian itu dikubur dalam-dalam. Ia hanya ingin mengabdi kepada orang yang membesarkannya. Setelah pembicaraan dengan Farhan semalam, impian itu kembali mengemuka. Hasrat mengejar semua yang Ia tulis sebelumnya membumbung lagi. Mungkin ini jalannya. Mungkin Farhan perantara semuanya.


Selama kuliah, Aisyah mulai terbuka. Jalan konservatif yang ditempuh sebelumnya pelan-pelan dilonggarkan. Ia bertemu banyak sekali bentuk manusia. Dunia baru ini ternyata menyenangkan. Namun prinsip yang dipegang Aisyah tetap dijaga. Ia membawa nama baik keluarga dan nilai-nilai yang dianut turun-temurun. Aisyah mulai melonggarkan cara berpakaian. Ia juga ingin tampil modis tapi tetap tidak berlebihan. Tentu saja setelan begitu tidak dipakai ketika pulang ke rumah orang tua. Ia kembali menjadi Aisyah putri Ustad Bagir pemimpin pesantren. Pelan-pelan Ia mulai menerima pemikiran bahwa setiap orang berhak memilih cara berpakaian dan berperilaku. Bahkan meski mereka menganut cara beribadah yang sama.


Keterbukaan itu menjadi salah satu alasan Aisyah tidak menolak perjodohan dengan Farhan. Ini kesempatan. Bisa saja tawaran perjodohan berikutnya adalah dengan putra Kiai Salafiah yang membawanya makin konservatif. Atau mungkin salah satu santri di pesantren milik Abahnya. Lubuk hati terdalam milik Aisyah masih menginginkan kebebasan selama kuliah itu kembali. Dan, Farhan bisa jadi pintu masuk ke sana.


Menjelang petang, rumah sudah bersih. Suaminya mungkin akan datang. Ibunya akan selesai mengajar. Aisyah tiba-tiba ingin merias diri. Meski belum siap benar, Ia ingin mencoba. Wanita itu ingin membuat suaminya jatuh hati secepat mungkin.


***


"Sepertinya besok bisa ke KUA, Sya."

"Alhamdulillah. Semua dokumen sudah beres ya, Mas?"

"Berdasarkan ceklist sih sudah. Enaknya jam berapa besok?"

"Pagi saja, Mas. Takutnya ramai."


Malam itu kondisi kamar masih belum ada perubahan. Mereka masih segan satu sama lain. Sebenarnya obrolan mulai cair tapi tidak ada yang membuat langkah signifikan. Sama seperti kemarin, tidak ada yang terjadi. Bahkan Aisyah masih belum berani membuka jilbab di depan Farhan. Sedikit aneh, tapi mau bagaimana lagi. Semua butuh proses.


"Kalian berangkat jam berapa?"

"Jam 8, Bah."

"Sudah janjian, Han?"

"Kemarin sudah kontak penghulunya. Diminta pagi memang."

"Bisa langsung jadi hari ini?"

"Insyaallah begitu, Bah."

"Pulangnya sekalian pacaran dulu sana."

"Abah nih apaan."

"Loh, kan baik saran Abah. Iya nggak Bu?"

"Iya, dong. Di rumah juga mau ngapain, kan?"


Tidak ada jawaban dari pasangan itu, hanya senyum malu-malu. Mereka segera berangkat setelah sarapan ditunaikan. Di KUA, dengan modal anak dari Ustad Bagir, proses yang dilalui cukup mudah. Semua dokumen siap. Pukul 11.00, mereka sudah membawa buku nikah yang diharapkan. Sah. Keduanya adalah sepasang suami istri.


"Sampai hari ini, saya kadang masih nggak percaya."

"Sama, Mas. Nggak masuk di akal ya."

"Kamu masih belum menyesal, Sya?"

"Alhamdulillah belum. Tidak tahu ya bulan depan."

"Semoga kamu nggak kaget ya."


Ada perasaan rileks dalam percakapan keduanya. Pelan tapi pasti, gunung es kecanggungan itu berusaha diruntuhkan. Inilah hidup yang akan mereka jalani seterusnya. Jalan kembali sudah tertutup. Usaha yang amat berat diperlukan jika ingin membukanya. Satu-satunya cara adalah menikmati perjalanan. Terus menatap apa yang ada di depan dan berusaha memecahkan setiap kerikil yang menghalang. Terlihat senyum keyakinan menguasai wajah sepasang anak manusia itu.


"Ada rekomendasi tempat makan jempolan?"

"Mau bilang terserah tapi kok Mas Farhan nggak tahu daerah sini."

"Terserahnya disimpan buat besok-besok saja."

"Ke arah pulang saja, Mas. Ada semacam saung di situ."


Tiba di tempat makan yang dimaksud, Aisyah memilih lokasi lesehan. Ini salah satu tempat favorit keluarganya. Lebih tepatnya karena jarang yang seperti ini, di sini.


"Jadi, selama kuliah kemarin tinggal di pesantren juga, Sya?"

"Dua tahun pertama, Mas. Setelah itu saya bilang Abah untuk kost saja."

"Disetujui?"

"Mau tidak mau. Selama masih di pesantren akan susah keluar buat kerjakan tugas kelompok. Tahu sendiri kan biasanya agenda begitu hampir selalu sore atau malam."

"Abah posesif?"

"Sebenarnya tidak terlalu. Ibu malah lebih posesif."

"Siapa yang tidak khawatir dengan pergaulan Bandung dan sekitarnya."

"Setelah empat tahun jadi mengerti kekhawatiran itu."

"Memangnya bagaimana?"

"Mas Farhan pura-pura tanya."

"Loh, kan saya juga belum pernah tinggal di sana."

"Seperti kota besar pada umumnya, Mas. Dunia hiburan seperti itu. Semua bebas mau ngapain saja."

"Kamu pernah mendapat perlakuan tidak enak?"

"Lumayan. Mulai dari sekedar catcalling sampai diajak berbuat asusila."

"Wow. Ekspektasi saya nggak sampai ke sana."

"Cuma sekali ada perlakuan fisik."

"Apa itu?"

"Colek lengan."

"Teman?"

"Orang asing."

"Lalu?"

"Saya bentak, dia kabur."

"Kamu sampai seberani itu, Sya?"

"Saya bilang ke Abah kalau beberapa kali mendapat pelecehan. Beliau bilang kalau saya harus berani, minimal membentak. Tentu melihat situasi dan kondisi."

"Perlu berapa lama prosesnya?"

"Menjelang tahun ketiga saya baru berani, Mas. Untungnya sebelum itu tidak ada tindakan fisik."

"Itulah ya orang-orang kurang ajar. Padahal pakaianmu ya seperti ini, kan?"

"Tidak beda jauh. Awal-awal di sana malah jauh lebih tertutup."

"Kenapa kemudian jadi melonggarkan?"

"Entahlah. Penyesuaian diri mungkin, Mas. Asal masih dalam batas wajar."

"Lebih longgar dari ini?"

"Ya. Masih saya simpan beberapa bajunya."

"Kalau di rumah langsung ganti mode ya?"

"Jelas, dong. Mana berani saya di depan Abah."

"Kalau nanti sudah di rumah sendiri, boleh kok."

"Mas Farhan tidak khawatir?"

"Saya yakin kamu bisa menjaga diri."

"Seyakin apa, Mas?"

"Seyakin kamu bisa menjaga diri selama 4 tahun di Bandung. Itu waktu yang cukup untuk membuktikan."

"Doakan dan bantu ingatkan saya ya, Mas."

"Insyaallah. Saling mengingatkan saja, Sya."


Pelan tapi pasti, mereka saling membuka diri. Belum bisa disebut cinta, tapi ketertarikan mulai tumbuh diantara keduanya. Farhan terkesan dengan kemandirian dan keterbukaan istrinya. Sedangkan Aisyah mendapat keyakinan bahwa Farhan memang jawaban dari doa yang sering dipanjatkan. Hanya butuh waktu untuk pelan-pelan menceritakan apa saja cita-citanya. Aisyah mulai yakin Farhan akan mendukung sepenuhnya.


"Kita mulai pindahan kapan, Mas?"

"Minggu saja ya, bagaimana?"

"Mungkin Abah dan Ibu akan mengantar."

"Tidak masalah. Biar mereka yakin kalau anaknya tidak diculik."

"Penculiknya kurang seram."

"Mau dibuat mode seram?"

"Ih, takut."


Ah, keakraban itu mulai bersemi. Apakah berikutnya adalah cinta?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd