Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 18

"Kita butuh waktu, Aisyah. Kalau kamu belum nyaman, tidak apa-apa."

"Maafkan saya ya, Mas."


Farhan hanya tersenyum. Itu hal terbaik yang mungkin bisa Ia berikan malam ini. Dunianya berputar terlampau cepat. Pagi tadi, Ia masih seorang pemuda tanggung yang menjadi alat pemuas nafsu istri orang. Malam ini, tiba-tiba Ia telah menikah dengan gadis cantik anak seorang pemuka agama. Dan, mereka berada di dalam satu kamar, di ranjang yang sama. Aisyah masih mengenakan pakaian lengkap dengan jilbab menutup kepala. Ia belum siap. Takdimnya kepada Ustad Bagir, Ayahnya, memang tidak terbantahkan. Baginya, keputusan Ayahnya mutlak harus diikuti. Aisyah percaya laki-laki itu tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Selama 22 tahun hidup, keputusannya belum pernah salah. Berdasarkan pengalaman itu, perjodohan ini tidak mungkin ditolak. Meski Ia tahu, akan terjadi banyak sekali kecanggungan dan perubahan drastis dalam hidupnya. Sekali lagi Aisyah percaya dengan pilihan Ayahnya.


Farhan tidak bisa memejamkan mata. Otaknya masih berputar, mencerna setiap peristiwa yang menimpanya hingga hari ini. Bagaimana jika nanti Aisyah tahu bahwa selama ini Ia menjalin hubungan intim dengan dua orang wanita bersuami? Atau bagaimana jika Aisyah tahu rencana dibalik perjodohan ini adalah sekedar menutupi hubungannya dengan Winda? Bagaimana pula jika Ustad Bagir tahu? Gelap. Farhan tak bisa menduga jawaban dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Ia percaya saja akan keberuntungan-keberuntungan yang selama ini datang. Toh, semua itu yang membuatnya hidup hingga kini.


"Mas Farhan belum tidur?"

"Belum, Aisyah. Kamu kenapa belum tidur?"

"Saya masih bingung. Ini beneran atau tidak ya?"

"Menurutmu?"

"Sejak kedatangan Pak Dibyo beberapa hari lalu, Abah cuma minta siap-siap. Kalau beliau cocok, mungkin akan ada perjodohan."

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Saya tidak pernah membantah perkataan Abah, Mas."

"Kamu tidak berusaha bertanya?"

"Saya masih percaya, keputusan Abah selalu baik."

"Apakah kamu masih berpikir begitu?"

"Insyaallah, Mas. Buktinya, Mas Farhan tidak memaksa atau menekan saya sama sekali."

"Tidak ada perasaan takut?"

"Awalnya iya, Mas. Tapi sejak Mas Farhan pimpin shalat tadi, saya yakin."

"Kalau ternyata suatu hari saya tidak sesuai keyakinanmu, bagaimana?"

"Saya pasrahkan kepada Allah. Dia pasti memberikan jalan keluarnya."


Dengan dosa-dosa yang tidak karuan jumlahnya, Farhan masih saja mendapatkan anugerah seorang istri seperti Aisyah. Ia hanya bisa tersenyum. Mensyukuri setiap kenikmatan.


"Kalau kamu belum nyaman, bilang ya. Saya tidur di bawah saja."

"Jangan, Mas. Saya akan berdosa jika itu terjadi."

"Saya jadi mikir, Aisyah. Apa perbuatan baik yang saya lakukan sampai Allah mengirim seseorang seperti kamu jadi istri saya?"

"Saya tidak sesempurna itu, Mas. Kita baru saja bertemu. Katakan itu nanti jika memang saya sesuai harapan."

"Kita mungkin tidak akan tinggal di sini nantinya, Aisyah."

"Saya akan mengikuti keputusan Mas Farhan."

"Terima kasih ya."

"Sama-sama, Mas. Kita istirahat ya."

"Selamat malam, Aisyah."

"Selamat malam, Mas."


***


"Kopi, Han?"

"Tidak usah, Bah. Saya tidak terbiasa ngopi pagi-pagi."

"Masih terasa bingung ya?"

"Begitulah, Bah. Hidup saya penuh kejutan memang."

"Rencana Allah selalu tidak bisa ditebak. Tapi Insyaallah itu yang terbaik."

"Selama ini saya selalu berpikir begitu."

"Dibyo sudah cerita apa saja tentang saya dan keluarga?"

"Tidak banyak, Bah. Hanya soal hubungan baik Abah dan Pak Dibyo. Itu saja."

"Itu yang saya suka dari dia. Amanah."

"Kalau soal menjaga amanah, beliau yang selalu mengingatkan saya."

"Kamu boleh bertanya apapun tentang keluarga ini. Itu salah satu hakmu. Sekarang kamu jadi bagian keluarga ini."

"Pesantren ini sejak kapan, Bah?"

"Saya cuma mewarisi, Han. Mertua yang mendirikan. Beliau meninggal 15 tahun lalu. Karena istri saya anak satu-satunya mau tidak mau saya melanjutkan."

"Santrinya laki-laki dan perempuan, Bah?"

"Sekarang begitu. Dulu hanya perempuan saja. Tapi sejak 5 tahun lalu banyak orang tua yang menyarankan membuka untuk santri laki-laki. Ibunya Aisyah adalah salah satu santri di sini."

"Maksudnya, Bah? Bukannya tadi Abah bilang kalau mewarisi pesantren ini?"

"Astagfirullah. Saya belum bilang ya. Maaf, Han. Semua memang berlangsung sangat cepat sampai kamu belum tahu apapun tentang keluarga ini."

"Saya belum ngobrol banyak dengan Aisyah, Bah."

"Saya punya istri 3, Han. Ibunya Aisyah adalah yang kedua. Umi, istri pertama saya yang anak pendiri pesantren ini."

"Maaf saya tidak tahu, Bah."

"Tidak masalah. Justru saya yang harusnya minta maaf."

"Semua tinggal di satu rumah ini, Bah?"

"Tidak. Kamu lihat ada 3 rumah, kan? Yang ujung itu rumah Umi. Di sebelahnya rumah Mama."

"Satu lagi yang buat saya kagum sama Abah."

"Jangan. Itu bukan hal yang seharusnya dikagumi. Semua karena keadaan saja. Saya tidak pernah niat atau berencana beristri 3 begini. Kadang-kadang repot juga."

"Kalau Abah berkenan cerita saya siap mendengarkan."

"Karena kamu menantu laki-laki pertama, saya akan sedikit cerita."

"Ini juga baru tahu saya, Bah."

"Saat menikah dengan Umi, saya baru umur 21 tahun, Han. Sedangkan Umi lebih tua dua tahun. Qodarullah kami belum dikaruniai anak hingga 9 tahun usia pernikahan. Umi memaksa saya menikah lagi demi memiliki keturunan."

"Akhirnya menikah dengan Ibu ya, Bah."

"Umi sendiri yang memilih Ibu, karena saya benar-benar tidak mau memilih jalan itu. Kata Umi, Ia memilih yang muda agar kemungkinan mendapatkan keturunan juga tinggi."

"Berapa usia Ibu saat itu, Bah?"

"18 tahun. Saya tidak tahu siapa Ibu sebelumnya. Karena saat itu, jumlah santri di sini sangat banyak, mustahil saya hafal satu per satu."

"Saya jadi penasaran bagaimana Umi meminta kepada Ibu."

"Semua lewat Romo, ayahnya. Umi hanya kenal Ibu sebagai salah satu santrinya. Romo yang kemudian membuka pembicaraan. Meskipun selanjutnya Umi yang meminta secara personal."

"Abah pernah tanya reaksi Ibu pertama kali?"

"Tentu. Sebagai remaja berusia 18 tahun, pikiran menjadi istri kedua tidak ada saat itu. Ibu hanya meminta waktu beberapa hari shalat istikharah dulu. Dia salah satu santri yang sangat takdim dengan kyai."

"Sebuah pilihan yang berat pasti ya, Bah."

"Seminggu kemudian Ibu datang ke rumah. Dia hanya ingin bertemu dengan Umi. Mereka ngobrol lama sekali. Saat saya tanya apa yang dibicarakan, Ibu hanya bilang kalau Umi berhasil meyakinkannya. Dia tidak pernah menjawab detil sampai hari ini."

"Abah tidak tanya sama Umi?"

"Awalnya begitu. Tapi jawaban mereka serupa. Biarlah itu jadi rahasia mereka berdua. Saya tidak pernah tanya lagi sampai sekarang."

"Apakah setelah itu keinginan punya anak langsung diijabah, Bah?"

"Ya. Setahun kemudian kami punya anak pertama. Saya dengan Umi."

"Ini mengejutkan, Bah."

"Itulah kenapa saya percaya rencana Allah selalu yang terbaik. Justru dua bulan setelah pernikahan saya dengan Ibu, Umi yang hamil. Lima bulan setelah kehamilan itu baru Ibu mengandung istrimu."

"Kalau film namanya plot twist, Bah."

"Sekarang saya punya 7 anak. Dua dari Umi, dua dari Ibu, dan tiga dari Mama."

"Kalau saya tanya cerita dengan Mama, apakah Abah berkenan?"

"Sebagai orang yang tidak pernah memiliki niat poligami, punya istri 2 saja sudah membingungkan. Lah ini 3, Han."

"Saya membayangkan Abah sangat pusing saat itu."

"Saya sampai menyendiri, pulang ke rumah orang tua, saat Umi dan Ibu datang meminta saya menikahi Mama."

"Hampir sama dengan sebelumnya ya, Bah."

"Kan saya sudah bilang, tidak ada cita-cita poligami dalam hidup saya."

"Proses menyepinya berapa hari, Bah?"

"Satu minggu. Saya benar-benar tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bayangkan saja nantinya saya harus menghidupi 3 orang istri dan 5 orang anak. Mungkin nanti akan bertambah. Sementara pekerjaan saya hanya mengurus pesantren."

"Berarti saat itu Mama sudah punya anak ya, Bah?"

"Benar. Umi dan Ibu datang ke Abah dengan permintaan menikahi Mama yang cerai dengan suaminya karena KDRT. Mama sudah punya anak berusia 5 tahun saat itu, padahal usianya baru 24 tahun. Jadi usia anak Mama hampir sama dengan Istrimu."

"Kenapa kemudian Abah menerima permintaan itu?"

"Selama seminggu itu hampir setiap hari saya bermimpi didatangi seorang alim yang mengatakan bahwa Rasulullah berpoligami dengan menikahi janda-janda untuk menolongnya. Itu yang meyakinkan saya menerima permintaan Umi dan Ibu."

"Saya kagum dengan Abah."

"Jangan, Han. Saya masih manusia biasa yang banyak sekali kekurangan. Kamu hanya belum tahu saja."

"Paling tidak untuk soal ini, Abah tidak seperti orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk poligami padahal ya sebenarnya bukan itu alasannya."

"Poligami itu berat, sangat berat. Sampai sekarang saya merasa belum mampu benar. Saya selalu tanya kepada mereka bertiga apakah sudah adil atau belum. Itu yang dipertanggungjawabkan, Han."

"Itu yang seringkali orang lupa, Bah."

"Kamu sudah kepikiran melakukan ini?"

"Sama sekali belum, Bah. Istri satu saja dapatnya dijodohkan."

"Saya senang ngobrol sama kamu."

"Alhamdulillah, Bah. Mudah-mudahan keputusan Abah menerima saya tidak salah."

"Insyallah, Han."

"Saya izin, mungkin akan membawa Aisyah tinggal di tempat saya, Bah."

"Silakan. Keputusanmu adalah hal pertama yang harus dipatuhi Aisyah sekarang. Jadi apapun itu, Abah akan setuju jika Aisyah menerima."

"Mungkin seminggu ini kami masih akan di sini untuk mengurus pendaftaran pernikahan dan lainnya. Setelah itu saya mohon izin kembali."

"Pekerjaan menunggumu, Han. Jangan lama-lama cutinya. Bukankah kamu orang yang diandalkan Pak Dibyo?"

"Saya akan minta izin dulu ke beliau untuk menyelesaikan urusan di sini, Bah."

"Baiklah. Kalau ternyata sampai Hari Minggu belum selesai, nanti biar dibantu Pak Kuncoro dan Gunawan."


Perbincangan pertama antara mertua dan menantu berjalan cukup mulus. Ustad Bagir terkesan dengan pemuda asing yang tiba-tiba jadi menantunya tersebut. Sopan, ramah, dan terlihat jujur. Setidaknya itulah kesan pertama yang didapatkan. Ia tidak ingin menduga hal lain. Hanya harapan bahwa keputusan yang diambil tidak salah, itu saja. Sementara Farhan segera membersihkan diri. Ia berada di rumah orang lain. Alangkah tidak elok jika sebagai menantu malah terkesan malas-malasan.


"Sorry, Aisyah. Saya lupa ketuk pintu."

"Tidak apa-apa, Mas. Saya cuma belum terbiasa."

"Kamu lanjutkan dulu saja."

"Sudah, Mas."


Pemandangan sekilas yang membuatnya berdesir. Ah. Kalau begini Farhan jadi tidak sabar menantikan momen intim dengan istrinya.
Akan kah mamah umi dan ibu kena entotan si farhan ?
 
Sabar Aisyah, aku segera datang. Karena farhan yang belum siap..

Farhan suami baru kamu harus memuaskan 2 wanita lainnya dulu yng kamu tidak perlu tau .

Kamu tanggungan ku sekarang
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd