Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 13

"Mama di mana?"

"Ngantar Dara les, Pa. Kenapa?"

"Oh ya sudah, Papa sudah di rumah."

"Papa mau nitip sesuatu?"

"Nggak usah, deh."

"Ini sudah mau selesai, kok."

"Hati-hati pulangnya."

"Terima kasih, Pa."


Dibyo masih bimbang. Ia galau. Pikirannya campur aduk. Otaknya meminta untuk segera mengajak istrinya berbincang. Tapi hatinya berkata lain. Ia belum terlalu siap. Beberapa hari ini Dibyo nampak murung. Memikirkan ide gila yang ingin disampaikan ke Winda. Untung saja di kantor pekerjaan sedang tidak menuntut perhatian khusus. Begitu juga bisnisnya. Selepas libur natal dan tahun baru, kantornya hanya sedang sibuk menyiapkan agenda rapat kerja tahunan yang rencana akan dilaksanakan di luar kota. Ia hanya perlu datang dan memastikan semua berjalan lancar. Anak buahnya lebih dari kompeten melaksanakan semua itu. Begitu pun bisnis kayu yang Ia lakukan. Staf-staf di kantornya hanya sedang sibuk menyusun laporan akhir tahun. Farhan sudah tahu apa yang Ia lakukan. Di akhir bulan ini juga akan ada rapat evaluasi serta penyusunan strategi setahun ke depan. Semua akan baik-baik saja seperti biasanya.


"Papa ngapain sendirian di situ?"

"Eh, Mama sudah pulang. Lagi menikmati suasana saja, Ma."

"Mau dibuatkan kopi?"

"Teh aja deh, Ma. Gulanya sedikit."


Selepas berganti baju, Winda membuatkan teh untuk suaminya. Waktu menunjukkan pukul 20.00. Anak-anaknya sudah berada di kamarnya masing-masing.


"Papa kelihatan bingung akhir-akhir ini. Ada masalah?"

"Eh, gimana, Ma?"

"Sampai nggak nyambung waktu diajak ngobrol."

"Tadi kurang fokus, Ma."

"Ya itu masalahnya. Papa ada masalah? Bisnis lagi jelek? Atau apa?"

"Nggak, kok. Malah sedang bagus-bagusnya. Setelah dari Bali kemarin, Papa dapat kontrak besar."

"Dari orang yang ketemu di sana kemarin?"

"Yes. Benar sekali."

"Alhamdulillah. Lalu masalahnya di mana?"

"Papa mau tanya satu hal sama Mama."

"Apa itu?"

"Mama bahagia nggak hidup sama Papa?"

"Papa kenapa? Mau nikah lagi?"

"Pertanyaan belum dijawab malah balik nanya."

"Selain kelihatan bingung, pertanyaan Papa nggak biasa."

"Dijawab dulu dong, Ma."

"Bahagia lah. Papa sudah ngasih banyak hal yang Mama bahkan nggak kepikiran sebelumnya."

"Apa yang Mama belum dapatkan selama menikah sama Papa?"

"Nggak ada. Papa sudah ngasih semuanya."

"Papa mau jujur sama Mama."

"Papa punya istri simpanan?"

"Sebentar dulu dong. Main potong aja."

"Perasaan Mama nggak enak."

"Mama mikir nggak kira-kira, tiap Papa ke luar kota atau pamit keluar sama rekan bisnis dan teman-teman itu ngapain?"

"Pasti lah. Papa mau jujur kalau ternyata semua itu bohong dan Papa sebenarnya keluar dengan istri simpanan?"

"Jadi itu yang ada di pikiran Mama?"

"Nggak sih. Gara-gara Papa bilang gitu jadi mikir."

"Papa nggak punya istri simpanan. Jujur."

"Lalu? Wanita simpanan? Janda? Apa ABG?"

"Nggak, Ma. Papa nggak punya wanita simpanan."

"Lalu apa? Kemana arah pembicaraan ini? Jangan muter-muter deh, Pa."

"Sabar dong, Ma. Jangan emosi dulu."

"Kalau Papa nggak langsung ke intinya, Mama mau balik ke kamar aja."

"Papa memang nggak pernah bilang. Tapi Papa yakin Mama tahu kalau Papa sering ke tempat hiburan jika keluar rumah."

"Ya. Mama tahu itu."

"Dari mana Mama tahu?"

"Bill tempat karaoke, tempat pijat, dan tempat hiburan lain."

"Mama nggak marah?"

"Mama bisa apa? Papa sudah ngasih segalanya. Mama nggak berhak marah."

"Mama nggak marah kalau di tempat itu Papa minum-minum bahkan sampai main sama wanita lain?"

"Mama bisa apa? Mau marah lalu minta cerai? Papa tahu kan itu nggak mungkin."

"Kenapa Mama diam saja?"

"Karena tahu Mama nggak bisa apa-apa selain menerima semua ini."

"Maafkan Papa, Ma."

"Sudah Mama maafkan sebelum Papa minta maaf. Lalu apa tujuan pembicaraan ini?"

"Jujur, Papa belum bisa berhenti dari kebiasaan itu."

"Kenapa? Mama kurang cantik? Kurang seksi? Papa kurang puas sama Mama? Sampai-sampai jarang menyentuh? Mama kurang bagaimana?"

"Nggak. Nggak ada yang kurang dari Mama."

"Lalu kenapa?"

"Ini tabiat buruk yang belum bisa Papa hilangkan."

"Jadi ini semua hobi?"

"Mungkin."

"Semoga kita nggak kena penyakit aja."

"Tenang. Papa selalu main aman."

"Lalu tujuan Papa ngomong begini apa? Cuma mau ngaku? Lalu? Sudah?"

"Papa mau menawarkan sesuatu sama Mama."

"Papa mau ngasih sogokan? Buat apa? Mama juga nggak bisa apa-apa. Mau Papa terus begitu ya Mama hanya bisa menerima. Mau apa lagi?"

"Mama boleh melakukan hal yang sama kayak Papa."

"Hah? Papa nyuruh Mama jajan? Atau nyuruh Mama selingkuh?"

"Papa tahu, Mama juga punya kebutuhan batin yang harus dipuaskan. Papa nggak bisa memberikan itu. Kapan terakhir Mama puas waktu berhubungan sama Mama? Sudah lama sekali kan?"

"Ya, terus?"

"Mama harusnya tahu alasan kenapa Papa jarang berhubungan sama Mama."

"Mama nggak tahu. Mungkin Papa sudah nggak doyan."

"Ma. Tolonglah."

"Lalu apa kalau bukan itu alasannya?"

"Papa nggak mau Mama kena penyakit. Dan Papa nggak bisa memuaskan Mama."

"Alasan pertama masuk akal. Alasan kedua nggak masuk di logika Mama."

"Papa mau Mama mencari orang yang bisa memuaskan Mama. Dan kecil kemungkinan bisa kena penyakit."

"Jadi Papa boleh kena penyakit sedangkan Mama tidak? Kesepakatan macam apa ini."

"Apa ini belum membuktikan kalau Papa sayang sama Mama?"

"Mama nggak habis pikir sama Papa."

"Usia kita beda jauh, Ma. Papa mungkin akan meninggal lebih dulu. Entah karena tua atau kena penyakit kelamin. Mama akan hidup lebih panjang. Mama harus menjaga anak-anak kita. Mama berhak melalui sisa hidup itu tanpa penyakit yang mungkin saja Papa penyebabnya."

"Papa sudah gila."

"Memang. Papa sudah gila. Papa nggak mau orang yang paling berharga dalam hidup Papa jadi ikutan gila."

"Lalu apa mau Papa? Mama punya simpanan? Suami lagi? Atau bagaimana?"

"Farhan. Hanya dia yang Papa percaya."

"Ini lebih gila lagi. Papa kenapa? Lagi mabuk?"

"Papa akan rela Mama mencari kepuasan dengan laki-laki lain kalau dia itu Farhan."

"Papa masih egois. Dan gila."

"Memang. Papa akan melakukan apapun untuk kebaikan Mama."

"Kebaikan macam apa dari ide gila seperti ini, Pa?"

"Percaya sama Papa. Ini pilihan terbaik."

"Tahu dari mana kalau Farhan bisa memuaskan Mama? Papa yakin Mama mau? Papa yakin Farhan mau? Dan Papa yakin Farhan bebas penyakit? Papa sedang memuaskan ego Papa sendiri. Bukan memikirkan kebaikan Mama."

"Papa nggak mau risiko yang sama juga dialami Mama."

"Bagaimana ceritanya Papa boleh tetap memuaskan nafsu dengan wanita-wanita panggilan sesuai keinginan sedangkan Mama harus ngentot sama orang yang Papa pilih? Sangat tidak adil."

"Kalau begitu pilih sendiri. Dengan syarat dia bisa dipercaya dan bersih."

"Papa benar-benar gila. Pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan."

"Ma, Papa belum selesai."

"Mama sudah selesai. Puaskan ego Papa sendiri. Mama nggak mau ikut-ikut."

"Ma. Sebentar."


Tidak sesuai rencana. Dibyo gagal. Sudah kadung mengaku semua kelakuan bejatnya, Sang Istri malah menolak mentah-mentah ide yang disampaikan. Malam yang kelam. Dibyo terus mengutuki diri sendiri. Ia yakin setelah ini kondisi rumah tangganya kian buruk. Laki-laki tua yang malang.


***


Winda tidak habis pikir dengan ide suaminya. Jangan-jangan, Dibyo sudah tahu hubungannya dengan Farhan. Tapi kalau sudah tahu, harus bukan begitu responnya. Mungkin belum tahu. Mungkin juga tidak mau mempermalukannya. Winda menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia heran, kenapa jadi begini perjalanan hidup yang harus dilalui. Perasaan, beberapa bulan lalu semua terasa baik-baik saja, seperti biasanya. Ia memang sudah tahu dari lama bagaimana kelakuan Dibyo. Tapi Ia tak peduli. Kemudian hadir Farhan. Hadir pula kesempatan-kesempatan yang membuatnya berpikir ulang tentang tindakan masa bodoh atas tindak-tanduk suaminya. Dan ternyata, Farhan makin membuatnya memikirkan hal lain. Momen itu datang dengan segala kondisi yang mendukung. Ia jatuh. Ia ingkar atas komitmen yang telah dipegang sebelumnya. Farhan ternyata menjadi jawaban. Kepuasan itu datang.


Kini, secara tidak terduga, suaminya justru menawarkan Farhan untuk menjadi pengganti dalam urusan ranjang. Sebuah ide gila yang bahkan tidak pernah masuk dalam akalnya. Hidupnya menjadi makin aneh. Winda ingin tidur. Kenyataan terlalu menakutkan. Ia tidak ingin bangun rasanya. Atau ketika bangun, semua kembali seperti sedia kala sebelum semua kekacauan ini datang. Tapi, kenikmatan yang Farhan berikan terlalu sayang kalau harus hilang. Ah. Bisa gila kalau begini terus. Winda berusaha keras memejamkan mata. Tidak bisa. Birahinya malah naik tiba-tiba. Sial. Kenapa semua jadi begini.


***


Dibyo beranjak. Ia harus mencari sesuatu yang bisa mengembalikan kondisi. Tidak mungkin Ia masuk kamar dan tidur di samping istrinya setelah perdebatan tadi. Ia malu. Idenya ditolak mentah-mentah. Tapi, semua sudah terlanjur. Dibyo tidak punya rencana cadangan. Kalau urusan bisnis dan lobi-lobi, jangan tanya kemampuan Dibyo. Kenapa untuk urusan begini Ia menjadi bodoh sekali. Dibyo kembali mengutuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, Ia melangkah masuk ke kamarnya.


"Ma, Papa minta maaf. Kalau memang Mama nggak setuju dengan ide tadi, lupakan saja."


Setelah ucapan itu, Dibyo keluar. Ia memilih tidur di kamar tamu. Ada hasrat ingin menuntaskan nafsu dengan wanita-wanita di luar sana. Tapi tidak malam ini. Pikirannya terlalu lelah untuk semua itu.
 
EPISODE 13

"Mama di mana?"

"Ngantar Dara les, Pa. Kenapa?"

"Oh ya sudah, Papa sudah di rumah."

"Papa mau nitip sesuatu?"

"Nggak usah, deh."

"Ini sudah mau selesai, kok."

"Hati-hati pulangnya."

"Terima kasih, Pa."


Dibyo masih bimbang. Ia galau. Pikirannya campur aduk. Otaknya meminta untuk segera mengajak istrinya berbincang. Tapi hatinya berkata lain. Ia belum terlalu siap. Beberapa hari ini Dibyo nampak murung. Memikirkan ide gila yang ingin disampaikan ke Winda. Untung saja di kantor pekerjaan sedang tidak menuntut perhatian khusus. Begitu juga bisnisnya. Selepas libur natal dan tahun baru, kantornya hanya sedang sibuk menyiapkan agenda rapat kerja tahunan yang rencana akan dilaksanakan di luar kota. Ia hanya perlu datang dan memastikan semua berjalan lancar. Anak buahnya lebih dari kompeten melaksanakan semua itu. Begitu pun bisnis kayu yang Ia lakukan. Staf-staf di kantornya hanya sedang sibuk menyusun laporan akhir tahun. Farhan sudah tahu apa yang Ia lakukan. Di akhir bulan ini juga akan ada rapat evaluasi serta penyusunan strategi setahun ke depan. Semua akan baik-baik saja seperti biasanya.


"Papa ngapain sendirian di situ?"

"Eh, Mama sudah pulang. Lagi menikmati suasana saja, Ma."

"Mau dibuatkan kopi?"

"Teh aja deh, Ma. Gulanya sedikit."


Selepas berganti baju, Winda membuatkan teh untuk suaminya. Waktu menunjukkan pukul 20.00. Anak-anaknya sudah berada di kamarnya masing-masing.


"Papa kelihatan bingung akhir-akhir ini. Ada masalah?"

"Eh, gimana, Ma?"

"Sampai nggak nyambung waktu diajak ngobrol."

"Tadi kurang fokus, Ma."

"Ya itu masalahnya. Papa ada masalah? Bisnis lagi jelek? Atau apa?"

"Nggak, kok. Malah sedang bagus-bagusnya. Setelah dari Bali kemarin, Papa dapat kontrak besar."

"Dari orang yang ketemu di sana kemarin?"

"Yes. Benar sekali."

"Alhamdulillah. Lalu masalahnya di mana?"

"Papa mau tanya satu hal sama Mama."

"Apa itu?"

"Mama bahagia nggak hidup sama Papa?"

"Papa kenapa? Mau nikah lagi?"

"Pertanyaan belum dijawab malah balik nanya."

"Selain kelihatan bingung, pertanyaan Papa nggak biasa."

"Dijawab dulu dong, Ma."

"Bahagia lah. Papa sudah ngasih banyak hal yang Mama bahkan nggak kepikiran sebelumnya."

"Apa yang Mama belum dapatkan selama menikah sama Papa?"

"Nggak ada. Papa sudah ngasih semuanya."

"Papa mau jujur sama Mama."

"Papa punya istri simpanan?"

"Sebentar dulu dong. Main potong aja."

"Perasaan Mama nggak enak."

"Mama mikir nggak kira-kira, tiap Papa ke luar kota atau pamit keluar sama rekan bisnis dan teman-teman itu ngapain?"

"Pasti lah. Papa mau jujur kalau ternyata semua itu bohong dan Papa sebenarnya keluar dengan istri simpanan?"

"Jadi itu yang ada di pikiran Mama?"

"Nggak sih. Gara-gara Papa bilang gitu jadi mikir."

"Papa nggak punya istri simpanan. Jujur."

"Lalu? Wanita simpanan? Janda? Apa ABG?"

"Nggak, Ma. Papa nggak punya wanita simpanan."

"Lalu apa? Kemana arah pembicaraan ini? Jangan muter-muter deh, Pa."

"Sabar dong, Ma. Jangan emosi dulu."

"Kalau Papa nggak langsung ke intinya, Mama mau balik ke kamar aja."

"Papa memang nggak pernah bilang. Tapi Papa yakin Mama tahu kalau Papa sering ke tempat hiburan jika keluar rumah."

"Ya. Mama tahu itu."

"Dari mana Mama tahu?"

"Bill tempat karaoke, tempat pijat, dan tempat hiburan lain."

"Mama nggak marah?"

"Mama bisa apa? Papa sudah ngasih segalanya. Mama nggak berhak marah."

"Mama nggak marah kalau di tempat itu Papa minum-minum bahkan sampai main sama wanita lain?"

"Mama bisa apa? Mau marah lalu minta cerai? Papa tahu kan itu nggak mungkin."

"Kenapa Mama diam saja?"

"Karena tahu Mama nggak bisa apa-apa selain menerima semua ini."

"Maafkan Papa, Ma."

"Sudah Mama maafkan sebelum Papa minta maaf. Lalu apa tujuan pembicaraan ini?"

"Jujur, Papa belum bisa berhenti dari kebiasaan itu."

"Kenapa? Mama kurang cantik? Kurang seksi? Papa kurang puas sama Mama? Sampai-sampai jarang menyentuh? Mama kurang bagaimana?"

"Nggak. Nggak ada yang kurang dari Mama."

"Lalu kenapa?"

"Ini tabiat buruk yang belum bisa Papa hilangkan."

"Jadi ini semua hobi?"

"Mungkin."

"Semoga kita nggak kena penyakit aja."

"Tenang. Papa selalu main aman."

"Lalu tujuan Papa ngomong begini apa? Cuma mau ngaku? Lalu? Sudah?"

"Papa mau menawarkan sesuatu sama Mama."

"Papa mau ngasih sogokan? Buat apa? Mama juga nggak bisa apa-apa. Mau Papa terus begitu ya Mama hanya bisa menerima. Mau apa lagi?"

"Mama boleh melakukan hal yang sama kayak Papa."

"Hah? Papa nyuruh Mama jajan? Atau nyuruh Mama selingkuh?"

"Papa tahu, Mama juga punya kebutuhan batin yang harus dipuaskan. Papa nggak bisa memberikan itu. Kapan terakhir Mama puas waktu berhubungan sama Mama? Sudah lama sekali kan?"

"Ya, terus?"

"Mama harusnya tahu alasan kenapa Papa jarang berhubungan sama Mama."

"Mama nggak tahu. Mungkin Papa sudah nggak doyan."

"Ma. Tolonglah."

"Lalu apa kalau bukan itu alasannya?"

"Papa nggak mau Mama kena penyakit. Dan Papa nggak bisa memuaskan Mama."

"Alasan pertama masuk akal. Alasan kedua nggak masuk di logika Mama."

"Papa mau Mama mencari orang yang bisa memuaskan Mama. Dan kecil kemungkinan bisa kena penyakit."

"Jadi Papa boleh kena penyakit sedangkan Mama tidak? Kesepakatan macam apa ini."

"Apa ini belum membuktikan kalau Papa sayang sama Mama?"

"Mama nggak habis pikir sama Papa."

"Usia kita beda jauh, Ma. Papa mungkin akan meninggal lebih dulu. Entah karena tua atau kena penyakit kelamin. Mama akan hidup lebih panjang. Mama harus menjaga anak-anak kita. Mama berhak melalui sisa hidup itu tanpa penyakit yang mungkin saja Papa penyebabnya."

"Papa sudah gila."

"Memang. Papa sudah gila. Papa nggak mau orang yang paling berharga dalam hidup Papa jadi ikutan gila."

"Lalu apa mau Papa? Mama punya simpanan? Suami lagi? Atau bagaimana?"

"Farhan. Hanya dia yang Papa percaya."

"Ini lebih gila lagi. Papa kenapa? Lagi mabuk?"

"Papa akan rela Mama mencari kepuasan dengan laki-laki lain kalau dia itu Farhan."

"Papa masih egois. Dan gila."

"Memang. Papa akan melakukan apapun untuk kebaikan Mama."

"Kebaikan macam apa dari ide gila seperti ini, Pa?"

"Percaya sama Papa. Ini pilihan terbaik."

"Tahu dari mana kalau Farhan bisa memuaskan Mama? Papa yakin Mama mau? Papa yakin Farhan mau? Dan Papa yakin Farhan bebas penyakit? Papa sedang memuaskan ego Papa sendiri. Bukan memikirkan kebaikan Mama."

"Papa nggak mau risiko yang sama juga dialami Mama."

"Bagaimana ceritanya Papa boleh tetap memuaskan nafsu dengan wanita-wanita panggilan sesuai keinginan sedangkan Mama harus ngentot sama orang yang Papa pilih? Sangat tidak adil."

"Kalau begitu pilih sendiri. Dengan syarat dia bisa dipercaya dan bersih."

"Papa benar-benar gila. Pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan."

"Ma, Papa belum selesai."

"Mama sudah selesai. Puaskan ego Papa sendiri. Mama nggak mau ikut-ikut."

"Ma. Sebentar."


Tidak sesuai rencana. Dibyo gagal. Sudah kadung mengaku semua kelakuan bejatnya, Sang Istri malah menolak mentah-mentah ide yang disampaikan. Malam yang kelam. Dibyo terus mengutuki diri sendiri. Ia yakin setelah ini kondisi rumah tangganya kian buruk. Laki-laki tua yang malang.


***


Winda tidak habis pikir dengan ide suaminya. Jangan-jangan, Dibyo sudah tahu hubungannya dengan Farhan. Tapi kalau sudah tahu, harus bukan begitu responnya. Mungkin belum tahu. Mungkin juga tidak mau mempermalukannya. Winda menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia heran, kenapa jadi begini perjalanan hidup yang harus dilalui. Perasaan, beberapa bulan lalu semua terasa baik-baik saja, seperti biasanya. Ia memang sudah tahu dari lama bagaimana kelakuan Dibyo. Tapi Ia tak peduli. Kemudian hadir Farhan. Hadir pula kesempatan-kesempatan yang membuatnya berpikir ulang tentang tindakan masa bodoh atas tindak-tanduk suaminya. Dan ternyata, Farhan makin membuatnya memikirkan hal lain. Momen itu datang dengan segala kondisi yang mendukung. Ia jatuh. Ia ingkar atas komitmen yang telah dipegang sebelumnya. Farhan ternyata menjadi jawaban. Kepuasan itu datang.


Kini, secara tidak terduga, suaminya justru menawarkan Farhan untuk menjadi pengganti dalam urusan ranjang. Sebuah ide gila yang bahkan tidak pernah masuk dalam akalnya. Hidupnya menjadi makin aneh. Winda ingin tidur. Kenyataan terlalu menakutkan. Ia tidak ingin bangun rasanya. Atau ketika bangun, semua kembali seperti sedia kala sebelum semua kekacauan ini datang. Tapi, kenikmatan yang Farhan berikan terlalu sayang kalau harus hilang. Ah. Bisa gila kalau begini terus. Winda berusaha keras memejamkan mata. Tidak bisa. Birahinya malah naik tiba-tiba. Sial. Kenapa semua jadi begini.


***


Dibyo beranjak. Ia harus mencari sesuatu yang bisa mengembalikan kondisi. Tidak mungkin Ia masuk kamar dan tidur di samping istrinya setelah perdebatan tadi. Ia malu. Idenya ditolak mentah-mentah. Tapi, semua sudah terlanjur. Dibyo tidak punya rencana cadangan. Kalau urusan bisnis dan lobi-lobi, jangan tanya kemampuan Dibyo. Kenapa untuk urusan begini Ia menjadi bodoh sekali. Dibyo kembali mengutuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, Ia melangkah masuk ke kamarnya.


"Ma, Papa minta maaf. Kalau memang Mama nggak setuju dengan ide tadi, lupakan saja."


Setelah ucapan itu, Dibyo keluar. Ia memilih tidur di kamar tamu. Ada hasrat ingin menuntaskan nafsu dengan wanita-wanita di luar sana. Tapi tidak malam ini. Pikirannya terlalu lelah untuk semua itu.
Teng yu updatenya subes
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd