Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 1.

"Besok kita berangkat pagi saja ya, Han. Jangan lupa jas hitam dibawa ya,"


"Siap, Pak. Saya ambil sore ini saja ya, Pak?"


"Boleh. Tapi di rumah kayaknya nggak ada orang. Ibu tadi bilang mau keluar"


"Ada Mbak Yuni kan, Pak?"


"Oh iya, ada. Ya sudah kamu ambil saja. Yuni tahu tempatnya. Saya berangkat ke tempat Pak Asisten dulu kalau begitu,"


"Siap, Pak"


"Eh, kamu mau naik apa ke rumah?"


"Naik Kijang saja rencananya Pak"


"Oh ya sudah. Pak Trimo ikut saya ya berarti"


"Siap, Pak"


Enam bulan terakhir hidup Dibyo cukup tenang. Ia akhirnya menemukan orang yang bisa diandalkan untuk segala keperluannya. Mulai dari urusan pekerjaan hingga berbagai hobi yang Ia senangi. Asisten terakhirnya Ia pindah ke tempat lain karena tidak becus mengurus kesenangannya. Sebelumnya juga sama. Tapi kasusnya karena Sang Asisten ikut bermain proyek yang membuat Ia hampir diperiksa Inspektorat. Sepertinya Ia menemukan solusi dalam diri Farhan. Sebagai seorang Kepala Dinas, pebisnis, dan juga tokoh masyarakat yang cukup disegani, Dibyo punya segudang kegiatan. Mulai dari urusan pekerjaan utama, pertemuan informal dengan tokoh-tokoh penting, lobi-lobi proyek, hingga pemenuhan hobi. Farhan dengan cekatan mengurus semuanya. Semuanya. Farhan tahu apa yang harus disiapkan jika bertemu dengan Bupati. Farhan juga tahu bagaimana cara berkoordinasi dengan dinas-dinas lain untuk memudahkan proyek. Dan tentu, Farhan memiliki daftar lengkap tempat pijat, karaoke, dan kontak wanita penghibur di setiap kota yang mereka singgahi. Itulah Farhan. Dan Dibyo amat kagum dengan cara kerjanya. Meski baru 6 bulan bekerja bersama, Dibyo sangat percaya dengan pemuda berusia 25 tahun itu.


"Assalamualaikum. Tok. Tok. Tok"


"Waalaikumsalam. Sebentar."


"Mbak Yuni. Saya diminta Bapak buat ngambil jas hitam untuk dinas besok"


"Oh iya, silakan masuk, Mas. Barusan Ibu juga sudah bilang,"


Rumah dua lantai ini sangat mewah bagi Farhan. Meski bukan sekali ini berkunjung, Ia masih selalu kagum. Dibyo pernah bilang semua, desain rumah dan pemilihan interior Ia serahkan ke istrinya. Selera yang sangat mahal, pikir Farhan. Sesuai dengan paras orangnya.


"Ini Mas Farhan, jasnya. Ada lagi yang perlu dibawa?"


"Kayaknya kemeja putih cadangan sama sepatu pantofel saya bawa juga deh, Mbak. Takut besok Bapak lupa"


"Kalau begitu saya ambilkan dulu, Mas"


Farhan masih ingat ketika pertama kali diajak Dibyo ke rumah ini. Matanya tak henti memandang sekeliling. Gubuknya yang hanya berukuran 5×12 jelas tak ada apa-apanya. Kalau jadi orang kaya, rasanya apa saja bisa dilakukan.


"Loh Farhan, saya pikir sudah diambil dari tadi"


"Eh, Bu. Tadi diminta menemani Bapak dulu ke pembukaan acara,"


"Sudah, Yun?"


"Sudah, Bu. Mas Farhan juga minta dibawakan kemeja sama sepatu, buat jaga-jaga."


"Kamu itu memang selalu well prepared ya. Pantas Bapak sangat percaya"


"Jaga-jaga saja, Bu. Bapak kadang lupa soalnya,"


"Eh, kasih minum dulu lah, Yun. Masak dibiarin kering gitu"


"Waduh tidak usah, Bu. Saya langsung saja habis ini"


"Ngapain buru-buru. Ada agenda lagi?"


"Tidak sih, Bu. Bapak sedang ke rumah Pak Asisten diantar Pak Trimo tadi"


"Ya sudah minum dulu, nanti kalau dicari Bapak saya yang bilang"


Farhan hanya bisa mengangguk. Yuni kemudian datang dengan kopi hitam tanpa gula. Itu minuman favorit Farhan. Yuni sudah hafal tanpa diminta.


"Saya ganti baju dulu ya, Han. Jangan buru-buru kembali ke kantor"


Farhan selalu menjaga pandangan ketika bertemu Winda, istri Dibyo yang cantik itu. Bukan apa-apa, Ia suka tidak bisa mengontrol matanya jika bertemu wanita cantik. Awalnya, Winda suka protes dengan gestur Farhan. Ia menganggap tidak sopan. Tapi setelah diberi penjelasan oleh Dibyo dan Farhan, Ia mulai mengerti. Dan perlahan, Farhan mulai terbiasa, meski masih saja ada gestur kaku. Begitulah pemuda itu. Suka canggung kalau sudah bertemu wanita.


Winda adalah potret wanita idaman siapapun. Ia cukup semampai dengan bodi yang bikin menelan ludah. Menjadi istri seorang kaya dan terpandang membuatnya punya modal untuk merawat diri. Ia sadar harus tampil tidak mengecewakan ketika menemani Sang Suami. Apalagi Dibyo memiliki posisi penting di beberapa tempat. Dan Dibyo juga paham hal itu. Ia menyunting Winda setelah cerai dengan istri pertamanya. Sejak awal pernikahan Dibyo sudah bilang jika Winda juga representasi dirinya. Maka Winda harus tampil mempesona.


"Berapa hari dinasnya, Han?"


"Dua hari rencananya, Bu. Bapak sekalian ada agenda bertemu dengan eksportir kayu"


"Jelas ada agenda entertainment ya berarti?"


"Waduh, saya jawab bagaimana ya, Bu"


Mereka berdua tertawa. Winda sudah berpakaian kasual. Ia baru saja pulang arisan tadi. Bertemu kawan-kawan sosialitanya. Istri-istri pengusaha, pejabat, dan orang kaya lainnya. Winda sudah tahu betul kelakuan suaminya. Dibyo juga tidak pernah mengelak meski tidak juga memberi tahu secara terang-terangan. Kata entertainment adalah kodenya. Winda sadar itu adalah bagian dari pekerjaan dan posisi Sang Suami. Awalnya Ia protes tapi ya buat apa. Dengan begitu, Ia bisa hidup seperti ini sekarang. Berlimpah fasilitas dan mau apa saja bisa terpenuhi.


"Saya titip buat jagain Bapak saja ya. Dia kan sudah tidak muda lagi"


"Itu tugas saya memang, Bu"


"Baru kali ini sepertinya Bapak nemu orang yang bisa diandalkan"


Farhan hanya tersenyum. Kalimat itu sudah beberapa kali Ia dengar. Baik dari Winda, rekan kerja Dibyo yang lain, atau orang-orang yang akrab dengan Dibyo. Farhan selalu mencoba untuk tidak terlena. Tujuannya hanya bekerja dengan baik. Ia ingin memperbaiki nasib.


"Saya pamit dulu kalau begitu, Bu. Tadi ada pekerjaan yang belum selesai di Kantor"


"Ya sudah hati-hati. Kalau ada apa-apa sama Bapak kabari saya saja ya"


"Baik, Bu. Assalamualaikum"


"Waalaikumsalam"


Farhan berlalu. Winda berdiri di depan pintu hingga mobil yang dinaiki Farhan menghilang. Ia menghela nafas panjang.


"Besok kita ketemu Pak Reynold jam 8 malam ya Han"


"Tempatnya, Pak?"


"Saya belum dikasih tahu, katanya besok saja. Emang kacau orang itu. Paling juga ngajak pijat kayak biasa"


"Semua tempat pijat di sana sudah kenal sama Pak Reynold kayaknya, Pak"


"Itu pasti. Sudah tau rasanya semua dia"


Salah satu yang disuka Dibyo dari Farhan adalah pemuda itu selalu bisa menempatkan diri. Jika sedang berdua dan membicarakan hal remeh temeh, Farhan bisa sangat konyol. Tapi jika sedang dalam mode bekerja, Farhan sangat formal. Pembawaannya juga menyenangkan dalam berbagai kondisi.


"Tapi Bapak sepertinya harus hati-hati sama Pak Tomi. Terakhir ketemu itu gesturnya kurang menyenangkan Pak. Waktu saya ngobrol sama Vincent, anak buahnya Pak Reynold, katanya Pak Tomi pernah sabotase orangnya Vincent"


"Soal apa?"


"Transport barangnya, Pak"


"Itu salah satu yang vital. Tapi dia ada bisnis di situ?"


"Kalau langsung sih, tidak Pak. Waktu saya cek profilnya, dia cuma invest sedikit-sedikit. Belum ketemu benang merahnya"


"Kamu pantau ya. Saya rencananya mau ngajak Wilson buat handle logistik"


"Dicopy, Pak."


"Oh ya, tadi kamu cuma ketemu Yuni?"


"Waktu mau pulang, Ibu datang, Pak. Saya dipaksa ngopi dulu"


"Setelah pulang dari Jakarta kamu saya kasih tugas nemenin Ibu ya"


"Agenda apa ini Pak?"


"Saya curiga saja dengan teman-teman arisannya yang baru. Ada istrinya Dodi yang agak liar"


"Siap, Pak."


"Mereka mau ada acara di luar kota, katanya sehari saja"


"Ada perintah khusus, Pak?"


"Tidak. Kamu pantau saja. Saya masih percaya sama Ibu. Saya akan kasih tugas Pak Slamet biar ada alasan buat kamu ikut"


"Buat antar sampel ke Mr. Bertrand saja Pak"


"Kamu selalu punya ide cemerlang"


Farhan selalu bisa diandalkan. Dan dipercaya. Paling tidak setelah pensiun sebagai pns nanti, Dibyo tau siapa yang bisa Ia rekrut. Tapi Ia hanya tidak yakin Farhan mau meninggalkan pekerjaannya kini. Sudahlah itu dipikir nanti. Ia tiba-tiba kangen dengan istrinya yang cantik itu. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Dibyo pamit pulang. Farhan masih membereskan berkas untuk dinas besok.
mantap ceritanya.....
 
EPISODE 13

"Mama di mana?"

"Ngantar Dara les, Pa. Kenapa?"

"Oh ya sudah, Papa sudah di rumah."

"Papa mau nitip sesuatu?"

"Nggak usah, deh."

"Ini sudah mau selesai, kok."

"Hati-hati pulangnya."

"Terima kasih, Pa."


Dibyo masih bimbang. Ia galau. Pikirannya campur aduk. Otaknya meminta untuk segera mengajak istrinya berbincang. Tapi hatinya berkata lain. Ia belum terlalu siap. Beberapa hari ini Dibyo nampak murung. Memikirkan ide gila yang ingin disampaikan ke Winda. Untung saja di kantor pekerjaan sedang tidak menuntut perhatian khusus. Begitu juga bisnisnya. Selepas libur natal dan tahun baru, kantornya hanya sedang sibuk menyiapkan agenda rapat kerja tahunan yang rencana akan dilaksanakan di luar kota. Ia hanya perlu datang dan memastikan semua berjalan lancar. Anak buahnya lebih dari kompeten melaksanakan semua itu. Begitu pun bisnis kayu yang Ia lakukan. Staf-staf di kantornya hanya sedang sibuk menyusun laporan akhir tahun. Farhan sudah tahu apa yang Ia lakukan. Di akhir bulan ini juga akan ada rapat evaluasi serta penyusunan strategi setahun ke depan. Semua akan baik-baik saja seperti biasanya.


"Papa ngapain sendirian di situ?"

"Eh, Mama sudah pulang. Lagi menikmati suasana saja, Ma."

"Mau dibuatkan kopi?"

"Teh aja deh, Ma. Gulanya sedikit."


Selepas berganti baju, Winda membuatkan teh untuk suaminya. Waktu menunjukkan pukul 20.00. Anak-anaknya sudah berada di kamarnya masing-masing.


"Papa kelihatan bingung akhir-akhir ini. Ada masalah?"

"Eh, gimana, Ma?"

"Sampai nggak nyambung waktu diajak ngobrol."

"Tadi kurang fokus, Ma."

"Ya itu masalahnya. Papa ada masalah? Bisnis lagi jelek? Atau apa?"

"Nggak, kok. Malah sedang bagus-bagusnya. Setelah dari Bali kemarin, Papa dapat kontrak besar."

"Dari orang yang ketemu di sana kemarin?"

"Yes. Benar sekali."

"Alhamdulillah. Lalu masalahnya di mana?"

"Papa mau tanya satu hal sama Mama."

"Apa itu?"

"Mama bahagia nggak hidup sama Papa?"

"Papa kenapa? Mau nikah lagi?"

"Pertanyaan belum dijawab malah balik nanya."

"Selain kelihatan bingung, pertanyaan Papa nggak biasa."

"Dijawab dulu dong, Ma."

"Bahagia lah. Papa sudah ngasih banyak hal yang Mama bahkan nggak kepikiran sebelumnya."

"Apa yang Mama belum dapatkan selama menikah sama Papa?"

"Nggak ada. Papa sudah ngasih semuanya."

"Papa mau jujur sama Mama."

"Papa punya istri simpanan?"

"Sebentar dulu dong. Main potong aja."

"Perasaan Mama nggak enak."

"Mama mikir nggak kira-kira, tiap Papa ke luar kota atau pamit keluar sama rekan bisnis dan teman-teman itu ngapain?"

"Pasti lah. Papa mau jujur kalau ternyata semua itu bohong dan Papa sebenarnya keluar dengan istri simpanan?"

"Jadi itu yang ada di pikiran Mama?"

"Nggak sih. Gara-gara Papa bilang gitu jadi mikir."

"Papa nggak punya istri simpanan. Jujur."

"Lalu? Wanita simpanan? Janda? Apa ABG?"

"Nggak, Ma. Papa nggak punya wanita simpanan."

"Lalu apa? Kemana arah pembicaraan ini? Jangan muter-muter deh, Pa."

"Sabar dong, Ma. Jangan emosi dulu."

"Kalau Papa nggak langsung ke intinya, Mama mau balik ke kamar aja."

"Papa memang nggak pernah bilang. Tapi Papa yakin Mama tahu kalau Papa sering ke tempat hiburan jika keluar rumah."

"Ya. Mama tahu itu."

"Dari mana Mama tahu?"

"Bill tempat karaoke, tempat pijat, dan tempat hiburan lain."

"Mama nggak marah?"

"Mama bisa apa? Papa sudah ngasih segalanya. Mama nggak berhak marah."

"Mama nggak marah kalau di tempat itu Papa minum-minum bahkan sampai main sama wanita lain?"

"Mama bisa apa? Mau marah lalu minta cerai? Papa tahu kan itu nggak mungkin."

"Kenapa Mama diam saja?"

"Karena tahu Mama nggak bisa apa-apa selain menerima semua ini."

"Maafkan Papa, Ma."

"Sudah Mama maafkan sebelum Papa minta maaf. Lalu apa tujuan pembicaraan ini?"

"Jujur, Papa belum bisa berhenti dari kebiasaan itu."

"Kenapa? Mama kurang cantik? Kurang seksi? Papa kurang puas sama Mama? Sampai-sampai jarang menyentuh? Mama kurang bagaimana?"

"Nggak. Nggak ada yang kurang dari Mama."

"Lalu kenapa?"

"Ini tabiat buruk yang belum bisa Papa hilangkan."

"Jadi ini semua hobi?"

"Mungkin."

"Semoga kita nggak kena penyakit aja."

"Tenang. Papa selalu main aman."

"Lalu tujuan Papa ngomong begini apa? Cuma mau ngaku? Lalu? Sudah?"

"Papa mau menawarkan sesuatu sama Mama."

"Papa mau ngasih sogokan? Buat apa? Mama juga nggak bisa apa-apa. Mau Papa terus begitu ya Mama hanya bisa menerima. Mau apa lagi?"

"Mama boleh melakukan hal yang sama kayak Papa."

"Hah? Papa nyuruh Mama jajan? Atau nyuruh Mama selingkuh?"

"Papa tahu, Mama juga punya kebutuhan batin yang harus dipuaskan. Papa nggak bisa memberikan itu. Kapan terakhir Mama puas waktu berhubungan sama Mama? Sudah lama sekali kan?"

"Ya, terus?"

"Mama harusnya tahu alasan kenapa Papa jarang berhubungan sama Mama."

"Mama nggak tahu. Mungkin Papa sudah nggak doyan."

"Ma. Tolonglah."

"Lalu apa kalau bukan itu alasannya?"

"Papa nggak mau Mama kena penyakit. Dan Papa nggak bisa memuaskan Mama."

"Alasan pertama masuk akal. Alasan kedua nggak masuk di logika Mama."

"Papa mau Mama mencari orang yang bisa memuaskan Mama. Dan kecil kemungkinan bisa kena penyakit."

"Jadi Papa boleh kena penyakit sedangkan Mama tidak? Kesepakatan macam apa ini."

"Apa ini belum membuktikan kalau Papa sayang sama Mama?"

"Mama nggak habis pikir sama Papa."

"Usia kita beda jauh, Ma. Papa mungkin akan meninggal lebih dulu. Entah karena tua atau kena penyakit kelamin. Mama akan hidup lebih panjang. Mama harus menjaga anak-anak kita. Mama berhak melalui sisa hidup itu tanpa penyakit yang mungkin saja Papa penyebabnya."

"Papa sudah gila."

"Memang. Papa sudah gila. Papa nggak mau orang yang paling berharga dalam hidup Papa jadi ikutan gila."

"Lalu apa mau Papa? Mama punya simpanan? Suami lagi? Atau bagaimana?"

"Farhan. Hanya dia yang Papa percaya."

"Ini lebih gila lagi. Papa kenapa? Lagi mabuk?"

"Papa akan rela Mama mencari kepuasan dengan laki-laki lain kalau dia itu Farhan."

"Papa masih egois. Dan gila."

"Memang. Papa akan melakukan apapun untuk kebaikan Mama."

"Kebaikan macam apa dari ide gila seperti ini, Pa?"

"Percaya sama Papa. Ini pilihan terbaik."

"Tahu dari mana kalau Farhan bisa memuaskan Mama? Papa yakin Mama mau? Papa yakin Farhan mau? Dan Papa yakin Farhan bebas penyakit? Papa sedang memuaskan ego Papa sendiri. Bukan memikirkan kebaikan Mama."

"Papa nggak mau risiko yang sama juga dialami Mama."

"Bagaimana ceritanya Papa boleh tetap memuaskan nafsu dengan wanita-wanita panggilan sesuai keinginan sedangkan Mama harus ngentot sama orang yang Papa pilih? Sangat tidak adil."

"Kalau begitu pilih sendiri. Dengan syarat dia bisa dipercaya dan bersih."

"Papa benar-benar gila. Pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan."

"Ma, Papa belum selesai."

"Mama sudah selesai. Puaskan ego Papa sendiri. Mama nggak mau ikut-ikut."

"Ma. Sebentar."


Tidak sesuai rencana. Dibyo gagal. Sudah kadung mengaku semua kelakuan bejatnya, Sang Istri malah menolak mentah-mentah ide yang disampaikan. Malam yang kelam. Dibyo terus mengutuki diri sendiri. Ia yakin setelah ini kondisi rumah tangganya kian buruk. Laki-laki tua yang malang.


***


Winda tidak habis pikir dengan ide suaminya. Jangan-jangan, Dibyo sudah tahu hubungannya dengan Farhan. Tapi kalau sudah tahu, harus bukan begitu responnya. Mungkin belum tahu. Mungkin juga tidak mau mempermalukannya. Winda menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia heran, kenapa jadi begini perjalanan hidup yang harus dilalui. Perasaan, beberapa bulan lalu semua terasa baik-baik saja, seperti biasanya. Ia memang sudah tahu dari lama bagaimana kelakuan Dibyo. Tapi Ia tak peduli. Kemudian hadir Farhan. Hadir pula kesempatan-kesempatan yang membuatnya berpikir ulang tentang tindakan masa bodoh atas tindak-tanduk suaminya. Dan ternyata, Farhan makin membuatnya memikirkan hal lain. Momen itu datang dengan segala kondisi yang mendukung. Ia jatuh. Ia ingkar atas komitmen yang telah dipegang sebelumnya. Farhan ternyata menjadi jawaban. Kepuasan itu datang.


Kini, secara tidak terduga, suaminya justru menawarkan Farhan untuk menjadi pengganti dalam urusan ranjang. Sebuah ide gila yang bahkan tidak pernah masuk dalam akalnya. Hidupnya menjadi makin aneh. Winda ingin tidur. Kenyataan terlalu menakutkan. Ia tidak ingin bangun rasanya. Atau ketika bangun, semua kembali seperti sedia kala sebelum semua kekacauan ini datang. Tapi, kenikmatan yang Farhan berikan terlalu sayang kalau harus hilang. Ah. Bisa gila kalau begini terus. Winda berusaha keras memejamkan mata. Tidak bisa. Birahinya malah naik tiba-tiba. Sial. Kenapa semua jadi begini.


***


Dibyo beranjak. Ia harus mencari sesuatu yang bisa mengembalikan kondisi. Tidak mungkin Ia masuk kamar dan tidur di samping istrinya setelah perdebatan tadi. Ia malu. Idenya ditolak mentah-mentah. Tapi, semua sudah terlanjur. Dibyo tidak punya rencana cadangan. Kalau urusan bisnis dan lobi-lobi, jangan tanya kemampuan Dibyo. Kenapa untuk urusan begini Ia menjadi bodoh sekali. Dibyo kembali mengutuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, Ia melangkah masuk ke kamarnya.


"Ma, Papa minta maaf. Kalau memang Mama nggak setuju dengan ide tadi, lupakan saja."


Setelah ucapan itu, Dibyo keluar. Ia memilih tidur di kamar tamu. Ada hasrat ingin menuntaskan nafsu dengan wanita-wanita di luar sana. Tapi tidak malam ini. Pikirannya terlalu lelah untuk semua itu.
Semoga lebaran ada kejutan.. ya sapa tau aja
Xixixixi
 
EPISODE 13

"Mama di mana?"

"Ngantar Dara les, Pa. Kenapa?"

"Oh ya sudah, Papa sudah di rumah."

"Papa mau nitip sesuatu?"

"Nggak usah, deh."

"Ini sudah mau selesai, kok."

"Hati-hati pulangnya."

"Terima kasih, Pa."


Dibyo masih bimbang. Ia galau. Pikirannya campur aduk. Otaknya meminta untuk segera mengajak istrinya berbincang. Tapi hatinya berkata lain. Ia belum terlalu siap. Beberapa hari ini Dibyo nampak murung. Memikirkan ide gila yang ingin disampaikan ke Winda. Untung saja di kantor pekerjaan sedang tidak menuntut perhatian khusus. Begitu juga bisnisnya. Selepas libur natal dan tahun baru, kantornya hanya sedang sibuk menyiapkan agenda rapat kerja tahunan yang rencana akan dilaksanakan di luar kota. Ia hanya perlu datang dan memastikan semua berjalan lancar. Anak buahnya lebih dari kompeten melaksanakan semua itu. Begitu pun bisnis kayu yang Ia lakukan. Staf-staf di kantornya hanya sedang sibuk menyusun laporan akhir tahun. Farhan sudah tahu apa yang Ia lakukan. Di akhir bulan ini juga akan ada rapat evaluasi serta penyusunan strategi setahun ke depan. Semua akan baik-baik saja seperti biasanya.


"Papa ngapain sendirian di situ?"

"Eh, Mama sudah pulang. Lagi menikmati suasana saja, Ma."

"Mau dibuatkan kopi?"

"Teh aja deh, Ma. Gulanya sedikit."


Selepas berganti baju, Winda membuatkan teh untuk suaminya. Waktu menunjukkan pukul 20.00. Anak-anaknya sudah berada di kamarnya masing-masing.


"Papa kelihatan bingung akhir-akhir ini. Ada masalah?"

"Eh, gimana, Ma?"

"Sampai nggak nyambung waktu diajak ngobrol."

"Tadi kurang fokus, Ma."

"Ya itu masalahnya. Papa ada masalah? Bisnis lagi jelek? Atau apa?"

"Nggak, kok. Malah sedang bagus-bagusnya. Setelah dari Bali kemarin, Papa dapat kontrak besar."

"Dari orang yang ketemu di sana kemarin?"

"Yes. Benar sekali."

"Alhamdulillah. Lalu masalahnya di mana?"

"Papa mau tanya satu hal sama Mama."

"Apa itu?"

"Mama bahagia nggak hidup sama Papa?"

"Papa kenapa? Mau nikah lagi?"

"Pertanyaan belum dijawab malah balik nanya."

"Selain kelihatan bingung, pertanyaan Papa nggak biasa."

"Dijawab dulu dong, Ma."

"Bahagia lah. Papa sudah ngasih banyak hal yang Mama bahkan nggak kepikiran sebelumnya."

"Apa yang Mama belum dapatkan selama menikah sama Papa?"

"Nggak ada. Papa sudah ngasih semuanya."

"Papa mau jujur sama Mama."

"Papa punya istri simpanan?"

"Sebentar dulu dong. Main potong aja."

"Perasaan Mama nggak enak."

"Mama mikir nggak kira-kira, tiap Papa ke luar kota atau pamit keluar sama rekan bisnis dan teman-teman itu ngapain?"

"Pasti lah. Papa mau jujur kalau ternyata semua itu bohong dan Papa sebenarnya keluar dengan istri simpanan?"

"Jadi itu yang ada di pikiran Mama?"

"Nggak sih. Gara-gara Papa bilang gitu jadi mikir."

"Papa nggak punya istri simpanan. Jujur."

"Lalu? Wanita simpanan? Janda? Apa ABG?"

"Nggak, Ma. Papa nggak punya wanita simpanan."

"Lalu apa? Kemana arah pembicaraan ini? Jangan muter-muter deh, Pa."

"Sabar dong, Ma. Jangan emosi dulu."

"Kalau Papa nggak langsung ke intinya, Mama mau balik ke kamar aja."

"Papa memang nggak pernah bilang. Tapi Papa yakin Mama tahu kalau Papa sering ke tempat hiburan jika keluar rumah."

"Ya. Mama tahu itu."

"Dari mana Mama tahu?"

"Bill tempat karaoke, tempat pijat, dan tempat hiburan lain."

"Mama nggak marah?"

"Mama bisa apa? Papa sudah ngasih segalanya. Mama nggak berhak marah."

"Mama nggak marah kalau di tempat itu Papa minum-minum bahkan sampai main sama wanita lain?"

"Mama bisa apa? Mau marah lalu minta cerai? Papa tahu kan itu nggak mungkin."

"Kenapa Mama diam saja?"

"Karena tahu Mama nggak bisa apa-apa selain menerima semua ini."

"Maafkan Papa, Ma."

"Sudah Mama maafkan sebelum Papa minta maaf. Lalu apa tujuan pembicaraan ini?"

"Jujur, Papa belum bisa berhenti dari kebiasaan itu."

"Kenapa? Mama kurang cantik? Kurang seksi? Papa kurang puas sama Mama? Sampai-sampai jarang menyentuh? Mama kurang bagaimana?"

"Nggak. Nggak ada yang kurang dari Mama."

"Lalu kenapa?"

"Ini tabiat buruk yang belum bisa Papa hilangkan."

"Jadi ini semua hobi?"

"Mungkin."

"Semoga kita nggak kena penyakit aja."

"Tenang. Papa selalu main aman."

"Lalu tujuan Papa ngomong begini apa? Cuma mau ngaku? Lalu? Sudah?"

"Papa mau menawarkan sesuatu sama Mama."

"Papa mau ngasih sogokan? Buat apa? Mama juga nggak bisa apa-apa. Mau Papa terus begitu ya Mama hanya bisa menerima. Mau apa lagi?"

"Mama boleh melakukan hal yang sama kayak Papa."

"Hah? Papa nyuruh Mama jajan? Atau nyuruh Mama selingkuh?"

"Papa tahu, Mama juga punya kebutuhan batin yang harus dipuaskan. Papa nggak bisa memberikan itu. Kapan terakhir Mama puas waktu berhubungan sama Mama? Sudah lama sekali kan?"

"Ya, terus?"

"Mama harusnya tahu alasan kenapa Papa jarang berhubungan sama Mama."

"Mama nggak tahu. Mungkin Papa sudah nggak doyan."

"Ma. Tolonglah."

"Lalu apa kalau bukan itu alasannya?"

"Papa nggak mau Mama kena penyakit. Dan Papa nggak bisa memuaskan Mama."

"Alasan pertama masuk akal. Alasan kedua nggak masuk di logika Mama."

"Papa mau Mama mencari orang yang bisa memuaskan Mama. Dan kecil kemungkinan bisa kena penyakit."

"Jadi Papa boleh kena penyakit sedangkan Mama tidak? Kesepakatan macam apa ini."

"Apa ini belum membuktikan kalau Papa sayang sama Mama?"

"Mama nggak habis pikir sama Papa."

"Usia kita beda jauh, Ma. Papa mungkin akan meninggal lebih dulu. Entah karena tua atau kena penyakit kelamin. Mama akan hidup lebih panjang. Mama harus menjaga anak-anak kita. Mama berhak melalui sisa hidup itu tanpa penyakit yang mungkin saja Papa penyebabnya."

"Papa sudah gila."

"Memang. Papa sudah gila. Papa nggak mau orang yang paling berharga dalam hidup Papa jadi ikutan gila."

"Lalu apa mau Papa? Mama punya simpanan? Suami lagi? Atau bagaimana?"

"Farhan. Hanya dia yang Papa percaya."

"Ini lebih gila lagi. Papa kenapa? Lagi mabuk?"

"Papa akan rela Mama mencari kepuasan dengan laki-laki lain kalau dia itu Farhan."

"Papa masih egois. Dan gila."

"Memang. Papa akan melakukan apapun untuk kebaikan Mama."

"Kebaikan macam apa dari ide gila seperti ini, Pa?"

"Percaya sama Papa. Ini pilihan terbaik."

"Tahu dari mana kalau Farhan bisa memuaskan Mama? Papa yakin Mama mau? Papa yakin Farhan mau? Dan Papa yakin Farhan bebas penyakit? Papa sedang memuaskan ego Papa sendiri. Bukan memikirkan kebaikan Mama."

"Papa nggak mau risiko yang sama juga dialami Mama."

"Bagaimana ceritanya Papa boleh tetap memuaskan nafsu dengan wanita-wanita panggilan sesuai keinginan sedangkan Mama harus ngentot sama orang yang Papa pilih? Sangat tidak adil."

"Kalau begitu pilih sendiri. Dengan syarat dia bisa dipercaya dan bersih."

"Papa benar-benar gila. Pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan."

"Ma, Papa belum selesai."

"Mama sudah selesai. Puaskan ego Papa sendiri. Mama nggak mau ikut-ikut."

"Ma. Sebentar."


Tidak sesuai rencana. Dibyo gagal. Sudah kadung mengaku semua kelakuan bejatnya, Sang Istri malah menolak mentah-mentah ide yang disampaikan. Malam yang kelam. Dibyo terus mengutuki diri sendiri. Ia yakin setelah ini kondisi rumah tangganya kian buruk. Laki-laki tua yang malang.


***


Winda tidak habis pikir dengan ide suaminya. Jangan-jangan, Dibyo sudah tahu hubungannya dengan Farhan. Tapi kalau sudah tahu, harus bukan begitu responnya. Mungkin belum tahu. Mungkin juga tidak mau mempermalukannya. Winda menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia heran, kenapa jadi begini perjalanan hidup yang harus dilalui. Perasaan, beberapa bulan lalu semua terasa baik-baik saja, seperti biasanya. Ia memang sudah tahu dari lama bagaimana kelakuan Dibyo. Tapi Ia tak peduli. Kemudian hadir Farhan. Hadir pula kesempatan-kesempatan yang membuatnya berpikir ulang tentang tindakan masa bodoh atas tindak-tanduk suaminya. Dan ternyata, Farhan makin membuatnya memikirkan hal lain. Momen itu datang dengan segala kondisi yang mendukung. Ia jatuh. Ia ingkar atas komitmen yang telah dipegang sebelumnya. Farhan ternyata menjadi jawaban. Kepuasan itu datang.


Kini, secara tidak terduga, suaminya justru menawarkan Farhan untuk menjadi pengganti dalam urusan ranjang. Sebuah ide gila yang bahkan tidak pernah masuk dalam akalnya. Hidupnya menjadi makin aneh. Winda ingin tidur. Kenyataan terlalu menakutkan. Ia tidak ingin bangun rasanya. Atau ketika bangun, semua kembali seperti sedia kala sebelum semua kekacauan ini datang. Tapi, kenikmatan yang Farhan berikan terlalu sayang kalau harus hilang. Ah. Bisa gila kalau begini terus. Winda berusaha keras memejamkan mata. Tidak bisa. Birahinya malah naik tiba-tiba. Sial. Kenapa semua jadi begini.


***


Dibyo beranjak. Ia harus mencari sesuatu yang bisa mengembalikan kondisi. Tidak mungkin Ia masuk kamar dan tidur di samping istrinya setelah perdebatan tadi. Ia malu. Idenya ditolak mentah-mentah. Tapi, semua sudah terlanjur. Dibyo tidak punya rencana cadangan. Kalau urusan bisnis dan lobi-lobi, jangan tanya kemampuan Dibyo. Kenapa untuk urusan begini Ia menjadi bodoh sekali. Dibyo kembali mengutuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, Ia melangkah masuk ke kamarnya.


"Ma, Papa minta maaf. Kalau memang Mama nggak setuju dengan ide tadi, lupakan saja."


Setelah ucapan itu, Dibyo keluar. Ia memilih tidur di kamar tamu. Ada hasrat ingin menuntaskan nafsu dengan wanita-wanita di luar sana. Tapi tidak malam ini. Pikirannya terlalu lelah untuk semua itu.
wah ditunggu kelanjutan nasib si farhan ni, enak bangeet karakter si farhan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd