Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 17

Rima puas dengan agenda outing yang Ia pimpin. Acara berlangsung meriah dan sesuai rencana. Rekan-rekan kerja yang ikut serta juga menyampaikan pujian-pujian. Apalagi ditambah bonus kepuasan birahi yang diterima dari Farhan. Rima pulang dengan senyum mengembang. Meski hanya dua kali mereka bersetubuh, dahaganya benar-benar terpenuhi. Terutama saat dengan berani Ia melakukan panggilan video dengan sang suami sambil menerima oral dari Farhan. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Untung saja semua masih sesuai rencana.


Persetubuhan kedua terjadi esoknya saat semua orang sedang mengikuti outbond. Dengan sebuah kode, Rima berhasil sekali lagi merengkuh kepuasan dengan Farhan. Akhir pekan yang menyenangkan. Sampai rumah, Ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada panitia. Ucapan khusus juga diberikan kepada Farhan. Pria ini membuatnya mabuk kepayang. Seperti makanan enak pada umumnya, penis dan permainan Farhan bikin ketagihan. Sampai malam ini, Rima masih saja senyum-senyum sendiri mengingat persetubuhan itu.


Dibalik kebahagiaan Rima, juga kepuasan yang didapatkan Farhan, ada seorang yang mencurigai gerak-gerik mereka selama dua hari kemarin. Wanita itu mendapati Farhan keluar dari kamar Rima, sore hari ketika kegiatan outbond dilakukan. Ia berusaha berbaik sangka, mungkin ada sesuatu yang penting terjadi di sana. Tapi namanya juga pikiran manusia, dugaan-dugaan tak pernah bisa dihindari. Sayangnya, Ia tak berani melakukan apapun. Posisi Rima terlalu tinggi untuk dijangkau, sedangkan Farhan adalah orang kepercayaan pimpinan tertinggi tempatnya bekerja. Ia hanya staf rendahan yang tak berdaya melakukan apapun. Biarlah Ia simpan, suatu hari mungkin saja hal ini berguna. Entah untuk apa. Tapi, Ia penasaran juga apa yang terjadi di dalam sana.


***


"Assalamualaikum Ustad Bagir."

"Waalaikumsalam Pak Dibyo. Alhamdulillah sampai juga."

"Alhamdulillah, Tad. Selesai mengajar sepertinya?"

"Benar sekali, Pak. Saya mohon maaf sedikit telat tadi. Sudah diwakili kopi ini ya."

"Tidak masalah, Pak Ustad. Suasananya adem, jadi enak buat menunggu."

"Alhamdulillah. Saya jadi tidak terlalu sungkan. Silakan dicoba. Seadanya saja."

"Terima kasih, Tad."

"Oh ya, ini?"

"Masya Allah sampai lupa. Ini Farhan, yang tempo hari saya bicarakan."

"Ini rupanya pria pilihan Pak Dibyo."

"Saya Farhan, Pak Ustad."

"Sekilas sesuai dengan apa yang disampaikan Pak Dibyo."

"Mohon maaf, Pak Dibyo kadang suka berlebihan Pak Ustad."

"Tidak sama sekali rasanya. Saya suka, kamu sopan sekali."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Kalau kenal lebih jauh, Ustad Bagir akan tahu kenapa saya mempercayai Farhan."

"Semoga saya bisa mengenal lebih jauh."

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Kata Pak Dibyo, kamu tinggal sendiri sekarang, Han?"

"Iya, Pak Ustad. Orang tua saya sudah meninggal keduanya, kebetulan saya tidak punya saudara kandung. Pak Dibyo yang sekarang jadi orang tua saya."

"Sudah masuk Isya'. Kita jamaah dulu."

"Mari Pak Ustad."

"Farhan minta tolong jadi imam ya."

"Apa tidak salah, Pak Ustad?"

"Tidak. Saya selalu suka diimami anak muda. Santri selalu saya minta begini gantian."

"Kamu kan juga sering jadi imam di kantor, Han."

"Apalagi sudah sering kan. Sebentar saya panggil penghuni rumah yang lain."


Ujian ini selalu dilakukan oleh Ustad Bagir ketika sedang memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Ketika selesai shalat, Ia akan tahu pemuda itu cocok atau tidak menyunting anaknya. Shalat dilakukan di musala rumahnya dengan beberapa anggota keluarga yang lain. Termasuk Aisyah, anak perempuan yang rencananya Ia jodohkan dengan Farhan.


Shalat berlangsung khusyuk. Meski gugup, Farhan menyelesaikannya dengan baik. Terbiasa menjalankan peran ini sedari kecil membuatnya tidak canggung. Hanya grogi saja awalnya. Maklum, orang yang menjadi makmum adalah ustad dan mungkin mertuanya kelak. Ia tahu sedang diuji. Ia tidak berusaha membuatnya bagus. Toh, Farhan belum tahu siapa yang akan dijodohkan kepadanya nanti. Ada 5 wanita yang ikut berjamaah tadi. Semua memakai cadar. Ia jadi tak bisa membedakan mana yang muda, mana yang tua. Postur mereka hampir serupa.


"Bacaanmu bagus, Han. Saya suka."

"Alhamdulillah. Mohon maaf jika ada yang keliru, Pak Ustad."

"Tidak ada. Kelihatan kalau kamu fasih."

"Saya hanya pernah ngaji di langgar, Pak Ustad."

"Justru itu yang membuat fasih."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Saya bersedia, Pak Dibyo. Saya rela jika Farhan berkenan dengan putri saya."

"Alhamdulillah, Pak Ustad. Saya akan menyerahkan semua ke Farhan."

"Jika Pak Ustad berkenan, Insyaallah saya takdim."

"Kamu nggak nanya anak saya yang mana?"

"Bagi saya itu tidak penting. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Kalau ternyata anak saya tidak cantik, punya kelainan, atau kekurangan yang membuatmu tidak tertarik, bagaimana?"

"Saya percaya, Pak Ustad tahu mana yang pantas buat saya."

"Aisyah, kemari, Nak."


Gadis itu datang. Farhan tidak kuasa menahan detak jantungnya yang semakin cepat. Padahal, Ia berangkat tanpa ekspektasi. Bahkan masih belum rela benar menjalani perjodohan ini. Tapi, shalat isya tadi membuat semua berubah. Kini, ada perasaan berharap. Ada perasaan penasaran. Farhan menjaga sikapnya. Ia tidak berani menatap langkah kaki yang semakin dekat. Gadis itu duduk di sebelah Ustad Bagir. Tepat di hadapan Farhan. Kepalanya masih menunduk.


"Naikkan pandanganmu, Han. Saya meminta."


Kalau ternyata seperti ini, perasaan ragu yang Ia bawa tadi adalah sebuah kebodohan. Farhan sedang gadis muda anggun dengan paras cantik sekali. Mereka saling melempar senyum. Farhan tak kuasa menahan kekagumannya. Rasanya, Ia ingin bilang kalau bisa malam ini saja mereka menikah.


"Bagaimana, Han? Kok kayaknya senyum-senyum terus begitu."

"Saya tidak tahu mau bilang apa, Pak. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Alhamdulillah saya tidak mengecewakan kamu, Han."

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Jadi, kamu mau menerima anak saya?"

"Lebih baik ditanyakan kepada Aisyah, Pak Ustad. Apakah Ia mau menerima laki-laki seperti saya. Mungkin saja saya jauh dari ekspektasinya."

"Bagaimana, Aisyah? Abah akan menerima apapun keputusanmu."

"Insyaallah kalau Abah yakin, Aisyah menerima dengan ikhlas."

"Sudah dengar sendiri ya, Han."

"Insyallah, Pak Ustad."

"Alhamdulillah tidak butuh waktu lama, Pak Dibyo."

"Alhamdulillah Pak Ustad, saya hanya bisa ikut senang."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kalian saya nikahkan sekarang?"

"Maksudnya, Pak Ustad?"

"Iya, saya menawarkan kalian menikah sekarang."

"Apa tidak terlalu mendadak, Pak Ustad?"

"Tidak. Kalian berdua sudah saling menerima. Saya sebagai wali dari Aisyah juga menerima. Pak Dibyo harusnya walimu, Han?"

"Insyaallah begitu."

"Tinggal saksi dan mahar, kan, syaratnya?"

"Ii..iya Pak Ustad."

"Apa kamu sekarang jadi ragu?"

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Gun, kesini sebentar."

"Iya, Pak."

"Tolong panggilkan Ustad Muslih, Ustad Hari, sama Pak Kuncoro."

"Baik, Pak."

"Sama sekalian siapkan ruang tengah ya Gun."

"Baik, Pak Ustad."

"Kamu bawa sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin, Han?"

"Di dompet saya hanya ada uang 750.000, Pak Ustad."

"Kamu mau menerima mahar itu, Nak?"

"Insyaallah cukup, Bah. Saya yakin Mas Farhan memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk menghidupi kami."

"Calon istrimu menerima. Kamu siapkan ya, Han."

"Baik, Pak Ustad."

"Oh, alhamdulillah. Saya mau minta bantuan ke kalian. Saya mau menikahkan Aisyah dengan anak teman saya ini. Ustad Muslih dan Ustad Hari bisa jadi saksi ya?"

"Bisa, Tad."

"Pak Kun, saya minta tolong disiapkan sesuatunya ya. Dibantu Gunawan nanti."

"Laksanakan, Tad."

"Karena semua sudah sepakat, Aisyah boleh kembali dulu."

"Saya pamit, Bah."

"Ustad Hari minta tolong Farhan diajarkan kalimat ijab dan qobul ya."

"Mari Mas Farhan."


Dibyo tak kuasa menahan heran. Ia datang dengan tujuan mengenalkan Farhan dengan anak dari Ustad Bagir, sesuai rencana sebelumnya. Sementara Ustad Bagir berlaku melebihi ekspektasi. Ia bahkan meminta melakukan akad nikah malam ini juga. Keajaiban apa lagi yang terjadi dalam hidupnya. Dibyo masih belum siap mengabari sang istri. Justru Ia sedang bingung, apakah kira-kira Ustad Bagir tahu latar belakang semua ini. Ah, entahlah. Semua berjalan begitu saja dan tidak mampu ditolak oleh Dibyo. Farhan memang lelaki yang sangat beruntung. Setelah istrinya, pemuda itu akan mendapatkan gadis cantik putri Ustad Bagir. Ia tidak menduga Aisyah secantik itu. Rezeki Farhan memang terus mengalir.


"Sudah siap semua, Pak Ustad."

"Terima kasih, Pak Kun. Bagaimana, Han, sudah siap?"

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Bismillah. Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Aisyah Khairunnisa alal mahri 750.000 hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

"Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin"


Semua berlangsung dengan cepat. Farhan berkaca-kaca. Berangkat dengan keraguan dan segala hal yang berkecamuk. Ia malah kemudian menikahi orang yang baru beberapa menit dikenal. Sekali lagi, perjalanan hidup yang tak bisa dibayangkan. Ia jadi penasaran, kejutan apa lagi setelah ini.


"Aisyah, kemari, Nak. Ucapkan salam kepada suamimu."


Gadis itu datang. Ia langsung bersimpuh dan mencium tangan Farhan. Satu jam lalu, Ia bahkan tidak tahu siapa laki-laki ini. Sekarang, pemuda di hadapannya adalah satu-satunya orang yang halal baginya. Hidup selalu penuh kejutan.


"Farhan, Aisyah, mulai sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Urusan administrasi ke negara bisa diatur nanti. Yang penting di depan agama kalian sudah sah. Abah hanya bisa mengucapkan selamat. Insyaallah, Allah SWT meridhoi pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah."


"Aamiin"


Selepas menerima ucapan selamat, Aisyah berpamitan. Farhan masih bersama orang-orang yang hadir dalam pernikahannya. Surreal sekali. Ia telah menikah. Dengan wanita yang baru ditemui satu jam lalu.


"Kalau begitu saya pamit, Pak Ustad."

"Untuk malam ini, Farhan bisa tidur di sini. Besok keputusan ada di tanganmu, Han. Mau kamu bawa ke aman istrimu itu hakmu."

"Sekali lagi, selamat ya, Han."

"Terima kasih, Pak."


Dibyo pamit. Orang-orang yang sejak tadi membantu juga pamit. Ini sudah pukul 22.30. Ruangan sudah sepi. Hanya ada dia dan Ustad Bagir. Suasana hening, canggung.


"Belum mau istirahat, Han?"


Farhan hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.


"Masyaallah maafkan saya. Aisyah, ini tolong diajak suamimu. Dia cuma tahu ruang tamu, mushola sama ruang depan saja."

"Mohon maaf, Pak Ustad. Eh, Abah."

"Rileks, Han. Besok saja kita berbincang, kamu pasti lelah."

"Mari, Mas Farhan."

"Saya pamit dulu, Bah."


Di belakang Aisyah, Farhan memasuki sebuah tempat asing. Ia tidak tahu harus bagaimana malam ini. Ia benar-benar buntu. Orang asing ini adalah istrinya. Tapi, Farhan tidak tahu tindakan apa yang tepat untuk memulai.


"Kamar mandi di mana, ya?"

"Maaf. Kamar mandinya di luar, Mas. Saya antar ya."

"Boleh. Maaf ya, Aisyah."

"Jangan begitu, Mas. Saya jadi tidak enak."
memang jalan hidup siapa yang tahu 🤣🤣🤣
 
EPISODE 17

Rima puas dengan agenda outing yang Ia pimpin. Acara berlangsung meriah dan sesuai rencana. Rekan-rekan kerja yang ikut serta juga menyampaikan pujian-pujian. Apalagi ditambah bonus kepuasan birahi yang diterima dari Farhan. Rima pulang dengan senyum mengembang. Meski hanya dua kali mereka bersetubuh, dahaganya benar-benar terpenuhi. Terutama saat dengan berani Ia melakukan panggilan video dengan sang suami sambil menerima oral dari Farhan. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Untung saja semua masih sesuai rencana.


Persetubuhan kedua terjadi esoknya saat semua orang sedang mengikuti outbond. Dengan sebuah kode, Rima berhasil sekali lagi merengkuh kepuasan dengan Farhan. Akhir pekan yang menyenangkan. Sampai rumah, Ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada panitia. Ucapan khusus juga diberikan kepada Farhan. Pria ini membuatnya mabuk kepayang. Seperti makanan enak pada umumnya, penis dan permainan Farhan bikin ketagihan. Sampai malam ini, Rima masih saja senyum-senyum sendiri mengingat persetubuhan itu.


Dibalik kebahagiaan Rima, juga kepuasan yang didapatkan Farhan, ada seorang yang mencurigai gerak-gerik mereka selama dua hari kemarin. Wanita itu mendapati Farhan keluar dari kamar Rima, sore hari ketika kegiatan outbond dilakukan. Ia berusaha berbaik sangka, mungkin ada sesuatu yang penting terjadi di sana. Tapi namanya juga pikiran manusia, dugaan-dugaan tak pernah bisa dihindari. Sayangnya, Ia tak berani melakukan apapun. Posisi Rima terlalu tinggi untuk dijangkau, sedangkan Farhan adalah orang kepercayaan pimpinan tertinggi tempatnya bekerja. Ia hanya staf rendahan yang tak berdaya melakukan apapun. Biarlah Ia simpan, suatu hari mungkin saja hal ini berguna. Entah untuk apa. Tapi, Ia penasaran juga apa yang terjadi di dalam sana.


***


"Assalamualaikum Ustad Bagir."

"Waalaikumsalam Pak Dibyo. Alhamdulillah sampai juga."

"Alhamdulillah, Tad. Selesai mengajar sepertinya?"

"Benar sekali, Pak. Saya mohon maaf sedikit telat tadi. Sudah diwakili kopi ini ya."

"Tidak masalah, Pak Ustad. Suasananya adem, jadi enak buat menunggu."

"Alhamdulillah. Saya jadi tidak terlalu sungkan. Silakan dicoba. Seadanya saja."

"Terima kasih, Tad."

"Oh ya, ini?"

"Masya Allah sampai lupa. Ini Farhan, yang tempo hari saya bicarakan."

"Ini rupanya pria pilihan Pak Dibyo."

"Saya Farhan, Pak Ustad."

"Sekilas sesuai dengan apa yang disampaikan Pak Dibyo."

"Mohon maaf, Pak Dibyo kadang suka berlebihan Pak Ustad."

"Tidak sama sekali rasanya. Saya suka, kamu sopan sekali."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Kalau kenal lebih jauh, Ustad Bagir akan tahu kenapa saya mempercayai Farhan."

"Semoga saya bisa mengenal lebih jauh."

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Kata Pak Dibyo, kamu tinggal sendiri sekarang, Han?"

"Iya, Pak Ustad. Orang tua saya sudah meninggal keduanya, kebetulan saya tidak punya saudara kandung. Pak Dibyo yang sekarang jadi orang tua saya."

"Sudah masuk Isya'. Kita jamaah dulu."

"Mari Pak Ustad."

"Farhan minta tolong jadi imam ya."

"Apa tidak salah, Pak Ustad?"

"Tidak. Saya selalu suka diimami anak muda. Santri selalu saya minta begini gantian."

"Kamu kan juga sering jadi imam di kantor, Han."

"Apalagi sudah sering kan. Sebentar saya panggil penghuni rumah yang lain."


Ujian ini selalu dilakukan oleh Ustad Bagir ketika sedang memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Ketika selesai shalat, Ia akan tahu pemuda itu cocok atau tidak menyunting anaknya. Shalat dilakukan di musala rumahnya dengan beberapa anggota keluarga yang lain. Termasuk Aisyah, anak perempuan yang rencananya Ia jodohkan dengan Farhan.


Shalat berlangsung khusyuk. Meski gugup, Farhan menyelesaikannya dengan baik. Terbiasa menjalankan peran ini sedari kecil membuatnya tidak canggung. Hanya grogi saja awalnya. Maklum, orang yang menjadi makmum adalah ustad dan mungkin mertuanya kelak. Ia tahu sedang diuji. Ia tidak berusaha membuatnya bagus. Toh, Farhan belum tahu siapa yang akan dijodohkan kepadanya nanti. Ada 5 wanita yang ikut berjamaah tadi. Semua memakai cadar. Ia jadi tak bisa membedakan mana yang muda, mana yang tua. Postur mereka hampir serupa.


"Bacaanmu bagus, Han. Saya suka."

"Alhamdulillah. Mohon maaf jika ada yang keliru, Pak Ustad."

"Tidak ada. Kelihatan kalau kamu fasih."

"Saya hanya pernah ngaji di langgar, Pak Ustad."

"Justru itu yang membuat fasih."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Saya bersedia, Pak Dibyo. Saya rela jika Farhan berkenan dengan putri saya."

"Alhamdulillah, Pak Ustad. Saya akan menyerahkan semua ke Farhan."

"Jika Pak Ustad berkenan, Insyaallah saya takdim."

"Kamu nggak nanya anak saya yang mana?"

"Bagi saya itu tidak penting. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Kalau ternyata anak saya tidak cantik, punya kelainan, atau kekurangan yang membuatmu tidak tertarik, bagaimana?"

"Saya percaya, Pak Ustad tahu mana yang pantas buat saya."

"Aisyah, kemari, Nak."


Gadis itu datang. Farhan tidak kuasa menahan detak jantungnya yang semakin cepat. Padahal, Ia berangkat tanpa ekspektasi. Bahkan masih belum rela benar menjalani perjodohan ini. Tapi, shalat isya tadi membuat semua berubah. Kini, ada perasaan berharap. Ada perasaan penasaran. Farhan menjaga sikapnya. Ia tidak berani menatap langkah kaki yang semakin dekat. Gadis itu duduk di sebelah Ustad Bagir. Tepat di hadapan Farhan. Kepalanya masih menunduk.


"Naikkan pandanganmu, Han. Saya meminta."


Kalau ternyata seperti ini, perasaan ragu yang Ia bawa tadi adalah sebuah kebodohan. Farhan sedang gadis muda anggun dengan paras cantik sekali. Mereka saling melempar senyum. Farhan tak kuasa menahan kekagumannya. Rasanya, Ia ingin bilang kalau bisa malam ini saja mereka menikah.


"Bagaimana, Han? Kok kayaknya senyum-senyum terus begitu."

"Saya tidak tahu mau bilang apa, Pak. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Alhamdulillah saya tidak mengecewakan kamu, Han."

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Jadi, kamu mau menerima anak saya?"

"Lebih baik ditanyakan kepada Aisyah, Pak Ustad. Apakah Ia mau menerima laki-laki seperti saya. Mungkin saja saya jauh dari ekspektasinya."

"Bagaimana, Aisyah? Abah akan menerima apapun keputusanmu."

"Insyaallah kalau Abah yakin, Aisyah menerima dengan ikhlas."

"Sudah dengar sendiri ya, Han."

"Insyallah, Pak Ustad."

"Alhamdulillah tidak butuh waktu lama, Pak Dibyo."

"Alhamdulillah Pak Ustad, saya hanya bisa ikut senang."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kalian saya nikahkan sekarang?"

"Maksudnya, Pak Ustad?"

"Iya, saya menawarkan kalian menikah sekarang."

"Apa tidak terlalu mendadak, Pak Ustad?"

"Tidak. Kalian berdua sudah saling menerima. Saya sebagai wali dari Aisyah juga menerima. Pak Dibyo harusnya walimu, Han?"

"Insyaallah begitu."

"Tinggal saksi dan mahar, kan, syaratnya?"

"Ii..iya Pak Ustad."

"Apa kamu sekarang jadi ragu?"

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Gun, kesini sebentar."

"Iya, Pak."

"Tolong panggilkan Ustad Muslih, Ustad Hari, sama Pak Kuncoro."

"Baik, Pak."

"Sama sekalian siapkan ruang tengah ya Gun."

"Baik, Pak Ustad."

"Kamu bawa sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin, Han?"

"Di dompet saya hanya ada uang 750.000, Pak Ustad."

"Kamu mau menerima mahar itu, Nak?"

"Insyaallah cukup, Bah. Saya yakin Mas Farhan memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk menghidupi kami."

"Calon istrimu menerima. Kamu siapkan ya, Han."

"Baik, Pak Ustad."

"Oh, alhamdulillah. Saya mau minta bantuan ke kalian. Saya mau menikahkan Aisyah dengan anak teman saya ini. Ustad Muslih dan Ustad Hari bisa jadi saksi ya?"

"Bisa, Tad."

"Pak Kun, saya minta tolong disiapkan sesuatunya ya. Dibantu Gunawan nanti."

"Laksanakan, Tad."

"Karena semua sudah sepakat, Aisyah boleh kembali dulu."

"Saya pamit, Bah."

"Ustad Hari minta tolong Farhan diajarkan kalimat ijab dan qobul ya."

"Mari Mas Farhan."


Dibyo tak kuasa menahan heran. Ia datang dengan tujuan mengenalkan Farhan dengan anak dari Ustad Bagir, sesuai rencana sebelumnya. Sementara Ustad Bagir berlaku melebihi ekspektasi. Ia bahkan meminta melakukan akad nikah malam ini juga. Keajaiban apa lagi yang terjadi dalam hidupnya. Dibyo masih belum siap mengabari sang istri. Justru Ia sedang bingung, apakah kira-kira Ustad Bagir tahu latar belakang semua ini. Ah, entahlah. Semua berjalan begitu saja dan tidak mampu ditolak oleh Dibyo. Farhan memang lelaki yang sangat beruntung. Setelah istrinya, pemuda itu akan mendapatkan gadis cantik putri Ustad Bagir. Ia tidak menduga Aisyah secantik itu. Rezeki Farhan memang terus mengalir.


"Sudah siap semua, Pak Ustad."

"Terima kasih, Pak Kun. Bagaimana, Han, sudah siap?"

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Bismillah. Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Aisyah Khairunnisa alal mahri 750.000 hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

"Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin"


Semua berlangsung dengan cepat. Farhan berkaca-kaca. Berangkat dengan keraguan dan segala hal yang berkecamuk. Ia malah kemudian menikahi orang yang baru beberapa menit dikenal. Sekali lagi, perjalanan hidup yang tak bisa dibayangkan. Ia jadi penasaran, kejutan apa lagi setelah ini.


"Aisyah, kemari, Nak. Ucapkan salam kepada suamimu."


Gadis itu datang. Ia langsung bersimpuh dan mencium tangan Farhan. Satu jam lalu, Ia bahkan tidak tahu siapa laki-laki ini. Sekarang, pemuda di hadapannya adalah satu-satunya orang yang halal baginya. Hidup selalu penuh kejutan.


"Farhan, Aisyah, mulai sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Urusan administrasi ke negara bisa diatur nanti. Yang penting di depan agama kalian sudah sah. Abah hanya bisa mengucapkan selamat. Insyaallah, Allah SWT meridhoi pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah."


"Aamiin"


Selepas menerima ucapan selamat, Aisyah berpamitan. Farhan masih bersama orang-orang yang hadir dalam pernikahannya. Surreal sekali. Ia telah menikah. Dengan wanita yang baru ditemui satu jam lalu.


"Kalau begitu saya pamit, Pak Ustad."

"Untuk malam ini, Farhan bisa tidur di sini. Besok keputusan ada di tanganmu, Han. Mau kamu bawa ke aman istrimu itu hakmu."

"Sekali lagi, selamat ya, Han."

"Terima kasih, Pak."


Dibyo pamit. Orang-orang yang sejak tadi membantu juga pamit. Ini sudah pukul 22.30. Ruangan sudah sepi. Hanya ada dia dan Ustad Bagir. Suasana hening, canggung.


"Belum mau istirahat, Han?"


Farhan hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.


"Masyaallah maafkan saya. Aisyah, ini tolong diajak suamimu. Dia cuma tahu ruang tamu, mushola sama ruang depan saja."

"Mohon maaf, Pak Ustad. Eh, Abah."

"Rileks, Han. Besok saja kita berbincang, kamu pasti lelah."

"Mari, Mas Farhan."

"Saya pamit dulu, Bah."


Di belakang Aisyah, Farhan memasuki sebuah tempat asing. Ia tidak tahu harus bagaimana malam ini. Ia benar-benar buntu. Orang asing ini adalah istrinya. Tapi, Farhan tidak tahu tindakan apa yang tepat untuk memulai.


"Kamar mandi di mana, ya?"

"Maaf. Kamar mandinya di luar, Mas. Saya antar ya."

"Boleh. Maaf ya, Aisyah."

"Jangan begitu, Mas. Saya jadi tidak enak."
Sisain 1 hu yg bisa langsung di ajak nikah
 
EPISODE 18

"Kita butuh waktu, Aisyah. Kalau kamu belum nyaman, tidak apa-apa."

"Maafkan saya ya, Mas."


Farhan hanya tersenyum. Itu hal terbaik yang mungkin bisa Ia berikan malam ini. Dunianya berputar terlampau cepat. Pagi tadi, Ia masih seorang pemuda tanggung yang menjadi alat pemuas nafsu istri orang. Malam ini, tiba-tiba Ia telah menikah dengan gadis cantik anak seorang pemuka agama. Dan, mereka berada di dalam satu kamar, di ranjang yang sama. Aisyah masih mengenakan pakaian lengkap dengan jilbab menutup kepala. Ia belum siap. Takdimnya kepada Ustad Bagir, Ayahnya, memang tidak terbantahkan. Baginya, keputusan Ayahnya mutlak harus diikuti. Aisyah percaya laki-laki itu tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Selama 22 tahun hidup, keputusannya belum pernah salah. Berdasarkan pengalaman itu, perjodohan ini tidak mungkin ditolak. Meski Ia tahu, akan terjadi banyak sekali kecanggungan dan perubahan drastis dalam hidupnya. Sekali lagi Aisyah percaya dengan pilihan Ayahnya.


Farhan tidak bisa memejamkan mata. Otaknya masih berputar, mencerna setiap peristiwa yang menimpanya hingga hari ini. Bagaimana jika nanti Aisyah tahu bahwa selama ini Ia menjalin hubungan intim dengan dua orang wanita bersuami? Atau bagaimana jika Aisyah tahu rencana dibalik perjodohan ini adalah sekedar menutupi hubungannya dengan Winda? Bagaimana pula jika Ustad Bagir tahu? Gelap. Farhan tak bisa menduga jawaban dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Ia percaya saja akan keberuntungan-keberuntungan yang selama ini datang. Toh, semua itu yang membuatnya hidup hingga kini.


"Mas Farhan belum tidur?"

"Belum, Aisyah. Kamu kenapa belum tidur?"

"Saya masih bingung. Ini beneran atau tidak ya?"

"Menurutmu?"

"Sejak kedatangan Pak Dibyo beberapa hari lalu, Abah cuma minta siap-siap. Kalau beliau cocok, mungkin akan ada perjodohan."

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Saya tidak pernah membantah perkataan Abah, Mas."

"Kamu tidak berusaha bertanya?"

"Saya masih percaya, keputusan Abah selalu baik."

"Apakah kamu masih berpikir begitu?"

"Insyaallah, Mas. Buktinya, Mas Farhan tidak memaksa atau menekan saya sama sekali."

"Tidak ada perasaan takut?"

"Awalnya iya, Mas. Tapi sejak Mas Farhan pimpin shalat tadi, saya yakin."

"Kalau ternyata suatu hari saya tidak sesuai keyakinanmu, bagaimana?"

"Saya pasrahkan kepada Allah. Dia pasti memberikan jalan keluarnya."


Dengan dosa-dosa yang tidak karuan jumlahnya, Farhan masih saja mendapatkan anugerah seorang istri seperti Aisyah. Ia hanya bisa tersenyum. Mensyukuri setiap kenikmatan.


"Kalau kamu belum nyaman, bilang ya. Saya tidur di bawah saja."

"Jangan, Mas. Saya akan berdosa jika itu terjadi."

"Saya jadi mikir, Aisyah. Apa perbuatan baik yang saya lakukan sampai Allah mengirim seseorang seperti kamu jadi istri saya?"

"Saya tidak sesempurna itu, Mas. Kita baru saja bertemu. Katakan itu nanti jika memang saya sesuai harapan."

"Kita mungkin tidak akan tinggal di sini nantinya, Aisyah."

"Saya akan mengikuti keputusan Mas Farhan."

"Terima kasih ya."

"Sama-sama, Mas. Kita istirahat ya."

"Selamat malam, Aisyah."

"Selamat malam, Mas."


***


"Kopi, Han?"

"Tidak usah, Bah. Saya tidak terbiasa ngopi pagi-pagi."

"Masih terasa bingung ya?"

"Begitulah, Bah. Hidup saya penuh kejutan memang."

"Rencana Allah selalu tidak bisa ditebak. Tapi Insyaallah itu yang terbaik."

"Selama ini saya selalu berpikir begitu."

"Dibyo sudah cerita apa saja tentang saya dan keluarga?"

"Tidak banyak, Bah. Hanya soal hubungan baik Abah dan Pak Dibyo. Itu saja."

"Itu yang saya suka dari dia. Amanah."

"Kalau soal menjaga amanah, beliau yang selalu mengingatkan saya."

"Kamu boleh bertanya apapun tentang keluarga ini. Itu salah satu hakmu. Sekarang kamu jadi bagian keluarga ini."

"Pesantren ini sejak kapan, Bah?"

"Saya cuma mewarisi, Han. Mertua yang mendirikan. Beliau meninggal 15 tahun lalu. Karena istri saya anak satu-satunya mau tidak mau saya melanjutkan."

"Santrinya laki-laki dan perempuan, Bah?"

"Sekarang begitu. Dulu hanya perempuan saja. Tapi sejak 5 tahun lalu banyak orang tua yang menyarankan membuka untuk santri laki-laki. Ibunya Aisyah adalah salah satu santri di sini."

"Maksudnya, Bah? Bukannya tadi Abah bilang kalau mewarisi pesantren ini?"

"Astagfirullah. Saya belum bilang ya. Maaf, Han. Semua memang berlangsung sangat cepat sampai kamu belum tahu apapun tentang keluarga ini."

"Saya belum ngobrol banyak dengan Aisyah, Bah."

"Saya punya istri 3, Han. Ibunya Aisyah adalah yang kedua. Umi, istri pertama saya yang anak pendiri pesantren ini."

"Maaf saya tidak tahu, Bah."

"Tidak masalah. Justru saya yang harusnya minta maaf."

"Semua tinggal di satu rumah ini, Bah?"

"Tidak. Kamu lihat ada 3 rumah, kan? Yang ujung itu rumah Umi. Di sebelahnya rumah Mama."

"Satu lagi yang buat saya kagum sama Abah."

"Jangan. Itu bukan hal yang seharusnya dikagumi. Semua karena keadaan saja. Saya tidak pernah niat atau berencana beristri 3 begini. Kadang-kadang repot juga."

"Kalau Abah berkenan cerita saya siap mendengarkan."

"Karena kamu menantu laki-laki pertama, saya akan sedikit cerita."

"Ini juga baru tahu saya, Bah."

"Saat menikah dengan Umi, saya baru umur 21 tahun, Han. Sedangkan Umi lebih tua dua tahun. Qodarullah kami belum dikaruniai anak hingga 9 tahun usia pernikahan. Umi memaksa saya menikah lagi demi memiliki keturunan."

"Akhirnya menikah dengan Ibu ya, Bah."

"Umi sendiri yang memilih Ibu, karena saya benar-benar tidak mau memilih jalan itu. Kata Umi, Ia memilih yang muda agar kemungkinan mendapatkan keturunan juga tinggi."

"Berapa usia Ibu saat itu, Bah?"

"18 tahun. Saya tidak tahu siapa Ibu sebelumnya. Karena saat itu, jumlah santri di sini sangat banyak, mustahil saya hafal satu per satu."

"Saya jadi penasaran bagaimana Umi meminta kepada Ibu."

"Semua lewat Romo, ayahnya. Umi hanya kenal Ibu sebagai salah satu santrinya. Romo yang kemudian membuka pembicaraan. Meskipun selanjutnya Umi yang meminta secara personal."

"Abah pernah tanya reaksi Ibu pertama kali?"

"Tentu. Sebagai remaja berusia 18 tahun, pikiran menjadi istri kedua tidak ada saat itu. Ibu hanya meminta waktu beberapa hari shalat istikharah dulu. Dia salah satu santri yang sangat takdim dengan kyai."

"Sebuah pilihan yang berat pasti ya, Bah."

"Seminggu kemudian Ibu datang ke rumah. Dia hanya ingin bertemu dengan Umi. Mereka ngobrol lama sekali. Saat saya tanya apa yang dibicarakan, Ibu hanya bilang kalau Umi berhasil meyakinkannya. Dia tidak pernah menjawab detil sampai hari ini."

"Abah tidak tanya sama Umi?"

"Awalnya begitu. Tapi jawaban mereka serupa. Biarlah itu jadi rahasia mereka berdua. Saya tidak pernah tanya lagi sampai sekarang."

"Apakah setelah itu keinginan punya anak langsung diijabah, Bah?"

"Ya. Setahun kemudian kami punya anak pertama. Saya dengan Umi."

"Ini mengejutkan, Bah."

"Itulah kenapa saya percaya rencana Allah selalu yang terbaik. Justru dua bulan setelah pernikahan saya dengan Ibu, Umi yang hamil. Lima bulan setelah kehamilan itu baru Ibu mengandung istrimu."

"Kalau film namanya plot twist, Bah."

"Sekarang saya punya 7 anak. Dua dari Umi, dua dari Ibu, dan tiga dari Mama."

"Kalau saya tanya cerita dengan Mama, apakah Abah berkenan?"

"Sebagai orang yang tidak pernah memiliki niat poligami, punya istri 2 saja sudah membingungkan. Lah ini 3, Han."

"Saya membayangkan Abah sangat pusing saat itu."

"Saya sampai menyendiri, pulang ke rumah orang tua, saat Umi dan Ibu datang meminta saya menikahi Mama."

"Hampir sama dengan sebelumnya ya, Bah."

"Kan saya sudah bilang, tidak ada cita-cita poligami dalam hidup saya."

"Proses menyepinya berapa hari, Bah?"

"Satu minggu. Saya benar-benar tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bayangkan saja nantinya saya harus menghidupi 3 orang istri dan 5 orang anak. Mungkin nanti akan bertambah. Sementara pekerjaan saya hanya mengurus pesantren."

"Berarti saat itu Mama sudah punya anak ya, Bah?"

"Benar. Umi dan Ibu datang ke Abah dengan permintaan menikahi Mama yang cerai dengan suaminya karena KDRT. Mama sudah punya anak berusia 5 tahun saat itu, padahal usianya baru 24 tahun. Jadi usia anak Mama hampir sama dengan Istrimu."

"Kenapa kemudian Abah menerima permintaan itu?"

"Selama seminggu itu hampir setiap hari saya bermimpi didatangi seorang alim yang mengatakan bahwa Rasulullah berpoligami dengan menikahi janda-janda untuk menolongnya. Itu yang meyakinkan saya menerima permintaan Umi dan Ibu."

"Saya kagum dengan Abah."

"Jangan, Han. Saya masih manusia biasa yang banyak sekali kekurangan. Kamu hanya belum tahu saja."

"Paling tidak untuk soal ini, Abah tidak seperti orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk poligami padahal ya sebenarnya bukan itu alasannya."

"Poligami itu berat, sangat berat. Sampai sekarang saya merasa belum mampu benar. Saya selalu tanya kepada mereka bertiga apakah sudah adil atau belum. Itu yang dipertanggungjawabkan, Han."

"Itu yang seringkali orang lupa, Bah."

"Kamu sudah kepikiran melakukan ini?"

"Sama sekali belum, Bah. Istri satu saja dapatnya dijodohkan."

"Saya senang ngobrol sama kamu."

"Alhamdulillah, Bah. Mudah-mudahan keputusan Abah menerima saya tidak salah."

"Insyallah, Han."

"Saya izin, mungkin akan membawa Aisyah tinggal di tempat saya, Bah."

"Silakan. Keputusanmu adalah hal pertama yang harus dipatuhi Aisyah sekarang. Jadi apapun itu, Abah akan setuju jika Aisyah menerima."

"Mungkin seminggu ini kami masih akan di sini untuk mengurus pendaftaran pernikahan dan lainnya. Setelah itu saya mohon izin kembali."

"Pekerjaan menunggumu, Han. Jangan lama-lama cutinya. Bukankah kamu orang yang diandalkan Pak Dibyo?"

"Saya akan minta izin dulu ke beliau untuk menyelesaikan urusan di sini, Bah."

"Baiklah. Kalau ternyata sampai Hari Minggu belum selesai, nanti biar dibantu Pak Kuncoro dan Gunawan."


Perbincangan pertama antara mertua dan menantu berjalan cukup mulus. Ustad Bagir terkesan dengan pemuda asing yang tiba-tiba jadi menantunya tersebut. Sopan, ramah, dan terlihat jujur. Setidaknya itulah kesan pertama yang didapatkan. Ia tidak ingin menduga hal lain. Hanya harapan bahwa keputusan yang diambil tidak salah, itu saja. Sementara Farhan segera membersihkan diri. Ia berada di rumah orang lain. Alangkah tidak elok jika sebagai menantu malah terkesan malas-malasan.


"Sorry, Aisyah. Saya lupa ketuk pintu."

"Tidak apa-apa, Mas. Saya cuma belum terbiasa."

"Kamu lanjutkan dulu saja."

"Sudah, Mas."


Pemandangan sekilas yang membuatnya berdesir. Ah. Kalau begini Farhan jadi tidak sabar menantikan momen intim dengan istrinya.
 
EPISODE 18

"Kita butuh waktu, Aisyah. Kalau kamu belum nyaman, tidak apa-apa."

"Maafkan saya ya, Mas."


Farhan hanya tersenyum. Itu hal terbaik yang mungkin bisa Ia berikan malam ini. Dunianya berputar terlampau cepat. Pagi tadi, Ia masih seorang pemuda tanggung yang menjadi alat pemuas nafsu istri orang. Malam ini, tiba-tiba Ia telah menikah dengan gadis cantik anak seorang pemuka agama. Dan, mereka berada di dalam satu kamar, di ranjang yang sama. Aisyah masih mengenakan pakaian lengkap dengan jilbab menutup kepala. Ia belum siap. Takdimnya kepada Ustad Bagir, Ayahnya, memang tidak terbantahkan. Baginya, keputusan Ayahnya mutlak harus diikuti. Aisyah percaya laki-laki itu tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Selama 22 tahun hidup, keputusannya belum pernah salah. Berdasarkan pengalaman itu, perjodohan ini tidak mungkin ditolak. Meski Ia tahu, akan terjadi banyak sekali kecanggungan dan perubahan drastis dalam hidupnya. Sekali lagi Aisyah percaya dengan pilihan Ayahnya.


Farhan tidak bisa memejamkan mata. Otaknya masih berputar, mencerna setiap peristiwa yang menimpanya hingga hari ini. Bagaimana jika nanti Aisyah tahu bahwa selama ini Ia menjalin hubungan intim dengan dua orang wanita bersuami? Atau bagaimana jika Aisyah tahu rencana dibalik perjodohan ini adalah sekedar menutupi hubungannya dengan Winda? Bagaimana pula jika Ustad Bagir tahu? Gelap. Farhan tak bisa menduga jawaban dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Ia percaya saja akan keberuntungan-keberuntungan yang selama ini datang. Toh, semua itu yang membuatnya hidup hingga kini.


"Mas Farhan belum tidur?"

"Belum, Aisyah. Kamu kenapa belum tidur?"

"Saya masih bingung. Ini beneran atau tidak ya?"

"Menurutmu?"

"Sejak kedatangan Pak Dibyo beberapa hari lalu, Abah cuma minta siap-siap. Kalau beliau cocok, mungkin akan ada perjodohan."

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Saya tidak pernah membantah perkataan Abah, Mas."

"Kamu tidak berusaha bertanya?"

"Saya masih percaya, keputusan Abah selalu baik."

"Apakah kamu masih berpikir begitu?"

"Insyaallah, Mas. Buktinya, Mas Farhan tidak memaksa atau menekan saya sama sekali."

"Tidak ada perasaan takut?"

"Awalnya iya, Mas. Tapi sejak Mas Farhan pimpin shalat tadi, saya yakin."

"Kalau ternyata suatu hari saya tidak sesuai keyakinanmu, bagaimana?"

"Saya pasrahkan kepada Allah. Dia pasti memberikan jalan keluarnya."


Dengan dosa-dosa yang tidak karuan jumlahnya, Farhan masih saja mendapatkan anugerah seorang istri seperti Aisyah. Ia hanya bisa tersenyum. Mensyukuri setiap kenikmatan.


"Kalau kamu belum nyaman, bilang ya. Saya tidur di bawah saja."

"Jangan, Mas. Saya akan berdosa jika itu terjadi."

"Saya jadi mikir, Aisyah. Apa perbuatan baik yang saya lakukan sampai Allah mengirim seseorang seperti kamu jadi istri saya?"

"Saya tidak sesempurna itu, Mas. Kita baru saja bertemu. Katakan itu nanti jika memang saya sesuai harapan."

"Kita mungkin tidak akan tinggal di sini nantinya, Aisyah."

"Saya akan mengikuti keputusan Mas Farhan."

"Terima kasih ya."

"Sama-sama, Mas. Kita istirahat ya."

"Selamat malam, Aisyah."

"Selamat malam, Mas."


***


"Kopi, Han?"

"Tidak usah, Bah. Saya tidak terbiasa ngopi pagi-pagi."

"Masih terasa bingung ya?"

"Begitulah, Bah. Hidup saya penuh kejutan memang."

"Rencana Allah selalu tidak bisa ditebak. Tapi Insyaallah itu yang terbaik."

"Selama ini saya selalu berpikir begitu."

"Dibyo sudah cerita apa saja tentang saya dan keluarga?"

"Tidak banyak, Bah. Hanya soal hubungan baik Abah dan Pak Dibyo. Itu saja."

"Itu yang saya suka dari dia. Amanah."

"Kalau soal menjaga amanah, beliau yang selalu mengingatkan saya."

"Kamu boleh bertanya apapun tentang keluarga ini. Itu salah satu hakmu. Sekarang kamu jadi bagian keluarga ini."

"Pesantren ini sejak kapan, Bah?"

"Saya cuma mewarisi, Han. Mertua yang mendirikan. Beliau meninggal 15 tahun lalu. Karena istri saya anak satu-satunya mau tidak mau saya melanjutkan."

"Santrinya laki-laki dan perempuan, Bah?"

"Sekarang begitu. Dulu hanya perempuan saja. Tapi sejak 5 tahun lalu banyak orang tua yang menyarankan membuka untuk santri laki-laki. Ibunya Aisyah adalah salah satu santri di sini."

"Maksudnya, Bah? Bukannya tadi Abah bilang kalau mewarisi pesantren ini?"

"Astagfirullah. Saya belum bilang ya. Maaf, Han. Semua memang berlangsung sangat cepat sampai kamu belum tahu apapun tentang keluarga ini."

"Saya belum ngobrol banyak dengan Aisyah, Bah."

"Saya punya istri 3, Han. Ibunya Aisyah adalah yang kedua. Umi, istri pertama saya yang anak pendiri pesantren ini."

"Maaf saya tidak tahu, Bah."

"Tidak masalah. Justru saya yang harusnya minta maaf."

"Semua tinggal di satu rumah ini, Bah?"

"Tidak. Kamu lihat ada 3 rumah, kan? Yang ujung itu rumah Umi. Di sebelahnya rumah Mama."

"Satu lagi yang buat saya kagum sama Abah."

"Jangan. Itu bukan hal yang seharusnya dikagumi. Semua karena keadaan saja. Saya tidak pernah niat atau berencana beristri 3 begini. Kadang-kadang repot juga."

"Kalau Abah berkenan cerita saya siap mendengarkan."

"Karena kamu menantu laki-laki pertama, saya akan sedikit cerita."

"Ini juga baru tahu saya, Bah."

"Saat menikah dengan Umi, saya baru umur 21 tahun, Han. Sedangkan Umi lebih tua dua tahun. Qodarullah kami belum dikaruniai anak hingga 9 tahun usia pernikahan. Umi memaksa saya menikah lagi demi memiliki keturunan."

"Akhirnya menikah dengan Ibu ya, Bah."

"Umi sendiri yang memilih Ibu, karena saya benar-benar tidak mau memilih jalan itu. Kata Umi, Ia memilih yang muda agar kemungkinan mendapatkan keturunan juga tinggi."

"Berapa usia Ibu saat itu, Bah?"

"18 tahun. Saya tidak tahu siapa Ibu sebelumnya. Karena saat itu, jumlah santri di sini sangat banyak, mustahil saya hafal satu per satu."

"Saya jadi penasaran bagaimana Umi meminta kepada Ibu."

"Semua lewat Romo, ayahnya. Umi hanya kenal Ibu sebagai salah satu santrinya. Romo yang kemudian membuka pembicaraan. Meskipun selanjutnya Umi yang meminta secara personal."

"Abah pernah tanya reaksi Ibu pertama kali?"

"Tentu. Sebagai remaja berusia 18 tahun, pikiran menjadi istri kedua tidak ada saat itu. Ibu hanya meminta waktu beberapa hari shalat istikharah dulu. Dia salah satu santri yang sangat takdim dengan kyai."

"Sebuah pilihan yang berat pasti ya, Bah."

"Seminggu kemudian Ibu datang ke rumah. Dia hanya ingin bertemu dengan Umi. Mereka ngobrol lama sekali. Saat saya tanya apa yang dibicarakan, Ibu hanya bilang kalau Umi berhasil meyakinkannya. Dia tidak pernah menjawab detil sampai hari ini."

"Abah tidak tanya sama Umi?"

"Awalnya begitu. Tapi jawaban mereka serupa. Biarlah itu jadi rahasia mereka berdua. Saya tidak pernah tanya lagi sampai sekarang."

"Apakah setelah itu keinginan punya anak langsung diijabah, Bah?"

"Ya. Setahun kemudian kami punya anak pertama. Saya dengan Umi."

"Ini mengejutkan, Bah."

"Itulah kenapa saya percaya rencana Allah selalu yang terbaik. Justru dua bulan setelah pernikahan saya dengan Ibu, Umi yang hamil. Lima bulan setelah kehamilan itu baru Ibu mengandung istrimu."

"Kalau film namanya plot twist, Bah."

"Sekarang saya punya 7 anak. Dua dari Umi, dua dari Ibu, dan tiga dari Mama."

"Kalau saya tanya cerita dengan Mama, apakah Abah berkenan?"

"Sebagai orang yang tidak pernah memiliki niat poligami, punya istri 2 saja sudah membingungkan. Lah ini 3, Han."

"Saya membayangkan Abah sangat pusing saat itu."

"Saya sampai menyendiri, pulang ke rumah orang tua, saat Umi dan Ibu datang meminta saya menikahi Mama."

"Hampir sama dengan sebelumnya ya, Bah."

"Kan saya sudah bilang, tidak ada cita-cita poligami dalam hidup saya."

"Proses menyepinya berapa hari, Bah?"

"Satu minggu. Saya benar-benar tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bayangkan saja nantinya saya harus menghidupi 3 orang istri dan 5 orang anak. Mungkin nanti akan bertambah. Sementara pekerjaan saya hanya mengurus pesantren."

"Berarti saat itu Mama sudah punya anak ya, Bah?"

"Benar. Umi dan Ibu datang ke Abah dengan permintaan menikahi Mama yang cerai dengan suaminya karena KDRT. Mama sudah punya anak berusia 5 tahun saat itu, padahal usianya baru 24 tahun. Jadi usia anak Mama hampir sama dengan Istrimu."

"Kenapa kemudian Abah menerima permintaan itu?"

"Selama seminggu itu hampir setiap hari saya bermimpi didatangi seorang alim yang mengatakan bahwa Rasulullah berpoligami dengan menikahi janda-janda untuk menolongnya. Itu yang meyakinkan saya menerima permintaan Umi dan Ibu."

"Saya kagum dengan Abah."

"Jangan, Han. Saya masih manusia biasa yang banyak sekali kekurangan. Kamu hanya belum tahu saja."

"Paling tidak untuk soal ini, Abah tidak seperti orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk poligami padahal ya sebenarnya bukan itu alasannya."

"Poligami itu berat, sangat berat. Sampai sekarang saya merasa belum mampu benar. Saya selalu tanya kepada mereka bertiga apakah sudah adil atau belum. Itu yang dipertanggungjawabkan, Han."

"Itu yang seringkali orang lupa, Bah."

"Kamu sudah kepikiran melakukan ini?"

"Sama sekali belum, Bah. Istri satu saja dapatnya dijodohkan."

"Saya senang ngobrol sama kamu."

"Alhamdulillah, Bah. Mudah-mudahan keputusan Abah menerima saya tidak salah."

"Insyallah, Han."

"Saya izin, mungkin akan membawa Aisyah tinggal di tempat saya, Bah."

"Silakan. Keputusanmu adalah hal pertama yang harus dipatuhi Aisyah sekarang. Jadi apapun itu, Abah akan setuju jika Aisyah menerima."

"Mungkin seminggu ini kami masih akan di sini untuk mengurus pendaftaran pernikahan dan lainnya. Setelah itu saya mohon izin kembali."

"Pekerjaan menunggumu, Han. Jangan lama-lama cutinya. Bukankah kamu orang yang diandalkan Pak Dibyo?"

"Saya akan minta izin dulu ke beliau untuk menyelesaikan urusan di sini, Bah."

"Baiklah. Kalau ternyata sampai Hari Minggu belum selesai, nanti biar dibantu Pak Kuncoro dan Gunawan."


Perbincangan pertama antara mertua dan menantu berjalan cukup mulus. Ustad Bagir terkesan dengan pemuda asing yang tiba-tiba jadi menantunya tersebut. Sopan, ramah, dan terlihat jujur. Setidaknya itulah kesan pertama yang didapatkan. Ia tidak ingin menduga hal lain. Hanya harapan bahwa keputusan yang diambil tidak salah, itu saja. Sementara Farhan segera membersihkan diri. Ia berada di rumah orang lain. Alangkah tidak elok jika sebagai menantu malah terkesan malas-malasan.


"Sorry, Aisyah. Saya lupa ketuk pintu."

"Tidak apa-apa, Mas. Saya cuma belum terbiasa."

"Kamu lanjutkan dulu saja."

"Sudah, Mas."


Pemandangan sekilas yang membuatnya berdesir. Ah. Kalau begini Farhan jadi tidak sabar menantikan momen intim dengan istrinya.
wah ke duluan 😄 tetep semangat update ya suhu
 
EPISODE 17

Rima puas dengan agenda outing yang Ia pimpin. Acara berlangsung meriah dan sesuai rencana. Rekan-rekan kerja yang ikut serta juga menyampaikan pujian-pujian. Apalagi ditambah bonus kepuasan birahi yang diterima dari Farhan. Rima pulang dengan senyum mengembang. Meski hanya dua kali mereka bersetubuh, dahaganya benar-benar terpenuhi. Terutama saat dengan berani Ia melakukan panggilan video dengan sang suami sambil menerima oral dari Farhan. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Untung saja semua masih sesuai rencana.


Persetubuhan kedua terjadi esoknya saat semua orang sedang mengikuti outbond. Dengan sebuah kode, Rima berhasil sekali lagi merengkuh kepuasan dengan Farhan. Akhir pekan yang menyenangkan. Sampai rumah, Ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada panitia. Ucapan khusus juga diberikan kepada Farhan. Pria ini membuatnya mabuk kepayang. Seperti makanan enak pada umumnya, penis dan permainan Farhan bikin ketagihan. Sampai malam ini, Rima masih saja senyum-senyum sendiri mengingat persetubuhan itu.


Dibalik kebahagiaan Rima, juga kepuasan yang didapatkan Farhan, ada seorang yang mencurigai gerak-gerik mereka selama dua hari kemarin. Wanita itu mendapati Farhan keluar dari kamar Rima, sore hari ketika kegiatan outbond dilakukan. Ia berusaha berbaik sangka, mungkin ada sesuatu yang penting terjadi di sana. Tapi namanya juga pikiran manusia, dugaan-dugaan tak pernah bisa dihindari. Sayangnya, Ia tak berani melakukan apapun. Posisi Rima terlalu tinggi untuk dijangkau, sedangkan Farhan adalah orang kepercayaan pimpinan tertinggi tempatnya bekerja. Ia hanya staf rendahan yang tak berdaya melakukan apapun. Biarlah Ia simpan, suatu hari mungkin saja hal ini berguna. Entah untuk apa. Tapi, Ia penasaran juga apa yang terjadi di dalam sana.


***


"Assalamualaikum Ustad Bagir."

"Waalaikumsalam Pak Dibyo. Alhamdulillah sampai juga."

"Alhamdulillah, Tad. Selesai mengajar sepertinya?"

"Benar sekali, Pak. Saya mohon maaf sedikit telat tadi. Sudah diwakili kopi ini ya."

"Tidak masalah, Pak Ustad. Suasananya adem, jadi enak buat menunggu."

"Alhamdulillah. Saya jadi tidak terlalu sungkan. Silakan dicoba. Seadanya saja."

"Terima kasih, Tad."

"Oh ya, ini?"

"Masya Allah sampai lupa. Ini Farhan, yang tempo hari saya bicarakan."

"Ini rupanya pria pilihan Pak Dibyo."

"Saya Farhan, Pak Ustad."

"Sekilas sesuai dengan apa yang disampaikan Pak Dibyo."

"Mohon maaf, Pak Dibyo kadang suka berlebihan Pak Ustad."

"Tidak sama sekali rasanya. Saya suka, kamu sopan sekali."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Kalau kenal lebih jauh, Ustad Bagir akan tahu kenapa saya mempercayai Farhan."

"Semoga saya bisa mengenal lebih jauh."

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Kata Pak Dibyo, kamu tinggal sendiri sekarang, Han?"

"Iya, Pak Ustad. Orang tua saya sudah meninggal keduanya, kebetulan saya tidak punya saudara kandung. Pak Dibyo yang sekarang jadi orang tua saya."

"Sudah masuk Isya'. Kita jamaah dulu."

"Mari Pak Ustad."

"Farhan minta tolong jadi imam ya."

"Apa tidak salah, Pak Ustad?"

"Tidak. Saya selalu suka diimami anak muda. Santri selalu saya minta begini gantian."

"Kamu kan juga sering jadi imam di kantor, Han."

"Apalagi sudah sering kan. Sebentar saya panggil penghuni rumah yang lain."


Ujian ini selalu dilakukan oleh Ustad Bagir ketika sedang memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Ketika selesai shalat, Ia akan tahu pemuda itu cocok atau tidak menyunting anaknya. Shalat dilakukan di musala rumahnya dengan beberapa anggota keluarga yang lain. Termasuk Aisyah, anak perempuan yang rencananya Ia jodohkan dengan Farhan.


Shalat berlangsung khusyuk. Meski gugup, Farhan menyelesaikannya dengan baik. Terbiasa menjalankan peran ini sedari kecil membuatnya tidak canggung. Hanya grogi saja awalnya. Maklum, orang yang menjadi makmum adalah ustad dan mungkin mertuanya kelak. Ia tahu sedang diuji. Ia tidak berusaha membuatnya bagus. Toh, Farhan belum tahu siapa yang akan dijodohkan kepadanya nanti. Ada 5 wanita yang ikut berjamaah tadi. Semua memakai cadar. Ia jadi tak bisa membedakan mana yang muda, mana yang tua. Postur mereka hampir serupa.


"Bacaanmu bagus, Han. Saya suka."

"Alhamdulillah. Mohon maaf jika ada yang keliru, Pak Ustad."

"Tidak ada. Kelihatan kalau kamu fasih."

"Saya hanya pernah ngaji di langgar, Pak Ustad."

"Justru itu yang membuat fasih."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Saya bersedia, Pak Dibyo. Saya rela jika Farhan berkenan dengan putri saya."

"Alhamdulillah, Pak Ustad. Saya akan menyerahkan semua ke Farhan."

"Jika Pak Ustad berkenan, Insyaallah saya takdim."

"Kamu nggak nanya anak saya yang mana?"

"Bagi saya itu tidak penting. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Kalau ternyata anak saya tidak cantik, punya kelainan, atau kekurangan yang membuatmu tidak tertarik, bagaimana?"

"Saya percaya, Pak Ustad tahu mana yang pantas buat saya."

"Aisyah, kemari, Nak."


Gadis itu datang. Farhan tidak kuasa menahan detak jantungnya yang semakin cepat. Padahal, Ia berangkat tanpa ekspektasi. Bahkan masih belum rela benar menjalani perjodohan ini. Tapi, shalat isya tadi membuat semua berubah. Kini, ada perasaan berharap. Ada perasaan penasaran. Farhan menjaga sikapnya. Ia tidak berani menatap langkah kaki yang semakin dekat. Gadis itu duduk di sebelah Ustad Bagir. Tepat di hadapan Farhan. Kepalanya masih menunduk.


"Naikkan pandanganmu, Han. Saya meminta."


Kalau ternyata seperti ini, perasaan ragu yang Ia bawa tadi adalah sebuah kebodohan. Farhan sedang gadis muda anggun dengan paras cantik sekali. Mereka saling melempar senyum. Farhan tak kuasa menahan kekagumannya. Rasanya, Ia ingin bilang kalau bisa malam ini saja mereka menikah.


"Bagaimana, Han? Kok kayaknya senyum-senyum terus begitu."

"Saya tidak tahu mau bilang apa, Pak. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Alhamdulillah saya tidak mengecewakan kamu, Han."

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Jadi, kamu mau menerima anak saya?"

"Lebih baik ditanyakan kepada Aisyah, Pak Ustad. Apakah Ia mau menerima laki-laki seperti saya. Mungkin saja saya jauh dari ekspektasinya."

"Bagaimana, Aisyah? Abah akan menerima apapun keputusanmu."

"Insyaallah kalau Abah yakin, Aisyah menerima dengan ikhlas."

"Sudah dengar sendiri ya, Han."

"Insyallah, Pak Ustad."

"Alhamdulillah tidak butuh waktu lama, Pak Dibyo."

"Alhamdulillah Pak Ustad, saya hanya bisa ikut senang."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kalian saya nikahkan sekarang?"

"Maksudnya, Pak Ustad?"

"Iya, saya menawarkan kalian menikah sekarang."

"Apa tidak terlalu mendadak, Pak Ustad?"

"Tidak. Kalian berdua sudah saling menerima. Saya sebagai wali dari Aisyah juga menerima. Pak Dibyo harusnya walimu, Han?"

"Insyaallah begitu."

"Tinggal saksi dan mahar, kan, syaratnya?"

"Ii..iya Pak Ustad."

"Apa kamu sekarang jadi ragu?"

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Gun, kesini sebentar."

"Iya, Pak."

"Tolong panggilkan Ustad Muslih, Ustad Hari, sama Pak Kuncoro."

"Baik, Pak."

"Sama sekalian siapkan ruang tengah ya Gun."

"Baik, Pak Ustad."

"Kamu bawa sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin, Han?"

"Di dompet saya hanya ada uang 750.000, Pak Ustad."

"Kamu mau menerima mahar itu, Nak?"

"Insyaallah cukup, Bah. Saya yakin Mas Farhan memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk menghidupi kami."

"Calon istrimu menerima. Kamu siapkan ya, Han."

"Baik, Pak Ustad."

"Oh, alhamdulillah. Saya mau minta bantuan ke kalian. Saya mau menikahkan Aisyah dengan anak teman saya ini. Ustad Muslih dan Ustad Hari bisa jadi saksi ya?"

"Bisa, Tad."

"Pak Kun, saya minta tolong disiapkan sesuatunya ya. Dibantu Gunawan nanti."

"Laksanakan, Tad."

"Karena semua sudah sepakat, Aisyah boleh kembali dulu."

"Saya pamit, Bah."

"Ustad Hari minta tolong Farhan diajarkan kalimat ijab dan qobul ya."

"Mari Mas Farhan."


Dibyo tak kuasa menahan heran. Ia datang dengan tujuan mengenalkan Farhan dengan anak dari Ustad Bagir, sesuai rencana sebelumnya. Sementara Ustad Bagir berlaku melebihi ekspektasi. Ia bahkan meminta melakukan akad nikah malam ini juga. Keajaiban apa lagi yang terjadi dalam hidupnya. Dibyo masih belum siap mengabari sang istri. Justru Ia sedang bingung, apakah kira-kira Ustad Bagir tahu latar belakang semua ini. Ah, entahlah. Semua berjalan begitu saja dan tidak mampu ditolak oleh Dibyo. Farhan memang lelaki yang sangat beruntung. Setelah istrinya, pemuda itu akan mendapatkan gadis cantik putri Ustad Bagir. Ia tidak menduga Aisyah secantik itu. Rezeki Farhan memang terus mengalir.


"Sudah siap semua, Pak Ustad."

"Terima kasih, Pak Kun. Bagaimana, Han, sudah siap?"

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Bismillah. Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Aisyah Khairunnisa alal mahri 750.000 hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

"Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin"


Semua berlangsung dengan cepat. Farhan berkaca-kaca. Berangkat dengan keraguan dan segala hal yang berkecamuk. Ia malah kemudian menikahi orang yang baru beberapa menit dikenal. Sekali lagi, perjalanan hidup yang tak bisa dibayangkan. Ia jadi penasaran, kejutan apa lagi setelah ini.


"Aisyah, kemari, Nak. Ucapkan salam kepada suamimu."


Gadis itu datang. Ia langsung bersimpuh dan mencium tangan Farhan. Satu jam lalu, Ia bahkan tidak tahu siapa laki-laki ini. Sekarang, pemuda di hadapannya adalah satu-satunya orang yang halal baginya. Hidup selalu penuh kejutan.


"Farhan, Aisyah, mulai sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Urusan administrasi ke negara bisa diatur nanti. Yang penting di depan agama kalian sudah sah. Abah hanya bisa mengucapkan selamat. Insyaallah, Allah SWT meridhoi pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah."


"Aamiin"


Selepas menerima ucapan selamat, Aisyah berpamitan. Farhan masih bersama orang-orang yang hadir dalam pernikahannya. Surreal sekali. Ia telah menikah. Dengan wanita yang baru ditemui satu jam lalu.


"Kalau begitu saya pamit, Pak Ustad."

"Untuk malam ini, Farhan bisa tidur di sini. Besok keputusan ada di tanganmu, Han. Mau kamu bawa ke aman istrimu itu hakmu."

"Sekali lagi, selamat ya, Han."

"Terima kasih, Pak."


Dibyo pamit. Orang-orang yang sejak tadi membantu juga pamit. Ini sudah pukul 22.30. Ruangan sudah sepi. Hanya ada dia dan Ustad Bagir. Suasana hening, canggung.


"Belum mau istirahat, Han?"


Farhan hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.


"Masyaallah maafkan saya. Aisyah, ini tolong diajak suamimu. Dia cuma tahu ruang tamu, mushola sama ruang depan saja."

"Mohon maaf, Pak Ustad. Eh, Abah."

"Rileks, Han. Besok saja kita berbincang, kamu pasti lelah."

"Mari, Mas Farhan."

"Saya pamit dulu, Bah."


Di belakang Aisyah, Farhan memasuki sebuah tempat asing. Ia tidak tahu harus bagaimana malam ini. Ia benar-benar buntu. Orang asing ini adalah istrinya. Tapi, Farhan tidak tahu tindakan apa yang tepat untuk memulai.


"Kamar mandi di mana, ya?"

"Maaf. Kamar mandinya di luar, Mas. Saya antar ya."

"Boleh. Maaf ya, Aisyah."

"Jangan begitu, Mas. Saya jadi tidak enak."
Semoga Bu Ustad juga kena patok ular Farhan... Hahahaha

Kan Farhan selalu dikelilingi stw yang nekat² selama ini
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd