Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 16


"Kita lama tidak bertemu ya Pak Dibyo."

"Saya minta maaf, Ustad. Pekerjaan seperti tidak ada habisnya."

"Begitulah urusan dunia, Pak. Kalau dituruti tidak pernah selesai."

"Makanya hari ini saya kemari. Ada perasaan lelah sekali."

"Pak Dibyo tidak buru-buru, kan?"

"Insyaallah niat saya memang hanya kemari, Tad."

"Kita ke gazebo belakang saja kalau begitu."


***


"Saya sudah jarang sekali mengambil undangan luar kota, Pak."

"Kenapa, Tad?

"Capek, Pak. Apalagi kalau aksesnya susah. Kalau tidak salah Pak Dibyo ikut dulu ya waktu ke daerah Nganjuk."

"Sudah berapa tahun yang lalu itu ya Pak Ustad."

"Sekarang ya biar yang muda-muda saja. Santri di sini banyak yang lebih pintar dari saya. Saya jaga kandang saja."

"Itulah keberhasilan, Njenengan. Santrinya ada di mana-mana."

"Alhamdulillah berkah dari Gusti Allah. Pak Dibyo bagaimana kabarnya?"

"Sehat Alhamdulillah. Seperti yang Pak Ustad lihat."

"Saya bisa bantu apa ini? Kok datang tadi seperti ada yang dipikirkan."

"Pak Ustad selalu bisa membaca pikiran saya."

"Kita ini sudah lama kenal, Pak. Saya tahu persis kalau Pak Dibyo sedang gundah gulana."

"Saya ini sedang cari jodoh Pak Ustad."

"Loh, sebentar. Apa saya tidak salah dengar?"

"Bukan. Bukan untuk saya."

"Saya kira Pak Dibyo mau mengikuti jejak saya."

"Belum mampu saya, Pak. Nanti tidak diridhoi."

"Jadi, jodoh untuk siapa ini?"

"Untuk salah satu anak buah saya, Pak. Sudah saya anggap seperti anak sendiri."

"Pasti anak ini spesial sampai Pak Dibyo yang turun sendiri."

"Dia ini anaknya sangat bisa dipercaya dan diandalkan. Salah satu staf di kantor awalnya tapi bisa saya percaya ikut menjalankan bisnis."

"Boleh saya lihat anaknya, Pak?"

"Ini, Pak Ustad. Dia masih umur 25 tahun. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak punya saudara."

"Saya lihat anak laki-laki yang tangguh dan bisa diandalkan."

"Sampai hari ini, itu bisa dibuktikan, Pak Ustad."

"Sebentar, saya ke belakang dulu, Pak."


***


"Pak Dibyo, kenalkan, ini Aisyah anak saya."

"Salam kenal, Aisyah."

"Aisyah berumur 22 tahun ini dan baru saja lulus kuliah. Insyaallah dia sudah memasuki usia menikah."

"Berarti maksud Pak Ustad?"

"Ya. Kita coba kenalkan saja Aisyah dengan Putra Bapak. Siapa tahu mereka cocok dan Allah meridhoi."

"Saya tersanjung, Tad. Njenengan mengenalkan anak sendiri."

"Saya percaya Pak Dibyo orang baik. Jadi dengan Bapak ada niatan ke sini pastilah anak itu adalah pemuda yang baik."

"Terima kasih, Tad. Saya percaya dengan pilihan njenengan."

"Insyaallah Aisyah takdim kepada saya dan dia percaya."

"Saya percaya firasat dan pilihan Abah yang terbaik, Pak."

"Kapan kita agendakan pertemuan mereka?"

"Saya tanyakan ke anaknya dulu, Tad. Semoga secepatnya."

"Alhamdulillah."


***


"Han, kamu di mana?"

"Saya sedang di pabrik, Pak."

"Ya sudah saya otw ke situ. Paling satu jam lagi sampai."

"Baik, Pak."


***


"Terima kasih kopinya, Pur. Aman semua ya?"

"Aman, Pak. Tadi Mas Farhan juga sudah quality kontrol. Lolos."

"Kamu sudah kontakan dengan Bu Anne?"

"Sudah, Pak. Katanya beliau mengusahakan ke sini bulan depan."

"Semoga bisa nambah kuotanya. Kamu ada kontak sama Bu Anne, Han?"

"Tidak, Pak. Saya arahkan semua langsung ke Mas Purwa."

"Saya tinggal dulu kalau begitu, Pak."

"Makasih Mas Purwa."

"Saya mau tanya sesuatu sama kamu, Han."

"Apa itu, Pak?"

"Kamu sudah ada pikiran mau nikah belum?"

"Kalau pikiran ya ada, Pak. Tapi dengan siapanya yang belum ada."

"Kamu sudah siap menikah?"

"Sebentar, Pak. Baru kemarin Bapak bilang ke saya untuk minta bantuan soal Ibu, sekarang tiba-tiba tanya soal siap nikah. Arahnya kemana ini, Pak?"

"Tenang. Kamu tidak saya minta untuk menikah sama Ibu. Enak saja."

"Lalu?"

"Saya punya teman seorang ustad dia punya anak cantik sekali. Saya rasa dia cocok buat kamu."

"Saya belum nemu hubungannya ini, Pak. Kenapa semua jadi serba tiba-tiba?"

"Saya merasa kamu sudah siap menikah, Han. Dan ya memang waktunya."

"Soal menikah atau tidak kan tergantung saya, Pak."

"Saya hanya berusaha menyampaikan itikad baik. Kebetulan ada teman yang sedang mencari jodoh untuk anaknya dan saya rasa dia cocok untuk kamu."

"Ada apa ini, Pak? Apakah ini ada hubungannya dengan permintaan Bapak kemarin?"

"Kapan kira-kira kamu mau ketemu dengan anak teman saya itu?"

"Oh saya tahu. Jadi ini syarat yang diminta Ibu soal hubungan kami?"

"Inilah kenapa saya percaya sama kamu, Han."

"Pak, ide gila apa lagi ini?"

"Saya setuju sama poin yang disampaikan Ibu, Han."

"Boleh saya tahu, Pak?"

"Ibu takut, hubungan kalian tidak hanya sekedar nafsu. Kedekatan itu mungkin bisa tumbuh jadi perasaan. Kami nggak mau itu terjadi."

"Lalu, Pak?"

"Satu-satunya syarat yang diajukan Ibu adalah kamu harus memiliki hubungan dengan orang lain, yang bisa kamu cintai."

"Saya masih tidak habis pikir, Pak."

"Saya juga begitu, awalnya. Tapi semua masuk akal."

"Di bagian mana itu menjadi masuk akal? Bukankah akhirnya sama saja selingkuh dari istri saya?"

"Itu kan yang sedang kita lakukan."

"Tapi istri saya tidak akan tahu ini. Itu bedanya, Pak."

"Maka dari itu, semua hanya akan menjadi nafsu antara kamu dan Ibu. Kasih sayang itu harusnya hanya akan ke istrimu. Seperti yang saya lakukan."

"Otak saya tidak sampai ke sana, Pak."

"Saya tidak akan meminta jawabanmu sekarang. Renungkan. Bilang kalau kamu sudah siap bertemu."


Dibyo pergi. Meninggalkan Farhan dengan segala kebingungan. Keanehan perjalanan hidupnya belum berhenti. Kepalanya pusing. Ia seperti tidak bisa berpikir. Hidup macam apa ini.


***


Setelah menimbang dengan penuh perhitungan, Farhan menerima ide tersebut. Ia juga telah membicarakannya dengan Winda. Mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam hubungan yang direstui oleh Dibyo. Bahkan, Winda izin dulu sebelum berangkat. Jangan tanya apa yang mereka lakukan hari itu. Sudah pasti urusan ranjang, apa lagi. Setelah saling memuaskan barulah Farhan membuka pembicaraan tentang ide perjodohan yang disampaikan Dibyo.


"Saya tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, Han. Tapi harusnya ini yang terbaik buat kamu."

"Saya paham maksud Ibu. Tapi ini benar-benar tidak ada dalam pikiran saya, Bu."

"Cobalah dulu. Kalau kamu tidak cocok dengan wanita itu, kita cari yang lain."

"Kalau Ibu yang bilang, saya bisa apa."

"Terima kasih ya, Han."


***


Agenda outing kantor Dibyo berjalan sesuai rencana. Rombongan berangkat Jumat sore selepas bekerja. Mereka menempuh 2 jam perjalanan ke tempat tujuan. Sebuah daerah pegunungan, tempat yang bisa digunakan orang-orang saat melakukan kegiatan gathering, outing, dan sejenisnya.


Malam pertama kegiatan itu hanya diisi istirahat dan jalan-jalan di sekitar hotel. Mereka memilih hotel tak jauh dari pusat kota. Hampir semua peserta keluar malam itu kecuali dua orang, Rima dan Farhan. Rima beralasan akan menyusul setelah menyelesaikan jadwal video call dengan suaminya. Sementara Farhan yang satu kamar dengan Edo beralasan kurang enak badan, ingin istirahat katanya. Dua orang itu merencanakan sesuatu. Rasanya, persetubuhan pertama mereka kemarin membuat keduanya ketagihan.


"Anak-anak sudah pada keluar, Han?"

"Edo sudah pamit dari 15 menit yang lalu, Bu."

"Aman lah ya."

"Sepertinya begitu."

"Saya tunggu di kamar ya."


***


RIMA

"Kita kok semakin nekat ya, Bu."

"Nafsu memang mengalah segalanya, Han."

"Habisnya Bu Rima bikin ketagihan."

"Aduh melayang saya dipuji brondong."

"Bu Rima pintar juga mengatur biar dapat kamar sendiri."

"Kamu meragukan saya?"


Waktu mereka tidak banyak, semua birahi ya sudah memuncak harus segera dituntaskan. Rima sengaja mengenakan lingerie malam itu. Tidak seksi-seksi banget, tapi mampu membuat Farhan menelan ludah. Tubuh semoknya adalah daya tarik utama wanita ini.


"Sebentar, Han. Saya punya sedikit permainan."

"Apa itu, Bu?"

"Ssstt. Kamu diam saja."


Alangkah terkejutnya Farhan setelah itu, Rima menelpon suaminya. Gila. Ini sudah di luar nalar. Farhan protes tapi Rima memberi kode bahwa semua akan baik-baik saja.


"Papa sibuk nggak?"

"Nggak sih, Ma. Ini lagi di pos."

"Mama lagi pengen, Pa."

"Mama kan lagi ada acara kantor ini. Gimana ceritanya."

"Mama lagi di kamar sendirian, anak-anak pada keluar semua."

"Tapi Papa lagi di Pos, Ma."

"Papa nggak bisa ke kamar sebentar?"


Rima menyalakan panggilan video. Sebuah pemandangan yang tidak bisa ditolak. Suaminya langsung mencari cara untuk kembali ke kamar. Rima hanya bisa tertawa dalam hati. Sementara Farhan masih mematung, duduk di kursi di depan Rima. Anehnya, nafsu Farhan seperti makin menjadi-jadi dengan kondisi ini.


"Mama kok aneh-aneh sih."

"Ih, namanya juga lagi pengen."

"Duh, bikin orang panas dingin deh. Mana pakai baju begitu."

"Sengaja emang."

"Yuk cepet, Papa waktunya jaga pos ini."


Pasangan suami istri itu memulai video call sex, seperti yang biasa mereka lakukan. Rima dengan gerakan menggoda mulai memainkan payudara. Wajahnya yang sensual benar-benar bikin gelisah. Sementara suaminya sudah setengah telanjang. Penis kekarnya ditunjukkan. Benda kesayangan Rima itu mengacung keras. Sebenarnya tak ada yang kurang dari penis sang suami. Bahkan dulunya, benda itu adalah hal yang membuat Rima tak bisa berpaling. Tapi, usia adalah pangkal segalanya. Suaminya tak seperkasa dulu. Apalagi ditambah jarak yang bikin Rima terus uring-uringan. Ia sedang memasuki masa puber kedua. Libidonya terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya.


"Mama memang pinter ya kalau begini."

"Ahhh. Mama nggak tahan, Pa."

"Mana dildonya?"

"Aduh Mama nggak bawa. Gimana nih?"

"Pakai tangan saja."

"Papa lihat wajah Mama saja ya?"

"Asalkan Mama puas."


Rima memberi kode kepada Farhan. Setengah linglung, Farhan mendekat. Ia mengikuti instruksi dari wanita itu.


"Ahhh Paaaa."

"Enak, Ma?"

"Enaaak bangeeet."

"Terus, Maaa. Papa kangen banget sama Mama."

"Papa, ooohhh."


Farhan sedang asyik mengerjai vagina Rima saat wanita itu melakukan panggilan video dengan sang suami. Suasana yang aneh namun menggairahkan. Ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi Farhan tidak peduli. Nafsunya sudah di puncak. Ingin rasanya Ia segera menyetubuhi Rima, tapi kondisinya begini.


"Maaa, Papa mau keluar."

"Mama juga, Pa. Oohh. Ohhhh."

"Mama nih bikin mandi lagi."

"Makasih ya, Pa. Selamat bekerja."


Rima tersenyum. Ia memberi kode lagi. Farhan sudah siap. Nafsunya sudah tidak bisa dibendung.
 
EPISODE 16


"Kita lama tidak bertemu ya Pak Dibyo."

"Saya minta maaf, Ustad. Pekerjaan seperti tidak ada habisnya."

"Begitulah urusan dunia, Pak. Kalau dituruti tidak pernah selesai."

"Makanya hari ini saya kemari. Ada perasaan lelah sekali."

"Pak Dibyo tidak buru-buru, kan?"

"Insyaallah niat saya memang hanya kemari, Tad."

"Kita ke gazebo belakang saja kalau begitu."


***


"Saya sudah jarang sekali mengambil undangan luar kota, Pak."

"Kenapa, Tad?

"Capek, Pak. Apalagi kalau aksesnya susah. Kalau tidak salah Pak Dibyo ikut dulu ya waktu ke daerah Nganjuk."

"Sudah berapa tahun yang lalu itu ya Pak Ustad."

"Sekarang ya biar yang muda-muda saja. Santri di sini banyak yang lebih pintar dari saya. Saya jaga kandang saja."

"Itulah keberhasilan, Njenengan. Santrinya ada di mana-mana."

"Alhamdulillah berkah dari Gusti Allah. Pak Dibyo bagaimana kabarnya?"

"Sehat Alhamdulillah. Seperti yang Pak Ustad lihat."

"Saya bisa bantu apa ini? Kok datang tadi seperti ada yang dipikirkan."

"Pak Ustad selalu bisa membaca pikiran saya."

"Kita ini sudah lama kenal, Pak. Saya tahu persis kalau Pak Dibyo sedang gundah gulana."

"Saya ini sedang cari jodoh Pak Ustad."

"Loh, sebentar. Apa saya tidak salah dengar?"

"Bukan. Bukan untuk saya."

"Saya kira Pak Dibyo mau mengikuti jejak saya."

"Belum mampu saya, Pak. Nanti tidak diridhoi."

"Jadi, jodoh untuk siapa ini?"

"Untuk salah satu anak buah saya, Pak. Sudah saya anggap seperti anak sendiri."

"Pasti anak ini spesial sampai Pak Dibyo yang turun sendiri."

"Dia ini anaknya sangat bisa dipercaya dan diandalkan. Salah satu staf di kantor awalnya tapi bisa saya percaya ikut menjalankan bisnis."

"Boleh saya lihat anaknya, Pak?"

"Ini, Pak Ustad. Dia masih umur 25 tahun. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak punya saudara."

"Saya lihat anak laki-laki yang tangguh dan bisa diandalkan."

"Sampai hari ini, itu bisa dibuktikan, Pak Ustad."

"Sebentar, saya ke belakang dulu, Pak."


***


"Pak Dibyo, kenalkan, ini Aisyah anak saya."

"Salam kenal, Aisyah."

"Aisyah berumur 22 tahun ini dan baru saja lulus kuliah. Insyaallah dia sudah memasuki usia menikah."

"Berarti maksud Pak Ustad?"

"Ya. Kita coba kenalkan saja Aisyah dengan Putra Bapak. Siapa tahu mereka cocok dan Allah meridhoi."

"Saya tersanjung, Tad. Njenengan mengenalkan anak sendiri."

"Saya percaya Pak Dibyo orang baik. Jadi dengan Bapak ada niatan ke sini pastilah anak itu adalah pemuda yang baik."

"Terima kasih, Tad. Saya percaya dengan pilihan njenengan."

"Insyaallah Aisyah takdim kepada saya dan dia percaya."

"Saya percaya firasat dan pilihan Abah yang terbaik, Pak."

"Kapan kita agendakan pertemuan mereka?"

"Saya tanyakan ke anaknya dulu, Tad. Semoga secepatnya."

"Alhamdulillah."


***


"Han, kamu di mana?"

"Saya sedang di pabrik, Pak."

"Ya sudah saya otw ke situ. Paling satu jam lagi sampai."

"Baik, Pak."


***


"Terima kasih kopinya, Pur. Aman semua ya?"

"Aman, Pak. Tadi Mas Farhan juga sudah quality kontrol. Lolos."

"Kamu sudah kontakan dengan Bu Anne?"

"Sudah, Pak. Katanya beliau mengusahakan ke sini bulan depan."

"Semoga bisa nambah kuotanya. Kamu ada kontak sama Bu Anne, Han?"

"Tidak, Pak. Saya arahkan semua langsung ke Mas Purwa."

"Saya tinggal dulu kalau begitu, Pak."

"Makasih Mas Purwa."

"Saya mau tanya sesuatu sama kamu, Han."

"Apa itu, Pak?"

"Kamu sudah ada pikiran mau nikah belum?"

"Kalau pikiran ya ada, Pak. Tapi dengan siapanya yang belum ada."

"Kamu sudah siap menikah?"

"Sebentar, Pak. Baru kemarin Bapak bilang ke saya untuk minta bantuan soal Ibu, sekarang tiba-tiba tanya soal siap nikah. Arahnya kemana ini, Pak?"

"Tenang. Kamu tidak saya minta untuk menikah sama Ibu. Enak saja."

"Lalu?"

"Saya punya teman seorang ustad dia punya anak cantik sekali. Saya rasa dia cocok buat kamu."

"Saya belum nemu hubungannya ini, Pak. Kenapa semua jadi serba tiba-tiba?"

"Saya merasa kamu sudah siap menikah, Han. Dan ya memang waktunya."

"Soal menikah atau tidak kan tergantung saya, Pak."

"Saya hanya berusaha menyampaikan itikad baik. Kebetulan ada teman yang sedang mencari jodoh untuk anaknya dan saya rasa dia cocok untuk kamu."

"Ada apa ini, Pak? Apakah ini ada hubungannya dengan permintaan Bapak kemarin?"

"Kapan kira-kira kamu mau ketemu dengan anak teman saya itu?"

"Oh saya tahu. Jadi ini syarat yang diminta Ibu soal hubungan kami?"

"Inilah kenapa saya percaya sama kamu, Han."

"Pak, ide gila apa lagi ini?"

"Saya setuju sama poin yang disampaikan Ibu, Han."

"Boleh saya tahu, Pak?"

"Ibu takut, hubungan kalian tidak hanya sekedar nafsu. Kedekatan itu mungkin bisa tumbuh jadi perasaan. Kami nggak mau itu terjadi."

"Lalu, Pak?"

"Satu-satunya syarat yang diajukan Ibu adalah kamu harus memiliki hubungan dengan orang lain, yang bisa kamu cintai."

"Saya masih tidak habis pikir, Pak."

"Saya juga begitu, awalnya. Tapi semua masuk akal."

"Di bagian mana itu menjadi masuk akal? Bukankah akhirnya sama saja selingkuh dari istri saya?"

"Itu kan yang sedang kita lakukan."

"Tapi istri saya tidak akan tahu ini. Itu bedanya, Pak."

"Maka dari itu, semua hanya akan menjadi nafsu antara kamu dan Ibu. Kasih sayang itu harusnya hanya akan ke istrimu. Seperti yang saya lakukan."

"Otak saya tidak sampai ke sana, Pak."

"Saya tidak akan meminta jawabanmu sekarang. Renungkan. Bilang kalau kamu sudah siap bertemu."


Dibyo pergi. Meninggalkan Farhan dengan segala kebingungan. Keanehan perjalanan hidupnya belum berhenti. Kepalanya pusing. Ia seperti tidak bisa berpikir. Hidup macam apa ini.


***


Setelah menimbang dengan penuh perhitungan, Farhan menerima ide tersebut. Ia juga telah membicarakannya dengan Winda. Mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam hubungan yang direstui oleh Dibyo. Bahkan, Winda izin dulu sebelum berangkat. Jangan tanya apa yang mereka lakukan hari itu. Sudah pasti urusan ranjang, apa lagi. Setelah saling memuaskan barulah Farhan membuka pembicaraan tentang ide perjodohan yang disampaikan Dibyo.


"Saya tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, Han. Tapi harusnya ini yang terbaik buat kamu."

"Saya paham maksud Ibu. Tapi ini benar-benar tidak ada dalam pikiran saya, Bu."

"Cobalah dulu. Kalau kamu tidak cocok dengan wanita itu, kita cari yang lain."

"Kalau Ibu yang bilang, saya bisa apa."

"Terima kasih ya, Han."


***


Agenda outing kantor Dibyo berjalan sesuai rencana. Rombongan berangkat Jumat sore selepas bekerja. Mereka menempuh 2 jam perjalanan ke tempat tujuan. Sebuah daerah pegunungan, tempat yang bisa digunakan orang-orang saat melakukan kegiatan gathering, outing, dan sejenisnya.


Malam pertama kegiatan itu hanya diisi istirahat dan jalan-jalan di sekitar hotel. Mereka memilih hotel tak jauh dari pusat kota. Hampir semua peserta keluar malam itu kecuali dua orang, Rima dan Farhan. Rima beralasan akan menyusul setelah menyelesaikan jadwal video call dengan suaminya. Sementara Farhan yang satu kamar dengan Edo beralasan kurang enak badan, ingin istirahat katanya. Dua orang itu merencanakan sesuatu. Rasanya, persetubuhan pertama mereka kemarin membuat keduanya ketagihan.


"Anak-anak sudah pada keluar, Han?"

"Edo sudah pamit dari 15 menit yang lalu, Bu."

"Aman lah ya."

"Sepertinya begitu."

"Saya tunggu di kamar ya."


***


RIMA

"Kita kok semakin nekat ya, Bu."

"Nafsu memang mengalah segalanya, Han."

"Habisnya Bu Rima bikin ketagihan."

"Aduh melayang saya dipuji brondong."

"Bu Rima pintar juga mengatur biar dapat kamar sendiri."

"Kamu meragukan saya?"


Waktu mereka tidak banyak, semua birahi ya sudah memuncak harus segera dituntaskan. Rima sengaja mengenakan lingerie malam itu. Tidak seksi-seksi banget, tapi mampu membuat Farhan menelan ludah. Tubuh semoknya adalah daya tarik utama wanita ini.


"Sebentar, Han. Saya punya sedikit permainan."

"Apa itu, Bu?"

"Ssstt. Kamu diam saja."


Alangkah terkejutnya Farhan setelah itu, Rima menelpon suaminya. Gila. Ini sudah di luar nalar. Farhan protes tapi Rima memberi kode bahwa semua akan baik-baik saja.


"Papa sibuk nggak?"

"Nggak sih, Ma. Ini lagi di pos."

"Mama lagi pengen, Pa."

"Mama kan lagi ada acara kantor ini. Gimana ceritanya."

"Mama lagi di kamar sendirian, anak-anak pada keluar semua."

"Tapi Papa lagi di Pos, Ma."

"Papa nggak bisa ke kamar sebentar?"


Rima menyalakan panggilan video. Sebuah pemandangan yang tidak bisa ditolak. Suaminya langsung mencari cara untuk kembali ke kamar. Rima hanya bisa tertawa dalam hati. Sementara Farhan masih mematung, duduk di kursi di depan Rima. Anehnya, nafsu Farhan seperti makin menjadi-jadi dengan kondisi ini.


"Mama kok aneh-aneh sih."

"Ih, namanya juga lagi pengen."

"Duh, bikin orang panas dingin deh. Mana pakai baju begitu."

"Sengaja emang."

"Yuk cepet, Papa waktunya jaga pos ini."


Pasangan suami istri itu memulai video call sex, seperti yang biasa mereka lakukan. Rima dengan gerakan menggoda mulai memainkan payudara. Wajahnya yang sensual benar-benar bikin gelisah. Sementara suaminya sudah setengah telanjang. Penis kekarnya ditunjukkan. Benda kesayangan Rima itu mengacung keras. Sebenarnya tak ada yang kurang dari penis sang suami. Bahkan dulunya, benda itu adalah hal yang membuat Rima tak bisa berpaling. Tapi, usia adalah pangkal segalanya. Suaminya tak seperkasa dulu. Apalagi ditambah jarak yang bikin Rima terus uring-uringan. Ia sedang memasuki masa puber kedua. Libidonya terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya.


"Mama memang pinter ya kalau begini."

"Ahhh. Mama nggak tahan, Pa."

"Mana dildonya?"

"Aduh Mama nggak bawa. Gimana nih?"

"Pakai tangan saja."

"Papa lihat wajah Mama saja ya?"

"Asalkan Mama puas."


Rima memberi kode kepada Farhan. Setengah linglung, Farhan mendekat. Ia mengikuti instruksi dari wanita itu.


"Ahhh Paaaa."

"Enak, Ma?"

"Enaaak bangeeet."

"Terus, Maaa. Papa kangen banget sama Mama."

"Papa, ooohhh."


Farhan sedang asyik mengerjai vagina Rima saat wanita itu melakukan panggilan video dengan sang suami. Suasana yang aneh namun menggairahkan. Ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi Farhan tidak peduli. Nafsunya sudah di puncak. Ingin rasanya Ia segera menyetubuhi Rima, tapi kondisinya begini.


"Maaa, Papa mau keluar."

"Mama juga, Pa. Oohh. Ohhhh."

"Mama nih bikin mandi lagi."

"Makasih ya, Pa. Selamat bekerja."


Rima tersenyum. Ia memberi kode lagi. Farhan sudah siap. Nafsunya sudah tidak bisa dibendung.
Update nya mantap sekali hu.. Kaya sirkuit motogp, belok kenceng tp tetap menawan dan mempesona
 
Bimabet
EPISODE 16


"Kita lama tidak bertemu ya Pak Dibyo."

"Saya minta maaf, Ustad. Pekerjaan seperti tidak ada habisnya."

"Begitulah urusan dunia, Pak. Kalau dituruti tidak pernah selesai."

"Makanya hari ini saya kemari. Ada perasaan lelah sekali."

"Pak Dibyo tidak buru-buru, kan?"

"Insyaallah niat saya memang hanya kemari, Tad."

"Kita ke gazebo belakang saja kalau begitu."


***


"Saya sudah jarang sekali mengambil undangan luar kota, Pak."

"Kenapa, Tad?

"Capek, Pak. Apalagi kalau aksesnya susah. Kalau tidak salah Pak Dibyo ikut dulu ya waktu ke daerah Nganjuk."

"Sudah berapa tahun yang lalu itu ya Pak Ustad."

"Sekarang ya biar yang muda-muda saja. Santri di sini banyak yang lebih pintar dari saya. Saya jaga kandang saja."

"Itulah keberhasilan, Njenengan. Santrinya ada di mana-mana."

"Alhamdulillah berkah dari Gusti Allah. Pak Dibyo bagaimana kabarnya?"

"Sehat Alhamdulillah. Seperti yang Pak Ustad lihat."

"Saya bisa bantu apa ini? Kok datang tadi seperti ada yang dipikirkan."

"Pak Ustad selalu bisa membaca pikiran saya."

"Kita ini sudah lama kenal, Pak. Saya tahu persis kalau Pak Dibyo sedang gundah gulana."

"Saya ini sedang cari jodoh Pak Ustad."

"Loh, sebentar. Apa saya tidak salah dengar?"

"Bukan. Bukan untuk saya."

"Saya kira Pak Dibyo mau mengikuti jejak saya."

"Belum mampu saya, Pak. Nanti tidak diridhoi."

"Jadi, jodoh untuk siapa ini?"

"Untuk salah satu anak buah saya, Pak. Sudah saya anggap seperti anak sendiri."

"Pasti anak ini spesial sampai Pak Dibyo yang turun sendiri."

"Dia ini anaknya sangat bisa dipercaya dan diandalkan. Salah satu staf di kantor awalnya tapi bisa saya percaya ikut menjalankan bisnis."

"Boleh saya lihat anaknya, Pak?"

"Ini, Pak Ustad. Dia masih umur 25 tahun. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak punya saudara."

"Saya lihat anak laki-laki yang tangguh dan bisa diandalkan."

"Sampai hari ini, itu bisa dibuktikan, Pak Ustad."

"Sebentar, saya ke belakang dulu, Pak."


***


"Pak Dibyo, kenalkan, ini Aisyah anak saya."

"Salam kenal, Aisyah."

"Aisyah berumur 22 tahun ini dan baru saja lulus kuliah. Insyaallah dia sudah memasuki usia menikah."

"Berarti maksud Pak Ustad?"

"Ya. Kita coba kenalkan saja Aisyah dengan Putra Bapak. Siapa tahu mereka cocok dan Allah meridhoi."

"Saya tersanjung, Tad. Njenengan mengenalkan anak sendiri."

"Saya percaya Pak Dibyo orang baik. Jadi dengan Bapak ada niatan ke sini pastilah anak itu adalah pemuda yang baik."

"Terima kasih, Tad. Saya percaya dengan pilihan njenengan."

"Insyaallah Aisyah takdim kepada saya dan dia percaya."

"Saya percaya firasat dan pilihan Abah yang terbaik, Pak."

"Kapan kita agendakan pertemuan mereka?"

"Saya tanyakan ke anaknya dulu, Tad. Semoga secepatnya."

"Alhamdulillah."


***


"Han, kamu di mana?"

"Saya sedang di pabrik, Pak."

"Ya sudah saya otw ke situ. Paling satu jam lagi sampai."

"Baik, Pak."


***


"Terima kasih kopinya, Pur. Aman semua ya?"

"Aman, Pak. Tadi Mas Farhan juga sudah quality kontrol. Lolos."

"Kamu sudah kontakan dengan Bu Anne?"

"Sudah, Pak. Katanya beliau mengusahakan ke sini bulan depan."

"Semoga bisa nambah kuotanya. Kamu ada kontak sama Bu Anne, Han?"

"Tidak, Pak. Saya arahkan semua langsung ke Mas Purwa."

"Saya tinggal dulu kalau begitu, Pak."

"Makasih Mas Purwa."

"Saya mau tanya sesuatu sama kamu, Han."

"Apa itu, Pak?"

"Kamu sudah ada pikiran mau nikah belum?"

"Kalau pikiran ya ada, Pak. Tapi dengan siapanya yang belum ada."

"Kamu sudah siap menikah?"

"Sebentar, Pak. Baru kemarin Bapak bilang ke saya untuk minta bantuan soal Ibu, sekarang tiba-tiba tanya soal siap nikah. Arahnya kemana ini, Pak?"

"Tenang. Kamu tidak saya minta untuk menikah sama Ibu. Enak saja."

"Lalu?"

"Saya punya teman seorang ustad dia punya anak cantik sekali. Saya rasa dia cocok buat kamu."

"Saya belum nemu hubungannya ini, Pak. Kenapa semua jadi serba tiba-tiba?"

"Saya merasa kamu sudah siap menikah, Han. Dan ya memang waktunya."

"Soal menikah atau tidak kan tergantung saya, Pak."

"Saya hanya berusaha menyampaikan itikad baik. Kebetulan ada teman yang sedang mencari jodoh untuk anaknya dan saya rasa dia cocok untuk kamu."

"Ada apa ini, Pak? Apakah ini ada hubungannya dengan permintaan Bapak kemarin?"

"Kapan kira-kira kamu mau ketemu dengan anak teman saya itu?"

"Oh saya tahu. Jadi ini syarat yang diminta Ibu soal hubungan kami?"

"Inilah kenapa saya percaya sama kamu, Han."

"Pak, ide gila apa lagi ini?"

"Saya setuju sama poin yang disampaikan Ibu, Han."

"Boleh saya tahu, Pak?"

"Ibu takut, hubungan kalian tidak hanya sekedar nafsu. Kedekatan itu mungkin bisa tumbuh jadi perasaan. Kami nggak mau itu terjadi."

"Lalu, Pak?"

"Satu-satunya syarat yang diajukan Ibu adalah kamu harus memiliki hubungan dengan orang lain, yang bisa kamu cintai."

"Saya masih tidak habis pikir, Pak."

"Saya juga begitu, awalnya. Tapi semua masuk akal."

"Di bagian mana itu menjadi masuk akal? Bukankah akhirnya sama saja selingkuh dari istri saya?"

"Itu kan yang sedang kita lakukan."

"Tapi istri saya tidak akan tahu ini. Itu bedanya, Pak."

"Maka dari itu, semua hanya akan menjadi nafsu antara kamu dan Ibu. Kasih sayang itu harusnya hanya akan ke istrimu. Seperti yang saya lakukan."

"Otak saya tidak sampai ke sana, Pak."

"Saya tidak akan meminta jawabanmu sekarang. Renungkan. Bilang kalau kamu sudah siap bertemu."


Dibyo pergi. Meninggalkan Farhan dengan segala kebingungan. Keanehan perjalanan hidupnya belum berhenti. Kepalanya pusing. Ia seperti tidak bisa berpikir. Hidup macam apa ini.


***


Setelah menimbang dengan penuh perhitungan, Farhan menerima ide tersebut. Ia juga telah membicarakannya dengan Winda. Mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam hubungan yang direstui oleh Dibyo. Bahkan, Winda izin dulu sebelum berangkat. Jangan tanya apa yang mereka lakukan hari itu. Sudah pasti urusan ranjang, apa lagi. Setelah saling memuaskan barulah Farhan membuka pembicaraan tentang ide perjodohan yang disampaikan Dibyo.


"Saya tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, Han. Tapi harusnya ini yang terbaik buat kamu."

"Saya paham maksud Ibu. Tapi ini benar-benar tidak ada dalam pikiran saya, Bu."

"Cobalah dulu. Kalau kamu tidak cocok dengan wanita itu, kita cari yang lain."

"Kalau Ibu yang bilang, saya bisa apa."

"Terima kasih ya, Han."


***


Agenda outing kantor Dibyo berjalan sesuai rencana. Rombongan berangkat Jumat sore selepas bekerja. Mereka menempuh 2 jam perjalanan ke tempat tujuan. Sebuah daerah pegunungan, tempat yang bisa digunakan orang-orang saat melakukan kegiatan gathering, outing, dan sejenisnya.


Malam pertama kegiatan itu hanya diisi istirahat dan jalan-jalan di sekitar hotel. Mereka memilih hotel tak jauh dari pusat kota. Hampir semua peserta keluar malam itu kecuali dua orang, Rima dan Farhan. Rima beralasan akan menyusul setelah menyelesaikan jadwal video call dengan suaminya. Sementara Farhan yang satu kamar dengan Edo beralasan kurang enak badan, ingin istirahat katanya. Dua orang itu merencanakan sesuatu. Rasanya, persetubuhan pertama mereka kemarin membuat keduanya ketagihan.


"Anak-anak sudah pada keluar, Han?"

"Edo sudah pamit dari 15 menit yang lalu, Bu."

"Aman lah ya."

"Sepertinya begitu."

"Saya tunggu di kamar ya."


***


RIMA

"Kita kok semakin nekat ya, Bu."

"Nafsu memang mengalah segalanya, Han."

"Habisnya Bu Rima bikin ketagihan."

"Aduh melayang saya dipuji brondong."

"Bu Rima pintar juga mengatur biar dapat kamar sendiri."

"Kamu meragukan saya?"


Waktu mereka tidak banyak, semua birahi ya sudah memuncak harus segera dituntaskan. Rima sengaja mengenakan lingerie malam itu. Tidak seksi-seksi banget, tapi mampu membuat Farhan menelan ludah. Tubuh semoknya adalah daya tarik utama wanita ini.


"Sebentar, Han. Saya punya sedikit permainan."

"Apa itu, Bu?"

"Ssstt. Kamu diam saja."


Alangkah terkejutnya Farhan setelah itu, Rima menelpon suaminya. Gila. Ini sudah di luar nalar. Farhan protes tapi Rima memberi kode bahwa semua akan baik-baik saja.


"Papa sibuk nggak?"

"Nggak sih, Ma. Ini lagi di pos."

"Mama lagi pengen, Pa."

"Mama kan lagi ada acara kantor ini. Gimana ceritanya."

"Mama lagi di kamar sendirian, anak-anak pada keluar semua."

"Tapi Papa lagi di Pos, Ma."

"Papa nggak bisa ke kamar sebentar?"


Rima menyalakan panggilan video. Sebuah pemandangan yang tidak bisa ditolak. Suaminya langsung mencari cara untuk kembali ke kamar. Rima hanya bisa tertawa dalam hati. Sementara Farhan masih mematung, duduk di kursi di depan Rima. Anehnya, nafsu Farhan seperti makin menjadi-jadi dengan kondisi ini.


"Mama kok aneh-aneh sih."

"Ih, namanya juga lagi pengen."

"Duh, bikin orang panas dingin deh. Mana pakai baju begitu."

"Sengaja emang."

"Yuk cepet, Papa waktunya jaga pos ini."


Pasangan suami istri itu memulai video call sex, seperti yang biasa mereka lakukan. Rima dengan gerakan menggoda mulai memainkan payudara. Wajahnya yang sensual benar-benar bikin gelisah. Sementara suaminya sudah setengah telanjang. Penis kekarnya ditunjukkan. Benda kesayangan Rima itu mengacung keras. Sebenarnya tak ada yang kurang dari penis sang suami. Bahkan dulunya, benda itu adalah hal yang membuat Rima tak bisa berpaling. Tapi, usia adalah pangkal segalanya. Suaminya tak seperkasa dulu. Apalagi ditambah jarak yang bikin Rima terus uring-uringan. Ia sedang memasuki masa puber kedua. Libidonya terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya.


"Mama memang pinter ya kalau begini."

"Ahhh. Mama nggak tahan, Pa."

"Mana dildonya?"

"Aduh Mama nggak bawa. Gimana nih?"

"Pakai tangan saja."

"Papa lihat wajah Mama saja ya?"

"Asalkan Mama puas."


Rima memberi kode kepada Farhan. Setengah linglung, Farhan mendekat. Ia mengikuti instruksi dari wanita itu.


"Ahhh Paaaa."

"Enak, Ma?"

"Enaaak bangeeet."

"Terus, Maaa. Papa kangen banget sama Mama."

"Papa, ooohhh."


Farhan sedang asyik mengerjai vagina Rima saat wanita itu melakukan panggilan video dengan sang suami. Suasana yang aneh namun menggairahkan. Ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi Farhan tidak peduli. Nafsunya sudah di puncak. Ingin rasanya Ia segera menyetubuhi Rima, tapi kondisinya begini.


"Maaa, Papa mau keluar."

"Mama juga, Pa. Oohh. Ohhhh."

"Mama nih bikin mandi lagi."

"Makasih ya, Pa. Selamat bekerja."


Rima tersenyum. Ia memberi kode lagi. Farhan sudah siap. Nafsunya sudah tidak bisa dibendung.
Pandai betul membuat toast cerita

Banyak belajar dr cara suhu menyamoaikan cerita

Jadi mau tanya

Waktu pak dibyo menyampaikan ide gilanya apakah bertemu bertiga apa bagaimana suhu?
Apa saja syaratx?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd