Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 17

Rima puas dengan agenda outing yang Ia pimpin. Acara berlangsung meriah dan sesuai rencana. Rekan-rekan kerja yang ikut serta juga menyampaikan pujian-pujian. Apalagi ditambah bonus kepuasan birahi yang diterima dari Farhan. Rima pulang dengan senyum mengembang. Meski hanya dua kali mereka bersetubuh, dahaganya benar-benar terpenuhi. Terutama saat dengan berani Ia melakukan panggilan video dengan sang suami sambil menerima oral dari Farhan. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Untung saja semua masih sesuai rencana.


Persetubuhan kedua terjadi esoknya saat semua orang sedang mengikuti outbond. Dengan sebuah kode, Rima berhasil sekali lagi merengkuh kepuasan dengan Farhan. Akhir pekan yang menyenangkan. Sampai rumah, Ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada panitia. Ucapan khusus juga diberikan kepada Farhan. Pria ini membuatnya mabuk kepayang. Seperti makanan enak pada umumnya, penis dan permainan Farhan bikin ketagihan. Sampai malam ini, Rima masih saja senyum-senyum sendiri mengingat persetubuhan itu.


Dibalik kebahagiaan Rima, juga kepuasan yang didapatkan Farhan, ada seorang yang mencurigai gerak-gerik mereka selama dua hari kemarin. Wanita itu mendapati Farhan keluar dari kamar Rima, sore hari ketika kegiatan outbond dilakukan. Ia berusaha berbaik sangka, mungkin ada sesuatu yang penting terjadi di sana. Tapi namanya juga pikiran manusia, dugaan-dugaan tak pernah bisa dihindari. Sayangnya, Ia tak berani melakukan apapun. Posisi Rima terlalu tinggi untuk dijangkau, sedangkan Farhan adalah orang kepercayaan pimpinan tertinggi tempatnya bekerja. Ia hanya staf rendahan yang tak berdaya melakukan apapun. Biarlah Ia simpan, suatu hari mungkin saja hal ini berguna. Entah untuk apa. Tapi, Ia penasaran juga apa yang terjadi di dalam sana.


***


"Assalamualaikum Ustad Bagir."

"Waalaikumsalam Pak Dibyo. Alhamdulillah sampai juga."

"Alhamdulillah, Tad. Selesai mengajar sepertinya?"

"Benar sekali, Pak. Saya mohon maaf sedikit telat tadi. Sudah diwakili kopi ini ya."

"Tidak masalah, Pak Ustad. Suasananya adem, jadi enak buat menunggu."

"Alhamdulillah. Saya jadi tidak terlalu sungkan. Silakan dicoba. Seadanya saja."

"Terima kasih, Tad."

"Oh ya, ini?"

"Masya Allah sampai lupa. Ini Farhan, yang tempo hari saya bicarakan."

"Ini rupanya pria pilihan Pak Dibyo."

"Saya Farhan, Pak Ustad."

"Sekilas sesuai dengan apa yang disampaikan Pak Dibyo."

"Mohon maaf, Pak Dibyo kadang suka berlebihan Pak Ustad."

"Tidak sama sekali rasanya. Saya suka, kamu sopan sekali."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Kalau kenal lebih jauh, Ustad Bagir akan tahu kenapa saya mempercayai Farhan."

"Semoga saya bisa mengenal lebih jauh."

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Kata Pak Dibyo, kamu tinggal sendiri sekarang, Han?"

"Iya, Pak Ustad. Orang tua saya sudah meninggal keduanya, kebetulan saya tidak punya saudara kandung. Pak Dibyo yang sekarang jadi orang tua saya."

"Sudah masuk Isya'. Kita jamaah dulu."

"Mari Pak Ustad."

"Farhan minta tolong jadi imam ya."

"Apa tidak salah, Pak Ustad?"

"Tidak. Saya selalu suka diimami anak muda. Santri selalu saya minta begini gantian."

"Kamu kan juga sering jadi imam di kantor, Han."

"Apalagi sudah sering kan. Sebentar saya panggil penghuni rumah yang lain."


Ujian ini selalu dilakukan oleh Ustad Bagir ketika sedang memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Ketika selesai shalat, Ia akan tahu pemuda itu cocok atau tidak menyunting anaknya. Shalat dilakukan di musala rumahnya dengan beberapa anggota keluarga yang lain. Termasuk Aisyah, anak perempuan yang rencananya Ia jodohkan dengan Farhan.


Shalat berlangsung khusyuk. Meski gugup, Farhan menyelesaikannya dengan baik. Terbiasa menjalankan peran ini sedari kecil membuatnya tidak canggung. Hanya grogi saja awalnya. Maklum, orang yang menjadi makmum adalah ustad dan mungkin mertuanya kelak. Ia tahu sedang diuji. Ia tidak berusaha membuatnya bagus. Toh, Farhan belum tahu siapa yang akan dijodohkan kepadanya nanti. Ada 5 wanita yang ikut berjamaah tadi. Semua memakai cadar. Ia jadi tak bisa membedakan mana yang muda, mana yang tua. Postur mereka hampir serupa.


"Bacaanmu bagus, Han. Saya suka."

"Alhamdulillah. Mohon maaf jika ada yang keliru, Pak Ustad."

"Tidak ada. Kelihatan kalau kamu fasih."

"Saya hanya pernah ngaji di langgar, Pak Ustad."

"Justru itu yang membuat fasih."

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Saya bersedia, Pak Dibyo. Saya rela jika Farhan berkenan dengan putri saya."

"Alhamdulillah, Pak Ustad. Saya akan menyerahkan semua ke Farhan."

"Jika Pak Ustad berkenan, Insyaallah saya takdim."

"Kamu nggak nanya anak saya yang mana?"

"Bagi saya itu tidak penting. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Kalau ternyata anak saya tidak cantik, punya kelainan, atau kekurangan yang membuatmu tidak tertarik, bagaimana?"

"Saya percaya, Pak Ustad tahu mana yang pantas buat saya."

"Aisyah, kemari, Nak."


Gadis itu datang. Farhan tidak kuasa menahan detak jantungnya yang semakin cepat. Padahal, Ia berangkat tanpa ekspektasi. Bahkan masih belum rela benar menjalani perjodohan ini. Tapi, shalat isya tadi membuat semua berubah. Kini, ada perasaan berharap. Ada perasaan penasaran. Farhan menjaga sikapnya. Ia tidak berani menatap langkah kaki yang semakin dekat. Gadis itu duduk di sebelah Ustad Bagir. Tepat di hadapan Farhan. Kepalanya masih menunduk.


"Naikkan pandanganmu, Han. Saya meminta."


Kalau ternyata seperti ini, perasaan ragu yang Ia bawa tadi adalah sebuah kebodohan. Farhan sedang gadis muda anggun dengan paras cantik sekali. Mereka saling melempar senyum. Farhan tak kuasa menahan kekagumannya. Rasanya, Ia ingin bilang kalau bisa malam ini saja mereka menikah.


"Bagaimana, Han? Kok kayaknya senyum-senyum terus begitu."

"Saya tidak tahu mau bilang apa, Pak. Saya percaya dengan Pak Dibyo dan Ustad Bagir."

"Alhamdulillah saya tidak mengecewakan kamu, Han."

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Jadi, kamu mau menerima anak saya?"

"Lebih baik ditanyakan kepada Aisyah, Pak Ustad. Apakah Ia mau menerima laki-laki seperti saya. Mungkin saja saya jauh dari ekspektasinya."

"Bagaimana, Aisyah? Abah akan menerima apapun keputusanmu."

"Insyaallah kalau Abah yakin, Aisyah menerima dengan ikhlas."

"Sudah dengar sendiri ya, Han."

"Insyallah, Pak Ustad."

"Alhamdulillah tidak butuh waktu lama, Pak Dibyo."

"Alhamdulillah Pak Ustad, saya hanya bisa ikut senang."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kalian saya nikahkan sekarang?"

"Maksudnya, Pak Ustad?"

"Iya, saya menawarkan kalian menikah sekarang."

"Apa tidak terlalu mendadak, Pak Ustad?"

"Tidak. Kalian berdua sudah saling menerima. Saya sebagai wali dari Aisyah juga menerima. Pak Dibyo harusnya walimu, Han?"

"Insyaallah begitu."

"Tinggal saksi dan mahar, kan, syaratnya?"

"Ii..iya Pak Ustad."

"Apa kamu sekarang jadi ragu?"

"Insyaallah tidak, Pak Ustad."

"Gun, kesini sebentar."

"Iya, Pak."

"Tolong panggilkan Ustad Muslih, Ustad Hari, sama Pak Kuncoro."

"Baik, Pak."

"Sama sekalian siapkan ruang tengah ya Gun."

"Baik, Pak Ustad."

"Kamu bawa sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin, Han?"

"Di dompet saya hanya ada uang 750.000, Pak Ustad."

"Kamu mau menerima mahar itu, Nak?"

"Insyaallah cukup, Bah. Saya yakin Mas Farhan memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk menghidupi kami."

"Calon istrimu menerima. Kamu siapkan ya, Han."

"Baik, Pak Ustad."

"Oh, alhamdulillah. Saya mau minta bantuan ke kalian. Saya mau menikahkan Aisyah dengan anak teman saya ini. Ustad Muslih dan Ustad Hari bisa jadi saksi ya?"

"Bisa, Tad."

"Pak Kun, saya minta tolong disiapkan sesuatunya ya. Dibantu Gunawan nanti."

"Laksanakan, Tad."

"Karena semua sudah sepakat, Aisyah boleh kembali dulu."

"Saya pamit, Bah."

"Ustad Hari minta tolong Farhan diajarkan kalimat ijab dan qobul ya."

"Mari Mas Farhan."


Dibyo tak kuasa menahan heran. Ia datang dengan tujuan mengenalkan Farhan dengan anak dari Ustad Bagir, sesuai rencana sebelumnya. Sementara Ustad Bagir berlaku melebihi ekspektasi. Ia bahkan meminta melakukan akad nikah malam ini juga. Keajaiban apa lagi yang terjadi dalam hidupnya. Dibyo masih belum siap mengabari sang istri. Justru Ia sedang bingung, apakah kira-kira Ustad Bagir tahu latar belakang semua ini. Ah, entahlah. Semua berjalan begitu saja dan tidak mampu ditolak oleh Dibyo. Farhan memang lelaki yang sangat beruntung. Setelah istrinya, pemuda itu akan mendapatkan gadis cantik putri Ustad Bagir. Ia tidak menduga Aisyah secantik itu. Rezeki Farhan memang terus mengalir.


"Sudah siap semua, Pak Ustad."

"Terima kasih, Pak Kun. Bagaimana, Han, sudah siap?"

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Bismillah. Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Aisyah Khairunnisa alal mahri 750.000 hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

"Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin"


Semua berlangsung dengan cepat. Farhan berkaca-kaca. Berangkat dengan keraguan dan segala hal yang berkecamuk. Ia malah kemudian menikahi orang yang baru beberapa menit dikenal. Sekali lagi, perjalanan hidup yang tak bisa dibayangkan. Ia jadi penasaran, kejutan apa lagi setelah ini.


"Aisyah, kemari, Nak. Ucapkan salam kepada suamimu."


Gadis itu datang. Ia langsung bersimpuh dan mencium tangan Farhan. Satu jam lalu, Ia bahkan tidak tahu siapa laki-laki ini. Sekarang, pemuda di hadapannya adalah satu-satunya orang yang halal baginya. Hidup selalu penuh kejutan.


"Farhan, Aisyah, mulai sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Urusan administrasi ke negara bisa diatur nanti. Yang penting di depan agama kalian sudah sah. Abah hanya bisa mengucapkan selamat. Insyaallah, Allah SWT meridhoi pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah."


"Aamiin"


Selepas menerima ucapan selamat, Aisyah berpamitan. Farhan masih bersama orang-orang yang hadir dalam pernikahannya. Surreal sekali. Ia telah menikah. Dengan wanita yang baru ditemui satu jam lalu.


"Kalau begitu saya pamit, Pak Ustad."

"Untuk malam ini, Farhan bisa tidur di sini. Besok keputusan ada di tanganmu, Han. Mau kamu bawa ke aman istrimu itu hakmu."

"Sekali lagi, selamat ya, Han."

"Terima kasih, Pak."


Dibyo pamit. Orang-orang yang sejak tadi membantu juga pamit. Ini sudah pukul 22.30. Ruangan sudah sepi. Hanya ada dia dan Ustad Bagir. Suasana hening, canggung.


"Belum mau istirahat, Han?"


Farhan hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.


"Masyaallah maafkan saya. Aisyah, ini tolong diajak suamimu. Dia cuma tahu ruang tamu, mushola sama ruang depan saja."

"Mohon maaf, Pak Ustad. Eh, Abah."

"Rileks, Han. Besok saja kita berbincang, kamu pasti lelah."

"Mari, Mas Farhan."

"Saya pamit dulu, Bah."


Di belakang Aisyah, Farhan memasuki sebuah tempat asing. Ia tidak tahu harus bagaimana malam ini. Ia benar-benar buntu. Orang asing ini adalah istrinya. Tapi, Farhan tidak tahu tindakan apa yang tepat untuk memulai.


"Kamar mandi di mana, ya?"

"Maaf. Kamar mandinya di luar, Mas. Saya antar ya."

"Boleh. Maaf ya, Aisyah."

"Jangan begitu, Mas. Saya jadi tidak enak."
imajinasi sang penulis kilat sekali, tapi menjurus potato.....

tappi asik lah, teerima kasih uppdeetannya om, semoga sehat selalu dan lancar dlm RL-nya
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd