Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT True Story of Adelaide (Indo-Australi)

Suhu semua... Berhubung kisah ini diketahui oleh istri ane... Jadi ane post semua sekarang ya... Walopun ceritanya belum beres, ane stop di sini... Lay low dulu karena habis bertengkar hebat... Ketahuan ane pernah sama cewe2 lain selain dia...
 
10-Sama Hana

Saya berusaha buat cari kesempatan di mana saya lagi ML sama Teh L dan dilihat Adelaide. Dengan harapan Adelaide bisa menunjukan rasa cemburu. Tapi kesempatan itu susah didapat.

Karena latihan yang makin panjang, Teh L sering lelah dan tidak mood. Dia juga sering pulang cepat. Kalau dia pulang cepat, saya dan Adelaide diam-diaman. Dan Adelaide tampak lebih menggoda kalau dia judes begitu. Semakin suka saya lihatnya.

Suatu kali, Teh L yang suntuk mengajak saya ML di ruang ganti, tapi ketika saya cek posisi Adelaide, ternyata dia sudah pulang. Tidak jodoh. Ada juga waktu Adelaide tinggal sampai malam di tempat latihan, Teh L malah pulang duluan. Pokoknya timingnya serba tidak tepat.

Tapi, selama saya dapat jatah ML sama Teh L, sih, jadi tidak rugi-rugi amat.

Kesempatan datang dua minggu kemudian, tapi bukan dengan Teh L. Kita sebut namanya Hana (kali ini tidak pakai samaran alfabet, suka lupa). Dia seumuran dengan saya. Berdarah Tiongkok dengan badan tegap dan payudara yang seadanya. Bokongnya juga paket hemat. Kalau dikasih skor, paras Hana saya beri nilai 6 dari 10. Cuma, dia putih langsat bersih kinclong banget, jadi dia dapat poin tambahan 2. Totalnya 8. Saya lemah kalau sama cewek berkulit putih.

Hana termasuk senior di teater dan dapat peran yang tampil lumayan banyak. Dan saya jadi lumayan hapal sama beberapa dialognya karena sering menonton dia latihan.

Suatu kali, saya mengingatkan dialog yang harus dikatakan Hana ketika lupa. Itu awal mula kami jadi sering mengobrol.

Singkat cerita, waktu itu Hana sedang beristirahat di ruang ganti sambil peregangan. Saya yang kebetulan ada di sana melihat dia senam begitu jadi bergairah. Celana dalam hitam terlihat mengintip dari sudut celana pendek Hana dan tali branya merosot. Melihat saja sudah bikin si perkutut konak.

Lalu, dengan segenap jiwa raga dan keberanian, saya bertanya, "Mbak Hana, ML, yuk."

Itu adalah ajakan saya yang pertama kali kepada siapa pun di dunia. Karena semua orang di teater itu seperti tanpa beban ketika mengatakannya, saya pikir bakal mudah untuk mengeluarkan kalimat itu. Tapi ternyata berat banget. Punggung saya sampai keringatan.

Hana tertawa. "L marah enggak? Lu, kan, punya dia."

"Hah? Enggaak."

"Bercanda. Cuma lucu aja denger lu ngomong begitu. Gua kira lu cuma berani sama L doang."

"Enggak, saya udah ijin sama Teh L boleh sama yang lain juga."

Hana tertawa. Padahal saya tidak sedang bercanda. Setelah berlatih banyak dengan Teh L, akhirnya dia bilang kalau saya tidak akan memalukan kalau ML sama cewek lain.

"Boleh. Cuma enggak sekarang. Nanti aja habis latihan."

Dan saat itu pun tiba. Jam 1 malam ketika latihan sudah selesai dan hampir semua orang sudah pulang. Kami berjalan menuju ruang lighting untuk melakukan hal yang paling saya sukai di dunia. Di dalam ternyata ada sepasang anggota yang sedang ML juga. Mereka dengan sopan pindah ke pojokan dan bersembunyi di balik sebuah meja tempat audio dimixing. Saya dan Hana mengambil tempat di pojok dekat pintu. Ada tas ransel di sana yang menghalangi. Hana melemparkan tas itu ke kursi dan mulai mendekati saya.

Deg degan saya balik lagi. Ternyata saya cuma tidak grogi kalau sama Teh L saja. Hana merasakan kecanggungan saya karena dia tertawa kecil, tapi dia tidak berkomentar.

Diawali dengan ciuman. Bibir Hana tipis dan lembut. Tidak ada aroma tembakau seperti ketika mencium Teh L. Dan ciumannya halus sekali. Dia pelan dan sabar. Kalau dengan Teh L kami biasanya langsung pakai lidah, Hana bermain di bibir dulu beberapa saat sambil memeluk badan saya sebelum menyerahkan lidahnya untuk saya nikmati.

Seperti biasa, saya membuka mata ketika berciuman. Saya senang melihat wajah perempuan yang sange dari dekat.

Foreplay dengan Hana berlanjut lebih lama darj Teh L. Kami tidak buru-buru buka baju, tapi kami menikmati menggerayangi kulit masing-masing dari balik baju. Dada Hana yang cuma segenggaman menjadi payudara kedua yang saya pegang. Punya Adelaide tidak dihitung karena diraba dari luar. Kulit Hana mulus luar biasa. Putingnya pun kecil mungil.

Dengan perlahan, saya buka kausnya. Branya yang berwarna hitam saya lepas dan langsung saya lumat putingnya. Desahan mulai terdengar dari mulut Hana. Kemudian saya lepaskan celana pendeknya dan saya mainkan klitorisnya dengan jari. Desahan semakin keras terdengar.

Hana bangkit untuk duduk, mencium habis-habisan bibir saya, sementara tangannya melepas celana saya dengan cekatan. Celana saya copot dengan cepat. Saya bersiap memasukkan penis ke vaginanya tapi Hana malah mendorong saya hingga terlentang. Dia kemudian mengulum penis saya.

Saya panik. Rasanya enak luar biasa dan ejakulasi menjadi tidak tertahankan.

"Mbak, sori. Udah mau keluar."

Hana tersenyum lalu menggerakkan kepalanya maju mundur lebih cepat dan dengan cekatan dia menjauh ketika sperma keluar dari penis saya. Saya menahan napas. Takut kalau Hana kecewa karena saya keluar duluan.

"Enggak rame, ah," katanya sambil bercanda. Tapi tetap saja saya malu. Hana berkata tidak apa-apa karena dia tahu kalau saya amatiran dalam hal begini.

Ketika saya bangun untuk memakai baju, di pintu ruangan yang terbuka sedikit ada Adelaide yang berdiri. Dia menatap saya lama sebelum masuk dan mengambil ransel yang tadi dilempar Hana.

Yes! Adelaide melihat saya ML! Eh, bukan deng. Cuma disepong saja.

Eh, tapi... Kok mukanya enggak ada ekspresi cemburu? Mukanya bahkan tidak berekspresi sama sekali.
 
11-Mega Sabrina

Pengalaman bersama Hana sempat membuat saya trauma untuk ML dengan cewek lain di teater. Tapi, sebagai lelaki yang beranjak dari cupu ke macho, saya bertekad harus mencoba lagi.

Teater Underground terdiri dari 40an anggota, saya lupa tepatnya. Yang saya ingat ada 16 anggota perempuan. Kenapa saya hapal? Karena itu jumlah perempuan yang bisa saya cobain di sana. Ada satu perempuan yang saya penasaran sekali buat ditiduri - selain Adelaide tentunya.

Namanya Mega, sebut saja begitu. Umurnya waktu itu saya perkirakan di kisaran 32-33. Masih primalah. Dia sudah bersuami dan beranak 3. Yang 2 pertama anaknya kembar. Badannya tidak bagus atau indah. Ya namanya habis melahirkan kembar pasti badannya melar semua. Wajahnya juga tidak spesial. Hidungnya tidak mancung, tingginya tidak melebihi tinggi saya dan dadanya sudah agak turun. Tapi kulitnya putih. Itu yang bikin saya penasaran sama Mega.

Dari cerita satu senior, Mega tidak begitu suka ML sama anggota teater. Paling hanya beberapa orang saja yang pernah sama dia. Soalnya dia sering pulang cepat untuk mengurus anak. Barang langka, pikir saya. Harus dicoba. Maka, saya jadikan tujuan hidup saya selama berada di teater untuk mengasah ilmu dan mencari kesempatan buat ML dengan Mega.

Walaupun begitu, ultimate pencapaian saya masih tertumpu pada Adelaide. Bedanya, kalau dengan Mega saya ingin tiduri dia, kalau dengan Adelaide saya mau lebih. Bukan cuma ML, tapi ada sedikit rasa ingin memiliki. Hanya saja saya masih tahu diri waktu itu. Mana mau blasteran sama produk lokal kualitas rendah yang pas dikulum penisnya langsung crot tanpa kendali?

Cukup perkenalan Meganya. Bersambung. Sekarang kembali ke Adelaide yang mendadak sibuk lagi karena ada perubahan desain dekor. Ada undakan di panggung yang dibuat menyerupai bukit. Undakan itu mau dipakai buat adegan berkelahi. Tapi pondasinya kurang kuat jadi roboh pada percobaan pertama. Tim dekor harus membuat ulang dengan bahan yang lebih kuat tapi tetap dalam budget.

Saya jadi jarang bicara lagi sama Adelaide. Saya malah jadi lebih sering ketemu Orgil karena tim lighting tidak perlu kerja kalau dekor belum selesai. Orgil ini hebat, loh. Kalau saya selama hampir 4 bulan baru ML sama 2 orang, Orgil sudah sama setengah lusin. Sedikit lagi dia sudah bisa mencicipi semuanya. Tapi, sama seperti saya, Orgil belum berani ajak Mega ML.

Mega lagi.... Maaf, Mega punya efek induksi sange berlebih buat saya. Jadi suka kepikiran badan dia kadang-kadang kalau lagi bergadang. Pengalaman saya sama dia tidak terlupakan soalnya.

Kembali ke Adelaide, saya masih belum bisa menebak reaksi dia ketika memergoki saya sedang dengan Hana. Sampai suatu ketika, saya kebetulan saya masuk ke ruang ganti dan melihatnya sedang duduk dengan Orgil. Saya menyapa Orgil dan Adelaide, tapi hanya Orgil yang menjawab.

Lalu, Adelaide bangun dan mengambil tangan Orgil. "Yuk, Gil."

"Sekarang?"

"Iya. Keburu gue kerja lagi. Di ruang lighting aja."

Saya terdiam melihat mereka. Anjir, jangan-jangan mereka mau... Tidak mungkin. Kata Adelaide, kan, tidak ada cowok yang selevel di sini sama dia. Masa, sih, dia mau sama Orgil?

Mereka keluar dari ruang ganti. Saya penasaran setengah mati. Kalau benar mereka mau ML, saya tidak ikhlas dunia akhirat. Masa saya disalip Orgil? Kalau sama Bang A saya masih bisa terima. Tapi, ini Orgil.

Tidak rela.

Saya duduk barang lima menit di ruang ganti. Tidak tenang, saya akhirnya keluar. Di panggung, tim dekor sedang beristirahat. Ada 2 orang di pojokan panggung dekat tirai yang sedang saling lumat bibir. Saya tidak perhatikan siapa karena saya melesat melewati kursi penonton menuju ruang lighting.

Pintu ruang lighting tertutup. Tidak ada suara terdengar dari dalam. Kalau benar Orgil sedang ML sama Adelaide, pastilah ada suara. Tapi, siapa tahu kalau mereka masih foreplay. Wong baru lewat lima menit sejak tadi.

Dengan perlahan, saya buka pintu ruang lighting sampai ada celah sedikit. Si kampret Orgil sedang duduk di kursi dekat jendela, punggungnya menghadap pintu. Adelaide duduk di pangkuannya dan mereka sedang ciuman. Badan saya langsung panas. Yang bikin makin kesal adalah saat Adelaide mengambil tangan Orgil dan menaruhnya di dadanya.

Dengan bete, saya pergi ke bawah, kembali ke ruang ganti. Di sana saya diam lama, mengutuk nasib karena Orgil berhasil mendapatkan Adelaide lebih dulu. Buat saya, Adelaide itu eksklusif. Barang kualitas mint yang masih dibungkus dan ada tag harganya. Biarpun dia bilang kalau dia sudah pernah ML, di sini dia belum terjamah. Kecuali sama saya. Cuma saya yang pernah pegang payudaranya, sempat menggesek-gesekkan penis di selangkangannya sampai ejakulasi. Sekarang Orgil yang berhasil buka bungkus Adelaide. Lemas lah ambo malam itu.

Karena kesal, saya memutuskan untuk rebahan di kursi panjang langganan dan memejamkan mata. Tapi saya tidak bisa tidur. Lalu, nasib baik menghampiri. Mega masuk ke ruang ganti dan berganti baju. Saya mengintip sedikit dan menikmati pemandangan. Sebetulnya saya bangun terus duduk terus melihat dia terang-terangan pun tidak akan dimarahi. Tapi karena saya cupu, saya pura-pura tidur saja.

Lalu, ada seorang perempuan yang belum pernah saya lihat masuk ke ruang ganti. Tubuhnya tinggi dan ramping. Dia tidak punya lekukan di badannya. Rata layaknya papan. Payudaranya cuma seiprit, terlebih kalau dia berdiri di samping Mega yang punya payudara yang bisa dipakai memberi ASI untuk sekelurahan. Rambutnya berwarna merah dan diikat ke belakang.

"Sabrina. Tumben dateng," kata Mega.

Catat, nama sebutannya Sabrina.

"Yah, telat gue. Udahan ganti bajunya?"

"Kenapa? Mau lihat?"

"Mau jilat."

"Jijik," kata Mega sambil tertawa. "Kirain udah suka cowok."

"Mulai dikit-dikit. Tapi cewek lebih enak, sih."

Catat lagi, Sabrina itu lesbian.
 
12-Threesome

Ingat waktu saya bilang kalau Adelaide adalah makhluk terakhir yang belum terjamah? Saya tarik lagi ucapan itu. Ternyata ada 2 orang. Yang satunya bernama Sabrina.

Sabrina lahir di kota yang sama dengan Teh L dan sudah jadi anggota tetap Teater Underground selama lima tahunan. Hanya saja dia sering pergi-pergi keliling Indonesia dan dunia, jadi dia jarang datang. Kali ini, dia baru pulang dari Vietnam dan memutuskan untuk membantu pertunjukan.

Kenapa Sabrina belum pernah terjamah? Karena dia lesbian. Atau mantan. Menurut Mega yang saya ajak ngobrol waktu itu, Sabrina mulai coba-coba suka sama cowok. Walaupun ketertarikan utamanya tetap pada wanita.

Lalu saya ingat soal Adelaide dan Orgil. Adelaide sudah terjamah jadi hanya Sabrinalah barang berkondisi mint di teater itu.

Kalau ingat Adelaide saya langsung bete biasanya. Tetap tidak terima kalau Orgil dapat dia duluan. Suatu hari, saya duduk di ruang ganti sambil manyun. Lalu Teh L masuk dan bertanya ada apa dengan saya.

"Bete aja."

"Masa bete? Gara-gara diemut Hana langsung bocor ya?" kata Teh L sambil tertawa.

"Mbak Hana cerita?"

"Iyalah. Cewek-cewek di sini mah saling cerita semua."

"Oh, iya. Teteh yang bilang ke Hana soal saya masih amatir, ya?"

Teh L mengiyakan. Katanya, alasan kenapa tidak ada anggota cewek yang pernah ajak saya ML selain Teh L adalah karena berita saya tidak jago ML telah meluas di antara kaum hawa.

"Harus lebih banyak latihan."

"Teteh mau ML sekarang?"

"Enggak mood, ah."

Sama, sih. Saya juga sedang tidak mood. Kata saya dalam hati.

Hari-hari berikutnya tidak keruan buat saya. Tiap kali saya ketemu Adelaide, saya bawaannya sedih dan kecewa. Kayak habis ditolak atau diputusin. Padahal mah saya tidak ada hubungan apa pun sama dia.

Tapi kalau lihat Orgil, bawaannya pengin siksa dia pakai gunting kuku biar menderita sebelum matinya lama.

Entah kenapa, saya dan Adelaide jadi saling tidak bicara. Bahkan tegur sapa pun tidak. Kami, secara naluriah, menjauhi satu sama lain. Kalau duduk memilih kursi yang berjauhan, kalau menginap tidur di ruangan yang berbeda. Pokoknya persis seperti jaman Perang Dingin.

Tapi, otak saya selama itu tetap dipenuhi angan-angan soal Adelaide. Saya mau dia. Itu simplenya. Rumitnya, saya sepertinya suka sama dia - seperti cowok normal lainnya ketika punya teman blasteran bule dan tahu kalau dia bisa "dipake" - dan saya mau kalau Adelaide cuma ML sama saya, selalu sama saya. Intinya saya sudah kayak orang yang posesif, deh. Sakit. Tidak sehat. Udur, kalau bahasa Sundanya. Something's wrong with me.

Sewaktu saya sedang bete-betenya, saya makan di warung belakang teater. Ketika makanan saya hampir habis, datanglah Sabrina. Dia duduk di depan saya terus memperkenalkan diri.

"Lu anak Underground, kan? Gue Sabrina."

Saya menyebutkan nama saya dan Sabrina nyengir lebar. "Oh. Ini yang disebut amatir sama anak-anak."

Fix, bete saya bertambah dibilang begitu.

"Jangan ngambek, dong."

Dimulai dari situ, kami mulai berbincang banyak. Berhari-hari kemudian kami jadi lebih banyak ngobrol dan saya sempat lupa sama Adelaide.

Sabrina ternyata dekat dengan Mega. Kami bertiga jadi lebih sering ngobrol dan makan bareng. Sampai suatu ketika saya keceplosan cerita soal Adelaide dan rencana saya untuk membuat dia cemburu yang gagal.

Sabrina dan Mega tertawa bahagia mendengarnya. Lalu, ini entah nasib saya yang kelewat mujur atau kita semua itu hidup di dunia Matrix yang semuanya palsu, datanglah usulan yang mengubah hidup saya dari Sabrina.

"Kurang ekstrim kalau cuma gitu doang caranya. ML sama Hana mah enggak akan ngefek. Wong dia rata depan belakang," kata Sabrina. Ini orang enggak punya kaca kayaknya, pikir saya.

"Buat cewek macam Adelaide, ML itu bukan hal besar. Lu harus usaha lebih besar lagi."

"Kayak gimana?"

"Threesome."

Saya hampir hilang ingatan dibuat Sabrina dengan hantaman kata-kata itu. "Gila."

"Enggak gila. Kalau Adelaide belum pernah threesome pasti dia kesel, deh. Jamin."

"Iya, sih, tapi sama siapa?"

"Sama gue. Mega juga mau pasti."

Dengar begitu saja penis saya langsung push up. "Mau, Mbak?"

Mega senyum. "Mau. Tapi janji."

"Apa?"

"Habis itu kamu harus beraniin diri buat nembak Adelaide."

"Lah, kok?"

"Soalnya gue yakin Adelaide juga suka sama lu."

Kalau ada bom nuklir yang meledak di samping saya, saya pasti tidak menyadarinya. Karena seluruh indera saya sibuk mencerna kata-kata Sabrina dan Mega. Threesome dan suka. Saya akan melakukan threesome dan Adelaide suka sama saya.

Kalau ini bukan keberuntungan, lalu apa, dong, namanya?
 
13-Surga Dunia

Mujur memang tidak bisa kelewatan. Walaupun sudah ditawarkan buat threesome, kegiatan itu tidak pernah terjadi hingga berbulan-bulan.

Sabrina jarang datang ke teater dan Mega juga sibuk dengan latihannya. Sialnya, saya juga jadi sibuk karena disuruh jadi pengganti pemain yang kecelakaan motor. Jari kakinya patah jadi dia tidak bisa berjalan. Perannya lebih mudah daripada peran saya dan Teh L. Yaitu jadi penjahat yang kena tembak tepat setelah masuk panggung. Tantangannya adalah harus pura-pura mati selama 5 menit.

Kesibukan itu berlanjut hingga bulan keenam. Semakin dekat dengan waktu pertunjukan, semua semakin sibuk. Saya yang sudah sangat lama tidak bicara dengan Adelaide, dapat kesempatan pada suatu hari di waktu break latihan. Adelaide datang menghampiri sambil membawa sebotol air mineral.

"Makasih."

"Pura-pura mati doang capek, ya?"

"Ya, kalau adegannya diulang 200 kali capek. Harus tahan napas pula."

Adelaide tertawa. Lumayan, sudah lama tidak dengar dia tertawa.

Kemudian Adelaide menunjuk Sabrina yang sedang membantu Bang A mengarahkan akting.

"Cewek yang rambut merah itu lesbian, loh. Tahu enggak?"

"Tahu."

"Gue enggak tahu apa enaknya sama cewek."

"Karena belum nyoba kali."

"Emang lu mau sama cowok?"

Saya bergidik ditanya begitu.

Adelaide kemudian dipanggil timnya untuk bekerja. Setelah ditinggal sendiri, saya melihat botol yang diberi Adelaide. Hati kecil saya mulai mempercayai kalau Adelaide sebenarnya suka pada saya. Walaupun logika saya masih menyangkal.

Lalu, Teh L menghampiri saya. Dia duduk di samping sambil tersenyum.

"Edan lah kamu. Belum mahir one on one udah mau threesome."

Air muncrat dari mulut saya.

"Sabrina sama Mega bilang ke aku. Hari ini kamu nginep, ya. Si Adelaide juga nginep soalnya. Nanti threesomenya di m****a."

Semuanya terlalu mendadak. Saya tidak siap untuk threesome malam itu juga. Yang lebih ngeri adalah tempatnya.

"Enggak! Masa di m****a? Nanti kualat."

"Ya, kan, harus luas. Masa di ruang ganti yang penuh property?"

"Jangaaan."

Teh L berpikir. "Ya, udah. Di backstage. Oke?"

Saya mengangguk.

"Kenapa Teteh yang bilang? Kirain yang tahu cuma Mbak Sabrina sama Mbak Mega."

"Kata mereka aku mentor kamu. Jadi aku disuruh ikut. Jam sepuluh, ya. Mega harus pulang jam sebelas soalnya. Nanti yang giring Adelaide ke backstage biar aku."

Saya cuma bisa diam. Memikirkan apa yang akan saya lakukan nanti saja burung saya sudah menegang.

"Oh, iya. Jangan buru-buru keluar. Usahakan lama, ya."

Dibilang begitu, burung saya ciut lagi karena percaya diri rendah.

Jam sepuluh akhirnya datang. Saya sudah standby duluan di backstage dengan penis yang berdiri sangat, sangat tegak. Dan waktu itu Sabrina dan Mega belum datang. Apa kabar kalau threesome dimulai? Yang saya takutkan adalah saya bakal muncrat pas dipegang sama dua cewek sekaligus.

Ketika Sabrina dan Mega datang, mereka duduk di kiri dan kanan saya. Keduanya juga tampak sedikit canggung.

"Sori, Mbak. Tanya sedikit yang agak pribadi boleh?" kata saya pada Sabrina. "Bukannya Mbak suka perempuan, ya?"

"Iya, sih, tapi ini menarik. Belum pernah threesome sama cowok soalnya."

Berarti sama perempuan sudah, dong? Jerit saya dalam hati.

Ternyata ini juga kali pertama buat Mega dalam hal threesome. Sebagai tahap awal persiapan dan ice breaking, kami bertiga buka baju dulu, copot semua.

Jantung saya mau copot rasanya ketika melihat badan telanjang Mega. Perutnya memang buncit, tapi mulus luar biasa. Payudaranya besar dan menggairahkan. Saya pikir Mega kegemukan, tapi porsi gemuknya ternyata pas. Tidak ada daging atau kulit yang bergelambir.

Saya menengok ke kiri dan melihat badan Sabrina. Tidak spesial. Payudaranya sedikit lebih besar dan kencang dibanding Hana. Sisanya hampir sama.

Napas saya mulai tidak beraturan. Demi dewa dewi Yunani, ini surga dunia.

"Anjir, ternyata masih geli kalo lihat titit berdiri begitu," kata Sabrina sambil terkekeh.

Akhirnya, Mega menyarankan formasi segitiga. Sabrina akan fokus bercinta pada Mega karena geli kalau pegang-pegang saya, Mega yang tidak keberatan diapa-apakan Sabrina akan melakukan hal-hal yang enak pada saya, sementara saya akan meraba-raba seluruh bagian badan Sabrina. Karena ternyata Sabrina cuma geli kalau memegang, tapi tidak masalah kalau dipegang.

Dimulailah threesome yang canggung itu. Di backstage yang berdebu dan remang, saya mulai menciumi tengkuk Sabrina dari belakang. Burung saya yang tegang maksimal menempel ke pantat Sabrina yang hangat. Tangan saya sibuk meraba-raba payudara, perut, dan vagina. Sabrina berciuman dengan Mega. Melihat itu, cairan mulai keluar dari penis saya. Precum. Menatap mereka berciuman saja saya tidak tahan. Saya harus menjauh takut saya ejakulasi dini.

Setelah tenang, saya mendekat lagi. Mega memegang penis saya dan mengelusnya lembut. Mulut Sabrina turun dari bibir Mega ke leher dan payudaranya. Saya segera mencaplok bibir Mega tanpa ragu. Bibir Mega menyambutnya dengan siap dan kami beradu lidah.

Kepala Sabrina berada di perut Mega, dia sedang menjilati kulit mulusnya. Satu tangan saya dan Mega memegang kepala Sabrina, memainkan rambut merahnya. Satu tangan saya yang bebas meremas-remas payudara Mega.

Tanpa disangka, Sabrina memasukkan penis saya ke mulutnya. Saya kaget dan menunduk, hampir menarik penis saya dari mulutnya. Tapi saya bertahan. Tangan Sabrina yang kiri menjelajah payudara Mega, tangan kanan meremas pantat saya, sementara mulutnya mengulum penis saya. Tak lama, dia tersenyum sambil menggeleng.

"Emang enggak suka," katanya.

Mega berlutut dan menarik kepala Sabrina. Mereka berciuman hingga berbaring di lantai. Tangan Sabrina menarik saya untuk ikut turun. Kami bertiga bertumpuk di lantai. Saya menciumi bibir Mega, bibir Sabrina, sementara tangan saya meraba-raba semua bagian tubuh kedua perempuan itu.

Sabrina meremas payudara Mega kuat-kuat dan dia mendesah. Tangan Mega memegang penis saya dan menariknya mendekat.

"Masukin."

Saya menurut. Penis saya masuk tanpa masalah ke vagina Mega. Dia lebih longgar ketimbang Hana, tapi vaginanya bisa menjepit penis saya dan itu rasanya luar biasa.

Baru beberapa kali tusuk, orgasme sudah mendekat. Saya bilang saya sudah mau keluar. Mendengarnya, Sabrina menyambar saya dari belakang, memasukan lidahnya ke mulut saya. Orgasme mundur sedikit karena saya berhenti menggenjot Mega.

Setelah itu Sabrina menyusuri tubuh saya dengan lidahnya. Dada, perut, lalu berpindah ke tubuh Mega yang terlentang. Mereka berciuman dengan penuh tenaga. Saya meraih pantat Sabrina dan meremasnya. Dia suka itu karena dia mendesah keras sekali.

Saya mulai menggenjot lagi. Kali ini cukup lama karena lutut saya yang menopang tubuh terasa lumayan sakit. Mega mendesah nikmat dengan Sabrina yang melumat habis putingnya.

Sabrina berbalik menghadap saya dan menyodorkan payudaranya untuk dihisap. Saya menurut.

Saya mulai tidak tahan. Saya bilang kalau saya siap ejakulasi.

"Jangan keluar di dalem."

"Keluar di gue aja. Di sini," Sabrina menunjuk dadanya.

Saya mencabut penis saya dari vagina Mega, takut kalau sperma saya akan keluar. Tapi ternyata belum. Butuh waktu lumayan lama untuk saya kocok di depan payudara untuk mengeluarkan sperma. Ketika tidak keluar juga, Mega berlutut dan memasukkan penis saya ke mulutnya. Dan duar, ejakulasi ternikmat sepanjang hayat. Sperma meluncur ke mulut Mega.

Saya habis tenaga dan tergeletak tidak berdaya di lantai. Mega sedang terbatuk-batuk menelan sperma saya. Saya merasa tidak enak tapi terlalu lemas buat minta maaf.

"Bilang, dong, kalau mau keluar," kata Mega kesal.

"Saya enggak tahu kalau mau keluar."

Mega menepuk dada saya yang berkeringat lalu memakai baju. Dia mau pamit pulang tapi ditahan Sabrina.

"Gue belum beres, loh," katanya.

"Nanti lagi, ah. Rasa sperma lidah gue."

Dan Mega pergi. Saya dan Sabrina tinggal lebih lama sebelum berpakaian dan berjalan keluar dari backstage.

Di kursi penonton ada Teh L yang tersenyum. Barulah saya ingat tujuan sebenarnya saya threesome. Adelaide.

"Gimana?" tanya Sabrina.

"Besok, kamu ajak Adelaide ngobrol, makan, terus tembak. Kamu bakal punya pacar bule."
 
14-Bergadang

Sebelum diteruskan, saya mau minta maaf karena kisah ML saya sama anggota teater berhenti di Sabrina dan Mega karena alasan yang akan saya ceritakan. Jadi kisah-kisah ML akan berhenti dulu. Semoga masih betah bacanya

Oke, continue.

Keesokan hari setelah threesome yang menggelegar itu, saya mencoba menghubungi Adelaide lewat HP. Di kampus, ketika sedang menunggu kuliah, saya menelepon Adelaide tapi tidak diangkat. Tiga kali saya coba di waktu yang berbeda-beda, Adelaide tetap tidak bisa dihubungi.

Malamnya, hujan turun lebat sekali ketika saya tiba di teater. Banyak orang yang datang terlambat termasuk Adelaide. Kalau biasanya saya horny melihat badan Adelaide yang montok, hari itu tidak. Kata-kata Teh L soal saya yang harus tembak dia bikin saya gugup. Lagipula, ada kemungkinan kalau dia memang suka sama saya, dia akan marah setelah melihat kejadian kemarin.

Makin hari kami makin disibukan dengan pertunjukan teater yang tinggal hitungan hari. Saya sibuk latihan dan Adelaide sibuk memastikan tidak ada property yang kurang atau rusak.

Antara kuliah dan teater yang makin makan waktu, saya sama sekali tidak bisa mencari kesempatan buat berduaan dengan Adelaide. Sampai akhirnya tibalah hari pertunjukan.

Hari itu jatuh di hari Sabtu dan kursi penonton terjual habis. Kami tampil selama 2 hari dan pertunjukan kami sukses besar.

Di hari kedua, Bang A memesan makanan dari 3 restoran untuk menraktir semua yang terlibat di pertunjukan. Dia juga menyiapkan beberapa krat bir dan beberapa botol champagne sebagai perayaan. Saya tidak minum alkohol jadi saya mengisi gelas besar dengan soda.

Setelah suasana riuh selesai dan orang-orang mulai membubarkan diri, saya melihat Adelaide sedang duduk seorang diri. Saya menghampiri dan menyapanya. Dia bilang sedang menunggu kakaknya jemput. Kami bicara sebentar tapi Adelaide seperti sedang tidak dalam mood yang bagus. Padahal tadi dia senang, kenapa sekarang murung sampai terus menunduk dan tidak mau lihat saya?

"Sakit?" tanya saya.

"Enggak. Kakak gue udah nyampe. Duluan."

Adelaide berjalan ke pintu keluar. Matilah, saya belum sempat mengonfirmasi soal threesome dan apa dia punya perasaan suka sama saya. Tapi saya takut mau bertanya, takut kepedean. Tapi Teh L bilang kalau Adelaide bete sebete-betenya bete waktu lihat saya threesome. Berarti dia cemburu. Kalau cemburu berarti suka.

Saya sempat berpikir buat bicara ini lain waktu. Tapi karena pertunjukan sudah selesai, tidak akan ada lagi latihan untuk sementara waktu. Adelaide mungkin tidak akan datang ke teater sesering sekarang. Pokoknya otak saya mikir keras.

Setelah bingung harus bagaimana, akhirnya saya tahan Adelaide.

"Eh, bentar, dong," kata saya. Adelaide berhenti sebentar. "Mau ngomong dikit."

"Apa?"

"Lu jomblo, kan?"

Adelaide diam lamaa sekali. "Kenapa emang?"

"Kalau jomblo, gue pengin jadi...," kata pacar susah banget keluar dari mulut. Tapi saya harus paksakan. Masalahnya, saya grogi luar biasa. Groginya mengalahkan grogi waktu saya pertama kali ML sama Teh L. Waktu keberanian saya terkumpul dan siap bicara, saya ciut lagi. Adelaide menangis.

"Lah, lah. Kenapa?" tanya saya.

"Tai, lu. Gue duluan."

Habis itu Adelaide pergi. Saya diam bingung dibuatnya. Berpikir saya ada salah apa padanya. Oh, iya. Threesome. Berarti benar dia punya feeling sama saya.

Selama tiga hari ke depan, saya datang ke teater setelah kuliah. Tapi Adelaide tidak ada. Dihubungi pakai HP juga tidak diangkat. Makin bingung saya dibuatnya. Waktu saya curhat ke Teh L, dia bilang mungkin Adelaide kecewa banget sama saya yang threesome, jadi dia marah. Saya marah pada Teh L yang membiarkan saya ikut threesome sama Sabrina dan Mega. Eh, Teh L jadi lebih marah sama saya karena saya juga mau. Habis itu kami baikan dan makan malam bersama.

Hampir seminggu Adelaide tidak kelihatan dan di waktu itu, saya dapat dampratan keras dari ortu. Gara-gara ikut teater itu, IPK saya turun dan saya dipaksa buat keluar. Akhirnya, satu hari di hari Sabtu, saya datang ke teater buat ketemu Bang A dan bilang mau keluar. Ternyata ada Adelaide di sana. Pembicaraan dengan Bang A harus ditunda. Saya mesti ngobrol dengan Adelaide.

Adelaide akhirnya mau diajak bicara. Awalnya saya tanya kabar. Terus saya tanya kenapa dia menangis terakhir kami bertemu. Adelaide tidak menjawab. Dia malah mengambil buku bersampul kulit dan dia kasih ke saya.

"Jangan dibuka di sini. Baca di rumah. Pas lagi enggak ada siapa-siapa," katanya. Dia membuat saya berjanji dan akhirnya saya menurut.

Setelah urusan saya dengan Bang A selesai, saya buru-buru masuk kamar dan membuka buku Adelaide. Buku itu adalah 1 dari 5 diary yang akan dititipkan pada saya.

Saya baca halaman pertama. Adelaide yang sudah berumir 19 tahun itu ternyata masih kekanakan. Dia memperlakukan diary-nya semacam buku itu adalah temannya. Buku itu diajak bicara seperti manusia.

"Dear, Diary.

Gila, hari ini hujan gede banget. Kalo terus begini bisa hipotermia gue. Lu juga basah soalnya gue taro di depan tas ya. Soriii."

Itu kutipan langsung dari buku diary Adelaide.

Beberapa halaman ke depan tidak ada yang menarik sampai kira-kira tengah halaman. Di situ ada nama saya dan saya membacanya pelan-pelan.

Pertama, dia bilang bersyukur ketemu saya yang tampak seperti orang baik-baik di kumpulan manusia penggila seks. Lalu, dia kecewa karena ternyata saya pegang-pegang dia ketika tidur. Adelaide tahu dan ternyata tidak selalu tidur ketika saya grepe-grepe dia. Tapi Adelaide membiarkannya karena dia juga suka dipegang-pegang.

Lalu, Adelaide menceritakan soal pengalaman ML saya yang pertama dengan Teh L. Dia tahu dan melihat semuanya. Dia bete luar biasa. Adelaide merasa kalau saya sudah terbawa suasana teater yang bejat.

Ada satu kutipan yang buat saya tercengan agak lama.

"Habis dia ML sama Teh L, dia masih sempet pegang-pegang gue. Bahkan. Bahkan, loh, Diary, dia gesek-gesekin kelaminnya sampe keluar di celana gue. Tapi gue biarin. Gue sebetulnya sirik. Kenapa dia harus sama Teh L? Padahal kalo dia ngajak gue, gue mau. Cuma kenapa malah yang lain yang ngajak gue? Kenapa dia engga pernah?"

Itu bikin saya tidak bisa tidur semalaman. Lalu Adelaide bercerita soal memergoki saya hampir ML dengan Hana. Hingga akhirnya ke tragedi threesome.

"Oke, gue udah enggak tahan. Terserah dia mau ngapain. Mau mati juga gue biarin. Peduli setan. Ternyata bukan cowo baik-baik. Enggak ada beda sama penggila seks lainnya.

Harusnya gue gak pernah berharap sama anggota teater. Semuanya sama. Tapi kenapa kok gue cemburu banget dan rasa suka ini enggak ilang? Tiap liat dia jadi suka lagi, pengen coba ajak bicara lagi. Cuma kesel kalo inget dia sama cewe-cewe lain. Au ah pusing"

Oke, fix. Adelaide suka sama saya. Hati saya meledak bahagia. Saking bahagianya saya bergadang sampai pagi.

Besoknya saya coba hubungi Adelaide dan diangkat. Saya bilang saya mau ketemu dan dia bilang datang saja ke rumah.

Siang hari, saya datang ke rumah Adelaide. Rumahnya cuma satu lantai tapi cukup luas. Dia orang berada.

Waktu dia keluar dari rumah, saya cuma senyum sambil menunjukkan diary dia.

"Saya mau balikin ini."

Adelaide suruh saya masuk sampai ke ruang tamu. Dia ke belakang dan membawakan air putih. Kami diam-diaman lama.

"Sudah baca?"

Saya mengangguk.

"Terus?"

Saya minum air dulu baru bicara. "Sori ya gue ga tau kalo lu sebenernya suka sama gue."

"Gue ga pernah bilang."

"Bilangnya mesti lewat buku?"

"Soalnya lebih gampang kalo lu baca aja. Gengsi kalo ngomong. Dan kalo boleh jujur, gua masih sebel sama lu."

"Iya, maaf."

Entah kenapa saya malah minta maaf. Padahal saya tidak punya salah sama Adelaide.

"Terus gimana?" tanya saya.

"Enggak tahu."

"Mau pacaran aja?"

"Asal lu enggak ML lagi sama orang lain."

Kalau sudah punya cewek macam Adelaide, yang walaupun tidak cantik Indonesia tapi montok seksi dan turunan bule, siapa yang mau ML sama produk lokal? Saya sombong waktu itu.

"Janji."

Adelaide senyum dan kami jadian. Kami ngobrol sebentar. Terus saya pamit pulang. Sebelum pulang, Adelaide suruh saya tunggu dulu di depan pintu. Dia masuk ke dalam rumah terus kembali pada saya. Adelaide mencium bibir saya terus tertawa.

"Udah lama pengen cium. Barusan cek dulu orang rumah lagi pada ngapain," katanya.

Saya cium bibir Adelaide terus pulang.

Itulah awal saya punya pacar blasteran bule. Lumayan, kan, buat anak cupu kayak sayaaa? Ada yang sirik kah saya punya pacar bule hehe.

Bersambung, ini baru diary jilid 1. Masih ada terusannya.
 
Menanti sambungan Adelin...semoga aman sama wife nya hu
 
Anjaaay .. mau dong punya cewek bule jugaa .. tp tetep nt keduluan si orgil .. hahaha
 
Ijin nyimak suhu..
Sekedar saran, mungkin suhu bisa buat index biar memudahkan pembaca lainnya
 
aslii kereen ceritanyaaa :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd