Rasanya pengen cepet-cepet ke inti cerita. Tapi masih jauh.
Rumah Leluhur
Rumah Leluhur
Pov Rian
Triit triit triiit...
Terasa Hp ku bergetar dari dalam saku celana. Lalu aku lihat. Nampak ada 1 sms dari nomor baru.
"Rian.. ini Ibu Ria. Rian nanti pulang sama Ibu yaa. Ibu mau ke rumah Rian, mau ketemu ibunya Rian. Rian tadi bawa kendaraan nggak.?" Owh Buk Ria. Lalu aku balas langsung.
"Rupanya masih ingat Ibu sama Rian yaa.? Rian kirain sudah lupa tadi. Iya Buk, kebetulan Rian belum punya kendaraan. Asik deh bisa numpang sama Buk Ria cantik nanti. Hehe..."
"Hush... siapa yang Rian bilang cantik nih? Ada-ada aja. Nanti bisa Ibu kasih nilai jelek loh kalau masih suka ngerayu gitu. Lagian Ibu ini teman Emakmu tau.. hihiii..."
Hehe... Senang hatiku mendapat SMS dan candaan dari Buk Ria. Ternyata dia tidak lupa sama aku.
Dan soal wali kelas tadi, ternyata Buk Ria bukan wali kelasku. Wali kelasku namanya Pak Amran. Jadi, pertemuan aku dengan Buk Ria waktu di pasar kemarin itu, mungkin hanya kebetulan saja. Kalau sampai dia adalah wali kelasku, mungkin aku akan berpikir kalau itu adalah takdir. Di Drama Korea yang sering aku tonton, biasanya begitu. Kalau ada kebetulan 3 kali, maka itu bukan kebetulan lagi Tapi takdir....
Hehe, ada-ada aja yaa. Nyambungnya ke Drama Korea segala. Tapi memang, kalau seandainya Buk Ria itu wali kelasku, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Karena terlalu banyak kebetulannya
Pertama, dia teman Ibuku. Kedua, dia guruku. Ketiga, dia wali kelasku. Terlalu banyak kan kebetulannya kalau benar terjadi seperti itu.
Skip...
Aku tunggu Buk Ria di depan kantor kepala sekolah. Katanya, dia agak terlambat. Jadi disuruh nunggu dulu. Aku lihat, memang mobilnya masih ada.
"Riaan.." Terdengar olehku ada yang memanggilku dari arah belakang. Setelah itu aku lihat ke belakang. Ternyata Buk Ria.
Nampak dia senyum-senyum, sambil mengangkat dua kantong plastik merah yang ia bawa. Nampaknya dia mau menyuruhku untuk membawakan barang-barangnya tersebut.
"Nanti Ibuk kasih 10 ribu. Hihiii..." Ketawa-ketawa dia.
Aku pun juga ikut tertawa dibuatnya. Teringat kejadian waktu di pasar kemarin.
"Ibuk nih, nggak di pasar, nggak di sekolah, Rian jadi tukang angkaat terus." Omelku. Lalu aku hampiri Buk Ria, kemudian aku ambil kedua kantong yang ia bawa tersebut.
"Kan Rian sendiri yang bilang kalau Rian akan jadi kuli panggul. Kata siapa kemaren begitu tuh..?"
Iya sih, aku yang bilang begitu kemaren. Tapi kan...
"Tapi Rian kan anak kawan Ibuk.." Pura-pura merajuk pula aku sedikit.
"Teruss..."
"Terus apanya Buk?" Tanyaku, aku buat agak jutek sedikit.
"Ya apa hubungannya..? Emang anak kawan Ibuk nggak boleh jadi kuli panggul gitu.?" Dia ngomong begitu nggak kalah juteknya dariku tadi. Sampai tertegun aku melihat gayanya begitu. Cocok sekali sama dia. Apa dia memang orang yang jutek begitu yaa.
"Masa Ibuk tega sih ngeliat anak kawan Ibuk sendiri jadi kuli?"
"Hehe hee..." Ketewa-ketawa aja Buk Ria, sambil berjalan.
Aku juga senyum-senyum melihatnya ketawa-ketawa begitu. Ada rasa bangga bisa membuatnya ketawa.
"Sini Ibuk bawa.. masa bawa gitu aja udah merajuk." Aku tatap dia dengan sengit. Dan dia cuma senyum-senyum aja.
"Udah telat Ibuk Ria cantiik... Udah sampai mobil juga baru dibilangin." Kesal juga aku jadinya. Udah sampai di depan pintu mobil, baru dia ngomong begitu. Mau becanda terus kayaknya dia nih.
Kira-kira 20 menit perjalanan kami untuk sampai ke depan rumahku. Ketika sudah sampai di depan rumahku, Buk Ria nanya,
"Kalian tinggal di sini.?" Tanyanya.
"Iya.. kenapa Buk?" Tanyaku balik.
"Nggak takut kalian tinggal disini?"
"Hehe... nggak tuh. Kayaknya rumah ini memang menunggu kami pulang Buk." Maksudku ingin bercanda. Bukan untuk narsis yaa.
Sebelumnya aku sudah mengira kalau Buk Ria bakal nanya begitu, ketika tau kami tinggal di rumah leluhurku ini. Sebab, sejak aku, Ibu dan Fini kembali ke rumah ini, hampir semua tetangga pernah menanyakan hal yang sama.
"Kalian tinggal di rumah ini..? Serius? Apa kalian nggak apa-apa tinggal di sini? Kan angker..."
Begitu rata-rata pertanyaan warga sekitar ke kami. Namun faktanya, sampai sekarang kami tidak apa-apa. Tidak ada satupun yang menggangu kami sejak kami kembali ke rumah ini. .
Pernah aku bertanya pada warga sekitar, mengapa rumah leluhurku ini disebut-sebut angker? Tanggapan mereka rata-rata sama. Bahwa, rumah leluhurku ini memiliki energi negatif. Dan energi negatif itu membuat siapapun yang masuk ke kawasan rumah kami ini, mereka bakalan sakit-sakitan.
Aku tidak tau apakah kenyataanya benar seperti itu, ataukah hanya kebetulan semata mereka menjadi sakit-sakitan. Namun yang pasti, rumah leluhurku ini sepertinya memang tidak pernah ada orang yang memasukinya.
Waktu aku pertama kali sampai di rumah ini, aku benar-benar dibuat kaget karena melihat keadaannya yang sangat parah. Benar-benar parah. Bukan lagi rumput-rumputan yang membuat rumah megah ini semak, tapi sudah kayu dan ilalang.
Kalau kami tidak kembali, mungkin dalam waktu beberapa tahun lagi, maka rumah dan pekarangan rumah ini betul-betul sudah akan berubah menjadi hutan rimba.
Kata nenek, rumah kami ini sudah ia tinggalkan lebih dari 7 tahun yang lalu. Semenjak itu, tidak ada lagi yang mengurusnya. Bukanya nenek tidak mau mengurusnya, tapi nenek sendiri kondisinya tidak terlalu fit lagi. Ia memiliki riwayat sakit tulang. Dan juga, setiap orang yang ia suruh untuk merawat rumah ini, pasti berakhir sakit-sakitan. Termasuk juga keluarga barunya nenek.
Nenek pernah tinggal di rumah kami ini dengan keluarga barunya. Tapi mereka hanya bertahan satu minggu saja. Karena satu keluarga sudah sakit-sakitan. Kecuali nenek seorang yang tidak sakit. Sehingga nenek dan keluarganya memilih untuk kembali ke rumah lama suami barunya.
"Eh.." tiba-tiba aku teringat Buk Ria kan juga orang asing. Berarti dia juga nggak bisa masuk ke rumah kami dong. Berarti cuma bisa sampai di luar ini aja kalau mau ketemu sama Ibu.
"Kenapa..?" Tanyanya. Nampaknya Buk Ria paham kalau lagi mikirin sesuatu.
"Rumah ini kan cuma kami yang bisa masuk buk. Kalau Ibu masuk, nanti Ibuk bakal sakit juga. Ibuk tau kan rumah kami ini punya energi negatif?" Tanyaku padanya.
"Oowh... nggak apa-apa kok. Ibuk pernah masuk ke sini juga dulu, dan Ibuk nggak apa-apa tuh. Kayaknya rumah ini juga sudah menganggap Ibu sebagai keluarga deh. Hehee... Eh tapi memang benar loh Rian. Ibuk pernah dulu masuk ke rumah ini sama kawan-kawan buat nguji nyali. Setelah itu, kawan-kawan Ibuk sakit semua, tapi Ibuk sendiri nggak apa-apa.." Dengan bangganya Buk Ria bercerita begitu. Aku hanya ngangguk-ngangguk saja sedikit, pura-pura percaya. Tambah senyum sinis.
"Iyaa beneran... e.., Rian nggak percaya yaa.." Dia berusaha meyakinkanku. Hehe...
"Ayo kita masuk, kalau Rian nggak percaya.." Masih tidak terima dia.
Lalu Buk Ria melepas seat beltnya, kemudian turun dari mobil dengan cepat.
"Ayoo.." tantangnya lagi. Ia lambaikan tangannya menyuruhku turun. Lalu aku turun, kemudian mendekati Buk Ria.
"Serius Buk? Sakit teman-teman Ibuk tuh semuanya.?"
"Iya.. Serius. Nggak percaya Rian kalau rumah ini angker yaa.?" Tanyanya.
"Nah itu dia Buk.. Kata orang-orang rumah ini angker. Ada energi negatifnya. Tapi kok kami nggak apa-apa yaa. Nggak pernah liat penampakan apapun juga. Terus kalau orang bilang, mungkin kami ini nggak sakit karena memang kami pemilik asli rumah ini. Jadi energi negatifnya nggak mempan kalau sama kami... Nah pertanyaanya, kenapa energi negatif bisa milih-milih.?" Jelasku dengan percaya diri dan sedikit sok pintar menganalisis.
Aku tuh bukannya nggak percaya sama orang-orang yang bilang kalau rumah ini angker dan sebagainya. Tapi aku tuh realiatis. Aku lebih percaya pada logika dan menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Termasuk hal-hal gaib.
Entah itu hantu lah, energi negatif lah. Aku tidak percaya sama hal-hal yang tidak masuk di logika seperti itu. Itu makanya, meski sudah ada orang yang memberitahu kami tentang situasi rumah ini sejak awal, aku tetap teguh ingin tinggal di rumah ini. Ini rumah leluhur kami.
Dan untuk Ibuku, mungkin karena dia sudah pernah tinggal di rumah ini juga. Jadi ia tidak menolak saat aku ajak tinggal di rumah ini. Dan terbukti, selama ini tidak ada apa-apa.
"Bagus kalau Rian nggak percaya. Tapi, jangan terlalu nggak percaya juga. Nanti kalau Rian kena Santet sama orang gimana?"
"Waduuh janganlah Buuk.." kataku.
"Makanya jangan terlalu nggak percaya.."
Kayaknya Buk Ria tidak suka melihat aku yang terlalu percaya diri.
Tapi aku tuh memang nggak percaya sih sama hal-hal gaib. Karena belum pernah mengalaminya sendiri. Banyak orang cerita tentang hantu, tapi kebanyakan dari mereka juga hanya menceritakan cerita orang. Tidak ada yang melihatnya langsung. Dan kalaupun ada yang mengaku melihatnya langsung, akunya yang nggak percaya sama orang tersebut. Jadi, aku nggak percaya selama belum mengalaminya langsung.
Namun, kalau itu benar-benar ada. Yaa aku takut juga. Seperti Santet kata Buk Ria, aku juga tidak percaya. Tapi, kalau ada orang yang bilang mau mencari dukun untuk menyantetku, yaa aku takut jugalah. Was-was juga kalau itu benar-benar bisa terjadi. Misal kalau lagi tidur. Lalu tanganku tiba-tiba putus, kan nggak lucu.
"Ayok buk masuk kalau berani.." tantangku.
"Berani, ayok.." Buk Ria berjalan langsung mendahuluiku.
Hehehee... Lucu aku melihat tingkahnya Buk Ria tuh. Kayak anak kecil yang tidak suka diremehkan. Tadi, dia senang bercanda. Akting jadi orang jutek, lalu nuduh aku merajuk, kemudian sok perhatian. Sekarang dia tidak mau diremehkan. Dasar tua-tua bocil dia tuh.
Tapi setelah beberapa langkah, Buk Ria berputar lagi melihatku.
"Dimana kalian tinggal?" Pasti dia heran melihat rumah kami yang masih kacau.
"Di belakang..." Kataku mendahuluinnya dan terus berjalan ke arah belakang.
Untuk sementara ini kami tinggal di rumah belakang dulu. Bukan di rumah utama. Sebab, rumah utama ini masih perlu untuk di renovasi.
Rumah utama kami ini ukurannya sangat besar dengan design classic. Hanya satu lantai saja. Nah, dibagian tengah sebelah kirinya itu, ada beberapa loteng yang amblas terkena ujung dari pohon tumbang. Dan itu mengakibatkan platform dibagian itu runtuh, karena tidak kuat menahan air hujan.
Itu yang membuat lantai di dalam rumah utama ini nampak seperti pernah kebanjiran. Ditambah lagi, lantai rumah kami itu hampir seluruhnya terbuat dari papan kayu ala-ala rumah mewah classic begitu. Jadi, kayu-kayunya itu sekarang sudah lapuk, berlumut, bahkah dibeberapa sudut sudah ditumbuhi rumput dan kayu-kayu kecil.
Tapi tidak semuanya juga begitu. Kebanyakan yang rusak itu adalah bagian rumah yang tidak ada pintunya. Seperti ruang tamu, ruang tengah dan ruang-ruang lain sampai ke belakang sana. Sementara untuk bagian-bagian yang pintunya dikunci, seperti kamar-kamar dan ruangan-ruangan lain, semuanya masih utuh. Termasuk perabotan-perabotan di dalamnya juga masih utuh, karena ditutupi oleh kain dan plastik.
Tapi tetap saja, meskipun kamar-kamarnya masih utuh, kami belum bisa tinggal di rumah ini sekarang. Kan aneh jadinya, begitu keluar kamar, lalu tiba-tiba langsung berhadapan dengan suasana yang horor. Kalau siang sih ok ok aja. Kalau malam? Kan takut juga. Apalagi kalau hujan, masuk itu air ke dalam rumah.
Jadi, untuk sementara ini, kami tinggal di rumah belakang dulu. Rumah yang dulunya ditinggali oleh pembantu-pembantu yang bekerja di rumah ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup. Ada dua kamar, dan satu ruang bersama.
Begitu berputar dari sisi samping rumah menuju ke bagian belakang, nampak olehku disana ada Ibu, Nenek dan Fini yang sedang dipangku oleh Nenek, lagi duduk-duduk santai di atas rumput.
"Ibu... ini aku bawa Buk Ria kawan Ibu.." Aku ingin pamer pada Ibu, karena membawa kawannya ke rumah. Kemudian aku perlihatkanlah Buk Ria pakai tangan. Seperti mengatakan, Inilah diaaaa...
Loh... Buk Ria yang ingin aku perlihatkan pada Ibu, rupanya sudah terdiam mematung melihat ke arah Ibu. Lalu aku lihat ke arah Ibu. Rupanya Ibu juga sudah terdiam mematung. Sama ekspresinya.
Wadaw... ada apa ini? Suasananya berubah menjadi mirip seperti pertemuan pertama aku dengan nenek dulu.
Setelah itu, beberapa kali aku bergantian melihat ke arah Ibu dan Buk Ria. Seperti aku sedang di pimpong. Ibu, Buk Ria, Ibu, Buk Ria, Ibu dan Buk Ria lagi. Beberapa kali begitu. Tapi ekspresi mereka tetap sama. Tegang...
"Nenek sama apa kesini tadi...?" Beralih aku menanyai Nenek untuk mengalihkan perhatian.
"Di antar Izul tadi." Kata Nenek. Itu nama sopirnya.
"Kemana dia? Kok nggak ada mobilnya di depan.?"
"Hehe.. mana berani dia masuk kesini Yan Yaan. Izul tuh orangnya penakut. Nunggu di depan aja dia udah takut. Paling dia lagi nyari warung di luar." Jelas Nenek.
"Owh.."
Setelah itu, aku melihat lagi ke Ibu. Kini ekspresinya sudah berubah. Muncungnya sudah mulai bersungut-sungut seperti mau nangis. Lalu, aku lihat ke Buk Ria. Dia nampak seperti orang yang akan marah, atau akan menangis. Aku tidak tau ekspresi seperti itu.
"Kok Ria bisa kenal dengan Rian?" Tanya Nenek ke Buk Ria.
Nampaknya Nenek ini tidak peka sama situasinya. Mereka sedang dalam mode emosional, malah ditanya begitu. Aku tebak, sebentar lagi mereka bakal pelukan, lalu nangis-nangis.
Buk Ria yang ditanya tidak langsung menjawab. Baru setelah beberapa detik kemudian, dia jawab juga.
"Tadi ketemu di sekolah Ma. Tapi sebelumya sudah ketemu juga di pasar. Rian yang ngasih tau kalau dia tinggal di sini.."
"Owh, karena Rian ngasih tau dia tinggal di sini, Ria jadi tau kalau Rian itu anaknya Rosi?" Tanya Nenek lagi.
Aku ingin ketawa melihat Nenek ini terus mengganggu mereka. Padahal dia sudah tau kalau ini pertemuan pertama antara Ibu dan Buk Ria setelah sekian lama. Tapi masih aja ditanyai terus. Kalau dilihat-lihat, wajah Buk Ria agak mirip dengan wajah Ibuku. Baru sadar. Padahal sudah bertemu sejak kemaren.
Eh, apa kemaren itu aku menolong Buk Ria karena kebetulan melihat wajah yang mirip dengan Ibu yaa.
"Iya Mah begitu..."
Hahaa, sepertinya Buk Ria memang lagi malas untuk memberi penjelasan. Jadi asal cepat saja. Cerita aslinya kan tidak begitu.
"Nek.. kok Buk Ria masuk kesini nggak sakit ya Nek?" Maksudku ingin mengalihkan perhatian Nenek dan memberi Ibu dan Buk Ria waktu. Sekaligus aku juga penasaran soal yang satu itu. Kenapa Buk Ria bisa masuk ke rumah kami tanpa sakit seperti orang lain. Padahal dia bukan keluarga.
"Owh itu... Ria tuh juga termasuk keluarga kita. Jadi dia nggak apa-apa masuk ke sini." Jawab Nenek.
"Karena udah akrab gitu Nek?" Nenek ngangguk-ngangguk.
Sepertinya Buk Ria memang kawan akrab Ibuku. Bukan cuma teman akrab biasa saja, tapi teman yang sangat akrab. Sampai-sampai sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Bahkan energi negatif di rumah ini pun tidak menyentuhnya.
Setelah itu, aku pergi masuk ke dalam rumah. Nenek mengikutiku dari belakang.
"Nenek bawain makanan tadi tuh Yaan. Makanlah dulu..." kata Nenek.
Nenek pergi ke meja makan, sementara aku pergi ke kamar mandi, untuk membasuh-basuh. Sebentar saja aku di kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat melihat keadaan di luar. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku intip saja keluar sedikit. Nampak olehku Buk Ria sedang mencubit lengan Ibuku. Hehe, sudah selesai suasana tegangnya ternyata.
"Ini Fini... Fini kenalin ini tante Ria." Ibuku memperkenalkan Fini ke Buk Ria.
Fini hanya diam saja, bergelendot ke tangan Ibuku. Dia memang pemalu. Meski sudah kelas 4 SD, tapi dia masih belum terbiasa dengan orang asing.
Saat suasananya benar-benar sudah cair. Ibu, Fini dan Buk Ria masuk ke dalam rumah. Kemudian kami makan bersama dengan lauk yang dibawa nenek tadi. Sambil bercerita tentang banyak hal.