Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA The Curses

Bimabet
Rasanya pengen cepet-cepet ke inti cerita. Tapi masih jauh.

Rumah Leluhur

Pov Rian
Triit triit triiit...
Terasa Hp ku bergetar dari dalam saku celana. Lalu aku lihat. Nampak ada 1 sms dari nomor baru.
"Rian.. ini Ibu Ria. Rian nanti pulang sama Ibu yaa. Ibu mau ke rumah Rian, mau ketemu ibunya Rian. Rian tadi bawa kendaraan nggak.?" Owh Buk Ria. Lalu aku balas langsung.
"Rupanya masih ingat Ibu sama Rian yaa.? Rian kirain sudah lupa tadi. Iya Buk, kebetulan Rian belum punya kendaraan. Asik deh bisa numpang sama Buk Ria cantik nanti. Hehe..."

"Hush... siapa yang Rian bilang cantik nih? Ada-ada aja. Nanti bisa Ibu kasih nilai jelek loh kalau masih suka ngerayu gitu. Lagian Ibu ini teman Emakmu tau.. hihiii..."
Hehe... Senang hatiku mendapat SMS dan candaan dari Buk Ria. Ternyata dia tidak lupa sama aku.
Dan soal wali kelas tadi, ternyata Buk Ria bukan wali kelasku. Wali kelasku namanya Pak Amran. Jadi, pertemuan aku dengan Buk Ria waktu di pasar kemarin itu, mungkin hanya kebetulan saja. Kalau sampai dia adalah wali kelasku, mungkin aku akan berpikir kalau itu adalah takdir. Di Drama Korea yang sering aku tonton, biasanya begitu. Kalau ada kebetulan 3 kali, maka itu bukan kebetulan lagi Tapi takdir....
Hehe, ada-ada aja yaa. Nyambungnya ke Drama Korea segala. Tapi memang, kalau seandainya Buk Ria itu wali kelasku, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Karena terlalu banyak kebetulannya
Pertama, dia teman Ibuku. Kedua, dia guruku. Ketiga, dia wali kelasku. Terlalu banyak kan kebetulannya kalau benar terjadi seperti itu.

Skip...
Aku tunggu Buk Ria di depan kantor kepala sekolah. Katanya, dia agak terlambat. Jadi disuruh nunggu dulu. Aku lihat, memang mobilnya masih ada.
"Riaan.." Terdengar olehku ada yang memanggilku dari arah belakang. Setelah itu aku lihat ke belakang. Ternyata Buk Ria.
Nampak dia senyum-senyum, sambil mengangkat dua kantong plastik merah yang ia bawa. Nampaknya dia mau menyuruhku untuk membawakan barang-barangnya tersebut.
"Nanti Ibuk kasih 10 ribu. Hihiii..." Ketawa-ketawa dia.
Aku pun juga ikut tertawa dibuatnya. Teringat kejadian waktu di pasar kemarin.
"Ibuk nih, nggak di pasar, nggak di sekolah, Rian jadi tukang angkaat terus." Omelku. Lalu aku hampiri Buk Ria, kemudian aku ambil kedua kantong yang ia bawa tersebut.
"Kan Rian sendiri yang bilang kalau Rian akan jadi kuli panggul. Kata siapa kemaren begitu tuh..?"
Iya sih, aku yang bilang begitu kemaren. Tapi kan...
"Tapi Rian kan anak kawan Ibuk.." Pura-pura merajuk pula aku sedikit.
"Teruss..."
"Terus apanya Buk?" Tanyaku, aku buat agak jutek sedikit.
"Ya apa hubungannya..? Emang anak kawan Ibuk nggak boleh jadi kuli panggul gitu.?" Dia ngomong begitu nggak kalah juteknya dariku tadi. Sampai tertegun aku melihat gayanya begitu. Cocok sekali sama dia. Apa dia memang orang yang jutek begitu yaa.
"Masa Ibuk tega sih ngeliat anak kawan Ibuk sendiri jadi kuli?"
"Hehe hee..." Ketewa-ketawa aja Buk Ria, sambil berjalan.
Aku juga senyum-senyum melihatnya ketawa-ketawa begitu. Ada rasa bangga bisa membuatnya ketawa.
"Sini Ibuk bawa.. masa bawa gitu aja udah merajuk." Aku tatap dia dengan sengit. Dan dia cuma senyum-senyum aja.
"Udah telat Ibuk Ria cantiik... Udah sampai mobil juga baru dibilangin." Kesal juga aku jadinya. Udah sampai di depan pintu mobil, baru dia ngomong begitu. Mau becanda terus kayaknya dia nih.
Kira-kira 20 menit perjalanan kami untuk sampai ke depan rumahku. Ketika sudah sampai di depan rumahku, Buk Ria nanya,
"Kalian tinggal di sini.?" Tanyanya.
"Iya.. kenapa Buk?" Tanyaku balik.
"Nggak takut kalian tinggal disini?"
"Hehe... nggak tuh. Kayaknya rumah ini memang menunggu kami pulang Buk." Maksudku ingin bercanda. Bukan untuk narsis yaa.
Sebelumnya aku sudah mengira kalau Buk Ria bakal nanya begitu, ketika tau kami tinggal di rumah leluhurku ini. Sebab, sejak aku, Ibu dan Fini kembali ke rumah ini, hampir semua tetangga pernah menanyakan hal yang sama.
"Kalian tinggal di rumah ini..? Serius? Apa kalian nggak apa-apa tinggal di sini? Kan angker..."
Begitu rata-rata pertanyaan warga sekitar ke kami. Namun faktanya, sampai sekarang kami tidak apa-apa. Tidak ada satupun yang menggangu kami sejak kami kembali ke rumah ini. .
Pernah aku bertanya pada warga sekitar, mengapa rumah leluhurku ini disebut-sebut angker? Tanggapan mereka rata-rata sama. Bahwa, rumah leluhurku ini memiliki energi negatif. Dan energi negatif itu membuat siapapun yang masuk ke kawasan rumah kami ini, mereka bakalan sakit-sakitan.
Aku tidak tau apakah kenyataanya benar seperti itu, ataukah hanya kebetulan semata mereka menjadi sakit-sakitan. Namun yang pasti, rumah leluhurku ini sepertinya memang tidak pernah ada orang yang memasukinya.
Waktu aku pertama kali sampai di rumah ini, aku benar-benar dibuat kaget karena melihat keadaannya yang sangat parah. Benar-benar parah. Bukan lagi rumput-rumputan yang membuat rumah megah ini semak, tapi sudah kayu dan ilalang.
Kalau kami tidak kembali, mungkin dalam waktu beberapa tahun lagi, maka rumah dan pekarangan rumah ini betul-betul sudah akan berubah menjadi hutan rimba.
Kata nenek, rumah kami ini sudah ia tinggalkan lebih dari 7 tahun yang lalu. Semenjak itu, tidak ada lagi yang mengurusnya. Bukanya nenek tidak mau mengurusnya, tapi nenek sendiri kondisinya tidak terlalu fit lagi. Ia memiliki riwayat sakit tulang. Dan juga, setiap orang yang ia suruh untuk merawat rumah ini, pasti berakhir sakit-sakitan. Termasuk juga keluarga barunya nenek.
Nenek pernah tinggal di rumah kami ini dengan keluarga barunya. Tapi mereka hanya bertahan satu minggu saja. Karena satu keluarga sudah sakit-sakitan. Kecuali nenek seorang yang tidak sakit. Sehingga nenek dan keluarganya memilih untuk kembali ke rumah lama suami barunya.
"Eh.." tiba-tiba aku teringat Buk Ria kan juga orang asing. Berarti dia juga nggak bisa masuk ke rumah kami dong. Berarti cuma bisa sampai di luar ini aja kalau mau ketemu sama Ibu.
"Kenapa..?" Tanyanya. Nampaknya Buk Ria paham kalau lagi mikirin sesuatu.
"Rumah ini kan cuma kami yang bisa masuk buk. Kalau Ibu masuk, nanti Ibuk bakal sakit juga. Ibuk tau kan rumah kami ini punya energi negatif?" Tanyaku padanya.
"Oowh... nggak apa-apa kok. Ibuk pernah masuk ke sini juga dulu, dan Ibuk nggak apa-apa tuh. Kayaknya rumah ini juga sudah menganggap Ibu sebagai keluarga deh. Hehee... Eh tapi memang benar loh Rian. Ibuk pernah dulu masuk ke rumah ini sama kawan-kawan buat nguji nyali. Setelah itu, kawan-kawan Ibuk sakit semua, tapi Ibuk sendiri nggak apa-apa.." Dengan bangganya Buk Ria bercerita begitu. Aku hanya ngangguk-ngangguk saja sedikit, pura-pura percaya. Tambah senyum sinis.
"Iyaa beneran... e.., Rian nggak percaya yaa.." Dia berusaha meyakinkanku. Hehe...
"Ayo kita masuk, kalau Rian nggak percaya.." Masih tidak terima dia.
Lalu Buk Ria melepas seat beltnya, kemudian turun dari mobil dengan cepat.
"Ayoo.." tantangnya lagi. Ia lambaikan tangannya menyuruhku turun. Lalu aku turun, kemudian mendekati Buk Ria.
"Serius Buk? Sakit teman-teman Ibuk tuh semuanya.?"
"Iya.. Serius. Nggak percaya Rian kalau rumah ini angker yaa.?" Tanyanya.
"Nah itu dia Buk.. Kata orang-orang rumah ini angker. Ada energi negatifnya. Tapi kok kami nggak apa-apa yaa. Nggak pernah liat penampakan apapun juga. Terus kalau orang bilang, mungkin kami ini nggak sakit karena memang kami pemilik asli rumah ini. Jadi energi negatifnya nggak mempan kalau sama kami... Nah pertanyaanya, kenapa energi negatif bisa milih-milih.?" Jelasku dengan percaya diri dan sedikit sok pintar menganalisis.
Aku tuh bukannya nggak percaya sama orang-orang yang bilang kalau rumah ini angker dan sebagainya. Tapi aku tuh realiatis. Aku lebih percaya pada logika dan menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Termasuk hal-hal gaib.
Entah itu hantu lah, energi negatif lah. Aku tidak percaya sama hal-hal yang tidak masuk di logika seperti itu. Itu makanya, meski sudah ada orang yang memberitahu kami tentang situasi rumah ini sejak awal, aku tetap teguh ingin tinggal di rumah ini. Ini rumah leluhur kami.
Dan untuk Ibuku, mungkin karena dia sudah pernah tinggal di rumah ini juga. Jadi ia tidak menolak saat aku ajak tinggal di rumah ini. Dan terbukti, selama ini tidak ada apa-apa.
"Bagus kalau Rian nggak percaya. Tapi, jangan terlalu nggak percaya juga. Nanti kalau Rian kena Santet sama orang gimana?"
"Waduuh janganlah Buuk.." kataku.
"Makanya jangan terlalu nggak percaya.."
Kayaknya Buk Ria tidak suka melihat aku yang terlalu percaya diri.
Tapi aku tuh memang nggak percaya sih sama hal-hal gaib. Karena belum pernah mengalaminya sendiri. Banyak orang cerita tentang hantu, tapi kebanyakan dari mereka juga hanya menceritakan cerita orang. Tidak ada yang melihatnya langsung. Dan kalaupun ada yang mengaku melihatnya langsung, akunya yang nggak percaya sama orang tersebut. Jadi, aku nggak percaya selama belum mengalaminya langsung.
Namun, kalau itu benar-benar ada. Yaa aku takut juga. Seperti Santet kata Buk Ria, aku juga tidak percaya. Tapi, kalau ada orang yang bilang mau mencari dukun untuk menyantetku, yaa aku takut jugalah. Was-was juga kalau itu benar-benar bisa terjadi. Misal kalau lagi tidur. Lalu tanganku tiba-tiba putus, kan nggak lucu.
"Ayok buk masuk kalau berani.." tantangku.
"Berani, ayok.." Buk Ria berjalan langsung mendahuluiku.
Hehehee... Lucu aku melihat tingkahnya Buk Ria tuh. Kayak anak kecil yang tidak suka diremehkan. Tadi, dia senang bercanda. Akting jadi orang jutek, lalu nuduh aku merajuk, kemudian sok perhatian. Sekarang dia tidak mau diremehkan. Dasar tua-tua bocil dia tuh.
Tapi setelah beberapa langkah, Buk Ria berputar lagi melihatku.
"Dimana kalian tinggal?" Pasti dia heran melihat rumah kami yang masih kacau.
"Di belakang..." Kataku mendahuluinnya dan terus berjalan ke arah belakang.
Untuk sementara ini kami tinggal di rumah belakang dulu. Bukan di rumah utama. Sebab, rumah utama ini masih perlu untuk di renovasi.
Rumah utama kami ini ukurannya sangat besar dengan design classic. Hanya satu lantai saja. Nah, dibagian tengah sebelah kirinya itu, ada beberapa loteng yang amblas terkena ujung dari pohon tumbang. Dan itu mengakibatkan platform dibagian itu runtuh, karena tidak kuat menahan air hujan.
Itu yang membuat lantai di dalam rumah utama ini nampak seperti pernah kebanjiran. Ditambah lagi, lantai rumah kami itu hampir seluruhnya terbuat dari papan kayu ala-ala rumah mewah classic begitu. Jadi, kayu-kayunya itu sekarang sudah lapuk, berlumut, bahkah dibeberapa sudut sudah ditumbuhi rumput dan kayu-kayu kecil.
Tapi tidak semuanya juga begitu. Kebanyakan yang rusak itu adalah bagian rumah yang tidak ada pintunya. Seperti ruang tamu, ruang tengah dan ruang-ruang lain sampai ke belakang sana. Sementara untuk bagian-bagian yang pintunya dikunci, seperti kamar-kamar dan ruangan-ruangan lain, semuanya masih utuh. Termasuk perabotan-perabotan di dalamnya juga masih utuh, karena ditutupi oleh kain dan plastik.
Tapi tetap saja, meskipun kamar-kamarnya masih utuh, kami belum bisa tinggal di rumah ini sekarang. Kan aneh jadinya, begitu keluar kamar, lalu tiba-tiba langsung berhadapan dengan suasana yang horor. Kalau siang sih ok ok aja. Kalau malam? Kan takut juga. Apalagi kalau hujan, masuk itu air ke dalam rumah.
Jadi, untuk sementara ini, kami tinggal di rumah belakang dulu. Rumah yang dulunya ditinggali oleh pembantu-pembantu yang bekerja di rumah ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup. Ada dua kamar, dan satu ruang bersama.
Begitu berputar dari sisi samping rumah menuju ke bagian belakang, nampak olehku disana ada Ibu, Nenek dan Fini yang sedang dipangku oleh Nenek, lagi duduk-duduk santai di atas rumput.
"Ibu... ini aku bawa Buk Ria kawan Ibu.." Aku ingin pamer pada Ibu, karena membawa kawannya ke rumah. Kemudian aku perlihatkanlah Buk Ria pakai tangan. Seperti mengatakan, Inilah diaaaa...

Loh... Buk Ria yang ingin aku perlihatkan pada Ibu, rupanya sudah terdiam mematung melihat ke arah Ibu. Lalu aku lihat ke arah Ibu. Rupanya Ibu juga sudah terdiam mematung. Sama ekspresinya.
Wadaw... ada apa ini? Suasananya berubah menjadi mirip seperti pertemuan pertama aku dengan nenek dulu.
Setelah itu, beberapa kali aku bergantian melihat ke arah Ibu dan Buk Ria. Seperti aku sedang di pimpong. Ibu, Buk Ria, Ibu, Buk Ria, Ibu dan Buk Ria lagi. Beberapa kali begitu. Tapi ekspresi mereka tetap sama. Tegang...
"Nenek sama apa kesini tadi...?" Beralih aku menanyai Nenek untuk mengalihkan perhatian.
"Di antar Izul tadi." Kata Nenek. Itu nama sopirnya.
"Kemana dia? Kok nggak ada mobilnya di depan.?"
"Hehe.. mana berani dia masuk kesini Yan Yaan. Izul tuh orangnya penakut. Nunggu di depan aja dia udah takut. Paling dia lagi nyari warung di luar." Jelas Nenek.
"Owh.."
Setelah itu, aku melihat lagi ke Ibu. Kini ekspresinya sudah berubah. Muncungnya sudah mulai bersungut-sungut seperti mau nangis. Lalu, aku lihat ke Buk Ria. Dia nampak seperti orang yang akan marah, atau akan menangis. Aku tidak tau ekspresi seperti itu.
"Kok Ria bisa kenal dengan Rian?" Tanya Nenek ke Buk Ria.
Nampaknya Nenek ini tidak peka sama situasinya. Mereka sedang dalam mode emosional, malah ditanya begitu. Aku tebak, sebentar lagi mereka bakal pelukan, lalu nangis-nangis.
Buk Ria yang ditanya tidak langsung menjawab. Baru setelah beberapa detik kemudian, dia jawab juga.
"Tadi ketemu di sekolah Ma. Tapi sebelumya sudah ketemu juga di pasar. Rian yang ngasih tau kalau dia tinggal di sini.."
"Owh, karena Rian ngasih tau dia tinggal di sini, Ria jadi tau kalau Rian itu anaknya Rosi?" Tanya Nenek lagi.
Aku ingin ketawa melihat Nenek ini terus mengganggu mereka. Padahal dia sudah tau kalau ini pertemuan pertama antara Ibu dan Buk Ria setelah sekian lama. Tapi masih aja ditanyai terus. Kalau dilihat-lihat, wajah Buk Ria agak mirip dengan wajah Ibuku. Baru sadar. Padahal sudah bertemu sejak kemaren.
Eh, apa kemaren itu aku menolong Buk Ria karena kebetulan melihat wajah yang mirip dengan Ibu yaa.
"Iya Mah begitu..."
Hahaa, sepertinya Buk Ria memang lagi malas untuk memberi penjelasan. Jadi asal cepat saja. Cerita aslinya kan tidak begitu.
"Nek.. kok Buk Ria masuk kesini nggak sakit ya Nek?" Maksudku ingin mengalihkan perhatian Nenek dan memberi Ibu dan Buk Ria waktu. Sekaligus aku juga penasaran soal yang satu itu. Kenapa Buk Ria bisa masuk ke rumah kami tanpa sakit seperti orang lain. Padahal dia bukan keluarga.
"Owh itu... Ria tuh juga termasuk keluarga kita. Jadi dia nggak apa-apa masuk ke sini." Jawab Nenek.
"Karena udah akrab gitu Nek?" Nenek ngangguk-ngangguk.
Sepertinya Buk Ria memang kawan akrab Ibuku. Bukan cuma teman akrab biasa saja, tapi teman yang sangat akrab. Sampai-sampai sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Bahkan energi negatif di rumah ini pun tidak menyentuhnya.
Setelah itu, aku pergi masuk ke dalam rumah. Nenek mengikutiku dari belakang.
"Nenek bawain makanan tadi tuh Yaan. Makanlah dulu..." kata Nenek.
Nenek pergi ke meja makan, sementara aku pergi ke kamar mandi, untuk membasuh-basuh. Sebentar saja aku di kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat melihat keadaan di luar. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku intip saja keluar sedikit. Nampak olehku Buk Ria sedang mencubit lengan Ibuku. Hehe, sudah selesai suasana tegangnya ternyata.
"Ini Fini... Fini kenalin ini tante Ria." Ibuku memperkenalkan Fini ke Buk Ria.
Fini hanya diam saja, bergelendot ke tangan Ibuku. Dia memang pemalu. Meski sudah kelas 4 SD, tapi dia masih belum terbiasa dengan orang asing.
Saat suasananya benar-benar sudah cair. Ibu, Fini dan Buk Ria masuk ke dalam rumah. Kemudian kami makan bersama dengan lauk yang dibawa nenek tadi. Sambil bercerita tentang banyak hal.​
 
Sengit Andin

Pov Rian


.................

Aku duduk-duduk santai di bahu jembatan dengan kawan-kawan baru yang tinggal di dekat rumahku. Kata mereka, enak nongkrong di jembatan itu kalau sore-sore. Banyak cewek-cewek lewat, untuk cuci mata.
Aku akui, tempatnya memang enak untuk sekedar duduk-duduk sore atau untuk cuci mata. Kalau sekedar duduk-duduk saja, enaknya itu karena ada angin sepoy-sepoy. Kemudian ada juga pemadangan aliran sungai di bawah sana. Dan kalau untuk cuci mata, memang enak juga sih. Karena ada banyak cewek-cewek yang lewat dengan motor. Selain itu, aku suka karena aku bisa menambah kawan-kawan baru.
Kawan-kawanku ini, mereka punya kawan-kawan lain juga yang lewat. Diantara mereka, ada yang berhenti untuk sekedar menyapa, ada yang cuma mengklakson saja. Dan ada juga yang berhenti untuk gabung nongkrong dengan kami. Sehingga, kami yang tadinya cuma berempat, sudah bertambah menjadi 10 orang.
Mereka itu orang-orangnya agak iseng, ketika melihat cewek-cewek yang tidak dikenal lewat dengan penampilan agak seksi.
Cwit cwiiitt.... adeek tunggu abang di rumah yaa...
Wiiiwww.... mantap brooo...
Awalnya cuma begitu saja. Tapi lama-kelamaan, keisengan mereka semakin jadi. Dari yang tadinya cuma Swiiit suiiit doang, setelah itu mulai iseng sengaja berdiri di tengah jalan untuk menyetop cewek-cewek yang lewat, untuk diajak kenalan.
Ada yang beruntung bisa kenalan dengan cabe-cabean. Tapi ada juga yang apes di caci maki.
Jujur saja, aku tuh sangat suka bergaul dengan kawan-kawan seperti ini. Mereka membuatku banyak tertawa dengan berbagai macam ulahnya. Ketika ada yang awalnya sok-sok an, lalu ujungnya dicaci maki, disitulah kami menertawainya bersama-sama.
"Riaan... kamu ketawa-ketawa aja dari tadi. Coba kamu sekarang." Kata salah satu kawanku itu.
"Ok..." Kataku langsung turun ke gelanggang sok-sok an juga.
"Cara Jawa Broo.." teriakku ngasih tanda metal dengan tiga jari ke kawan-kawanku.
Sebenarnya sih aku tidak punya pengalaman buat ngedeketin cewek sebelumnya. Apalagi dengan cara seperti ini. Tapi aku berusaha untuk Pede dan nekat aja. Karena, dari tadi aku lihat kawan-kawanku itu lebih banyak gagalnya. Jadi yaa, kalaupun aku gagal juga, yaa nggak apa-apa. Dibawa seru aja. Sekalian uji nyali.
Lalu ku perhatikan tergetku selama beberapa waktu, yang kira-kira bisa aku dekati. Sampai akhirnya target itu datang. Ada dua orang cewek cantik berboncengan dengan motor Vario. Lalu aku berjalan ke tengah untuk menyetop mereka.
"Berenti dulu..." kataku sambil melambaikan tangan seperti yang dilakukan kawan-kawanku sebelumnya.
"Wuiihh cantiik brooo..."
"Buktikan broo..."
"Cara Jawaaa..."
Hehe hee... kawan-kawanku berteriak memberi semangat dari pinggir.
Aku perhatikan cewek yang baru saja aku setop itu. Dia nampak seperti agak takut padaku. Disitulah aku ragu, apa aku harus memberinya jalan untuk pergi, atau tetap melanjutkan rencanaku untuk berkenalan?. Tapi karena sudah kepalang tanggung, aku nekat aja.
"Abang nggak jahat deek. Abang cuma mau kenalan aja kok, kalau boleh." Aku usahakan bicara sedatar mungkin, agar dia tidak takut.
"Adeek mau kemana? Kepinggir dulu yuuk sebentar, sebentaaaar aja. Abang cuma mau kenalan aja kok.Siapa tau kita bisa berteman nanti kan.. ya yaa yaaa..." rayuku memohon.
Takut juga aku nyetop cewek di tengah jalan begitu. Was-was melihat orang-orang yang lewat. Kalau yang lewat orang-orang tua, mungkin hanya ditegur saja. Tapi kalau yang lewat pembalab, bisa ditabrak kami.
Akhirnya, dengan sedikit memohon, mau juga cewek itu ke pinggir.
"Ajiiib brooo cara Jawa...."
Hahaaa... asli aku bangga sekali karena berhasil menggiring cewek-cewek itu ke pinggir.
"Haii... mau kemana?" Tanyaku kembali dengan senyum-senyum.
"Mau ke Am...." cewek yang di depan ngasih tau tujuannya.
"Owh... Maaf yaa, maaaf banget. Abang cuma ingin kenalan aja kok. Kalau boleh tau amanya siapa?" Aku ulurkan tangan untuk berkenalan.
Dia tidak langsung menjabat tanganku. Dia senyum-senyum dulu melihat wajahku. Entah dia senyum karena meledekku, atau senyum karena malu-malu. Bodoh amat.. Aku pede aja. Yang penting aku sudah berani sampai pada tahap ini. Ngajak cewek kenalan.
Cup....
"Reni bang.." Dia sambut tanganku.
Duh.. Asli aku bangga sekali bisa membuat dia menyebutkan namanya. Baru pertama kalinya ngajak cewek kenalan, dan dia langsung mau. Itu rasanya luar biasa. Tiba-tiba aku merasa kegantenganku meningkat 10 kali lipat. Apalagi cewek yang bernama Reni ini cukup cantik dan bening juga.
"Ria... an. Njiir... Andiin.." Andin cewek yang di belakang itu.
"Ardii..." Kuulang lagi menyebut namaku.
Entah kenapa di saat terkejut seperti itu, aku memilih untuk tiidak menyebut nama panggilan asliku.
"Adek yang di belakang ini siapa namanya.?" Nekat saja aku menanyai Andin juga. Sudah tanggung. Mudah-mudahan nanti di sekolah dia tidak mengenalku.
Andin tidak memberi respon. Beberapa detik tanganku menggantung begitu untuk mengajak dia kenalan, tapi tidak disambut juga. Pikiranku sudah campur aduk, antara kesal dan takut.
Teringat apa yang dikatakan Iwan kemarin. Dia bilang, "meski jadi teman, jangan bro. Bapaknya mantan Kapolres".
"Ayo Reni..." Andin meminta Reni untuk pergi. Ekspresinya dia waktu meminta Reni pergi itu kayak orang jijik. Bodoh amatlah.
"Duluan yaa baang..." Reni senyum-senyum, lalu menarik gas motornya.
"Hati-hati Renii. Nanti tunggu abang di rumah yaa jam 7." kataku sedikit berteriak menggodanya, sekaligus pamer ke kawan-kawanku. Rumah? Mana aku tau rumahnya dimana.
Wuhuuiii mantaappp broo...
Ada dua kawanku yang langsung loncat-loncat mendekatiku.
"Siapa bro namanya.."
"Reni..." kataku senyum-senyum bangga.
"Yang mana yang Reni Bro.. depan apa belakang.?"
"Yang depan Reni. Yang belakang Andin." Kataku.
"Wauanjiiirr... mantap bro. Ini baru kawanku.." Dirangkul pundakku sama kawan-kawan baruku itu.
Hahaa... Sumpah aku sendiri merasa sangat bangga. Membuatku terus-terusan cengengesan.
Setelah keberhasilanku itu, kawan-kawanku mulai mengadalkanku untuk mengajak cewek-cewek kenalan. Akupun semakin percaya diri.
"Ayoo Yaan. Berdua kita..."
Aku bilang, "Ayoo ajaa...."
Akhirnya ada beberpa cewek yang berhasil aku ajak kenalan hari itu. Meski rata-rata hanya cabe-cabean yang bawa motor bonceng 3. Tapi ada juga sih yang cantik.​
 
Double Date
Pov Rian

Babang,... pemuda yang kini aku kagumi.

Ketertarikanku pada Dining kini sudah berkurang. Ketika melihat dia, jantungku tidak lagi berdebar seperti awal-awal dulu. Mungkin karena jantung dan hatiku kini sudah lebih sadar diri dan menerima kenyataan.
Babang, orang yang kini dan sudah sejak lama ada disamping Dining itu, bukanlah orang yang bisa aku tandingi. Dia adalah pemuda bersahaja. Yang membuatku untuk pertama kalinya mengagumi seorang laki-laki yang masih seumuran.
Aku suka melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Meski sekarang aku tidak perlu lagi melakukannya. Warisan dari kakek sudah cukup untukku bisa hidup senang sampai tua. Tapi tetap saja, aku akan lebih senang lagi jika bisa menghasilkan uang sendiri.
Aku mengagumi orang-orang, apalagi anak muda, yang mampu untuk menghasilkan uang sendiri dalam jumlah yang banyak, tanpa bantuan orang lain. Dan Babang adalah the real contoh ideal, yang aku ingin menjadi seperti dia.
Dia memiliki karakter dan karisma yang kuat pada dirinya sendiri. Dan dia juga hebat dalam banyak hal.
Sampai saat ini, yang aku tahu dia sudah memiliki tiga Ruko yang menjual bahan bangunan, dan satu pelabuhan pasir. Yang semuanya itu ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya sendiri. Tanpa bantuan dari orang tuanya.
Bahkan kata Buk Ria, saat ini saja Babang itu sudah lebih hebat daripada dia dan suaminya yang hanya sama-sama PNS golongan 3. Kata Buk Ria, posisinya saat ini hanya sedikitt lebih beruntung saja daripada PNS golongan 3 lain, karena dia dan suaminya sama-sama mendapatkan warisan yang cukup banyak dari orang tua mereka. Berbeda dengan Babang yang mendapatkan semua yang dia punya saat ini dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Aku memang penasaran dengan sosok Babang ini. Karena itu aku banyak mendengarkan cerita dari orang-orang tentang dia. Dan tentu saja, sumber utama infoku adalah dari Buk Ria sendiri. Yang ternyata adalah tantenya si Babang.
Buk Ria itu adalah adik bungsu dari bapaknya si Babang. Jadi, sama dengan Babang. Buk Ria pun adalah keturunan Raja. Sama juga seperti keluarganya Robi. Bedanya, keluarga Robi itu tidak lagi memilki warisan. Namun soal penghasilan, sama saja.
Dengan Babang itu, aku sudah dua kali berinteraksi. Sekali saat main basket, dan sekali lagi saat mengantar Buk Ria pulang setelah nongkrong di rumahku. Dari dua kali interaksi itu, aku mendapat respon yang baik dari dia. Bahkan dia mengajakku untuk datang ke rukonya jika aku ada waktu.
Meski dia menyampaikan itu dengan nada bercanda, tapi aku merasa kalau itu bukan sekedar basa-basi. Itu seperti ajakan beneran.
...........
Aku ingin memastikan ke Babang, apa dia itu serius membolehkanku untuk main ke Rukonya dia. Karena itu, saat aku melihat dia berjalan dari kelasnya ke arah toilet sendirian, aku berlari segera menyusulnya.
"Abaaang..." Aku memanggilnya Abang Babang. Karena dia lebih tua satu tahun dariku.
Setelah aku panggil, dia menoleh ke arahku. Kemudian, aku susul cepat-cepat.
"Aku ikut Bang..."
"Kemana?" Tanyanya.
"Kemana aja boleh kok hehee"
"Njiir.. aku mau berak.." Katanya nampak sedikit kesal.
Hehe... aku biarkan saja dia sedikit kesal dan mengomel begitu. Dan aku tetap mengikuti arah kemana dia pergi.
"Bang, jadi mau ngajarin aku bisnis nggak..?" Tanyaku sambil jalan.
"Gayamu itu ya sok iya banget. Paling setelah kerja seminggu, juga loyo."
Waktu ngobrol terakhir dengan dia 3 hari yang lalu, aku bilang. "Bang, ajarilah aku bisnis Abang tu ha. Jadi tukang angkat-angkat dulu juga nggak apa-apalah. Yang penting nimba ilmu dulu." Kataku.
"Yaudah, dateng aja ke Ruko di pasar. Nanti aku kasih kerjaan ngangkat-ngangkat barang dulu." Katanya.
Aku pikir dia bercanda mau ngasih aku kerjaan nganngkat-ngangkat gitu yaa. Taunya dia itu serius.
Dia bilang kalau dia dulunya juga jadi tukang angkat dulu di Ruko milik Om nya dia. Disitu dia belajar bagaimana stok-stok barang. Nyari bahan, nyari pelanggan, dan sebagainya. Sampai akhirnya dia buka Ruko sendiri. Karena dia bercerita seperti sungguh-sungguh, aku pun jadi mau. Meski jadi tukang angkat dulu.
Dulu sih aku tukang angkat juga. Tapi cuma jadi tukang angkat tok. Tidak ada ilmunya. Namun kali ini, aku berniat untuk belajar. Aku ingin sukses seperti Babang.
Setelah dari toilet, kami singgah dulu sebentar duduk di depan Mushollah. Aku yang memintanya. Karena aku ingin mendengar pendapat dia tentang ide bisnis yang ingin aku kerjakan
Tapi, belum selesai aku menjelaskan rencanaku, datang dari samping kami Dining dan Andin. Babang menoleh ke mereka senyum-senyum. Aku pun juga ngangguk-ngangguk sedikit menyapa Dining dan Andin yang sudah sampai di depan kami.
"Lagi ngapain Kak?" Tanya Dining ke Babang.
"Enggak ngapa-ngapain. Cuma ngobrol aja dikit sama anak baru nih. Kalian mau ngapain?" Tanya Babang balik.
Posisinya kami masih duduk. Sementara Dining dan Andin berdiri di depan kami. Dining memakai pakaian olahraga sekolah. Dengan baju berwarna putih corak hitam, dan celana training. Bajunya dimasukkan ke dalam, sehingga sedikit menampakkan tonjolannya.
Sementara itu Andin, yang berdiri di samping Dining memakai pakaian putih abu-abu biasa. Namun dia nampak berkelas dengan jam tangan pink yang dia kenakan. Apa itu efek jam tangan atau memang dia dari sononya sudah berkelas, yang jelas dia kelihatan cantik seperti biasa dengan balutan pakaian yang ia pakai.
"Ke toilet.." jawab Dining. Tapi matanya memperhatikan aku. Aku senyum-senyum aja.
"Kalian udah kenal sama Rian belum?" Tanya Babang.
Dining mengangguk. Andin? dia diam saja. Tapi matanya seperti menyelidikku.
"Udah tau sih, tapi belum kenal. Nama kamu Rian kan? Kenalin aku Dining." Dining mengulurkan tangannya.
"Owh iya.. aku Rian." Aku sambut uluran tangan Dining dengan sopan.
Seperti yang orang-orang bilang. Ternyata Dining itu memang orangnya baik hati dan tidak sombong. Buktinya, dia dulu yang ngajak aku kenalan.
"Ini teman aku Andin.." Dining pegang bahu Andin untuk memperkenalkanya padaku.
"Owh iyaa. Aku Rian.." Kuulurkan tangan ke Andin. Tapi dia tidak menyambut tanganku. Dia hanya diam saja dengan muka datar.
"Salaman dong Ndiin..." tegur Dining.
"Andiin.." Andin menyambut tanganku singkat. Lalu segera ia lepas lagi.
"Hihi... maaf yaa Rian. Andin memang gitu orangnya. Nanti kalau udah kenal, dia baik kok.."
"Iya nggak apa-apa.." jawabku singkat.
"Niing... kamu tau nggak, Rian ini cucunya Pak Wagito. Yang rumah di Tar......, yang angker itu loh." Jelas Babang.
Dining nampak berpikir sebentar. "Yang mana nih Kak..?"
"Yang itu loh, rumah angker yang dekat lapangan Bola. Yang ada danau buatannya itu." Jelas Babang lagi.
"Owh... yang dulu sama Kakeknya Kakak?"
"Iya itu Pak Wagito, Kakeknya Rian ini. Nama Ibunya Rosi, temannya Tante Ria."
Aku ngangguk-ngangguk. Sambil mikir juga, kok Babang ini tau banget yaa sama keluarga aku? Apa mungkin dia sudah pernah bertemu Ibuku waktu Ibu main dengan Buk Ria? Lalu cerita-cerita, sama seperti Buk Ria bercerita-cerita denganku? Bisa jadi gitu sih. Soalnya Ibu aku sering banget gaul sama Buk Ria. Dan waktu itu mungkin Ibu bertemu dengan Babang.
Dining memperhatikanku. Nampak dia juga berpikir sama seperti aku. Tapi mungkin yang kami pikirkan berbeda.
"Aku tau Pak Wagito, tapi nggak tau Ibunya Rian. Memangnya kamu tinggal dimana sebelumnya Rian? Kok nggak pernah ngeliat?"
"Hmmm... gitulah Ning." Aku tidak tau mau menjawab apa. Kalau aku ceritakan, nanti malah panjang lebar. Padahal posisi kami lagi nggak enak buat ngobrol. Lagian mereka katanya tadi mau ke toilet.
Aku perhatikan Andin. Dia nampak biasa saja. Datar, tanpa ada ekspresi yang semestinya. Mustinya kan kalau normal, dia bakal penasaran juga. "Siapa itu Pak Wagito?. Rumah angker yang mana?" Tapi nyatanya enggak. Kayaknya Andin ini tipe orang yang tidak peduli dengan orang lain.
Dan sekali lagi, mungkin bener kata orang-orang kalau Andin itu cenderung Ansos dan rada-rada brengsek.
Kalau Ansos banget sih mungkin enggak yaa. Buktinya dia berteman dengan Dining dkk. Kemaren-kemaren itu juga dia berteman dengan Reni, waktu aku stop di jembatan. Kalau sekedar cenderung sih mungkin aja. Semua orang juga ada kecendrungan begitu sih menurut aku.
Tapi kalau brengsek, kayaknya aku setuju sih. Dari sikapnya dia dua kali tidak menyambut tanganku, dan tatapan matanya yang seperti menindas itu, mungkin bisa di analisis berikutnya kalau sifat Andin memang agak brengsek. Atau aku terlalu cepat menyimpulkan?
"Rian, nanti pulang sekolah kamu mau kemana? Kalau nggak kemana-mana, mau ikut kami nggak ke Ampang? Sekalian bisa double date." Jelas Dining mengagetkan.
Kenapa tiba-tiba double date? Aku bingung melihat ke wajah Dining, lalu ke Andin. Andin yang aku lihat juga sepertinya kaget dan bingung, sama sepertiku.
"Haha haa... iya Yaan ikut aja. Biar Andin nanti ada temannya juga." Itu Babang. Dia ikut-ikutan bikin aku dan Andin kaget.
"Apaan sih kalian nih. Ngadu-ngadu kami segala. Enak aja..." Andin marah.
"Hehe hee... biasa aja kali Ndin. Yaa kalau kalian nggak cocok ya nggak apa-apa. Anggap aja kami ngasih kamu teman ngobrol. Cuma teman ngobrol aja. Biar kamu nggak cuma jadi penghalau nyamuk terus." Babang ngomong gitu, ada kesan mengejek Andin.
"Iya Ndiin.. nggak apa-apa yaa biar rame aja. Gimana Yaan."
Aku jadi bingung, kenapa kok kesannya Dining yang kalem ini lebih dominan daripada Andin yang brengsek dan lebih tua darinya ini yaa. Dia nggak nanya lagi bagaimana pendapatnya Andin. Langsung-langsung aja ngajak aku.
Kalau aku sih, ok ok aja. Justru aku senang bisa pergi main sama mereka. Tapi aku nggak enak juga sama Andin kalau dia sampai terpaksa.
"Ok..." jawabku singkat.
Aku tidak mau menebak-nebak isi kepalanya Andin. Biar saja sia sendiri yang memutuskan. Kalau dia tidak suka dan menolak, maka dia bakal ngomong sendiri.
"Gitu doong.. nanti pulang sekolah yaa.." Babang merangkul pundakku. Aku balas anggukan aja. Sambil senyum-senyum ke Andin.
Untuk beberapa saat itu aku lupa tentang siapa Andin. Karena kesannya dia itu tidak terlalu dominan seperti yang dibicarakan orang-orang. Setidaknya di depan Dining dan Babang yaa.
"Yaudah kalian lanjut lagi aja ngobrolnya. Kami ke toilet dulu sebentar. Tungguin yaa." Kata Dining.
Lalu, setelah Dining dan Andin kembali dari toilet. Babang ngajak kami ke kantin.
Entah bagaimana ceritanya, posisi kami sudah seperti orang double date saja. Babang dengan Dining di depan. Sementara aku dengan Andin sedikit di belakag mereka. Berjarak 2 langkah.
Aku dengan Andin tidak bicara apa-apa. Hanya menanggapi Babang dan Dining jika mereka bertanya.
Dari belakang, aku memperhatikan Babang dengan Dining berjalan. Mereka nampak sangat serasi. Babang yang tinggi dan berbadan tegap. Kemudian di sampingnya ada Dining, yang sangat feminim dan seksi.
Dari belakang aku bisa melihat siluet tubuhnya Dining. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran cewek. Langsing, tapi tidak kurus. Pinggangnya kecil. Dan bagian bokongnya membulat geal geol sahdu dengan garis CD nya yang nampak berukuran kecil.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd