Bukan Ketertarikan Biasa
Pov Ria
"Cekrek.."
Duh... kaget...
Buru-buru aku sembunyikan Hp ku dibalik baju. Khawatir orang yang aku potret tau kalau aku diam-diam mengambil gambarnya. Ah untunglah dia tidak bangun.
"Ada-ada aja aku nih. Sempat-sempatnya lupa matiin suara jepretan hp, ketika mau mengambil gambar tak senonoh seperti ini" omelku pada diri sendiri dalam hati.
Lalu, aku setting suara jepretan hp ku menjadi silent.
Cekrek cekrek cekrek..
Bukannya berhenti, malah aku lanjutkan mengambil gambar tak senonoh itu lagi.
Kurasakan jantungku berdebar-debar, bercampur malu, tapi juga ingin, saat melihat pemandangan erotis di depanku.
Ini bukan pertama kali, tapi sudah yang ketiga kalinya aku melakukan ini diam-diam. Tentu saja aku tidak ingin melakukannya. Tapi ketika kembali berhadapan dengan pemandangan ini lagi,aku tidak bisa tidak untuk melihatnya.
Dia, orang yang aku ambil gambarnya diam-diam itu adalah Rian. Anak dari sahabatku sendiri. Bagaimana bisa aku memiliki ketertarikan seperti itu pada Rian, sedangkan dia adalah anak dari Rosi.? Anak Rosi juga berarti anakku kan? Tapi mengapa?
Sungguh tak ber adab pikiran yang aku punya saat pada Rian Memikirkan isi dari celana karetnya yang jelas dan nyeplak begitu. Dia tidak pakai Celana Dalam kali ini. Tidak seperti sebelumnya.
Lekukan kepala dan leher ularnya nampak jelas dan sangat besar.. Ahh... gemetar tanganku. "Sentuh tidak, sentuh tidak... astagaa.. tidak boleh.."
Buru-buru aku berdiri, pergi meninggalkan Rian, Fini dan putriku Vella yang tidur di ruang TV. Yaa lebih baik pergi daripada aku khilaf nanti. Tanganku sudah terlalu gemas ingin menggenggam ularnya Rian. Sungguh tidak pantas jika sampai benar-benar aku seperti itu.
Meski tidak ada yang tahu. Rian pun juga tidak akan tau kalau hanya aku pegang sedikit saja, tapi itu sangat tidak pantas aku lakukan.
Rian itu anakku juga. Selain itu, aku ini adalah seorang guru. Tapi yang lebih tidak pantas lagi mengapa aku tidak boleh memiliki pikiran tidak senonoh seperti itu, adalah fakta bawa aku ini adalah seorang Ibu dari putriku dan juga seorang istri dari Bang Imran suamiku.
"Duh... Rian.. kenapa kamu tidak pakai celana dalam naak..?" Aku tekan kemaluanku sedikit saja karena dia sudah meminta untuk dibelai dari tadi.
Bukan salah Rian, dia tidak salah apa-apa. Dia tidak pakai celana dalam itu malah bagus, karena memang begitu faktanya. Tidur tidak memakai celana dalam itu lebih bagus daripada memakainya. Karenaa... karenaa... aduh pikiranku kemana sih. Kenapa pula harus memikirkan mana yang baik dan mana yang tidak. Yang lebih penting saat ini adalah mengembalikan pikiran warasku
Ehmmm.... Rian memang tidak salah. Aku juga tidak salah. Tidak ada yang salah disini.
Tadi, posisinya aku baru pulang jalan-jalan dengan Rosi dan Mamanya, setelah mengurus pembelian mobil barunya Rosi. Sementara Fini dan Vela kami tinggal di rumah bersama Rian. Karena takut pengurusan pembelian mobilnya lama dan membuat mereka bosan. Lagipula mereka pasti capek, karena baru pulang dari sekolah.
Sekarang Rosi sedang pergi mengantar Mamanya. Setelah tadi kami sempat ngobrol-ngobrol dulu di depan rumah utama, sehabis pulang dari membeli mobil dan jalan-jalan sebentar.
Hanya aku yang langsung ke rumah belakang. Lalu melihat ketiga anakku itu sudah tertidur pulas di depan TV. Fini di kiri paling dalam, Vela yang paling kecil di tengah, dan Rian di sebelah kanan, yang paling dekat dengan pintu. Dan juga yang memperlihatkan pemandangan tak senonoh itu padaku.
Bajunya sudah naik sampai ke pusar. Otomatis aku bisa melihat perut bagian bawahnya yang sedikit ditumbuhi bulu. Sampai di situ saja sudah membuatku geli ingin menyentuhnya. Ditambah lagi pemandangan yang lebih erotis lagi di bagian bawahnya. Dimana dia hanya memakai celana bola berwarna biru yang berbahan lembut, tanpa mengenakan celana dalam lagi.
Jelas sekali kalau Rian tidak mengenakan celana dalamnya. Karena terpampang jelas di depan mataku bentuk ularnya itu. Mulai dari bentuk kepala jamurnya, lehernya, dan batangnya, semuanya nyeplak. Wanita mana yang tidak terusik melihat pemandangan seperti itu.
Owh... sebentar lagi Rosi akan pulang. Apa yang harus aku lakukan? Jangan sampai dia berpikir kalau aku sudah melihat kondisi tak senonoh Rian yang sekarang. Bisa malu sekali aku. Apa aku selimuti saja Rian?
Akhirnya aku putuskan untuk masuk lagi, dengan rencana yang lebih baik. Yaitu menutupi bagian bawah Rian dengan bantal. Jangan sampai Rosi melihat juga posisi Rian yang tidak sopan itu.
Saat sudah berdekatan dengan Rian lagi, aku sedikit menunduk. Kuperhatikan lagi sebentar bentuk ularnya yang berukuran besar itu. Membuatku merasa malu, padahal tidak ada yang melihat.
Bentuknya tidak tegang keras, tapi juga tidak terlalu layu. Dimataku, apa yang aku lihat itu sangat luar biasa menariknya, membuat tanganku gatal sekali ingin memegangnya.
Padahal aku sudah sangat sering melihat ular suamiku. Tapi entah kenapa, melihat punya Rian membuatku sangat gemas dan deg deg degan.
"Riaan..." kupanggil dia. Dia tidak bangun.
Aku lihat dia masih tertidur pulas. Lalu, aku letakkan sedikit saja telapak tanganku di atas ularnya. Hanya sedikit saja.
"Rian, bangun Rian..." kembali kesadaranku datang dengan rencana berbeda. Aku ingin membangunkannya saja.
Riaaan
Riaaan
Riiaaann....
Tiga kali aku goyang tangannya, sampai akhirnya dia bangun juga.
"Buk Ria... udah pulang?" Tanyanya setelah sedikit membuka matanya.
"Udah, mandi lah lagi sana. Udah sore ini. Tidur kok sore-sore sih. Nanti malam nggak bisa tidur loh.. Bangunin Vela sama Fini juga.." kubuat cukup tegas ucapanku. Meski ada rasa sedikit menyesal karena tidak bisa lagi memandangi ularnya. Tapi tetap saja begini lebih baik. Daripada terjadi yang enggak-enggak nantinya.
Rian lalu bangun, kemudian membangunkan Vela anakku. Sementara aku, masuk lebih ke dalam untuk membangunkan Fini.
...........
Tiga hari berikutnya...
Pagi subuh aku terbangun karena mendengar suara ngaji-ngaji dari Tip masjid. Tanda sebentar lagi akan memasuki waktu subuh. Aku lihat jam dinding, ternyata juga sudah jam setengah lima lewat. Itu berarti, tinggal 15 menit lagi waktu sholat subuh akan tiba.
Aku lihat di sebelahku, Rosi masih tertidur. Aku pikir, kalaupun aku bangunkan kawanku yang satu ini, dia tidak akan sholat juga. Karena dia memang seperti itu.
Malam ini aku nginap di rumah Rosi. Sebab, suamiku sedang pergi penataran ke Kota. Daripada di rumah saja kesepian, lebih baik aku nginap saja di rumah Rosi. Jadi ada teman bercerita. Lagipula anakku Vela juga senang sekali bergaul dengan Fini.
Kini posisinya, aku dengan Rosi tidur di ruang TV. Sementara Vela dan Fini tidur di dalam kamar. Tadinya kami juga tidur di kamar bersama anak-anak. Tapi karena kami keasikan ngobrol, takut mengganggu tidurnya putri-putri kami, akhirnya kami pindah saja ke ruang TV untuk melanjutkan obrolan-obrolan kami yang tidak pernah habisnya.
"Ros.. Rosii..." aku goyang perutnya untuk membangunkanya.
Ya, meskipun aku tau dia juga tidak akan sholat. Tapi tetap saja aku ini temannya. Setidaknya aku akan coba mengingatkannya dulu.
Rosi yang aku bangunkan, cuma melihatku dengan mata menyipit. Masih ngantuk dia.
"Rosi bangunlaah... sholat yuuukk.."
"Ehhmmm..." dia menggeliat memanjang.
"Bangunlah... ayok sholat subuh yuukk Ros.."
"Kamu aja..." katanya. Kali ini dia berbalik melawan arahku.
"Ayolah Ros. Sholatlah sekali-sekali. Biar dicontoh juga sama Fini nanti.." Kembali kugoyang-goyang perutnya, masih mencoba untuk mengajaknya.
"Aku lagi Mens Riaa..."
"Mens apanya, minggu kemaren baru mens." Aku tepuk lenganya. Karena dia sudah jelas-jelas berbohong.
"Hmmmm...." Diambilnya bantalku. Lalu dia tutupi kepalanya.
"Dasaar.." Aku tepuk bantal yang ia taro di kepalanya itu. Percuma saja mengajak dia mah.
Setelah tau kalau Rosi tidak akan mau untuk diajak sholat, aku tinggalkan saja dia. Lalu, pergi ke arah belakang untuk mengambil air wudhu...
Saat aku sudah sampai di kamar mandi, sudah mengambil gayung, tiba-tiba aku teringat Rian. Mungkin dia akan berbeda dengan Rosi. Mungkin dia akan mau untuk aku ajak sholat.
Lalu, aku pergi ke kamar Rian yang terletak di antara kamar mandi dan kamar Rosi. Niatku ingin membangunkannya untuk mengajaknya sholat subuh.
Aku intip dari sela pintu kamarnya yang terbuka. Aku lihat Rian sedang tertidur menyamping, dengan salah satu tanganya menyangga kepalanya.
"Nyenyak sekali tidurnya.." gumamku.
Aku tau dia tidur nyenyak, karena dari posisiku saja, aku bisa mendengar suara nafasnya yang menderu. Disitulah aku ragu, apa aku akan tetap mencoba untuk membangunkan dia atau tidak. Akhirnya aku coba saja untuk membangunkannya.
"Riaan..." panggilku lemah.
Agak ragu aku membangunkannya. Kasihan juga. Soalnya dia juga belum lama tidur. Karena tadi malam dia pulang sangat malam, setelah bermain dengan teman-temanya yang preman-preman kampung itu.
Sebenarnya aku tidak suka Rian bergaul dengan anak-anak kampung yang bergaya seperti preman itu. Seperti teman-temanya yang aku lihat beberapa hari yang lalu di warung. Tapi yaa mau bagaimana lagi. Dianya yang mau. Dan Ibunya juga tidak ngelarang.
Persis seperti dugaanku di awal dulu, saat pertama kali bertemu dengan Rian di pasar. Waktu itu aku sudah menduga kalau Rian itu pasti punya banyak teman. Karena dia memang orang yang seperti itu. Auranya seperti orang yang mudah untuk didekati. Dia tidak gengsi, tidak memilih teman, dan dia juga resposif. Itu yang membuatku sejak awal percaya kalau dia itu akan mudah untuk bergaul.
Tapi yaa, nggak kayak sekarang juga sih. Teman-temannya benar-benar sembarangan.
"Hmmm... anak ini yaa. Entah siapalah bapaknya ini.." tiba-tiba pertanyaan itu terlintas dipikiranku.
Sampai sekarang, Rosi belum pernah juga menceritakan tentang siapa bapaknya Rian dan Fini. Tapi aku meyakini, suatu saat nanti dia akan menceritakannya juga padaku. Hmmm...
"Riaan... bangun yuuk sholat subuh..." kutepuk-tepuk lengannya.
"Hmmm..." Rian agak terbangun, sambil menggaruk-garuk lehernya.
"Riaan..." kutepuk sekali lagi lengannya.
"Hmmmm..." dia bergerak sedikit. Lalu posisinya berubah menjadi telentang.
Waaah....
Mataku langsung mengarah ke satu titik. Yaitu ke arah ularnya Rian yang sedang ereksi. Aahhh....
Sejujurnya.... aku sebenarnya sedikit sudah memprediksi bahwa aku akan kembali melihat pamandangan tak senonoh lagi dari Rian. Tapi, aku tetap saja masuk ke kamarnya.
Sudah tau mataku akan kotor lagi, tapi aku masih ingin tetap membangunkannya untuk sholat
Dan yang kali ini yang aku lihat, tidak sama seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini, ular Rian sedang ereksi. Ereksi dengan gagahnya..
Aku tau laki-laki sering berdiri saat tidur menjelang pagi begini. Karena suamiku sering meminta haknya di waktu-waktu seperti itu.
Tapi sekarang bukan punya suamiku yang ereksi, tapi punya Rian.
Aku sadar... sepenuhnya sadar bahwa itu itu tidak boleh. Namun sekali lagi, naluri wanitaku menggelitikku untuk tidak bisa tidak untuk melihatnya. Bahkan aku ingin lebih.
Aku tidak lagi mencoba membangunkan Rian. Aku hanya berdiri mematung memandang ular besar, ah bukan ular, tapi tongkat bambunya Rian.
Semakin aku pandangi, semakin aku ingin lebih. Dari yang tadinya berdiri, sekarang sudah bersimpuh di depan tongkat bambunya Rian.
"Oh tuhaan... besar sekali"
Kurasakan dibawah sana bagian intimku sudah mulai melembab. Ngempot-ngempot meminta untuk disentuh. Cepat sekali gadis dibawah sana bereaksi. Tidak seperti biasanya.
Aku lihat lagi, lagi, dan terus aku perhatikan setiap detil bentuk tongkatnya Rian. Membuatku semakin ingin saja. Tidak puas hanya melihatnya sari luar.
Celana yang di pakai Rian, sama seperti yang ia pakai 3 hari yang lalu. Celana biru dengan bahan lembut.
Meski aku tau dia tidak akan bangun, karena suara nafasnya masih terdengar kasar di telingaku. Tapi tetap saja aku terus-terusan melihat ke arah wajahnya, untuk memastikan bahwa aku aman.
Sungguh malu hatiku melihat pemandangan tak senonoh ini. Tapi aku sangat menyukainya. Ingin aku tempelkan ke pipiku, ke keningku, ke semuanya. Aku ingin mengoleskan seluruh wajahku ke tongkat Rian.
Lalu, kudekatkan hidungku, ahh tercium bau jantan yang sangat kuat. Bukan bau keringat, tapi bau tubuhnya Rian.
Dia benar-benar tumbuh menjadi pejantan yang berhak untuk menyentuh semua wanita yang ada di sekitarnya. Tidak akan ada wanita yang mampu menolak untuk disentuhkan batang kontol Rian...
Ah... pikiranku sudah kotor. Tidak sadar sudah menggungakan kata-kata kotor.
"Kontol.... kontool... kontooolll.. kontol Rian tegaaang." teriakku dalam hati.
Aku lihat lagi wajah Rian sebentar. Dia masih pulas tidur. Lalu kuulurkan tanganku...
Sedikiit sajaa aku ingin melihatnya.
Kemudian, tanganku bergerak maraih ujung celana karet Rian. Untung tidak terlalu rapat karet celananya..
Dugudu gudu gudug....
Aku rasakan jantungku berdebar sangat kuat.
Sedikit ragu untuk melanjutkannya... tapi....
Plookk....
Batang ereksi Rian terbebas dari celananya...
Perasaan cemas, malu, deg-degan, campur aduk kurasakan saat sudah melihat batang kemaluan berurat milik Rian.
Sungguh sangat indah. Maskulin... tubuhku bergetar....
Uhhmmm....
Aku kembalikan lagi karet celananya ke atas. Sedikit aku pegang batang pejal itu untuk memasukkannya kembali ke posisi semula.
Hangat dan denyutnya tidak hilang meski sudah tidak aku pegang lagi.
Segera aku pergi keluar...
Bukan untuk melanjutkan mengambil wudhu, tapi untuk melihat Rosi. Aku ingin memastikan kalau dia masih tidur.
Aku tidak ingin berhenti sampai disini saja... aku ingin kembali ke Rian lagi...
Setelah melihat Rosi masih lelap tidur seperti sebelumnya. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar Rian.
Sangat buru-buru dan tidak sabar aku ingin kembali lagi ke Rian, sampai-sampai kakiku sedikit terbentur ke pintu kamar. Tidak apa-apa. Langsung aku tutup pintu kamar Rian dengan Rapat.
Setelah itu, aku dekati Rian lagi. Jantungku sudah berdebar tidak karuan....
Kemudian dengan sedikit menunduk, langsung saja aku gapai dan aku tarik lagi karet celananya. Sehingga batang pejal gagah itu keluar dari sarangnya, dan memenuhi pandanganku.
Uhhh...
Agak buru-buru, langsung aku pegang batang coklat berurat itu. Kemudian aku usapkan ke wajahku.
Mula-mula aku usap ke pipi dekat mata. Lalu ke mata, ke kening, ke hidung, semuanya. Sehingga tidak ada lagi bagian wajahku yang tidak tersentuh batang nakal itu. Semerbak aromanya merasuki sanubariku. Membuat rasa sayangku membuncah pada padang pejal itu. Aku ingin menyayangi batang itu lebih intim. Ingin aku memeluknya. Ingin aku....
haaapp...
Aku masukkan ujung kepala batang Rian ke mukutku. Terasa lembut permukaannya, hangat, dan keras. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku hanya ingin memanjakannya saja.
Memanjakan batang kemaluan yang memang berhak untuk mendapatkan perlakuan sayang dari semua wanita. Termasuk juga dariku yang seorang istri orang ini.
Ummmuuhh...
Uummmuuaah...
Klookk kloookk klooook.... mppouuaahc...
Aku tidak sabar. Meski aku tau harusnya pelan-pelan saja. Tapi nafsuku menginginkan lebih. Aku ingin menghisapnya dengan kasar, dalam dan rapat.
Kloook klooook kloook kloookkk....
Aku kulum dengan cepat kepala jamurnya. Sesekali aku paksa masuk lebih dalam.
Sambil tanganku juga sudah tanpa sadar mulai mengocok batang pejal Rian...
"Riaaan..."
Ingin aku berkata pada Rian. "Kocoklah Rian.. kocoklah mulut Ibuk. Kalau kamu mau, kamu boleh pegang ini juga..."
Ingin aku berkata begitu padanya. Ingin aku meminta untuk dikasari. Dimiliki dan dipakai oleh Rian sepuasnya dia.
Lalu, aku sedikit berputar. Aku perlihatkan bokongku ke wajah Rian. "Peganglah Rian..Ibuk nggak apa-apa kalau Rian mau pegang.." batinku. Sambil aku teruskan mengulum dan mengocok batangnya.
Sampai basah pipiku, mataku, pipiku, hidungku, semuanya sudah basah. Karena aku usap-usapkan batang Rian yang sudah basah oleh air liurku sendiri ke wajahku.
Cukup lama aku mengocok batang Rian dengan mulut dan tanganku, sampai aku rasakan kepala jamurnya semakin keras dan mengembang di dalam mulutku.
Merasakan itu, semakin aku percepat kocokanku. Aku tau sebentar lagi Rian akan memuncratkan cintanya padaku.
Rasa jijik tidak ada sama sekali. Tidak ada niatku menghentikannya, meski tau Rian akan segera keluar.
Aku memang berniat untuk menghisap habis semua cairan mani yang keluar dari batang kontol Rian..
Uuuhhh uuhhh klook kloook kloook....
Agak terhambat aku rasakan kulumanku, karena kepala kontol Rian semakin membesar.
Kloook kloook kloookkk....
Tapi aku semakin semangat.
Satu tanganku sudah meremas-remas kemaluanku sendiri, yang berteriak-teriak ingin di pakai.
Crooottt croooottt crooootttt.....
Aku rasakan tembakan keras mengenai langit-mulutku.
Ada beberapa kali semprotan, aku tidak mengitungnya..
Setelah tembakan Rian berhenti, aku lepaskan batangnya.
Ploookkk....
Ada merasakan ada rasa ingin muntah karena mulutku dipenuhi oleh maninya Rian. Tapi aku tidak rela membuangnya... langsung aku telan semuanya..
Tangan kananku masih memegang batang Rian yang mulai melunak itu.
Meski sudah mulai melunak, tapi aku masih ingin. Aku kocok lagi pelan-pelan, sambil aku menuntaskan tugasku menelan semua mani Rian.
Masih terasa lengket di mulutku...
Ahh.... batang Rian yang ada ditanganku kembali mengeras...
Lalu, aku cium ujung kepalanya.
Aku masih ingin... nafsuku masih bertumpuk-tumpuk. Terasa berat denyutan kemaluanku di bawah sana.
Dan tiba-tiba...
Kraaaaakkk.......
Pintu terbuka...
Kuasakan tubuhku melayang, ditarik oleh Rosi dengan keras tanpa aba-aba.
Dalam waktu singkat, nafsuku berubah menjadi rasa takut luar biasa.
Di saat-saat seperti itu, tidak henti-hentinya aku menyebut nama sang pencipta. Aku mohon ampuun...
"Guuupp..." bunyi tubuhku di lempar oleh Rosi ke kasur yang tadi kami gelar di ruang TV.
Aku hanya sedikit saja melihat muka Rosi... dia memegang kepalanya dengan tubuh yang bergetar.
Aku.... aku... tidak tau harus apa. Rasa malu luar biasa. Aku tidak mampu untuk melihat Rosi.. Astagaa....
Aku rasakan sesak mendesak ke bagian atas tubuhku... aku tidak bisa bernafas....
Uuhhgg..... bug....
...........
Saat aku membuka mata, aku lihat Rosi sedang menekan-nekan dadaku. Rupanya aku pingsan...
Setelah bangun, Rosi langsung mengusirku dengan kasar. Ia menarikku ke kamar untuk mengambil anakku Vela.
Rosi tidak berbicara keras. Ia hanya berbicara dengan pelan tapi sangat kasar.
Aku mau tidak mau harus mengambil anakku. Lalu pergi dari rumah Rosi.
Aku berlari saking takutnya. Entah takut karena apa. Takut karena Rosi atau takut karena diriku sendiri.. Aku ingin berlari saja. Tapi ada Vela di gendonganku