Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA The Curses

Yendra4

Semprot Kecil
Daftar
6 Nov 2020
Post
54
Like diterima
474
Bimabet
Update berikutnya di halaman 3...
https://v1.semprot.com/threads/the-curses.1431597/page-3

Update berikutnya di halaman 4.....
https://v1.semprot.com/threads/the-curses.1431597/page-4

Update berikutnya di halaman 6
https://v1.semprot.com/threads/the-curses.1431597/page-6

Update beeikutnya di halaman 8
https://v1.semprot.com/threads/the-curses.1431597/page-8

TAKDIR PERTEMUAN


Pov Ria

Siang terik membuat tubuhku kegerahan. Berputar-putar di dalam pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Apalagi gamis yang aku pakai ini berwarna hitam yang menyerap panas. Ulahku sendiri, kemarin sore berberes semua isi rumah sekaligus mencuci semua pakaian. Sehingga hanya Gamis ini saja yang tersisa di dalam lemari pakaian. Padahal sudah tau besoknya hari pasar.
Gamis ini memang jarang sekali aku pakai. Hampir sepanjang tahun hanya nangkring terlipat rapi di dalam lemari. Aku memang malas memakainya, karena tubuhku sensitif sama yang namanya panas. Aku bisa tahan kedinginan, tapi tidak bisa tahan dengan panas. Kalau terlalu panas dan terlalu gerah, aku kadang bisa pingsan.
"Haduuuhh... kenapalah panas sekali tuhaan. Nggak nenggang sekali panasnya..." Keluhku dalam hati berharap tuhan berbaik hati untuk mendinginkan suhu agak sedikit saja.
Kalau terus-terusan begini, aku benar-benar bisa pingsan ini.
"Siang buuk.. ada yang bisa saya bantu? Kayaknya Ibu kelalahan sekali membawa barangnya"
Aaah... leganya.. Itu pasti suara malaikat penolong. Kalau bukan malaikat penolong, terus apalagi? Dari tadi aku panas-panas kegerahan, bolak-balik, tidak ada satupun kuli panggul yang nampak batang hidungnya.
Kini, di depanku ada seorang pemuda berparas tampan, berkulit coklat, sedang menawarkan bantuan. Tentu aku bersyukur. Tapi sungkan juga. Karena sepertinya dia bukan kuli panggul. "Kuli paggul atau bukan yaa?" Aku jadi ragu.
Sebenarnya barang bawaanku tidak terlalu banyak. Cuma ada dua keranjang yang aku tenteng di kiri dan kananku. Ada ikan, cabai, bawang, minyak goreng dan teman-temanya. Tapi kalau digabung semuanya, yaa bisa sampai 10kg juga.
Kalau nentengnya semenit dua menit sih masih mending. Ini sudah hampir satu jam aku menentengnya kemana-mana. Gimana nggak ambrol coba bahu aku. Mana panas teriknya sengit banget lagi. Nggak kira-kira.
"Iyaa deek... bisa tolong bantu bawa ini nggak? Nanti Ibu kasih uang 10 ribu." Reflek aja aku ngomong gitu. Pakai nyebut nominalnya segala lagi, saking butuhnya. Kalau dia bukan kuli dan cuma niat mau menolong saja, kan dia bisa tersinggung.
"Baik buu.. Sini Rian bawain.."
Syukurlah dia tidak tersinggung.
"Owh namanya Rian yaa.." Aku berikan satu keranjang belanjaanku padanya.
"Iya nama saya Rian Buu. Saya masih baru disini. Eh dua-duanya aja Bu, nggak apa-apa Rian bisa kok." Diambilnya keranjangku yang satu lagi dari tanganku. Sehingga tanganku bebas tanpa memegang apapun.
Lega sekali.. Setelah berat-beratan ngangkat dua keranjang, dan sekarang kedua-duanya sudah lepas dari tanganku, itu rasanya lega sekali.
"Oiya Bu.. belanja udah atau masih ada?" Tanyanya lagi.
"Eh, iya masih ada sebenarnya." Aku teringat martabak, makanan yang selalu aku belikan untuk suamiku kala aku pergi ke pasar.
Suamiku sangat menyukai martabak yang di jual di pasar ini. Itu makanan mingguan favoritnya. Setiap dia pulang kerja saat hari pasar begini, pasti yang dia cari itu martabak.
Jadi, membeli martabak itu seperti sudah menjadi hal wajib ketika aku ke pasar. Bisa-bisanya aku lupa hal penting satu itu.
"Yaudah Bu, beli aja dulu. Ayo Rian temani."
Nggak enak juga sebenarnya. Aku sih nggak apa-apa kalau ngebayar jasanya agak mahal dikit. Tapi feeling aku, anak ini bukanlah kuli angkut. Aku jadi ragu. Kalau dia bukan kuli angkut dan cuma mau nolong aja, kan terlalu banyak waktunya tersita olehku..
"Gimana yaa.. Ibu memang perlu membeli mertabak. Tapi takut Rian kelamaan."
"Nggak apa-apa kok Buk. Ayo Rian temani beli martabaknya. Dimana Bu?"
Dia sudah menenteng ke dua keranjangku dengan gestur, siap graak... Sigap juga dia. Nggak apa-apalah. Toh nanti aku kasih uang juga kan. Nggak gratis.
Setelah sampai di tenda penjual martabak langgananku, langsung saja aku pesan.
"Buk Ida.. beli martabak 3 mangkok."
"Iyaa.. Silahkan duduk dulu Buuk Riaa.." Buk Ida langgananku ini menyuruhku masuk ke tendanya.
"Iya buuk.." Masuk aku ke dalam.
"Rian... sini dulu masuk. Panas di luar."
"Iya Buu.." Rian menyusul masuk ke tenda, lalu duduk di sampingku.
"Panas banget yaa Rian." Aku ambil tisu yang ada di samping kiriku. Lalu aku ulurkan ke dia untuk mengelap keringatnya.
"Makasih Bu.. Iya Bu panas banget. Mungkin udah mau kiamat kali yaa Buu."
"Eh, ada-ada aja Rian nih. Masa mau kiamat sih?"
"Hehe, nggak tau juga Bu. Soalnya Rian liat matahari itu udah nggak lurus lagi posisinya. Biasanya jam 12 begini udah pas di atas kepala. Ini kok nggak? Masih ada bayangan sedikit. Berarti posisi mataharinya udah nggak pas lagi Bu.."
"Hah, emang iya yaa.." Penasaran juga aku..
"Nih Bu.. udah nggak pas kan? Padahal udah mau jam 12 pas ini.." Rian pergi keluar tenda untuk berdiri melihat bayangannya. Aku lihat memang masih ada bayangannya cukup panjang.
Heran juga aku jadinya. Selama ini aku tidak memperhatikan bayangan. Apa biasanya emang begitu yaa..
"Eh tapi kan kita di Sumatera Rian. Sementara jam yang kita pakai, itu menggunakan waktu Jakarta WIB. Kita kan beda 30 menit lebih juga dengan Jakarta. Jadi emang sebenarnya sekarang ini belum pas jam 12 kalau disini." Hal cerdas terpikir olehku.
"Emangnya begitu yaa Buuk.."
"Iyaa.. liat aja kalau pas maghrib bulan puasa. Di TV TV Jakarta udah azan, di sini belum kan?"
Dia nampak berpikir. Lalu kembali duduk di sampingku.
"Owh iya juga yaa Buk.. Hehe... aku nggak mikir ke situ tadi."
"Iyaa... duh Ibu udah hampir terpengaruh juga loh tadi sampe mikir aneh-aneh. Ada-ada aja Rian nih, mau kiamat segala. Ibu kan masih muda. Masa kiamat sih. Duh. Rian Riaan.."
Reflek aku menepuk-nepuk bahunya yang ternyata sangat keras dan lebar. Timbul pertanyaan dipikiranku, apa dia memang seorang kuli panggul yaa? Sampai sekaku itu badanya.
"Hehee... maaf Buk."
"Nggak dimaafin..." Lah, kenapa aku tiba-tiba jadi genit sih.
"Maafin lah Buk.. yaya yaaa..."
"Hihii..." geli aku ngeliat expresinya yang seperti memohon-mohon gitu.
"Hmm... kalau gitu cabut lagi kata-kata Rian tadi."
"Yang mana Buk?"
"Yang bilang mau kiamat tadi. Bilang jangan kiamat dulu gitu."
"Iyaa jangan kiamat dulu..."
"Yang seriuslah. Masa gitu. Mau Ibu maafin nggak?"
"Iya iya Buk mau. Jangan kiamat dulu yaa tuhan. Aku juga nggak mau cepat-cepat kiamat Bu. Aku juga masih muda, masih mau nikah dulu.."
"Nah tuh kan? Makanya doa yang bener. Kata-kata itu adalah doa. Kalau dibilang mau kiamat, nanti kiamat beneran gimana?"
Aduh kenapa jadi panjang gini sih ceritanya, padahal cuma soal sepele doang.
"Iya Buk... Tuhan maafkan Rian. Jangan kiamat dulu. Rian masih ingin ketemu sama Ibu cantik di sebelah Rian ini lagi. Please tuhaan. Sama Rian juga masih ingin nikah."
"Haha haa..." Ada-ada aja anak bau kencur ini pakai bilang cantik segala.
"Siapa ini Buk Riaa.?" Buk Ida bertanya padaku.
"Owh ini.. ini Rian Buk.. Dia ini..." Eh aku kan juga belum tau.
"Saya Rian Buk. Saya masih baru di sini. Baru pindah 1 minggu yang lalu. Buk Ria ini pelanggan pertama saya Buk buat bawa-bawa barangnya.."
"Kamu kuli panggul...?" Tanya Buk Ida heran.
Bukan hanya Buk Ida, akupun juga heran. Masa iya anak muda tampan seperti dia kuli panggul.
"Bisa akan jadi begitu Buk. Tadinya saya cuma main-main aja ke pasar, terus liat Ibuk Ria ini bawa barang. Terus saya tawarin, gitu Buk.!"
"Owh... saya kira siapanya Buk Ria loh tadi Buk. Jadi curiga saya. Soalnya kayak udah deket gitu. Mana duduknya nempel, pakai rayu-rayu bilang cantik segala lagi. Eh adek, Buk Ria itu sudah punya suami. Jangan dirayu-rayu. Nanti suaminya marah loh.."
"Tuh.. dengerin Rian kata Buk Ida. Jangan suka ngerayu orang. Nggak baik. Kalau suami aku sih nggak apa-apa Buk. Biasa aja. Rian ini kayaknya masih kecil gini. Masa iya cemburu.." kataku.
"Iih hati-hati loh Buk Ria. Umurnya aja yang kecil..." lalu Buk Ida berbisik dan menutup sebelah mulutnya dengan tangan supaya tidak terdengar oleh Rian. "Tapi barangnya besar.."
Ah, aku terkejut Buk Ida bisa sevulgar itu ngomongnya...
"Masa iya sih Buk..?" Kataku agak keras sambil memperhatikan Rian. Rian yang aku perhatikan begitu, menatapku agak sengit, mungkin dia penasaran.
"Eeh.. jangan salah Buk Riaa. Ibu ini sudah berpengalaman loh. Jadi tau mana yang" kembali lagi Buk Ida menutup mulutnya sebelah.. "Batang tongkolnya besar dan mana yang enggak. Kalau ini pasti besar.." bisiknya. "Hati-hati loh kepincut Buk Riaa. Ntar lupa loh sama yang di rumah. Sekali coba nggak akan sama lagi"
"Ah Ibu Ida ada-ada aja deh... Rian tau nggak apa yang dibisikin sama Buk Ida tadi ke Ibuk?" Tanyaku ke Rian.
"Nggak. Emang apa Buk?.."
"Syukurlah..." ucapku.
"Emang apa sih Buk? Rian penasaran jadinya."
"Nggak apa-apa. Nggak baik didengar sama anak kecil. Eh Rian mau beli es tebak nggak?"Kualihkan pembicaraan.
"Mau..."
Hehe... nih anak nggak ada jaim-jaimnya.. "Pak Zuul.. Es tebaknya dua.." pesanku ke penjual es tebak di sebelah.
"Yaaa.." sahutnya.
Aku yang tadinya cuma mau membeli martabak saja, malah jadinya nongkrong.
Cukup lama juga aku nongkrong di tempat Buk Ida. Ngobrol-ngobrol dengan Buk Ida dan Rian. Entah kenapa, aku merasa Rian ini anak yang mudah sekali untuk diajak bicara. Kalau aku tebak, dia pasti punya banyak teman. Karena auranya itu loh seperti orang yang mudah untuk didekati. Apa adanya, dan nggak jaim.
Oyaa... Perkenalkan nama aku Ria Fernanda. Umur aku baru 34 tahun. Tadi kenapa aku sering menyebut diri aku Ibuk-Ibuk saat bicara dengan Rian dan Buk Ida? Karena aku ini seorang guru. Jadi sudah biasa bagi aku menyebut diri aku Ibuk-Ibuk. Orang-orang yang mengenalku juga biasanya memanggilku Ibuk, atau Bu Guru.
Dan pemuda yang bernama Rian ini, dia nampak seperti anak-anak seusia murid-muridku. Paling umurnya 17 tahunan, kalau nggak lebih dikit. Karena itulah aku menyebutkan diri ke dia juga sebagai Ibuk. Meski sebetulnya aku belum terlalu tua untuk dipanggil seperti itu. Lebih cocoknya aku ini dipanggil kakak saja oleh anak-anak seumuran Rian ini. Atau mungkin tante. Duh tante. Kesannya kayak gimana gitu yaa...
Dari obrolan kami bertiga, aku, Buk Ida dan Rian. Ada sesuatu yang membuatku sangat penasaran tentang Rian ini. Tapi belum juga aku tanya dari tadi. Masih mengumpulkan info. Dan setelah semakin banyak informasi yang diberikan oleh Rian, aku semakin menduga..
Mungkinkaahhh...
"Rian... Nama lengkap Ibu kamu itu siapa? Rosita Anggraeni bukan?" Tebakku.
Itu nama kawan akrabku dulu dari kecil sampai SMA. Kalau kami jalan bersama, kami sering dikira anak kembar oleh orang-orang, karena wajah dan perawakan kami yang mirip. Tapi waktu kami kelas 1 SMA, dia tiba-tiba menghilang entah kemana. Setelah itu, beredar gosip kalau kawan akrabku itu sudah hamil. Sering aku nangis dulu itu karena banyak mendengar cerita-cerita jelek tentang dia.
"ii... iyaa.." Rian agak tergagap. Mungkin dia kaget aku tau nama Ibunya. Tapi aku jauh lebih kaget lagi kalau dia benar-benar anak dari Rosi teman akrabku dulu.
"Ibu kenal sama Ibu aku..?"
Astagaaa... jadi dia benar-benar anak Rosi.? Jadi Rosi dulu benar-benar hamil? Siapa yang menghamili dia? Dan kemana dia selama ini?
Aduh pusing kepala aku. Aku ingin bertemu Rosi sahabatku itu.


.........

.
 
Terakhir diubah:
PUTRA MAHKOTA​

Pov Rian

Aku berguling-guling malas di atas tempat tidur, kadang ngadap ke kiri, kadang ngadap ke kanan, lalu balik lagi ngadep ke atas, seperti ada sesuatu yang membuatku tidak tenang. Tapi karena masih ngantuk dan malas, aku masih enggan untuk membuka mata. Namun lama kelamaan, karena gelisahku tidak juga hilang, akhirnya aku buka juga mataku pelan-pelan. Mulai dari mengintip sedikit-sedikit sampai mataku benar-benar terbuka.
Nampak olehku punggung seorang wanita yang membelakangi posisi wajahku. Ia menghadap ke arah bawah, ke arah kakiku.
"Ibu..." Panggilku.
Ibu agak terkejut, lalu memutar badanya ke arahku dengan sedikit senyum.
"Kebangun Rian sama Ibu yaa..?"
Tidak aku jawab. Aku memandangi wajahnya yang seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu, atau sedih karena sesuatu. Ibu memang tidak sedang menangis, tapi nampak dari raut wajahnya kalau ia sedang galau atau bersedih hati.
Aku ingin bertanya kenapa wajah Ibu nampak seperti itu? Sekaligus kalau bisa, aku ingin menghiburnya. Tapi aku belum tau apa yang sedang ia dipikirkan. Jadi, aku diam saja dulu, sambil menunggu Ibu bicara..
"Tidurlah lagi. Hari belum terlalu pagi. Sekolah kan belum mulai juga.." Ibu menaikkan dan merapikan selimut sarung yang aku pakai. Lalu menepuk dadaku dua kali.
"Ibu juga mau masak dulu." Katanya. Setelah itu Ibu berdiri, lalu berjalan keluar kamar.
Tapi sebelum Ibu sampai di pintu, aku panggil dia .
"Ibu..." Ibu melihat ke aku dengan sedikit memutar badan bagian atasnya saja.
Aku sebenarnya ingin memeluk Ibu, tapi hatiku terlalu malu untuk melakukannya. Kini aku merasa kalau aku sudah terlalu besar untuk berpeluk-pelukan seperti itu. Sudah tidak pantas lagi. Terakhir aku masih suka meluk Ibu itu waktu aku kelas 2 SMP. Habis itu sudah tidak pernah lagi. Sehingga hanya lewat kata-kata saja aku menyampaikan kepada Ibu, bahwa aku mencintainya. Dan berharap kata-kata itu bisa sedikit menjadi penghiburan untuk Ibu yang spertinya sedang bersedih hati.
"Rian sayang sama Ibu.. Ibu tau kan..?" Ibu hanya sedikit tertawa, lalu mengangguk, tanda ia paham.
.......
Hai semunya... Perkenalkan aku Rian. Aku anak pertama dari Ibuku yang cuma dua kakak beradik. Adikku namanya Fini. Sangat manis dan cantik. Aku saja sebagai kakaknya merasa sayaang sekali sama dia. Kalau dia sudah dewasa nanti, mungkin aku bakal naksir juga sama dia, saking manis dan cantiknya adikku itu..
Kini dia sudah kelas 4 SD. Anaknya pendiam dan kurang bergaul. Sehari-harinya dia sering di rumah saja. Jadi pantas saja dia jadi cantik dan manis gitu, karena kulitnya bersih putih terawat. Tidak seperti anak-anak lain seusianya yang sering panas-panasan dan main becek-becekan. Adikku ini cuma main sama Ibu dan aku saja di rumah.Kalau sama kami berdua, dia cukup ceria dan banyak bicara.
Aku mengerti alasan kenapa adikku pendiam dan kurang bergaul begitu. Karena dulu aku juga sama. Sampai masuk SMP aku seperti itu. Aku tidak terlalu ingat lagi pesisnya bagaimana perasaanku waktu aku sesusianya dulu. Yang aku ingat, aku merasa sedikit minder.
Waktu teman-teman berkelahi dengan menyebut nama bapak lawannya, sementara aku tidak tau nama bapakku sendiri. Aku tidak tau siapa bapakku. Sudah seperti itu saja sejak awal, hanya Ibu saja yang ada dihidupku.
Waktu aku kelas 1 SD, perut Ibu membesar. Waktu awal kelas 2 SD, adikku Fini lahir. Aku sangat bahagia waktu itu memilki anggota keluarga lain. Tanpa ada sedikitpun pertanyaan tentang siapa bapaknya, siapa bapak kami.
Baru waktu kelas 3 SMP aku mulai mempertanyakannya. Hanya saja, Ibu tidak pernah mau membahas soal itu. Ia selalu mengalihkan pembicaraan ketika aku mempertanyakan hal itu padanya. Disitulah aku paham kalau Ibu tidak ingin membahasnya.
Saat itu, aku sudah tau kalau ada masalah soal kelahiran kami. Perbedaan umur antara aku dengan Ibu saja yang tidak sampai 17 tahun, dari itu saja aku sudah tau ada masalah. Jadi, mempertanyakan siapa bapak kami pada Ibu, itu hanya membuat Ibu teringat pada permasalahan hidupnya di masa lalu.
Sejak kecil, aku dan Ibu sering berpindah-pindah. Yang aku ingat, waktu aku kelas 2 SD, beberapa minggu setelah Fini lahir, kami pindah dari Medan ke Batam. Setahun berikutnya pindah ke Dumai. Lalu pindah lagi ke Jakarta, Depok, Serang, dan terakhir kami tinggal cukup lama di pedalaman Sukabumi.
Sampai beberpa bulan yang lalu, waktu aku pulang sekolah. Di rumah kami sudah ada seorang nenek-nenek yang sedang menangis memangku Fini. Setelah itu, waktu aku datang, Ibu memperkenalkan aku ke nenek tersebut bahwa aku adalah cucu pertamanya. Nenek itupun berlalih untuk memelukku dengan erat. Lalu Ia usap-usap wajahku, ia kecup-kecup, sambil tarus menangis. Aku pun tidak tahan dengan suasana haru tersebut, sehingga tanpa bisa ditahan terburai jugalah air mataku. Menangis sejadi-jadinya.
Satu minggu Nenek di rumah kami. Selama itu juga aku dan Fini selalu dikundang kemana-mana. Nenek belikan kami pakaian sebanyak-banyaknya, ia ajak kami pergi jalan-jalan kemanapun kami mau, sampai-sampaii hampir semua isi rumah kami pun ia ganti juga.
Dan untuk rumah, Nenek bilang ia tidak mau membelikannya meski itu mudah baginya. Yang diinginkan oleh nenek adalah, agar Ibu, aku dan Fini, segera kembali lagi ke kampung halaman kami.
Entah apa yang dibicakan Nenek dan Ibu selama satu minggu itu. Yang pasti setelah itu, Ibu bersedia untuk kembali lagi ke kampung halaman kami. Tapi tidak segera,karena aku dan Fini sudah dekat-dekat dengan ujian semester. Baru sekitar dua bulan setelah kedatangan Nenek, akhirnya kami sekeluarga pulang kampung. Dan, disinilah kami sekarang.
Semenjak kedatangan Nenek ke rumah kami di Sukabumi itu, hidup kami tiba-tiba langsung berubah drastis. Ibu yang biasanya pontang panting bekerja serabutan, setelah itu ia langsung berhenti bekerja. Malah Ibu lebih sering merawat diri ke salon. Aku pun juga sama begitu. Yang sebelumnya bekerja sambilan menjadi kuli angkut di pasar, kadang juga menjadi tukang tambal ban malam-malam. Tiba-tiba sudah punya uang tabungan sendiri yang jumlahnya ratusan juta.
Luar biasa terasa perubahannya. Hidup tiba-tiba terasa sangat mudah seperti sedang bermimpi. Kadang aku juga bermenung memikirkan hidup seperti apa yang sedang aku jalani ini. Kemarin luntang lantung dihina orang, dan sekarang tiba-tiba sudah menjadi orang kaya.
Namun apapun itu, aku berharap situasinya akan tetap sama. Aku, Ibu dan Fini tidak kembali lagi menjadi miskin seperti sebelum-sebelumnya. Karena itulah aku tidak mau berfoya-foya menghabiskan uangku. Aku takut suatu saat nanti, uang kami tiba-tiba habis lagi. Saat itu terjadi, setidaknya saat itu uangku masih ada. Cukup untuk modal hidup kami bertiga.
Uang di rekeningku, sebagiannya aku belikan ke emas. Supaya, jika nanti Nenek berubah pikiran, lalu memblokir rekening kami, saat itu aku sudah punya uang darurat.
Drama Korea My Girlfriend is a Gumiho yang menginspirasiku, yang aku tonton bersama teman-temanku waktu kelas 1 SMA dulu. Saat si kakek memblokir rekening Lee Dae Woong yang hidup hura-hura, mengabaikan kuliahnya demi menjadi seorang aktor.. Aku pikir, hal tersebut mungkin saja terjadi padaku. Bukan hal yang mustahilkan? Kalau tiba-tiba nenek muak lalu memblokir semua rekening kami, gimana?
Karena itulah aku tetap hidup seperti biasanya. Tidak terlalu memikirkan soal uang yang ada di rekeningku. Aku tetap berteman dengan teman-teman lamaku di pasar dan di bengkel. Meskipun aku tidak lagi mengambil pekerjaan-pekeejaan seperti biasanya. Aku pergi ke sana hanya untuk bergaul dengan teman-temanku yang hidupnya masih sama. Masih miskin seperti sebelumnya. Hanya aku sendiri yang telah berubah total. Disitulah aku merasa kalau hidup itu seperti drama korea.

Dan aku adalah pangeran si putra mahkotanya yang disembunyikan. Wkwkwkwk....
 
HARUSNYA TIDAK BOLEH MENDEKATI AURA ITU.

Pov Rian


Senin pagi, sesudah upacara bendera, aku dibawa oleh seorang guru yang aku panggil Bu Anita, untuk diperkenalkan sebagai siswa baru di kelas baruku. Yaitu kelas XI IPS 2.
"Tok tok tok... Permisi Buk Riaa... boleh minta waktunya sebentar?" Setelah itu Buk Anita langsung saja menyelonong masuk ke dalam kelas, tanpa aku dengar ada suara yang membolehkannya masuk dari dalam. Sementara aku, dia tinggalkan saja di luar kelas.
Dari luar kelas, aku mencoba mengintip sedikit dari sela pintu yang sudah terbuka. Aku penasaran, apakah Buk Ria yang dipanggil itu sama dengan Buk Ria cantik yang aku temui di pasar beberapa hari yang lalu? Kok namanya sama? Sama-sama dipanggil Buk Ria. Disitulah aku agak penasaran.
Dan, waah...
Aku terkejut ternyata dia orang yang sama. Sungguh tidak disangka, ternyata Buk Ria itu adalah seorang guru. Memang sih waktu di pasar kemaren Buk Ria pernah menyinggung kalau dia adalah seorang guru. Tapi, aku tidak menyangka sejauh ini juga. Bukan hanya guru di sekolah baruku saja, tapi ia juga adalah guru di kelasku. Apa mungkin dia wali kelasku juga? Kalau sampai itu benar-benar terjadi, maka aku akaaan.... akan apa yaa. Pokoknya kalau sampai dia benar-benar wali kelasku, bukankah kebetulannya itu terlalu banyak yaa...
Setelah berbincang sebentar dengan Buk Ria, kemudian Buk Anita memanggilku.
"Riaan.. Ayo masuk." Masuk aku nyusul ke dalam kelas.
Pandanganku masih fokus pada Buk Ria. Ingin aku tertawa sambil bilang "Buk Riaaa.... kok bisa beginiii...?" sambil mengambit tangannya. Cium bolak balik. Tapi tentu saja tidak akan aku lakukan begitu. Aku juga tau tempat dan tau tata krama. Bisa-bisa jadi bahan candaan dari teman-teman baruku ini nanti. Dan tentu saja tidak baik untuk Buk Ria juga. Nanti dia bukanya senang sudah bertemu denganku lagi, malah benci.
Setelah itu Bu anita menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Aku pun memperkenalkan diriku dengan baik. Aku ceritakan darimana aku berasal, dari SMA mana aku pindah, termasuk juga alasan kenapa aku pindah kesini. Semua itu aku lakukan secara normatif saja. Tidak ingin juga aku meluap-luap memperkenalkan diriku.


Singkat cerita...
Aku sedang makan di kantin dengan kawan-kawan baruku, waktu datang serombongan cewek dengan penampilan yang tidak biasa. Aku terpanaa...
Kurasakan jantungku menjadi dag dig dug serr saat melihat mereka masuk ke kantin. Terutama cewek yang bermata besar itu.
"Ah, apa ini? Bisa juga aku merasa begini yaa?" Ucapku dalam hati sambil memegangi dadaku yang tiba-tiba menjadi berdebar-debar..
"Kok bisa siih.." Masih melihat ke arah cewek itu.
Tok tok took...
Aku lihat tangan Iwan mengetok meja di depanku, dari posisi duduknya yang ada di hadapanku.
"Jangan gitu kali ngeliat mereka..." kata Iwan sedikit berbisik.
"Haah" bingungku melihat ke Iwan.
"Jangan gitu kali kamu ngeliat mereka. Marah mereka nanti.." kata Iwan lagi.
Aku masih bingung dia ngomong apa...
"Tuuhh..." Iwan sedikit menggerakkan bahunya.
"Owwh..." baru aku paham. Yang dimaksud Iwan adalah rombongan cewek itu tadi.
"Kenapa begitu? Emang nggak boleh ngeliat mereka?" Tanyaku balik ke Iwan.
"Boleh sih boleh aja. Tapi jangan gitu kali ngeliat mereka. Kalau mereka tersinggung, nanti mereka marah sama kamu. Bisa bahaya kamu nanti..."
"Hah.... Kok bisa bahaya? Emang mereka siapa?.." pandangku sengit ke Iwan. Sambil berpikir, kok dia kesannya takut sama cewek-cewek itu? Padahal mereka itu cantik-cantik semua. Kenapa pula takut sama cewek-cewek cantik? Aneh...
"Mereka itu anak-anak orang kaya..." kata Iwan.
"Teruuss...?" Masa iya karena mereka kaya, nggak boleh diliatin? Artis-artis aja boleh diliat kok. Kaya pula, yaa kan?
"Jelasin Di.." kata Iwan menyuruh Adi yang duduk di sebelahku.
"Ngapa pula aku? Kalau kamu mau jelasin, jelasin aja sendiri. Aku nggak tau apa-apa.." kata Adi.
"Gini Yaan aku kasih tau..di sekolah ini, ada tiga rombongan yang sebaiknya kamu nggak usah berurusan sama mereka. Yang pertama, rombongan cewek-cewek itu" Iwan mengerakkan mulutnya sedikit ke arah ombongan cewek itu tadi.
"Owh.." aku paham maksudnya.
"Mereka itu cewek-cewek kaya raya semua. Andin, Zega, Erin, itu yang tiga ngadap ke kita. Mereka itu anak kelas 3. Andin itu anak mantan Kapolres, kayaknya udah mau bintang 1 bapaknya itu. Jadi kalau kamu bikin dia marah, bisa-bisa kamu nanti masuk penjara. Atau keluarga kamu yang masuk penjara. Udah pernah ada kejadian begitu. Mantan pacarnya dia dulu, kakak kelasnya dia tahun lalu, tiba-tiba bangkrut nggak bisa beroperasi lagi tambang bapaknya. Sampai masuk penjara bapaknya itu. Sekarang sih udah bebas. Padahal bapaknya itu kaya juga loh. Tapi yaa kalah juga sama Kapolres. Emang mantannya itu juga sih yang salah."
"Salah kenapa Wan mantanya itu?" Penasaran juga aku jadinya, ingin tau tentang profile 5 cewek cantik disana itu.
"Andin tuh mau diperkosa sama Bang Rio tuh." Kali ini Adi yang ngomong dari sebelahku.
" Rio nama mantanya itu Yan. Dengar-dengar Bang Rio tuh ngasih obat perangsang ke minumannya dia. Cuma yaa gitu deh, banyak yang nggak percaya juga kalau Abang Rio tuh begitu. Orang-orang curiganya tuh, itu cuma skenarionya Andin aja. Bang Rio tuh orangnya baik loh. Aku juga nggak percaya Bang Rio tuh begitu. Justru Andin ini yang tingkahnya rada-rada brengsek."
"Waduuh... bahaya banget berurusan sama dia yaa. Kalaupun awalnya cuma berteman biasa aja, bisa kena juga yaa kalau si Andin ini tersinggung." Kataku menebak-nebak.
"Nah iyaa... makanya bro. Jangan berurusan sama dia. Meskipun cuma berteman, jangan." Kata Iwan.
Oya.. aku duduk di kantin ber 4 dengan kawan-kawan baruku. Yang tadi ngomong itu Iwan dan Adi. Yang satu lagi namanya Robi. Robi ini tadinya banyak ngomong. Tapi dia diam aja setelah rombongan cewek itu masuk.
Sementara rombongan cewek yang sedang kami bicarakan ini. Mereka ada 5 orang. Duduk 3 meja di belakangku. Tapi tidak pas di belakang, agak ke kanan dikit satu meja. Siapa aja mereka? Aku masih menyimak.
"Terus yang lain gimana Di?" Tanyaku ke Adi.
"Yang ditengah itu namanya Zega.." Aku lihat ke belakang untuk melihat yang namanya Zega itu.
"Jangan diliatin kampret.." sergah Adi padaku.
"Owh... yaa.." tidak jadi aku melihat ke belakang.
"Zega itu Chainis bro. Nama bapaknya Koh Apeng. Kalau kamu tanya Koh Apeng disini, pasti orang-orang tau aja tuh. Bapaknya itu kaya banget. Usahanya banyak. Saking banyaknya sampai-sampai orang nggak tau apa aja usahanya dia. Tau-tau dia ada dimana-mana. Bapak aku kerja dipabrik yang ternyata punya bapaknya dia juga."
"Bapak aku juga.." kali ini Iwan yang motong. "Bos dari bosnya bapak aku kayaknya Koh Apeng juga. Soalnya kata Bapak aku, Koh Apeng tuh pernah beberapa kali datang ke proyek. Terus dia marah-marahin bos kontraktornya bapak aku. Disitulah bapak aku mikir, owh mungkin bos besarnya Koh Apeng juga, gitu. Pemodalnya mungkin dia."
Aku cuma bisa ngangguk-ngangguk saja. Tidak tau mau menanggapi bagaimana penjelasan kawan-kawanku ini. Terlalu tinggi profile cewek-cewek itu. Apalagi Adi dan Iwan sudah ngomongin soal bapak mereka juga. Topik yang selalu aku hindari. Kalau ini aku turuti, maka sebentar lagi mereka bakal nanyain pekerjaan bapakku juga. Yang aku sendiri nggak tau bapak aku siapa.
"Dan yang kamu liatin tadi itu Yaan, yang paling cantik yang matanya gede itu, itu namanya Dining. Dia angkatan kita juga, anak IPA 1." Kata Iwan.
"Owh... kaya juga dia tuh?" Lebih penasaran aku sama cewek yang ternyata bernama Dining ini. Karena memang dialah yang tadi membuat jantungku berdebar-debar.
"Dia sih nggak terlalu kaya. Cuma keluarganya itu dihormatin. Jangankan Koh Apeng sama Bapaknya Andin yang mantan Kapolres itu, Bupati aja nggak berani sama keluarganya dia. Kalau soal Jendral sih, udah ada juga dikeluarganya dia. Suami tentenya Dining itu Jendral kan ya Bi.?." tanya Iwan ke Robi. Robi yang ditanya cuma ngangguk aja.
Kayaknya Robi ini memang nggak mau ngomongin cewek-cewek itu. Apa ada masalah atau gimana yaa?
"Kalau bapaknya sih cuma dokter biasa aja. Yang hebat itu Ibunya. Ibunya itu yang keturunan raja dan pengaruhnya luas. Sekarang pun mereka masih tinggal di rumah leluhurnya itu. Dining tuh juga tinggal di sana. Rumah raja." Kali ini Robi yang ngomong. Tumben dia mau ikutan.
"Bi, dengar-dengar Dining tuh udah dijodohin sama Babang yaa..?" Tanya Adi ke Robi.
"Hu um... tapi sebenarnya mereka itu nggak dijodohin sih. Memang mereka aja yang mau. Mereka udah saling suka sejak kecil. Terus waktu Bapaknya Babang bilang mau ngejodohin mereka, Babang sama Dining tuh langsung mau. Tambah lagi, mereka kan sama-sama masih keluarga keturunan raja. Jadi keluarga mereka langsung setuju juga."
"Kok kamu kayak tau banget Bi soal keluarganya Dining?" Tanyaku ke Robi.
"Dia juga masih keluarganya Babang sama Dining bro. Jadi masih ada keturunan raja dia ini. Cuma dia ini keturunan yang paling nggak dianggapnya hehe." Kata Iwan sambil menepuk-nepuk bahunya Robi.
"Haha haa.. jangan gitu Wan. Gimanapun Robi ini masih keturunan Raja loh. Kita nih beruntung bisa berteman sama dia. Meskipun keluarganya nggak diperhitungkan. Wkwkwkk." Itu Adi yang ikut-ikutan ngecengin Robi.
"Gitulah bro. Gimana lagi" Kata Robi. Dia malah mengangkat bahunya tanda setuju
Dan itu membuat aku agak heran. Kenapa dia main setuju-setuju aja? Bukannya dia lagi di bully sama Iwan dan Adi?
Tapi entah mengapa, aku tidak terlalu tertarik dengan itu. Aku lebih tertarik dengan Dining. Dan fakta bahwa dia sudah dijodohkan. Atau lebih tepatnya sudah memiliki jodoh yang ia pilih sendiri.
"Siapa tadi Bi yang mau dijodohin sama Dining tuh? Kan kamu bilang mereka itu masih keluarga. Kenapa dijodohin?" Tanyaku ke Roby.
"Iya, tapi sudah beberapa keturunan gitu. Malah bagus kan? Jadi keturunannya nanti tetap murni."
"Owh, aku paham." Tapi aku jadi penasaran sama yang namanya Babang ini. Seberapa hebat dia sehingga membuat Dining takhluk begitu.
"Babang itu yang mana Bi..?" Tanyaku.
"Yang paling ganteng, yang paling pinter, sama yang paling jago berkelahi di sekolahan kita ini. Nanti kamu juga bakal tau." Itu kata Iwan.
"Waduhh... segitunyaa? Udah keturunan raja, ganteng, pinter, jago berkelahi, komplit banget. Pantes aja Dining itu mau sama dia yaa." Kataku.
"Ho o bro.. udah gitu dia baik lagi. Alim dan setia juga. Udah lama mereka pacaran. Mungkin sejak SD atau SMP, nggak ada yang tau. Robi aja nggak tau. Ya kamu nggak tau kan Bi sejak kapan mereka pacaran.?" Tanya Iwan ke Robi.
"Hu um" Robi setuju.
"Njir.. baik lagi.. Masa ada sih yang kayak gitu bro.. Sempurna banget..?" Tanyaku.
"Yaa emang gitu bro. Namanya juga keturunan Raja. Pasti istimewa lah. Kalau nggak istimewa yaa mereka nggak bisa jadi keluarga raja. Liat aja Dining tuh, gimana auranya dia. Kamu juga klepek-klepek sama dia kan? Sampe ngayal kayak tadi" Ujar Adi.
"Eh.." iya juga sih.
"Tenang aja bro.. kita semua juga idolain dia kok. Robi ini juga suka sama Dining, ya Bi yaa. Namanya juga Cover girl bro. Dia yang nomor 1 paling diinginin buat dijadiin pacar sama cowok-cowok satu sekolahan. Apalagi dia itu nggak kayak teman-temannya yang lain. Dia baik bro. Khas keturunan raja lah. Berkelas." Jelas Iwan.
Aku ngangguk-ngangguk aja. Mau nggak mau aku harus mengakui itu juga.
Pantesan aku merasa ada hal yang aneh waktu melihat Dining tadi. Sampai dag dig dug serr jantungku dibuatnya. Ternyata dia memang semenawan itu. Auranya memang aura kerajaan kali yaa...
...........​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd