Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
Horeeeeee pertamaxxxx.....

Sippppppp....

Cersil model semprottttt siiiiippppoo suhu

Sayang gak ditamatin nih.....

maraton baca nya keren ceritanya...
ngingetin kaya karna cerbung di sini yg g tamat jg "tarian bambu" atau apalah lupa.

jd ini cerita c jalu blm ktmu lg istri yg di cintainya yahh....

Tambah seru nch ceritanya hu
Di lanjutjan aja ya

mantab sekali update an nya kisanak @oyeckpunkerz , gk sabar ngu jalu sampai di tanah bambu :mantap::ampun:

Ditunggu up datenya nanti malam suhu... sdh ga sabar ini...

Tambah dalam..tambah seru...hayo lanjut.

Lnjt lgi hu, , , udh ngk sbr mnnggu aksi ny si Jalu :ampun:
:mantap:

pendekar buta nya kemana hu ?
blm muncul lg ya ?
kpn muncul nya ?
ayo cepetan di update hu
udh gak sabar nih

kerennn.....nostalgia kho pin ho... bolos skola cuma buat baca....

Up
Up
Up
Up

Wahhh...kang jalu keasikan ngewe dilaut nih kayaknyaa...

Up dolooh ahh...biar ga tenggelam :semangat:

Habis 41 gak ada lanjut lagi ya gan?

Mari di update lagi suhu.
Masih nunggu si jalu beraksi lagi di wilayah tanah bambu..

terima kasih banyak utk apresiasinya kisanak semua dgn komen ataupun likenya :ceria::asyik:
maaf ga bisa dibales satu satu :sedih::sedih::sedih::maaf::maaf::maaf:
 
BAGIAN 32


Sementara itu, di luar pulau …
Jalu Samudra dan Nagagini terlihat baku hantam. Entah apa sebabnya, namun yang jelas, keduanya terlihat serius saling serang satu sama lain. Tali tambang di tangan Nagagini menari-nari liar bahkan kerapkali melesat-menikung dengan gerakan tak terduga. Si pemuda berulang kali harus melesat ke atas atau menenggelamkan diri ke dalam air laut untuk menghindari sergapan ujung tali tambang.
Ctarr!
Tiba-tiba saja, ujung tali tambang yang dibuhul menjadi sebuah bongkahan kecil, berkelebat cepat menyusur air laut.
Sratt!
Jalu Samudra sendiri bergerak dengan jurus silat yang tidak biasa ia lakukan. Entah jurus apa lagi yang dipergunakan, jelasnya bukan Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’. Gerakannya terlihat lambat, bahkan terkesan lamban, namun bisa dengan cepat menghindar sergapan liar tali tambang si gadis.
Wess!
Dengan serta merta, kaki si pemuda menendang cepat-rapat berulang kali.
Akan tetapi, dengan gerakan manis bagian ujung tali tambang menggeser sendiri, lalu menerobos masuk ke dalam air.
Jlub!
Belum lagi Jalu menyadari ke arah mana ujung tambang bergerak, sebuah hantaman keras menyambar betis kanan.
Buaghh!
Byurr!
Jalu Samudra terpelanting dan tubuhnya tercebur begitu saja ke dalam air.
Dan yang pasti … tenggelam, dong!
Nagagini segera menarik tali tambang dalam satu sentakan ringan.
Rett!
Seperti ular, tali tambang menggulung rapi di pinggangnya yang ramping.
“Hemmm, kemana perginya Kakang Jalu?” gumamnya dengan mata mengedar. Kakinya melangkah mengitari kapal antik yang terdiri dari lembaran papan tebal pecahan Kapal Surya Silam. “Pasti ada … “
Belum lagi gumamannya selesai, tiba-tiba saja sejarak enam tombak dari kapal aneh terlihat air membukit yang lama-lama menggunung besar.
“Apa itu?”
Sosok mahkluk besar terlihat membayang di dalam pilar yang meninggi dan …
Byarrr!
Hancur meluruh bersamaan dengan luruhnya air.
Crakk! Crass!
Sebentuk gelombang besar tercipta kala luruhan air menyentuh permukaan air bahkan kapal antik sempat bergoyang beberapa waktu saat terhantam riak gelombang laut, namun tidak lama kemudian, air laut tenang kembali.
Di atas sana, terlihat satu sosok tubuh bertelanjang dada dengan posisi berdiri tegak lurus di udara. Lalu perlahan, ia berjalan-melayang turun mendekati kapal antik. Sekilas saja, bisa diketahui seberapa tinggi jurus peringan tubuh yang dimiliki si pemuda.
Tap!
Tepat berdiri kokoh di depan sosok cantik yang terlihat menawan dengan aliran keringat membasah.
“Bagaimana?” sapanya setelah beberapa lama.
“Eh … oh … apa … ?” kata si gadis tergugu.
Ditariknya hidung mancung si gadis dengan gemas.
“Heeeh, cantik-cantik kok bego,” katanya sambil tertawa tanpa suara. Lalu dilepasnya tangan sambil berkata, “Jurus cambukmu, Neng!? Ada kemajuan!?”
“Ada ... ada ... “ sahutnya sedikit menggeragap. “Mau coba lagi?”
Gadis cantik baju biru laut kedodoran itu langsung menerjang begitu saja. Sudah begitu, pakai kaki pula!
Sejarak kurang sejengkal dari sasaran, kaki kiri tiba-tiba mencuat ke atas.
Wutt!
Dilihat dari posisi dan jarak, adalah hanya yang tidak mungkin melakukan tendangan ke arah kepala. Jaraknya terlalu dekat.
”Eit ... !” Si Pemanah Gadis kaget.
Namun sebagai tokoh muda yang namanya mulai diperhitungkan dalam tahun-tahun terakhir ini, tidak membuatnya kehilangan akal. Kepalanya di tarik ke belakang-bawah sedikit, maka wajah tampannya sudah lolos dari cap tumit kaki mulus yang kemungkinan besar tercetak disana.
Saat menendang ke atas, terlihat sebentuk permadani hitam terpampang jelas!
”Gila ni anak! Ga pake celana malah maen tendangan tinggi!?” pikir Jalu Samudra sambil berulang kali berkelit menghindari tendangan aneh si gadis yang datang secara bergelombang. Tapi, mata putihnya justru sering terpaku pada sebentuk larikan merah gerbang istana kenikmatan. ”Waduh, kalao gini ... mana tahan ... !”
Tiba-tiba, sebuah pikiran nakal terlintas.
Meski serangan yang dilakukan Nagagini tidak disertai tenaga dalam, namun kibasan anginnya sudah lebih dari cukup untuk memerihkan kulit.
“Jurus ‘Tendangan Gadis Cacat’-mu sudah banyak kemajuan,” seru si Pemanah Gadis, sambil menghindar, namun tetap saja tendangan beruntun dengan sudut sulit terus mencecarnya.
“Benarkah!?”
“Benar!” seru Jalu kembali sambil memutar tubuh ke kiri, sambungnya, “Tapi aku sudah punya penangkalnya.”
Dengan gemas, Nagagini semakin mempergencar serangan kaki yang terus datang bagai riak gelombang sambil berkata, ”Mana buktinya? Dari tadi Kakang cuma menghindar terus?”
”Ini buktinya!”
Jalu Samudra tidak menghindar seperti tadi, tapi justru bergerak mendekat satu langkah.
Nagagini justru tersenyum, karena dengan mendekatnya Jalu Samudra ia bisa melancarkan jurus ’Tendangan Gadis Cacat’ dengan lebih baik lagi.
Wutt!
Sebuah tendangan patah ke arah kepala ditahan bahu kiri Jalu.
Tap!
”Kaki kiriku masih bisa .. ”
Plek!
Jempol kaki kanan segera Jalu Samudra menginjak jempol kaki kiri.
”Hehehe ... bagaimana?” ucap Jalu sambil cengengesan.
Nagagini berkutetan antara melepas injakan di jempol kaki sedang kaki satunya yang ditahan bahu Jalu Samudra sudah berada dalam sudut mati.
Si gadis segera mengelebatkan sepasang tangannya sambil berseru, ”Kakang lupa, aku masih punya dua tangan!”
Wutt!
”Begitu, ya!?”
Tap! Tap!
Dua tangan mulus si gadis seketika tertahan tangan kokoh si Pemanah Gadis yang langsung mengunci dengan jurus ’Jepitan Kepiting’-nya.
”Sekarang bagaimana?” kata Jalu sambil senyum-senyum dengan sorot mata aneh.
Nagagini masih berkutetan untuk melepaskan diri.
Setelah sekian lama ...
Dengan mulut meruncing, Nagagini berkata dengan bersungut-sungut, ”Kakang jahat ... ”
”Sekarang giliranku menyerang,” ucap Jalu santai.
Nagagini bingung.
”Dua tangan dan dua kaki sudah mengunci ruang gerakku. Dengan apa Kakang akan menyerangku? Pakai kepala!?”
”Ya ... pake tangan ketiga, dong!” sahut Jalu santai.
”Tangan ketiga?” ucap Nagagini, bingung. ”Mana?”
”Lha ini ... ”
Jalu segera mendorongkan bawah perutnya ke depan.
Slepp!
”Aaahhh ... ” desis Nagagini. ”Kakang ... curang ... !”
Nagagini baru ingat, kalau bagian bawahnya sekarang ini bebas merdeka alias tidak pakai apa-apa sebagai penutupnya. Jadi serangan ’tangan ketiga’ alias pilar tunggalnya Jalu Samudra dengan sukses langsung menembus gerbang istana kenikmatan yang sudah terkuak karena salah satu kaki si gadis tertahan bahu kiri si pemuda. Seperempat bagian dari pilar tunggal penyangga langit sudah masuk ke dalam dengan sukses.
“Ihh ... Kakang ini, pagi-pagi udah nusuk seenaknya,” katanya dengan nada mendesis.
“Abisnya gemes, sih. Mau dihentikan?” tanya Jalu Samudra sambil sengaja menambah tekanan pilar tunggalnya.
Sett ... !
“Nggak ... jangan ... terusin aja, Kang.”
Dada kencang Nagagini mulai turun naik karena nafsu.
Jalu Samudra pun meneruskan permainan acara tarik-ulur hingga membuat murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal berkali-kali merintih tersentak keenakan. Tidak lupa si pemuda menciumi dada padat kencang yang menggelembung naik-turun, awal mulanya perlahan lalu berubah menjadi jilatan-jilatan liar ke seluruh tubuh yang menguarkan wangi alami tubuh seorang gadis.
Bisa dirasakan si Pemanah Gadis, jepitan pada gerbang istana kenikmatan milik si gadis yang sekarang ini telah tertusuk hingga separo lebih, berdenyut kencang. Desah nafas seperti waktu-waktu sebelumnya kembali terdengar dari bibirnya yang mungil, sementara badannya menggeliat-geliat menahan nikmat.
Jalu menggeser bahu sedikit hingga kaki Nagagini terbebas, dan kedua tangannya yang dalam posisi jepitan kepiting pun melepas ke dua tangan mulus si gadis.
Jurus ekaraga ini termasuk dalam kelompok posisi berdiri, sehingga syarat utama agar dapat berlangsungnya gaya ini adalah tubuh pria harus kekar dan kuat, sementara tubuh wanita agak mungil. Disamping itu pilar tunggal penyangga langit harus panjang dan kuat agar jurus ini dapat berjalan dengan lancar. Pada jurus ini, Jalu Samudra atau si Pemanah Gadis berdiri lurus, sementara murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal diposisikan bergelayutan pada kedua pundak si pemuda seperti seorang anak kecil minta gendong di depan. Kedua kaki melingkar di pinggang murid Dewa Pengemis dan kedua tangan memeluk leher, sementara tangan pemuda bermata putih melingkari dada montok, sehingga pilar tunggalnya dapat keluar masuk dengan bebas ke dalam gerbang istana kenikmatan pasangannya. Dengan gerakan naik turun dapat mendorong dan menarik berjalan seirama.
Jurus ’Burung Terbang Di Tengah Awan’ digunakan oleh Jalu Samudra.
Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil.
Seperti kali ini, Nagagini meminta Jalu Samudra tidur terlentang setelah keduanya telanjang bulat.
“Jangan bergerak ... “ bisik Nagagini sambil bergerak mengangkangi pinggul Jalu Samudra.
”Jurus apa ini?” tanya Jalu Samudra.
”Ga tahu. Yang penting ... Kakang nikmati saja,” sahut murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal. ”Mungkin ... jurus ’Tarian Dewi Kayangan’, hihihik ... ”
”Hemm ... boleh juga namanya,” kata murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga ini.
Gerakannya gemulai, seperti seorang penari yang sedang menyiapkan gerakan pembukaan. Dengan takjub Jalu Samudra memandang tubuh telanjang serba indah menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.
Nagagini melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata putih Jalu Samudra terpaku menatap tubuh indah sang kekasih. Tahu-tahu Jalu Samudra merasakan setengah pilar tunggal penyangga langitnya seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab-licin yang bagai memiliki indera tersendiri. Tahu-tahu kegairahan semakin terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi kokoh di dalam sana.
“Jangan bergerak ... “ bisik Nagagini lagi ketika Jalu Samudra menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana. Lalu bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai jurus ’Tarian Dewi Kayangan’-nya, dan Jalu Samudra menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang memandang Nagagini yang sudah agak berkeringat itu bergerak naik turun perlahan dan teratur. Wajahnya tampak kembali memerah-muda, matanya penuh sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap mata Jalu Samudra tanpa berkejap. Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu. Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya.
“Ohhhh ... “ Nagagini mendesah, dan tangannya berteletekan keras di dada Jalu Samudra yang bidang, bertopang mencari penguatan di sana. Gerakannya semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar pinggulnya selagi pilar tunggal penyangga langit Jalu Samudra terbenam dalam-dalam meski tidak bisa penuh. Bagaimana pun juga, senjata pusaka Jalu Samudra memang lain dari pada yang lain.
Pada saat seperti itu, Nagagini memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat dan Jalu Samudra merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang saja.
Lalu ia bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Jalu Samudra menatap mata itu dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih sayang di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama dari percumbuan ini.
Gerakan Nagagini kini semakin erotis, diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah gadis ini melakukan putaran-putaran menakjubkan, terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan, terkadang naik-turun dengan gairah yang liar. Terkadang berputar-putar perlahan, sehingga Jalu Samudra merasakan pilar tunggalnya mengusap-mengurut dinding-dinding kenyal gerbang istana kenikmatan yang hangat dan basah dan berdenyut itu.
Suara-suara desah mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut-berpilin, berdecap ramai menyelingi derit-derak papan kayu, di antara rintihan dan desah. Nagagini dengan wajah sumringah berkonsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan mereka. Ia seperti sedang menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh tembok baja sekali pun.
Jalu Samudra mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat Nagagini menarikan tarian erotis yang menggairahkan itu. Dijamahnya lembut sepasang bukit kembar nan montok Nagagini yang bergerak-gerak seirama tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak tangan di atas kedua puting yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal itu. Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Nagagini kini tinggal beberapa langkah lagi.
“Aaah ... aku ... “ Nagagini berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri, ” ... ah ... aku tidak ... aaah, tahan ... Kang Jalu ... “
Jalu Samudra mengerti. Cepat diraihnya pinggul Nagagini dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan si gadis. Naik turun dengan cepat.
Berputar-putar ke kiri ke kanan!
“Oooooh ... “ Nagagini mengerang.
Naik turun lagi dengan cepat.
Berputar-putar!
“Aaaaah ... “ Nagagini mendesah sambil menengadah dan memejamkan mata.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ... !
“Mmmmmmmmmm ... “ Nagagini mengerang panjang.
Naik turun lagi ... lagi ... lagi ... dan lagi. Kedua payudaranya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Jalu Samudra meremas kedua bukit kembar menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Nagagini.
Lalu Nagagini benar-benar tak tahan lagi ... ia menjerit-jerit kecil.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
BAGIAN 33


“Aah ... aaah ... aaah ... !”
Dalam interval pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur. Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan erangan panjang.
“Aaaaaaaaaaaaah ... !”
Murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal mencapai titik puncak asmara sempurna di atas tubuh Jalu Samudra. Menggelepar-gelepar dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Jalu Samudra agar tidak terlempar ke luar. Pemuda itu merasakan pilar tunggalnya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut liar.
Cukup lama Nagagini menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya, sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagian.
Belum pernah rasanya Jalu Samudra melihat mata yang begitu ekspresif!
“Ohhhh ... “ akhirnya Nagagini bisa mendesahkan ucapannya sambil masih agak terengah, “Bagaimana aku bisa mengusir Kakang, kalau begini ... “
Jalu Samudra tertawa mendengar pengakuan polos itu. Dia tahu, Nagagini cuma mendramatisir cintanya, seakan-akan gairah-gairah asmara ini sematalah yang mengikat cinta mereka. Jalu Samudra meraih tubuh telanjang itu dan merebahkannya di atas tubuhnya. Nagagini mengerang manja, meluruskan kaki dan membiarkan dirinya melintang di atas tubuh pemuda bermata putih ini. Rasanya damai sekali dunia ini sehabis percintaan menggebu-gebu.
Pelukan Jalu Samudra bagai sebuah pelindung raksasa yang mampu mengusir segala nestapa dan gundah dan gulana dan risau.
Sepenanakan nasi kemudian, Nagagini mengkernyitkan alisnya.
”Mandi, yuk!?”
Tanpa menjawab, Jalu segera menggulingkan tubuhnya, dan ...
Byurr ... !
Tubuh keduanya sudah berada di bawah air.

--o0o--
Craaakk ... crakkk ... !
Glaarr ... !!
”Apa mau hujan!?” desah Nagagini.
Si Pemanah Gadis memandang langit, lalu katanya, ”Bukan hujan. Tapi ada sebentar lagi akan ada bencana di depan kita. Entah besok, entah lusa.”
”Darimana Kakang tahu?”
”Lihat arah awan yang berjajar panjang membentuk garis panjang. Itu adalah awan pertanda bencana, mungkin ... badai laut,” ucap Jalu sambil menuding ke sebelah timur.
Mata Nagagini mengarah ke timur, tepat seperti yang dikatakan pemuda di sampingnya.
”Heran ... ”
”Apanya yang kau heran?”
”Kakang ’kan buta, kok bisa tahu tentang awan segala?”
”Hehehe ... gitu ya?” kata si pemuda sambil terkekeh geli. ”Memangnya ngga boleh?”
”Boleh, sih. Cuma aneh saja.”
”Kenapa aneh?”
Lalu sambil memeluk pinggang Jalu Samudra, gadis itu berkata, ”Begini yang Kakangku yang ganteng! Orang buta itu dimana-mana tidak bisa melihat apa-apa alias serba gelap. Boro-boro melihat awan di langit, melihat jari sendiri saja ... sulit ... !”
”Kata siapa?”
”Kata orang-orang,” sahut Nagagini, pendek.
”Emangnya orang-orang yang berkata seperti itu pernah buta?” sahut Jalu.
”Itu kata orang lho ... ”
”Tapi kok Kakangmu tidak merasa buta, ya?”
”Maksudnya?”
”Misalnya ... ” kata Jalu dengan kepala menengok ke kanan-kiri mencari sesuatu, lalu sambungnya, ”Itu disana, tongkatku tergeletak.”
”Itu ’kan Kakang sendiri yang meletakkan,” tukas Nagagini.
”Terus itu ... coba kau lihat,” kata si Pemanah Gadis sambil menunjukkan jari ke arah kanan si gadis, ”Dua ekor camar laut sedang menyambar ikan ... ”
”Itu karena pendengaran Kakang super tajam ... ” kilah Nagagini.
”Terus apa dong, yang bisa membuatmu percaya kalau Kakang bisa melihat?” sahut Jalu dengan dongkol, karena setiap apa yang ditunjukkannya bisa dijawab balik dengan tepat oleh Nagagini.
Tiba-tiba Jalu menjentikkan jari.
Tik!
”Aku tahu!”
”Apa?”
”Waktu kau menyamar menjadi laki-laki, salah satu alismu yang kiri sedikit tebal dari pada yang kanan,” ucap Jalu Samudra. ”Bagaimana?”
Deg!
Gadis itu sedikit tersentak, pikirnya, ”Benar juga. Waktu itu aku habis mandi, lalu menyamar seperti biasa dan karena tergesa-gesa keluar kamar, baru kusadari kalau salah satu alisku sedikit ketebalan memberikan pewarna alis. Padahal siapa pun tidak ada yang tahu tentang hal itu. Kalau begitu ... ”
”Jadi, Kakang ini ... ”
”Tentu saja bisa melihat, Neng. Barang segitu gede mosok ga bisa lihat!?”
”Bener-bener bisa melihat?”
”Ho’oh,” sahut Jalu dibego-begokan.
”Jadi waktu aku mandi itu ... ”
”Jelas sekali!” potong Jalu cepat.
Mereka bercakap-cakap hingga larut malam.
Semua hal yang ada pada diri pemuda yang berjuluk si Pemanah Gadis, pada akhirnya terkuak dengan sendirinya. Bahkan tentang istrinya : Kumala Rani dan Beda Kumala dari Perguruan Sastra Kumala juga ikut diceritakan kepada Nagagini. Termasuk pula ’ayam-ayam cantik’ disana.
”Wah ... wah ... wah ... kalau begitu memang Kakang Jalu pantas dan cocok menyandang gelar si Pemanah Gadis,” gurau Nagagini sambil tertawa cekikikan, ” ... ada-ada saja Mbakyu Kumala Rani memberi gelar nyentrik seperti itu.”
”I ya juga sih.”
”Kang, ngomong-ngomong tentang ilmu silat, nih! Ilmu silat yang beberapa waktu yang lalu Kakang ajarkan padaku, kira-kira pantesnya diberi nama apa, ya?” kata Nagagini. ”Masa’ memiliki ilmu silat baru kok ga ada namanya?”
”Bagaimana kalau dikasih nama ... Ilmu Silat ‘Ikan Gajah Putih Pembunuh’?”
Gadis itu tampak berpikir beberapa saat. Tangan kirinya memainkan ujung bibir bawah tanpa sadar.
”Sudah, itu saja namanya. Kelamaan amat mikirnya,” kata Jalu sambil mendorong dahi Nagagini pelan.
”Emmm ... bolehlah-bolehlah. Nama bagus dan cukup seram, hihihik ... ”
”Nah, gitu dong.”
”Terus ... untuk nama jurusnya gimana, Kang?”
”Kita namai sekarang saja, ya!?” ujar Jalu Samudra, cepat.
Keduanya asyik memberi nama jurus-jurus silat yang baru saja mereka namakan Ilmu Silat ‘Ikan Gajah Putih Pembunuh’ itu. Kadangkala Nagagini memperagakan jurus-jurusnya bergantian dengan Jalu Samudra. Maka terciptalah jurus-jurus yang memiliki nama sesuai dengan karakternya masing-masing, ada jurus ’Gigitan Ikan Mencabik Mangsa’, jurus ’Ikan Terbang Di Atas Gelombang’ dan jurus ’Liukan Ikan Putih’.
Tiba-tiba saja, wajah Jalu Samudra menegang.
Matanya nanar menatap di kejauhan.
”Ada apa, Kakang?”
”Ada yang datang dari selatan dan ... dari bawah air.”
”Dari bawah air ... ikan gajah putih-kah?”
”Entahlah.”
Tangan kiri si Pemanah Gadis sedikit menyentak ke belakang.
Sett!
Tongkat kayu hitam tiba-tiba saja melayang ke arah tangan kiri, dan ...
Tap!
Langsung tergenggam erat.
Tangan kanan melepas medali yang dikalungkan di leher, diletakkan di tangan kiri, digosok-gosok sebentar, lalu hilang begitu saja.
Sudah beberapa kali murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal melihat apa yang dilakukan Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis ini yang ’ahli’ dalam menghilangkan benda. Kemarin dulu sempat takjub kala ia melihat senjata aneh bernama Pasir Kujang Duta Nirwana. Sempat ’main-main’ sebentar dengan senjata unik itu. Meski baru beberapa tarikan napas sudah merasa berat menggenggam senjata semungil itu.
Beberapa kali pula ia membolak-balik Medali Tiga Dewa milik si pemuda, tapi tetap saja ia tidak paham apa maksud dan makna dari medali medali yang terbuat dari lempengan besi hitam berukiran naga, rajawali dan harimau tersebut.
”Kakang, rasa-rasanya ’rumah’ kita ini bergeser ke kanan, deh.” cetus Nagagini.
Jalu diam sejenak. Dirasakannya kalau apa yang dikatakan gadis itu ada benarnya.
”Benar. Tapi bukan bergeser. Tepatnya ... kita berputar.”
”Berputar?”
Tiba-tiba saja, dari arah kejauhan terdengar suara menderu.
Wurr ... wurrr ... wurrr ... !
Belum sempat keduanya menyadari bahaya, angin badai dengan menggila ke arah mereka.
Srakk! Srakkk! Srakkk!
Drakkk!!
Wurr ... wurrr ... wurrrsss ... !
”Celaka! Ternyata ... badai itu bisa membuat pusaran air raksasa!” seru Jalu.
”Kita harus menghindar, Kang!” seru Nagagini sambil berpegangan erat pada lengan kanan Jalu Samudra.
”Menghindar kemana?” seru Jalu diantara deru angin yang menerjang tak tentu arah.
Srakk! Brakk!
Empat tiang penyangga berderak hancur. Dan terbang membumbung tinggi terbawa angin.
Duurr ... durr ... !
Kali ini, papan tempat mereka berpijak berderak mau pecah terhantam gelombang tinggi.
Sratt! Berrt ... !
Baju Nagagini tampak berkibaran tertiup angin bercampur air, sehingga menampakkan lekuk-lengkung tubuh indahnya. Jalu sempat melirik sebentar, tapi ...
Jdarr!
Papan kayu tempat mereka berdiri, kali ini benar-benar hancur.
Keduanya terseret arus memutar sambil timbul-tenggelam.
Tanpa pikir panjang lagi, Jalu membawa gadis itu semakin masuk ke dalam laut, yang menurutnya cukup aman dari jangkauan badai yang kian menggila. Beruntunglah Jalu pernah mengajarkan salah satu ilmu bernapas dalam air ’Yu Yue Yu Yuan (Ikan Menyusup Ke Kedalaman)’ kepada gadis itu.
Cukup lama mereka berdua berkutetan menjauhkan tubuh dari pusaran air yang seolah-olah menyedot tubuh dua sosok manusia itu. Namun akhirnya, sehebat-hebatnya manusia tetap akan kalah dengan kekuatan amukan alam.
Jalu pun menyadari hal itu.
Tanpa bisa dicegah, pegangan murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal terlepas.
”Nagagini!” teriak Jalu Samudra.
Tubuh gadis itu terseret arus semakin ke dalam.
Murid tunggal Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga segera meluncur cepat mengejar sosok gadis yang selama beberapa hari bersamanya. Jurus ’Kilat Tanpa Bayangan’ dikerahkan untuk membantu lesatan. Namun apa daya, sebongkah batu besar bagai dilontarkan ke atas.
Wuss!
Karena begitu mengkhawatirkan sosok si gadis, membuat Jalu tanpa perhitungan menghantamkan tangan kanan yang sarat hawa sakti.
Blegarrr ... !
Begitu satu batu hancur, kembali batu-batu sebesar lima kali gajah bunting menghadang di depan. Dan berulang-ulang pula, si pemuda menghantam batu-batu besar yang beterbangan ke arahnya.
Hingga pada akhirnya ...
Bughh ... !
Sebongkah batu besar, secara tidak sengaja menghantam tepat di kepala.
Pandangan mata Jalu menggelap ... menggelap ... dan akhirnya ...
Gelap sama sekali!

--o0o--

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
BAGIAN 34


”Uuhh ... ”
Terdengar keluhan dari mulut sosok pemuda yang tergeletak di pembaringan. Saat terbuka, terlihat sepasang mata putih di sana. Sesaat matanya berkunang-kunang. Dipejamkan sebentar, lalu di buka lagi sambil mengerjap-ngerjap beberapa saat.
”Dimana aku?”
Pemuda yang tak lain Jalu Samudra beringsut bangun, sontak ia merasa seluruh tulangnya sakit semua. Sesaat meringis menahan sakit. Lalu dalam posisi tiduran, ia mengerahkan jurus pertama dari Ilmu ‘Tapak Sembilan’ yang bernama ‘Sambung Nyawa’ untuk mengobati luka dalamnya. Sesaat kemudian, tubuhnya memancarkan sinar ungu transparan yang segera meredup dan akhirnya hilang sama sekali.
”Hemm ... beres sudah,” gumamnya.
Matanya mengedar ke sekitar. Dalam pikirnya, ia berada di sebuah kamar yang luas, karena ia berada di atas kasur yang empuk berselimut tebal. Namun kenyataan sungguh bertolak belakang.
Murid Dewa Pengemis ini berada dalam sebuah taman!
”Wuuuhh ... orang gila mana yang meletakkan tempat tidur di taman seperti ini?” kata hati si pemuda sambil menyingkap selimut.
”Weiitt!”
Buru-buru selimut ditutup kembali.
“Busyet! Celanaku pergi kemana, nih?” pikirnya sambil mata memandang berkeliling. Bukan celana hitamnya yang ketemu, tapi justru tongkat kayu hitam, Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana tergeletak di samping tempat tidur.
”Heran ... perasaan Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana sudah kusimpan rapi di telapak tangan kiri dan kanan dengan ilmu khusus, kok bisa keluar sendiri. Aneh ... ” gumamnya. ”Jangan-jangan yang tinggal disini orang aneh semua, nih.”
Jalu Samudra bangkit sambil melilitkan selimut seperti orang pakai sarung.
“Lumayan … dari pada bugil,” desisnya lirih. Saat melirik ke bawah, ia sedikit nyengir, “Hihi, kayak kuda ekornya didepan tapi pake sarung aneh.”
Diraihnya tongkat kayu hitam, lalu berjalan seperti orang buta --dengan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah--, padahal ia bisa melihat segala sesuatu dengan nyata.
Benar-benar kebiasaan yang sulit dihilangkan!
Jalu Samudra menyaksikan sebuah taman yang sangat indah, dengan taman yang asri, pepohonan rindang dan kawanan rusa berlari-lari diiringi burung-burung beterbangan. Ia celingukan ke kiri ke kanan tapi tidak mendapati seorang pun disana. Di kejauhan, terlihat sebentuk gerbang, ia pun berjalan perlahan ke sana sembari menghirup aroma wewangian yang begitu melenakan.
Sebentar saja, ia sudah sampai di depan gerbang besar berwarna hijau teduh.
“Pasti tidak ada orang, nih … “ gumamnya. ”Sepi begini ... ”
Krieett ... !
Ketika membuka gerbang itu, ia melihat beberapa gadis cantik --tepatnya sepuluh orang setelah di hitung Jalu-- sedang berkumpul pada satu bangsal besar. Mereka bercakap-cakap, membaca, bermain musik, menulis, pokoknya segala kegiatan yang terpikir olehnya.
Yang membuat Jalu semakin ternganga adalah ... semua gadis cantik itu mengenakan gaun tipis tembus pandang!
Semua bagian tubuh dari ujung kaki sampai ujung kepala terlihat jelas. Mereka mengenakan penutup dada untuk menutupi gumpalan padat-kencang yang tampak tersembul dan tidak mengintip malu-malu. Belum lagi dengan cawat yang cuma sekelumit seolah hanya menutupi bagian-bagian yang penting saja. Yang jelas, tubuh berbaju minim itu semuanya sekal, padat dan tampak berisi! (pokok’e mantap, ciing ...!)
Jalu lumayan sulit membedakan antara yang satu dengan yang lain, karena semua cantik-cantik dan montok-montok. Hanya warna gaun tembus pandang, penutup dada dan cawat mungil saja bisa membedakan mereka. Tanpa sadar, Jalu berjalan mendekat sambil menikmati ’pemandangan indah’ yang jarang-jarang ia jumpai (maksudnya ... jarang sebegitu banyak, lho).
Tiba-tiba salah seorang gadis yang bergaun putih tipis itu tersadar lalu terdiam sambil memandangi si pemuda yang cuma melilitkan selimut sebagai pengganti celana dan berjalan menggunakan tongkat mengetuk-ngetuk tanah didepannya.
Seketika, Jalu Samudra berhenti berjalan dan balas memandang.
”Maaf, aku salah masuk ... ” kata Jalu beranjak pergi (masa’ sudah jalan sejauh itu, baru ngomong kalau kesasar, hehehe ... !). Bagaimana tidak beranjak pergi, karena pilar tunggal penyangga langitnya sudah menggeliat bangun karena melihat pemandangan yang memang sanggup membuatnya pilar tunggal penyangga langitnya bangun tanpa dipaksa. Kalau pake sarung antik kayak gitu,khan jadi keliatan, bro!?
”Malu-maluin aja ni otong,” pikir Jalu sambil balik badan. ”Liat gadis sedikit licin saja, maunya nyodok melulu.”
Gadis bergaun putih berjalan mendekat lalu tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.
”Kau sudah bangun?” katanya lembut sambil menyentuh tangan kiri murid Dewa Pengemis.
Jalu Samudra kembali memutar tubuh. Jarak keduanya cuma setengah jangkauan saja.
”Diamput! Mantap bener ni cewek,” pikir Jalu Samudra rada jorok sambil mengamati gadis di depannya. Katanya kemudian, lalu katanya dengan sedikit nyengir kuda. ”Apakah ... kalian semua ini para bidadari swargaloka yang menghuni tempat ini?”
Gadis bergaun tipis itu tertawa renyah. Terlihat sepasang lesung pipit dikala ia tertawa.
Kulit putih bersih, mata jernih dan indah dengan bulu mata lentik dan alis tipis namun indah. Rambut panjang diikat rapi dan ia mengenakan gaun putih tipis yang memamerkan keelokan tubuh seorang gadis muda. Di belakangnya, beberapa gadis lain dengan antusias mengikuti dan mendekatinya. Seorang tampak berjingkat-jingkat lincah dengan tubuh kecil namun padat dan kencang, betisnya yang indah tampak tersibak, memamerkan bagian bawah kakinya yang jenjang.
Jalu Samudra ternganga dan mulai memandang ke sekeliling mencari ’pemandangan indah’ lainnya, namun gadis bergaun putih tadi mengelus dagunya dan menghadapkan muka Jalu Samudra agar menatapnya.
“Kamu dari negeri luar?” tanya si gaun putih.
”Ceritakan apa saja yang ada di negeri luar?” terabas si gaun merah.
”Apakah para pemudanya begitu tampan dan gagah sepertimu?” ucap si gadis mungil.
”Negeri luar?” tanya Jalu, heran. ”Negeri ... apa?”
”Maksudku ... wilayah di luar kepulauan kami.”
”Kep-kepulauan ... apa?”
”Kepulauan Tanah Bambu, tentunya.” desis gadis bergaun hijau di dekat telinga Jalu Samudra.
Jalu Samudra tersentak kaget!
Tak disangkanya sekarang ini ia berada di tempat yang menjadi tujuannya. Meski begitu, pemuda bermata putih ini sedikit bingung dengan keadaan dirinya. Seingatnya, ia dikerumuni oleh batu-batu besar saat mengejar Nagagini, sehingga tanpa sadar kepalanya terbentur batu besar, lalu antara sadar dan tidak, ia terseret pusaran arus laut hingga ke kedalaman laut yang gelap. Kemudian memasuki lorong-lorong panjang berliku-liku dan akhirnya ia kehilangan kesadaran penuh.
”Benar. Lorong itulah salah satu jalan masuk ke tempat kami,” kata dara cantik bergaun keemasan.
Kaget sekali itu lumrah, tapi kalau berkali-kali malah bisa bikin jantungan!
”Kau ini seperti cacing di perutku saja,” seloroh Jalu Samudra sambil menoleh ke dara bergaun keemasan. Diantara semua yang ada disitu, cuma gadis itu yang duduk manis sambil memetik harpa.
”Selama kau berada di wilayah kami, semua isi kepalamu bisa terbaca oleh kami bersepuluh,” tutur gadis bergaun biru, lembut.
”Walaaahh ... ” seru Jalu Samudra, kaget.
”Beruntung kau terperosok ke lorong kanan, jika masuk ke lorong kiri, kemungkinan besar nyawamu sulit terselamatkan,” kata dara cantik bergaun hitam.
”Memangnya kenapa kalau masuk ke lorong kiri?” tanya Jalu dengan nada menyelidik.
”Tidak ada apa-apa. Cuma di ujung lorong, ada suatu tempat yang bernama Lembah Selaksa Kobra.”
”Lembah Selaksa Kobra?” desis Jalu Samudra.
”Semoga saja teman gadismu tidak terperosok kesana,” lanjut dara bergaun hitam menerawang.
”Memangnya disana ada apa? Paling juga ular doang!?”
”Betul. Cuma ular kobra saja yang jumlahnya hanya sekitar enam belas ekor saja ... ”
”Tuh, kan. Cuma belasan saja. Aku yakin Nagagini pasti bisa selamat dari sana ... ” kata Jalu Samudra.
”Tapi ular kobranya sebesar pohon kepala, tuh ... ” sahut dara cantik bergaun jingga. Postur tubuhnya sih cukup mungil, tapi ’masa depannya’ itu lho ... justru besar-menantang untuk diremas!
”Hah!?” kembali murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga kaget. ”Kalian beneran nih ngomongnya!?”
”Betul,” kata para gadis hampir serempak.
”Waduh, celaka tujuh belas setengah! Nagagini bisa jadi tusuk gigi kalau benar-benar tersesat kesana,” gumam Jalu sambil membayangkan tubuh seksi Nagagini dimakan ular kobra raksasa.
”Tapi jangan khawatir, ular-ular kobra itu tidak akan memangsa gadismu, kok.”
”Kok bisa? Apa ularnya tidak punya gigi semua alias ompong, begitu?” tanya si Pemanah Gadis, heran.
”Ooo ... tidak! Semua bergigi tajam dan kuat-kuat, kok.” kata dara berbaju hijau tembus pandang. ”Yang perlu khawatirkan cuma majikan para ular itu saja. Dia suka sekali dengan gadis-gadis muda dan cantik molek. Kadangkala ia naik ke darat, nyulik anak gadis orang, lalu diperkosa di Lembah Selaksa Kobra, dan setelah puas, baru berikan pada hewan peliharaannya ... ” terang si gaun hijau panjang lebar.
”Julukannya si Dewa Kobra Cabul … “ tukas si gadis gaun coklat.
Mendengar perkataan para gadis berbodi aduhai yang sekarang mengerubungnya membuat Jalu Samudra semakin khawatir tentang keselamatan Nagagini. Tapi bayangan buruk segera ditepisnya mengingat kemampuan ilmu kesaktian yang dimiliki murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal itu sudah meningkat jauh.
Masih jelas dalam ingatannya, ketika keduanya mencapai puncak asmara tertinggi, tiba-tiba saja seluruh tubuh Nagagini diselimuti pendaran cahaya biru tipis mendekat putih meski untuk beberapa kejap lamanya. Dan keesokan harinya, tatkala ia berlatih 19 jurus ’Cambuk Cacat’ justru menemukan kekagetan luar biasa. Sebab hawa tenaga dalamnya justru mengalir lancar tanpa halangan seperti sebelumnya. Begitu selesai mengerahkan total 19 jurus, tidak terjadi gerakan patah seperti sebelumnya.
Waktu itu, Nagagini sedikit heran sambil bergumam, ”Aneh! Setahuku, jurus cambuk hanya bisa dilatih orang cacat, tapi kenapa aku yang memiliki raga sempurna justru bisa menguasainya dengan baik!?”
”Mungkin ... karena sebelumnya kakimu pernah putus, jadi jurus itu bisa kau lakukan dengan sempurna,” ucap Jalu Samudra memberi tanggapan.
”Mungkin juga bisa,” kata Nagagini dalam nada gumam.
”Atau barangkali ... ”
”Barangkali apa?” potong Nagagini, cepat.
Sambil membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman, Jalu berkata, ”Begini. Ini cuma pemikiran kakang lho, ya. Tapi sopo ngerti wae bener (tapi, siapa tahu saja benar)! Keperawanan adalah simbol sakral seorang gadis yang masih suci. Apapun alasannya, gadis perawan selama belum disentuh laki-laki dianggap sebagai gadis murni, gadis sempurna. Nah, karena semalam ... ”
” ... kita berhubungan intim, maka dianggap sebagai bentuk kecacatan?”
”Eemmm ... bisa jadi begitu,” kata Jalu sambil nyengir-meringis.
Nagagini sedikit heran melihat raur muka pemuda didepannya, lalu berkata, ”Kakang ini kenapa, sih? Sakit ... ?”
”Ehh ... engga ... cuma ... ”
”Cuma apa ... ?”
”Hehehe, ini bangun lagi ... ” kata Jalu cengengesan sambil menunjuk ke bawah.
Lamunan si pemuda --yang menjurus jorok-- terpenggal karena sebuah suara berbisik mesra di telinganya, ”Sudahlah, Jalu. Lebih baik sementara ini kau tinggal disini.”
Seorang gadis cantik dengan postur menggiurkan mendekat lalu menggeserkan tubuhnya dengan manja ke dada Jalu Samudra. Ia menatap dengan tajam dan lekat ke arah mata putih Jalu Samudra yang seperti orang bingung. Lalu dengan halus ia mengelus dada bidang Jalu Samudra dan memasukkan tangannya ke dalam ’celana antik’ Jalu Samudra. Yang lain mengikuti mengelus kaki Jalu Samudra, ada yang menciumi rambut dan memainkan ujung ’celana antik’nya. Pokoknya apa saja yang bisa dipegang tangan.
“Ssse ... bb ... bentar ... ” desis Jalu.
“Sst ... jangan banyak kata, tak sering lho ... kami menemui pria segagahmu, mari kita bersenang-senang sejenak ... ”
“Tt ... tapi a-aku ... ”
Jalu Samudra dikerubuti para gadis itu lalu dibimbing ke ranjang besar yang terletak di tengah ruangan itu, ia lalu dibaringkan disana tak berdaya. Jalu Samudra dengan senang melayani ’permintaan para nona cantik’ itu, tapi kalau sebanyak itu dan mainnya keroyokan, ya bingung juga mau ngapain!?
Maksudnya ... siapa dulu yang ’diapa-apain’!?
“Wah, gila nih … masa’ mau diperkosa gadis-gadis!? Yang bener saja,” pikir Jalu, sambil sesekali tangannya bergerilya kemana-mana. “Wah kalau begini caranya, aku bisa kewalahan sendiri.”
“Tunggu sebentar!” kata si Pemanah Gadis dengan sedikit terengah-engah.
“Ada apa?” tanya seorang gadis berambut panjang menggiurkan sambil mengelus bahunya. Gaun coklatnya sudah hilang entah kemana.
Jalu Samudra belum sempat menjawab sebelum gadis yang lain menempelkan tubuhnya erat-erat ke punggung Jalu Samudra sambil mendesah, ”Jangan tinggalkan kami.”
“Kami sangat kesepian,” desah yang lain.
Jalu Samudra tak kuasa menolak.
Masih terhembus aroma tubuh gadis itu dan kehangatannya yang tak pernah terbayangkan. Ia memandang seorang lagi yang dengan lekat membalas tatapannya, seorang gadis dengan bola mata hitam begitu cantik dan menarik lalu bibir kecilnya membuka perlahan lalu membisik, “Ceritakan petualanganmu di luar sana.”
Gadis yang lain menimpalinya lalu berlomba mengelus dan menarik Jalu Samudra untuk mendekatkan diri dengan mereka. Semua gadis yang ada di tempat itu berlaku seperti belum pernah menyentuh laki-laki, kecuali satu orang.
Yaitu ... dara bergaun keemasan!
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali tepukan sudah lebih dari cukup menghentikan tingkah-polah sembilan gadis yang sibuk mengerumuni si Pemanah Gadis.
Sembilan gadis itu dengan muka cemberut mundur teratur.
”Haaahh!?”
Terdengar seruan kaget!
Bukan dari mulut si pemuda tapi justru dari mulut merah merekah sepuluh dara cantik itu.
Sepuluh pasang mata terpaku pada sosok benda bulat panjang berotot di bawah perut Jalu Samudra.
Sebentuk pilar tunggal yang jarang ada!

--o0o--

”Uuugh ... ”
Terdengar suara keluhan dari sosok tubuh yang tergeletak di tepi sungai berair jernih. Sosok gadis dengan baju morat-marit tidak karuan sehingga memperlihatkan segala bentuk keindahan seorang gadis muda.
Sudah basah, morat-marit, dah gitu jumlahnya cuma sedikit pula!
Sesaat ia mengerjap-ngerjapnya sepasang mata indahnya karena silau terkena sinar matahari.
”Di mana aku ... ” gumamnya lirih. Setelah rasa pusing sedikit berkurang, matanya mengedar berkeliling.
”Hemmm ... sepi sekali ... ” kembali ia bergumam.
Saat angin bertiup, gadis itu merasa dingin di sekujur tubuhnya.
“Hemm, pantesan dingin ... lha baju sobek-sobek semua gini,” katanya lirih sambil matanya berputaran. “ ... disana ada cerukan cukup dalam, lebih baik aku ke sana saja.”
Wutt!
Dengan kecepatan tinggi, gadis yang tak lain Nagagini berkelebat cepat. Maklum aja, dengan baju yang alakadarnya seperti itu sudah cukup membuatnya malu.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara kain dirobek-robek (hehehe, pasti pada mikir jorok. Boleh dech, tapi jangan pake ngupil, ya!?)
Brett, brett, brett ... !
Sebentar kemudian, murid tunggal Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal telah keluar dari dalam cerukan. Sosok tubuhnya yang ramping padat kini sedikit lebih rapi. Baju biru laut yang sudah compang-camping di robek jadi tiga bagian. Dua bagian di ikat menjadi satu, lalu dibalutkan sebagai penutup dada dengan ikatan di depan. Sedang bagian ketiga, masih dijadikan dua lagi berbentuk segitiga dan dipakai sebagai cawat dengan ikatan di samping kiri kanan (kalau istilah jaman sekarang : bikini two pieces).
Terus tali tambang gimana?
Gampang saja.
Cukup dililitkan di pinggang, beres!
”Yah, lumayanlah bisa menutup bagian yang penting-penting saja, dari pada kayak tadi,” gumamnya sambil mematut-matut diri di dekat kolam. ”Wah, kalau Kakang Jalu tahu aku pakai barang kayak ginian, bisa habis aku semalam suntuk ... ”
”Wah, wah, wah! Rupanya ada bidadari turun dari langit rupanya!” Satu suara serak terdengar menggelegar. “Rejeki hari ini benar-benar besar, ha-ha-ha-ha!”
Kontan, Nagagini membalikkan tubuh.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!
 
"Nagagini hanya mengerutkan keningnya saja melihat tongkrongan si kakek yang menurutnya cukup ga match ini, pikirnya, "Makhluk ajaib dari mana ini? Gaul amat!"
Gimana ga gaul, lha wong potongan rambut model metal dengan rambut njegrak semua, pergelangan tangan kanan kiri pakai gelang dihiasi paku-paku metal yang lumayan tajam kalau kena mata. Celana sisik ular peraknya dililit rantai melingkar setengah pinggang di belakang.
Biar macho, pikir si kakek.
Bibirnya bergaya ala bimoli alias bibir monyong lima senti alias tonggos 100%!"

wkwkwkwkwk bimoli (bibir monyong lima senti)

lanjutan utk besok malem kisanak :asyik::asyik:
 
Super sekali...kalo pendekar emang punya ilmu, tapi jalu punya tambahan rejeki, menang banyak jalu....trim update nya.
 
Wah anjaaaayyy ini cerita...gw besok kudu bangun pagi, tp gw dibikin gak sanggup berhenti baca...
Gw mau marathon...ayo kita cari penulisnya, kita mohon biar diselesaikan ceritanya...

Asli keren ini cerita..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd